pengembangan iptek kelautan dan perikanan untuk mendukung

287
Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Page 2: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PROSIDING

Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan

Universitas Nusa Cendana

Kupang, 14 Oktober 2017

Undana Press 2017

Page 3: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan Ke – IV Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang, 14 Oktober 2017

Pengarah : Dr. Ir. Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, M.SI

Dr. Ir. Agnette Tjendanawangi, M.Si Dr. Ir. Sunadji, MP Dr. Lady Cindy Soewarlan, S.Pi.,M.Pi

Redaksi Pelaksana

: Dr. Yuliana Salosso, S.Pi.,MP Dr. Priyo Santoso, S.Pi.,MP Aludin AL Ayubi, S.Pi.,M.Si Ike Margareth Irawati Langke, A.Md

Reviewer : Dr. Ir. Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, M.SI

Dr. Ir. Agnette Tjendanawangi, M.Si Dr. Ir. Sunadji, MP Dr. Lady Cindy Soewarlan, S.Pi.,M.Pi Dr. Yuliana Salosso, S.Pi.,MP Dr. Priyo Santoso, S.Pi.,MP Dr. Ir, Fonny J. L. Risamasu, M.Si Dr. Ir. Yahyah, M.Si Dr. Ismawan Tallo, S.Pi.,M.Si Ir. Felix Rebhung, M.Agr.,Ph.D Dr. Ir. Nicodemus Dahiklory, M.Si Dr. Pryo Santoso, S.Pi.,MP Dr. Ir. Yulianus Linggi, M.Si Dr. Chaterina Paulus, S.Pi.,M.Si Dr. Alexander L. Kangkan, S.Pi.,MP Dr. Ade Y. H. Lukas, S.Pi.,M.Si Ir. Ridwan Tobuku, M.Si Kiik Gretty Sine, S.Pi.,M.Si Lumban Nauli Lumban Toruan, S.Pi.,M.Si Crisca B. Eoh, S.Pi.,M.Si Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si

ISBN : 978-602-6906-39-7 Penerbit : Undana Press Lt. 3 Kantor Rektorat Jl. Adisucipto Undana Penfui Kupang-NTT PO BOX 104 (0380) 881580-881586. Fax 881674-881586 Email : [email protected] Website : www.undana.ac.id

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 4: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL Hal

DAFTAR ISI i

PENGANTAR ii

v

KELOMPOK BUDIDAYA PERAIRAN

Nomor Urut Artikel

Judul Artikel Hal

1

Tingkat Kelangsungan Hidup Bibit Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) dengan Pengangkutan Sistem Tertutup di Kabupaten Kupang Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, Felix Rebhung dan Sunadji

1

2 Uji Kepadatan Bakteri Probiotik dengan Masa Simpan dan Jumlah Sarter Yang Berbeda Suseno, Masirah dan Himawan

6

3

Potensi Ekstrak Gracilaria sp. Sebagai Imunostimulan pada Budidaya Litopenaeus Vannamei (Kajian Putaka) Yudiana Jasmanindar, Sukenda, Muhammad Zairin Jr, Alimuddin dan Nur Bambang Priyo Utomo

18

4

Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.) Pada Sistem Aquaponik dengan Penambahan Probiotik dalam Pakan dan Penggunaan Kijing (Pilsbryoconcha exilis) dalam Komponen Biofilter Priyo Santoso dan Sunadji

27

5

Jumlah Atraktan Cumi yang Berbeda dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan, Kecernaan dan Efisiensi Nutrien Pada Ikan Sidat (Anguilla sp.) Arning Wilujeng Ekawati, Mohamad Fadjar, Dian Eva Turrizqi, Dian Isna Selviyati dan Adam Prabani Muhammad

32

6

Peran Salinitas dan Kalsium pada Pendederan Glass Eel Anguilla bicolor bicolor Terhadap Aktivitas Osmoregulasi dan Pertumbuhan Ade Y. H Lukas

43

7 Efikasi Rute Vaksin Aeromonas hydrophila ASB-01 pada Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus) Olga dan Fatmawati

51

8 Masalah Produksi Tambak Ikan Bandeng yang Rendah di Desa Bipolo Agenette Tjendanawangi dan Nikodemus Dahoklory

59

i

Page 5: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

9 Komposisi Nutrisi Makroalga Hijau yang Ditemukan di Perairan Teluk Kupang Yuliana Salosso

63

10 Peranan Bioteknologi Berbasis Probiotik dalam Perikanan Budidaya Ridwan Tobuku

68

11

Tingkat Kelulushidupan, Kecepatan Moulting dan Pertambahan Bobot Kepiting Bakau (Scylla Serrata) dengan Metode Mutilasi dan Injeksi Ekstrak Bayam di Tambak Oesapa Lasmi, Yahyah dan Cresca. B. Eoh

72

12

Sebaran Morfologi Tiram (Crassostrea cucullata) di Perairan Intertidal Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang Yohana Charolina Lily, Evi Husain dan Sunadji

87

13

Potensi Ekstrak Daun dan Batang Tumbuhan Mangrove Rhizophora stylosa dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Aeromonas hydrophila Heri Maryanto, Yunitasari dan Dini Siswani Mulia

98

14

Ekstraksi Etanol Buah Pedada (Sonneratia alba) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Vibrio harveyii Secara In Vitro Gloria Ika Satriani, Jimmy Cahyadi, Ery Gusman dan Eka Nur Juliana

105

15 Gambaran Histologi Insang dan Hati Ikan Kerapu Tikus pada Uji Toksisitas Jane L. Dangeubun dan Diana S. Syahailatua

112

KELOMPOK MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Nomor Urut Artikel

Judul Artikel Hal

16 Kondisi Padang Lamun Pulau-Pulau Kecil di Timur Perairan Pulau Bintan Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Indarto Happy Supriyadi

119

17

Coastal Communities Institution for Creative and Productive Enterprises in Nemberala Village Using Interpretative Structural Modeling Chaterina A. Paulus, Yohanis Umbu L. Sobang dan Marthen R. Pellokila

130

18

Studi Bioekologi untuk Pengembangan Budidaya Perikanan Model IMTA (Integrated Multi Tropich Aquaculture) di Kabupaten Kupang Yusuf Kamlasi, Alexander S. Tanody dan Mikson M.D Nalle

135

ii

Page 6: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

19

Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem di Kabupaten Alor Donny M. Bessie, Ida A. L. Dewi, Saraswati Adityarini dan Dwi Ariyogagautama

140

20 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang Deles Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek Mochammad Fattah, Pudji Purwanti dan Edi Susilo

147

21

Analisis Penentuan Prioritas Pengembangan Kawasan Teluk Kupang Berbasis Sektor Unggulan Alexander Leonidas Kangkan,, Marsoedi, Bambang Semedi, Gatut Bintoro

155

22

Identifikasi Jenis Lamun dan Jenis Biota Yang Hidup di Dalamnya di Perairan Pesisir Tesabela Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Sitti Halija dan Aludin Al Ayubi

162

23

Shannon-Wiener Diversity Index On Benthic Foraminifers is Less Effective to Approximating Coral Reef Ecosystem Quality in Kupang Bay Lumban Nauli Lumban Toruan, Fonny J.L. Risamasu, Chaterina Agusta Paulus

167

24

Analisis Komposisi dan Kepadatan Sampah Domestik yang Terpapar pada Ekosistem Pesisir Oesapa Kota Kupang Fonny J. L. Risamasu, Ricky Gimin, P. Sutejo, W. I. I. Mella dan Yahyah

174

25

Analisis Kandungan Proksimat Asam Amino dan Asam Lemak Algae Hijau Halimeda opuntia Asal Perairan Ujung Genteng Jawa Barat Abdullah Rasyid

188

26 Identification of Halogenated Monoterpenes plocamenone From Aotearoa Marine Red Algae Specimen Plocamium angustum Wem Turupadang

196

KELOMPOK TEKNOLOGI PENANGKAPAN, TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PENANGKAPAN, SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERIKANAN Nomor Urut

Artikel Judul Artikel Hal

27

Pengaruh Perbedaan Teknik Pengoperasian Alat Bantu Blabar dengan Menggunakan Alat Tangkap Seser pada Penangkapan Nener di Perairan Atapupu Kabupaten Belu Kumala Sari, Sriawan dan Samuel Ulu

204

28 Prospek Pengembangan Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan Oeba Kupang dalam Menunjang Aktivitas Perikanan Tangkap Susy Herwaty

211

iii

Page 7: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

29

Analisa Bauran Pemasaran dalam Strategi Penetrasi Pasar Terhadap Positioning Produk Stik Tulang Ikan pada UKM Ijtihad di Kota Kupang Chairul Pua Tingga dan Cahyaningtias

226

30 Kajian Mutu Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis L) Asap Akibat Penggunaan Bahan Baku Lokal Sebagai Pengawet Alami Naema Bora dan Rikka W. Sir

231

31 Optimalisasi Potensi Desa Pitay Melalui Budidaya Rumput Laut dan Kerang Darah untuk Peningkatan Ekonomi Masyarakat M.M. Dwi Wahyuni, Rut Rosina Riwu, Intje Picauly

239

32 Pola Kemitraan pada Usaha Perikanan Pole And Line Ditinjau dari Fungsi Ekonomi di Kota Kupang Naharuddin Sri, Alexander S. Tanody dan Joi A. Surbakti

246

33 Analisis Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Kota Kupang Yahyah dan Hadjrah Arifin

257

34

Politik dan Kebijakan Pembangunan Perikanan Masa Reformasi: Fenomenal dan Paradoksal Edi Susilo, Pudji Purwanti, Erlinda Indrayani, dan Candra Adi Intyas

272

iv

Page 8: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PENGANTAR

Peningkatan jumlah penduduk dunia dan efek pemanasan global telah berdampak

pada menurunnya produksi bahan pangan diberbagai Negara. Hal ini merupakan salah

satu ancaman bagi ketahanan pangan dunia tidak terkecuali Indonesia yang merupakan

salah satu Negara yang memiliki kekayaan hayati laut terbesar di dunia. Berdasarkan hal

tersebut, laut dan perairan tawar diharapkan dapat menopang ketersediaan sumber

pangan nabati dan hewani bagi penduduknya.

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut dan

perairan tawar (penangkapan, budidaya) telah banyak dilakukan, tetapi belum banyak

diaplikasikan oleh pengambil kebijakan maupun stakeholder. Menyadari hal tersebut

maka Fakultas Kelautan dan Perikanan berencana mengadakan seminar Nasional

Perikanan dan Kelautan yang merupakan media yang bisa mempertemukan berbagai

kalangan baik dari akademisi, peneliti, pengambil kebijakan, stakeholder, maupun

masyarakat yang mempunyai kepedulian pada bidang perikanan dan kelautan untuk

mensinergikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan agar bisa diaplikasikan untuk

peningkatan ketersediaan pangan dalam menghadapi MEA.

Pada kesempatan ini panitia mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas

Nusa Cendana beserta staf, Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan beserta staf, semua

panitia, serta semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan seminar nasional

tersebut. Selain itu, panitia juga memohon maaf kepada semua pihak, apabila

pelaksanaan seminar nasional sampai penyusunan prosiding ini kurang berkenan, serta

panitia mengharap kritik dan koreksi demi perbaikan isi dari prosiding ini.

Akhir kata semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Kupang, Oktober 2017

Panitia

v

Page 9: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Page 10: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP BIBIT RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) DENGAN PENGANGKUTAN SISTEM TERTUTUP

DI KABUPATEN KUPANG

Marcelien Dj Ratoe Oedjoe1, Felix Rebhung2 dan Sunadji3

1,2,3Staf Pengajar Fakultas Kelautan dan Perikanan, Univeristas Nusa Cendana Email:[email protected]

ABSTRAK

Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang dapat menjadi

unggulan ekspor daerah maupun nasional sekaligus dapat diupayakan untuk

meningkatkan kemandirian dan mewujudkan kedaulatan bangsa. Keberhasilan dalam

proses budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya

adalah pemilihan bibit unggul. Bibit rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan

dapat berasal dari bibit alam ataupun yang berasal dari hasil budidaya (murni).

Dengan demikian untuk penyediaan bibit awal sebaiknya bibit diambil dari luar daerah

dan untuk pengembangan selanjutnya, bibit-bibit tersebut dapat diadakan melalui

perkembang biakan/pembibitan secara vegetatif maupun generative. Kondisi normal bibit

rumput laut memiliki daya tahan di darat antara 6 – 20 jam. Maka pada daerah

yang waktu tempuh lebih dari 20 jam, pengiriman bibit rumput laut dilakukan dengan

pengangkutan sistem tertutup. Tujuannya untuk memperpanjang daya tahan rumput

laut sampai di lokasi budidaya serta membantu program pemerintah dalam

mendistribusikan bibit rumput laut ke daerah-daerah baru lokasi budidaya rumput laut.

Teknik pengangkutan rumput laut dengan pengangkutan sistem tertutup adalah cara

mengangkut dalam keadaan hidup dimana suhu media (komoditi) tersebut dipeking tidak

berhubungan langsung dengan udara luar. Untuk komoditi rumput laut pengangkutan

sistem ini tidak menggunakan air (kering). Bibit rumput laut yang telah disiapkan

disusun secara teratur dalam kotak sterefoam ukuran 40 x 60 cm sebanyak 6 buah.

Dalam satu kotak ukuran tersebut dapat menampung bibit rumput laut sekitar 14 – 16 kg.

Setelah itu bagian atas rumput ditutup dengan kertas koran yang berfungsi meresap

tetesan air dari rumput lautuntuk mengurangi genangan air di dasar kotak. Tahapan

berikutnya adalah kotak yang telah berisi bibit rumput tersebut ditutup rapat dan dilakban.

Setelah 5 jam dua kotak dibuka untuk mengetahui kondisi rumput laut

hingga jam ke 30 jam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa antara 5-35

jam waktu yang ditempuh, tingkat kelangsungan hidup Kappaphycus alvarezii mencapai

90-100%

Kata kunci : Daya tahan, tingkat kelulushidupan, Suhu media, Waktu tempuh, Kappaphycus alvarezii

ABSTRACT

Seaweed is one of aquaculture fisheries products of which can be export seed region and

aimed to national efforts should be made to increase independence and realize the nation

sovereignty .Success in the process of seaweed aquaculture is strongly influenced by

several factors, one of these is the election superior seeds .The seaweed seed

(Kappaphycus alvarezii) used can be derived from the seeds of nature or derived from the

results of the aquaculture. Thus to the provision of seeds should early seeds taken from

1

Page 11: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

outside the region and for subsequent development, in the seedlings it can be held

through reproduction a nursery in vegetative and generative .The normal condition of the

seaweed seed has endurance on land between 6-20 hours .Then in the area which travel

time over 20 hours of , delivery sea grass seed should be conducted by the transport of a

closed system. The aim is to extend durability seaweed location until in cultivation and

help the government program in distribute seaweed seed to areas new location seaweed

cultivation .The transportation technique seaweed with transporting a closed system is the

way transport in a living state where temperature media (commodity ) package do not deal

directly with outside air. To seaweed commodities transportation system of these are

using it to water (dry). Seeds seaweed prepared regularly arranged in a sterefoam box

size 40x60 cm as many as six box .In a box size can accommodate seeds seaweed about

14-16 kg. After that part the grass covered with newspaper that serves percolate drops of

seaweed to reduce the puddle at the base box. Next phase is a box from which it saves

seaweed seed was shut meetings and wrappin. After five hours two boxes opened to

know the state of seaweed until hours to 35 hours. Our observations showed that between

5-30 hours time traveled, Survival rate Kappaphycus alvarezii reached 90-100 %.

Key words: endurance, survival rate, temperature, travel time, Kappaphycus alvarezii

1.1 PENDAHULUAN

Bibit rumput laut dapat berasal dari stok alam atau dari hasil budidaya. Keuntungan bila bibit berasal dari stok alam adalah di samping mudah pengadaannya, juga cocok dengan persyaratan pertumbuhan secara alami. Sedangkan kerugiannya adalah bibit sering tercampur dengan jenis rumput laut lain. Bibit yang berasal dari hasil budidaya lebih murni karena hanya terdiri dari satu jenis rumput laut, tetapi bermasalah dalam hal mendatangkannya. Bila di daerah sekitar lokasi budidaya tidak terdapat sumber bibit, maka kita harus mendatangkannya dari daerah lain. Untuk menjaga agar kondisi rumput laut tetap segar diperlukan perlakuan-perlakuan tertentu. Pengangkutan bibit dari lokasi sumber ke lokasi budidaya dapat dilakukan dengan cara pengepakan. Bibit rumput laut disusun dalam kantong plastik secara berselang-seling dengan spons, atau kain, atau kapas yang telah dibasahi air laut. Agar bibit tidak rusak, penyusunan ini jangan dipadatkan. Ikat bagian atas plastik bila sudah penuh, dan buat lubang pada bagian ini dengan cara menusuk-nusukkan jarum. Masukkan plastik ke dalam kotak. Akhirnya bibit siap diangkut lewat darat atau udara. Sedangkan pengangkutan rumput laut dengan perahu

atau sampan cukup disimpan di dasar perahu, dan ditutup. Perlakuan seperti itu dimaksudkan agar selama dalam perjalanan bibit tetap lembap atau basah, terhindar dari panas matahari langsung dan panas mesin, tidak terkena air tawar dan air hujan, bibit selalu mendapat sirkulasi udara, serta bibit tidak terkena minyak atau kotoran-kotoran lain. Rumput laut Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut yang banyak berkembang di kalangan masyarakat pesisir. Jenis ini banyak dibudidayakan karena teknologi budidayanya mudah, murah serta prospek pasar yang cukup baik.

Melihat kondisi tersebut pemerintah mencanangkan program menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat pesisir dengan memanfaatkan potensi perairan pantai yang belum dimafaatkan sebagai tempat membudidayakan rumput laut. Program tersebut mulai berjalan tetapi mengalami kendala dimana tidak semua perairan pantai memiliki bibit rumput laut yang dimaksud. Menurut Atmadja, W.S.,dkk (1996) ,apabila di lokasi budidaya tidak terdapat bibit maka dapat didatangkan dari daerah lain dengan lama pengangkutan maksimal 24 jam dalam kondisi kering. Sehingga untuk membudidayakan rumput laut di suatu kawasan baru perlu mendatangkan bibit dari daerah lain. Proses pengadaan bibit

2

Page 12: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

rumput laut dari daerah sumber ke daerah kawasan baru budidaya rumput laut selalu mengalami kendala dimana waktu yang ditempu cukup lama dan teknik pengangkutan yang tidak tepat sehingga banyak tanaman yang mati.

Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu diciptakan teknik pengangkutan bibit rumput laut yang tepat untuk menanggulami masalah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian bibit rumput laut menunjukan bahwa proses pengiriman untuk daerah-daerah yang waktu tempunya kurang dari 10 jam dapat menggunakan perahu atau bak terbuka untuk pengiriman bibit. Sedangkan untuk daerah-daerah yang ditempuh lebih dari 10 jam pengiriman bibit rumput laut harus menggunakan pengangkutan sistem tertutup, seperti menggunakan sterefoam dan lain-lain.

Runtuboy (2008), menjelaskan jika di lokasi baru tidak terdapat bibit yang akan dibudidayakan maka dapat didatangkan dari daerah lain dengan tetap memperhatikan lama pangangkutan serta pengangkutan sebaiknya dilakukan pada malam hari. Pengangkutan sistem tertutup dilakukan dengan prinsip jika suhu dalam media pengangkutan diturunkan maka daya tahan dari rumput laut akan lebih lama dan akan mencapai lokasi jarak tempuhnya lebih jauh, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperpanjang daya tahan rumput laut agar pengiriman rumput laut sampai di lokasi budidaya serta membantu program pemerintah dalam mendistribusikan bibit rumput laut ke daerah-daerah baru lokasi budidaya rumput laut.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah: rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii, kertas Koran. Es batu. Alat berupa: sterefoam 40x60 cm sebanyak 6 kotak, thermometer, lakban, gunting. Sedangkan wadah pengangkutan yang digunakan adalah sterefoam. Sterefoam dipilih karana memiliki beberapa kaistimewaan antara lain : 1) dapat diperoleh di pasaran dalam jumlah yang banyak dengan ukuran

yang seragam, 2) kedap terhadap air sehingga tidak terjadi rembesan, 3) dapat menahan pengaruh dari luar sehungga es didalamnya tidak cepat mencair. Dalam 1 sterefoam menggunakan 3 bongkaan es batu masing-masing berukuran 600 ml. Sebelum es tersebut dimasukan terlebih dahulu dibungkus koran yang berfungsi memperlambat proses penairan es, dan dapat juga meresap air akibat es yang mencair guna menghindari terjadi genangan air di dasar kotak. Pada dasar kotak disusun kertas koran sebanyak tiga lapis, sedangkan pada dinding dan atas kotak cukup dengan satu lapisan koran. Fungsi dari penggunaan kertas koran adalah agar dapat meresap tetesan air baik dari atas, dinding maupun dasar kotak.

2.2 Metode

Metode pengangkutan system tertutup (kering). Teknik pengepakannya adalah menyiapkan kotak sterefoam ukuran 40 x 60 cm sebanyak 6 kotak. Pada dasar setiap sterefoam diberi alas kertas koran tiga rangkap yang berfungsi menyerap tetesan air dari bibit agar tidak terjadi genangan air pada dasar kotak. Siapkan 3 buah es batu dalam plastik ukuran 600 ml. Ke tiga es batu tersebut dibungkus kertas koran lalu dimasukan ke dalam kotak sterefoam.

Bibit yang digunakan umumnya tanaman muda hasil budidaya, umur tanaman berkisar antara 25 – 30 hari, selama pengangkutan dan persiapan pengepakan tidak boleh terkenah sinar matahari dan air tawar, bercabang banyak dan rimbun, warna spesifik, tidak terdapar bercak/ sehat. Pada saat bibit rumput laut akan dimasukan dalam media pengangkutan harus disusun merata (tanpa ditekan) agar bibit tersebut tidak rusak.

Bibit rumput laut yang telah disiapkan disusun secara teratur (jangan ditekan) dalam kotak tersebut. Dalam satu kotak ukuran tersebut dapat menampung bibit rumput laut sekitar 14 – 16 kg. Setelah itu bagian atas rumput ditutup dengan kertas koran yang berfungsi meresap tetesan air dari rumput laut untuk mengurangi genangan air di dasar kotak. Tahapan

3

Page 13: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

berikutnya adalah kotak yang telah berisi bibit rumput tersebut ditutup rapat dan dilakban, kemudian ke 12 kotak tersebut disusun dalam satu ruangan. Memasuki 5 jam pertama dua kotak

dibuka untuk mengetahui kondisi bibit demikian setiap 5 jam dua kotak dibuka hingga jam ke 30. Seperti Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Perlakuan dan Pengamatan Pengangkutan bibit rumput laut (Kappaphycus

alvarezii ) sistim tertutup.

No Jumlah

box Dibuka jam ke

Kondisi bibit 2 hari setelah Penanaman 5 10 15 20 25 30

1 2 box Xx 2 2 box Xx 3 2 box Xx 4 2 box Xx 5 2 box xx

6 2 box Xx

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan kegiatan pengamatan yang

dilakukan untuk mengamati kondisdi bibit rumput laut yang dipengepakang dilakukan sebagai berikut : - Memasuki 5 jam pertama dua kotak

dibuka, bibitnya diikat dan ditanam pada lokasi budidaya.

- Lima (5) jam berikutnya dua kotak berikutnya dibuka, bibitnya diikat lalu ditanam pada lokasi budidaya.

- Demikian setiap 5 jam dua kotak dibuka dan bibitnya diikat lalu ditanam

di lokasi budidaya hingga jam ke 30 dimana semua kotak telah terbuka.

- Setalah semua kotak dibuka dan tanamannya ditanam di lokasi budidaya, dilakukan pengamatan tentang perkembangan tanaman pada 2 hari pertama.

Data hasil pengamatan metode pengangkutan rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan sistem tertutup di Kabupaten Rote Ndao seperti Tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2. Data hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup bibit rumput laut

Kappaphycus alvarezii dengan pengangkutan sistem tertutup

No Jumlah

box

Dibuka jam ke Kondisi bibit

2 hari setelah Penanaman 5 10 15 20 25 30

1 2 box Xx Segar Hidup 2 2 box Xx Segar Hidup 3 2 box Xx Segar Hidup 4 2 box Xx Segar Hidup 5 2 box xx Kurang segar Sebagian mati 6 2 box Xx Tidak segar Sebagian mati

Berdasarkan data pada Tabel 1.2 di atas terlihat bahwa antara 5 sampai 20 jam pengangkutan bibit rumput laut sistem tertutup ini semua bibit (tanaman) terlihat segar. Hal ini terjadi karena prinsip dasar pengepakan dan pengangkutan rumput laut sistem tertutup yaitu menurunkan suhu media hidup komoditi tersebut selama proses pengangkutan. Karena

dengan suhu yang rendah akan mengurangi proses metabolisme pada komoditi yang diangkut. Sehingga energi yang dimiliki tidak banyak yang terkuras dan akan digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup komoditi tersebut lebih lama.

Berbeda dengan 4 kotak yang dibuka setelah 25 dan 30 jam, tampak bahwa

4

Page 14: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

tanaman sudah tidak segar lagi dan terlihat bahwa 50 % - 80 % dari tanaman menunjukan kelayuan dan banyak yang mati. Hal ini terjadi karena pada saat ke empat kotak terahkir dibuka tanpak bahwa seluruh es dalam box telah mencair dan suhu dalam kotak tersebut terasa sedikit lebih hangat. Selain pengamatan secara visual, juga dilakukan pengamatan terhadap tanaman setelah dua hari penanaman. Tanpak bahwa kotak yang dibuka antara 5 sampai 20 jam tanamannya tetap hidup dan menunjukan perkembangan. Sedangkan kotak yang dibuka pada jam ke 25 - 30 semua tanamannya mati. Pengamatan dilakukan pada 2 hari pertama, tanaman ditanam dilokasi baru dan dapat bertahan setelah dua hari maka tanaman tersebut dapat bertumbuh dan berkembang. Sebaliknya apabila tanaman tersebut tidak sehat maka pada dua hari pertama telah tanpak bahwa tanaman tersebut akan mati.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan dan hasil pengamatan maka dapat diambil beberapa kesimpulan dan saran antara lain : 1. Sebelum melakukan pengiriman

rumput laut tersebut perlu memperhitungkan lama waktu yang akan ditempuh.

2. Waktu tempuh yang harus dihitung adalah sesaat setelah bibit dipeking hingga saat bibit tersebut sampai di lokasi budidaya.

3. Lama waktu tempuh antara daerah sumber bibit ke lokasi budidaya akan mempengaruhi mutu bibit yang digunakan. Apabila waktu yang akan ditempuh lebih dari 15 jam dan kurang dari 35 jam maka pengepakan dan pengangkutan sebaiknya menggunakan sistim tertutup.

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas biaya

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat , Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan skim Penelitian

Unggulan Strategis Nasional sesuai dengan Kontrak Penelitian No: 204/UN15.19/LT/2017, dengan judul Tingkat Kelangsungan Hidup bibit Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) dengan Pengangkutan Sistem Tertutup di kabupaten Kupang.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, W.S., A. Kadi; Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut Rumput Laut Eucheuma spp. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Perindag NTT., 2014. Identifikasi dan Inventarisasi Komoditas Unggul di 11 Kabupaten Provinsi NTT, Laporan Hasil Penelitian (Tidak dipublikasi)

Perindag NTT., 2015.Roap Map Industri Rumput Laut di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Perindag NTT., 2016. Pengembangan Industri Makanan dan Minuman Program Penumbuhan dan Pengembangan Industri Berbasis Agro Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian di 5 Kabupaten

Zulkarnain; Lamusa, A.; dan Tangkesalu, D. 2013. “Analisis nilai tambah kopi jahe pada industri Sal-Han di kota Palu”. e-Journal Agrotekbis. Vol. 1 (5), pp: 493-499.

Ya’Ia Zakirah Raihani., 2008. Prospek Pengembangan Rumput Laut Di Kabupaten Morowali. J.Agroland 15 (2): 144-148

Runtuboy, N . 2008. Teknologi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii). Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.

5

Page 15: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

UJI KEPADATAN BAKTERI PROBIOTIK DENGAN MASA SIMPAN DAN JUMLAH SARTER YANG BERBEDA

TEST THE DENSITY OF PROBIOTIC BACTERIA WITH SHELF LIFE

AND NUMBER OF DIFFERENT STARTER

Suseno1, Masirah2 dan Himawan3 1,2,3)Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang

ABSTRAK

Komposisi probiotik dengan inokulan yang mudah diperoleh di pasaran yaitu bakteri Lactobacillus casei pada produk “Yakult” dan jamur Saccharomyces cerevisiae pada produk “Fermipan”. banyak beredar di masyarakat. Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa jumlah starter (yakult) tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah total mikroba probiotik, sedangkan perbedaan lama waktu inkubasi dalam satuan hari berpengaruh secara nyata terhadap jumlah total mikroba probiotik. Perkembangan bakteri terjadi puncaknya bukan pada hari setelah hari ke-5 tetapi pada hari ke-3. Hasil identifikasi mikroba yang dominan pada sampel probiotik adalah jenis Bacillus sp. atau lebih tepatnya adalah Lactobacillus casei. Hasil penelitian tahap 2 menyatakan bahwa waktu inkubasi (masa simpan) berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah total mikroba probiotik. Jumlah maksimum total mikroba (nilai TPC) sampel probiotik terjadi pada pengamatan jam ke-36 dengan nilai sebesar 6,0 x 1011 CFU/ml.

Kata Kunci : probiotik, mikroba, inkubasi, starter

ABSTRACT

Probiotic compositions with easy-to-obtain inoculants in the Lactobacillus casei bacteria on "Yakult" products and Saccharomyces cerevisiae mushrooms on "Fermipan" products. many circulating in the community. The results of the first phase showed that the number of starter (yakult) did not significantly affect the total number of probiotic microbes, whereas the difference of incubation time in units of day significantly affected the total number of probiotic microbes. Bacterial development occurs peak not on the day after day 5 but on the 3rd day. The dominant microbial identification result on probiotic sample is Bacillus sp. or rather Lactobacillus casei. The results of the second phase of the study showed that the incubation time (shelf life) significantly affected the total number of probiotic microbes. The maximum number of microbial total (TPC value) of the probiotic sample occurred at 36 hour observation with a value of 6.0 x 1011 CFU/ml.

Keywords: probiotics, microbes, incubation, starter

I. PENDAHULUAN

Usaha budidaya ikan dan udang semakin berkembang, namun permasalahan yang sering timbul adalah mahalnya harga pakan buatan pabrik dan adanya penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Mahalnya harga pakan ikan terutama pakan yang berasal dari pabrik sulit dikendalikan. Hal ini disebabkan bahan baku pakan harganya mahal, sementara

kurs rupiah terhadap dolar naik terus. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan pakan buatan (pellet) dengan meningkatkan daya cerna pakan melalui upaya mencampurkan pakan dengan probiotik. Pencampuran probiotik dengan pellet selain untuk memacu pertumbuhan ikan sendiri sekaligus juga bisa memberi kekebalan ikan dari kemungkinan terkena penyakit atau stres. Pakan pellet ini juga mengandung bakteri-bakteri

6

Page 16: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

menguntungkan yang berasal dari probiotik. Selain digunakan untuk mempercepat pembesaran ikan, probiotik juga bisa digunakan pada pembenihan dan pembesaran ikan. Pemberian probiotik menjadikan pertumbuhan serta daya tahan ikan menjadi jauh lebih baik dan menekan tingkat kematian.

Teknologi probiotik saat ini berkembang pesat, bahan – bahan yang dapat dibuat probiotik sangat banyak jenisnya dan terkadang merupakan bahan limbah yang murah harganya, misal : tetes tebu, air kelapa, kepala udang, air cucian beras, air cucian ikan dan sebagainya. Prinsip bahan penyusun probiotik adalah bahan – bahan sumber C (Carbon) dan N (Nitrogen) dalam bentuk senyawa sederhana (mudah diuraikan). Bakteri starter yang digunakan adalah bakteri spesifik yang mempunyai kemampuan dapat menguraikan bahan – bahan probiotik tersebut dengan cepat sehingga dapat mencapai kepadatan yang tinggi. Jenis jamur tertentu juga sering ditambahkan untuk membantu menguraikan sakarida yang rantainya masih tergolong panjang. Bakteri dengan media kultur berkomposisi C, N rasio seimbang atau mendekati 50%, pertumbuhannya akan logaritmik sehingga kepadatannya dapat mencapai 1012 sel/ml.

Komposisi probiotik banyak beredar di masyarakat, tetapi komposisi yang mudah diusahakan (dibuat) dan kapan probiotik tersebut sebaiknya mulai dapat diaplikasikan biasanya belum diketahuinya pembuatnya. Penelitian ini bermaksud membuat komposisi probiotik dari bahan yang mudah diperoleh, termasuk starternya dan perlu diketahui juga bagaimana kepadatan bakteri yang optimal sehingga probiotik tersebut sudah mulai dapat digunakan.

Tujuan umum dari pelaksanaan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara jumlah starter dan lama inkubasi yang berbeda terhadap kepadatan bakteri dalam media probiotik. Tujuan khusus dari penelitian adalah untuk mengetahui jumlah starter dan lama inkubasi terbaik atau pada jumlah starter tertentu akan diketahui kapan probiotik sebaiknya mulai dapat digunakan.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Bahan Penelitian

Bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan media probiotik yaitu : Air Kelapa, Tetes Tebu, Susu Skim, Ragi Roti Saccharomyces cerevisiae (Fermipan), Essen Stroberi dan bahan bakteri probiotik sebagai Stater yaitu Lactobacillus casei dalam kemasan (Merk) “Yakult” dan EM-4. Bahan Uji Bakteri Lactobacillus casei secara Total Plate Count dan bahan uji isolasi dan identifikasi bakteri pada sampel probiotik.

2.2 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam

pembuatan probiotik adalah kompor gas, panci, pengaduk, baskom, timbangan analitik merk ‘OHAUS’, gelas piala 250 ml, gelas ukur 600 ml, pisau, galon plastik dan corong plastik. Peralatan yang digunakan untuk analisa kepadatan bakteri meliputi : cawan petri, pipet, gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, hot plate stirrer, pengaduk, timbangan digital, oven kering, autoclave dan inkubator. 2.3 Metode

Penelitian dibagi menjadi dua tahap,

yaitu tahap 1 untuk mengetahui pengaruh jumlah starter dan masa simpan dan tahap 2 untuk mengetahui pengaruh masa simpan (inkubasi) terhadap jumlah total mikroba. Pada tahap 1 dilakukan eksperimen pada pembuatan probiotik dengan bahan media yang sama per unit perlakuan dan penambahan bakteri starter Yakult yang berbeda beda (mulai 1 hingga 4 botol), serta masa simpan mulai dari 1, 5, 10, dan 15 hari. Pada tahap, pembuatan probiotik dengan bahan media dan jumlah starter yang sama dengan perlakuan per 0, 12, 18, 24, 36, 48 dan 60 jam pengamatan. 2.4 Perlakuan

Perlakuan yang digunakan pada

penelitian tahap 1 adalah penambahan Yakult yang terdiri dari 4 level dengan masa inkubasi 4 level. Perlakuan yang

7

Page 17: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

diberikan ditunjukkan pada Tabel 2.1. Selanjutnya Formulasi bahan probiotik dan jumlah starter yang ditambahkan pada waktu penelitian tahap 1 ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Adapun perlakuan yang digunakan pada penelitian tahap 2 adalah perbedaan lama masa simpan (inkubasi) dalam

satuan jam yang terdiri dari 7 level jam pengamatan dengan ulangan sebanyak 4 kali. Perlakuan yang diberikan ditunjukkan pada Tabel 2.3. Formulasi bahan probiotik dan jumlah starter yang ditambahkan pada waktu penelitian tahap 2 ditunjukkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.1. Kode Perlakuan Penelitian Tahap 1

Perlakuan Penambahan

Yakult

Blok Pengamatan Kepadatan Bakteri (sel/ml) pada Masa Inkubasi Hari Ke :

1 5 10 15

1 botol (A) A1 A2 A3 A4 2 botol (B) B1 B2 B3 B4 3 botol (C) C1 C2 C3 C4 4 botol (D) D1 D2 D3 D4

Tabel 2.2. Formulasi Bahan Kultur Probiotik Penelitian Tahap 1

Bahan Media Probiotik

Perlakuan Penambahan Starter

A B C D

1 botol 2 botol 3 botol 4 botol

Air Kelapa 10 ltr 10 ltr 10 ltr 10 ltr Tetes Tebu (Molasses) 1 ltr 1 ltr 1 ltr 1 ltr Terasi 1 ons 1 ons 1 ons 1 ons Fermipan 2 sachet 2 sachet 2 sachet 2 sachet Susu Skim 1 sdm 1 sdm 1 sdm 1 sdm Essen 1 btl 1 btl 1 btl 1 btl

Tabel 2.3. Kode Perlakuan Penelitian Tahap 2

Ulangan

Pengamatan Kepadatan Bakteri (sel/ml) pada Masa Inkubasi Jam Ke :

0 12 18 24 36 48 60

1 A1 B1 C1 D1 E1 F1 G1 2 A2 B2 C2 D2 E2 F2 G2 3 A3 B3 C3 D3 E3 F3 G3 4 A4 B4 C4 D4 E4 F4 G4

Tabel 2.4. Formulasi Bahan Kultur Probiotik Penelitian Tahap 2

Bahan MediaProbiotik Volume

Air Kelapa 10 ltr Tetes Tebu (Molasses) 1 ltr Terasi 1 ons Fermipan 2 saset Susu Skim 1 sdm Essen 1 botol Starter Yakult 4 botol

8

Page 18: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

2.5 Rancangan Percobaan

Penelitian tahap 1 dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penggunaan RAK didasarkan pada materi percobaan dan faktor lingkungan yang relatif homogen, jumlah perlakuan dan Blok (Kelompok) relatif sedikit dan materi percobaannya terbatas (Yitnosumarto, 1989).

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (uji F

dengan = 5%). Apabila hasil uji F menunjukkan adanya perbedaan nyata maka dilakukan uji BNT pada tingkat kepercayaan 5%. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program Excel 2010. Penelitian tahap 2 dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap tunggal dengan 4 kali ulangan.

Perlakuannya adalah perbedaan jam (masa inkubasi) meliputi 7 level yaitu 0, 12, 18, 24, 36, 48 dan 60 jam.

2.6 Prosedur Penelitian

Prosedur pembuatan probiotik diawali dengan perebusan (pencampuran) air kelapa, molasses dan terasi. Perebusan hingga air mendidih selama 5 menit (bakteri mati), kemudian didinginkan. Setelah dingin ditambahkan bahan lain yaitu : fermipan, susu skim dan essence. Selanjutnya ditambahkan starter (Yakult) mulai 1 botol hingga 4 botol sehingga ada 4 galon kultur bakteri (Probiotik) skala massal. Secara umum skema proses pembuatannya seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Alur Proses Pembuatan Probiotik dan Pengujiannya

2.7 Parameter Uji

Parameter uji untuk probiotik adalah dengan cara menghitung kepadatan bakterinya, yaitu dengan Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng Total (ALT).

2.8 Prosedur Analisis Parameter Uji

Prosedur analisis parameter uji dalam

penelitian ini, dapat dilakukan melalui

beberapa tahapan tertentu, diantaranya adalah :

1) Analisa TPC/ALT

Metode penentuan angka lempeng

total atau TPC (Total Plate Count) yaitu digunakan untuk menentukan jumlah total mikroorganisme aerob dan anaerob yang terdapat pada produk. Pengukuran ini menggunakan metode TPC (Total Plate Count) yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang

Perebusan Air

Kelapa, Molasses

dan Terasi

Pendinginan

Penambahan

Fermipan, Susu Skim dan Essence

Penambahan Starter

Yakult (1-4 botol)

Inkubasi dan Pengujian

Pada Hari Ke :1-5-10-15

9

Page 19: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 350 C. Metode hitungan cawan merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik. Penentuan angka lempeng total yang dilakukan berdasarkan SNI 01-2332-3-2006.

2) Isolasi Mikroba

Sampel yang telah dihaluskan, kemudian dilakukan seri pengenceran. Metode seri pengenceran yang dilakukan dengan mengambil sebanyak 1 g sampel, dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml akuades sehingga didapat pengenceran 10-1, untuk mendapatkan pengenceran 10-2 dilakukan dengan mengambil 1 ml dari pengenceran 10-1 dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml akuades, demikian seterusnya dilakukan seri pengenceran hingga 10-5. Pengenceran 10-4 dan 10-5 diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media TSA dan diratakan, lalu diinkubasi dengan posisi cawan terbalik selama 24-48 jam pada temperatur 30ºC (Darmayasa, 2008)

3) Identifikasi Mikroba

Setelah inkubasi selama 48 jam, dilakukan isolasi bakteri dengan metode goresan kuadran beberapa tahap hingga diperoleh 1 isolat yang murni. Isolat-isolat yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan berpedoman pada buku Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium (Hadioetomo, 1993), Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al., 1994) dan menggunakan MICROBACTTM 24E Gram-Negative Identification System (OXOID) (Oxoid, 2005). Pengamatan morfologi sel yang meliputi uji pewarnaan Gram, bentuk sel dan uji motilitas, serta uji sifat fisiologis yaitu uji katalase, uji indol, uji MR-VP, uji Simmons Citrate, dan uji TSIA.

4) Morfologi Sel Prosedur dalam melakukan analisis

morfologi sel, dapat dilakukan melalui

bebera tahapan tertentu diantaranya adalah :

a) Pewarnaan Gram

Kaca objek dibersihkan dengan alkohol dan dilewatkan beberapa kali pada nyala api bunsen, kemudian diambil isolat bakteri dengan jarum ose secara aseptik dan dioleskan pada kaca objek. Isolat bakteri kemudian ditetesi ungu violet dan dibiarkan selama 1 menit, selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dianginkan hingga kering. Isolat bakteri kemudian ditetesi lagi dengan larutan iodine dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dianginkan hingga kering. Selanjutnya isolat bakteri ditetesi alkohol 95% selama 30 detik, kemudian dialiri air dan dianginkan hingga kering. Isolat bakteri kemudian ditetesi safranin selama 30 detik dan dicuci dengan air mengalir, dikeringkan dengan kertas penghisap dan dikering anginkan, kemudian dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop. Bakteri gram positif ditandai dengan warna ungu yang menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu mengikat warna kristal violet, sedangkan bakteri gram negatif ditandai dengan warna merah muda yang menunjukkan bahwa bakteri tersebut tidak mampu mengikat warna kristal violet dan hanya terwarnai oleh safranin (pewarna tandingan) (Hadioetomo, 1993).

b) Bentuk Sel

Bakteri yang tumbuh kemudian diamati bentuk selnya secara mikroskopik pada kaca preparat sehingga dapat diketahui bentuknya (kokus, batang atau spiral).

5) Sifat Fisiologi

Prosedur dalam melakukan analisis sifat fisiologi, dapat dilakukan melalui bebera tahapan tertentu diantaranya adalah :

a) Uji Katalase

Dua tetes H2O2 diletakkan pada kaca objek yang bersih. Isolat bakteri diambil menggunakan jarum ose, kemudian

10

Page 20: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dipindahkan ke atas kaca objek dan dicampurkan. Uji positif ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung oksigen yang menunjukkan bahwa organisme yang bersangkutan menghasilkan enzim katalase yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen (Hadioetomo, 1993).

b) Uji Motilitas

Isolat bakteri ditusukkan kedalam media SIM semi padat pada tabung reaksi menggunakan jarum ose tusuk steril. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Uji positif ditandai dengan pertumbuhan bakteri yang menyebar, maka bakteri tersebut bergerak (motil) dan bila pertumbuhan bakteri tidak menyebar hanya berupa satu garis, maka bakteri tersebut tidak bergerak (non motil) (Sudarsono, 2008).

c) Uji Indol

Diambil satu koloni terpisah denganmenggunakan jarum ose, kemudian diinokulasi ke dalam media SIM dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Setelah inkubasi ditambahkan 10-12 tetes reagen Kovac. Uji positif ditandai dengan terbentuknya lapisan berwarna merah di bagian atas biakan (Hadioetomo, 1993).

d) Uji MR

Diambil satu koloni terpisah dengan menggunakan jarum ose, kemudian diinokulasi ke dalam media MR-VP dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Pada uji MR, ditambahkan 3-4 tetes indikator merah metil. Uji positif ditandai dengan perubahan warna medium menjadi merah, artinya terbentuk asam (Hadioetomo, 1993).

e) Uji Simmons Citrate

Diambil satu koloni terpisah dengan menggunakan jarum ose dan diinokulasikan pada media Simmons Citrate lalu diinkubasi pada temperatur 37ºC selama 24 jam. Diamati adanya perubahan warna pada medium biakan (Hadioetomo, 1993). Uji positif ditandai dengan berubahnya warna medium menjadi biru (Sudarsono, 2008).

f) Uji TSIA

Diambil sebagian kecil koloni bakteri dengan menggunakan ose dan diinokulasikan pada media TSIA, kemudian dilakukan dengan cara menusuk tegak lurus pada bagian butt (tusuk) dan cara zig zag pada bagian slant (miring). Diinkubasi pada temperatur 37ºC selama 24 jam. Diamati perubahan warna medium yang terjadi. Apabila bagian slant berwarna merah dan butt berwarna kuning maka bakteri mampu memfermentasi glukosa, sedangkan apabila bagian slant dan butt keduanya berwarna kuning maka bakteri mampu memfermentasi sukrosa dan laktosa (Yusuf, 2009).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisa Total Mikroba Pada Sampel

Probiotik

Penentuan total mikroba sampel probiotik secara kuantitatif dilakukan dengan metode hitungan cawan (Total Plate Count). Hasil rata-rata TPC dan nilai log TPC sampel probiotik dengan perlakuan perbedaan jumlah starter dan masa inkubasi yang berbeda sebagaimana terdapat pada Tabel 2.5, sedangkan Gambar 2,2 menunjukkan hubungan antara rata-rata nilai log TPC pada perlakuan jumlah starter dan masa inkubasi yang berbeda.

11

Page 21: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 2.5. Hasil Rata-rata TPC dan Nilai Log TPC pada Sampel Probiotik

Lama Penyimpanan

(hari) Perlakuan

Rata-rata TPC (CFU/ml)

Rata-rata Nilai Log TPC

1

A 1,2 x 106 6,08 B 1,5 x 106 6,18 C 1,7 x 106 6,23 D 1,8 x 106 6,26

5

A 9,0 x 105 5,95 B 1,0 x 105 5 C 1,2 x 105 5,08 D 7,5 x 105 5,88

10

A 1,6 x 105 5,2 B 8,4 x 103 3,92 C 1,6 x 104 4,2 D 7,7 x 105 5,89

15

A 1,9 x 105 5,28 B 1,9 x 104 4,28 C 1,7 x 104 4,23 D 2,1 x 104 4,32

Gambar 2.2. Grafik Hubungan Rata-rata Nilai Log TPC pada Perlakuan Jumlah Starter dan Masa Inkubasi yang Berbeda

6.08 5.95

5.2 5.28

6.185

3.92 4.28

6.23

5.08

4.2 4.23

6.26 5.88 5.89

4.32

0

1

2

3

4

5

6

7

1 5 10 15

Nilai

Rata

-rata

Lo

g T

PC

Lama Pengamatan (Hari)

A (yakult 1 botol)

B (yakult 2 botol)

C (yakult 3 botol)

D (yakult 4 botol)

6.08 5.95

5.2 5.28

6.18

5

3.924.28

0

1

2

3

4

5

6

7

1 5 10 15

Nilai

Rata

-rata

Lo

g T

PC

Lama Pengamatan (Hari)

A (yakult 1 botol)

B (yakult 2 botol)

C (yakult 3 botol)

D (yakult 4 botol)

12

Page 22: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada rata-rata nilai log total mikroba pada sampel probiotik menunjukkan bahwa pengelompokkan blok ulangan dalam hal ini perbedaan masa inkubasi berpengaruh nyata terhadap jumlah total bakteri. Untuk perlakuan lama penyimpanan (sebagai Blok, hari ke 1, 5, 10 dan 15) menunjukkan adanya perbedaan (F Hit > F Tabel) dan dari diagram terlihat bahwa populasi bakteri naik drastis pada hari ke 1 kemudian turun pada hari ke 5, naik sedikit pada hari ke 10 dan turun lagi pada hari ke 15 atau cenderung datar setelah hari ke 1.

Akan tetapi sebaliknya, perbedaan perlakuan pemberian jumlah starter bakteri yang berasal dari minuman ‘yakult’ tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba pada sampel probiotik, atau untuk

perlakuan penambahan jumlah stater (bakteri Lactobacilus casei dari produk Yakult), mulai dari 1 botol hingga 4 botol tidak menunjukkan adanya perbedaan (F Hit < F Tabel).

Pada penelitian ini juga dilakukan analisa total mikroba pada bahan starter yang digunakan untuk membuat sampel probiotik, meliputi yakult, EM-4 dan terasi instan. Hasil analisal mikroba TPC nantinya akan digunakan sebagai data dukung untuk analisa hasil TPC pada sampel probiotik yang dibuat dengan jumlah starter yang berbeda dan masa inkubasi yang berbeda. Jumlah total mikroba pada bahan starter sampel probiotik pada penelitian ini sebagaimana terdapat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Jumlah Total Mikroba pada Bahan Starter Probiotik

No Nama bahan yang mengandung

Starter Bakteri Jumlah TPC (CFU/ml)

1 Yakult 8,4 x 104 2 EM-4 7,4 x 104 3 Terasi Instan 6,2 x 103

Hasil analisa pada Tabel 2.6

menunjukkan bahwa : terasi mengandung mikro 6,2 x 103 tetapi tidak berpengaruh pada produk probiotik karena direbus dengan air hingga mendidih. Pada Yakult mengandung 8,4 x 104 per botol 65 ml dicampur dengan media kultur 11 lt, karena volume starter yang terlalu sedikit sehingga pada awalnya kepadatan bakteri tidak terdeteksi dalam pengujian (kecil sekali). EM-4 merupakan standar kepadatan mikroba pada probiotik yang terdapat di pasaran.

Perkembangan bakteri starter dari yang tidak terdeteksi pada saat pencampuran ternyata berkembang pesat setelah 24 jam (hari ke 1) hingga menjadi rata-rata 106 dan kemudian mendatar pada hari-hari berikutnya, hal ini menunjukkan bahwa berapapun jumlah starter, maka bakteri akan berkembang pesat dalam waktu yang singkat kemudian mendatar. Perkembangan yang singkat ini dilakukan oleh bakteri Lactobacillus casei hingga habisnya oksigen terlarut, bakteri ini sifatnya aerob (dalam

perkembangannya membutuhkan oksigen (Holt et al., 1994) ). Pada hari-hari berikutnya fermentasi dilanjutkan oleh jamur Saccharomyces cerevisiae yang dapat hidup ada atau meskipun tanpa oksigen (fakultatif).

Perkembangan bakteri yang pesat ini di samping karena tersedia oksigen, juga media tumbuh (prebiotik) yang cocok dengan bakteri Lactobacillus casei, terdiri dari senyawa sumber karbon sederhana (gula/tetes tebu dan air kelapa) dan senyawa sumber nitrogen sederhana (asam amino dari terasi), dimana apabila komposisi unsur C dan N seimbang (50 : 50) maka perkembangan bakteri menjadi logaritmik.

Beda nyata ini terutama pada hari ke 1 atau 24 jam masa inkubasi dengan rata-rata total bakteri 106 kemudian mendatar pada hari ke 5,10 dan 15 dengan total bakteri rata-rata 104. Total bakteri ini sama dengan kandungan bakteri probiotik yang dijual di pasaran yaitu EM-4 yaitu 104, meskipun tertulis pada label > 104,

13

Page 23: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ternyata dari hasil uji laboratorium diketahui =104 (Tabel 2.6).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan bakteri terjadi puncaknya bukan pada hari setelah hari ke-5 tetapi sebelum hari ke-5, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini. Sebelum hari ke-5 dapat dipertajam lagi di bawah hari ke-3, karena hasil pengamatan selama penelitian awal, gas banyak dihasilkan pada hari ke-2 atau sekitar 24 jam, sehingga perlu dilakukan penelitian bukan hari sebagai acuannya tetapi jam, yaitu jam ke 0 (sesaat setelah

starter dicampur ke media), ke 12, 24, 36, 48, 60, 72 dan masing masing diulang 3 kali. 3.2 Isolasi dan Identifikasi Bakteri

dengan Metode Konvensional 3.2.1 Uji Fisiologis

Uji fisiologis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji katalase, uji indol, uji MR, uji Simmons Citrate dan uji TSIA. Dimana hasil dari pengujiannya dapat dirincikan melalui tabel berikut.

Tabel 2.7. Hasil Uji Fisiologis Isolat Bakteri pada Sampel Probiotik

Sampel

Jenis Uji

Uji Katalase

Uji Indol Uji MR Uji Simmons

Citrate Uji TSIA

Sampel ‘probiotik’

+ - - - k/k

Keterangan : + : terjadi reaksi - : tidak terjadi reaksi k/k : slant kuning / butt kuning

Berdasarkan Tabel 2.7, sampel

probiotik menunjukkan katalase yang positif (80%). Artinya pada isolat bakteri pada sampel probiotik menghasilkan enzim katalase. Menurut Lay (1994), uji katalase digunakan untuk mengetahui adanya enzim katalase pada isolat bakteri. Katalase merupakan enzim yang dapat mengkatalisis penguraian hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan O2. Hidrogen peroksida bersifat toksis terhadap sel bakteri karena bahan ini mampu menonaktifkan enzim dalam sel dan sangat berbahaya bagi sel bakteri itu sendiri. Uji ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui sifat dari suatu bakteri terhadap kebutuhan oksigen. Bakteri probiotik menghasilkan enzim katalase sehingga dapat menjamin keamanan produk, misalkan ada senyawa peroksida yang terbentuk akan langsung dirubah menjadi air dan O2, sehingga produk probiotik ini tidak membahayakan bagi hewan atau manusia yang mengkonsumsinya.

Hasil uji indol menunjukkan bahwa isolat bakteri pada sampel probiotik memberikan nilai negatif (100%) yang

berarti tidak dapat membentuk indol. Indol merupakan senyawa yang mengandung nitrogen yang terbentuk sebagai hasil pemecahan amino tryphosphat. Pentingnya uji indol ini adalah karena hanya beberapa jenis bakteri saja yang dapat membentuk indol dan produk ini dapat diuji sehingga dapat digunakan sebagai identifikasi. Bakteri probiotik ini tidak menghasilkan senyawa indol yaitu senyawa yang dapat menyebabkan bau yang tidak sedap (apek).

Berdasarkan Tabel 2.7, hasil pengamatan dari uji methyl red (MR) ini menunjukkan bahwa isolat bakteri pada sampel probiotik tidak dapat mengoksidasi glukosa yang berarti menunjukkan hasil negatif (100%). Menurut Sudarsono (2008), uji merah metil (methyl red test) bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk mengoksidasi glukosa dengan memproduksi asam dengan konsentrasi tinggi sebagai hasil akhirnya. Jika media MR-VP akan menjadi merah setelah ditambahkan merah metil menunjukkan bahwa hasil uji positif, sedangkan jika media tetap berwarna kuning menunjukkan hasil uji negatif. Hal

14

Page 24: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ini menunjukkan tidak adanya oksigen setelah terpakai habis untuk awal fermentasi.

Selanjutnya pada Tabel 2.7 juga dapat dilihat bahwa hanya isolat bakteri pada sampel probiotik menunjukkan hasil yang negatif. Ini berarti sampel bakteri tidak mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Menurut Hadioetomo (1993), media sitrat simmons merupakan salah satu medium yang digunakan untuk menguji kemampuan bakteri dalam menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon yang digunakan. Bila bakteri mampu tumbuh dengan menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon maka akan terlihat perubahan warna pada media tumbuh bakteri pada permukaan agar miring akan menjadi warna biru.

Tabel 2.7 juga menunjukkan bahwa isolat bakteri pada sampel probiotik mampu memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Menurut Sudarsono (2008), media TSIA mengandung tiga macam gula yaitu glukosa, laktosa, atau sukrosa. Uji TSIA ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dari suatu bakteri dalam memfermentasi gula untuk menghasilkan asam atau gas. Warna merah pada agar menunjukkan reaksi basa, sedangkan warna kuning menunjukkan reaksi asam. Warna merah pada permukaan agar dan kuning di bagian bawah agar menunjukkan bahwa terjadinya fermentasi glukosa. Warna kuning pada bagian permukaan dan bawah tabung menunjukkan terjadinya fermentasi laktosa dan sukrosa. 3.2.2 Identifikasi Isolat Bakteri

Identifikasi genus dari suatu bakteri memerlukan karakter-karakter utama dari bakteri yaitu morfologi sel (bentuk sel dan susunan sel), uji biokimia dan tipe fermentasi (Suryani et al., 2010).

Hasil identifikasi mikroba yang dominan pada sampel adalah jenis

Bacillus sp. atau lebih tepatnya adalah Lactobacillus casei. Bakteri yang mendekati genus ini memilki ciri-ciri morfologi yaitu gram positif, bentuk sel bulat, batang dan motil. Bentuk koloni bundar, tepian koloni berombak, elevasi koloni cembung dan warna koloni kuning atau krem. Katalase positif, indol negatif, uji MR negatif, uji sitrat negatif dan TSIA memiliki warna permukaan dan bawah kuning. Menurut Holt et al. (1994) bakteri Bacillus sp. gram positif, motil dengan flagel peritrik. Endospora oval, kadang-kadang bundar atau silinder dan sangat resisten pada kondisi yang tidak menguntungkan. Warna koloni putih susu sampai kekuningan dengan tepian berombak. Bakteri ini bersifat aerobik. Katalase dan oksidase positif. Indol negatif dan mampu memfermentasi glukosa serta laktosa dan sukrosa. Tersebar luas pada bermacam-macam habitat dan sedikit spesies yang patogen. Suhu tumbuh optimum pada 28ºC-35ºC.

3.2.3 Pengaruh Waktu Inkubasi Pada

Jumlah Total Mikroba

Hasil penelitian ini merupakan penelitian lanjutan untuk melihat perkembangan pertumbuhan bakteri dengan waktu inkubasi yang dipertajam lagi di bawah hari ke-3, karena hasil pengamatan selama penelitian awal, gas banyak dihasilkan pada hari ke-2 atau sekitar 24 jam, sehingga perlu dilakukan penelitian bukan hari sebagai acuannya tetapi jam, yaitu jam ke 0 (sesaat setelah starter dicampur ke media), ke 12, 18, 24, 36, 48, dan 60 jam pengamatan dn masing masing diulang minimal 3x. Hasil pengamatan kepadatan bakteri pada media kultur (probiotik) dengan masa inkubasi yang berbeda tersaji pada Tabel 2.8, sedangkan Gambar 2.3 menunjukkan grafik hubungan nilai rata-rata log TPC sampel probiotik pada setiap jam pengamatan (masa inkubasi).

15

Page 25: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 2.8. Rata-rata TPC dan Rata-rata Nilai Log TPC Sampel Probiotik Berdasarkan Perbedaan Masa Inkubasi

Lama Pengamatan (Jam)

Rata-Rata TPC (CFU/ml)

Rata-rata Nilai Log TPC

0 9,8 x 1010 10,99 12 1,4 x 1010 10,15 18 9,5 x 109 9,98 24 3,0 x 1010 10,48 36 6,0 x 1011 11,78 48 1,4 x 1011 11,15 60 1,9 x 1010 10,29

Gambar 2.3. Grafik Hubungan Rata-rata Nilai Log TPC Sampel Probiotik Pada Setiap Masa Inkubasi

Tabel 2.8 menunjukkan bahwa rata-

rata TPC pada sampel probiotik dengan masa inkubasi yang berbeda berkisar antara 9,5 x 109 sampai 6,0 x 1011. Jumlah nilai TPC bakteri pada jam ke-0 pengamatan awalnya naik kemudian turun pada jam ke-12, 18 dan perlahan naik sampai puncaknya pada jam pengamatan ke-36 dan selanjutnya jumlahnya menurun terus sampai pengamatan 60 jam.

Hasil analisa sidik ragam (ANOVA) pada rata-rata nilai log total mikroba pada sampel probiotik tahap 2 menunjukkan bahwa perbedaan masa inkubasi berpengaruh nyata terhadap jumlah total bakteri. Untuk perlakuan lama pengamatan (jam ke-0, 12, 18, 24, 36, 48 dan ke-60) menunjukkan adanya perbedaan (F Hit > F Tabel) dan dari diagram terlihat bahwa populasi bakteri

10.159.98

10.48

11.775

11.1475

10.29

9

9.5

10

10.5

11

11.5

12

0 12 18 24 36 48

Nilai

Rata

-rata

Lo

g T

PC

Jam Pengamatan

Rata-rata Log TPC

10.9975

10.159.98

10.48

11.775

11.1475

10.29

9

9.5

10

10.5

11

11.5

12

0 12 18 24 36 48 60

Nilai

Rata

-rata

Lo

g T

PC

Jam Pengamatan

Rata-rata Log TPC

16

Page 26: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

cenderung tinggi pada jam ke-0 kemudian turun pada jam ke 12 dan ke-18, kemudian naik sedikit pada hari ke-24, naik drastis (mencapai puncak) pada jam ke-36 dan cenderung turun lagi pada jam ke-48 dan 60.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : 1. Hasil penelitian tahap 1 menyatakan

bahwa jumlah starter (yakult) tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah total mikroba probiotik, sedangkan perbedaan lama waktu inkubasi dalam satuan hari berpengaruh secara nyata terhadap jumlah total mikroba probiotik.

2. Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa perkembangan bakteri terjadi puncaknya bukan pada hari setelah hari ke-5 tetapi sebelum hari ke-5 (hari ketiga).

3. Hasil identifikasi mikroba yang dominan pada sampel probiotik adalah jenis Bacillus sp. atau lebih tepatnya adalah Lactobacillus casei.

4. Hasil penelitian tahap 2 menyatakan bahwa waktu inkubasi (masa simpan) berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah total mikroba probiotik.

5. Jumlah maksimum total mikroba (nilai TPC) sampel probiotik terjadi pada pengamatan jam ke-36 dengan nilai sebesar 6,0 x 1011 CFU/ml.

4.2 Saran

Berdasarkan penelitian, maka kami

menyarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlu adanya penelitian lanjutan terkait

dengan aplikasi pemakaian probiotik yang dibuat ini pada bidang akuakultur.

2. Perlu penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi jenis bakteri-bakteri yang tumbuh pada sampel probiotik

secara komprehensif (bakteri menguntungkan dan bakteri patogen).

3. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat budidaya sebagai pengguna hasil penelitian secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA Darmayasa, I.B.C., 2008. Daya Hambat

Fraksinasi Ekstrak Sembung Delan (Sphaerantus indicus L.) Terhadap Nakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Jurnal Biologi, 11 (2) : 74-77.

Hadioetomo, R. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Holt, et al. (1994). Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 9th Edition. USA: Williams and Wilkins Baltimore.

Oxoid. 2005. The Manual Oxoid. 9th

ed. Basingstoke. England.

Sudarsono A. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada Ikan Laut dalam Spesies Ikan Gindara (Lepidocibium flavobronneum). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suryani, Y., Astuti, Bernadeta, O dan Siti, U.,2010, Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kotoran Ayam Agensi Probiotik dan Enzim Kolesterol Reduktase, Biologi dan PengembanganProfesi Pendidikan, ISBN: 978-602-97298-0

Yitnosumarto, Suntoyo. 1989. Dasar-Dasar Statistika. Jakarta: Rajawali Pers.

Yusuf RW. 2009. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Gram Negatif pada Luka Ikan Maskoki (Carassius auratus) Akibat Infeksi Ektoparasit Argulus sp.. Skripsi. Surabaya: Unversitas Erlangga.

17

Page 27: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

POTENSI EKSTRAK Gracilaria sp. SEBAGAI IMUNOSTIMULAN PADA BUDIDAYA Litopenaeus vannamei (KAJIAN PUSTAKA)

Yudiana Jasmanindar1,2, Sukenda3, Muhammad Zairin Jr4, Alimuddin5 dan Nur Bambang Priyo Utomo6

1 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor 2 Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana, Kupang

3,4,5,6 Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRAK Pengembangan budidaya udang vaname tidak terlepas dari masalah penyakit yang berdampak pada produksi. Perlu pengendalian penyakit sehingga mengurangi kematian udang vaname. Pengendalian diharapkan efektif dan efisien dalam mengatasi serangan patogen. Respon imun udang sama seperti krustasea lainnya bergantung pada respon imun alami. Imunostimulan merupakan alternatif pengendalian penyakit pada udang vaname. Bahan tersebut dapat meningkatkan respon imun alami terhadap serangan patogen yang masuk kedalam tubuh udang vaname. Ekstrak rumput laut telah terbukti mampu meningkatkan sistem imum biota budidaya perairan. Pada artikel review ini memperlihatkan potensi esktrak rumput laut khusus Gracilaria sp. yang telah terbukti potensial sebagai imunostimulan. Lebih lanjut dibahas tentang metode ektraksi bahan aktif dari Gracilaria sp. serta responnya pada sistem imun alami udang. Kata kunci: Gracilaria, ekstrak, udang vaname, imunostimulan I. PENDAHULUAN

Salah satu komoditas yang mendapat perhatian pemerintah untuk dikembangkan oleh pelaku pembudidaya perairan salah satunya adalah udang vaname (Litopenaeus vaname). Biota ini mempunyai prospek usaha yang menguntung baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu produksi komoditas spesies air laut didominasi oleh udang vaname, 77% diantaranya diproduksi negara-negara Asia termasuk Indonesia (FAO, 2011).

Masalah penyakit tidak terlepas dari kegiatan budidaya ini, walaupun udang vaname terbilang tahan terhadap serangan penyakit. Namun bila terserang penyakit yang diakibatkan oleh patogen dapat menyebabkan kematian masal. Berdampak pada kerugian produksi karena tidak sesuai target produksi.

Kejadian penyakit pada udang vaname yang dibudidayakan terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Penyakit yang timbul dari kegiatan budidaya udang vaname antara lain karena serangan

bakteri. Akibat serangan bakteri patogen dapat menurunkan produksi budidaya udang vaname yang ditargetkan dalam suatu produksi biomassa udang vaname. Kematian pada udang yang dibudidayakan biasa disebabkan oleh bakteri, salah satunya adalah Vibrio harveyi, yang menyebabkan penyakit vibriosis. Patogen ini sangat virulen dan bila udang terserang penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi (Austin dan Zhang 2006).

Meningkatkan imunitas alami (non-spesifik) udang merupakan salah satu tindakan untuk dapat resisten terhadap infeksi (Song dan Huang 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aplikasi imunostimulan merupakan alternatif untuk meningkatkan kesehatan udang yang dibudidayakan dan dapat melawan epidemik (Wang et al. 2008). Peningkatan imun non-spesifik dapat mengurangi kerentanan terhadap penyakit (Subasinghe, 1997). Penggunaan imunostimulan diharapkan dapat mengatasi serangan patogen pada budidaya udang vaname.

18

Page 28: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

II. PENGKAJIAN

2.1 Budidaya Udang VanameI

Udang vaname merupakan komoditas

budidaya yang memiliki peluang untuk dikembangkan (Wang et al. 2008). Hal ini dikarenakan biota ini memiliki nilai jual dan pasar yang menjanjikan, selain itu peningkatan produksi ini setiap tahun mengalami peningkatan (Bondad-Reantaso et al. 2012).

Lingkungan budidaya sering merupakan hal yang sangat berpengaruh pada produksi udang vaname. Dissolved oxygen (DO) merupakan faktor pembatas dalam budidaya. Air pada dasar kolam dimana udang berada, dapat menjadi hypoxic atau bahkan anoxic karena respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik dari sisa pakan dan feces, terutama pada malam hari. Kondisi hypoxic dapat membahayakan hidup udang. Nilai DO diatas 5 mg l-1 sering direkomemdasikan untuk budidaya intensif (Zhang et al., 2006). Kekurangan oksigen menyebabkan udang mudah terserang bakteri vibriosis dan dapat menyebabkan kematian hingga 48% dari populasi udang (Le Moullac et al., 1998).

Budidaya pembesaran udang di beberapa negara menggunakan oxytetracycline (OTC), oxolinic acid (OXA), chloramphenicol dan furazolidone yang dicampur dalam pakan buatan sebagai perlakuan untuk melawan vibriosis luminous (Cruz-Lacierda et al., 2000). Obat yang digunakan berakibat langsung pada pemberian pakan yang berlebih dan menurunkan nafsu makan organisme yang dibudidaya. Akibat tidak langsung yaitu adanya agen antimikroba dengan konsentrasi rendah mengakibatkan berkembangnya strain yang resisten (Tendencia and dela Pena, 2002). Selanjutnya Tendencia and dela Pena (2001) melaporkan bahwa berkembangnya resistensi antibiotik dapat dihubungkan dengan penggunaan antimikrobial pada kolam udang. Penggunaan antibiotik secara berlebihan menyebabkan strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Goarant et al, 2006). Bakteri vibrio yang terdapat pada kolam/air/sedimen dan bagian kolam

lainnya pada budidaya udang yang menggunakan antibiotik oxytetracycline menunjukkan resistan terhadap antibiotik tersebut (Tendencia and dela Pena, 2002). Penggunaan oxytetracycline menyebabkan meningkatnya bakteri yang resisten pada lahan udang (Nash et al., 1992). Abraham et al (1997) mengisolasi strain V. harveyi yang resisten terhadap antibiotik yang digunakan dalam sistem akuakultur, dari udang yang sakit. Lebih lanjut Hameed dan Balasubramaniam (2000) menemukan bahwa bakteri resisten yang diisolasi dari Artemia nauplii resisten terhadap erythromycin, nitrofurazone dan oxytetracycline.

Penggunaan obat yang berlebihan dalam mengendalikan penyakit pada udang dapat beresiko pada kesehatan manusia, akibat dari residu dalam udang dan berdampak pula pada lingkungan dengan adanya residu antibiotik (Reed et al, 2003). Antimikroba yang digunakan di Jepang berupa oxolinic acid dan oxytetracycline (Uno, 2004). Meskipun oxytetracycline belum disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan dalam budidaya udang, di USA obat ini telah digunakan dan sukses dalam treatment vibriosis septicemia (Mohney et al., 1997), namun bersifat residu pada L. vannamei.

2.2 Sistem Imun Udang

Terdapat dua sistem imun dasar pada hewan, satu tipe merupakan sistem imun spesifik dimana memori beberapa karakteristik kimia spesifik patogen yaitu yang secara biokimia tersimpan dalam sistem selular host. Tipe lainnya adalah sistem imun non spesifik, dimana tidak ada sistem memori yang tersimpan, tetapi sistem pertahanan selular respon terhadap tipe spesifik molekul yang ditemukan pada permukaan sel beberapa stimulan seperti bakteri, jamur dan juga beberapa virus (Dugger and Jory, 1999).

Sistem imun pada krustasea merupakan non spesifik dan mengandalkan pada fagositosis, encapsulation dan agglutination sepanjang phenoloxidase-mediated production melanin melalui pro-phenoloxidase (Smith and Soderhall, 1983). Menurut Johansson

19

Page 29: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

et al., (2000) krustacea memiliki tiga tipe haemocyte tertentu, yaitu sel hialin, sel semi-granular dan sel granular. Masing-masing dengan morfologi dan fungsi fisiologi tertentu. Fagosit hemosit merupakan salah satu sistem imun non spesifik pada udang. Bagaimana sel ini mengenali stimulan adalah sebagian besar tergantung pada tipe dari permukaan molekul–protein dan karbohidrat yang ditemukan pada permukaan patogen dan bagaimana tipe molekul ini berbeda dari permukaan sel host. Pengenalan sel itu sendiri meliputi sejumlah struktur kompleks pada permukaan sel host dimana hemosit dapat mengenalinya dan menginterpretasikan (Dugger and Jory, 1999).

Udang yang merupakan hewan akuatik memiliki sistem-sistem dengan peran fisiologi yang penting dalam kehidupannya sebagai mahluk hidup. Di antaranya sistem yang dimiliki adalah sistem imunitas. Sistem ini diperlukan untuk mempertahankan diri dari serangan patogen akuatik yang selalu ada dalam media lingkungan hidupnya. Imunitas pada hewan merupakan upaya proteksi terhadap infeksi dan preservasi fisiologis homeostasis (Mori, 1990). Sebagaimana diketahui bahwa respon imunitas terdiri dari respon humoral yang bersifat spesifik dan respons seluler yang bersifat nonspesifik baik pada ikan (Corbel, 1975; Anderson, 1990) maupun pada udang (Itami, 1994). Oleh karena itu spesifitas dan pengenalan zat asing yang merupakan dasar mekanisme respon imunitas juga dimiliki udang.

Hemosit udang berperan penting pada awal dan memelihara respon imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi) merupakan sel kompoten immunology yang tertua dan sangat konsisten. Untuk mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifasi dimana termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif berserat (crenellated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu) yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen. Juga yang sangat penting bahwa

nyatanya sel ini memproduksi sejumlah rangkaian perubahan metabolik yang hasilnya berupa diproduksinya sejumlah cytokines dan komponen penting lainnya, yang berperan sebagai pengaturan bagian dalam dari sistem imun. Pengaktifan dapat diawali dengan beberapa rangsangan, seperti endotoxins, bakteri dan virus, dan juga oleh bahan kimia seperti polisakarida. Pengecualian bagi polisakarida, kebanyakan stimulan imun dapat bersifat racun atau patogenik untuk digunakan dalam praktek budidaya (Dugger and Jory, 1999).

Secara fisiologis, hemolim udang sangat berperan dalam proses terjadinya respons imunitas tersebut. Jaringan yang terlibat dalam pembentukan respons imunitas adalah jaringan limfomieloid (Mori, 1990; Johansson and Soederhall, 1985; Itami, 1994). Sistem imun udang sangat sederhana, hal ini berimplikasi terhadap keberadaan organ limfoidnya. Seperti halnya dengan ikan, jaringan limfoid udang menyatu dengan jaringan myeloid membentuk jaringan limfomieloid (Itami, 1994). Pada udang, organ limfoidnya disebut sebagai Oka organ; yang mirip dengan sel dentritik reticulum pada folikel mamalia (Itami, 1994). Oka organ ini terdiri dari 2 lobus, terletak di dorsa-anterior hepatopankreas dan ventral-lateral lambung anterior dan posterior, secara histologis, anastomosa tubul organ limfoid mengandung massa basofilik (Bell and Lightner, 1988).

Menurut Johansson dan Soderhall, 1989, Prophenoloxidase (proPO) dan phenoloxidase dilibatkan dalam encapsulation, melanisation dan berfungsi sebagai sistem non-self recognition. Phenoloxidase merupakan enzim terminal dalam sistem proPO-activating dan diaktifkan oleh lipopolisakarida atau peptidoglycan dari bakteri, β-1,3 glukan dari jamur melalui pengenalan molekul dan polisakarida beberapa rumput laut (Cheng et al., 2004).

Udang yang sakit terlihat lemah dan sensitive terhadap stress, berenang dekat permukaan air dan berada pada pinggir kolam. Rangkanya menjadi lunak, buram dan gelap, bekuan hemolim lambat dan bakteri terlihat dengan pengamatan langsung menggunakan dark field

20

Page 30: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mikroskop. Infeksi dari bakteri vibrio pada udang penaeid biasanya berasosiasi juga dengan bakteri Gram-negatif batang lainnya (Costa et al., 1998). Infeksi bakteri pada udang dapat menempati tiga tempat (bentuk) yaitu: spots pada cutikula (disebut penyakit bacterial shell), lokasi infeksi pada usus atau hepatopancreas dan generalized septicemia.

Parameter imun udang antara lain haemocyte count, phenoloxidase activity, respiratory burst, superoxidase dismutase activity, phagocytic activity dan clearance efficiency dari Litopenaeus vannamei dan kerentanan terhadap Vibrio spp ketika udang diberi (disuntik) dengan immunostimulan (Cheng et al., 2004). 2.3 Imunostimulan

Pemberian immunostimulan secara luas dengan maksud untuk mengaktifkan sistem imun non spesifik sel seperti makrofag pada vertebrata dan hemocyte pada avertebrata (Dugger and Jory, 1999). Immunostimulan penting untuk mengontrol penyakit ikan dan berguna pada budidaya ikan. Penggunaan immunostimulan dilakukan pada budidaya ikan karena kemoterapi yang diberikan pada ikan menyebabkan resistensi pada bakteri tertentu. Immunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Penggunaan immunostimulan, dengan ditambahkan pada agen kemoterapi dan vaksin, telah diterima luas oleh petani ikan.

Ikan yang ditreatment dengan immunostimulan biasanya menunjukkan peningkatan aktifitas sel fagositik. Aktifitas sel fagositik dapat dideteksi dengan fagositosis, killing dan chemotaxis. Meningkatnya genetik yang terbunuh adalah sangat penting pada makrofage dari ikan yang ditreatment dengan immunostimulan. Killing mechanisme makrofage dapat dikategorikan sebagai oxygen-dependent atau oxygen-independent. Oxygen-dependent killing mechanisme dimediasikan oleh reactive oxygen species (ROS) dapat dideteksi dengan chemiluminescence (Kajita et al.,

1990) dan uji NBT ( Sakai et al., 1995). Limfosit juga diaktifkan oleh immunostimulan, aktifitas lysozyme juga dipengaruhi oleh pemberian immunostimulan (JØrgensen et al., 1993).

Immunostimulan digunakan untuk meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik pada hewan, termasuk udang (Song and Sung, 1990). Immunostimulan seperti beta 1,3 D glucan dapat digunakan sebagai nutrisi yang dapat mendukung sistem imun non spesifik dari udang laut pada kondisi budidaya. Pemberian imunostimulan dapat dilakukan dengan (Dugger and Jory, 1999):

1. Penyuntikan Penyuntikan beta glucan dan stimulant

imun lainnya dapat memberikan respon non spesifik yang kuat, tetapi biasa tidak praktis dan efektif dalam hal biaya dalam usaha budidaya, kecuali untuk juvenile yang besar dan dewasa untuk tujuan high value seperti broodstock atau genetik.

2. Immersion Baths Memberikan respon imun non spesifik

yang sedikit, tetapi lebih efektif dalam hal biaya daripada dengan penyuntikan. Namun dapat menimbulkan stress pada udang karena meningkatnya penanganan dan kepadatan dalam perendaman. Makrofag dan hemocyte dapat diaktifkan pada fase larva ikan, dan ini sama juga pada udang muda.

3. Oral Memberikan respon imun non spesifik yang baik dan merupakan metode yang lebih efektif. Namun beta glucan yang diberikan secara oral memiliki jalur dan fungsi yang berbeda dengan bahan pakan. Konfigurasi beta glucan merupakan acid resistant, jadi lewat begitu saja dalam saluran pencernaan tanpa melalui perubahan. Sehingga penyerapan beta glucan pada dinding usus menggunakan mekanisme phagocytic transport.

2.4 Ekstraksi Gracilaria sp.

Secara taksonomi seaweed atau rumput laut digolongkan ke dalam Divisio Thallophyta dengan empat kelas besar dalam Divisio ini, yaitu: Chlorophyceae

21

Page 31: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru-hijau). Rumput laut sudah dikenal berabad lampau sebagai makanan dan obat tradisional (Angadiredja dkk, 1996). Jenis-jenis rumput laut yang telah dibudidayakan di Indonesia antara lain Eucheuma denticulatum, Kapaphycus alvarezii, Gracilaria verrucosa, G. gigas, G. lichenoides dan G. confervoides. Sedangkan jenis Ulva sp, Hypnea sp, Sargassum sp, Enteromorpha sp dan Turbinaria sp terdapat berlimpah pada musim tertentu namun pemanfaatannya belum optimal (Angadiredja dkk, 1996).

Struktur molekul agar terdiri dari susunan agarose yang tidak bermuatan dan agaropectin yang bermuatan. Agarose digunakan sebagai media kultur (mikroba, kultur sel dan kultur jaringan), dan digunakan juga dalam proses elektroforesa, tehnik imobilisasi, khromatografi serta immunologi (Angadiredja dkk, 1996).

Penerapan teknologi ekstraksi, memberikan kemungkinan melakukan isolasi metabolit sekunder dari rumput laut. Hasil penelitian farmasi-kimia menunjukkan pula, bahwa rumput laut menghasilkan banyak jenis metabolit sekunder, dengan variasi struktur senyawa yang unik dan secara biologi aktif. Pemeriksaan farmakologi dan mikrobiologi dari ekstrak dan isolate, memberikan gambaran yang lebih jelas akan manfaat rumput laut dalam bidang farmasi (Angadiredja dkk, 1996).

Dikemukakan oleh Castro et al (2006) bahwa dinding sel rumput laut berisi matrix polisakarida yang berlimpah yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida bersulfat, yang tidak terdapat pada tumbuhan darat (Percival 1979; Kloareg and Quatrano, 1988). Dengan demikian gula terbentuk dan dengan adanya kelompok sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis yang berbeda termasuk antiviral, anticoagulant, antitumor dan aktifitas immunomodulatory pada mamalia (Castro et al., 2006). Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktifitas

immunomodulatorynya telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari beberapa spesies rumput laut dapat menstimulasi aktifitas respiratory burst dari fagosit turbot, proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro et al, 2006). Ditambahkan juga bahwa metabolit primer yang umumnya merupakan senyawa polisakarida dan bersifat “hidrokoloid” seperti karaginan, agar, alginate dan furcelaran digunakan sebagai senyawa “additive” dalam industri farmasi. Metabolit primer asam-asam amino sebagai sumber gizi, serta metabolit sekunder yang merupakan senyawa “bioactive substances” dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat (Angadiredja dkk, 1996).

Ekstrak Gracilaria verrucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst pada makrofage tikus baik secara in vitro maupun in vivo (Yoshizawa et al., 1996). Karagenan, (sulphated polisakarida) yang diperoleh dari alga merah, memicu lekosit tikus untuk

memproduksi TNF- sebagai respon terhadap lipopolisakarida bakteri (Ogata et al., 1999). Walaupun demikian beberapa tipe dari karagenan terlihat merusak fungsi dari makrofag (Schmidt et al., 1993). Agar merupakan polisakarida campuran yang terdapat dalam matrix sel dari alga merah (Rhodophyta). Agar terdiri dari dua komponen yang berbeda: agarose dan agaropectin (Marinho-Soriano and Bourret, 2005). Gracilaria diketahui juga mempunyai aktifitas antimicrobial pada ikan terhadap beberapa jenis bakteri (Bansemir et al., 2006).

Polisakarida sulfat yang diperoleh dari rumput laut merah merupakan salah satu produk yang dapat dimanfaatkan dalam bidang medis. Alga merah menghasilkan carrageenan, agar, agarose, fulcellaran atau Danish agar. KCarrageenan terdiri dari unit anhydrogalactose dan sulphated

galactose linked 1.3 dan 1.4 (Bhakuni dan Rawat 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sulphated polisakarida memiliki aktifitas imunostimulasi, demikian juga SG dari beberapa alga laut dan Gracilaria fisheri dapat sebagai antibakteri dan dapat menstimulasi sistem imun biota perairan

22

Page 32: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(ikan dan udang) (Pierre et al. 2011; Wongprasert et al. 2014).

Pelarut dan metode ekstraksi SG dari rumput laut Gracilaria spp. telah banyak diteliti dalam usaha untuk mendapat SG yang mampu menstimulasi sistem imun udang vaname dan mendukung pertumbuhan udang (Kanjana et al. 2011, Chen et al, 2012). Menurut Wongprasert et al. 2014, metode ekstraksi yang dilakukannya mendapatkan rendeman SG sebesar 3 % dari berat kering G. fisheri yang diekstraksi. Selain itu pula kandungan sulfat yang diperoleh lebih tinggi dari hasil ekstraksi rumput laut Gracilaria spp. lainnya. Sifat-sifat bioaktif rumput laut bervariasi tergantung pada sumber rumput laut, komposisi dan struktur dan kemurnian produk ekstraksi yang dihasilkan (Ale et al. 2011).

III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

3.1 Kesimpulan Pengendalian penyakit perlu tindakan

yang tepat dan efisien. Sistem imun yang berperan pada udang vaname L. vannamei merupakan sistem imum alami (innate immune). Sehingga imunostimulan maupun imunomodulator merupakan alternatif mengatasi serangan patogen. Berbagai sumber imunostimulator salah satunya adalah ekstrak Gracilaria spp., telah terbukti potensial sebagai imunostimulan.

3.2 Rekomendasi

Berdasarkan kajian yang terkait dengan Gracilaria sp. sebagai imunostimulan, maka beberapa hal yang direkomendasikan antara lain: 1. Imunostimulan sebagai alternatif

pengendalian penyakit udang Litopenaeus vannamei

2. Ekstrak Gracilaria sp., potensial sebagai imunostimulan.

DAFTAR PUSTAKA Abraham T.J., R. Manely, R. Palaniappan,

and K. Devendaran. 1997. Pathogenicity and antibiotic sensitivity of luminous Vibrio harveyi isolated

from diseased penaeid shrimp. J. Aquat. Trop. 12: 1 – 8.

Ale MT, Mikkelsen JD, Meyer AS. 2011. Important determinants for fucoidan bioactivity: A critical review of structure-function relations and extraction methods for fucose-containing sulfated polysaccharides from brown seaweeds. Marine Drugs. 9:2106-2130. doi: 10.3390/md9102106.

Anderson DP. 1990. Immunological indicators:Effects of environmental stress on immune protection and disease outbreaks. American Fisheries Society Symposium 8: 38 – 50.

Angadiredja J., S. Irawati, dan Kusmiyati. 1996. Potensi dan manfaat rumput laut di Indonesia dalam bidang farmasi. Prosiding Seminar Nasional Industri Rumput Indonesia. Jakarta, 1 – 10.

Austin B, Zhang X-H. 2006. Vibrio harveyi: a significant pathogen of marine vertebrates and invertebrates. Letters in Applied Microbiol. 43:119-124. doi:10.1111/j.1472-765X.2006.01989.x

Bansemir A., M. Blume, S. Schroder, and U. Lindequist. 2006. Screening of cultivated seaweeds for antibacterial activity against fish pathogenic bacteria. Aquaculture 252: 79 – 84.

Bell TA., and DV. Lightner. 1988. A handbook of normal penaeid shrimp histology. World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana. USA.

Bhakuni DS, Rawat DS. 2005. Bioactive Marine Natural Products. Anamaya Publisher. India. Halaman 9-12.

Bondad-Reantaso MG, Subasinghe RP, Josupeit H, Cai J, Zhou X. 2012. The role crustacean fisheries and aquaculture in global food security: Past, present and future. J Inverteb Phatol. 110:158-165.

Castro R., MC. Piazzon, I. Zarra, J. Leiro, M. Noya, and J. Lamas. 2006. Stimulation of turbot phagocytes by Ulva rigida C. Agardh polysaccharides. Aquaculture 254: 9 – 20.

Chen Y-Y, Sim SS, Chiew SL, Yeh S-T, Liou C-H, Chen J-C. 2012. Dietary

23

Page 33: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

administration of a Gracilaria tenuispitata extract produces protective immunity of white shrimp Litopenaeus vannamei in response to ammonia stress. Aquaculture. 370-371:26-31.

Cheng W., CH. Liu, ST. Yeh, and JC. Chen. 2004. The immune stimulatory effect o sodium alginate on the white shrimp Litopenaeus vannamei and its resistance against Vibrio alginolyticus. Fish and Shellfish Immunology 17, 41 – 51.

Corbel MJ. 1975. The immune response in fish: A review. J. Fish Biol. 7: 539 – 563.

Costa R., I. Mermoud, S. Koblavi, B. Morlet, P. Haffner, F. Berthe, M. Le Groumellec, and P. Grimont. 1998. Isolation and characterization of bacteria associated with a Penaeus stylirostris diseases (Syndrome 93) in New Caledonia. Aquaculture 164: 297 – 309.

Cruz-Lacierda ER., L. dela Pena, and S. Lumanlan-Mayo. 2000. The use of chemicals in aquaculture in the Philippines. In: Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., Subasinghe, R.P. (Eds.), Use of Chemicals in Aquaculture in Asia, Iloilo, Philippines, pp. 155–184.

Dugger DM., and DE. Jory. 1999. Bio-Modulation of the non-specific immune response in marine shrimp with Beta-glucan. Aquaculture Magazine No.1/volume 25: 81 – 89.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Cultured Aquatic Species Information Programme Penaeus vannamei (Boone, 1931). Rome. 14 p.

Goarant C., D. Ansquer, J. Herlin, D. Domalain, F. Imbert, and S. De Decker. 2006. “Summer Syndrome” in Litopenaeus stylirostris in New Caledonia: Pathology and epidemiology of the etiological agent, Vibrio nigripulchritudo. Aquaculture 253: 105– 113.

Hammed ASS., and G. Balasubramanian. 2000. Antibiotic resistance in bacteria isolated from Artemia nauplii and efficacy of formaldehyde to control bacterial load. Aquaculture 183: 195 – 205.

Itami T. 1994. Body defense system of penaied shrimp. Paper presented on Seminar on Fish Physiology and Prevention of Epizootic. Dept. of Aquaculture and Biology. Shimonosheki Univ. of Fisheries. Japan.

Johansson MW., and K. Söderhäll. 1985. Exocytosis of the prophenoloxidase activating system from crayfish haemocytes. J. Comp. Physiology B. 156, 175 – 181.

Johansson MW., and K. Söderhäll. 1989. Cellular immunity in crustaceans and the proPO system. Parasitol Today 5:171-176.

Johansson MW., P. Keyser, K. Srithunyalucksana, and Söderhäll K. 2000. Crustacean haemocyte and hematopoeiesis. Aquaculture 191: 5 – 32.

Jrgensen JB., GJE. Sharp, CJ. Secombes, and B. Robertsen. 1993. Peritoneal and head kidney cell response to intraperitoneally injected yeast glucan in Atlantic salmon, Salmo salar L. J. Fish Dis. 16: 313 – 325.

Kajita Y., M. Sakai, S. Atsuta, and M. Kobayashi. 1990. The Immunomodulatory effects of levamisole on rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Fish Pathol. 25: 93 – 98.

Kanjana K, Radtanatip T, Asuvapongpatana S, Withyachumnarnkul B, Wongprasert K. 2011. Solvent extract of the red seaweed Gracilaria fisheri prevent Vibrio harveyi infections in the black tiger shrimp Penaeus monodon. Fish Shellfish immunol. 30:389-396.

Kloareg B., and RS. Quatrano. 1988. Structure of the cell walls of marine algae and ecophysiological function of the matrix polysaccharide. In: Castro R., Piazzon, M.C., Zarra, I., Leiro, J., Noya, M., Lamas, J., 2006. Stimulation of turbot phagocytes by Ulva rigida C. Agardh polysaccharides. Aquaculture 254: 9 – 20.

Marinho-Soriano E., and E. Bourret. 2005 Polysaccharides from the red seaweed Gracilaria dura

24

Page 34: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(Gracilariales, Rhodophyta). Bioresource Technology 96: 379 -382.

Mohney LL., RR. Williams, TA. Bell, and DV. Ligtner. 1997. Residues of oxytetracycline in cultured juvenile blue shrimp, Penaeus stylirostris (Crustacea: Decapod), fed medicated feed for 14 days. Aquaculture 149: 193 – 202.

Mori K. 1990. The present state of immunological research in marine aquaculture. Proceeding of the Third Intenational Colloquium on Pathology in Marine Aquaculture. 2 – 6 October 1988. Virginia USA.

Nash G., C. Nithimathachoke, C. Tungmandi, A. Arkarjamorn, P. Prathanpipat, and P. Ruamthaveesub. 1992. Vibriosis and its control in pond-reared Penaeus monodon in Thailand. In: Shariff, M., Subasinghe, R.P., Arthur, J.R. Eds. Diseases in Asia Aquaculture I. Fish Health Section. Asian Fisheries Society et al. Diseases in Asian Aquaculture I. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines, pp 143 – 155.

Ogata M., T. Matsui, T. Kita, and A. Shigematsu. 1999. Carrageenan primes leukocytes to enhance lipopolysaccharide-induced tumor necrosis factor alpha production. In: Castro R., Piazzon, M.C., Zarra, I., Leiro, J., Noya, M., Lamas, J., 2006. Stimulation of turbot phagocytes by Ulva rigida C. Agardh polysaccharides. Aquaculture 254: 9 – 20.

Percival E. 1979. The polysaccharides of green, red and brown seaweeds: their basic structure, biosynthesis and function. In: Castro R, Piazzon MC, Zarra I, Leiro J, Noya M, Lamas J. 2006. Stimulation of turbot phagocytes by Ulva rigida C. Agardh polysaccharides. Aquaculture 254: 9 – 20.

Pierre G, Sopena V, Juin C, Mastouri A, Graber M, Maugard T. 2011. Antibacterial activity of a sulfated galactan extracted from the marine alga Chaetomorpha aerea against Staphylococcus aureus. Biotech Bioprocess Engineer. 16:937-945.

Reed AL., TC. Siewicki, and JC. Shah. 2003. Pharmakokinetic of oxytetracycline in the white shrimp, Litopenaeus setiferus. Aquaculture 232:11-28.

Sakai M., S. Atsuta, M. and Kobayashi. 1995. The activation of leucocytes in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, by oral administration of Clostridium butyricum bacterin. In: Shariff, M., Subasighe, R.P., Arthur, J.R. (Eds.), Diseases in Asian Aquaculture Vol. 11. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines, p. 433 – 437.

Sakai M. 1999. Current research status of fish immunostimulants. Aquaculture : 172:63 – 92.

Schmidt CJ., LY. Chung, AM. Andrews, O. Spyratou, and TD. Turner. 1993. Biocompatibility of wound management product: a study of the effects of various polysaccharides on murine L929 fibroblast proliferation and macrophage respiratory burst. In: Castro R., MC. Piazzon, I. Zarra, . Leiro, M. Noya, and J. Lamas, 2006. Stimulation of turbot phagocytes by Ulva rigida C. Agardh polysaccharides. Aquaculture 254: 9 – 20.

Smith VJ., and K. Söderhäll. 1983. -1,3 glucan activation of crustacean haemocytes in vitro and in vivo. Biol. Bull. 164: 299-314.

Song YL., and HH. Sung. 1990. Enhancement of growth in tiger shrimp (Penaeus monodon) by bacteria prepared from Vibrio vulnificus. Bulletin of European Association of Fish Pathology : 10: 98 – 9.

Song YL, Huang CC. 2000. Application of immunostimulants to prevent shrimp disease. In: Fingerman F, Nagabhushanam R, editors. Recent advances in marine biotechnology. New Hampshire: Science Publication Inc. Halaman 173-187

Subasinghe R. 1997. Fish health and quarantine. In: Review of the State of World Aquaculture. FAO Fisheries Department, Rome.

Tendencia EA., and LD. dela Pena. 2001. Antibiotic resistance of bacteria from

25

Page 35: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

shrimp ponds. Aquaculture 195:193 – 204.

Tendencia EA., and LD. dela Pena. 2002. Aquaculture Level and percentage recovery of resistance to oxytetracycline and oxolinic acid of bacteria from shrimp ponds. Aquaculture 213:1 –13.

Uno K. 2004. Pharmacokinetics of oxolinic acid and oxytetracycline in kuruma shrimp, Penaeus japonicus. Aquaculture 230, 1 – 11.

Wang Y-C, Chang P-S, Chen H-Y. 2008. Differential time-series expression of immune-related gene of Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei in

response to dietary inclusion of -1.3-glucan. Fish Shellfish Immunol. 24:113-121.

Yoshizawa Y, Tsunehiro J, Nomura K, Itoh M, Fukui F, Ametani A, Kaminogawa S. 1996. In vivo macrophage-

stimulation activity of the enzyme-degraded water-soluble polysaccharide fraction from a marine alga (Gracilaria verrucosa). Biosci. Biotechnol. Biochem. 60 (10):1667–1671.

Wongprasert K, Rudtanatip T, Praiboon J. 2014. Immunostimulatory activity of sulfated galactans isolated from the red seaweed Gracilaria fisheri and development of resistance against white spot syndrome virus (WSSV) in shrimp. Fish Shellfish Immunol. 36: 52-60.

Zhang P., X. Zhang, J. Li, and G. Huang. 2006. The effects of body weight, temperature, salinity, pH, light intensity and feeding condition on lethal DO levels of whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Aquaculture 256: 579 – 587.

26

Page 36: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias sp.) PADA SISTEM AQUAPONIK DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK DALAM

PAKAN DAN PENGGUNAAN KIJING (Pilsbryoconcha exilis) DALAM KOMPONEN BIOFILTER

Priyo Santoso1 dan Sunadji2

12)Pusat Unggulan Iptek Lahan Kering Kepulauan, Universitas Nusa Cendana Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan probiotik dalam pakan dan penggunaan kijing (Pilsbryoconcha exilis) sebagai komponen tambahan dalam biofilter terhadap laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) dalam sistem aquaponik. Penambahan komponen aquaponik ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penghematan penggunaan air dalam sistem aquaponik, sehingga lebih efektif diterapkan di daerah lahan kering kepulauan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap faktorial, dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah pemberian probiotik dengan konsentrasi 2 ml/kg, 4 ml/kg dan 6 ml/kg dalam pakan untuk meningkatkan efisiensi pakan pada ikan lele sangkuriang sehingga meminimalisir buangan metabolit, dan penggunaan kijing dalam sistem biofilter dengan kepadatan 50 kijing/m2, 100 kijing/m2, dan 200 kijing/m2 untuk meningkatkan efisiensi penyerapan buangan budidaya berupa partikel tersuspensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan lele berkisar antara 2,201-3,619 %/hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian probiotik dalam pakan ikan dan penggunaan kijing dalam sistem biofilter memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap laju pertumbuhan ikan lele dalam sistem aquaponik, namun pengaruh interaksi kedua perlakuan tidak berbeda nyata (P > 0,05). Kata Kunci: Pertumbuhan, ikan lele, aquaponik, probiotik, kijing, biofilter

ABSTRACT

The study aims to determine the effect of the addition of probiotics in feed and the use of mussels (Pilsbryoconcha exilis) as an additional component in biofilter to the growth rate of catfish sangkuriang (Clarias sp.) In the aquaponic system. The addition of aquaponic component is expected to increase the effectiveness of water use in the aquaponic system, making it more effective to apply in the archipelago dryland region. This was an experimental study using a factorial completely randomized design, with three replications. The treatments applied were probiotics concentration of 2 ml/kg, 4 ml/kg and 6 ml/kg in feed to increase feed efficiency in sangkuriang catfish to minimize metabolite waste, and use mussel in biofilter system to a density of 50 mussels/m2, 100 mussels/m2, and 200 mussels/m2 to increase the efficiency of cultivated waste absorption in the form of suspended particles. The results showed that the growth rate of catfish ranged from 2.201-3.619 %/day. The result of variance analysis showed that the treatment of probiotic in fish feed and the use of mussels in the biofilter system gave significantly different effect (P < 0.05) to catfish growth rate in aquaponic system, but the interaction effect of the two treatments was not significantly different (P > 0.05).

Keywords: Growth, catfish, aquaponic, probiotic, mussel, biofilter

27

Page 37: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

I. PENDAHULUAN

Ikan air tawar terutama ikan lele saat ini telah berkembang pesat budidayanya di Nusa Tenggara Timur. Tingginya harga jual ikan lele segar dan meningkatnya permintaan pasar merupakan faktor pendorong tumbuhnya usaha budidaya ikan lele di masyarakat. Saat ini harga ikan lele di tingkat pembudidaya mencapai Rp 35.000/kg, sedangkan harganya di swalayan mencapai Rp 56.100/kg. Harga ini sangat tinggi karena harga ikan lele di daerah Jawa hanya Rp 18.000/kg, bahkan setara dengan harga fillet ikan tuna kelas ekspor. Tingginya minat konsumen pada produk ikan lele juga dipengaruhi oleh kesadaran akan keamanan pangan. Produk ikan lele segar akan sampai ke tangan konsumen dalam kondisi masih hidup sehingga dipastikan tidak terkontaminasi (mengandung) bahan formalin yang sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen karena bersifat karsinogenik.

Salah satu kendala dalam pengembangan budidaya ikan air tawar di Nusa Tenggara Timur adalah ketersediaan air tawar, terutama di musim kemarau. Hal ini karena daerah ini memiliki iklim semiringkai dengan musim hujan efektif hanya tiga bulan. Selain itu daerah ini terdiri dari banyak pulau-pulau kecil dan tiga pulau besar dengan jumlah keselurahan 566 pulau, yang menghasilakan suatu kondisi alam yang khas yang dinamakan lahan kering kepulauan. Guna mendukung pengembangan akuakultur tawar di daerah lahan kering kepulauan. Diperlukan paket teknologi yang hemat dalam penggunaan air seperti aquaponik. Sistem aquaponik yang telah dikenal saat ini dapat ditingkatkan efektivitasnya melalui perbaikan efisiensi pakan biota budidaya dan peningkatan kapasitas filtrasi dan komponen filter. Upaya peningkatan efisiensi pakan dapat dilakukan dengan penambahan probiotik dalam pakan, sedangkan peningkatan kapasitas filtrasi dapat dilakukan dengan menambahkan komponen biofilter. Dengan kombinasi ini diharapkan system aquaponik lebih hemat dalam penggunaan

air, bahkan tidak perlu ganti air selama siklus produksi.

Sistem aquaponik merupakan kombinasi dari sistem akuakultur dan hidroponik, sehingga pemberian namanya merupakan perpaduan dari kedua sistem tersebut yaitu aquaponik. Fokus akuponik adalah memaksimalkan pertumbuhan ikan di dalam tangki atau kolam pemeliharaan, dalam suatu sistem resirkulasi yang komponen biofilternya adalah tanaman-tanaman hidroponik. Tanaman ini memanfaatkan nutrien yang dihasilkan dari buangan budidaya seperti sisa metabolit dan sisa pakan (Chalmers, 2004).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan probiotik dalam pakan dan penggunaan kijing (bilvavia) sebagai komponen tambahan dalam biofilter terhadap laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang dalam sistem aquaponik. Dengan kombinasi ini diharapkan sistem aquaponik lebih hemat dalam penggunaan air, hanya diperlukan penambahan air yang hilang karena penguapan dan evaporasi selama siklus produksi.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Perikanan, UPT. Laboratorium Lapang Terpadu/Pusat Unggulan Iptek Lahan Kering Kepulauan, Universitas Nusa Cendana, dari bulan Agustus sampai Oktober 2017.

2.2 Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap faktorial, dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah pemberian probiotik dengan konsentrasi 2 ml/kg, 4 ml/kg dan 6 ml/kg dalam pakan untuk meningkatkan efisiensi pakan pada ikan lele sangkuriang (Clarias sp) sehingga meminimalisir buangan metabolit, dan penggunaan kijing (Pilsbryoconcha exilis) dalam sistem biofilter dengan kepadatan 50 kijing/m2, 100 kijing/m2 dan 200 kijing/m2 untuk

28

Page 38: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

meningkatkan efisiensi penyerapan buangan budidaya berupa partikel tersuspensi.

Sistem aquaponik ikan lele-kijing-sayuran terdiri atas, a) Kolam terpal untuk pemeliharaan ikan lele berukuran 3 x 2 x 1 m3; b) Bak pemeliharaan kijing dan sayuran terbuat dari multiplex berlapis fibreglass. Ukuran masing-masing bak adalah 1 x 0,5 x 0,2 m3 diisi dengan media kerikil berukuran butiran 5-7 mm yang disebarkan merata menutupi permukaan bak hingga ketebalan 5 cm. Bagian tengah bak yang berisi kerikil untuk media pemeliharaan sayuran, sedangkan pada bagian tepi bak terdapat kemalir untuk pemeliharaan kijing; c) Filter fisik dan biologis, yang ditempatkan dalam ember plastik. Filter fisik menggunakan serabut plastik dengan ketebalan 5 cm. Filter ini berfungsi untuk menyaring bahan-bahan padat dalam air media budidaya. Filter biologis menggunakan bioball yang dibungkus dalam waring dan ditempatkan di bagian bawah filter fisik. Bioball berfungsi sebagai media bakteri yang berperan dalam proses penguraian bahan-bahan organic kompleks dalam air media budidaya; d) Pompa dasar (submersible pump). Pompa dasar yang digunakan adalah merk Yamano tipe WP-3700 yang berkapasitas 1.500 L/jam; e) Instalasi pipa yang menghubungkan seluruh komponen sistem terbuat dari PVC ukuran ½ dan ¾ inchi.

Sebelum digunakan, seluruh bak telah direndam air selama sebulan dan dilanjutkan dengan pengurasan dan pengisian dengan air yang baru. Padat penebaran ikan lele pada seluruh unit perlakuan adalah 100 ekor/m2. Ukuran benih lele yang digunakan adalah panjang total/ekor berkisar 5-7 cm dan berat 1,5-2,5 g. Sebelum ditempatkan dalam unit perlakuan, benih ikan lele tersebut telah diaklimatisasi selama sebulan dalam bak beton 5 ton di lokasi penelitian ini. Setelah bak ikan ditebari ikan dan air berubah warna menjadi kehijauan akibat pemberian pakan, maka sayur siap ditanam. Biji sayur kangkung langsung dipendam dalam kerikil sampai bersemai. Biji dipendam pada jarak 15 x 15 cm. Selanjutnya, ikan lele dipelihara selama dua bulan dengan pemberian pakan

berupa pakan komersial, dimana pada awal penelitian diberi pakan ikan starter, setelah berumur dua minggu pakan diganti dengan pakan ikan awal, dan dan pakan ikan akhir akan diberikan setelah dua minggu berikutnya dan seterus akan diganti sesuai ukuran ikan sampai pada pemanenan. Tingkat pemberian pakan adalah 5% berat badan per hari. Berat pellet yang diberikan dikoreksi setiap minggu sesuai dengan pertumbuhan ikan. Selama pemeliharaan tidak dilakukan penggantian air, kecuali yang hilang akibat penguapan atau evaporasi.

