pengembangan model spasial untuk surveilans demam …. laporan-2… · untuk surveilans demam...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
PENGEMBANGAN MODEL SPASIAL
UNTUK SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE
DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
MUJIYANTO, S.Si, M.P.H
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGENDALIANPENYAKIT BERSUMBER BINATANG DONGGALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATANKEMENTERIAN KESEHATAN RI
2016
RAHASIA
i
JUDUL PENELITIAN
PENGEMBANGAN MODEL SPASIAL
UNTUK SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE
DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
MUJIYANTO, S.Si, MPH
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGENDALIANPENYAKIT BERSUMBER BINATANG DONGGALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATANKEMENTERIAN KESEHATAN RI
2016
ii
SK PENELITIAN
iii
iv
v
vi
SUSUNAN TIM PENELITI
No. Nama Kedudukan Dalam Tim
1. Mujiyanto, S.Si, MPH Ketua Pelaksana
2. Sitti Chadijah, SKM, M.Si Peneliti
3. Rosmini, SKM, M.Sc Peneliti
4. Hayani Anastasia, SKM, MPH Peneliti
5. Made Agus Nurjana, SKM, M.Epid Peneliti
6. Ni Nyoman Veridiana, SKM Peneliti
7. Ade Kurniawan, SKM Peneliti
8. Nurul Hidayah S.B, S.Si Peneliti
9. Yuyun Srikandi, SKM Teknisi
10. Endra Tigordo Motto, S.E Administrasi
Sumber Dana : DIPA Balai Litbang P2B2 Donggala 2016
vii
PERSETUJUAN ETIK
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian
kami yang berjudul “Pengembangan Model Spasial untuk Surveilans Demam
Berdarah Dengue di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah” tepat pada waktunya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilaksanakan di Kota Palu yang sampai saat
laporan ini disusun masih tingga kasus kejadian Demam Berdarah Dengue. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan model daerah berisiko DBD di Kota Palu Sulawesi
Tengah berdasarkan karakteristik epidemiologi dan lingkungan menggunakan SIG
dan teknologi penginderaan jauh. Laporan ini disusun sebagai bentuk
pertanggungjawaban secara administrasi dan merupakan penyampaian secara tertulis
dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan dalam pelaksanaan surveilans DBD di Kota Palu dan daerah lainnya
yang mempunyai karakteristik geografis yang hampir sama dengan daerah penelitian.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2
Donggala atas kesempatan, izin dan segala dukungan yang diberikan dalam
pelaksanaan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada tim reviewer
yang telah memberikan masukan serta bimbingan atas pelaksanaan penelitian ini.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota tim
penelitian, peneliti dan teknisi Balai Litbang P2B2 Donggala, pengelola DBD Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah beserta staf, pengelola DBD Kota Palu,
pengelola DBD dan petugas puskesmas se Kota Palu, pembantu lapangan dan
masyarakat Kota Palu atas dukungan dan bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan
penelitian ini.
Akhirnya, penulis sangat berterimakasih kepada teman-teman yang telah
membantu memberikan bahan acuan maupun diskusi dalam penyusunan laporan ini.
Penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada mereka yang membantu
secara langsung maupun tidak langsung selama mempersiapkan maupun penyusunan
x
laporan ini. Saran dan masukan yang membangun juga sangat diharapkan untuk
perbaikan pada penelitian selanjutnya.
Semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam
program surveilans DBD di Kota Palu dan daerah lain yang masih bermasalah dengan
DBD.
Donggala, Desember 2016
Ketua Pelaksana,
Mujiyanto, S.Si, MPH
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN
PENGEMBANGAN MODEL SPASIAL UNTUK SURVEILANS DEMAM
BERDARAH DENGUE DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH
Mujiyanto, dkk
Penyakit Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi virus Dengue (DEN) yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes
terutama Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit neglected
tropical diseases yang masih menjadi masalah utama di bidang kesehatan masyarakat
khususnya negara-negara tropis dan subtropis.
Kejadian kasus DBD di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami fluktuatif dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2013 IR DBD Provinsi Sulawesi Tengah mencapai 66,82
per 100.000 penduduk dengan target nasional sebesar ≤ 52 per 100.000 penduduk.
Selanjutnya mengalami penurunan di tahun 2014 yaitu 45,86 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2014 ini Provinsi Sulawesi Tengah mencapai target Renstra nasional
sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk. Namun IR DBD pada tahun 2015 mengalami
kenaikan sebesar 54,61 per 100.000 penduduk, sehingga target Renstra nasional
tahun 2015 sebesar < 49 per 100.000 penduduk tidak dapat dicapai. Tiga
kabupaten/kota di Sulawesi Tengah dengan IR DBD tertinggi pada tahun 2015 yaitu
Kota Palu dengan 168,5 per 100.000 penduduk, selanjutnya disusul Kabupaten Buol
sebanyak 162,01 per 100.000 penduduk serta urutan ketiga ditempati Kabupaten
Tolitoli 101,13 per 100.000 penduduk.
Pemodelan spasial epidemiologi DBD merupakan salah satu aplikasi dari
Sistem Informasi Geografis ( Geographical Information System/ GIS). Sistem
Informasi Geografis yang kemudian disebut SIG digunakan untuk menentukan pola
spasial temporal kejadian kasus DBD. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan
model penentuan daerah berisiko DBD di Kota Palu Sulawesi Tengah berdasarkan
karakteristik epidemiologi dan lingkungan menggunakan SIG dan teknologi
penginderaan jauh.
xii
Hasil penelitian yang berupa data informasi spasial dapat menjadi acuan untuk
kegiatan pencegahan dan pengendalian demam berdarah. Model prediktif dengan
variabel lingkungan sangat membantu dalam penanganan dan kewaspadaan dini
terhadap penyebaran DBD di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Hasil overlay
kasus DBD dengan peta kepadatan penduduk dapat diketahui distribusi kasus
sebagian besar berada pada kelurahan yang memiliki kepadatan tinggi khususnya
yang berada di pusat Kota Palu.
Analisis pola sebaran untuk gabungan data tahun 2011-2016 dengan
menggunakan analisis Nearest Neighbor didapatkan pola sebaran kasus
mengelompok (mengcluster) di pusat Kota Palu daerah yang memiliki ketinggian
rendah. Untuk pengelompokan kasus DBD Tahun 2011-2016 secara spasial-temporal
yang distribusi kasus DBD memperhitungkan waktu kejadian dan keterdekatan antar
kasus didapatkan dua daerah dengan klaster yang signifikan. Wilayah klater tersebut
memiliki p-value 0,021 untuk area pertama. Waktu kejadian kasus DBD yang
memiliki nilai signifikan tersebut antara rentang waktu 1 Maret – 30 November 2011
dengan jumlah 25 kasus. Selanjutnya untuk klaster kedua didapatkan hasil p-value
0,037 dengan rentang waktu kasus 1 Mei – 30 Juni 2013 dengan jumlah 17 kasus .
Distribusi kasus DBD yang disajikan dalam peta distribusi kasus merupakan
suatu penyajian dalam bentuk model spasial diskriptif. Analisis dalam SIG
memungkinkan dilakukan pengembangan dari model spasial yang ada. Hasil berikut
merupakan pengembangan yang dilakukan untuk mengetahui trend arah pergerakan
kasus yaitu dengan model Standard Deviational Ellipse (SDE) dan model daerah
berisiko yaitu dengan metode Kernel Density Estimation (KDE). Trend pergerakan
kasus Tahun 2011 – 2016 dianalisis dengan model Standard Deviational Ellipse,
dimana arah elip menunjukan trend pergerakan kasus itu mengalami penularan atau
penyebaran kasus. Hasil analisis dengan gabungan data kasus DBD tahun 2011 –
bulan Juni 2016 menunjukkan hasil bahwa transmisi DBD cenderung ke arah utara
dan selatan dari pusat Kota Palu. Hasil analisis Kernel DensityEstimation dapat
diketahui daerah berisiko paling tinggi yang merupakan warna merah dengan gradasi
paling gelap. Wilayah pusat kota meliputi Lolu Utara, Lolu Selatan, Siranindi,
xiii
Kamonji, Ujuna, Tatura Utara. Untuk wilayah di luar pusat kota meliputi Palupi,
Pengawu, dan Mamboro. Untuk daerah yang diwaspadai karena berada di tingkat
bawahnya meliputi Lasoani, Petobo, Tondo.
Hasil pengukuran indeks jentik untuk rata-rata rumah tangga pada 45
kelurahan di Kota Palu diperoleh House Index (HI) 45,03%, Container Index (CI)
16,98%, Breteau Index (BI) 70,60% dan Angka Bebas Jentik (ABJ) 54,99%.
Penghitungan indeks pupa di rumah tangga di Kota Palu didapatkan nilai House
Pupal Index (HPI) 19,1%, Container Pupal Index (CPI) 6,0%, pupa/rumah 4,9,
pupa/container 1,2 dan pupa/orang 1,0. Sedangkan hasil indeks jentik untuk tempat-
tempat umum di Kota Palu didapatkan HI 21,71%, CI 15,29%, BI 30,23%, ABJ
78,29%, HPI 7,75%, dan CPI 4,71%. Pemasangan ovitrap di rumah tangga terpilih
didapatkan nilai Indeks Ovitrap masing masing untuk Indeks Ovitrap Dalam Rumah
39,26% dan Indeks Ovitrap Luar Rumah 63,94%.
Wawancara dengan pengelola program DBD baik di tingkat puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Palu terkait pelaksanaan pemberantasan/pembasmian sarang
nyamuk (PSN) DBD didapatkan bawah pelaksanaan PSN di masyarakat selama ini
belum berjalan maksimal. Hasil wawancara dengan pengelola DBD Dinas Kota Palu
didapatkan bahwa Dinas Kesehatan Kota Palu selama kurun waktu lima tahun
terakhir sudah melakukan program Pemberantasan/Pembasmian Sarang Nyamuk
(PSN). PSN yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Palu berupa pengasapan
(fogging) dan pembagian bubuk abate. Selama ini hubungan dengan intansi lain
dalam pelaksanaan PSN dijalin dengan Dinas Pendidikan Kota Palu khususnya dalam
PSN di sekolah-sekolah yang dilaksanakan oleh murid-murid sekolah, karena selama
ini belum ada Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yang rutin melakukan survei tiap saat.
Hasil wawancara dengan pengelola DBD di tingkat puskesmas terkait
pelaksanaan PSN di Kota Palu ini didapatkan informasi bahwa pelaksanaan PSN di
masyarakat belum optimal dilakukan. Hasil wawancara dengan salah seorang
pengelola DBD bahwa adanya Program Padat Karya di Kota Palu membuat
partisipasi masyarakat untuk kerja bakti berkurang, karena kebersihan lingkungan
sudah ada yang merawatnya. Pengendalian vektor DBD yang dilakukan oleh
xiv
puskesmas se-Kota Palu selain dengan PSN adalah dengan memberikan abate dan
jika ada kejadian DBD akan dilakukan fogging yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kota. Kerjasama dengan berbagai pihak swasta atau lintas sektor sangat bagus untuk
memaksimalkan PSN di masyarakat, tetapi selama ini kebanyakan puskesmas masih
terbatas pada kerjasama dengan aparat kelurahan saja terkait pelaksanaan PSN.
Semua pengelola DBD di tingkat puskesmas menyampaikan terkait kegiatan yang
belum dilaksanakan. Semua puskesmas belum memanfaatkan data spasial berupa peta
untuk kegiatan PSN. Jumantik secara resmi belum ada, tetapi di beberapa wilayah
kerja puskesmas beberapa puskesmas menyampaikan adanya Laskar Jumantik dari
murid-murid Sekolah Dasar (SD) yang ditugaskan untuk melakukan survei jentik di
rumah masing-masing dan dibawakan form khusus.
Sistem pelaporan data kasus DBD yang masuk ke semua puskesmas
menggunakan Short Message Service (SMS) ke penanggungjawab DBD di
puskesmas. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan penyelidikan epidemiologi (PE)
di lokasi kasus. PE yang dilakukan selama ini belum memanfaatkan teknologi seperti
pemanfaatan Global Positioning Systems untuk memetakan kasus DBD maupun form
elektronik yang dapat dimasukan di smartphones. Hasil kegiatan PE dilaporkan
kembali ke Dinas Kesehatan Kota Palu untuk ditindaklanjuti dengan
pengasapan/fogging. Data kasus yang tidak ditemukan ketika akan dilakukan PE juga
disampaikan kembali ke Dinas Kesehatan Kota Palu. Pelaksanaan PSN di tingkat
masyarakat selama ini beranggapan bahwa kegiatan pengasapan/fogging merupakan
cara yang paling bagus, padahal PSN dari masing-masing keluarga merupakan salah
satu pencegahan DBD yang paling efektif.
xv
ABSTRAK
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit neglectedtropical diseases yang masih menjadi masalah utama di bidang kesehatan masyarakatkhususnya negara-negara tropis dan subtropis. Pemodelan spasial epidemiologi DBDmerupakan salah satu aplikasi dari Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan daripenelitian ini adalah mendapatkan model penentuan daerah berisiko DBD di KotaPalu Sulawesi Tengah berdasarkan karakteristik epidemiologi dan lingkunganmenggunakan SIG dan teknologi penginderaan jauh. Penelitian ini merupakanpenelitian observasional dengan disain potong lintang. Sampel kasus DBD adalahsemua yang dilaporkan dari tahun 2011 sampai dengan Juni 2016. Survei jentikdilakukan pada 45 kelurahan di Kota Palu. Wawancara kegiatan pelaksanaanpemberantasan sarang nyamuk DBD dilakukan pada penanggung jawab programDBD di puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Palu.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan secara spasial antaradistribusi kasus DBD di Kota Palu dengan kepadatan penduduk. Pola spasial kasusDBD Tahun 2011- Juni 2016 cenderung mengelompok. Untuk pengelompokan kasusDBD Tahun 2011-2016 secara spasial-temporal didapatkan dua daerah dengan klasteryang signifikan. Wilayah klaster tersebut memiliki p-value 0,021 untuk wilayahpertama. Waktu kejadian kasus DBD yang memiliki nilai signifikan tersebut antararentang waktu 1 Maret – 30 November 2011 dengan jumlah 25 kasus. Selanjutnyauntuk klaster kedua didapatkan hasil p-value 0,037 dengan rentang waktu kasus 1Mei – 30 Juni 2013 dengan jumlah 17 kasus. Model spasial yang dikembangkan darimodel spasial diskriptif DBD yaitu menggunakan model Standard DeviationalEllipse (SDE) dan Kernel Density Estimate (KDE). Model Standard DeviationalEllipse untuk trend pergerakan kasus DBD di Kota Palu mengarah ke utara danselatan pusat Kota Palu. Daerah berisiko kasus DBD yang dimodelkan dengan KernelDensity Estimation cenderung berada di pusat Kota Palu dan mulai berkembang diperumahan-perumahan baru. Indeks jentik di Kota Palu diperoleh House Index (HI)45,03%, Container Index (CI) 16,98%, Breteau Index (BI) 70,60% dan Angka BebasJentik (ABJ) 54,99%. Indeks pupa didapatkan nilai House Pupal Index (HPI) 19,1%,Container Pupal Index (CPI) 6,0%, pupa/rumah 4,9, pupa/container 1,2 danpupa/orang 1,0. Sedangkan indeks jentik untuk tempat-tempat umum di Kota Paludidapatkan HI 21,71%, CI 15,29%, BI 30,23%, ABJ 78,29%, HPI 7,75%, dan CPI4,71%. Indeks Ovitrap masing masing untuk Indeks Ovitrap Dalam Rumah 39,26%dan Indeks Ovitrap Luar Rumah 63,94%.
Pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk DBD di masyarakat belumoptimal dan peran serta masyarakat secara langsung harus ditingkatkan.Pemberantasan sarang nyamuk yang dilakukan dari masing-masing keluargamerupakan salah satu pencegahan DBD yang paling efektif. Surveilans kasus danvektor penyakit harus ditingkatkan dan dikembangkan dengan memanfaatkanteknologi pemetaan dan pemodelan spasial DBD.
