pengembangan bercirikan lokal

Upload: dadangfuadi

Post on 01-Mar-2016

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pengembangan dan Penataan Ruang Kota Bercirikan Lokal

TRANSCRIPT

  • www.bktrn.org 1

    KONSEP PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA

    BERCIRIKAN LOKAL

    Jo Santoso

    Pendahuluan

    Selama ini kita mengenal dua aliran pemikiran yang saling bertentangan berkaitan dengan pengembangan kota yang bercirikan lokal. Pertama, berasal dari kubu yang menginginkan agar hubungan antarkota merupakan sebuah sistem kota-kota yang disusun berdasarkan konsep pengembangan regional yang utuh. Aliran kedua menganjurkan agar setiap kota mengembangkan jaringan kerjasamanya sendiri dan sama sekali tidak perlu mengikuti struktur hirarkhis sistem kota-kota dengan alasan bahwa setiap Daerah atau Kota mempunyai derajat yang sama dan yang penting adalah mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan Kota dan Daerah lain.

    Representatif untuk aliran pemikiran sistem kota-kota adalah konsep Tata Ruang Jabotabek, di mana Jakarta sebagai Ibukota RI merupakan sebuah pusat yang menurut doktrin ini keberadaan dan pengembangannya perlu didukung oleh Kota dan Kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai daerah penyanggah. Aliran pemikiran kedua mengatakan bahwa adanya struktur hirarkhis kota-kota akan selalu merugikan kota-kota dengan orde yang lebih rendah. Karena itu setiap daerah/kota harus berusaha mencegah proses Marginalisasi atau Peripherisasi yang terjadi sebagai akibat perkembangan dari pusat utama yang berada di dekat mereka. Usaha ini antara lain melalui desentralisasi dan otonomisasi yang keduanya bertujuan memacu kamandirian dari kota-kota.

    Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, maka beberapa pertanyaan muncul, antara lain, benarkah bahwa dengan adanya desentralisasi kewenangan, maka kota-kota dengan orde lebih rendah mempunyai kesempatan berkembang secara mandiri? Dan pertanyaan yang terkait dengan yang pertama adalah mengapa sebuah kota yang ingin mengembangkan kemandiriannya perlu secara kreatif mengembangkan ciri-ciri lokal kota tersebut ?

    Faktor-Faktor Kunci Kemandirian

    Marilah kita bahas pertanyaan pertama yaitu apa yang harus dilakukan pemerintah kota dengan kewenangan yang diperolehnya dalam rangka otonomi daerah, agar kota mereka dapat berkembang secara mandiri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita akan mencari terlebih dahulu penyebab internal dari ketergantungan sebuah kota terhadap kota lain/pusat. Umumnya dapat kita katakan bahwa secara internal kemandirian sebuah Kota akan sangat tergantung dari tiga faktor kunci yaitu permodalan, infrastruktur dan sumber daya manusia. Asumsi kita ialah bahwa bila pengelola kota berhasil mengelola faktor-faktor internal tersebut di atas, maka mereka akan dapat mengembangkan kemandirian kota tersebut. Sedangkan kemandirian itu sendiri adalah persyaratan untuk terbentuknya kota yang mempunyai ciri lokal yang kuat.

    Mengenai yang pertama yaitu permodalan maka dapat dikatakan bahwa pergerakan modal akan sedikit terpengaruh oleh otonomi daerah, yaitu hanya terkait dengan proses perizinan yang mungkin bisa lebih lancar. Tapi bisa saja hal ini menjadi bumerang, karena pejabat kota melihat ini sebagai kesempatan meningkatkan PAD atau lahan basah untuk KKN dan bisa menjadi momok bagi para calon investor.

  • www.bktrn.org 2

    Faktor kunci kedua adalah infrastruktur, di mana kita harus membagi menjadi dua kelompok, yaitu yang masih dikelola secara sentral seperti kereta api, listrik, telepon, dst. dan yang menjad i tanggung jawab pemerintah kota seperti jalan kota, saluran, air bersih, pengelolaan limbah dan sampah, dst. Untuk kelompok pertama, pemerintah kota harus memperkuat kemampuan koordinasi dengan instansi vertikal yang terkait sedangkan untuk kelompok kedua akan sangat tergantung dari kemampuan masyarakat kota di satu pihak dan kualitas pengelola kota di lain pihak. Keberadaan infrastruktur yang baik akan sangat berpengaruh baik bagi produktivitas kota secara keseluruhan maupun terhadap kinerja ekonomi kota secara khusus. Pengenalan masalah secara lokal disusul oleh penetapan prioritas yang tepat untuk mengatasinya hanya bisa terlaksana dengan kemauan politis yang kuat dari pemerintah kota.