2.3 Variabel yang Diteliti

Variabel yang diteliti adalah laju

pertumbuhan sesaat (Instantanneous Growth Rate/IGR) menggunakan rumus (Hopkins, 1992):

IGR =ln Wt − ln Wo

t X 100 %

Keterangan : G : Laju pertumbuhan ( g/hari) W0 : Bobot rata-rata individu pada

awal penelitian (g) Wt : Bobot rata-rata individu pada

akhir penelitian penelitian (g) t : Lama pemeliharaan (hari)

2.4 Analisis Data

Data hasil penelitian akan dianalisis

dengan menggunakan analisis varian faktorial. Analisis statistik akan dikerjakan dengan menggunakan piranti lunak SPSS 24.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang berkisar antara 2.194−3.172 %/hari. Rerata laju pertumbuhan tertinggi pada perlakuan kombinasi probiotik 6 ml/kg dan penggunaan kijing dengan kepadatan 200 kijing/m2. Laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 4.1.

29

Page 39: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 4.1. Grafik Laju Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian probiotik dengan konsentrasi 2 ml/kg, 4 ml/kg dan 6 ml/kg dalam pakan ikan dan penggunaan kijing (Pilsbryoconcha exilis) dalam sistem biofilter dengan kepadatan 50 kijing/m2, 100 kijing/m2, dan 200 kijing/m2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0.05) terhadap laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang dalam sistem aquaponik. namun pengaruh interaksi kedua perlakuan tidak berbeda nyata (P > 0,05).

Penambahan kijing dalam komponen biofilter pada kepadatan 100 kijing/m2 dan 200 kijing/m2 tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap pertumbuhan ikan lele, sehingga penambahan kijing hanya efektif pada kepadatan 100 kijing/m2. Hal ini menunjukkan bahwa suspensi organik yang berasal dari limbah budidaya ikan lele tidak cukup banyak, sehingga kontribusi kijing terhadap produktivitas total sistem aquaponik tidak terlalu besar. Berbeda dengan kontribusi komponen sayuran dalam biofilter yang telah diteliti dalam penelitian sebelumnya (Nggaluama, 2014). Sehingga penggunaan kijing perlu dipertimbangkan kembali mengingat penambahan komponen ini juga menambahkan biaya konstruksi dalam sistem aquaponik.

Probiotik yang dicampurkan dalam pakan ikan memudahkan proses penyerapan nutrisi pakan dalam saluran

pencernaan dan lambung ikan, sehingga pakan yang diberikan lebih efisien dalam memacu pertumbuhan ikan lele. Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus acidophilus, Bacillus subtillis, Aspergillus oryzae, Rhodopseudomonas, Actinomyces dan Nitrobacter. Bakteri probiotik seperti Bacillus sp. dapat meningkatkan kecernaan pakan dengan menghasilkan enzim protease dalam saluran pencernaan ikan (Wardika et al., 2014). Selain itu kehadiran bakteri probiotik berperan juga dalam meningkatkan kesehatan ikan, karena keberadaan bakteri probiotik dapat menekan populasi bakteri patogen (Cruz et al., 2012).

Sebagian bakteri probiotik seperti Nitrobacter yang masuk ke media budidaya juga berperan dalam proses perombakan bahan organik. Bakteri ini berperan sebagai pengurai yang merombak merombak buangan metabolit dan sisa pakan dalam media budidaya, ke dalam bentuk nitrat (NO3

-) yang dapat dimanfaatkan sayuran dalam komponen biofilter. (Tyson et al, 2004). Dengan demikian buangan metabolit dan sisa pakan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk pertumbuhan sayuran dalam biofilter, sementara aktivitas sayuran sendiri dapat meningkat konsentrasi oksigen terlarut di air. Rakocy (2006) mengemukakan bahwa sayuran

30

Page 40: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

membutuhkan nitrat dan fosfat untuk pertumbuhannya.

Peningkatan efektivitas sistem aquaponik akan mendukung kualitas air yang digunakan sebagai media budidaya tetap terjaga sesuai dengan kebutuhan ikan lele yang dibudidayakan. Penghematan penggunaan air dalam sistem aquaponik ini sangat sesuai dengan kondisi lahan kering kepulauan yang memiliki persediaan air tawar terbatas. Sehingga pengembangan dan peningkatan sistem aquaponik diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pengembangan budidaya ikan air tawar di daerah lahan kering kepulauan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pemberian probiotik dalam pakan ikan dan penggunaan kijing (Pilsbryoconcha exilis) dalam sistem biofilter dapat meningkatkan laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang dalam sistem aquaponik, namun interaksi dari kedua perlakuan ini tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan lele sangkuriang.

Kombinasi pemberian probiotik dengan konsentrasi 6 ml/kg dan penggunaan kijing dalam sistem biofilter dengan kepadatan 200 kijing/m2 menghasilkan laju pertumbuhan ikan lele sangkuriang tertinggi, sehingga direkomendasikan untuk penerapan sistem aquaponik.

4.2 Saran

Kajian tentang sistem aquaponik perlu dilanjutkan dengan eksplorasi sistem ini untuk membudidayakan biota-biota budidaya bernilai ekonomis tinggi seperti lobster air tawar, ikan sidat dan spesies-spesies ikan hias air tawar. Penerapan sistem aquaponik direkomendasikan dapat diterapkan untuk pengembangan budidaya

ikan air tawar di daerah lahan kering kepulauan.

DAFTAR PUSTAKA

Chalmers, G. A. 2004. Aquaponics and

Food Safety. University of Alberta,

Lethbridge, 114 p.

Cruz, P. M., A.L. Ibanez, O.A.M

Hermosillo and H.C.R. Saad. 2012.

Use of Probiotic in Aquaculture. ISRN

Microbiology, doi: 10.

5402/2012/1916845

Nggaluama A, 2014. Pertumbuhan dan

Produksi Biomassa Ikan Lele (Clarias

sp) dan sayur kangkung (Ipomoea

reptans poir) dan Sayur Sawi

(Brassica chapa sinensis) Dengan

System Aquaponik yang Dilengkapi

Dengan dan Tanpa Sedimentasi

Berputar. Skripsi. Fakultas Kelautan

dan Perikanan, Universitas Nusa

Cendana, Kupang. 85p.

Rakocy JE, Master MP, Losordo TM. 2006.

Recirculating Aquaculture Tank

Produktion Systems; Aquaponiks–

Integration fish and Plant culture.

SRAC Publication No.454:16 P.

Tyson RV, Simonne EH, White JM, Lamb

EM. 2004. Reconciling water quality

parameters impacting nitrification in

aquaponics: The pH levels.

Proceeding Florida State Horticulture

Society, 117: 79-83.

Wardika, A. S., Suminto, Agung S. 2014.

Pengaruh Bakteri Probiotik pada

Pakan Ikan Dengan Dosis Berbeda

terhadap Efisiensi Pemanfaatan

Pakan, Pertumbuhan dan Kelulusan

Hidup Lele Dumbo (Clarias

gariepinus). Jurnal of Aquaculture

Management and Technology.3; 9-17

31

Page 41: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

JUMLAH ATRAKTAN CUMI YANG BERBEDA DALAM PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN, KECERNAAN DAN EFISIENSI NUTRIEN PADA

IKAN SIDAT (Anguilla sp.)

THE DIFFERENT DOSES OF SQUID OIL AS ATTRACTANTS IN DIET FOR GROWTH, NUTRIENT DIGESTIBILITY AND EFFICIENCY

OF EEL (Anguilla Sp.)

Arning Wilujeng Ekawati1, Mohamad Fadjar2, Dian Eva Turrizqi3, Dian Isna Selviyati4 dan Adam Prabani Muhammad5

1,2,3,4,5)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang Email : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan menentukan jumlah terbaik atraktan cumi dalam pakan untuk pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien pada ikan sidat (Anguilla sp.). Manfaat penelitian adalah untuk memberikan informasi kepada pembudidaya ikan sidat dalam hal jumlah atraktan cumi terbaik dalam pakan untuk pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien pada ikan sidat (Anguilla sp.). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu jumlah atraktan minyak cumi yang berbeda dalam pakan isoprotein 45%, dan iso energi 3,60 kkal/g pakan yaitu: 0 % (A), 1 % (B), 2 % (C), 3% (D). Parameter utama adalah kelulushidupan, laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan, rasio efisiensi protein, kecernaan (protein, lemak dan energi), dan retensi (protein, lemak dan energi). Parameter penunjang adalah kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, pH, dan amoniak. Berasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jumlah atraktan cumi yang berbeda dalam pakan tidak berpengaruh pada kelulushidupan, namun berpengaruh pada pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien. Jumlah atraktan cumi terbaik dalam pakan ikan sidat (Anguilla sp) untuk pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien adalah sebanyak 3 %. Kata kunci: Atraktan, pertumbuhan, kecernaan, efifiensi, Anguila sp.

ABSTRACT

The aim of this study was to know the effect and determine the best doses of squid oil as attractants in diet for growth, nutrient digestibility, and efficiency of Ell (Anguilla sp.). Experimental method was used based on Completely Randomized Design (CRD) with four treatments and three replications. The treatments used were the addition of different doses of attractant in 45% isoprotein and isoenergy of 3,60 kcal/g diet, i.e. treatment A (control/without addition of attractant), B (addition of 1% doses of attractant), C (addition of 2% doses of attractant) and D (addition of 3% doses of attractant). The results showed that different doses of squid oil as attractants in diet were non significantly influenced the survival rate but significantly influenced on Ell (Anguillasp.) growth, digestibility and efficiency of nutrient. In conclusion, treatment D (addition of 3% doses of attractant) was the best doses of attractants in diet that effected the growth, nutrient digestibility and efficiency of Elver Ell (Anguilla sp.).

Keyword : Attractant, growth, digestibility, efficiency, Anguila sp.

32

Page 42: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

I. PENDAHULUAN

Ikan sidat merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai jual tinggi (USD 12-15/kg sidat hidup) dan diminati di pasar internasional (Affandi et al., 2013). Pendapat tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Yusup et al. (2015), bahwa ikan sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sehingga dapat menjadi komoditi perikanan unggulan.

Pengembangan kegiatan usaha budidaya ikan sidat di Indonesia memiliki peluang dan prospek yang cukup baik. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki sumber benih, iklim yang mendukung dan lahan budidaya yang cukup luas untuk kegiatan budidaya sidat (Ahlina, 2015). Namun di Indonesia sendiri,belum banyak spesies sidat yang dibudidayakan. Hal ini dikarenakan kegiatan budidaya memerlukan penguasaan teknologi budidaya, manajemen pakan, penanganan paska panen dan strategi menembus pasar global yang baik.

Budidaya ikan sidat dimulai di Negara Jepang sejak tahun 1894 dan terus berkembang sangat besar sampai sekarang. Seiring dengan perkembangannya di Jepang, negara lain seperti Taiwan dan Korea telah meniru metode budidaya di Jepang. Hal ini membuat negara-negara lain juga tertarik untuk membudidayakan ikan sidat seperti di Eropa, Australia dan New Zealand (Usui, 1991).

Komoditas sidat menjadi komoditas unggulan dengan nilai ekonomis tinggi, selain cita rasanya yang unik dan lezat disukai oleh konsumen Jepang, Korea, Amerika, Eropa, Taiwan dan Cina, sidat juga mengandung nilai gizi yang tinggi. Indonesia memiliki 7 spesies sidat (A. celebensis, A. borneensis, A. interioris, A. obscura, A. pasifica, A. bicolor dan A. marmorata) dari 19 spesies yang ada di dunia. Indonesia memiliki sumberdaya sidat yang sangat besar karena hampir setiap muara di perairan Indonesia terdapat sidat (Sudaryono et al., 2013).

Permasalahan utama yang banyak dialami dalam kegiatan budidaya sidat adalah tingginya mortalitas pada saat glass eel sampai elver yang mencapai 70-

80%. Pada tahap awal pemeliharaan sidat adalah masa yang paling sulit. Kendala lainnya dari kegiatan ini yaitu selain mortalitas atau tingkat kematian yang tinggi, masalah lainnya adalah laju pertumbuhannya yang lambat (Subekti et al., 2011; Yusup et al., 2015).

Pada tahun 2011 volume ekspor ikan sidat menurun 39,1% dari 2010, penurunan nilai ekspor tersebut merupakan dampak dari kendala budidaya yaitu pertumbuhan ikan sidat yang cukup lama. Waktu yang dibutuhkan ikan sidat untuk mencapai ukuran konsumsi 120 g adalah 8-9 bulan masa pemeliharaan. Penggunaan atraktan dalam pakan pasta ikan sidat diharapkan dapat mempercepat waktu konsumsi pakan untuk meningkatkan asupan nutrisi pakan pada benih ikan sidat, khususnya penyerapan protein, lemak dan energi optimum, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ikan sidat (Yudiarto et al., 2012).

Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh penyerapan nutrien dalam pakan. Pakan yang dikonsumsi oleh ikan mengandung bermacam-macam zat, diantaranya adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Faktor lambatnya laju pertumbuhan ikan tergantung dari kualitas pakan yang diberikan. Salah satu upaya untuk meningkatkan ketertarikan ikan agar dapat mengkonsumsi pakan dengan baik yaitu dengan menambahkan atraktan dalam formula pakannya.

Menurut Alamsyah dan Karim (2012), aroma pakan dapat menjadi penentu kualitas pakan karena berkaitan erat dengan daya pikat atau ketertarikan ikan terhadap pakan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pandey (2013) yang menyatakan bahwa atraktan mampu memberikan sinyal reseptor yang mudah dikenali oleh indera penciuman ikan. Dengan demikian, maka keberadaan atraktan dalam pakan membantu ikan mengenali pelet tersebut sebagai sumber makanannya (Khasani, 2013). Aroma pakan ini ditentukan dari jenis dan jumlah atraktan yang ditambahkan pada saat proses pembuatan pakan. Pakan buatan yang baik adalah pakan yang memiliki aroma khas yang disukai oleh ikan,

33

Page 43: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mempunyai ukuran partikel bahan baku yang halus dan seragam serta memiliki homogenitas yang tinggi.

Atraktan ada dua jenis yaitu kimiawi dan alami. Aktraktan kimia banyak dijual di toko, biasanya berupa liquid palatant for fish dan kristal betaine dalam berbagai merk. Atraktan alami bisa berupa minyak cumi, minyak ikan, saus tiram, terasi, kecap, silase ikan, bunga lawang dan sebagainya. Cara penambahannya bisa dengan disemprotkan pada pakan dengan dosis 0,5-1,0 % per kg pakan. Bisa juga dengan menaburkannya langsung ke dalam air (Lesmana, 2015).

Ketertarikan ikan terhadap pakan atau rangsangan untuk memakan pakan merupakan hal yang sangat penting. Keseimbangan komponen nutrisi menjadi kurang efektif apabila pakan tidak mengandung komponen yang dapat memacu respon ikan terhadap pakan tersebut, salah satu contoh atraktan adalah minyak cumi. Penelitian tentang pemberian atraktan telah dilakukan pada ikan sidat (A. bicolor) stadia elver dengan jenis atraktan yang berbeda (Yudiarto et al., 2012). Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa jenis atraktan cumi memberikan hasil terbaik, namun belum diketahui berapa jumlah yang terbaik, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai jumlah atraktan cumi yang berbeda dalam pakan untuk pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien pada ikan sidat (Anguilla sp.).

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi mengenai: Jumlah atraktan cumi yang terbaik untuk pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien pada ikan sidat (Anguilla sp.).

II. MATERI DAN METODE

2.1 Materi Penelitian Hewan uji yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ikan sidat dengan berat rata-rata 5,56±0,24 g pada stadia elver. Ikan dipelihara di dalam akuarium berukuran 50 x 30 x 30 cm3 sebanyak 12 buah dengan ketinggian air 20 cm. Kepadatan ikan sebanyak 1 ekor/l. Pakan diberikan sebanyak 5% dari berat biomasa ikan/hari dengan frekuensi pemberian sebanyak 3 kali pada pukul 08.00, 16.00, dan 22.00 WIB, masing-masing sebanyak 30%, 30% dan 40 %. Media uji sebelumnya telah disterilkan, dan diaerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap pagi pukul 06.00 dan 14.00.

Pengelolaan media uji berupa penyiponan air dilakukan setiap hari pada pagi hari pukul 07.00 WIB, selama penelitian berlangsung dilakukan penambahan media uji sebanyak media uji yang terbuang (kurang lebih 30%) pada saat penyiponan. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap 15 hari sekali dan pada akhir penelitian dilakukan perhitungan kelulushidupan. Analisis proksimat tubuh dilakukan pada awal dan akhir penelitian.

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan pakan isoprotein 45% dan isoenergi 3,60 kkal/g pakan. Komposisi bahan pakan dan formula pakan uji masing-masing dapat dilihat pada Tabel 5.1 dan 5.2.

Tabel 5.1. Hasil proksimat bahan pakan

Bahan Protein

(%) Lemak

(%)

Serat Kasar (%)

Abu (%)

Kadar Kering

(%)

BETN (%)

Energi (Kkal/g)

T. Ikan 58,89* 11,03* 5,61* 19,31** 90,54** 05,16 4,58 T. Kedelai 45,64* 0,97* 3,06* 7,26** 89,78** 43,07 4,44 T. Polar 15,67* 3,83* 3,63* 3,64** 89,97** 73,14 4,25 T. Tapioka 0,00* 0,03* 0,10* 0,10** 91,61** 99,77 4,09

* = Hasil Analisis Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Universitas Brawijaya Malang ** = Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya,

Malang BETN = 100 – Protein – Lemak – Serat Kasar – Abu Energi = [(5,65 x Protein) + (4,1 x BETN) + (9,45 x Lemak)] : 100

34

Page 44: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 5.2. Formula pakan uji

Bahan

Perlakuan

A (minyak

cumi 0%)

B (minyak

cumi 1%)

C (minyak

cumi 2%)

D (minyak

cumi 3%)

Tepung ikan (%) 61,13 61,13 61,13 61,13 Tepung kedelai (%) 14,20 14,20 14,20 14,20 Tepung polar (%) 15,99 15,99 15,99 15,99

Tepung tapioka (%) 7,19 4,94 2,68 0,43 Premix (%) 1,00 1,00 1,00 1,00

Cr2O3 (%) 0,50 0,50 0,50 0,50

Minyak cumi (%) 0,00 1,00 2,00 3,00 CMC (%) 0,00 1,25 2,50 3,76

Total bahan 100 100 100 100

2.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu jumlah atraktan minyak cumi yang berbeda dalam pakan isoprotein 45%, dan iso energi 3,60 kkal/g pakan yaitu: 0 % (A), 1 % (B), 2 % (C), 3% (D). Parameter utama adalah kelulushidupan, laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan, rasio efisiensi protein, kecernaan (protein, lemak dan energi), dan retensi (protein, lemak dan energi). Parameter penunjang adalah kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, pH, dan amoniak.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil seperti yang tertera pada Tabel 5.3. Berdasarkan hasil pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa perlakuan jumlah atraktan cumi yang berbeda dalam pakan tidak memberikan pengaruh terhadap kelulushidupan ikan sidat, tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan, kecernaan nutrien (protein, Lemak dan energi), dan efisiensi nutrient (retensi Protein, lemak dan energi) pada ikan sidat.

Hubungan antara perlakuan jumlah atraktan cumi yang berbeda dalam pakan terhadap semua parameter terukur kecuali kelulushidupan menunjukkan pola hubungan yang berbentuk linear.

Tabel 5.3. Kelulushidupan (SR), Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR), Konversi Pakan

(FCR), Rasio Efisiensi Protein (PER), Kecernaan Protein, Kecernaan Lemak Kecernaan Energi, Retensi Protein (RP), Retensi Lemak (RL), dan Retensi Energi (RE) pada Ikan Sidat (Anguilla sp.).

Parameter Perlakuan Jumlah Minyak Cumi

A (Kontrol)

B (1%)

C (2%)

D (3%)

SR (%) 88,00%±4,00 85,33%±2,31 88,00%±4,00 93,33%±2,31 SGR (%BWd-1) 0,44±0,10a 0,57±0,12a 0,69±0,08b 1,14±0,09c FCR 6,72±0,66c 5,19±0,65b 4,48±0,58b 2,63±0,63a PER 0,35±0,03a 0,45±0,06a 0,50±0,06b 0,89±0,05c Kecernaan Protein 59,64±0,93a 62,65±0,89b 65,35±0,74c 71,70±0,08d Kecernaan Lemak 72,96±1,93a 75,33±0,87a 76,45±1,51a 80,99±2,88b Kecernaan Energi 66,17±1,80a 70,77±0,28b 71,61±0,53b 73,99±0,42c

Retensi Protein 6,43±0,57a 10,33±1,46b 10,67±0,14b 12,57±0,95c Retensi Lemak 20,51±1,70a 21,11±1,29a 29,24±2,82b 31,80±0,53b Retensi Energi 1,64±1,26a 4,10±1,35b 5,94±0,56c 8,90±0,32d

35

Page 45: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Kelulushidupan ikan sidat (Anguilla sp.) pada penelitian ini rata-rata 85,33% - 93,33% relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sasongko et al. (2007), kelulushidupan ikan sidat (A.bicolor) dengan pemberian pakan alami sebesar 36,8%. Hal ini membuktikan bahwa pakan perlakuan yang diberikan mampu mencukupi kebutuhan nutrisi ikan sidat dan dapat digunakan untuk maintenance sehingga ikan sidat dapat melanjutkan kelangsungan hidupnya. Kelulushidupan dipengaruhi oleh kualitas air, jumlah pakan yang diberikan serta kepadatan.

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda dalam formula pakan terhadap laju pertumbuhan spesifik pada ikan sidat (Anguilla sp.) menunjukkan pola linear positif dengan persamaan Y = 0,373 + 0,223X dengan R2 = 0,91.

Menurut Handajani dan Widodo (2010), pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah faktor keturunan, umur dan kemampuan fisiologis ikan, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah pakan dan air media pemeliharaan ikan. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi jumlah minyak cumi semakin tinggi pula pertumbuhan ikan sidat (Anguilla sp.), hal ini diduga karena asam lemak yang terkandungan dalam minyak cumi. Menurut Poedjiadi (2006), asam-asam lemak berikatan rangkap banyak, yaitu asam lemak linoleat dan arakidonat yang penting bagi pertumbuhan. Selain itu dikarenakan konsumsi pakan ikan sidat terhadap pakan yang diberikan. Minyak cumi yang berperan sebagai atraktan mampu menjadi daya tarik ikan sidat untuk mengkonsumsi pakan. Semakin banyak pakan yang termakan maka semakin tercukupi kebutuhan gizi ikan sehingga energi yang tersimpan dapat digunakan untuk pertumbuhan.

Hubungan antara jumlah minyak cumi dengan jumlah berbeda dalam formula pakan ikan sidat (Anguilla sp.) terhadap konversi pakan (FCR) menunjukkan pola linear negatip dengan persamaan Y = 6,701–1,296X dengan R2 = 0,91.

Berdasarkan persamaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah minyak cumi yang diberikan dalam formula pakan maka semakin rendah nilai FCR. Semakin kecil nilai FCR maka semakin baik, hal ini sesuai dengan pendapat Ardita et al. (2015), semakin rendah nilai FCR menunjukkan bahwa semakin efisien pakan dan pakan yang dimakan digunakan dengan baik oleh ikan untuk pertumbuhan.

Rata-rata nilai konversi pakan pada ikan sidat (Anguilla sp.) selama penelitian berkisar antara 2,63 – 6,72. Konversi pakan ikan sidat tergolong tinggi pada penelitian Idris et al. (2015) dengan pemberian tepung keong pada formula pakan didapatkan nilai FCR rata-rata 3,5. Menurut Fran dan Junius (2013), besar kecilnya nilai konversi pakan merupakan gambaran tentang tingkat efisiensi pakan yang diberikan. Semakin kecil nilai konversi pakan, semakin efisien pakan yang diberikan untuk menunjang pertumbuhan ikan. Rendahnya nilai konversi pakan pada perlakuan D diduga karena tingginya tingkat konsumsi pakan ikan terhadap pakan yang diberikan. Hal ini diduga minyak cumi yang terkandung dalam pakan mampu memberikan respon ikan sidat untuk mengkonsumsi pakan.

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda dalam formula pakan terhadap rasio efisiensi protein pada ikan sidat (Anguilla sp.) menunjukkan pola linear dengan persamaan Y = 0,298 + 0,166X dengan R2 =0,95. Rendahnya nilai rasio efisiensi protein pada perlakuan A diduga karena pakan perlakuan ini tidak terkonsumsi secara maksimal. Berbeda dengan perlakuan D yang memiliki nilai rasio efisiensi protein yang diduga karena tingkat kesukaan ikan untuk mengkonsumsi pakan tinggi, sehingga kandungan protein dalam pakan mampu terserap oleh ikan. Menurut Sukardi dan Yuwono (2012), semakin tinggi nilai efisiensi protein, maka semakin efisien penggunaan protein dalam pakan. Menurut Wijayanti (2015), rasio efisiensi protein merupakan tolak ukur dalam menentukan kualitas pakan, semakin tinggi rasio efisiensi protein semakin baik kualitas pakan.

36

Page 46: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda dalam pakan terhadap daya cerna protein ikan sidat (Anguilla sp.) menunjukkan data linier dengan persamaan Y = 59,003+3,887X dan R² = 0,98. Tingginya daya cerna protein pada ikan sidat (Anguilla sp.) perlakuan D dengan penambahan minyak cumi sebesar 3% diduga disebabkan oleh perbedaan konsumsi pakan yang diberikan. Pakan yang termakan pada ikan akan memengaruhi aktivitas enzim pencernaannya. Semakin banyak pakan yang termakan maka akan semakin cepat pula aktivitas enzim dalam mencerna. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Afrianto dan Liviawaty (2005), yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, nilai kecernaan ikan terhadap pakan buatan yang diberikan tergantung pada tingkat penerimaan ikan dan enzim yang dimilikinya. Fujaya (2004), menyatakan bahwa aktivitas enzim dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH, serta inhibitor. Menurut Mudjiman (2004), aktivitas enzim amilase, lipase, dan protase sangat dipengaruhi oleh komposisi makanan.

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda terhadap daya cerna lemak ikan sidat (Anguilla sp.) stadia elver menunjukkan persamaan Y = 72,649+2,522X dengan R² = 0,72. Menurut Marzuqi dan Anjusary (2013), nilai kecernaan lemak yang tinggi membuktikan bahwa konsumsi ikan terhadap lemak juga tinggi. Gunawan et al. (2003), yang menyatakan bahwa asam lemak tidak jenuh lebih mudah diabsorpsi usus dan lebih mudah dicerna daripada asam lemak jenuh. Menurut Buwono (2000), lemak berperan penting sebagai sumber energi utama sebagai asam lemak esensial dalam pakan ikan budidaya terutama untuk ikan karnivora dimana keberadaan karbohidrat sebagai sumber energi rendah sedangkan ikan membutuhkan pakan dengan kadar protein tinggi. Lemak memiliki kandungan energi yang paling besar bila dibandingkan dengan protein dan karbohidrat.

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda terhadap daya cerna energi ikan sidat (Anguilla sp.) menunjukkan

persamaan Y = 66,989+2,431X dengan R² = 0,92. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), energi diperoleh dari perombakan ikatan kimia melalui proses reaksi oksidasi terhadap komponen pakan yaitu protein, lemak, dan karbohidrat. Selama berlangsungnya proses metabolisme, ketiga komponen tersebut akan dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana (asam amino, asam lemak dan glukosa) sehingga dapat diserap oleh tubuh untuk digunakan atau disimpan.

Nilai daya cerna energi tergantung pada komposisi pakan. Daya cerna energi yang tinggi karena terpenuhinya energi dari lemak, protein dan karbohidrat. Apabila daya cerna nutrien terutama yang berperan penting sebagai sumber energi utama tinggi, maka energi yang dihasilkan lebih dapat diserap dan dimanfaatkan (Lestari, 2015). Jumlah energi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan pemeliharaan (maintenance), dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain spesies ikan, umur ikan, komposisi ransum, tingkat reproduksi dan tingkat metabolisme (Buwono, 2000).

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda terhadap retensi protein ikan sidat (A. bicolor) menunjukkan pola linier dengan persamaan Y = 7,187 + 1,876X dengan R2 = 0,89. Tingginya nilai retensi protein pada perlakuan D dengan penambahan atraktan minyak cumi 3% diduga disebabkan keselarasan nilai retensi protein terhadap tingginya pertambahan bobot ikan perlakuan D dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sesuai dengan pernyataan Suprayudi et al. (2012), bahwa pertumbuhan sangat erat kaitannya dengan nilai retensi protein. Peningkatan dari nilai pertumbuhan sejalan dengan meningkatnya nilai retensi protein. Menurut Sukmaningrum et al. (2014), retensi protein menunjukkan kualitas dari suatu pakan, apabila nilai retensi proteinnya tinggi maka pakan tersebut semakin baik kualitasnya. Tingginya nilai retensi protein pada perlakuan D dengan penambahan 3% minyak cumi diduga juga berkaitan dengan konsumsi pakan yang tinggi karena pemberian atraktan sebagai penambah nafsu makan, sehingga semakin tinggi konsumsi pakan maka

37

Page 47: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

akan semakin besar pula protein yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan.

Pemberian minyak cumi sebagai atraktan, diduga dapat memicu ketertarikan ikan untuk memakan pakan. Hal ini disebabkan adanya degradasi protein dan lemak dalam pakan yang akan mengeluarkan bau amis dan disukai ikan. Degradasi ini akan menghasilkan senyawa volatil berupa aldehid yang merupakan senyawa aromatik dan dapat digunakan sebagai atraktan. Sesuai pernyataan Widowati et al. (2015), air dapat menyebabkan terjadinya degradasi protein dan lemak dalam pakan ikan. Degradasi ini akan mengeluarkan aroma amis yang disukai oleh ikan. Setiawati et al. (2014) juga menjelaskan, terdapat beberapa senyawa aromatik seperti sinnamaldehid, eugenol, safrol atau camphor, aceteugenol, dan beberapa aldehid lain yang dapat berperan sebagai atraktan dan dapat memberikan aroma khas pada pakan ikan. Ketertarikan ikan akan pakan berbanding lurus dengan kandungan asam lemak tidak jenuh dari jenis atraktan yang diberikan. Park (2016) menyatakan bahwa, minyak cumi memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat sebanyak 11,46% asam linoleat 1,60% dan asam linolenat 1,28%. Dengan menggunakan atraktan minyak cumi dengan jumlah 3%, diduga minyak cumi dapat menyediakan asam lemak tidak jenuh yang lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya yang menggunakan minyak cumi di bawah 3%. Tingginya asam lemak yang diberikan dapat membantu peningkatan tingkat degradasi lemak sehingga atraktan yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan jumlah atraktan ini akan meningkatkan nafsu makan ikan, serta jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Sehingga nilai efisiensi pakan diharapkan akan meningkat dan berbanding lurus dengan jumlah protein dalam pakan yang dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh ikan. Suhenda et al. (2010), menjelaskan bahwa nilai rasio efisiensi protein selaras dengan nilai retensi protein. Peningkatan nilai rasio efisiensi protein menyebabkan peningkatan retensi protein pula. Hal ini membuktikan bahwa minyak cumi dapat

digunakan sebagai atraktan untuk menambah nafsu makan dan dapat meningkatkan nilai retensi protein.

Hubungan antara jumlah minyak cumi yang berbeda terhadap retensi lemak pada ikan sidat (Anguilla sp.) menunjukkan pola linier dengan persamaan Y= 19,36 + 4,197X dengan R2 = 0,91. Subekti et al. (2011), menyatakan bahwa penyerapan nutrien pakan yang diberikan akan mempengaruhi laju pertumbuhan pada ikan. Lemak sangat dibutuhkan ikan untuk mempertahankan bentuk dan fungsi jaringan. Selain itu lemak dapat digunakan sebagai sumber energi. Tingginya nilai retensi lemak pada perlakuan D dengan penambahan minyak cumi 3% diduga disebabkan oleh tingginya nilai lemak yang terkandung dalam pakan perlakuan D dibandingkan dengan pakan perlakuan lainnya. Sesuai dengan pernyataan Mukti et al. (2014), bahwa kadar lemak dalam pakan akan mempengaruhi retensi lemak. Tingginya nilai lemak dalam pakan dipengaruhi oleh kandungan pakan. Pada perlakuan D menggunakan tambahan atraktan berupa minyak cumi 3%, sehingga minyak akan menyumbang sejumlah besar lemak dan akan meningkatkan kadar lemak dalam pakan. Lemak yang tinggi akan digunakan sebagai sumber energi, lalu sisanya akan diserap dan disimpan sebagai cadangan lemak sehingga akan meningkatkan nilai retensi lemak. Hal ini selaras dengan pernyataan Batubara (2009), lemak yang tinggi akan dikonsumsi dan disimpan banyak dalam tubuh saat kebutuhan energi sudah tercukupi. Lemak tidak dimanfaatkan sebagai energi karena ikan cenderung memanfaatkan protein sebagai sumber energinya. Menurut Samsudin et al. (2010) lemak dari pakan akan disimpan dalam jaringan tubuh ikan setelah kebutuhan protein terpenuhi dan kebutuhan energi tercukupi, sehingga menghasilkan nilai retensi lemak yang tinggi.

Tingginya nilai retensi lemak pada perlakuan D dengan jumlah minyak cumi 3% juga dapat dipengaruhi oleh asupan protein dari pakan yang dikonsumsi. Dengan mengkonsumsi lebih banyak pakan, maka protein yang tersedia dan dapat dimanfaatkan akan semakin banyak

38

Page 48: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

pula. Semakin banyak protein yang dikonsumsi akan menghasilkan enzim lipase lebih banyak. Enzim lipase akan dimanfaatkan untuk menyerap butiran lemak pada dinding usus dan getah pankreas. Ramlah et al. (2016) menjelaskan bahwa pada saat makanan masuk ke dalam usus ikan, hormon kolsistokinin keluar dan memacu keluarnya getah empedu untuk melarutkan butiran-butiran lemak menjadi emulsi sehingga larut dalam air. Saat butiran lemak ini larut dalam air, lemak akan lebih mudah diserap enzim lipase yang berada di dinding usus dan getah pankreas. Pada sistem pencernaan ikan, enzim lipase sangat dipengaruhi oleh kadar protein yang terdapat dalam pakan. Jadi semakin tinggi kandungan enzim lipase yang dihasilkan oleh protein pakan akan menyebabkan peningkatan nilai retensi lemak pada ikan pula. Pakan perlakuan D (minyak cumi 3%) memiliki jumlah konsumsi pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sehingga protein yang tersedia dari pakan yang terkonsumsi juga akan semakin banyak. Hal ini membuktikan bahwa minyak cumi dapat digunakan sebagai atraktan untuk menambah nafsu makan dan dapat meningkatkan nilai retensi lemak.

Hubungan antara jumlah minyak cumi dengan jumlah berbeda terhadap retensi energi ikan sidat (Anguilla sp.) menunjukkan pola linier dengan persamaan Y= 1,601 + 2,361X dengan R2 = 0,92. Tingginya kadar retensi energi pada ikan perlakuan D dengan menggunakan 3% atraktan minyak cumi diduga karena pertumbuhan pada ikan perlakuan D dengan penambahan minyak cumi 3% juga memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Mathius et al. (2003), bahwa retensi energi yang positif menggambarkan bahwa energi dalam pakan yang diberikan dapat dicerna dan dimanfaatkan secara optimal. Keadaan ini umumnya ditampakkan dari penambahan bobot yang juga semakin meningkat. Jadi seiring meningkatnya pertumbuhan, nilai retensi energi juga meningkat. Selain itu nilai retensi energi pada ikan dapat

dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam pakan. Pakan perlakuan D dengan jumlah minyak cumi 3% memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Lemak tersebut akan menjadi tambahan asupan sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Sesuai pendapat Herawati dan Agus (2014), lemak sangat bermanfaat sebagai sumber energi terbesar dan sumber asam lemak esensial. Energi ini sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk keperluan proses fisiologis, pertumbuhan dan metabolisme dalam tubuh. Selain itu penyerapan energi dipengaruhi oleh jumlah pakan yang terkonsumsi. Pakan yang dikonsumsi erat kaitannya dengan atraktan, karena dengan penambahan atraktan pada pakan dapat meningkatkan ketertarikan ikan akan pakan sehingga jumlah pakan yang dikonsumsi juga akan meningkat. Pakan dengan jumlah atraktan minyak cumi 3% diduga dapat meningkatkan daya tarik ikan untuk makan, karena pakan dengan kandungan minyak cumi 3% mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang akan menghasilkan senyawa volatil yang bersifat aromatik saat terdegradasi dengan air. Hal ini menyebabkan peningkatan pada tingkat kesukaan ikan akan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan pendapat Widowati et al. (2015), degradasi protein dan lemak dalam pakan dapat terjadi saat pakan bersentuhan dengan air. Hal ini dapat menyebabkan adanya aroma amis yang disukai oleh ikan. Setiawati et al. (2014) juga menjelaskan, terdapat beberapa senyawa aromatik berupa aldehid yang dapat berperan sebagai atraktan dan dapat memberikan aroma khas pada pakan ikan. Apabila jumlah pakan yang dikonsumsi semakin meningkat, maka nutrisi yang tersedia bagi ikan sidat juga akan lebih banyak sehingga penyerapan energinya lebih optimal dan meningkat.

Hasil pengamatan parameter kualitas air selama penelitian berada pada kondisi yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan sidat (Tabel 5.4).

39

Page 49: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 5.4. Hasil pengamatan parameter kualitas media pemeliharaan ikan sidat (Anguilla sp.) selama penelitian.

Parameter Hasil Pengamatan Literatur

Suhu (0C) 25,45±0,18 – 25,68±0,21 20oC-28oC (Rahmawati et al., 2015) DO (mg/l) 4,90±0,12 – 5,00±0,08 3-5 mg/l (Rahmawati et al., 2015) Ph 7,09±0,04 – 7,11±0,02 7 - 8,7 (Efendi, 2003) Nitrat (mg/l) 0,43±0,02 – 0,460±0,02 <0,5 ppm(Kordi, 2010)

Nitrit (mg/l) 0,62±0,04 – 0,64±0,04 0,01 – 1,0 mg/l (Samsundari dan Wirawan,

2015) Amoniak (mg/l) 0,08±0,01 <0,1 ppm(Kordi, 2010)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jumlah atraktan cumi yang berbeda dalam pakan tidak berpengaruh pada kelulushidupan, namun berpengaruh pada pertumbuhan kecernaan dan efisiensi nutrien. Jumlah atraktan cumi terbaik dalam pakan ikan sidat (Anguilla sp.) untuk pertumbuhan, kecernaan dan efisiensi nutrien adalah sebanyak 3 %, sehingga apabila menggunakan minyak cumi sebagai atraktan dalam pakan ikan sidat (Anguilla sp.) berkadar protein 45% dan energi 3,60 kkal/g pakan, maka jumlahnya sebesar 3%.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Yogyakarta : Kanisius. 146 hlm.

Ahlina, H. F. 2015. Induksi maturasi gonad ikan sidat (A. bicolor bicolor) secara hormonal dengan menggunakan PMSG, AD dan rGH. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alamsyah, S dan Karim, M.Y. 2012. Uji organoleptik, fisik dan kimiawi pakan buatan untuk ikan bandeng yang disubtitusi denga tepung cacing tanah (Lumbricus sp.). Jurnal Akuakultur Indoesia. 11(2) : 124-131

Ardita, N., A. Budiharjo dan S. L. A. Sari. 2015. Pertumbuhan dan rasio konversi pakan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan penambahan prebiotik. Bioteknologi. 12 (1): 16-21.

Batubara, U. N. 2009. Analisa protein, lemak dan kalsium pada ikan pora-

pora. Skripsi. Medan : Universitas Sumatra Utara. 51 hlm.

Buwono, I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial Dalam Ransum Ikan. Yogyakarta : Kanisius. 56 hlm

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. 258 hlm.

Fran. S dan Junius A. 2013. Pengaruh perbedaan tingkat protein dan rasio protein pakan terhadap pertumbuhan ikan sepat (Trichogaster pectoralis). Fish Scientiae. 3 (5): 53-63.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Cetakan pertama. Rineka Putra. Jakarta. 165 hlm.

Gunawan., M. Triatmo M. A. dan A. Rahayu. 2003. Analisis pangan: penentuan angka peroksida dan asam lemak bebas pada minyak kedelai dengan variasi menggoreng. Jurnal Staf Kimia Analitik. 6(3): 1 - 6.

Handajani, H. dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press: Malang. 271 hlm.

Herawati, V.E dan Agus, M. 2014. Analisis pertumbuhan dan kelulushidupan larva lele (Clarias gariepenus) yang diberi pakan Daphnia sp. hasil kultur massal menggunakan pupuk organik difermentasi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 26(1) : 1-11

Idris, A. P. S. 2016. Analisis berbagai kadar energi terhadap konsumsi dan efesiensi pakan pada budidaya ikan sidat (Anguilla marmorata). Jurnal Galung Tropika. 5 (2): 109 – 117.

40

Page 50: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Khasani, I. 2013. Atraktan pada pakan ikan: jenis, fungsi dan respon ikan. Media Akuakultur. 8(2): 127-133.

Kordi, M.G.H. 2010. Budi Daya Ikan Lele di Kolam Terpal. Edisi 1. Yogyakarta: ANDI. 115 hlm.

Lesmana, D. R. 2015. Ensiklopedia Ikan Hias Air Tawar. Jakarta : Penebar Swadaya. 320 hlm.

Lestari, V. D dan Utami, W. S. 2016. Evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya ikan bandeng di lahan bonorowo Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Lamongan. Swara Bhumi. 1(1) : 133-142

Marzuqi, M dan D. N. Anjusary. 2013. Kecernaan nutrien pakan dengan kadar protein dan lemak pada juvenile ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(2): 311 – 323.

Mathius, I. W., D. Sastradipradja., T. Sutardi., A. Natasasmita, l. A. Sofyan dan D. T. H Sihombing. 2003. Studi strategi kebutuhan energi-protein untuk domba lokal: 5. Induk fase laktasi. JITV. 8 (1) : 26-39

Mudjiman, A. 2004. Makanan ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 182 hlm.

Mukti, R. C., N. B. P. Utomo dan R. Affandi. 2014. Penambahan minyak ikan pada pakan komersial terhadap pertumbuhan Anguilla bicolor bicolor. Jurnal Akuakultur Indonesia. 13 (1) : 54–60.

Pandey, G. 2013. Feed formulation and feeding technology for fishes. International Research Journal or Pharmacy. 4(3): 23-30.

Park, Joung-Hyun. 2016. Quality characteristics of refined squid (Todarodes pacificus) oil as an alternative resource for omega-3 fatty acids . Journal of Food Processing And Preservation. : 1745-4549

Poedjadi, A. dan F. M. T. Supriyanti. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia (UI-Press). 476 hlm.

Rahmawati, S., Hasim dan Mulis. 2015. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan sidat di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo. Jurnal NIKE. 3(2) : 64-70

Ramlah, E. Soekendarsi, Z. Hasyim dan M. S. Hasan. 2016. Perbandingan kandungan gizi ikan nila Oreochromis niloticus asal danau mawang kabupaten gowa dan danau Universitas Hasanuddin Kota Makassar. Jurnal Biologi Makassar (Bioma). 1(1) : 39-46

Samsudin, R. N. Suhenda dan M. Sulhi. 2010. Evaluasi penggunaan pakan dengan kadar protein berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nilem (Osteochilus hasseltii). Prosiding forum inovasi teknologi akuakultur : 697-701

Samsundari, Sri dan Wirawan, G. A. 2015. Analisis penerapan biofilter dalam sistem resirkulasi terhadap mutu kualitas air budidaya ikan sidat (Anguilla bicolor). Jurnal gama. 8(2) : 86-97.

Setiawati, M., D. Jusadi., S. Marlinda dan D. Syafruddin. 2014. Pemberian daun kayu manis Cinnamomun burmanni dalam pakan terhadap kinerja pertumbuhan dan komposisi nutrien tubuh ikan patin (Pangasius hypopthalmus). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 19(2): 80-84

Subekti, S., M. Prawesti dan M. Arief. 2011. Pengaruh kombinasi pakan buatan dan pakan alami cacing sutera (Tubifex tubifex) dengan persentase yang berbeda terhadap retensi protein, lemak dan energi pada ikan sidat (Anguilla bicolor). Jurnal kelautan. 4(1) : 90-95

Sukardi, P. dan H. E. Yuwono. 2012. Nutrisi Ikan. UPT percetakan dan penerbitan Universitas Jendral Sudirman. Purwokerto. 106 hlm.

Sudaryono, A., S. P. Putro dan Suminto. 2013. Tinjauan potensi pengembangan dan aplikasi teknologi budidaya sidat. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013:383-388.

Sukmaningrum, S., N. Setyaningrum dan Pulungsari. 2014. Retensi protein dan retensi energi ikan cupang plakat yang mengalami pemuasaan. Omniakuatika. 10(1). 2014 1-10

Suprayudi, M. A., D. Harianto dan D. Jusadi. 2012. Kecernaan pakan dan pertumbuhan udang putih Litopanaeus vannamei diberi pakan

41

Page 51: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mengandung enzim fitase berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia. 11(2) : 103-108

Usui, A. 1991. Eel Culture. Translate by Ichiro Hayashi. 188 Page.

Widowati, N., R. Irnawati dan A. Susanto. 2015. Efektivitas umpan yang berbeda pada bubu lipat untuk penangkapan rajungan yang berbasis di pelabuhan perikanan nusantara karangantu. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 5(2) : 25-33.

Yudiarto, S., M. Arief dan Agustono. 2012. Pengaruh penambahan atraktan yang berbeda dalam pakan pasta terhadap retensi energi, lemak dan energi benih ikan sidat (Anguilla Bicolor) stadia

Elver. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 4(2) : 135-140

Yusup, W., Hasim dan Mulis. 2015. Pengaruh pemberian pakan Artemia sp. dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan benih ikan sidat di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo. Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3(2): 58-63

Wijayanti, F. R. A. 2015. Pemanfaatan limbah kepala udang dalam formula pakan terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan pada benih ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang. 37 hlm.

42

Page 52: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PERAN SALINITAS DAN KALSIUM PADA PENDEDERAN GLASS EEL Anguilla bicolor bicolor

TERHADAP AKTIVITAS OSMOREGULASI DAN PERTUMBUHAN

Ade Y. H Lukas Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan

Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK

Terpenuhinya kebutuhan kalsium serta salinitas yang optimum diharapkan mampu menekan stres fisiologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh salinitas dan kalsium pada pendederan glass eel A.bicolor bicolor dalam menjaga aktivitas osmoregulasi sehingga meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Ikan yang digunakan adalah ikan sidat A.bicolor bicolor stadia glass eel berbobot 0,15 - 0,20 g dengan panjang 4,5-5,2 cm. Media pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 90 cm x 40 cm x 50 cm dengan volume air 100 liter per akuarium dan padat tebar yaitu 2 g/L. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari dan selama pemeliharaan glass eel diberi pakan yang berbeda setiap 10 hari. Pengambilan data dilakukan setiap 15 hari. Pengukuran suhu, DO, dan pH dilakukan setiap hari. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Salinitas yang digunakan merupakan hasil dari penelitian sebelumnya yaitu 8 g/L, sedangkan perlakuan yang digunakan yaitu (A) 20 mg/L CaCO3, (B) 40 mg/L CaCO3, (C) 60 mg/L CaCO3, dan (D) 80 mg/L CaCO3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 40 mg/L CaCO3 memberikan aktivitas osmoregulasi terendah sehingga menghasilkan pertumbuhan tertinggi.

Kata kunci : A. bicolor bicolor, glass eel, kalsium, salinitas

I. PENDAHULUAN

Permintaan ikan sidat dunia terus mengalami peningkatan. FAO mencatat pada tahun 2014 permintaan ikan sidat di dunia mencapai 268.342 ton/tahun (FAO, 2014). Menurut data Kementerian kelautan dan perikanan bahwa permintaan ikan sidat untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mencapai tiga ton/bulan (KKP, 2011). Tingginya permintaan ikan sidat di pasar Asia dan Eropa mendorong perkembangan budidaya sidat (Anguilla Spp) di dunia (Liao, 2000). Namun di sisi lain berdampak terhadap menurunnya hasil tangkapan di alam, mengingat kebutuhan benih untuk kegiatan budidaya masih bergantung pada alam.

Berdasarkan data KKP (2013) untuk wilayah penangkapan di sungai-sungai Pelabuhan Ratu, Cilacap, Purwokerto dan Jember telah terjadi penurunan hasil tangkap yang signifikan sejak tahun 2000-2010 yaitu sebesar ±74,72%. Hal yang sama juga terjadi pada wilayah

penangkapan di danau dan sungai Poso yaitu terjadi penurunan hasil tangkap sebesar 84,36% sejak tahun 1990-2009. Demikian juga di Jepang, sebagai salah satu Negara penghasil dan konsumen sidat terbesar, berdasarkan Tatsukawa (2001) dalam Aida et al. (2003) telah terjadi penurunan hasil tangkapan glass eel sejak tahun 1960-2000.

Penurunan stok sidat di alam disebabkan karena semakin meningkatnya populasi penduduk sehingga permintaan akan ikan sidat terus meningkat yang mendorong peningkatan aktivitas budidaya sidat. Terbukanya pasar dunia untuk produk ini menyebabkan harga jual glass eel terus meningkat sehingga eksploitasi terhadap glass eel semakin meningkat. Harga jual glass eel A. bicolor bicolor di Indonesia mencapai Rp. 2.000.000,- sampai dengan Rp. 3.500.000,-/Kg (harga penampung di Cilacap dan Pelabuhan Ratu), harga ini dapat berfluktuasi tergantung pada musim kelimpahannya.

43

Page 53: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Sebagai stadia awal budidaya sidat, glass eel sangat rentan pada dengan mortalitas yang sangat tinggi (Durif & Elie, 2008; Chow et al. 2010; Clevestam et al. 2010; Okamoto et al. 2009; Okamura et al. 2009). Glass eel akan menghabiskan waktu hidupnya di perairan payau, kemudian akan beruaya menuju perairan tawar ketika mencapai stadia elver hingga yellow eel, dan selanjutnya beruaya kembali ke laut untuk memijah. Perkembangan glass eel menjadi stadia yellow eel di sungai membutuhkan waktu tiga hingga sembilan tahun yaitu ketika diferensiasi seks pertama terjadi (Acou et al. 2003) dan mencapai stadia dewasa (silver eel) tiga hingga enam tahun sesudahnya (Walsh et al. 2004).

Upaya pelestarian populasi sidat di alam telah dilakukan oleh beberapa Negara dengan mengeluarkan aturan pemanfaatannya. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkan A bicolor bicolor masuk dalam kategori hampir terancam punah (Near threatened) (www.traffic.org 2015). Indonesia juga telah mengeluarkan Permen KP No.19/MEN/2012 tentang “Larangan Pengeluaran Benih Ikan Sidat (Anguilla spp.) dari Wilayah Negara RI Ukuran ≤ 150 g/ekor”.

Manipulasi lingkungan berupa salinitas dan kalsium merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan sidat (Nordlie 2009; Sutrisno 2008; Affandi et al. 1995). Kalsium pada hewan vertebrata termasuk ikan sidat, selain mempengaruhi osmoregulasi, juga berperan dalam pembentukan rangka. Cheng et al. (2006) dan Fontagne et al. (2009) menyatakan bahwa kekurangan kalsium pada ikan dapat mengganggu pembentukan struktur jaringan keras, osmoregulasi, dan transmisi syaraf. Peningkatan kadar kalsium di perairan tawar dapat dilakukan dengan peningkatan salinitas dan atau dengan penambahan kalsium. Salinitas dan kalsium berperan dalam menjaga keseimbangan tekanan osmotik dalam tubuh ikan dan lingkungan sehingga metabolisme tubuh berlangsung dengan baik.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan glass eel A bicolor bicolor melalui manipulasi lingkungan khususnya salinitas dan penambahan kalsium sehingga dapat meminimalisir pemanfaatan benih sidat dari alam. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh salinitas dan kalsium pada pendederan glass eel A.bicolor bicolor dalam menjaga aktivitas osmoregulasi sehingga meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan

Mei 2017 hingga Juli 2017. Pemeliharaan dan pengujian tingkat konsumsi oksigen dilakukan di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis glukosa darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, sedangkan tingkat kerja osmotik di Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kalsium tubuh dan proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisa rasio RNA/DNA dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kualitas air di Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu ikan sidat stadia glass eel dengan bobot berkisar 0,08 – 0,20 g, air laut dan CaCO3 sebagai sumber kalsium, Wadah yang digunakan adalah akuarium berukuran 60x30x30 cm dan 90x50x40 cm untuk pemeliharaan.

44

Page 54: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

2.3 Metode

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu penentuan salinitas optimum, penentuan kisaran kadar kalsium pada salinitas optimum dan evaluasi kinerja produksi glass eel yang dipelihara pada media bersalinitas dan berkalsium. Pasca pengangkutan, glass eel dipelihara dalam bak penampungan yang bersalinitas 10 g/L selama empat hari. Aerasi penuh dilakukan pada setiap unit percobaan. Padat tebar yang digunakan adalah 2 g/L. 1) Penentuan Salinitas Optimum

Penelitian ini dilakukan selama tujuh hari dan selama pemeliharaan ikan uji tidak diberi pakan sehingga respons pertumbuhan yang ditunjukkan berupa penurunan bobot. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan salinitas yaitu: (A) 0 g/L, (B) 4 g/L, (C) 8 g/L, (D) 12 g/L dan (E) 16 g/L, dan masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan. Adaptasi salinitas dilakukan secara bertahap, yaitu dengan mengubah salinitas sebesar 2 g/L setiap 6 jam. Setelah mencapai salinitas tertinggi (16 g/L) dan terendah (0 g/L) maka glass eel ditebar ke dalam setiap unit percobaan sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Akuarium yang digunakan berukuran 60x30x30 cm dengan volume air 30 liter. Perlakuan terbaik pada penelitian tahap satu selanjutnya digunakan pada penelitian tahap dua. Parameter yang diukur meliputi: kelangsungan hidup (KH), laju penurunan biomassa mutlak (LPBM), tingkat konsumsi oksigen pada metabolisme standar (TKO), gradien osmotik (GO) dan parameter fisika kimia air yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, alkalinitas, dan NH3. . 2) Penentuan Kisaran Kadar Kalsium

pada Salinitas Optimum

Penelitian ini dilakukan selama 14 hari dan selama pemeliharaan ikan uji tidak diberi pakan sehingga respons pertumbuhan yang ditunjukkan berupa penurunan bobot. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan yaitu: (A2) 0

mg/L CaCO3 (kadar Ca2+ 47,6 mg/L), (B2) 25 mg/L CaCO3 (setara dengan 10 mg Ca2+/L), (C2) 50 mg/L CaCO3 (setara dengan 20 mg Ca2+/L), (D2) 75 mg/L CaCO3 (setara dengan 30 mg Ca2+/L), dan (E2) 100 mg/L CaCO3 (setara dengan 40 mg Ca2+/L) dan masing-masing memiliki tiga ulangan. Setiap perlakuan dibuat larutan stok yang akan digunakan untuk menggantikan air yang berkurang pada media pemeliharaan selama percobaan berlangsung. Akuarium yang digunakan berukuran 60x30x30 cm dengan volume air 30 liter. Hasil yang diperoleh merupakan acuan yang akan digunakan pada tahap tiga. Parameter yang diukur meliputi: kelangsungan hidup (KH), laju penurunan biomassa mutlak (LPBM), kalsium tubuh (CaT), penggunaan protein (PP), pembelanjaan energi (PE), tingkat konsumsi oksigen pada metabolisme standar (TKO), gradien osmotik (GO) dan parameter fisika kimia air yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, NH3, dan alkalinitas. 3) Pemeliharaan Glass Eel pada Media

Bersalinitas dan Berkalsium

Penelitian ini dilakukan selama 30 hari dan selama pemeliharaan ikan uji diberi pakan secara at libitum dengan rezim pakan yang berbeda. Pakan yang diberikan berupa artemia pada hari ke-0 hingga hari ke-10, cacing sutra pada hari ke-11 hingga hari ke-20, dan cacing darah pada hari ke-21 hingga hari ke-30. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yaitu: (A3) 20 mg/L CaCO3 (setara dengan 8 mg Ca2+/L), (B3) 40 mg/L CaCO3 (setara dengan 16 mg Ca2+/L), (C3) 60 mg/L CaCO3 (setara dengan 24 mg Ca2+/L) dan (D3) 80 mg/L CaCO3 (setara dengan 32 mg Ca2+/L) dan masing-masing memiliki tiga ulangan. Setiap perlakuan dibuat larutan stok yang akan digunakan untuk menggantikan air yang berkurang pada media pemeliharaan selama percobaan berlangsung. Akuarium yang digunakan berukuran 90x50x40 cm dengan volume air 100 liter. Parameter yang diukur meliputi: kelangsungan hidup (KH), laju pertumbuhan bobot harian (LPB), berat mutlak (BM), laju pertumbuhan panjang harian (LPP),

45

Page 55: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

panjang mutlak (PM), rasio RNA/DNA, tingkat konsumsi oksigen pada metabolisme standar (TKO), gradien osmotik (GO), glukosa tubuh (GluT) dan parameter fisika kimia air yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, NH3, NO2 dan alkalinitas.

2.4 Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan Analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan nyata maka akan dilakukan uji lanjut Duncan. Data fisika

kimia air dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data tentang kelangsungan hidup

(KH), pertumbuhan bobot mutlak (BM), panjang mutlak (PM), rasio RNA/DNA, gradien osmotik (GO) dan tingkat konsumsi oksigen pada metabolisme standar (TKO) ditampilkan pada Tabel 6.1, sedangkan parameter fisika kimia air yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, NH3, NO2, kesadahan dan alkalinitas ditampilkan pada Tabel 6.2.

Tabel 6.1. Performa glass eel pada salinitas optimum dengan penambahan kalsium

Parameter Perlakuan (mg/L)

A3 (20) B3 (40) C3 (60) D3 (80)

KH (%) 94,56±0,40a 97,21±1,06b 98,19±0,32b 98,20±0,70b BM (g) 0,12±0,01a 0,25±0,02d 0,20±0,06c 0,15±0,01b PM (cm) 1,92±0,07a 2,71±0,03c 2,16±0,07b 2,01±0,04a KKbobot (%) 30,63±0,33c 14,89±1,46a 17,59±0,88b 31,51±0,59c KKpjg (%) 10,91±0,67b 9,17±0,84a 10,75±0,31ab 10,78±0,67ab TKO (mgO2/jam/g) 0,030±0,005b 0,008±0,002a 0,013±0,013a 0,024±0,024b

Analisis statistik menunjukkan bahwa

kinerja produksi berupa kelangsungan hidup dan respons pertumbuhan berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan 40 mg/L CaCO3 dalam air bersalinitas 8 g/L memberikan kondisi paling nyaman bagi glass eel untuk hidup dan bertumbuh sehingga lebih sedikit penggunaan energi untuk aktivitas metabolisme. Hal ini ditunjukkan oleh nilai gradien osmotik dan tingkat konsumsi oksigen yang rendah dibandingkan

dengan perlakuan lainnya. Pola kinerja pertumbuhan glass eel disajikan pada Gambar 6.1. Zaidy et al (2008) dan Hadie et al (2009) menyatakan bahwa penambahan berbagai sumber kalsium seperti Ca(OH)2, CaO dan CaCO3 pada media maupun pakan dapat meningkatkan pertumbuhan udang galah Macrobranchium rosenbergii de Man, ikan patin Pangasius hypopthalmus (Hastuti et al. 2012) dan ikan sidat Anguilla bicolor bicolor pada stadia elver (Scabra et al. 2016).

Gambar 6.1. (a)Laju pertumbuhan harian bobot (LPB), (b) laju pertumbuhan harian panjang (LPP) dan (c) rasio RNA/DNA glass eel pada akhir pemeliharaan

0.980.991.001.011.021.031.041.05

20 40 60 80

LP

B (

%/h

ari

)

Perlakuan (mg/L)

0.965

0.97

0.975

0.98

0.985

0.99

20 40 60 80

LP

P

(%/h

ari

)

Perlakuan (mg/L)

0.000

0.500

1.000

1.500

20 40 60 80

Ras

io R

NA

/DN

A

(µg

/mL

)

Perlakuan (mg/L)

(a) (b) (c)

46

Page 56: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 6.1 menunjukkan bahwa laju pertambahan bobot, panjang dan rasio RNA/DNA glass eel selama pemeliharaan terbaik pada penambahan CaCO3 sebanyak 40 mg/L atau setara dengan 16 mg Ca/L pada media bersalinitas 8 g/L. Hal ini disebabkan karena tersedianya kondisi isoosmotik bagi benih ikan sidat A bicolor bicolor, optimalnya kondisi salinitas dan kalsium dalam media budidaya dapat menjaga keseimbangan tekanan osmotik antara tubuh ikan dengan lingkungannya sehingga metabolisme tubuh berjalan dengan baik sehingga meningkatkan pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan O’Neill et al. (2011); Perez-Robles et al. (2012), Cairns et al. (2008) dan Fazio et al. (2013) yang menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ikan. Peningkatan rasio RNA/DNA disebabkan karena adanya penambahan jumlah dan ukuran sel pada stadia glass eel. Sesuai dengan Kawakami et al. (1999) dalam Briand et al. (2005) yang menyatakan bahwa sidat terus bermetamorfosis dan mengalami pigmentasi serta perkembangan otot dan tulang. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada stadia glass eel sudah mulai terbentuk beberapa struktur organ seperti usus, kulit, insang dan ginjal (Hulet et al. 1989 dalam Briand et al. 2005). Semakin kecil penambahan rasio RNA/DNA menunjukkan semakin lambat terjadi pigmentasi, pembentukan organ, perkembangan otot dan tulang. Apabila

pigmentasi dan pembentukan organ telah sempurna maka energi akan digunakan untuk pertumbuhan bobot dan panjang tubuh.

Penggunaan energi berhubungan dengan pertumbuhan. Semakin besar energi yang digunakan untuk metabolisme tubuh, maka semakin sedikit energi yang tersimpan untuk pertumbuhan. Meningkatnya penggunaan energi disebabkan oleh kondisi stres terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu perlu disediakan lingkungan budidaya yang nyaman bagi glass eel untuk hidup dan bertumbuh. Menurut Nordlie, (2009); O’Neill et al. (2011); Perez-Robles et al. (2012) dan Fazio et al. (2013) salinitas merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ikan. Selanjutnya Cairns et al. (2009) menyatakan bahwa sidat Anguilla pada daerah beriklim sedang yang dibesarkan di air tawar memiliki pertumbuhan yang lambat. Sutrisno (2008) menyatakan bahwa salinitas 5 mg/L merupakan salinitas terbaik bagi benih Anguilla bicolor, Kearney et al. (2008) menyatakan bahwa salinitas 17,5 ppt memberikan kelangsungan hidup tertinggi pada glass eel A. australis dan A. dieffenbachia, sedangkan Affandi et al. (1995) menyatakan bahwa kisaran salinitas 0-7 ppt yang baik bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih sidat (glass eel dan elver).

Gambar 6.2 Kadar glukosa darah glass eel selama 30 hari pemeliharaan

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

20 40 60 80

Glu

ko

sa (

mg

/dL

)

Perlakuan (mg/L)

hari ke-0 hari ke-30

47

Page 57: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 6.2 menunjukkan bahwa selama pemeliharaan terjadi penurunan stres pada perlakuan B3 dan C3 (Tabel 6.1). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan 40 dan 60 mg/L CaCO3 dalam media bersalinitas 8 merupakan

kondisi yang nyaman bagi glass eel sehingga dapat mengurangi respons stres.

Parameter fisika kimia air berupa suhu, pH, DO, alkalinitas, NH3 dan (NO2) disajikan pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Parameter fisika kimia air selama pemeliharaan

Parameter Perlakuan

Kelayakan A3 (20) B3 (40) C3 (60) D3 (80)

Suhu (ºC) 28,17-31,63 28,10-31,47 28,17-31,77 28,10-31,70 23-32 (Ritonga,2014)

pH 6,56-7,56 6,71-7,66 6,79-7,75 7,06-7,91 >3 (Heriati,2005)

DO (mg/L) 5,87-6,67 6,10-6,67 5,93-6,57 6,03-6,57 6-8 (Ritonga,2014)

Alkalinitas (mg/L CaCO3)

34,35-45,80 45,80-57,25 57,25-68,70 68,70-80,15 50-300 (Heriati,2005)

NH3 (mg/) 0,001-0,002 0,001-0,005 0,002-0,010 0,002-0,010 <0,01 (Wahyudi el al. 2015)

NO2 (mg/L)

0,162-0,240 0,088-0,315 0,273-0,322 0,184-0,451 <0,5 (Knosche 1994)

Parameter fisika kimia air selama

penelitian masih berada dalam batas toleransi bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan glass eel A bicolor bicolor. Walaupun demikian, terjadi peningkatan nilai pH dan alkalinitas dengan meningkatnya penambahan kadar CaCO3 ke dalam media budidaya.

IV. SIMPULAN

1. Salinitas optimal bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan glass eel A bicolor bicolor yaitu pada media bersalinitas 8,3 g/L.

2. Kisaran kadar kalsium optimum untuk pendederan glass eel A.bicolor bicolor adalah 46,6 – 60,0 mg/L CaCO3 setara dengan 18,64 – 24,00 mg Ca2+/L.

3. Kondisi salinitas dan kalsium optimum bagi peningkatan kinerja produksi pada pendederan glass eel A bicolor bicolor adalah pada salinitas 8 g/L dan kalsium 16 mg/L setara 40 mg/L CaCO3.

UCAPAN TERIMAKASIH

DRPM Ditjen Penguatan Risbang atas bantuan dana penelitian berupa hibah disertasi doktor tahun 2017.

DAFTAR PUSTAKA

Acou A, Lefebre F, Contournet P, Poizat

G, Panfili J,Crivelli AJ. 2003. Silvering of Female Eels (Anguilla anguilla) in two sub-populations of the Rhoˆne delta. Bulletin France Peˆche Piscic. 368: 55–68.

Affandi R, Riani. 1995. Pengaruh salinitas terhadap derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan sidat (elver), Anguilla. bicolor bicolor. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan. 3: 39-48.

Aida K, Katsumi T, Kohei Y (eds.). 2003. Eel Biology. Springer. Tokyo. 497p.

Briand C, Fatin D, Ciccotti E, Lambers P.2005. A Stage-structured Model to Predict the Effect of Temperature and Salinity on Glass Eel Anguilla Anguilla Pigmentation Development. Journal of Fish Biology. 67: 993-1009.

48

Page 58: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Cairns D, Tremblay V, Caron F, Casselman J, Verreault G, Jessop B, de Lafontaine Y, Bradford R, Verdon R, Dumont P, Mailhot Y, Zhu J, Mathers A, Oliveira K, Benhalima K, Dietrich J, Hallett J, Lagace M. 2008. American eel abundance indicators in Canada. Canadian Data Report of Fisheries and Aquatic Sciences No. 1207. 78.

Cheng WC, Liu H, Kuo CM. 2003. Effect of dissolved oxygen on hemolymph parameters of freshwater giant prawn Marcobrachium rosenbergii de Man. Journal Aquaculture. 220: 843- 856

Chow S, Kurogi, Katayama H. 2010. Japanese eel Anguilla japonica do not assimilate nutrition during the oceanic spawning migration: evidence from stable isotope analysis. Marine Ecology Progress Series 402: 233–238.

Clevestam PD, Ogonowski M, Sjcoberg NB, Wickstrcom H. 2011. Too short to spawn? Implications of small body size and swimming distance on successful migration and maturation of the European eel Anguilla anguilla. Journal of Fish Biology 78: 1073–1089.

Durif CMF, Elie P. 2008. Predicting downstream migration of silver eels in a large river catchment based on commercial fishery data. Fisheries Management and Ecology 15: 127–137.

FAO [Food and Agriculture Organization]. 2014. Globefish Research Programme, Eel Anguilla spp.: Production and Trade. Rome, Italia: FAO Fishstat Plus.

Fazio F, Marafioti S, Arfuso F, Piccione G, Faggio C. 2013. Influence of different salinity on haematological and biochemical parameters of the widely cultured mullet, Mugil cephalus. Marine and Freshwater Behaviour and Physiology Journal. 46: 211-218.

Fontagné S, Silva N, Bazin D, Ramos A, Aguirre P, Surget A, Abrantes A, Kaushik JS, Power MB. 2009. Effects of dietary phosphorus and calcium level on growth and skeletal development in rainbow trout

Oncorhynchus mykiss fry. Journal Aquaculture. 297: 141–150.

Hadie LE, Hadie W, Prihadi TH. 2009. Efektivitas mineral kalsium terhadap pertumbuhan yuwana udang galah Macrobrachium rosenbergii. Jurnal Riset Akuakultur. 4: 65-72.

Hastuti YP, Djokosetiyanto D, Permatasari I. 2012. Penambahan Kapur CaO pada Media Bersalinitas untuk Pertumbuhan Benih Ikan Patin Pangasius hypothalmus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 11: 168-178.

Herianti I. 2005. Rekayasa lingkungan untuk memacu perkembangan ovarium ikan sidat AnguillA. bicolor bicolor. Jurnal Oseanologi dan Limnologi Indonesia. 37: 25‒41.

Kearney M, Jeffs A, Lee P. 2008. Effects of Salinity and Temperature on the Growth and Survival of New Zealand Shortfin, Anguilla australis, and Longfin A. dieffenbachia, Glass Eel. Aquaculture Research. 39(16):1769-1777.

KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2011. Panduan Budidaya Ikan Sidat. Jakarta, Indonesia: Pusat penyuluhan kelautan dan perikanan, KKP RI.

Knosche R. 1994. An Effentive Biofilter Type for eel Culture in Recirculating Systems. Aquaculture Engineering, 13:71-82.

Liao IC. Eel. 2000. Encyclopedia of Food Science and Technology (Francis, F. J.Ed.). 2nd edition. New York: John Wiley and Sons. 1: 584–592.

Nordlie FG. 2009. Environmental influences on regulation of blood plasma serum components in teleost fish: a review. Review in Fish Biology and Fisheries. 19: 481-564.

Okamoto T, Kurokawa T, Gen K, Murashita K, Nomura K, Kim SK, Matsubara H, Ohta H, Tanaka H. 2009. Influence of salinity on morphological deformities in cultured larvae of Japanese eel, Anguilla japonica at completion of yolk resorption. Aquaculture 293: 113–118.

Okamura A, Yamada Y, Horita T, Horie N, Mikawa N, Utoh T, Tanaka S, Tsukamoto K. 2009a. Rearing eel leptocephali Anguilla japonica

49

Page 59: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Temminck & Schlegel in a planktonreisel. Aquaculture 40: 509–512.

O’Neill B, De Raedemaecker F, McGranth D, Brophy D. 2011. An experimental investigation of salinity effects on growth, development and condition in the European flounder (Platichthys flesus. L.). Journal of experimental Marine Biology and Ecology. 410: 39-44.

Perez-Robles J, Re AD, Giffard-Mena I, Diaz F. 2012. Interactive effects of salinity on oxygen consumption ammonium excretion, osmoregulation and Na+/K+-ATPase expression in the bullseye puffer (Sphoeroides annulatus, Jenyns 1842). JournalAquaculture Research. 43: 1372-1383.

Ritonga T. 2014. The response of eel fish seed Anguilla bicolor bicolor to the degree of acidity (pH) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Scabra AR, Budiardi T, Djokosetiyanto D. 2016. Production performance of Indonesian eel Anguilla bicolor bicolor with the addition of calcium carbonate (CaCO3) in to the culture media. Jurnal Akuakultur Indonesia 15: 1–7.

Sutrisno. 2008. Determination of water salinity and proper type of natural feed in the maintenance of eel seeds Anguilla bicolor. Jurnal Akuakultur Indonesia 7: 71–77.

Traffic report. 2015. Tries to pin down slippery eel trade. http:traffic.org/home/2015/7/13/traffic-report-tries-to-pin-down-slippery-eel-trade.html

Wahyudi H, Affandi R, Hariyadi S. 2015. Response of eel seedAnguilla bicolor bicolor to ammonia (NH3) on the maintenance media [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Walsh CT, Pease BC, Booth DJ. 2004. Variation in the sexratio, size and age of longfinned eels within and among coastal catchmentsof south eastern Australia. Journal Fisheries Biology. 64: 1297–1312.

Zaidy AB, Affandi R, Kiranadi B, Praptokardiyo K, Manalu W. 2008. Pendayagunaan kalsium media perairan dalam proses ganti kulit dan konsekuensinya bagi pertumbuhan udang galah Macrobrachium rosenbergii de Man. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 15: 117–125.

50

Page 60: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

EFIKASI RUTE VAKSIN Aeromonas hydrophila ASB-01 PADA IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus)

Olga1 dan Fatmawati2

Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rute pemberian vaksin A.hydrophila ASB-01 yang efektif untuk mengendalikan MAS pada ikan gabus. Efektivitas rute vaksinasi dievaluasi melalui titer antibodi, sintasan, RPS (relative percent survival) dan RWK (Rerata waktu kematian). Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan (vaksinasi secara rendaman (R), oral (O), injeksi intramuscular (IM), injeksi intraperitoneal (IP) dan Kontrol (PBS pH 7,0) dengan 3 ulangan. Dosis vaksinasi sebanyak 107 sel/ml. Vaksinasi booster dilakukan setelah 14 hari kemudian, dosisnya sama dengan vaksinasi awal. Selanjutnya, 14 hari berikutnya ikan ditantang dengan A.hydrophila ASB-01. Untuk memperoleh data titer antibodi dilakukan pengambilan darah pada saat sebelum divaksinasi, sesaat sebelum vaksinasi booster dan 14 hari setelah vaksinasi booster. Ikan tantang diamati selama 14 hari untuk memperoleh data sintasan, RPS dan RWK. Hasil menunjukkan bahwa semua rute pemberian vaksin dapat meningkatkan titer antibodi, akan tetapi titer antibodi tertinggi diperoleh dari ikan yang divaksinasi secara injeksi. Sintasan gabus yang divaksinasi secara IM (84,47%), IP (82,20%), R (42,27%), O (42,20%) dan kontrol (13,13 %). RPS gabus yang divaksinasi melalui rute IM (82,08%), IP (79,46%), R (33,38%), O (33,31%), sedangkan RWK gabus melalui rute IP (3,63 hari), IM (79,46 3,57 hari), R (2,46 hari), O (1,85 hari) dan kontrol (1,03 hari). Rute vaksinasi yang efektif adalah melalui injeksi.

Kata kunci: Aeromonas hydrophila, Ophiocephalus striatus, rute, vaksin

I. PENDAHULUAN

Keberlanjutan akuakultur sangat tergantung pada pencegahan penyakit. Dengan intensifikasi akuakultur, risiko terjadinya penyakit dan penyebaran wabah penyakit semakin meningkat. Salah satunya adalah MAS (Motile Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar dan berpotensi menghambat usaha pengembangan akuakultur.

Bakteri penyebab MAS ini hidup di air dan ditemukan menyerang berbagai jenis ikan air tawar di seluruh dunia dan adakalanya pada ikan laut (Hayes, 2000). MAS pernah mewabah menyerang ikan gabus di perairan umum Kalimantan Selatan yang menyebabkan harga jual ikan gabus merosot tajam di pasaran lokal (Olga & Fatmawati, 2008).

Penyakit ini dapat mewabah dikarenakan perubahan kondisi lingkungan, stress, overcrowding (populasinya padat), suhu tinggi, perubahan suhu secara mendadak, penanganan yang kasar, transfortasi ikan, rendahnya oksigen terlarut. Selain itu, rendahnya persediaan makanan dan infeksi fungi atau parasit juga berpengaruh pada perubahan fisiologis dan menambah kerentanan terhadap infeksi. Terdapat pandangan yang berbeda tentang peran yang tepat dari A.hydrophila sebagai patogen ikan. Beberapa peneliti menetapkannya sebagai penyerang sekunder pada inang yang dalam kondisi lemah atau stress (patogen opportunistik), sedangkan yang lain menyatakan bahwa bakteri ini adalah patogen utama ikan air tawar (Hayes, 2000).

Ikan gabus yang diinfeksi A.hydrophila secara eksternal menunjukkan sisik/kulit yang pucat, terjadi pembengkakan dan luka pada bekas injeksi di bagian dorsal

51

Page 61: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

tubuh ikan. Hari berikutnya mulai terjadi hemorhagik pada tubuh, sirip patah-patah dan berwarna pucat, serta keseimbangan tubuh ikan terganggu, sehingga ikan sering berenang lemah ke permukaan air dan cenderung menyendiri. Gejala internal pada ikan yang mati menunjukkan empedu lembek dan mudah pecah, saluran pencernaan kosong berisi cairan, hati merah kecoklatan, ginjal merah dengan tepi kehitaman, atau ginjal merah pucat pada ikan gabus mati lainnya (Olga, 2012). Menurut Miyazaki & Jo (1985), bakteri ini memperbanyak diri dalam usus menyebabkan suatu radang haemorrhagic mucuous-desquamative (pengeluaran lendir berlebihan). Metabolit beracun bakteri ini diserap dari usus dan menginduksi keracunan. Pendarahan pada kapiler terjadi di permukaan sirip dan di submukosa perut. Sel hepatik dan epitel dari tubulus ginjal menunjukkan adanya degenerasi. Glomeruli dihancurkan dan jaringan menjadi berdarah dengan eksudat dari serum dan fibrin.

Masalah penyakit ikan sering ditangani dengan antibiotik. Namun, penanggulangan penyakit dengan antibiotik mempunyai kelemahan, karena waktu perlindungannya yang pendek dan meningkatnya residu antibiotik dalam daging ikan. Selain itu, pengobatan yang berulang menyebabkan meluasnya wabah penyakit dan semakin sulit untuk diobati, karena munculnya strain patogen yang resisten. Menurut Ansary et al (1992) penggunaan antibiotik telah menyebabkan peningkatan plasmid yang mengkode resistensi antibiotik. Selanjutnya menurut Altwegg & Geiss (1989) bakteri resisten antibiotik ini potensial penyebab masalah kesehatan manusia, ketika ikan dimakan mentah atau tidak disimpan atau dimasak, A. hydrophila juga merupakan patogen manusia. Hal ini mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut sebagai alternatif pengendalian penyakit ikan.

Ikan, seperti mamalia juga memiliki sistem pertahanan yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dan menjaga integritasnya dalam lingkungan yang ekstrim. Jaringan limfoid utama dalam ikan teleostei adalah ginjal bagian posterior, timus, limpa dan mukosa-terkait

jaringan limfoid, termasuk kulit dan insang (Press & Evensen, 1999), dan perbedaan jelas dari sistem kekebalan tubuh mamalia bahwa ikan tidak memiliki sumsum tulang belakang dan kelenjar getah bening. Mekanisme perlindungan terhadap benda asing, termasuk patogen dan sel-sel ganas dilakukan oleh reaksi bawaan dan adaptif dari tubuh ikan (Evensen, 2009).

Usaha pengendalian penyakit yang disebabkan A.hydrophila pada ikan gabus dapat diupayakan melalui stimulasi sistem pertahanan adaptif ikan, yaitu vaksinasi. Osman et al (2009) menyatakan bahwa dampak positif secara keseluruhan dari vaksinasi pada ikan budidaya adalah menurunnya kematian ikan yang disebabkan penyakit tertentu. Vaksinasi tidak seperti antibiotik yang membunuh dan menghentikan penyakit yang disebabkan bakteri, vaksin merangsang sistem imun ikan untuk memproduksi antibodi yang membantu dan melindungi ikan dari penyakit tertentu. Ke depannya, vaksinasi mampu memberikan kontribusi untuk produksi akuakultur secara berkelanjutan, dan menekan penggunaan antibiotik (Gudding et al, 1999). Menurut Kambalapally (2013) ada tiga rute yang layak untuk penerapan vaksin dalam akuakultur, yaitu vaksinasi melalui injeksi, perendaman dan oral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rute pemberian vaksin A.hydrophila ASB-01 yang efektif untuk mengendalikan MAS pada ikan gabus.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Bahan dan Metode

2.1.1 Ikan uji

Hewan uji yang digunakan adalah ikan gabus yang berukuran panjang total 13 – 15 cm, berat 15-20 g, yang diperoleh dari petani ikan di desa Sungai Rangas, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ikan ini dipelihara dalam baskom plastik berkapasitas volume 25 l dengan kepadatan 15 ekor/baskom.

52

Page 62: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

2.1.2 Peningkatan Virulensi Isolat A.hydrophila ASB-01

Isolat bakteri yang digunakan untuk membuat vaksin adalah bakteri Aeromonas hydrophila ASB-01 yang merupakan isolat lokal hasil isolasi dari ikan gabus sakit yang diperoleh dari desa Sungai Buluh Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan.

Bakteri Aeromonas hydrophila ASB-01 ditingkatkan virulensinya dengan menyuntikan secara intramuskular suspensi bakteri dengan kepadatan 1012 CFU/ml pada 3 ekor ikan gabus berukuran panjang total 13-15 cm. Bakteri diisolasi dari ikan uji yang telah diinfeksi dan menunjukkan gejala terinfeksi A.hydrophila, kemudian dikultur di medium Glutamate Starch Phenol-red Agar (GSPA, Merck- Germany), selanjutnya satu koloni yang berwarna kuning dikultur ke medium Trypticase Soy Broth (TSB, Oxoid-England), setelah diinkubasi pada T 37 oC selama 18-24 jam diinfeksi kembali ke ikan sehat. Peningkatan virulensi dilakukan dengan tahapan kerja yang berulang sebanyak 3 kali. 2.1.3 Pembuatan Vaksin

Vaksin dibuat dengan cara bakteri dikultur ke dalam 10 ml medium TSB dan diinkubasi selama 18 - 24 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi, kultur cair tersebut dipindahkan ke 70 ml medium Trypticase Soy Agar (TSA, Oxoid-England) pada cawan petri berdiameter 15 cm dan diinkubasi selama 18- 24 jam pada T 37 oC. Selanjutnya, kultur dipanen dan diinaktivasi dengan formalin 1,5 % (Formalin pekat 37%), dihomogenkan di atas shaker dengan kecepatan 125 rpm selama overnight. Pencucian menggunakan larutan Phosphat Buffer Saline pH 7,0 dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dilakukan sebanyak tiga kali. Untuk mengetahui apakah sel tersebut benar-benar telah diinaktifkan, maka dilakukan uji viabilitas pada medium GSPA (Merck, Germany).

2.1.4 Vaksinasi

Ikan gabus uji yang akan divaksinasi maupun kontrol diadaptasikan dalam baskom pemeliharaan selama 2 minggu. Vaksinasi dilakukan secara rendaman (ikan direndam selama 15 menit dengan vaksin), oral (ikan diberi vaksin secara cekok tidak melalui pakan dengan tujuan agar vaksin dapat terserap merata masuk ke dalam tubuh ikan uji), injeksi melalui intramuscular dan intraperitoneal. Dosis vaksin 0,1 ml/ikan dengan kepadatan bakteri 107 sel/ml (untuk perlakuan oral, injeksi secara intramuscular dan intraperitoneal), sedangkan untuk ikan kontrol diinjeksi dengan PBS pH 7,0. Dua minggu setelah vaksinasi dilakukan booster. Sebelum vaksinasi, 14 hari setelah vaksinasi (sesaat sebelum booster), dan 14 hari setelah booster dilakukan pengambilan darah ikan untuk uji titer antibodi. Uji tantang dengan A.hydrophila ASB-01 yang telah ditingkatkan virulensinya dilakukan 14 hari setelah booster. Kepadatan bakteri tantang berdasarkan hasil LD50 (2,69 x 105 cfu/ml). Setelah uji tantang, ikan dipelihara selama 14 hari untuk mengamati sintasan, RPS dan rerata waktu kematian. Selama penelitian, ikan diberi pakan ikan rucah segar yang diberikan sebanyak 2 kali secara adlibitum, yaitu pagi dan sore hari.

2.2 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomized Design) (Gomez & Gomez, 1995) yang terdiri dari 5 perlakuan 3 ulangan. Kelima perlakuan tersebut terdiri dari 4 perlakuan vaksin dan 1 perlakuan kontrol, Perlakuan vaksinasi dilakukan secara rendaman (R), oral (O), injeksi melalui intramuscular (IM) dan intraperitoneal (IP), sedangkan perlakuan kontrol, yaitu ikan diinjeksi dengan PBS pH 7,0.

2.3 Parameter dan Analisis Data

Parameter yang diamati meliputi titer antibodi, sintasan, RPS, dan RWK. Pengamatan titer antibodi dilakukan

53

Page 63: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dengan metode mikrotiter, diamati sebanyak 3 kali, yaitu sebelum vaksinasi, 14 hari setelah vaksinasi dan 14 hari setelah booster. Adapun data sintasan, RPS dan RWK diamati setelah uji tantang. Rumus yang digunakan untuk perhitungan adalah:

Sintasan dihitung sebagai berikut:

S =𝐍𝐭

𝐍𝐨 x 100 %

Keterangan: S : Sintasan N0 : Jumlah ikan pada awal penelitian

Nt : Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian

Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS) dihitung sebagai berikut:

RPS = 1- % 𝐊𝐈𝐃

% 𝐊𝐈𝐓𝐃) x 100 %

Keterangan: KID : Kematian ikan yang divaksin KITD : Kematian ikan yang tidak

divaksin Rerata Waktu Kematian/RWK dihitung sebagai berikut:

RWK = ∑ 𝐚𝟏𝐛𝟏𝐧

𝟏=𝟏

∑ 𝐛𝟏𝐧𝟏=𝟏

Keterangan: a : Waktu kematian (hari) b : Jumlah ikan yang mati (ekor)

Parameter penunjang lainnya yang

diamati adalah kualitas air (DO, CO2, NH3, pH dan suhu) dilakukan setiap 14 hari selama penelitian, yaitu pada pagi hari. Selanjutnya untuk Titer antibodi diamati dengan metode deskriptif.

Data yang terkumpul dari uji titer antibodi ditansformasikan ke dalam bentuk logaritma (data log 2), kemudian dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA/Analysis of Variance). Data lainnya yang diperoleh setelah uji tantang seperti sintasan, RPS dan RWK juga dianalisis dengan ANOVA. Apabila berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5 % dan 1 %. III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat keberhasilan vaksinasi dapat dilihat dari meningkatnya titer antibodi pada ikan gabus. Hasil signifikan dari rute pemberian vaksin A.hydrophila ASB-01 setelah divaksinasi menunjukkan titer antibodi yang cukup tinggi pada ikan gabus yang divaksinasi secara injeksi dibandingkan secara oral dan rendaman (Tabel 7.1), yaitu vaksinasi injeksi secara intramuskular (42,66), injeksi intraperitoneal (69,33), oral (5,33) dan rendaman (21,33), sedangkan pada kontrol tidak terjadi kenaikan titer antibodi. Pada hari ke 14 setelah vaksinasi booster, rerata titer antibodi perlakuan injeksi meningkat dengan pesat, yaitu secara intraperitoneal (1.536), secara intramuskular (1.194,67), sedangkan untuk kenaikan titer antibodi pada perlakuan rendaman dan oral tidak terlalu pesat, yaitu rendaman (37,33) dan oral (21,33). Hasil ANOVA rerata titer antibodi menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata (P<0,01) antar perlakuan vaksin maupun dengan kontrol. Yin et al., (1996) melaporkan untuk jenis ikan lain seperti lele yang divaksinasi menunjukkan antibodi humoral pada hari ke-7 yang memuncak 28 hari pasca vaksinasi dengan vaksin diinaktif formalin dari isolat A.hydrophila.

54

Page 64: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 7.1. Rerata titer antibodi ikan gabus selama penelitian

Perlakuan Rerata titer antibodi sampling ke-

0 1 2

Rendaman (R ) 1,00a 21,33a 37,33a Oral (O) 1,00a 5,33b 21,33a Injeksi intramuscular (IM) 1,00a 42,66a 1.194,67b Injeksi intraperitoneal (IP) 1,00a 69,33a 1.536b Kontrol 1,00a 1,00c 1,00c

Keterangan: Rerata yang diikuti dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,01). Sampling-0 = sesaat akan divaksinasi, sampling ke-1= 14 hari setelah vaksinasi (sesaat akan dibooster), sampling ke -2 = 14 hari setelah booster.

Banyak penelitian yang menyatakan

bahwa titer antibodi yang terbentuk sebagai respon imun tergantung pada cara pemasukan antigen ke dalam tubuh. Nitimulyo et al (1992 di dalam Mulia 2003) mengemukakan bahwa pada umumnya efikasi vaksin tertinggi diperoleh dengan cara suntik, disusul rendaman dan kemudian baru oral.

Vaksinasi dapat meningkatkan sintasan ikan gabus dibandingkan kontrol. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa keempat perlakukan rute vaksinasi memberikan rerata sintasan yang berbeda nyata, dan

dibandingkan dengan kontrol juga berbeda nyata (P<0,01). Selain itu, rute vaksinasi juga memberikan sintasan yang berbeda antara perlakuan IM dan IP dengan perlakuan R dan O. Dalam hal ini perlakuan rute IM memberikan sintasan yang tertinggi, yaitu 84, 47 % (Tabel 7.2).

RPS ikan gabus tertinggi terdapat pada perlakuan IM (82,08%), disusul IP (79,46 %), O (33,31 %), dan R 33,38 %. Hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,01) pada nilai RPS antar perlakuan vaksin (Tabel 7.2).

Tabel 7.2. Rerata Sintasan dan RPS ikan gabus yang ditantang A.hydrophila ASB-01

Perlakuan Sintasan (%) RPS (%)

Rendaman (R) 42,27a 33,38a Oral (O) 42,20a 33,31a Injeksi intramuscular (IM) 84,47b 82,08b Injeksi intraperitoneal (IP) 82,20b 79,46b Kontrol 13,33c

Keterangan: Rerata yang diikuti dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,01).

Rerata waktu kematian tercepat pada

kontrol (1,03 hari), kemudian diikuti perlakuan R (1,84 hari) dan O (1,84 hari). Rerata waktu kematian terlambat terdapat pada perlakuan IM (3,57 hari) dan IP (3,63 hari). Hasil ANOVA menunjukkan adanya

perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan ikan yang divaksin dan tidak divaksin maupun antar perlakuan vaksin (P<0,01) (Tabel 7.3).

Tabel 7.3. Rerata Waktu Kematian ikan gabus yang ditantang A.hydrohila ASB-01

Perlakuan Rerata Waktu Kematian (hari)

Rendaman (R) 2,46a Oral (O) 1,85a Injeksi intramuscular (IM) 3,57b Injeksi intraperitoneal (IP) 3,63b Kontrol 1,03c

Keterangan: Rerata yang diikuti dengan huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata (P>0,01).

55

Page 65: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Efektivitas vaksinasi melalui cara injeksi dikarenakan dengan cara ini antigen masuk ke dalam tubuh secara sistemik, yaitu melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa vaksinasi dengan cara injeksi ini dapat menimbulkan immunosupresi, pengurangan serapan pakan dan kematian akibat penanganan pada ikan sehingga ikan perlu dianastesi dan hanya cocok diberikan untuk ikan yang berukuran > 15 g (Ellis, 1989). Menurut Nelson et al. (1985) yang telah melakukan penelitian tentang vaksin bakterin dari Vibrio yang diberikan pada ikan rainbow trout dengan cara vaksinasi injeksi secara intraperitoneal, rendaman dan oral dan mengamati lokasi vaksin di dalam jaringan tubuh ikan menyatakan bahwa vaksin yang dimasukkan dengan cara injeksi diketahui terakumulasi oleh makrofag dan berada pada ginjal dan limpa.

Banyak peneliti yang melaporkan situs utama masuknya antigen yang diberikan secara rendaman adalah insang, selain itu juga kulit, linea lateralis dan usus. Menurut Nakanishi & Ototake (1997) kulit adalah situs utama penyerapan antigen. Tidak hanya fagosit tetapi juga beberapa sel epitel kulit terlibat dalam penyerapan antigen. Dalam kebanyakan uji coba vaksinasi rendaman, antibodi tidak terdeteksi dalam serum oleh mikrotitrasi, bahkan ketika antibodi ditemukan, titer tidak selalu berkorelasi dengan perlindungan. Selanjutnya Nelson et al. (1985) menemukan adanya vaksin pada permukaan insang, saluran gastrointestinal dan ginjal pada ikan rainbow trout yang telah divaksin secara rendaman. Meskipun vaksinasi secara rendaman tidak memberikan hasil yang lebih baik dari vaksinasi secara injeksi, Thune (1980 di dalam Pasaribu et al. 1990) menyatakan bahwa metode rendaman menyebabkan proses imunitas yang lebih efektif, karena antigen lebih lama kontak dengan ikan. Ellis (1989) menyatakan bahwa keuntungan lain dari vaksinasi secara rendaman, yaitu dapat diterapkan pada semua ukuran ikan serta stress yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Apabila ikan yang divaksinasi berukuran kecil (< 10 g) dalam jumlah yang sangat

besar, vaksinasi dengan cara rendaman dapat dijadikan pilihan.

Menurut Ellis (1989) menyatakan bahwa vaksinasi secara oral memberikan perlindungan dengan potensi rendah dan membutuhkan sejumlah besar vaksin untuk mencapai perlindungan pada ikan. Salah satu faktor penting tentang rendahnya respon pada vaksinasi oral disebabkan degradasi pencernaan terhadap antigen dalam foregut sebelum ikan mencapai daerah respon imun dalam hind gut dan organ limfoid lainnya (Johnson & Amend, 1983). Sementara itu, Nelson et al (1985) menyatakan bahwa respon imun yang terbentuk melalui cara vaksinasi oral diduga bukan secara sistemik, melainkan karena induksi respon mucosal. Pernyataan ini dikuatkan Muiswinkel (1995 di dalam Mulia, 2003) bahwa vaksinasi secara oral tidak dapat menghasilkan titer antibodi yang tinggi karena antigen yang diberikan secara oral akan menghasilkan antibodi dalam skin mucus dan empedu, bukan pada serum. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ditemukan vaksin dalam jaringan internal ikan maupun dalam organ tubuh, kecuali ditemukan pada usus. Menurut Esteve et al (2010) vaksinasi secara oral menstimulasi produksi antibodi pertama kali di mukus, berikutnya di ginjal dan limfa. Jadi limfosit mucosal pada level rendah bertanggungjawab mensekresi antibodi yang terdeteksi pada sebagian besar mukus pada hari pertama setelah vaksinasi, sementara limfosit dalam limfa dan ginjal untuk mensirkulasi antibodi dalam level tinggi yang terdeteksi dalam plasma selama keseluruhan periode. Ditambahkan lagi oleh Stefaan et al, (2004) bahwa level antibodi di mukus kulit lebih tinggi setelah divaksinasi oral dibandingkan dengan vaksinasi melalui rute intraperitoneal. Respon imun terbentuk, karena adanya antigen yang sampai ke dalam rongga usus yang merangsang limfosit dalam jaringan usus untuk memproduksi antibodi. Menurut Kambalapally et al. (2013) meski tidak menghasilkan titer antibodi yang tinggi dibandingkan dengan vaksinasi secara injeksi dan rendaman, vaksinasi oral mempunyai beberapa keuntungan, karena

56

Page 66: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dapat diterapkan pada hampir semua ukuran ikan. Metode ini bebas stress pada ikan dan cara vaksinasi ikan yang murah di lingkungan akuakultur. Agar vaksinasi secara oral ini berhasil, dibutuhkan teknologi pengemasan vaksin yang dapat bertahan lama ketika kontak dengan air, mampu bertahan pada jaringan mukosa usus dan mengatasi tantangan dalam lingkungan pencernaan ikan, karena pH rendah dalam lingkungan pencernaan, enzim pencernaan dan asam empedu. Akan tetapi untuk ikan gabus yang bersifat karnivor, vaksinasi secara oral yang dikemas dalam pakan sulit dilakukan.

Pengamatan terhadap parameter kualitas air selama penelitian menunjukkan suhu air berkisar antara 26,00 – 29,50 oC, pH 7,00 – 7,100, DO 3,40 – 7,20 ppm, CO2 5,00 – 20,00 ppm dan NH3-N 0,029 – 0,038 ppm. Menurut Anonim (1991 di dalam Nurajimah, 1999), ikan gabus dapat tumbuh dengan baik pada suhu air berkisar antara 28 – 31 oC, pH perairan di alam yang cocok untuk kehidupannya adalah 4,5 – 6,0 (Asmawi, 1993 di dalam Nurajimah, 1999), kandungan ammoniak berkisar antara 0,014 – 0,074 ppm (Anonim, 1983 di dalam Nurajimah, 1999). Selain itu, ikan ini dapat bertahan hidup pada perairan yang kandungan oksigennya rendah, yaitu < 5 ppm (Nurajimah, 1999). Temperatur air, ukuran dan spesies ikan memiliki pengaruh langsung pada respon imun ikan dan harus selalu dipertimbangkan pada saat vaksinasi. Amend & Eshenour (1980) menyatakan bahwa ikan merespon lebih cepat dan mempertahankan imunitas kekebalannya lagi secara langsung sebanding dengan meningkatnya temperatur air dan ukuran ikan. Menurut (Boyd, 1990 di dalam Olga & Rini, 2006) kisaran suhu 25,00 – 32,00 oC, pH 6,50 – 9,00, DO minimal 2,00 ppm dan ammoniak 0,005 – 1,00 ppm masih normal untuk kehidupan ikan air tawar.

DAFTAR PUSTAKA

Ansary A., R.M.Haneef, J.L.Torres & M.Yadav, 1992. Plasmids and antibiotic resistance in Aeromonas hydrophila isolated in Malaysia from

healthy and diseased fish. Journal of Fish Diseases 15: 191–196.

Altwegg M. & H.K.Geiss. 1989. Aeromonas as a human pathogen. Critical Reviews in Microbiology 16: 253–286.

Amend, D.F., and R.W. Eshenour. 1980. Development and use of commercial fish vaccines. Salmonid. 3(6):5-12

Ellis,A.E.,1989. Fish Vaccination. Departement of Agriculture and Fiheries for Scotland Marine Laboratory. PO Box 101. Victoria road Aberdeen AB9 8DB. Aquaculture Information Series No.4. 5 pages.

Evensen, O., 2009. Development in fish vaccinology with focus delivery methodologies, adjuvants and formulations. In: Rogers C.(ed), Basurco B. (ed). The use of veterinary drugs and vaccines in Mediterranean aquaculture. Zaragoza:CIHEAM, 2009. p.177-186 (Options Méditerranéesses: Séries A. Séminaires Méditerranéens; n.86

Gudding, R., A.Lillehaug & O.Evensen, 1999. Recent developments in fish vaccinology. Vet Immunol Immunopathol, 72(1-2):203-212

Gomez, K.A & A.A Gomez. 1995. Statistical procedures for agricultural research. (Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Diterjemahkan oleh E.Samsudin & J.S Baharsah). Universitas Indonesia Press. Jakarta.689 halaman.

Hayes, J., 2000. Aeromonas hydrophila. Oregon State University. http://hmsc.oregonstate.edu/classes/MB492/hydrophilahayes.

Johnson, K.A & D.F.Amend, 1983. Efficacy of Vibrio anguillarum and Yersinia ruckerii bacterin applied by oral route for salmonids.J.Fish Dis., 6:473-476.

Kambalapally, S., M.Harel, & J.A.Tobar, 2013. Oral Vaccine Delivery Proves Effective In Reducing Diseases In Salmon. Global Aquaculture Advocate. January/February 2013 p. 70-71.

Mulia, D.S., 2003. Pengaruh Vaksin Debris Sel Aeromonas hydrophila Dengan kombinasi cara vaksinasi dan booster terhadap respon imun dan

57

Page 67: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

tingkat perlindungan relative pada lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell). (Tesis). PPs Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Miyazaki, T. & Jo, Y. 1985. A histopathological study on motile aeromonad disease in ayu. Fish Pathology.20:55-59

Nakanishi T & Ototake M., 1997. Antigen uptake and immune resposes after immersion vaccina tion. Dev.Biol.Stand. 90:59-68.

Nelson, J.S; J.S. Rohovec & J.L.Fryer., 1985. Tissue localization of Vibrio bacterin delivered by intraperitoneal injection, immersion and oral routes to Salmo gairdneri. Fish Pathology. 19:263-269

Nurajimah, 1999. Pemeliharaan burayak ikan gabus (Channa striata) dengan pemberian pakan yang berbeda dalam hapa. (Skripsi). Fakultas Perikanan Unlam, Banjarbaru.

Olga & R.K.Rini. 2006. Penggunaan vaksin whole cell untuk pengendalian penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada ikan patin (Pangasius hypophthalamus). Agroscientiae 13(1):48-54

Olga & Fatmawati, 2008. Penyediaan ikan gabus (Channa striata) Bebas Aeromonas hydrophila melalui vaksinasi. Hibah Penelitian.Program I-MHERE B.1. Batch II Unlam. Fakultas Perikanan Prodi Budidaya Perairan.Unlam Banjarbaru. 54 Hal.

Olga, 2012. Patogenisitas Bakteri Aeromonas hydrophila ASB01 pada ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Sains Akuatik 14 (1):33-39

Osman, K.M; L.A.Mohamed; E.H.A.Rahman & W.S.Soliman, 2009. Trials for vaccination of Tilapian fish against Aeromonas and Pseudomonas infections using monovalent, bivalent and polyvalent vaccines. Word Journal of Fish and Marine Sciences 1(4):297-304

Pasaribu,F.H., N.Dalimunthe & M.Poeloengan, 1990. Pengobatan dan pencegahan penyakit ikan bercak merah. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan udang 16-18 Januari. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian:143-152.

Press, C.McL & Evensen, O., 1999. The morphology of the immune system in teleost fishes. Fish Shellfish Immunol, 9:309-318

Stefaan, V., O.Frans, K.Renaat & M.Armand, 2004. Oral vaccination of African catfish with Vibrio anguillarum O2: effect on antigen uptake and immune response by absorbstion enhancers in lag time coated pellets. Fish and Shellfish Immunol, 16:407-414

Yin, Z., T. J. Lam & K. M. Sin. 1996. The role of specific antiserum of catfish (Clarias gariepinus) as a defense against Aeromonas hydrophila. Fish Shell Fish Immunol. 6: 57 – 69.

58

Page 68: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

MASALAH PRODUKSI TAMBAK IKAN BANDENG YANG RENDAH DI DESA BIPOLO

Agenette Tjendanawangi1 dan Nikodemus Dahoklory2

1,2) Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK

Sistim budidaya ikan bandeng yang diterapkan oleh kelompok pembudiaya ikan di Desa Bipolo adalah budidaya bandeng secara tradisional dengan mengandalkan pakan alami saja. Akibatnya dalam luasan tambak 1 Ha, hanya dapat dipelihara ikan sebanyak 2.500 - 5000 ekor/Ha dengan lama pemeliharaan sekitar 8 bulan. Apabila kegiatan budidaya ini ditunjang dengan pemberian pakan tambahan dari luar, maka jumlah ikan yang dipelihara dapat ditingkatkan hingga 10.000 ekor/Ha dan lama waktu pemeliharaan dapat dipercepat, sehingga dalam satu tahun, pembudidaya ikan dapat panen ikan minimal 2 kali dalam setahun. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produksi tambak kelompok pembudidaya ikan Bandeng di desa Bipolo melalui penyuluhan dan demonstrasi tentang pembuatan pakan yang bahan bakunya didapat dari lokasi sekitar serta pembuatan alat pembuat/pencetak pakan. Produksi ikan bandeng yang tinggi memungkinkan untuk pemenuhan protein hewani sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan selajutnya meningkatkan pendapatan daerah dan nasional.

Kata Kunci : Budidaya bandeng, Bipolo, Pertumbuhan, Pakan buatan, Alat pembuat pakan

I. PENDAHULUAN Ikan bandeng adalah salah satu

komoditi perikanan yang bernilai ekonomis penting dan mulai banyak diminati di Kupang, NTT. Harga di pasaran Kupang berkisar Rp. 30.000 – 35.000/kg. Hal ini mendorong berkembangnya usaha budidaya ikan di Desa Bipolo.

Di Bipolo terdapat sekitar 100 ha tambak, namun belum semuanya dikelolah dengan baik. Sistim budidaya yang diterapkan oleh kelompok pembudidaya ikan di Desa Bipolo adalah budidaya air payau dan budidaya air tawar (Effendie, 2002). Ikan yang dipelihara pada tambak air payau adalah kebanyakan ikan bandeng, sedang yang dipelihara pada kolam air tawar adalah ikan mas, nila, dan lele yang dipelihara bersama tanaman kangkung.