Kata kunci : Model Spasial, Surveilans, Demam Berdarah Dengue, Palu
xvi
DAFTAR ISI
JUDUL PENELITIAN................................................................................................... i
SK PENELITIAN .........................................................................................................ii
SUSUNAN TIM PENELITI ........................................................................................vi
PERSETUJUAN ETIK ...............................................................................................vii
PERSETUJUAN ATASAN.......................................................................................viii
JUDUL PENELITIAN...............................................................................................viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ix
RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN ...............................................................xi
ABSTRAK .................................................................................................................. xv
DAFTAR ISI..............................................................................................................xvi
DAFTAR TABEL....................................................................................................xviii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xx
DAFTAR GRAFIK....................................................................................................xxi
DAFTAR PETA........................................................................................................xxii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................xxiii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah........................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian............................................................................................ 4
xvii
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 6
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 18
A. Kerangka Konsep, Hipotesis dan Definisi Operasional ............................... 18
B. Desain Penelitian .......................................................................................... 20
C. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 20
D. Populasi dan Sampel .................................................................................... 20
E. Instrumen Pengumpulan Data ...................................................................... 21
F. Bahan dan Prosedur Pengumpulan Data ...................................................... 22
G. Pengolahan dan Analisis Data ...................................................................... 25
IV. HASIL .......................................................................................................... 27
V. PEMBAHASAN .............................................................................................. 59
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 67
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................................... 71
LAMPIRAN................................................................................................................ 72
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Density Figure Aedes sp ................................................................................. 9
Tabel 2. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu BaratKota Palu Oktober – November 2016......................................................................... 37
Tabel 3. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Ulujadi KotaPalu Oktober – November 2016.................................................................................. 38
Tabel 4. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Tatanga KotaPalu Oktober – November 2016.................................................................................. 39
Tabel 5. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu SelatanKota Palu Oktober – November 2016......................................................................... 39
Tabel 6. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu TimurKota Palu Oktober – November 2016......................................................................... 40
Tabel 7. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan MantikuloreKota Palu Oktober – November 2016........................................................................ 41
Tabel 8. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu UtaraKota Palu Oktober – November 2016......................................................................... 41
Tabel 9. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Tawaeli KotaPalu Oktober – November 2016.................................................................................. 42
Tabel 10. Indikator Entomologi DBD Menurut Kecamatan di Kota Palu Oktober –November 2016........................................................................................................... 43
Tabel 11. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Barat Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 44
Tabel 12. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Ulujadi Kota Palu ............ 44
Tabel 13. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Tatanga Kota Palu Oktober– November 2016........................................................................................................ 45
Tabel 14. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Selatan Palu Oktober –November 2016........................................................................................................... 45
xix
Tabel 15. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Timur Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 46
Tabel 16. Indeks Pupa Menurut Kelurahan di Kecamatan Mantikulore Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 47
Tabel 17. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Utara Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 47
Tabel 18. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Tawaeli Kota Palu Oktober– November 2016........................................................................................................ 48
Tabel 19. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Barat Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 49
Tabel 20. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Ulujadi Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 50
Tabel 21. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Tatanga Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 51
Tabel 22. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Selatan Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 51
Tabel 23. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Timur Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 52
Tabel 24. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Mantikulore Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 52
Tabel 25. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Utara Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 53
Tabel 26. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Tawaeli Kota PaluOktober – November 2016.......................................................................................... 53
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti .............................................................. 7
Gambar 2. Enam Komponen dalam GIS..................................................................... 13
Gambar 3. Tipe Analisis Spasial dalam SIG............................................................... 16
Gambar 4. Framework Surveilans DBD secara Spasial.............................................. 17
Gambar 5. Hasil Pemetaan Kasus DBD dan Data Atribut penyertanya ..................... 30
Gambar 6. Pola Kasus DBD Gabungan Tahun 2011 – 2016 dengan AnalisisNearest Neighbor ..................................................................................... 32
Gambar 7. Model Spasial Daerah Berisiko DBD di Kota Palu ................................. 35
Gambar 8. Pelaporan Kasus DBD Menggunakan SMS.............................................. 57
Gambar 9. Alur Kerja Surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kota Palu. .................... 57
Gambar 10. Surveilans DBD dengan Integrasi Data Spasial dan Internet.................. 58
xxi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Jumlah Kasus DBD di Kota Palu Tahun 2011 - Juni 2016 ......................... 29
Grafik 2. Pola Fluktuasi Kasus DBD dengan Curah Hujan di Kota PaluTahun 2011-2015. ....................................................................................................... 36
Grafik 3. Pola Fluktuasi Kasus DBD dengan Suhu Udara di Kota PaluTahun 2011-2015. ....................................................................................................... 36
Grafik 4. Pola Fluktuasi Kasus DBD dengan Kelembaban Udara di Kota PaluTahun 2011-2015. ....................................................................................................... 37
xxii
DAFTAR PETA
Peta 1. Distribusi Kasus DBD di Dunia Tahun 2012.................................................... 1
Peta 2. Distribusi Kasus DBD Kota Palu Tahun 2011 – Juni (2016) ......................... 30
Peta 3. Hasil overlay DBD dengan peta kepadatan penduduk.................................... 31
Peta 4. Pola Pengelompokan Kasus DBD secara Spasial Temporal Kota Palu.......... 33
Peta 5. Pola Pengelompokan Kasus DBD secara Spasial Temporal Daerah Klaster 1dan 2. ............................................................................................................... 33
Peta 6. Trend pergerakan kasus DBD Tahun 2011 – 2016 dengan metode StandardDeviational Ellipse di Kota Palu. .................................................................... 34
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perizinan dari BPMP2TSPD Provinsi Sulawesi Tengah........................ 72
Lampiran 2. Perizinan dari Badan Kesbangpol Kota Palu.......................................... 73
Lampiran 3. Perpanjangan Perizinan dari Badan Kesbangpol Kota Palu................... 74
Lampiran 4. Form Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas se Kota Palu ................... 75
Lampiran 5. Form Survei Jentik Anak Sekolah Puskesmas Birobuli ......................... 76
Lampiran 6. Naskah Penjelasan .................................................................................. 77
Lampiran 7. Kuisioner Wawancara Dinas Kesehatan Kota Palu................................ 79
Lampiran 8. Kuisioner Wawancara Puskesmas se Kota Palu..................................... 82
Lampiran 9. Form Survei Entomologi Rumah Tangga............................................... 85
Lampiran 10. Form Survei Entomologi Tempat-tempat Umum................................. 86
Lampiran 11. Keterangan Kontainer........................................................................... 87
Lampiran 12. Form Survei Telur Nyamuk DBD ........................................................ 88
Lampiran 13. Hasil Analisis........................................................................................ 89
Lampiran 14. Dokumentasi Kegiatan ......................................................................... 92
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPenyakit Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi virus Dengue (DEN) yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes
terutama Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit neglected
tropical diseases yang masih menjadi masalah utama di bidang kesehatan masyarakat
khusunya negara-negara tropis dan subtropis1. Terdapat sekitar 50 – 100 juta infeksi
demam berdarah terjadi setiap tahun di dunia dan hampir setengah penduduk dunia
tinggal pada daerah dimana virus dengue ini dapat ditularkan oleh nyamuk.
Penyebaran virus dan nyamuk vektor yang luas dapat menyebabkan terjadinya
epidemik serta merupakan ancaman bagi penduduk yang bertempat tinggal di daerah
perkotaan dan semi perkotaan pada daerah tropis dan subtropis1.
Peta 1. Distribusi Kasus DBD di Dunia Tahun 2012. 2
Menurut WHO lebih dari 35% penduduk di Indonesia hidup dan bertempat
tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun 2012 WHO mencanangkan program berupa
strategi global dalam pencegahan dan kontrol DBD tahun 2012-2020. Program ini
Peta 1. Distribusi Kasus DBD di Dunia Tahun 2012
2
mempunyai tujuan untuk menurunkan beban penyakit DBD.1 Dampak sosial dan
ekonomi dapat ditimbulkan oleh penyakit DBD, kerugian sosial yang ditimbulkan
seperti, kepanikan dan kecemasan karena anggota keluarga yang terinfeksi virus
sampai pada kematian anggota keluarga, dampak ekonomi yang ditimbulkan seperti
biaya pengobatan, biaya rawat inap, transportasi serta dampak ekonomi tidak
langsung dapat berupa kehilangan produktivitas waktu kerja, waktu sekolah, dan
akomodasi yang dikeluarkan selama penderita mendapatkan perawatan.3
Jumlah kasus DBD di Indonesia semakin lama mempunyai kecenderungan
untuk meningkat dan menyebar semakin luas, ini dikarenakan kelancaran transportasi
dan perpindahan penduduk dari daerah kedaerah lainnya di Indonesia cukup tinggi
serta kondisi alam Indonesia yang berada pada daerah tropis sangat cocok untuk
perkembang biakan nyamuk vektor DBD. Selain faktor lingkungan, faktor agent dan
penjamu juga sangat penting diperhatikan karena keseimbangan ketiga faktor tersebut
dapat mempengaruhi penurunan maupun peningkatan kejadian kasus penyakit.4
Data tiga tahun terakhir Insidence Rate (IR) atau angka kesakitan DBD
Indonesia 2013-2015 mengalami fluktuatif data. Tahun 2015 IR DBD masih dibawah
target Rencana Strategis (Renstra) di tahun tersebut. Tahun 2013, angka kesakitan
DBD nasional mencapai 48,85 per 100.000 penduduk, telah mencapai target Renstra
tahun 2013 yaitu ≤ 52 per 100.000 penduduk.5 Tahun 2014, IR Indonesia juga
mencapai target nasional yaitu ≤ 39,8 per 100.000 penduduk dari nilai target nasional
sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk.6 Namun pada tahun 2015 Indonesia tidak bisa
mempertahankan IR di bawah Renstra Tahun 2015. Pada tahun tersebut IR DBD
Indoneisa yang dilaporkan mencapai 50,75, padahal IR DBD Indonesia saat itu <49
per 100.000 penduduk.7
Kejadian kasus DBD di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami fluktuatif dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2013 IR DBD Provinsi Sulawesi Tengah mencapai 66,82
per 100.000 penduduk dengan target nasional sebesar ≤ 52 per 100.000 penduduk.5
Selanjutnya mengalami penurunan di tahun 2014 yaitu 45,86 per 100.000 penduduk.6
Pada tahun 2014 ini Provinsi Sulawesi Tengah mencapai target Renstra nasional
sebesar ≤ 51 per 100.000 penduduk. Namun IR DBD pada tahun 2015 mengalami
3
kenaikan sebesar 54,61 per 100.000 penduduk, sehingga target Renstra nasional
tahun 2015 sebesar < 49 per 100.000 penduduk tidak dapat dicapai.7 Tiga
kabupaten/kota di Sulawesi Tengah dengan IR DBD tertinggi pada tahun 2015 yaitu
Kota Palu dengan 168,5 per 100.000 penduduk, selanjutnya disusul Kabupaten Buol
sebanyak 162,01 per 100.000 penduduk serta urutan ketiga ditempati Kabupaten
Tolitoli 101,13 per 100.000 penduduk.8
Permasalahan yang timbul sekarang adalah bagaimana mengendalikan
penularan virus DBD terutama pada blok wilayah yang berpenduduk padat. Penularan
virus DBD ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik dan perilaku
masyarakat. Faktor lingkungan fisik meliputi kepadatan pemukiman, pola
pemukiman, dan perilaku masyarakat meliputi pemberantasan sarang nyamuk dan
gerakan 3M (menguras, menutup dan mendaurulang/memanfaatkan kembali) plus.9
Pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, topografi rendah dan curah hujan
tinggi seperti di daerah tropis, apabila pengelolaan lingkungannnya tidak dilakukan
dengan baik dimungkinkan penularan virus DBD akan mudah terjadi. Hal ini
merupakan masalah utama yang harus dicari pemecahannya.
Untuk memudahkan implementasi cara-cara pengendalian penularan DBD
yang terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dimana batas administrasi
sudah bukan merupakan penghalang lagi maka salah satunya adalah dengan
menentukan daerah berisiko berjangkitnya penyakit DBD berdasarkan faktor-faktor
lingkungan dan demografi yang berpengaruh. Dengan diketahuinya daerah berisiko
atau tingkat kerawanan wilayah terhadap penyakit DBD maka dapat ditentukan
prioritas penanganannya dan faktor-faktor lingkungan yang paling berpengaruh serta
bagaimana memperbaiki kondisi lingkungan. Manajemen pengendalian berbasis data
spasial atau kewilayahan merupakan salah satu cara yang esensial yang didukung
dengan data penyelidikan epidemiologi ataupun penyelidikan KLB dari penyakit
ini.10
Parameter penting yang berhubungan erat dengan kejadian suatu penyakit
dapat dibuat menjadi suatu model yang menggambarkan tingkat kerawanan penularan
suatu penyakit dalam bentuk peta spasial.11 Pembuatan model spasial epidemiologi
4
DBD merupakan salah satu aplikasi dari Sistem Informasi Geografis ( Geographical
Information System/ GIS). Sistem Informasi Geografis yang kemudian disebut SIG
merupakan suatu pemanfaatan teknologi informasi berupa sistem untuk pengelolaan
data, penyimpanan, pemrosesan, atau manipulasi, analisis, penayangan data secara
spasial terkait dengan muka bumi. Integrasi dengan data penginderaan jauh berupa
citra dengan resolusi yang tinggi dapat menginformasikan kondisi kepadatan suatu
wilayah. Penginderaan jauh merupakan suatu teknologi untuk memperoleh obyek
melalui analisis data yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan objek tersebut.
Pemanfaatan aplikasi SIG berbasis mobile juga sangat membantu dalam
proses pelaporan data dan surveilans karena dapat secara langsung (real time)
melaporkan posisi kasus atau pasien karena terhubung dengan akses internet,
sehingga aplikasi dan teknologi ini sekarang cenderung dimanfaatkan khususnya
dalam surveilans dan kejadian luar biasa dari suatu penyakit.12 Teknologi dan sistem
informasi ini dipilih karena orientasi yang efisien dan efektif dalam menyajikan
distribusi suatu penyakit.
B. Perumusan Masalah
Pola spasial dan distribusi kasus DBD yang teridentifikasi dan terekam dalam
periode waktu tertentu sangat membantu dalam penurunan kasus DBD. Penanganan
kasus DBD berbasis kewilayahan terutama di Kota Palu yang memiliki pembangunan
dan perkembangan fisik kota dengan cepat sangat diperlukan.
C. Tujuan PenelitianUmum
Mendapatkan model penentuan daerah berisiko DBD di Kota Palu Sulawesi Tengah
berdasarkan karakteristik epidemiologi dan lingkungan menggunakan SIG dan
teknologi penginderaan jauh.
5
Khusus
1. Menentukan hubungan antara distribusi spasial kasus DBD dengan
kepadatan penduduk di Kota Palu.
2. Menentukan pola spasial-temporal kasus DBD di Kota Palu.
3. Menentukan pengelompokan/spatial clustering kasus DBD di Kota Palu.
4. Mengidentifikasi kecenderungan/trend pergerakan kasus DBD di Kota
Palu.
5. Menentukan model spasial daerah berisiko dan prediktif kasus DBD terkait
data iklim.
6. Menentukan Angka Bebas Jentik (ABJ), House Index (HI), Containers
Index (CI), Breateu Index (BI), dan Pupal Index : House Pupal Index
(HPI), Containers Pupal Index, Jumlah Pupa/Rumah, Jumlah
Pupa/Container, Jumlah Pupa/Orang dan Ovitrap Index,
7. Mengidentifikasi pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk pada
masyarakat dan pengelola program DBD di Kota Palu dengan melakukan
wawancara.
D. Manfaat Penelitiana. Manfaat bagi program: Menjadi acuan untuk kegiatan pencegahan dan
pengendalian serta kegiatan surveilans demam berdarah berupa data dan
informasi dalam bentuk peta dan model prediktif.
b. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan: Sebagai alternatif
pemanfaatan teknologi SIG dan data penginderaan jauh dalam
pengendalian demam berdarah.
c. Manfaat untuk masyarakat umum: Hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan peran serta dalam pengendalian demam
berdarah dengue.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi Vektor Demam Berdarah Dengue
Vektor utama epidemi virus dengue di Asia Tenggara adalah Aedes aegypti.
Sedangkan spesies satunya yaitu Aedes albopictus merupakan vektor sekunder yang
juga berperanan penting dalam mempertahankan ada tidaknya virus.13 Aedes
termasuk dalam subfamili Culicinae yang terdiri dari 33 genera yang diantaranya
terdiri dari Culex, Mansonia, Haemagogus, Sabethes, Psorophora dan Aedes.14 Ae.
aegypti pertama kali dideskripsikan oleh Linnaeus tahun 1762 sedangkan Ae.
albopictus dideskripsikan oleh Skuse tahun 1895. Taksonomi Aedes aegypti dan
Aedes albopictus disajikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti; Aedes albopictus
Nyamuk Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu dari bentuk
telur, jentik, pupa dan dewasa. Stadium telur, jentik, pupa hidup secara akuatik
sedangkan bentuk dewasa hidup secara teresterial (darat/udara bebas). Pada
umumnya telur menjadi jentik kira-kira 2 hari setelah berada di dalam air. Nyamuk
betina meletakkan telur di dinding wadah di atas permukaan air dalam keadaan
menempel pada dinding wadah/ penampungan air (TPA). Fase akuatik berlangsung 8
– 12 hari yaitu larva 6-8 hari dan pupa 2-4 hari. Pertumbuhan mulai dari telur sampai
dewasa 9-12 hari dan nyamuk dapat berumur 2-3 bulan.15
Nyamuk jantan dan betina kawin setelah sesaat setelah muncul dari pupa.