    Yang terberat dari ketiga faktor kunci adalah faktor SDM. Seperti kita tahu tingkat penghasilan masyarakat kita sangat tergantung dari produktivitas kota. Kota dengan externalities yang rendah akan meningkatkan kemampuan badan usaha untuk membayar imbalan jasa yang lebih tinggi. Sebaliknya kota dengan kondisi high-cost economy akan mendorong para pengusaha untuk menurunkan penghasilan karyawannya dalam rangka menjaga kemampuannya berkompetisi dengan pesaing mereka. Karena itu kota-kota yang mempunyai externalities tinggi akan cenderung kehilangan SDM yang berkualitas karena mereka akan beremigrasi keluar kota. Walaupun tingkat pengahasilan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi seseorang untuk meninggalkan sebuah kota, tetapi statistik menunjukkan bahwa jumlah SDM berkualitas secara prosentual lebih tinggi di kota-kota dengan tingkat kehidupan yang lebih baik.

    Kemandirian dan Pengembangan Ciri-lokal

    Sampai di mana usaha memperbaiki faktor-faktor kunci seperti permodalan, infrastruktur dan SDM tersebut di atas terkait dengan pengembangan ciri-ciri lokal sebuah kota? Bila adanya keterkaitan tersebut dapat diungkapkan maka dengan sendirinya pertanyaan mengenai konsep pengembangan dan penataan ruang kota yang bercirikan lokal dapat terjawab. Dalam kaitannya dengan faktor kunci pertama yaitu permodalan maka pihak pemerintah kota sebaiknya mempelajari secara mendalam mengenai potensi ruang-kota, baik yang berasal dari alam maupun lokasi-lokasi yang berpotensi baik untuk dikembangkan. Sebagai contoh adalah yang dilakukan oleh kota Tangerang yang telah mengidentifikasi Sungai Cisadane sebagai potensi alam dan potensi budaya yang khas Tangerang. Adanya potensi tersebut ternyata dapat meyakinkan beberapa pengusaha untuk melakukan pengembangan obyek-obyek wisata sepanjang sungai Cisadane. Kemungkinan lain untuk menarik investor adalah menawarkan kerjasama, di mana Pemda menyediakan tanah dan pihak investor yang membangun proyek dengan cara BOT. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak pengelola kota harus mengetahui betul bagian mana dari ruang -kota yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai proyek-proyek yang bisa menjadi motor-penggerak pembangunan kota.

    Studi yang mendalam mengenai berbagai potensi lokal harus dilakukan dengan mengikut-sertakan para investor dan kelompok masyarak at yang terkait. Misalnya dalam pengembangan pariwisata Sungai Cisadane pengelola kota harus mengikut sertakan masyarakat keturunan Tionghoa yang pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru untuk penyelenggara festival perahu yang dikenal sebagai phecun, begitu juga kelompok masyarakat yang tinggal dilokasi, para budayawan, arsitek, wartawan, politisi, dsb. Dalam perencanaan pengembangan tersebut. Hal ini menjamin bahwa konsep yang dihasilkan akan dapat menampung aspirasi berbagai lapisan masyarakat setempat dan secara otomatis akan memberi Ciri-lokal yang kuat.

  • www.bktrn.org 3

    Demikian juga usaha-usaha untuk memberantas KKN harus mengikut sertakan masyarakat agar semua itu menjadi program bersama antara masyarakat dan pemerintah kota. Keikutsertaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi harus pula didukung oleh suatu aturan main yang jelas, yang dapat menjamin agar partisipasi masyarakat bukan sekedar sebuah alat legitimasi pihak pengelola kota tetapi di lain pihak juga jangan sampai menghancurkan sistem birokrasi yang ada, melainkan memperbaiki sistem birokrasi tersebut agar menjadi lebih efektif dan handal. Dalam kaitannya dengan debirokratisasi perizinan investasi, perlu diperjelas bahwa partisipasi masyarakat tidak boleh mengubah tujuan utama dari debirokrasi yaitu untuk meningkatkan produktivitas kota dan memangkas ekonomi biaya tinggi. Visi yang harus dikembangkan oleh pengelola kota adalah harus menjembatani kepentingan pengusaha di satu pihak dan masyarakat di lain pihak dimana tujuan bersamanya adalah menjadikan kota mereka sebagai habitat kehidupan bersama (a habitat of human-coexistence). Pengembangan kota yang bercirikan lokal dalam hal ini adalah pengembangan yang berorientasi pada aspirasi masyarakat di satu pihak dan potensi kota , baik potensi ekonomi, potensi kultural maupun potensi alam, di lain pihak. Fungsi utama pengelola kota dalam hal ini adalah sebagai mediator dan fasilitator yang selalu berusaha mencari objek-objek pengembangan dan menelurkan konsep-konsep yang aplikabel yang didukung oleh para stakeholder adalah suatu hal yang tidak mudah.