Pengelolaan budidaya masih secara tradisional, serta kebanyakan masih mengandalkan pakan alami . Akibatnya waktu pemeliharaan ikan hingga panen berlangsung lama (sekitar 8 bulan) dan padat tebar hanya berkisar 2.500 – 5.000 ekor ikan/Ha. Sehingga dalam setahun

hanya bisa panen 1 kali dengan produksi hasil panen yang rendah. Menurut Sudrajat (2008) lama pembesaran ikan bandeng untuk mencapai ukuran konsumsi (500g/ekor) dengan berat benih 20 g selama 5 bulan. Jika ada penambahan pakan dari luar, seharusnya mereka bisa panen ikan minimal 2 kali dalam setahun dan padat tebar bisa ditingkatkan hingga 10.000 ekor/Ha. Budidaya ikan di Jepang dapat meningkatkan padat penebaran hingga 13.000/Ha oleh karena pemberian pakan buatan yang intensif (Ikenoue dan Kafuku, 1992). Pemberian pakan buatan dinilai lebih lebih baik dari pakan alami apabila diformulasikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi ikan yang dibudidayakan (Watanabe, 1988;Akbar, 2000; Buwono, 2000; Sukardi dan Yuwono, 2010). Beberapa pembudidaya ikan kadang-kadang memberikan pakan buatan namun tidak kontinyu karena pakan buatan tersebut harus di beli ke Pulau Jawa atau Bali dengan harga yang sangat mahal. Sementara di sekitar mereka banyak bahan baku lokal yang dapat dimanfaatkan untuk membuat pakan

59

Page 69: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

buatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mereka dalam membuat pakan dan keterbatasan alat pembuat pakan.

Untuk meningkatkan produksi ikan bandeng kelompok pembudidaya di Desa Bipolo, maka dilakukan kegiatan pelatihan pembuatan pakan dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal serta pembuatan alat-alat pembuat pakan yang sederhana dan tepat guna terutama alat pembuat tepung dan pencetak pakan. Dengan dilakukannya kegiatan pelatihan diharapkan pembudidaya ikan bandeng dapat menerima informasi tersebut dan dapat mengaplikasikan alat pembuat pakan secara baik, sehingga dapat memproduksi sendiri pakan ikan. Dengan demikian produksi ikan bandeng di Tambak Desa Bipolo akan meningkat dan juga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan daerah maupun nasional.

II. TARGET DAN LUARAN Target luaran yang dihasilkan adalah

pakan formulasi untuk ikan bandeng. Pakan buatan tersebut dibuat dengan menggunakan bahan baku yang didapatkan dari sekitar lokasi tambak. Bahan – bahan yang digunakan adalah: tepung ikan sardin, dedak halus, tepung jagung, tepung kedele, tepung tapioka, dan tepung bungkil kelapa.

Selain luaran berupa pakan buatan, juga dihasilkan paket alat pembuat pakan (mesin pembuat tepung dan alat pencetak pellet) yang yang sederhana namun efektif dan efisien. Sehingga dapat diproduksi pakan buatan dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat.

III. METODE PELAKSANAAN

Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya ikan di Desa Bipolo, maka ada beberapa hal yang akan dilakukan oleh tim pelaksana yaitu: 1. Melakukan pertemuan dengan ketua

kelompok dan memyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan rencana penerapan Ipteks bagi Masyarakat.

2. Memilih beberapa anggota kelompok pembudidaya ikan yang diberi rekomendasi oleh ketua kelompok pembudidaya ikan menjadi peserta pelatihan budidaya ikan bandeng dalam karamba di parit.

3. Melakukan penyuluhan tentang bagaimana cara memanfaatkan bahan baku local dan meramunya menjadi makanan ikan. Selain itu diberikan pula penyuluhan tentang manajemen pemberian pakan dan kultur pakan alami. Materi yang diberikan sesuai permintaan mitra.

4. Memberikan pelatihan/demosntrasi pembuatan pakan buatan. Sebelum pelatihan dimulai, akan dibagikan hand out atau modul tentang langkah-langkah pembuatan pakan. Setelah itu akan dilanjutkan dengan praktek langsung cara membuat pakan.

5. Membuat alat pencetak pakan. Setelah selesai perakitan, kemudian peserta pelatihan diajak untuk bersama-sama membuat pakan ikan bandeng.

6. Sebelum berakhir masa pelaksanaan kegiatan IbM, tim pelaksana akan melaksanakan evaluasi kepada peserta dengan metode tanya jawab dan diskusi sebagai langkah akhir pembekalan kepada masyarakat.

IV. HASIL YANG DICAPAI Beberapa hal yang telah dilakukan

dalam kegiatan ini untuk membantu mengatasi permasalahan pembudidaya di ikan bandeng di Desa Bipolo antara lain berupa penyuluhan, demonstrasi pembuatan pakan buatan, dan pembuatan alat pembuat pakan. Pada kegiatan penyuluhan, materi yang diberikan antara lain: 1. Pemilihan dan pemanfaatan bahan-

bahan lokal sebagai bahan baku pembuatan pakan pellet,

2. Pengaturan pemberian pakan dalam kegiatan budidaya ikan. Sebelum kegiatan selama melakukan budidaya ikan, pembudidaya memberi pakan tanpa diukur, akibatnya terjadi pemborosan pakan dan juga dapat berdampak pada penurunan kualitas tambak. Namun setelah penyuluhan mitra sudah memahami pentingnya

60

Page 70: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

manajemen pemberian pakan yang disesuaikan dengan bobot biomassa ikan yang dibudidaya.

3. Kultur pakan alami. Pakan alami ini merupakan pakan untuk benih ikan. Materi ini diberikan karena mitra sudah mulai mencoba memijahkan ikan dibawah bimbingan pelaksana kegiatan ini. Meskipun baru sekali memijahkan ikan sebagai uji coba bagi pembudidaya.

Pada kegiatan ini, pembudidaya dibimbing atau dilatih untuk membuat pakan buatan dengan memanfaatkan

bahan-bahan lokal yang terdapat di sekitar tempat tinggal mitra. Bahan-bahan tersebut antara lain: tepung ikan sardin, tepung jagung, dedak halus, tepung kedele, tepung bungkil kelapa, dan tepung tapioka. Formulasi pakan telah dibuat oleh pelaksana menyesuaikan dengan ikan yang dibudidaya yang pada umumnya adalah ikan herbivora dan diuji coba oleh mahasiswa melalui penelitian skripsi. Pakan formulasi yang dihasilkan adalah pellet (Gambar 8.1) dengan kadar protein 25% (Tabel 8.1).

Gambar 8.1. Pellet yang dihasilkan

Pakan tersebut, di atas menghasilkan pertumbuhan ikan bandeng sebesar 2,62

g%/hari. Formulasi pakan selengkapnya disajikan pada Tabel 8.1.

Tabel 8.1. Formulasi pellet untuk ikan bandeng

Bahan Jumlah (%) Tepung ikan sardin 20 Tepung jagung 10 Dedak halus 10 Tepung kedele 18 Tepung bungkil kelapa 30 Vit mix 2 Tepung tapioka 10

Total 100

Sebelum kegiatan kegiatan ini berlangsung, mitra selama ini hanya membeli pakan komersial yang harganya cukup mahal sehingga biaya yang dikeluarkan lebih banyak untuk membeli pakan. Setelah kegiatan ini, mitra termotivasi untuk membuat pakan sendiri.

Pada kegiatan ini, juga dilakukan pembuatan alat pakan yang terdiri atas dua komponen utama yang dianggap paling penting yaitu mesin pembuat tepung dan alat pencetak pellet yang telah dimodifikasi (Gambar 8.2).

61

Page 71: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Pengaturan pemanfaatan alat tersebut diatur oleh kelompok mitra sendiri. Selanjutnya pemanfaatan alat tersebut

akan dievaluasi efisiensi dan efektivitasnya.

(a) (b)

Gambar 8.2. (a) Alat pencetak pellet dan (b). Uji coba penggunaan mesin pembuat tepung

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari kegiatan Ipteks bagi Masyarakat di Desa Bipolo, dapat disimpulkan bahwa: 1. Kegiatan penyuluhan dan

demonstrasi yang diberikan dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mitra dalam mengembangkan teknologi pembuatan pakan serta pengelolaan pemberian pakan

2. Kegiatan ini juga meningkatkan motivasi mitra untuk mengembangkan kegiatan budidaya ikan tidak hanya pada kegiatan pembesaran melainkan juga untuk memulai usaha pembenihan ikan. Hal ini terlihat pada tingginya animo kelompok mitra untuk melakukan uji coba memijahkan ikan.

5.2 Saran

Pada kegiatan ini masih perlu

adanya pengembangan dari alat pencetak pellet yang dibuat, serta perlu keberlanjutan kegiatan

khusus pada pengembangan teknologi pembenihan dan pemeliharaan benih ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. 2000. Meramu pakan ikan Kerapu. Penebar Swadaya. 56 Hal

Buwono I.D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Essensial Dalam Ransum Ikan. Kanisius. 55 Hal

Djarijah A.S.1998. Membuat Pellet Oakan Ikan. Teknologi Tepat Guna. 47 Hal.

Effendie I. 2002. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya.188 Hal.

Ikenoue H. dan T. Kafuku. 1992. Modern Methode Of Aquaculture In Japan. Elsivier. 270 Hal.

Sudradjat A. 2002. Budidaya 23 Komuditas Laut Menguntungkan. Penebar Swadaya.169 Hal.

Sukardi H.P. dan H.E. Yuwono. 2010. Nutrisi Ikan. Universitas Jendral Soedirman. 190 Hal.

Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo University. 233 Hal.

62

Page 72: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

KOMPOSISI NUTRISI MAKROALGA HIJAU YANG DITEMUKAN DI PERAIRAN TELUK KUPANG

Yuliana Salosso

Program Studi Budidaya Perairan ,Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang

Jl. Adisucipto, Penfui Kupang Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi nutrisi makroalga hijau yang ditemukan di perairan Teluk Kupang. Pengambilan sampel makroalga hijau dilakukan pada waktu surut terendah di perairan teluk, dengan cara menjelajahi sepanjang pantai dan mengoleksi serta memotret setiap jenis makroalga yang di temui untuk diidentifikasi. Setelah mengetahui jenisnya, masing-masing makroalga hijau dibersihkan dan dikeringkan kemudian dihaluskan untuk dianalisis kandungan nutrisinya meliputi analisis kandungan proximat, kandungan asam amino dan kandungan mineral berupa Ca, fed an K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi nutrisi makroalga hijau yang ditemukan di perairan teluk kupang meliputi kadar air berkisar 43,27 – 8,5%, kadar abu berkisar 48,18 – 7,89%, kandungan protein berkisar 6,55 – 8,16%, kandungan lemak berkisar 1,55 – 2,92% dan kandungan karbohidrat berkisar 17,92 -55,88%. Selain itu, juga mengandung 15 asam amino dengan kandungan yang berbeda-beda, kaya akan asam amino Aspartic acid dan glutamic acid tetapi miskin akan Histidine dan metheonine. Makroalga hijau yang mengandung calcium tertinggi adalah Halimeda sp yaitu 29,12%, kalium tertinggi adalah Codium sp yaitu 1,96% dan sumber Fe tertinggi adalah jenis Caulerva sp yaitu 0,15%. . Kata Kunci : Makroalga hijau, komposisi Nutrisi, Perairan Teluk Kupang

I. PENDAHULUAN

Perairan Teluk Kupang yang terletak di kabupaten dan kota kupang provinsi Nusa Tenggara Timur, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi salah satunya yaitu makroalga yang biasa dikenal dengan rumput laut. Makroalga yang hidup di perairan Indonesia termasuk di teluk Kupang, belum semuanya bermanfaat bagi manusia. Sampai saat ini jenis yang telah dimanfaatkan secara optimal hanya terbatas pada golongan alga merah jenis Euchema spp dan Gracilaria spp yang telah dibudidayakan. Sedangkan jenis lain pemanfaatannya belum optimal.

Berdasarkan kandungan pigmennya makroalga dibedakan menjadi 3 yaitu makroalga merah, coklat dan hijau. Makroalga hijau merupakan salah satu jenis makroalga yang belum dimanfaatkan secara optimal. Makroalga hijau sebagian telah dimanfaatkan sebagai makanan dan pakan ternak serta pupuk di beberapa

daerah di Indonesia bahkan di beberapa Negara di dunia. Pemanfaatan makroalga sebagai bahan makanan disebabkan oleh kandungan gizinya yang cukup tinggi. Namun pemanfaatan makroalga hijau sebagai makanan ini masih terbatas pada masyarakat pesisir. Selain itu kandungan gizi dari makroalga hijau belum banyak diketahui. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan gizi dari makroalga yang ditemukan diperairan teluk kupang sehingga makroalga tersebut dapat dikembangkan sebagai bahan pangan bagi masyarakat.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Pengumpulan dan identifikasi Sampel Makroalga

Makroalga yang terdapat di perairan teluk kupang dikumpulkan, kemudian diidentifikasi. Setelah mengetahui jenisnya, masing-masing jenis makroalga tersebut dibersihkan dan dikeringkan

63

Page 73: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dengan cara diangin-anginkan. Sampel rumput laut yang telah kering, dihaluskan dengan blender sampai menjadi serbuk halus. Serbuk makroalga siap untuk digunakan dalam uji selanjutnya.

2.2 Analisis Komposisi Nutrisi Makroalga Hijau

Analisis komposisi nutrisi makroalga hijau meliputi : analisis kadar air (AOAC 2005), kadar abu (AOAC 2005), kadar protein (AOAC 2005), kadar lemak (AOAC 2005). Sedangkan kadar karbohidrat ditentukan secara by difference, yaitu dengan memakai rumus 100% - (%air - % lemak - % protein - %

abu). Penentuan kadar asam amino makroalga hijau dilakukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Elemen mineral berupa kalsium (Ca), Kalium (K) dan Besi (Fe) dianalisis dengan menggunakan Atomic Absortion Spectrofotometer (AAS).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kandungan Proksimat Hasil analisis proksimat makroalga

Hijau yang ditemukan di perairan teluk Kupang dapat dilihat pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1. Hasil Analisis Proksimat Makroalga Hijau Yang Ditemukan Di Perairan Teluk

Kupang

Jenis Makroalga Kadar Air

(%) Kadar

Abu (%) Protein (%)

Lemak (%)

Karbohidrat (%)

Ulva fasciata 23,08 15,84 8,16 1,63 51,29 Codium sp 25,24 7,89 8,07 2,92 55,88 Halimeda sp 8,50 48,18 6,91 1,73 34,68 Caulerva

resamosa 15,62 36,88 8,00 1,72 37,78

Enteromorfa linza

43,27 30,70 6,55 1,55 17,92

Jenis Enteromorfa linza memiliki

kadar air yang tertinggi yaitu 43,27% dan terendah pada jenis Halimeda sp yaitu 8,5%. Perbedaan kandungan air makroalga hijau ini, selain disebabkan karena ketebalan dari makroalga tersebut juga dapat disebabkan oleh cara pengeringannya yang berbeda. Kadar air merupakan komponen kimia penting yang berhubungan dengan mutu rumput laut (Diharmi dkk, 2011).

Kadar abu tertinggi dimiliki oleh jenis makroalga hijau Halimeda sp yaitu 48,18% dan terndah pada jenis Codium sp yaitu 7,89%. Kandungan mineral rumput laut diduga berhubungan dengan cara penyerapan hara mineralnya. Penyerapan hara mineral pada rumput laut dilakukan melalui seluruh permukaan tallus tidak melalui akar sehingga penyerapan mineralnya lebih efektif. Banyaknya hara mineral yang diserap mempengaruhi kadar abu pada jaringan rumput laut,

sehingga kadar abu rumput laut tinggi (Handayani dkk, 2004).

Kandungan protein makroalga hijau yang ditemukan di perairan teluk kupang juga bervariasi berkisar antara 6,55 % yang ditemukan pada jenis Enteremorpa linza sampai 8,16% yang ditemukan pada jenis Ulva fasciata. Protein sangat penting bagi tubuh, karena zat ini mempunyai fungsi sebagai zat pembangun, zat pengatur, dan zat pembakar. Sebagai zat pembangun protein berfungsi membentuk berbagai jaringan baru untuk pertumbuhan, megganti jaringan yang rusak, maupun bereproduksi. Sedangkan sebagai zat pengatur, protein berperan dalam pembentukan enzim dan hormone penjaga dan pengatur berbagai proses metabolisme di dalam tubuh. Dan sebagai zat pembakar, karena unsure karbon yang terkandung didalamnya dapat difungsikan sebagai sumber energi pada saat kebutuhan energi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak.

64

Page 74: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Makroalga hijau yang ditemukan di perairan teluk Kupang mempunyai kandungan lemak sangat rendah, yaitu berkisar 1,55% - 2,92%, sehingga aman dikonsumsi dalam jumlah banyak. Kandungan lemaknya yang rendah menyebabkan makroalga hijau ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan penyusun utama pada makanan diet rendah lemak. Rendahnya kandungan lemak pada makroalga ini didukung oleh pernyataan Venughopal (2010), yang menyatakan bahwa alga laut/ rumput laut tidak kaya akan lemak.

Kandungan karbohidrat makroalga hijau yang ditemukan di Perairan Teluk Kupang berkisar antara 17,92% - 55,88%. Kisaran karbohidrat makroalga hijau yang ditemukan di perairan teluk kupang lebih rendah dari kisaran karbohidrat yang ditemukan di Tamilnadu, India yaitu berkisar 70,1% - 83,2% (Ramestikumar et al, 2012) dan di Sabah Malaysia yaitu berkisar 53,08% - 67,40% (Ahmad et al, 2012). Namun lebih tinggi dari kandungan

karbohidrat makroalga yang ditemukan di Souttheast Coast India yaitu hanya 14,84% - 17,20% (Manivannan, et al, 2009) dan di Tamilnadu yaitu hanya 8,5% - 9,7% (Murngaiyan et al, 2012).

Perbedaan komposisi kimia antar spesies makroalga hijau menunjukkan bahwa nutrisi makroalga dipengaruhi oleh jenis dan habitat. Yuan (2008) menyatakan bahwa sebagai organisme yang melakukan proses fotosintesis, kompoisisi kimia makroalga laut dipengaruhi oleh konsentrasi nutrisi dan suhu serta kedalaman perairan. Selain itu juga dipengaruhi oleh variasi musim dan letak geografis.

3.2 Kandungan Asam Amino

Hasil analisis kandungan asam amino

makroalga hijau yang ditemukan diperairan Teluk Kupang dapat dilihat pada Tabel 9.2

Tabel. 9.2. Kandungan Asam Amino Makroalga Hijau Yang Ditemukan Diperairan Teluk

Kupang

No Jenis Asam Amino

(% w/w) Jenis Makroalga Hijau

Ulva spp Codium sp Caulerva sp Halimeda sp

1 Aspartic acid 1.13 0.89 0.39 1.04

2 Glutamic acid 1.14 1.05 0.47 1.12 3 Serine 0.50 0.43 0.19 0.43 4 Histidine 0.14 0.08 0.06 0.11 5 Glycine 0.71 0.50 0.27 0.74 6 Threonine 0.51 0.44 0.23 0.55 7 Arginine 0.61 0.34 0.19 0.48 8 Alanine 0.83 0.61 0.25 0.55 9 Tyrosine 0.31 0.26 0.24 0.31

10 Methionine 0.11 0.11 0.06 0.14 11 Valine 0.68 0.56 0.27 0.59 12 Phenylalanine 0.56 0.36 0.20 0.49 13 I-leucine 0.47 0.37 0.17 0.48 14 Leucine 0.69 0.52 0.23 0.66 15 Lysine 0.41 0.40 0.22 0.37

Amino Acid Total 8.79 6.93 3.44 8.05

Makroalga hijau yang ditemukan pada

peraqiran teluk Kupang mengandung 15 asam amino dengan kandungan yang berbeda-beda. Kandungan Aspartic acid berkisar 0,39–1,13 %, Glutamic acid 0,47–1,14%, Serine 0.19-0.50%, Histidine 0.06-0.14%, Glycine 0.27-

0.74%, Threonine 0.23-0.55%, Arginine 0.19-0.61%, Alanine 0.25- 0.83%, Tyrosine 0.24-0.31%, Methionine 0.06-0.14%, Valine 0.27-0.68%, Phenylalanine 0.20-0.56%, I-Leucine 0.17-0.48 %, Leucine 0.23-0.69%, Lysine 0.22-0.41%.

Secara umum makroalga hijau kaya

65

Page 75: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

akan asam amino Aspartic acid dan glutamic acid dan miskin akan Histidine dan metheonine. Hal ini sesuai dengan yang di temukan pada makroalga di tempat lain, seperti di Tamilnadu India (Ramestikumar et al, 2012), dan di Malaysia (Matanjun, 2009). Bervariasinya kandungan protein pada makroalga juga akan mempengaruhi kandungan asam aminonya. Perbedaan jenis protein maupun asam amino ini dipengaruhi oleh

kehadiran nitrogen pada perairan dan

lokasi tanam yang berbeda (Dewi dan Susanto, 2011).

3.3 Kandungan Mineral

Kandungan Ca, K dan Fe makrolga hijau yang ditemukan di perairan Teluk Kupng dapat dilihat pada Gambar 9.1, Gambar 9.2 dan Gambr 9.3.

Gambar 9.1. Kandungan Kalsium (Ca) makroalga Hijau

Gambar 9.2. Kandungan Besi (Fe) makroalga Hijau

Gambar 9.3. Kandungan Kalium (K) makroalga Hijau

Jenis makroalga hijau yang memiliki kandungan Ca tertinggi adalah Halimeda sp yaitu 29,12% dan terendah pada

Codium sp yaitu 0,87% (Gambar 1). Jenis yang memiliki kandungan K tertinggi adalah Codium sp yaitu 1,96% dan

66

Page 76: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

terendah pada Halimeda sp yaitu 0,12% (Gambar 2). Sedangkan jenis yang memiliki kandungan Fe tertinggi adalah Caulerva sp yaitu 0,15% dan terendah pada Codium sp yaitu 0,007% (Gambar 3). Dengan demikian makroalga yang hijau dapat dijadikan sumber calcium adalah Halimeda sp, sumber kalium adalah Codium sp dan sumber Fe adalah jenis Caulerva sp.

IV. KESIMPULAN

1. Komposisi nutrisi makroalga hijau yang ditemukan di perairan teluk kupang meliputi kadar air berkisar 43,27 – 8,5%, kadar abu berkisar 48,18 – 7,89%, kandungan protein berkisar 6,55 – 8,16%, kandungan lemak berkisar 1,55 – 2,92% dan kandungan karbohidrat berkisar 17,92 -55,88%.

2. Makroalga hijau yang ditemukan pada perairan teluk Kupang mengandung 15 asam amino dengan kandungan yang berbeda-beda, kaya akan asam amino Aspartic acid dan glutamic acid tetapi miskin akan Histidine dan metheonine.

3. Makroalga hijau yang mengandung calcium tertinggi adalah Halimeda sp yaitu 29,12%, kalium tertinggi adalah Codium sp yaitu 1,96% dan sumber Fe tertinggi adalah jenis Caulerva sp yaitu 0,15%.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, H., M.R. Sulaiman, W. Saiman, C.

Fook yee and P. Matanjum. 2012. Proximate compositions and total phenolic contens of selected adible seaweed from semporna, sabah Malaysia. Borneo Science 31 September 2012.

AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Arlington :The Association of Official Analytical Chemist, Inc

Dewi, E.N dan Susanto. 2011. Alga : Teknologi pengolahan dan Produk Pengembangannya. BP UndiP, Semarang.

Diharmi, A., D. Fardiaz, N. Andarwulan dan E.S Heruwati. 2011. Karakteristik komposisi Kimia Rumput Laut Merah (Rhodophyceae) Euchema spinosim yang Dibudidayakan dari Perairan Nusa penida, takalar dan Sumenep. Berkala perikanan Terubuk, juli 2011, vol 39 no 2: hal 61-66.

Handayani, T., Sutarno, A. D. Setyawan. 2004. Analisis komposisi nutrisi Rumput laut Sargassum crassifolium J.Agardh. Biofarmasi 2 (2): 45 – 52.

Manivannan,K., G. Thirumaran, G. K. Devi, P. Anantharaman and T. Balasubramanian. 2009. Proximate Compositioan of Defferent Group of seaweeds from Vedalai Coastal Water (Gulf of Mannar): Southeast Coast of India. Middle-East Journal of Scientific Research 4 (2): 72-77. ISSN 1990-9233.

Matanjun P., S Mohamed, N. M. Mustapha, K. Muhammad. 2009. Nutrient content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum. J Appl Phycol (2009) 21:75–80

Murugaiyan,K., S. Narasimman, P. Anatraman, 2012. Priximate composition of marine macro algae from Seeniappa Dharka Gulf of Mannar Region, Tamil Nadu. International jurnal of Research in marine Sciences 2012: 1(1): 1-3.

Rameshkumar, S. C.M. Ramakritinan and M. Yokeshbabu. 2012. Proximate composition of some selected seaweeds from palk bay and Gulf mannar Taminnadu, India. Asian Journal Of Biomedical & Pharmaceutical Sciences 3 (16) 2012, 1 – 5.

Venugopal, S. 2010. Food and Nutrition. Departement, Faculty of family and Community

Yuan, Yvonne V. 2008. Marine Alga Constituens. In : Colin Sharraw dan Fereidom Shahidi, ed 2008. Marine Nutraceutical and Functinal food. Boca Raton: CRC Press. PP 259 -296.

67

Page 77: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PERANAN BIOTEKNOLOGI BERBASIS PROBIOTIK DALAM PERIKANAN BUDIDAYA

Ridwan Tobuku

Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang

Jl. Adisucipto, Penfui Kupang

ABSTRAK

Aplikasi pemberian antibiotik dalam budidaya perikanan untuk mengendalikan infeksi mikro organisme pathogen telah meningkatkan potensi penggunaan probiotik perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Selain menggunakan antibiotic untuk mengatasi penyakit pada ikan, kita dapat pula menggunakan probiotik untuk mencegah berkembangnya penyakit pada ikan. Probiotik merupakan mikroorganisme yang mempunyai sifat menguntungkan bagi hewan inang, sehingga berperan menekan pertumbuhan populasi mikroorganisme pathogen (bakteri yang merugikan). Bakteri probiotik yang umumnya digunakan adalah bakteri gram positif diantaranya adalah genus Lactobacillus. Bakteri lactobacillus sp. merupakan jenis bakteri yang menghasilkan asam laktat. Probiotik banyak digunakan dalam budidaya perikanan untuk tujuan memelihara dan memperbaiki kesehatan air yang secara tidak langsung akan meningkatkan kesehatan ikan peliharaan. Mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik tidak hanya berasal dari golongan bakteri (Bacillus,Thiobacillus) tetapi juga berasal dari golongan yeast (Sacharomices cerevicae) dan mikro-alga (Tetraselmis sp). Terkadang probiotik yang diindikasikan mengandung beberapa bakteri spesies Clostridium, Pseudomonas dan Enterococcus sebenarnya bersifat pathogen terhadap manusia dan hewan. Kata Kunci : Probiotik, Budidaya, Perikanan

I. PENDAHULUAN

Perikanan adalah sektor ekonomi yang memberikan kontribusi besar dalam upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Sebagai Negara yang sedang berkembang, kebutuhan akan produk pangan bernilai gizi tinggi selalu meningkat. Oleh karena itu, sektor perikanan harus mendapat perhatian serius. Permintaan produk olahan ikan baik domestik maupun luar negeri meningkat dari tahun ke tahun. Sektor perikanan dapat dikembangkan di kolam atau tambak-tambak dengan menggunakan media air tawar atau air laut. Dan, kita memiliki aset kelautan yang begitu luas yang mendukung sektor perikanan.

Untuk meningkatkan produktifitas sektor perikanan, perlu dilakukan budidaya secara intensif yaitu dengan pemberian pakan yang berkualitas dan jumlah yang cukup, pencegahan dan penanganan penyakit pada ikan, serta

manajamen kolam secara baik. Budidaya ikan secara intensif ditandai oleh tingkat kepadatan ikan yang tinggi dan ketergantungan penuh terhadap pakan buatan pabrik. Hal ini sangat mendukung percepatan penurunan kualitas air. Padat tebar ikan per volume ruang yang tinggi menyebabkan meningkatkan persaingan kebutuhan oksigen dan buangan hasil pencernaan pakan. Dan, kualitas pakan rendah, kandungan protein yang rendah memperlambat proses pertumbuhan, memperburuk konversi pakan sehingga meningkatkan sedimen dasar kolam oleh sisa pakan.

Dalam usaha budidaya ikan, maka hal yang sangat menentukan keberhasilan adalah penanganan kualitas air dan pencegahanpenyakit. Kedua faktor tersebut memegang kunci keberhasilan usaha budidaya perikanan. Salah satu bioteknologi yang dikembangkan dewasa ini dalam mengendalikan kualitas air dan peningkatan kesehatan ikan adalah penggunaan probiotik. Probiotik dalam

68

Page 78: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

berbagai hasil penelitian menunjukkan kemampuannya dalam mengendalikan kualitas air dan kesehatan ikan budidaya yang berujung pada peningkatan produksi hasil budidaya.

II. PERAN PROBIOTIK

Salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri aeromonas hydrophila mampu menyerang ikan dan menyebabkan kematian ikan secara massal dalam waktu singkat. Aeromonas merupakan bakteri gram negatip yang oportunis yang dapat menginfeksi ikan dengan cepat apabila ikan dalam kondisi stres atau dipelihara dalam kepadatan tinggi. Umumnya, tindakan pengobatan dilakukan melalui pemberian bahan kimia dan antibiotika. Pemberian antibiotika seringkali menimbulkan resistensi dan pemberian bahan kimia berpotensi meracuni ikan. Vaksinasi merupakan tindakan yang banyak dilakukan untuk pencegahan infeksi aeromonas. Terhadap benih ikan dilakukan perendaman dalam larutan vaksin hidrovet (biakan murni bakteri aeromoas hydrophila).

Penyakit koi herpes virus (KHV) merupakan penyakit yang sangat cepat menyebar. Penyakit ini disebabkan oleh virus herpes yang diklasifikasikan sebagai virus DNA dan termasuk dalam famili herpesviridae. Pada populasi ikan yang peka tingkat mortalitas akibat serangan KHV dapat mencapai 80 – 100 %. Gejala klinis pada ikan biasanya terlihat pada kisaran suhu air 22 - 27 C. Sejauh ini belum ada pengobatan yang ampuh untuk mengendalikan penyakit KHV.

Pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri biasanya ditanggulangi melalui pemberian antibiotika dengan dosis pengobatan. Tetapi langkah pengobatan yang di antaranya dengan pemberian quinolone, ataupun tetrtacycline acapkali tidak efektif jika diberikan langsung di kolam karena salah satunya takaran dosis yang tidak tepat. Pemberian lewat pakan langsung dari pabrik mungkin lebih efektif tetapi penggunaan seperti itu biasanya tidak dibenarkan dan skala pabrik adalah skala massal. Penggunaan antibiotika dalam pakan dengan dosis preventif yang dilakukan dalam jangka panjang

menimbulkan resistensi dan belum lagi memperhitungkan dampak residu dalam daging. Oleh karena itu langkah tepat dalam upaya meminimalkan potensi serangan penyakit adalah dengan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik khususnya memelihara kualitas air dan lingkungan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ikan secara optimal.

Aplikasi pemberian antibiotik dalam budidaya perikanan untuk mengendalikan infeksi mikro organisme pathogen telah meningkatkan potensi penggunaan probiotik perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Selain menggunakan antibiotic untuk mengatasi penyakit pada ikan, kita dapat pula menggunakan probiotik untuk mencegah berkembangnya penyakit pada ikan. Probiotik merupakan mikroorganisme yang mempunyai sifat menguntungkan bagi hewan inang, sehingga berperan menekan pertumbuhan populasi mikroorganisme pathogen (bakteri yang merugikan).

Bakteri probiotik yang umumnya digunakan adalah bakteri gram positif diantaranya adalah genus Lactobacillus. Bakteri lactobacillus sp. merupakan jenis bakteri yang menghasilkan asam laktat. Probiotik banyak digunakan dalam budidaya perikanan untuk tujuan memelihara dan memperbaiki kesehatan air yang secara tidak langsung akan meningkatkan kesehatan ikan peliharaan. Mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik tidak hanya berasal dari golongan bakteri (Bacillus,Thiobacillus) tetapi juga berasal dari golongan yeast (Sacharomices cerevicae) dan mikro-alga (Tetraselmis sp). Terkadang probiotik yang diindikasikan mengandung beberapa bakteri spesies Clostridium, Pseudomonas dan Enterococcus sebenarnya bersifat pathogen terhadap manusia dan hewan.

Probiotik mampu mengubah keseimbangan mikro flora yang ada dalam saluran pencernaan. Probiotik bisa terdiri atas satu atau campuran (mix) beberapa kultur mikro organisme hidup. Probiotik merupakan makanan tambahan bagi hewan inang berupa sel mikro organisma (mikroba) atau sebagai pakan mikroskopik yang bertujuan memenangkan kompetisi dalam sistem saluran pencernaan ikan

69

Page 79: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(hewan inang) dengan bakteri merugikan (pathogen). Kompetisi tersebut berlangsung dalam hal pemanfaatan nutrisi yang berasal dari hasil metabolisme pakan dan upaya penempatan ruang dalam saluran pencernaan untuk membentuk koloni.

III. HUBUNGAN PROBIOTIK DENGAN KUALITAS AIR

Kualitas air sangat menentukan performansi ikan yang biasanya diukur dengan mengamati beberapa parameter utama seperti faktor fisika (pH, O2 terlarut, suhu, Fe, Hg, dll) dan faktor kimia (NH3, NO2, CaCO3 dll). Kualitas air yang buruk (tidak mendukung kesehatan ikan) banyak disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya meningkatnya timbunan bahan organik di dasar kolam yang berasal dari ekskreta ikan, sisa pakan pabrik, pupuk organik maupun bangkai ikan dan sampah budidaya lainnya. Hal ini juga dapat diperparah oleh sistem budidaya perikanan yang tingkat kepadatan yang tinggi yang memicu peningkatan stres ikan. Manajemen pengelolaan air yang baik sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan ekosistem yang mendukung usaha budidaya ikan. Pemberian probiotik mampu memperbaiki kondisi kualitas air dengan bertindak sebagai agen pengurai yang ditebarkan secara langsung ke air. Pengendalian penyakit pada budidaya ikan dengan menggunakan probiotik sangat efektif, aman dan murah.

Probiotik akan bekerja secara eksternal yaitu menguraikan senyawa toksik yang terdapat dalam air kolam seperti NH3, NO3, NO2, juga menguraikan bahan organik, dan menekan populasi alga biru hijau. Beberapa jenis mikroba sebagai probiotik pengurai antara lain nitrosomonas, cellumonas, bacillus subtilus, dan nitrobacter. Bakteri gram positip Bacillus sp. banyak digunakan sebagai probiotik untuk memperbaiki kualitas air dibandingkan dengan jenis bakteri gram negatip. Bacillus sp. lebih efisien dalam mengkonversikan kembali bahan organik menjadi CO2. Sedangkan bakteri gram negative mengkonversi karbon organik menjadi biomas bakteri

dalam persentase lebih banyak. Sehingga dengan mengupayakan populasi bakteri Bacillus sp. tetap dalam jumlah besar di dalam perairan kolam akan meminimalkan pembentukan partikulat terlarut karbon organik selama siklus budidaya. Sekaligus juga akan memacu perkembangan phytoplankton dengan meningkatnya produksi CO2.

Populasi dan jenis mikroorganisme (mikro flora) yang terdapat di dalam sedimen atau dalam air pemeliharaan ikan sangat dipengaruhi oleh jenis mikroba yang terdapat dalam feses yang dihasilkan banyak spesies hewan di lingkungan tersebut. Jika terdapat populasi bakteri pathogen dalam lingkungan, maka populasinya dalam tubuh ikan akan meningkat dengan cepat melalui interaksi dalam saluran pencernaan dan dalam feses. Bakteri tersebut akan terserap ke dalam pakan yang diberikan sebelum dikonsumsi ikan. Sedangkan, probiotik yang ditambahkan ke dalam air juga akan diserap oleh pakan dan ikut masuk ke dalam sistem pencernaan untuk berkompetisi dengan bakteri pathogen.

Adanya suplai nutrisi yang berlebihan di dalam air khususnya fosfor dan nitrogen menyebabkan meningkatnya populasi ganggang (alga) atau (phytoplankton). Unsur nutrisi tersebut dapat berasal dari sisa pemupukan di lahan pertanian yang terbawa arus air, pemupukan dasar kolam dengan menggunakan pupuk kandang secara berlebihan, atau sisa kelebihan pakan yang tidak termakan oleh ikan. Ganggang menyebabkan perubahan warna permukaan air, kebanyakan berwarna hijau atau warna merah, dan kuning kecoklatan. Populasi ganggang yang tinggi apabila mati akan didekomposisi oleh bakteri pengurai yang menggunakan lebih banyak oksigen terlarut dalam air. Menurunnya kadar oksigen dalam air menyebabkan bakteri vibrio yang bersifat pathogen menjadi lebih aktif dikarenakan kondisi yang anaerob yang dapat membahayakan kesehatan ikan. Rendahnya oksigen terlarut dalam air menimbulkan kendala yang besar bagi kelangsungan kehidupan ikan.

70

Page 80: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IV. PERAN PROBIOTIK DALAM AKUAKULTUR

Peranan probiotik dalam budidaya akuakultur adalah: 1). Menekan populasi mikroba yang bersifat merugikan yang berada dalam saluran pencernaan dengan cara berkompetisi untuk menempati ruang (tempat menempel) dan kesempatan mendapatkan nutrisi; 2). Menghasilkan senyawa anti mikroba yang secara langsung akan menekan pertumbuhan mikroba pathogen dan mencegah terbentuknya kolonisasi mikroba merugikan dalam sistem pencernaan hewan inang; 3). Menghasilkan senyawa yang bersifat imunostimulan yaitu meningkatkan sistem imun ikan (hewan inang) dalam menghadapi serangan penyakit dengan cara meningkatkan kadar antibodi dan aktivitas makrofag, misalnya lipo polisakarida, glikan dan peptidoglikan; 4). Menghasilkan senyawa vitamin yang bermanfaat bagi hewan inang (yang diberikan probiotik) dan secara tidak langsung akan menaikkan nilai nutrisi pakan. Probiotik adalah bahan hidup yang seperti halnya antibiotik bekerja secara spesifik dan khusus. Demikian halnya, mikro organisma dalam probiotik sangat rentan terhadap kondisi situasi fisika dan kimia dalam saluran pencernaan hewan inang dan kondisi perairan. Lingkungan yang tidak cocok akan membunuh mikro organisma dalam probiotik dan dengan demikian tidak memungkinkan untuk berkompetisi dengan mikro organisma pathogen. Oleh karena itu kapasitas spesies mikro organisme yang digunakan sebagai probiotik apakah dalam bentuk tunggal atau campuran menjadi sangat penting yang menentukan keampuhan probiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Ardita, N. Budiharjo, A. Sari S.A. 2015. Pertumbuhan dan Rasio Konversi Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Penambahan Prebiotik. Jurnal Bioteknologi, 12(1) : 16-21.

Arief, M. Fitriani, N. Subekti, S. 2014. Pengaruh Pemberian Probiotik Berbeda Pada Pakan Komesial Terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp). Jurnal Ilmu Perikanan dan Kelautan. 6(1) : 49-53.

Badjoeri, M. Widiyanto, T. 2008. Penggunaan bakteri nitrifikasi untuk bioremediasi dan pengaruhnya terhadap konsentrasi amonia dan nitrit di tambak udang. Oseanografi dan Limnologi di Indonesia. 34(2): 261-278.

Hartini, S. Sasanti, A.D. Taqwa, F.H. 2013. Kualitas Air, Kelamngsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Channa striata) yang Dipelihara Dalam Media Dengan Penambahan Probiotik. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(2) : 192-202.

Insulistyowati, L. 2015. Potensi Mikroba Probiotik_FM dalam Meningkatkan Kualitas Air Kolam dan Laju Pertumbuhan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 17(2): 18-25.

Putra, SJW. Nitisupardjo, M. Widyorini, N. 2014. Analisis hubungan bahan organik dengan total bakteri pada tambak udang intensif sistem bioflok di BBPBAP Jepara. Diponegoro Journal ofMaquares. 3(3): 121-129.

71

Page 81: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

TINGKAT KELULUSHIDUPAN, KECEPATAN MOULTING DAN PERTAMBAHAN BOBOT KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DENGAN

METODE MUTILASI DAN INJEKSI EKSTRAK BAYAM DI TAMBAK OESAPA

THE LEVEL OF SURVIVAL, MOULTING SPEED AND WEIGHT GAIN MUD CRAB (SCYLLA SERRATA) BY MUTILATION METHOD AND EXTRACT

SPINACH INJECTION ON OESAPA POND

Lasmi1, Yahyah2dan Cresca. B. Eoh3 1)Alumni Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

2,3)Staf Pengajar Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto, Penfui Kupang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode mutilasi dan injeksi ekstrak bayam terhadap tingkat kelulushidupan, kecepatan moulting, dan pertambahan bobot kepiting bakau dan untuk mengetahui metode yang lebih mampu meningkatkan kelulushidupan, kecepatan moulting, dan pertambahan bobot kepiting bakau. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2015. Penelitian ini dilakukan di Unit Pelaksana Teknik Perbenihan Perikanan, Kelurahan Oesapa Barat, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental lapangan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang dipergunakan yaitu A (kepiting yang dipotong kaki jalan dan capit), B (kepiting yang dipotong kaki jalan), C (kepiting yang dipotong sepasang capit), dan D (kepiting yang diinjeksi ekstrak bayam). Hewan uji yang dipergunakan adalah kepiting bakau (Scylla serrata), sebanyak 15 ekor dengan ukuran berat awal 90 g-120 g dan lebar karapas 75 mm-82 mm. Hasil penelitian menunjukan bahwa metode mutilasi dan injeksi ekstrak bayam terdapat pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, baik pertumbuhan bobot, panjang, maupun lebar karapas namun tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kelulushidupan kepiting bakau. Kepiting yang dipotong kaki jalan dan capit memberikan pengaruh pertumbuhan bobot yang lebih tinggi dimana pertumbuhan bobot mutlak yakni, 89,6633 g dan laju pertumbuhan harian spesifik yakni, 2,26 g. Kecepatan moulting terjadi lebih cepat pada perlakuan injeksi ekstrak bayam yaitu kepiting bakau mengalami moulting pada hari ke 12 sebanyak satu individu. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa kepiting bakau lebih banyak mengalami moulting pada sore hari yaitu pada pukul 15.30 sebanyak tiga ekor Kata Kunci : Kepiting bakau, Mutilasi, Injeksi Ekstrak Bayam

ABSTRACT

This research aims to determine the effect of mutilation method and spinach extracts injection to the level of survival, moulting speed, and weight gain mud crab and to find methods that are better able to improve the survival, moulting speed, and weight gain mud crabs. This research was conducted on April to May 2015. The research was conducted at the Technical Implementation Unit Seeding Fisheries, Oesapa West Village, District Kelapa Lima, Kupang, East Nusa Tenggara Province. The method used in this research is an experimental field by using a completely randomized design with 4 treatments and 3 repetitions. The treatment used is A (crab cut road legs and claws), B (crab cut legs road), C (crab cut a pair of tweezers), and D (crab injected extract spinach). Test animals used were mud crab (Scylla serrata), as many as 15 tails with a size of initial weight 90 g-120 g and carapace width of 75 mm-82 mm. The results showed that the method of mutilation and spinach extracts injection are real influence on growth, good growth in weight, length, and width of the carapace, but did not significantly affect survival rate of mud crabs. Cut

72

Page 82: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

crab legs and claws way influence weight higher growth where the growth of the absolute weight, 89.6633 g and the specific daily growth rate, of 2.26 g. Moulting occurs faster speed on extracts spinach injection treatment that mud crab moulting experience on day 12 as an individual. The results also showed that the more experienced a mud crab moulting in the afternoon at 15.30 which is as much as three tails.

Keywords: Mud Crab, Mutilation, Extract Spinach Injection

PENDAHULUAN

Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomis tinggi. Pada tahun 2000, ekspor kepiting mencapai 12.381 ton dan meningkat menjadi 22.726 ton pada 2007. Namun demikian, kenaikan ekspor ini tidak diimbangi dengan peningkatan populasi kepiting tersebut (Siahainenia, 2008 dalam Harianto, 2012). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2014 sebesar 16,8 juta ton atau meningkat 35% dibandingkan dengan produksi 2009 yaitu sebesar 4,78 juta ton. Guna meningkatkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2010, KKP menetapkan sembilan komoditas unggulan termasuk jenis-jenis kepiting. Kepiting sendiri masuk ke dalam komoditas lainnya dalam target produksi KKP dengan target peningkatan sebesar 18% sampai tahun 2014 (KKP, 2010).

Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia. Diperkirakan sekitar 80% dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies ini. Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya; pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang. Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat, tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kesehatan. Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu

juga merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak (Muskar, 2007 dalam Fujaya, 2008). Rosmaniar (2008) juga mengatakan bahwa daging kepiting mengandung protein 65,72%, lemak 0,83%, abu 7,5%, dan kadar air 9,9%.

Kepiting bakau (Scylla serrata) yang mengalami perkembangan pesat dalam kegiatan penelitian pada dekade terakhir. Salah satu produk ekspor dari kepiting bakau yang telah dikembangkan adalah kepiting cangkang lunak. Keberhasilan pembenihan kepiting dalam beberapa tahun terakhir, diharapkan dapat lebih memacu perkembangan budidaya kepiting cangkang lunak. Saat ini harga kepiting soka di tingkat produsen Rp. 100.000.-/kg, dengan jumlah 10 ekor/kg (Fujaya, 2009), masakan restoran siap saji di Makasar, Sulawesi Selatan menjual Rp. 125.000,-/porsi (sekitar 4-5 ekor), dibandingkan dengan harga kepiting bakau biasa (non lunak) dengan bobot 100-200g/ekor dengan harga Rp.30.000-45.000,-/kg (Rangka dan Suleman, 2010).

Walaupun secara ekonomis budidaya kepiting cangkang lunak kelihatan menguntungkan, namun sebagian besar pengusaha kepiting tidak bisa bertahan lama. Periode pemeliharaan yang lama dan waktu ganti kulit yang tidak serentak menjadi masalah utama dalam produksi kepiting lunak. Periode pemeliharaan yang lama menyebabkan biaya pakan dan operasional produksi semakin besar,

73

Page 83: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

sedangkan waktu ganti kulit yang tidak serentak mengharuskan pengawasan yang ketat selama pemeliharaan sehingga kurang efisien dari segi waktu dan tenaga. Beberapa cara telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut seperti dengan rangsangan melalui manipulasi makanan, manipulasi lingkungan, penggunaan ekstrak bayam dan teknik pemotongan kaki (Rangka dan Sulaeman, 2010).

Salah satu cara peningkatan nilai produksi dari kepiting bakau adalah menjadikan spesies tersebut sebagai hewan yang bercangkang lunak. Scylla serrata adalah kepiting bakau fase ganti kulit (moulting) atau kepiting lemburi. Kepiting dalam fase ini memiliki keunggulan yaitu mempunyai cangkang yang lunak sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Berkaitan dengan nilai ekonomis kepiting yang menjanjikan dari kepiting bakau tersebut maka perlu diperhatikan kecepatan pertumbuhan dari kepiting bakau jenis Scylla serrata. Kecepatan pertumbuhan berkaitan erat dengan kecepatan ganti kulit dikarenakan setiap pergantian fase juga diikuti dengan pergantian kulit (Kurnia, 2010).

Teknik pemotongan capit dan kaki jalan dan penggunaan ekstrak bayam merupakan cara yang masih digemari oleh para pembudidaya kepiting bakau cangkang lunak untuk mempercepat ganti kulit. Ada beberapa cara dalam pemotongan capit dan kaki jalan ini, yaitu pemotongan semua organ kaki dan capit, pemotongan bagian kaki jalannya saja, atau lebih dikenal dengan metode mutilasi (Nurdin dan Armando, 2010 dalam Harianto, 2012). Kepiting juga yang dibudidayakan dengan penggunaan ekstrak bayam yang dilakukan dengan cara disuntikan langsung ke tubuh kepiting atau mencampurkan ekstrak bayam pada pakan (Fujaya, et al., 2010).

Pemotongan kaki pada kepiting memberikan pengaruh terhadap kecepatan moulting, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan pertambahan bobot kepiting. Hal ini sesuai dengan pernyataan Habibi, et al., (2013) yang menyatakan bahwa dengan melakukan mutilasi pada kepiting dengan teknik mutilasi dapat mempercepat proses moulting

dibandingkan dengan proses moulting secara alami yaitu berkisar antara hari ke 17-23. Ekstrak bayam untuk menstimulasi moulting diperkenalkan oleh Fujaya (2008) dengan nama Vitomolt. Ektrak bayam ini mengandung fitoekdisteroid. Ekdisteroid adalah hormon moulting bagi kepiting. Kepiting bakau yang mendapat suplementasi vitomolt lebih cepat moulting dibandingkan tanpa suplementasi vitomolt. Namun dari berbagai hasil penelitian (Busri, 2010; Yasir, 2010 dalam Fujaya et al., 2010), tingkat kecepatan moulting kepiting bakau yang mendapat suplementasi vitomolt baik melalui injeksi maupun pakan baru mencapai puncak setelah hari ke 30. Menurut Jamieson (2002), menyatakan bahwa setiap proses moulting kepiting akan mengalami peningkatan berat sebesar 15-30% dari berat awal. Mengingat tingginya permintaan produksi kepiting bakau dari konsumen maka untuk memenuhi permintaan pasar, perlu dilakukan proses budidaya secara massal dengan menggunakan metode yang tepat.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang Tingkat Kelulushidupan, Kecepatan Moulting dan Pertambahan Bobot Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan Metode Mutilasi dan Injeksi Ekstrak Bayam di Tambak Oesapa ”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penentuan metode budidaya yang tepat pada usaha produksi kepiting bakau cangkang lunak.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada

bulan April sampai Mei 2015 yang bertempat di UPT Perbenihan Perikanan, Kelurahan Oesapa Barat, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam pembuatan wadah budidaya: bambu, parang, gergaji, tali nilon, paku, kawat, botol plastik kosong dan palu. Alat yang digunakan dalam pemeliharaan adalah :

74

Page 84: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ember, busket keranjang, gunting, sarung tangan, meter, timbangan digital, spoit volume 1 ml, kalkulator, alat tulis menulis, dan kamera digital. Alat yang digunakan untuk mengukur kualitas air adalah termometer (mengukur suhu), pH meter (mengukur pH air), refraktometer (mengukur salinitas). Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : Kepiting bakau (Scylla serrata), sebanyak 15 individu dengan ukuran berat kepiting 90-120 g dan lebar karapas 75-82 mm, Ekstrak bayam dan Pakan yang digunakan berupa ikan rucah yaitu jenis ikan tembang.

2.3 Prosedur Penelitian

2.3.1 Tahap Persiapan Wadah

Penelitian dilakukan di dalam wadah karamba yang terbuat dari bambu berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 200x100x19 cm3 dan kotak-kotak plastik dengan ukuran panjang 25 cm, lebar 19 cm dan tinggi 7 cm yang disekat menjadi 12 kotak. Keramba yang digunakan berjumlah 2 buah yang disusun berdekatan dan ditempatkan di dalam tambak dengan kedalaman air 100 cm. Posisi keramba diletakkan mengapung pada permukaan air. Tahap persiapan wadah dimulai yaitu dengan membersihkan duri bambu dengan parang. Bambu kemudian dipotong menggunakan gergaji sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Bambu kemudian dirakit dengan mengikat ujung bambu yang satu dengan bambu yang lain sehingga membentuk persegi panjang dengan menggunakan kawat dan kemudian dipaku. Ambil satu buah bambu dan kembali diikat di bagian tengah wadah yang telah jadi sebelumnya secara horizontal. Ambil lagi bambu yang ukurannya lebih pendek dan diikat pada bagian tengah keramba secara horizontal. Keramba yang telah jadi, diangkut ke dalam tambak dan disusun sesuai perlakuan. Tiap keramba dipasang pelampung berupa botol aqua di bagian bawah keramba. Tujuannya agar keramba tidak tenggelam dan kepiting tidak keluar dari wadah budidaya. Setelah penempatan keramba

selesai, baru kemudian dilakukan penempatan keranjang ke dalam keramba.

2.3.2 Tahap Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau dengan jumlah 15 individu dengan bobot tubuh 90-120 gr/individu. Hewan uji ini diperoleh dari bakau hasil tangkapan nelayan di perairan Oebelo. Kecamatan Kupang Tengah-KabKupaten Kupang. Benih kepiting diaklimatisasi selama 1 hari tanpa diberi makan. Selanjutnya dilakukan penimbangan bobot kepiting dengan menggunakan timbangan digital untuk mendapatkan bobot awall (W0) dan mengukur lebar karapas dengan menggunakan jangka sorong.

Pengukuran pertumbuhan dilakukan sekali dalam seminggu selama proses pemeliharaan. Kepiting yang telah diukur selanjutnya dilakukan mutilasi pada kepiting yaitu: (a) 3 pasang kaki jalan dan sepasang capit kepiting, (b) pemotongan 3 pasang kaki jalan kepiting, dan (c) pemotongan sepasang capit kepiting dan dilakukan injeksi ekstrak bayam pada kepiting dengan dosis 0,1 cc. Ekstrak bayam diinjeksikan pada bagian pangkal kaki renang dengan menggunakan syringe volume 1 ml dengan jarum suntik ukuran 27-gauge dengan ujung jarum suntik berbentuk runcing. Kepiting yang telah dimutilasi dan di injeksi ekstrak bayam selanjutnya disiram dengan air laut tujuannya untuk membersihkan kotoran atau patogen yang masih menempel di tubuh kepiting. Selanjutnya kepiting ditebar pada wadah yang sudah disediakan, masing-masing 1 individu/wadah.

2.3.3 Tahap Pembuatan Pakan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan rucah segar (ikan tembang) yang didapatkan dari nelayan dipasar Oesapa dan Oeba. Pakan ikan kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil dan selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin agar pakan tetap segar saat akan digunakan.

75

Page 85: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

2.3.4 Tahap Pembuatan Ekstrak Bayam

Proses pembuatan ekstrak diawali dengan mengeringkan daun bayam dengan cara diangin-anginkan terlebih dahulu hingga mengering. Setelah daun bayam kering, daun bayam kemudian dihaluskan dengan cara diblender hingga berbentuk serbuk dan selanjutnya dilakukan proses maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman serbuk daun bayam dengan larutan ethanol 96% dengan perbandingan 1:1 yaitu 1 g bayam:1 ml etanol. Proses maserasi dibiarkan selama 6 hari untuk menarik hormon ekdisteroid yang akan dimanfaatkan. Selama proses maserasi harus dilakukan pengadukan sebanyak 2-3 kali sehari agar tercampur merata. Setelah proses maserasi selesai, selanjutnya dilakukan pemisahan serbuk daun bayam dengan larutan melalui penyaringan dengan menggunakan kertas saring. Dan untuk mendapatkan ekstrak bayam maka dilakukan lagi proses evaporasi dengan menggunakan alat evaporator. Dimana dalam proses ini, ethanol yang berperan sebagai pelarut akan diuapkan sehingga diperoleh ekstrak bayam yang selanjutnya digunakan sesuai dosis yang ditentukan yaitu 0,1 cc/individu kepiting.

2.3.5 Tahap Pemeliharaan

Selama proses pemeliharaan kepiting bakau diberi pakan berupa ikan rucah dengan frekuensi pemberian pakan dua kali sehari yakni pada pagi hari pukul 07.00-08.00 dan pada sore hari pukul 16.00-17.00 WITA dengan dosis pemberian pakan 5% dari bobot tubuh kepiting. Pemberian pakan dilakukan setelah dua hari pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena setelah pemotongan kaki dan capit kepiting, masih berada pada tingkat stress yang tinggi sehingga nafsu makan rendah bahkan cenderung tidak mau makan. Sebelum dilakukan pemberian pakan dilakukan penimbangan pakan terlebih dahulu untuk mengetahui jumlah dosis pakan. Untuk menjaga kualitas air dilakukan pengukuran kualitas air setiap satu minggu sekali dan pengontrolan yang dilakukan pada waktu

pemberian pakan. Pengukuran kualitas air yang meliputi suhu, derajat keasaman (pH), salinitas dilakukan 1 minggu sekali. Pergantian air dilakukan tiap 1 minggu sekali. Pada saat pergantian air, tidak dilakukan pengurangan volume air namun hanya dilakukan penambahan air yang baru. Penambahan air dilakukan pada saat air laut pasang. Selama proses pemeliharaan, perlu dilakukan pembersihan cangkang kepiting dan wadah budidaya. Tujuannya untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Setelah 10 hari pemeliharan, pengontrolan kepiting lebih sering dilakukan untuk mencegah terjadinya pengerasan cangkang pada kepiting yang telah mengalami moulting. Selanjutnya dilakukan penimbangan hewan uji yang telah mengalami moulting untuk mengetahui bobot akhir kepiting. 2.4 Analisis Data

2.4.1 Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan panjang mutlak dihitung menggunakan rumus Effendie (1997) sebagai berikut :

W = Wt-W0

Keterangan : W = Pertumbuhan bobot mutlak (g) Wt = Bobot kepiting pada akhir

pemeliharaan (g) W0 = Bobot kepiting pada awal

pemeliharaan (g) 2.4.2 Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR)

Pertumbuhan yang diukur dalam penelitian ini adalah laju pertumbuhan spesifik atau Spesifik Growth Rate (SGR) kepiting bakau dengan menggunakan rumus Effendi (2002) yaitu :

SGR = 𝐋𝐧𝐖𝐭−𝐋𝐧𝐖𝐨

𝐭 x 100%

Keterangan : SGR

= pertumbuhan individu harian (g/%/hari)

Wt = Bobot kepiting pada akhir pemeliharaan (g)

76

Page 86: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

W0 = Bobot kepiting pada awal pemeliharaan (g)

2.4.3 Pengukuran Panjang dan Lebar Karapas

Setiap individu kepiting diukur panjang karapasnya mulai dari ujung depan (anterior) sampai ujung belakang (posterior). Lebar karapas juga diukur mulai dari ujung kiri sampai ujung kanan duri ke-5 (Alimudin, 2000).

Pertumbuhan panjang dan lebar karapas dapat dihitung mnggunakan rumus Sulaeman dan Hanafi (1992), yaitu :

PK = PKt-PK0 LK = LKt-LK0

Keterangan : PK = Pertumbuhan panjang karapas

(cm) PKt = Panjang rata-rata karapas pada

akhir penelitian (cm)) PK

0

= Panjang rata-rata karapas pada awal penelitian (cm)

LK = Pertumbuhan lebar karapas (cm) LKt = Lebar rata-rata karapas pada

akhir penelitian (cm) LK0 = Lebar rata-rata karapas pada

awal penelitian (cm) 2.4.4 Kelulushidupan Kepiting Bakau

Kelulushidupan kepiting bakau dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997) dengan cara yaitu :

SR = 𝐍𝐭

𝐍𝐨 x 100 %

Keterangan : SR = Kelulushidupan hewan uji (%) Nt = Jumlah hewan hidup pada akhir

penelitian (individu) N0 = Jumlah hewan hidup pada awal

penelitian (individu)

2.4.5 Jumlah Kepiting yang Mengalami Moulting Terhadap Waktu Molting

Jumlah kepiting moulting terhadap waktu pemeliharaan dihitung dari jumlah kepiting yang ditebar pada setiap

perlakuan dan dilihat perlakuan yang paling cepat moulting atau ganti kulit (Harianto, 2012). 2.4.6 Waktu Kepiting Moulting

Waktu kepiting moulting dihitung dengan cara melihat dan menghitung jumlah kepiting yang moulting setiap perlakuan terhadap waktu moulting, baik pagi, siang, sore, maupun pada malam hari dan menentukan puncak terjadinya moulting dari waktu yang telah ditentukan (Harianto, 2012).

2.4.7 Rancangan Penelitian

Rancangan dalam Penelitian inii menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yang terdiri dari : 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga total keseluruhan adalah 15 unit percobaan. yang terdiri dari : Perlakuan A = Kepiting yang dipotong

kaki jalan dan capit Perlakuan B = Kepiting yang dipotong

kaki jalan Perlakuan C = Kepiting yang dipotong

sepasang capit Perlakuan D = Injeksi ekstrak bayam

Penentuan letak perlakuan telah dilakukan dan pengacakannya secara lotre sehingga didapatkan denah sebagai berikut : Tabel 11.1. Penentuan letak perlakuan

A1 B2 D1 A3

D2 C2 A2 B1

C3 D3 B3 C1 Keterangan : A,B,C,D : Perlakuan 1,2,3 : Ulangan

2.5 Analisis Statistik dan Hipotesis

Statistik

2.5.1 Analisis Statistik

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat pertumbuhan dan kelulushidupan maka data pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau yang diperoleh selama masa penelitian akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika hasil

77

Page 87: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

yang diperoleh memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau maka akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Gasperz, 1991).

2.5.2 Hipotesis Statistik

Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah : H0 = Tidak ada pengaruh metode

mutilasi dan injeksi ekstrak bayam terhadap tingkat kelulushidupan, kecepatan moulting, dan pertambahan bobot kepiting bakau (Scylla serrata).

H1 = Ada pengaruh mutilasi dan injeksi

ekstrak bayam terhadap tingkat kelulushidupan, kecepatan moulting, dan pertambahan bobot kepiting bakau (Scylla serrata).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pertumbuhan Mutlak Kepiting

Bakau (Scylla serrata)

Rata-rata pertumbuhan mutlak kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 11.1 di bawah ini.

Gambar 11.1. Pertumbuhan Mutlak Kepiting Bakau setiap minggu selama penelitian

Pada Gambar diatas menunjukkan

adanya peningkatan pertumbuhan untuk setiap perlakuan. Rata-rata Peningkatan pertumbuhan tertinggi kepiting bakau terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 89,66 g diikuti perlakuan B dan D sebesar 62,37 g dan 42,88 g dan kemudian perlakuan C dengan nilai sebesar 37,59 g menjadi yang terendah. Perbedaan pertumbuhan mutlak kepiting bakau yang terjadi diduga adanya faktor pengaruh metode mutilasi dan injeksi ekstrak bayam serta adanya faktor dari luar atau dalam. Hal ini juga dikemukakan oleh Effendi (1978), bahwa pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam diantaranya ialah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar yang utama adalah makanan dan kualitas perairan.

Penambahan bobot tubuh pada kepiting terjadi diduga juga karena pengembangan bagian integumen yang tidak mengeras atau terjadi proses penyerapan kadar air, mineral dan ion-ion penting sebagai akibat dari perbedaan tekanan osmotik. Selain itu, pakan yang dimakan dapat dikonversi menjadi energi untuk molting dan tumbuh secara sempurna. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya (2004), bahwa pertumbuhan jaringan atau organ, pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan, hormon, dan faktor perangsang pertumbuhan. Menurut Effendi (1978), pertumbuhan merupakan perubahan atau pertambahan bobot atau ukuran berat badan, yang dipelihara dalam satuan waktu. Pertumbuhan kepiting dapat terjadi apabila energi yang disimpan lebih besar dibandingkan energi

89,66

62,37

37,5942,89

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4

bo

bo

t tu

bu

h (

gr)

Pertumbuhan Mutlak

Perlakuan

78

Page 88: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

yang dimanfaatkan untuk aktifitas tubuh. Kepiting bakau memperoleh energi melalui pakan yang dikonsumsi dan digunakan untuk berbagai aktifitas hariannya (Karim, 2005).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) data pertumbuhan berat mutlak kepiting bakau, F hitung > F tabel pada taraf uji 5%. Hal ini menunjukan bahwa H0 ditolak pada taraf 5%, yang artinya metode mutilasi dan injeksi ekstrak bayam pada kepiting bakau berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berat mutlak kepiting bakau. Hasil uji lanjut BNT menunjukan bahwa perlakuan A, B, dan C berbeda nyata dengan perlakuan D. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan D (injeksi ekstrak bayam) lebih baik dari perlakuan A, B, dan C (mutilasi). Hasil penelitian yang didapatkan sama dengan penelitian Fujaya, et al., (2007) menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak

bayam pada kepiting dapat mempercepat dan menyerentakan moulting, tidak menyebabkan kematian, pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi ekstrak bayam lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi ekstrak bayam. Gunamalai, et al, (2003) mengemukakan ekdisteroid merupakan hormon steroid utama pada arthropoda yang memiliki fungsi utama sebagai hormon molting, selain itu juga mengatur fungsi fisiologis, seperti pertumbuhan, metamorfosis dan reproduksi.

3.2 Laju Pertumbuhan Berat Spesifik

Harian (SGR)

Rata-rata laju pertumbuhan spesifik harian (SGR) kepiting bakau pada tiap perlakuan selama 2 bulan penelitian yang disajikan pada Gambar 11.2.

Gambar 11.2. Laju pertumbuhan spesifik harian (SGR)

Gambar 11.2 menunjukan bahwa dari data hasil penelitian yang diperoleh, menunjukan bahwa terdapat perbedaan rata-rata laju pertumbuhan harian untuk setiap perlakuan. Nilai rata-rata laju pertumbuhan berat spesifik harian tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu 2,44 g, diikuti perlakuan A dan D sebesar 2,26 g, dan 1,64 g, kemudian perlakuan C dengan nilai sebesar 1,58 g. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) data laju pertumbuhan spesifik harian kepiting bakau menunjukan F hitung < F tabel

pada taraf uji 5%. Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima pada taraf 5%, yang artinya metode mutilasi dan injeksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan harian kepiting bakau.

Pertumbuhan merupakan salah satu komponen yang penting dalam produktivitas. Dalam artian yang luas pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan volume, bobot basah, ataupun bobot kering terhadap suatu satuan waktu tertentu (Effendi 1979)

2,262,44

1,58 1,64

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1 2 3 4

Bo

bo

t tu

bu

h (

gr)

Perlakuan

Laju Pertumbuhan Harian

79

Page 89: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dalam Aslamsyah, et al., (2010). Selain itu menurut Holdich dan Lowery (1988) dalam Nilamsari (2007) pertumbuhan pada krustasea adalah pertambahan bobot dan panjang tubuh yang terjadi saat setelah pergantian kulit sehingga pertambahan bobot dan panjang pada krustasea tidak akan terjadi tanpa didahului oleh pergantian kulit. Dalam kegiatan budidaya, pertumbuhan organisme akuatik biasanya dinyatakan dalam bentuk laju pertumbuhan bobot harian. Laju pertumbuhan bobot sangat berkaitan erat dengan kondisi fisiologis dari kepiting tersebut, yaitu proses metabolisme dan tingkat stres yang dialami oleh kepiting. Ketika kepiting dipotong capit dan kaki

jalannya, baik sempurna maupun sebagian, maka kepiting tersebut diduga mangalami penurunan kondisi fisiologis akibat stres. Keadaan stres tersebut dapat memacu kepiting untuk melakukan proses moulting secara cepat. Akan tetapi, tingkat stres yang dialami oleh masing-masing kepiting berbeda-beda sehingga hasil dari proses moulting tersebut akan memberikan perbedaan pada bobot yang dihasilkan (Harianto, 2012). 3.3 Tingkat Kelangsungan Hidup

Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Kelulushidupan kepiting bakau selama penelitian dapat dilihat pada 11.3.

Gambar 11.3. Kelulushidupan Kepiting Bakau

Dari data hasil penelitian menunjukan tingkat kelulushidupan kepiting bakau tidak berbeda untuk setiap perlakuan. Gambar 7 menunjukan bahwa perlakuan mutilasi dan injeksi ekstrak bayam tidak berpengaruh terhadap kelulushidupan kepiting bakau. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau pada setiap perlakuan rata-rata kelangsungan hidupnya mencapai 100%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan mutilasi dan injeksi ekstrak bayam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau. Derajat kelangsungan hidup merupakan parameter utama dalam produksi biota akuakultur yang dapat menunjukkan keberhasilan produksi tersebut. Jika diperoleh nilai SR yang

tinggi pada suatu kegiatan budidaya, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya yang dilakukan telah berhasil. Menurut Boer dalam Handayani, et al., (2014) kelangsungan hidup merupakan persentase populasi organisme yang hidup tiap periode waktu pemeliharaan tertentu. Kelangsungan hidup dikatakan baik apabila mencapai nilai lebih besar dari 80 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Fujaya, et al., (2007) yang mengemukakan salah satu kelebihan dari penggunaan ekstrak bayam sebagai stimulan moulting pada kepiting melalui penyuntikan adalah tidak menyebabkan kematian. Hasil penelitian ini juga relevan dengan apa yang dikemukakan Lafont dan Dinan (2003) dalam Fujaya, et al., (2010), bahwa

100 100 100

100 100 100

100 100 100

100 100 100

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1 2 3

Kelu

lush

idu

pan

(%

)

Ulangan

Kelulushidupan Kepiting Bakau

Perlakuan D

Perlakuan C

Perlakuan B

Perlakuan A

80

Page 90: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ekdisteroid tidak bersifat toksik baik terhadap invertebrata maupun terhadap vertebrata. Harianto (2012), juga mengatakan bahwa metode mutilasi mempengaruhi tingkat stres yang dialami kepiting masih berada pada level yang dapat ditoleransi sehingga tidak menyebabkan kepiting mati.

3.4 Panjang dan Lebar Karapas Kepiting Bakau

Berikut ini adalah data hasil penelitian mengenai lebar dan panjang karapas kepiting bakau dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 11.4. Panjang karapas kepiting bakau

Gambar 11.5. Lebar karapas kepiting bakau

Dari Gambar di atas menunjukan

bahwa pertumbuhan panjang karapas mengalami peningkatan. Rata-rata lebar karapas tertinggi diperoleh pada perlakuan D sebesar 18,66 mm dan rata-rata lebar karapas terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu sebesar 14,33 mm. Sedangkan rata-rata panjang karapas tertinggi juga diperoleh perlakuan D yaitu sebesar 14,66 mm dan rata-rata panjang karapas terendah diperoleh perlakuan A yaitu sebesar 11 mm. Tingginya panjang

dan lebar karapas pada perlakuan D erat kaitannya dengan pertumbuhan bobot kepiting setelah molting. Dimana setelah molting terjadi penyerapan air kedalam tubuh sehingga terjadi peningkatan ukuran tubuh selama periode kulit kepiting yang lunak. Perlahan-lahan cangkang baru akan merentang dan mengeras dan pertumbuhan jaringan kembali berlangsung dibawah cangkang baru. Jaringan yang berisi air selanjutnya akan

11,33 11

14,66 14

0

5

10

15

20

1 2 3 4

Pan

jan

gK

ara

pas (

mm

)

Perlakuan

Panjang Karapas

14,33

17 16,6618,66

0

5

10

15

20

1 2 3 4Leb

ar

Kara

pas K

ep

itin

g (

mm

)

Perlakuan

Lebar Karapas

81

Page 91: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

digantikan oleh protein (Hartnoll, 1980) dalam Aslamsyah, et al., (2010)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap laju pertumbuhan panjang dan lebar karapas kepiting menunjukan bahwa F hitung < F tabel pada taraf 5%. Hal tersebut menunjukan bahwa H0 diterima pada taraf 5%, yang artinya bahwa metode mutilasi dan injeksi

ekstrak bayam tidak memberikan pengaruh nyata terhadap panjang dan lebar karapas kepiting bakau.

3.5 Jumlah Kepiting Moulting Terhadap

Waktu Pemeliharaan

Data jumlah kepiting moulting selama penelitian disajikan pada Gambar 11.6.

Gambar 11.6. Jumlah kepiting moulting terhadap waktu pemeliharaan

Berdasarkan gambar terlihat bahwa

pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan jumlah kepiting moulting tertinggi terdapat pada hari ke-14 yakni sebanyak tiga ekor. Persentase moulting kepiting tercepat diperlihatkan kepiting uji pada perlakuan D dan B dimana kepiting molting terjadi selama kurun waktu tujuh hari yakni pada hari ke-12 sampai hari ke-18 dan berakhir pada hari ke 25. Berdasarkan data yang diperoleh tampak bahwa pada perlakuan mutilasi dan injeksi ekstrak bayam menyebabkan kepiting mengalami proses ganti kulit pada waktu yang berbeda. Hal ini disebabkan karena stimulus atau rangsangan yang diberikan pada masing masing perlakuan berbeda. Kondisi ini sesuai pendapat Syarifuddin, et al., (2004) dalam Husni, et al., (2006) yang menyatakan bahwa teknik pemeliharaan kepiting bakau dengan cara pematahan capit dan kaki jalan kecuali kaki renang

bertujuan untuk menghindari kepiting saling memangsa dan keluar dari keranjang dan secara biologis dengan pematahan capit dan kaki jalan tersebut dapat merangsang kepiting lebih cepat ganti kulit. Hasil penelitian Fujaya, et al., (2007) juga menunjukan bahwa penyuntikan ekstrak bayam pada kepiting dapat mempercepat dan menyerentakan moulting, tidak menyebabkan kematian, pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi ekstrak bayam lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi ekstrak bayam.

3.6 Jumlah Kepiting Moulting Terhadap Waktu

Data jumlah kepiting moulting terhadap waktu moulting selama penelitian disajikan pada Gambar 11.7.

1

2

1 1 11 1 11

2

0

0.5

1

1.5

2

2.5

12 14 15 18 19 21 23 25

Ju

mla

h K

ep

itin

g M

ou

ltin

g (

Ind

ivid

u)

Moulting Hari ke-

Jumlah Kepiting Moulting Terhadap Waktu Pemeliharaan

Perlakuan A

Perlakuan B

Perlakuan C

Perlakuan D

82

Page 92: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 11.7. Jumlah kepiting moulting terhadap waktu

Berdasarkan gambar terlihat bahwa jumlah kepiting moulting pada sore hari lebih tinggi dibandingkan pada pagi atau malam hari. Jumlah kepiting moulting tertinggi terlihat pada sore hari yaitu pada pukul 15.30 pada perlakuan D. Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari. Sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap waktu moulting pada setiap perlakuan yang diujikan. Puncak moulting terjadi pada sore hari atau menjelang malam hari yang diakibatkan oleh faktor lingkungan terutama suhu. Zacharia dan Kakati (2004) dalam Harianto (2012) menyatakan, suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi

aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase. Selain itu, menurut Moosa, et al., (1985) kepiting bakau tergolong nokturnal (hewan yang aktif dimalam hari), sehingga sebagian besar kegiatan hidupnya dilakukan pada waktu malam hari termasuk moulting atau ganti kulit.

3.7 Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu

faktor penentu keberhasilan dalam budidaya. Parameter kualitas air yang diamati selama proses penelitian adalah pH, suhu dan salinitas. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 11.2.

Tabel 11.2. Kualitas air selama pemeliharaan

No Parameter Kisaran Kisaran optimal (William, 2003)

1 pH 7,5-8,3 7,2-7,8 2 Suhu 27-34 23-32 3 Salinitas 20-29 15-30

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa

kualitas air selama penelitian berada pada kisaran normal atau pada kondisi yang baik dalam mendukung pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau. Hal ini diperkuat dengan adanya data pada penelitian ini yang menunjukan adanya peningkatan pertumbuhan bobot tubuh

dan tingkat kelulushidupan yang mencapai 100%. Kondisi kualitas air merupakan faktor yang sangat penting dimana air merupakan habitat utama biota perairan. Jika kondisi perairan buruk maka akan mengganggu proses kehidupan biota yang hidup didalamnya. Kualitas air yang kurang baik menyebabkan tingkat stres

1 1 11 1 11 1 11

2

0

0.5

1

1.5

2

2.5Ju

mla

h K

ep

itin

g M

ou

ltin

g (

Ind

ivid

u)

Waktu Moulting (Jam)

Jumlah Kepiting Moulting Terhadap Waktu Moulting

Perlakuan A

Perlakuan B

Perlakuan C

Perlakuan D

83

Page 93: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

kepiting meningkat, nafsu makan menurun, daya tahan tubuh melemah sehingga lebih mudah terserang penyakit dan bisa berdampak pada kematian massal. Hasil penelitian Trino, et al. (2001) dalam Rangka, et al., (2010), yakni kepiting mampu mentoleransi kualitas air pada suhu 27,8 0C-29,6 0C; salinitas 25,2-30,2 ppt; oksigen terlarut 3,7-8,9 mg/l dan pH 7,8-8,9. Zacharia dan kakati (2004), menyatakan suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, komsumsi oksigen dan laju metabolisme krustasea. Suhu yang optimum untuk kepiting bakau adalah 26-32 0C (Kuntiyo, 1994). Perubahan suhu secara mendadak akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan kepiting, jika suhu air turun dibawah 20 0C daya cerna kepiting terhadap makanan yang dikomsumsi berkurang. Sebaliknya, jika suhu naik lebih dari 35 0C, kepiting akan mengalami stress karena kebutuhan oksigen semakin tinggi (Kuntiyo, 1994). Nilai pH penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokimia di dalam badan kepiting. Menurut Christensen, et al., (2005) dalam Sulaeman, et al., (2010), pH optimum untuk kepiting bakau berkisar antara 7,5-8,5. Menurut Fujaya (2008), kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 5-36 ppt , tetapi selama pertumbuhan mereka lebih menyukai salinitas yang rendah antara 5-25 ppt. Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas air selama penelitian cukup baik dan layak dalam mendukung kehidupan kepiting bakau.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya : 1) Penggunaan metode mutilasi dan

injeksi mampu meningkatkan pertumbuhan bobot, pertambahan panjang karapas dan lebar karapas kepiting, dan mampu mempercepat proses moulting pada kepiting bakau.

2) Metode injeksi lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan bobot, pertambahan panjang karapas dan

lebar karapas, dan mampu mempercepat proses moulting pada kepiting bakau.

4.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan tentang penggunaan ekstrak bayam yang diformulasikan pada pakan kepiting.

DAFTAR PUSTAKA Alimudin. 2000. Analisis Morfometrik dan

Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Teluk Lawele Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Skripsi Jurusan Perikanan Universitas Haluoleo. Kendari. Hal. 92.

Aslamyah S. dan Yushinta Fujaya. 2010. Laju Pengosongan Lambung, Komposisi Kimia Tubuh, Glikogen Hati dan Otot, Molting dan Pertumbuhan Kepiting Bakau Pada Berbagai Persentase Pemberian Pakan Dalam Budidaya Kepiting Bakau Cangkang Lunak. Universitas Hasanudin. Makassar. Hal 1-12.

Aslamyah S. dan Yushinta Fujaya. 2010. Stimulasi Molting dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Melalui Aplikasi Pakan Buatan Berbahan Dasar Limbah Pangan Yang Diperkaya Dengan Ekstrak Bayam. Universitas Hasanudin. Jurnal Ilmu Kelautan Vol 15 (3) 170-178. Makassar.

Effendi, M. I. 1978. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.

Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Gasper. 1991. Metode Rancangan Percobaan. CV. Armico, Bandung.

Fujaya, Y. 2004. Pemanfaatan Ekstrak Ganglion Toraks Kepiting Non-Ekonomis sebagai Stimulan Perkembangan Invitro Sel Telur Kepiting Bakau (Scylla aivaceous). HERBST 1797.

Fujaya, Y., D. D. Trijuno dan E. Suryati. 2007. Pengembangan Teknologi Produksi Rajungan Lunak Hasil Pembenihan dengan Memanfaatkan Ekstrak Bayam Sebagai Stimulan Moulting. Laporan Penelitian Tahun 1,

84

Page 94: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

RISTEK-Program Insentif Riset Terapan, MENRESTEK. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar.

Fujaya, Y. 2008. Kepiting Komersil di Dunia, Biologi, Pemanfaatan, dan Pengelolaannya. Citra Emulsi. Makassar.

Fujaya, Y, S. Aslamsyah, Mufidah, dan L. F. Mallombasang. 2009. Peningkatan Produksi dan Efisiensi Proses Produksi Kepiting Cangkang Lunak (Sofl shell crab) melalui Aplikasi Teknologi Industri Moulting yang Ramah Lingkungan. Laporan penelitian RAPID, DIKTI.

Gunamalai V., R. Kirubagaran dan T. Subramoniam. 2003. Sequesration of Ecdisteroid Hormon Into The Ovary Mole Crab, Emerita asitica. University of Madras and National Institute of Ocean Technology India.

Habibi, M. W, D. Hariani dan N. Kuswanti. 2013. Perbedaan Lama Waktu Molting Kepiting Bakau (Scylla serrata) Dengan Metode Mutilasi dan Ablasi. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Lentera Bio Vol. 2 No. 3, September 2013 : 265-270.

Hanafi, A. 1992. Teknik Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata). PT. Penebar Swadaya: Jakarta.

Hanafi, A. 2000. Rancangan Percobaan : Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada.

Handayani, J. I. Putra dan Rusliadi. 2014. Maintenance Mud Crab (Scylla serrata) With Differant Feeding. Laboratory Aquaculture of Technology. Fisheries and Marine Science Faculty Riau University.

Harianto, E. 2012. Efisiensi Budidaya Kepiting Bakau Scylla serrata Cangkang Lunak pada Metode Pemotongan Capit dan Kaki Jalan, Popey dan Alami. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

Husni, Yohana, R., Widyastuti. 2006.

Pemanfaatan Tambak Udang “ Idle” untuk Produksi Kepiting Cangkang Lunak (Shoft shell crab). Media Akuakultur .

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forskal) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas Optimum dengan Kadar Protein Berbeda. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Karim, M. Y. 2007. Pengaruh Salinitas dan Bobot terhadap konsumsi Kepiting Bakau (Scylla serrata forskal). J. Sains dan Teknologi.

KKP. 2010. 9 komoditas perikanan jadi unggulan. www.kkp.go.id [24 September 2014].

Kuntiyo, Z. Arifin dan T. Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jendral Perikanan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara

Kurnia, F. 2010. Perbedaan Kecepatan Ganti Kulit Pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Soka Jantan dan Betina dengan Metode Pemotongan Capit dan Kaki Jalan. Journal moulting kepiting bakau.

Moosa, M. K. I., Aswandi, A., Kasry. 1985. Kepiting bakau, Scylla serrata (Forskal, 1775) dari Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 180.

Nilamsari, D. 2007. Pengaruh perbedaan padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup Lobster Air Tawar Cherax quadricarinatus. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nurdin, M. dan Armando, R. 2010. Cara Cepat Panen Kepiting Soka dan Kepiting Telur. Penebar Swadaya. Bogor.

Rangka, N. A, Sulaeman. 2010. Pemacu

Pergantian Kulit Kepiting Bakau (Scylla serrata) Melalui Manipulasi Lingkungan untuk Menghasilkan Kepiting Lunak. Prosiding Forum Inovasi teknologi akuakultur.

Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Tesis

85

Page 95: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Sulaeman, A dan Hanafi. 1992. Pengaruh Pemotongan Tangkai Mata Terhadap Kematangan Gonad dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal penelitian budidaya Pantai 8(4). BPP-BP, Maros.

Sulaeman. 1993. Pembesara Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan Konstruksi Tambak yang Berbeda. Departemen Pertanian. Jakarta.

Sulaeman. Herlinah. Dan A. Tenriulo. 2010. Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air

Payau. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Sulawesi Selatan. Hal. 169-174.

Syarifuddin, Hasanuddin, S., Raharjo, E., Soetanti. 2004. Budidaya Kepiting sangkak (Soft shelling crab) Si Primadona Baru yang menjanjikan. Direktorat Jendral Perikanan budidaya..

Zacharia S. dan Kakati, V. S. 2004. Optimal Salinity and Temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquacultur.

86

Page 96: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

SEBARAN MORFOLOGI TIRAM (Crassostrea cucullata) DI PERAIRAN INTERTIDAL DESA TANAH MERAH

KECAMATAN KUPANG TENGAH KABUPATEN KUPANG

Yohana Charolina Lily1, Evi Husain2 dan Sunadji3 1,2)MahasiswaFakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

3)Staf Pengajar Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto, Penfui Kupang

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui sebaran ukuran morfologi tiram (Crassotrea cucullata) yang dilihat dari panjang dan indeks kondisi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode observasi, dokumentasi dan studi literature. Selajutnya data-data yang telah diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sebaran frekuensi panjang dan indeks kondisi dengan bantuan statistical software SPSS Var 16.0 dan selanjutnya data-data dari hasil analisis sebaran frekuensi tersebut, akan dideskripsikan secara kualitatif maupun kuantittatif. Capaian hasil dari penelitian ini adalah sebaran morfologi tiram (Crassostrea cucullata) yang dilihat dari ukuran panjang dan indeks kondisi menunjukkan adanya variasi tinggi dan rendah. Namun sebaran ukuran panjang dan indeks kondisi tiram tersebut tidak dapat diandalkan untuk dijadikan sebagai induk dalam menunjang rekruitmen induk baru, karena ukuran panjang dan indeks kondisi tiram di daerah ini lebih banyak di dominasi oleh ukuran-ukuran yang kecil dibandingkan dengan ukuran yang besar. Rendahnya ukuran panjang dan indeks kondisi tiram ini diakibatkan oleh lamanya riwayat eksploitasi dan juga adanya aktivitas-aktivitas masyarakat yang memberi efek negatif pada terjadinya degradasi lingkungan sebagai habitat tiram di lokasi ini. Kata Kunci : Aspek Morfologi, Indeks Kondisi, Tiram (Crassostrea cucullata)

ABSTRACT

The purpose of this paper is to determine the size distribution of morphological oysters (Crassotrea cucullata) as seen from the length and condition index. Data collection methods used in this paper is the method of observation, documentation and literature studies. Furthermore, the data that has been obtained will be analyzed using analysis of the frequency distribution of the length and condition index with the help of statistical software SPSS 16.0 Var and then the data of the frequency distribution analysis, will be described qualitatively as well as quantitatively. The achievement of the results of this study is the distribution of morphological oysters (Crassostrea cucullata) as seen from the length and condition indices show the variation of high and low. But the long and the size distribution index oysters conditions are not reliable to be used as a parent in supporting new recruits, because of the length and condition index oysters in this area more dominated by sizes were small compared to the large size. The low length and index oysters condition is caused by the length of a history of exploitation and also their society activities that have a negative effect on the degradation of the environment as a habitat for oysters at this location. Keywords : Morphology Aspect, Conditions Index, oysters (Crassostrea cucullata)

87

Page 97: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

I. PENDAHULUAN

Tiram termasuk moluska dari kelas Pelecypoda yang merupakan salah satu komuditas perikanan komersial di Indonesia (Kastoro, 1992). Biota ini dimanfaatkan sebagai sumber protein untuk konsumsi masyarakat dan bahan makanan udang (Rangka dan Ratnawati, 1992). Daging tiram memiliki kandungan protein 46,65-54,60%, glikogen 11,85-24,95%, dan lemak 10,68-15,75 % sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki asupan protein hewani masyarakat (Quayle dan Newkirk, 1989).

Pada umumnya, jenis tiram yang banyak ditemukan di perairan Indonesia adalah Crassostrea iredalei dan Crassostrea cucullata. Budidaya kedua jenis tiram ini cukup potensial untuk dikembangkan sebagai usaha diversifikasi komoditas dan usaha budidaya yang pada gilirannya dapat memasok protein hewani, meyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani/nelayan dan devisa negara. Selain itu, nilai ekonomi dari jenis tiram ini juga cukup menjanjikan, karena mampu menyaingi pasar local, nasional maupun internasional (FAO, 2009).

Khusus di Provinsi Nusa Tenggara Timur, prospek budidayanya dari belum di kenal oleh masyarakat secara luas dan umumnya masyarakat nelayan hanya memanen atau mengumpulkan tiram ini dari alam kemudian dimakan sendiri atau di jual. Sebagai contohnya, ada bebrapa daerah tertentu di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dikatakan sebagai daerah penghasil tiram adalah salah satunya terdapat di perairan intertidal Desa Tanah Merah. Dimana, di daerah ini, masyarakat mengeksploitasi tiram hanya untuk di jual, dimakan sendiri dan ada juga yang dijadikan sebagai pakan ternak.

Proses pengeksploitasian tiram Crassostrea cucullata di daerah Intertidal Tanah Merah ini, bukan hanya berada pada tiram – tiram yang berukuran konsumsi, melainkan tiram – tiram yang berukuran kecil pun di ambil untuk konsumsi atau dijual. Hal ini jika, dibiarkan untuk terus berlangsung, maka kedepannya akan terjadi pemanfaatan sumberdaya tiram yang berlebihan dan berefek pada penurunan stok tiram dari

alam dan keberlanjutan dari sumberdaya tiram ini juga akan hilang dengan sendirinya yang kemudian tidak mampu mendukung pemulihan sumberdaya tiram secara alami.

Melihat kondisi demikian, maka perlu adanya berbagai upaya tertentu dengan memanfaatkan berbagai teknologi untuk menstimulir terjadinya permasalahan ini, sehingga kedepannya sumberdaya tiram ini tetap terjaga kelestariannya. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dianggap mampu untuk mengatasi hal ini adalah melalui upaya restocking dengan memanfaatkan teknologi budiddaya. Akan tetapi, untuk menjalankan proses budiddaya tiram dari jenis crassostrea cucullata ini, harus diperlukan data dasar atau informasi terkait sebaran morfologi tiram Crassostrea cucullata yang kemudian dijadikan sebagai data pendukung dalam penentuan ukuran tiram untuk proses budiddaya, sehingga dengan melakukan sebuah pengamatan terkait sebaran morfologi tiram Crassotrea cucullata di Perairan Intertidal Desa Tanah Merah yang dituangkan ke dalam sebuah karya ilmiah ini, dianggap penting untuk mencapai kesetimbangan tersebut.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Perolehan sampel tiram dilaukan

secara langsung di lapangan yaitu dii daerah intertidal Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

2.2 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan

dalam hal ini untuk mengukur panjang dan indeks kondisi tiram adalah berupa pipet ukur 5 ml, pisau, Beaker Glass (gelas piala) 250 ml, timbangan analitik, calliper type dialmax, dissecting set, akuarium, sikat, sampel tiram, aquadest, kain serbet, aluminium foil dan tissue.

2.3 Variabel yang Dikaji

Variabel yang dikaji dalam

pengeamatan ini adalah sebaran panjang

88

Page 98: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dan indeks kondisi tiram (Crasostrea cucullata).

2.4 Jenis Data yang Dikumpulkan

2.4.1 Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung

dari penulis sendiri dalam hal ini terkait data perolehan sampel tiram, panjang tiram serta indeks kondisi tiram (Crassotrea cucullata) yang berasal dari Desa Tanah Merah dan juga data-data yang berasal dari hasil dokumnetasi oleh penulis sendiri dari tahap awal perolehan data sampai dengan tahap penulisan karya ilmiah ini.

2.4.2 Data Sekunder

Yaitu data yang bukan berasal dari karya penulis sendiri, atau data atau literatur karya orang lain, namun penulis menggunakannya sebagai referensi dan informasi pendukung dalam penulisan karya ilmiah ini seperti buku – buku, jurnal, skripsi, laporan dan juga data – data yang berasal dari internet yang berhubungan dengan tulisan ini.

2.5 Teknik Pengumpulan Data

2.5.1 Observasi

Yaitu perolehan data yang dilakukan terkait pengamatan hasil pengukuran panjang dan indeks kondisi tiram (Crassostrea cucullata) yang berlangsung di Laboratorium Fakultas Kelautan dan perikanan.

2.5.2 Dokumentasi

Yaitu perolehan data yang dilakukan dengan memotret atau mendokumentasikan rangkaian kegiatan dari tahap perolehan data berupa pengambilan sampel tiram, pengukuran panjang dan indeks kondisi tiram sampai dengan tahap pengamatan hingga selesai pengamatan.

2.5.3 Studi Literatur

Yaitu perolehan data yang dilakukan oleh penulis sendiri, namun data-data

tersebut bukan merupakan karya dari penulis melainkan karya dari orang lain yang dijadikan oleh penulis sebagai referensi maupun pendukung tulisan karya ilmiah ini, yang proses perolehannya dengan mengutip dari buku-buku, jurnal, laporan, skripsi dan juga dengan mengutip tulisan-tulisan hasil karya orang lain yang berasal dari internet. 2.6 Analisis Data

Data-data yang diperoleh untuk

penulisan karya ilmiah ini terkait data panjang tiram dan indeks kondisi tiram dapat dianalisis melalui perhitungan perhitungan atau melalui rumus – rumus tertentu, yaitu :

1. Panjang Tiram

Dihitung dari jarak maksimum dari ujung anterior ke ujung posterior menggunakan alat caliper dengan merujuk pada prosedur yang dikemukakan oleh Gimin (2006).

2. Indeks Kondisi Tiram

Dihitung dengan mengikuti formula Lawrence dan Scott (1982) dalam Mimak (2013) sebagai berikut :

100 x (ml) cangkang internal Volume

(g) jaringan kering Berat CI

Data-data dari hasil perhitungan tersebut, kemudian akan dianalisis menggunakan analisis sebaran frekuensi dengan bantutan statistical software SPSS Var 16.0 dan selanjutnya data-data dari hasil analisis sebaran frekuensi tersebut, akan dideskripsikan secara kualitatif maupun kuantittatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Umum Lokasi Pengambilan Sampel Tiram Lokasi pengambilan sampel tiram

(Crassostrea cucullata) ini terdapat di perairan intertidal Desa Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Karakteristik dari daerah ini

89

Page 99: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

adalah memiliki perairan relatif terlindung oleh gelombang, akibat pohon mangrove yang cukup rapat, namun ada sebagain besar lokasi sebagi habitat mangrove yang kosong sebagai akibat dari aktivitas penenbangan pohon mangrove yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Selain itu, lokasi ini juga memiliki dasar perairan berupa lumpur berpasir dan juga menjadi lokasi utama pencarian kerang darah dan juga tiram di Teluk Kupang, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 12.1 di bawah ini.

Gambar 12.1. Karakteritik Lokasi Pengambilan Sampel Tiram (Crassostrea cucullata)

3.2 Sebaran Panjang Cangkang Tiram (Crassotrea cucullata) Sebaran ukuran panjang cangkang

tiram (Crassostrea cucullata) yang berasal

dari daerah intertidal Desa Tanah Merah berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan dari berbagai kelas panjang tertentu dapat dirincikan melalui tabel berikut.

Tabel 12.1. Sebaran Panjang Cangkang Tiram (Crassostrea cucullata)

No Kelas Panjang

(mm) Frekuensi

(ind) Persentase

(%)

1 26 – 28 10 8.00 2 29 – 31 19 15.20 3 32 – 34 21 16.80 4 35 – 37 22 17.60 5 38 – 40 18 14.40 6 41 – 43 16 12.80 7 44 – 46 9 7.20 8 47 – 49 6 4.80 9 50 – 52 3 2.40

10 > 52 1 0.80

Jumlah 125 100

Sebaran panjang cangkang tiram (Crassostrea cucullata) berdasarkan rincian table di atas, jika dilihat dari ukuran panjang cangkang minim sampai maksimum adalah sebesar 26-> 52 mm. Selain itu, jika dilihat dari ukuran kelas panjang tertentu menunjukkan bahwa untuk kelas panjang cangkang 26-28 mm adalah sebanyak 10 individu dengan persentase sebesar 8,00 %, kelas panjang 29-31 mm adalah sebanyak 19 individu, dengan persentase sebesar 15,20 %,

kelas panjang 32-34 mm sebanyak 21 individu, dengan persentase sebesar 16,80 %, kelas 35-37 mm sebanyak 22 individu, dengan persentase sebesar 17,60 %, kelas 38-40 mm sebanyak 18 individu, dengan persentase sebesar 14,40 %, kelas 41-43 mm sebanyak 16 individu, dengan persentase sebesar 12,80 %, kelas 44-46 mm 9 individu, dengan persentase sebesar 7,20%, kelas 47-49 sebanyak 6 individu, dengan persentase sebesar 4,80 %, kelas 50-52

90

Page 100: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mm sebanyak 3 individu, dengan persentase sebesar 2,40 % dan kelas > 52 sebanyak 1 individu, dengan persentase sebesar 0,80 %. Nilai-nilai sebaran panjang cangkang tiram (Crassostrea cucullata) tersebut di atas, menunjukkan adanya variasi tingi

dan rendah jumlah individu dari masing-masing kelas panjang, dimana variasi dari tinggi dan rendah jumlah individu dari masing kelas panjang cangkang tiram (Crassotrea cucullata) tersebut, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 12.2. Sebaran Panjang Cangkang Tiram (Crassotrea

cucullata) di Perairan Intertidal Desa Tanah Merah

Grafik di atas menjelaskan bahwa sebaran panjang cangkang tertinggi sampai terendah secara berurutan adalah kelas panjang (> 52 mm) < (50 – 52 mm) < (47 – 49 mm) < (47 – 49 mm) < (44 – 46 mm) < (26 – 28 mm) < (41 – 43 mm) < (38 – 40 mm) < (29 – 31 mm) < (32 – 34 mm) < (35 – 37). Dengan melihat jumlah sebaran – sebaran ukuran panjang individu tiram (Crassostrea cucullata) ini, maka dapat diketahu bahwa jumlah sebaran panjang cangkang tiram tertinggi dari individu-individu tiram di Desa Tanah Merah adalah terdapat pada kelas panjang 35-37 mm dan terendah terdapat pada kelas panjang > 52 mm.

Manu (2012) berdasarkan hasil penelitiannya terkait perangsangan pemijahan tiram (Crassostrea cucullata) dengan menggunakan teknik kejut salinitas, dimana perolehan induk tiram tersebut adalah berasal dari perairan Intertidal Tanah Merah. Ukuran panjang induk-induk tiram tersebut yang dieproleh adalah lebih banyak berada pada ukuran > 40 mm. Selanjutnya Al Ayubi (2013), juga

dalam penelitiannya mengenai pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan tiram (Crassotrea cucullata), dimana ukuran panjang tiram yang diperoleh dari akhir penelitan lebih banyak berada sampai pada ukuran > 45 mm. Hal ini jika dikaitkan dengan ukuran panjang cangkang tiram yang ada pada saat ini, dimana jumlah panjang cangkang tiram terbanyak adalah berada pada kelas panjang < 41 mm, maka hal ini dapat mengindikasikan bahwa sebaran panjang cangkang tiram (Crassotrea cucullata) yang ada di perairan intertidal Desa Tanah Merah saat ini telah mengalami penurunan gradient ukuran panjang sebagai akibat dari jumlah tiram saat ini adalah lebih banyak yang berada pada ukuran-ukuran yang kecil.

Menurut Pombo dan Escofet (1996) berkurangnya ukuran cangkang pada biota kekerangan termasuk tiram merupakan salah satu deskriptor utama tentang pengaruh negatif eksploitasi sumberdayanya. Berdasarkan pendapat ini, maka terjadinya gradien penurunan

91

Page 101: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

yang konsisten ukuran individu tiram (Crassotrea cucullata) di perairan intertidal Desa Tanah Merah ini dapat dianggap sebagai akibat pengeksploitasian tiram (Crassostrea cucullata) secara terus menerus. Selain itu, menurut Roy dkk., (2003) dan Fenberg dan Roy (2008), bahwa sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang membuat mengapa hingga species tiram yang sedang mengalami eksploitasi cenderung mengalami penurunan ukuran tubuh. Tiga alasan tersebut diantaranya adalah, pada kondisi dimana tidak terdapat tindakan konservasi, maka para penangkap tiram awalnya akan menangkap individu yang berukuran besar terlebih dahulu karena individu semacam ini memiliki kandungan daging yang lebih banyak, serta harga yang lebih mahal jika dijual. Akibatnya, individu-individu yang berukuran besar terus berkurang di dalam populasi dan tertinggal individu-individu yang lebih kecil (Roy dkk., 2003).

Berdasarkan penjelasan di atas dan jika dihubungkan dengan lama riwayat eksploitasi sumberdaya tiram (Crassostrea cucullata) di Desa Tanah Merah, yang sudah berlangsung dari tahun 90an hingga saat ini dan ditambah lagi dengan tidak adanya upaya konservasi dari instansi terkait terhadap sumberdaya ini, maka sedikitnya ukuran individu tiram yang bercangkang besar di Desa Tanah Merah merupakan indikasi dari kedua faktor ini. Pernyataan ini juga diperkuat oleh fakta-fakta yang menemukan bahwa ukuran minimum tiram (26-28 mm) yang diperoleh untuk diperjualbelikan di pasar sepanjang Jalan Timor Raya masih lebih besar daripada ukuran minimum tiram (Crassostrea cucullata) yang dapat ditemukan selama pengambilan sampel. Hal ini memperlihatkan bahwa para pengumpul cenderung tidak memasukkan tiram yang berukuran terlalu kecil (< 25 mm) untuk diperjualbelikan. Meskipun demikian, tidak ada data tentang apakah para pengumpul sungguh tidak mengambil tiram yang berukuran kecil untuk keperluan konsumsi keluarga. Jika ternyata para pengumpul mengambil tiram

dari ukuran apa saja, maka dapat dikatakan bahwa tiram di lokasi mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan lokasi dimana pencari tiram meninggalkan individu yang tidak diterima oleh pasar.

Selanjutnya, Fenberg dan Roy (2008) juga mengemukakan alasan lainnya terkait semakin sedikitnya jumlah ukuran panjang cangkang yang besar di suatu lokasi tertentu, yaitu alasan genetis, yang menyebabkan penurunan ukuran tubuh akibat penangkapan selektif yang menyasar hanya individu berukuran besar. Menurut mereka, ada kemungkinan ketika para penangkap menyasar individu yang berukuran besar (cangkang lebih panjang dan daging lebih banyak atau indeks kondisi lebih tinggi), secara tidak langsung para eksploiter tersebut sedang menarget individu-Individu yang fenotifnya berukuran besar dan mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan anggota populasi lainnya. Ketika individu-individu yang lebih unggul tersebut ditangkapi secara selektif, maka di dalam populasi akan tertinggal individu-individu yang secara genetis pertumbuhannya lambat dan ukurannya kecil. Dengan semakin sedikitnya populasi individu yang unggul, maka rekruitmen populasi akan dikendalikan oleh individu-individu yang inferior. Akibatnya, populasi tiram saat ini akan didominasi oleh individu yang kecil sehingga terjadi penurunan ukuran panjang cangkang. Sejauh mana pengaruh penangkapan selektif tersebut terhadap terjadinya penurunan ukuran panjang cangkang tiram (Crassotrea cucullata) di Desa Tanah Merah ini membutuhkan penelitian atau pengamatan filogenetis lebih lanjut. 3.3 Sebaran Indeks Kondiai Tiram

(Crassostrea cucullata)

Sebaran ukuran indeks kondisi tiram (Crassostrea cucullata) yang berasal dari daerah intertidal Desa Tanah Merah berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan dari berbagai kelas tertentu dapat dirincikan melalui tabel berikut.

92

Page 102: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 12.3. Sebaran indeks kondisi tiram (Crassostrea cucullata)

No Kelas Indeks Kondisi

(g/ml) Frekuensi

(Ind) Persentase

(%)

1 3 - 5 4 3.20 2 6 - 8 5 4.00 3 9 - 11 21 16.80

4 12 - 14 53 42.40

5 15 - 17 29 23.20 6 18 - 20 6 4.80 7 21 - 23 3 2.40 8 24 - 26 2 1.60 9 27 - 29 1 0.80 10 > 29 1 0.80

Jumlah 125 100

Sebaran panjang cangkang tiram

(Crassostrea cucullata) berdasarkan rincian table di atas, jika dilihat dari ukuran panjang cangkang minim sampai maksimum adalah sebesar 3-> 29 g/ml. Selain itu, jika dilihat dari ukuran kelas indeks kondisi tertentu menunjukkan bahwa untuk kelas kelas indeks kondisi 3-5 g/ml adalah sebanyak 4 individu dengan persentase sebesar 3,20 %, kelas 6-8 g/ml adalah sebanyak 5 individu, dengan persentase sebesar 4,00 %, kelas 9-11 g/ml sebanyak 21 individu, dengan persentase sebesar 16,80 %, kelas 12-14 g/ml sebanyak 53 individu, dengan persentase sebesar 42,40 %, kelas 38-40 mm sebanyak 18 individu, dengan persentase sebesar 14,40 %, kelas 15-17 g/ml sebanyak 29 individu, dengan

persentase sebesar 23,20 %, kelas 18-20 g/ml sebanyak 6 individu, dengan persentase sebesar 4,80 %, kelas 21-23 sebanyak 3 individu, dengan persentase sebesar 2,40 %, kelas 24-26 g/ml sebanyak 1 individu, dengan persentase sebesar 0,80 % dan kelas > 29 sebanyak 1 individu, dengan persentase sebesar 0,80 %.

Nilai-nilai sebaran indeks kondisi tiram (Crassostrea cucullata) tersebut di atas, menunjukkan adanya variasi tinggi dan rendah jumlah individu dari masing-masing kelas indeks kondisi, dimana variasi dari tinggi dan rendah jumlah individu dari masing kelas indeks kondisi tiram (Crassotrea cucullata) tersebut, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 12.3. Sebaran Indeks Kondisi Tiram (Crassotrea

cucullata) di Perairan Intertidal Desa Tanah Merah

93

Page 103: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Grafik di atas menjelaskan bahwa sebaran indeks kondisi tiram tertinggi sampai terendah secara berurutan adalah kelas indeks kondisi (> 29 dan 27-29 g/ml) < (24-26 g/ml) < (21-23 g/ml) < (3-5 g/ml) < (6-8 g/ml) < (18-20 g/ml) < (9-11 g/ml) < (15-17 g/ml) < (12-14 g/ml). Dengan melihat jumlah sebaran-sebaran ukuran indeks kondisi dari individu tiram (Crassostrea cucullata) ini, maka dapat diketahui bahwa jumlah sebaran indeks kondisi tiram tertinggi dari individu-individu tiram di Desa Tanah Merah adalah terdapat pada kelas indeks kondisi 12-15 g/ml dan terendah terdapat pada kelas panjang 17-29 dan >29 g/ml.