Nyamuk Ae. aegypti jantan hanya hidup nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan
atau sari bunga sedangkan yang betina menghisap darah, nyamuk betina ini lebih
7
menyukai darah manusia daripada darah binatang (antropofilik). Tiga hari sesudah
menghisap darah, nyamuk betina sanggup bertelur 100 butir. Dua puluh empat jam
kemudian nyamuk itu menghisap darah lagi, selanjutnya kembali bertelur. Darah
(proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma
nyamuk jantan dapat menetas. Jumlah telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina
tergantung pada jumlah darah yang dikonsumsi. Setelah beristirahat, nyamuk betina
akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakkannya, sedikit di atas
permukaan air.
Pada umumnya, telur akan menjadi larva dalam waktu kurang lebih 2-7 hari
setelah terendam air. Telur tersebut di tempat yang kering (tanpa air). Telur tersebut
di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -20C
sanmai 420C. Apabila tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya
tinggi, maka telur dapat menetes lebih cepat.
Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti. 16
8
Jentik tumbuh dengan cepat melalui 3 tahap (instar) dalam hidupnya. Namun
instar keempat lebih lama dibandingkan 3 tahap sebelumnya, biasanya 3 hari dalam
kondisi normal dan dapat bertahan sebulan dalam kondisi dingin. Setelah instar
keempat, jentik menjadi pupa. Pupa/ kepompong tidak makan dan dalam 2 hari akan
menjadi nyamuk dewasa. Di dalam pupa terjadi metamorfosis mengubah jentik
menjadi nyamuk dewasa dengan membentuk kaki, sayap, penghisap mulut dan mata
majemuk. Pupa menjadi nyamuk dewasa membutuhkan waktu 2 hari. Waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap
darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari.
Siklus penularan DBD melibatkan tiga organisme yaitu virus, nyamuk Aedes,
dan host manusia. Ketiga kelompok ini baik secara individu maupun kelompok
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, biologi, fisik, dan juga imunitas dari host.
Kondisi lingkungan yang ada membuat pola perilaku dan status ekologi dari ketiga
kelompok tadi saling berkaitan dalam ruang dan waktu sehingga penyakit DBD
bervariasi endemisitasnya dari wilayah dan tahun yang berbeda.17
Penyebab DBD adalah virus yang masuk dalam famili Togaviridae, dengan
jenis empat serotype yaitu Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4. Nyamuk
sebagai vektor DBD di Indonesia adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes
scutellaris. Bionomik Aedes aegypti adalah kesenangan memilih tempat
perkembangbiakan (breeding places), kesenangan menggigit (feeding habit) dan
kesenangan istirahat (resting habit). Tempat perkembangbiakan nyamuk ini
merupakan genangan air yang terdapat pada suatu tempat yang dinamakan kontainer
dan bukan genangan langsung pada tanah.17
B. Surveilans Demam Berdarah Dengue
Surveilans Demam berdarah mencakup dua hal, yaitu surveilans epidemiologi
kasus dan surveilans vektor.18
1. Surveilans Epidemiologi
Surveilans epidemiologi DBD merupakan kegiatan pengumpulan secara
sistematis, pencatatan, analisis, interpretasi dan penyebarluasan data DBD sebagai
9
acuan dalam intervensi kesehatan masyarakat berupa pencegahan dan pengendalian
DBD.
Surveilans epidemiologi kasus DBD mencakup tiga hal yaitu surveilans pasif,
surveilans aktif, dan surveilans berbasis kejadian.18 Surveilans pasif merupakan
pelaporan dari setiap dokter praktik, klini, pusat kesehatan, dan rumah sakit yang
memberikan pelayanan medis terhadap masyarakat yang terkena DBD. Surveilans
aktif merupakan kegiatan lembaga kesehatan dalam memantau penyebaran DBD di
masyarakat dan mampu menyatakan kapan, lokasi kasus, tipe virus, dan jenis
kesakitan yang berhubungan dengan infeksi DBD. Surveilans berbasis kejadian
merupakan surveilans yang bertujuan menyelidiki suatu kejadian yang tidak biasa
dari suatu kejadian DBD semisal KLB DBD. Kegiatan jenis surveilans ini berbeda
dengan dua surveilans rutin sebelumnya karena harus dilakukan investigasi yang
dilakukan oleh unit epidemiologi .
2. Surveilans Vektor
Surveilans vektor dilakukan untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi,
habitat utama larva, faktor risiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan
dengan transmisi DBD, dan resistensi insektisida yang digunakan.18
Kegiatan surveilans vektor dapat dibagi menjadi beberapa kegiatan seperti survei
larva/jentik, survei nyamuk dewasa, dan pemasangan perangkap telur nyamuk. Survei
jentik dilakukan untuk mengetahui House Index (HI), Container Index (CI), dan
Breteau Index (BI). Dalam survei jentik dikembangkan pula angka kepadatan jentik
yang disajikan dalam bentuk density figure.19
Tabel 1. Density Figure Aedes sp
Density figure(DF)
House Index(HI)
Container Index(CI)
Breteau Index(BI)
1 1 – 3 1 - 2 1 - 42 4 – 7 3 - 5 5 – 93 8 – 17 6 - 9 10 – 194 18 – 28 10 -1 4 20 – 345 29 – 37 15 – 20 35 -49
10
6 38 – 49 21 - 27 50 – 747 50 -59 28 - 31 75 – 998 60 – 76 32 – 40 100 – 1999 >77 >41 >200
Dalam survei jentik ini dilakukan pula survei pupa. Survei ini dilakukan untuk
mengetahui banyaknya nyamuk dewasa yang akan muncul, karena tingkat kematian
pupa yang rendah untuk menjadi nyamuk. Indeks Pupa yang sudah dipakai ada lima
perhituangan yaitu House Pupal Index (HPI), Containers Pupal Index (CPI), Jumlah
Pupa/Rumah, Jumlah Pupa/Container, dan Jumlah Pupa/Orang.20 Surveilans vektor
yang dilakukan lainnya adalah pemasangan perangkap telur atau ovitrap. Kegiatan ini
dilakukan untuk mendeteksi keberadaan nyamuk Aedes sp yang nilainya disajikan
dalam indeks ovitrap.17,18
C. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Data Penginderaan
Jauh.
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu set perangkat komputer yang
digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah,
menganalisis, dan menampilkankembali dalam bentuk data spasial dari dunia nyata
untuk satu tujuan tertentu.21 SIG yang berbasis komputer dipandang dapat mengatasi
permasalahan dalam hal penyimpanan, pengolahan, dan penyajian berbagai macam
data geografis dalam berbagai macam bentuk dan cara. SIG memisahkan antara
penyajian data geografis dan data storage (selanjutnya disebut basis data geografis)
sehingga penyajian dapat dilakukan secara soft (pada monitor) dan pada lembaran
kertas berujud peta yang atraktif bagi pengguna dan bersifat dinamis. Penyimpanan,
pengolahan dan penyajian data dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat
sehingga memungkinkan keputusan-keputusan penting dapat dilakukan dalam waktu
yang singkat.
11
a. Sub sistem dalam Sistem Informasi Geografis
1) Masukan data (data input)
Subsistem ini berfungsi untuk mengumpulkan dan menyiapkan
data spasial dan attribut dari berbagai sumber dan format data,
sehingga di dalamnya mengandung kemampuan transformasi berbagai
format data ke dalam format data yang sesuai dalam SIG.
2). Pengolahan data (data manipulation)
Berfungsi untuk melakukan operasi-operasi spasial dan juga
pemodelan untuk menghasilkan informasi-informasi baru yang
diharapkan.
3). Manajemen data (Data Management)
Berfungsi untuk mengorganisasi baik data spasial maupun
attribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah
dipanggil, diedit, dan disimpan kembali.
4). Penyajian data (data output)
Berfungsi untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran atas
seluruh atau sebagian data spasial dan atau attribut baik dalam bentuk
softcopy maupun hardcopy ataupun dalam media online (web GIS).
Wujud dari keluaran data dapat berupa tabel, grafik, peta, dan atau
kombinasinya.
b. Komponen Sistem Informasi Geografis
Komponen penyusun SIG secara modern dapat diperinci sebagai
berikut:22
1) Jaringan/network
Hal sekarang yang mendasar adalah kebutuhan jaringan
khususnya jaringan internet. Dengan tergubungkannya antar unit-unit
maka proses komunikasi informasi data digital dapat terjadi cepat .
Internet memungkinkan data SIG divisualisasikan secara cepat dalam
memberikan informasi kepada user dalam wujud web GIS.
12
2) Perangkat keras
Komponen SIG yang satu ini terdiri dari berbagai platform,
mulai dari PC, desktop, workstation hingga multi user host. Kompenen
perangkat keras pendukung yang lain terkait dengan data input
(digitizer, scanner), dan data output (printer, plotter). Jenis platform
maupun komponen pendukung yang lain yang terbaik adalah yang
sesuai dengan kebutuhan.
3) Perangkat lunak
Ada berbagai jenis perangkat lunak dalam SIG yang tersedia di
pasar, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat canggih.
Kesemuanya itu tidak terlepas dari harga dan budget yang tersedia.
Pemilihan perangkat lunak yang sesuai dengan kebutuhan serta user
friendly adalah yang paling tepat. Selain itu juga disesuaikan dengan
kualitas sumberdaya manusia yang tersedia. Data transfer antar suatu
sistem perangkat lunak SIG yang satu dengan yang lain tidak lagi
menjadi hambatan saat ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah sistem
management data yang seragam sehingga data memungkinkan untuk
dapat digunakan oleh pengguna secara luas dengan berbagai perangkat
lunak yang berbeda.
4) Data geografis
Keberhasilan sebuah pengambilan keputusan ditentukan dengan
kualitas dan akurasi data yang dipunyai. Data atau informasi geografis
umumnya sangat erat terkait dengan skala. Data dengan kualitas bagus
pada skala global sering dipaksakan penggunaannya untuk skala yang
lebih rinci. Hal ini akan menimbulkan misinterpretasi walaupun
metode pengolahan data yang digunakan sangat teliti.
5) Prosedur
Suatu model dan teknik yang perlu dikembangkan dalam
berbagai macam aplikasi SIG.
13
6) Manusia/SDM
SIG akan berhasil dengan baik apabila dijalankan oleh
sekelompok orang yang mempunyai keahlian yang spesifik pada
berbagai tingkatan. Peranannya dalam pengoperasian perangkat keras
dan lunak, serta menangani data geografis dengan kedua perangkat
tersebut.
Gambar 2. Enam Komponen dalam GIS. 22
Integrasi antara Sistem Informasi Geografis dengan data penginderaan
jauh merupakan satu kesatuan. Data penginderaan jauh digunakan untuk
mendapatkan atau ekstraksi data terhadap kondisi lingkungan dapat berupa
penggunaan lahan yang ada saat ini, ataupun data yang sudah lama karena
kemampuan data yang tersedia bisa berupa data time-series.
Pemanfaatan data penginderaan jauh yang sekarang sering dilakukan
adalah di aplikasi Google Earth atau Google Map. Dengan aplikasi tersebut
dapat dilihat berbagai macam kombinasi jenis citra dengan berbagai resolusi
spasial, dari mulai yang rendah sampai dengan yang sangat detil
menampakkan kenampakan permukaan bumi.
14
Mobile – GIS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Sistem
Informasi Geografis pada umumnya. Teknologi mobile diciptakan seiring
dengan mobilitas masyarakat akan kebutuhan komunikasi dan informasi.
Mobile GIS merupakan suatu Sistem Informasi Nirkabel (Wireless GIS).23
Aplikasi yang digunakan dalam mobile GIS ini digunakan sebagai semacam
piranti lunak untuk memasukkan data seperti nama, posisi geografis, kodepos,
dan informasi lain yang diinginkan.
Model merupakan suatu bentuk penyederhanaan dari dunia nyata (real
world). Proses penyederhanaan ini biasanya dilakukan dengan proses
generalisasi. Model yang dibuat selalu tidak sesempurna yang dimodelkan.24
Model yang sering digunakan dalam bidang geografi adalah model spasial.
Bentuk model spasial sendiri salah satunya dalam bentuk peta dimana dalam
peta terdapat fenomena spasial. Fenomena spasial sendiri merupakan
distribusi (apa, ada dimana, berapa luasannya dan juga ada hubungan
antarobyek dalam suatu ruang (pengaruh, aksesibilitas, adjacency). Kegiatan
pemodelan spasial sendiri merupakan suatu aktivitas dalam menyusun
informasi spasial, dimulai dengan melihat fenomena spasial yang ada,
kompilasi dan pengukuran data, mengelola, analisis, sampai mendapatkan
informasi baru dalam bentuk peta.
Peta sebagai suatu bentuk model spasial dapat digunakan untuk
melakukan analisis spasial tergantung dari jenis peta yang ditampilkan.
Analisis spasial merupakan a body of technique, yang menganalisis dua hal
sekaligus yaitu suatu titik lokasi hubungannya dengan variable spasial/faktor
risiko yang mempengaruhinya atau berhubungan pada wilayah spasial atau
permukaan bumi.25
Analisis spasial yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis,
diantaranya :
a. Pengukuran, pengukuran langsung menggunakan dasar skala peta.
b. Analisis Topologi (Overlay), biasanya digunakan untuk mendapatkan
informasi baru atas dasar hubungan spasial antar variable.
15
c. Analisis Jaringan (Network Analysis), merupakan analisis spasial yang
melakukan analisis dengan dasar aliran jaringan.
d. Analisis Permukaan (Surface Analysis), merupakan analisis spasial dengan
mengeliminasi data yang tidak diperlukan agar lebih mudah dilihat
hubungan antar titik dengan unit-unit dalam satu wilayah
e. Analisis dengan jarak (Buffering) merupakan analisis spasial yang
digunakan untuk mengetahui keterpengaruhan maupun aksesibilitas satu
atau lebih obyek ke beberapa obyek lainnya.
f. Statistik spasial (Spatial Statistic), suatu analisis yang digunakan untuk
menentukan korelasi secara statistik yang terhubung dengan peta sebagai
distribusinya.
Proses dalam SIG mencakup berbagai macam analisis spasial yang
memungkinkan pemodelan sumberdaya alam, perkotaan, pembangunan
lingkungan, transportasi, dan difusi dan juga menampilkan dalam bentuk peta
tiga dimensi (3D) atau lebih serta memungkinkan bentuk model animasi.26
Beberapa tipe analisis spasial yang sering dilakukan disajikan dalam
Gambar 3
16
Gambar 3. Tipe Analisis Spasial dalam SIG. (a) analisis buffer dan overlay, (b)analisis multi dimensi dan permukaan, (c) Analisis jaringan, dan (d)Analisis grid dan raster. 26
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis yang pada awalnya adalah untuk
survei sumberdaya alam, ternyata mengalami peningkatan yang pesat, hampir semua
bidang sekarang telah memanfaatkan SIG karena kemampuan analisis spasialnya
yang sangat baik. Aplikasi SIG yang didukung data penginderaan jauh berupa citra
satelit sebagai data masukan dan data lapangan yang diperoleh dari GPS dapat secara
baik menampilkan data spasial dan juga data atribut (berupa data statistik) yang
secara periodik dapat diperbarui. SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer
yang mempunyai kemampuan dalam masukan data, management data dan mengolah
informasi-informasi geografis, dan menyajikannya dalam berbagai bentuk sesuai
dengan tujuan penyajian.26
SIG telah banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan masyarakat terutama
untuk penentuan kebijakan, epidemiologi penyakit, pemetaan sarana dan prasarana
kesehatan serta kegiatan surveilans. Surveilans DBD adalah kegiatan pengumpulan,
pengolahan, analisis, dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke
penyelenggara program, instansi dan pihak terkait secara sistematis dan terus menerus
17
tentang kondisi dan situasi DBD yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan pengendalian secara
efisien dan efektif.27
Pemanfaatan SIG dalam surveilans DBD sangat bermanfaat bagi negara
berkembang yang beban penyakit DBD masih tinggi dan sangat bermanfaat dalam
surveilans DBD internasional khususnya penyebaran lintas batas negara.28
Gambar 4. Framework Surveilans DBD secara Spasial. 29
18
III.METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep, Hipotesis dan Definisi OperasionalKerangka Konsep
Hipotesis
1. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi kejadian kasus DBD
di Kota Palu.