    Dalam kaitannya dengan faktor kunci kedua yaitu infrastruktur halnya akan menjadi jauh lebih sulit, karena secara historis bidang ini dianggap oleh masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Bagi kota-kota yang kaya, mungkin peran historis tersebut dapat berlaku terus. Tetapi tidak demikian halnya dengan kota-kota yang mempunyai pendapatan terbatas. Bagi yang terakhir ini maka tugas pengelola kota yang tersulit ialah memberi pengertian kepada warga mereka bahwa infrastruktur yang dapat dibangun dan dipelihara sangat tergantung dari kemampuan komunitas kota untuk menyediakan Social Overhead Capital yang diperlukan. Pihak pengelola kota perlu berterus terang pada warga kota sampai dimana kemampuan mereka untuk membangun & mengelola in frastruktur kota. Bila pengertian-pengertian yang mendasar tersebut sudah dapat diserap dengan baik oleh warga kota, maka usaha bersama dapat dikembangkan untuk secara kreatif meningkatkan kualitas infrastruktur yang ada. Kota yang tidak mampu menyediakan air minum bagi warga secara sentral sebaiknya menganjurkan warga kota untuk mengembangkam sistem suplai air minum berbasis komunitas kewargaan secara desentral. Kota-kota yang ingin menghindari pembangunan sistem drainase kota yang mahal dapat mengkompensasinya dengan menyediakan lahan-lahan kosong yang berfungsi sebagai retensi atau danau resapan dan mengembangkan danau -danau tersebut sebagai obyek rekreasi.

    Aturan main perlu dibuat bagaimana biaya dan pengo rbanan yang diperlukan dapat didistribusikan secara adil di antara warga kota. Solusi apapun yang nanti disepakati, sejauh itu didukung oleh mereka yang berkepentingan maka hal itu akan secara otomatis merupakan kontribusi bagi ciri-lokal kota tersebut. Sistem pengadaan, pengelolaan dan teknologi yang digunakan akan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas kota dan akan memberi warna khas bagi kota tersebut.

    Dalam kaitannya dengan faktor kunci yang ketiga yaitu SDM maka perlu kami garis bawahi bahwa menurut perkiraan kami faktor ketiga ini akan menjadi batu sandungan bagi kebanyakan pengelola kota. Masalahnya ialah bahwa hanya sedikit pengelola kota yang sudah menyadari bahwa peningkatan SDM merupakan faktor strategis bagi perkembangan sebuah kota. Kalaupun itu disadari secara teoretis, tetapi kesulitan besar tetap akan muncul karena secara historis masalah peningkatan SDM bukan menjadi kewajiban pengelola kota. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia tertapi juga di banyak negara lain.

  • www.bktrn.org 4

    Di antara para ahli pun kesadaran akan peranan strategis dari peningkatan kemampuan SDM dalam kaitannya dengan kinerja sebuah kota belum lama disadari. Secara singkat dapat kita katakan bahwa semakin buruk kualitas SDM sebuah kota, maka semakin besar bagian penduduk kota yang tidak mampu menghidupi diri mereka sendiri dan harus disubsidi. Sebelum ini kita hanya mengutamakan adanya solidaritas sosial antara kelompok masyarakat. Kita lupa bahwa hal yang menentukan bagi kinerja sebuah kota ialah berapa penduduk yang harus disubsidi oleh mereka yang produktif. Besarnya subsidi tersebut langsung atau tidak langsung, pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas kehidupan kota secara keseluruhan dan pada tingkat kesejahteraan seluruh kota. Hal semacam ini dapat diukur dari perbandingan antara penduduk yang bekerja dan tidak bekerja. Secara tidak langsung dapat kita ukur dari tingkat pendidikan, tingkat pengangguran, tingkat drop out di sekolah, tingkat kriminalitas, dst. Kota yang mempunyai beban berat mensubsidi warganya yang tidak atau kurang produktif akan manjadi kota yang berkinerja rendah.

    Bagi pengusaha atau industriawam hal ini berdampak pada biaya external (external-cost) yang tinggi dan membahayakan daya saing produk mereka. Pendapat yang menyatakan bahwa tingkat upah yang rendah dapat mempertinggi daya saing kota sebagai lokasi investasi adalah pendapat yang berbahaya, bila kita tidak tahu penyebab dari tingkat upah yang rendah tersebut. Tingkat upah bisa rendah karena rendahnya harga-harga kebutuhan hidup atau karena rendahnya kualitas SDM. Pada kasus pertama hal tersebut mencerminkan kinerja kota yang baik, artinya untuk mencapai tingkat kesejahteraan tertentu hanya diperlukan biaya yang relatif rendah (dibandingkan dengan kota-kota lain), sehingga dengan upah yang relatif rendah dapat dicapai tingkat kesejahteraan yang sama atau lebih baik dibandingkan di tempat lain. Logikanya ialah tidak ada gunanya kita berpenghasilan tinggi kalau pengeluaran kita pada akhirnya lebih besar pula (pada akhirnya kemampuan menabunglah yang menentukan!). Pada kasus kedua tingkat upah yang rendah mencerminkan buruknya kualitas SDM dan ini merupakan problem serius untuk seluruh kota dan seluruh warganya. Bila keadaan dibiarkan maka tidak akan ada investor yang mau membangun usaha di kota tersebut.