Gimin (2005), menjelaskan bahwa indeks kondisi merupakan suatu ukuran yang penting dalam menaksir status nutrisi pada kekerangan (bivalvia) tiran dalam arti berapa banyak makanan yang tersedia dan bagaimana bivalvia memanfaatkannya. Indeks ini dapat digunakan untuk memantau dan mengikuti perubahan cadangan energi yang merupakan refleksi dari kondisi yang dialami bivalvia termasuk tiram di lingkungannya.

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi nilai indeks kondisi yaitu ketersediaan makanan di alam, faktor kualitas air, stress, terjadinya penyakit, masa reproduksi, jenis kelamin, dan sebagainya. Ketersediaan makanan dan reproduksi akan mempengaruhi indeks kondisi pada berbagai species bivalvia termasuk tiram. Sebagai organisme sessile yang tergantung sepenuhnya pada pakan yang terbawa air, jika tersedia cukup makanan di alam, yang erat kaitannya dengan kondisi perairan, bivalvia akan memperoleh cukup energi untuk melakukan berbagai proses metabolisme dan pertumbuhan dan masih ada energi untuk dicadangkan. Keadaan ini membuat nilai kondisi meningkat. Sebaliknya, jika makanan berkurang karena suatu hal, misalnya perubahan cuaca atau kualitas air, maka bivalvia seperti tiram mungkin tidak memperoleh cukup energi dari luar sehingga harus memanfaatkan cadangan energi yang tersimpan di berbagai jaringan tubuh. Akibatnya, nilai kondisi akan menurun. Faktor lain adalah merebaknya penyakit

atau yang membuat bivalvia tidak efisien dalam mengatur budget energinya dan mengalami defisit yang berimbas pada penurunan indeks kondisi. Demikian pula, stress yang berkaitan dengan perubahan kualitas air yang ekstrim atau terjadinya polusi, seringkali membuat bivalvia mengurangi aktivitas pengambilan makanannya sehingga menurunkan kondisi tubuhnya, meskipun makanan tersedia melimpah di alam (Gimin, 2005).

Penjelasan-penjalasan di atas jika dikaitkan dengan kondisi lingkungan perairan yang menjadi habitat tiram (Crassostrea cucullata) dalam hal ini di Desa Tanah Merah, dimana menurut pengakuan masyarakat setempat bahwa daerah ini selain dijadikan sebagai daerah untuk mencari tiram, namun juga dapat dijadikan sebagai daerah untuk mencari biota-biota lain seperti kepiting, udang dan juga kerang darah. Selain itu, menurut masyarakat setempat juga bahwa masyarakat dalam memeproleh kayu bakar, membangun rumah dan juga melabuhkan kapal-kapal di sekitar areal ini, seringkali melakukan penenbangan terhadap sebagain pohon-pohon mangrove yang ada sehingga mengakibatkan banyak areal-areal hutan mangrove yang kosong. Hal yang lain juga disampaikan oleh masyarakat setempat bahwa ada berbagai kalangan masyarakat tertentu yang dalam melakukan proses penangkapan udang di areal mangrove sebagai habitat tiram, seringkali menggunakan racun berupa potas dan ada juga yang menggunakan solar oil yang dibuang ke perairan sehingga membuat udang stress dan kemudian udang-udang tersebut mudah untuk ditangkap. Kondisi ini sama halnya juga dengan adanya areal yang dijadikan oleh para nelayan setempat sebagai areal labuh kapal nelayan, sehingga member kontribusi negative pada terjadinya penumpahan minyak ke perairan intertidal tersebut.

Adanya pernyataan-pernyataan dari masyarakat tersebut di atas seperti penebangan mangrove untuk keperluan kayu bakar dan juga kebutuhan tiang rumah serta membuka areal labuh kapal nelayan, maka dapat memberi efek pada stresnya tiram-tiram yang ada dilokasi

94

Page 104: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

tersebut akibat kepanasan karna tiram merupakan salah satu organisme yang tidak tahan terhadap kondisi lingkungan yang sangat panas, sehingga member akibat pada tiram-tiram untuk mengurangi aktivitas pengambilan makanannya yang kemudian memeberi efek negatif pada lambatnya pertumbuhan dan kemudian berimbas pada rendahnya indeks kondisi tiram tersebut. Sealnjutnya pernyataan masyarakat terkait aktivitas labuh kapal nelayan yang memberikan kontribusi pada penumpahan minyak ke perairan dan juga proses penangkapan udang dengan mnggunakan potassium dan solar oil yang dibuang ke perairan, maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan. Dimana, dengan masuknya cairan minyak dan bahan potassium tersebut ke dalam air, maka melalui aktivitas arus dan gelombang, cairan-cairan minyak dan potassium tersebut akan terakumulasi ke dalam substrat sehingga mengakibatkan kandungan nutrient pada substrat dan juga perairan yang dijadikan sebagai unsur hara bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup fitoplankton sebagai bahan makanan tiram semakin berkurang yang kemudian mengakibatkan terjadinya kekurangan makanan bagi tiram. Dengan adanya kekurangan makanan tersebut, maka tiram-tiram yang ada akan mengalami stress dan juga pertumbuhannya terhambat dan berimbas pada rendahnya ukuran indeks kondisi tiram yang ada sebagaimana yang ditemukan dalam kajian ini. Akan tetapi, informasi-informasi terkait penggunaan potassium dan juga pembuangan solar oil ke dalam perairan ini, hanya berdasarkan pernyataan masyarakat, sehingga untuk mengetahui lebih jelas terkait kualitas lingkungan perairan dan juga ketersedian makanan bagi tiram di lokasi ini, perlu adanya penelitian lebih lanjut.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dari hasil dan

pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Sebaran morfologi tiram (Crassostrea cucullata) yang dilihat dari ukuran panjang dan indeks kondisi menunjukkan adanya variasi tinggi dan rendah.

2. Sebaran ukuran panjang dan indeks kondisi tiram tersebut tidak dapat diandalkan untuk dijadikan sebagai induk dalam menunjang rekruitmen induk baru, karena ukuran panjang dan indeks kondisi tiram di daerah ini lebih banyak di dominasi oleh ukuran-ukuran yang kecil dibandingkan dengan ukuran yang besar.

3. Rendahnya ukuran panjang dan indeks kondisi tiram ini diakibatkan oleh lamanya riwayat eksploitasi dan juga adanya aktivitas-aktivitas masyarakat yang memberi efek negatif pada terjadinya degradasi lingkungan sebagai habitat tiram di lokasi ini.

4.2 Saran

Sumbangan saran yang diberikan hasil yang dicapai dalam tulisan ini adalah : 1. Perlu adanya pembatasan ukuran dan

jumlah tangkapan tiram (Crassotrea cucullata) dan juga perlu adanya perlindungan terhadap tiram yang berukuran besar yang masih tersisa di Desa Tanah Merah saat ini, karena mempunyai potensi sebagai induk dalam menghasilkan rekruitmen individu baru demi menunjang keberlanjutan sumberdaya tiram kedepannya.

2. Perlu adanya upaya pengelolaan yang jelas dari pihak pemerintah atau instansi terkait dengan melakukan berbagai kegiatan tertentu seperti sosialisasi akan pentingnnya sumberdaya tiram dan juga ekosistem mangrove sebagai penyedia sumberdaya pesisir. Selain itu juga perlu adanya penanaman mangrove kembali dan perlu juga diterapkan aturan atau efek jerah seperti pendendaan bagi para pelaku yang melakukan penebangan mangrove untuk keperluan tertentu, mengingat kondisi hutan mangrove yang ada di lokasi tersebut sekarang ini sebagian

95

Page 105: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

besarnya telah mengalami degradasi tertentu.

3. Perlu diterapkan upaya restocking melalui teknologi budidaya dengan memanfaatkan induk-induk tiram yang masih tersisa saat ini guna menunjang keberlanjutan sumberdaya tiram di masa yang akan datang dan juga untuk menggantikan populasi-populasi tiram yang telah tereksploitasi.

DAFTAR PUSTAKA Al Ayubi, A. 2013. Pengaruh Padat

Penebaran Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Tiram (Crassotrea cucullata) dengan Menggunakan Metode Longline di Perairan Intertidal Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan. Fakultas Kelautan dan Perikanan. Undana. Kupang.

Bardach JE, Ryther JH, Ryther, WO McLarney, 1972. Aquaculture: The Farming and Husbandri of Freshwater and Marine Organisms. Willey Interscience, New York. 674-742p.

[FAO] Fisheries and Aquaculture Organization. 2009. Potensi Kekerangan di Indonesia. [terhubung berkala]. http://www.fao.org. Diaskes pada Tanggal 21 April 2016. Pukul 20.00.

Fenberg, Roy. 2008. Ecological and Evolutionary Consequences Of Size Selective Harvesting: How much do we know?. Molecular Ecology, 17: 209-220p.

Gimin, R. 2005. Reproduction and Conditioning of the Marine Clam Polimesoda (geloina) erosa (Bivalvia : colicolidae) (Solande, 1786). Ph.D Thesis School Of Science And Primary Industries, Faculty Of Education, Health and Science, Charles Darwin Univercity, 213 P.

. 2006. Parameter Reproduksi : Condition index dan gonad index pada kerang darah Anadara granosa. Petunjuk praktek program Study Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan UNV. Nusa Cendana 12 p.

Idris, I. B. 2006. Pengaruh faktor - faktor Persekitaran terhadap Pertumbuhan dan Kemandirian Tiram Komersil, Crassostrea iredalei (Faustino) di Kawasan Peternakan Tiram di KG Telaga Nenas, Perak. Penerbit Buku Ilmiah Populer. 296p.

Jones AB, Preston NP. 1999. Sydney Rock Oyster, saccostre commercialis (Iredale & Roughly), Filtration Of Shrimp Farm Effluent: The effects on Water Quality. Aquaculture Research Journal. 30 : 51-57p.

Kastoro WW. 1992. Beberapa Aspek Biologi dan Ekologi Dari Jenis-Jenis Moluska Laut Komersial Yang Diperlukan untuk Menunjang Usaha Budidayanya. Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumbedaya Kekerangan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros. 68-79p.

Manu, K. P. 2012. Perangsangna Pemijahan Tiram (Crassotrea cucullata) dengan menggunakan Teknik Kejut Salinitas Pada Wadah Terkontrol. Skripsi. Jurusan Perikanan dan Kelautan. Fakultas Pertanian. Undana. Kupang.

Mimak, F. 2013. Pengaruh Taraf Inundasi Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Tiram (Crassostrea cucullata) yang Dibudidayakan Menggunakan Metode Lepas Dasar Di Perairan Pantai Desa Oebelo Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Skripsi. Fakultas Kelautan dan Perikanan Undana. Kupang.

Pombo, O. A., Escofet, A. 1996. Effects of exploitation on limpet Lottia gigantea: A field study in Baja California (Mexico) and California (U.S.A). Pacific Science Journal. 50(4): 393-403p.

Quayle, D. B., Newkirk, G. F. 1989. Farming bivalve Moluska. Methods for study and Development. Canada. World Aquaculture Society and International Development Research center,.109-121p.

Rangka, N. A., Ratnawati, E. 1992. Pola Produksi dan Pemasaran Tiram Di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian

96

Page 106: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Perikanan Budidaya Pantai Maros. Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. 109-121p.

Roy, K., Collin, A. G., Becker, B. J., Begovic, E., Engle, J. M. 2003. Anthropogenic Impacts and Historical Decline in Body Size of Rocky Intertidal Gastropods in Southern California. Ecology Letters. 6: 205-211p.

Santoso P. 2004. Studi Bebrapa Aspek Ekologi Tiram (Crassostrea sp) di Perairan Pantai Oebelo Kabupaten Kupang, NTT. Jurnal Penelitian Perikanan Vol. 7 No.1 edisi Juni

2004.ISSN NO. 0854-3658. Fakultas Perikanan Universitas Braawijaya. 24-29p.

Suharyoto. 1992. Rangkuman hasil Penelitian Tiram Crassostrea sp. Di Sulawesi Selatan. Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan Sulawesi Tenggara. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros. 89-93p.

Suharyanto, Hanafi A. 1996. “Pendugaan Musim Benih Tiram, Crassostrea Sp. di Teluk Mallasoro, Kabupaten Jeneoponto, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. 8 (1): 1-12p.

97

Page 107: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

POTENSI EKSTRAK DAUN DAN BATANG TUMBUHAN MANGROVE Rhizophora stylosa DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN

BAKTERI Aeromonas hydrophila

Heri Maryanto1, Yunitasari2 dan Dini Siswani Mulia3

1,2,3)Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Jl. Raya Dukuh Waluh PO BOX 202 Purwokerto 53182 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi ekstrak daun dan batang tumbuhan

mangrove Rhizophora stylosa dalam menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila. Metode penelitian menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 faktor yaitu : bagian organ tumbuhan (daun dan batang), strain bakteri A. hydrophila (GPl-04, GL-01, GJ-01, GK-01, GL-02, dan GB-01) dan konsentrasi ekstrak (0%, 10%, 20%, dan 30%), sehingga diperoleh 48 perlakuan dan 3 kali ulangan. Ekstraksi dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut non polar (n-heksana) dan pelarut polar (metanol). Parameter yang diamati adalah diameter zona hambat. Analisis data menggunakan analisis nonparametrik dengan taraf uji 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun R. stylosa yang paling efektif digunakan yaitu pada konsentrasi 30% dengan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,73 mm pada strain GJ-01, sedangkan pada ekstrak metanol batang R. stylosa yang paling efektif digunakan pada konsentrasi 30% menghasilkan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,6 mm pada strain GL-01. Hasil ekstrak n-heksana daun R. stylosa yang paling efektif digunakan yaitu pada konsentrasi 20% dengan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,16 mm pada strain GJ-01, sedangkan pada ekstrak n-heksana batang R. stylosa yang paling efektif yaitu pada konsentrasi 10% dengan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,08 mm pada strain GL-02.

Kata kunci : Aeromonas hydrophila, ekstrak, mangrove, Rhizophora stylosa, zona hambat.

I. PENDAHULUAN

Aeromonas hydrophila merupakan bakteri patogen yang bersifat fakultatif anaerobik dan kemoorganoheterotrof (Garrity et al., 2006). Bakteri ini merupakan agen etiologi penyakit tidak hanya pada ikan, tetapi juga pada amfibi, burung, dan mamalia (Janda & Abbott, 2010). Gejala penyakit yang ditimbulkan antara lain inflamasi dan lesi pada mulut dan insang, hemorhagik pada sirip tubuh, mata menonjol (exopthalmia atau popeye), perut kembung, ginjal membengkak, usus berisi mucus berwarna kekuning-kuningan (Harikrishnan & Balasundaram, 2005).

Upaya pengendalian serangan bakteri ini terus dilakukan dan menjadi bahan kajian menarik untuk terus diteliti. Penggunaan bahan alam sebagai bakterisida alami merupakan salah satu

alternatif yang baik untuk mengendalikan bakteri patogen ini karena tepat sasaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi inang maupun lingkungan. Salah satu bahan alam yang berpotensi besar adalah tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa. Hampir semua bagian tanaman Rhizophora sp dapat digunakan sebagai senyawa antibakteri khususnya untuk bagian batang dan daun karena mengandung senyawa alkaloid, saponin, flavonoid dan tannin yang merupakan senyawa antibakteri (Rohaeti, 2010). Ekstrak metanol kulit batang R. stylosa mengandung senyawa alkaloid yang mampu menghambat aktivitas bakteri Streptococcus pyogenes (Puspitasari & Tukiran, 2013), Hasil penelitian Sumampouw (2014), bahwa jamur endofit yang diisolasi dari akar R. stylosa memiliki efek antibakteri terhadap pertumbuhan

98

Page 108: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Dalam penelitian ini, ekstraksi daun dan batang R. stylosa akan menggunakan 2 jenis pelarut, yaitu pelarut non polar (n-heksana) dan pelarut polar (metanol) untuk mengekstrak semua jenis senyawa yang terdapat pada batang dan daun R. stylosa. Bakteri A.hydrophila yang akan diujikan terdiri atas 6 strain, yaitu GPl-04, GL-01, GJ-01, GK-01, GL-02, dan GB-01. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi ekstrak daun dan batang tumbuhan mangrove R.stylosa dalam menghambat pertumbuhan bakteri A.hydrophila.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah daun dan batang tumbuhan mangrove R.stylosa yang diperoleh dari Desa Karang Talun, Cilacap, Jawa Tengah. Isolat bakteri A. hydrophila adalah strain GPl-04, GL-01, GJ-01, GK-01, GL-02, dan GB-01. Media kultur bakteri yang digunakan adalah Tryptone Soya Agar (TSA), Tryptone Soya Broth (TSB), dan Glutamat Starch Phenile (GSP). Pelarut yang digunakan dalam pembuatan ekstrak R. stylosa adalah pelarut polar metanol, pelarut non polar n-heksana, pelarut Dimethyl Sulfoxide (DMSO) 10%, dan akuades. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji fitokimia ekstrak R. stylosa adalah kloroform, metanol, n-heksana, pereaksi sitroborat, pereaksi Dragendrof, pereaksi FeCl, dan pereaksi anisaldehid asam sulfat.

Alat yang digunakan yaitu oven, blender, rotary evaporator, inkubator, autoklaf, vortex, laminar air flow (LAF), dan peralatan kromatografi lapis tipis (KLT).

2.2 Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan metode

eksperimen dengan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) 3 faktor, yaitu bagian

organ tumbuhan (daun dan batang), strain

bakteri A. hydrophila (GPl-04, GL-01, GJ-

01, GK-01, GL-02, dan GB-01) dan

konsentrasi ekstrak (0%, 10%, 20%, dan

30%), dengan 3 kali ulangan.

2.3 Prosedur Penelitian

2.3.1 Ekstraksi daun dan batang

tumbuhan mangrove R. stylosa

Daun dan batang R. stylosa dikumpulkan, dicuci bersih, dan dipotong-potong dengan ukuran 4 cm. Setelah itu masing-masing dikeringkan menggunakan oven 600C, selanjutnya diblender sampai menjadi serbuk halus. Ekstraksi daun dan batang R. stylosa dilakukan dengan metode maserasi sesuai dengan pelarutnya masing-masing. Sebanyak 100 g simplisia daun dan batang R. stylosa masing-masing direndam dengan 500 ml n-heksana (non polar) selama 2 x 24 jam pada suhu kamar. Ekstrak n-heksana yang diperoleh dipisahkan ampasnya. Ekstrak yang diperoleh lalu diuapkan n-heksananya dengan vacum evaporator sehingga menjadi ekstrak kental yang kemudian akan digunakan untuk uji antibakteri, sedangkan ampasnya dikeringkan dan direndam dengan 500 ml metanol (polar) selama 2 x 24 jam. Ekstrak metanol yang diperoleh dipisahkan dari ampasnya. Ekstrak metanol kemudian diuapkan metanolnya dengan vacum evaporator sehingga menjadi ekstrak kental yang akan digunakan untuk uji antibakteri. 2.3.2 Uji fitokimia ekstrak R. stylosa

menggunakan uji warna pada plat KLT

Ekstrak sebanyak 0,1 g dilarutkan

dengan pelarut metanol 5 ml. Selanjutnya membuat fase gerak dengan mencampurkan larutan kloroform 9 ml dan metanol 1 ml (9:1) selama 15 menit. Totolkan ekstrak pada plat KLT, sebelumnya plat KLT dipotong dengan ukuran 1x5 cm (atas 0,5 cm dan bawah 1 cm), selanjutnya plat KLT yang sudah ditotolkan ekstrak dimasukkan ke dalam botol yang berisi larutan kloroform 9 ml dan metanol 1 ml sampai meresap ke atas. Plat KLT diambil dan dikeringkan

99

Page 109: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

menggunakan hot plate, kemudian dilihat menggunakan UV366 nm, kemudian disemprotkan dengan pereaksi sesuai uji senyawa yang akan diuji.

a) Uji Flavonoid

Sampel uji ditotolkan pada plat KLT dengan eluen terbaik yaitu pelarut kloroform 9 ml dan metanol 1 ml yang digunakan sebagai fase gerak. Bercak yang telah terelusi kemudian dideteksi dengan pereaksi sitroborat. Adanya flavonoid ditandai dengan bercak yang terlihat berwarna kuning atau ungu.

b) Uji Alkaloid

Sampel uji ditotolkan pada plat KLT

dengan pelarut kloroform 9 ml dan metanol 1 ml yang digunakan sebagai fase gerak. Bercak yang telah terelusi dideteksi penyemprotan pereaksi Dragendorf. Adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya bercak berwarna kuning jingga.

c) Uji Terpenoid

Sampel uji ditotolkan pada plat KLT dengan pelarut kloroform 9 ml dan metanol 1 ml yang digunakan sebagai fase gerak. Bercak yang terelusi dideteksi penyemprotan pereaksi anisaldehid asam sulfat. Adanya terpenoid ditunjukkan oleh terbentuknya bercak berwarna coklat.

d) Uji Tanin

Sampel uji ditotolkan pada plat KLT

dengan pelarut kloroform 9 ml dan metanol 1 ml yang digunakan sebagai fase gerak. Bercak yang terelusi dideteksi penyemprotan pereaksi FeCl. Adanya terpenoid ditunjukkan oleh terbentuknya bercak berwarna coklat orange.

2.4 Uji daya hambat ekstrak daun dan batang R. stylosa terhadap bakteri A. hydrophila strain GB-01, GJ-01, GK-01, GL-01, GL-02, dan GPl-04

Bakteri A. hydrophila strain GB-01, GJ-01, GK-01, GL-01, GL-02, dan GPl-04 ditumbuhkan pada medium TSB, diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.

Kepadatan bakteri setiap strain ditentukan sebanyak 107 cfu/ml. Membuat konsentrasi ekstrak kental metanol maupun n-heksana daun dan batang R. stylosa yaitu dengan melarutkan 1,5 g ekstrak metanol daun dan batang R. stylosa menggunakan akuades sampai 5 ml, sedangkan untuk melarutkan 1,2 g ekstrak kental n-heksana daun dan batang R. stylosa menggunakan DMSO 10% sampai 5 ml untuk kemudian dijadikan beberapa konsentrasi yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30%. Menuangkan medium TSA pada cawan petri yang sudah berisi 0,1 ml biakan strain bakteri, kemudian campuran dihomogenkan dengan cara digoyang membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Meneteskan ekstrak metanol maupun n-heksana daun dan batang R. stylosa pada 3 buah kertas cakram (Whatman No.2) diameter 6 mm steril untuk masing-masing konsentrasi 0%, 10%, 20% dan 30% dan meneteskan aquadest steril pada 1 buah kertas cakram steril sebagai kontrol untuk ekstrak metanol sedangkan ekstrak n-heksana sebagai kontrol menggunakan DMSO 10%. Kertas cakram diletakkan di permukaan medium biakan bakteri. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Semua biakan diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 370C selama 24 jam. Selanjutnya, mengamati dan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekitar kertas cakram menggunakan jangka sorong.

Pengamatan dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi. Zona bening merupakan petunjuk kepekaan bakteri terhadap bahan antibakteri yang digunakan sebagai bahan uji yang dinyatakan dengan lebar diameter zona hambat (Vandepitte, 2005). Diamater zona hambat diukur dalam satuan milimeter (mm). Pengamatan dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi.

2.5 Parameter Penelitian dan Analisis

Data Parameter penelitian adalah hasil uji

fitokimia ekstrak R. stylosa dengan Kromatografi lapis Tipis (KLT) dan aktivitas antibakteri ekstrak R. stylosa yang dihitung berdasarkan satuan diameter zona hambatan (zona bening) di sekitar kertas cakram yang berdiameter 6

100

Page 110: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mm dengan metode Kirby Bauer pada media yang telah diinokulasi dengan bakteri. Data berupa zona bening dianalisis menggunakan Analisis Non-parametrik Kruskal-Wallis dengan taraf uji 5% (Riwidikdo, 2008), sedangkan hasil uji fitokimia dianalisis secara deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil uji fitokimia ekstrak R. stylosa menggunakan uji warna pada plat KLT

Hasil uji fitokimia ekstrak metanol daun dan batang R. stylosa (Tabel 13.1)

menunjukkan bahwa ekstrak daun dan batang mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, terpenoid, dan tanin. Hampir semua bagian tanaman Rhizophora sp mengandung senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin (Rohaeti, 2010).

Hasil uji fitokimia ekstrak n-heksana daun dan batang R. stylosa (Tabel 13.2) menunjukkan bahwa ekstrak daun dan batang hanya mengandung senyawa flavonoid dan terpenoid, tetapi tidak terdeteksi mengandung alkaloid dan tanin. Hal tersebut diduga karena pelarut n-heksan adalah pelarut non polar sehingga hanya senyawa tertentu saja yang dapat diamati.

Tabel 13.1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Metanol R. stylosa

Senyawa Warna Bercak Deteksi pada Ekstrak

Daun Batang

Flavonoid Kuning + + Alkaloid Kuning jingga + + Terpenoid Coklat + + Tanin Coklat orange + +

Keterangan : (+) = menunjukkan adanya senyawa yang diujI (-) = tidak menunjukkan adanya senyawa yang diuji

Tabel 13.2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak n-heksana R. stylosa

Senyawa Warna Bercak Deteksi pada Ekstrak

Daun Batang

Flavonoid Kuning + + Alkaloid Kuning jingga - - Terpenoid Coklat + + Tanin Coklat orange - -

Keterangan : (+) = menunjukkan adanya senyawa yang diuji (-) = tidak menunjukkan adanya senyawa yang diuji 3.2 Uji daya hambat ekstrak R. stylosa

terhadap pertumbuhan bakteri A. hydrophila

Uji daya hambat ekstrak metanol R.

stylosa dilakukan terhadap pertumbuhan bakteri A. hydrophila strain GB-01, GJ-01, GK-01, GL-01, GL-02, dan GPl-04 (Tabel 3.). Hasil penelitian menunjukkan diameter zona hambat ekstrak metanol daun R. stylosa terbesar yaitu pada konsentrasi 30% dengan rata-rata 1,73 mm pada bakteri A. hydrophila strain GJ-01, sedangkan pada ekstrak metanol batang

R. stylosa yang menghasilkan diameter zona hambat terbesar adalah konsentrasi 30% dengan rata-rata 1,6 mm pada bakteri A. hydrophila strain GL-01. Ekstrak daun R. stylosa berpotensi dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan fungi (Mouafi et al., 2014). Kemampuan tersebut diduga karena kandungan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan. Hasil penelitian Puspitasari & Tukiran (2013), bahwa ekstrak metanol kulit batang R. stylosa mengandung senyawa alkaloid yang

101

Page 111: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mampu menghambat aktivitas bakteri Streptococcus pyogenes.

Kandungan Senyawa - senyawa metabolit sekunder yang terdeteksi dalam ekstrak daun dan batang R. stylosa (flavonoid, alkaloid, terpenoid, dan tanin) memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Pada penelitian ini pelarut yang digunakan adalah pelarut metanol (pelarut polar), yang kemungkinan melarutkan hampir semua senyawa yang terdapat pada daun dan batang R. stylosa. Ekstrak metanol merupakan senyawa polar yang mampu menarik hampir semua senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam daun dan batang R. stylosa. Senyawa-senyawa kimia yang ikut tertarik oleh pelarut metanol diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian Mouafi et al. (2014) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa

kimia dari ekstrak daun R. stylosa yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah senyawa fenolik, flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid, tanin, dan glikosida. Hasil penelitian Zulkarnaen et al. (2012), ekstrak kloroform batang R. stylosa ditemukan senyawa flavonoid golongan katekin yang mempunyai gugus hidroksil pada C-3, C-7 dan C-4’ serta memiliki gugus O-Glikosida.

Konsentrasi ekstrak metanol daun dan batang R. stylosa yang paling efektif digunakan untuk uji antibakteri yaitu pada konsentrasi 30%. Sesuai dengan penelitian Nababan et al. (2012), pada ekstrak metanol kulit batang Rhizophora mucronata dihasilkan zona bening terbesar pada konsentrasi 40% dan 60%. Dalam kasus ini dapat dikatakan semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin tinggi zona hambat yang dihasilkan.

Tabel 13.3. Hasil uji daya hambat ekstrak metanol daun dan batang R. stylosa

Organ Konsentrasi

(%) Diameter zona bening strain bakteri A. hydrophila (mm)

GB-01 GJ-01 GK-01 GL-01 GL-02 GPl-04

Daun 0 0 0 0 0 0 0 10 0.3 0 0 0,28 0 0 20 0,11 1,58 0 0,13 0 0,05 30 1,01 1,73 0,51 1,6 0 0

Batang 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 20 0,46 0,99 0 1,25 0 0 30 0 0,8 0 1,6 0 0

Tabel 13.4. menunjukkan diameter

zona hambat ekstrak n-heksana daun R. stylosa terbesar dihasilkan pada konsentrasi 20% dengan rata-rata 1,16 mm pada bakteri A. hydrophila strain GJ-01, sedangkan pada ekstrak n-heksana batang R. stylosa, diameter zona hambat terbesar pada konsentrasi 10% dengan rata-rata 1,08 mm pada bakteri A. hydrophila strain GL-02. Diameter zona hambat yang dihasilkan diduga karena dipengaruhi oleh senyawa antibakteri yang dihasilkan masing-masing ekstrak yang berperan sebaagai bakterisida alami terhadap A. hydrophila. Ekstrak n-heksana daun dan batang R. stylosa mengandung

senyawa metabolit sekunder flavonoid dan terpenoid. Terpenoid termasuk triterpenoid (Lutfiyanti et al., 2012). Flavonoid merupakan senyawa yang bekerja dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri. Denaturasi protein menyebabkan aktivitas metabolisme sel terhenti sehingga berakibat pada kematian sel bakteri (Sumayani, 2008). Senyawa triterpenoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme penghambatan terhadap sintesis protein karena terakumulasi dan menyebabkan perubahan komponen-komponen penyusun sel bakteri itu sendiri (Siregar et al., 2012).

102

Page 112: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 13.4. Hasil uji daya hambat ekstrak n-heksan daun dan batang R. stylosa

Organ Konsentrasi

(%) Diameter zona bening strain bakteri A. hydrophila (mm) GB-01 GJ-01 GK-01 GL-01 GL-02 GPl-04

Daun 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0,36 0 0,11 0,08 0,99 20 0 1,16 0 0 0 0,18 30 0 0 0 0 0,06 0

Batang 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0,47 0 1,08 0,36 20 0 0 0 0 0,73 0,21 30 0 0 0,89 0 0 0,25

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. ekstrak metanol dan n-heksana daun

dan batang tumbuhan mangrove R. stylosa mampu menghambat pertumbuhan beberapa strain bakteri A. hydrophila;

2. ekstrak metanol daun R. stylosa yang paling efektif digunakan yaitu pada konsentrasi 30% dengan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,73 mm pada strain GJ-01, sedangkan pada ekstrak metanol batang R. stylosa yang paling efektif digunakan pada konsentrasi 30% menghasilkan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,6 mm pada strain GL-01;

3. ekstrak n-heksana daun R. stylosa yang paling efektif digunakan yaitu pada konsentrasi 20% dengan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,16 mm pada strain GJ-01, sedangkan pada ekstrak n-heksana batang R. stylosa yang paling efektif yaitu pada konsentrasi 10% dengan diameter zona hambat terbesar yaitu 1,08 mm pada strain GL-02.

4.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas ekstrak metanol dan ekstrak n-heksana R. stylosa dalam menghambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila dan bakteri patogen lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Produk Terapan yang dibiayai oleh Kemenristek Dikti. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemenristek Dikti yang telah membiayai penelitian ini, dengan No. Kontrak A.11-III/336-S.Pj./LPPM/V/2016.

DAFTAR PUSTAKA

Garrity, G., Staley, J. T., Boone, D. R., De Vos, P., Goodfellow, M., Rainey, F. A. 2006. Bergey’s ManualR of Systematic Bacteriology: The Proteobacteria, Vol.2. Berlin: Springer Science & Business Media.

Harikrishnan, R. & C. Balasundaram.

2005. Modern Trends in Aeromonas

hydrophila Disease Management with

Fish. Review in Fisheries Science. 13:

281-320.

Janda, J.M. & Abbott, S.L. 2010. The genus Aeromonas: taxonomy, pathogenicity, and infection. Clinical Microbiology Reviews. 23: 35-73

Lutfiyanti, R., F. Widodo, N. E. Dewi. 2012. Aktivitas Antijamur Senyawa Bioaktif Ekstrak Gelidium latifolium terhadap Candida albicans. Jurnal Pengelolaan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 1(1): 1-8.

Mouafi, F. Shadia, M., Abdel, A., Awatif, A. B., & Amal A. F. 2014. Phytochemical analysis and antimicrobial activity of mangrove leaves (Avicennia marina and Rhizophora stylosa) against some pathogens. World Applied Sciences Journal. 29(4):547-554.

Nababan, E., Dwi, S., & Febrina, A. 2012. Potensi Ekstrak Kulit Batang

103

Page 113: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Rhizophora Mucronata Sebagai Antibakteri Untuk Menanggulangi Serangan Bakteri Aeromonas Hydrophila Pada Benih Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy). Sumatra : Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155

Puspitasari, F. & Tukiran. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Pendahuluan Aktivitas Antibakteri Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Metanol Kulit Batang Bakau Merah (Rhizophora stylosa)(Rhizophoraceae). UNESA Journal of Chemistry (2), No. 1.

Riwidikdo, Handoko. 2008. Statistika Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press Yogyakarta

Rohaeti, E., Batubara, I., Lieke, A., & Darusman, L. K. 2010. Potensi Ekstrak Rhizophora sp. Sebagai Inhibitor Tirosinase. Prosiding Semnas Sains III. IPB, Bogor, 13 November 2010. p. 196-201.

Siregar, A. F., S. Agus, P. Delianis. 2012. Potensi Antibakteri Ekstrak Rumput Laut Terhadap Bakteri Penyakit Kulit Pseudomonas aeruginosa,

Staphylococcus epidermidis, dan Micrococcus luteus. Journal Of Marine Research. 1(2): 152-160

Sumampouw, M., Robert, B., Henoch, A., & Jimmy, P. 2014. Uji Efek Antibakteri Jamur Endofit Akar Bakau Rhizophora stylosa Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Bagian farmakologi dan terapi fakultas kedokteran universitas sam ratulangi. jurnal e-Biomedik.

Sumayani, Kusdarwati, R. & Cahyoko, Y. 2008. Daya Antibakteri Perasan Rimpang Lengkuas (Alpina galanga) dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap Pertumbuhan Aeromonas hydrophila secara In-Vitro. Berkala Ilmiah Perikanan 3 (1) : 83-87.

Zulkarnaen, M., Tukiran., & Sri, H. S. 2012. Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Kloroform Batang Tumbuhan Bakau Merah (Rhizophora stylosa.Griff) Dan Uji Aktivitas Biolarvasida Terhadap Larva Aedes aegypti. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – Isbn : 978-979-028-550-7.

104

Page 114: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

EKSTRAKSI ETANOL BUAH PEDADA (Sonneratia alba) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Vibrio harveyii SECARA IN VITRO

ETANOL EXTRACTION OF Sonneratia alba’s FRUIT FOR INHIBITING

Vibrio harveyii IN VITRO

Gloria Ika Satriani1, Jimmy Cahyadi2, Ery Gusman3 dan Eka Nur Juliana4

1,2,3,4)Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan Email: [email protected]

ABSTRAK

Pedada atau Sonneratia sp. Merupakan tanaman mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi A2 yakni area pasang surut yang terendam 10-19 kali per-bulan, daerah yang paling dekat dengan laut, dan tumbuh pada substrat berlumpur dalam yang kaya bahan organik dengan sistem perakaran vegetasi ini membentuk cakar ayam (pneumatofora untuk pernapasan). Jenis Sonneratia yang paling sering dijumpai di kawasan pesisir Pulau Tarakan ialah S. alba dan S. caseolaris yang memiliki morfologi serupa namun dibedakan berdasarkan warna bunganya yakni mahkota bunga berwarna putih untuk S.alba sedangkan mahkota bunga S.caseolaris berwarna merah. Buah pedada khususnya S.alba dapat berbuah sepanjang waktu dan tidak mengenal musim sehingga memiliki potensi untuk dimanfaatkan namun hingga saat ini pemanfaatan buah pedada belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ekstrak buah S.alba sebagai antibakteri dalam menanggulangi penyakit vibriosis pada benur windu (P.monodon). Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Lingkungan FPIK UBT dengan pelarut 100% etanol (p.a) perbandingan simplisia:etanol = 1:2 selama 3x24 jam selanjutnya filtrat hasil maserasi diproses menggunakan alat rotari evaporator pada suhu 40-50◦C selama 1,5-2 jam. Simplisia yang digunakan dalam penelitian ini berupa keseluruhan buah S.alba (kulit buah, daging, dan biji). Pemekatan hasil ekstraksi dilakukan dengan pengovenan pada suhu 60◦C hingga didapatkan pasta kental ekstrak S.alba. Hasil uji fitokimia menunjukan pasta kental ekstrak S.alba pelarut etanol 100% mengandung alkaloid, flavonoid, triterpenoid, karbohidrat, karotenoid, kumarin, dan tanin. Hasil uji antibakteri menunjukan Vibrio harveyii terhambat pada semua konsentrasi ekstrak S.alba pelarut etanol. Kata kunci: S.alba, V.harveyii, fitokimia

ABSTRACT

Pedada or Sonneratia sp. mangrove plant is commonly found on the A2 zone which has submerged tidal area 10-19 times per month, the area closest to the sea, and grow on muddy substrate in rich organic matter with the root system of this vegetation has formed by crabbed (pneumatofora for breathing). Sonneratia types most common in coastal areas Tarakan Island is S. alba and S. caseolaris which has similar but differentiated by coloring of flowers petals where are white flowers to S.alba and red to S.caseolaris. S.alba is being fruitfull all the time and not depend of season, so it has the potential to be exploited but until now not yet optimal utilization of this fruit. This study aims to utilize of fruit extract S.alba as an antibacterial for vibriosis disease in black tiger shrimp fry (P.monodon). The extraction was done in FPIK UBT Environment Laboratory with 100% ethanol (pa) which comparison of simplisia: ethanol = 1: 2 during the following hours filtrate 3x24 maceration result processed by used the rotary evaporator temperature 40-50◦C during 1,5-2 hours. Crude drug used in this study a whole fruit S.alba (rind, flesh, and seeds). Concentrating the extraction is done by oven at a temperature of 60◦C to obtain a thick paste extract S.alba. The test results showed a thick paste phytochemical extracts S.alba 100% ethanol solvent contains of alkaloids, flavonoids, triterpenoids, carbohydrates, carotenoids,

105

Page 115: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

coumarin, and tannins. The results of antibacterial tests showed Vibrio harveyii extract inhibited at all concentrations S.alba ethanol. Keywords: S.alba, V.harveyii, phytochemicals

I. PENDAHULUAN

Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditemukan vegetasi Avicennia dan Sonneratia, dan berbeda jika semakin dekat dengan wilayah daratan akan dijumpai Rhizopora, Bruguiera, dan Xylocarpus, selanjutnya terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yang ditumbuhi Nyipa dan Pandanus. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur.

Pedada atau Sonneratia sp. merupakan tanaman mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi A2 yakni area pasang surut yang terendam 10-19 kali per-bulan, daerah yang paling dekat dengan laut, dan tumbuh pada substrat berlumpur dalam yang kaya akan bahan organik serta vegetasi ini memiliki sistem perakaran membentuk cakar ayam (pneumatofora untuk pernapasan). Jenis Sonneratia yang paling sering dijumpai di kawasan pesisir Pulau Tarakan ialah S. alba dan S. caseolaris yang memiliki morfologi serupa namun dibedakan berdasarkan warna bunganya yakni mahkota bunga berwarna putih untuk S.alba sedangkan mahkota bunga S.caseolaris berwarna merah.

Buah pedada khususnya S.alba dapat berbuah sepanjang waktu dan tidak mengenal musim sehingga memiliki potensi untuk dimanfaatkan namun hingga saat ini pemanfaatan buah pedada belum optimal. Buah pedada (Sonneratia sp) merupakan salah satu jenis dari buah mangrove yang tumbuh melimpah di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Buah ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Umumnya buah ini ditemukan berjatuhan dan berserakan di sekitar pohonnya karena belum dimanfaatkan dengan baik. Buah Pedada sangat mudah membusuk sebab mengandung kadar air yang tinggi hingga 84,76% (bk) (Manalu,

2011). Ekstrak buah pedada mengandung beberapa jenis bahan aktif alami seperti: flavonoid, steroid, fenol hidrokuinon dan tanin, yang aktif sebagai senyawa antibakteri terhadap V. harveyii baik secara in vitro dan in vivo serta memberikan efek immunostimulasi (Naiborhu et al. 2002). Pohon mangrove diketahui mengandung senyawa aktif tannin, flavonoid, saponin dan steroid. Senyawa aktif tersebut dapat digunakan sebagai antivirus dan antibakteri (Wahjuningrum et al., 2006) sehingga ekstrak buah pedada berpeluang sebagai bioaktif yakni bahan antibakteri alami bagi benur windu (Penaeus monodon) untuk mengatasi infeksi penyakit vibriosis yang disebabkan oleh pathogen Vibrio harveyii.

Vibrio spp. merupakan bakteri patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Bakteri Vibrio harveyii menimbulkan penyakit, parasit, pembusukan, dan toksin yang dapat menyebabkan kematian biota budidaya.

Bakteri Vibrio harveyii menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah. Bakteri ini termasuk jenis oportunistik pathogen yang dalam keadaan normal bakteri ini ada di dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Vibriosis merupakan penyakit yang potensial menginfeksi biota laut, baik ikan air laut maupun crustacea yang dibudidayakan maupun liar. Dalam keadaan normal, bakteri Vibrio harveyii merupakan mikroflora yang hidup pada media air laut. Kematian benur yang diakibatkan serangan penyakit vibriosis akibat infeksi dari bakteri ini mencapai 100%. Sehingga, perlu dilakukan upaya penanggulangan terhadap serangan bakteri Vibrio harveyii melalui pemanfaatan bahan-bahan alami

106

Page 116: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

antibakterial yang didapatkan melalui ekstrak buah pedada.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium-laboratorium yang ada di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Borneo Tarakan (UBT). Laboratorium tersebut diantaranya adalah: 1. Laboratorium Teknologi Budidaya Perairan, 2. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ikan, dan 3. Laboratorium Kualitas Air, dan Laboratorium Lingkungan FPIK UBT.

2.2 Ekstraksi Buah Pedada (Sonneratia

alba)

Buah pedada dikumpulkan dalam satu wadah, dicuci bersih dengan air mengalir, dan dikering-anginkan. Buah tersebut dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, dicacah, dan ditumbuk dengan bantuan mortar untuk selanjutnya menjadi simplisia pada proses maserasi. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun atau berupa bahan yang dikeringkan (Depkes RI, 1995). Simplisia dalam kegiatan ini adalah simplisia nabati berupa kulit, daging, dan biji buah pedada yang sudah dicacah kecil dan ditumbuk kasar.

Proses maserasi dilakukan dengan merendam simplisia ke dalam larutan etanol (pro analis) dengan perbandingan simplisia:etanol = 1:2. Didiamkan dalam wadah tertutup selama 3x24 jam yang bertujuan agar seluruh bagian dari simplisia yang berukuran kecil dapat bersinggungan secara optimal dengan pelarut sehingga memudahkan bahan aktif yang terkandung di dalam simplisia tertarik keluar dan memperluas permukaan singgung antara bahan dan pelarut. Selanjutnya, di hari terakhir proses maserasi dilakukan penyaringan antara larutan dan ampas simplisia menggunakan kertas saring sehingga diperoleh filtrat. Larutan filtrat yang diperoleh dari hasil maserasi diproses lebih lanjut menggunakan alat rotary

evaporator pada suhu 40 – 50 oC

selama 1,5-2 jam untuk memisahkan bahan aktif dan pelarut etanol sehingga diperoleh ekstrak pekat berbentuk pasta encer yang mengandung bahan aktif fitofarmaka buah Soneratia alba yang diduga memiliki aktivitas antibakterial untuk mengobati penyakit vibriosis yang menyerang benur windu. Pasta encer yang terbentuk pada proses evaporasi selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 60◦C secara konstan selama 3x8 jam sampai diperoleh pasta kental bioaktif Sonneratia alba.

2.3 Analisis Karakteristik Ekstrak

Pasta kental hasil akhir ekstraksi buah Soneratia alba ini diuji secara fisika terhadap kandungan kadar air dan kadar abu berdasarkan metode AOAC (2005) dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air dan kadar abu dalam suatu bahan. Semakin kecil kandungan air dalam suatu bahan, maka akan sangat berguna untuk memperpanjang daya simpan pasta kental hasil ekstraksi selama penyimpanan. Sedangkan, penetapan kadar abu pasta kental dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan senyawa anorganik yang terkandung dalam bahan, baik yang berasal dari tanaman secara alami maupun kontaminan selama proses pembuatan ekstrak berupa pasta kental.

Selain dilakukan karakteristik pengujian fisika, pada pasta kental juga dilakukan pengujian secara kimia kualitatif terhadap kandungan senyawa yang terdapat pada ekstrak yang telah diperoleh melalui uji kualitatif kandungan senyawa alkaloid menggunakan pereaksi Dragendroff (Talukdar, et al. 2010), senyawa flavonoid berdasarkan Shinoda test (Halilu, et all. 2012), senyawa saponin (Savithramma et al. 2011), senyawa tanin, senyawa triterpenoid dan steroid, senyawa karatenoid, senyawa kumarin, dan uji karbohidrat.

Karakteristik potensi fitofarmaka hasil ekstraksi buah Sonneratia alba berupa pasta kental tersebut juga dilakukan pengujian biologi secara in vitro terhadap daya hambat ekstrak Sonneratia alba terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio

107

Page 117: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

harveyii melalui metode uji kertas cakram. Bakteri dikultur pada media selektif agar TCBS (Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose) dan diberi kertas cakram yang telah direndam dengan larutan ekstrak Soneratia alba pada dosis tertentu kemudian diamati zona bening diameter rata-rata a,b, dan c (Gambar 14.1) yang terbentuk setelah 24 jam.

Gambar 14.1. Uji in vitro

2.4 Penyediaan Bakteri Uji Isolat bakteri Vibrio harveyii diperoleh

dari Laboratorium Stasiun Karantina Ikan Kota Tarakan. Bakteri tersebut diinfeksikan ke udang secara oral untuk menguji virulensinya. Setelah muncul tanda-tanda penyakit kunang-kunang pada udang, kemudian dilakukan reisolasi bakteri V.harveyii dengan cara menggoreskan jarum ose ke bagian usus. Selanjutnya goresan tersebut dibiakkan menggunakan media TCBS (Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar dalam inkubator. Selanjutnya dilakukan pengenceran berseri yaitu bakteri hasil kultur di media TCBS diambil 1 mL suspensi dan dimasukkan ke dalam tabung mikro dengan menggunakan pipet mikro, yang berisi media cair APW (Alkali Pepton Water) dan dihomogenkan dengan Vortex sampai tercampur rata dan dikultur selama 24 jam selanjutnya diuji nilai Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm hingga diperoleh nilai >0,600 selanjutnya biakan tersebut diambil 0,1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung mikro yang berisi 0,9 mL APW (pengenceran berseri 10-1 sampai 10-6) (Hadioetomo 1990). Larutan tersebut dihomogenkan kembali hingga

mendapatkan kepadatan bakteri yang digunakan untuk uji tantang secara in vitro.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Buah pedada dikumpulkan bertahap

dan disimpan rapih di dalam refrigerator hingga jumlahnya memadai. Kemudian pada proses selanjutnya, buah dibersihkan dari debu dan kotoran (dicuci dengan air bersih), dilap dengan kain bersih, dipisahkan dari tangkai buah dan kelopak buah, kemudian diseleksi berdasarkan tingkat kematangan (mentah, mengkal/setengah matang, dan matang di pohon). Proses perendaman (maeserasi simplisia) buah pedada (S.alba) menggunakan pelarut etanol. Selanjutnya, didapatkan maeserasi dari buah yang matang lebih optimum hasilnya dibandingkan kondisi buah lainnya. Diduga buah pedada yang matang di pohon memiliki kandungan senyawa metabolit yang lebih maksimal presentasenya seiring pertambahan usia kematangan buah. Pada umumnya pelarut yang digunakan adalah etanol karena etanol mempunyai polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstrak bahan lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Selain itu, etanol memiliki titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol tidak beracun dan tidak berbahaya.

Hasil revaporasi larutan filtrasi didapatkan ekstrak bahan aktif sebanyak 40% (400 ml dalam 1 liter maeserasi) dengan evaporator selama 1,5-2 jam selanjutnya ekstrak pasta encer hasil revapour dioven pada suhu 60◦C konstan selama 3x8 jam untuk mendapatkan pasta kental. Pasta kental hasil dari revaporasi yang telah dioven konstan pada suhu 60’C selama 3 hari berturut-turut selama 8 jam/hari selanjutnya dikarakteristik berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi. Pada parameter fisika dilakukan pengujian kadar air dan kadar abu terhadap ekstrak pasta kental berdasarkan metode AOAC (2005) yang disajikan pada Gambar.2 dan didapatkan persentase kadar air 28.91±2,21 % dan persentase kadar abu 18.20±1,91 %.

Semakin rendah kandungan kadar air dari suatu bahan baku berarti memiliki

Kultur

V.harveyii

Zona bening

Cakram

108

Page 118: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

potensi daya simpan yang lebih lama dibandingkan bahan dengan kandungan kadar air yang tinggi. Hal ini terkait kemampuan sel mikroba dalam mengkontaminasi suatu bahan yang mengandung air berpotensi menjadi media tumbuh optimum bagi bakteri dan jamur untuk berkembang biak. Sedangkan, kadar abu suatu bahan baku dapat menggambarkan adanya potensi garam dan mineral penting yang menyusun bahan tersebut, selain juga apabila nilai kadar abu ekstrak terlalu tinggi dapat mengindikasikan adanya kontaminan atau kotoran selama proses pengerjaan bahan baku tersebut. Berdasarkan pengujian kadar air dan kadar abu terhadap ekstrak pasta kental diketahui bahwa bahan tersebut memiliki potensi masa simpan yang panjang serta memiliki kandungan garam anorganik dan mineral penting, dan

tidak terjadi kontaminasi kotoran selama pengerjaan proses ektraksi.

Gambar 14.2. Uji Kadar Air dan Kadar Abu Selanjutnya dilakukan uji kimia berupa pengujian fitokimia kualitatif (alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, steroid, karbohidrat, karotenoid, tannin, dan kumarin), diketahui dalam kandungan 1 mg ekstrak pasta kental buah pedada (S.alba) terdapat kandungan senyawa aktif yang disajikan pada Tabel.14.1 berikut ini:

Tabel 14.1. Hasil Uji Kualitatif

No Sampel Alk Flv Sap Tri Ste Karb Krt Kum Tan

1 SB + + - + - + + + + 2 SL + + - + - nt Nt nt +

Keterangan : Alk = alkaloid, Flv = flavonoid, Sap = saponin, Tri = triterpenoid, Ste = steroid, Karb = Karbohidrat, Krt = Karotenoid, Tan = tanin, Kum = kumarin, nt = no test

Berdasarkan uji fitokimia terhadap

sampel ekstraksi etanol buah pedada diketahui bahwa bahan aktif yang terkandung dalam pasta tersebut berpeluang sebagai kandidat anti bakteri. Dari semua hasil pengujian, hanya senyawa saponin yang tidak terkandung pada ekstrak buah pedada. Umumnya, senyawa saponin terkandung pada tanaman yang memiliki cita rasa pahit seperti daun pepaya dan buah pare sedangkan buah pedada memiliki cita rasa asam yang hampir serupa dengan cita rasa asam jawa.

Beberapa bahan aktif diketahui memiliki spesifitas sebagai agen anti bakteri. Data uji fitokimia dapat dijadikan acuan awal pengujiaan anti bakteri. Beberapa bahan aktif diketahui memiliki spesifitas sebagai agen anti bakteri. Seperti halnya gugus alkohol diketahui memiliki sifat anti bakteri karena memiliki kemampuan menginterkalasi DNA.

Senyawa fenol yang terdapat dalam sampel berdasarkan uji fitokimia adalah tanin. Senyawa tanin diduga memiliki sifat anti mikroba karena kemampuannya dalam meng-inaktivasi protein enzim, dan merupakan bahan aktif permukaan. Saponin dapat mengganggu permeabilitas membran sel bakteri, sehingga sel tersebut akan lisis (Murphy, 1999).

Karakteristik ekstrak buah pedada secara biologi dengan pengujian sifat anti bakteri ekstrak menggunakan metode kertas cakram (Gambar 14.2) terhadap isoloasi kultur bakteri Vibrio harveyii pada media selektif agar TCBS. Isolat bakteri dari TCBS diambil 1 goresan jarum ose dimasukan ke dalam media cair APW (Alkaline Pepton Water) pada tabung reaksi dan divortex serta diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37C. Selanjutnya, dilakukan pengukuran nilai OD (optical density) menggunakan spektrofotometer pada panjang

109

Page 119: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

gelombang 600 nm, jika terbaca absorbansi di atas 0,600 maka koloni bakteri dapat menjadi kandidat uji tantang secara in vitro (Febriyansari, 2008).

Gambar 14.3. Uji In Vitro

Karakteristik potensi fitofarmaka hasil

ekstraksi buah Sonneratia alba berupa pasta kental tersebut juga dilakukan pengujian daya hambat ekstrak

Sonneratia alba secara in vitro terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii melalui metode uji kertas cakram. Bakteri dikultur pada media selektif agar TCBS (Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose) dan diberi kertas cakram yang telah direndam dengan larutan ekstrak Soneratia alba pada konsentrasi yang telah ditentukan dan diamati diameter zona bening yang dihasilkannya pada saat dilakukan uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyii secara in vitro. Adapun dosis ekstrak Soneratia alba (SA) yang digunakan pada penelitian ini yaitu 1%, 1,5%, 2%, 2,5% serta kontrol negatif etanol 1%, dan kontrol positif antibiotik komersil 10% didapatkan hasil yang tertera pada Tabel 14.2 sebagai berikut:

Tabel 14.2. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Buah Pedada (S.alba)

No Perlakuan-Konsentrasi

(mg/ml) Diameter Zona Bening

(cm)

1 Antibiotik-10 3,38±0,31

2 SA-10 1,57±0,13

3 SA-15 1,90±0,15

4 SA-20 2,50±0,31

5 SA-25 1,65±0.18

6 Etanol-10 0

Keterangan: S.alba (SA)

Uji aktivitas antibakteri ekstrak buah pedada bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat aktivitas antibakteri dan konsentrasi daya hambat berdasarkan konsentrasi terendah hingga tertinggi. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan metode cakram, dan diketahui bahwa sampel ekstrak dari buah pedada dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii. Bakteri V.harveyii terhambat pada semua ekstrak buah pedada pelarut etanol, sedangkan pada kontrol negatif, yakni etanol 10 ppm tidak ditunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari pelarut yang digunakan. Dengan demikian ekstrak buah S.alba sebagai antibakteri memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri V.harveyii penyebab penyakit vibriosis dan kematian pada udang windu.

IV. IKESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Ekstrak buah pedada (S.alba) pelarut etanol 100% berdasarkan pengujian kualitatif fitokimia mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid, karbohidrat, karotenoid, kumarin dan tannin. Uji antibakteri menunjukkan Vibrio harveyii terhambat pada semua ekstrak buah pedada (Sonneratia alba) pelarut etanol. Ekstrak buah pedada ini memiliki daya hambat terhadap bakteri Vibrio harveyii.

4.2 Saran

Perlu dilakukan pengujian lanjutan untuk mendapatkan kosentrasi ekstrak buah pedada optimum dengan pengujian BSLT (Brain Shrimp Lethal Toxicity) serta

110

Page 120: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dilakukan aplikasi langsung pada biota budidaya yakni udang windu (Penaeus monodon) yang diuji tantang Vibrio harveyii secara in vivo.

DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical

Chemist. 2005. The Association of official analytical chemist.16th edition. Virginia (US):AOAC.Inc Arlington.

Arifuddin, Sukenda & D. Dana, 2004. Manfaat Bahan Aktif Hidrokuinon dari Buah Sonneratia caseolaris untuk Mengendalikan Infeksi Buatan Vibrio harveyii pada Udang Windu Penaeus Monodon Fab. Jurnal Akuakultur Indonesia. 3(1):29-35 (2004).

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta

Febriyansari, NA. 2008. Pertumbuhan Bakteri Pada Media Adonan Es Krim Jenis Standar. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang.

Hadioetomo, R. S. 1990 Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Gramedia. Jakarta. 103 hlm.

Halilu M., Abubakar, A., Garba MK., Isah, AA. 2012. Antrimicrobial and preliminary phytochemical studies of methanol extract of root bark of Crossopteryx febrifuga (Rubiaceae). Journal of Applied Pharmaceutical Science 2(12):66-70.

Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA,Staley Jt, Williams ST, 1998. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Williams & Wilkins. Baltimore.

Lightner. D. V. 1996. A Hand Book of Pathology and Diagnotic Procedures for Disease of Culture Penaed Shrimp. The world Aquaculture Society. 1-8 p.

Manalu, Ruth Dwi Elsa. 2011. Kadar Beberapa Vitamin Pada Buah Pedada (Sonneratia caseolaris) Dan Hasil Olahannya. (Skripsi). Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Murphy, MC. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Microbiol Rev 12:564-582

Naiborhu, P.E., D. Dana & Sukenda. 2002. Ekstraksi dan Manfaat Ekstrak Mangrove (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) sebagai Bahan Alami Anti Bakteria pada Patogen Udang Windu, V.Harveyi. Tesis, Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Savithramma, N., Rao, ML. Suhrulatha, D. 2011. Screening of medicinal plants for secondary metabolites. Middle-East Journal of Scientific Research 6(3):579-584.

Susantiheni, 2012. Pembuatan Tepung Mangrove Pedada (Sonneratia caseolaris) Sebagai Usaha Untuk Memanfaatkan Hasil Yang Terbuang. http://susantiheni.wordpress.com/2012/02/25/pembuatan-tepung-mangrove-pedada-sonneratia-caseolaris-sebagai-usaha-untuk-memanfaatkan-hasil-yang-terbuang/

Talukdar, A., Das., M. Dhuta Choudhury., M. Chakraborty., B.K Dutta. 2010. Phytochemical screening and TLC profiling of plant extracts. Journal of Cellular Phsiology 219(3):766-775.

Wahjuningrum D., Sholeh S.H, dan Nurhayati S, 2006. Pencegahan Infeksi Virus White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu Penaeus monodon dengan Cairan Ekstrak Pohon Mangrove (CEPM) Avicennia sp. dan Sonneratia sp.

111

Page 121: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

GAMBARAN HISTOLOGI INSANG DAN HATI IKAN KERAPU TIKUS PADA UJI TOKSISITAS

Jane L. Dangeubun1 dan Diana S. Syahailatua2

1,2)Politeknik Perikanan Negeri Tual Jl. Raya Satheam km 5. Maluku Tenggara ( 0911-21377)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi histology hati dan insang ikan kerapu tikus pada uji toksisitas dengan menggunakan tanaman Alstonia acuminata. Berdasarkan pengamatan terhadap kerusakan jarinan hati diketahui bahwa pada konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 100 ppm, tidak mengalami kerusakan, menunjukkan sel-sel hati yang relatif normal, untuk kosentrasi 1.000 ppm dan 10.000 ppm mengalami kerusakan yang sangat berat dimana membesarnya inti sel , hepatosit membesar dan terdapat vakuola atau ruang kosong pada bagian hepatosit. Gambaran histology insang pada perlakuan konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 100 ppm, histology jaringan insang masih terlihat normal, sedangkan untuk dosis 1.000 ppm, 10.000 ppm sangat toksit karena hanya dalam beberapa waktu ikan mengalami kematian. Kata Kunci: Histologi, Kerapu, Toksisitas, Alstonia acuminate

I. PENDAHULUAN

Pengendalian penyakit bakterial pada budidaya ikan kerapu dengan menggunakan antibiotik mempunyai keuntungan bila tepat diagnosis dan dosisnya, mudah didapat dan efeknya lebih cepat teramati, namun penggunaan antibiotik secara terus-menerus menimbulkan timbulnya resistensi, adanya residu pada tubuh ikan, mencemari lingkungan yang akhirnya mematikan organisme bukan sasaran. Untuk itu perlu dicari metode lain yang lebih aman, dan efektif serta berwawasan lingkungan untuk pengendalian populasi V.alginolyticus sampai batas aman. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah ini dilakukan dengan memanfaatkan senyawa aktif dari tanaman darat Alstonia acuminata yang aman dan bersifat ramah lingkungan.

Pemberian dan pucuk A.acuminata pada pengobatan ikan kerapu tikus dengan dosis tertentu diharapkan dapat meningkatkan ketahanan tubuh ikan dan sekaligus dapat pencegah penyakit pada ikan. Untuk itu perlu dilakukan uji toksisitas terhadap ikan kerapu tikus dengan pemberian pucuk daun A.acuminata. sehingga dapat diketahui dengan jelas dosis yang tepat yang akan

diberikan kepada ikan sehingga aman bagi kesehatan ikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histology ikan kerapu tikus pada bagian organ hati dan insang.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Uji Toksisitas Ekstrak Tanaman Alstonia acuminata Terhadap Ikan Kerapu

Pada uji toksisitas ini konsentrasi

yang digunakan adalah konsentrasi rendah sampai konsentrasi tinggi. Adapun uji pelaksanaannya adalah disiapkan wadah pemeliharaan dan wadah perendaman. Masing-masing wadah dimasukkan air laut dan diberi aerasi. Ikan kerapu diadaptasikan selama 3 hari. Benih ikan kerapu berukuran 10-12 cm yang digunakan berasal dan Balai Budidaya Ambon. Benih tersebut dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan yang telah disiapkan dengan kepadatan 5 ekor/wadah. Setelah itu disiapkan wadah untuk perendaman dengan bubuk pucuk daun A.acuminata.

Selanjutnya dilakukan proses untuk memprediksi konsentrasi toksikan uji yang akan digunakan dalam uji difenitif, yaitu Ikan uji dimasukan kedalam masing-

112

Page 122: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

masing akuarium yang mengandung konsentrasi A. acuminate yang berbeda-beda yaitu 0 ppm, 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm, 10.000 ppm. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap tingkah laku ikan, hitung ikan yang mati dengan lamanya waktu sampai akhir penelitian. Kemudian tubuh ikandibedah dan diambil bagian organ insang dan hati dan lakukan pengawetan terhadap sampel sebelum dilakukan uji histology.

2.2 Prosedur Pengamatan histology

2.2.1 Tahap Fiksasi

Jaringan insang dan hati diiris dengan

ukuran 0,5 x 0,5 cm². Jaringan tersebut kemudian direndam dalam larutan fiksatif yaitu formalin 10% selama 24 jam.

2.2.2 Tahap Dehidrasi

Jaringan direndam dalam alkohol 70%

selama 24 jam. Jaringan selanjutnya direndam dalam alkohol 80%, 95%, 100% xylol + alkohol (3:1), xylol + alkohol (1:1), xylol selama 30 menit.

2.2.3 Tahap Parafinasi.

Jaringan ikan direndam dengan

menggunakan paraffin xylol, paraffin 1, paraffin II, paraffin III dalam oven bersuhu 50-60°C selama 30 menit. Selanjutnya terhadap jaringan tersebut dilakukan embedding atau pengeblokan dengan cara memasukkan jaringan dalam cetakan berisi paraffin cair. Jaringan didinginkan hingga mengeras pada suhu kamar minimal 24 jam.

2.2.4 Tahap Deparafinasi

Blok paraffin yang berisi jaringan

dipotong dengan menggunakan mikroton dengan ketebalan 5 mikron. Jaringan yang terpotong diletakan di air hangat untuk mencegah hasil pemotongan melengkung selanjutnya diletakkan diatas gelas objek dan dikeringkan sampai jaringan menempel sempurna pada permukaan gelas objek. Preparat potongan jaringan dicelupkan secara berturut-turut pada larutan xylol, alkohol 100%, 95%, 80%,

70% masing-masing selama 3-5 menit, kemudian preparat potongan jaringan dicelupkan dalam akuades selama 5 menit.

2.2.5 Tahap Pewarnaan

Preparat potongan jaringan

dicelupkan dalam larutan pewarna haemotoksilin selama 5-10 menit kemudian dibilas dengan air mengalir. Preparat potongan jaringan kemudian dicelupkan ke dalam eosin selama 5-10 menit lalu dibilas dengan air mengalir.

2.2.6 Tahap Dehidrasi

Preparat potongan jaringan

dicelupkan kembali secara berturut-turut pada larutan etanol 70%, 80%, 95%, 100% selama 3-5 menit dilanjutkan dengan alkohol absolute selama 3 menit. Preparat potongan jaringan selanjutnya dicelupkan dalam xylol selama 5 menit.

2.2.7 Tahap Mouting

Preparat yang ada dilem dengan

menggunakan DPX mounting medium, kemudian ditutup dengan cover glass jangan sampai terjadi gelembung. Preparat dibiarkan dalam suhu ruangan sampai lem mengering kemudian diamati dibawah mikroskop. Dengan pewarnaan HE, inti yang bersifat asam akan berwarna ungu tua oleh Haematoksilin yang bersifat basa, sedangkan sitoplasma yang bersifat basa akan berwarna merah oleh eosin yang bersifat asam.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Histologi Hati Ikan Kerapu Tikus

Hati merupakan organ terbesar dalam

tubuh ikan yang terletak pada bagian sirip perut dalam rongga peritoneal dan melingkupi viscera. Hati memiliki bentuk seoerti hurup U dan berwarna merah kecoklatan. Hepatosit (sel parenkim hati) bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme (Ojolo et al., 2005). Menurut Lu (1995) bahwa hati sangat rentan terhadap pengaruh zat

113

Page 123: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

kimia dan menjadi organ sasaran dari zat beracun. Hal ini terjadi karena sebagaian besar racun atau zat toksit yang masuk kedalam tubuh telah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan.

Hati merupakan organ yang sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia dan menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia atau toksikan. Sebagian toksikan yang masuk kedalam tubuh setelah diserap oleh sel epitel usus halus akan dibawa ke hati oleh vena porta hati. Ikan kerapu mengalami nekrosis karena lemak tertimbun dalam jumlah yang banyak sehingga menyebabkan kematian sel hati. Nekrosis diawali dengan terjadinya reaksi peradangan hati berupa pembengkakan hepatosit dan kematian jaringan. Tingkat kerusakan hati dikategorikan menjadi 3 yaitu: tingkat ringan yaitu pembengkkan hati yang dimulai dengan pembengkakan sel. Kerusakan tingkat sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat ditandai dengan nekrosis (Darmono, 1995).

Kerusakan hepatosit menurut Panigoro dkk (2007), dapat dibagi menjadi dua yaitu taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan akibat taksohepatik disebabkan oleh pengaruh langsung dari agen yang toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman. Kerusakan akibat trofopatik disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh usus halus di bawa ke hati.

Berdasarkan pengamatan terhadap kerusakan jarinan hati diketahui bahwa pada konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 100 ppm, tidak mengalami kerusakan, menunjukkan sel-sel hati yang relatif normal. inti sel tampak masih jelas, pada konsentrasi 10 dan 100 ppm, mulai terlihat tampak inti sel mulai mengalami pembesaran, yang menyebabkan terjadinya pelebaran hepatosit hati namun

masih bersifat normal. Hal ini disebabkan pemberian bubuk pucuk daun A.acuminata dalam konsentrasi yang kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap kerusakan jaringan hati ikan kerapu tikus. dan fungsi detoksifikasi hati baik, maka tidak akan terjadi kerusakan Hal ini ditandai dengan makin jelasnya lobuli hepar dengan vena sentralis sebagai pusatnya dan sinusoid tampak jelas.

Sedangkan pada konsentrasi 1.000 ppm dan 10.000 ppm mengalami kerusakan dengan membesarnya inti sel, hepatosit membesar dan terdapat vakuola atau ruang kosong pada bagian hepatosit. Namun untuk konsentrasi 1.000 ppm dan 10.000 ppm perubahan yang terjadi pada bagian organ hati tidak separah yang terjadi pada organ insang. Hal ini terlihat jelas bahwa inti sel, hepatosit masih terlihat jelas, sekalipun ada beberapa bagian tertentu terdapat vakuola atau bagian-bagian ruang yang kosong. Hal ini menandakan bahwa terjadinya kematian ikan kerapu akibat bubuk pucuk daun yang diberikan memiliki jumlah konsentrasi yang besar sehingga terjadinya kekurangan oksigen sehingga ikan sulit bernapas karena air perlakuan didominasi oleh bubuk pucuk daun selain itu, yang pertama sekali masuknya bubuk A.acuminata tersebut kedalam mulut ikan kerapu bersentuhan langsung dengan insang, yang mengakibatkan organ insang mengalami kerusakan lebih parah dibandingkan dengan organ hati.

Pembengkakan sel adalah bertambahnya ukuran sel akibat penimbunan air dalam sel, dimana sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat (Ressang, 1984). Pembengkakan sel disebabkan peningkatan permeabilitas sel, dimana sel tidak mampu mempertahankan homeostatis ion dan cairan sehingga terjadi perpindahan cairan ekstrasel ke dalam sel.

Pembengkakan sel juga dapat terjadi karena muatan elektolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak setimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel

114

Page 124: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler kedalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup. Hal ini akan menyebabkan sel membengkak dan kehilangan integritas membrannya. Perubahan ini terjadi akibat kerusakan membran plasma sehingga terjadi kebocoran yang mengakibatkan

ketidakseimbangan elektrolit dalam sel. Keadaan ini ion K+ keluar sel dan ion Ca2+, Na+ dan air masuk secara berlebihan ke dalam sel (Cheville, 1999). Penyebab kerusakan membran plasma antara lain substansi toksin, kondisi hiperpireksia dan gangguan keseimbangan asam-basa selular (Hibiya, 1982).

Gambar 15.1. Histologi hati ikan kerapu tikus (1) Inti sel, (2) Hepatosit (3) inti sel

membesar (4) hepatosit melebar Nekrosis pada sel sinusoid, (4) Haemorrhagic (5). Vakuola/kosong kosong, (6) Inflamasi (7) Degenerasi melemak,

3.2 Gambaran Histologi Insang Ikan

Kerapu Tikus Insang ikan merupakan organ

respirasi utama yang bekerja dengan mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya

didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Rastogi, 2007.

Hampir semua ikan, insangnya merupakan komponen penting dalam pertukaran gas. Insang merupkan organ respirasi yang secara langsung berhubungan dengan perairan. Insang terdiri atas lamella-lamela yang halus atau filamen yang menjulur keluar dari

Keterangan : A = 0 ppm, B = 10 ppm; C = 100 ppm; D = 1000 ppm E = 10.00 0 ppm

115

Page 125: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

permukaan yang tampak (Rachman, 2003). Lamela tersusun atas sel-sel epidermis tipis dan sel-sel pendukung berbentuk batang yang disebut sel tiang (pillar cel) yang mendukung aliran darah ke insang. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamella yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamella yang tersusun atas sel-sel epitel tipis pada bagian luar membaran dasar, dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam (Fujaya, 2004). Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang sangat tipis, ditutupi oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Jumlah dan ukuran lamella sangat bervariasi, tergantung tingkah laku ikan. Sedangkan menurut Hibiya (1982), permukaan dari gill lamella di tutup dengan sebuah sel epitel squamos sederhana dengan banyak kapiler yang dipisah oleh sel-sel pilar tersusun secara pararel disekitar permukaan. Sel-sel pilar yang membedakan dari sel endothelial kapiler.

Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan insang berpeluang besar terpapar oleh bahan pencemar yang ada di perairan. Kerusakan sekecil apapun dapat menyebabkan terganggunya fungsi insang sebagai pengatur osmose dan kesulitan bernafas. Pembendungan aliran darah (disebabkan trauma fisik, zat pencemar ataupun gangguan sistem sirkulasi) pada lamela akan menyebabkan edema (pembengkakan sel) di sekitar pembuluh darah yang terlihat dari perluasan jaringan antara pembuluh darah dengan lapisan epitel lamela primer. Hoole et al. (2001) menyatakan bahwa pembendungan dan edema akan mengurangi efisiensi difusi gas dan dapat berakibat fatal seperti kematian. Difusi gas terganggu karena luas permukaan serap pada lamela sekunder insang menyempit.

Perubahan gejala klinis yang disebabkan oleh uji toksisitas dari tanaman bubuk pucuk daun A.acuminata, pada perlakuan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, histology jaringan insang masih terlihat normal, sekalipun sudah kelihatan terjadi pembengkakan lamella primer dan pelebaran lamella sekunder dan sel-sel

menjadi besar akibat pada lamella sekunder terjadi penimbunan lamella yang berlebihan diruang interseluler sekaligus peningkatan ukuran sel pada pada lamella sekunder pada dosis 100 ppm.

Perlakuan kosentrasi 1.000 ppm dan 10.000 ppm menunjukan terjadinya edema, pada lamella sekunder, hyperplasia penyatuan lamella sekunder, penebalan lamella primer yang menyebabkan hilangnya struktur lamella sekunder dan lamella primer. Terjadinya edema akan diikuti oleh lepasnya epitel dari lamela sekunder yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi epitel sebagai penangkap gas terlarut. Robert (2001), menyatakan bahwa pembengkakan pada lamella sekunder dapat dihubungkan dengan edema lamela, hipertropi sel epitel (bertambahnya ukuran atau volume suatu bagian tubuh karena peningkatan ukuran dari sel-sel individu), dan perubahan pada dasar arsitektur sel tiang. Sedangkan hyperplasia menyebabkan bersatunya dua lamela sekunder hilangnya sutruktur lamella sekunder dan rusaknya filament. Ikan perlakuan pada konsentrasi 1.000 ppm dan 10.000 ppm mengalami keruskan berat yang menyebabkan hanya dalam waktu 2 jam ikan mengalami kematian pada konsentrasi 1.000 ppm dan 30 menit untuk perlakuan 10.000 ppm..

Terjadinya kerusakan berat pada organ insang dimana insang sebagai organ respirasi yang secara langsung berhubungan dengan lingkungan wadah akuarium. Pada waktu air mengalir menyebabkan lamella primer merentang sehingga lamella sekunder saling bersentuhan. Kerusakan yang terjadi akibat pemberian dosis yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan sistim kekebalan tubuh ikan menjadi terganggu dan insang tidak bisa bekerja dengan secara maksimal yang menyebabkan kerusakan pada jaringan insang. Selain itu juga tingginya konsentrasi menyebabkan ikan tidak mampu melakukan proses respirasi dengan baik.

Hal ini disebabkan meningkatnya konsentrasi yang diberikan mengakibatkan toksit bagi ikan kerapu, sehingga sistim imun dalam tubuh ikan tidak mampu

116

Page 126: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

bertahan. Hal ini sesuai dengan Harbone (1987) bahwa pemberian dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan toksin bagi ikan, menyebabkan sistim kekebalan

tubuh ikan menjadi lemah mengakibatkan terjadinya kerusakan sel pada organ insang.

Gambar 15.2. Histologi insang ikan kerapu tikus : (1) Lamela primer; (2) Lamella sekunder, (3) Sel pilar, (4) Hyperplasia pada lamela sekunder, (5) sel eritrosit, (6) Hypertropi pada insang, (7) Peleburan lamela sekunder, (8) hilangnya struktur lamella sekunder, (9) kehilangan struktur lamella primer

3.3 Tingkah Laku Ikan Pada Uji

Toksisitas

Perlakuan konsentrasi pada 0 ppm dan 10 ppm, Ikan berenang aktif, agresif mengelilingi wadah, sesekali berenang aktif di pertengahan, kepermukaan dan kembali ke dasar. Selama 1 jam 30 menit, Ikan masih aktif berenang. Ikan bergerak tenang pada satu posisi

permukaan dan langsung turun ke pertengahan, tidak tenang dan mulai tidak stabil. Ikan ikan berjauhan dan berdekatan lagi di pertengahan.. Pengamatan pada ke-2 jam berikutnya, keseimbangan ikan mulai tidak stabil dan kurang aktif di pertengahan. Bergerak berdekatan dan berjauhan di pertengahan dan kembali bergerak berdekatan lagi di pertengahan. Ikan bergerak berpencar dan kembali

Keterangan : A = 0 ppm, B = 10 ppm; C = 100 ppm; D = 1000 ppm E = 10.000 ppm

117

Page 127: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

berdekatan lagi. Ikan turun ke dasar dan kembali berenang di pertengahan dengan sirip, dan kemudian kembali ke dasar akuarium.

Sedangkan konsentrasi 1.000 ppm pada menit ke-30 ikan berenang lebih cepat dan cenderung terkonsentrasi pada aerasi, kemudian sekali-kali ikan berenang ke permukaan air dan setelah itu kembali ke dasar akuarium. Pada menit ke-60 ikan berenang lambat, keseimbangan mulai hilang terlihat mulai lemas, banyak mengeluarkan lender, posisi mulut terbuka pada kurang lebih 2 jam kemudian ikan mulai berenang lambat dengan posisi tubuh yang miring,mulut berbusa kemudian perlahan-lahan mati.

Perlakuan pada konsentrasi 10.000 ppm dari bubuk pucuk daun A.acuminata terhadap ikan kerapu bebek yang kurang lebih 30 menit perendaman dan mampu mematikan semua hewan uji pada dosis tersebut. Dengan gejala awal pada 15 menit pertama ikan berada pada dasar perairan dan berenang ke permukaan air, dan berenang mengelilingi wadah dan turun di dasar,dan berenang mengelilingi aerasi. kemudian turun kedasar dan berenang lebih tenang dengan posisi miring.kemudian pada menit ke 30 ikan mulai berenang lambat dan terlihat sekarat dan kemudian mati. Dengan demikian dari hasil ini diketahui bahwa 1.000 ppm dan 10.000 ppm toksit terhadap ikan sedangkan konsentrasi 10 dan 100 ppm tidak toksit dan aman bagi ikan sehingga perlu dilakukan uji pendahuluan dengan menaikan konsentrasi lebih dari 100 ppm.

IV. KESIMPULAN

Gambaran histology organ hati dan insang pada perlakuan konsentrasi 10 ppm dan 100 ppm tidak mengalami kerusakan dan masih bersifat normal sementara pada konsentrasi 1.000 ppm dan 10.pppm gambaran histology hati dan insang mengalami kerusakan berat yang mengakibatkan kematian terhadap hewan uji. dengan demikian perlu dilakukan uji lanjut untuk mendapatkan dosis yang tepat dalam pengobatan ikan kerapu tikus.

DAFTAR PUSTAKA Cheville NF. 1999. Introduction To

Veterinery Pathology . Ed ke-2. USA: Iowa State University Press. Hal: 5-25.

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Air. Jakarta: UI Press.

Halang, B. 2004. Toksisitas Air Limbah Detergen terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio) vol.1 . Hal 39 -49 Januari 2004. Lampung.

Harboume, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Alih Bahasa: Kosasih, P. dan Iwang, S. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hal 234-245.

Hibiya, T. 1982. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Features. Kodansha. Ltd. Tokyo, 315p.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 256 hal.

Lu, F. C. 1995. Toksisitas Dasar , Azas, Organ Sasaran Dan Penilaian Resiko Edisi II ditejemahkan oleh E. Nugroho, ZS Bustami dan Z Damansyah. Jakarta: UI Press

Ojolo, E.A.A., Olurin, K.B., Mbaka G.and A.D. Oluwemimo, (2005). Histopathology of gill and liver tissue of the african catfish Clarias gariepinus exposed to lead. African J. Biotechnol. 4(1) 117-122.

Panigoro. N, Astuti, M. Bahnan, Salfira, P.O., dan K. Wakita. 2007. Teknik Dasar Histology dan Atlas Dasar-dasar Histopatologi Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan Cooperation Agency. Jambi. 78 hal.

Rachman, A. 2003. Sistem Organ Pernafasan, Peredaran Darah, Ekskresi, Reproduksi, Saraf dan Hormon Pada Ikan. Fakuftas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 75 hal.

Rastogi, S.C. 2007. Essentials of Animal Physiology 4 th Ed . New Age International (P) Ltd. New Delhi.

118

Page 128: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Page 129: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

KONDISI PADANG LAMUN PULAU-PULAU KECIL DI TIMUR PERAIRAN PULAU BINTAN KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU

THE CONDITIONS OF SEAGRASS AT THE SMALL ISLANDS IN THE

EASTERN WATERS OF BINTAN ISLAND-BINTAN REGENCY RIAU ARCHIPELAGOS

Indarto Happy Supriyadi

Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih No. 1 Ancol Timur Jakarta Utara 1048

[email protected] (081213088980)

ABSTRAK

Padang lamun memiliki peran dan fungsi penting baik dari aspek ekologi, dan ekonomi. Aspek ekologi sebagai sumber utama penghasil bahan organik, habitat untuk berbagai biota, tempat asuhan, tempat memijah, sumber makanan bagi biota langka dan penyokong keanekaragaman jenis-jenis biota laut serta bernilai ekonomis dari jasa ekosistem lamun. Kegiatan pembangunan dan aktifitas masyarakat di wilayah pesisir yang terus meningkat dapat mengakibatkan kerusakan padang lamun. Saat ini kajian terkait dengan kondisi/kerusakan lamun khususnya pulau-pulau kecil masih kurang. Penelitian ini dilakukan selama 2015-2017 dengan tujuan untuk memberikan informasi kondisi padang lamun pulau-pulau kecil di timur perairan pulau Bintan. Pengambilan data keanekaragaman dan kepadatan spesies dilakukan dengan transek tegak lurus pantai. Identifikasi spesies mengacu pada McKenzie (2003) dan analisa persentase tutupan menggunakan panduan monitoring lamun oleh Rahmawati et al., (2014) serta klasifikasi kondisi lamun menurut KMNLH (2004). Hasil penelitian selama 2015-2017 ditemukan jumlah keanekaragaman lamun yaitu sembilan spesies. Spesies yang umum ditemukan yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides, sedangkan spesies jarang sekali ditemukan yaitu Halodule pinifolia. Kerapatan speseies Enhalus acoroides tidak menunjukkan perubahan selama tiga tahun. Kondisi lamun sejak 2015-2017 cenderung menurun yang diduga oleh dampak pembukaan lahan yang terus meningkat sejak 1990-2016. Oleh karena itu, pengelolaan lamun di timur perairan pulau Bintan dan pulau-pulau kecil terus dilakukan pemantauan dalam upaya melestarikan dan menjaga pertumbuhan dan perkembangan lamun.

Kata kunci: Keanekaragaman spesies, kondisi lamun, pengelolaan lingkungan

ABSTRACT

Seagrass meadow play a role important both from the aspect of ecology and economy. Ecology aspect as the main sources of organic matter, habitat for various biota, nursery, spawning, feeding ground for endangered species, supporting a high diversity of the species of marine biota as well as have an economic value of ecosystem services of seagrass. Development and community activities in the coastal areas continue to increase which caused damage of seagrass meadow. Currently the study related to the condition/damage of seagrass in smalls islands is still rare. This study was done on 2015-2017 with purpose to give information of the condition of seagrass in small islands in the eastern waters of Bintan island. Data collection diversity and density of species carried out with transek perpendicular to the beach. The identification of the species refers to the McKenzie (2003) and analysis of percentage cover using seagrass monitoring guide by Rahmawati et al., (2014) and the condition of seagrass classification according to KMNLH (2004). The result of research during the 2015-2017 found diversity of the number of seagrass is nine species. The species are often found namely Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides and, while the species is very rarely found namely Halodule pinifolia.

119

Page 130: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Enhalus acoroides speseies density showed no change over the last three years. The condition of seagrass since 2015-2017 its tendency to decline predicted by the impact of the opening of the land continued to rise since 1990-2016. Therefore, the management of seagrass in the eastern waters of Bintan Island and small islands continue to done monitoring in an effort to preserve and sustain the growth and development of seagrass.

Key Words: seagrass diversity, seagrass condition, environmental management

I. PENDAHULUAN

Lamun merupakan satu-satunya

tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang mampu hidup secara penuh beradaptasi pada lingkungan laut dengan kadar salinitas rendah (perairan payau) hingga salinitas tinggi (Halofitik). Lamun berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizoma), berakar dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas), rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pecahan karang, berpasir, pasir-berlumpur dan lumpur (Pham et al., 2006), namun berfungsi normal serta mampu melaksanakan daur generatif. Padang lamun yaitu tumbuhan lamun yang menutupi suatu areal pesisir laut dangkal pada mintakat pasang surut intertidal maupun subtidal yang dapat terbentuk oleh satu jenis lamun (monospesific) atau lebih (mix vegetation) dengan kerapatan padat (dense) atau jarang (spare).

Secara ekologis padang lamun memiliki peran penting bagi wilayah perairan pesisir. Peran tersebut diantaranya yaitu sebagai sumber utama produktivitas primer/penghasil bahan organik, habitat berbagai biota (360 jenis ikan 60 diantaranya bernilai ekonomis tinggi, 117 jenis makro alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustacea dan 45 jenis echinodermata), substrat bagi biota penempel, tempat asuhan bagi larva ikan dan biota lainnya, sumber makanan bagi endangered species seperti duyung (Dugong dugon), penyu dan kuda laut (Hippocampus sp), tempat berlindung dan tempat pembesaran beberapa jenis biota, dan krustase komersial penting (Pioneer et al., 1989 & Gray et al., 1996), menyokong tingginya keanekaragaman dan jenis-jenis biota laut (Texas Park & Wildlife, 1999).

Secara fisik, padang lamun dapat menstabilkan subtrat dasar yang lunak dan memperlambat arus sepanjang pantai. Padang lamun juga mempunyai nilai ekonomi yaitu pada jasa ekosistem lamun sekitar IDR 21.014.756 (Wawo et al., 2014) dan dari sektor pariwisata, perikanan dan fungsi padang lamun bernilai Rp.20.579.103/tahun/ha (Dirhamsyah, 2007). Peran dalam skala global yaitu menjaga kestabilan pH air laut dan penyimpan karbon, memiliki konektivitas dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Padang lamun sangat efektif menyerap CO2 dengan serapan sebesar 1.867 ton/km2 (48%) relatif lebih tinggi dibandingkan mangrove sebesar 806 ton/km2 (21%) dan karang sebesar 1.197 ton/km2 (31%) (Simamora, 2010). Karena perannya yang sangat komplek sehingga padang lamun dapat dikatakan sebagai salah satu ekosistem yang paling produktif di suatu perairan dan dikenal sebagai ekosistem laut yang penting (Fortes, 1990 & Thangaradjon et al., 2007).

Kegiatan pembangunan dengan membuka lahan di daratan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terus meningkat akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan padang lamun. Menurut Short & Wyllie-Echeverria (1996) dan Duarte (2002), bahwa perubahan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia di wilayah pesisir pantai yang terus menerus lebih cepat dari pada pemulihan pertumbuhan lamun, mempunyai kontribusi besar terhadap kerusakan padang lamun. Topografi Pulau Bintan umumnya dicirikan berbukit-bukit dan pada perairan timur Pulau Bintan terdapat dua sungai besar, hal ini diduga dapat berkontribusi menurunkan kualitas perairan di pulau-pulau kecil sekitarnya (Pulau Mangkil, Mapur, Numbing dan pulau Beralas Pasir), jika pembukaan lahan tidak dikelola dengan baik dan

120

Page 131: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

terpadu. Pulau-pulau tersebut merupakan lokasi tumbuh dan berkembangnya lamun serta pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni. Tingginya kegiatan lalu lalang perahu nelayan juga dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan padang lamun (Engemen et al., 2008). Kerusakan lamun dapat juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap fungsi dan manfaat padang lamun oleh sebagian masyarakat nelayan yang hal ini dapat diperlihatkan melalui kegiatannya (budidaya) pada habitat padang lamun. Oleh karena itu, tujuan paper ini yaitu memberikan informasi khususnya kondisi padang lamun di pulau-pulau kecil melalui pemantauan secara berkala dalam upaya menjaga dan melestarikan padang lamun di wilayah perairan timur Pulau Bintan.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Pengumpulan Data dan Lokasi

Kegiatan pengumpulan data lamun (keanekaragaman, kepadatan spesies,

dan persentase tutupan) pulau-pulau kecil dan timur perairan Pulau Bintan dilakukan Kegiatan pengumpulan data lamun (keanekaragaman, kepadatan spesies, dan persentase tutupan) pulau-pulau kecil dan timur perairan Pulau Bintan dilakukanoleh Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)-LIPI pada 2017 dan kegiatan kerjasama antara P2O-LIPI dengan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) khususnya Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada 2015-2016 yaitu melalui kegiatan pemantauan kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait (mangrove dan lamun) COREMAP-CTI III (2015-2019). Adapun lokasi pemantauan kondisi padang lamun pulau-pulau kecil di timur perairan Pulau Bintan yaitu Trikora (Malangrapat), Pulau Beralaspasir, Pulau Mapur, Pulau Mangkil dan Pulau Numbing di sajikan pada gambar berikut ini.

Gambar 16.1. Lokasi pemantauan padang lamun (* KRILLM) tahun 2015-2017

121

Page 132: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

2.2 Identifikasi Spesies

Identifikasi keanekaragaman spesies lamun dilakukan dengan cara sampling transek tegak lurus garis pantai ke arah tubir sepanjang 100 m atau kurang 100 meter sesuai lebar sebaran padang lamun. Lamun pada bingkai berukuran (50 x 50) cm2 diidentifikasi dan dicatat spesiesnya dengan mengacu pada pedoman identifikasi lamun McKenzie (2003). Transek tegak lurus diulang dari titik tengah pada jarak 50 m (kiri) dan 50 m (kanan) Rahmawati et al., (2014).

2.3 Kondisi Lamun

Dalam penentuan kondisi padang

lamun di Indonesia, saat ini belum ada standar penilaian yang secara jelas dapat digunakan. Rujukan penentuan kondisi padang lamun saat ini dapat mengacu pada standar Keputusan Menteri Negara Lingkungn Hidup No, 200 Tahun 2004 tentang status dan kerusakan padang lamun yang berdasarkan persentase tutupan lamun, yaitu kategori sehat

(≥60%), kurang sehat (30–59,9%), dan miskin (<29,9%). Dalam kajian pemantauan kondisi lamun saat ini mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2004 No. 200 dengan memodifikasi kategori ‘sehat’ menjadi ‘baik’ (≥60%), ‘kurang sehat’ menjadi ‘sedang’ (30-59,9%), dan ‘miskin’ menjadi ‘jelek’ (<29,9%). Penghitungan atau istimasi persentase tutupan lamun pada setiap bingkai (50x50) cm2 mengacu pada panduan monitoring lamun oleh Rahmawati et al., (2014).

III. HASIL PENELITIAN

3.1 Karakteristik Pesisir Pulau-Pulau Kecil Karakteristik pesisir terutama perairan

pantai (rataan terumbu, lebar pantai, substrat, perairan terbuka atau semi terbuka dan terbuka) di beberapa lokasi pulau-pulau kecil dan timur perairan pulau Bintan dapat dilihat pada gambar berikut

Malangrapat (KRILLM01)

Malangrapat (KRILLM02)

P. Beralaspasir (KRILLM03)

P. Mapur (KRILLM04)

P. Mapur (KRILLM05)

P. Mapur (KRILLM06)

P. Mangkil (KRILLM07)

P. Numbing (KRILLM08)

Gambar 16.2. Karakteristik lingkungan pesisir pantai di beberapa lokasi pemantauan lamun

Karakteristik pesisir terutama perairan

pantai (rataan terumbu, lebar pantai, substrat, perairan terbuka atau semi

terbuka dan terbuka) di beberapa lokasi pulau-pulau kecil dan timur perairan pulau Bintan berbeda-beda, yang selanjutnya

122

Page 133: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan serta kondisi padang lamun itu sendiri. Pesisir pantai Trikora-Desa Malangrapat (KRILLM01 dan KRILLMN02) yang berada pesisir daratan pulau Bintan dicirikan dengan pantai berpasir, lingkungan jauh dari pemukiman penduduk dan merupakan salah satu bagian dari Kawasan Perlindungan Lamun Daerah (KPLD) akan berbeda karakteristik lingkungannya dengan pulau-pula kecil di sekitar timur Pulau Bintan. Pulau Beralaspasir (KRILLM03), pulau Mapur (KRILLM04,05 dan 06), pulau Mangkil (KRILLM07) serta pulau Numbing (KRILLM08) mempunyai karakteristik atau dicirikan tipe pantainya satu sama lain berbeda-beda seperti berpasir, berbatu, berbakau, pantai dengan rataan terumbu yang lebar, sempit dan terjal. Posisi pulau dengan perairan terbuka, semi terbuka dan terbuka laut lepas serta pulau yang berpenduduk dan tidak berpenduduk. Karakteristik lainnya yaitu pulau dengan muara sungai dan pulau yang dijadikan sebagai aktifitas masyarakat nelayan.

3.2 Keanekaragaman Spesies Lamun

Hasil identifikasi spesies lamun

sejak 2015-2016 terdapat sembilan

spesies lamun di pulau-pulau kecil dan timur perairan Pulau Bintan antara lain Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea serrulate dan Thalasodendron ciliatum. Di seluruh perairan pulau Bintan pernah ditemukan keanekaragaman spesies lamun yaitu 10 spesies (Kuriandewa & Supriyadi, 2006). Satu spesies lamun yang belum ditemukan di perairan pulau-pulau kecil dan timur pulau Bintan yaitu Halophila dicipient yang dimungkinkan berada di lokasi perairan lain (Tanjung Berakit) atau telah mengalami degradasi (perlu kajian mendalam). Dari sembilan spesies lamun yang teridentifikasi, spesies yang umum ditemukan di pulau-pulau kecil dan timur perairan pulau Bintan secara berurutan sebagai berikut Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulate, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium, sedangkan spesies yang jarang sekali ditemukan yaitu dan Halodule pinifolia* dan Thalasodendron ciliatum* Gambar 16.3.

Gambar 16.3. Keanekaragaman spesies lamun di pulau-pulau kecil dan timur perairan Pulau Bintan (* Spesies jarang sekali ditemukan).

123

Page 134: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IV. PEMBAHASAN

4.1 Keanekaragaman dan Dominasi Spesies Sebaran keanekaragaman spesies

lamun di pulau-pulau kecil (Pulau Beralaspasir, Mapur, Mangkil dan Numbing) dan timur perairan Pulau Bintan ditemukan sembilan spesies lamun antara lain Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Syiringodium isoetifolium, Thalasodendron ciliatum dan Halodule pinifolia. Hasil identifikasi spesies pada 2017 ditemukan sembilan spesies atau sama jumlahnya dengan hasil identifikasi pada 2015 dan 2016 (UMRAH, 2016 unpublished), artinya keanekaragaman spesies belum

mengalamai perubahan. Dari sembilan spesies yang ada di pulau-pulau kecil dan timur perairan Pulau Bintan, spesies yang sering ditemukan baik pada 2015, 2016 dan 2017 yaitu Thalassia hemprichii, dan Enhalus acoroides. Persentase masing-masing spesies tersebut relatif tinggi yaitu berkisar 30-40% (Enhalus acoroides) dan 26-36% (Thalassia hemprichii), jika dibandingkan dengan spesies lainnya yang umumnya kurang dari 10 % (Gambar 4). Hasil pemantauan spesies yang jarang ditemukan yaitu Halodule uninervis dan Halodule pinifolia (2015), Halophila ovalis dan Halodule pinifolia (2016), sedangkan spesies Thalassodendron ciliatum dan Halodule pinifolia (2017). Pemantauan selama tiga tahun spesies yang jarang ditemukan yaitu spesies Halodule pinifolia (Gambar 16.4).

Gambar 16. 4. Dominasi spesies di timur perairan P. Bintan dan pulau kecil 2015, 2016 dan dan pulau-pulau kecil sekitarnya

4.2 Kerapatan Spesies Lamun

Dalam pemantauan kondisi lamun

tidak semua spesies lamun dilakukan penghitungan tingkat kerapatannya, khusus dalam pemantauan kondisi/kesehatan lamun saat ini hanya spesies Enhalus acoroides (Rahmawati, et al. 2014). Hasil penghitungan secara menyeluruh rerata tingkat kerapatan spesies Enhalus acoroides berkisar 17-42 individu/m2 (2017), 20-36 individu/m2

(2016) dan berkisar 17-41 individu/m2 (2015). Rerata hasil penghitungan tingkat kerapatan spesies Enhalus acoroides selama tiga tahun terdapat sedikit perubahan yaitu 31 ind/m2 (2015), 29 ind/m2 (2016) dan 31 ind/m2 (2017) atau relatif tidak ada perubahan tingkat kerapatannya. Perubahan kerapatan meningkat terjadi di selatan pulau Mapur (KRILLM05) dan Malangrapat (KRILLM01 dan KRILLM02). Kecenderungan kerapatan meningkat yaitu di Mapur sisi

Ea Th Cr Cs Ho Hu Hp Si Tc

2015 40.1 26.42 6.16 10.8 1.52 0.85 0.19 2.65 1.61

2016 29.8 36.2 4.70 8.40 0.90 1.70 1.10 2.80 1.4

2017 36.90 31.6 8.50 4.60 6.10 6.90 0.90 4.30 0.30

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Dominasi Spesies (%)

124

Page 135: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

timur (KRILLM06) dan pulau Numbing (KRILLM08), sedangkan kerapatan menurun di temukan di pulau Beralas

Pasir (KRILLM03), sisi barat Pulau Mapur (KRILLM04) dan kecenderungan menurun (KRILLM07) (Gambar 16.5)

Gambar 16.5. Perubahan tingkat kerapatan spesies Enhalus acoroides di timur perairan

Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya 4.3 Kondisi Lamun

Persentase tutupan lamun rerata

32,06 % (2017) relatif tidak banyak berubah, jika dibandingkan 32,9% (2016), namun cukup signifikan bila dibandingkan 48,13 % (2015). Persentase tutupan lamun ada kecenderungan menurun sejak 2015 sampai 2017 (Tabel 16.1). Dari Tabel 16.1 terlihat perubahan kondisi lamun terjadi di pulau Mangkil (KRILLM07) dan pulau Numbing (KRILLM08) dari kondisi ‘sedang’ menjadi ‘jelek’, demikian halnya pantai Trikora-Malangrapat (KRILLM01 dan KRILLM02) juga cenderung menurun dari kondisi ’baik’ menjadi ‘sedang’ dan kondisi lamun tetap ‘jelek’ terjadi hanya terjadi di sisi barat pulau Mapur (KRILLM04). Berdasarkan perbandingan persentase tutupan lamun di setiap lokasi pemantauan sejak 2015, 2016 dan 2017 (Gambar 6), persentase tutupan relatif tinggi di seluruh lokasi pemantauan terjadi pada 2015, dibandingkan dengan 2016 dan 2017. Kecenderungan kondisi lamun membaik terjadi 2016-2017 hanya di pulau Mangkil (KRILLM07) dan Trikora (Malangrapat) selebihnya terjadi penurunana seperti pulau Beralaspasir (KRILLM03), pulau Mapur (KRILLM04,KRILLM05 dan KRILLM06), dan pulau Numbing

(KRILLM08). Penurunan kondisi lamun di pulau-pulau kecil dan timur perairan pulau Bintan diduga akibat dampak perubahan pembukaan lahan di daratan pulau Bintan yang terus meningkat sejak 1990-2016 (Supriyadi et al, 2017 in press).

Pada tahun 2008 telah dihitung luas lamun di timur perairan Pulau Bintan sampai perairan Tanjung Berakit dengan menggunakan data citra Landsat-7 ETM rekaman 29 April 2006 yaitu sekitar 2.586 ha (Waouthuyzzen et al., 2008), namun luas tersebut belum termasuk luas yang ada di pulau-pulau kecil dan diprediksi beberapa tahun terakhir ini menurun. Hasil analisa data citra satelit sejak 1990-2016 terlihat pembukaan lahan terus meningkat dan mengakibatkan tingginya sedimen transport ke perairan dangkal. Dampak yang terjadi yaitu persentase tutupan lamun menurun sejak 2006-2016 (Supriaydi et al., 2016) dan luasan padang lamun diduga akan cenderung menurun. Hasil pemetaan habitat dasar perairan dangkal dengan menggunakan citra satelit SPOT-5 didapatkan keberadaan lamun hanya 22 %, pasir 30 %, alga 12 %, karang hidup 16 % dan selebihnya persentase campuran antara alga, karang hidup dan karang mati (Indayani, 2016). Hasil penelitian ini memperkuat dugaan bahwa dampak pembukaan lahan

125

Page 136: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

terhadap kondisi lamun di timur perairan pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya dapat berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan lamun atau kondisi lamun saat ini.

Tabel 16.1. Analisa data persentase tutupan lamun dan kerapatan spesies Enhalus acoroides pada 2015, 2016 dan 2017

No. Lokasi/Pulau Stasiun

Tutupan Lamun Kondisi Lamun

Kerapatan

(%)

Ea (indv/m2)

2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017

1 Trikora (Ds. Malangrapat)

KRILLM01 64.77 43.94 49.81 Baik sedang sedang 19 28 40

2 Trikora (Ds. Malangrapat)

KRILLM02 65.91 49.43 50.00 Baik sedang sedang 18 20 40

3 Beralas Pasir KRILLM03 35.8 33.15 26.00 sedang sedang jelek 30 28 17

4 Mapur sisi Barat

KRILLM04 28.41 13.26 10.42 Jelek jelek jelek 52 36 20

5 Mapur sisi Selatan

KRILLM05 50.44 39.96 36.55 sedang sedang sedang 24 34 42

6 Mapur sisi Timur

KRILLM06 51.33 36.93 35.25 sedang sedang sedang 43 30 34

7 Mangkil KRILLM07 49.24 20.83 26.89 sedang jelek jelek 17 28 22 8 Numbing KRILLM08 39.14 25.72 21.59 sedang jelek jelek 41 27 33

Rerata 48.13 32.90 32.06

- - 31 29 31

Gambar 16.6. Perbandingan tutupan lamun di timur perairan P. Bintan dan pulau-pulau

kecil sejak 2015, 2016 dan 2017

Kecenderungan kondisi lamun berdasarkan persentase tutupan sejak 2015 menurun hampir di semua lokasi, jika dibandingkan 2016-2017. Khususnya pada 2016-2017 yaitu di Pulau Beralaspasir (KRILLM03), pulau Mapur (KRILLM04, KRILLM05 dan KRILLM06), dan pulau Numbing (KRILLM08) (Gambar 6). Berdasarkan pemantauan kondisi lamun selama tiga tahun tersebut, penurunan kondisi lamun cenderung terjadi pada pulau-pulau kecil, sedangkan di perairan Trikora-Malangrapat (KRILLM02) relatif stabil kondisinya dan

bahkan kecenderungan membaik (KRILLM01) dan pulau Mangkil (KRILLM07) (Gambar 14.6). Kondisi pertumbuhan yang cenderung membaik pada perairan pantai Trikora-Malangrapat, karena selain perairan tersebut merupakan Kawasan Perlindugan Padang Lamun Daerah (KPPLD), diduga perairan mendapatkan suplai nutrient relatif tinggi yaitu hasil runoff yang terjadi dua kali saat puncak hujan pada April/Mei dan November/Desember. Hal ini dapat diperkuat dari hasil analisa nilai konsentrasi parameter kesuburan (Fosfat,

KRILLM01

KRILLM02

KRILLM03

KRILLM04

KRILLM05

KRILLM06

KRILLM07

KRILLM08

2015 64.77 65.91 35.8 28.41 50.44 51.33 49.24 39.14

2016 43.94 49.43 33.15 13.26 39.96 36.93 20.83 25.72

2017 49.81 50 26 10.42 36.55 35.25 26.89 21.59

0

10

20

30

40

50

60

70

Tutupan Lamun (%)

126

Page 137: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Silikat dan Oksigen) di perairan timur pulau Bintan menunjukan nilai 0,021 mg/liter (hujan) lebih tinggi 0,005 mg/liter (kemarau), Silikat 0,209 mg/liter (hujan) dan 0,169 mg/liter (kemarau) dan Oksigen 5,73 mg/liter (hujan) dan 4,3 mg/liter (kemarau) (Supriyadi et al, 2015 unpublished). Dampak pembukaan lahan selain menimbulkan penurunanan kualitas perairan melalui sediment transport, namun sisi lain juga menambah kesubuan perairan dengan bertambahnya nutrient yang terbawa ke perairan. Oleh akena itu, pengelolaan dan pengaturan pembukaan lahan secara terpadu menjadi sangat penting di dalam menjaga dan melestarikan padang lamun di timur perairan pulau Bintan dan khususnya pulau-pulau kecil sekitarnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil identifikasi spesies

lamun diketahui keanekaragaman spesies lamun di timur perairan pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya yaitu sembilan spesies antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan Thalassodendron ciliatum. Kenaekaragaman spesies lamun selama tiga tahun (2015-2017) tidak mengalami perubahan. Spesies lamun yang sering ditemukan yaitu Thalassia hemprichii, dan Enhalus acoroides, sedangkan spesies yang jarang sekali ditemukan yaitu Halodule pinifolia. Tingkat kerapatan khususnya spesies Enhalus acoroides relatif tidak berubah selama tiga tahun yaitu berkisar (29-31) indv/m2.