2. Terdapat pola spasial cluster/mengelompok di Kota Palu
3. Terdapat trend pergerakan kasus DBD di Kota Palu.
4. Semakin tinggi ABJ semakin rendah kejadian kasus DBD di Kota Palu.
Variabel Independen
Faktor Demografi- Kepadatan Penduduk
Faktor Lingkungan- Keberadaan Jentik- Curah Hujan- Suhu Udara- Kelembaban Udara- Penggunaan Lahan
Faktor Manusia- Pekerjaan- Usia- Jenis Kelamin- Perilaku
Kejadian Kasus DBD
Variabel dependen
19
Definisi operasional
No. Variabel Definisi Operasional Metodepengukuran
1. Kejadian /kasus DBD Penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak danterus menerus selama 2-7 hari,disertai dengan manifestasiperdarahan, pembesaran hati,kadang-kadang shok yang dapatmenyebabkan kematian yangdilaporkan oleh puskesmas, dinkes,dan rumah sakit
Review DataSekunder
2. Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk di suatu daerahdibagi dengan luas daratan daerahtersebut, biasanya dinyatakansebagai penduduk per km2
Review DataSekunder
3. Keberadaan Jentik Ada atau tidaknya jentik ditemukandi kontainer di lingkungan rumahyang disurvei (dalam dan luar)rumah.
Survei
4. Suhu udara Kondisi udara yang ditentukandengan mendukung terjadinyakasus demam berdarah dengue
Review DataSekunder
5. Curah hujan Air hujan yang ditentukan denganmendukung terjadinya kasus DBDyang merupakan hasil dari stasiunhujan atau data pengamatanlainnya.
Review DataSekunder
6. Kelembaban Konsentrasi uap air di udara ataubanyaknya kandungan uap air diatmosfer
Review DataSekunder
7. Penggunaan Lahan Informasi tentang pemanfaatanlahan untuk peruntukannya
Data CitraSatelit danSurvei
8. Pekerjaan Kegiatan pokok responden atauyang memberikan penghasilanterbesar bagi keluarga/sendiri
Wawancara
9. Usia Lama waktu hidup seseorangberdasarkan tanggal, bulan dantahun kelahiran
Wawancara
20
10. Jenis Kelamin Laki-laki atau perempuan Wawancara
11. Perilaku Kebiasaan/kegiatan respondenterkait dengan pemberantasansarang nyamuk demam berdarah
Wawancara
12. Aspek Data Spasial Data terkait posisi koordinat kasusDBD, lokasi posisi survei jentik,dan pemasangan ovitrap
Survei
B. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah dan
waktu penelitian dilakukan pada April sampai dengan November 2016
D. Populasi dan Sampel
1. Definisi Populasi dan Sampel
Populasi pemetaan kasus adalah seluruh kasus DBD dari Januari 2011 – Juni
2016.
Populasi keberadaan jentik adalah nyamuk pradewasa di seluruh Kota Palu
Populasi wawancara PSN adalah seluruh rumah tangga dan pelaksana
program DBD di Kota Palu. Untuk wawancara rumah tangga dilakukan untuk
kegiatan pengurasan dan penggunaan larvasida yang diisikan di form survei
entomologi.
Sampel pemetaan kasus adalah seluruh populasi yang meliputi semua kasus
DBD yang dilaporkan dari Januari 2011 – 2016.
Sampel keberadaan jentik adalah nyamuk pradewasa yang tertangkap di
masing-masing kelurahan di Kota Palu.
Sampel wawancara PSN adalah pengelola DBD Dinas Kota, Puskesmas, dan
Kader yang ditunjuk di tiap tiap kelurahan. Untuk wawancara terhadap kader
21
yang ditetapkan sebagai Jumantik tidak dilakukan wawancara karena di Kota
Palu belum ada kader yang ditunjuk tiap tiap kelurahan menjadi Jumantik.
2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi pemetaan kasus adalah kasus DBD baik yang meninggal atau
sembuh yang dilaporkan oleh puskesmas/rumahsakit/dinas kesehatan dan
bertempat tinggal di Kota Palu selama Januari 2011 – Juni 2016. Kriteria
inklusi survei jentik adalah jentik yang berada pada lingkungan rumah
penduduk dan tempat-tempat umum.
Kriteria eksklusi pemetaan kasus adalah kasus DBD yang dilaporkan tetapi
tidak bertempat tinggal di Kota Palu serta waktu sebelum Januari 2011 dan
setelah Juni 2016. Kriteria eksklusi survei jentik adalah rumah atau tempat-
tempat umum yang menolak untuk diperiksa, rumah/tempat umum yang
terkunci atau tidak mendapatkan akses untuk masuk.
3. Besar Sampel
Sampel rumah pengambilan jentik nyamuk DBD tergantung pada tingkat
ketepatan yang diinginkan, tingkat infestasi serta sumber daya yang tersedia.
Semakin banyak jumlah rumah yang diperiksa akan meningkatkan
ketepatannya, tetapi hal ini kurang praktis karena keterbatasan sumber daya
manusia. Dalam penelitian ini besar sampel untuk survei jentik minimal 100
rumah di setiap kelurahan di Kota Palu.
4. Cara Pemilihan Sampel
Dalam pemilihan sampel untuk kegiatan survei jentik yang dilakukan pada
rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat umum dilakukan dengan cara
systematic sampling.
E. Instrumen Pengumpulan DataInstrumen yang digunakan meliputi :
Alat pemetaan : Global Positioning System (GPS) handheld dan mobilephones
untuk memetakan kasus DBD dan lokasi sampel rumah responden dan TTU.
22
Citra satelit dengan resolusi tinggi dengan perekaman beda waktu untuk
kegiatan pemetaan blok rumah kasus. Komputer dan perangkat lunak untuk
pengolahan data lapangan dan sekunder.
Cara pengumpulan data :
Data sekunder berupa data yang diperoleh dari laporan penderita DBD di Dinas
Kesehatan Kota Palu yaitu laporan rutin penderita DBD di wilayah Kota Palu
tahun 2011-2016. Data Iklim berupa curah hujan, kelembaban dan suhu
diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Palu. Sedangkan
data demografi/kependudukan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Palu. Peta administrasi dan data spasial terkait tata guna lahan didapatkan dari
Badan Perencanna Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu.
Data primer diperoleh dengan melakukan survei pada alamat penderita dan
melakukan pengambilan koordinat dengan alat GPS untuk menentukan posisi
titik koordinat kasus kejadian DBD dan rumah responden sampel terpilih
wawancara. Survei jentik dilakukan dengan melihat tempat penampungan air
bersih yang ada di dalam rumah maupun di luar rumah untuk mengetahui larva
Aedes aegypti.
Pemasangan ovitrap juga dilakukan untuk mengetahui kepadatan telur di
rumah-rumah yang menjadi sampel. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui
kepadatan jentik Aedes aegypti salah satunya adalah Angka Bebas Jentik (ABJ).
ABJ merupakan persentase jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan
jentik dibanding jumlah rumah/bangunan yang diperiksa.
F. Bahan dan Prosedur Pengumpulan DataBahan
Pemetaan : Citra Satelit resolusi tinggi : Quickbird, Orbview, Google Earth
images, Peta Rupa Bumi (RBI) Digital wilayah Kota Palu.
Survei jentik : gayung, pipa/pipet, plastik larva, Oviposition Trap (ovitrap)
dan senter.
23
Prosedur Kerja
Survei pendahuluan
- Kegiatan ini dilakukan untuk koordinasi dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kesehatan Kota Palu, dan dengan
Puskesmas se Kota Palu.
- Koordinasi dengan Bappeda, BPS dan BMKG sebagai pendukung data
sekunder penelitian ini.
- Melengkapi lokasi unit sampel di masing masing kelurahan yang di
survei.
Pemetaan
- Menyiapkan peta dasar daerah penelitian berupa Peta RBI Digital .
- Menyiapkan Citra Satelit Resolusi Tinggi kemudian diinterpretasi
untuk melihat penggunaan lahan di daerah Kota Palu dan lokasi
penelitian .
- Penentuan peta tentatif lokasi penelitian berdasarkan peta penggunaan
lahan dan administrasi unit daerah penelitian.
- Menyusun form survei jentik baik berupa file dan juga cetakannya.
Untuk form digital dapat dihubungkan dengan mobile-GIS.
- Survei di lapangan dengan memetakan rumah-rumah kasus yang
disurvei, lokasi survei jentik, dan lokasi ovitrap yang dipasang
menggunakan GPS.
- Pengisian form dengan menanyakan terhadap kepala rumah tangga di
masing-masing kelurahan.
- Pemasukan data GPS ke komputer.
- Editing dan analisis data menggunakan software SIG.
- Pembuatan layout peta
Survei Telur
- Pemasangan ovitrap juga dilakukan untuk menghitung kepadatan telur
nyamuk dengan meletakan ovitrap di masing-masing rumah sebanyak
24
dua ovitrap yaitu di dalam dan luar rumah. Jumlah ovitrap yang
dipasang minimal 160 buah untuk 80 rumah.
- Ovitrap diisi air kurang lebih 2/3 bagian dan diberi padel sebagai
tempat meletakan telur bagi nyamuk. Pengamatan keberadaan telur
dengan melihat ada tidaknya telur di padel atau dengan pemeriksaan
jentik di dalam ovitrap.
- Pemeriksaan padel dilakukan biasanya sekali seminggu, tetapi untuk
tujuan tertentu dapat dilakukan sekali dalam 24 jam18. Pada penelitian
ini dilakukan selama 48 jam.
- Perhitungan Ovitrap Indeks (%)17 :
Survei Jentik
- Survei jentik dilakukan pada 100 rumah terpilih. Survei dan pemilihan
rumah dilakukan dengan pendekatan systematic sampling. Survei
jentik ini akan menghitung House Index (HI), Containers Index (CI),
Breateu Index (BI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) .
- Survei jentik dilakukan pada semua kontainer baik di dalam dan luar
rumah.
- Menghitung jumlah jentik yang diperiksa pada setiap rumah yang
diperiksa
- Perhitungan House Index (HI) :
- Perhitungan Containers Index (CI) :
- Perhitungan Breateu Index (BI):
25
Survei Pupa
Survei ini dilakukan untuk mengetahui banyaknya nyamuk dewasa yang
akan muncul, karena tingkat kematian pupa yang rendah untuk menjadi
nyamuk. Indeks Pupa yang sudah dipakai ada lima perhituangan yaitu
House Pupal Index (HPI), Containers Pupal Index (CPI), Jumlah
Pupa/Rumah, Jumlah Pupa/Container, dan Jumlah Pupa/Orang20.
- Perhitungan House Pupal Index (PI):
- Perhitungan Container Pupal Index (CPI):
- Perhitungan Jumlah Pupa/Rumah:
- Perhitungan Jumlah Pupa/Kontainer:
- Perhitungan Jumlah Pupa/Orang :
G. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan berupa pemetaan menggunakan GPS akan dianalisis
dengan digabungkan dengan data sekunder yang dikumpulkan. Data wawancara
pada tenaga kesehatan tentang pelaksanaan PSN akan dimasukkan kemudian
dianalisis untuk mengetahui frekuensi masing-masing faktor yang
ditanyakan,apakah program tersebut dilaksanakan sesuai perencanaan dan
hambatan/masalah yang dihadapi selama dilakukan.
26
Dalam pengembangan model data dan informasi spasial untuk kegiatan
surveilans, informasi waktu sangat bermanfaat untuk analisis kajian spasial-
temporal suatu kasus .
Hubungan distribusi spasial DBD dengan kepadatan penduduk dianalisis
menggunakan Analysis Spatially Weighted Regression (Spatial Error Model).
Data distribusi kasus DBD dianalisis menggunakan analisis nearest neighbour
analysis dan space-time permutation. Analisis ini digunakan untuk menentukan
spatial clustering kasus DBD di suatu wilayah yang didasarkan pada jarak
geografis dan waktu kejadian kasus .
Model daerah berisiko demam berdarah menggunakan point pattern analysis
yaitu Kernel Density Estimate (KDE). Sedangkan model kecenderungan arah
pergerakan kasus DBD menggunakan Standard Deviation Ellipses (SDE).26
Model prediktif kejadian kasus dengan variabel lingkungan yaitu curah hujan
dan suhu menggunakan analisis cross-correlation function) dan regresi Poisson.
Kemudian data hasil wawancara karena hanya wawancara terbuka terhadap
pengelola DBD di tingkat Dinas Kesehatan Kota dan Puskesmas dilakukan
analisis driskiptif
27
IV. HASIL
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Kota Palu
merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah yang secara astronomis terletak pada
0° 38’ - 0° 56’ LS dan 119° 45’ - 120° 1’ BT. Batas-batas administrasi Kota Palu
sebagai berikut
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Donggala
- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Parigi
Moutong
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sigi.
Pada tahun 2015 secara administrasi, Kota Palu terbagi menjadi delapan
kecamatan. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tawaeli, Palu Utara, Mantikulore,
Palu Timur, Palu Selatan, Tatanga, Palu Barat, dan Ulujadi. Sampai tahun 2016 ini
jumlah kelurahan yang ada di Kota Palu sejumlah 46 kelurahan dari sebelumnya 45
kelurahan. Kelurahan yang terakhir adalah Talise Valangguni yang merupakan
pemekaran dari kelurahan Talise pada tahun 2015 juga.
Topografi Kota Palu sangat beragam dari lembah, dataran sampai dengan
perbukitan dan berada di suatu kawasan teluk . Ketinggian tempat di Palu antara 0 –
700 m di atas permukaan air laut (dpal). Kota Palu juga memiliki iklim yang spesifik
. Jika di wilayah lain di Indonesia pada umumnya ada dua musim, yaitu musim hujan
dan kemarau tetapi untuk Kota Palu ini merupakan daerah yang tidak bisa
digolongkan sebagai daerah musim. Namun Kota Palu digolongkan sebagai daerah
Non Zona Musim.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, penduduk Kota Palu pada tahun 2015
berjumlah 368.086 pendudu. Penduduk dengan jenis kelamin wanita lebiha banyak
yaitu sekitar 182.981 dibandingkan penduduk pria yang berjumlah 185.105.
Penelitian ini dilakukan pada delapan kecamatan dengan 45 kelurahan di Kota Palu
28
yang memiliki jumlah Puskesmas sebanyak 13 Puskesmas (Tahun 2016 diresmikan
pemakaian Puskesmas yang ke 13).
Peta 1. Lokasi Penelitian di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah
B. Pemetaan dan Survei Kasus Demam Berdarah Dengue Tahun 2011-2016
Data kasus DBD Kota Palu dari tahun 2011 sampai dengan kasus Juni
2016 diperoleh dari pengelola DBD Dinas Kota Palu. Kasus DBD Tahun 2011 –
Bulan Juni Tahun 2016 mengalami fluktuasi. Jumlah kasus dari tahun 2011
merupakan kasus yang tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir sebanyak
29
1061 kasus. Kemudian Tahun 2012 mengalami penurunan kasus sebanyak 10
menjadi 1051 kasus. Kasus terendah dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi
pada tahun 2014 sebanyak 580 kasus. Namun pada tahun 2015 kembali mengalami
kenaikan menjadi 653 kasus. Pada semester pertama tahun 2016 (Laporan bulan
Juni), kasus DBD yang dilaporkan sudah mencapai angka 480 kasus. Berikut grafik
laporan kasus DBD Kota Palu dari Tahun 2011 – Juni 2016.
Grafik 1. Jumlah Kasus DBD di Kota Palu Tahun 2011 - Juni 2016
Pemetaan kasus DBD dilakukan dengan menggunakan GPS dengan mendatangi
rumah kasus yang tertera di dalam data laporan kasus. Tidak semua kasus DBD yang
terdapat dalam laporan berhasil ditemukan dan dapat dipetakan. Pada laporan kasus
DBD kurun waktu 2011-2015 banyak alamat yang tidak lengkap dan tidak ada nomer
kontak telepon keluarga penderita DBD. Hasil pemetaan kasus DBD Kota Palu
disajikan pada Peta 2.
30
Gambar 5. Hasil Pemetaan Kasus DBD dan Data Atribut penyertanya
Peta 2. Distribusi Kasus DBD Kota Palu Tahun 2011 – Juni (2016)
31
Distribusi kasus dengan kepadatan penduduk Kota Palu untuk data kepadatan
penduduk data tahun 2015 didapatkan hasil yang disajikan pada peta ini.
Peta 3. Hasil overlay DBD dengan peta kepadatan penduduk.
Hasil overlay kasus DBD dengan peta kepadatan penduduk dapat diketahui
distribusi kasus sebagian besar berada pada kelurahan yang memiliki kepadatan
tinggi khususnya yang berada di pusat Kota Palu.
Analisis pola sebaran untuk gabungan data tahun 2011-2016 dengan
menggunakan analisis Nearest Neighbor didapatkan pola sebaran kasus
mengelompok (meng-cluster) di pusat Kota Palu daerah yang memiliki ketinggian
rendah.
32
Gambar 6. Pola Kasus DBD Gabungan Tahun 2011 – 2016 dengan AnalisisNearest Neighbor.
Untuk pengelompokan kasus DBD Tahun 2011-2016 secara spasial-
temporal yang distribusi kasus DBD memperhitungkan waktu kejadian dan
keterdekatan antar kasus didapatkan 2 daerah dengan klaster yang signifikan.
Wilayah klater tersebut memiliki p-value 0,021 untuk area pertama. Waktu
kejadian kasus DBD yang memiliki nilai signifikan tersebut antara rentang waktu
33
1 Maret – 30 November 2011 dengan jumlah 25 kasus. Selanjutnya untuk klaster
kedua didapatkan hasil p-value 0,037 dengan rentang waktu kasus 1 Mei – 30
Juni 2013 dengan jumlah 17 kasus . Penyajian hasil analisis dengan space-time
permutation untuk penentukan area klasternya disajikan dalam Peta.
Peta 4. Pola Pengelompokan Kasus DBD secara Spasial Temporal Kota Palu.
Peta 5. Pola Pengelompokan Kasus DBD secara Spasial Temporal Daerah Klaster 1dan 2.
34
C. Pengembangan Model Spasial Distribusi Kasus Demam Berdarah Dengue
Distribusi kasus DBD yang disajikan dalam peta distribusi kasus merupakan
suatu penyajian dalam bentuk model spasial diskriptif. Analisis dalam SIG
memungkinkan dilakukan pengembangan dari model spasial yang ada. Hasil berikut
merupakan pengembangan yang dilakukan untuk mengetahui trend arah pergerakan
kasus yaitu dengan model Standard Deviational Ellipse (SDE) dan model daerah
berisiko yaitu dengan metode Kernel Density Estimation (KDE).
Trend pergerakan kasus Tahun 2011 – 2016 yang dianalisis dengan model
Standard Deviational Ellipse, yaitu arah elips tersebut menunjukan trend pergerakan
kasus, mengalami penularan atau penyebaran kasus. Hasil analisis dengan gabungan
data kasus DBD tahun 2011 – bulan Juni 2016 menunjukkan hasil bahwa transmisi
DBD cenderung ke arah utara dan selatan dari pusat Kota Palu.
Peta 6. Trend pergerakan kasus DBD Tahun 2011 – 2016 dengan metode StandardDeviational Ellipse di Kota Palu.
35
Penentuan zonasi daerah berisiko DBD di Kota Palu dengan menggunakan
analisis kepadatan titik kasus yang dipetakan. Model spasial ini dikembangkan
dengan analisis Kernel Density. Dengan dikembangkan analisis ini diharapkan
daerah-daerah dengan potensial tinggi penularan DBD menjadi prioritas penanganan
dan yang masih rendah dapat melakukan pencegahan sedini mungkin.
Gambar 7. Model Spasial Daerah Berisiko DBD di Kota Palu.
36
Pada Gambar 7 yang merupakan hasil analisis Kernel Density dapat diketahui
daerah berisiko paling tinggi yang merupakan warna merah dengan gradasi paling
gelap. Wilayah pusat kota meliputi Lolu Utara, Lolu Selatan, Siranindi, Kamonji,
Ujuna, Tatura Utara. Untuk wilayah di luar pusat kota meliputi Palupi, Pengawu, dan
Mamboro.
Untuk daerah yang diwaspadai karena berada di tingkat bawahnya meliputi
Lasoani, Petobo, Tondo
D. Kasus DBD dengan Data Iklim Kota Palu Tahun 2011-2015Analisis data kasus DBD dengan data iklim dari BMKG untuk kejadian kasus
DBD tahun 2011-2015. Hal yang sama juga dengan data iklim meliputi curah hujan,
suhu, dan kelembaban juga untuk tahun pengukuran tahun 2011-2015 (Grafik 2-4).
Grafik 2. Pola Fluktuasi Kasus DBD dengan Curah Hujan di Kota PaluTahun 2011-2015.
Grafik 3. Pola Fluktuasi Kasus DBD dengan Suhu Udara di Kota PaluTahun 2011-2015.
37
Grafik 4. Pola Fluktuasi Kasus DBD dengan Kelembaban Udara di Kota PaluTahun 2011-2015.
E. Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue1. Survei Jentik
Survei jentik dilakukan pada 45 kelurahan di Kota Palu. Survei dilakukan
pada 100 rumah tangga sampel dan beberapa Tempat-tempat Umum (TTU) yang ada
di lokasi sampel. Survei jentik ini dilakukan pada kontainer di dalam dan luar rumah
untuk menghitung indikator entomologi.
Kegiatan survei jentik dilakukan pertengahan Oktober sampai dengan minggu
pertama November 2016. Hasil indikator entomologi berupa HI, CI, BI, dan ABJ
disajikan dalam Tabel berikut:
Tabel 2. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu BaratKota Palu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Baru 37 13,6 50 63Kamonji 40 14,2 57 60Siranindi 33 9,3 36 67Ujuna 36 12,7 45 64Lere 33,7 10,9 42,6 66,3Balaroa 43 12,8 56 57Rata-rata Palu Barat 37,1 12,2 47,8 62,9
38
Hasil pengukuran indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari
HI, CI,BI, dan ABJ di Kecamatan Palu Barat (Tabel 2) didapatkan nilai HI tertinggi
di Kelurahan Balaroa dan terendah di Kelurahan Siranindi. Kelurahan dengan nilai CI
tertinggi di Kelurahan Kamonji dan terendah di Kelurahan Siranindi. Untuk indeks
jentik berupa BI, kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Kamonji
dan terendah di Kelurahan Balaroa. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan
Palu Barat didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Kelurahan Siranindi dan terendah di
Kelurahan Balaroa.
Tabel 3. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Ulujadi KotaPalu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Watusampu 23 9,2 34 77Buluri 36 14,1 57 64Tipo 31 8,7 42 69Silae 64 19,3 114 36Kabonena 44 12,8 61 56Donggala Kodi 55 23,2 86 45Rata-rata Ulujadi 42,2 14,6 65,7 57,8
Indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari HI, CI,BI, dan
ABJ di Kecamatan Ulujadi (Tabel 3) didapatkan nilai HI tertinggi di Kelurahan Silae
dan terendah di Kelurahan Watusampu. Kelurahan dengan nilai CI tertinggi di
Kelurahan Donggala Kodi dan terendah di Tipo. Untuk indeks jentik berupa BI,
kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Silae dan terendah di
Kelurahan Watusampu Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan Ulujadi
didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Watusampu dan terendah di Kelurahan Silae.
39
Tabel 4. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Tatanga KotaPalu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Pengawu 72 27,3 140 28Palupi 63 21,9 131 37Duyu 65,3 21,8 141,6 34,7Nunu 53,5 22,1 99 47,5Tavanjuka 40,2 14,5 59,8 59,8Boyaoge 41 13,1 56 59Rata-rata Tatanga 55,8 20,1 104,6 44,3
Hasil pengukuran indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari
HI, CI,BI, dan ABJ di Kecamatan Tatanga (Tabel 4) didapatkan nilai HI tertinggi di
Kelurahan Pengawu dan terendah di Kelurahan Tavanjuka. Kelurahan dengan nilai CI
tertinggi di Kelurahan Pengawu dan terendah di Kelurahan Boyaoge. Untuk indeks
jentik berupa BI, kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Duyu dan
terendah di Kelurahan Boyaoge. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan
Tatanga didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Kelurahan Tavanjuka dan terendah di
Kelurahan Pengawu.
Tabel 5. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu SelatanKota Palu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Tatura Utara 50,5 18,7 77,3 49,5Tatura Selatan 45 16,2 56,0 55Birobuli Utara 47 21,6 82,0 53Birobuli Selatan 40 13,4 48,0 60Petobo 29 8,2 33,0 71Rata-rata Palu Selatan 42,3 15,6 59,3 57,7
Indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari HI, CI,BI, dan
ABJ di Kecamatan Palu Selatan (Tabel 5) didapatkan nilai HI tertinggi di Kelurahan
40
Tatura Utara dan terendah di Kelurahan Petobo. Kelurahan dengan nilai CI tertinggi
di Kelurahan Birobuli Utara dan terendah di Petobo. Untuk indeks jentik berupa BI,
kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Birobuli Utara dan terendah
di Kelurahan Petobo. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan Palu Selatan
didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Petobo dan terendah di Kelurahan Tatura
Utara.
Tabel 6. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu TimurKota Palu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Lolu Utara 41,4 18,3 71,7 58,6Lolu Selatan 29,3 11,0 39,4 70,7Besusu Barat 24,2 10,0 32,3 75,8Besusu Tengah 36 12,2 45,0 64Besusu Timur 38,4 16,5 59,6 61,6Rata-rata Palu Timur 33,9 13,6 49,6 66,1
Hasil pengukuran indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari
HI, CI,BI, dan ABJ di Kecamatan Palu Timur (Tabel 6) didapatkan nilai HI tertinggi
di Kelurahan Lolu Utara dan terendah di Kelurahan Besusu Barat. Kelurahan dengan
nilai CI tertinggi di Kelurahan Lolu Utara dan terendah di Kelurahan Besusu Barat.
Untuk indeks jentik berupa BI, kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di
Kelurahan Lolu Utara dan terendah di Kelurahan Besusu Barat. Hasil perhitungan
ABJ untuk wilayah Kecamatan Palu Timur didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di
Kelurahan Besusu Barat dan terendah di Kelurahan Lolu Utara.
Indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari HI, CI,BI, dan
ABJ di Kecamatan Mantikulore (Tabel 7) didapatkan nilai HI tertinggi di Kelurahan
Layana Indah dan terendah di Kelurahan Poboya. Kelurahan dengan nilai CI tertinggi
di Kelurahan Kawatuna dan terendah di Poboya. Untuk indeks jentik berupa BI,
kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Layana Indah dan terendah
di Kelurahan Poboya. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan Mantikulore
41
didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Kelurahan Poboya dan terendah di Kelurahan
Layana Indah.
Tabel 7. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan MantikuloreKota Palu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Layana Indah 60 21,1 100,0 40Tondo 55,1 20,8 89,8 44,9Talise 45 17,4 55,0 55Poboya 19,2 7,0 25,3 80,8Kawatuna 58 25,7 96,0 42Lasoani 44,4 17,3 60,6 55,6Tanamodindi 53 19,9 80,0 47Rata-rata Mantikulore 47,8 18,5 72,4 52,2
Indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari HI, CI,BI, dan
ABJ di Kecamatan Mantikulore (Tabel 7) didapatkan nilai HI tertinggi di Kelurahan
Layana Indah dan terendah di Kelurahan Poboya. Kelurahan dengan nilai CI tertinggi
di Kelurahan Kawatuna dan terendah di Poboya. Untuk indeks jentik berupa BI,
kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Layana Indah dan terendah
di Kelurahan Poboya. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan Mantikulore
didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Kelurahan Poboya dan terendah di Kelurahan
Layana Indah.
Tabel 8. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Palu UtaraKota Palu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Mamboro 53,5 23,4 90,9 46,5Mamboro Barat 54 25,8 97,0 46Taipa 58 24,3 104,0 42Kayumalue Pajeko 41 20,2 70,0 59Kayumalue Ngapa 45 15,8 64,0 55Rata-rata Palu Utara 50,3 21,9 85,2 49,7
42
Hasil pengukuran indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari
HI, CI,BI, dan ABJ di Kecamatan Palu Utara (Tabel 8) didapatkan nilai HI tertinggi
di Kelurahan Taipa dan terendah di Kelurahan Kayumalue Pajeko. Kelurahan dengan
nilai CI tertinggi di Kelurahan Mamboro Barat dan terendah di Kelurahan Kayumalue
Ngapa. Untuk indeks jentik berupa BI, kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di
Kelurahan Taipa dan terendah di Kelurahan Kayumalue Ngapa. Hasil perhitungan
ABJ untuk wilayah Kecamatan Palu Utara didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di
Kelurahan Kayumalue Pajeko dan terendah di Kelurahan Taipa.
Tabel 9. Indikator Entomologi DBD Menurut Kelurahan di Kecamatan Tawaeli KotaPalu Oktober – November 2016
KelurahanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Pantoloan Boya 53 17,9 87,0 47Pantoloan 57 20,9 95,0 43Baiya 60 23,6 92,0 40Panau 38 16,1 50,0 62Lambara 46 17,9 77,0 54Rata-rata Tawaeli 50,8 19,3 80,2 49,2
Hasil pengukuran indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari
HI, CI,BI, dan ABJ di Kecamatan Tawaeli (Tabel 9) didapatkan nilai HI tertinggi di
Kelurahan Baiya dan terendah di Kelurahan Panau. Kelurahan dengan nilai CI
tertinggi di Kelurahan Baiya dan terendah di Kelurahan Panau. Untuk indeks jentik
berupa BI, kelurahan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kelurahan Pantoloan dan
terendah di Kelurahan Panau. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah Kecamatan
Tawaeli didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Kelurahan Panau dan terendah di
Kelurahan Baiya.
43
Tabel 10. Indikator Entomologi DBD Menurut Kecamatan di Kota Palu Oktober –November 2016
KecamatanIndikator Survei Entomologi
HI(%) CI(%) BI (%) ABJ (%)Palu Barat 37,1 12,2 47,8 62,9Ulujadi 42,2 14,6 65,7 57,8Tatanga 55,8 20,1 104,6 44,3Palu Selatan 42,3 15,6 59,3 57,7Palu Timur 33,9 13,6 49,6 66,1Mantikulore 47,8 18,5 72,4 52,2Palu Utara 50,3 21,9 85,2 49,7Tawaeli 50,8 19,3 80,2 49,2Rata-rata Kota Palu 45,03 16,98 70,60 54,99
Hasil pengukuran indikator entomologi berupa indeks jentik yang terdiri dari
HI, CI,BI, dan ABJ untuk rata-rata Kota Palu (Tabel 10) dapat diketahui dengan
menggabungkan data pada tiap kecamatan. Indeks jentik untuk HI tertinggi di
Kecamatan Tatanga dan terendah di Kecamatan Palu Timur. Kecamatan dengan nilai
CI tertinggi di Kecamatan Palu Utara dan terendah di Kecamatan Palu Barat. Untuk
indeks jentik berupa BI, kecamatan yang memiliki nilai BI tertinggi di Kecamatan
Tatanga dan terendah di Kecamatan Palu Barat. Hasil perhitungan ABJ untuk wilayah
Kota Palu didapatkan hasil nilai tertinggi ABJ di Palu Timur dan terendah di
Kecamatan Tatanga.
Pada survei jentik dilakukan juga perhitungan pupa untuk mengetahui potensi
menjadi nyamuk yang kebih tinggi dibandingkan dari jentik. Hasil perhitungan pupa
untuk mengetahui Indeks Pupa yang meliputi CPI, HPI, pupa/orang, pupa/kontainer,
dan pupa/rumah. Berikut merupakan Indeks Pupa di semua kelurahan di Kota Palu.
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Palu Barat didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Baru dan terendah di Kelurahan Siranindi (Tabel 11).
Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Balaroa dan terendah di Kelurahan
Siranindi. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan Balaroa dan
terendah di Kelurahan Siranindi. Kelurahan dengan perhitungan pupa/container
44
tertinggi berada di kelurahan Baru dan Balaroa, sedangkan terendah di Kelurahan
Siranindi. Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan Palu Barat tertinggi
nilainya di Kelurahan Balaroa, dan terendah di Kelurahan Siranindi.
Tabel 11. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Barat Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Baru 6,2 18,0 4,6 1,3 0,9Kamonji 4,0 14,0 2,6 0,6 0,5Siranindi 2,6 10,0 1,8 0,5 0,4Ujuna 4,2 12,0 4,3 1,1 0,9Lere 5,1 14,9 4,2 1,1 0,8Balaroa 5,9 19,0 5,8 1,3 1,3Rata-rata Palu Barat 4,7 14,7 3,9 1,0 0,8
Tabel 12. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Ulujadi Kota Palu
Oktober – November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Watusampu 2,4 5,0 0,3 0,1 0,1Buluri 6,9 15,0 6,4 1,6 1,4Tipo 3,3 14,0 3,8 0,8 0,8Silae 6,9 28,0 8,8 1,5 1,8Kabonena 3,4 12,0 1,6 0,3 0,3Donggala Kodi 13,5 35,0 4,7 1,3 0,9Rata-rata Ulujadi 6,1 18,2 4,3 0,9 0,9
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Ulujadi didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Donggala Kodi dan terendah di Kelurahan Watusampu (Tabel
2). Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Donggala Kodi dan terendah di
Kelurahan Watusampu. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan
Silae dan terendah di Kelurahan Watusampu. Kelurahan dengan perhitungan
pupa/container tertinggi berada di kelurahan Buluri, sedangkan terendah di Kelurahan
45
Watusampu. Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan Ulujadi tertinggi
nilainya di Kelurahan Silae, dan terendah di Kelurahan Watusampu.