Kondisi padang lamun ada kecenderungan menurun selama tiga tahun, namun beberapa lokasi pulau Mangkil dan Trikora-Malangrapat menunjukan kecenderungan membaik terutama tahun 2016-2017. Penuruan kondisi lamun diduga lebih banyak disebabakan dampak pembukaan lahan yang terus menerus meningkat sejak 1990-2016. Oleh akena itu, pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menjadi

sangat penting di dalam menjaga dan melestarikan padang lamun di timur perairan pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

5.2 Saran

Pertumbuhan dan perkembangan

lamun khususnya di pulau-pulau kecil perlu terus mendapatkan pemantauan untuk mengetahui atau melihat pengaruh perubahan lingkungan selain diduga dampak pembukaan lahan yang memiliki kontribusi besar dan juga faktor lainnya yang saat ini belum diketahui secara pasti.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kegiatan pematauan kondisi lamun di

timur perairan Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya tidak terlepas dari hasil kerjasama yang baik saat pengambilan data lapangan yaitu Bapak Syarvidin Alustco dan Bapak Swenly dari Dinas Kelautan dan Perikanan-Kabupaten Bintan Kepulauan Riau.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Suharsono, M.Sc. selaku koordinator Coremap-CTI III (2015-2019) dan Ir. Hendrik C.W. selaku koordinator kegiatan Reef Health Monitoring (RHM) di Bintan yang telah mengijinkan data pemantauan lamun dapat penulis pergunakan dalam penulisan makalah. Terima kasih juga atas bantuan Sdr Abu Salatolohi yang telah membantu dalam pembuatan peta lokasi pemantauan.

DAFTAR PUSTAKA Dirhamsyah 2007. An economic valuation

of seagrass ecosystems in East Bintan, Riau Archipelago, Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia,33: 257-270.

Duarte C M. 2002. The future of seagrass meadows. Environ. Conserv., 29:192-206.

Engeman R M, J A Dugnesnel, E M Cowan, H T Smith, S A Shwiff & M Karlin 2008. Assessing Boat damage to Seagrass Bed habitat in a Florida Park Fram a Bioeconomic

127

Page 138: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

prospective. Jurnal of Coastal Rsearch, 24(2): 527-532.

Fortes M D 1990. Seagrass: A Resources unknown in the ASEAN region. United State Coastal Resources Management Project. Eduacation Series No. 646 p.

Gray C A, D J McElligoot & R C Chick. 1996. Intra and inter estuary differences in a assemblages of fish associated with shallow seagrass and bare sand. Marine Freshwater Res., 47: 723-735.

Indayani, A. B. 2016. Pemetaan Habiatat dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit SPOT-5 di Pesisir Bitan Timur Kepulauan Riau. Skripsi Sarja Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB-Bogor.46 hal.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 tentang, Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. 16 hal.

Kuriandewa, T. E. & I.H. Supriyadi. 2006. Seagrass mapping in East Bintan coastal area Riau Archipelago, Indonesia. Coastal Marine Science. 30 (1): 154-161.

McKenzie, L.J. 2003. Guidelines for the rapid assessment and mapping of tropical seagrass habitats (QFS, NFC, Caims) 46 pp.

Pham M T, H D Nguyen, X H Nguyen & T L Nguyen. 2006. Study on the variation of seagrass population in coastal waters of khanh Hoa Province, Vietnam. Coastal Marine science, 30 (1): 167-173.

Pioneer I R, D I Walker & R G. Coles. 1989. Regional studier seagrass of tropical Australia. Biology of Seagrass: a treatise on the Biology of seagrass with special reference to the Australian region. A.W.D. Larkum, A.J.McComb & S.A. Shepard (Eds.). Elsevier Amsterdam. 279-303 pp.

Rahmawati S, A Irawan, I H Supriyadi, M H Azkab. 2014. Panduan monitoring padang lamun. Malikusworo Hutomo dan Anugerah Nontji (Eds). CRITC, COREMAP-LIPI. Jakarta, 37 halaman.

Short F T & Wyllie-Echeverria S. 1996. Natural and human-induced

distribution of segrass. Environ Conrsev., 23:17-27.

Simamora A P. 2010. Look to sea as potensial carbon sink. http://Batavia.co.id/node/100393.Govt. (Diunduh February, 2010)

Supriyadi, I.H., S. Tarigan, M. Muchtar, T. Sidabutar, M.Y. Iswari, Nurhayati, W. Kiswara, A. Purwandana, dan R. Rositasari. 2015. Kajian Dampak dan Adaptasi Gejala Perubahan Iklim Global: Studi Kasus Perairan Timur Pulau Bintan Kep. Riau. Laporan Akhir. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. 45 hal.

Supriyadi, I.H., S. Tarigan, M. Muchtar, T. Sidabutar, M.Y. Iswari, Suyarso, S. Dody, A. Wahyono, Sudiyono, TRinahwati, Emiyati, Y. Marini, Y. Witasari, B. Prayuda, R. dan Rositasari. 2016. Kajian Dampak dan Adaptasi Gejala Perubahan Iklim Global: Studi Kasus Perairan Timur Pulau Bintan Kep. Riau. Laporan Akhir. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. 65 hal.

Texas Park & Wildlife. 1999. Seagrass conservation plan for Texas. Resources Protection Division. Austin TX. 79 pp.

Thangaradjon T, R. Sridhar, S Senthilkumar & S Kananau. 2007. Seagrass resources assessment in the Mandapam coast of the Gulf of Mannar Biosphere reserve, India. Applied ecology and environmental research. 6(1): 139-146. Available at: (http://www.ecology.uni-corvinus.hu, 25 April 2009).

Wawo M, L Adrianto, D G Bengen & Y Wardianto. 2014. Valuation of seagrass ecosystem services in Kotania Bay Marine Natural Tourism Park, West Seram, Indonesia. Asian Journal of Scientific Research. &:591-600. DOI: 10.3923/ajsr.2014.591.600. URL:http://scialert.net/abstract/?doi:ajsr.2014.591.600. (Diakses tanggal 12 Juli 2015).

Wouthuyzen, S., T.E. Kuriandewa, S. P. Ginting, Afdal, A. Arifin, dan A. Salatalohy. 2008. Riset untuk penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya lamun dan ekosistem terkait di wilayah pesisir Bintan Timur

128

Page 139: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Riau Kepulauan. Laporan Akhir. Program Riset Kompetitif LIPI Sub Program Sensus Biota laut – LIPI. 97 hal.

Zulfikar, A., A. Pratomo, C.J. Koenawan, D. Kurniawan, F. Idrsi, F. Lestari, H. Irawan, I. Karlina, Jumsurizah, R. D. putra, Susiana, T.S. Raza’I, W.R. Melani, dan Y. V. Jaya. 2015. Monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Kabupaten Bintan. Laporan Akhir. Coremap-CTI, Puslit Oseanografi-LIPI dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan-Universitas

Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). 71 hal.

Zulfikar, A., A. Pratomo, C.J. Koenawan, D. Kurniawan, F. Idrsi, F. Lestari, H. Irawan, I. Karlina, Jumsurizah, R. D. putra, Susiana, T.S. Raza’I, W.R. Melani, dan Y. V. Jaya. 2016. Monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Kabupaten Bintan. Laporan Akhir. Coremap-CTI, Puslit Oseanografi-LIPI dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan-Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). 81 hal.

129

Page 140: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

COASTAL COMMUNITIES INSTITUTION FOR CREATIVE AND PRODUCTIVE ENTERPRISES IN NEMBERALA VILLAGE USING INTERPRETATIVE

STRUCTURAL MODELING

Chaterina A. Paulus1, Yohanis Umbu L. Sobang2 dan Marthen R. Pellokila3 1Department of Aquatic Resource Management, Faculty of Marine Science and Fisheries,

Nusa Cendana University, Indonesia 2Department of Animal Husbandry, Faculty of Animal Husbandry,

Nusa Cendana University, Indonesia 3Department of Agribusiness, Faculty of Agriculture,

Nusa Cendana University, Indonesia

ABSTRACT

Institutions are major components in coastal economic development, especially in developing creative and productive economic activities. This study aims to map the role of institutions in such activities in Nemberala Village using Interpretative Structural Modeling (ISM). The results indicate that village and state college are two institutions that will play a major role in the first phase of development, followed by the fishermen's cooperative, community business groups and non-governmental organizations (NGOs). If this policy strategy well implemented, then the creative and productive business development for coastal communities in the village Nemberala will also be likely to be succeeding. Keywords : coastal communities, ISM, Nemberala

I. INTRODUCTION

One of the key elements in rural development, especially in coastal areas, is the capacity of local institution to develop creative and productive economic activities. This is a challenging issue since the capacity human resources in coastal villages are lacking. Hence, in order to assist local institution to enhance their capacity, a set of systematic policy framework is needed. Such a policy framework could then be used to develop creative and productive activities by identifying key enabling conditions for such activities.

Developing a systematic policy framework, however, is not a “one directional” process, rather it is two ways process involving all stakeholders of coastal communities. Therefore, an analysis of developing such a framework is needed. This study aims to address the lack of systematic approach in identifying key elements of creative and productive economic activities in Nemberala village, East Nusa Tenggara. The ISM or Interpretative Structural Modeling was used in this study oi determine key

elements for creative and productive activivites.

II. METHOD

The study is carried out using both primary and secondary data. Primary data were obtained from discussions, questionnaires, interviews, and field surveys by respondents, experts and communities in the study area, while secondary data obtained from several sources of literature and documents from several institutions associated with the research.

III. INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELING (ISM)

This research uses system approach with Interpretative Structural Modeling (ISM) method. This method can be used to assist a group, in identifying the contextual relationships between sub elements of each element that make up a system based on ideas / determinants in a complex problem (Saxena et al., 1992). Several categories of structures and categories of ideas that reflect contextual relationships between elements can be

130

Page 141: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

developed using ISM, such as influence structures (eg "sub elements Ei affect the appearance of sub elements EJ"), priority structures (eg "sub elements Ei more priority than sub elements Ej), or category of ideas (eg sub elements Ei has the same category as sub elements EJ) (Kanungo and Bhatnagar, 2002). The identification steps of relationships between sub elements in a complex system with ISM method are: 1. Identify system elements. 2. Determination of contextual

relationships between elements. 3. The establishment of Structural Self

Interaction Matrix (SSIM). This matrix is the result of expert perceptions to the contextual relationship between the elements or between the sub-elements. Four kinds of symbols to present the type of relationship are: symbols "V", "A", "X", and "O". a. The V symbol expresses a

predetermined contextual relationship between the elements Ei to Ej, but not vice versa.

b. Symbol A to express a contextual relationship that has been set between the elements Ej to the element Ei, but not vice versa.

c. Symbol X to state the contextual relationship that has been set in reciprocity between elements Ei with elements Ej.

d. The O symbol denotes the absence of a predefined contextual relationship between the elements Ei and Ej.

4. The establishment of Reachability Matrix (RM).

From the modified RM matrix, the value of Driver Power (DP) and dependence value (D) are obtained. Based on DP and D values, the elements can be classified into 4 sectors (Figure 17.1), namely: a) Autonomous sector ie sector with

low DP value and low D value. Elements that fall into this sector are generally unrelated to the system or have little connection.

b) Dependent sector ie sector with low DP and high D value. Elements that fall within this sector are elements that are not free in the system and are highly dependent on other elements.

c) Linkage sector ie sector with high DP value and high D value. Elements that fall within this sector this sector should be examined carefully for changes in these elements will impact on other elements and that will eventually come back to impact on that element.

d) Independent sector ie sector with high DP value and low D value. Elements that fall into this sector can be regarded as a free element. Any changes in these elements will impact on other elements so that the elements in this sector should also be examined carefully.

5. Partitioning level creation. 6. Formation of canonical matrix. 7. Digraph. 8. Generate ISM by moving the entire

number of elements with the description of the actual elements. ISM provides a very clear description of the elements along the groove connection system.

Figure 17.1. Matrix Driver Power-Dependence in ISM Analysis (Marimin, 2004)

131

Page 142: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IV. INSTITUTIONS INVOLVED IN CREATIVE AND PRODUCTIVE BUSINESS DEVELOPMENT IN NEMBERALA VILLAGE

Based on the expert opinion (Paulus, et al. 2017), 12 sub-elements of the institutions involved in the development of productive and creative enterprises in Nemberala village are: (L1) Rote Ndao Regency Government, (L2) related agencies, (L3) Banking/BUMN, (L5) university, (L8) foreign investor, (L9) company partner (fishery / livestock / weaving), (L10) village government, (L11) related ministry, and (L12) markets (local / national / regional / international). Figure 2 presents the results of analysis using ISM method of each sub-element of institutions involved in the development of productive and creative business development in the Nemberala village.

Figure 17.2 describes the position of institutions within the Power and dependence axis. It appears that the sub-element (L7) university, (L9) company partner (fisheries / livestock / weaving), and (L12) markets (local / national / regional / international); located on the fourth sector which is a sub-element of a very influential institution in the development of productive and creative

businesses in the Nemberala village. This sub element has a large driver power in the development of productive and creative business, and has a low dependence on other institutions.

These three sub elements constitute the key sub-elements of institutions involved in productive and creative business development programs in Nemberala Village. While the sub elements (L2) of the relevant agencies, (L3) banks / BUMN, (L4) fishermen cooperative, (L5) community business group, (L6) non-governmental organization / NGO, and (L8) foreign investor lies in sector III which is a sub-element of the linkages of other sub elements. The sub elements in this sector have great driver power over the success of the program but have a great dependence on other institutions.

However, any action against the institution's sub elements will affect the success of the program productive and creative business development and vice versa if the sub-element is getting less attention, it can affect the failure of productive business and creative program in Nemberala village. Paulus, 2016 stated that institutions play a greater role in diversifying coastal economic activities.

Figure 17.2 Institutions Matrix of Driver Power - Dependence in Nemberala Village

132

Page 143: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Sub elements (L1) Rote Ndao regency government, (L10) village government, and (L11) related ministry is a sub-element attributable to the fulfillment of other programs and if some of the other sub-elements of the institution as mentioned above are met, then these sub elements become very important. The village government plays an important role in the policy on productive and creative business programs, as well as universities that assist in conducting research and novelty in the science and appropriate technology that can be used in productive and creative business programs. On the other hand, the district government is important in providing oversight of village development policy travel in the development of productive and creative enterprises in Nemberala village.

According to Siagian (2003: 108), "Rural development is the whole process

of a series of efforts undertaken within the village environment with the aim of improving the living standards of rural communities and enhancing the welfare of the village".

The three main elements that need attention for the success of village development are: a. Community participation in

development. b. The emergence of new ideas within

the community regarding the future of their lives.

c. Applied appropriate technology and labor intensive.

The hierarchical structure of sub-institutional relationships involved in the development of productive and creative enterprises in Nemberala village can be seen in Figure 17.3.

Figure 17.3. Hierarchy Structure Elements of the Development of Productive and Creative Enterprises in Nemberala village

As can be seen in Figure 17.3, there

are six stages of involvement of each institution in the development of productive and creative enterprises in Nemberala village. Institutions that are expected to

play a role in the development of productive and creative enterprises in the first phase are universities and village governments, followed by the second phase of fishermen's cooperatives,

133

Page 144: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

community business groups and non-governmental organizations. The role of university is very important, especially in the tridharma (tripe duties of University) aspect of teaching, research and community service in the development process and can affect changes in society.

In its implementation, the participation of universities with experience in the field of community empowerment and development of resource potentials, is needed as facilitator and mediator for development of access and cooperation in developing coastal and coastal potential for community welfare.

The third stage is the banking / BUMN and foreign investors, then the fourth phase is the government of Rote Ndao Regency and related institutions such as the Office of Marine and Fisheries, the Department of Tourism, the Department of Animal Husbandry, and so forth. However, the driver power - dependence matrix (Figure 13.2) is actually the second to fourth stage there are six institutions involved in the same sector ie sector III (linkages) so that the six institutions can work together in the development of productive and creative enterprises in Nemberala village. In the fifth stage there are partner companies and markets. The sub-elements of the last institution involved are related ministries such as the Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Ministry of Tourism and Creative Economy, Ministry of Industry and Cooperatives.

V. CONCLUSION Institutions play a greater role in rural development, especialy in coastal areas. Identifying which institutions that has power and dependent positions in rural development is the first step in building a systematic polcy framework in coastal community development. This study reveals that college and village government are two institutions that will play a greater role in the first phase of development of productive and creative enterprises. The role of community,

university and village government is needed to ensure the success of productive and creative business development in Nemberala Village.

VI. ACKNOWLEDGE

The authors wish to acknowledge the Ministry of Research, Technology and Higher Education for providing the funding for this research through the MP3EI research scheme

REFERENCES Kanungo, S and V.V.Bhatnagar. 2002.

Beyond Generic Models for Information System Quality: The Use of Interpretive Structural Modeling (ISM). System Research and Behavioral Science. Syst. Res. 19, 531-549.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta.

Paulus, C. A. 2016. The Development of Sustainable Livelihoods for Peasant-Fisher in Rote Island East Nusa Tenggara. International Conference on Technology, Innovation, and Society (ICTIS) 2016. ITP PRESS. DOI 10.21063/ICTIS.2016.1021. 123p. Padang.

Paulus, C. A., dkk. 2017. Strategi Percepatan Ekonomi Wilayah dan Masyarakat Nelayan Tradisional Pulau Terluar Berbasis Optimasi Keunggulan Lokal di Kabupaten Rote Ndao. Laporan Akhir MP3EI Tahun III. Lembaga Penelitian. Universitas Nusa Cendana. Kupang.

Saxena, J. P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretative Structural Modelling. Systems Practice, Vol. 12 (6), P 651:670.

Siagian, Sondang P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit : Bumi Aksara. Jakarta.

134

Page 145: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

STUDI BIOEKOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN MODEL IMTA (INTEGRATED MULTI TROPICH AQUACULTURE)

DI KABUPATEN KUPANG

Yusuf Kamlasi1, Alexander S. Tanody2 dan Mikson M.D Nalle3 1,2,3)Politeknik Pertanian Negeri Kupang

ABSTRAK

Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya laut yang memiliki manfaat untuk industri makanan, farmasi, dan lain-lain karena rumput laut menghasilkan agar, karaginan dan alginat. Ikan kakap putih adalah ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (Euryhaline) dan merupakan ikan katadromous (dibesarkan di air tawar dan kawin di air laut). Budidaya dengan pendekatan ekosistem merupakan salah satu solusi dalam menerapkan budidaya berkelanjutan dan ramah lingkungan. Budidaya semacam ini secara tidak langsung pernah dilakukan misalnya budidaya rumput laut bandeng dan udang galah di tambak maupun sistem lainnya yang terintegrasi. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) merupakan sistem budidaya dengan pendekatan ekosistem, sistem ini memiliki perbedaan dengan polikultur karena memanfaatkan organisme bertindak sesuai dengan fungsi dalam ekosistem. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) merupakan budidaya dengan pendekatan ekosistem yang dapat diterapkan baik perikanan air tawar maupun perikanan air laut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian ekologis wilayah perairan untuk pengembangan budidaya budidaya perikanan dengan model IMTA secara berkelanjutan di kabupaten Kupang. Penelitian ini menggunakan metode metode survey untuk melihat kondisi ekologis perairan. Pada metode survey dilakukan pengukuran parameter ekologi rumput laut yaitu parameter kualitas air meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisika, kimia dan biologi perairan layak untuk dilakukan pengembangan budidaya dengan model IMTA. Kisaran suhu di perairan berkisar antara 270C-280C, salinitas diperairan bervariasi yaitu antara 28-30 ppt. Hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara 5,0-6,3 mg/l serta kecepatan arus di perairan Kupang berfluktuasi yaitu berkisar antara 16-37,55 cm/detik. Kata Kunci : IMTA, Kesesuaian ekologi, lingkungan pesisir

I. PENDAHULUAN

Sumberdaya laut merupakan potensi yang memiliki manfaat untuk kebutuhan manusia seperti industri makanan, farmasi, dan lain-lain yaitu rumput laut menghasilkan agar, karaginan dan alginat. Ikan kakap putih adalah ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (Euryhaline) dan merupakan ikan katadromous (dibesarkan di air tawar dan kawin di air laut).

Budidaya dengan pendekatan ekosistem merupakan salah satu solusi dalam menerapkan budidaya berkelanjutan dan ramah lingkungan. Budidaya semacam ini secara tidak langsung pernah dilakukan misalnya budidaya rumput laut bandeng dan udang

galah di tambak maupun sistem lainnya yang terintegrasi. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) merupakan sistem budidaya dengan pendekatan ekosistem, sistem ini memiliki perbedaan dengan polikultur karena memanfaatkan organisme bertindak sesuai dengan fungsi dalam ekosistem. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) merupakan budidaya dengan pendekatan ekosistem yang dapat diterapkan baik perikanan air tawar maupun perikanan air laut.

Budidaya polikultur atau lazim disebut budidaya multitropik antara dua jenis atau lebih hewan budidaya merupakan sistem budidaya yang dapat meningkatkan produktivitas lahan, dengan syarat hewan budidaya tersebut tidak saling mengganggu baik secara biologis maupun ekologis. Budidaya multitropik sudah sejak

135

Page 146: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

lama diterapkan oleh petani tambak di Indonesia. Budidaya multitropik apabila diterapkan pada tambak maka hasilnya didapat meningkatkan produktivitas lahan tambak.

Budidaya multitropik memiliki keunggulan dalam pengelolaan lingkungan perairan di tambak. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengkaji pengaruh budiddaya multitropik apabila diterapkan pada perairan laut bebas terutama yang ada di zona budidaya Taman Nasional Laut Sawu.

Dalam upaya memaksimalkan produksi rumput laut maka diperlukan suatu kajian dari aspek ekologis untuk kesesuaian lahan, daya dukung hingga strategi pengelolaannya yang dapat meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologi perairan untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut di wilayah perairan Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.\Sehubungan dengan itu maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pengembangan usaha budidaya perikanan yang ramah lingkungan memenuhi persyaratan lokasi dan teknis secara optimal dan berkelanjutan di wilayah perairan Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian lahan/wilayah perairan di Kecamatan Kupang Barat dalam pengembangan budidaya perikanan dengan model IMTA.

Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi tentang pola usaha tani dan teknologi budidaya perikanan dengan model IMTA untuk diterapkan oleh masyarakat di Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ikan yang diperoleh

dari perairan sekitar Teluk Kupang.

Sedangkan alat-alat yang diperlukan untuk

membantu pelaksanaan penelitian adalah

alat-alat untuk suvey kualitas air.

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana untuk menggambarkan keadaan yang aktual dan mengkaji penyebab dari gejala tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan data dalam pengembangan budidaya perikanan di kabupaten Kupang melalui kajian ekologis diperairan Kecamatan Kupang Barat dengan menggunakan metode survey

Pada metode survey dilakukan pengukuran parameter ekologi yaitu parameter meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut, keterlindungan dan keamaan.

2.3 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah (1) data utama dan

(2) data tambahan atau penunjang yang

masing-masing terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari

hasil pengukuran di lapangan. Sedangkan

data sekunder diperoleh dari hasil diskusi

dan instansi terkait.

2.4 Analisis Data

Untuk menentukkan kesesuaian lahan

suatu wilayah perairan dalam

pengembangan budidaya secara optimal

dan berkelanjutan yang menjamin

keletarian pesisir digunakan metode

analisis meliputi berdasarkan kualitas air

untuk keberlangsungan hidup. Analisis

kesesuaian lahan didasrkan pada hasil

pengukuran dan kajian pustaka untuk

menentukan kelas kesesuaian Tabel di

bawah ini:

136

Page 147: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 18.1. Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya

Parameter

Skor (S)

Tidak sesuai Sesuai Sangat Sesuai

1 3 5

1.Arus (cm/det) 2.Kecerahan (m) 3.Keterlindungan 4.Suhu (0C) 5.Kedalaman (m) 6.Gelombang (cm) 7.Salinitas (ppt) 8.DO (mg/l) 9.Keamanan

<10 atau >40 <3

terbuka <20 atau >30 <2 atau >15

>30 <28 atau >37

<4 atau>7 Tidak aman

10-20 atau 30-40 3-5

agak terlindung 20-24 1-2

10-30 34-37 6,1–7

Cukup aman

20-30 >5

terindung 24-30 2-5 <10

28-34 4-6

Aman

Sumber : Modifikasi dari Aslan (1998), DKP (2000) dan Ditjenkanbud (2005) Keterangan : Kelas kesesuaian lahan dibedakan pada tingkat kelas dan didefinisikan sebagai berikut : Kelas S1 : Tidak Sesuai, yaitu lahan atau kawasan yang tidak sesuai diusahakan untuk budidaya perikanan karena

mempunyai faktor pembatas yang berat yang bersifat permanen. Kelas S2 : Sesuai bersyarat, yaitu apabila lahan atau kawasan mempunyai pembatas yang agak serius atau berpengaruh

terhadap produktifitas budidaya perikanan. Didalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukkan teknologi dari tingkatan perlakuan.

Kelas S3 : Sangat Sesuai yaitu apabila lahan atau kawasan yang sangat sesuai untuk budidaya perikanan tanpa adanya faktor pembatas yang berarti atau memiliki faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan menurunkan produktifitasnya secara nyata.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Lingkungan Perairan

3.1.1 Suhu

Kisaran suhu di perairan Kecamatan Kupang Barat berkisar antara 27-280C. Menurut Dawes (1981), bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Selanjutnya menurut Kadi dan Atmajaya (1988), bahwa suhu yang dikehendaki pada budidaya Eucheuma berkisar antara 270C-300C. Sedangkan Ikan kakap suhu berkisar 27-300C.

3.1.2 Salinitas

Kisaran salinitas diperairan

Kecamatan Kupang Barat bervariasi yaitu antara 28-30 ppt. Menurut Wahyuningrum (2001) bahwa salinitas perairan di Teluk Lampung berkisar 23-34‰. Doty (1985), menyatakan bahwa salinitas yang dikehendaki oleh rumput laut Eucheuma yaitu berkisar antara 29-34 ppt. Sedangkan ikan kakap berisar antara 10-35 ppt.

3.1.3 Kecerahan dan Kedalaman Perairan

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kecerahan perairan di lokasi penelitian berkisar antara 4,0–7,5 meter. Kecerahan perairan erat kaitannya dengan kekeruhan, kecerahan air memberikan petunjuk tentang daya tembus atau penetrasi cahaya ke dalam air laut.

Kedalaman perairan merupakan suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan organisme untuk berinteraksi dengan cahaya (kedalaman tumbuh), kedalaman antara organisme (rumput laut) dengan substrat adalah jarak antara tanaman rumput laut dengan dasar perairan, sedangkan kedalaman perairan adalah jarak dari permukaan air hingga ke dasar perairan. Hasil pengukuran kedalaman antara organisme dengan substrat berkisar antara 4,2-12,0 meter.

3.1.4 Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara 5,0-6,3 mg/l. Oksigen terlarut di wilayah perairan lokasi penelitian ini dalam kondisi sangat bagus dan masih bersifat alami untuk budidaya perikanan karena nilai oksigen terlarut terendah adalah 5 mg/l, sebab apabila

137

Page 148: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg/l dapat diindikasikan perairan tersebut mengalami gangguan (kekurangan oksigen) akibat kenaikan suhu pada siang hari, malam hari akibat respirasi organisme air juga disebabkan oleh adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terlarut. Pernyataan tersebut di atas didukung juga oleh Standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Budidaya Perikanan) Kep-02/MENKLH/I/88 yang diperbolehkan lebih besar dari 4 mg/l.

3.1.5 Arus

Hasil pengukuran kecepatan arus di

perairan Kecamatan Kupang Barat berfluktuasi yaitu berkisar antara 16-37,55 cm/detik. Menurut Apriyana (2006) kecepatan arus untuk budidaya Eucheuma spinosum di perairan Kecamatan Bluto adalah 13-39 cm/det. Kadi dan Atmajaya (1988) yang menyatakan bahwa kecepatan arus yang baik untuk budidaya Eucheuma adalah 20-40 cm/detik. Sedangkan ikan kakap 10-30cm/det.

3.2 Kesesuaian Lahan Budidaya

Perikanan Berdasarakan hasil survey dan

analisis terhadap kesesuaian lahan dengan pendekatan data lapangan dan pustaka maka diperoleh hasil evaluasi/analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya perikanan dengan model IMTA di kabupaten Kupang kecamatan Kupang Barat.

3.3 Profil Biota

Berdasarkan analisis terhadap profil

biota maka beberapa organisme yang akan dibudidayakan antra lain :

a. Rumput Laut

Rumput laut merupakan salah satu

sumberdaya laut yang memiliki manfaat untuk industri makanan, farmasi, dan lain-lain karena rumput laut menghasilkan agar, karagenan dan alginat. Rumput laut juga memiliki kandungan karbohidrat,

protein dan sedikit lemak yang merupakan senyawa garam natrium dan kalium.

b. Ikan Kakap

Ikan kakap putih adalah ikan yang

mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (Euryhaline) dan merupakan ikan katadromous (dibesarkan di air tawar dan kawin di air laut). Sifat-sifat inilah yang menyebabkan ikan kakap putih dapat dibudidayakan di laut, tambak maupun air tawar.

c. Ikan Baronang

Ikan beronang dikenal oleh

masyarakat dengan nama yang berbeda-beda satu sama lain seperti di Pulau Seribu dinamakan kea-kea, di Jawa Tengah dengan nama biawas dan nelayan-nelayan di Pulau Maluku menamakan dengan sebutan samadar. Ikan beronang termasuk famili Siginidae, tubuhnya membujur dan memipih latural, dilindungi oleh sisik-sisik yang kecil, mulut kecil posisinya terminal. Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil. Punggungnya dilengkapi oleh sebuah duri yang tajam mengarah ke depan antara neural pertama dan biasanya tertanam di bawah kulit. Duri-duri ini dilengkapi dengan kelenjar bisa/racun pada ujungnya.

IV. KESIMPULAN

1. Hasil evaluasi/analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya perikanan yaitu daerah kecamatan kupang barat adalah sesuai atau layak untuk dikembangkan budidaya perikanan dengan model IMTA.

2. Hasil analisis terhadap profil biota maka beberapa organisme yang akan dibudidayakan antra lain Rumput laut, Ikan Kakap dan Ikan Baronang.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006. Makalah Rapat Teknis

Perencanaan Budidaya tahun 2006 di Kabupaten Kupang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang.

138

Page 149: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Anggoro, S. 1983. Permasalahan Kesuburan Perairan Bagi Peningkatan Produksi di Tambak. Semarang, Indonesia. Universitas Diponegoro.

Amarullah, 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kota Baru Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Apriyana, D. 2006. Studi Hubungan Karaketristik Habitat Terhadap Kelayakan Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Alga Eucheuma spinosum di Perairan Kec. Bluto Kab. Sumenep [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Aslan LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yoyakarta.

Astawan, M, Sutrisno, K dan Fanie, H. 2004.Pemanfaatan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Untuk Meningkatkan Kadar Iodium dan Serat Pangan Pada Selai Dan Dodol. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,15(1) : 66-67

Bird, K.T dan Benson. 1987. Sea Weed Cultivation for Renewable Resources, Elsevier Amsterdam. Oxfor New York Tokyo.

Doty, M.S. 1985. Biothecnological and Economic Approaches to Industrial Development Based on Marine Algae in Indonesian. Makalah dalam Workshop on Marine Algae in Biotechnology. Jakarta.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisisus. Yogyakarta

Iksan. 2005. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut (Eucheuma cotonii), dan Kandungan Karaginan Pada Berbagai Bobot Bibit Dan Asal Thallus Di Perairan Desa Guruaping Oba Maluku Utara. [Thesis] Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Oviantari, M. V dan I Putu Parwata, 2007. Optimalisasi Produksi Semi-Refined Carrageenan Dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii Dengan Variasi Teknik Pengeringan Dan Kadar Air Bahan Baku Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora. 1(1) : 62-71.

Kadi, A dan Atmajaya, W.S. 1988. Rumput Laut (Algae). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.

Kune, S. 2007. Pertumbuhan Rumput Laut Yang Dibudidaya Bersama Ikan Baronang Jurnal Agrisistem., 3 (1) : 36-40.

Wardoyo S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. PSLH-IPB. Bogor.

Wirjatmadi, B., Merryana A dan Sri P. 2002. Pemanfaatan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Dalam Meningkatkan Nilai Kandungan Serat dan Yodium Tepung Terigu Dalam Pembuatan Mi Basah. Jurnal Penelitian Medika Eksakta., 3 (1): 95-99

139

Page 150: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM DI KABUPATEN ALOR

Donny M. Bessie 1, Ida A. L. Dewi2, Saraswati Adityarini3 dan Dwi Ariyogagautama4

1)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Kristen Atha Wacana 2)Politeknik Pertanian Negeri Kupang

3,4) WWF Indonesia

ABSTRAK Estimasi potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil, 22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi, dan 0,1% berasal dari lobster. Besarnya potensi sumberdaya perikanan laut tersebut tersebar di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia. Perairan Kabupaten Alor termasuk dalam WPP 713 dengan potensi ikan karang konsumsi di WPP ini sebesar 341.000 ton/tahun. Secara umum sistem pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu: (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, dimana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan untuk menilai dan mengevaluasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di Kabupaten Alor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode flag modeling dengan menggunakan pendekatan multi criteria analysis dimana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan melalui pengembangan indeks komposit. Berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk EAFM perikanan di Kabupaten Alor menunjukkan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning. Kata kunci: Alor, pengelolaan perikanan, pendekatan ekosistem.

I. PENDAHULUAN

Kabupaten Alor memiliki luas wilayah sebesar 13.638,26 km2 yang terdiri dari luas wilayah daratan 2.864,64 km2 (21%) dan luas wilayah perairan 10.773,62 km2 (79%) dengan panjang garis pantai sepanjang 287,10 km. Semenjak tahun 2009, melalui Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2009 Kabupaten Alor telah menetapkan pencadangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKPD) sebesar 400.083 ha atau sebesar 37,14% dari luas wilayah perairan Kabupaten Alor yang merupakan perluasan dari Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Pantar.

Pada tahun 2015 ditetapkan menjadi Suaka Alam Perairan Selat Pantai dan Laut Sekitarnya melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35 tahun 2015.

Estimasi potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil, 22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari udang penaeid, 0,4% berasal dari

140

Page 151: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

cumi-cumi, dan 0,1% berasal dari lobster. Besarnya potensi sumberdaya perikanan laut tersebut tersebar di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia. Perairan Kabupaten Alor termasuk dalam WPP 713 dengan potensi ikan karang konsumsi di WPP ini sebesar 341.000 ton/tahun (KKP, 2011).

Secara umum sistem pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu: (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, dimana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting (Adrianto dkk, 2014).

Penelitian ini bertujuan menilai dan mengevaluasi pengelolaan perikanan di Kabupaten Alor dengan pendekatan ekosistem. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi basis data dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Alor.

II. MATERI DAN METODE

Data yang dibutuhkan untuk survey EAFM mencakup 6 domain, antara lain: Sumberdaya Ikan, Teknis Penangkapan Ikan, Habitat dan Ekosistem, Sosial, Ekonomi, dan Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses yaitu melalui data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengambilan data yang dilakukan dengan metode indept interview,

FGD, dan kuesioner kepada responden rumah tangga perikanan.

Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini: a). nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun; b). bersedia diwawancarai; c). dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria klasifikasi alat tangkap dan jenis armada

Penelitian ini menggunakan metode kombinasi (mixed methods) dengan pembahasan secara deskriptif analatis, yaitu gabungan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif. Menurut Sugiyono (2012), metode kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan tetapi digunakan secara bergantian. Pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantitatif. Kedua metode ini tidak dapat digabungkan dalam waktu bersamaan, tetapi hanya teknik pengumpulan data yang dapat digabungkan.

Analisis data digunakan Teknis Flag Modeling dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) dimana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit dengan tahapan sebagai berikut (Adrianto dkk, 2014): a) Tentukan kriteria untuk setiap indikator

masing-masing aspek EAFM (sumberdaya ikan, habitat/ekosistem, teknis penangkapan ikan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan).

b) Kaji keragaan wilayah penelitian untuk setiap indikator yang diuji.

c) Berikan skor untuk setiap keragaan indikator (skor Likert berbasis ordinal 1,2,3).

d) Tentukan bobot untuk setiap indikator. e) Kembangkan indeks komposit masing-

masing aspek untuk wilayah penelitian dengan model fungsi: CAi = f (CAni ….n=1,2,3…..m)

141

Page 152: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

f) Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM dengan model fungsi sebagai berikut : C-WP = f (CAiy……y = 1,2,3……z; z = 11) Penentuan nilai status untuk setiap

indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM.

Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator

yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model) dengan 5 penggolongan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 19.1 berikut ini:

Tabel 19.1. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera

Rentang nilai (dalam persen) Model Bendera Deskripsi

Rendah Tinggi

1 20 Buruk dalam menerapkan EAFM 21 40 Kurang dalam menerapkan EAFM 41 60 Sedang dalam menerapkan EAFM 61 80 Baik dalam menerapkan EAFM 81 100 Baik Sekali dalam menerapkan EAFM

Sumber : Adrianto dkk, 2014

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Analisis Tematik Pengelolaan

Perikanan Per Domain

3.1.1 Domain Sumberdaya Ikan

Domain Sumberdaya ikan adalah domain yang penting dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem, domain ini harus menjadi salah satu prioritas dalam perbaikan pengelolaan perikanan di Kabupaten Alor. Hasil analisis menunjukkan bahwa domain ini dengan status keberlanjutan Sedang dan model bendera Kuning (Tabel 19.2). Salah satu indikator dalam domain sumberdaya ikan untuk menilai peforma sumberdaya ikan secara keseluruhan adalah hasil tangkapan per unit usaha (CPUE). Mengacu pada hasil kajian tahun 2011, CPUE Kabupaten Alor pada saat dilaksanakan pembaruan peforma perikanan tangkap menunjukan trend kenaikan pada tahun 2006 hingga 2009, dan mengalami penurunan pada tahun

2010 (Gambar 1a). Kondisi ini berubah pada saat kajian pembaruan peforma perikanan Kabupaten Alor dilaksanakan pada tahun 2016 (Gambar 1b). CPUE menurun tajam pada tahun 2012, dan mulai naik pada tahun 2013-2015.

Dalam hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan CPUE, nelayan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkap dalam 5 tahun terakhir, dimana 84% setuju kalau hasil tangkapan berkurang, 4% menjawab biasa-biasa saja hasil tangkapannya, dan 10% responden menyatakan bahwa dalam 5 tahun terakhir terjadi berkurang lebih setengah. Bila dibandingkan dua data tersebut terlihat ada perbedaan, namun bila ditelaah lebih dalam dapat dijelaskan bahwa tren kenaikan CPUE dalam nilai yang kecil dan sudah termasuk hasil produksi yang didaratkan dari luar Kabupaten Alor, sehingga pernyataan responden/nelayan bisa diterima dengan asumsi tersebut.

142

Page 153: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

a. b.

Gambar 19.1. CPUE Kabupaten Alor peridoe (2006 – 2010) dan periode (2011-2015) 3.2 Domain Habitat dan Ekosistem

Berdasarkan hasil penilaian pada domain habitat dan ekosistem laut menunjukkan bahwa status habitat dan ekosistem di Kabupaten Alor dengan status berkelanjutan Kurang dengan model bendera Kuning Muda (Tabel 19.2). Indikator kualitas perairan sebagai indikator kunci diberikan status sedang. Sementara 2 ekosistem penting yaitu ekosistem lamun dan mangrove pada saat dilaksanakan kajian pembaruan peforma perikanan Kabupaten Alor, data status lamun dan mangrove masih menggunakan data hasil kajian WWF Indonesia 2011. Hal ini dikarenakan data terbaru kaitannya dengan hasil kajian lamun dan mangrove belum ada, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Alor maupun lembaga lainnya.

3.3 Domain Teknologi Penangkapan

Ikan

Berdasarkan hasil penilaian pada domain teknologi penangkapan ikan menunjukkan bahwa aspek teknis penangkapan ikan di Kabupaten Alor dengan status berkelanjutan Sedang dengan model bendera Kuning (Tabel 19.2). Indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal sebagai indicator kunci diberikan status buruk, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata 30 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dan 24,81% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar, 0,75% akibat potasium, 0,75% akibat pukat harimau/trawl dan 20,30% menyatakan

tidak tahu (tidak terdapat data terbaru untuk metode alat tangkap yang destruktif).

3.4 Domain Sosial

Secara umum indicator-indikator dalam Domain Sosial bernilai baik, dan secara agregat Domain Sosial dengan model bendera Hijau (Tabel 19.2). Interaksi antar pemangku kepentingan merupakan salah satu indikator domain sosial,. kaitannya dengan indikator partisipasi pemangku kepentingan, semakin besar keterlibatan para pihak dalam menentukan rencana pembangunan, semakin baik dinamika kelompok yang terjadi didalamnya. Hasil penilaian bahwa para pemangku kepentingan terlibat langsung dalam perencanaan dan penetapan zonasi KKPD Alor. Kondisi ini perlu dipertahankan hingga proses pengelolaan partisipatif KKPD Alor. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola KKPD Alor, sinergi dan peran serta aktif para pemangku kepentingan masih berlangsung dengan baik, meskipun belum mencapai nilai 100%. Konflik perikanan yang ditemukan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Alor yaitu: konflik antar wilayah lebih disebabkan karena pemasangan rumpon (termasuk oleh nelayan dari luar daerah), konflik alat tangkap antara pemancing dan pemilik jala lompo dalam perebutan lokasi rumpon, dan konflik antar sektor menurut responden yaitu pariwisata. Model-model dan frekuensi konflik ini harus menjadi perhatian semua stakeholder yang punya kaitan dengan pengelolaan sumberdaya

143

Page 154: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

pesisir dan laut (Perairan Alor sebagai kawasan konservasi laut). 3.5 Domain Ekonomi

Berdasarkan hasil penilaian pada domain ekonomi menunjukkan bahwa status ekonomi di Kabupaten Alor cenderung buruk dengan model bendera Merah (Tabel 19.2). Untuk indikator kepemilikan aset diberikan status buruk, karena hasil analisis menunjukkan bahwa 80% responden menyatakan terjadi penurunan aset produksi. Hal ini berbeda dengan tahun 2011, dengan 84,85% responden menyatakan terjadi penurunan aset produktif, hal ini disebabkan oleh pembengkakan biaya operasional (terutama musim paceklik) dan biaya perbaikan dan perawatan kapal dan alat tangkap. Budaya konsumtif masih mendominasi sebagian besar masyarakat dengan pengeluaran untuk peralatan elektonik. Berdasarkan wawancara, 60% responden memiliki aset non produktif. Nilai ini naik 10% dari tahun 2011. Indikator saving rate diberikan status buruk. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan (79,57%) tidak memiliki tabungan. 3.6 Domain Kelembagaan

Berdasarkan hasil penilaian pada Domain Kelembagaan menunjukkan bahwa status Sedang di Kabupaten Alor dengan model bendera Kuning (Tabel 19.2). Indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (adat) sebagai indicator kunci diberikan status buruk. Data aktivitas merusak yang

direkap dari hasil wawancara dengan masyarakat nelayan tercatat bahwa rata-rata 20 kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dimana 15 % responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar, 0,25 % akibat potasium, dan 0,55 % akibat pukat harimau/trawl. Berkaitan dengan jenis pelanggaran, terdapat 3 pelanggaran, yaitu: 1) Penggunaan alat tangkap terlarang dengan kategori berat dan diproses, 2) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan tindakan persuasif, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan dengan kategori ringan dan diproses. Kondisi ini masih sama dengan kondisi tahun 2016. 3.7 Performa Pengelolaan Perikanan di

Kabupaten Alor

Dari hasil analisis komposit tematik yang telah dilakukan untuk setiap aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Alor pada tahun 2013 dan saat pembaruan peforma perikanan dilakukan (2016) disajikan pada Tabel 19.2, tahapan selanjutnya adalah mengestimasi keragaan agregat wilayah pengelolaan perikanan dengan menggunakan teknis komposit antar tematik. Hasil estimasi tematik masing-masing aspek kemudian digabung menjadi satu indeks dengan asumsi tidak ada perbedaan bobot masing-masing aspek. Dengan kata lain, dalam analisis agregat seluruh aspek dianggap penting (Adrianto dkk, 2014). Hasil analisis komposit agregat menggunakan koneksitas Tabell 19.2.

Tabel 19.2. Indeks Komposit Agregat Indikator EAFM untuk Wilayah Pengelolaan

Perikanan Kabupaten Alor Tahun 2013 dan Tahun 2016

Domain

Tahun 2013 Tahun 2016

Nilai Komposit

Deskripsi Nilai

Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 33 Kurang 42 Sedang

Habitat & ekosistem 44 Sedang 39 Kurang

Teknik Penangkapan Ikan 42 Sedang 42 Sedang

Sosial 52 Sedang 87 Baik Sekali

Ekonomi 20 Buruk 20 Buruk

Kelembagaan 47 Sedang 43 Sedang

Aggregat 40 Kurang 45 Sedang

144

Page 155: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Mengacu pada Tabel 19.2 tersebut di atas, kita mendapatkan gambaran detail mengenai kondisi perikanan Kabupaten Alor tahun 2013 dan tahun 2016. Terdapat pergeseran model khususnya pada Domain Sumberdaya Ikan, Ekonomi dan Kelembagaan. Namun demikian, secara keseluruhan masih berada pada katagori kurang. Namun demikian, penurunan nilai agregat pada tahun 2016, disebabkan adanya pengurangan nilai tukar rupiah sebagai indikator pada Domain Sosial. Kajian peforma perikanan sebenarnya dilakukan untuk mengetahui pola peningkatan dan/atau penurunan kualitas peforma perikanan di Kabupaten Alor. Harapan para stakehodlers adalah adanya pergerakan mengarah pada peforma lebih baik dalam satuan waktu tertentu.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Analisis indeks komposit EAFM di

Kabupaten Alor menunjukan status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dan nilai akhir agregat sebesar 45. Mendapat perhatian serius adalah domain-domain yang berstatus kurang dengan flag modeling berwarna kuning muda, yang mendapat status sedang dengan flag modeling berwarna kuning, dan berstatus buruk dengan flag modeling berwarna merah, serta indikator-indikator dengan skor 1.

2. Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated perikanan (IUU Fishing) di daerah penelitian sudah harus segera ditangani serius oleh aparat penegak hukum dan stakeholder lainnya, karena akan menghambat upaya-upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan dan lestari.

3. Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan merupakan hal yang urgen dan mendesak untuk mendukung upaya-upaya pengelolaan perikanan.

4. Restorasi dan perlindungan ekosistem menjadi faktor kunci dalam pengelolaan perikanan menuju

perikanan yang berkelanjutan dan lestari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada WWF Indonesia (Solor-Alor Project) yang telah membiayai keselurahan penelitian ini sejak tahun 2011, 2013, dan 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis K, Sugeng HW, dan Yusli W., 2014. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat Sumberdaya Ikan, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

Adrianto, L. Y. Matsuda, Y. Sakuma. 2005. Assesing Sustainability of Fishery Systems in A Small Island Region: Flag Modeling Approach. Proceeding of IIFET. 2005. Tokyo, 2005.

Nusa Tenggara Timur., 2011. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2012. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2013. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2014. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2015. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2011. Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Penerbit: Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan

145

Page 156: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Kusumastanto, T, Luky Adrianto, dan Ario Damar., 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Alor. Dokumen Perencanaan Daerah Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.

146

Page 157: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG DELES TELUK PRIGI, KABUPATEN TRENGGALEK

Mochammad Fattah1, Pudji Purwanti2 dan Edi Susilo3

1,2,3)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya

Email: [email protected]

ABSTRAK

Teluk Prigi mempunyai Pelabuhan Perikanan Nusantara Ikan layang deles merupakan salah satu ikan yang bernilai ekonomi dan menghasilkan produksi tertinggi kedua pada Tahun 2015 setelah ikan tongkol lisong sebanyak 5.993.093 Kg. Tujuan dari penelitian ini, antara lain: menganalisis status basis layang deles, menganalisis potensi lestari sumberdaya ikan layang deles dan kelayakan usaha alat tangkap standar layang deles. Metode penelitian menggunakan kuantitatif dengan analisis data, meliputi: LQ, model Schaefer, Fox, Walter-Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto and Pooley (CYP), tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan layang deles dan jumlah tangkap yang diperbolehkan serta NPV, B/C, IRR dan PP. Hasil penelitian menunjukan bahwa layang deles merupakan produk basis karena mempunyai nilai lebih besar dari 1. Perhitungan bioekonomi mulai tahun 2005-2016 menggunakan pendekatan Walter-Hilborn karena menghasilkan persamaan yang sesuai. Hasil perhitunganbiomassa secara MSY, MEY, OA menghasilkan nilai 1.115.747 Kg, 1.491.958 Kg dan 752.421 Kg. Hasil tangkapan secara MSY, MEY, OA menghasilkan nilai 12.206.132 Kg, 10.818.391 Kg dan 10.911.817 Kg. Upaya secara MSY, MEY, OA menghasilkan nilai 276 alat tangkap, 183 alat tangkap dan 366 alat tangkap.Sedangkan nilai rente ekonomi menghasilkan nilai Rp15.367.120.699, Rp. 20.732.392.367dan Rp.0.Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak terjadi overfishing baik secara biologi maupun ekonomi, sehingga kebijakan yang harus dilakukan adalah memaanfaatkan sumberdaya layang deles dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan agar ikan deles memberikan manfaat secara berkelanjutan. Nilai kelayakan finansiil alat tangkap purse sein sebagai alat tangkap standar menghasilkan nilai NPV bernilai positif, B/C lebih besar dari 1, IRR lebih besar 12% dan PP lebih cepat dikembalikan sehingga usaha penangkapan dengan alat tangkap purse sein menguntungkan dan layak. Kata kunci: Layang deles, basis, bioekonomi, dan kelayakan finasiil

I. PENDAHULUAN

Sumberdaya merupakan suatu komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dan dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomi (Fauzi, 2010). Ikan merupakan sumberdaya karena memiliki nilai ekonomi dan bersifat terbarukan (renewable resources). Sumberdaya ikan merupakan milik umum (common property), sehingga menyebabkan pemanfaatan sumberdaya ikan bersifat open acces atau setiap orang berhak untuk memanfaatkan atau menangkap ikan.

Kabupaten Trenggalek terletak di wilayah selatan Jawa Timur pada WPP 573 dan terdapat Teluk Prigi yang mempunyai Pelabuhan Perikanan Nusantara. Ikan layang deles merupakan salah satu ikan yang bernilai ekonomi dan menghasilkan produksi tertinggi kedua pada Tahun 2015 setelah ikan tongkol lisong sebanyak 5.993.093 Kg yang didaratkan di PPN tersebut. Alat tangkap yang paling banyak menghasilkan ikan layang deles adalah purse sein. Jumlah alat tangkap atau armada atau trip mempengaruhi terhadap hasil tangkapan ikan layang deles. Semakin meningkat ketiga hal tersebut mengakibatkan penurunan jumlah produksi atau yang disebut sebagai Catch Per Unit Effort

147

Page 158: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(CPUE). Produksi ikan layang deles menghasilkan pendapatan bagi nelayan, apabila nelayan melakukan upaya yang lebih tinggi lagi dari optimal maka dapat mengakibatkan permasalahan terhadap keberlanjutan ekologi. Sehingga membutuhkan pedugaan potensi sumberdaya ikan layang deles. Salah satu teknik pengelolaan sumberdaya ikan sehingga menghasilkan manfaat ekologi dan ekonomi secara optimal maka perlu memperhatikan upaya penangkapan sumberdaya ikan layang deles dari aspek ekonomi dan aspek biologi atau yang dikenal dengan biekonomi. Pendekaaan bioekonomi diperkenalkan oleh Gordon dan Schaefer pada tahun 1954 agar sumberdaya ikan mengalami keberlanjutan secara ekologi dan ekonomi.

Aktivitas penangkapan ikan layang deles membutuhkan biaya operasional untuk menghasilkan penerimaan. Apabila penerimaan nelayan yang diperoleh lebih besar dari biaya operasional maka nelayan memperoleh keuntungan. Perhitungan kelayakan dibutuhkan untuk mengetahui usaha penangkapan ikan secara jangka panjang. Berdasarkan latarbelakang diatas, tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis status komoditas ikan layang deles, menganalisis bioekonomi ikan layang deles, dan kelayakan finansiil alat tangkap standar dari ikan layang deles.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian kuantitatif. Jenis penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang berlandaskan pada positivistik, menggunakan data kuantitatif, scientific/ilmiah dan sering dinamakan metode tradisional dan discovery (Sugiyono, 2011).

2.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata (verbal)

bukan dalam bentuk angka (Sugiyono, 2011). Data kualitatif dalam penelitian ini yaitu mengenai gambaran keadaan perikanan tangkap sumberdaya, alat tangkap yang digunakan dalam proses penangkapan, cara penentuan fishing ground, musim penangkapan ikan dan cara penangkapan ikan. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur atau dihitung secara langsung, yaitu berupa informasi atau penjelasan yang dinyatakan dengan bilangan atau berbentuk angka (Sugiyono, 2011). Data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil tangkapan (catch), data trip (Effort) , harga ikan di PPN Prigi, data IHK (Indeks Harga Konsumen) serta data hasil tangkapan dari keseluruhan ikan yang berhasil ditangkap.

Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber data dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder sebagai penunjang informasi yang digunakan dalam penelitian ini. Data primer dan data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut :

1) Data Primer

Data primer merupakan sumber data

yang langsung diberikan kepada pengumpul data dari sumber primer secara langsung. Data ini diperoleh dari narasumber atau sumber asli secara langsung dan dapat dilakukan dengan cara wawancara secara langsung kepada responden sasaran (Sugiyono, 2011). Data primer dalam penelitian ini didapatkan dengan teknik pengumpulan data antara lain teknik observasi, kuiosioner (angket) dan wawancara.

Peneliti pada penelitian ini datang ke lokasi penelitian untuk melihat kondisi PPN Prigi, fasilitas pendukung pangkalan pendaratan ikan dan kondisi armada penangkapan ikan serta melihat permasalahan yang ada dilokasi tersebut.

Peneliti pada penelitian ini memberikan kuisioner (angket) kepada sampel dari populasi nelayan yang terdapat di PPN Prigi. Peneliti pada tahap kuisioner ini mendapatkan informasi dan data-data mengenai biaya operasional penangkapan, banyaknya trip yang

148

Page 159: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dilakukan, jumlah pendapatan hingga spesifikasi alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan.

Wawancara pada penelitian ini dilakukan secara langsung kepada narasumber. Responden sebagai narasumber adalah nelayan dan petugas PPN Prigi. Hal yang akan ditanyakan secara langsung adalah mengenai penentuan fishing ground, lama waktu yang diperlukan, harga ikan tangkapan dan kondisi perikanan serta mengenai sistem pengawasan dan keadaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di PPN Prigi.

2) Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari data yang telah dikumpulkan oleh suatu lembaga pengumpulan data atau instansi pemerintah maupun swasta yang dapat dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data (Sugiyono, 2011). Data sekunder yang didapatkan pada penelitian ini berasal dari data time series tahunan berupa data hasil tangkapan ikan (C/Catch), Effort (E), alat tangkap, jumlah armada dan data harga ikan.

2.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif atau mewakili populasi yang dijadikan obyek penelitian. Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik Probability Sampling yang digunakan ialah Simple Random Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang sederhana karena pengambilan anggota sampel dari

populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono, 2011).

2.4 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

1) Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif merupakan analisis

data yang dilakukan tidak untuk menolak atau menerima hipotesis melainkan berupa deskripsi atas gejala-gejala yang diamati serta situasi dari berbagai data yang dikumpulkan (Sugiyono, 2011).

Analisis kualitatif pada penelitian ini yaitu mendeskripsikan kondisi aktual pemanfaatan sumberdaya ikan layang deles yang berkelanjutan di PPN Prigi.

2) Analisis Deskriptif Kuantitatif

Analisis kuantitatif merupakan salah

satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis data yang berupa angka-angka sehingga hasil penelitian dapat memberikan informasi bagi pembaca maupun penulis sendiri. Termasuk didalamnya penyajian data melalui tabel, grafik, diagram lingkaran dan pictogram (Sugiyono, 2011).

Analisis data yang pertama menganalisis status dari layang deles unggul atau tidak dengan LQ, dengan rumus:

𝐋𝐐 = 𝐯𝐢

𝐯𝐭⁄

𝐕𝐢𝐕𝐭⁄

Keterangan: vi : Volume produksi ikan layang PPN

Prigi vt : Volume produksi tangkap PPN

Prigi Vi : Volume produksi tangkap

Kabupaten Trenggalek Vt : Volume produksi ikan layang

Kabupaten Trenggalek

149

Page 160: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Analisis data kuantitatif yang kedua dalam penelitian ini dilakukan dengan pengidentifikasian potensi lestari sumberdaya ikan layang deles menggunakan model Schaefer, Fox, Walter-Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto and Pooley (CYP) (Tinungki, 2005).

a) Persamaan Schaefer:

CPUE = a – b.E

b) Persamaan Fox:

LnCPUE = a – b.E

c) Persamaan Walter-Hilborn:

𝑼𝒕+𝟏

𝑼𝒕− 𝟏 = 𝒓 −

𝒓

𝒒𝑲𝑼𝒕+𝑞Et

d) Persamaan Schnute:

e) Persamaan CYP:

Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan layang deles menggunakan perhitungan TP, yaitu dengan rumus:

𝐓𝐏 = 𝐂𝐚𝐭𝐜𝐡

𝐌𝐒𝐘 𝐱 𝟏𝟎𝟎%

Menganalisis jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan menggunakan perhitungan JTB, yaitu dengan rumus:

𝐉𝐓𝐁 = 𝟖𝟎% 𝐱 𝐌𝐒𝐘

Serta menganalisis kondisi saat MSY,

MEY maupun OA, dengan rumus, yang ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 20.1. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Sedangkan untuk menjawab tujuan ketiga menggunakan kelayakan finansiil dengan menghitung NPV, B/C, IRR dan PP.

a) Net Present Value (NPV)

atau

atau

150

Page 161: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Keterangan : NB : Net Benefit = Benefit – Cost (Rp.) C : Biaya Investasi + Biaya Operasi

(Rp.)

B : Benefit yang telah di-discount

(Rp.)

C : Cost yang telah di-discount (Rp.)

I : Discount factor (%) n : Tahun (satuan waktu) b) Payback Periode (PP)

Formula untuk menghitung nilai

playback periode (PP) adalah sebagai berikut.

unBersih/TahKas

InvestasiPP

c) Internal Rate of Return (IRR)

Formula untuk menghitung IRR dapat

dirumuskan sebagai berikut:

12

21

11 ii

NPVNPV

NPViIRR

Keterangan : i1 : Tingkat discount rate yang

menghasilkan NPV1

i2 : tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2

d) Profitabilitas Index (PI)

Rumusan yang digunakan untuk

mencari PI adalah sebagai berikut:

InvestasiPV

BersihKasPVPI

Sumberdaya ikan deles di Kabupaten

Trenggalek menghasilkan nilai ekonomi dan salah satu produk unggulan, sehingga masyarakat memperoleh manfaat dari pengkapan ikan. Manfaat ekonomi yang diberikan ikan layang deles mengakibatkan aktivitas penangkapan dengan melakukan upaya. Namun, nelayan juga perlu memperhatikan keberlanjutan ekologi dan kelayakan ekonomi dalam pemanfaatan ikan deles. Dengan memperhatikan nilai status komoditas, bioekonomi dan kelayakan usaha dari alat tangkap standar maka pengelolaan ikan layang deles dapat berkelanjutan secara ekologi maupun ekonomi (Gambar 20.1).

Gambar 20.1. Kerangka Pemikiran

151

Page 162: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis status ikan Layang Deles Hasil perhitungan nilai LQ ikan layang

deles menunjukkan bahwa komoditas

bersifat basis, sehingga komoditas ikan laying deles mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan local dan ekspor keluar. Nilai rata-rata LQ laying deles mulai tahun 2010-2015 senilai 1,01.

Gambar 20.2. Nilai LQ 2010-2015

3.2 Analisis Bioekonomi Layang Deles Perhitungan bioekonomi laying deles

pada awalnya mencari nilai persamaan yang sesuai dengan data yang diperoleh mulai tahun 2004 hingga 2016.

Berdasarkan hasil analisis menghasilkan persamaan W-H yang paling sesuai untuk perhitungan bioekonomi dengan persamaan Y = 21,88 -0,000247 X1-0,0396 X2.

Tabel 20.2. Kesesuaian tanda Persamaan Biologi

Scheafer Fox W-H Schunte CYP

Kesesuaian Tanda Sesuai Sesuai Sesuai tidak sesuai tidak sesuai R2 6,6% 6,2% 15,9% 12,4% 7,5%

Harga rata-rata setelah di IHK senilai

Rp.3866,19 per Kg, sedangkan biaya per trip dari kegiatan penangkapan ikan sebanyak Rp.1.646.642 per trip. Hasil perhitungan biomassa MSY menghasilkan 1.115.747 Kg, biomassa MEY sebanyak 1.491.958 Kgdan dalam kondisi OA sebanyak 752.421 Kg.Hasil tangkapan secara MSY sebanyak 12.206.132 Kg, kondisi MEY sebanyak 10.818.391 Kg dan dalam kondisi OA sebanyak 10.911.817 Kg, apabila dibandingkan dengan nilai

aktual penangkapan sebanyak 5.759.689 Kgmaka belum melebihi kondisi MEY dan MSY. Sedangkan upaya penangkapan secara aktual sebanyak 166 unit maka belum melebihi nilai upaya MSY dan MEY. Nilai rente ekonomi dalam kondisi aktual senilai Rp. 3.080.888.114 sedangkan kondisi MSY dan MEY senilai Rp.15.367.120.699 dan Rp.20.732.392.367 dan kondisi OA menghasilkan nilai 0.

152

Page 163: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 20.3. Nilai x, h, E dan Rente Ekonomi

MSY MEY OA

X 1.115.747 1.491.958 752.421 H 12.206.132 10.818.391 10.911.817 E 276 183 366

Rente 15.367.120.699,22 20.732.392.367 0

Tingkat pemanfaatan ikan laying deles

sebesar 0,47 sehingga masih dibawah 1 atau E<0,5 artinya bahwa status masih moderate, maka upaya penangkapan dapat ditambah. Sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan sebanyak 80% potensi lestari (MSY) atau jumlah tangkapan sebesar 9.764.905 Kg.

3.3 Analisis Kelayakan Finansiil Alat

Tangkap Standar Dari Ikan Layang Deles

Modal yang dibutuhkan untuk

kegiatan penangkapan adalah KapalMesin Kapal, Kapal Kecil, Mesin Penggerak, Keranjang Ikan, Purse Sein, Alat Tangkap, dan GPS dengan nilai sebesar Rp.1.054.750.000. Biaya tetap yang dikeluarkan berupa perawatan dan penyusutan sebesar Rp.57.875.000. Sedangkan biaya variabel yang dikeluarkan antara lain: solar, oli, bensin, air mineral, rokok, konsumsi, upah angkut, retribusi, upah ABK dan tali senilai Rp. Rp255.687.155.

Menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 595.685.716 dengan rata-rata memperoleh 48 jenis ikan antara lain: Alu-

alu, Ayam Ayam, Bentong, Pari Kelelawar, Banyar, Cakalang, Cumi-Cumi, Gulamah, Julung-Julung, Kembung, Kwee, Kenyar, Lamadang, Layur, Layang Benggol, Layang Deles, Layang Anggur, Lemuru, Layaran, Pari Kembang, kekek jawa, Selar, Sunglir, Slengseng, Setuhuk Hitam, Tongkol Krai, Tuna Madidihang, Tongkol Como, Tongkol Lisong, Tengiri, Tetengkek, Tembang, Teri, Ubur Ubur, Selar Komo, dan Tengiri Papan.

Berdasarkan data penerimaan dan biaya maka menghasilkan perhitungan NPV, B/C, IRR dan PP. Hasil perhitugan menghasilkan nilai NPV positif atau lebih besar nol maka usaha ini menguntungkan dan layak. B/C usaha penangkapan ini menghasilkan nilai lebih besar 1 dengan nilai 1,28 sehingga usaha ini dinyatakan menguntungkan dan layak. IRR yang dihasilkan usaha penangkapan menggunkan purse sein sebesar 18% sehingga lebih besar discount factor 12% maka usaha ini layak dan mengguntungkan. Serta tingkat pengembalian modal selama 4,42 tahun sehingga usaha ini masih dikategorikan layak dan menguntungkan.

Tabel 20.4. Analisis kelayakan finansiil alat tangkap standar

No Analisis Nilai

1 NPV Rp. 347.136.039,10 2 B/C 1,28 3 IRR 18% 4 PP 4,42

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini,

antara lain: 1. Status komoditas ikan layang deles

PPN Prigi Kabupaten Trenggalek merupakan basis atau mempunyai

keampuan untuk mengekspor ke wilayah lain.

2. Ikan layang deles belum terjadi overfishing secara ekonomi maupun biologi karena nilai aktual masih dibawah hasil perhitungan bioekonomi.

3. Usaha penangkapan dengan alat tangkap standar (purse sein) adalah layak dan menguntungkan karena menghasilkan nilai NPV, B/C dan IRR

153

Page 164: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

sesuai dengan syarat kelayakan usaha.

4.2 Saran Pemanfaatan ikan layang deles lebih

baik memperhatikan upaya berdasarkan MEY sehingga ekonomi dan ekologi tetap berkelanjutan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA PPN Prigi. 2015. Laporan Statistik Time

Series 5 Tahunan. Laporan Tahunan. Prigi.

PPN Prigi. 2016. Statistic Report Of Prigi Fishing Report 2012-2016. Laporan Tahunan. Prigi.

KEPMEN-KP RI No.45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

Fauzi, Akhmad. 2010. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan dan Pengelolaan. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta : Bandung

Tinungki. 2005. Evaluasi ModelProduksi Surplus dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Pengelolaan Perikanan Lemuru Di Selat Bali. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

154

Page 165: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ANALISIS PENENTUAN PRIORITAS PENGEMBANGAN KAWASAN TELUK KUPANG BERBASIS SEKTOR UNGGULAN

Alexander Leonidas Kangkan1,, Marsoedi2, Bambang Semedi3, Gatut Bintoro4

1Faculty of Marine Science and Fisheries, Nusa Cendana University, Kupang, Indonesia. 2Department of Aquatic Resources Management, Faculty of Fisheries and Marine Science,

Brawijaya University, Malang, Indonesia. 3Department of Marine Science, Faculty of Fisheries and Marine Science,

Brawijaya University, Malang, Indonesia. 4Department of Fishery Technology and Management, Faculty of Fisheries and Marine

Science, Brawijaya University, Malang, Indonesia. Corresponding author: A. L. Kangkan, [email protected]

ABSTRAK

Masa depan pembangunan kawasan pesisir Teluk Kupang dilakukan dengan cara menciptakan terobosan-terobosan dan merevitalisasi potensi pertumbuhan ekonomi, dengan melihat sektor unggulan kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sektor ungulan sebagai sektor basis dan melihat besarnya peran sektor unggulan di kawasan pesisir Teluk Kupang. Metode penelitian secara deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yang memanfaatkan data sekunder. Data penelitian dianalisis dengan mengunakan analisis Location Quation (LQ) dan Shift-share. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan adalah sektor basis di kawasan Teluk Kupang dengan tren positif dimana pertumbuhan sektor pada kawasan ini lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhannya di tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur. Kata Kunci : Prioritas pengembangan, Kawasan Teluk Kupang, Sektor Unggulan

I. PENDAHULUAN

Pemerintah menyadari pentingnya

pembangunan ekonomi sebagai bagian dari cara mencapai pembangunan Nasional dengan tidak menyeragamkan kebijakan ekonomi tiap daerah. Ilmu ekonomi wilayah adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Ilmu ekonomi wilayah tidak membahasa kegiatan individu melainkan menganalisis suatu wilayah secara keseluruhan atau berbagai wilayah dengan potensi yang beragam dan berusaha mengatur kebijakan sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pembangunan ekonomi merupakan pembangunan wilayah yang merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, sehingga keunggulan komperatif daerah menjadi penting. Potensi ekonomi kawasan secara operasional didasarkan pada besarnya peranan sektor sebagai

keunggulan komperatif suatu kawasan dan laju pertumbuhan ekonomi kawasan.

Sektor-sektor yang dianggap penting di suatu kawasan karena keunggulan komparatifnya dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan ekonomi daerah, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Potensi ekonomi wilayah dapat di dekati dengan pendekatan Location Quation (LQ) dan Shift-share. Location Quation adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor di suatu wilayah terhadap peranan sektor yang sama pada tingkatan lebih tinggi. Shift-share adalah membandingkan laju pertumbuhan berbagai sektor di suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (Tarigan, 2015)

Pemberian nilai ekonomi sumberdaya alam secara total merupakan respon terhadap pemahaman dari kekeliruan manusia menilai sumberdaya dan ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh, serta kegagalan manusia dalam menginterpretasi sumberdaya alam sebagai aset ekonomi dan sosial bagi masyarakat generasi kini dan generasi

155

Page 166: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

akan datang. Pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan pemanfaatan suatu sumberdaya alam dan tidak saling bertentangan dengan pemanfaatan sumberdaya alam lainnya, alokasi yang efisien, serta menentukan tingkat pemanfaatan suatu sumberdaya agar berkelanjutan yang dapat dipertahankan (de Groot et al., 2002).

Kebijakan lingkungan akan menjadi efektif jika memberikan keuntungan ekonomi dari pelaksanaanya (Yakin, 1997). Selanjutnya informasi ekonomi yang berisikan perhitungan nilai ekonomi dapat menjadi sangat kuat dalam masalah pengambilan keputusan dan tanggung jawab (Dixon, 1998).

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di kawasan Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur yang secara administrasi berada di wilayah Kota dan Kabupaten Kupang. Metode deskritif melalui pendekatan kuatitatif dengan dukungan data-data sekunder yaitu PDRB Kota dan Kabupaten serta PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai indikator mengukur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

Mengevaluasi potensi ekonomi sektor basis sebagai keunggulan komperatif kawasan pesisir Teluk Kupang dilakukan analisis location quotients (LQ) dengan indikator tenaga kerja atau nilai tambah

dengan tujuan untuk melihat kekhususan (relatif) suatu sektor dan analisis shift share menggunakan indikator Produk Domestik Reguional Bruto (PDRB). Analisis LQ ini dilakukan guna melihat terjadinya peranan sektor pada suatu periode dengan persamaan (Bendavid, 1991).

LQ = 𝐯𝐢𝐭/𝐯𝐭

𝐯𝐢𝐣/𝐯𝐣

Keterangan : LQ : Location Quotients sub sektor di

kabupaten/kota vit : Nilai tambah bruto sub sekot i di

kabupaten/kota (rupiah) vt : PDRB di kabupaten/kota

Vij : Nilai tambah bruto sub sektor i di

Provinsi NTT (rupiah) vj : PDRB Provinsi NTT

Asumsi adalah jika nilai LQ >1, berarti sektor di kabupaten/kota tersebut adalah sektor basis dan mampu melayani pasar dalam dan luar daerah. Jika LQ = 1, maka hanya mampu melayani pasar daerah setempat. Jika LQ <1, maka bukan sektor basis dan belum mampu melayani daerah tersebut.

Analisis shift share dilakukan dengan model aljabar yang dikemukakan oleh Sutiono (2010) :

∆ (𝑌𝑖𝑡 − 𝑌𝑜)𝑖= [𝑌𝑡

𝑌𝑜− 1] + [

𝑌𝑖𝑡

𝑌𝑖𝑜−

𝑌𝑡

𝑌𝑜] + [

𝑦𝑖𝑡

𝑦𝑖𝑜−

𝑌𝑖𝑡

𝑌𝑖𝑜]

Keterangan :

: Pertumbuhan ekonomi

wilayah lokal tahun awal sampai akhir

Yt : umlah PDRB, di perekonomian Provinsi NTT, akhir tahun analisis

Yo : Jumlah PDRB ,di perekonomian provinsi NTT awal tahun analisis.

Yit

: Jumlah PDRB sektor i, perekonomian provinsi NTT akhir tahun analisis

Yio : Jumlah PDRB, sektor i, perekonomian provinsi NTT awal tahun analisis

Yit : Jumlah PDRB Lokal setor i, akhir tahun analisis

yio : Jumlah PDRB Lokal sektor i, awal tahun analisis

156

Page 167: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pembangunan Sektor Ekonomi Pembangunan berbagai sektor

ekonomi antar wilayah, mengalami berbagai macam ketidakseimbangan (Iqbal dan Anugrah, 2009). Hal tersebut banyak diakibatkan oleh perbedaan geografi wilayah, potensi sumberdaya alam, minimnya sumberdaya manusia dan kebijakan publik serta aksesibilatas wilayah tersebut. Pembahasan ekonomi kewilayahan adalah penting dengan memasukan unsur perbedaan potensi kewilayahan tersebut (Tarigan, 2015).

Pemerintah daerah, masyarakat dan swasta mengelolah sumberdaya alam dalam bentuk kemitraan adalah merupakan suatu proses, guna menciptakan sektor unggulan baru, serta memicu perkembangan kegiatan ekonomi wilayah sesuai dengan perimbangan kewenangan pusat dan daerah (Endi et al., 2015). Tumbuhnya ekonomi dan keberlanjutannya merupakan elemen utama dari keberlangsungan pembangunan ekonomi daerah. Pertambahan penduduk akan berbanding lurus dengan kebutuhan ekonomi, yang dapat ditelaah dari peningkatan barang dan jasa atau produk domestik regional bruto. Perencanaan pembangunan ekonomi kewilayahan diperlukan dan dapat diimplementasikan ke dalam sebuah kebijakan ekonomi daerah (Yuda dan Navitas, 2014). PDRB sendiri adalah total nilai bruto barang dan jasa yang tercipta atau yang dihasilkan di wilayah domestik yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu periode tertentu (BPS NTT, 2015).

Rangkaian usaha dan kebijakan dalam meningkatkan taraf hidup, memperluas lapangan kerja, pemerataan distribusi pendapatan, meningkatkan ekonomi regional dan perubahan kegiatan sektor ekonomi primer ke sekunder dan

tersier, merupakan inti dari pembangunan ekonomi wilayah. Arah pembangunan ekonomi sebaik mungkin merupakan peningkatan dan pemerataan pendapatan. Pendapatan suatu daerah dapat menunjukkan kondisi perekonomian kawasan tersebut, dimana PDRB yang besar akan memperlihatkan kemampuan yang besar dari sumberdaya yang dihasilkan oleh suatu wilayah ataupun sebaliknya. Pembangunan ekonomi merupakan proses penting dalam pembangunan wilayah sehingga mendapatkan keunggulan komperatif (Hendayana, 2003). Pertumbuhan ekonomi akan tumbuh, jika terjadi pertumbuhan hasil ril dari tahun sebelumnya. Pembangunan wilayah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi dan transportasi baik sarana maupun prasarana.

3.2 Analisis Location Quotient (LQ)

Analsis sektor basis atau Location

Quotient (LQ) dipakai untuk menggolongkan sektor-sektor ekonomi wilayah ke dalam sektor basis maupun non-basis dengan membandingkan peran suatu sektor antara kabupaten dan kota Kupang dengan pemerintah daerah provinsi (Susanto et al. 2013). Nilai LQ > 1 berarti peran sektor kabupaten lebih dominan dibandingan dengan provinsi ataupun sebaliknya jika nila LQ<1. Nilai LQ merupakan dasar yang dapat di pakai untuk menentukan struktur sektor ekonomi yang potensial, guna dikembangkan baik untuk kebutuhan lokal maupun untuk daerah lain (Putra, 2012 ; Yuda dan Navitas, 2014).

Hasil perhitungan LQ Kota Kupang dalam kurun waktu 2010-2014 diperlukan dalam mengidentifikasi sektor basis (Gambar 21.1).

157

Page 168: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 21.1. Location Quotient (LQ) Kota Kupang Berdasarkan Harga Berlaku

Gambar 21.1 di atas menunjukkan

hasil analisis Location Quotient (LQ) kota Kupang pada kurun waktu lima tahun yaitu 2010-2014 (Badan Pusat Statistik Kota Kupang, 2015) memperlihatkan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan mempunyai nila LQ>1 dengan rata-rata 1,415. Sektor yang paling kecil nilainya adalah sektor jasa perusahaan dengan rata-rata sebesar 0,134. Nilai ini menunjukkan bahwah sektor pertanian, perikanan dan kehutanan menjadi sektor basis di kawasan tersebut, meskipun terdapat kecendurungan penurunan sektor tersebut di tahun 2014. Hal ini diduga disebabkan banyaknya pembangunan di sektor konstruksi yang meningkatkan kontribusi sektor tersebut

terhadap PDRB. Kemudian adanya pengurangan lahan pertanian di kota Kupang akibat pengembangan pemukiman dan sarana publik lainnya serta kegiatan pencanangan kawasan TNP Laut Sawu dalam sektor perikanan. Sub sektor perikanan masih diandalkan dalam menyokong PDRB, karena adanya produksi perikanan yang didaratkan pada beberapa tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Kontribusi lainnya juga diperoleh dari industri pengolahan ikan dan perijinan kapal.

Hasil perhitungan terhadap LQ Kabupaten Kupang pada kurun waktu 2010-2014 memperlihatkan adanya perbedaan nilai dalam sektor usaha (Gambar 21.2).

Gambar 21.2. Location Quotient (LQ) Kabupaten Kupang Berdasarkan Harga Berlaku

0.000

0.500

1.000

1.500N

ilai

Lapangan Usaha

2010

2011

2012

2013

2014

0.000

0.500

1.000

1.500

2.000

Nilai

Lapangan Kerja

2010

2011

2012

2013

2014

158

Page 169: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 21.2 memperlihatkan sektor basis dalam kurun waktu lima tahun, adalah sektor pertanian, perikanan dan kehutanan. Hasil analisis nilai LQ menunjukkan bahwa, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar rata-rata 1,483>1, yang merupakan sektor basis di kabupaten Kupang dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 43,73 % (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang, 2015). Gambar 2 di atas juga menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mengalami penurunan pada tahun 2014. Penurunan ini diduga disebabkan faktor geografi wilayah terutama aksesibilitas, kondisi klimatologi dan sumberdaya manusia. Sektor perikanan pada kawasan ini tidak terdapat fasilitas Tempat Pendaratan Ikan (TPI) maupun pelelangan ikan yang dapat diakses, sehingga menyebabkan tidak maksimal peningkatan kontribusi pendapatan daerah dari sumberdaya pesisir. Menurut Yuda dan Navitas et al (2014) bahwa faktor-faktor penyebab

perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja, transportasi, jaringan produksi, modal dan cuaca.

3.3 Analisis Shift –Share

Inventarisir sumber dari sektor-sektor ekonomi utama, dominan dan strategis, penting dilakukan dimana keunggulan tersebut dapat digunakan daerah otonomi dalam ekspansi yang lebih luas. Analisis ini dapat mengunakan periode waktu dari sisi pendapatan, dimana pertumbuhan sebagai perubahan sebuah daerah. Komponen Share dianggap sebagai pengaruh pertumbuhan, pengaruh sektor usaha sebagai proporsional shift dan dampak dari keunggulan dinyatakan dalam differentional shift. Pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah dideskripsikan sebagai komponen differential shift (Ds > 0), dan komponen proporsional shift (Ps >0) (Susanto dan Woyanti, 2008).

Gambar 21.3. Shiff Sektor Usaha Di Kabupaten/Kota Kupang

Gambar 21.3 di atas memperlihatkan

adanya komponen differensial dan komponen proporsional dengan nilai yang lebih kecil dari nol. Nilai proporsional wilayah yang lebih kecil akan berspesialisasi pada sektor-sektor pada tingkatan wilayah yang lebih luas dan tumbuh cepat apabila bernilai positif dan lebih besar dari nol, tetapi jika sebaliknya bernilai negatif, maka yang terjadi adalah kabupaten dan kota yang berspesialis pada sektor-sektor usaha pada tingkatan

provinsi, pertumbuhannnya menurun atau melambat (Hariman et al., 2013).

Hasil analisis memperlihatkan secara simultan pada komponen proporsional di dalam sektor usaha Kabupaten Kupang dan Kota Kupang bernilai negatif antara lain (a), pertanian, kehutanan, dan perikanan; (b), Industri pengolahan; (c), pengadaan Listrik dan Gas; (d), pengadaan air; (f), pengelolaan sampah; (g), limbah dan daur ulang; (h), perdagangan besar dan eceran; (i),

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Nila

i

Sektor Usaha

PORPOSIONAL Kab

PORPOSIONAL Kota

DIFERENSIAL Kab

DIFERENSIAL Kota

PERTUMBUHAN Kab

PERTUMBUHAN Kota

159

Page 170: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

reparasi mobil dan sepeda motor; (j), informasi dan komunikasi; (k), jasa kesehatan dan kegiatan sosial; (l), jasa lainnya (Lampiran 39). Hal ini berarti bahwa sektor-sektor usaha di Kabupaten dan Kota Kupang yang berspesialis sektor yang sama di provinsi NTT, mengalami pertumbuhan yang melambat atau menurun.

Komponen – komponen differensial memperlihatkan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, bernilai positif di kabupaten dan kota Kupang. Komponen differensial kabupaten dan kota Kupang terdapat beberapa sektor

usaha yang nilainya negatif antara lain : (a), pengadaan air; (b), pengelolaan sampah; (c). limbah dan daur ulang; (d), transportasi dan pergudangan; (e), informasi dan komunikasi; (f), jasa keuangan dan asuransi; (g). perumahan; (h), jasa perusahaan; (i). jasa pendidikan. Komponen yang bernilai negatif tersebut, bermakna bahwa sektor ekonomi dari sektor-sektor tersebut tumbuh lebih lambat, jika dibandingakan dengan komponen yang bernilai positif. Hasil analisis sektor pertanian, kehutanan dan perikanan di kabupaten dan kota Kupang diperlihatkan pada Tabel 21.1.

Tabel 21.1. Analisis Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan di Kabupaten dan Kota

Kupang

No Aspek Nilai Makna

1 Location Quotient (LQ) >1 Sektor basis 2 Ps Negatif Tumbuh lambat di tingkatan provinsi 3 Ds Positif Pertumbuhan lebih cepat dibandingkan

provinsi

Tabel 21.1 menunjukkan bahwa

sektor pertanian, kehutanan dan perikanan adalah sektor basis pada wilayah Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, akan tetapi sektor ini di wilayah provinsi tumbuh lambat atau cenderung menurun. Meskipun demikian sektor tersebut terlihat lebih cepat pertumbuha di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Pemerintahan Kabupaten Kupang dan Kota Kupang mempunyai otonom, yang diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sekaligus pembangunan kewilayahan serta memiliki kewenangan merencanakan, memanfaatkan, mengelola potensi sumberdaya secara optimal guna kemakmuran masyarakat. Keungulan komperatif berupa luas lahan dan kekayaan alam merupakani faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan ini. Sektor pertanian, perikanan dan kehutanan di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang meskipun cenderung lebih cepat tetapi cenderung menurun kontribusinya terhadap PDRB. Hal ini disebabkan adanya alih lahan dan daerah penangkapan, perubahan regulasi perundang-undangan, musim dan pertumbuhan sektor tersier. Walaupun

demikian pemerintah daerah sebagai wilayah otonomi, sebaiknya tetap fokus pada sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, sebagai sekotr basis yang dapat menopang pembangunan ekonomi daerah. Kondisi ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, kemudahan akses investasi, kemudahan pemasaran dan pasar yang jelas (Amir dan Nazara, 2005).

IV. KESIMPULAN Sektor pertanian, kehutanan dan

perikanan adalah sektor basis dan sebagai sektor yang mempunyai keungulan komperatif di kawasan Teluk Kupang. Pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor basis mempunyai tren nilai positif, dimana pertumbuhan sektor pada kawasan ini lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhannya di tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur.

DAFTAR PUSTAKA Amir, H dan S, Nazarah., 2005. Analisis

perubahan struktur ekonomi (economic landscape) dan kebijakan strategi pembangunan Jawa Timur

160

Page 171: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tahun 1994 dan 2000 : Analisis Input-Output. Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia. Vol 5 (2).1–17.

Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, 2015. Povinsi NTT dalam Angka Badan Pusat Statistik Prov. NTT (ed) BPS NTT.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang, 2015. Kabupaten Kupang dalam Angka Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang, (ed) BPS Kabupaten Kupang.

Badan Pusat Statistik Kota Kupang, 2015. Kota Kupang dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Kupang (ed) BPS Kota Kupang.

Bendavid A. L., 1991. Regional and local economic analysis for practitioners. 4th (ed). Praeger, New York.

De Groot. R. S., M. A. Wilson and R. M. J. Baumans, 2002. A typologi for the clasification, descrition and valuation, of economic fungtion, goods and service. Ecologi Economic, 41 : 393-408.

Dixon., 1998. Economic value of coral reef : What are the Issue in coral reef. challenges and oppurtunities for sustainable management. Proceedings, Environmentally and socially sustainable development. The World Bank, Washington DC. ISBN 0-8213 4235-5 : 157-162.

Endi, R., I. W. Suparta., dan M. Husaini., 2015. Analisis sektor unggulan dan pengembangan wilayah di Kota Bandar Lampung 2000-2012. JEP, Vol 4 (I):107–134.

Hariman .S. I. A., Badaruddin dan K. Mahallil., 2013. Analisis distribusi spasial sektor unggulan dalam perencanaan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara . Jurnal Ekonom, 16 (2) : 47–53.

Hendayana, R., 2003. Aplikasi metode location quotient (LQ) dalam penentuan komoditas unggulan Nasional. Informatika Pertanian, Vol 12 : 1–21.

Iqbal, M dan I, S, Anugrah., 2009. Design of policy synergy of agropolitan and local economic development to accelerate regional development.

Analisis Kebijakan Pertanian, 7(2) :

69–188. Putra, W., 2012. Model pengembangan

wilayah untuk pembangunan pelabuhan (Studi kasus : Pantai Selatan Jawa Timur). Jurnal Teknik Pomits, Vol 1(1) : 1–6.

Sutiono, D.N.S., 2010. Ekonomi pengembangan wilayah: Teori dan analisis. Penerbit Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Susanto, A dan N. Woyanti., 2008. Analisis sektor potensial dan pengembangan wilayah guna mendorong pembangunan di Kabupaten Rembang. Media Ekonomi dan Manajemen. 18 (2) 153-164.

Susanto I. W., Anwar, M. R dan Soemarno., 2013. Analisis daya dukung lingkungan sektor pertanian berbasis produktivitas di Kabupaten Bangli. Bumi Lestari, 13 (1): 115–123.

Tarigan, R., 2015. Ekonomi Regional. In Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara, p. 186.

Yakin , A., 1997. Ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Teori dan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Akademi Presindo. Jakarta.

Yuda, D. K dan P. Navitas, 2014. Arahan pengembangan ekonomi Kabupaten Lamongan berdasarkan sektor unggulan. Jurnal Teknik Pomits 3 (2) : 136–141.

161

Page 172: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IDENTIFIKASI JENIS LAMUN DAN JENIS BIOTA YANG HIDUP DI DALAMNYA DI PERAIRAN PESISIR TESABELA

KECAMATAN KUPANG BARAT KABUPATEN KUPANG

Sitti Halija1 dan Aludin Al Ayubi2

1) Dosen Fakultas Perikanan, Universitas Muhammadiyah Kupang 2) Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK

Keadaan lokasi perairan mempunyai karakteristik substrat lumpur berpasir,, terdapat dua ekosistem di dalamnya yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun. Selain itu lokasi perairan di daerah ini juga memiliki ombak dan gelombang yang tidak terlalu besar karena berada dalam kawasan teluk yaitu Teluk kupang. Jenis-jenis lamun yang mendominasi perairan Tesabela terdiri dari dua jenis yaitu jenis Halodule uninervis dan jenis Enhalus acoroides. Sedangkan jenis-jenis biota lain yang hidup dalam ekosistem padang lamun di Desa tesabela adalah bintang laut, teripang, kerang darah dan kerang bulu. Kata kunci : Jenis lamun, jenis biota dan perairan pesisir

I. PENDAHULUAN

Perairan Tesabela merupakan perairan yang letaknya dekat dengan daratan utama yang di dalamnya memiliki ekosistem padang lamun. Daerah ini sudah sejak jaman dahulu dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia, sebagai daerah penangkapan ikan, makameting, pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan aktivitas lainnya. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, terutama yang bermukim di wilayah pesisir serta semakin meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat pesisir, dalam hal ini masyarakat pesisir Tesabela sehingga eksploitasi terhadap ekosistem ini dan biota-biota penghuninyapun semakin marak yang kemungkinan akan memberi dampak pada terjadinya degradasi habitat dan sumberdaya perikanan.

Mencermati permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir Tesabela yang semakin tidak terkendali ini, walapun banyaknya aturan yang sudah diberlakukan, tetapi pelanggaranpun tetap terjadi, sehingga perlu adanya kesadaran dari masyarakat pengguna wilayah pesisir agar dapat memanfaatkan segala aset yang ada di wilayah tersebut secara arif dan bijaksana sesuai aturan yang berlaku. Selain itu, agar pemanfaatan ekosistem

pesisir dalam hal ini padang lamun serta segala bentuk kehidupan yang ada didalamnya bisa terkendali dan berlanjut dimasa mendatang, maka perlu suatu perencanaan yang matang. Namun, untuk membangun suatu perencanaan harus didasarkan pada suatu informasi yang akurat, sehingga perlu adanya suatu penelitian mengenai Kondisi Ekosistem Padang lamun yang tertuju pada jenis-jenis lamun dan Jenis-Jenis Biota yang Berasosiasi di dalamnya di Perairan Pesisir Tesabela Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, yang kemudian akan memeberi manfaat pada perolehan data dan informasi yang penting mengenai jenis-jenis lamun dan jenis-jenis biota yang hidup di dalamnya huna menjadi acuan yang penting dalam upaya penyusunan data base bagi pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di perairan Tesabela Kecamatan Kupang Barat kabupaten Kupang.

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 1 bulan yaitu bulan Juni sampai bulan Juli 2014 yang bertempat di Perairan pesisir Tesabela Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, selanjutnya peralatan dan bahan yang digunakan dalam kegiatan praktikum ini

162

Page 173: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

meliputi peralatan tulis menulis, transek kuadran, meteran rol, buku identifikasi lamun dan kamera digital. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi atau pengamatan langsung di lapangan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Umum Lokasi Keadaan lokasi perairan mempunyai

karakteristik substrat lumpur berpasir, terdapat dua ekosistem di dalamnya yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun. Selain itu lokasi perairan di daerah ini juga memiliki ombak dan gelombang yang tidak terlalu besar karena berada dalam kawasan teluk yaitu Teluk kupang. Selain memiliki kondisi

demikian lokasi ini juga dapat dijadikan oleh masyarakat untuk melakukan usaha budidaya. Usaha budidaya yang digeluti oleh masyarakat setempat adalah usaha budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di lokasi ini adalah Eucehuma cottoni dan Eucheuma spinosum.

3.2 Jenis-Jenis Lamun yang Ditemukan

di Perairan Desa Tesabela Hasil observasi menunjukkan bahwa

jenis-jenis lamun yang mendominasi perairan Tesabela adalah berasal dari jenis Halodule uninervis dan jenis Enhalus acoroides. Jenis – jenis lamun tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

(a) (b)

Gambar 22.1. Jenis-Jenis Lamun (a) Halodule uninervis, (b) Enhalus acoroides di periaran Desa Tesabela

Karakteristik dari jenis jenis lamun

yang terdapat di perairan Desa Tesabela tersebut di atas adalah sebagai berikut :

a) Halodule uninervis

Halodule uninervis adalah lamun

sublittoral ditemukan dari pertengahan pasang surut hingga kedalaman 20 m. Umumnya pada kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral dan di dekat terumbu karang. Halodule uninervis tumbuh di berbagai habitat yang berbeda. Lamun ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies lamun lain (Carruthers et al, 2007). Halodule uninervis juga termasuk dalam famili Potamogetonaceae. Ciri khas dati famili ini Jenis Halodule uninervis memiliki bentuk daun Parvozosterids, dengan daun

memanjang dan sempit. Ciri khas H. uninervis adalah ujung daunnya yang berbentuk trisula dengan satu vena sentral yang membujur dengan ukuran lebar daun 1-1,7mm. Umur daun Halodule uninervis ±55 hari dengan produksi tegakan sebanyak 38 tegakan/tahun (Vermaatl et al, 1995).

b) Enhalus acroides

Enhalus acrodies mempunyai akar

rimpang berdiameter 13,15-17,20 mm yang tertutup rapat dengan rambut- rambut yang kaku dan keras. Akar berbentuk seperti tali, berjumlah banyak dan tidak bercabang. Panjangnya antara 18,50-157,65 mm dan diameternya antara 3,00-5,00 mm. Bentuk daun seperti pita tepinya rata dan ujungnya tumpul,

163

Page 174: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

panjangnya antara 65,0-160,0 cm dan lebar antara 1,2 – 2,0 cm. Di rataan terumbu Pulau Pari, Enhalus acrodies tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama - sama dengan T. hemprichii dan Halophila ovalis (Kiswara, 1992). Enhalus acrodies merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat mencapai ukuran lebih dari

1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur (Den Hartog, 1970).

3.3 Jenis-Jenis Biota yang Hidup Pada

Ekosistem Padang Lamun Jenis-jenis biota yang hidup dalam

ekosistem padang lamun di perairan pesisir Desa Tesabela Kabupaten Kupang berdasarkan hasil observasi terdiri dari bintang laut, teripang dan kerang bulu.

(a) (b) (c)

Gambar 22.2. Jenis – Jenis Biota yang Hidup pada Ekosistem Lamun di Perairan Desa Tesabela (a) Bintang Laut, (b) Teripang, (c) Kerang Bulu.

Ciri-ciri atau karakterisitik dari jenis-

jenis biota yang hidup pada ekosistem lamun di perairan Desa Tesabela di atas tersebut adalah sebagai berikut : 1) Bintang Laut

Tubuh bintang laut terdiri dari bagian oral (yang memiliki mulut) dan Aboral (yang tidak memiliki mulut). Hewan ini banyak dijumpai di pantai. Ciri lainnya adalah alat organ tubuhnya bercabang ke seluruh lengan. Mulut terdapat di permukaan bawah atau yang disebut permukaan oral dan anusnya terletak di permukaan atas atau disebut juga permukaan aboral. Kaki tabung tentakel (tentacle) terdapat pada permukaan oral. Sedangkan pada permukaan aboral selain anus terdapat pula madreporit. Madreporit adalah sejenis lubang yang mempunyai saringan dalam menghubungkan air laut dengan sistem pembuluh air dan lubang kelamin. Bintang laut merupakan hewan yang hidup bebas.Makanannya adalah kerang, plankton, dan organisme yang mati.Habitatnya di dasar air laut, di daerah

pantai hingga laut dalam. Echinodermata dikelompokkan menjadi lima kelas, yaitu Asteroidea, Ophiuroidea, Echinoidea, Holothuroidea, dan Crinoidea (Syamsul, 2011).

2) Teripang

Bentuk badan teripang memanjang

mirip mentimun. Oleh karena itu, hewan ini biasa disebut mentimun laut atau sea cucumber. Mulut dan anus terdapat di kedua ujung badannya. Bagian punggungnya berwarna abu-abu dengan pita putih atau kekuningan memanjang secara horizontal. Bagian bawah tubuhnya berwarna putih dan berbintik-bintik hitam/gelap. Di antara ratusan spesies hanya sekitar 13 spesies yang dapat dimakan atau digunakan sebagai obat. Mereka memiliki panjang rata-rata dari 2,5 cm sampai 30 cm. Teripang atau ketimun laut termasuk ke dalam kelas Holothuroidea. Teripang adalah hewan yang bergerak lambat, hidup pada dasar substrat pasir, lumpur pasiran maupun dalam lingkungan terumbu (Rita, 2010).

164

Page 175: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

3) Kerang Bulu Kerang bulu memiliki tubuh pipih

secara lateral dan seluruh tubuh tertutup dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal dengan adanya hinge ligament yaitu semacam pita elastik yang terdiri dari bahan organik seperti zat tanduk (conchiolin) sama dengan periostrakum, bersambungan dengan periostrakumcangkang. Kedua keping cangkang pada bagian dalam ditautkan oleh sebuah otot aduktor posterior, yang bekerja secara antagonis dengan hinge ligament. Ketika otot aduktor rileks, ligament berkerut maka kedua keping cangkang akan terbuka, demikian sebaliknya. Guna mempererat sambungan keping cangkang, di bawah hinge ligament terdapat gigi atau tonjolan pada keping yang satu (Poutiers, 1998).

Mantel pada kerang bulu berbentuk seperti jaringan tipis dan lebar, menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang. Pada lipatan bagian tepi terdapat tiga lipatan dalam, tengah dan luar. Lipatan dalam adalah yang paling tebal, dan berisi otot radial dan otot melingkar. Lapisan tengah mengandung alat indra. Lapisan luar sebagai penghasil cangkang (Broom, 1985). Menurut Setyono (2006), bahwa kerang bulu dapat tumbuh dengan baik pada zona perairan litoral dan sublitoral dengan tipe perairan yang tenang, terutama di teluk berpasir dan berlumpur sampai pada kedalaman 30 m tetapi yang biasa dijadikan tempat hidup adalah daerah litoral dimana daerah tersebut masih terkena pasang surut.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Jenis-jenis lamun yang mendominasi

perairan Tesabela terdiri dari dua jenis yaitu jenis Halodule uninervis dan jenis Enhalus acroides. Sedangkan jenis-jenis biota yang hidup dalam ekosistem padang lamun di Desa tesabela adalah bintang laut, teripang, kerang darah dan kerang bulu.

4.2 Saran Dari hasil penelitian di atas maka

saran yang diberikan adalah perlu adanya penelitian lanjutan mengenai kondisi vegetasi dan struktur komunitas padang lamun serta kelimpahan biota yang hidup

di dalmnya.

DAFTAR PUSTAKA Arifin., 2001. Ekosistem Padang Lamun.

Buku Ajar. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakulatas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan terumbu di Pari Pulau Seribu. Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi,Budidaya, Oseanografi,Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.

. 2000. Produktivitas Lamun Oseana, Volume XXV, Nomor 1, 2000 : 1-11. Balitbang Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-LIPI, Jakarta.

Bengen D. G. 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Synopsis. Pusat Kajian SUmberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian Bogor. Bogor. iii+ 62 hml.

Broom, M. J. 1985. Biology and Culture of Marine Bivalves Molluscs of The Genus Anadara. ICLARM Stud. Rev. 37p.

Brouns, J.J.W.M. 1985. A Preliminary Study Of The Seagrass Thalassoaendron Cilialum (Frosk) dan Hartog from Eastern Indonesia. Aquartik Botany.

Carruthers, T.J.B., et al. 2007. Halodule uninervis. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/173.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Den Hartog, C. 1970. Seagrass of the world. North - Holland Publ. Co.,Amsterdam.

165

Page 176: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Erftemeijer, P. L. A. 1993. Differences in nutrient concentration and resources between seagrass communities on carbonate and terrigenous sediment in South Sulawesi, Indonesia. Bull. Mar. Sci. 54: 403–419.

Kastoro, W. 1988. Beberapa aspek biologi kerang hijau Perna viridis ( Linnaeus ) dari Perairain Binaria, Ancol Teluk Jakarta. Jurnal Pendidikan. Perikanan laut. No. 45 : 830 – 102.

Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds, pp. 147-193. In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar.Sci.Vol 4.Marcel Dekker Inc, New York.

Kiswara, W dan M. Hutomo,. 1985. Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana, Volume X, Nomor 1 : 21- 30. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

.1992. Community Structure and Biomass Distribution of Seagrass at Banten Bay, West Java, Indonesia.

Menez, E.G., R.C. Phillips and HP. Calumpong 1988. Seagrass from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci., 21. Smithsonian. Press, Washington. 40 PP.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Poutiers, J. M. 1998. Bivalves. Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda. p. 123–362. In: Carpenter, K. E. and V. H. Niem. 1998. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes.

Rita R. 2010. Karakterisitk Teripang. http://tugas-kuliah.blogspot.com.

Diposkan tanggal 13 Januari 2010. Diakses Tanggal 15 Juni 2014.

Romimohtarto K. Sri J. 2001. Biologi Laut. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Setyono, D. E. D. 2006. Karakteristik Biologi dan Produk Kekerangan Laut. Jurnal Oseana 31, (1) : 1–7.

Soedharma, D. 2007. Pertumbuhan, Produktivitas dan Biomassa, Fungsi dan Peranan Lamun. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.

Syamsul H. Deskripsi Bintang laut. http://ibn5sholih.blogspot.com. Diposkan Tanggal 18 Mei 2011. Diakses Tanggal 15 Juni 2014.

Thayer, G.W., S.M.Adams and M.W. Lacroix 1975. Structural and functional aspects of recently establilized Zostera marina community: Dalam: Azkab,M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Pendekatan Ekologi, Sosial Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Makassar.

Umbara H, Suseno H. 2006. Faktor Akumulasi 210 Pb Oleh Kerang Darah (Anadara granosa) [makalah]. Pusat teknologi limbah radioaktif, Batan.

Vermaatl, J.E. Nona S.R. Agawin. et all. 1995. Meadow maintenance, growth and productivity of a mixed Philippine seagrass bed. Marine Ecology Progress Series. Philippine.

166

Page 177: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

SHANNON-WIENER DIVERSITY INDEX ON BENTHIC FORAMINIFERS IS LESS EFFECTIVE TO APPROXIMATING CORAL REEF ECOSYSTEM

QUALITY IN KUPANG BAY

Lumban Nauli Lumban Toruan1, Fonny J.L. Risamasu2, Chaterina Agusta Paulus3 1,2,3Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana Correspondence: [email protected]

ABSTRACT The Shannon diversity index has long been used extensively in marine ecological studies in coral reef ecosystems. The high value of diversity index reflect the condition of suitable water quality. This study aims to examine the use of Shannon diversity index on benthic foraminifera in coral reef ecosystem. The collection of benthic foraminifera was carried out at 5-7 meters depth at eight stations in coastal waters between Semau and Timor Island. Three hundreds individuals from each station were identified using a stereo microscope. The results show Shannon's diversity index is sensitive to individual and genus changes, but is not sensitive to the functional groups changes of foraminifera. It should be considered using other indexes that reflect more coral reef ecosystem conditions rather than diversity index.

Keywords: Functional, algal symbiont-bearing, opportunistic, heterotrophic

I. INTRODUCTION

Shannon's diversity index is often used to identify community diversity as a reflection of changes in community structure that reflecting the presence or absence of ecological pressures (Wilhm and Dorris, 1966). The use of the shannon diversity index has been widely used in ecological studies such as in mangrove studies (Wah et al., 2011), seagrasses (Panolino et al., 2014), coral reefs (Harborne et al., 2006), fish (Fausch et al ., 1990; Arias-González et al., 2012; Micheli et al., 2014), seaweed (Casas et al., 2004; Martins et al., 2014), sponge (Stubler et al., 2015), macrobentos (Best et al., 2014), to micro-organisms such as phytoplankton (Vallina et al., 2017), zooplankton (Mokhayer et al., 2017), and bacteria (Bourne and Munn, 2005). In some studies of community structures in Indonesia, the use of the Shannon diversity index is generally followed by diversity criteria, which reflect levels of diversity such as low, moderate, and high, as well as the degree of ecological stress due to pollution (Rembet et al., 2011;

Adrim et al. , 2012; Suhud et al., 2012; Afif et al., 2014; Dewiyanti et al., 2015; Olii et al., 2015; Prakoso, 2015; and Mustafa and Arami, 2017).

Foraminifera is a single-celled (unicellular) unicellular organism, having one or more rooms separated from each other by a septum penetrated by many foramen (Pringgoprawiro and Kapid 2000). Benthic foraminifera is one of organisms that are symbiotic and have a very close association with the reefs (Nybakken and Bertness, 2006). As part of the Indopasific region, Indonesia has a high diversity of foraminifera (Langer and Lips, 2003). Fluctuations in the aquatic environment both naturally and anthropogenic impacts can trigger changes in the biotic community, including benthic foraminifera such as changes in composition that ultimately lead to changes in the diversity of the community (Buzas et al., 2007; Radford et al., 2014). This study aims to examine the use of Shannon-wiener diversity index in benthic foraminifera in coral reef ecosystem.

167

Page 178: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

II. METHOD

2.1 Sampling The data were collected at 8 stations

in the coastal waters of Kupang Bay (Figure 23.1). Sampling of water quality and foraminifera was conducted in May-June 2017. The sample of foraminifera was obtained by taking surface sediments on the bottom of the water (Hallock et al., 2003). In the laboratory, the foraminifera sample was washed with flowing water in

a 0.063 mm sieved, after which it was dried by oven at 50 0C for two hours. Then the foraminifera in each sample is separated from the sediment in a petri dish under a binocular microscope. A further 300 specimens were taken for each sample and placed on a foraminiferal slide for identification using a binocular microscope at 40 times magnification (Dewi et al., 2010). The main identification literature used refers to Loeblich and Tappan (1994).

Figure 23.1. Map of research location

2.2 Data Analysis

The values of Shannon Diversity

Index were obtained using the following formula (Wilhm and Dorris, 1968).

2' logi iN N

HN N

Where : H ' : Value of diversity index Ni : The number of individuals on the

i-th type

N : Number of individuals in all types

Wilhm and Dorris (1968) provide water quality guidance based on Log-based H’ range (Table 23.1). This range changes depending on the logarithmic basis used. Pearson correlation is used to describe the relationship between the number of taxa and H ' and also the correlation between the ratio Ratio Number of individuals “S”/Number of Total Individuals and H’. This correlation analysis has a range of -1 to 1 (Carnahan et al., 2009)

168

Page 179: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Table 23.1. Water quality based on H '

Base Unpolluted Moderate Polluted

Log2 >3,00 1,00-3,00 <1,00 Ln >2,08 0,69-2,08 <0,69

Log10 >0,90 0,30-0,90 <0,30

III. RESULT There are 50 taxa from 2400

individuals foraminifers in which the range

of all stations is 23-33 taxa ( x = 29 ± 3.16)

(Table 23.2 and Table 23.3). Amphistegina, Calcarina, Elphidium, and Quinqueloculina are dominated the locations.