Tabel 13. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Tatanga Kota Palu Oktober– November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Pengawu 12,5 39,0 7,8 1,5 1,7Palupi 9,0 34,0 11,5 1,9 2,6Duyu 9,2 36,6 0,5 0,1 0,1Nunu 6,8 28,3 18,9 3,4 4,1Tavanjuka 5,8 20,6 1,5 0,4 0,3Boyaoge 3,7 16,0 1,2 0,3 0,2Rata-rata Tatanga 7,8 29,1 6,9 1,3 1,5
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Tatanga didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Pengawu dan terendah di Kelurahan Boyaoge (Tabel 13).
Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Pengawu dan terendah di
Kelurahan Boyaoge. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan Nunu
dan terendah di Kelurahan Duyu. Kelurahan dengan perhitungan pupa/container
tertinggi berada di Kelurahan Nunu, sedangkan terendah di Kelurahan Duyu.
Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan Tatanga tertinggi nilainya di
Kelurahan Nunu, dan terendah di Kelurahan Duyu.
Tabel 14. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Selatan Palu Oktober –November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Tatura Utara 9,7 32,0 10,4 2,5 2,0Tatura Selatan 8,7 21,0 4,5 1,3 1,0Birobuli Utara 7,6 24,0 5,7 1,5 1,2Birobuli Selatan 5,3 18,0 4,5 1,3 0,9Petobo 3,2 12,0 1,2 0,3 0,3Rata-rataPalu Selatan
6,9 21,4 5,3 1,4 1,1
46
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Palu Selatan didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Tatura Utara dan terendah di Kelurahan Petobo (Tabel 14).
Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Tatura Utara dan terendah di
Kelurahan Petobo. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan Tatura
Utara dan terendah di Kelurahan Petobo. Kelurahan dengan perhitungan
pupa/container tertinggi berada di Kelurahan Tatura Utara dan terendah di Kelurahan
Petobo. Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan Palu Selatan tertinggi
nilainya di Kelurahan Tatura Utara dan terendah di Kelurahan Petobo.
Tabel 15. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Timur Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Lolu Utara 5,9 20,2 2,1 0,5 0,4Lolu Selatan 2,3 7,1 7,5 1,9 1,5Besusu Barat 3,1 8,1 0,4 0,1 0,1Besusu Tengah 2,4 9,0 0,6 0,2 0,1Besusu Timur 5,6 17,2 8,1 2,2 1,7Rata-rata Palu Timur 3,9 12,3 3,7 1,0 0,8
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Palu Timur didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Lolu Utara dan terendah di Kelurahan Lolu Selatan (Tabel 15).
Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Lolu Utara dan terendah di
Kelurahan Lolu Selatan. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Besusu
Timur dan terendah di Kelurahan Besusu Barat. Kelurahan dengan perhitungan
pupa/container tertinggi berada di Kelurahan Besusu Timur, sedangkan terendah di
Kelurahan Besusu Barat. Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan Palu
Timur tertinggi nilainya di Kelurahan Besusu Timur dan terendah di Kelurahan Barat
dan Besusu Tengah.
47
Tabel 16. Indeks Pupa Menurut Kelurahan di Kecamatan Mantikulore Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Layana Indah 7,4 31,0 2,5 0,5 0,5Tondo 7,8 20,4 17,3 4,0 3,8Talise 5,1 13,0 0,7 0,2 0,1Poboya 2,8 8,1 0,6 0,2 0,1Kawatuna 8,0 20,0 9,4 2,5 2,1Lasoani 6,0 18,2 2,0 0,6 0,5Tanamodindi 5,2 19,0 1,9 0,5 0,4Rata-rataMantikulore
6,0 27,1 4,9 1,2 1,1
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Mantikulore didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Kawatuna dan terendah di Kelurahan Poboya (Tabel 16).
Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Tondo dan terendah di Kelurahan
Poboya. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan Tondo dan
terendah di Kelurahan Poboya. Kelurahan dengan perhitungan pupa/container
tertinggi berada di Kelurahan Tondo, sedangkan terendah di Kelurahan Talise dan
Poboya. Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan Mantikulore tertinggi
nilainya di Kelurahan Tondo, sedangkan terendah di Kelurahan Talise dan Poboya.
Tabel 17. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Palu Utara Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Mamboro 5,4 16,2 6,3 1,6 1,4Mamboro Barat 8,5 24,0 4,2 1,1 0,8Taipa 7,5 22,0 4,7 1,1 0,9Kayumalue Pajeko 6,9 20,0 7,3 2,1 1,6Kayumalue Ngapa 5,9 20,0 5,6 1,4 1,1Rata-rata Palu Utara 6,8 20,4 5,6 1,5 1,2
48
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Palu Utara didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Mamboro Barat dan terendah di Kelurahan Mamboro (Tabel
17). Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Mamboro Barat dan terendah
di Kelurahan Mamboro. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan
Kayumalue Pajeko dan terendah di Kelurahan Mamboro Barat. Kelurahan dengan
perhitungan pupa/container tertinggi berada di Kayumalue Pajeko sedangkan
terendah di Kelurahan Mamboro Barat dan Taipa. Perhitungan pupa/orang untuk
wilayah Kecamatan Palu Utara tertinggi nilainya di Kayumalue Pajeko, dan terendah
di Kelurahan Mamboro Barat.
Tabel 18. Indeks Pupa menurut kelurahan di Kecamatan Tawaeli Kota Palu Oktober– November 2016
KelurahanIndeks Pupa
CPI (%) HPI (%) Pupa/rumah Pupa/Container Pupa/orang
Pantoloan Boya 3,9 16,0 4,6 0,9 0,9Pantoloan 4,2 16,0 5,5 1,1 1,1Baiya 5,9 20,0 1,8 0,5 0,4Panau 4,8 13,0 1,5 0,5 0,3Lambara 7,4 21,0 10,2 2,4 2,0Rata-rata Tawaeli 5,2 17,2 4,7 1,1 0,9
Hasil pengukuran indeks pupa yang terdiri dari CPI, HPI, pupa/rumah,
pupa/container, dan pupa/orang untuk Kecamatan Tawaeli didapatkan nilai CPI
tertinggi di Kelurahan Lambara dan terendah di Kelurahan Pantoloan Boya (Tabel
18). Kelurahan dengan nilai HPI tertinggi di Kelurahan Lambara dan terendah di
Kelurahan Panau. Untuk perhitungan pupa/rumah nilai teringgi di Kelurahan
Lambara dan terendah di Kelurahan Panau. Kelurahan dengan perhitungan
pupa/container tertinggi berada di Kelurahan Lambara, sedangkan terendah di
Kelurahan Panau dan Baiya. Perhitungan pupa/orang untuk wilayah Kecamatan
Tawaeli tertinggi nilainya di Kelurahan Lambara, dan terendah di Kelurahan Panau.
49
Hasil perhitungan rata-rata indeks pupa untuk seluruh Kota Palu diperoleh
rata-rata nilai HPI 19,1%, CPI 6,0%, pupa/rumah 4,9 , pupa/kontainer 1,2 dan
pupa/orang 1,0. Kecamatan dengan nilai HPI tertinggi adalah Kecamatan Tatanga dan
terendah Kecamatan Palu Timur. Kemudian Kecamatan dengan nilai CPI tertinggi
adalah Kecamatan Tatanga dan terendah Kecamatan Palu Timur. Untuk nilai
pupa/rumah kecamatan tertinggi adalah Kecamatan Tatang dan terendah Kecamatan
Palu Timur. Kecamatan yang memiliki indeks pupa/kontainer tertinggi adalah
Kecamatan Palu Utara dan terendah Kecamatan Ulujadi. Kecamatan dengan indeks
pupa/orang tertinggi berada di Kecamatan Tatanga dan terendah di Kecamatan Palu
Barat dan Palu Timur.
Hasil identifikasi keberadaan jentik/pupa yang ditemukan di kontainer baik
dalam dan luar rumah sebagian besar spesiesnya adalah Aedes aegypti. Pemeriksaan
terhadap jentik baik langsung maupun yang dibawa ke laboratorium didapatkan 3174
sampel dengan persentase Ae. aegypti sebesar 91,5 %, Ae. albopictus 6,3% , non –
Aedes 2,1 %, dan spesimen rusak/tidak terambil sebesar 1%.
2. Pemasangan ovitrap
Kegiatan pemasangan ovitrap dilakukan pada rumah yang disurvei jentik
dengan jumlah ovitrap yang dipasang sebanyak 80 rumah. Pemasangan dilakukan di
dalam dan luar rumah. Pengambilan ovitrap dilakukan setelah dua hari pemasangan
atau sekitar 48 jam. Beberapa ada yang lebih dari dua hari dikarenakan penghuni
rumah tidak berada di tempat. Hasil dari pemasangan ovitrap adalah Indeks Ovitrap.
Tabel 19. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Barat Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah(%)
Baru 27,50 42,50Kamonji 30 45Siranindi 22,50 48,75Ujuna 16,25 43,75
50
Lere 47,50 56,25Balaroa 17,50 47,50Rata-rata Palu Barat 26,87 47,29
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Palu Barat didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada di
Kelurahan Lere dan terendah di Kelurahan Ujuna (Tabel 19). Nilai indeks ovitrap luar
rumah paling tinggi di Kelurahan Lere dan terendah di Kelurahan Baru.
Tabel 20. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Ulujadi Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah(%)
Watusampu 73,75 85Buluri 78,75 86,25Tipo 53,75 70Silae 57,50 67,50Kabonena 48,75 78,75Donggala Kodi 37,50 67,50Rata-rata Ulujadi 58,33 78,83
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Ulujadi didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada di
Kelurahan Buluri dan terendah di Kelurahan Donggala Kodi (Tabel 20). Nilai indeks
ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Buluri dan terendah di Kelurahan Silae
dan Donggala Kodi.
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Palu Tatanga didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada
di Kelurahan Nunu dan terendah di Kelurahan Boyaoge (Tabel 21). Nilai indeks
ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Duyu dan terendah di Kelurahan
Boyaoge dan Nunu.
51
Tabel 21. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Tatanga Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah (%)Luar Rumah
(%)Pengawu 43,75 75Palupi 18,75 55Boyaoge 17,75 47,50Duyu 38,75 77,5Nunu 48,75 47,50Tavanjuka 33,75 56,25Rata-rata Tatanga 33,58 59,79
Tabel 22. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Selatan Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah (%)
Tatura Utara 28,75 50Tatura Selatan 22,50 55Birobuli Utara 38,75 55Birobuli Selatan 27,50 51,25Petobo 16,25 42,50Rata-rata Palu Selatan 26,75 50,75
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Palu Selatan didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada
di Kelurahan Birobuli Utara dan terendah di Kelurahan Petobo (Tabel 22). Nilai
indeks ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Tatura Selatan dan Birobuli
Utara dan terendah di Kelurahan Petobo.
52
Tabel 23. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Timur Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah(%)
Lolu Utara 20 52,5Lolu Selatan 18,75 51,25Besusu Barat 33,75 65Besusu Tengah 32,50 53,75Besusu Timur 28,75 63,75Rata-rata Palu Timur 26,75 57,25
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Palu Timur didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada di
Kelurahan Besusu Barat dan terendah di Kelurahan Lolu Selatan (Tabel 23). Nilai
indeks ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Besusu Barat dan terendah di
Kelurahan Lolu Selatan.
Tabel 24. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Mantikulore Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah(%)
Layana Indah 56,25 87,50Tondo 43,75 62,50Talise 32,50 61,25Poboya 52,50 71,25Kawatuna 52,50 80Lasoani 46,25 72,50Tanamodindi 30 48,75Rata-rata Mantikulore 44,82 69,11
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Mantikulore didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada
di Kelurahan Layana Indah dan terendah di Kelurahan Tanamodindi (Tabel 24). Nilai
53
indeks ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Layana Indah dan terendah di
Kelurahan Tanamodindi.
Tabel 25. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Palu Utara Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah(%)
Mamboro 40 80Mamboro Barat 46,25 71,25Taipa 58,75 67,50Kayumalue Pajeko 38,75 67,50Kayumalue Ngapa 56,25 72,50Rata-rata Palu Utara 48 71,75
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Palu Utara didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada di
Kelurahan Taipa dan terendah di Kelurahan Mamboro (Tabel 25). Nilai indeks
ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Mamboro dan terendah di Kelurahan
Taipa dan Kayumalue Pajeko.
Tabel 26. Indeks Ovitrap menurut kelurahan di Kecamatan Tawaeli Kota PaluOktober – November 2016
KelurahanIndeks Ovitrap
Dalam Rumah(%)
Luar Rumah(%)
Pantoloan Boya 62,50 87,50Pantoloan 56,25 76,25Baiya 43,75 75Panau 33,75 66,25Lambara 48,75 78,75Rata-rata Tawaeli 49 76,75
Hasil pemasangan ovitrap baik di dalam dan luar rumah untuk Kecamatan
Tawaeli didapatkan nilai indeks ovitrap dalam rumah yang paling tinggi berada di
54
Kelurahan Pantoloan Boya dan terendah di Kelurahan Panau (Tabel 26). Nilai indeks
ovitrap luar rumah paling tinggi di Kelurahan Pantoloan Boya dan terendah di Panau.
Secara keseluruhan rata rata indeks ovitrap untuk Kota Palu didapatkan nilai
Indeks Ovitrap Dalam Rumah 39,26 % dan Indeks Ovitrap Luar Rumah 63,94%.
Kecamatan di Palu yang memiliki Indeks Ovitrap Dalam Rumah paling tinggi adalah
Kecamatan Ulujadi dan paling rendah adalah Kecamatan Palu Selatan dan Palu
Timur. Kecamatan di Kota Palu yang memiliki Indeks Ovitrap Luar Rumah paling
tinggi adalah Kecamatan Ulujadi dan yang paling rendah Kecamatan Palu Barat.
Dalam survei entomologi selain perhitungan indeks jentik, indeks pupa, dan
indeks ovitrap dilakukan juga observasi terhadap rumah tangga yang disurvei, seperti
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk yang meliputi pengurasan container,
penggunaan larvasida/abate, penggunaan hewan predator, sumber mata air yang
dipakai, dan jenis kontainer yang dipakai.
F. Wawancara Kualitatif Pelaksanaan Kegiatan Pemberantasan/pembasmianSarang Nyamuk (PSN) Demam Berdarah Dengue
Pelaksanaan wawancara untuk stakeholder yang terlibat dalam
Pemberantasan/Pembasmian Sarang Nyamuk (PSN) DBD dilakukan terhadap
pengelola DBD di Dinas Kesehatan Kota Palu dan Puskesmas se Kota Palu. Pada
awalnya direncanakan juga terhadap kader yang ditunjuk sebagai Jumantik, tetapi
Kota Palu sampai akhir 2016 belum memiliki Jumantik. Kegiatan wawancara ini
untuk mengetahui kegiatan PSN DBD yang dilakukan sampai tingkat masyarakat.
Responden dalam wawancara ini 13 orang pengelola DBD di Puskesmas dan satu
orang pengelola DBD di Dinas Kesehatan Kota Palu. Pertanyaan terbuka ditujukan
kepada responden terkait pelaksanaan PSN DBD yang dilakukan oleh Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Palu.
55
1. Dinas Kesehatan Kota Palu
Hasil wawancara dengan pengelola DBD Dinas Kota Palu didapatkan bahwa
Dinas Kesehatan Kota Palu selama kurun waktu lima tahun terakhir sudah melakukan
program Pemberantasan/Pembasmian Sarang Nyamuk (PSN). PSN yang dilakukan
oleh Dinas Kesehatan Kota Palu berupa pengasapan (fogging) dan pembagian bubuk
abate. Selama ini hubungan dengan intansi lain dalam pelaksanaan PSN dijalin
kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Palu khususnya dalam PSN di sekolah-
sekolah yang dilaksanakan oleh murid-murid sekolah, karena selama ini belum ada
Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yang rutin melakukan survei setiap saat.
Pelaksaan PSN dan kegiatan surveilans terkait DBD untuk Dinas Kesehatan
Kota Palu selama ini masih terbatas permintaan kasus DBD di rumah sakit.
Pemanfaatan data spasial untuk pemetaan DBD belum dilakukan dalam kegiatan
surveilans DBD di Kota Palu. Ketersediaan alat dan bahan dalam kegiatan PSN DBD
di Kota Palu selama ini sudah cukup, hanya saja sumber daya manusinya yang harus
ditambah khususnya dalam pelaksanaan fogging sehingga harus minta bantuan ke
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.
Pelaporan kasus DBD sampai Dinas Kesehatan Kota Palu selama ini dilakukan
oleh pihak rumah sakit secara tertulis. Pelaporan kasus DBD dapat pula dengan
adanya laporan dari pihak keluarga (sistem jemput). Setelah mendapatkan informasi
pasien, pihak Dinas Kesehatan Kota Palu akan meng-SMS (Short Message Service)
pengelola DBD si masing-masing Puskesmas. Beberapa kendala yang ditemukan
adalah petugas pencatat/penanggung jawab di tingkat rumah sakit yang belum secara
tepat melaporkan kasus data DBD karena rangkap kegiatan dengan kegiatan lainnya.