Hallock et al. (2003) states that benthic foraminifera in coral reef ecosystems is divided into three functional groups: Symbiont-bearing (S), Opportunistic (O), and Heterotrophic (H). Based on Symbiont-bearing functional group, then all locations are indicated as coral reef ecosystem waters since the contribution of algal symbionts foraminifers

are abundant in all location (30-54%, = 41.7% of total individuals in each location). In general, the diversity index values show the waters at the study site in moderate conditions, where the pollution level is not very high, so ecological pressure on the ecosystem is not high, but also not low. Although Location B has the highest number of taxa, the highest H’ value is at location E. The Pearson correlation between the number of taxa and H’ indicates the effect of the increase in the number of taxa on the increase in the value of H' (r = 0.72) (Figure 23.2). A strong negative Pearson correlation was shown in the association of the algae to total ratio of individuals and the value of H' (r = -85.94) (Figure 23.3).

Table 23.2. Taxa on each functional group

Number Number Number

Grup S Ind Location Grup H Ind Location Grup H Ind Location

Alveolinella 1 1 Agglutinella 11 5 Miliolinella 30 7

Amphisorus 65 5 Anomalinella 3 2 Nonion 1 1

Amphistegina 342 8 Cancris 6 3 Patellinella 17 4

Baculogypsina 15 2 Cibicides 22 8 Planispirinella 1 1

Borelis 2 2 Clavulina 9 6 Planorbulina 8 5

Heterostegina 58 8 Cyclammina 2 2 Polysegmentina 1 1

Operculina 37 6 Cylindroclavulina 2 2 Pyrgo 11 6

Peneroplis 81 8 Cymbaloporetta 30 6 Quinqueloculina 427 8

Sorites 23 8 Discorbina 9 3 Reussella 21 7

Calcarina 317 7 Discorbis 6 2 Rosalina 15 7

Neorotalia 59 5 Epistomaroides 4 3 Septotextularia 1 1

Eponides 107 8 Sigmoidella 7 2

Globigerinoides 56 8 Siphogenerina 7 5

Haddonia 1 1 Siphoniferoides 3 2

Grup O Hauerina 9 3 Siphotextularia 3 1

Ammonia 7 3 Heterolepa 25 2 Spiroloculina 35 8

Bolivina 9 6 Lachlanella 16 3 Textularia 127 8

Elphidium 307 8 Loxostomina 13 6 Triloculina 31 8

Table 23.3. Number of individuals and taxa in each functional group

Location A B C D E F G H Average StDev Total taxa

Number of individuals “S” 190 91 162 139 110 99 107 102 125.0 35.3

Number of individuals “O” 36 30 32 62 43 38 36 46 40.4 10.2

Number of individuals “H” 74 179 106 99 147 163 157 152 134.6 36.8

Number of taxa “S” 10 7 7 7 9 8 6 6 7.5 1.4 11

Number of taxa “O” 1 3 1 2 2 3 3 2 2.1 0.8 3

169

Page 180: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Next Table 23.3. Number of individuals and taxa in each functional group

Location A B C D E F G H Average StDev Total taxa

Number of taxa “H” 16 23 15 21 20 19 22 19 19.4 2.8 36

Diversity Index H’ 2.28 2.58 2.28 2.51 2.79 2.66 2.62 2.60 2.54 0.18 Ratio Number of individuals “S”/Number of Total Individuals

0.63 0.3 0.54 0.46 0.37 0.33 0.36 0.34 0.42 0.12

TOTAL TAXA 27 33 23 30 31 30 31 27 29.0 3.2 50

Figure 23.2. Relationship Number of Taxa and H '

Figure 23.3. Relationship of Ratio Number of individuals “S”/Number of Total

Individuals and H '

IV. DISCUSSION Shannon's diversity index has long

been used in studies of benthic foraminifera (Buzas, 1969 and Muruganantham et al., 2017). Wilhm and Dorris (1968) have the concept that the

value of the index given is a reflection of the quality of the waters. The better waters will give the index a higher value. However, in coral reef ecosystems, the use of diversity index has the potential of mis-interpretation (Hallock, 2012) because H' only counts the number of taxa and the

y = 0.041x + 1.351R² = 0.5239

2.20

2.30

2.40

2.50

2.60

2.70

2.80

22 24 26 28 30 32 34

H'

Number of Taxa

y = -1.31x + 3.0858R² = 0.7386

2.20

2.30

2.40

2.50

2.60

2.70

2.80

0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70

H'

Ratio Number of individuals “S”/Number of Total Individuals

170

Page 181: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

number of individuals in each taxa but does not consider the function of organisms in the ecosystem, especially as a bio-indicator. Hallock et al. (2003) provided an overview of the symbiont-bearing foraminifers group as a symbol of the better condition of reef ecosystems. Unfortunately a positive association between the abundance of symbiont-bearing foraminifers to diversity was not found in this study.

Moreover, the use of H' demands the ability of the identification of organisms up to the species level since the value of H' is basically used to calculate species diversity, not to quantify generic diversity. In micro organisms, the error rate of identification is quite large compared to the identification of macroorganisms. Both points out that the use of the Shannon-Wiener diversity index on benthic foraminifers appears to be ineffective in coral reef ecosystems.

Changes in the functional group of benthic foreminifers are thought to provide a better picture of ecological changes in a particular ecosystem than using diversity indices because they are less sensitive to changes in individuals and species, as long as the organisms are still in the same group. This interpretation has been studied in benthic foraminifera communities in coral reef ecosystems through the use of FoRAM Index (Hallock et al., 2003 and Pisapia et al., 2017). This understanding can minimize the degree of error in interpreting environmental stresses on coral reef ecosystems rather than using the H' index.

V. CONCLUSION

The Shannon-Wiener diversity index is sensitive to changes in individuals and species, but is not sensitive to changes in the composition of foraminifera in functional groups, making it less effective in interpreting coral reef ecosystem conditions. It should be considered using other better indices to use benthic foraminifera in reflecting the condition of coral reef ecosystems.

VI. ACKNOWLEDGE

The research was funded by Directorate of Research and Community Service, Directorate General of Research and Development Reinforcement, Ministry of Research, Technology and Higher Education, refers to Research Contract Number: 146 / UN15.19 / LT / 2017, therefore the research team would like to acknowledge the assistance and support from Kemenristek and the research institute of Nusa Cendana University for the facilitation given. Acknowledgments are also conveyed to PT.TOM and BKKPN who has facilitated research activities at sea.

BIBLIOGRAPHY Adrim, M., Harahap, S.A. and Wibowo, K.,

2012. Struktur Komunitas Ikan Karang di Perairan Kendari (Community Structure of Coral Reef Fishes at Kendari Waters). Ilmu Kelautan: Indonesian Journal of Marine Sciences, 17(3), pp.154-163.

Afif, J., Ngabekti, S. and Pribadi, T.A., 2014. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Di Ekosistem Mangrove Wilayah Tapak Kelurahan Tugurejo Kota Semarang. Life Science, 3(1).

Arias-González, J.E., Acosta-González, G., Membrillo, N., Garza-Pérez, J.R. and Castro-Pérez, J.M., 2012. Predicting spatially explicit coral reef fish abundance, richness and Shannon–Weaver index from habitat characteristics. Biodiversity and Conservation, 21(1), pp.115-130.

Best, R.J., Chaudoin, A.L., Bracken, M.E., Graham, M.H. and Stachowicz, J.J., 2014. Plant–animal diversity relationships in a rocky intertidal system depend on invertebrate body size and algal cover. Ecology, 95(5), pp.1308-1322.

Bourne, D.G. and Munn, C.B., 2005. Diversity of bacteria associated with the coral Pocillopora damicornis from the Great Barrier Reef. Environmental microbiology, 7(8), pp.1162-1174.

171

Page 182: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Buzas, M.A. 1969. Species Diversity: Benthonic Foraminifera in Western North Atlantic. Science Vol.163: 72-75.

Buzas, M.A., Hayek, L.A.C. and Culver, S.J., 2007. Community structure of benthic foraminifera in the Gulf of Mexico. Marine Micropaleontology, 65(1), pp.43-53.

Carnahan E.A, Hoare A.M, Hallock P, Lidz B.H, Reich C.D. 2009. Foraminiferal assemblages in Biscayne Bay, Florida, USA: Responses to urban and agricultural influence in a subtropical estuary. Marine Pollution Bulletin 59: 221-233.

Casas, G., Scrosati, R. and Piriz, M.L., 2004. The invasive kelp Undaria pinnatifida (Phaeophyceae, Laminariales) reduces native seaweed diversity in Nuevo Gulf (Patagonia, Argentina). Biological invasions, 6(4), pp.411-416.

Dewi KT, Natsir SM, Siswantoro Y. 2010. Mikrofauna (Foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar pulau-pulau kecil. Ilmu Kelautan. Vol. 1. Ed. Khusus: 1-9

Dewiyanti, G.D., Irawan, B. and Moehammadi, M., 2015. Kepadatan dan keanekaragaman plankton di perairan Mangetan Kanal Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur dari daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir Bulan Maret 2014. J. Ilmiah Biologi, 3(1), pp.37-46.

Fausch, K.D., Lyons, J.O.H.N., Karr, J.R. and Angermeier, P.L., 1990, December. Fish communities as indicators of environmental degradation. In American fisheries society symposium (Vol. 8, pp. 123-144).

Hallock P, Lidz BH, Cockey-Burkhard EM, Donnelly KB. 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: The FORAM Index. Environmental Monitoring & Assessment Journal 81: 221-238.

Hallock, P., 2012, July. The FoRAM Index

revisited: uses, challenges, and

limitations. In Proceedings of the 12th

International Coral Reef Symposium,

Cairns, Australia (pp. 9-13)

Harborne, A.R., Mumby, P.J., ZŻychaluk,

K., Hedley, J.D. and Blackwell, P.G.,

2006. Modeling the beta diversity of

coral reefs. Ecology, 87(11), pp.2871-

2881

Langer, M.R., and Lips, J.H. 2003 Foraminiferal distribution and diversity, Madang Reef and Lagoon, Papua New Guinea. Coral Reefs 22: 143–154

Loeblich Jr AR, Tappan H. 1994. Foraminifera of The Sahul Shelf and Timor Sea. Cushman foundation special publication 31: 1-661

Martins, C.D., Lhullier, C., Ramlov, F., Simonassi, J.C., Gouvea, L.P., Noernberg, M., Maraschin, M., Colepicolo, P., Hall-Spencer, J.M. and Horta, P.A., 2014. Seaweed chemical diversity: an additional and efficient tool for coastal evaluation. Journal of applied phycology, 26(5), pp.2037-2045.

Micheli, F., Mumby, P.J., Brumbaugh, D.R., Broad, K., Dahlgren, C.P., Harborne, A.R., Holmes, K.E., Kappel, C.V., Litvin, S.Y. and Sanchirico, J.N., 2014. High vulnerability of ecosystem function and services to diversity loss in Caribbean coral reefs. Biological Conservation, 171, pp.186-194.

Mokhayer, Z., Mousavi Nadushan, R., Rabbaniha, M., Fatemi, M.R. and Sh, J., 2017. Community composition and diversity of zooplankton in the northwest Persian Gulf. Iranian Journal of Fisheries Sciences, 16(2), pp.722-732.

Muruganantham, M., Ragavan,P., and Mohan, P.M. 2017. Diversity and distribution of living Larger Benthic Foramnifera From Coral Reef environments, South Andaman Island, India. Journal of Foraminiferan Research Vol 47 No.3: 252-257.

Mustafa, A. and Arami, H., 2017. Studi komunitas ikan pada ekosistem padang lamun yang tereksploitasi di Perairan Mola Taman Nasional Laut Wakatobi. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 1(4).

Nybakken JW, Bertness MD. 2006. Marine Biology: An Ecological Approach. 6th

172

Page 183: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ed. San Fransisco: Pearson education. Inc. xi + 579 hlm

Olii, M.Y.U., Baskoro, M.S., Martasuganda, S. and Mawardi, W. 2015. The Result Analysis Of Catching Set Net Othosiami Type In Malassoro bay, South Sulawesi. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 5(2), pp.153-160.

Panolino, L.P., Pilar, T.J., Pundug, N.A., Jay, G. and Suarez, J.J., 2014. Comparative diversity analysis and species composition of seagrass and macroalgae along the intertidal zone of sarangani province, Philippines

Pisapia, C., El Kateb, A., Hallock, P., Spezzaferri,S. 2017. Assessing coral reef health in the North Ari Atoll (Maldives) using the FoRAM Index, Marine Micropaleontology doi: 10.1016/j.marmicro.2017.06.001

Prakoso, K., 2015. Kelimpahan Epifauna di Substrat Dasar dan Daun Lamun Dengan Kerapatan yang Berbeda di Pulau Pahawang Provinsi Lampung. Management of Aquatic Resources Journal, 4(3), pp.117-122

Pringgoprawiro H, Kapid R. 2000.

Foraminifera: Pengenalan Mikrofosil &

Aplikasi Biostratigrafi. Bandung:

Penerbit ITB. 112 hlm.

Rembet, U.N., Boer, M., Bengen, D.G. and Fahrudin, A., 2011. Struktur

komunitas ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Putus-Putus Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 7(2), pp.60-65.

Stubler, A.D., Duckworth, A.R. and Peterson, B.J., 2015. The effects of coastal development on sponge abundance, diversity, and community composition on Jamaican coral reefs. Marine pollution bulletin, 96(1), pp.261-270.

Suhud, M.A., Pratomo, A. and Yandri, F., 2012. Struktur Komunitas Lamun Di Perairan Pulau Nikoi. Universitas Raja Ali Haji. Riau, 9.

Vallina, S.M., Cermeno, P., Dutkiewicz, S., Loreau, M. and Montoya, J.M., 2017. Phytoplankton functional diversity increases ecosystem productivity and stability. Ecological Modelling, 361, pp.184-196.

Wah, L.M., Mojiol, A.R. and Saleh, E., 2011. Diversity of mangroves ecosystem in Semporna mangrove forest. Bioscience, 28, pp.8-17.

Wilhm, J.L. and Dorris, T.C. 1968. Biological parameters for water quality criteria. Bioscience, pp.477-481.

Wilhm, J.L. and Dorris, T.C.1966. Species Diversity of Benthic Macroinvertebrates in a Stream Receiving Domestic and Oil Refinery Effluents. American Midland Naturalist, Vol. 76, No. 2 : 427-449

173

Page 184: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ANALISIS KOMPOSISI DAN KEPADATAN SAMPAH DOMESTIK YANG TERPAPAR PADA EKOSISTEM PESISIR OESAPA KOTA KUPANG

Fonny J. L. Risamasu1, Ricky Gimin2, P. Sutejo3, W. I. I. Mella4 dan Yahyah5

1,2,5)Staf Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan dan Program Studi Ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana 3,4) Staf Dosen Fakultas Pertanian dan Program Studi Ilmu Lingkungan Program

Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir Oesapa. Penelitian ini menggunakan metode observasi dan pengambilan data menggunakan metode transek kuadrat yang dipasang pada pantai berpasir keing, ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang hanya sampai batas surut terendah dengan luas kuadran 10 x 10 m. Sampah yang ditemukan pada setiap kuadran dicatat pada data sheet meliputi jenis sampah, jumlah sampah per jenis dan berat sampah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi sampah domestik berupa sampah padat yang ditemukan pada pantai berpasir kering, ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang ada tiga kelompok yaitu sampah organik, sampah anorganik dan sampah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Komposisi jenis sampah tertinggi adalah sampah anorganik sebanyak 53 jenis, sampah organik 7 jenis dan terendah sampah B3 1 jenis. Sampah yang dominan terdapat pada lokasi penelitian adalah sampah anorganik seperti plastik, kain dan tali, sedangkan sampah yang jarang ditemukan adalah sampah B3. Pantai berpasir kering memiliki jumlah potongan sampah lebih tinggi dari ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun. Jumlah potongan sampah dan berat sampah yang terpapar pada pantai berpasir kering, ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun tertinggi adalah sampah anorganik, kemudian sampah organik dan terendah sampah B3. Jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah adalah sampah bagian-bagian tubuh ikan (sampah organik), dan sampah anorganik seperti plastik, kain dan tali. Selanjutnya sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari berat sampah adalah bagian-bagian tubuh ikan (sampah organik), dan sampah anorganik seperti plastik, ban bekas, kain, karung dan fiber. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat dalam penanganan dan pengelolaan sampah di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa. Kata Kunci : Komposisi jenis,kepadatan, sampah domestik, ekosistem pesisir

I. PENDAHULUAN

Kelurahan Oesapa merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan Kelapa Lima termasuk dalam wilayah administratif Kota Kupang. Ditinjau dari letak demografi, Kelurahan Oesapa termasuk salah satu kelurahan yang berada di wilayah pesisir. Jumlah penduduk sbanyak 542 KK yang menyebar pada 8 RT. Penduduk yang tinggal di Kelurahan Oesapa termasuk sangat padat. Aktivitas yang dilakukan masyarakat Kelurahan Oesapa sangat beragam terdapat berbagai industri mebel, pertokoan, pemukiman penduduk, tempat pariwisata, pasar dan kegiatan

penangkapan ikan. Semua aktivitas ini tentu akan menghasilkan sampah. Sampah yang dihasilkan dari berbagai aktivitas selain telah ditangani secara baik, namun kebanyakan masyarakat masih membuang sampah terutama di wilayah pesisir. Hal ini membuat pemandangan wilayah pesisir Oesapa terlihat sangat kumuh walaupun sudah ada berbagai kegiatan sadar lingkungan untuk penangangan sampah seperti pembersihan pantai, pembuatan bak sampah dan pemasangan papan himbauan, namun hasilnya belum maksimal untuk menangani masalah sampah di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa.

174

Page 185: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Wilayah pesisir Kelurahan Oesapa terdapat beragam ekosistem seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan biota perairan. Sampah yang dibuang dipinggir pantai akibatnya terbawa oleh arus tertahan pada akar-akar pohon mangrove, bahkan yang paling parah menutup anakan mangrove sehingga menghambat pertumbuhan dan mati. Selain itu, limbah cair yang dibuang masuk ke wilayah pesisir menyebahkan bau yang tidak sedap meningkatkan kadar H2S, sehingga memperpuruk kualitas air, namun berdampak pula terhadap pohon-pohon mangrove banyak yang mati. Selain itu, terumbu karang dan lamun yang berada di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa juga pertumbuhan kurang baik akibat dari limbah-limbah yang dibuang ke wilayah pesisir sehingga mempengaruhi perkembangan dan kehadiran biota-biota yang hidup pada berbagai ekosistem tersebut.

Hasil praktikum mahasiswa Prodi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Undana pada tahun 2010-2014 tentang jenis-jenis limbah yang mencemari wilayah pesisir menunjukkan bahwa limbah (sampah) yang dihasilkan lebih banyak limbah organik, anorganik dan limbah B3. Namun paling dominan adalah limbah domestik yang berasal dari limbah rumah tangga para penduduk yang tinggal disepanjang wilayah pesisir Oesapa. Jenis-jenis limbah yang dihasilkan seperti sampah plastik, botol dan kaleng, potongan material kayu, tinja dan limbah cair (deterjen, oli, dan lain-lain). Sumber limbah ini berasal dari nelayan, rumah tangga wisatawan, industri mebel dan ternak.

Menyikapi permasalahan sampah, agar informasi detail dapat diperoleh tentang jenis-jenis dan jumlah sampah yang dihasilkan dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir, maka perlu dilakukan suatu kajian melalui penelitian. Penelitian ini dibatasi hanya pada limbah domestik terutama limbah padat yang dihasilkan oleh aktivitas masyarakat pada kelurahan tersebut. Tujuan penelitian untuk mengetahui komposisi dan kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir Oesapa. Diharapkan penelitian ini dapat dilakuan untuk menjawab

permasalahan penanganan sampah di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilakukan di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota, Kupang, NTT. Waktu pelaksanaan penelitian 6 (enam) bulan terhitung Juli sampai Desember 2015. 2.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sampah yang dibuang di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa, roll meter, sarung tangan, masker, tempat sampah, kantong plastik, timbangan, sekop, sepatu boat, GPS, kamera, linggis, parang, data sheet (lembaran data) dan alat tulis menulis. 2.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasi di lapangan terhadap sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir dengan prosedur sebagai berikut : 1. Sebelum sampel sampah diambil

terlebih dahulu melakukan survei di areal ekosistem pesisir di wilayah pesisir Oesapa.

2. Selanjutnya menentukan stasion pengambilan sampel berada pada tiga stasion yaitu 1 stasion di Oesapa, dan 2 stasion di Oesapa Barat.

3. Pada setiap stasion akan dipasang transek tegak lurus garis pantai pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang hanya sampai batas surut terendah. Setiap garis transek akan ditempat kuadran dengan luasan 10 x 10 m, dimana kuadran 1 ditempat di daratan pesisir (Pantai berpasir kering), 1 trasek ditempatkan di zona tengah (ekosistem mangrove/terumbu) dan 1 transek ditempatkan di zona depan kearah laut (ekosistem lamun/terumbu karang (Gambar 24.1.)

175

Page 186: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

4. Sampah yang ditemukan pada setiap kuadran dicatat pada data sheet

meliputi jenis sampah, jumlah sampah per jenis dan berat sampah.

Gambar 24.1. Pemasangan garis transek pada ekosistem pesisir

5. Data sampah yang diperoleh kemudian dikelompokkan menurut kategori sampah mengikuti petunjuk Tchobanoglous (1993) dikutip oleh Suwartana (2013) terdiri atas sampah organik, anorganik dan Bahan Berbahaya Beracun (B3).

2.4 Analisis Data Analisis kepadatan jenis sampah yang

terpapar pada ekosistem pesisir menggunakan petunjuk Coe dan Rogers (1997) dikutip oleh Walalangi (2012) sebagai berikut :

KM (jumlah potongan sampah) = Jumlah potongan sampah dalam tiap kategori

Luas area (m2

)

KM (berat sampah) = Berat sampah dalam tiap kategori

Luas area (m2

)

KR (jumlah potongan sampah) = Jumlah potongan sampah tiap kategori

Jumlah total potongan sampah semua kategori x 100 %

KR (berat sampah) = Berat potongan sampah tiap kategori

Total berat potongan sampah semua kategori x 100 %

Keterangan : KM : Kepadatan Mutlak KR : Kepadatan Relatif

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Komposisi Jenis Sampah

Pengambilan sampel sampah dilakukan di wilayah pesisir Kelurahan Oesapa menggunakan metode transek kuadrat. Penelitian ini dilakukan pada 3 stasion pengamatan yaitu stasion 1 bertempat di pasar Oesapa dan pemukiman penduduk, Stasion 2 di lokasi wisata Paradiso Oesapa dan Stasion 3 bertempat di pemukiman pendudk

Paradiso Oesapa. Setiap stasion dipasang 3 transek dimana transek tersebut dipasang tegak lurus sejajar garis pantai. Setiap transek dipasang 3 kuadran yaitu penempatan kuadran 1 (K1) pada lokasi pantai berpasir kering, kuadran 2 (K2) pada lokasi yang ditumbuhi mangrove/karang dan kuadran 3 (K3) pada lokasi yang ditumbuhi lamun. Komposisi jenis sampah domestik berupa sampah padat yang ditemukan pada ketiga stasion penelitian terdiri atas 3

176

Page 187: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

kelompok yaitu sampah organik sebanyak 7 jenis, sampah anorganik sebanyak 53

jenis dan sampah B3 sebanyak 1 jenis disajikan pada Tabel 24.1.

Tabel 24.1. Komposisi jenis sampah padat yang ditemukan disetiap transek pada ketiga

stasion penelitian

No Jenis Sampah

ST 1 (Pasar dan Oesapa

Pemukiman)

ST 2 (Tempat wisata Paradiso

Oesapa)

ST 3 (Pemukiman

Paradiso Oesapa)

T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T2 T3

A. Organik

1. Bagian-bagian tubuh ikan

+ - - - - - - - -

2. Bagian tubuh ayam - + - - - - - - -

3. Kayu/papan - - + + - - + +

4. Daun gewang - - - + - - - - -

5. Tongkol jagung - - - - - - - - +

6. Kepiting mati - - - - - - - + -

7. Kelapa - - + - - - - - -

B An-organik

1. Plastik + + + + + + + + +

2. Popok bayi - + + - - - - - -

3. Bungkus rokok + + - - - - - - +

4. Kain + + + + + + + + +

5. Waring/jaring + + + + + - - - +

6. Karung + + + - + + + + +

7. Bekas baliho/spanduk

+ - - + - - - + -

8. Tali + + + + + + + + +

9. Karet + + + + + - + + +

10 Seng + + - - - - - + +

11. Ban bekas - + - + - - - - +

12. Fiber - + - - + - + + - 13. Kosmetik - + + - - - + - -

14. Kuas - + - - - - + + -

15. Kaleng + + + - + - + + +

16. Sendal/sepatu plastik

- + + - + - + + -

17. Gelas dan botol minuman

- + + + + - + + +

18. Kabel - + - - - - + - -

19. Alat motor - + - - - - - - -

20. Balon lampu - + - - - - - -

21. Sikat pakaian - - + - - - - - +

22. Sedotan - - + - - - - - - 23. Spare part motor - - + - - - 24. Piring

plastik+Penutup toples

- - + - - - + - -

25. Gantungan pakaian - - + - - - - - - 26. Kemasan oli - - + - - - - - - 27. Besi beton - - + - + - - - - 28. Pipa paralon + - - - + - + + -

177

Page 188: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

29. Kerangka TV - - - + - - - - - 30. Casting HP - - - + - - - - - 31. Karpet - - - + - - - - - 32. Aluminium - - - + - - - - - 33. Kabel listrik - + - - - - + - - 34. Kartu - - - - + - - - - 35. Fiting lampu - - - - - + + + - 36. Besi - - - - - - - - - 37. Ikat rambut - - - - - + - - - 38. Parfum - - - - - - + - - 39. Botol kaca - - - - + + - - - 40. Kemasan pasta gigi - - - - - - + + + 41. Tas/dompet - - - - - - + + - 42. Kaca - - - - - - + - - 43. Keramik - - - - - - + - - 44. Kertas pasir - - - - - - - + - 45. Stik sapu ijuk - - - - - - - + - 46. Beling - - - - - - - + - 47. Kelambu - - - - - - - + - 48. Selang - - + - - - - + - 49. Barang elektronik - - - - - - - + - 50. Sikat gigi - - - - - - - - + 51. Pembalut - + - - - - - + - 52. Terpal - + - - + - - - - 53. Jarum suntik - - + - - - - - -

C. B3 1. Baterai - + - + - - - + -

Tabel 24.1 memperlihatkan bahwa

jenis sampah yang memiliki komposisi jenis tertinggi adalah sampah anorganik sebanyak 53 jenis, kemudian sampah organik sebanyak 7 jenis dan terendah sampah B3 sebanyak 1 jenis. Dari seluruh jenis sampah yang ditemukan jenis sampah yang dominan terdapat pada seluruh transek pada ketiga stasion penelitian yaitu sampah anorganik seperti plastik, kain dan tali, sedangkan sampah yang jarang ditemukan adalah sampah B3 seperti baterai. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa sampah yang ditemukan pada 3 stasion penelitian dalam 9 transek didominasi oleh sampah anorganik terutama berbahan plastik jika dibandingkan dengan sampah organik dan B3. Jenis-jenis sampah yang ditemukan disajikan pada Gambar 24.2.

Komposisi sampah merupakan komponen fisik sampah seperti sisa-sisa

makanan, kertas, karbon, kayu, kain-tekstil, karet-kulit, plastik, logam besi-non besi, kaca, dan lain- lain (misalnya tanah, pasir, batu dan keramik) (Anonim,1994 dikutp oleh Citasari, 2012). Menurut Kincloch dan Brock (2007) dikutip oleh Natali, dkk (2014), membagi kategori dan deskripsi sampah di pantai, menjadi, (1) Plastik kasar (kaku) seperti drum plastik penampung dan mengapung; (2) Plastik halus (fleksibel) seperti tas polythen, bungkusan makanan atau minuman ringan; (3) Kaca seperti botol, pecahan kaca, lampu; (4) Logam : kaleng (makanan dan minuman) seperti penampung minyak, kaleng pewangi; (5) Kain/kertas/karton seperti kain rombengan, bungkus permen, tali pakaian, karton, tisu; (6) Tali tambang seperti tali pancing, jaring, tali jerat; (7) Busa/karet seperti polystyrene terapung dan mengapung, tali kulit, bola tenis.

178

Page 189: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 24.2. Jenis-jenis sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir

3.2 Jumlah Sampah

Total keseluruhan `jumlah potongan

sampah dan berat sampah domestik berupa sampah padat yang ditemukan

terpapar pada pantai berpasir kering, ekosistem mangrove, terumbu karang dan ekosistem lamun pada stasion 1, 2 dan 3 berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Tabel 24.2.

Tabel 24.2. Total keseluruhan jumlah potongan sampah dan berat sampah yang terpapar

pada ketiga lokasi penelitian

Stasion Transek

Kuadran

1 (Pantai

berpasir kering)

2 (Ekosistem

mangrove/terumbu

karang )

3 (Ekosistem lamun/ terumbu karang)

Jlh pot

Berat (g)

Jlh pot

Berat (g)

Jlh pot

Berat (g)

ST1 (Pemukiman dan Pasar Oesapa)

T1 257 17457 15 10500 1 22 T2 121 21142 119 10755 9 345 T3 626 52129 248 24911 29 1327

Sub Total 1004 90728 382 46166 39 1694

ST2 (Tempat Wisata Paradiso)

T1 74 27908 1 3 9 263 T2 53 5454 4 1490 3 509 T3 13 3764 1 162 1 43

Sub Total 140 37126 6 1655 13 815

ST3 (Pemukiman Paradiso) T1 93 10569 54 14091 10 1155 T2 352 25461 60 6793 12 864 T3 33 71620 44 2018 7 124

Sub Total 478 107650 158 22902 29 2143

Total 1622 235504 546 70723 81 4652

Keterangan : Jlh pot : jumlah potongan

179

Page 190: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 24.2 di atas menunjukkan bahwa total jumlah potongan sampah dan berat sampah tertinggi terdapat pada stasion 1, kemudian stasion 2 dan terendah pada stasion 3. Selanjutnya pada pantai berpasir kering jumlah potongan sampah lebih banyak pada stasion 1, kemudian stasion 3 dan terendah stasion 2. Selanjutnya dari jumlah berat sampah stasion 3 mempunyai jumlah berat sampah lebih tinggi dari stasion 1 dan terendah stasion 2.

Pada pantai yang ditumbuhi mangrove dilihat dari jumlah potongan sampah yang terpapar ternyata stasion 1 lebih banyak dari satsion 3 dan terendah pada stasion 2. Selanjutnya dari jumlah berat ternyata stasion 1 memiliki jumlah berat sampah lebih tinggi, kemudian stasion 3 dan terendah stasion 2.

Berikut pada pantai yang ditumbuhi lamun dilihat dari jumlah potongan sampah yang terpapar ternyata stasion 3 memiliki jumlah potongan sampah lebih tinggi, kemudian stasion 1 dan terendah stasion 2. Selanjutnya dari jumlah berat ternyata stasion 3 memiliki jumlah berat sampah lebih tinggi, kemudian stasion 1 dan terendah stasion 2.

Tingginya sampah pada pantai berpasir kering karena masyarakat menggunakan pantai berpasir kering sebagai tempat membuang sampah. Selain sampah dibuang oleh manusia ke pantai namun pada saat pasang sampah terbawa oleh arus dan terdampar di

pantai. Berikut sampah juga banyak terpapar pada pohon mangrove karena ada akar napas dan ranting pohon yang bisa menahan sampah ketika sampah terbawa oleh arus saat pasang dan surut. Namun pada ekosistem lamun sampah ditemukan sedikit karena selalu tercuci oleh arus saat pasang maupun surut. Dari kondisi ini dapat dikatakan bahwa selain sampah dibuang oleh manusia ke pantai tapi arus pasang surut juga berperan untuk membawa sampah ke pinggir pantai. Akhirnya sampah banyak terdampar dipinggir pantai.

Lautan telah menjadi salah satu raksasa sampah untuk segala macam plastik. Sementara sekitar 10% dari semua limbah padat adalah plastik (Heap 2009 dikutip oleh Natali, 2014), hingga 80% sampah yang terakumulasi di darat, garis pantai, permukaan laut, atau dasar laut adalah plastik (Barnes, et al.2009) dikutip oleh Natali, 2014. Kuatnya arus pasang surut memberikan pengaruh langsung terhadap jumlah limbah padat yang dijumpai di setiap titik penelitian dan sebaliknya jika semakin rendah tekanan arusnya maka tingkat masuknya limbah ke dalam alat tangkap cenderung akan menurun. Berikut disajikan total jumlah sampah dan berat sampah menurut kategori sampah (organik, anorganik dan B3) yang terpapar pada pantai berpasir kering di ketiga stasion penelitian disajikan pada Tabel 24.3.

Tabel 24.3. Total jumlah potongan sampah dan berat sampah menurut kategori sampah

(organik, anorganik dan B3) yang terpapar pada pantai berpasir kering pada ketiga stasion penelitian

Sampah organik Sampah anorganik Sampah B3

Jumlah potongan

Berat (g)

Jumlah potongan

Berat (g)

Jumlah potongan

Berat (g)

ST1T1K1 131 800 126 9457 0 0 ST1T2K1 4 84 116 20979 1 79 ST1T3K1 14 1577 370 8268 0 0 ST2T1K1 0 0 74 27908 0 0 ST2T2K1 0 0 53 5454 0 0 ST2T3K1 0 0 13 3764 0 0 ST3T1K1 0 0 93 10569 0 0 ST3T2K1 0 0 351 25436 1 45 ST3T3K1 1 59 32 71561 0 0

Total 150 2520 1228 183396 2 124

Keterangan : ST : Stasion; T : Transek; K : Kuadran

180

Page 191: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 24.3 memperlihatkan bahwa jumlah potongan sampah dan berat sampah yang terpapar pada pantai berpasir kering tertinggi adalah sampah anorganik sebanyak 1228 potong dengan berat sebesar 183396 g (183.396 kg), kemudian sampah organik sebanyak 150 potong dengan berat sebesar 2520 g (2.52 kg), dan terendah sampah B3 hanya 2

potong dengan berat sebesar 124 g (0.124 kg).

Total jumlah sampah dan berat sampah menurut kategori sampah (organik, anorganik dan B3) yang terpapar pada ekosistem mangrove/terumbu karang di ketiga stasion penelitian disajikan pada Tabel 24.4.

Tabel 24.4. Total jumlah potongan sampah dan berat sampah menurut kategori sampah

(organik anorganik dan B3) yang terpapar pada ekosistem mangrove/terumbu karang pada ketiga stasion penelitian

Keterangan : ST : Stasion; T : Transek; K : Kuadran

Tabel 24.4 memperlihatkan bahwa jumlah potongan sampah dan berat sampah yang terpapar pada ekosistem mangrove/karang tertinggi adalah sampah anorganik sebanyak 338 potong dengan berat sebesar 48529 g (48.529kg), kemudian sampah organik sebanyak 4

potong dengan berat sebesar 664 g (0.664 kg), dan sampah B3 tidak ditemukan.

Total jumlah sampah dan berat sampah menurut kategori sampah (organik, anorganik dan B3) yang terpapar pada ekosistem lamun/terumbu karang di ketiga stasion penelitian disajikan pada Tabel 24.5.

Tabel 24.5. Total jumlah potongan sampah dan berat sampah menurut kategori sampah

(organik, anorganik dan B3) yang terpapar pada ekosistem lamun/terumbu karang pada ketiga stasion penelitian

Stasion Sampah organik Sampah anorganik Sampah B3

Jumlah potongan

Berat (g)

Jumlah potongan

Berat (g)

Jumlah potongan

Berat (g)

ST1T1K3 0 0 1 22 0 0 ST1T2K3 0 0 9 345 0 0 ST1T3K3 0 0 11 637 0 0 ST2T1K3 1 1000 8 1632 0 0 ST2T2K3 1 432 2 77 0 0 ST2T3K3 0 0 1 43 0 0 ST3T1K3 3 626 7 529 0 0 ST3T2K3 2 23 10 841 0 0 ST3T3K3 1 44 6 1203 0 0

Total 8 2125 55 5329 0 0

Keterangan : ST : Stasion; T : Transek; K : Kuadran

Stasion

Sampah organik Sampah anorganik Sampah B3

Jumlah potongan

Berat (g)

Jumlah potongan

Berat (g)

Jumlah potongan

Berat (g)

ST1T1K2 0 0 13 10500 0 0 ST1T2K2 1 26 118 10729 0 0 ST1T3K2 0 0 46 3401 0 0 ST2T1K2 0 0 1 3 0 0 ST2T2K2 1 132 3 1358 0 0 ST2T3K2 0 0 1 162 0 0 ST3T1K2 1 146 53 13945 0 0 ST3T2K2 0 0 60 6793 0 0 ST3T3K2 1 360 43 1638 0 0

Total 4 664 338 48529 0 0

181

Page 192: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 24.5 memperlihatkan bahwa jumlah potongan sampah dan berat sampah yang terpapar pada ekosistem lamun/terumbu karang tertinggi adalah sampah anorganik sebanyak 55 potong dengan berat sebesar 5329 g (5.329kg), kemudian sampah organik sebanyak 8 potong dengan berat sebesar 2125 g (2.1125 kg), dan sampah B3 tidak ditemukan.

3.3 Kepadatan Sampah

Hasil analisis kepadatan sampah domestik berupa sampah padat yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 1 Transek 1 (ST1 T1) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, anorganik dan B3 sebanyak 273 potong dengan berat keseluruhan sebanyak 27531 g (27,531 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata bagian-bagian tubuh ikan mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 131 potong, kemudian sampah plastik sebanyak 126 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah kain memiliki berat lebih tinggi sebesar 10511 g (10,511 kg), kemudian bagian-bagian tubuh ikan dengan berat 8000 g (8 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST1T1 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu bagian-bagian tubuh ikan dengan kepadatan mutlak sebesar 1,31 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 69.68%, kemudian sampah plastik mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.42 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 22.34% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah bagian-bagian tubuh ikan sebesar 80 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 46.35%, kemudian sampah kain mempunyai kepadatan mutlak sebesar 52.56 potong/m2 dengan kepadatan relatif

sebesar 30.46%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 1 Transek 2 (ST1 T2) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, anorganik dan B3 sebanyak 249 potong dengan berat keseluruhan sebanyak 32167 g (32.167 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah plastik mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 70 potong, kemudian sampah kain sebanyak 36 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah ban bekas memiliki berat lebih tinggi sebesar 17900 g (17.9 kg), kemudian sampah kain dengan berat 4500 g (4.5 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST1T2 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah plastik dengan kepadatan mutlak sebesar 0.23 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 19.28%, kemudian sampah kain mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.18 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 14.88% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah ban bekas sebesar 179 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 70.12%, kemudian sampah kain mempunyai kepadatan mutlak sebesar 22.5 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 8.81%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 1 Transek 3 (ST1 T3) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, dan anorganik sebanyak 441 potong dengan berat keseluruhan sebanyak 13883 g (13.883 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah plastik mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 343 potong, kemudian sampah kain sebanyak 20 potong dan diikuti oleh jenis sampah

182

Page 193: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah plastik memiliki berat lebih tinggi sebesar 6546 g (6.546 kg), kemudian sampah kelapa dengan berat 932 g (0.932kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST1T3 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah plastik dengan kepadatan mutlak sebesar 1.15 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 59.28%, kemudian sampah kain dan kelapa masing-masing mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.10 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 5.15% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah sampah plastik sebesar 21.82 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 27.45%, kemudian sampah kelapa mempunyai kepadatan mutlak sebesar 9.32 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 11.73%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 2 Transek 1 (ST2 T1) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, dan anorganik sebanyak 84 potong dengan berat keseluruhan sebanyak 30543 g (30.543 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah kain mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 42 potong, kemudian sampah plastik sebanyak 15 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah ban bekas memiliki berat lebih tinggi sebesar 17904 g (17.904 kg), kemudian sampah kain dengan berat 9152 g (9.152 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST2T1 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah kain dengan kepadatan mutlak sebesar 0.21 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 41.18%,

kemudian sampah karpet plastik mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.13 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 25.49% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah sampah ban bekas sebesar 85.52 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 53.12%, kemudian sampah kain mempunyai kepadatan mutlak sebesar 45.76 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 27.15%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 2 Transek 2 (ST2 T2) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, dan anorganik sebanyak 60 potong dengan berat keseluruhan sebanyak 7453 g (7.453 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah karet pinggang mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 17 potong, kemudian sampah karet sebanyak 11 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah karung memiliki berat lebih tinggi sebesar 2556 g (2.556 kg), kemudian sampah fiber dengan berat 1550 g (1.550 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST2T2 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah kain dengan kepadatan mutlak sebesar 0.17 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 29.82%, kemudian sampah karet mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.11 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 19.30% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah sampah karung sebesar 25.56 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 41.30%, kemudian sampah kain memunyai kepadatan mutlak sebesar 11.9 potong/m2 dengan kepadatan relatif

183

Page 194: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

sebesar 18.08%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 2 Transek 3 (ST2 T3) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, dan anorganik sebanyak 15 potong dengan berat keseluruhan sebanyak 3969 g (3.969 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah kain mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 5 potong, kemudian sampah karung sebanyak 4 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah kain memiliki berat lebih tinggi sebesar 3314 g (3.314 kg), kemudian sampah karung dengan berat 390 g (0.390 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST2T3 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah kain dengan kepadatan mutlak sebesar 0.05 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 35.71%, kemudian sampah karung mempnyai kepadatan mutlak sebesar 0.04 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 28.57% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah sampah kain sebesar 33.14 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 84.11%, kemudian sampah karung mempunyai kepadatan mutlak sebesar 3.9 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 9.90%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 3 Transek 1 (ST3 T1) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, dan anorganik sebanyak 157 potong dengan berat keseluruhan sebannyak 25815 g (25.815 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah plastik mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 29 potong, kemudian sampah kain sebanyak 23 potong dan diikuti oleh jenis sampah

lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah fiber memiliki berat lebih tinggi sebesar 8000 g (8.0 kg), kemudian sampah sendal/sepatu dengan berat 5501 g (5.501 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST3T1 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah plastik dengan kepadatan mutlak sebesar 0.15 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 14.22%, kemudian sampah gelas dan botol minuman mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.13 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 12.75% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah sampah fiber sebesar 80.0 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 40.91%, kemudian sampah sendal/sepatu mempunyai kepadatan mutlak sebesar 27.51 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 14.07%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 3 Transek 2 (ST3 T2) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, anorganik dan B3 sebanyak 424 potong dengan berat keseluruhan sebannyak 31391 g (31.391 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah plastik mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 305 potong, kemudian sampah kain sebanyak 23 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampah plastik memiliki berat lebih tinggi sebesar 16697 g (16.697 kg), kemudian sampah kain dengan berat 3173 g (3.173 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST3T2 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah plastik dengan kepadatan mutlak sebesar 1.02 potong/m2 dengan

184

Page 195: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

kepadatan relatif sebesar 56.17%, kemudian sampah kain minuman mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.12 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 6.35% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah sampah plastik sebesar 55.56 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 34.72%, kemudian sampah kain mempunyai kepadatan mutlak sebesar 15.87 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 9.90%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ekosistem pesisir di Stasion 3 Transek 3 (ST3 T3) menunjukkan bahwa total jumlah jenis sampah yang ditemukan untuk sampah organik, dan anorganik sebanyak 84 potong dengan berat keseluruhan sebannyak 74885 g (74.885 kg). Dilihat dari jumlah potongan sampah ternyata sampah plastik mempunyai jumlah tertinggi sebanyak 43 potong, kemudian sampah tali sebanyak 14 potong dan diikuti oleh jenis sampah lainnya. Selanjutnya dilihat dari berat sampah ternyata sampahban bekas memiliki berat lebih tinggi sebesar 70000 g (70.0 kg), kemudian sampah kain dengan berat 1303 g (1.303 kg), dan diikuti jenis sampah lainnya.

Hasil analisis kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir di ST3T3 menunjukkan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yaitu sampah plastik dan tali mempunyai kepadatan mutlak masing-masing sebesar 0.14 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 28.0%, kemudian sampah gelas dan botol minuman mempunyai kepadatan mutlak sebesar 0.04 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 8.0% dan diikuti oleh jenis lainnya. Selanjutnya kepadatan sampah yang terpapar pada ketiga ekosistem pesisir ditinjau dari berat sampah ternyata jenis sampah yang memiliki kepadatan mutlak tertinggi adalah ban bekas sebesar 700.0 g/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 95.81%, kemudian sampah tali mempunyai kepadatan mutlak sebesar

7.01 potong/m2 dengan kepadatan relatif sebesar 0.96%, dan diikuti oleh jenis sampah lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dkatakan bahwa jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah yakni sampah anorganik seperti plastik, kain dan tali, sedangkan dilihat dari berat sampah yakni sampah anorganik seperti plastik, ban bekas, kain, karung dan fiber. Umumnya sampah yang terpapar di wilayah pesisir Oesapa dengan tingkat kepadatan tertinggi adalah sampah berbahan plastik. Menurut Carey et al., (2007) dikutip oleh Walalangi (2012) mengemukakan bahwa polusi yang diakibatan oleh sampah plastik ini meningkat sangat dramastis sejalan dengan bertambahnya jumlah produksi plastik dewasa ini. Karena itu penanganan terhadap sampah plastic ini perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mencemari lingkungan perairan pesisir. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan melalui pembakaran sampah pada setiap rumah tangga. Namun dapat juga dilakukan dengan cara mendaur ulang agar sampah ini tidak dibuang percuma.

Menurut HIMKA POLBAN (2013), banyak hewan yang hidup di laut mengkonsumsi plastik karena tak jarang plastik yang terdapat di laut akan tampak seperti makanan bagi hewan laut. Plastik tidak dapat dicerna dan akan terus berada pada organ pencernaan hewan ini, sehingga menyumbat saluran pencernaan dan menyebabkan kematian melalui kelaparan atau infeksi. Selain berpengaruh terhadap kesehatan biota laut, adanya sampah di laut juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Penyakit yang paling sederhana seperti gatal-gatal pada kulit setelah bersentuhan dengan air laut, dan lain-lain.

Menurut Serang (2011), Sampah plastik sulit terdegradasi, merupakan salah satu masalah utama dumping limbah padat ke lingkungan laut. Terapungnya sampah-sampah plastik ini akan menghalangi penetrasi cahaya matahari dan pertukaran udara dari atmosfer. Hal ini akan berpengaruh buruk terhadap kehidupan organisme di laut, karena proses fotosintesis oleh fitoplankton akan

185

Page 196: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

terhambat, dan akan menyebabkan terputusnya rantai makanan yang bersumber dari fitoplankton. Selain itu sampah-sampah yang banyak terapung di laut dapat terbawa ke tipe oleh ombak maupun arus laut. Kemudian pada waktu surut, sampah-sampah tersebut akan tertinggal diantara biota-biota daerah terumbu karang, ataupun tertimbun di pasir pantai. Jenis-jenis sampah plastik, kaleng bekas, potongan-potongan kayu, karton, kertas daun-daun yang busuk, kulit buah-buahan, arang, gumpalan ter dan sebagainya ditinjau dari segi estetika maupun efek biologinya sangat merugikan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Komposisi sampah domestik berupa

sampah padat yang ditemukan pada pantai berpasir kering, ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang tergolong dalam tiga kelompok yaitu sampah organik, sampah anorganik dan sampah B3. Komposisi jenis sampah tertinggi adalah sampah anorganik sebanyak 53 jenis, kemudian sampah organik sebanyak 7 jenis dan terendah sampah B3 sebanyak 1 jenis. Sampah yang dominan terdapat pada lokasi penelitian adalah sampah anorganik seperti plastik, kain dan tali, sedangkan sampah yang jarang ditemukan adalah sampah B3 seperti baterai.

2. Total jumlah potongan sampah dan berat sampah tertinggi terdapat pada stasion 1, kemudian stasion 2 dan terendah pada stasion 3. Pantai berpasir kering memiliki jumlah potongan sampah lebih tinggi dari ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun. Jumlah potongan sampah dan berat sampah yang terpapar pada pantai berpasir kering, ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun tertinggi adalah sampah anorganik, kemudian sampah organik dan terendah sampak B3.

3. Jenis sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari jumlah potongan sampah adalah sampah bagian-bagian tubuh ikan (sampah organik), dan sampah anorganik seperti plastik, kain dan tali. Selanjutnya sampah yang memiliki kepadatan tertinggi ditinjau dari berat sampah adalah bagian-bagian tubuh ikan (sampah organik), dan sampah anorganik seperti plastik, ban bekas, kain, karung dan fiber.

4.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

disarankan beberapa hal antara lain : 1. Perlu penyadaran dan pendampingan

bagi masyarakat di Kelurahan Oesapa dalam penanganan dan pengelolaan sampah.

2. Perlu membuat tempat penampungan sampah pada setiap RT di Kelurahan Oesapa.

3. Perlu penelitian lanjutan tentang dampak sampah terhadap kehidupan biota perairan dan upaya pengelolaannya di perairan pesisir Kelurahan Oesapa.

DAFTAR PUSTAKA Citrasari N., Nur I. Oktavitri & Nuril A.

Aniwindira.2012. Analisis Laju

Timbunan Dan Komposisi Sampah di

Permukiman Pesisir Kenjeran

Surabaya. Berk. Penel. Hayati: 18

(83–85),2012. www.berkalahayati.org.

Diakses pada tanggal, 7 Mei 2015.

HIMKA POLBAN, 2013, Pencemaran Air

Laut.https://himka1polban.wordpress.

com. Diakses tanggal, 5 Desember

2015.

Natali, A, Y. I Siregar, dan S.H Siregar,

2014. Comparative Study on

Characteristics of Solid Waste Black

Water in Strait Meranti

Islands.download.portalgaruda.org.

Diakses pada tanggal, 15 Oktober

2015.

Serang, B., 2011. Pencemaran laut oleh sampah. buya-serang.blogspot.com.

186

Page 197: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Diakses pada tanggal 25 Oktober 2015.

Suwartana, I.G.M. 2013. Pengaruh kondisi social ekonomi terhadap peran serta masyarakat pesisir dalam pengelolaan sampah domestik di Kelurahan Pasir Panjang.(Tesis) Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Undana (Tidak dipublikasikan).

Walalangi, J.Y, 2012. Analisis komposisi sampah organik dan norganik serta dampak terhadap lingkungan Pesisir Kota Palu Sulawesi Tengah (Tesis). Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (Tidak dipublikasikan).

187

Page 198: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ANALISIS KANDUNGAN PROKSIMAT ASAM AMINO DAN ASAM LEMAK ALGAE HIJAU Halimeda opuntia

ASAL PERAIRAN UJUNG GENTENG JAWA BARAT

Abdullah Rasyid Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Jl. Pasir Putih No. 1 ancol Timur Jakarta 14430 E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Algae hijau Halimeda opuntia merupakan salah satu jenis algae yang banyak ditemukan di perairan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan proksimat, asam amino dan asam lemak alga hijua H. opuntia asal perairan Ujung Genteng, Jawa Barat. Penentuan kandungan proksimat menggunakan metode standar AOAC. Analisis kandungan asam amino menggunakan metode UPLC, sedangkan asam lemak menggunakan metode GC. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air, abu, lemak protein dan karbohidrat berturut-turut sebesar 1,34%, 89,08%, 1,14%, 2,88% dan 5,56%. Sebanyak 14 jenis asam amino yang teridentifikasi dimana asam glutamat, asam aspartat dan fenilalanin merupakan kompnen terbesar masing-masing 1586,94 mg/Kg, 1163,63 mg/Kg dan 1000,62 mg/Kg. Sedangkan asam lemak yang teridentifikasi sebanyak 8 jenis dimana asam laurat merupakan komponen terbesar yaitu 0,39%. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa algae hijau H. opuntia memiliki potensi sebagai salah satu sumber alternatif suplemen makanan di masa depan. Kata kunci : Algae hijau, Halimeda opuntia, Ujung Genteng, Jawa Barat

I. PENDAHULUAN

Makroalgae dapat dikelompokkan berdasarkan anatomi, pigmen, morfologi, kandungan komposisi kimia yaitu algae hijau (Chlorophyta), algae coklat (Pheophyta) dan algae merah (Rhodophyta) (Dawczynski, et al., 2007). Algae merupakan sumber penting makronurtien seperti protein, serat, karbohidrat dan lemak. Selain itu algae juga dikenal sebagai sumber mikronutrien seperti mineral dan vitamin (Ortiz et al., 2006). Algae telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan, makanan ternak, pupuk dan bahan pengobatan tradisional di beberapa negara Asia sejak jaman dahulu (Kumar et al., 2008).

Algae tidak umum digunakan sebagai bahan makanan di Indonesia seperti di negara Jepang, China maupun Korea. Bahkan sekitar 25% dari total jenis makanan yang dikonsumsi di Jepang berbahan dasar algae. Tidak mengherankan jika algae telah menjadi sumber pendapatan bagi nelayan di Jepang (Norziah and Ching, 2000).

Namun demikian, saat ini algae mulai dimanfaatkan sebagai salad oleh masyarakat wilayah pesisir pantai Indonesia.

Halimeda merupakan genus algae hijau yang berkapur (Calcareous) dan diklasifikasikan ke dalam ordo Briopsidales. Algae ini banyak ditemukan pada daerah terumbu karang dan hidup berkoloni (Romimohtarto danJuwana, 2001). Terdapat sekitar 18 jenis algae ini ditemukan tumbuh di perairan Indonesia (Atmadja et al., 1996). Salah jenis algae ini adalah H. opuntia. Talus jenis algae ini mengandung kalsium aragonite ektraseluler yang sangat tinggi sehingga menjadi penyumbang karbonat terbesar di lautan (Mayakun et al., 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan proksimat, asam amino dan asam lemak algae hijua H. opuntia asal perairan Ujung Genteng, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang potensi pemanfaatan algae hijau H. opuntia sebagai salah satu sumber

188

Page 199: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

alternatif suplemen makanan dari laut di masa depan.

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Sampel penelitian

Sampel algae hijau Halimeda opuntia (Gambar 25.1) dikumpulkan dari perairan Ujung Genteng Jawa Barat pada bulan April 2017 dengan metode koleksi bebas. Pemilihan metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah sampel yang memadai untuk analisa di laboratorium. Sampel terlebih dahulu dibersihkan dari pasir dan kotoran yang menempel dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari langsung selama 3 hari. Sampel yang telah kering dimasukkan dalam kantong plastik yang telah diberi label dan disimpan dalam suhu ruang sampai proses analisis dilakukan.

Gambar 25.1. Sampel algae hijau Halimeda opuntia

2.2 Analisis Proksimat

Analisis proksimat terdiri dari analisis

kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat menggunakan metode standar AOAC. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

1) Penentuan kadar air (% berat

kering)

Diilakukan dengan mengeringkan 2 g sampel algae hijau H. opuntia dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. (AOAC, 1990).

2) Penentuan kadar abu (% berat kering) Dilakukan dengan memanaskan

sampel algae hijau H. opuntia dalam tanur pada suhu 5500C sampai terbentuk abu yang bebas karbon. Selanjutnya sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang (AOAC, 1990).

3) Penentian kadar lemak (% berat

kering) Dilakukan dengan memasukkan

sebanyak 2 g sampel algae hijau H. opuntia ke dalam selongsong kertas saring yang dilapisi kapas. Selanjutnya direfluks menggunakan 120 mL petroleum eter selama 5 jam. Ekstrak sampel kemudian ditim bang (AOAC, 2000). Penentuan kadar protein (% berat kering) dihitung berdasarkan kadar N menggunakan nitrogen-protein dengan faktor konversi 6.25 (AOAC, 2000). Sedangkan penentuan kadar karbohidrat (% berat kering) dihitung sebagai berikut : (100% – (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak) %). 2.3 Anaisis Asam Amino

Analisis profil asam amino menggunakan UPLC dengan kondisi pengukuran : Kolom (AccQ.Tag Ultra C18 1.7 μm (2.1 x 100 mm); Fasegerak (Gradient composition system); Laju alir (0,5 ml per minute); Detektor (PDA, panjang gelombang 260 nm); Suhu (49oC); dan Volume injeksi (1 μL).

Preparasi sampel (Waters, 2012) : Ditimbang dengan teliti 0.1 g sampel algae H. opuntia selanjutnya ditambahkan 5 mL HCl 6N dan divortex. Sampel dihidrolisis selama 22 jam suhu 110OC. Secara perlahan didinginkan, kemudian dituang ke dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan akuades sampai batas volum. Larutan disaring menggunakan penyaring 0.45 µm. Dipipet sebanyak 500 µL filtrat, kemudian ditambahkan 40 µL AABA dan 460 µL akuabides. Dipipet sebanyak 10 µL larutan dan ditambahkan 70 µL AccQ Fluor Borate, selanjutnya divortex. Ditambahkan sebanyak 20 µL reagent fluor A, vortex dan didiamkan selama 1

189

Page 200: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

menit. Selanjutnya diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55OC. Selanjutnya diinjek ke dalam UPLC.

Preparasi larutan standar : Dipipet sebanyak 40 µL standar asam amino. Selanjutnya ditambhakan 40 µL internal standard AABA dan 920 µL akuabides, kemudian dihomogenkan. Dipipet 10 µL larutan standar, kemudian tambahkan 70 µL AccQ Fluor Borate, kemudian divortex. Selanjutnya di tambahkan 20 µL reagen fluor A dan divortex. Kemudian dibiarkan selama 1 menit pada suhu 55OC, selanjutnya diinjek ke dalam UPLC.

2.4 Analisis Asam Lemak

Analisis komposisi asam lemak menggunakan kromatografi gas dengan kondisi pengukuran sebagai berikut : Kolom (Supelco SPTM 2560 100m 0.25 mm 0.2 μm); Laju alir (18.0 cm/detik dengan panjang kolom 100 m); Suhu injektor (225ºC); Gas pengantar (N2); Detektor FID (240ºC); dan Split (1:100).

Preparasi sampel untuk ekstraksi (Benjama and Masniyom, 2012): Ditimbang sebanyak 5 g sampel algae hijau H. opuntia, kemudian ditambahkan 4 mL isopropanol dan dikocok selama 1 menit. Ditambahkan 6 mL n-hexane kemudian divortex selama 1 menit. Sampel disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 9000 rpm. Lapisan atas larutan yang bening dipindahkan ke dalam Hach tube dan dikeringkan dengan waterbath. Ditimbang sebanyak 0.03 – 0.04 g lemak ( (lemak hasil ekstraksi). Kemudian tambahkan 1.5 mL KOH dan metanol 0.5 M. Dipanaskan dengan waterbath pada suhu 100OC selama 20 menit, lalu didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 1.5 mL BF3 20% dalam metanol. Dipanaskan dalam water bath pada suhu 100OC selama 20 menit. Secara perlahan didinginkan dan dikocok sampai suhu 30OC. Ditambahkan 3 mL NaCl jenuh dan divortex selama 2 menit. Ditambahkan 2 mL n-hexane dan divortex selama 2 menit kemudian didiamkan pada

suhu ruang. Lapisan hexane methyl ester dituang ke dalam labu ukur 10 mL dan diencerkan dengan n-hexane kemudian diinjek ke dalam GC.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Proksimat

Hasil analisis proksimat algae hijua Halimeda opuntia berdasarkan berat kering ditunjukkan pada Tabel 25.1. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa algae hijau H. opuntia memiliki kadar air sebesar 1,34% (berat kering). Pada penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kadar air algae hijau H. opuntia segar asal perairan Indonesia memiliki kadar air sebesar 53,21 – 65% (berat basah) (Nurhayati et al., 2017). Jika dibandingkan dengan jenis algae hijau lainnya, kadar air H. opuntia yang diperoleh dalam pebelitian ini hampir sama dengan Ulva lactuca (0,2% berat kering) tetapi lebih rendah dari Enteromorpha intestinalis (8,5% berat kering) (Rohani-Ghadikolaei et al., 2012), Caulerpa lentilifera (25.31% berat kering and U. reticulate (25.51% berat kering). Ratara-arpora and Chirapart (2006) Demikian halnya dengan kadar air beberapa jenis algae yang diperdagangkan di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia seperti Eucheuma sp. (20%), Gracilaria sp. (25%), Turbinaria sp. (20%) dan Sargassum sp. (20%).

Penentuan kadar air suatu sampel atau produk merupakan salah satu hal yang sangat penting berkaitan dengan kualitas suatu sampel atau produk. Sebab suatu sampel atau produk yang memiliki kadar yang tinggi akan mudah mengalami kerusakan terutama akibat terkontaminasi dengan mikroorganisme ((Rohani-Ghadikolaei et al., 2012). Bahkan kadar air telah menjadi suatu standar yang spesifik suatu produk (Nielsen, 2010).

190

Page 201: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 25.1. Komposisi proksimat algae hijau Halimeda opuntia

No Parameter Hasil (% berat kering)

1 Kadar air 1,34 2 Kadar abu 89,08 3 Kadar lemak 1,14 4 Kadar protein 2,88 5 Kadar karbohidrat 5,56

Kadar abu algae hijau H. opuntia yang

diperoleh dalam penelitian ini sebesar 89,08% berat kering. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa kadar abu H. opuntia segar sebesar 31,20 – 43,14% berat basah (Nurhayati et al., 2017). Jika dibandingkan dengan kadar abu jenis algae hijau lainnya, kadar abu H. opuntia yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi. Misalnya, Cladophora lentilifera dan U. reticulate sebesar 22,1% dan 17.58% (Ratara-arpora and Chirapart, 2006), U. lactuca dan Enteromorpha intestinalis masing-masing sebesar 12.4% dan 22.4%. (Rohani-Ghadikolaei et al., 2012). Mwalugna et al. (2015) juga melaporkan kadar abu beberapa jenis algae hijau asal perairan Kenya, seperti C. racemosa, C. scapelliformis, C. crassa, C. dwarkense, C. geopiorum, E. kylinii, E. muscoides, H. macroloba, U. fasciata, U. lactuca, U. pulchra dan U. reticulate masing-masing sebesar 53.50%, 19.41%, 20,18%, 69.94%, 37.96%, 42.73%, 30.02%, 66.07%, 29.28%, 23.67%, 22.04% dan 18.60%.

Berdasarkan data pada Tabel 25.1 menunjukkan bahwa kadar abu merupakan komponen proksimat terbesar dari algae hijau H. opuntia. Menurut Davis et al. (2003), pada umumnya algae memiliki kadar abu yang tinggi sebab pada dinding sel algae terdapat polisakarida dan protein yang mengandung gugus karboksil amoniak, sulfat dan fosfat. Hal tersebut menjadi indikator keberadaan mineral dalam jumlah besar. (Matanjun et al., 2009).

Kadar lemak algae hijau H. opuntia yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 1,14% berat kering. Hasil penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa kadar lemak algae hiljau H. opuntia segar asal perairan Indonesia sebesar 0,07 – 0,70% berat basah. Beberapa jenis algae hijau dilaporkan memiliki kadar lemak

yang hampir sama dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini seperti E. compressa (0,81%), C. glomerata (1,1%), H. macroloba (0,26%) dan H. tuna (3,53%). Ratara-arpora and Chirapart (2006) juga melaporkan kadar leamk beberapa jenis algae hijau seperti C. lentilifera (0.86%) dan U. reticulate (0.75%). Demikian halnya Rohani-Ghadikolaei et al. (2012) melaporkan kadar lemak beberapa jenis algae hijau seperti U. lactuca (3.6%), E. intestinalis (2.9%), S. ilicifolium (2%), C. sinuosa (1.5%), H. valentiae (2.8%) dan G. corticata (1.8%), Beberapa jenis algae hijua asal perairan Kenya dilaporkan oleh Mwalugna et al. (2015) memilki kadar lemak hampir sama dengan kadar lemak H. opuntia yang diperoleh dalam penelitian ini, seperti C. racemosa, C. scapelliformis, C. crassa, C. dwarkense, C. geopiorum, E. kylinii, E. muscoides, H. macroloba, U. fasciata, U. lactuca, U. pulchra dan U. reticulate masing-masing sebesar 1.91%, 2.49%,2.20%,1.54%, 1.91%, 1.42%, 1.83%, 1.95%, 1.63%, 1.65%, 1.31% dan 1.34%.

Kadar protein algae hijau H. opuntia yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 2,88% berat kering. Sedangkan sampel segar H. opuntia dilaporkan memiliki kadar protein sebesar 0,80-1,47% berat basah. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa beberapa jenis algae hijau memiliki kadar protein yang cukup tinggi. Ratara-arpora and Chirapart (2006) melaporkan bahwa kadar protein beberapa jenis algae hijau seperti C. lentilifera (12.49%) and U. reticulate (21.06%). Manivannan (2009) juga melaporkan kadar protein beberapa jenis algae hijau seperti U. lactuca (13,47%), E. compressa (12,27%), C. glomerata (20,38%), H. macroloba (28,94%), H. tuna (23,12%).

191

Page 202: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Rohani-Ghadikolaei et al. (2012) melaporkan bahwa kadar protein beberapa jenis algae hijau asal perairan Teluk Persia seperti U. lactuca, E. intestinalis, S. ilicifolium, C. sinuosa, H. valentiae dan G. corticata masing-masing sebesar 17.1%, 10.5%, 8.9%, 9.2%, 16.5% dan 19.3%. Mwalugna et al. (2015) juga melaporkan kadar protein beberapa jenis algae hijau asal perairan Kenya seperti C. racemosa, C. scapelliformis, C. crassa, C. dwarkense, C. geopiorum, E. kylinii, E. muscoides, H. macroloba, U. fasciata, U. lactuca, U. pulchra dan U. reticulate masing-masing sebesar 5.17%, 18.05%, 18.05%,10.92%, 7.32%, 14.86%, 8.40%,10.67%, 5.28%, 10.23%, 14.99%, 10.67% dan 12.80%. Rameshkumar et al. (2012) juga melaporkan kadar protein dalam algae hijau asal perairan India yaitu C. racemosa (18,3%) dan U. fasciata (14.7%).

Karbohidrat merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam metabolisme sebab berperan sebagai sumber energy yang diperlukan untuk respirasi dan proses metabolisme lainnya (Shanmugan and Palpandi, 2010). Kadar karbohidart algae hijau H. opuntia yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 5,56% berat kering. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa H. opuntia segar asal perairan Indonesia memiliki kadar karbohidrat sebesar 0,22-4,57% berat basah. Manivannan (2009) melaporkan bahwa kadar karbohidrat beberapa jenis algae hijau lainnya seperti U. lactuca (15,37%), E. compressa (17%), C. glomerata (14,83%), H. macroloba

(17,20%) dan H. tuna (17,12%). Ratara-arpora and Chirapart (2006) melaporkan bahwa kadar karbohidrat algae hijau seperti C. lentilifera (59,27%) and U. reticulate (55,77%). Rohani-Ghadikolaei et al. (2012) juga melaporkan kadar karbohidrat beberapa jenis algae hijau asal perairan Teluk Persia seperti U. lactuca, E. intestinalis, S. ilicifolium, C. sinuosa, H. valentiae dan G. corticata masing-masing sebesar 59.1%, 35.5%, 32.9%, 32.1%, 31.8% dan 43%. Selain itu, Rameshkumar et al. (2012) juga melaporkan kadar karbohidrat algae hijau lainnya asal perairan India seperti C. racemosa (83,2%) dan U. faciata (70,1%). 3.2 Analisis Asam Amino

Hasil analisis profil asam amino algae hijau Halimeda opuntia berdasarkan berat kering ditunjukkan pada Tabel 25.2. Total 14 asam amino yang teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia, di mana fenilalanin merupakan komponen asam amino esensial dengan nilai tertinggi yaitu 1000,62 mg/Kg. Fanilalanin memiliki fungsi dalam menjaga sistem saraf pusat agar tetap dalam kondisi normal. Fenilalanin juga berperan membantu mengendalikan gejala depresi dan rasa sakit akibat penyakit kronis, serta beberapa penyakit lainnya yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf pusat. Selain itu fenilalanin juga memiliki kemampuan melindungi otak dari racun, bakteri dan virus yang beredar melalui darah (Anonim, 2015).

Tabel 25.2. Profil asam amino algae hijau Halimeda opuntia

No Parameter Hasil (mg/Kg)

Asam amino esensial 1 Histidin Nd 2 Treonin 652,52 3 Valin 531,61 4 Isoleusin 325,93 5 Fenilalanin 1000,62 6 Leusin 552,03 7 Metionin 66,57 8 Cistein Nd

192

Page 203: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Lanjutan Tabel 25.2. Profil asam amino algae hijau Halimeda opuntia

No Parameter Hasil (mg/Kg)

Asam amino esensial 9 Lisin 554,53 10 Triptopan Nd 11 Arginin Nd

Asam amino Non-esensial

12 Alanin 723,35 13 Asam glutamate 1586,94 14 Serin 830,17 15 Prolin 481,39 16 Tirosin 308,90 17 Asam aspartat 1163,63 18 Glisin 931,99

Keterangan : Nd : not detected

Jenis asam amino esensil lainnya

yang teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia adalah reonin, lisin, leusin, valin, isoleusin dan metionin berturut-turut sebesar 652,52 mg/Kg, 554,53 mg/Kg, 552,03 mg/Kg dan 66,57 mg/Kg. Keberadaan asam amino esensial tersebut dalam algae hijau H. opuntia menunjukkan nilai yang cukup signifikan.

Asam glutamat merupakan asam amino non-esensial yang paling dominan ditemukan dalam algae hijau H. opuntia.

Kemudian secara berturut-turut asam aspartat, glisin, serin, alanin, prolin dan tirosin sebesar 1163,63 mg/Kg, 931,99 mg/Kg, 830,17 mg/Kg, 723,38 mg/Kg, 481,39 mg/Kg dan 308,90 mg/Kg. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa asam glutamat merupakan komponen terbesar asam amino dari beberapa jenis algae hijau lainnya, seperti C. lentilifera and U. reticulta (Ratana-arpora and Chirapart, 2006), C. racemosa dan U. faciata (Rameshkumar et al. 2012).

Tabel 25.3. Komposisi asam lemak algae hijau Halimeda opuntia

No Asam lemak Hasil (%)

1 C8:0 (Asam kaprilat) 0,02 2 C10:0 (Asam kaprat) 0,03 3 C12:0 (Asam laurat) 0,39 4 C14:0 (Asam miristat) 0,17 5 C16:0 (Asam palmitat) 0,18 6 C16:1 (Asam palmitoleat) 0,01 6 C18:0 (Asam stearat) 0,05 7 C18:1 ω9C (Asam oleat) 0,23 8 C18:2 ω6C (Asam linoleat) 0,05 9 Asam lemak tak jenuh 0,30 10 Asam lemak jenuh 0,84 11 Asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) 0,24 12 Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) 0,06

3.2 Analisis Asam Lemak

Hasil analisis komposisi asam lemak algae hijau Halimeda opuntia berdasarkan berat kering ditunjukkan pada Tabel 25.3. Komposisi asam lemak algae hijau H. opuntia di dominasi oleh asam lemak jenuh (0,84 %), kemudian asam lemak tak jenuh tunggal (0,24%) dan asam lemak

tak jenuh ganda (0,06%). Asam laurat merupakan asam lemak dengan nilai tertinggi dalam algae hijua H. opuntia sebesar 0,38%.

Keberadaan asam laurat dalam tubuh akan diubah menjadi monolaurin. Monolaurin merupakan senyawa monogliserida yang dapat berperan

193

Page 204: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

sebagai antivirus, antibakteri, antijamur dan antiprotozoal. Monolaurin berperan mengganggu membrane lipid pada mikrorganisme sehingga bermanfaat dalam pengobatan infeksi virus seperti flu babi, flu burung, demam lepuh dan herpes genital dan HIV/AIDS. Hal ini juga digunakan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu asam laurat juga digunakan dalam pengobatan bronchitis, infeksi jamur dan infeksi usus (Anonim, 2015).

Jenis asam lemak lainnya yang teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia secara berturut-turut adalah asam palmitat, asam miristat, asam stearat, asam kaprat dan asam kaprilat sebesar 0,18%, 0,17%, 0,05%, 0,03% dan 0,02%. Asam lemak tak jenuh tunggal yang teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia terdiri dari asam oleat atau omega-9 (0,23%) dan asam palmitoleat (0,01%). Asam lemak tak jenuh ganda yang teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia hanya asam linoleat atau omega-6 (0,05%). Baik omega-6 maupun omega-9 keduanya berperan untuk kesehatan jantung.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Algae hijau Halimeda opuntia dapat

menjadi sumber karbohidrat maupun protein alami dari laut.

2. Total 14 jenis asam amino teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia dimana asam glutamat, asam aspartat dan fenilalanin merupakan komponen terbesar.

3. Total 8 jenis asam lemak yang teridentifikasi dalam algae hijau H. opuntia dimana asam laurat merupakan komponen terbesar.

4. Algae hijau H. opuntia memiliki potensi sebagai sumber alternatif suplemen makanan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. Fenilalanin

(Phenylalanine), sumber, fungsi, manfaat, dosis dan efek samping. Sumber :

http://www.referensisehat.com/2015/09/fenilalanin-sumber-fungsi-manfaat-dosis-efek-samping.pdf.html. Diakses tanggal 11 Oktober 2017.

Anonim. 2015. Mengenal asam laurat, manfaat, fungsi dan sumbernya! Sumberhttp://www.referensisehat.com/2015/07/asam-laurat-manfaat-fungsi-sumber.html. Diakses tanggal 11 Oktober 2017.

AOAC.1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 15th ed. Washington D.C.

AOAC. 2000. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analysis Chemists, 17th ed. Washington, D.C.

Atmadja, W.S., Kadi, A., Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan jenis-jenis rumput laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta : 191 hal.

Benjama O &.Masniyom P. (2012). Biochemical composition and physicochemical properties of two red seaweeds (Gracilaria fisheri and G. tenuistipitata) from the Pattani Bay in Southern Thailand, Songklanakarin. Journal of Science and Technology; 34: 223-230.

Davis T A, Volesky B & Mucci A. (2003). A review of biochemistry of heavy metal biosorption by brown algae. Water Research. 37(1(): 4311-4330.

DawczynskI, C., Schubert, R. and Jahreis, G. (2007). Amino acids, fatty acids, and dietary fibre in edible seaweed products. Food Chemistry, 103: 891–899.

Kumar, C.S., Ganesan, P., Suresh, P.V. and Bhaskar, N. 2008. Seaweeds as a source of nutritionally beneficial compounds—A review. J. Food Sci. Technol. 45:1–13.

Manivannan, K., Thirumaran, G., Devi, G.K., Anantharaman, P. and Balasubramanian, T. 2009. Proximate composition of different group of seaweeds from Vedalai Coastal Waters (Gulf of Mannar): Southeast Coast of India. Middle-East Journal of Scientific Research, 4 (2): 72-77,

Mayakun,J., Kim, J.H., Lapointe, B.E. and Prathep, A. 2012. Gametangial characteristics in the sexual reproduction of Halimeda macroloba

194

Page 205: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Decaisne (Chlorophyta: Halimedaceae). Songklanakarin J. Sci. Technol. 34 (2) : 211-216.

Matanjun,P., Mohamed, S., Mustapha, N.M. and Muhammad, K. 2009. Nutrient content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum.. J. Appl. Phycol. 21: 75–80.

Mwalugha, H.M., Wakibia, J.G., Kenji, G.M. and Mwasaru, M.A. 2015. Chemical Composition of common seaweeds from the Kenya coast. Journal of Food Research. 4 (6): 28-38.

Nielsen S S. (2010). Food Analysis Laboratory Manual 2nd Edition. Springer : 171p.

Norziah, M.H. and Ching, C.Y. 2000. Nutritional composition of edible seaweed Gracilaria changgi. Food Chemistry, 68 : 69-76.

Nurhayati, Apriani, S.N.K., R. Nurhayasari dan Murdinah. 2017. Komposisi nutrisi rumput laut Calcareous Halimeda opuntia pada lingkungan perairan Indonesia. JPB Kelautan dan Perikanan, 12 (1) : 13-22.

Ortiz J, Romero N, Robert P, Araya J,

Lopez-Hernandez J, Bozzo C, Navarrete E, Osorio & Rios A. (2006). Dietary fiber, amino acid, fatty acid and tocopherol contents of the edible seaweeds Ulva lactuca and Durvillaea

Antarctica. Food Chemistry. 99 : 98–104.

Rameshkumar S, Ramakritinan C M & Yokeshbabu M. (2012). Proximate composition of some selected seaweeds from Palk Bay and Gulf of Mannar, Tamilnadu, India. Asian Journal of Biomedical & Pharmaceutical Sciences. 3(16) 1-5.

Ratana-arporn, P. and Chrapart, A. 2006. Nutritional evaluation of tropical green seaweeds Caulerpa lentilifera and Ulva reticulate. Kasetsart J. (Nat.Sci) 40 (Suppl) : 75-83.

Rohani-Ghadikolaei, K., Abdulalian, E. and Wing-Keong, N. 2011. Evaluation of the proximate, fatty acid and mineral composition of representative green, brown and red seaweeds from the Persian Gulf of Iran as potential food and feed resources. J. Food Sci. Technol. 49(6): 774-780.

Romimotarto,K. and Juwana, S. 2001. Biologi laut : ilmu pengetahuan tentang biota laut. Djambatan, Jakarta : 540 hal.

Shanmugan A & Palpandi C. (2010). Biochemical composition and fatty acid profile of the green alga Ulva renticulata. Asiann Journal of Biochemistry. 5(3) : 188-193.

Waters. 2012. Acquity UPLC H-Class an H-Class Bio Amino Acid Analysis System Guide. USA.

195

Page 206: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IDENTIFICATION OF HALOGENATED MONOTERPENES plocamenone FROM AOTEAROA MARINE RED ALGAE SPECIMEN Plocamium angustum

Welem L. Turupadang

Student of Faculty of Science and Engineering Victoria University of Wellington, New Zealand

ABSTRACT

Genus Plocamium has several polyhalogenated active metabolite compounds, notably Isoplocamenone and Plocamenone. Several methods have been employed to perform isolation and purification (maceration, reversed and normal phase column chromatography, TLC plate) as well as identification (1H NMR, IR, and UV/Vis) of red algae Plocamium angustum. The experiment succeeded to identify the pure compound from WEM2017_23A specimen and identified it as polyhalogenated monoterpene plocamenone. Keywords : Red algae, Plocamium, secondary active compound, halogenated,

monoterpene

Image modified from " Plocamium cartilagineum (Linnaeus) P.S.Dixon" by AlgaeBase. (CC BY 3.0)

I. INTRODUCTION

Natural products have been known as a therapeutics agent in many cultures around the world throughout the history. In the modern context, it is still a profound tool in drug discovery programme. However, this longstanding claim has mainly come from terrestrial plants and microbes as the source of drug molecules.[1] An effort to explore more the potential from marine natural products was first held in a conference in Rhode Island, USA in the 1970s. Improving sampling methods, e.g.

SCUBA apparatus, has contributed to a significant progress in a two-to-three-decade period after that, not to mention the development in spectroscopy technology and screening protocols. As a result, the number of new marine natural products has increased from 332 in 1984[2] to 1340 in 2017.[3] The later literature provides a comprehensive review of new compounds isolated from marine organisms in subtidal and intertidal zone including micro and macroalgae, littoral plants, various invertebrates: poriferans, anthozoan, bryozoans, molluscs, tunicates, echinoderms

196

Page 207: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Class Rhodophyceae, known as re d algae, also contributes as one source of bioactive compounds which have biological function such as anti - inflammatory, anti- cancer, immunomodulatory, antidiabetic, antimicrobial, anticoagulant. [4] One of the

endemic red algae to Aotearoa and Australia which still understudied is from genus Plocamium. Previous research has reported that polyhalogenated monoterpenes are widely extracted from Plocamium as first reported in 1979[5] which followed other research.[6]

II. METHODS, RESULTS AND DISCUSSION

197

Page 208: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

At step (2) a reversed phase column was used to elute the extract but a normal phase column used for step (4). The most obvious difference of this two methods are in the type of stationary phase[7]. Diaion HP20® is a non-polar sorbent for reversed column while silica is polar stationary phase for normal column chromatography. Therefore, different solvents as running

phase were selected for these different systems. Semi-polar acetone (as a mixture with H2O) was using for reversed column and four different solvent systems were using for normal phase started from low polarity solvent (petroleum ether mixed with H2O) then increasing the ratio of solvent to be more polar (ethyl acetate).

Under UV (MeOH) λmax is 213nm (WEM2017_23A) and 258nm for WEM2017_23B (Appendix 1) is different with previous research which was 240 nm and 244nm[6b] and 248nm[6a]. However, this maximum absorption wavelength confirms that it has halogenated chromophore (Br or Cl) in the structure. The availability of organohalogens which present as bromoform in marine flora is related to their function as antifeedant

and/or chemical defense in secondary metabolite.[8] Although it is less abundance than chlorine, bromine is more common found in seaweed tissue[9] because it easier for gland cells in thallus to oxidize bromine than chlorine (to electrophilic Br+ equivalents) and also bromine has considered more essential for seaweed growth[10] such as modifications and adhesion properties.[11]

198

Page 209: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Table 26.1. Functional group analysis from Infrared spectra

Functional group WEM2017_23A WEM2017_23B

C=CH stretch Present Present C=C stretch Present Present C-H stretch Present Present O-H stretch (broad) Present Present C=O stretch Present Present C-Cl stretch Present Present C-Br stretch Present Present

Despite noises are present in the IR

spectra (Appendix 2), but it confirms both active compound has similar functional group, notably alkyl halides C-Cl stretch (at 584.73-779.47 cm-1 and 582.70-757.86 cm-1 for WEM2017_23A and WEM2017_23B respectively) as well as C-

Br stretch at 514.70-643.19 cm-1 (WEM2017_23A) and 511.27-637.95 cm-1 (WEM2017_23B). However, C=C stretch in WEM2017_23B seems to have an aromatic C=C bond (1596.95-1489.79 cm1).

Table 26.2. 1NMR result of the two active compounds compared to literature[5, 6b]

Position Plocamenone

δH (J in Hz) Isoplocamenone

δH (J in Hz) C10H15BrCl2 WEM2017_23A WEM2017_23B

1a

1b

6.13, s 5.91, s 6.00, s 7.30, m

2

3

4

5 6.20, s 6.84, s 6.62, t (7)

6 5.09, s

7 4.36, dd, (3, 9) 4.97, dd, (2.5, 9) 4.98, s 4.13, d (7.14, 7.14, 7.15)

8a 3.72, dd, (9, 12) 3.93, dd, (9, 13) 2.68, dd (7, 7) 2.05, s

8b 4.24, dd, (3, 12) 4.38, dd, (2.5, 13) 4.44, dd (7, 7)

9 1.94, s 1.97, s 1.85, s 1.89, m

10 1.75, s 2.05, s 1.72, s 1.27, t (7.14, 7.14) 1.59, s

The above NMR spectrum shows

several peaks at around 4.13 ppm, even though in doublet only, matching the dd on 4.36 ppm; and the singlet peaks at 2.05 ppm in the above spectrum also coincide with our peaks at 1.94 ppm. The proposed structure of plocamenone also contains a ketone C=O bond, which would coincide with our strong IR peak at 1711.68 cm-1. Therefore, we can assume with this minimal amount of information that our natural product is likely to be the polyhalogenated monoterpene plocamenone.

Figure 26.1. Possible structure according

to WEM2017_23A compound

199

Page 210: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

III. CONCLUSION

Experiment successfully predict a plausible structure of pure compound from WEM2017_23A pure compound namely plocamenone. Isolation method using reversed phase and normal phase column may provide a great way to isolate, purified and identification of marine natural product. 2-dimensional NMR such as COSY, HMBC, and HSQC should help to produce more plausible structure.

IV. ACKNOWLEDGMENT

The author would like to thank Organic Teaching Laboratory, School of Chemical and Physical Sciences, Victoria University of Wellington, where the experiment was done.

BIBLIOGRAPHY

[1] T. F. Molinski, D. S. Dalisay, S. L. Lievens and J. P. Saludes, Nat Rev Drug Discov 2009, 8, 69-85.

[2] D. J. Faulkner, Natural Product Reports 1984, 1, 251-280.

[3] J. W. Blunt, B. R. Copp, R. A. Keyzers, M. H. G. Munro and M. R. Prinsep, Natural Product Reports 2017, 34, 235-294.

[4] I. P. S. Fernando, J.-W. Nah and Y.-J. Jeon, Environmental Toxicology and Pharmacology 2016, 48, 22-30.H

[5] R. Dunlop, P. Murphy and R. Wells, Australian Journal of Chemistry 1979, 32, 2735-2739.

[6] a) D. B. Stierle and J. J. Sims, Tetrahedron letters 1984, 25, 153-156; b) M. A. Timmers, D. A. Dias and S. Urban, Marine drugs 2012, 10, 2089-2102.

[7] P. M. Schaber, Journal of Chemical Education 1985, 62, 1110-1113.

[8] G. W. Gribble, Chemosphere 2003, 52, 289-297.

[9] M. T. Cabrita, C. Vale and A. P. Rauter, Marine Drugs 2010, 8, 2301-2317.

[10] S. Dworjanyn, R. De Nys and P. Steinberg, Marine Biology 1999, 133, 727-736.

[11] S. La Barre, P. Potin, C. Leblanc and L. Delage, Marine Drugs 2010, 8, 988.

APPENDIX

(1) UV spectra for WEM2017_23A and WEM2017_23B

(2) IR Spectra: WEM2017_23A and WEM2017_23B

(3) 1NMR Assigned for WEM2017_23A and WEM2017_23B

Appendix 1

200

Page 211: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Apendix 2

201

Page 212: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Apendix 3

202

Page 213: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

203

Page 214: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Page 215: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PENGARUH PERBEDAAN TEKNIK PENGOPERASIAN ALAT BANTU BLABAR DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP SESER PADA PENANGKAPAN

NENER BANDENG DIPERAIRAN ATAPUPU KABUPATEN BELU

Kumala Sari1, Sriawan2 dan Samuel Ulu3, 1,2)Staf Pengajar pada Program studi Pemanfaatan sumberdaya Perikanan, Fakultas

Perikanan, Universitas .Muhammadiyah Kupang 3)Alumni Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan,

Universitas Muhammadiyah Kupang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jumlah hasil tangkapan pada blabar dengan cara melingkar dan blabar dengan cara membentang di perairan Atapupu. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Atapupu.Waktu penelitian berlangsung selama dua bulan, terhitung dari bulan Maret sampai bulan Mei 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan mengadakan percobaan secara langsung dalam melakukan penangkapan dari setiap perlakuan. Analisis data pada penelitian ini mengunakan analisa uji t-student untuk mengetahui pengaruh perbedaan jumlah hasil tangkapan dari kedua alat bantu tersebut. Dari hasil penelitian selama 16 kali ulangan, diketahui bahwa total hasil tangkapan selama 2 bulan dari penggunaan alat bantu blabar dengan cara melingkar menghasilkan tangkapan sebanyak 1517 individu, sedangkan alat bantu blabar dengan cara membentang menghasilkan tangkapan sebanyak 1256 individu. Hasil uji t-student menunjukan bahwa thitung> ttabel, atau 3 > 2,120 maka H0 ditolak, artinya ada pengaruh penggunaan alat bantu blabar dengan cara melingkar dan blabar dengan cara membentang pada tangkapan nener. Kata Kunci: Teknik pengoperasian, Blabar, Nener, Atapupu.

I. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, serta wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi atau lebih dari 70 persen luas seluruh wilayah Indonesia. Dilihat dari luas laut di Indonesia yang sangat luas maka tentunya potensi hasil yang berhubungan dengan perairan amat besar.Indonesia memiliki potensi nener alam yang cukup besar. Hal ini baru karena perairan Indonesia merupakan tempat pemijahan ikan bandeng disamping itu dengan panjang pantai 81.000 km yang didalamnya terdapat 4,29 juta ha hutan bakau tempat hidup yang baik untuk ikan bandeng (BPS, 2012).

Bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya. Selain untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi, usaha budidaya bandeng dapat

diandalkan untuk meningkatan pendapatan pembudidaya skala kecil dan menengah. Produksi Bandeng secara nasional, juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan 421.757 ton pada tahun 2010, dan meningkat menjadi 621.393 ton pada tahun 2014 atau 10,4 % per tahun. Peningkatan produksi bandeng ini tentunya adalah kerja keras semua stake holder yang bekerja tak kenal lelah untuk terus membangun perikanan budidaya, khususnya budidaya bandeng.( Blogspot.com, 2016).

Menurut Nontji (1987), awal pemeliharaan bandeng dalam tambak sudah mulai dilaksanakan pada abad 13-14. Hal ini menunjukan bahwa bandeng telah melekat di hati masyarakat pantai di Indonesia,selain rasanya yang gurih, harganya dapat dijangkau mampu beradaptasi terhadap lingkungan sehingga sangat cocok dibudidayakan. Selain itu komoditas ini telah mampu menebus pasar ekspor.

204

Page 216: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Produksi nener ini tidak sepenuhnya digunakan di dalam negeri, karena sekitar 15% nener di ekspor keluar negeri khususnya Filipina. Tetapi, pemenuhan kebutuhan nener dalam negeri masih menjadi prioritas untuk memenuhi target produksi bandeng tahun 2015 yang mencapai 1,2 juta ton dan memerlukan nener sebanyak 7,2 miliar benih bandeng. (wartaargo.com, 2016).

Namun kenyataan yang ada pada umumnya nelayan penangkap nener masih menggunakan peralatan yang sederhana seperti seser, blabar, sehingga hasil tangkapannya masih sangat sedikit. Demikian juga dengan para nelayan penangkap nener di Perairan Atapupu Kabupaten Belu.

Kabupaten Belu juga merupakan kota perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste,dan Belu termasuk salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara geografis kabupaten ini terletak di pulau Timor bagian barat dengan luas wilayah 2.445,57 km2, dan Belu memiliki panjang garis pantai yang membentang dari barat ke timur pada bagian utara pulau Timor sepanjang 32,22 km dan pada bagian selatan pulau Timor sepanjang 80,94 km.

Demikian juga dengan nelayan penangkap nener di Perairan Atapupu, Kabupaten Belu, yang sampai saat ini menggunakan teknik dan peralatan yang masih sederhana berupa blabar. Penggunaan cara penangkapan ini mempunyai dua teknik perbedaan penangkapan yaitu blabar dengan teknik sistem melingkar dan blabar dengan teknik sistem membentang. Namun kedua alat tangkap ini sangat bergantung pada kondisi perairan setempat.

Melihat besarnya potensi yang dimiliki serta prospek yang begitu baik dan peluang bagi nelayan penangkap nener di Perairan Atapupu dengan menggunakan kedua teknik pengoperasian diatas maka diperlukan adanya suatu sistem penangkapan yang tepat sehingga hasil tangkapan dapat ditingkatkan. Maka dengan ini penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Perbedaan Teknik Pengoperasian Alat Bantu Blabar Dengan Menggunakan Alat

Tangkap Seser Pada Penangkapan Nener Di Perairan Atapupu Kabupaten Belu.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 2 bulan terhitung dari bulan Maret sampai bulan Mei tahun 2016, yang berlokasi di Perairan Atapupu Kabupaten Belu.

2.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, blabar cara melingkar panjang 5 m, blabar cara membentang panjang 5 m, alat tulis menulis, dua buah baskom berwarna putih, alat pengambil nener (seser dan mangkuk plastik), kamera sebagai alat dokumentasi dan jam sebagai alat pengukur waktu.

2.3 Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu metode yang pada dasarnya mengadakan percobaan secara langsung dalam melakukan penangkapan dari setiap perlakuan (Bungin, 2001).

2.4 Pengoperasian Balabar

Pengoperasian blabar dengan cara

membentang yaitu kedua ujung blabar diikatkan pada pancang kayu atau bambu yang ditancapkan pada dasar perairan, kemudian pengambilan nener dilakukan dengan menggunakan seser yang didorong sepanjang blabar secara berulang-ulang. Sedangkan pengoperasian blabar secara melingkar yaitu dimana salah satu ujung blabar diikatkan pada pancang kayu atau bambu yang ditanam, sedangkan ujung lainnya dipegang dan kemudian digerakkan membentuk lingkaran mendekati ujung yang diikat. Blabar yang digerakkan melingkar tadi akhirnya membentuk sebuah lingkaran, kemudian nener dalam lingkaran blabar ditangkap dengan menggunakan seser.

205

Page 217: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Pemasangan kedua blabar ini dilakukan ada saat pasang normal dengan jarak masing-masing blabar sejauh 20 meter dan lama perendaman 2 jam. Pemasangan blabar ini diatur sedemikian rupa sehingga terapung di permukaan air dan pengambilan nener dilakukan setelah selesai perendaman. Nener yang ditangkap pada setiap blabar dimasukan pada masing-masing wadah (baskom) untuk selanjutnya dihitung dengan menggunakan satuan individu atau individu. Ulangan dalam peneltian ini dilakukan setiap trip penangkapan dari masing-masing perlakuan yaitu penangkapan selama 2 jam setiap harinya selama 16 kali ulangan.

2.5 Analisis Data

Untuk mengetahui besarnya nilai

perbedaan hasil tangkapan nener digunakan analisis perbandingan (uji-t) dengan mengunakan petunjuk Nasir (1988), yaitu :

SX1 – X2=√𝐬𝐬₁+𝐬𝐬₂

𝒏₁+𝒏₂−𝟐(

𝟏

𝒏₁+

𝟏

𝒏₂)

Keterangan :

S1 : Sumsquare dari ulangan perlakuan 1

S2 : Sumsquare dari ulangan perlakuan 2

n1 : Jumlah ulangan perlakuan 1 n2 : Jumlah ulangan perlakuan 2 Sx1-x2 : Standar error dari dua beda

Sumsquare tidak lain dari :

SS = Ʃx12 –

Ʃ𝐱₁

𝐧

Keterangan :

x1 : Sumsquare dari ulangan perlakuan ke 1

n : Sumsquare dari ulangan perlakuan ke2

SS : Sumsquare

Sebelum dilakukan Uji t, dilakukan Uji

kenormalan data dengan menggunakan

Uji Liliefort sbb :

No : Nomor ulangan X1 : Data yang diurutkan

dari yang ke terkecil keterbesar

Z1 : Data dikurangi nilai

rata-rata dibagi sampel

baku

F(Zi) : Dapat dilihat dari tabel Z

S (Z) : Nomor data dibagi banyaknya ulangan

F(Zi) – (SZi)| : Selisih dari F(Zi) dan

S(Zi)

Lo : Nilai terbesar dari |F(Zi)

– (SZi)|

Lt : Dilihat dari tabel Liliefort

Jika Lo < Lt = Data berdistribusi normal

Apabila data berdistribusi normal, maka

Uji t–Student dapat dilanjutkan.

Sebaliknya apabila data tersebut tidak

berdistribusi normal maka digunakan

rumus nonparametrik dengan melakuklan

Uji Mann – Whitney U – Test. (Sugiyono

2008).

Rumus Mann-Whitney U-Test :

U1 = n₁n₂+ 𝐧₁(𝐧₁ + 𝟏 )

𝟐 - R1

dan

U2 = n₁n₂+ 𝐧₂(𝐧₂ + 𝟏 )

𝟐 - R2

Keterangan :

n1 : Jumlah sampel 1 n2 : Jumlah sampel 2 U1 : Jumlah peringkat 1 U2 : Jumlah peringkat 2 R1 : Jumlah rangking pada sampel n1 R2 : Jumlah rangking pada sampel n2

206

Page 218: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambaran Umum Desa Dualaus secara garis besar adalah salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Kakuluk Mesak yang disamping berbatasan langsung dengan Selat Ombai. Dipandang dari aspek geografis Desa Dualaus yang mempunyai luas wilayah 1.776 Km2, merupakan bagian dari Wilayah Kecamatan Kakuluk Mesak, dimana batas administrasi dari yuridiksi teritorial / wilayah Desa Dualaus yaitu : - Sebelah Utara berbatasan dengan

Desa Jenilu (Kec. Kakuluk Mesak) dan Selat Ombai

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Fatuketi (Kec. Kakuluk Mesak)

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Leosama (Kec. Kakuluk Mesak)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Fatuketi (Kec. Kakuluk Mesak).

3.2 Karakteristik Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang terletak di perairan pantai Desa Dualaus (bagian timur), Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Pada umumnya penyebaran nener bandeng tidak tersebar secara merata di semua tempat. Sehingga umumnya nener di Desa Dualaus hanya ditangkap di perairan pantai bagian timur. Hal ini disebabkan karna adanya perbedaan antara perairan pantai bagian barat dan perairan pantai timur. Dimana perairan pantai bagian barat ditandai dengan dasar perairan berbatu, sedikit berlumpur, terbuka dan dipengaruhi oleh angin dan gelombang. Sedangkan perairan pantai bagian timur ditandai dengan dasar perairan lumpur berpasir,berpantai landai,tenang dan terlindung dari gelombang yang besar, banyak ditumbuhi oleh mangrove serta terdapat beberapa muara sungai.

Dengan melihat keberadaan pantai yang demikian menunjukan bahwa perairan pantai bagian timur Desa Dualaus tergolong subur dan kaya akan sumber bahan makanan yang menjadi sumber kehidupan untuk nener bandeng

maupun organisme lain yang hidup pada perairan sekitarnya.

3.3 Deskripsi Alat Tangkap

Dalam upaya penangkapan nener

dengan alat tangkap seser maka dalam

pengoperasiannya menggunakan alat

bantu yang dikenal dengan nama blabar.

Seser yang digunakan dalam

penelitian adalah seser berbentuk huruf

“V” sebanyak dua buah dengan ukuran

yang sama yaitu panjang 2 meter dan

lebar mulutnya 1 meter terbuat dari

kulambu dengan ukuran mata jaring 1

mm. Kerangka seser terbuat dari bambu,

dan pada bagian depan diikatkan tali pada

kedua ujung tangkai. Tali ini berfungsi

untuk menyangga kedalaman pada saat

seser di dorong. Nama lain dari seser

adalah serok yaitu jaring dorong yang

sangat sederhana dan berukuran kecil

terbuat dari bahan kelambu atau

sejenisnya yang diletakan pada rangkaian

bambu atau kayu yang dibuat menyilang

dengan panjang silangan 1, 0-1, 8 meter

dan lebar mulutnya 1, 0-1, 2 meter. Untuk

lebih jelasnya lihat pada gambar berikut :

Gambar 27.1 Alat Tangkat Seser

Blabar adalah alat berupa jumbai-jumbai yang terbuat dari bahan berupa rumput, daun pisang kering, serambut atau jerami padi dan daun gewang. Modifikasi alat ini biasanya dibantu dengan bahan plastik. Alat ini berupa untaian yang cukup panjang bahkan dapat mencapai lebih dari 100 meter.

Nener adalah benih-benih bandeng yang berasal dari dalam permukaan laut

207

Page 219: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

yang terbawah arus gelombang melalui plankton-plankton ke tepi pantai.

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan 2 (dua) buah blabar dengan panjang masing-masing 5 meter dan (dua) buah seser dengan ukuran masing-masing 1, 0-1, 8 meter yaitu alat untuk mengumpulkan nener dan waktu pengoperasian alat bantu blabar dengan menggunakan alat tangkap seser pada penangkapan nener selama penelitian dengan 16 kali ulangan.

3.4 Teknik Operasi Alat Blabar

Teknik pengoperasian blabar dengan

cara membentang tegak lurus garis pantai, yaitu salah satu ujung blabar diikat pada pancang kayu yang telah ditanamkan/ditancapkan pada dasar perairan kemudian ujung lainnya dipegang dan ditarik secara vertikal ke arah laut sampai blabar terentang. Ujung yang dipegang diikatkan pada pancang kayu lain yang telah ditancapkan pula pada dasar perairan (blabar sistem bentang). Lama perendaman terhadap kedua perlakuan alat bantu blabar adalah 2 jam, sedangkan pengambilan nener dilakukan selama 2 jam perendaman dengan maksud memberikan kesempatan kepada nener bandeng yang terbawa arus ke pantai untuk dapat berkumpul di sekitar blabar.

Benih-benih nener ini akan bernaung di sela-sela blabar yang terapung di permukaan air kemudian oleh penangkap nener diseser sepanjang blabar tersebut. Sedangkan blabar dengan cara melingkar diikatkan pada pancang kayu yang telah ditancap didasar perairan kemudian ujung lainnya dipegang oleh penangkap nener yang menarik blabar itu dan melingkarinya secara perlahan-lahan disekeliling pancang kayu yang ditanamkan tersebut. Mula-mula melebar tetapi kemudian semakin menyempit dengan maksud nener yang berada disekitar tempat itu di giring ke tempat yang makin sempit sehingga mudah untuk diseser. Jarak antara blabar sistem bentang dengan blabar sistem lingkar

sekitar 20 meter. Sedangkan pengambilan nener dilakukan secara bersamaan.

3.5 Hasil Tangkapan

Nener yang terseser pada masing-

masing blabar diceduk dengan menggunakan piring plastik untuk selanjutnya ditampung kedalam masing-masing wadah (ember) yang telah diisi dengan air laut dan air tawar dengan perbandingan 1 : 10. Hal ini bertujuan untuk mempermudah kita dalam proses perhitungan dan pemisahan antara nener bandeng dan benih-benih lain yang tertangkap pada saat penyeseran. Nener bandeng tidak merasa terganggu mengalami perubahan kadar garam yang tiba-tiba, tetapi benih ikan lain akan mati. Jika diperhatikan secara seksama maka akan mempermudah kita dalam mengenali nener bandeng dari jenis ikan lain dengan melihat bentuk, warna dan cara berenang. Nener bandeng mempunyai bentuk memanjang, transparan dengan titik hitam pada kepala yang sebenarnya adalah mata.

Nener mempunyai cara berenang khas yaitu berenang secara berkelompok mengikuti arah jarum jam atau berlawanan dalam wadah penampungan pasangan bintik ini hanya terlihat berputar-putar mengelilingi dinding ember. Apabila ada akan yang pergerakannya tidak berputar mengelilingi ember, berarti jenis ikan tersebut tidak termasuk kelomok nener bandeng, dan harus segera dipisahkan.

Nener yang telah dipisahkan dari jenis ikan lainnya kemudian dihitung jumlahnya. Jumlah hasil tangkapan nener selama penelitian untuk setiap ulangan pengamatan ditampilkan pada Tabel 27.1. diman hasil tangkapam dalam penelitian selama 16 kali ulangan, diketahui bahwa total hasil tangkapan selama 2 bulan dari penggunaan alat bantu blabar dengan cara melingkar menghasilkan tangkapan sebanyak 1517 individu, sedangkan blabar membentang menghasilkan tangkapan sebanyak 1256 individu, sebagaimana dapat dirincikan melalui tabel berikut.

208

Page 220: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 27.1. Hasil Tangkapan Nener Selama Hasil Penelitian

Ulangan

Perlakuan I

Cara Melingkar X₁ (Individu)

Perlakuan II

Cara Membentang 𝑿₂ (Individu)

1 67 57 2 73 60 3 77 63 4 78 65 5 87 66 6 90 69 7 91 70 8 96 71 9 98 81

10 99 82 11 99 87 12 109 88 13 105 96 14 112 97 15 117 101 16 119 103

Jumlah 1517 1256

Sumber : Hasil Penelitian 2016

3.6 Uji Normalitas Kesimpulan dari penelitian ini

dilakukan dengan menganalisis data hasil penelitian melalui uji hipotesis secara statistik, langkah-langkah untuk melakukan Uji Normalitas dan Uji kesamaan keduanya rata. Uji-t dilakukan

apabila data berdistribusi normal. Langkah-langkah yang dilakukan dalam uji normalitas terasebut adalah : 1. Dalam uji normalitas ini penguji

menggunakan uji Lilliefors. Hasil uji normalitas dari kedua pelakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 27.2. Hasil Uji normalitas data hasil tangkapan dari kedua perlakuan

Perlakuan A N Lo Lt Distribusi

Melingkar 0,05 16 0,1077 0,2130 Normal Membentang 0,05 16 0,1879 0,2130 Normal

2. Setelah dianalisis dengan

Uji kenormalan maka pengujian data dilakukan dengan Uji t-student berdasarkan hasil perbandingan thitungdengan ttabel dan pengambilan keputusan pada penelitian ini berdasarkan hasil perbandingan thitungdengan ttabel asumsi Jika thitung> ttabel maka H0 ditolak dan jika thitung< ttabel maka H0 diterima.Sehingga dengan

demikian, berdasarkan analisis Uji t-student data hasil tangkapan dari alat tangkap blabar dengan cara melingkar dan alat tangkap blabar dengan cara membentang diperoleh thitung= 3> ttabel= 2, 120 pada taraf 0,05 maka hipotesis nol (H0) ditolak dan menerima hipotesis kerja

(H0). Artinya ada pengaruh perbedaan yang nyata pada alat tangkap blabar dengan cara melingkar dan membentang.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dan juga interprestasi dari hasil penelitian melalalui uji normalitas dan uji t-student, maka dapat diketahui bahwa penggunaan blabar dengan cara melingkar memberikan jumlah hasil tangkapan terbanyak dibandingkan dengan blabar dengan cara membentang. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian menggunakan analisa Uji kenormalan data dan dilanjutkan dengan Uji t-student pada blabar dengan cara membentang dan dengan cara melingkar menemukan

209

Page 221: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

perbedaan yang sangat nyata. Banyak jumlah hasil tangkapan yang di peroleh blabar dengan cara melingkar karena nener kesulitan untuk meloloskan diri dari hadangan blabar dengan cara melingkar.

Disi yang lain penelitian yang dilakukan di perairan Atapupu dengan jumlah nener yang cukup banyak, pengaruh perbedaan blabar dengan cara melingkar dan blabar dengan cara membentang didalam operasi penangkapan akan memberikan besar atau kecilnya hasil tangkapa yang diperoleh. Dimana alat tangkap blabar dengan cara melingkar memperoleh hasil tangkapan sebanyak 1517 individu dengan rata-rata hasil tangkapan 94,81 individu perhari, sedangkan blabar dengan cara membentang diperoleh hasil tangkapan 1256 individu dengan rata-rata hasil tangkapan 78,5 perhari. kondisi yang sama juga dijelaskan bahwa hasil penelitian menujukkan,penggunaan blabar dengan cara melingkar dan blabar dengan cara membentang akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan pada alat tangkap blabar.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.2 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan tentang pengaruh perbedaan teknik pengoperasian alat bantu blabar pada penangkapan nener di perairan atapupu kabupaten belu maka disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengoperasian alat tangkap blabar

dengan cara melingkar diperoleh hasil tangkapan sebanyak 1517 individu dengan rata-rata hasil tangkapan 94,81 individu perhari, sedangkan blabar dengan cara membentang diperoleh hasil tangkapan 1256 individu dengan rata-rata hasil tangkapan 78,5 perhari.

2. Penggunaan alat tangkap blabar dengan cara melingkar lebih baik dari blabar dengan cara membentang. Hasil analisis uji t-student dari kedua perlakuan bahwa thitung 3> ttabel 2, 120 pada taraf 0,05 (5%) maka dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan pengaruh yang nyata antara blabar

dengan cara melingkar dan blabar dengan cara membentang terhadap jumlah hasil tangkapa nener.

4.2 Saran

1. Untuk meningkatkan hasil tangkapan nener maka dianjurkan kepada nelayan untuk menggunakan blabar dengan cara melingkar.

2. Agar dilakukan penelitian lanjutan pada bulan yang berbeda untuk mengetahui musim dari nener.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2000. Laporan Tahunan Dinas Perikanan NTT. Dinas Perikanan Propinsi NTT. Kupang.

Bungin.B, 2001. Metode Penelitian Sosial. Airlangga Universitas Press Kampus. Surabaya.

BPS, 2012. NTT dalam Angka Tahun 2012. LKPJ Gubernur NTT

Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Pengembangan Perikanan. Jakarta

Hadie dan Supriatna, 2000. Teknik Budidaya Bandeng. Bhatara. Jakarta.

Http://andraputra.blogspot.com/2016/03/09/. Pemerintah Siap Giring Bandeng Jadi Ikan Kegemaran Dunia. Html.

Http://Andraputra.Blogspot.Com/2016/03/09/. Habitat Ikan Bandeng. Html.

http://wartaagro.com/berita-kkp/tingkatkan-kualitas-nener-untuk-capai-12-juta-ton-bandeng.html

Mallawa, A, Sudirman, 1991. Teknik Penangkapan Ikan. Makasar

Murtidjo, 2002. Budidaya dan Pembenihan Bandeng. Kanisius. Yogyakarta.

Nontji, 1987. Pemeliharaan Bandeng Dalam Tambak. Jakarta.

Racmansyah, 1998. Penangkapan dan Produksi Nener (Peluang dan Tantangan). Jurnal Penelitian Perikanan Pantai. Balitdita. Maros.

Ratnawati, E . T. Ahmad,M .Jamil dan R . Yakob . 1998 . Budidaya Bandeng Secara Intensif. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. PT. Gramedia.

Jakarta.

210

Page 222: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PROSPEK PENGEMBANGAN FASILITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN OEBA KUPANG

DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PERIKANAN TANGKAP

Susy Herwaty Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan

Universitas Muhammadiyah Kupang Email : Susy_herawaty17@yahoo,com

ABSTRAK

Pangkalan Pendaratan Ikan Oeba Kupang merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang menunjang aktivitas perikanan tangkap, kondisi ini didukung oleh posisinya yang starategis sehingga mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan luas fasilitas PPI Oeba Kupang dalam menunjang aktivitas perikanan tangkap dan mengetahui prospek pengembangan fasilitas PPI Oeba Kupang di kemudian hari. Penelitian ini dilaksanakan di PPI Oeba Kupang. Kelurahan Fatubesi Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang. Metode yang digunakan adalah metode survey. Data primer diperoleh dengan melakukan observasi dan pengamatan langsung pada PPI Oeba Kupang, data sekunder merupakan data time series (2011-2015) yang di peroleh dari PPI Oeba Kupang, berupa data armada penangkapan, data alat tangkap, data produksi dan data lain yang terkait. Dalam penelitian ini pengambilan sample dilakukan secara purposive sampling yang dapat mewakili tujuan studi dengan menggunakan teknik wawancara yang hanya dilakukan terhadap responden sebagai keyperson terpilih. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis tingkat pemanfaatan fasilitas (prospek pengembangan fasilitas) Hasil penelitian memperlihatkan bahwa produksi perikanan selama 5 tahun terakhir terus megalami peningkatan, hal ini juga terjadi pada perkembangan alat tangkap dan armada penangkapan. Fasilitas yang ada di PPI Oeba Kupang telah tersedia, namun beberapa diantaranya tidak berfungsi, terutama pada fasilitas fungsional. Hasil Analisis tingkat pemanfaatan fasilitas (prospek pengembangan fasilitas) memperlihatkan tingkat pemanfaatan alur pelayaran 76 %, kedalaman alur pelayaran 25%, luas kolam pelabuhan 445%, kedalaman kolam 23%, dermaga 50% dan fasilitas TPI 0%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar tingkat pendayagunaan fasilitas yang ada pada PPI Oeba Kupang belum mencapai kondisi optimal. Pengelolaan PPI Oeba berada pada kuadran1 (0,97;1,05), yaitu strategi strength and opportunity (S-O), Strategi ini di buat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya yang digunakan dalam upaya pengoptimalisasian fasilitas dasar dan fungsional di PPI Oeba Kupang. Kata kunci : Prospek pengembangan , fasilitas, PPI Oeba Kupang

I. PENDAHULUAN

Kota Kupang merupakan ibukota Propinsi NTT dengan garis pantai dari pantai Tenau sampai dengan pantai Lasiana, dimana garis pantainya berbatasan dengan Kabupaten Kupang sepanjang + 27 Km. Perikanan tangkap di Kota Kupang pada tahun 2009 memiliki perkiraan potensi lestari sebesar 54.000 ton pertahun, yang terdiri dari potensi ikan pelagis sekitar 12.000 ton dan ikan

demersal sekitar 42.000 ton. Sedangkan jumlah Produksi Perikanan Tangkap yaitu: ikan pelagis kecil 8425,8 ton, ikan pelagis besar 4548,9 ton ikan demersal 5046,9 ton dan ikan lainnya 1660,8,8 ton, sehingga total produksi Perikanan Tangkap tahun 2009 sebesar 19682,4 ton. (Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang).

Melihat kondisi tersebut, tentunya menyimpan potensi sumberdaya pantai dan laut yang cukup besar dan

211

Page 223: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

prospektif. Apabila potensi tersebut dikelola secara baik dan optimal , maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Pelabuhan Perikanan di kota Kupang memegang peranan penting sabagai basis perikanan dalam menunjang perkembangan usaha perikanan tangkap yang semakin berkembang. Pada kenyataannya hampir semua kegiatan perikanan membutuhkan manajemen dan kelengkapan fasilitas yang khusus, agar aktivitas perikanan dapat berjalan secara optimal, namun fasilitas serta sarana dan prasarana yang terdapat di pelabuhan tersebut masih jauh dari harapan

Khususnya pada PPI Oeba Kupang yang merupakan Pelabuhan Perikanan type D (kelas III), Fungsi dan fasilitas yang dimiliki oleh PPI Oeba saat ini mengacu pada standar kategori pendirian pelabuhan perikanan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kepmen. 16/ Men/ 2006 tentang pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan menurut Kepmen tersebut dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama yaitu; Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Kategori yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan didasarkan pada kapasitas dan kemampuan masing – masing.

II. METODE PENELITIAN

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu suatu metode pengambilan data secara survey dan observasi langsung di lapangan, serta melakukan pengumpulan data dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan mendetail sehingga mendapatkan gambaran menyeluruh sebagai hasil dari pengumpulan data dan analisis data dalan jangka waktu tertentu pada daerah tertentu (Natsir, 2003).

Terkait dengan usaha pengembangan pelabuhan, kemudian fungsi dilakukannya perhitungan tingkat pemanfaatan adalah untuk mengetahui apakah fasilitas yang

ada di PPI Oeba perlu ditambah atau dikembangkan lagi atau sudah cukup layak untuk menampung aktivitas pelabuhan yang ada.

1. Perhitungan Pemanfaatan Fasilitas

Menurut Lubis (2000), bahwa batasan untuk mengetahui pemanfaatan fasilitas fisik sebagai berikut: 1) Pada fasilitas yang mempunyai

fasilitas – fasilitas tertentu, maka pemanfaatannya dapat dihitung dengan perbandingan sebagai berikut:

𝐏𝐞𝐦𝐚𝐧𝐟𝐚𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐅𝐚𝐬𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬

𝐊𝐚𝐩𝐚𝐬𝐢𝐬𝐭𝐚𝐬 𝐅𝐚𝐬𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬𝒙 𝟏𝟎𝟎 %

Jika dari perhitungan didapatkan a) Prosentasi pemanfaatan > 100%,

tingkat pendayagunaan fasilitas melampaui kondisi optimal

b) Prosentasi pemanfaatan = 100%, tingkat pendayagunaan fasilitas mencapai kondisi optimal .

c) Prosentasi pemanfaatan < 100%, tingkat pendayagunaan fasilitas belum mencapai optimal.

2) Pada fasilitas yang kapasitasnya tidak tentu, maka besarnya pemanfaatan dipertimbangkan secara subjektif.

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1981) dalam Zain dkk (2011), untuk mencari tingkat pemanfaatan dan kapasitas yang dimiliki oleh tiap fasilitas pelabuhan dapat menggunakan metode-metode sebagai berikut: a) Kedalaman Alur pelayaran

Menentukan kedalaman alur dapat dihitung dengan rumus :

D = d + S + C

Keteranagan : D : Kedalaman alur (m) d : Draft kapal terbesar (m) S : “Squat” (m) Squat atau

gerak vertikal kapal karena gelombang (m)

C : “Clearene” (m) Clearance atau ruang bebas antara lunas kapal dengan dasar perairan (m)

212

Page 224: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

b) Lebar alur pelayaran dapat digunakan untuk satu kapal atau dua kapal (one way traffic atau two way traffic), dihitung dengan formula sebagai berikut : Alur dengan 1 Kapal (W) =

W = 2 BC + ML

Alur dengan 2 kapal (W) =

W = 2 (BC + ML) + SC

Keterangan : W : Lebar alur pelayaran BC : Bank Clearence (ruang

aman sisi kapal) = 1,5 B ML : Manuevering Lane (1 ½ x

lebar kapal) = 1,2 s/d 1,5) B

SC : Ship Clearence (ruang aman antar kapal) minimal 0,5 m

c) Kolam pelabuhan

Menurut Dirjen Perikanan (1981), untuk menentukan luas kolam pelabuhan dapat dihitung dengan rumus :

L = lt + (3 x n x l x b)

L = π r2

Keterangan : L : Luas kolam pelabuhan (m2) lt : Luas untuk memutar kapal

(m2) l : Panjang kapal rata-rata (m) b : Lebar kapal rata-rata (m) π : 3,14 r : Panjang kapal terbesar (m) n : Jumlah kapal maksimum

(unit)

d) Kedalaman kolam pelabuhan Kedalaman perairan di wilayah kolam pelabuhanpada saat permukaan air terendah (LWS) dapat dihitung menggunakan rumus:

D = d + 0,5H + S + C

D : Kedalaman kolam (cm) d : Draft terbesar kapal ( cm) H : Tinggi gelombang maks (50

cm) S : Tinggi ayunan kapal (10-50

cm) C : Jarak aman antara lunas

dengan dasar perairan (25-100 cm)

e) Dermaga

Menurut Dirjen Perikanan (1981), untuk menentukan panjang demaga yang dibutuhkan dapat dicari dengan rumus :

L =(𝐥+𝐬) 𝐧 𝐱 𝐚 𝐱 𝐡

𝐔 𝐱 𝐝

L : Panjang dermaga (m) l : Panjang kapal rata-rata (m) s : Jarak antar kapal (m) n : Jumlah di dermaga per hari a : Berat rata-rata kapal (ton) h : Lama kapal di dermaga

(jam) u : Produksi ikan per hari (ton) d : Lama fishing trip rata-rata

(jam)

f) Gedung pelelangan Menurut Murdiyanto (2004), luas gedung pelelangan dapat dihitung dengan rumus :

S = 𝐍 𝐱 𝐏

𝐑 𝐱 𝐚

S : Luas gedung pelelangan

(m2) N : Jumlah produksi rata-rata

perhari ( 2 ton) P : Faktor daya tampung ruang

(10 m2/ton) R : Frekwensi pelelangan per

hari (1 – 2 kali sehari) a : Rasio antara lelang dengan

gedung lelang

Hasil yang diperoleh akan menunjukkan bahwa kondisi yang ada sudah memadai atau belum, sehingga dapat disimpulkan perlu

213

Page 225: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

atau tidaknya dilakukan pembenahan ataupun pengembangan

2. Analisis Swot

Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi yang tepat dalam pengembangan PPI Oeba Kupang dengan meninjau kondisi yang ada. Analisa ini memiliki 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal sendiri meliputi kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness), sedangkan faktor eksternal meliputi peluang (Opportunity) dan ancaman (Thread) Proses pengklasifilasian faktor-faktor internal - eksternal dan proses pembandingan faktor internal - eksternal merupakan gambaran kondisi PPI Oeba Kupang

Langkah yang berikutnya adalah menyusun sebuah matriks SWOT . Matriks ini dapat menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif strategi. Skorsing dilakukan setelah faktor-faktor internal dan eksternal ditentukan. Posisi strategi (grand strategy) digunakan untuk menentukan pilihan pada keempat strategi yang telah didapatkan pada analisa matrik SWOT, yaitu cara menepatkan total skor pada faktor internal dan eksternal matrik. Posisi tersebut merupakan suatu kesimpulan dalam menentukan starategi yang akan diambil.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum PPI Oeba

PPI Oeba merupakan unit pelayanan yang secara organisasi berada dibawah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan SK Kepala Dinas Kel.Per Prov NTT No 532.606.B2.5a/XII/02K tanggal 18 Desember 2002. Luas PPI Oeba secara keseluruhan adalah 4,3 Ha yang dimanfaatkan untuk berbagai fasilitas.

3.2 Fasilitas Pelabuhan Perikanan Oeba

3.2.1 Fasilitas Pokok

Fasilitas pokok yang ada di PPI Oeba Kupang diantaranya:

1) Breakwater

Breakwater atau pemecah gelombang merupakan suatu fasilitas yang harus dimiliki oleh sebuah pelabuhan perikanan. Fasilitas ini berfungsi untuk menghalau ombak sehingga arus air yang tercipta di kolam pelabuhan menjadi lebih tenang. Breakwater yang tersedia sepanjang 542 m dan sampai saat ini kondisi breakwater dalam keadaan baik dan berfungsi. 2) Turap

Turap merupakan bangunan pantai

yang digunakan untuk melindungi pantai terhadap gelombang dan arus laut yang berpotensi merusak atau menyebabkan sedimentasi . Panjang turap 130 m , dan sampai saat ini kondisi turap dalam keadaan baik dan berfungsi

3) Dermaga

PPI Oeba Kupang memiliki dermaga

yang terbuat dari konstruksi beton dengan panjang dermaga ± 150 m, Dermaga ini digunakan sebagai tempat tambat/labuh, bongkar/muat ikan, dan isi perbekalan kapal, dengan tipe bentuk ”warf atau quay” dan tipe kontruksi dermaga yang dibangun sejajar dengan atau menempel pada pantai . Kondisi dermaga baik namun apabila ditinjau dari jumlah kapal (388 unit), maka panjang dermaga saat ini tidak sesuai dengan kapasitas, selain itu pada dermaga ini tidak terdapat pemisahan yang jelas antara dermaga pendaratan, dermaga perlengkapan sebelum melaut dan dermaga labuh.

4) Kolam dan Alur Pelayaran

PPI Oeba Kupang memiliki Kolam

pelabuhan seluas 1,2 Ha dengan kedalaman mencapai 0,50 s/d 1,0 meter. yang digunakan untuk alur keluar masuk seluas 30 m, yang berfungsi untuk mengatur olah gerak kapal. Jumlah armada yang cukup besar tidak di barengi dengan kondisi kolam yang mengalami pendangkalan sehingga untuk kapal dengan ukuran 20 GT ke atas hanya dapat berlabuh bila air pasang. Pada PPI

214

Page 226: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Oeba tidak terdapat sarana alur navigasi sehingga untuk aktivitas melaut, nelayan setempat mengandalkan insting dan lampu kapal/perahu.

3.2.2 Fasilitas Fungsional

Fasilitas Fungsional yang adadi PPI

Oeba KUpang diantaranya:

1) Tempat pelelangan ikan (TPI)

Tempat Pelelangan ikan (TPI) merupakan tempat berinteraksi langsung antara nelayan dan pedagang dalam hal pemasaran hasil tangkapan melalui pelelangan. Pada PPI terdapat gedung TPI sebanyak 1 unit seluas 160,72m2 , namun kondisi yang ada memperlihatkan bahwa TPI pada PPI Oeba Kupang tidak beroperasi sebagaimana mestinya

2) Pasar ikan

Pasar ikan adalah tempat

bertransaksinya penjual dan pembeli ikan sehingga terjadi kesepakatan harga.. Pada PPI Oeba terdapat 2 unit pasar ikan dengan luas Luas 447,10m2 (36,35x12,30m2). dan Luas 375,15m2 (30,50x12,30m2). Namun dalam melaksanakan aktivitas transaksi jual beli ikan di PPI Oeba pedagang lebih memilih berjualan di pelataran dengan menggunakan sarana jual beli yang minim , berupa meja kecil, bahkan tak jarang dagangan langsung di gelar di atas tanah dengan beralaskan terpal, Bangunan pasar ikan yang ada sebagian besar lebih banyak di gunakan sebagai kedai tempat menjual makanan dan minuman {kedai kopi, teh dll).

3) Air bersih

Instalasi air bersih merupakan salah

satu fasilitas yang terkait dengan produksi hasil tangkapan yang didaratkan. Keberadaan fasilitas ini sangat vital peranannya selain digunakan untuk kebutuhan hidup orang banyak, air bersih ini juga dibutuhkan untuk membersihkan ikan hasil tangkapan yang akan maupun telah dilelang agar tidak terkontaminasi dengan darah ikan lainnya maupun

kotoran sehingga mutu ikan tersebut tetap terjaga .Penampungan air yang ada di PPI Oeba terdiri dari 2 unit dengan luas 3x4x2m3 dam kondisi rusak dan 3,5x2,5x1,3m3 kondisi baik,, namun saat ini telah terpasang bak penanpungan air dengan kapasitas 6,3 ton serta tower air dengan kapasitas 3 x 2500 liter atau sama dengan 7,5 ton.

4) Pabrik es

Pelayanan penyediaan kebutuhan

es di suatu unit pelabuhan perikanan dapat di fasilitasi melalui keberadaan pabrik es. Hanafiah dan Saefuddin (2006) mengatakan bahwa, fasilitas seperti pabrik es sangat diperlukan di tempat pendaratan ikan, karena es digunakan untuk mempertahankan kesegaran ikan setelah ikan ditangkap, pada saat proses pendaratan serta dalam proses pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran. Untuk mensuplay kebutuhan nelayan, pada PPI Oeba ini telah terdapat 2 buah pabrik es yang beroperasi dan di kelola oleh perusahaan swasta yaitu CV, Effata yang berdiri tahun 2005 dengan kapasitas produksi sebesar 20 ton/hari dan Cv Lima Putri yang berdiri tahun 2011 dengan kapasitas produksi sebesar 30 ton/hari. Pada PPI ini juga terdapat pabrik es mini milik DKP Kota Kupang, namun kondisinya telah rusak

5) Solar Packed Dealer Nelayan

Solar packed dealer nelayan (SPDN)

di PPI Oeba Kupang merupakan salah satu unit usaha yang dikelola oleh KUD

dengan luasan 36 𝑚2. Unit usaha SPDN merupakan bentuk bantuan dari DKP pusat melalui Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kupang, BP – MIGAS dan Pertamina. Tujuan didirikannya SPDN ini adalah untuk memenuhi kebutuhan nelayan akan bahan bakar minyak, khususnya solar dengan harga yang murah. SPDN di PPI Oeba ini di kelola oleh Koperasi “Mina Raja Ikan” dengan kapasitas 740.000 liter /tahun ( 740 ton/tahun), namun SPDN di PPI Oeba masih bersifat manual dengan kondisi fisik bangunan semi permanen.

215

Page 227: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

6) Listrik

Fasilitas ini dapat dijumpai di PPI

Oeba Kupang. Fasilitas ini berfungsi selain sebagai penerang di malam hari, fasilitas ini juga diperlukan dalam pembekuan es. Fasilitas listrik yang ada di PPI Oeba Kupang terdiri dari 1 unit dengan kapasitas 32.000 VA dan gardu listrik 1 unit dengan kapasitas 100 KVA. Pada PPI Oeba ini tidak terdapat fasilitas genset, sehingga apabila listrik padam, kadaannya menjadi gelap gulita , nelayan dan masyarakat sekitar pelabuhan henya mengandalkan pelita ataupun lampu emergence

Bengkel adalah tempat perbaikan dan perawatan mesin kapal. Letak bengkel tersebut sebaiknya berada di dalam kawasan pelabuhan perikanan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi nelayan dalam penggunaan fasilitas ini. Namun pada PPI Oeba ini justru fasilitas ini tidak tersedia.

3.2.3 Fasilitas Penunjang

Fasilitas penunjang yang terdapat di

PPI Oeba adalah :

1) MCK

MCK merupakan salah satu sarana penunjang yang bersifat vital oleh karena itu keberadaannya sangat diperlukan, pada PPI Oeba terdapat 2 unit fasilitas MCK dengan luas 110,63 m2( ukuran 10x 6 m2 ) dalam kondisi berfungsi dan 8,3 x 6,1 m2, rusak.

2) Warung/kios

Fasilitas pertokoan merupakan salah

satu fasilitas yang dibutuhkan oleh nelayan ketika melakukan operasi penangkapan. Fasilitas pertokoan yang terdapat pada PPI Oeba Kupang diantaranya berupa toko Bahan Alat Perikanan (BAP), warung kebutuhan pokok, hiburan dan rumah makan. BAP yang merupakan aset pemerintah kota terdiri dari 20 unit dengan luas 480 m2( 24 m2//unit ), kios BAP milk propinsi sebanyak 13 unit, (12m2/unit ) dan 3

kios kontrakan ukuran ± 42 m2 , kondisi toko baik dan berfungsi, disamping itu banyak juga toko-toko lain yang menjual perbekalan dan kebutuhan pokok dengan menyewa tanah pada lokasi pelabuhan.

3) Kantor pengelola pelabuhan

perikanan dan Syahbandar

Fasilitas kantor pengelola pelabuhan perikanan digunakan untuk melaksanakan tugas administrasi demi kelancaran operasional pelabuhan perikanan (UPT), yang terdiri dari divisi-divisi, salah satunya adalah divisi kesyahandaran. Divisi kesyahbandaru merupakan devisi yang secara langsung terlibat dalam aktivitas nelayan di PPI. Setiap kapal penangkap ikan yang memasuki pelabuhan perikanan harus menyerahkan semua dokumen-dokumen kepada syahbandar untuk diperiksa dan disimpan. Dokumen tersebut antara lain Surat Ukur, Grosse Akte, Pas Tahunan, Sertifikat Kelaiklautan dan Pengawakan, serta Pas Kecil Kapal Penangkap Ikan. Gedung administrasi ini

terdiri dari 1 unit seluas 90,1 m2 4) Koperasi

Koperasi merupakan salah satu usaha

perekonomian rakyat yang bertujuan meningkatkan taraf hidup anggotanya, oleh karena itu keberadaan koperasi sangat penting. Pada PPI Oeba Kupang ini terdapat koperasi nelayan yang bernama ”Mina Raja Ikan”, seluas 36 m2 .Koperasi ini didirikan pada tanggal 22 April 2004 dengan No 03/BH/DK.UKM/224.13/IV/2004

3.3 Aktivitas Penangkapan Ikan Oleh

Nelayan di PPI Oeba

3.3.1 Armada Penangkapan/ kapal Armada penangkapan ikan yang

digunakan oleh masyarakat nelayan PPI Oeba umumnya masih berupa kapal atau perahu kayu. Armada ini digolongkan menjadi tiga kategori yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT/body), dan kapal motor (KM).). Kapal motor (KM) merupakan jenis yang paling banyak digunakan oleh nelayan di

216

Page 228: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

PPI Oeba bila dibandingkan dengan kategori PTM dan PMT. Tabel 28.1. Jumlah dan ukuran armada/kapal perikanan di PPI Oeba Kupang tahun

2011- 2015

Ukuran kapal

Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

< 5 GT 32 18 38 76 140 >5 - 10 GT 141 142 139 246 236 10 - 40GT 12 5 19 20 12

Jumlah 185 165 196 342 388

Sumber : Laporan bulanan PPI Oeba Kupang yang telah diolah 3.3.2 Alat Penangkapan Ikan

Alat tangkap yang di gunakan nelayan

PPI Oeba terdiri dari pancing ulur, pancing tonda, mini pure siene, gilnet, pole and line, payang/lampara dan lain-lain, namun pada umumnya masyarakat nelayan di PPI Oeba Kupang menggunakan pancing ulur sebagai alat tangkap utamanya.

Penggunaan alat tangkap pancing ulur sebagai alat tangkap yang dominan di wilayah PPI Oeba mengindikasikan bahwa alat tangkap tersebut memiliki harga yang terjangkau bagi nelayan, mampu memberikan keuntungan dalam pengusahaannya, mudah dalam pengoperasiannya dan perawatannya.

Tabel 28.2. Jumlah alat tangkap ikan PPI Oeba Kupang tahun 2011 – 2015

Alat Tangkap Tahun

2011 2012 2013 2014 2015

Pancing Ulur 82 80 69 159 152 Pancing Rawai 0 0 7 2 0 Pancing Tonda 20 18 47 82 100 Mini Pure sein 65 53 32 43 4 Gilnet 1 0 6 5 10 Penjepit 0 0 2 0 3 Melukai 0 0 2 6 24 Pancing Dasar 1 1 1 4 20 Hand Line 0 0 8 0 0 Pole and line 4 10 6 18 13 Pukat 6 0 0 0 0 Bagan 1 0 0 0 0 Lampara/Lain-lain 5 3 10 23 62

Jumlah 185 165 190 342 388

Sumber : Laporan bulanan PPI Oeba Kupang yang telah diolah

Dari tabel tersebut diatas dapat diketahui bahwa selang waktu 5 tahun terakhir (2011-2015) pancing ulur merupakan alat tangkap yang paling dominan di gunakan oleh nelayan PPI Oeba,

3.3.3 Daerah Penangkapan Ikan dan

Trip Kapal

Sebagian besar armada kapal perikanan yang ada di PPI Oeba memiliki

hari operasional penangkapan ikan berkisar 12 jam serta 4 - 10 hari, dengan daerah penangkapan ikan di sekitar Teluk kupang. Laut Timur, Laut Sawu Laut Sabu dan Pulau Rote, atau untuk mengetahui lebih jelas akan ulasan tersebut, maka dapat dilihat pada rincian tabel 28.3 berikut ini.

217

Page 229: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 28.3. Kunjungan Kapal ke PPI Oeba 2014

No Jumlah Kapal Bobot (GT)

Jumlah Durasi

Harian Tahunan

1 Kapal/motor kecil <5 78 1 240 2 Kapal/motorsedang 5 -10 236 4 60 3 Kapal/motor besar 10 – 40 12 10 24

Sumber : Hasil Penelitian

3.4 Volume Produksi Hasil Tangkapan

Tersediaanya prasarana pelabuhan perikanan mempunyai arti yang sangat penting dalam usaha menunjang peningkatan produksi perikanan laut. Hal tersebut dikarenakan pelabuhan perikanan merupakan tempat pendaratan, pengolahan, pemasaran dan pendistribusian hasil tangkapan ikan yang

ada. Secara singkat, pelabuhan perikanan merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran (Lubis, 2006).

Volume Produksi pelabuhan perikanan yang terdapat pada PPI Oeba Kupang dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 28.4. Volume Produksi Eksport PPI O eba tahun 2011-2015

Tahun(ton)

2011 2012 2013 2014 2015

1.225.806 894.425 2.445.695 8.164803 8.554.738

Sumber : Laporan bulanan PPI Oeba Kupang setelah diolah)

Tabel tersebut diatas merupakan tabel volume produksi eksport, sedangkan untuk volume produksi lokal, diasumsikan sebesar 40% dari volume produksi eksport.

3.5 Analisis Tingkat Pemanfaatan

3.5.1 Fasilitas Pokok

Hasil analisis tingkat pemanfaatan

fasilitas-fasilitas pokok di PPI Oeba adalah sebagai berikut :

1) Dermaga

Ukuran panjang dermaga seharusnya

adalah 300 m , tetapi pada kondisi saat ini panjang dermaga ± 150 m, dengan demikian tingkat pemanfaatannya baru 50 % dan belum mencapai kondisi optimal, oleh karena itu perlu adanya pengembangan, agar bisa memenuhi jumlah kapal yang ada.

2) Kolam Pelabuhan Luas kolam pelabuhan yang di

butuhkan untuk memutar kapal dengan aman adalah 2.696, sedangkan luas kolam pelabuhan saat ini adalah 1,2 Ha, areal ini adalah areal yang di pesiapkan untuk pengembangan ke depan. Sehingga tingkat pemanfaatan sebesar 445 %,, tidak perlu pengembangan 3) Kedalaman kolam pelabuhan

Kedalamam perairan pelabuhan yang di butuhkan untuk menghindari kandasnya kapal adalah 3,25 m, sedangkan kedalaman kolam pelabuhan saat ini adalah 0,75 m, sehingga tingkat pemanfaatannya baru 23%, sehingga dapat dikatakan tidak layak dan perlu adanya pengerukan.

4) Lebar alur pelayaran

Berdasarkan hasil perhitungan, lebar alur pelayaran yang dilalui sekaligus oleh 2 buah kapal adalah 23,3 m, kondisi yang ada memperlihatkan besarnya alur

218

Page 230: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

pelayaran adalah 30 m, sehingga tingkat pemanfaatannya adalah 76%, dan tidak perlu adanya pembenahan

5) Kedalaman alur pelayaran

Berdasarkan hasil perhitungan kedalaman alur pelayaran berkisar 3 m, sedangkan kedalaman alur pelayaran saat ini adalah 0,75 m ,sehingga tingkat pemanfaatannya baru 25%, oleh karen itu perlu adanya pembenahan.

3.5.2 Fasilitas Fungsional

Hasil analisis tingkat pemanfaatan fasilitas fungsional di PPI Oeba seperti gedung pelelangan, dimana luas gedung pelelangan sesuai perhitungan adalah

297.4 𝑚2, sedangkan luas gedung

pelelangan saat ini adalah160,72𝑚2. Fasilitas ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dengan demikian tingkat

pemanfaatannya sebesar 0%, namun apabila fasilitas ini berfungsi maka tingkat pemanfaatannya adalah 54%, oleh karena itu perlu adanya pengembangan ke depan.

3.6 Hasil Analisis SWOT

Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi yang tepat dalam pengembangan di PPI Oeba Kupang dengan meninjau kondisi yang ada. Analisa ini memiliki 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal sendiri meliputi kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness), sedangkan faktor eksternal meliputi peluang (Opportunity) dan ancaman (Thread) Proses pengklasifilasian faktor-faktor internal - eksternal dan proses pembandingan faktor internal, eksternal merupakan kondisi di PPI Oeba Kupang.

Tabel 28.5 Identivikasi faktor-faktor internal analisis SWOT PPI Oeba

Kekuatan Keterangan

Kekuatan 1 (S1) Perkembangan volume produksi dan jumlah armada yang meningkat

Kekuatan 2 (S2) Mempunyai beberapa fasilitas yang telah dioperasikan cukup baik (Breakwater, turap, alur pelayaran, administrasi, kios BAP)

Kekuatan 3 (S3) PPI Oeba terletak pada lokasi yang strategis sehingga mempunyai aksesbilitas yang tinggi

Kekuatan 4 (S4) Pelayanan perizinan surat yang mudah Kekuatan 5 (S5) Mempunyai SDM yang cukup berpengalaman didunia perikanan Kekuatan 6 (S5) Pengolahan mutu hasil tangkapan yang cukup baik Kekuatan 7 (S6) Memiliki area untuk pengembangan

Kelemahan Keterangan

Kelemahan 1 (W1) Pengelolaan pendapatan PPI belum dilakukan secara optimal Kelemahan 2 (W2) Karyawan PPI dan nelayan yang tidak proaktif meningkatkan

kompetisinya Kelemahan 3 (W3) Kondisi PPI belum memenuhi standar optimal ditinjau dari segi

teknis tata ruang fungsi dan fasilitas pelabuhan perikanan Kelemahan 4 (W4) Tidak tersedianya bengkel/docking Kelemahan 5 (W5) Ketersediaan air tawar dan BBM yang minim Kelemahan 6 (W6) Kolam pelabuhan yang mengalami pendangkalan Kelemahan 7 (W7) Kondisi jalan menuju PPI relatif sempit

Tabel 28.6. Identivikasi faktor-faktor eksternal analisis SWOT PPI Oeba

Peluang Keterangan

Peluang 1 (O1) Pangsa pasar perikanan yang potensial Peluang 2 (O2) Nilai produksi ikan cenderung naik

Peluang 3 (O3) Peluang usaha didaerah hinterland (multiple effects), sebagai bangkitan dari PPI

Peluang 4 (O4) Lapangan kerja yang cukup besar Peluang 5 (O5) Peningkatan pendapatan nelayan/masyarakat dan daerah

219

Page 231: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Lanjutan Tabel 28.6. Identivikasi faktor-faktor eksternal analisis SWOT PPI Oeba

Ancaman Keterangan

Ancaman 1 (T1) Pasokan dan stabilitas harga BBM yang tidak menentu Ancaman 2 (T2) Keterlibatan koperasi yang belum optimal

Ancaman 3 (T3) Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penanganan komoditas hasil perikanan tangkap pasca penangkapan

Ancaman 4 (T4) Rendahnya informasi pemasaran/pengolahan Ancaman 5 (T5) Produksi/hasil tangkapan yang tidak dilelang di tpi

3.7 Analisa Matrik SWOT

Setelah melakukan identifikasi faktor-

faktor yang mempengaruhi PPI Oeba Kupang baik faktor internal maupun eksternal yang terdiri dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang

mungkin dapat menghambat kemajuan, langkah selanjutnya adalah menyusun sebuah matriks SWOT . Matriks ini dapat menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif strategi.

Tabel 28.7. Matriks SWOT hasil analisa dari PPI Oeba Kupang (kekuatan, kelemahan

dengan peluang)

Internal Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

1) Perkembangan volume produksi dan jumlah armada yang meningkat

2) PPI terletak pada lokasi yang strategis sehingga mempunyai aksebilitas yang tinggi.

3) Mempunyai beberapa fasilitas yang telah dioperasikan cukup baik (Breakwater, turap, alur pelayaran, administrasi ,kioas BAP)

4) Pelayanan perizinan surat yang mudah

5) Mempunyai SDM yang cukup berpengalaman di dunia perikanan

6) Pengolahan mutu hasil tangkapan yang cukup baik

7) Memiliki areauntuk pengembangan

1) Pengelolaan pendapatan PPI belum dilakukan secara optimal

2) Karyawan PPI dan nelayan yang tidak proaktif meningkatkan kompetisinya

3) Kondisi PPI belum memenuhi standar optimal ditinjau dari segi teknis tata ruang fungsi dan fasilitas pelabuhan perikanan

4) Tidak tersedianya bengkel/docking

5) Ketersediaan air tawar dan BBM yang minim

6) Kolam pelabuhan yang mengalami pendangkalan

7) Kondisi jalan menuju PPI relatif sempit

Eksternal Peluang

(opportunity) Strategi S – O Strategi W-O

1) Pangsa pasar yang potensial

2) Nilai produksi ikan cenderung naik

3) Peluang

1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi agar pendapatan nelayan, pelabuhan dan daerah meningkat (S1O1,S5O1,S6O1,S6O2

2) Memantapkan PERDA yang berhubungan dengan aktivitas

1) Memantapkan aturan/ regulasi mengenai retribusi dan keberadaan PPI (W1O1) W3O3,W4O4, W5O5 )

2) Peningkatan kualitas SDM nelayan dan staf PPI melalui pelatihan dan

220

Page 232: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

usaha didaerah hinterland(multiple effects)

4) Lapangan kerja yang cukup besar

5) Peningkatan pendapatan nelayan/masyarakat dan daerah

pelabuhan agar pembangunan disektor perikanan semakin maju dan berkembang (S2O2,S2O3)

3) Melakukan pengembangan/ pembangunan PPI secara agresif, dengan menambah/memperbaiki fasilitas yang belum sepenuhnya terpenuhi,serta meningkatkan kinerja aparat pelabuhan dan nelayan dalam berbagai aspek dalam menunjang aktivitas perikanan tangkap (S3O3,S3O4, S4O4,S5O4,S7O3)

pemberdayaan nelayan dalam meningkatkan mutu ikan ( W2 O2,)

3) Pengerukan dan pembersihan kolam pelabuhan (W6O6,W6O3,W6O4,W6O

4) Peningkatan pasokan air bersih dan BBM untuk mencukupi kebutuhan di pelabuhan , agar aktivitas berjalan lancar (W5O1.W5O2,W5O3)

Tabel 28.8. Matriks SWOT hasil analisa dari PPI Oeba Kupan (kekuatan, kelemahan

dengan anca man)

Internal Kekuatan (Strength)

Kelemahan (Weakness)

1) Perkembangan volume produksi dan jumlah armada yang meningkat

2) PPI Oeba terletak pada lokasi yang strategis sehingga mempunyai aksesbilitas yang tinggi

3) Mempunyai beberapa fasilitas yang telah dioperasikan cukup baik (breakwater, turap,a lur pelayaran, administrasi kios BAP)

4) Pelayanan perizinan surat yang mudah

5) Mempunyai SDM yang cukup berpengalaman di dunia perikanan

6) Pengolahan mutu hasil tangkapan yang cukup baik

7) Memiliki areal untuk pengembangan

1) Pengelolaan pendapatan PPI belum dilakukan secara optimal

2) Karyawan PPI dan nelayan yang tidak proaktif meningkatkan kompetisinya

3) Kondisi PPI belum memenuhi standar optimal ditinjau dari segi teknis tata ruang fungsi dan fasilitas pelabuhan perikanan

4) Tidak tersedianya bengkel/docking

5) Ketersediaan air tawar yang minim

6) Kolam pelabuhan yang sempit dan mengalami pendangkalan

7) Kondisi jalan menuju PPI relatif sempit

Eksternal Ancaman (Threats)

Strategi S – T

Strategi W-T

1) Pasokan dan stabilitas harga BBM yang tidak menentu

2) Keterlibatan koperasi yang

1) Menambah pasokan BBM yang ada agar kebutuhan nelayan dapat terpenuhi .S1T1,S4T1,S3T1.

2) Meningkatkan pengetahuan dan kerjasama antara koperasi,nelayan dan staf PPI dalam hal pelelangan

1) Penambahan pasokan air,BBM , pengerukan kolam pelabuahan yang dangkal dan penyediaan fasilitas bengkel agar aktivitas yang ada dapat berjalan dengan lancar

221

Page 233: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

belum optimal 3) Rendahnya

pengetahuan masyarakat pasca penangkapan

4) Rendahnya informasi pemasaran

5) Produksi hasil tangkapan yang tidak dilelang di TPI

/pemasaran agar dapat meningkatkan pendapatan. S5T2,S6T3,S5T4 S5T5

S4T1,S5T1,S6T1 2) Meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman nelayan dan staf PPI, pentingnya pelelangan di Tpi dalam menentukan harga ikan S2T3,, S2T4,S2T3,S2T5

3.8 Skorsing Faktor

Skorsing dilakukan setelah faktor-faktor internal dan eksternal ditentukan.

Berikut adalah skorsing nilai dan bobot untuk faktor internal dan eksternal PPI Oeba Kupangi.

Tabel 28.9. Analisis Skorsing Faktor Internal

Kekuatan Bobot Rating Skor

Keterangan : 1) Volume produksi dan jumlah armada yang meningkat 2) PPI Oeba terletak pada lokasi yang strategis 3) Mempunyai beberapa fasilitas yang telah dioperasikan

cukup baik (breakwater, turap,alur, administrasi, kios BAP) 4) Pelayanan perizinan surat yang mudah 5) Mempunyai SDM yang cukup berpengalaman 6) Pengolahan mutu hasil tangkapan yang cukup baik 7) Memiliki areal pengembangan

0,08 0,08 0,07

0,08 0,07 0,07 0,08

4 4 4 4 3 4 4

0,32 0,32 0,28

0,32 0,21 0,28 0,32

Jumlah 2,05

Kelemahan Bobot Rating Skor

Keterangan : 1) Pengelolaan pendapatan PPI yang belum dilakukan secara

optimal 2) Karyawan PPI dan nelayan tidak proaktif meningkatkan

kompetensinya 3) Kondisi PPI belum memenuhi standar optimal ditinjau dari

segi teknis tata ruang, fungsi dan fasilitas PP 4) Tidak tersedianya bengkel/doking 5) Ketersediaan air tawar dan BBM yang minim 6) Kolam pelabuhan yang mengalami pendangkalan 7) Jalan menuju PPI relatif sempit

0,06

0,06

0,07

0,07 0,07 0,07 0,07

2 2 2 2 3 3 2

0,12

0,12

0,14

0,14 0,21 0,21 0,14

Jumlah 1 1,08

Tabel 28.10 Analisis skorsing faktor eksternal

Peluang (opportunity) Bobot Rating Skor

Keterangan : 1) Pangsa pasar yang potensial 2) Harga ikan stabil cenderung naik 3) Peluang usaha didaerah hinterland(multiple effects) 4) Lapangan kerja yang cukup besar 5) Peningkatan pendapatan nelayan/masyarakat dan daerah

0,12 0,10 0,12 0,09 0,11

4 4 4 4 4

0,48 0,40 0,48 0,36 0,44

Jumlah 2,16

222

Page 234: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Lanjutan Tabel 28.10 Analisis skorsing faktor eksternal

Ancaman Bobot Rating Skor

Keterangan : 1. Pasokan dan stabilitas harga BBM yang tidak menentu 2. Keterlibatan koperasi yang belum optimal 3. Rendahnya pengetahuan masyarakat pasca penangkapan 4. Rendahnya informasi pemasaran 5. Produksi hasil tangkapan yang tidak dilelang di TPI

0,09 0,09 0,10 0,09 0,09

3 2 3 2 2

0,27 0,18 0,30 0,18 0,18

1 1,11

3.9 Penentuan grand strategy

Posisi strategi digunakan untuk menentukan pilihan pada keempat strategi yang telah didapatkan oleh analisa matrik SWOT, yaitu cara menepatkan total skor pada faktor internal dan eksternal matrik.

Dari perhitungan skorsing faktor total nilai skor untuk faktor internal didapatkan 0.97 (kekuatan – kelemahan), sedangkan untuk faktor eksternal didapatkan 1,05 (peluang – ancaman) . Untuk itu lebih jelasnya dapat dilihat dalam matrik strategy dibawah ini:

Gambar 28.1. Matrik Posisi Strategi SWOT Dari matrik diatas dapat diketahui

bahwa strategi yang dipilih adalah strategi pada kuadran I yaitu strategi S-O (Strength-Opportunity). Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya yang digunakan dalam upaya pengoptimalisasian fasilitas dasar dan fungsional di PPI Oeba Kupang.

Pada kuadran I strategi-strategi yang dapat di lakukan oleh PPI Oeba Kupang adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi agar pendapatan nelayan, pelabuhan dan daerah semakin meningkat (melalui proses pelelangan/pemasaran dan pengolahan

2) Melaksanakan PERDA yang berhubungan dengan aktivitas pelabuhan agar pembangunan disektor perikanan tangkap semakin maju dan berkembang

3) Melakukan kegiatan pengembangan/ pembangunan PPI secara agresif, dengan menambah/memperbaiki

223

Page 235: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

fasilitas yang belum sepenuhnya terpenuhi,serta meningkatkan kinerja aparat pelabuhan dan nelayan terhadap berbagai aspek dalam menunjang aktivitas perikanan tangkap,

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Pangkalan Pendaratan Ikan Oeba Kupang, sebagai Pelabuhan Perikanan type D telah dilengkapi oleh fasilitas pelabuhan perikanan, diantaranya adalah fasilitas pokok yang meliputi : dermaga, breakwater, turap, kolam pelabuhan dan alur navigasi, fasilitas fungsional meliputi : TPI, pasar ikan, Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN), air bersih, pabrik es dan penerangan yang bersumber dari PLN, namun pada PPI Oeba ini tidak ditemukan fasilitas slipway/bengkel sebagai tempat perbaikan kapal yang mengalami kerusakan, sehingga apabila armada nelayan mengalami keusakan maka,secara swadaya nelayan akan mencari tempat lain yang sesuai ,sedangkan untuk fasilitas tambahan telah tersedia kantor pengelola, warung/kios, koperasi dan MCK.

2. Fasilitas yang ada di PPI Oeba Kupang telah berfungsi, namun belum termanfaatkan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya. Hasil Analisis tingkat pemanfaatan fasilitas (prospek pengembangan fasilitas) memperlihatkan tingkat pemanfaatan alur pelayaran 76 %, kedalaman alur pelayaran 25%, luas kolam pelabuhan 445%, kedalaman kolam 23%, dermaga 50% dan fasilitas TPI 0%.

3. Tingkat pendayagunaan fasilitas yang ada pada PPI Oeba Kupang belum mencapai kondisi optimal

4. Pengelolaan PPI Oeba berada pada kuadran1 (0,97;1,05), yaitu strategi strength and opportunity (S-O), Strategi ini di buat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya yang digunakan dalam upaya pengoptimalisasian

fasilitas dasar dan fungsional di PPI Oeba Kupang

4.2 Saran

1. Perlu adanya usaha dari pihak pelabuhan, nelayan serta semua aparat terkait dalam mengelola fasilitas yang sudah ada.

2. Diperlukan upaya pembangunan, penambahan terhadap beberapa fasilitas , sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan agar tercapai kondisi yang optimal

3. Pemberdayaan kembali fungsi TPI sebagai sarana pelelangan ikan, dalam mengendalikan harga ikan di pasaran, agar dapat meningkatkan pendapatan nelayan , pendapatan pelabuhan perikanan dan daerah

4. Peningkatan kompetensi staf PPI dan nelayan dalam meningkatkan potensi perikanan tangkap yang ada.

DAFTAR PUSTAKA Alwi.at, al. 2005. Kamus besar Bahasa

Indonesia, Bagakali, Y. 2000. Pedoman

Pengoperasin, Pengelolaan dan Perawatan Pelabuhan Perikanan. Pelatihan Manajemen Pengelolaan Operasional Pelabuhan Perikanan/ Pangkalan Pendaratan Ikan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor, Bogor

Direktorat Jenderal Perikanan .1981. Pembinaan Pelabuhan Perikanan. Departeman Pertanian,Jakarta.

Ditjen Perikanan.1997. Study Kelayakan Pelabuhan Perikanan Brombong. Proyek Pengembangan Sumberdaya Sarana dan Prasarana Perikanan Pusat. PT Bernala Nirwala

Ditjen Perikanan.1998. Fishing Port in Indonesia, Directorate General of Fisheries in Cooperation with Japan International Cooperation Agency, Jakarta.

Lubis, E dan A.B. Pane. 2006. Tingkat Kondisi dan Keberadaan FasilitasPelabuhan Perikanan di Pulau Jawa Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap “Menuju Paradigma Teknologi Perikanan

224

Page 236: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tangkap Yang Bertanggung Jawab Dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan”. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Lubis,E.(2000), Pengantar Pelabuhan Perikanan. Labolatorium Pelabuhan Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas dan IlmuKelautan Institut Pertanian Bogor

Lubis, E. 2006. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Laboratorium Pelabuhan Perikanan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Laporan Tahunan PPI Oeba Kupang, tahun 2011, 2012, 2013, 2014 dan 2015.

Laporan Tahunan Statistik Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi Nusa Tenggara Timur, tahun 2011. 2012, 2013, 2014 dan 2015

Murdiyanto Bambang. 2004. Pelabuhan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor

Nasution, S. 2004. Metode Research (Penelitian Ilmiah). PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Nazir, M. 2002. Metode Penelitian. Edisi Pertama. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Per.08/Men/2012 Tentang Kepelabuhan Perikanan

Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung.

Suryabrata, S. 2009. Metode Penelitian. Rajawali Press, Jakarta

225

Page 237: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ANALISA BAURAN PEMASARAN DALAM STRATEGI PENETRASI PASAR TERHADAP POSITIONING PRODUK STIK TULANG IKAN

PADA UKM IJTIHAD DI KOTA KUPANG Chairul Pua Tingga1 dan Cahyaningtias2

1,2)Program Studi Agrobisnis Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Kupang

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh bauran pemasaran (Produk, Harga, Saluran Distribusi, dan Promosi) terhadap positioning produk stik tulang ikan UKM Ijtihad. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah konsumen produk stik tulang ikan UKM Ijtihad, karena jumlah populasi tidak diketahui, maka penentuan sampel berdasarkan rumus Lemoshow dengan tingkat kepercayaan 95 % sehingga diperoleh sampel sebesar 384 responden. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan metode analisis regresi berganda yang merupakan suatu teknik untuk membangun persamaan dan menggunakan persaman tersebut untuk membuat perkiraan. Serta Uji F untuk mengetahui secara simultan pengaruh bauran pemasaran (Produk, Harga, Saluran Distribusi, dan Promosi) terhadap positioning produk stik tulang ikan UKM Ijtihad dan Uji t untuk mengetahui secara parsial pengaruh bauran pemasaran (Produk, Harga, Saluran Distribusi, dan Promosi) terhadap positioning produk stik tulang ikan UKM Ijtihad. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel bauran pemasaran terhadap positioning produk stik tulang ikan UKM Ijtihad dengan nilai R-Square 0,958 atau 95,8% positioning produk stik tulang ikan dipengaruhi oleh bauran pemasaran serta hasil uji F sebesar 2139,069. kemudian hasil uji parsial diperoleh nilai tertinggi pada variabel promosi yaitu sebesar 6,542, dan nilai terendah pada variabel saluran distribusi yaitu sebesar 0,597. hal ini menunjukkan dari keempat variabel bauran pemasaran variabel promosi memiliki pengaruh yang kuat terhadap positioning produk UKM Ijtihad, dan variabel saluran distribusi memiliki pengaruh yang lemah terhadap positioning produk stik tulang ikan UKM Ijtihad. Kata Kunci : Produk, harga, saluran distribusi, promosi, positioning produk

I. PENDAHULUAN

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari waktu ke waktu mengalami perkembangan dengan menghasilkan berbagai macam produk. Berbagai jenis produk yang dihasilkan para pelaku bisnis memiliki kualitas yang bisa bersaing dipasar. Dalam upaya mempertahankan eksistensi produk- produk UKM para pelaku UKM masih kurang menyadari pentingnya merumuskan bauran pemasaran (marketing mix) yang merupakan konsep klasik dalam pemasaran yang terdiri dari 4P yaitu product (produk), price (harga), place (distribusi) dan promotion (promosi), sehingga permasalahan yang mendasar yang sering dihadapi pemiliki UKM adalah lemahnya penetrasi pasar dan kurang luasnya jangkauan wilayah pemasaran.

Karena itu untuk memajukan usaha kecil yang memiliki daya saing yang kuat adalah dengan menerapankan bauran pemasaran yang baik. Dengan penerapan bauran pemasaran yang baik dapat meningkatkan volume penjualan yang berkesinambungan dan pangsa pasar yang luas serta mampu mempositioningkan produk pada pasar sasaran.

Salah satu produk UKM di Kota Kupang yang masih rendah volume penjualan dan masih sempitnya wilayah pemasarannya adalah produk olahan dari perikanan dan kelautan yakni stik tulang ikan yang diproduksi oleh UKM Ijtihad, padahal minat pasar terhadap stik sangat besar khususnya segmen pasar anak- anak dan remaja, apalagi produk stik tulang ikan yang di produksi oleh UKM Ijtihad merupakan produk yang memiliki

226

Page 238: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

rasa unik yaitu manis asam asin. Sebagai sebuah usaha kecil yang berorentasi bisnis, diharapkan adanya peningkatan volume penjualan, pengembangan wilayah pemasaran, dan mampu memposisikan produk yang kuat pada pasar sasaran.

Berdasarkan uraian dari data penyajian diatas, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “ Analisa Bauran Pemasaran Dalam Strategi Penetrasi Pasar Terhadap Positioning Produk Stik Tulang Ikan Pada UKM Ijtihad di Kota Kupang”.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di UKM Ijtihad Jalan M.B Mail, Kelurahan Oeleta, Kecamatan Alak, Kota Kupang, NTT. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Menurut Sugiono (2008: 122) purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Dalam penelitian ini pertimbangannya adalah konsumen yang membeli stik tulang ikan lebih dari dua kali. Data-data dalam penelitian ini akan diperoleh dengan baik, lengkap dan sangat tergantung kepada alat atau instrumen yang digunakan, sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan dalam

penelitian, maka teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kuisioner, wawancara/interview, observasi dan dokumentasi. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut dianalisis menggunakan analisis regresi berganda, uji F dan uji T.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Jenis Produk pada UKM Ijtihad Jenis – jenis produk yang terdapat di

UKM Ijtihad terdiri dari abon ikan tuna, stik rumput laut, stik tulang ikan dan dendeng ikan. Dari keempat jenis produk UKM Ijtihad ini yang menjadi populer dimasyarakat kota Kupang adalah abon ikan tuna dan stik tulang ikan, abon ikan tuna yang diproduksi oleh UKM Ijtihad penjualannya terus mengalami peningkatan selain dikota kupang abon ikan tuna produksi UKM Ijtihad banyak dipesan dari luar kota Kupang seperti dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, malang, dan stik tulang ikan yang diproduksi UKM Ijtihad penjualannya terus meningkat karena segmen pasar yang di tuju adalah remaja anak sekolah, mahasiswa di Kota Kupang. Desain produk yang menarik dengan harga yang dibandrol Rp 7000 per bungkus.

Gambar 29.1. Gambar stik tulang ikan

3.2 Data Responden

Responden dalam penelitian ini sementara

berjumlah 120 orang dengan kriteria

penggolongan umur, jenis kelamin, dan

agama yang digambarkan pada tabel

berikut :

227

Page 239: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 29.1. Sebaran Data Responden

N0 Umur Responden Jumlah Persentase 1 13 – 17 tahun 37 31% 2 18 – 22 tahun 45 38% 3 23 – 27 tahun 17 14% 4 28 –32 tahun 12 10% 5 33 – 37 tahun 2 2% 6 38 – 42 tahun 5 4% 7 43 – 47 tahun 2 2%

Total 120 100%

3.3 Hasil Uji Regresi Berganda

Berdasarkan hasil analisi atau olah data regresi berganda menggunakan

software SPSS diperoleh hasil, sebagimana yang dirincikan melalui tabel berikut ini.

Tabel 29.2. Hasil analisis regresi berganda

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. error Beta

1 (constant) 0,836 0,120

0,252 0,039 0,359 0,163 0,039 0,231 0,032 0,054 0,031 0,368 0,056 0,367

Dari tabel diatas dapat dibuat persamaan regresinya adalah sebagai berikut: Y = 0,836 + 0,252.X1 + 0,163X2

+0,032X3 + 0,36..X4. Dimana nilai konstannya 0,836 yang menunjukkan besarnya nilai variabel bauran pemasaran, jika variabel positioning produk sama dengan nol. Sedangkan nilai b1 menunjukkan besarnya perubahan positioning produk, jika variabel produk (X1) berubah sebesar 0,252, nilai b2 menunjukkan besarnya perubahan positioning produk, jika variabel harga (X2) berubah sebesar 0,163, nilai b3 menunjukkan besarnya perubahan positioning produk, jika variabel saluran

distribusi (X3) berubah sebesar 0,032, dan nilai b4 menunjukkan besarnya perubahan positioning produk, jika variabel promosi (X4) berubah sebesar 0,368..

3.4 Hasil Uji F (simultan)

Untuk menguji penerapan bauran

pemasaran yang terdiri dari produk, harga,

saluran distribusi, dan promosi secara

serempak terhadap positioning produk stik

tulang ikan, maka digunakan uji statistik F

(uji F), hasil uji F tersebut dapat dilihat

pada tabel dibawah ini:

Tabel 29.3. Hasil uji F (simultan)

Model Sum Of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 6167,556 4 1541,889 2139,069 0,000

Residual 273,192 379 0,721

Total 6440,747 383

Dari tabel diatas diperoleh nilai

Fhitung sebesar 2139,069 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000, yang artinya

penerapan bauran pemasaran yang terdiri dari produk, harga, saluran distribusi, dan promosi yang dilakukan oleh pengelola

228

Page 240: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

UKM Ijtihad keseluruhannya berdampak sangat nyata terhadap positioning produk stik tulang ikan.

3.5 Hasil Uji t (parsial)

Untuk menguji penerapan bauran pemasaran yang terdiri dari produk, harga, saluran distribusi, dan promosi secara parsial terhadap positioning produk stik tulang ikan, maka digunakan uji t, hasil uji t tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 29.4. Hasil uji t (parsial)

Model Unstandardized

Coefficients Standardized Coefficients T

Sig.

B Std. Error Beta 1 (Constant) 0,836 0,120

6,990 0,000 Produk 0,252 0,039 0,359 6,440 0,000 Harga 0,163 0,039 0,231 4,206 0,000 Saluran Distribusi 0,032 0,054 0,031 0,597 0,551 Promosi 0,368 0,056 0,367 6,542 0,000

Dari tabel 5.16 diatas menunjukkan

tingkat signifikan penerapan masing- masing variabel bauran pemasaran yaitu produk, harga, saluran distribusi, dan promosi terhadap positioning produk stik tulang ikan pada UKM Ijtihad yang dapat diuraikan sebagai berikut: a) Variabel Produk

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai t-hitung variabel produk adalah sebesar 4,206 lebih besar dari nilai signifakn 0,000, maka artinya penerapan harga terhadap positioning produk sangat signifikan.

b) Variabel Harga Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai t-hitung variabel harga adalah sebesar 6,440 lebih besar dari nilai signifakn 0,000, maka artinya penerapan harga terhadap positioning produk sangat signifikan.

c) Variabel Saluran Distribusi Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai t-hitung variabel saluran distribus

adalah sebesar 0,597 lebih besar dari nilai signifakn 0,551, maka artinya penerapan saluran distribusi terhadap positioning produk sangat signifikan.

d) Variabel Promosi Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai t-hitung variabel promosi adalah sebesar 6,542 lebih besar dari nilai signifakn 0,000, maka artinya penerapan promosi terhadap positioning produk sangat signifikan.

3.6 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) Untuk menentukan kelayakan suatu

model regresi, yang dilihat dari nilai besarnya koefisien determinasi atau R2. Nilai besarnya koefisien determinasi atau R2 yang diperoleh dari hasil pengolahan data dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 29.5. Hasil uji koefisien determinasi (R2)

Model R R-Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 0,979 0,958 0,957 0,849 Dari Tabel diketahui nilai besarnya

koefisien determinasi atau R2 sebesar 0,958, artinya bahwa variabel positioning produk stik tulang ikan dapat dipengaruhi oleh variabel bauran pemasaran sebesar

95,8%, sedangkan sisanya sebesar 4,2% merupakan kontribusi variabel independen lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.

229

Page 241: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IV. KESIMPULAN Dari hasil yang diperoleh pada

penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan penerapan bauran pemasaran yang digunakan oleh UKM Al-Ijtihad dalam strategi penetrasi pasar sangat signifikan terhadap positioning produk stik tulang ikan, hal ini dapat dilihat dari hasil uji regresi berganda yang keseluruhan nilainya positif, serta nilai Fhitung sebesar 2139,069 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000, yang artinya penerapan bauran pemasaran yang terdiri dari produk, harga, saluran distribusi, dan promosi yang dilakukan oleh pengelola UKM Ijtihad keseluruhannya berdampak sangat nyata terhadap positioning produk stik tulang ikan. Sedangkan secara parsial menunjukkan variabel promosi (X4) memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap positioning produk stik tulang ikan yang dapat dilihat dari nilaithitung sebesar 6,542 dengan nilai signifikansi 0,000. Dan yang terendah adalah variabel saluran distribusi yaitu memperoleh nilai thitung sebesar 0,597 dengan nilai signifikansi 0,551. Besarnya pengaruh variabel bauran pemasaran terhadap positioning produk dalam penelitian ini adalah 95,8%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Kemenristek

dikti yang telah memberikan hibah atas

terselenggaranya penelitan ini dan terima

kasih juga kepada seluruh pihak yang

telah membantu hingga selesainya

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Nana Hedriana. 2015.

Manajemen Strategi Pemasaran. Bandung. CV. Pustaka Citra.

Assauri, Sofyan. 2002 .Manajemen Pemasaran (dalam konsep dan strategi), Jakarta.RajawaliGrafindo.

Hasan, Ali. 2013. Marketing dan Kasus-Kasus Pilihan. Yogyakarta.CAPS.

Kotler dan Armstrong. 2008. Principles of Marketing. Prentice Hall: Person Education, Inc.

Kotler dan Keller. 2009. Manajemen Pemasaran. Jilid I. Edisi ke 13. Jakarta. Erlangga.

Rangkuti, Freddy. 2011. Riset Pemasaran. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia.

Sugiyono. 2008. Metode Pendekatan Bisnis. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Tjiptono, Fandy, Gregorius Chandra, Dadi Adriana. 2008. Pemasaran Strategik. Yogyakarta. Penerbit Andi.

230

Page 242: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

KAJIAN MUTU IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis L) ASAP AKIBAT PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL SEBAGAI PENGAWET ALAMI

Naema Bora1 dan Rikka W. Sir2

1,2)Program studi Teknologi Pangan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan jenis bahan pengawet alami yang terbaik dalam meningkatkan mutu dan daya awet ikan Cakalang asap yang lebih lama. Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan jenis bahan pengawet alami, yaitu: larutan NaCl sebagai control (J1), Enseling sayur kubis (J2), Nira lontar (J3) dan Air kelapa muda (J4). Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas ikan asap: yaitu kadar air, pH, total asam, dan total koloni kapang pada ikan cakalang asap selama masa penyimpanan 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari. Hasil kajian menunjukkan produk cakalang asap yang diawetkan dengan menggunakan pengawet alami, lebih baik dari segi mutu dan daya awet dibandingkan dengan perlakuan kontrol (menggunakan larutan NaCl). Perlakuan nira lontar (J3) secara statistik berbeda dan memiliki potensi yang lebih baik untuk dijadikan sebagai pangawet alami karena mampu menekan pertumbuhan mikroba pembusuk (total koloni kapang) sampai hari ke-6 masa penyimpanan belum terjadi pertumbuhan koloni kapang (mikroba perusak) pada ikan cakalang asap yang diberi perlakuan nira lontar (J3). Kata Kunci : Pengawet bahan baku lokal,, kualitas, daya awet ikan cakalang asap

I. PENDAHULUAN

Potensi ikan cakalang sebagai sumber pangan sangat besar, karena memiliki peluang pasar yang sangat luas baik untuk konsumsi lokal maupun untuk diekspor. Ikan cakalang merupakan salah satu bahan pangan hasil laut dengan kandungan protein sekitar 18-20%, dan juga memiliki kandungan gizi lain diantaranya: mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh. Protein ikan sangat dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh yang telah rusak, baik untuk orang dewasa maupun pada balita.

Salah satu kelemahan dari cakalang pada umumnya adalah cepat mengalami kerusakan, setelah ditangkap atau dipanen. Oleh sebab itu, penanganan ikan segar untuk mempertahankan kualitasnya daya awet harus segera dilakukan dengan berbagai metode agar layak dikonsumsi, salah satu pengawetan adalah metode pengasapan, (Amin, 2001).

Pengasapan merupakan salah satu cara pengolahan dan pengawetan ikan secara tradisional yang sudah lama dilakukan baik skala rumah tangga

maupun skala industri. Hampir 20% dari hasil tangkapan ikan diolah dengan cara pengasapan. Produk ikan asap yang dihasilkan selama ini memiliki daya awet yang relatif singkat. Setelah 3 hari penyimpanan pada suhu kamar, ikan asap sudah mulai ditumbuhi kapang sehingga akan menurunkan mutu produk. Menurut Moelyanto (1987) dan amin (2001), agar ikan asap dapat awet dan bertahan lama, harus dikombinasikan dengan cara pengawetan lainnya, misalnya sebelum ikan diasapi, ditambahkan bahan pengawet seperti garam (NaCl) maupun bahan pengawet lainnya seperti: asam sorbat, natrium benzoat, asam sitrat, dan lain-lain yang diisinkan. Namun ada banyak produsen yang menggunakan bahan-bahan kimia terlarang seperti formalin dan boraks yang saat ini cukup meresahkan konsumen. Karena penggunaan bahan pengawet kimiawi tersebut memberikan dampak negatif terutama kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya.

Untuk itu perlu ada upaya penggunaan bahan pengawet lainnya yang tidak memberikan dampak negatif pada hasil ikan asap, yaitu dengan

231

Page 243: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

menggunakan bahan-bahan alami hasil fermentasi. Bora (2010) yang meneliti penggunaan ensiling dari beberapa jenis sayur, menemukan jenis ensiling dari sayur kubis (Brassica oleracia) memberikan kualitas cakalang asap yang lebih baik, dengan daya awet yang lebih lama, mencapai 6 hari penyimpanan pada suhu kamar, dibanding dengan ensiling dari sawi (Brasica rapa var.parachinensis L) dan Petsai (Brasisica pekinensis), tetapi secara organoleptik semua jenis pengawet ini memberikan aroma, rasa dan warna yang kurang disukai penelis. Selain pemanfaatan ensiling dari sayuran, masih ada banyak jenis pengawet alami postensial diantaranya air nira lontar dan air kelapa, yang selama ini belum dimanfaatkan sebagai pengawet alami dalam pengolahan ikan asap. Air nira lontar dan air kelapa mengandung glukosa (kadar gula) yang cukup tinggi yaitu 10,93% untuk nira lontar sedang kadar gula total pada air kelapa adalah sebesar 3 - 5% (Hadiwiyoto, 1993) dan (Adawyah, 2006).

Makalah ini merupakan hasil penelitian yang ditujukan untuk mengembangkan potensi sumber daya lokal sebagai pengawet alami dalam meningkatkan kualitas dan daya awet cakalang asap

II. METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini merupakan bagian dari hibah penelitian produk terapan (PTT) yang dibiayai oleh Kemanterian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi tahun 2016. Penelitian tahun pertama (2016) dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Pertanian Negeri Kupang.

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini sebagai pangawet alami adalah enseling (larutan hasil fermentasi dari sayur kubis), garam dapur (NaCL), Nira lontar (segar), Air kelapa muda, ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L) segar sebagai material percobaan.

Penelitian ini didesain secara eksperimental , dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap sebagai rancangan perlakuan. Perlakuan yang diuji adalah Jenis bahan baku sebagai

pengawet alami, terdiri dari 4 jenis larutan, yaitu : Garam dapur (NaCl) sebagai kontrol (J1), ensiling Sayur Kubis (J2); Nira lontar (J3) dan Air Kelapa muda (J4). Perlakuan diulang empat kali sehingga diperoleh 16 unit percobaan.

Pelaksanaan penelitian diawali dengan menyiapkan bahan baku local sebagai pengawet alami, berupa ensiling yang merupakan larutan hasil fermentasi sayur kubis. Demikian juga bahan lainnya berupa nira lontar segar dan ai kelapa muda. Bahan-bahan tersebut di fermetasi selama 2 hari. Selanjutny fillet cakalang segar yang telah dibersihkan direndam dalan masing-masing larutan sesuai rancangan perlakuan selama 1 jam dan dilanjutkan dengan pengasapan. Suhu pengasapan diatur agar konstan untuk semua perlakuan. Pengasapan dilakukan pada tungku pengasapan selama 6 jam. Veriabel yang diamati dalam percobaan tahun pertama ini, adalah: Kualitas cakalang asap selama masa penympnan, yang meliputi: a) Kadar air (%) b) pH cakalang asap c) Total asam (%) d) Total koloni kapang (cfu/gram)

metode Pour Plate Data hasil penelitian yang diperoleh

dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan model RAL Faktorial. Untuk menguji perbedaan antar variable perlakuan yang pengaruhnya nyata, maka dilanjutkan pengujian nilai rata-rata dengan menggunakan Uji BNT (Gasperz 1994).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kadar Air Cakalang Asap

Hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet alami dengan melalui proses fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air cakalang asap selama penyimpanan. Rata-rata kadar air cakalang asap pada pengaruh jenis pengawet alami disajikan pada Tabel 30.1.

232

Page 244: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 30.1. Pengaruh Jenis Pengawet Alami terhadap Kadar Air (%) Cakalang Asap Selama Masa Penyimpanan

Perlakuan Jenis Pengawet Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6 9

J1 (Larutan Garam) 33.85 42.59 66.02 70.43 J2 (Enseling Kubis) 33.92 38.98 47.57 59.78 J3 (Nira Lotar) 32.45 34.23 36.01 40.03 J4 (Air Kelapa muda) 32.07 36.3 40.64 47.99

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh

yang tidak nyata pada taraf uji BNT 1%

Berdasarkan hasil Uji BNT Tabel 30.1

memperlihatkan bahwa perlakuan jenis pengawet alami memberikan nilai kadar air yang berbeda selama 0, 3, 6 dan 9 hari masa penyimpanan. Masa penyimpanan 0 hari memperlihatkan kadar air yang tidak bebeda, namun mulai hari ke-3 sampai hari ke-9 terlihat adanya perbedaan pengaruh yang signifikan. Perlakuan jenis pengawet J3 (Air Nira Lotar) memperlihatkan nilai kadar air selama masa penyimpanan (0-9 hari) yang paling kecil dan berbeda nyata dengan jenis pengawet alami lainnya.

Berdasarkan pemaparan hasil analisis pada Tabel 30.1 di atas, dapat dijelaskan bahwa penggunaan jenis pengawet alami mampu menghambat peningkatan kadar air dalam cakalang asap selama masa penyimpanan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh peran larutan bahan pengawet yang mengandung senyawa-senyawa asam organik yaitu asam laktat yang mampu menarik air keluar dari dalam daging ikan pada saat pengasapan dan menekan terjadinya peningkatan kadar air dalam daging ikan asap. Dari keempat perlakuan jenis pengawet alami, terlihat jenis pengawet dari air nira lontar (J3) yang menampilkan kadar air ikan asap yang peningkatannya relatif lebih rendah dibanding air kelapa muda (J4) ensiling kubis (J2) dan larutan NaCl (J1) selama masa penyimpanan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah kandungan asam laktat yang terdapat dalam air nira lontar yang lebih tinggi yaitu sebesar 3,01%

sehingga peran yang diberikan dalam menekan peningkatan kadar air dan menghambat pertumbuhan mikroba perusak juga jauh lebih besar. Menurut Desroiser, (1988) jenis pengawet garam, asam, dan gula fungsi utamanya adalah pemberi suasana asam dalam daging ikan asap dan pengawet, karena bersifat higroskopik dalam bentuk larutan mempunyai tekanan osmotik yang menyerap air keluar dari bahan dan menekan meningkatnya kadar air sehingga pertumbuhan kapang perusak terhambat.

Perlakuan bahan pengawet dari larutan NaCl (J1 atau kontrol) memperlihatkan laju peningkatan kadar air yang cukup besar, dibanding dengan perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rendahnya kandungan asam laktat dalam daging ikan asap, dan kondisi ini mengakibatkan daging ikan asap berada dalam suasana basa yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar air pada cakalang asap.

3.2 pH Cakalang Asap

Hasil analisis sidik ragam,

menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet alami dengan melalui proses fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap pH cakalang asap selama penyimpanan. Rata-rata pH cakalang asap pada pengaruh jenis pengawet alami disajikan pada Tabel 30.2.

234

Page 245: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 30.2. Pengaruh Jenis Pengawet Alami terhadap pH Cakalang Asap Selama Masa Penyimpanan

Perlakuan Jenis Pengawet

Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6 9

J1 (Larutan Garam) 5.5 5.74 7.83 8.46 J2 (Enseling Kubis) 4.5 4.28 5.7 6.5 J3 (Nira Lotar) 3.94 3.59 4.62 5.49 J4 (Air Kelapa muda) 4.2 3.9 5.1 6.2

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada taraf uji BNT 1%

Hasil uji BNT pada Tabel 30.2,

memperlihatkan bahwa rata-rata nilai pH daging cakalang asap selama penelitian berbeda-beda pada semua perlakuan. Nilai pH cakalang asap tersebut mengalami peningkatan selama masa penyimpanan. Berdasarkan hasil uji lanjut (Tabel 30.2.), memperlihatkan nilai pH cakalang asap selama masa penyimpanan yang paling rendah ditujukkan oleh perlakuan nira lontar (J3) dengan pH sebesar 3.59 dan berbeda sangat nyata dengan pH enseling sayur kubis (A3) sebesar 4.28 pada hari ke-3 dan pada hari ke-6 pH-nya menjadi 5,7 serta pada hari ke-9 pH meningkat menjadi 6,5 dan berbeda nyata dengan jenis pangawet lainnya.

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas (Tabel 30.2), dapat dijelaskan bahwa pH cakalang asap yang di beri perlakuan jenis pengawet air nira lontar (J3) memperlihatkan pH cakalang asap yang lebih kecil sampai pada masa penyimpanan 6 hari dibanding dengan jenis pengawet lainnya. Hal ini diduga karena bahan pengawet yang berasal dari air nira memiliki senyawa asam organik yang lebih banyak, berupa asam laktat, asam asetat, asam sitrat, asam butirat, hidrokarbon, fenol, dan aldehid yang terkandung dalam ensiling yang meresap dan menempel dalam daging ikan waktu perendaman dan pengasapan, sehingga dapat memacu pertumbuhan bakteri asam laktat. Sumbangan asam-asam organik yang terkandung dalam air nira lontar ini, berperan untuk menekan laju peningkatan pH dalam daging cakalang asap. Menurut Afrianto, dkk. (2006) cara ensiling merupakan proses pengawetan pangan alami yang dapat menghasilkan asam-

asam organik dengan memanfaatkan kemampuan kelompok bakteri asam laktat, yaitu Lactobacillus plantarum, L. acidophylus, Leuconostoc mesentrosdes, Streptococcus faecalis, dan S. lactis mampu menurunkan nilai pH substrat hingga di bawah 4,5. Hasil penelitian Rostini (2007) bahwa pH yang rendah 3 - 5 dapat menghambat kontaminasi mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme pathogen serta mikroorganisme penghasil racun.

Peningkatan pH yang sangat tinggi yang dicapai pada perlakuan kontrol (larutan NaCl), dimana mulai dari hari ke-0 sudah memperlihatkan pH yang tinggi dan meningkat terus sampai hari penyimpanan ke-9. Hal ini diduga karena adanya kandungan glikogen yang terdapat dalam daging ikan sangat rendah dan NaCl tidak menyumbang asam-asam organik sehingga jumlah asam-asam organik yaitu asam laktat yang dihasilkan juga akan sedikit yang secara langsung memacu peningkatan pH. Suasana pH yang tinggi ini dapat mempercepat berkembangbiaknya mikroba yang tidak diinginkan. Amin dan Leksono (2001) menyatakan bahwa pada umumnya mikroorganisme pembusuk dapat tumbuh pada kisaran pH 6-8. Menurut Purwati (1980), ikan relatif lebih cepat mengalami pembusukan karena terjadi kehilangan glikogen pada saat ditangkap. Hilangnya glikogen dalam tubuh ikan tersebut, menyebabkan asam laktat dalam daging ikan menurun, sehingga akan memacu peningkatan pH. Lebih lanjut Buckle et al, (1987), asam laktat berperan menimbulkan suasana asam yang dapat menurunkan pH dan menghambat

235

Page 246: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

pertumbuhan bakteri pembusuk pada bahan pangan.

3.3 Total Asam Cakalang Asap

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet alami dengan melalui proses

fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar total asam cakalang asap selama penyimpanan. Rata-rata kadar total asam cakalang asap pada pengaruh jenis pengawet alami disajikan pada Tabel 30.3.

Tabel 30.3. Pengaruh Jenis Pengawet Alami terhadap Total Asam (%) Cakalang Asap

Selama Masa Penyimpanan

Perlakuan Jenis Pengawet Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6 9

J1 (Larutan Garam) 0.22 0.89 0.43 0.36 J2 (Enseling Kubis) 3.03 3.19 2.16 1.8 J3 ( Nira Lotar) 4.92 3.71 3.5 2.66 J4 (Air Kelapa muda) 3.69 3.73 3.16 2.47

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada taraf uji BNT 1%

Dari Tabel 30.3, telihat adanya

penurunan nilai total asam pada perlakuan pada masing-masing jenis pengawet selama masa penyimpanan. Semakin lama penyimpanan, nilai total asam semakin menurun. Tabel 30.3 di atas memperlihatkan perlakuan jenis ensiling nira lontar (J3) dan air kelapa muda (J4) memberikan nilai total asam yang lebih tinggi berturut-turut yaitu sebesar 4,92% dan 3,69% pada hari ke-0 d% dan berbeda sangat nyata dengan nilai total asam pada perlakuan jenis pengawet lainnya. Demikian juga pada pengamatan hari ke 3 sampai hari ke-9 terlihat bahwa jenis pengawet nira lontar (J3) dan air kelapa muda (J4) memberikan kadar total asam yang lebih tinggi disbanding perlakuan lainnya.

Berdasarkan hasil uji statistik terhadap nilai total asam dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perlakuan Jenis pengawet (J3), memperlihatkan rata-rata nilai total asam yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. selama penyimpanan. Hal ini karena adanya sumbangan senyawa asam-asam organik dan bakteri asam laktat dari nira lontar. Bakteri asam laktat yang terkandung dalam nira lontar akan berperan merombak kadar gula menjadi asam piruvat kemudian dihidrolisis menjadi asam-asam organik dan diuraikan lagi

menjadi asam laktat yang menimbulkan rasa asam.

Meningkatnya total asam pada cakalang asap yang diberi perlakuan jenis pngawet nira lontar (J3) karena adanya sumbangan asam-asam organik dari jenis ensiling yang meresap didalam cakalang asap, sehingga bakteri-bakteri yang tidak diinginkan yang berpotensi menimbulkan kerusakan akan terhambat pertumbuhannya atau tidak berkembang biak. Nuraini (2008) menyatakan bahwa pengawetan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan bahan alami, yaitu dengan melibatkan peran mikroorganisme, umumnya dengan menggunakan bakteri asam laktat karena bakteri asam laktat mampu menghasilkan asam organik berupa asam laktat, asam asetat, dan senyawa asetaldehid (meningkatkan cita rasa dan warna yang mengkilat) serta senyawa antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri perusak. Supardi dan Sukamto, (1999). menyatakan bahwa, ensiling merupakan proses biokimia yang dilakukan oleh kelompok bakteri laktat yaitu Lactobacillus dengan hasil akhirnya antara lain mendapatkan asam laktat dan pH yang rendah. Lebih lanjut Oktaviani (2004), menyatakan asam laktat menimbulkan suasana asam dan menurunkan pH yang bersifat mengawetkan bahan pangan.

236

Page 247: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

3.4 Total Koloni Kapang Cakalang Asap

Hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet alami dengan melalui proses fermentasi memberikan pengaruh yang

sangat nyata (P<0,01) terhadap total koloni kapang cakalang asap selama penyimpanan. Rata-rata total koloni cakalang asap pada pengaruh jenis pengawet alami disajikan pada Tabel 30.4.

Tabel 30.4. Pengaruh Jenis Pengawet Alami terhadap Total Koloni Kapang (cfu)

Cakalang Asap Selama Masa Penyimpanan

Perlakuan Jenis Pengawet Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6 9

J1 (Larutan Garam) 0 7.67 52.83 72.83 J2 (Enseling Kubis) 0 0 2.67 18.67 J3 (Nira Lotar) 0 0 0.33 5.33 J4 (Air Kelapa muda) 0 0 0.57 11.17

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada taraf uji BNT 1%

Jenis pengawet alami yang diuji

secara nyata mempunyai kemampuan dalam menekan laju pertumbuhan kapang dan berbeda antara jenis pengawet yang dicobakan. Hasil pengujian mikrobiologis terhadap cakalang asap menunjukkan ke empat jenis pengawet alami memiliki potensi yang kuat dan berbeda terhadap pertumbuhan kapang.

Tabel 30.4. menunjukkan bahwa pada penyimpanan hari ke-0 belum ada kapang yang tumbuh, namun memasuki hari ke-3 sudah terlihat adanya koloni kapang yang tumbuh, yang diperlihatkan pada perlakuan larutan NaCl (J1) yang lebih tinggi dan berbeda dengan perlakuan nira lontar (J3), air kelapa muda (J4) dan ensiling kubis (J2) yang memperlihatkan belum terjadi pertumbuhan koloni. Sedangkan pada hari ke 6 dan ke 9 pada pengawet air nira memperlihatkan perkembangbiakan koloni kapang masih kecil sekitar 0,33 cfu dan 5,33 cfu dibandingkan pengawet alami air kelapa muda dan ensiling kubis.

Pengamatan terhadap total koloni kapang pada cakalang asap akhir masa penyimpanan juga memperlihatkan keberadaan jenis pengawet, berperan secara nyata menekan pertumbuhan kapang (Tabel 30.4).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Dari hasil kajian dalam penelitian ini

dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara umum cakalang asap yang

diawetkan dengan menggunakan pengawet alami, lebih baik dari segi mutu dan daya awet seperti kadar air, pH, total asam dan total kapang, dibandingkan dengan produk cakalang asap yang menggunakan larutan NaCl.

2. Penggunaan nira lontar sebagai pengawet memiliki potensi yang baik untuk dijadikan sebagai pangawet alami karena mampu menekan pertumbuhan total koloni kapang sampai hari penyimpana ke-9.

UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian Produk Terapan pada tahun pertama sehingga dapat berjalan dengan baik.

237

Page 248: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

DAFTAR PUSTAKA Afrianto dan Liviawaty, 1989. Pengawetan

dan Pengolahan Ikan, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI) Yogyakarta

Amin W. dan T. Leksono, 2001. Analisis Pertumbuhan Mikroba Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi) Asap Yang Telah Diawetkan Secara Ensiling. Jurnal Nasional Indonesia http/www. Unri.ac. id/jurnal-nasinal/vol Wazna.tjipto. pdf

Adawyah R. 2006, Pengolahan Dan Pengawetan Ikan, diterbitkan oleh PT Bumi Aksara Jakarta.

Afrianto, E., E. Liviawaty, dan Rostini, 2006. Pemanfaatan Limbah Sayuran Untuk Memproduksi Biomasa Laktobacillus Plantaraum Sebagai Bahan Edible Coating Dalam Meningkatkan Masa Simpan Ikan Segar dan Olahan. Laporan Akhir. Unpad

Berhimpon, S. 1993 Mikrobiologi Pangan Ikan Bagian I Ekologi dan Pertumbuhan Mikroba Serta Perubahan Biokimiawi Pangan, Laboratorium Pengolahan dan Pembinaan Mutu Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratilangi, Manado

Bora, N. 2010, Penggunaa Beberapa jenis ensiling sebagai pengawet alami untuk meningkatkan mutu dan daya awet cakalang asap (Thesis). Program Pascasarjana universitas Sam Ratulangi. Manado

Gasper, V. 1994. Teknik Analisa Dalam Penelitian Percobaan, Penerbit Tarsito Bandung

Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1 Liberty Yogyakarta

Ijong, F. G. 1996. Study Of Bakasang Traditional Fish Sauce From

Indonesia. Doctoral Thesis. Hirishima University. Japan

Liviawaty, E. 2001. Organoleptik Ikan. Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Moelljanto, 1987. Pengasapan Dan Fermentasi Ikan, Penebar Swadaya Jakarta

Nuraini R. 2008. Teknik Pengawetan Ikan Untuk Dikonsumsi Dengan Metode Fermentasi Ensiling, Institut Teknologi Bandung. http/www.nunihon. org/twiki/bin/view/Twiki/Iptek Terapan

Oktaviani, D. 2004. Efektivitas Bakteriosin dari Lactobacillus plantarum terhadap Masa Simpan Filet Nila Merah pada Suhu Rendah. Skripsi. Unpad http/bisnisukm.com/teknologi-pengawetan-ikan.html

Rahayu, W. P., S. Ma’oen, Suliantary dan S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Depdikbud. Dirjen PT- PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor

Rostini IIS, 2007. Peranan Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus Plantarum) Terhadap Masa Simpan Filet Merah Pada Suhu Rendah, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Jatinagor

Rahma, 2008. Teknologi Pengawetan Ikan Untuk Dikonsumsi Dengan Metode Fermentasi Ensiling, Institut Teknologi Bandung. http/www/tumouto.net/7032 nur. Htm. (14 Juni 2009)

Supardi I. dan Sukamto, 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni Bandung

Suwetja I, 2007. Biokimia Hasil Perikanan Jilid III. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi

Wibowo, S. 2000. Industri Pengasapan Ikan, Penebar Swadaya. Jakarta.

238

Page 249: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

OPTIMALISASI POTENSI DESA PITAY MELALUI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN KERANG DARAH UNTUK PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT

M.M. Dwi Wahyuni1, Rut Rosina Riwu2, Intje Picauly3 1,2,3)Staf Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK

Desa Pitay adalah salah satu desa di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang dengan luas wilayah 6.200 m2. Waktu tempuh untuk tiba di desa ini ± 2 jam dengan jarak 77 km dari Kota Kupang. Hampir 50% penduduk desa ini berprofesi sebagai nelayan, dan sisanya adalah pekebun dan peternak. Walaupun akses transportasi dan komunikasi di desa ini cukup rumit, namun desa yang terletak di tepi pantai ini sebenarnya memiliki sumber daya kelautan perikanan yang melimpah, hanya saja belum dimanfaatkan secara baik. Kerang darah dan rumput laut menjadi pilihan utama dalam program kelautan dan perikanan di desa ini, karena wilayah pesisir desa yang berpasir dan berlumpur yang dinilai sangat cocok untuk budidaya kerang darah. Selain itu, masyarakat pernah memiliki usaha budidaya rumput laut hanya saja belum dioptimalkan sehingga ditinggalkan begitu saja. Melalui program yang diberikan oleh KKN-PPM ini, diharapkan potensi kelautan dan perikanan Desa Pitay dapat dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan perekonomian masyarakat. Program yang dilakukan oleh KKN-PPM di Desa Pitay adalah budidaya rumput laut dan kerang darah. Program ini dipilih karena melihat kondisi desa yang terletak di pesisir pantai sangat cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi pesisir yang berlumpur juga menjadi faktor penting bagi budidaya kerang darah. Setelah program dijalankan, terlihat ada peningkatan hasil baik pada rumput laut maupun kerang darah. Optimalisasi potensi desa melalui kedua program ini telah membawa banyak perubahan bagi perekonomian masyarakat, dan jika program terus berjalan semakin sukses maka tidak heran jika di kemudian hari desa ini akan menjadi lebih stabil secara ekonomi. Kata kunci: Budidaya, rumput laut, kerang darah,Desa Pitay

I. PENDAHULUAN

Desa Pitay merupakan salah satu dari 6 desa yang terletak di Kecamatan Sulamu. Desa Pitay memiliki luas wilayah keseluruhan 6200 m2 yang terdiri atas 2 Dusun, 4 RW dan 8 RT. Secara administratif, bagian utara desa berbatasan dengan Desa Koto Kecamatan Fatule, bagian selatan berbatasan dengan Teluk Kupang, bagian timur berbatasan dengan Desa Pantai Beringin Kecamatan Sulamu, dan bagian barat berbatasan dengan Kelurahan Sulamu Kecamatan Sulamu. Distribusi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin paling banyak yaitu laki-laki berjumlah 522 orang (53,1%), sedangkan perempuan berjumlah 461 orang (46,9%).

Kehidupan di Desa Pitay lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi, artinya semua anggota keluarga turut terlibat dalam kegiatan

mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hubungan sesama anggota masyarakatnya lebih intim karena berdasarkan asas kekeluargaan. Kontrol sosial di Desa Pitay ditentukan oleh nilai moral dan hukum internal (hukum adat). Dalam bidang pendidikan, penduduk Desa Pitay masih rendah karena rata-rata hanya lulusan SD. Desa Pitay memiliki masyarakat yang heterogen dengan latar belakang yang beragam baik secara suku, agama maupun pekerjaan. Secara keseluruhan keanekaragaman masyarakat Desa Pitay yang terdiri dari Suku Timor, Suku Rote, Suku Sabu, Suku Sumba, dan Suku Flores, tetapi lebih didominasi oleh Suku Rote. Dengan rasio jumlah penduduk berdasarkan agama yakni 99% masyarakat beragama Kristen Protestan, sedangkan 1 % masyarakat beragama Kristen Katholik.

239

Page 250: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Potensi komoditi perikanan berdasarkan produksi perikanan di Desa Pitay yang menonjol adalah ikan kering seperti bonas dan sarden, dengan alat penangkapan berupa perahu dan bagan. Dilihat dari peluang pengembangan usaha adalah pemasaran hasil penangkapan ke berbagai daerah di luar desa. Keadaan dasar perairan pantai di Desa Pitay berpasir dan bercampur dengan lumpur dan terdapat batu karang di pesisir pantai sebagai pelindung dari gelombang. Keadaan perairan pesisir yang berpasir dan berlumpur inilah yang dirasakan cocok untuk budidaya kerang darah. Selama ini, budidaya yang telah ada di Desa Pitay adalah budidaya rumput laut namun belum dimanfaatkan secara optimal. Sehingga dengan adanya program KKN-PPM ini, dirasa perlu untuk mengoptimalkan budidaya rumput laut yang pernah ada, serta membuka peluang baru yakni budidaya kerang darah yang dinilai cukup berpotensi di wilayah perairan Desa Pitay.

II. KONDISI MASYARAKAT

Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Pitay yang berprofesi sebagai nelayan pada bulan Maret 2016 menyebutkan bahwa masyarakat bekerja sebagai nelayan hingga saat ini adalah mereka yang sejak dulu berprofesi demikian karena merupakan profesi yang diwariskan dari orang tua. Pemanfaatan potensi kelautan dinilai masih kurang karena selama ini masyarakat belum memanfaatkan dengan baik daerah pesisir untuk budidaya rumput laut dan kerang darah padahal kondisi perairan di Desa Pitay sangat cocok untuk budidaya kerang darah dan rumput laut. Pengelolaan hasil perikanan dan kelautan pun masih sangat terbatas secara tradisional dan berdasarkan keterampilan yang diperoleh secara turun temurun.

Pengelolaan sumber daya alam desa ini terasa belum optimal. Hal ini terlihat dari pemeliharaan yang sangat kurang terhadap tambak yang sudah pernah dibangun sebelumnya, rumput laut yang dibiarkan mati begitu saja, dan tidak ada optimalisasi hasil perikanan dengan

pengolahan ikan menjadi abon ikan/ikan kering.

Beberapa KK yang melakukan aktivitas sebagai “pemancing ikan” pun berupaya sendiri melakukan praktik pemancingan ikan secara tradisional tanpa adanya upaya penyemaian benih/bibit ikan, dengan semangat coba-coba, tanpa pengetahuan tentang bagaimana pengelolaan lahan tambak untuk peningkatan produksi.

Hasil wawancara dan observasi langsung di lokasi menunjukkan bahwa rendahnya keaktifan dan partisipasi masyarakat ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan yang dimiliki untuk membudidayakan hasil perikanan serta kurangnya kesadaran dan semangat dari masyarakat untuk menekuni profesi mereka agar dapat bernilai ekonomis. Hal ini terlihat dari tidak pernah adanya inisiatif untuk mengembangkan hasil yang diperoleh dan kurangnya kreativitas dalam pengelolaan daerah pesisir dan hasil perikanan kelautan yang diperoleh. Masyarakat selalu berpikir susah dan ruginya dahulu, tanpa mempertimbangkan keuntungan jangka panjang lewat metode pengelolaan/pemanfaatan hasil yang lebih maju dan berkembang saat ini.

Budidaya rumput laut terhambat karena masyarakat enggan menekuni dan dianggap sulit, sehingga bibit yang telah ada sebelumnya tidak dirawat. Padahal jika kegiatan ini terus dilakukan maka dapat membantu meningkatkan pendapatan dan gizi rumah tangga mereka serta merupakan suatu kegiatan ekonomi yang sangat produktif. Masyarakat harus berani keluar dari zona nyaman dengan profesi nelayan tradisional yang sudah ditekuni sejak turun-temurun dari nenek moyangnya

III. METODE PELAKSANAAN Metode yang digunakan dalam

pelaksanaan program ini yakni survei, diskusi bersama aparat desa dan masyarakat setempat, pendidikan dan pelatihan budidaya rumput laut dan kerang darah yang langsung didemontrasikan bersama masyarakat. Selain itu tetap dilakukan pendampingan untuk menjamin keberlanjutan program yang telah dilaksanakan.

IV. TARGET DAN LUARAN

Capain yang menjadi Target dari kegiatan ini adalah :

240

Page 251: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

1. Meningkatkan kepedulian dan empati terhadap permasalahan masyarakat ekonomi lemah dan status derajat kesehatan masyarakat yang rendah,

2. Menciptakan sinergisitas atau kerjasama yang lebih intensif antara pihak pemerintahan (dalam hal ini dinas perikanan dan kelautan dan dinas kesehatan) bersama dengan masyarakat yaitu membantu memfasilitasi masyarakat untuk menjalankan programnya sesuai kebutuhan dan potensi alam mereka.

3. Memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya melalui program pemberdayaan kepada masyarakat

untuk pengembangan sumber daya alam.

4. Menciptakan metode budidaya rumput laut dan kerang darah yang terintegrasi dengan potensi lokal yang ada di desa ini.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Budidaya Rumput Laut

Budidaya rumput laut dilakukan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang teknik dan metode untuk budidaya rumput laut berupa metode long line dan metode jaring kantong. Adapun rincian kegatan yang dilakukan antara lain:

Tabel 31.1. Pelakasanaan Budidaya Rumput Laut

No Jenis Kegiatan Waktu Kegiatan Peserta

Kegiatan

1 Survey lokasi 19/07/17 - 2 Pengadaan tali 22/07/17 3 3 Pembuatan jaring kantong 23/07/17 5

4 Pengadaan bambu dan pembuatan jaring kantong

24/07/17 2

5 Persiaapan tali, pengikatan pelampung, dan pembuatan rakit apung.

25/07/17 8

6 Pengadaan bibit rumput laut, pengikatan rumput laut, dan penebaran bibit rumput laut di perairan

28/07/17 2

7 Pengontrolan rumput laut 29/07/17- 10/09/17 1

Adapun uraian kegiatan yang

dlakukan yaitu: 1. Survey lokasi untuk budidaya rumput

laut dilakukan pada Hari Rabu, 19 Juli 2017 dan dipilih lokasi yang tepat untuk budidaya rumput laut di wilayah Dusun II dengan pertimbangan keadaan air yang sangat memungkinkan dan cocok dengan tempat hidup dari rumput laut yang akan dibudidaya.

Gambar 31. 1. Survey lokasi

2. Pada hari Sabtu, 22 Juli 2017 dilakukan pengadaan tali nilon (tali ris) dan tali raffia yang dibeli di Kupang. Tali nilon sebagai media rumput laut pada metode long line sedangkan tali raffia digunakan untuk mengikat rumput laut.

3. Pada hari Minggu, 23 Juli 2017 dilakukan pembuatan jaring kantong dari waring yang dijahit mirip kantong dengan menggunakan tali raffia sebagai media budidaya rumput laut.

4. Pada hari Senin, 24 Juli 2017 dilakukan pengadaan bambu untuk pembuatan rakit apung sebagai media budidaya rumput laut yang diperoleh dengan membeli di salah satu warga Dusun II dan dilajutkan dengan pembuatan jaring kantong yang

241

Page 252: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dilakukan pada malam hari hingga mencapai 50 buah.

5. Pada hari Selasa, 25 Juli 2017 dilakukan persiapan tali untuk media long line dan pembuatan rakit apung

dari bambu dan waring dilanjutkan dengan pemasangan pelampung dari botol bekas minuman (botol aqua) pada media rakit apung dan media long line.

Gambar 31.2. (a) Pembuatan rakit apung dari bambu, (b) pembuatan pelambung

6. ada hari Sabtu, 28 Juli 2017 dilakukan pengadaan bibit rumput laut dari Kecamatan Sulamu sebanyak 100 kg. Setelah itu dilanjutkan dengan pengikatan rumput laut pada media yang tersedia (long line dan jaring

kantong) kemudian dilakukan penebaran bibit rumput laut di lokasi yang telah dipilih yaitu di wilayah Dusun II dengan menggunakan alat transportasi berupa perahu.

Gambar 31.3. (a) Pengikatan rumput laut pada media, (b) dan (c) penebaran bibit rumput laut dengan metode long line dan rakit apung media kantong

7. Dari tanggal 29 Juli 2017 hingga

10 September 2017 dilakukann pengontrolan dan perawatan berupa pembersihan lumpur yang melekat pada rumput laut dan pada media jaring kantong. Kegiatan ini dilakukan dengan menyesuaikan waktu pasang surut air laut.

5.2 Budidaya Kerang Darah

Budidaya kerang darah dilakukan dengan tujuan untuk membuka mata pencaharian baru bagi masyarakat, dengan melihat potensi wilayah perairan

pesisir pantai yang cocok untuk jenis kerang ini. Kerang darah sangat cocok dibudidayakan di wilayah pesisir pantai dengan kondisi perairan yang berlumpur. Program ini dilakukan dengan mendidik dan melatih masyarakat bagaimana cara budidaya kerang darah, yang dibagi menjadi beberapan kegiatan, yakni:

(a) (b)

(a) (b) (c)

242

Page 253: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 31.2. Pelaksanaan budidaya kerang darah

No Jenis Kegiatan Waktu Peserta

1

Survey lokasi untuk budidaya kerang 19/07/17 5 Pengikatan waring untuk budidaya kerang 19/07/17 3 Pengadaan batang kayu sebagai patok pada media budidaya

19/07/17 6

2 Pembuatan media utnuk budidaya kerang darah (Pencultre)

21/07/17 6

3 Pengadaan bibit kerang darah (dari Desa Tanah Merah, Oebelo ke Desa Pitay

23/07/17 4

4 Penempatan media budidaya di perairan, di Dusun 1 Desa Pitay

24/07/17

2 5 Penebaran bibit kerang darah pada media budidaya 27/07/17 2 6 Pengontrolan 28/07/17 1

Adapun uraian kegiatan yang telah

dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Survey lokasi untuk budidaya kerang

darah, pengikatan waring untuk budidaya kerang darah, dan pengadaan batang kayu sebagai patok pada media budidaya dilakukan pada

tanggal 19 Juli 2017 selama jam kerja, dalam hal ini membahas mengenai jadwal kegiatan pengadaan alat dan bahan budidaya kerang, penggunaan tempat, biaya yang dibutuhkan, jumlah tenaga serta warga yang akan diundang.

Gambar 31.4. (a) Survei lokasi, (b) mengikat jaring, (c) dan (d) Pembuatan patok kayu

2. Pembuatan media budidaya kerang dilakukan pada tanggal 21 Juli 2017 selama jam kerja, dalam hal ini melakukan kegiatan pengumpulan dan

pengadaan benih yang akan digunakan untuk budidaya, sebagimana akan ditampilkan melalui Gambar 31.5 di bawah ini.

(a) (b)

(c) (d)

243

Page 254: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Gambar 31.5 . (a) Pembuatan media budidaya kerang, (b) pengadaan benih

3. Penebaran benih kerang darah dilakukan pada tanggal 27 Juli 2017 yang dilakukan pada sore hari. Dalam proses penebaran, mahasiswa dibantu oleh masyarakat dalam

mendemonstrasikan cara penebaran benih kerang. Sebagimana akan ditampilkan melalui Gambar 31.6 di bawah ini.

Gambar 31.6 . Penebaran benih kerang darah

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Keberhasilan kegiatan pemberdayaan

masyarakat tergantung pada kesadaran masyarakat (individu) untuk maju dan berkembang dengan memanfaatkan dan memaksimalkan potensi alam yang ada. Desa Pitay memiliki potensi alam berupa daerah pesisir pantai yang kondisinya dinilai sangat cocok untuk budidaya kerang darah karena lahan yang berpasir dan bercampur dengan lumpur. Selain itu, wilayah pesisir desa dengan kondisi gelombang yang memungkinkan untuk budidaya rumput laut yang sudah pernah dilakukan namun tidak berkembang, sehingga ditinggalkan oleh masyarakat. Melalui program ini, maka ada pengoptimalan budidaya rumput laut yang

sudah pernah ada menjadi jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya. Selain itu, diperkenalkan budidaya kerang darah pada masyarakat sehingga membuka mata pencaharian baru yang dapat mendukung pembangunan ekonomi masyarakat.

6.2 Saran

Aparat desa, tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemuda merupakan pilar pemersatu di tingkat desa harus menyamakan persepsi guna membagun desa yang aman, damai, makmur dan sejahtera demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Melalui program yang telah dilakukan, diharapkan pemerintah dapat terus memberdayakan masyarakat untuk terus mengoptimalkan program yang telah dilaksanakan guna

(a) (b)

244

Page 255: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

menggali dan memanfaatkan potensi alam yang ada di Desa Pitay, sehingga kelak dapat tercapai cita-cita masyarakat Desa Pitay yang stabil secara ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA Ahyani, Nur. 2014. Budidaya Rumput

Laut. Jakarta: WWF Akbar, Junius. 2016. Pengantar Ilmu

Perikanan dan Kelautan (Budidaya Perairan). Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press

Aslan, Laode M. 1997. Budidaya Rumput Laut, Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius

Fauzi, Akhmad. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan dan Pengelolaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ghurfan, M. 2011. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan Tambak. Jakarta: Andi Publisher

Ghurfan, M. 2010. Budidaya Perairan. Bandung: Citra Aditya Bakti

Ghurfan, M. dan Tancung, Andi Baso. 2011. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta

245

Page 256: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

POLA KEMITRAAN PADA USAHA PERIKANAN POLE AND LINE DITINJAU DARI FUNGSI EKONOMI DI KOTA KUPANG

Naharuddin Sri1, Alexander S. Tanody2 dan Joi A. Surbakti3

1,2,3)Jurusan Perikanan dan Kelautan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jl. Adi Sucipto Penfui, P.O.Box. 1152, Kupang 85011

Email : [email protected]/[email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk (1) menganalisis pola kemitraan antara pemilik usaha dengan nelayan pada usaha perikanan Pole and Line ditinjau dari fungsi ekonomi, (2) menganalisis sistem bagi hasil antara pemilik dengan nelayan pada usaha perikanan Pole and Line dan (3) menganalisis besar pendapatan yang diterima pemilik dengan nelayan pada usaha perikanan Pole and Line. Penelitian dilaksanakan di kelurahan-kelurahan pesisir (Oesapa, Namosain, Alak, Pasir Panjang dan Fatubesi) sebagai sentra pemukiman nelayan di Kota Kupang. Metode penelitian yang digunakan metode survei dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data pokok. Penentuan sampel (responden) dipilih secara Cluster Random Sampling (berkelompok), dengan mengelompokan responden menjadi:Nelayan Pole and Line (juragan, bas, boy-boy dan pemancing), Pemilik Usaha Perikanan Pole and Line, Instansi Pemerintah Mitra, Perbankan/koperasi dan Lembaga Swadaya Mitra. Model analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian adalah analisis kualitatif untuk menganalisis pola kemitraan nelayan baik dengan pemilik, instansi pemerintah, swasta, NGO maupun perbankan/koperasi pada usaha perikanan Pole and line, termasuk sistem bagi hasil dan besar pendapatan yang diterima sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis biaya investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan pada usaha perikanan Pole and Line serta sebagai dasar untuk mengetahui besar pendapatan pemilik dan nelayan. Hasil penelitian menunjukkan pola kemitraan pada usaha perikanan pole and line terdiri dari 2 pola, yaitu berdasarkan suku dan kontrak kerja. Sistem bagi hasil pola kemitraan pada usaha perikanan pole and line ada 2 pola, yaitu pola pertama pemilik kapal mendapat bagian 25 persen dari hasil dan 75 persen dibagikan kepada nelayan dan pada pola ke dua pemilik mendapat bagian 50 persen dari hasil dan 50 persen sisanya dibagikan kepada nelayan. Pendapatan rata-rata per bulan pemilik pada sistem bagi hasil 25 : 75 berkisar Rp3.300.000,- sampai Rp4.500.000,- sedangkan nelayan berkisar Rp750.000,- sampai Rp1.375.000,-. Pada sistem bagi hasil 50 : 50, pendapatan rata-rata per bulan pemilik berkisar Rp2.100.000,- sampai Rp2.980.000,- dan nelayan berkisar Rp480.000,- sampai 1.650.000,-. Kata kunci: Pola kemitraan, pemilik, nelayan, pole and line, sistem bagi hasil

I. PENDAHULUAN

Masyarakat nelayan Indonesia sejak dahulu sudah memiliki pola kerjasama tradisional yang mendukung pelaksanaan aktifitasnya, dimana setiap daerah mempunyai sistem yang berbeda-beda. Sistem-sistem tradisional tersebut menjadi pegangan hidup dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, walaupun pemerintah telah membangun sistem pengelolaan modern. Menurut Indar (2005), revitaslisasi dan legitimasi sistem tradisional masyarakat

perikanan yang diyakini sampai saat ini masih beragam dan digunakan oleh sebagian besar masyarakatnya, seperti sistem Sasi di Maluku, Panglima Laot di Aceh, Juragan Pandega di Jawa dan Pemilik Nelayan di Sulawesi Selatan.