Banyak data yang dilaporkan belum lengkap tetapi dalam tahun 2016 ini sudah mulai
memasukan nomer handphone keluarga kasus DBD.
2. Puskesmas
Hasil wawancara dengan pengelola DBD di tingkat puskesmas terkait
pelaksanaan PSN di Kota Palu ini didapatkan informasi bahwa pelaksanaan PSN di
masyarakat belum optimal dilakukan. Hasil wawancara dengan salah seorang
56
pengelola DBD bahwa adanya Program Padat Karya di Kota Palu membuat
partisipasi masyarakat untuk kerja bakti berkurang, karena kebersihan lingkungan
sudah ada yang merawatnya.
Pengendalian vektor DBD yang dilakukan oleh puskesmas se-Kota Palu selain
dengan PSN adalah dengan memberikan abate dan jika ada kejadian DBD akan
dilakukan fogging yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota. Kerjasama dengan
berbagai pihak swasta atau lintas sektor sangat bagus untuk memaksimalkan PSN di
masyarakat, tetapi selama ini kebanyakan puskesmas masih terbatas pada kerjasama
dengan aparat kelurahan.
Semua puskesmas belum memanfaatkan data spasial berupa peta untuk
kegiatan PSN. Keberadaan Jumantik secara resmi belum ada, tetapi di beberapa
wilayah kerja puskesmas beberapa puskesmas menyampaikan adanya Laskar
Jumantik dari murid-murid Sekolah Dasar (SD) yang ditugaskan untuk melakukan
survei jentik di rumah masing-masing dan dibawakan form khusus.
Sistem pelaporan data kasus DBD yang masuk ke semua puskesmas
menggunakan SMS ke penanggungjawab DBD di puskesmas. Kegiatan selanjutnya
adalah melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) di lokasi kasus. PE yang
dilakukan selama ini belum memanfaatkan teknologi seperti pemanfaatan GPS untuk
memetakan kasus DBD maupun form elektronik yang dapat dimasukan di
smartphones. Hasil kegiatan PE dilaporkan kembali ke Dinas Kesehatan Kota Palu.
untuk ditindaklanjuti dengan pengasapan/fogging. Data kasus yang tidak ketemu
ketika akan dilakukan PE juga disampaikan kembali ke Dinas Kesehatan Kota Palu.
Pelaksanaan PSN di tingkat masyarakat selama ini berharap rutin diadakan
pengasapan/fogging, padahal PSN dari masing-masing keluarga merupakan salah satu
pencegahan DBD yang paling efektif.
57
Gambar 8. Pelaporan Kasus DBD Menggunakan SMS
Sistem pelaporan kasus yang dilakukan oleh pengelola DBD di tingkat kota
dan puskesmas dapat dibuatkan kerangka kerja dalam kegiatan surveilans DBD yang
ada di Kota Palu yang disajikan dalam Gambar .
Masyarakat
Puskesmas
Rumah Sakit Kasus DBD
Dinas KesehatanKota Palu
Pelaporan
PenyelidikanEpidemiologi
Fogging
Short Message Service
Gambar 9. Alur Kerja Surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kota Palu.
58
Masyarakat
Puskesmas
Rumah Sakit Kasus DBD
Dinas KesehatanKota Palu
Pelaporan
- Penyelidikan Epidemiologi
Fogging
Instant Messenger
Pemetaan dengan GPS/Smartphones
Cloud Data,WEBGIS
DBD
MediaSosial
- Survei Entomologi Rutin
Gambar 10. Surveilans DBD dengan Integrasi Data Spasial dan Internet.
59
V. PEMBAHASAN
Kasus DBD yang selalu ditemukan di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah
menjadikan perlunya penguatan surveilans DBD. Kota Palu selalu menjadi
kota/kabupaten dengan angka kesakitan/IR tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah
dalam tiga tahun terakhir dan selalu berada pada tingkatan yang belum mencapai
target nasional pada tiap tahunnya.8 Pengendalian vektor dan pemberantasan sarang
nyamuk sebenarnya merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi penularan
DBD di daerah perkotaan khususnya Kota Palu.
Pemetaan semua kasus DBD yang dilakukan di Kota Palu secara spasial
dapat dijadikan data dasar spasial yang selanjutkan dapat dikembangkan kedepannya.
Sampai saat ini Kota Palu belum memiliki data spasial DBD yang menyeluruh untuk
seluruh wilayah Kota Palu. Pengembangan survei dan pemetaan dengan
pengembangan model spasial diharapkan dapat membantu dalam surveilans DBD di
Kota Palu. Pemanfaatan GPS dalam kegiatan survei dan penyelidikan epidemiologi
DBD harus diaplikasikan untuk memulai basis data spasial dalam rangka
kewaspadaan dini penularan DBD. Surveilans DBD dengan data berupa peta harus
dapat diterapkan. Penentuan titik utama suatu pengelompokan kasus DBD dapat
digunakan sebagai awal dalam pengendalian DBD. Pengelompokan kasus DBD di
suatu perkotaan pada umumnya terkait dengan transmisi virus yang ada di daerah
tersebut. Permukiman yang padat dan kumuh, dengan akses transportasi yang mudah,
adanya urbanisasi atau pendatang yang menetap di kawasan perkotaan akan lebih
sulit dikontrol untuk penyebaran kasus DBD.30 Hasil analisis spasial dengan analisis
Nearest Neighbour dalam aplikasi SIG terhadap distribusi kasus DBD di Kota Palu
yang cenderung mengelompok sejalan dengan penelitian distribusi spasial kasus
DBD di Kota Putrajaya, ibukota administrasi Malaysia.31
Analisis spasial statistik kasus DBD Kota Palu untuk kurun waktu 2011-
2016 (bulan Juni) digabungkan dengan data time series dihasilkan pengelompokan
kasus yang berdekatan secara jarak dan waktu kejadian. Hasil penelitian mendapatkan
60
dua klaster yang secara lokasi di wilayah Palu Barat dan Palu Selatan. Analisis
spasial-temporal kasus DBD dan dioverlay dengan peta kepadatan penduduk
menjelaskan bagaimana kasus DBD di Kota Palu mengelompok di zona yang padat
penduduknya baik itu di klaster satu maupun di klaster dua. Hasil penelitian ini
sejalan dengan beberapa penelitian di Bangladesh dan Hanoi Vietnam dimana trend
kasus secara spasial-temporal membentuk pola klaster/mengelompok.32,33 Wilayah
perkotaan di Palu dengan kepadatan penduduk lebih tinggi juga menjadi penyumbang
kasus yang lebih tinggi juga. Beberapa kawasan yang berada di wilayah padat
penduduk dengan pola tidak teratur biasanya akan memiliki penampungan air yang
tidak baik.
Pengembangan model spasial yang selama ini hanya menyajikan distribusi
spasial DBD deskriptif dihasilkan trend dan daerah berisiko untuk DBD. Arah
pergerakan kasus DBD dapat membantu dalam pengendalian kasus, baik itu dalam
kegiatan fogging atau antisipasi penularan ke daerah lain yang memiliki infection rate
masih rendah. Penilitian ini menggunakan pemodelan Standard Deviational Ellipse
(SDE) untuk memetakan kecenderungan arah pergerakan kasus DBD. Hasil analisis
SDE untuk kasus DBD Kota Palu cenderung ke arah tertentu, yaitu utara-selatan.
Penelitian tentang SDE dan aplikasi pemanfaatan dilakukan di Hongkong untuk
memodelkan trend swine flue (H1N1). Swine flue dimodelkan trend kasusnya dengan
3 multiple SDE.34 Pemanfaatan SDE untuk mengetahui trend kasus DBD pernah
dilakukan juga di Kabupaten Banjar Jawa Barat. Trend pergerakan kasus DBD di
Kabupaten Banjar yang dimodelkan dengan SDE juga memiliki arah tertentu sebagai
kecenderungan pergerakannya.35 Antisipasi penularan dengan kabupaten lain sedini
mungkin dapat dilakukan jika trend pergerakan kasus dapat dipetakan. Perkembangan
wilayah merupakan suatu keharusan bagi suatu kawasan perkotaan untuk terus
berkembang sehingga perlu dilakukannya manajemen penyakit khususnya DBD
berbasis wilayah. Manajemen penyakit berbasis wilayah ini memperhatikan beberapa
metode yaitu analisis spasial, audit manajemen berbasis wilayah, dan surveilans
berbasis wilayah.10
61
Model prediksi daerah berisiko DBD yang dibentuk dengan Model Kernel
Density Estimation (KDE) dapat dipakai sebagai prioritas dalam pengendalian DBD
di Kota Palu. Hotspot yang terbentuk di model harus dikendalikan sehingga
penyebaran dengan pembentukan daerah baru dapat dicegah. Perumahan-perumahan
baru harus sering melakukan kegiatan pengendalian DBD. Penelitian yang dilakukan
di Putrajaya, Malaysia juga menggunakan Model KDE untuk analisis spasial DBD.
Model daerah berisiko membentuk delapan hotspot tetapi ada satu yang terpusat di
suatu area.31
Kota Palu yang memiliki kasus DBD yang fluktuatif tentu terkait dengan
vektor penyakit pembawanya yaitu nyamuk Aedes sp. Nyamuk penular DBD yang
ditemukan di Kota Palu sampai saat ini adalah Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Faktor
data meteorologi dari BMKG memang tidak langsung berhubungan dengan fluktuasi
kasus DBD pada manusia, tetapi mempengaruhi dalam perkembangan siklus hidup
nyamuk Aedes.Hujan yang tidak menentu di Kota Palu akan menyebabkan kontainer
yang ada di luar rumah semakin tidak terkontrol dan bertambah, apalagi kontainer
yang bukan dipakai sehari-hari. Suhu yang hangat-panas di daerah Palu yang
berdekatan dengan garis khatulistiwa sepanjang tahun dapat berpengaruh terhadap
siklus perkembangan telur menjadi jentik. Hasil pengukuran indeks jentik untuk rata-
rata rumah tangga pada 45 kelurahan di Kota Palu diperoleh House Index (HI)
45,03%, Container Index (CI) 16,98%, Breteau Index (BI) 70,60% dan Angka Bebas
Jentik (ABJ) 54,99%. Menurut WHO nilai HI adalah yang paling banyak dipakai
untuk memonitor tingkat gangguan, tetapi indeks ini tidak menyajikan jumlah
kontainer yang positif jentik. Hal yang sama dengan nilai CI, yang hasilnya hanya
menyajikan informasi tentang proporsi kontainer yang positif. Berbeda halnya dengan
nilai BI, yang memuat hubungan antara kontainer yang positif dengan rumah yang
disurvei. Nilai Bi dianggap indeks yang paling informatif dan cocok dalam fokus
pengendalian pada habitat atau kontainer yang paling umum.18 Nilai BI
memungkinkan nilainya tinggi sampai ≥100% karena keberadaan jumlah kontainer
yang diperiksa dan postif jentik lebih banyak daripada rumah yang disurvei. Beberapa
kelurahan di Kota Palu juga ditemukan nilai BI yang tinggi.
62
Risiko penularan DBD dapat dikelaskan dengan menggunakan angka density
figure. Angka density figure ini dibandingkan dengan nilai HI, CI, dan BI. Kota Palu
sendiri masuk angka 6 untuk HI, sedangkan untuk CI masuk pada angka 5, dan BI
masuk pada angka 6. Hasil density figure tersebut dapat dikatakan bahwa Kota Palu
memiliki risiko penularan tinggi dengan kepadatan jentik masuk kategori tinggi.
Penelitian tentang penggunaan density figure ini juga dilakukan di Jambi ketika
terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD dan didapatkan kelas risiko penularan
sedang.36 Hal ini bisa dikarenakan ketika terjadi KLB DBD dilakukan pengasapan
maupun pembagian abate ke warga di lokasi KLB. Berbeda halnya dengan penelitian
di Palu ini yang masuk kategori tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya
pemberantasan sarang nyamuk oleh masyarakat sehingga keberadaan jentik tidak bisa
diputus siklusnya.
Penghitungan indeks pupa di rumah tangga di Kota Palu didapatkan nilai
House Pupal Index (HPI) 19,1%, Container Pupal Index (CPI) 6,0%, pupa/rumah
4,9, pupa/container 1,2 dan pupa/orang 1,0. Penelitian yang dilakukan oleh Focks di
Puerto Rico menyatakan bahwa suatu wilayah agar tidak terjadi wabah DBD, angka
pupa/orang suatu wilayah adalah ≤ 0,1. Jika nilai pupa/orang ≥ 0,19 maka suatu
wilayah harus waspada terhadap wabah DBD.37 Hasil pupa/orang di wilayah Kota
Palu 1,0 (nilai pupa/orang > 0,19) sehingga perlu kewaspadaan terhadap
kemungkinan wabah DBD.
Pemasangan ovitrap di rumah tangga terpilih didapatkan nilai Indeks Ovitrap
masing masing untuk Indeks Ovitrap Dalam Rumah 39,26% dan Indeks Ovitrap Luar
Rumah 63,94%. Surveilans di Hongkong yang rutin memonitoring telur nyamuk Ae
albopictus menggunakan ovitrap membuat kriteria indeks ovitrap menjadi empat
level. Level 1 jika Indeks Ovitrap (IO) <5%, level 2 jika Indeks Ovitrap
5% ≤ IO < 20%, level 3 jika Indeks Ovitrap 20% ≤ IO < 40%, dan level 4 jika
Indeks Ovitrap ≥ 40%.38 Kota Palu untuk Indeks Ovitrap Dalam Rumah masuk level
3 dan Luar Rumah masuk level 4. Kegiatan yang harus dilakukan ketika sudah masuk
level 3 dan 4 adalah melakukan kegiatan tambahan rutin setiap minggunya untuk
63
mengeliminasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan tempat yang berpotensi. Selain
itu penggunaan larvasida dan insektisida sudah harus dilakukan.38
Hasil analisis pelaksanaan surveilans dan pelaksanaan PSN DBD di Kota
Palu masih belum memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang. Teknologi
pemetaan dengan aplikasi GIS menjadikan surveilans DBD menjadi lebih lengkap.
Distribusi kasus dapat dipetakan dengan segera sehingga kewaspadaan dini daerah
sekitar menjadi lebih mudah terpantau.
Peran serta masyarakat dalam PSN DBD harus ditingkatkan dalam rangka
meningkatkan ABJ Kota Palu. Peraturan Daerah Kota Palu No.2 Tahun 2016 sudah
mengatur tentang pengendalian penyakit DBD di dalamnya kegiatan surveilans
DBD,PSN,dan juga promosi kesehatan.39 Jumantik yang selama ini belum ada di
Kota Palu, harus dibentuk mulai tahun 2017. Bahkan Kementerian Kesehatan RI pada
tahun 2016 mencanangkan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik sebagai bentuk
pengendalian DBD berbasis masyarakat dan keluarga.9 Jumantik anak sekolah
sebagai bagian pemberantasan sarang nyamuk DBD berbasis sekolah dan rumah
masing-masing juga sudah diatur oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2014.40
Pemanfaatan media sosial dan instant messenger menjadi suatu keharusan
agar partisipasi masyarakat dalam kewaspadaan maupun surveilans DBD dapat
terlibat. Surveilans aktif dan pasif maupun berbasis masyarakat dapat dilakukan
secara simultan dan terkoneksi antar pihak. Kegiatan pelaporan DBD dari rumah sakit
ke dinas kesehatan bahkan sampai ke puskesmas akan mudah jika dihubungkan suatu
basis data berupa cloud data DBD, sehingga dapat dibuat semacam pengembangan
surveilans yang ada menjadi surveilans yang memanfaatkan pemodelan spasial dan
juga sistem berbasis internet dalam pelaporan kasus. Pemanfaatan GPS dalam
pemetaan kasus dan survei entomologi dapat digunakan sebagai model spasial
kewaspadaan dini untuk antisipasi penularan DBD
64
Keterbatasan Penelitian
Kegiatan yang dilakukan dalam penilitian ini khususnya dalam pemetaan
kasus DBD yang sudah terjadi banyak menemukan kendala. Kasus DBD yang sudah
lewat dalam beberapa tahun ketika akan ditelusuri kembali banyak yang tidak
ditemukan atau sudah tidak ada sama sekali. Data DBD yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota untuk penelusuran alamat juga banyak yang tidak lengkap, padahal
untuk pemetaan kasus DBD digunakan alamat rumah.
Pemetaan kasus DBD dengan berdasarkan alamat yang didapatkan dari Dinas
Kesehatan Kota Palu menemukan alamat asli pasien. Data nama pasien sebenarnya
merupakan nama keluarga yang meminjam alamat di Kota Palu untuk berobat,
padahal sebenarnya tidak berada di wilayah Kota Palu, atau masuk Kota Palu tetapi
beda alamat tinggalnya.