Nelayan dalam menjalankan aktifitasnya menghadapi resiko bahaya dan tidak menentunya hasil tangkapan yang merupakan karakteristik laut. Karakteristik laut yang demikian menjadi kondisi pasif yang menyebabkan diperlukannya secara mutlak pengelolaan modal yang berkesinambungan dan

246

Page 257: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

mantap sedangkan proses kerja yang rumit menjadi kondisi aktif atau faktor yang menyebabkan diperlukannya secara mutlak aspek kerjasama dan hubungan produksi, yang bukan hanya didasarkan pada aspek kekuatan fisik, pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga harus dijiwai oleh rasa solidaritas, moral dan tanggung jawab para anggota. Kondisi seperti ini juga terjadi pada usaha perikanan Pole and Line. Dalam menjalankan aktifitasnya, nelayan membutuhkan sarana penangkapan seperti perahu, mesin, pancing, pompa dan umpan. Upaya untuk mengatasi hal tersebut ditempuh dengan menjalin kemitraan dengan pemilik usaha karena nelayan tidak memiliki modal untuk membeli sarana penangkapan sendiri. Kondisi ini selanjutnya menjadi titik awal terjalinnya kemitraan antara pemilik usaha dengan nelayan pada usaha perikanan Pole and Line, dimana mereka sepakat bermitra karena masing-masing mempunyai tujuan yang ingin dicapai melalui hubungan tersebut. Selain bermitra dengan pemilik usaha, kemungkinan nelayan juga bermitra dengan instansi pemerintah, NGO maupun perbankan atau koperasi.

Penelitian tentang pola kemitraan nelayan telah dilakukan oleh beberapa pakar, Matulada (1981) mengkaji hubungan pola kemitraan nelayan dari sudut pandang antropologi, Sallatang (1982) mengkaji hubungan pola kemitraan nelayan dari sudut pandang sosiologi dengan penekanan pada kelompok kecil, Sudarto (1982) mengkaji hubungan pola kemitraan nelayan dari sudut pandang fungsi ekonomi, Bolong (1996) mengkaji hubungan pola kemitraan nelayan dari sudut pandang partisipasi politik, Indar (2002) mengkaji hubungan pola kemitraan nelayan dari sudut pandang pengelolaan pesisir dan laut dan Sri (2006) mengkaji hubungan pola kemitraan nelayan dari sudut pandang ekonomi dengan penekanan pada usaha perikanan pole and line. Khusus pola kemitraan nelayan pada usaha perikanan Pole and Line di Kota Kupang, belum ada penelitian yang mengkajinya.

Pola kemitraan nelayan dengan pemilik usaha perikanan Pole and Line memiliki kecenderungan yang tampak

timpang, dimana diasumsikan bahwa hubungan kerja tersebut lebih menguntungkan salah satu pihak. Untuk mengkaji ketimpangan tersebut, khususnya dari sudut pandang fungsi ekonomi dilakukan melalui pendekatan kerjasama operasi penangkapan, pembagian resiko dan distribusi pendapatan. Dari konteks inilah yang mendasari dan menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian pola kemitraan nelayan pada usaha perikanan Pole and Line ditinjau dari fungsi ekonomi, studi kasus di Kota Kupang. Penulis memilih usaha perikanan Pole and line karena terjalin pola kemitraan antara bos sebagai pemilik sarana penangkapan dan modal, sedangkan juragan dan abk yang mengoperasikannya, selain itu kemungkinan ada kemitraan dengan pihak lain, seperti toke, instansi pemerintah, lsm maupun perbankan yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan nelayan yang selama ini belum dikaji oleh penelitian sebelumnya. Selama ini penelitian sebelumnya hanya fokus pada kemitraan antara 2 pihak, yaitu antara nelayan dengan pemilik usaha.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu kelurahan-kelurahan pesisir (Oesapa, Alak, Pasir Panjang dan Fatubesi) sebagai sentra pemukiman nelayan Pole and Line dan Bagang di Kota Kupang. Penelitian ini secara keseluruhan akan dilakukan selama 6 bulan, yaitu April sampai Oktober 2015.

2.2 Metode

Penelitian ini dilakukan menggunakan

metode survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data pokok (Singarimbun, 1989). Penentuan sampel (responden) dipilih secara Cluster Random Sampling (berkelompok), dengan mengelompokan responden menjadi: (a) Nelayan Pole and Line (juragan/

kapten, bas, boy-boy dan pemancing)

247

Page 258: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(b) Pemilik Usaha Perikanan Pole and Line

(c) Nelayan Bagang (d) Instansi Pemerintah Mitra (e) Perbankan/koperasi 2.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian

ini terdiri dari 2 sumber, yaitu: (a) Data primer, diperoleh dari hasil

observasi dan wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner

(b) Data sekunder, diperoleh dari instansi yang mempunyai keterkaitan dengan lingkup penelitian, seperti dari Dinas Perikanan dan Kelautan, Perbankan/koperasi, BPS, Bapedda dan lainnya.

2.4 Analisis Data

2.4.1 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif digunakan menganalisis pola kemitraan nelayan baik dengan pemilik, instansi pemerintah dan swasta pada usaha perikanan Pole and

line, termasuk sistem bagi hasil dan besar pendapatan yang diterima

2.4.2 Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif digunakan untuk

menganalisis biaya investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan pada usaha perikanan Pole and Line serta untuk menganalisis sitem bagi hasil sebagai dasar untuk mengetahui besar pendapatan pemilik dan nelayan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Usaha Perikanan Pole and Line Investasi yang dikeluarkan oleh

pemilik usaha pada usaha perikanan pole and line terdiri dari sarana penangkapan ikan. Sarana penangkapan yang digunakan terdiri dari kapal, mesin, alat pancing, selang, gps dan fishfinder

Untuk lebih jelasnya, jenis, jumlah dan harga sarana yang diinvestasikan pemilik oleh pada usaha perikanan pole and line di Kota kupang dapat dilihat pada Tabel 32.1 berikut:

Tabel 32.1. Jenis, jumlah dan harga sarana penangkapan yang diinvestasikan oleh

pemilik pada usaha perikanan pole and line di Kota kupang

Jenis Jumlah (unit)

Harga (Ribu Rupiah/unit)

Kapal 1 - 2 30.000 – 50.000 Mesin 2 30.000 – 60.000

Pancing 10 - 15 50– 100 Selang 1 - 2 750 – 1.000 GPS 1 1.000

Fishfinder 1 5.000 – 6.000 Teropong 200

Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Tabel 32.1 menunjukkan, biaya

investasi terbesar yang dikeluarkan oleh pemilik pada usaha perikanan pole and line adalah biaya pembelian kapal sekitar Rp. 30.000.000,- sampai Rp. 50.000.000,- dan mesin dengan harga sekitar Rp. 30.000.000,- sampai Rp, 60.000.000,-.

Hasil identifikasi terhadap responden pemilik pada usaha perikanan pole and

line di Kota Kupang menunjukkan bahwa jumlah biaya investasi pemilik bervariasi. Distribusi responden pemilik menurut biaya investasi yang dikeluarkan pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang dapat dilihat pada tabel 32.2 berikut :

248

Page 259: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 32. 2. Biaya investasi yang dikeluarkan oleh pemilik perkapal pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang

Usaha Perikanan Responden Pemilik

Total Biaya Investasi (Ribu Rupiah)

1 192.200 2 180.200 3 182.500 4 183.700 5 130.200 6 125.200 7 130.200 8 142.200

Jumlah 1.266.400

Rata-rata 158.300

Kisaran 125.200 s/d 192.200

Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Tabel 32.2 menunjukkan biaya

investasi rata-rata yang dikeluarkan responden pemilik sekitar Rp. 158.300.000,- dengan kisaran Rp. 125.200.000,- sampai Rp. 192.200.000,-. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk menjalankan usaha perikanan pole and line diperlukan investasi yang besar. Oleh karena itu, skala usaha perikanan pole and line sangat bergantung dari jumlah modal yang dimiliki oleh pemilik.

Berdasarkan hasil penelitian di Kota Kupang, diketahui bahwa jenis biaya

operasional yang dikeluarkan pada usaha perikanan pole and line terdiri dari biaya umpan, bahan bakar, air tawar, bahan pengawet, konsumsi nelayan selama operasi penangkapan dan biaya lain-lain.

Distribusi rata-rata biaya operasional tiap kapal yang dikeluarkan per trip pada operasi penangkapan pole and line berdasarkan lokasi penangkapan pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang dapat dilihat pada tabel 32.3 berikut :

Tabel 32.3. Biaya operasional rata-rata per trip tiap kapal berdasarkan lokasi

penangkapan pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang

Usaha Perikanan

Responden Pemilik

Lokasi Biaya

Operasional (Rp)

Lokasi Biaya

Operasional (Rp)

Lokasi Biaya

Operasional (Rp)

1 Perairan

Rote 23.350

Laut Sawu

31.350 Perairan

Timor 9.925

2 Perairan

Rote 23.370

Laut Sawu

31.430 Perairan

Timor 8.950

3 Perairan

Rote 24.390

Laut Sawu

32.460 Perairan

Timor 8.550

4 Perairan

Rote 23.360

Laut Sawu

31.410 Perairan

Timor 9.430

5 Perairan

Rote 18.775

Laut Sawu

23.312 Perairan

Timor -

6 Perairan

Rote 17.725

Laut Sawu

22.815 Perairan

Timor -

7 Perairan

Rote 18.775

Laut Sawu

23.312 Perairan

Timor -

8 Perairan

Rote 18.275

Laut Sawu

23.815 Perairan

Timor -

Jumlah 168.020 219.904 36.855

Rata-rata 21.002,5 27.488 9.213,75

Kisaran 17.725 s /d

24.390 22.815 /d

32.460

8.550 s/d 26.000

Sumber : Data primer setelah diolah, 2015

249

Page 260: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Tabel 32.3 menunjukkan biaya operasional rata-rata perkapal setiap trip yang dikeluarkan responden pemilik untuk lokasi penangkapan di perairan Rote rata-rata sekitar Rp. 21.002.500,- dengan kisaran Rp.17.725.000,- sampai Rp. 24.390.000,-, Laut Sawu rata-rata sekitar Rp27.488.000,- dengan kisaran Rp. 22.815.000,- sampai Rp. 32.460.000,- dan perairan Timor rata-rata sekitar Rp. 9.213.750,- dengan kisaran Rp. 8.550.000,- sampai Rp. 26.000.000,- .

Biaya operasional yang dikeluarkan untuk operasi penangkapan umumnya ditanggung oleh pemilik, tetapi jika operasi penangkapan mengalami kerugian, maka kerugiannya harus ditanggung bersama oleh para nelayan sebagai konsekuensi. Apabila nelayan belum memiliki dana untuk menutupi kerugian, maka besar kerugian tersebut dikategorikan sebagai utang oleh pemilik. Hal ini yang menjadi salah satu kendala yang dihadapi nelayan dalam mengakumulasi kapital, sehingga kehidupannya tetap berada dalam kemiskinan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa di Kota Kupang tidak semua biaya operasional penangkapan pole and line ditanggung oleh pemilik, tetapi ada juga nelayan yang menanggung biaya operasional penangkapan pole and line dengan cara patungan sesama nelayan. Hal ini mereka lakukan untuk mengantisipasi resiko penambahan utang jika operasi penangkapan pole and line mengalami kerugian.

3.2 Pola Hubungan Kerja

Dinamika hubungan kerja antara pemilik dengan nelayan telah berlangsung cukup lama sejak kegiatan penangkapan berlangsung. Bahkan dapat dikatakan seumur dengan kegiatan usaha perikanan tangkap, yang fungsi dan peranannya terus berkembang sesuai dengan perkembangan jenis dan kebutuhan penangkapan. Menurut Lampe (2003), kelompok pemilik nelayan yang disamping mengatur pembagian dan menyerap tenaga kerja, juga sekaligus berperan sebagai lembaga perolehan modal, pasar, penyelesaian urusan utang piutang, menetapkan aturan bagi hasil dan sebagai

wadah sosialisasi kelompok dan jaminan-jaminan sosial ekonomi nelayan.

Pola hubungan kerja antara pemilik nelayan pada usaha telah mengalami perubahan penting dari bentuk hubungan patrón-klien lama bersifat ketat dan tertutup ke bentuk yang longgar dan terbuka. Pemilik memberikan pelayanan ekonomi, sosial, perlindungan, pengetahuan, keterampilan kerja bahkan pandangan dan etos kerja. Sementara nelayan memberikan pengabdian, ketaatan dan kepatuhan, kesetiaan, pengakuan, kepercayaan, kerja keras, disiplin dan tanggung jawab.

Pola hubungan kerja pemilik nelayan pada usaha perikanan pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu berdasarkan suku dan kontrak kerja. Pola hubungan kerja berdasarkan suku yaitu pola menunjukkan adanya kesamaan suku/hubungan kekerabatan antara pemilik dengan nelayan. Contohnya adalah suku Bugis Makassar masih mempergunakan pola hubungan kerja berdasarkan pertimbangan suku dalam menjalankan usaha perikanan pole and line. Pada pola kontrak kerja, kesamaan suku/hubungsn kekerabatan bukan pertimbangan utama dalam menjalin hubungan kerja, tetapi yang utama motivasi dan kemampuan kerja nelayan. Hal ini menyebabkan lahirnya pola hubungan berdasarkan kontrak kerja. Dalam pola pertama ini, ada kesepakatan kontrak kerja yang dituangkan dalam bentuk perjanjian/kontrak tertulis.

Pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang, telah terjadi pergeseran pola hubungan kerja, awalnya berdarkan hubungan kekekrabatan/kesamaan suku bergeser ke pola hubungan berdasarkan kontrak kerja.

Pemilik dalam menjalankan usaha perikanan pole and line memerlukan modal yang akan digunakan untuk membeli sarana penangkapan pole and line dan membantu kebutuhan ekonomi nelayan dan keluarganya. Sumber modal pemilik di Kota Kupang ada dua, yaitu sumber modal internal, yaitu modal mandiri dan sumber modal eksternal yang sebagian modalnya merupakan investasi orang Cina. Hal ini akan berpengaruh pada investasi sarana penangkapan, pola

250

Page 261: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

operasi penangkapan, sistem bagi hasil dan pendapatan yang diperoleh pemilik dan nelayan. Pada pola pertama, pemilik tidak terikat kepada seseorang sebagai tempat menjual pole and line sehingga pemilik bisa memilih pembeli yang menawarkan harga yang paling tinggi. Pada pola ke dua, pemilik harus menjual seluruh hasil tangkapan pole and line kepada orang Cina yang menginvestasikan modalnya dan harga pembelian ditentukan oleh orang Cina. Hal tersebut diterima pemilik sebagai konsekuensi, walaupun harga yang ditawarkan pembeli lain lebih tinggi. Selama ini, responden pemilik lebih memilih menerima investasi modal dari orang Cina daripada meminjam tambahan modal dari lembaga permodalan formal seperti bank dan koperasi. Hal ini disebabkan umumnya pemilik telah menjalin hubungan kerja dengan orang Cina sejak lama, bahkan telah dijalankan secara turun-temurun dan sifat hubungan tidak ketat. Pada hubungan ini, pemilik tidak dibebankan bunga karena sifatnya bukan pinjaman dan tidak ada batas waktu pengembalian modal. Cara pengembalian investasi yaitu langsung dipotong dari hasil penjualan pole and line. Pola hubungan kerja antara pemilik dengan orang Cina lebih mengutamakan motif ekonomi, dalam hal ini orientasi keuntungan lebih diutamakan. Pada pola hubungan II, nelayan tidak berhubungan langsung dengan orang Cina, tetapi memperoleh dampak dari hubungan pemilik dengan orang Cina, yaitu mempengaruhi sistem bagi hasil dan pendapatan yang diperoleh.

Kekuatan modal pemilik mempengaruhi ketergantungan nelayan pada pemilik. Dalam arti, besarnya kepemilikan modal akan menggambarkan status pemilik tersebut sebagai tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai dasar menjalin hubungan kerja oleh para nelayan. Oleh karena itu, harus diakui bahwa apabila kepemilikan modal kecil, maka lambat laun pemilik akan ditinggalkan oleh para nelayannya. Pemilik harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan semua nelayannya agar tidak pindah ke pemilik lain. Kondisi tersebut menuntut

para pemilik untuk selalu menyediakan dana untuk pinjaman bagi para nelayannya karena sewaktu-waktu nelayan akan datang ke pemilik untuk meminta panjar sebelum pergi melakukan operasi penangkapan pole and line untuk keluarga yang ditinggalkan atau pinjaman uang untuk kegiatan sosial keluarganya. Hal ini juga merupakan salah satu cara pemilik untuk mengikat nelayannya sehingga bisa terus menjalin hubungan kerja dengan pemilik.

Nelayan hanya terikat kerjasama jika masih memiliki utang kepada pemilik. Jika nelayan sudah mampu melunasinya atau ada pemilik lain yang sanggup membantu melunasi utangnya, maka nelayan tersebut bisa pindah dari pemilik sebelumnya dan secara langsung akan terikat hubungan kerja dengan pemilik yang telah membayarkan utangnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pola hubungan kerja pemilik nelayan semakin longgar dan terbuka. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sutarni (2006) yang menyatakan bahwa bentuk hubungan pemilik nelayan telah mengalami perubahan penting dari hubungan patron-klien lama bersifat ketat dan tertutup ke bentuk yang longgar dan terbuka.

Hasil penelitian di Kota Kupang, menunjukkan bahwa perekrutan nelayan dapat terjadi secara timbal balik, yakni nelayan yang mencari pemilik atau sebaliknya pemilik yang mencari nelayan. Hubungan kerja pemilik nelayan disertai kesepakatan atau perjanjian kerja tidak tertulis yang disepakati oleh keduanya. Pola hubungan kerja pemilik nelayan sangat dipengaruhi oleh awal terbentuknya hubungan. Terbentuknya hubungan menghasilkan hak dan tanggung jawab masing-masing. Proses awal hubungan kerja terjadi setelah perjanjian kerja tidak tertulis antara pemilik dengan nelayan disepakati. Suatu perjanjian dimana pihak nelayan mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pemilik dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang telah disepakati bersama. Perjanjian kerja ini tidak tertulis disebabkan karena adanya sifat saling percaya antara pemilik dan nelayan.

Pola perjanjian kerja pemilik nelayan pada usaha perikanan pole and line di

251

Page 262: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Kota Kupang ada 2 yang perbedaannya terletak pada sistem bagi hasil.. Pada perjanjian kerja pola pertama, pemilik sebagai pemilik usaha berperan sebagai manajer, yaitu mengorganisasikan keseluruhan kegiatan produksi, menyediakan sarana penangkapan pole and line yang selanjutnya dioperasikan oleh nelayan. Pada sistem bagi hasil, setelah pendapatan kotor dikurangi biaya operasional penangkapan, kapal atau dalam hal ini pemilik mendapatkan bagian 25%. Pemilik memperoleh bagian 25% karena dia yang memiliki sarana penangkapan dan resiko kerusakan kapal dan peralatannya menjadi tanggungan pemilik. Sisanya 75% kemudian dibagi sesama nelayan yang besarnya berdasarkan peran yang telah dilakukan pada operasi penangkapakan pole and line. Jadi pendapatan yang diterima nelayan berdasarkan sistem bagi hasil tidak sama. Khusus juragan laut, akan mendapat tambahan pendapatan 1% dari bagian yang diterima pemilik. Nelayan akan dibayar oleh pemilik setelah hasil tangkapan dijual. Pola perjanjian kerja I umumnya dijalankan oleh hubungan kerja pemilik nelayan yang sumber modal pemilik merupakan modal mandiri.

Perjanjian kerja pola ke dua pemilik nelayan pada dasarnya sama dengan perjanjian kerja pola pertama, perbedaannya hanya terletak pada sistem bagi hasil antara pemilik dengan nelayan. Pada perjanjian kerja pola ke dua, bagian yang diperoleh pemilik lebih banyak daripada pola hubungan kerja I. Pola perjanjian kerja II umumnya dijalankan oleh hubungan kerja pemilik nelayan yang sumber modal pemilik sebagian berasal dari pinjaman orang cina.

Nelayan di Kota Kupang dalam melakukan aktifitas penangkapan pole and line umumnya hanya memiliki kemampuan menyelam bagi penyelam pole and line, keahlian mesin untuk bas/masinis sedangkan untuk bagian selang dan koki tidak terlalu memerlukan keahlian khusus. Bagi juragan laut biasanya mereka harus memiliki jiwa kepemimpinan karena juga berperan sebagai kapten kapal sekaligus penentu lokasi penangkapan dan lama operasi penangkapan pole and line.

Operasi penangkapan pole and line telah lama dijalankan oleh nelayan di Kota Kupang. Berdasarkan hasil penelitian di Kota Kupang, diketahui bahwa ada 2 pola operasi penangkapan yang dilakukan oleh responden, yaitu pada pola pertama, operasi penangkapan pole and line dilakukan sepanjang tahun dan pada pola ke dua, operasi penangkapan pole and line tidak dilakukan sepanjang tahun. Pola operasi penangkapan I umumnya dijalankan oleh etnik Flores sedangkan pola ke dua dijalankan oleh etnik Bugis Makassar. Pola operasi penangkapan mempengaruhi sistem bagi hasil yang disepakati antara pemilik dan nelayan. Pada pola operasi penangkapan I, sistem bagi hasil yang disepakati adalah 25 : 75 sedangkan pada pola operasi penangkapan pole and line yang kedua, sistem bagi hasil yang disepakati adalah 50 : 50.

Distribusi responden berdasarkan pola penangkapan pole and line pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang menunjukkan responden nelayan yang melakukan operasi penangkapan pole and line sepanjang tahun di tiga lokasi sebanyak 26 orang, yaitu 57,78% dan yang tidak melakukan operasi penangkapan pole and line sepanjang tahun sebanyak 19 orang, yaitu 42,22%.

Pada pola pertama operasi penangkapan pole and line dilakukan sepanjang tahun. Pada bulan September sampai bulan Februari operasi penangkapan berlokasi di perairan Rote sebanyak 3 trip selama kurang lebih 1 sampai 2 bulan per trip, jadi sekitar 3 trip per tahun. Pada bulan Maret sampai bulan Mei operasi penangkapan berlokasi di Laut Sawu sebanyak 1 trip selama kurang lebih 1 sampai 3 bulan per trip, jadi sekitar 1 trip per tahun. Pada bulan Juni sampai bulan Agustus operasi penangkapan berlokasi di perairan Timor sebanyak 2 trip selama kurang lebih 1 bulan per trip, jadi sekitar 2 trip per tahun. Total trip per tahun sekitar 6 trip. Waktu luang ini umumnya digunakan untuk beristirahat sambil berkumpul dengan keluarga, mempersiapkan kebutuhan operasional operasi penangkapan berikutnya, mengecek kondisi kapal dan peralatan dan sekaligus menunggu upah

252

Page 263: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dari pemilik berdasarkan sistem bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya.

Pada pola kedua, operasi penangkapan pole and line tidak dilakukan sepanjang tahun. Pada bulan September sampai bulan Februari operasi penangkapan berlokasi di perairan Rote sebanyak 3 trip selama kurang lebih 1 sampai 2 bulan per trip, jadi sekitar 3 trip per tahun. Pada bulan Maret sampai bulan Mei operasi penangkapan berlokasi di Laut Sawu sebanyak 1 trip selama kurang lebih 1 sampai 3 bulan per trip, jadi sekitar 1 trip per tahun. Pada bulan Juni sampai bulan Agustus responden istirahat karena cuaca pada bulan ini tidak menentu sehingga sangat beresiko melakukan penangkapan. Jadi, total trip per tahun sekitar 4 trip. Waktu luang ini umumnya pergunakan untuk berkumpul bersama keluarga, memperbaiki perahu dan peralatan penangkapan yang rusak dan sebagian juga di antara mereka mempergunakan waktu luangnya dengan menjadi nelayan perorangan untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan lokasi penangkapan di sekitar Kota Kupang.

Terbentuknya dua pola operasi penangkapan dipengaruhi oleh sumber dan jumlah modal yang dimiliki oleh pemilik. Pada pola pertama, sumber modal pemilik merupakan modal mandiri sehingga mereka bisa menginvestasikan modalnya untuk membeli sarana penangkapan pole and line yang memiliki ukuran dan daya muat yang memungkinkan bisa melakukan operasi penangkapan pole and line sepanjang tahun. Pada pola ke dua, sumber modal pongawa sebagian merupakan investasi orang Cina sehingga mereka memiliki beban harus mengembalikan investasi tersebut. Untuk mengurangi pengeluaran, maka mereka menginvestasikan modalnya untuk membeli sarana penangkapan pole and line yang ukurannya relatif kecil sehingga beresiko untuk melakukan penangkapan pada saat keadaan laut tidak menentu.

3.3 Pemasaran

Pemasaran hasil tangkapan pole and line dilakukan oleh pemilik. Berdasarkan

hasil penelitian, diketahui bahwa ada 2 pola pemasaran hasil tangkapan pole and line yang dijalankan oleh pemilik. Pola pemasaran hasil tangkapan pole and line dipengaruhi oleh sumber modal pemilik. Pada pola pertama, pemilik tidak terikat pada seseorang sebagai tempat memasarkan ikan hasil tangkapan, yaitu Ikan Cakalang. Tetapi mereka bebas menjual Ikan Cakalang hasil tangkapan kepada pembeli yang menawarkan harga yang paling tinggi. Pada pola ke dua, pemilik harus menjual seluruh Ikan Cakalang kepada orang Cina yang menginvestasikan modalnya kepada pemilik. Umumnya harga pembelian dari orang Cina lebih rendah sekitar 20% dari harga standar yang berlaku di pasaran.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa harga Ikan Cakalang bervariasi menurut ukurannya. Harga Ikan Cakalang juga dipengaruhi oleh kualitas Ikan Cakalang hasil tangkapan.

3.4 Penerimaan dan Pendapatan

Penerimaan usaha perikanan pole and line bervariasi karena dipengaruhi oleh hasil tangkapan dan harga jual Ikan Cakalang. Rata-rata penerimaan per trip berdasarkan lokasi penangkapan adalah pada pola operasi penangkapan pertama, penerimaan rata-rata yang terbesar per trip diperoleh dari perairan Laut Sawu dengan rata-rata sekitar Rp. 63.750.000,- dan kisaran Rp. 60.000.000,- sampai Rp. 70.000.000,-. Pada pola operasi penangkapan II, hasil tangkapan pole and line rata-rata terbesar per trip juga diperoleh perairan Laut Sawu dengan penerimaan rata-rata per trip sekitar Rp. 48.000.000,- dan kisraan Rp. 45.000.000,- sampai Rp. 50.000.000,-. Apabila dibandingkan, penerimaan yang diperoleh pada pola pertama lebih banyak dibandingkan pola ke dua, Hal ini dipengaruhi oleh jenis, jumlah dan harga Ikan Cakalang hasil tangkapan.

Rata-rata penerimaan per tahun usaha perikanan pole and line di Kota Kupang berdasarkan lokasi penangkapan menunjukkan pada pola operasi penangkapan I, penerimaan rata-rata yang terbesar per tahun diperoleh dari perairan Rote dengan rata-rata sekitar

253

Page 264: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Rp. 161.250.000,- dan kisaran Rp. 150.000.000,- sampai Rp. 180.000.000,-. Pada pola operasi penangkapan II, hasil tangkapan pole and line rata-rata terbesar per trip juga diperoleh perairan Rote dengan penerimaan rata-rata per tahun sekitar Rp. 120.000.000,- dan kisaran Rp. 105.000.000,- sampai Rp. 135.000.000,-.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh pemilik dan nelayan jumlahnya tidak tetap, tergantung dari jumlah, jenis dan harga pole and line yang ditangkap sehingga mempengaruhi hasil sistem bagi hasil. Pendapatan pemilik dan nelayan tidak bisa diprediksi karena tergantung dari hasil tangkapan yang sifatnya juga tidak menentu. Adanya ketidakpastian hasil tangkapan inilah yang mendorong nelayan untuk melakukan hubungan kerja dengan pemilik.

Sistem bagi hasil merupakan alternatif yang dikembangkan rata-rata masyarakat nelayan untuk mengurangi resiko. Sistem bagi hasil dapat mengurangi resiko bagi pemilik sebagai pemilik kapal dan meningkatkan motivasi kerja nelayan. Hal ini terjadi karena hasil tangkapan yang tidak dapat ditentukan kepastiannya. Terbentuknya sistem bagi hasil dipengaruhi oleh adanya perubahan hubungan kerja pemilik nelayan. Perubahan ini disebabkan semakin terbukanya informasi bahwa sumberdaya pesisir selain untuk dikonsumsi, juga memiliki nilai ekonomi di pasaran. Hal ini mendorong semakin banyak pemilik yang memasuki daerah pesisir dengan tujuan yang sama dan pada akhirnya terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya pesisir yang mengakibatkan terjadinya over fishing. Sistem bagi hasil inilah yang merubah orientasi hubungan kerja pemilik nelayan dari orientasi sosial menjadi orientasi ekonomi.

Sistem bagi hasil yang diterapkan pada usaha perikanan pole and line di lokasi penelitian ada 2 pola berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa responden pemilik dan nelayan. Hal ini dipengaruhi pola hubungan kerja yang dijalankan antara pemilik dengan nelayan. Pada pola hubungan kerja yang menerapkan gabungan antara suku dan kontrak kerja atau pola pertama,

menetapkan sistem bagi hasil 25 : 75, sedangkan pola hubungan kerja yang masih menerapkan hubungan suku atau pola pertama, menetapkan sistem bagi hasil 50 : 50. Hal ini disebabkan pada pola pertama, motif ekonomi lebih diutamakan daripada motif sosial sedangkan pada pola pertama motif sosial masih dipertimbangkan. Jadi telah terjadi perubahan sistem bagi hasil pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang, Dahulu sistem bagi hasil yang diterapkan umumnya 50 : 50, tetapi sekarang telah bergeser ke sistem bagi hasil 25 : 75.

Sistem bagi hasil disepakati pada saat melakukan perjanjian hubungan kerja antara pemilik dengan nelayan dan umumnya termasuk salah satu isi perjanjian. Sistem bagi hasil yang berlaku tidak sama untuk semua pemilik. Pola sistem bagi hasil antara pemilik dengan nelayan usaha perikanan pole and line di Kota Kupang menunjukkan ada dua pola sistem bagi hasil pada usaha perikanan di lokasi penelitian. Pola pertama adalah 25 : 75, yaitu pemilik mendapatkan bagian 25% dan 75% sisanya dibagi kepada nelayan berdasarkan perannya dalam operasi penangkapan pole and line, sedangkan pola ke dua yaitu 50 : 50, dimana pemilik mendapatkan bagian 50% dan 50% sisanya dibagi kepada nelayan berdasarkan perannya dalam operasi penangkapan pole and line.

Jumlah bagian yang diperoleh nelayan berbeda menurut perannya pada saat operasi penangkapan pole and line. Khusus untuk juragan laut, memperoleh tambahan bagian 1% dari bagian pemilik. Sistem bagi hasil pola pertama memunjukkan bahwa telah terjadi perubahan sistem bagi hasil pada hubungan kerja pemilik nelayan. Pada awalnya, sistem bagi hasil yang diterapkan antara pemilik dengan nelayan adalah 50 : 50. Sistem bagi hasil ini berbeda dengan sistem bagi hasil yang ditemukan oleh peneliti sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sutarni (2006) diketahui bahwa sistem bagi hasil antara pemilik dengan nelayan di Kabupaten Sinjai adalah 75 : 25, yaitu pemilik memperoleh 75% dan 25% dibagi oleh sejumlah nelayan. Hasil penelitian Nadjib

254

Page 265: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

(1998) menunjukkan pola umum bagi hasil di daerah Teluk Lampung dan Pasuruan adalah pemilik memperoleh bagian 50% dari hasil bersih tangkapan ditambah 15% dari jumlah kotor hasil tangkapan sebagai cadangan jika ada kerusakan kapal ataupun jaring.

Khusus untuk juragan laut, memperoleh bagian 30% dari bagian pemilik dan Rp. 5000,- tiap kilogram pole and line hasil tangkapan. Sistem bagi hasil yang disepakati umumnya hanya merupakan dasar pembagian hasil. Apabila hasil yang diperoleh banyak, maka pemilik akan memberikan tambahan pendapatan kepada nelayan. Tambahan ini kemudian dikenal dengan istilah bonus.

Pendapatan rata-rata per bulan yang diperoleh responden pemilik pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang menunjukkan pada sistem bagi hasil pola pertama, yaitu 25 : 75, pendapatan rata-rata per bulan pemilik sekitar Rp. 3.850.000,- dengan kisaran Rp. 3.300.000,- sampai Rp. 4.500.000,-, sedangkan , pendapatan rata-rata per bulan nelayan sekitar Rp. 1.080.000,- dengan kisaran Rp. 850.000,- sampai Rp. 1.375.000,-. Pada sistem bagi hasil pola ke dua, yaitu 50 : 50, pendapatan rata-rata per bulan pemilik sekitar Rp. 2.550.000,- dengan kisaran Rp. 2.100.000,- sampai Rp. 2.980.000,-, sedangkan pendapatan rata-rata per bulan nelayan sekitar Rp. 573.000,- dengan kisaran Rp. 480.000,- sampai Rp. 650.000,-. Pendapatan rata-rata per bulan yang diterima pemilik dan nelayan dipengaruhi oleh sumber modal pemilik, pola operasi penangkapan dan sistem bagi hasil.

Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara selama penelitian, diketahui bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi antara pemilik dengan nelayan adalah ketimpangan dalam sistem bagi hasil, selain itu pengaruh yang lain adalah rendahnya pengetahuan manajemen keuangan nelayan. Jadi, walaupun pendapatan rata-rata yang diterima nelayan pada sistem bagi hasil pola pertama sudah di atas standar upah

minimum regional, akan tetapi umumnya mereka masih sulit keluar dari kemiskinan.

Apabila nelayan mendapatkan pendapatan, maka umumnya tidak langsung membayar panjar yang telah diambil sebelum melakukan operasi penangkapan, tetapi digunakan untuk membeli barang-barang konsumtif. Hal ini umumnya terjadi pada nelayan yang masih bujangan sehingga lama-kelamaan utangnya kepada pemilik semakin menumpuk dan ditambah lagi kalau operasi penangkapan mengalami kerugian, secara otomatis utangnya semakin bertambah. Setelah berkeluarga, kebutuhan mereka semakin meningkat dan di satu sisi mereka juga harus membayar utangnya kepada pemilik. Selain itu, permohonan pinjaman untuk kebutuhan sosial seperti pernikahan dan membiayai keluarga yang sakit semakin menambah jumlah utang nelayan kepada pemilik. Hal inilah yang menyebabkan para nelayan sulit untuk keluar dari kemiskinan.

Institusi pemilik nelayan pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang, tata hubungannya mengacu pada tradisi yang ada dan telah dilakukan secara turun-temurun sehingga akan terus berkelanjutan sampai masa yang akan datang selama komoditas pole and line masih bisa diperoleh dari perairan. Keberlanjutan hubungan ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan cara berpikir nelayan. Hal ini disebabkan selama ini nelayan terkendala pada modal untuk membeli sarana penangkapan pole and line dan pemilik bisa menangani kendala ini dengan jalan mempekerjakan nelayan sebagai tenaga kerja pada sarana penangkapan pole and linenya. Selain itu, nelayan rata-rata tidak memiliki keahlian lain selain memancing dan tingkat pendidikannya sebagian besar masih rendah. Di satu sisi, pendapatan yang mereka peroleh dari penangkapan pole and line sangat menggiurkan sehingga anak-anak yang seharusnya masih sekolah lebih memilih menjadi nelayan dan hal ini didukung oleh orang tua mereka.

255

Page 266: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan : 1. Pola hubungan kerja pemilik nelayan

pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang terdiri dari 2 pola berdasarkan suku/hubungan kekerabatan dan kontrak kerja

2. Sistem bagi hasil antara pemilik dan nelayan pada usaha perikanan pole and line di Kota Kupang ada 2 pola, yaitu pola pertama pemilik mendapat bagian 25 persen dari hasil setelah dikurangi biaya operasional dan 75 persen sisanya dibagikan kepada nelayan, sedangkan pada pola ke dua pemilik mendapat bagian 50 persen dari hasil setelah dikurangi biaya operasional dan 50 persen sisanya dibagikan kepada nelayan

3. Pendapatan rata-rata per bulan yang diterima pemilik dan nelayan pada sistem bagi hasil 25 : 75 berkisar Rp. 3.300.000,- sampai Rp. 4.500.000,- dan berkisar Rp. 750.000,- sampai Rp. 1.375.000,- untuk nelayan. Pada sistem bagi hasil 50 : 50, pendapatan rata-rata per bulan yang diterima pemilik berkisar Rp2.100.000,- sampai Rp. 2.980.000,- untuk pemilik dan berkisar Rp. 480.000,- sampai Rp. 1.650.000,- untuk nelayan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, T. 2006. Nelayan Kemiskinan dan Pembangunan. Masagena Press. Makassar.

Imron, M. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. PT. Media Pressindo. Yogyakarta.

Indar, Y.N. 2005. Sistem Sosial dan Kelembagaan Tradisional Masyarakat dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut. Makalah disajikan dalam Training on Integrated Coastal Zone Management (ICZM). MCRMP Bappeda Gorontalo. Gorontalo 10-19 Agustus 2005.

___,2003. Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern. Makalah disajikan dalam Kongres Kebudayaan V. Bukit Tinggi. Bukittinggi 20-23 Oktober 2003.

Lampe 2003. Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern. Makalah disajikan dalam Kongres Kebudayaan V. Bukit Tinggi. Bukittinggi 20-23 Oktober 2003.

Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Purwati, P. 2005. Pole and line Indonesia : Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan. Jurnal Oseana. 30 : 11-18.

Sallatang, M.A. 1982. Pemilik-Nelayan : Suatu Studi Kelompok Kecil. Disertasi tidak diterbitkan. Unhas. Makassar.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. PT. Alvabeta. Bandung.

-----. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R n D. PT. Alvabeta. Bandung.

Sutarni 2006. Prilaku Kewirausahaan Pemilik : Studi Kasus Unit Bagang di KeLurahan Lappa Kabupaten Sinjai. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Wahyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Pressindo. Yogyakarta.

___. 2003. Konflik Bagi Hasil Tangkapan Purse seine di Parigi, Trenggalek, Jawa Timur. Jurnal Masyarakat dan Budaya. 20 : 15-17.

256

Page 267: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

ANALISIS KEMISKINAN RUMAH TANGGA NELAYAN DI KOTA KUPANG

Yahyah1 dan Hadjrah Arifin2

1)Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana 2)Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kupang

Email: [email protected] Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan pada rumah tangga nelayan Kota Kupang, (2) untuk menganalisis upaya yang tepat bagi rumah tangga nelayan Kota Kupang dalam mengatasi kemiskinan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara dan pengamatan, sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui dokumen-dokumen yang terkait dengan bahasan dalam penelitian. Hasil yang akan diharapkan dalam penelitian adalah mengetahui faktor-faktor dominan penyebab kemiskinan dan upaya yang tepat bagi rumah tangga dalam mengatasi kemiskinan nelayan khususnya di Kota Kupang. Adapun bentuk kemiskinan yang terjadi pada rumah tangga nelayan adalah kemiskinan struktural dan kultural. Kata kunci : Nelayan, Faktor dominan penyebab kemiskinan, Upaya mengatasi

kemiskinan.

ABSTRACT This study aims to: (1) to analyze the factors that cause poverty in the households of fishermen Kota Kupang, (2) to analyze the appropriate measures for fishermen household Kota Kupang in overcoming poverty. The method used in this study is a survey using primary and secondary data. Primary data was collected through questionnaires, interviews and observations, while the secondary data collected through documents related to the discussion in the study. The results to be expected in the research was to determine the dominant factors causing poverty and other appropriate measures for households in fishing tackle poverty, especially in Kota Kupang. The form of poverty in households fishermen are structural and cultural poverty. Keywords: Fisherman, the dominant factor causing poverty, efforts to overcome poverty.

I. PENDAHULUAN

Kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan di mayarakat nelayan telah membentuk stratifikasi, walaupun hal ini tidak sampai mengarah pada polarisasi sosial berdasarkan garis kelas, karena kesenjangan tersebut masih bisa dijembatani dan dinetralisasi secara kuat oleh fungsi pranata tradisional yang ada. Sekalipun demikian, harus disadari bahwa kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan kehidupan telah membatasi akses ekonomi anggota rumah

tangga nelayan. Selain itu, karena pergulatan mempertahankan kehidupan sangat menyita tenaga dan pikiran, nelayan tidak sempat lagi memperhatikan kepentingan lingkungan masyarakatnya.

Kemiskinan pada rumah tangga nelayan juga tidak lepas dari pranata sosial budaya dalam mengatur kehidupan mereka. Dua pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan dan pemasaran ikan (Tain, 2010). Dalam berbagai kajian dan hasil penelitian kedua pranata sosial ekonomi tersebut

257

Page 268: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

dipandang oleh para pengkaji atau peneliti bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemiskinan struktural di kalangan masyarakat nelayan.

Kemiskinan ini dihadapi oleh nelayan di Kota Kupang tidak lepas dari kemiskinan kultural maupun struktural. Masyarakat nelayan Kota Kupang patut diteliti karena berbagai permasalahan yang dihadapi seperti hidup di daerah yang kumuh, tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah, dan berbagai pandangan hidup yang kurang atau tidak mendukung bagi pembangunan. Diperlukan analisis faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan secara mendalam , untuk mampu memberi kebijakan hukum bagi kemiskinan nelayan.

Tujuan Penelitian adalah (1) untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan pada rumah tangga nelayan Kota Kupang; (2) untuk mengetahui cara dan upaya rumah tangga nelayan Kota Kupang dalam mengatasi kemiskinan. Kegunaan Penelitian ini diharapkan berguna bagi rumah tangga nelayan Kota Kupang untuk mengatasi kemiskinan; bagi Pemerintah dapat dijadikan bahan rujukan sebagai penyempurnaan kebijakan lanjutan di wilayah tersebut dan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan sejenis di wilayah lain.

II. METODE PENELITIAN 2.1 Subyek, Obyek dan Tempat

Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah

rumah tangga nelayan di Kota Kupang, dengan obyek penelitian mengenai kemiskinan nelayan. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (Purposive) karena penduduknya kebanyakan nelayan miskin.

2.2 Desain Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan menekankan pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Kota Kupang. Metode penelitian yang digunakan adalah survey.

Metode survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan quesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok atau dengan kata lain penelitian survey sebagai salah satu bentuk penyelidikan yang dijalankan dengan cara menghubungi sebagian atau sekelompok tertentu dari populasi yang berhubungan dengan area penelitian tertentu guna menggali informasi-informasi yang dibutuhkan. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memberikan gambaran pada hasil penelitian.

Dalam penelitian ini penentuan faktor penyebab kemiskinan pada rumah tangga nelayan dilakukan melalui eksplorasi mendalam berdasarkan teori yang ada. Lebih lanjut untuk menggambarkan fenomena kemiskinan dilakukan deskriptif yang mendalam. Dalam pemaparan secara deskriptif tersebut peneliti mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Selanjutnya, agar hasil penelitian ini mempunyai bobot yang tinggi, maka penelitian ini akan dilakukan dengan jalan mengidentifikasikan dimensi-dimensi yang cukup berpengaruh dan relevan untuk diperhatikan. Kemudian fakta yang ditemukan diberikan penafsiran. Penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan dan penafsiran data tetapi meliputi juga analisis dan interpretasi data yang diperoleh nantinya 2.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang pada penelitian ini terdiri dari: (1) data Primer, adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan secara langsung dari sumbernya (responden), meliputi: identitas diri, data konsumsi pangan, konsumsi non pangan, pendapan melaut, pendapatan non melaut, total pendapatan rumah tangga, sesuai data kualitatif penyebab kemiskinan sebagaimana ada dalam kuesioner; dan (2) data sekunder, adalah data yang diperoleh tidak dari sumbernya langsung melainkan sudah dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah (Singarimbun dan Effendi, 1995). Data

258

Page 269: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

sekunder ini meliputi : keadaan umum daerah penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan melalui wawancara, kuesioner dan pengamatan. Ketiga teknik pengumpulan data ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Wawancara (interview) Wawancara dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan kepada responden.Menurut Danim (2000), pertanyaan-pertanyaan diajukan oleh peneliti terhadap responden beranjak dari fokus umum dan isu-isu yang berkembang.

2. Kuesioner (quetioner) Kuesioner dibagikan kepada responden

untuk dijawab sebagai data penelitian. Kuesioner seperti wawancara dimaksud untuk memperoleh informasi tentang diri responden atau informasi tentang orang lain (Margono, 2000).

3. Pengamatan (observasi) Pengamatan dilakukan terhadap

berbagai fenomena yang terjadi di lokasi penelitian yang berkaitan dengan kemiskinan rumah tangga nelayan di Kota Kupang.

2.4 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan simple random sampling, cara tersebut adalah teknik untuk mendapatkan sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling. Dengan demikian setiap unit sampling sebagai unsur populasi yang terkecil memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel atau untuk mewakili populasi. Dari jumlah nelayan Pemerintah Kota Kupang, sehingga dalam penelitian ini diambil sampel sebanyak 10 persen

dari jumlah nelayan dari ketiga kecamatan tersebut.

2.5 Pengolahan dan Analisis Data

Skala pengukuran data yang peneliti gunakan adalah skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena kemiskinan.

Penggunaan skala likert dalam penelitian ini adalah 1 (satu) sampai 5 (lima) yaitu apabila responden memberi atau memilih jawaban yang mempunyai indikasi sangat tinggi diberi skor tertinggi (nilai skor 5), sedangkan apabila jawaban pada pilihan jawaban yang berindikasi sangat rendah diberi nilai skor terendah (nilai skor 1). Setiap indikator atau pertanyaan akan diberi 5 pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan. Lebih lanjut untuk mengubah skala data dari skala ordinal ke interval digunakan method of successive interval (MSI). Langkah-langkah transformasi data (Al Rasyid, 1994) sebagai berikut: 1. Perhatikan setiap pertanyaan dalam

kuesioner 2. Untuk setiap item tersebut, tentukan

berapa orang responden yang mendapat skor 1,2,3,4,5 yang selanjutnya disebut frekuensi (f)

3. Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden, disebut proporsi (p)

4. Hitung proporsi kumulatif (pk) 5. Gunakan tabel normal untuk

menghitung nilai Z untuk setiap proporsi kumulatif

6. Tentukan nilai interval (Scale Valiue) untuk setiap skor jawaban dengan persamaan sebagai berikut:

Scale Values (𝐃𝐞𝐧𝐬𝐢𝐭𝐲 𝐚𝐭 𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫 𝐥𝐢𝐦𝐢𝐭)− (𝐃𝐞𝐧𝐬𝐢𝐭𝐲 𝐚𝐭 𝐮𝐩𝐩𝐞𝐫 𝐥𝐢𝐦𝐢𝐭)

(𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐮𝐧𝐝𝐞𝐫 𝐮𝐩𝐩𝐞𝐫 𝐥𝐢𝐦𝐢𝐭)− (𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐮𝐧𝐝𝐞𝐫 𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫 𝐥𝐢𝐦𝐢𝐭)

7. Sesuai dengan skala ordinal ke

interval, yaitu Scale Value (SV) yang nilainya terkecil (harga negatif yang

terbesar) diubah menjadi sama dengan 1 (satu).

Transformed Scale Value = Y = SV + | SV min | + 1

259

Page 270: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Untuk menguji hipotesis pertama tentang faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan di Kota Kupang digunakan analisis faktor. Secara

matematis model analisis faktor dirumuskan sebagai berikut (Malhotra, 1993):

Xi = Ai1F1 + Ai2F2 +Ai3F3 + ……. + AimFm + ViUi

Keterangan : Xi : Standarisasi variabel/indicator

ke-i Aij : Standarisasi koefisien regresi

berganda pada variabel i dalam faktor umum j

F : Faktor umum Vi : Standarisasi koefisien regresi

pada variabel I dalam faktor unik i

Ui : Faktor unik untuk variabel/ indicator i

m : Jumlah faktor umum Sebagai kombinasi linier dari variabel-

variabel yang diobservasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Fi = Wi1X1 + Wi2X2 + Wi3X3 + …….. + WikXk

Keterangan : Fi : Estimasi faktor ke i Wi : Bobot atau skor koefisien faktor k : Jumlah variabel/indikator

Tahap-tahap dalam melakukan

analisis faktor adalah sebagai berikut: 1. Membuat matriks korelasi atas semua

variabel/indikator 2. Ekstraksi faktor, yaitu meringkas faktor-

faktor inti dengan memilih variabel-variabel/indikator yang mempunyai

eigenvalue 1. Metode ekstraksi yang digunakan adalah Principal Component.

3. Rotasi untuk penyelesaian akhir dengan metode Varimax.

4. Sortasi untuk meletakkan faktor berdasarkan urutan besarnya percentage of variance, mulai dari yang tertinggi sampai terendah.

5. Penggunaan hasil analisis untuk interpretasi dan pembuatan

kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kondisi Geografis Kota Kupang

Kota Kupang merupakan salah satu kapubaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di bagian tenggara. Secara atronomis, terletak antara 10o36’14” – 10o39’58” Lintang Selatan dan 123o32’23” – 123o37’01” Bujur Timur.

Bedasarkan wilayahnya, batas-batasnya adalah sebagai berikut:

Timur: Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang

Barat: Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan Selat Semau

Utara: Teluk Kupang

Selatan: Kecamatan Kupang Barat dan Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang

Luas wilayah Kota Kupang adalah 260,127 Km2 atau 26.012,7 ha yang terdiri dari luas daratan 180,27 Km2 (63,56%) dan luas lautan 94,79 Km2 (36,44%). Secara geologis wilayah ini terdiri dari pembentukan tanah dari bahan keras dan bahan non vulkanis. Bahan-bahan mediteran/rencina/liotsol terdapat di Kecamatan Alak, Maulafa, Oebobo, Kota Raja, Kelapa Lima dan Kota Lama. Sedangkan secara topografi, daerah tertinggi di atas permukaan laut di bagian selatan antara 100-350 meter dan daerah terendah di atas permukaan laut di bagian utara antara 0-50 meter, dimana tingkat kemiringan 15% (Kota Kupang Dalam Angka, 2016).

3.2 Deskripsi Responden

Responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga nelayan. Rumah tangga nelayan tersebut merupakan nelayan one day fishing dan seven day

260

Page 271: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

fishing. Nelayan one day fishing berangkat sore hari sekitar jam 15.00 dan pulang pagi hari sekitar jam 6.00 sedangkan nelayan seven day fishing berangkat sore hari sekitar jam 15.00 dan pulang seminggu sekali sekitar jam 6.00 pagi, selang satu atau dua hari mereka kembali melaut setelah ikan habis terjual.

Secara umum kehidupan nelayan sering digambarkan dengan hidup dalam kemiskinan seperti lingkungan tempat tinggal yang kumuh, keterbatasan pendidikan, tanggungan keluarga yang cukup besar, dan berbagai keprihatinan hidup lainnya. Kemiskinan yang mereka alami tidak saja bersumber dari rendahnya sumber daya manusia nelayan itu sendiri dengan berbagai pandangan hidupnya, tetapi juga karena himpitan dari luar yang biasa disebut dengan kemiskinan struktural.

Deskripsi responden meliputi aspek umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas rumah, kematian bayi, tingkat pendidikan tertinggi

anak, lamanya bekerja sebagai nelayan dan lain-lain.

3.3 Faktor Dominan Penyebab

Kemiskinan Rumah Tangga Di Kota Kupang

Dari hasil 44 dimensi hasil eksplorasi

yang dipandang dapat menjelaskan tentang kemiskinan nelayan yaitu: (1) kemiskinan struktural yang dianut oleh kalangan radikal pengikut teori ketergantungan, (2) kemiskinan kultural yang dianut oleh kalangan liberal pengikut teori modernisasi dan (3) teori common property untuk perikanan yang dikemukakan Scott Gordon, yang selanjutnya dilakukan analisis faktor. Berdasarkan ketentuan eigenvalue minimal 1,0 sebagai faktor dominan, diperoleh 13 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan seperti tertera pada Tabel 33.1 berikut:

Tabel 33.1. Hasil Analisis Faktor Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan.

Faktor

Initial Eigenvalues

Total % of

Variance Cumulative

%

1. Faktor manajemen/pemasaran hasil penangkapan yang rendah

9.134 20.759 20.759

2. Program yang belum sepenuhnya berpihak pada nelayan

5.373 12.212 32.972

3. Perilaku boros 3.898 8.859 41.830 4. Pandangan hidup yang berorientasi

akhirat saja 3.324 7.555 49.386

5. Terikat Utang 2.865 6.511 55.897 6. Kompetisi untuk mengungguli Nelayan

lain 2.396 5.446 61.342

7. Keterbatasan sumber daya 2.098 4.768 66.111 8. Ketergantungan hidup dengan melaut 1.646 3.741 69.852 9. Ketidaksesuaian alat tangkap 1.560 3.545 73.397 10. Pemanfaatan sumber daya ikan

berlebihan 1.496 3.400 76.798

11. Keterbatasan musim penangkapan 1.321 3.002 79.800 12. Penggunaan alat / bahan terlarang 1.148 2.610 82.409 13. Perilaku penangkapan 1.019 2.317 84.726

Berdasarkan hasil analisis seperti

yang tertera pada Tabel 33.1 di atas, tampak bahwa terdapat 13 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan buruh. Ke-13 faktor tersebut

dapat menjelaskan sebesar 84,726 persen terhadap keseluruhan faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan. Faktor yang memiliki nilai eigenvalue lebih tinggi

261

Page 272: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

berarti faktor-faktor tersebut sifatnya lebih dominan dibanding faktor lainnya.

Kemiskinan rumah tangga nelayan buruh merupakan masalah serius dan harus menjadi perhatian dan tanggungjawab semua pihak termasuk nelayan yang bersangkutan. Nelayan yang hidup di wilayah pesisir yang dalam kondisi tangkap kurang ini akan menghadapi tekanan sosial ekonomi yang lebih berat dibandingkan dengan nelayan yang hidup di wilayah perairan yang kondisi sumberdaya perikanannya masih potensial. Kemiskinan pada rumah tangga nelayan merupakan kemiskinan multidimensi yang disebabkan oleh banyak faktor.

1. Faktor manajemen/pemasaran hasil

penangkapan yang rendah

Faktor manajemen/pemasaran hasil penangkapan merupakan faktor paling dominan sebagai penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan Kota Kupang dengan daya menjelaskan sampai 20,759 persen. Persoalan manajemen hasil penangkapan ini utamanya terletak pada aspek manajemen pemasaran, kegiatan penangkapan dan bagi hasil. Dalam memasarkan hasil tangkapan ikan, nelayan Kota Kupang tidak langsung menjualnya ke konsumen tetapi fenomena yang terjadi adalah hasil tangkapannya dijual kepada pedagang perantara yang dikenal sebagai papalele dengan harga yang telah disepakati bersama sebelum melaut. Sistim penentuan harga ikan tangkapan demikian di sudah berlangsung lama bagi nelayan-nelayan Kota Kupang. Hal ini terutama disebabkan karena kesepakatan harga merupakan klausul utama bagi nelayan yang terikat kontrak dengan pedagang perantara karena utang. Akibatnya nelayan tidak memiliki kebebasan menjual hasil tangkapannya mengikuti harga pasar yang berlaku pada hari itu sehingga tangkapan ikan yang seharusnya dijual sendiri dan bisa memperoleh pendapatan yang lumayan terpaksa dijual dengan harga murah. Contohnya 1 ember besar yang kalau dijual seharga Rp.400.000, dihargai pedagang perantara Rp. 200.000. Nelayan Kupang dalam menjual hasil tangkapan

juga tidak biasa mengunakan satuan berat tetapi menggunakan satuan volume yakni ember besar ukuran 30 liter. Bengen (2001) megemukakan bahwa pasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi salah satu kendala utama bila pasar tidak berkembang. Untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan nelayan maka upaya yang dilakukan adalah mendekatkan masyarakat dengan pasar. Keuntungan dari hubungan ini yaitu nelayan mendapat jaminan pasar dan harga, pembinaan terhadap nelayan terutama dalam hal kualitas barang bisa dilaksanakan serta seringkali mendapat juga bantuan modal bagi pengembangan usaha usaha yang dihasilkan.

2. Faktor Program yang belum

sepenuhnya berpihak pada nelayan

Faktor dominan kedua yang menyebabkan kemiskinan rumah tangga nelayan di Kota Kupang adalah program pembangunan perikanan yang belum sepenuhnya berpihak pada nelayan yakni sebesar 12,212%. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk program yang diaplikasikan pada masyarakat nelayan di Kota Kupang dianggap belum menguntungkan dan belum mendorong eksploitasi optimal atas sumber daya perikanan yang ada. Selama ini program pemerintah yang sudah dilaksanakan seperti pembelian perahu secara kredit ringan, bantuan coolbox, dan bantuan modal tunai dari Dinas Perikanan Kota Kupang tidak bermanfaat langsung bagi nelayan buruh karena bantuan-bantuan tersebut lebih ditujukan kepada pemilik perahu sehingga kehidupan nelayan tetap tidak mengalami kemajuan (miskin). Hasil komunikasi langsung dengan nelayan di Kota Kupang menjelaskan bahwa bantuan modal yang pernah diberikan pemerintah setempat tidak tepat sasaran karena penerimanya bukan nelayan miskin. Selain itu birokarasi yang berbelit-belit juga mengurangi kesempatan bagi nelayan miskin untuk memperoleh bantuan dari pemerintah. Beberapa program pemerintah dalam bentuk pelatihan dan program pemberdayaan masayarakat juga belum banyak

262

Page 273: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

membantu nelayan miskin karena metode pelaksanaan yang kurang tepat.

3. Faktor perilaku boros

Faktor dominan ketiga penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan di Kota Kupang adalah perilaku boros yakni sebesar 8,859%. Kehidupan nelayan Kota Kupang sehari-hari sangat bergantung dari hasil melaut atau dengan kata lain penghasilan utamanya hanya dari melaut. Kehidupan rumah tangga nelayan yang cenderung boros dalam membelanjakan pendapatan yang diperoleh. Senada dengan apa yang disampaikan Kusdiantoro (2005) bahwa salah satu kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi kemiskinan nelayan adalah perlunya perubahan perilaku masyarakat nelayan itu sendiri. Perubahan perilaku ini diharapkan dapat mengubah pola kehidupan nelayan yang konsumtif menjadi terencana dan teratur. Pendapat tentang nelayan sebagai masyarakat yang cenderung boros ini juga telah disampaikan oleh banyak pihak.

4. Faktor Pandangan Hidup yang

Berorientasi Akhirat Saja

Faktor dominan keempat penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah berhubungan dengan pandangan hidup. Rumah tangga nelayan Kota Kupang berpandangan bahwa menjalani hidup dengan melaut sudah merupakan rezeki yang diberikan Tuhan, apapun pekerjaan yang dilakukan yang penting halal, berapapun hasil yang diperoleh dari melaut adalah kehendak Yang maha Kuasa, yang penting bisa makan setiap hari walaupun hanya dengan sambal atau ikan asin. Jadi rumah tangga nelayan berpikir bahwa pekerjaan melaut yang mereka geluti selama ini merupakan anugerah dari Tuhan, jadi jalani saja dengan santai tanpa berpikir jauh bahwa sesungguhnya di luar sana masih banyak pekerjaan yang bisa membawa mereka ke kehidupan lebih baik. Senada dengan Tain (2010) bahwa faktor pandangan hidup yang ada pada rumah tangga nelayan adalah suatu pandangan yang lebih berorientasi pada kehidupan akhirat

nanti, menikmati kehidupan yang ada sekarang tidak perlu memikirkan jauh ke depan.

5. Faktor Terikat Utang

Faktor dominan kelima penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah terikat utang. Nelayan buruh Kota Kupang kadang mengeluh dalam hati dikarenakan hasil tangkapan ikan selalu dihargai murah oleh pedagang perantara, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak karena terikat utang. Padahal kalau menurut pengamatan peneliti, jika nelayan buruh bisa menjual hasil tangkapan ikan secara langsung tanpa perantara, pendapatan yang diperoleh bisa menghidupi keluarganya dengan layak. Misalnya nelayan mendapat 1 ember oker besar yang bisa dijual seharga Rp 400.000,- dibeli pedagang perantara seharga Rp 200.000,-. Fenomena ini menggambarkan nelayan Kota Kupang memperoleh pendapatan yang tidak sesuai dengan jerih payahnya selama melaut. Pedagang perantara yang menikmati keuntungan, nelayan buruh yang bersusah payah menangkap ikan. Utang yang diberikan kepada nelayan dijadikan senjata bagi pedagang perantara setiap saat untuk membeli hasil tangkapan ikan mereka dengan harga yang murah. Senada dengan Tain (2010) bahwa akibat dari pendapatan yang rendah dan tidak menentu, kehidupan nelayan tidak lepas dari persoalan utang. Utang yang diberikan pedagang ke nelayan, membuat nelayan tersebut terikat harus menjual hasil tangkapannya ke pedagang yang bersangkutan. Kehidupan rumah tangga nelayan yang terlilit utang juga dikemukakan Kusnadi (2002) dari penuturan seorang nelayan, bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari agar bisa bertahan hidup mendorong mereka untuk berutang kepada siapa saja. Kadang kalau terpaksa mereka berutang kepada rentenir. Jika memperoleh penghasilan yang paling besar sekalipun, tidak akan pernah mencukupi untuk melunasi utang-utang tersebut sampai kapan pun juga.

263

Page 274: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

6. Faktor Terkait Kompetisi untuk Mengungguli Nelayan Lain

Faktor dominan keenam penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah kompetisi untuk menggungguli nelayan lain. Hasil tangkapan ikan semakin hari dirasakan nelayan Kota Kupang semakin menurun sehingga pendapatan yang diperoleh juga rendah. Biasanya lama melaut lebih dari 12 jam hasil tangkapan ikan sudah lumayan, tetapi kondisi tersebut sudah jarang terjadi bahkan kadang tidak membawa hasil sama sekali. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya sumber daya ikan yang ada. Berkurangnya sumber daya ikan mendorong nelayan untuk berkompetisi. Nelayan yang memiliki cukup modal berusaha memiliki alat tangkap yang lebih baik dari nelayan lain. Senada dengan Tain (2010) bahwa, dari waktu ke waktu dirasakan pendapatan yang diperoleh semakin menurun. Semakin menurunnya pendapatan dari hasil melaut ini, dirasakan adanya kompetisi/persaingan antar nelayan dalam upaya memperoleh hasil tangkapan. Nelayan yang memiliki cukup modal berusaha memiliki alat tangkap yang lebih baik dari nelayan lainnya. Sehubungan dengan ini Kusnadi (2003) mengemukakan bahwa kelangkaan sumberdaya perikanan telah mendorong terjadinya kompetisi antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan yang ada. Faktor lain yang ikut menyumbang terhadap peningkatan kompetisi adalah kemiskinan dan keterbatasan sosial ekonomi yang tidak pernah redup dalam kehidupan nelayan.

7. Faktor Keterbatasan Sumberdaya

Faktor dominan ketujuh penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah keterbatasan sumberdaya. Keterbatasan sumberdaya ini adalah menyangkut sumber daya manusia dan sumber daya modal. Kenyataan yang ada sebagian besar nelayan Kota Kupang hanyalah tamatan SD. Mereka hanya mengetahui masalah sekitar melaut saja, padahal di sekelilingnya banyak terdapat pekerjaan alternatif yang bisa dilakukan oleh rumah tangga nelayan, seperti hasil tangkapan

ikan dijemur dijadikan ikan asin yang kalau dijual, hasilnya lebih menguntungkan dibanding menjual hasil tangkapan dalam bentuk segar. Selain itu anggota rumah tangga buruh dalam hal ini isteri bisa membantu suaminya dengan membuka kios yang dijamin ada pembelinya karena pesisir pantai di Kota Kupang ini setiap harinya adalah pasar yang selalu ramai pengunjungnya, mulai dari jam 6 pagi sampai jam 11 siang. Senada dengan Tain (2010), keterbatasan sumber daya ini menyangkut sumberdaya manusia nelayan itu sendiri atau tidak memadai untuk mampu melakukan usaha penangkapan ataupun usaha lain yang lebih menguntungkan.

Program diversifikasi usaha tidak mudah dilaksanakan disebabkan keterbatasan modal rumah tangga nelayan, bahkan sebagian dari mereka sama sekali tidak punya.

8. Faktor Ketergantungan Hidup

Dengan melaut

Faktor dominan kedelapan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah ketergantungan hidup dengan melaut. Nelayan Kota Kupang berpikir kalau dengan melaut selalu mendapat hasil, yang terpenting adalah bisa makan setiap hari, meski hanya dengan lauk-pauk yang sangat sederhana (ikan hasil tangkapan sendiri), tidak banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran. Bagi mereka dengan melaut seperti berekreasi setiap saat. Bukan itu saja tetapi karena turun temurun dari orang tua yang pekerjaannya sebagai nelayan dan sudah terbiasa dengan lingkungan laut sejak kecil. Sesungguhnya di luar sana bahkan di lingkungan laut Kota Kupang terdapat banyak pekerjaan alternatif yang dapat dilakukan oleh rumah tangga nelayan Kota Kupang yang bisa meningkatkat pendapatan. Akan tetapi ketergantungan yang tinggi dari melaut sehingga sebagian dari mereka tidak mau tau atau bersikap masa bodoh terhadap keadaan lingkungan sekitar. Dampaknya kehidupan mereka begitu-begitu saja tidak ada perubahan yang bisa membawa nelayan ke kehidupan yang lebih baik dan tetap saja terbelenggu oleh kemiskinan.

264

Page 275: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

9. Faktor Terkait Ketidaksesuaian Alat Tangkap

Faktor dominan kesembilan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah ketidaksesuaian alat tangkap. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan responden bahwa sebagian besar nelayan Kota Kupang tidak memiliki aneka alat tangkap. Mereka menggunakan alat tangkap bagan karena dirasakan murah harganya (Rp.150.000/pis) dengan umur ekonomisnya satu tahun maka sepanjang tahun tetap menggunakan alat tangkap tersebut. Dengan bergantinya musim yang ada dimana jenis ikan yang banyak muncul berganti, para nelayan tidak mampu menyesuaikan alat tangkap yang seharusnya digunakan sesuai musim. Penggunaan alat tangkap yang beraneka ragam juga membutuhkan ketrampilan khusus. Sebenarnya mereka ingin mempunyai berbagai jenis alat tangkap tetapi keterbatasan modal dan juga ketrampilan yang membuat mereka tetap bertahan menggunakan alat tangkap bagan. Jadi setiap harinya hanya menangkap dengan alat tangkap yang mereka miliki. Kusnadi (2002) mengemukakan bahwa nelayan tidak dapat melakukan diversifikasi dalam penangkapan ikan karena hal ini membutuhkan keahlian tertentu yang diperoleh melalui proses yang panjang dan modal yang cukup besar. Misalnya seorang nelayan pukat sedang tidak musim ikan cakalang, kombong dan layang, ia tidak akan mudah mengalihkan pekerjaannya untuk menjadi nelayan udang, Baik cara penangkapan maupun alat tangkap yang digunakan untuk menangkap jenis ikan yang berbeda itu tidak sama. Hal tersebut membutuhkan proses belajar yang lama dan keahlian tertentu. Oleh karena itu, diversifikasi usaha penangkapan ikan (kenelayanan) sangat sulit dilakukan dan beresiko tinggi.

10. Pemanfatan Sumber Daya Ikan

Berlebihan

Faktor dominan kesepuluh penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah pemanfatan sumber daya ikan berlebihan. Pemanfaatan sumber daya ikan

berlebihan di perairan Kota Kupang dikarenakan ada sebagian nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak selektif. Alat tangkap ini kadang dengan sadar atau tidak sadar dilakukan karena dirasakan hasil tangkapan ikan semakin hari semakin sedikit. Para nelayan Kota Kupang berpikir dengan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif, hasil tangkapannya lebih banyak dan ikan tetap selalu ada, pendapatan yang diperolehnya juga banyak. Para nelayan ini tidak mengetahui bahwa dengan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif seperti ukuran mesh size yang kecil akan menyebabkan semakin langkanya sumber daya ikan yang ada, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang penangkapan ikan. Pendapatan yang diperoleh pada saat itu memang memberikan hasil yang banyak pada saat itu, akan tetapi dampak selanjutnya hasil yang diperoleh semakin hari semakin sedikit bahkan kadang tidak mendapatkan apa-apa akibat semakin berkurangnya sumber daya ikan, sehingga kebutuhan rumah tangga mereka tidak dapat terpenuhi setiap saat.

11. Faktor Terkait Keterbatasan Musim

penangkapan

Faktor dominan ke-11 penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah keterbatasan musim penangkapan. Kota Kupang mengalami musim penghujan dari bulan Nopember sampai April. Pada musim penghujan atau musim paceklik/musim barat dimana kondisi laut lebih banyak tidak bersahabat yaitu gelombang laut besar dan itu biasa terjadi pada bulan Desember sampai Maret, menyebabkan para nelayan buruh tidak berani melaut karena sangat beresiko tinggi, tidak ada/sedikit ikan. Tidak melautnya nelayan Kota Kupang, diisi dengan kegiatan memperbaiki perahu dan juga beristirahat. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi nelayan Kota Kupang karena tidak adanya pendapatan selama beberapa bulan, sehingga untuk menghidupi keluarganya, nelayan terpaksa berhutang kepada pemilik perahu, pedagang ataupun rentenir. Kalaupun ada rumah tangga nelayan yang

267

Page 276: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

masih bisa menghidupi keluarganya pada masa paceklik hanyalah dua persen, dimana isterinya turut membantu menghidupi keluarganya yaitu dengan bekerja sebagai sales kios yang gajinya Rp 500.000 per bulan, ada pula yang menjadi binatu dengan gaji per bulannya Rp 150.000. Utang akan dibayar bila kondisi alam membaik dan hasil tangkapan ikan melimpah. Prasyaratnya adalah nelayan harus menjual hasil tangkapannya pada pedagang pemberi pinjaman dengan harga yang ditentukan pedagang. Jika pada saat musim ikan ternyata nelayan tidak memperoleh hasil yang memuaskan, utang tidak mampu dilunasi dan menjadi menumpuk karena musim paceklik/musim barat berikutnya nelayan kembali mengutang. Pola hubungan nelayan-pedagang ini disebut sebagai hubungan patron-client (patronase). Pola hubungan ini bersifat tradisional yang dikembangkan masyarakat nelayan untuk mengantisipasi ketidakpastian pendapatan dan menjaga kelangsungan hidup. Pola hubungan ini mengakibatkan kemiskinan struktural nelayan menjadi lestari.

Kusnadi (2007) mengemukakan bahwa jaringan patron-client merupakan wadah dan sarana yang menyediakan sumberdaya jaminan sosial secara tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup nelayan. Kekuatan hubungan patron-client ini dapat dilihat pada pola relasi sosial antara: (1) nelayan pemilik dengan nelayan buruh, (2) nelayan pemilik dengan penyedia modal usaha (pedagang ikan/pedagang perantara atau pemilik usaha pengolahan hasil ikan), (3) nelayan (nelayan pemilik dan nelayan) dengan pemilik toko yang menyediakan kebutuhan hidup dan kebutuhan melaut. Jika hasil tangkapan nelayan diberikan dalam bentuk ikan, biasanya hubungan patron-client antara nelayan dan pedagang ikan juga intensif.

12. Faktor Penggunaan Alat/Bahan

terlarang

Faktor dominan ke-12 penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Sumber daya ikan di perairan

Kota Kupang sudah semakin sedikit. Kondisi ini dapat dilihat jenis hasil tangkapan ikan yang dijual di pasar Kota Kupang hanya beberapa jenisnya saja seperti cakalang, tongkol, kombong, teri, raja, cumi-cumi, udang. Jenis ikan-ikan ini tidak selalu ada setiap hari, dikarenakan kelangkaan sumber daya ikan. Kelangkaan sumber daya ini dikarenakan perilaku nelayan sendiri yang tidak bertanggungjawab seperti melakukan penangkapan terus menerus. Oleh sebab itu perlu kesadaran dari nelayan Kota Kupang dalam melakukan penangkapan ikan di laut. Senada dengan Tain (2010) mengemukakan bahwa, kelangkaan sumberdaya ikan yang ada juga dipicu oleh penggunaan alat/bahan-bahan terlarang yang merusak ekosistem laut. Dampaknya semakin langka sumber daya ikan yang ada sebagian nelayan untuk tetap mendapatkan hasil tangkapan memilih menggunakan bahan terlarang seperti bom ikan. Mereka tidak berpikir bahwa menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan justru mengancam keberlanjutan sumber mata pencaharian pada masa mendatang.

13. Faktor Perilaku penangkapan

Faktor dominan ke-13 penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah perilaku penangkapan. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa semakin langkanya sumber daya ikan, kompetisi antar nelayan untuk mendapatkan tangkapan ikan semakin meningkat. Salah satu bentuk perilaku penangkapan para nelayan Kota Kupang yaitu melaut lebih awal dari biasanya. Biasanya jam tiga sore baru pergi melaut diubah jadwal melautnya lebih awal agar bisa memperoleh hasil tangkapan di daerah tangkapan yang sudah diketahui terlebih dahulu dengan bertanya kepada nelayan lain dimana daerah yang banyak terdapat ikan. Kondisi ini menyebabkan para nelayan berusaha untuk saling mendahului daripada nelayan lain. Senada dengan Tain (2010) mengemukakan sebagaimana telah diutarakan dengan semakin langkanya sumberdaya ikan yang ada, kompetisi antar nelayan untuk bisa mendapatkan hasil tangkapan semakin

268

Page 277: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

meningkat. Salah satu bentuk yang ada adalah perilaku penangkapan untuk berusaha melaut lebih awal dibanding dengan nelayan lain. Mengingat laut sebagai sumberdaya milik bersama, semua dapat memanfaatkan, maka perilaku untuk bisa mendahului nelayan lain adalah sesuatu yang lumrah. Apalagi di antara nelayan telah berkembang kebiasaan jika ada yang mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, nelayan lain bertanya di mana tempat mendapat ikan yang banyak tersebut.

Perilaku penangkapan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Gordon (1986) bahwa, dalam perikanan laut sumberdaya alam bukanlah milik perorangan, dengan demikian bunga yang dihasilkannya tidak seorang pun dapat menguasainya sendiri. Setiap nelayan bebas untuk menangkap ikan di mana tempat yang disukainya. Dampaknya adalah suatu pola persaingan di antara para nelayan yang mencapai puncaknya dalam menghabiskan bunga-bunga daerah perikanan intramarginal. Besar kemungkinan beberapa daerah penangkapan akan dieksploitasi pada tingkat produktivitas marginal yang negatif. Apa yang terjadi adalah bahwa bunga yang dapat dihasilkan oleh daerah intramarginal, terbagi habis karena kesalahan alokasi upaya penangkapan. Inilah sebabnya nelayan tetap miskin, walaupun sesungguhnya sumber daya perikanan laut merupakan terkaya.

Dari 13 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan dapatlah diketahui bahwa pada hakikatnya yang membelenggu rumah tangga nelayan tersebut adalah kemiskinan yang menyangkut multidimensi. Diperlukan penanganan yang terintegrasi untuk bisa membawa rumah tangga nelayan keluar dari belenggu kemiskinan.

3.4 Upaya Rumah Tangga Nelayan

Kota Kupang Dalam Mengatasi Kemiskinan

Penanggulangan soal kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu sama lain, sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab

kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Oleh sebab itu, identifikasi secara komprehensif terhadap faktor yang menyebabkan timbulnya masalah kemiskinan di kalangan nelayan sangat penting dilakukan. Hasil identifikasi ini akan bermanfaat untuk menetapkan langkah dalam menyusun jalan keluar dari belenggu kemiskinan. Berbagai program pemberdayaan nelayan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan menata secara bertahap dan runtut atas berbagai faktor yang menjadi penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan bersifat multidimensional yang menyangkut kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural yang dikuatkan oleh perilaku penangkapan akibat laut sebagai sumberdaya milik bersama. Terdapat tiga belas faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan yaitu: (1) manajemen/pemasaran hasil penangkapan yang rendah, (2) program yang belum sepenuhnya berpihak pada nelayan buruh, (3) perilaku boros, (4) pandangan hidup yang berorientasi akhirat saja, (5) terikat utang, (6) kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, (7) keterbatasan sumberdaya, (8) ketergantungan hidup dengan melaut, (9) ketidaksesuaian alat tangkap, (10) pemanfaatan sumber daya ikan berlebihan, (11) keterbatasan musim penangkapan, (12) penggunaan alat/bahan terlarang dan (13) perilaku penangkapan. Dari hasil analisis atas keterkaitan antar faktor menunjukkan bahwa faktor manajemen merupakan kunci utama perbaikan untuk keluar dari kemiskinan yang membelenggu kehidupan rumah tangga nelayan Kota Kupang.

Berdasarkan hasil analisis terdapat 13 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan Kota Kupang maka diperlukan upaya dari rumah tangga nelayan untuk mengatasi kemiskinan yakni: a) Memasarkan langsung hasil

tangkapan ikannya ke konsumen atau menjual ke TPI yang ada di salah satu pasar Kota Kupang agar penghasilan yang diperoleh sesuai dengan jerih

269

Page 278: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

payah selama melaut dan tidak selalu terikat utang dengan pedagang perantara.

b) Menindaklanjuti program pemerintah yang berhubungan dengan produk tangkapan ikan yaitu melakukan pengembangan diversifikasi vertikal atas produk tangkapan ikan agar nilai jual lebih tinggi.

c) Menyisihkan sebagian uang untuk ditabung pada saat memperoleh pendapatan yang cukup besar dari hari-hari biasa, atau dengan cara membuat arisan sesama nelayan, sehingga pada saat tidak mendapatkan hasil seperti musim barat/paceklik tiba atau bila ada keperluan mendesak nelayan tidak perlu berhutang.

d) Menciptaan sumber pendapatan alternatif yang bisa dilakukan oleh rumah tangga nelayan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan dari hasil melaut yang tidak menentu hasilnya.

e) Pengembangan alat tangkap yang ramah lingkungan sesuai musim ikan, sehingga menjamin keberlanjutan sumber daya ikan. Upaya-upaya tersebut perlu ditempuh

oleh rumah tangga nelayan Kota Kupang agar rumah tangga nelayan yang selama ini terkungkung oleh kemiskinan dapat keluar dari kemiskinannya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis kemiskinan rumah tangga nelayan buruh di Kota Kupang, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada tiga belas faktor dominan

penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan yakni: (1) Manajemen dan hasil penangkapan yang kurang memadai, (2) Program yang belum sepenuhnya berpihak pada nelayan, (3) Perilaku boros, (4) Pandangan hidup yang berorientasi akhirat saja, (5) Terikat utang, (6) Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, (7) Keterbatasan sumberdaya, (8) Ketergantungan hidup

dengan melaut, (9) Ketidaksesuaian alat tangkap, (10) Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebihan, (11) Keterbatasan musim penangkapan, (12) Penggunaan alat/bahan terlarang dan (13) Perilaku penangkapan. Dari hasil analisis atas keterkaitan antar faktor menunjukkan bahwa faktor manajemen merupakan kunci utama perbaikan untuk keluar dari kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan di Kota Kupang.

2. Kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan bersifat multidimensional yang menyangkut kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural yang dikuatkan oleh perilaku penangkapan akibat laut sebagai sumberdaya milik bersama. Kemiskinan struktural diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kekuatan-kekuatan di luar rumah tangga nelayan menjadikan mereka terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Jadi persoalannya adalah ketidakmerataan akses pada sumberdaya karena struktur sosial yang ada. Kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan. Kemiskinan ini tidak lepas dari tata nilai yang dianut rumah tangga nelayan yang bersangkutan dalam menjalani hidup.

4.2 Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah: 1. Pemerintah dalam melihat

permasalahan kemiskinan rumah tangga nelayan di Kota Kupang harus memperhatikan perspektif aspek aktor/pelaku kemiskinan dalam mengatasi kemiskinan.

2. Bagi Pemerintah dapat dijadikan bahan rujukan sebagai penyempurnaan

270

Page 279: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

kebijakan lanjutan di wilayah tersebut dan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan sejenis di wilayah lain.

3. Akademisi, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan kemiskinan nelayan.

4. Sebagai bahan pustaka menyangkut analisis kemiskinan rumah tangga nelayan di Kota Kupang.

DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyid, Harun. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala, Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Anonimous, 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Jakarta.

Danim, 2000. Metode Penelitian Untuk Ilmu-Ilmu Perilaku, Bumi Aksara. Jakarta.

Ensiklopedia Indonesia. 1990. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Longman.

Forum Akademik-Sosiologi Indonesia, (2011). Perilaku Masyarakat Miskin Dan Alternatif Model Pengentasan di Kota Bengkulu. Bengkulu.

Keban, 1995. Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, Prisma, Yogyakarta.

Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan, Yogyakarta: LKIS.

___. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan, Bantul: Pondok Edukasi & Pokja Pembaruan.

Kusumastanto, T. 2002. “Reposisi Ocean Policy” Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Malhotra, Naresh K. 1993. Marketing Research. New Jersey. USA : Printice. Hall Inc.

Margono, 2000. Metodologi Penelitian. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan, Persada.

Panjaitan, Marphin. 2000. Memberdayakan Kaum Miskin, Jakarta. Gunung Mulia.

Remi, S.S dan Prijono T. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di

Indonesia: Suatu Analisis Awal. Jakarta. PT Rineka Cipta.

Sayogyo, 1987. Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa Prisma No. 3, Jakarta.

Sayuti , R. H., Achmad, E., dan S. Hilyana (2006). Potret Nelayan Miskin dan Persepsi Mereka Tentang Kemiskinan di Lombok Bagian Barat. Jurnal Mitra Bahari Vol.1.No.2, April – Juli 2007.

Sharp, Ansel M., Charles A. Register, dan Paul W. Cerimes. 1996. Economics of Social Issues, Chicago, Richard D. Irwin.

Singarimbun, M. and Effendi, Sofyan. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.

Situmorang Chazali, 2004. Penanganan Masalah Kemiskinan di Sumatera Utara. Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta.

Sudarso, 2008. Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisional di Perkotaan. Jurnal Ekonomi. FISIP. Universitas Airlangga Surabaya.

Sudrajad, Iwan. 2008. Membangkit Kekuatan Ekonomi Nelayan. Jurnal Ekonomi UNDIP. Semarang. Jawa Tengah.

Sumardjan, Selo. 1997. Kemiskinan: Suatu Pandangan Sosiologi, Jurnal Sosiologi Indonesia, Jakarta: ISI Publisher.

Sumodiningrat, Gunawan, Budi Santoso, Muhamad Maiwan. 1999. Kemiskinan:Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: Impac.

Suparlan, Supardi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor.

Supradin. 2008. Kajian Kemiskinan Partisipatif Kota Kendari, Kota Bau-Bau, Kabupaten Konawe, Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Pembangunan.

Tain, Anas. 2010. Eradikasi Kemiskinan Nelayan. UNPAD Press. Bandung.

271

Page 280: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

POLITIK DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN MASA REFORMASI: FENOMENAL DAN PARADOKSAL

POLITICS AND FISHERY DEVELOPMENT POLICY ON REFORM ERA:

PHENOMENAL AND PARADOXAL

Edi Susilo1, Pudji Purwanti2, Erlinda Indrayani3, dan Candra Adi Intyas4

1,2,3,4)Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya Malang *[email protected]

ABSTRAK

Tujuan riset ini adalah: (1) menelusuri aspek-aspek politik dalam kebijakan pembangunan perikanan selama masa reformasi. (2) menganalisis kasus kebijakan dan reaksi kebijakan KKP yang paradoksal dan fenomenal. Metode penelitian yang digunakan adalah library research, content analysis, dan studi kasus. Library riset dilakukan dengan bingkai teori analisis kebijakan, content analysis difokuskan pada peristiwa Malamun Muncar tahun 1974, kasus pelarangan trawl dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 dan dalam kaitannya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen MKP) Nomor 1 dan 2 Tahun 2015. Studi kasus berkait dengan respon masyarakat terhadap implementasi Permen MKP tersebut. Hasil riset menyimpulkan bahwa: (1) aspek politik pada level nasional telah memberikan nuasa kebijakan pembangunan perikanan, dan mempengaruhi arah implementasi kebijakan di tingkat lokal. (2) Pelarangan alat tangkap trawl mulai 1980 masih menyisakan residu kebijakan, dan Permen MKP No 1 dan 2 Tahun 2015 adalah upaya membersihkan residu tersebut. (3) Kebijakan KKP terakhir adalah fenomenal, di satu sisi memperoleh penghargaan internasional dan di sisi lain memperoleh hujatan di tingkat nasional dan lokal. Kebijakan tersebut juga paradoksal, karena walaupun diarahkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam, untuk kesejahteraan nelayan tradisional, namun banyak keluhan yang muncul dari nelayan tradisional yang akan dilindungi oleh kebijakan tersebut, dan pihak lain yang dirugikan oleh kebijakan tersebut. Kata kunci: KKP, politik, kebijakan, kelestarian sumberdaya, nelayan tradisional

ABSTRACT The aims of this research are: (1) tracing the political aspects of fisheries development policy during the reform period. (2) analyzing policy cases and the MMA's paradoxical and phenomenal policy reaction. The research method used is library research, content analysis, and case study. The research library was conducted with the framework of policy analysis theory, content analysis focused on the events of Malamun Muncar in 1974, the case of trawling ban by Presidential Decree Number 39 on 1980 and in relation to the Minister of Maritime Affairs (MMA) and Fisheries Decree No. 1 and 2 on 2015. Study cases relate to the community's response to the implementation of the MMA Regulation. The results of the research conclude that: (1) political aspects at the national level have provided the nuasa of fisheries development policies, and influenced the direction of policy implementation at the local level. (2) Prohibition of trawling equipment from 1980 still leaves policy residue, and Permen MKP No 1 and 2 on 2015 is the effort to clean the residue. (3) The final MMA policy is phenomenal, on the one hand earning international accolades and on the other hand obtaining blasphemy at the national and local levels. The policy is also paradoxical, because although it is directed to preserve the natural

272

Page 281: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

resources, for the welfare of traditional fishermen, many complaints arise from traditional fishermen to be protected by the policy, and others who are harmed by the policy. Keywords: MMA, politics, policy, sustainability of resources, traditional fishermen

V. PENDAHULUAN

Konsep poros maritim menjadi terkenal saat ini, setelah Pemerintah mulai menyadari tentang aspek negatif bagi bangsa Indonesia, ketika tetap akan membelakangi laut. Fakta sejarah menunjukkan bahwa di bumi Nusantara kerajaan maritim Sriwijaya yang berlangsung pada abad ke 7 sampai abad 14. Banyak para saudagar yang telah berlayar sampai ke Cina dan Afrika Timur. Kerajaan Gowa-Taloo di Maluku, Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, adalah sebagai bukti bahwa kita pernah berjaya di lautan. Demikian pula sejarah mencatat bahwa pada abad ke 17, pelaut-pelaut Makasar dan Bugis mengarungi perairan nusantara dan bahkan sampai ke wilayah Filipina (Limbong, 2015). Bangsa ini juga telah berjaya dalam strategi maritim dalam perang laut Nusantara dan sebuah kenyataan menjadi poros maritime dunia (Setianegara, 2014).

Kemunduran negara maritim, antara lain disebabkan oleh dua hal. Pertama secara ekonomi nelayan Indonesia pada tahun 1850 sampai dengan tahun tahun 1940 cenderung semakin terdesak dan menuju ke pantai (Masyhuri, 1995). Hal ini terutama terjadi di pesisir Pantai Utara Jawa. Kedua, setelah kemerdekaan arah kebijakan pemerintah lebih menguatamakan pada pembangunan wilayah daratan, yang sebenarnya itu sudah dimulai sejak zaman kerajaan Mataram. Selain itu harus disadari bahwa negeri ini merupakan sebuah negara yang secara sosio-budaya berciri multicultural, dan secara sosial-ekonomi berciri multidimensi.

Kronologi pembangunan perikanan di Indonesia dapat pula diidentikasi mengalami sebuah perkembangan, di

mana ada kecenderungan untuk menjadikan dimemsi ekonomi sebagai panglima. Secara visual kronologi pembangunan perikanan dapat dilihat pada Gambar 34.1. Ketika dimensi ekonomi menjadi “panglima” dalam pembangunan perikanan, maka mengancam kepada keberlanjutan ekologi yang menjadi dasar pembangunan berkelanjutan, yang pada akhirnya tidak tercapai kesejahteraan sosial (Dally, 2010). Oleh karena itu menjadi wajar jika terjadi sebuah Ironi negeri sejuta nyiur hijau di pantai, di mana nelayan yang sebagian besar menghuni pesisir di Indonesia yang kaya sumberdaya alam pesisir dan laut, hidup dalam kemiskinan (Abdulrakhim, 2015). Kritik pada pembangunan perikanan disampaikan oleh Susilo dan Purwanti (2017), bahwa selama ini pembangunan perikanan telah mengabaikan etika subsistensi nelayan, yang ternyata berbeda dengan etika subsisteni masyarakat petani. Walaupun demikian sikap optimis tentang bagaimana mewujudkan poros maritime dunia hadir dari Universitas Hasanuddin (Burhanuddin, 2015). Dengan demikian menjadi wajar bahwa kebijakan pembangunan perikanan saat ini dikatakan sebagai fenomenal dan paradoksal.

Analisis ini bertujuan sebagai berikut: (1) Menelusuri aspek-aspek politik dalam kebijakan pembangunan perikanan selama masa reformasi, dan (2) Menganalisis kasus kebijakan dan reaksi kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikaan yang fenomenal dan paradoksal, yang mana dapat ditampilkan melalui Gambar 34.1 berikut ini.

273

Page 282: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Kronologis Pembangunan Perikanan

4

1970

Motorisasi (ada kasus

Keppres 39/80)Kelembagaan

(KUD/TPI

INTAM Agribisnis

Protekan

2003

Holistik 4

dimensi

RPPK

1980 1985 1990

2010

Minapolitan

2000 20051998

Cool Chain

System

2012

Industrialisasi

Perikanan

1850 1940 1945??????????????

Gerbang Mina

Bahari

2015

??????

Gambar 34.1. Kronologi Pembangunan Perikanan di Indonesia (disempurnakan dari Susilo dan Purwanti, 2010; dijelaskan secara rinci dalam Susilo et al, 2017, dan Susilo dan Purwanti, 2017).

VI. METODE PENELITIAN.

Penelitian ini menggunakan beberapa metode, yaitu; (1) library research, yang dilakukan dengan bingkai teori analisis kebijakan, (2) content analysis difokuskan pada peristiwa: (a) Malamun 1974 di Muncar di Selat bali, (b) kasus trawl (39 Tahun 1980); (c) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 1 dan 2 Tahun 2015, dan (d) studi kasus berkait dengan respon masyarakat terhadap implementasi Permen MKP tersebut.

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini secara rinci akan disampaikan beberapa hal penting, sebagimana akan diulas berdasarkan poin-poin tertentu atau sub-bab sebagai berikut ini:

1) Kasus Terkait Malapetaka Muncar (Malamun) Tahun 1974 di Muncar.

Disampaikan oleh Emmerson (1980), bahwa di Jawa Timur sekitar pertengahan tahun 1980 diintroduksikan sebuah alat tangkap baru yaitu purse seine (slerek) yang akan menggantikan alat tangkap paying yang selama ini digunakan oleh nelayan Muncar dalam melakukan penangkapan ikan di Selat Bali. Dalam peristiwa konflik tersebut mengarah kepada penghilangan nyawa seseorang. Kemudian Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Propinsi Bali menyusun sebuah Surat Keputusan Bersama. Pertama, tahun 1997 yang memperbolehkan jumlah purse seine yang dioperasikan di Selat Bali berjumlah 100 unit. Nelayan Jawa Timur dan Nelayan Bali memperoleh quota alat tangkap yang sama, yaitu masing-masing 50 unit alat tangkap purse seine. Kedua, berdasarkan analisis sumberdaya di Selat Bali, tahun

274

Page 283: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

1985 jumlah quota alat tangkap purse seine di Selat Bali sejumlah 273 unit, dengan pembagian nelayan Jawa Timur 190 unit dan nelayan Bali 83 unit.

Temuan Kusumah et al (2015) memberikan informasi bahwa salah satu penyebab konflik nelayan di Muncar adalah berkaitan dengan etika subsistensi. Arah kebijakan pembangunan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Bali telah melanggar etika subsistensi nelayan. Sebagaimana disampaikan oleh Scott (1985), bahwa di dalam masyarakat pertanian, maka buruh sebagai client dapat menuntut hak atas subsistensi kepada pemilik tanah sebagai patron, sementara itu Susilo (1986) menyatakan bahwa nelayan tidak dapat menuntut hak atas subsistensi kepada patron mereka, melainkan harus menuntut haknya kepada alam. Artinya Pemerintah dan Masyarakat harus memberikan jaminan sosial sumberdaya kepada masyarakat.

2) Kasus Trawl di Indonesia dan

Permen KKP Nomor 1 dan 2 Tahun 2015 Kasus yang menyita banyak perhatian

adalah pengoperasian alat tangkap trawl (pukat harimau) di Indonesia yang digunakan oleh nelayan sejak tahun 1970-an. Secara umum penggunaan trawl telah menimbulkan masalah dalam skala nasional. Pertama adalah terjadinya kerusakan sumberdaya alam akibat cara pengoperasian alat dan hasil sampingan yang tidak dimanfaatkan/dibuang. Kedua menjadi sumber konflik antar nelayan, dan eskalasi konflik sampai pada skala nasional. Kemudian secara bertahap alat tangkap trawl dilarang digunakan di Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 1980.

Nelayan Indonesia, terutama yang berada di Pantai Utara Jawa melakukan modifikasi alat tangkap tersebut, dan diberi nama lokal sebagai “bondhet”. Di satu sisi nelayan juga memodifikasi alat tangkap dogol (Danish Seine) dengan menambahkan gardan, yang secara teknis kemudian alat tangkap ini mirip dengan pengoperasian alat tangkap trawl. Konflik

nelayan pasca pelarangan trawl juga masih terjadi, baik antara nelayan tradisional dengan pengganti trawl, yaitu purse seine (Kinseng, 2014), maupun alat tangkap trawl dengan nelayan bukan trawl (Mangunsong et al, 2017).

Konflik nelayan menjadi semakin marak, ketika kemudian KKP berusaha membersihkan residu kebijakan pasca pelarangan trawl. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 dan 2 Tahun 2015 itu dapat dianggap sebagai pembersih residu kebijakan, artinya ingin menuntaskan efek negatif bagi penggunaan alat tangkap yang mengancam pada kelestarian sumberdaya perikanan. Keppres Nomor 39 Tahun 1980 di dalam implementasinya masih menyisakan permasalahan sampai dengan tahun 2015. Adanya pihak pro dan kontra terhadap Kepmen tersebut dan juga terhadap pernyataan perang terhadap IIIegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing) dapat dianggap fenomenal dan paradoksal.

Kebijakan tersebut saya sebut sebagai sesuatu yang fenomenal, karena di satu sisi : dikecam di satu sisi baik oleh nelayan asing maupun nelayan Indonesia, tetapi mendapat penghargaan internasional. Pertama, KKP mendapat penghargaan Leaders for a Living Planet Awards dari World Wildlife Fund (WWF) di WWF Building, Washington DC, Amerika pada Jum’at siang pasa tanggal 16 September 2016. Kedua, menerima penghargaan maritim tertinggi dunia yakni Peter Benchley Ocean Awards atas visi dan kebijakan pembangunan ekonomi dan konservasi laut di Indonesia pada Kamis malam, pada tanggal 11 Mei 2017, di Smithsonian, Washington DC.

Kebijakan tersebut disebut sebagai kebjakan yang paradoksal. Demonstrasi terhadap Kebijakan KKP belum pernah berhenti, mulai tahun 2015 ketika peraturan itu diimplementasikan, sampai saat ini, misal yang terjadi di Jawa Timur (Surya, 8 Januari 2018). Berbagai kecaman juga dilakukan oleh pemerhati sektor perikanan, maupun dalam pertemuan resmi bidang perikanan. Kebijakan tersebut sebetulnya dilakukan untuk menjaga kelangsungan sumberdaya, agar para nelayan

275

Page 284: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

pada generasi berikutnya masih menikmati sumnberdaya tersebut secara berkelanjutan. Kebiajakan yang paradoksal itu berarti bahwa kebijakan yang kelihatannya salah itu sebetulnya mengandung banyak kebenaran.

3) Kasus implementasi Permen KP

(Lubis et al, 2017)

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Benur Lobster, Kepiting dan

Rajungan, dalam salah satu pasalnya berbunyi sebagai berikut.

“Penangkapan Lobster (Panulirus sp), Kepiting (Scylla sp), dan Rajungan (Portunus pelagicus sp) dapat dilakukan dengan ukuran: (a) Lobster (Panulirus sp) dengan ukuran panjang karapas >8 cm (di atas delapan sentimeter)”. (Pasal 3 ayat-1)

Studi yang dilakukan oleh Lubis et al, 2017 mencatat sebuah peristiwa pelanggaran yang terjadi, seperti yang disampaikan pada Tabel 34.1. berikut.

Tabel 34.1. Contoh Pelanggaran Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 1/2015.

No Tanggal Jumlah Pelaku

Barang Bukti Nilai

1 3 Februari

2017 3 Orang

• 251 ekor benur lobster Mutiara

• Uang tunai Rp. 48.600.000 • Sepeda motor dan mobil pick

up

Rp. 12.550.000

2 4 Februari

2017 4 Orang

• 1.675 ekor benur lobster mutiara

• 1 tabung oksigen • Sepeda motor dan mobil mini

bus

Rp. 83.750.000

Total 7 Orang 1.926 ekor benur lobster Rp. 96.300.000

Ancaman atau sanksi terhadap

pelanggaran tersebut, jika merujuk pada Undang-Undang Perikanan No 45 Tahun 2009, pada pasal 88 adalah dipenjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 1,5 Miliar rupiah.

Beberapa faktor yang mendorong nelayan melakukan pelanggaran peraturan tersebut antara lain sebagai berikut. (1) Benur lobster berharga tinggi, yaitu Rp. 10.000/ ekor untuk jenis lobster Pasir, dan Rp. 30.000/ ekor untuk jenis lobster Mutiara. (2) Permintaan lobster yang tinggi dan stabil dari Singapore, Vietnam, Thailand dan Filipina. (3) Musim paceklik ikan pada terjadi pada bulan Desember sampai Maret setiap tahunnya. (4) Ketersediaan sumberdaya cukup memadai, di mana rata-rata hasil tangkapan nelayan berjumlah antara 100-200 ekor/hari.

Pemerintah Daerah Kabupaten Malang berusaha memutus rantai penangkapan lobster pada tingkat pedagang, bukan di tingkat nelayan. Dinas

Perikanan Kabupaten Malang melaksanakan sosioalisasi Peraturan Menteri, bekerjasama dengan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dalam pelaporan pelanggaran, juga melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian. Pihak Kepolisian melakukan penyadaran kepada masyarakat pesisir, melaksakan patroli dan melakukan penegakan hukum. Sementara pihak pengelola wisata pantai hanya melakukan pemberitahuan dan menasehati nelayan untuk tidak melanggar peraturan tersebut.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

4.3 Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: 1. Situasi politik pada level nasional

mampu mempengaruhi arah kebijakan pembangunan perikanan, dan dapat berpengaruh pula pada implementasi di tingkat lokal.

276

Page 285: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

2. Pelarangan alat tangkap trawl dengan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 menyisakan residu kebijakan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 dan 2 tahun 2015, adalah sebuah upayan membersihkan residu kebijakan tersebut.

3. Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut dapat dinilai sebagai sebuah kebijakan yang fenomenal, memperoleh penghargaan internasional di satu sisi, dan di sisi lain memperoleh hujatan pada tingkat nasional dan lokal.

4. Kebijakan Kementerian Kelautan Perikanan tersebut dapat juga dinilai sebagai sebuah kebijakan yang paradoksal, di mana kebijakan yang diarahkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam, untuk kesejahteraan nelayan tradisional, namun banyak keluhan muncul dari nelayan tradisi yang akan dilindungi oleh kebijakan tersebut.

4.2 Saran

Saran yang dapat disampaikan dalam riset ini dibagi menjadi dua, yaitu pada tataran riset dan kebijakan. Saran riset yang diberikan adalah: (a) implementasi kebijakan spesifik lokasi, dan (b) respon kebijakan pada level lokal. Sedangkan rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan adalah: (a) mengawal implementasi kebijakan sampai ke tingkat lokal, dan (b) menyiapkan pengganti peluang usaha/bekerja pada ekses kebijakan yang akan diimplementasikan.

DAFTAR PUSTAKA Abdulrakhim, A. (eds). 2015. Ironi Negeri

Sejuta Nyiur Hijau di Pantai: Pemberdayaan Nelayan & Pembangunan Maritim di Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Burhanuddin, A.I., 2015. Mewujudkan Poros Maritim Dunia. Deeppublish. Yogyakarta.

Dally, H.E., 2010). Sustainable Development: From Concept and Theory to Operational Principle. Population Council, 16:25-43.

Emerson, Donald K. 1980. Rethingking Artisanal Fisheries Development: Western Concept, Asian Experiences. World Bank Staff Working Paper.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl.

Kinseng, Rilus.A., 2014. Konflik Nelayan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Kusumah, Maulana Surya, Kliwon Hidayat, Keppi Sukesi dan Edi Susilo. 2015. Perjuangan Atas Laut (Studi tentang konstruksi relasi nelayan, pelembagaan nilai konflik dan resiliensi sosial-ekologis nelayan Muncar Banyuwangi). Disertasi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. tidak diterbitkan.

Limbong, Bernhard. 2015. Poros Maritim. Margaretha Pustaka. Jakarta.

Lubis, Hilman Afai, Erlinda Indrayani, Edi Susilo. 2017. Pengaruh Permen Kp Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penangkapan Lobster (Panulirus Sp), Kepiting (Scylla Sp) dan Rajungan (Portunus Pelagicus Sp) Terhadap Aktivitas Penangkapan Benur Lobster Ilegal Di Pantai Ungapan, Kabupaten Malang. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.Tidak diterbitkan.

Mangunsong, Khoirul Umam, Edi Susilo, Erlinda Indrayani. 2017. Analisis Konflik dan Penyelesaian Konflik Nelayan di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Sumatra Utara. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, tidak diterbitkan.

Masyhuri. 1995. Menyisir pantai Utara : usaha dan perekonomian nelayan di Jawa dan Madura, 1850-1940. Yayasan Pustaka Nusatama Yogyakarta bekerjasama dengan Perwakilan KITLV, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/Permen-Kp/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus Spp.)

277

Page 286: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)

Cara Pengukuran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus Spp.)

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen-Kp/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Scott, James C.,1985. Moral Ekonomi Petani: Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi Di Asia Tenggara. Author, Penerbit, LP3ES, Jakarta.

Setianegara, Herry.2014. Strategi Maritim pada Perang Laut Nusantara dan Poros Maritim Dunia. LeutikoPrio. Yogyakarta.

Surat Keputusan Bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bali Nomor 7 tahun 1985

Surya, 8 Januari 2018. Tuding KKP tidak Pro-Rakyat: Ribuan Nelayan Kepung PPN Brondong.

Susilo, Edi.1986. “Nelayan di antara Tengkulak dan Tempat Pelelangan Ikan: Suatu Analisa Teoretik”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ilmu Sosial, yang

diselengarakan oleh HIPIIS, di Ujung Pandang 15-19 Desember 1986.

Susilo, Edi dan Pudji Purwanti, 2010. “Pengembangan Struktur Sosial Progresif-Integratif Masyarakat Pesisir dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Pangan di Kawasan Indonesia Timur” dalam Hendra Yusran Siry dan Agus Heri Purnomo (eds), Akselerasi Pembangunan Kawasan Timur Indonesia melalui Integrasi Riset Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Halaman 351-357.

Susilo, Edi dan Pudji Purwanti, 2017. New Perspective on Subsostence Ethics: Criticism on the Fishery Development in Indonesia. Journal of Research in Ecology (2017) 5 (2): 810-819.

Susilo, Edi, Pudji Purwanti dan Mochammad Fattah. 2017, Adaptasi Manusia Ketahanan Pangan dan Jaminan Sosial Sumberdaya. UB Press. Malang.

Undang-Undang No 45 Tahun 2009, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. Tentang Perikanan.

278

Page 287: Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung

Pengembangan IPTEK Kelautan dan Perikanan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dalam Menghadapi MEA

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana (Kupang, 14 Oktober 2017)