Kegiatan survei entomologi berupa survei jentik pada 45 kelurahan di Kota
Palu dengan tipe perumahan yang berbeda seringkali harus mengganti sampel rumah
tangga dikarenakan kosong atau tidak bersedia untuk di survei jentik. Kegiatan survei
jentik yang dilakukan pada bulan Oktober – November 2016 sering terhambat oleh
curah hujan yang tiba-tiba tinggi di wilayah penelitian. Pemasangan ovitrap
mengalami keterbatasan dalam hal pengambilan kembali, khususnya yang dipasang
di dalam rumah. Pengambilan ovitrap yang selang 48 jam setelah pemasangan sering
kali tidak bisa tepat waktu karena rumah dalam kondisi kosong atau terkunci,
sehingga pengambilan ovitrap dilakukan pada keesokan harinya.
Penelitian ini pada awalnya akan mewancarai pelaksanaan PSN di masyarakat
terhadap kader sebagai Jumantik, tetapi karena di Kota Palu belum ada Jumantik yang
ditugaskan di tiap tiap kelurahan untuk mengetahui pelaksanaan PSN di masyarakat
mewancarai petugas puskesmas dan juga hasil keterangan dari kegiatan rumah tangga
terkait PSN yang ada di form survei entomologi (form survei jentik)
65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Terdapat hubungan secara spasial antara distribusi jumlah kasus DBD
dengan kepadatan penduduk Kota Palu
2. Pola distribusi spasial kasus DBD Kota Palu tahun 2011-2016 dengan
analisis Nearest Neighbour (ketetanggaan terdekat) cenderung
mengelompok (mengcluster).
3. Secara model spasial-temporal terdapat pengelompokan kasus yang
signifikan di dua lokasi. Wilayah klater tersebut memiliki p-value 0,021
untuk area pertama. Waktu kejadian kasus DBD yang memiliki nilai
signifikan tersebut antara rentang waktu 1 Maret – 30 November 2011
dengan jumlah 25 kasus. Selanjutnya untuk klaster kedua didapatkan hasil
p-value 0,037 dengan rentang waktu kasus 1 Mei – 30 Juni 2013 dengan
jumlah 17.
4. Model spasial trend Kasus DBD di Kota Palu mengalami
transmisi/penyebaran kasus ke Arah Utara dan Selatan wilayah Kota Palu
yang berasosiasi dengan perumahan-perumahan baru.
5. Model spasial prediktif kasus DBD masih berada di pusat kota khususnya
di Kecamatan Palu Barat tetapi sudah mulai ditemukan/terbentuk di
beberapa wilayah perkembangan perumahan-perumahan baru.
6. Angka Bebas Jentik di Kota Palu masih rendah yaitu dengan rata-rata
54,99 % jauh di bawah standar yang ditetapkan secara nasional yaitu ≥
95%.
7. Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk di masyarakat belum optimal
dan partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan
66
B. Saran
1. Petugas Puskesmas sebagai ujung tombak penyelidikan epidemiologi
kasus DBD sebaiknya dilengkapi dengan Global Positioning System
(GPS) agar distribusi kasus DBD dapat dipetakan dan dimonitoring
penyebarannya.
2. Pemanfaatan GPS dan pengembangannya dalam surveilans DBD
diharapkan jadi bagian dalam program surveilans DBD.
3. Surveilans kasus baik aktif dan pasif harus ditingkatkan terkait sistem
pelaporan dari rumah sakit, dinas kesehatan kota, puskesmas, bahkan
masyarakat dapat aktif terlibat. Surveilans vektor harus ditingkatkan dan
rutin dilakukan.
4. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
sebagai bagian dari pencegahan DBD harus ditingkatkan. Jumantik harus
dibentuk baik di tingkat masyarakat maupun di semua sekolah-sekolah di
Kota Palu. Jumantik di tempat-tempat umum atau instansi perlu juga
dibuat.
67
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Global Strategy for Dengue Prevention and Control 2012-2020. Geneva,Switzerland: WHO Press; 2012.
2. World Health Organization. International Travel and Health Interactive Map. 2012.Available at: http://apps.who.int/ithmap/ [Accessed October 26, 2016].
3. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue. edisi 2. Surabaya: Airlangga UniversityPress; 2006.
4. Murti B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi kedu. Yogyakarta: GadjahMada University Press; 2003.
5. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI; 2014. Available at:http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Profil+Data+Kesehatan+Indonesia+Tahun+2011#0.
6. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI; 2015. Available at:http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf.
7. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI; 2016.
8. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Profil Kesehatan Provinsi SulawesiTengah Tahun 2015. Palu: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah; 2016.
9. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-PLUS denganGerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
10. Achmadi UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. J. Kesehat. Masy. Nas.2009;3(4).
11. Danoedoro P. Fenomena Keruangan Penyakit Menular. Suatu perspektifGeografis. 2003. Available at:www.kompas.com/kompascetak/0306/07/Kesehatan/353686.htm.
12. Dwolatzky B, Trengove E, Struthers H, McIntyre JA, Martinson NA. Linking theglobal positioning system (GPS) to a personal digital assistant (PDA) to supporttuberculosis control in South Africa: a pilot study. Int. J. Health Geogr. 2006;5:34.
68
Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1563457&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed February 7, 2011].
13. World Health Organization. Prevention and Control of Dengue and DengueHaemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi: WHO Press, South-East Asia Regional Office; 2001.
14. Silver JB. Mosquito Ecology. Third Edit. New York: Springer; 2013.
15. Hadi UK, Koesharto F. Nyamuk, Hama Permukiman Indonesia. Pengenalan,Biologi dan Pengendalian. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2006.
16. Cosmo L. Nature, Aedes Aegypti Mosquito Stilt, The Life Cycle. Ideal ForInformational And Institutional Related Sanitation And Care. Stock VectorIllustration 369343772 : Shutterstock. Available at:http://www.shutterstock.com/pic-369343772/stock-vector-nature-aedes-aegypti-mosquito-stilt-the-life-cycle-ideal-for-informational-and-institutional.html [AccessedDecember 15, 2016].
17. Kementerian Kesehatan. Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Denguedan Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Jakarta; 2013.
18. World Health Organization. Comprehensive Guidelines for Prevention andControl of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. New Delhi; 2011.
19. Focks DA. A Review of Entomological Sampling Methods and Indicators forDengue Vectors. (World Health Organization, ed.). Geneva, Switzerland; 2003.
20. Shinta, Sukowati S. Penggunaan Metode Survei Pupa Untuk Memprediksi RisikoPenularan Demam BerdarahDengue di Lima Wilayah Endemis di DKI Jakarta. MediaLitbangkes. 2013;23(1):31–40.
21. Borrough PA, McDonnell RA. Principles of Geographical Information System.6th ed. New York: Oxford University Press; 2005.
22. Longley P, Goodchild MF, Maguire DJ, Rhind DW. Geographical InformationSystems and Science. 2nd ed. Chichester: Wiley & Son Ltd.; 2005.
23. Riyanto. Sistem Informasi Geografis Berbasis Mobile. Yogyakarta: Penerbit GavaMedia; 2010.
69
24. Danoedoro P. Pemodelan Spasial untuk Kajian Kesehatan. In: Seminar NasioanlPenginderaan Jauh untuk Kesehatan Pemantauan dan Pengendalian PenyakitTerkait Lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM; 1997.
25. Achmadi UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UniversitasIndonesia Press; 2008.
26. Lai PC, Mun So F, Wing Chan K. Spatial Epidemiological Approaches inDisease Mapping and Analysis. New York: CRC Press; 2009.
27. Kementerian Kesehatan. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta;2011.
28. Hsu C-Y, Fuad A, Lazuardi L, Sanjaya GY. GIS for Dengue Surveillance:Strengthening Collaborations. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2012;87(6):1152; author reply1153. Available at:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3516092&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed September 10, 2014].
29. Fuentes SL, Quiroga D., Ale, J.A. P, et al. Use of Google EarthTM to StrengthenPublic Health Capacity and Facilitate Management of Vector-Borne Diseases inResource-poor Environments. Bull. World Heal. Organ. 2008;86 (9): 65.
30. Sutaryo. Dengue. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran Universitas GadjahMada; 2004.
31. Hazrin M, Hiong HG, Jai N, et al. Spatial Distribution of Dengue Incidence : ACase Study in Putrajaya. J. Geogr. Inf. Syst. 2016, 8, 89-97. 2016;(February):89–97.
32. Banu S, Hu W, Hurst C, et al. Space-time clusters of dengue fever in Bangladesh.Trop. Med. Int. Heal. 2012;17(9):1086–1091.
33. Toan DTT, Hu W, Quang Thai P, et al. Hot spot detection and spatio-temporaldispersion of dengue fever in Hanoi, Vietnam. Glob. Health Action. 2013;6:18632.
34. Wang B, Shi W, Miao Z. Confidence analysis of standard deviational ellipse andits extension into higher dimensional Euclidean space. PLoS One. 2015;10(3):1–17.
35. Rahmaniati M, Eryando T, Susanna D, et al. Penggunaan Model StandardDeviational Ellipse (SDE) pada Analisis Kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue diKota Banjar Tahun 2013. Aspirator. 2014;6(1):21–28.
70
36. Santoso S, Yahya Y. Analisis Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam BerdarahDengue (DBD) di Wilayah Puskesmas Rawasari Kota Jambi Bulan Agustus 2011. J.Ekol. Kesehat. 2011;10 No 4:248–255.
37. Focks D a, Alexander N. Multicountry study of Aedes aegypti pupal productivitysurvey methodology. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2006.Available at:http://www.researchgate.net/profile/Neal_Alexander/publication/268293666_Multicountry_study_of_Aedes_aegypti_pupal_productivity_survey_methodology_Findings_and_recommendations_/links/54c8eadd0cf289f0ced11def.pdf\nhttp://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_.
38. FEHD. Dengue Fever Ovitrap Index Update. 2016. Available at:http://www.fehd.gov.hk/english/safefood/dengue_fever/ovitrap_index.html[Accessed December 21, 2016].
39. Palu PK. Peraturan Daerah Kota Palu No. 2 Tahun 2016. 2016.
40. Kementerian Kesehatan RI. Juknis Jumantik-PSN Anak Sekolah. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI; 2014.
71
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami ucapkan yang sebesar – besarnya kepada Kepala
Balai Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang (Litbang P2B2)
Donggala, atas izin dan dukungan pembiayaan atas penelitian ini. Terima kasih kami
ucapkan kepada Ketua Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan (Prof. Dr. M. Sudomo),
Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, dan Ketua PPI Puslitbang Upaya
Kesehatan Masyarakat Badan Litbangkes atas masukan, saran, dan bimbingan dalam
pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih kami ucapkan kepada Dr. Atmarita, MPH,
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes, Dra. Shinta Prawoto, M.S, atas diskusi sebelum
pelaksanaan penelitian. Terima kasih kami ucapkan juga kepada Dr. Ekowati
Rahajeng, SKM, M.Kes dan Drs. Kasnodihardjo, MPH dari Puslitbang Upaya
Kesehatan Masyarakat, dan Bapak Barandi Sapta Widartana, S.Si, M.Sc dari Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada atas masukan dan bimbingannya selama
penelitian ini. Terima kasih untuk semua anggota tim penelitian yang yang solid
selama pengumpulan data di lapangan. Terima kasih untuk peneliti Balai Litbang
P2B2 Donggala, litkayasa yang membantu dalam pengumpulan lapangan, termasuk
tenaga pengumpul lapangan juga. Terima kasih kepada Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tengah, Dinas Kesehatan Kota Palu, pengelola DBD puskesmas se Kota
Palu atas dukungan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih
kami ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang
telah membantu penelitian ini sampai dengan selesai.
Donggala, Desember 2016Ketua Pelaksana
Mujiyanto, S.Si, MPHNIP. 198105182006041003
72
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perizinan dari BPMP2TSPD Provinsi Sulawesi Tengah
73
Lampiran 2. Perizinan dari Badan Kesbangpol Kota Palu
74
Lampiran 3. Perpanjangan Perizinan dari Badan Kesbangpol Kota Palu
75
Lampiran 4. Form Penyelidikan Epidemiologi Puskesmas se Kota Palu
76
Lampiran 5. Form Survei Jentik Anak Sekolah Puskesmas Birobuli
77
Lampiran 6. Naskah Penjelasan
KEMENTERIAN KESEHATAN RIBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGENDALIANPENYAKIT BERSUMBER BINATANG DONGGALA
Jl. Masitudju No. 58 Labuan Panimba, Kec. Labuan, Kab. Donggala, SulawesiTengah
PENELITIAN “PENGEMBANGAN MODEL SPASIAL UNTUKSURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE
DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH”TAHUN 2016
NASKAH PENJELASAN
Kasus Demam Berdarah Dengue ( DBD) di Provinsi Sulawesi Tengahmengalami fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 terdapat 1.391 kasus,yang menurun pada tahun 2009 menjadi 952 kasus. Kemudian meningkat tahun 2010menjadi 2.092 kasus, dan menurun lagi di tahun 2011 menjadi 2037 kasus. Tahun2012 meningkat lagi menjadi 2.265 kasus . Tiga kabupaten/kota di Sulawesi Tengahdengan kasus terbanyak DBD yaitu Kota Palu sebanyak 1051 dengan 6 kasusmeninggal, selanjutnya disusul Kabupaten Tolitoli sebanyak 328 kasus dengan 3kasus kematian serta urutan ketiga ditempati Kabupaten Morowali sebanyak 232kasus .Incident Rate (IR) DBD di Sulawesi Tengah pada tahun 2012 sebesar 82,9 per100.000 penduduk, masih di atas target nasional sebesar 52 per 100.000 penduduk.
Sasaran wawancara penelitian ini adalah pengelola program DBD di DinasKota Palu dan Puskesmas terkait pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk baikyang dilakukan program maupun yang dilaksanakan di masyarakat. Penelitiandilaksanakan dengan survei dan wawancara pada semua pengelola progam DBD.Waktu yang akan digunakan untuk wawancara diperkirakan selama 15-30 menit..Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan model daerah berisiko DBD di KotaPalu Sulawesi Tengah berdasarkan karakteristik epidemiologi dan lingkunganmenggunakan SIG dan teknologi penginderaan jauh. Hasil penelitian yang berupadata informasi spasial dapat enjadi acuan untuk kegiatan pencegahan danpengendalian demam berdarah. Model prediktif dengan variabel lingkungan sangatmembantu dalam penanganan dan kewaspadaan dini terhadap penyebaran DBD diKota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Manfaat dari riset ini adalah diketahuinyadaerah berisiko DBD, faktor pengetahuan, sikap dan perilaku yang mempengaruhipenularan DBD yang nantinya dapat digunakan sebagai informasi pengendalian DBDdi masa yang akan datang.
78
Partisipasi Bapak/Ibu/ Saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela tanpapaksaan dan bila tidak berkenan dapat menolak, atau sewaktu-waktu dapatmengundurkan diri tanpa sanksi apapun. Sebagai tanda terima kasih atas penggantiwaktu maka akan diberikan imbalan berupa uang sebesar Rp. 50.000,-
Semua informasi dari Bapak/Ibu/ Saudara akan dijaga kerahasiaannya danakan disimpan di Balai Litbang P2B2 Donggala dan hanya digunakan untukpengembangan kebijakan program kesehatan. Semua data tidak akan dihubungkandengan identitas Bapak/Ibu/ Saudara
Apabila ada pertanyaan mengenai penelitian ini, atau memerlukan penjelasanlebih lanjut dapat menghubungi Mujiyanto, S.Si, M.Ph (081328072752); HayaniAnastasia, SKM, M.Ph (0811459507); Rosmini, SKM, M.Sc (081341072625); SittiChadijah, SKM, M.Si (085241334818); Made Agus Nurjana, SKM. M.Epid(081341017423), Ni Nyoman Veridiana, SKM (082196231002); (085242323220);Ade Kurniawan, SKM (085242352696), Nurul Hidayah SB, S.Si (082396471941)Yuyun Srikandi, SKM (081326266168), Endra Tigordo Motto, SE (081341155335).Anda dapat juga berkorespondensi melalui email : [email protected]
79
Lampiran 7. Kuisioner Wawancara Dinas Kesehatan Kota Palu
80
81
82
Lampiran 8. Kuisioner Wawancara Puskesmas se Kota Palu
83
84
85
Lampiran 9. Form Survei Entomologi Rumah Tangga
86
Lampiran 10. Form Survei Entomologi Tempat-tempat Umum
87
Lampiran 11. Keterangan Kontainer
88
Lampiran 12. Form Survei Telur Nyamuk DBD
89
Lampiran 13. Hasil Analisis
90
91
92
Lampiran 14. Dokumentasi Kegiatan
Pemetaan Kasus DBD
Survei Jentik Nyamuk Aedes
93
Beberapa Kontainer Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes
94
Pemasangan Ovitrap