    Pengelola kota yang inovatif harus mulai dengan usaha mengatasi problem-problem spesifik yang ada di kota tersebut. Penduduk kota tidak bisa dilihat sebagai kelompok masyarakat yang terbagi dalam golongan-golongan sosial. Pengelola kota harus mengetahui kelompok mana yang tidak/kurang produktif, dimana mereka bermukim. Setelah itu pihak pengelola bersama dengan unsur-unsur masyarakat seperti para profesional, kalangan perguruan tinggi, organisasi sosial-kemasyarakatan harus membuat program pemberdayaan bagi kelompok tersebut di lokasi dimana mereka berada. Sebuah wilayah-kota bisa saja terlihat kumuh tetapi bila hasil studi menyatakan bahwa penduduk kampung tersebut adalah orang-orang yang produktif dan mampu menabung, maka kekumuhan tersebut hanya bersifat sementara. Dalam hal ini pemerintah kota cukup memberikan kemudahan, fasilitas atau asistensi yang bersifat konsultatif. Akan sangat bermanfaat bila penduduk kampung tersebut dapat diberikan akses ke bantuan permodalan dan infrastruktur kota. Tetapi dalam kasus kedua, dimana hasil studi mengatakan bahwa mereka yang tinggal di situ adalah orang-orang yang tidak produktif (misalnya para pengemis, pelaku kriminal, pengangguran, pekerja paruh waktu, dst) yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak mempunyai kemampuan untuk (atau tidak mau) menabung, maka kita menghadapi kasus yang jauh lebih berat dan harus ditangani lebih serius.

  • www.bktrn.org 5

    Kesimpulan

    Secara singkat dapat kita simpulkan bahwa suatu konsep pengembangan kota yang bercirikan lokal harus dimulai dengan pengenalan masalah-masalah strategis yang terkait dengan tiga faktor-kunci yaitu permodalan, infrastruktur dan SDM. Paparan di atas memberi ilustrasi bagaimana kaitan ketiga faktor tersebut terkait dengan aspek pengembangan Tata-Ruang kota.

    Dalam kaitannya dengan permodalan maka tugas utama perencanaan Tata Ruang adalah menggali potensi-potensi usaha yang ada di wilayah kota, baik potensi ekonomi, potensi budaya ataupun potensi lainnya, lalu bersama para investor menyusun rencana pemanfaatan potensi tersebut dengan mengikutsertakan para stakeholder yang lain. Pengembangan kota yang bercirikan lokal dalam hal ini adalah pengembangan yang berorientasi pada aspirasi masyarakat di satu pihak dan potensi ruang-kota di lain pihak.

    Dalam kaitannya dengan infrastruktur kota maka pengembangan kota yang bercirikan lokal adalah yang dapat menyesuaikan sistem pembangunan, dan pengelolaan teknologi dari infrastruktur kota dengan kemampuan masyarakat kota untuk menyediakan Social Overhead Capital yang diperlukan dan kemampuan untuk mengelola dan memelihara sistem tersebut. Tidak ada gunanya kita membangun suatu sistem infrastruktur yang tidak memenuhi persyaratan di atas karena sistem tersebut akan rusak dalam waktu yang tidak terlalu lama.

    Dalam kaitannya dengan kualitas SDM maka pengembangan kota yang bercirikan lokal harus mengkonsentrasikan usaha pada ruang-kota dimana penduduknya merupakan penduduk yang kurang/tidak produktif dan langsung atau tidak langsung disubsidi oleh warga kota lainnya. Orientasi peningkatan SDM pada usaha membina kantong -kantong kemiskinan tentu bukan satu-satunya usaha yang perlu tapi mungkin yang paling effektif dan bisa dengan cepat akan merubah bagian-bagian kota yang gelap dan kumuh menjadi terbuka dan terintegrasi.

    Penutup

    Setiap kota mau tidak mau harus mengerti bahwa mereka harus terus menerus melakukan reinventing kota mereka untuk bisa menjadi kota yang mandiri. Kota yang belum mempunyai tradisi akan harus menempuh jalan yang lebih sulit untuk mengembangkan kemandirian ini. Yang pertama harus disadari ialah bahwa kemandirian sebuah kota hanya bisa berkembang bila bertumpu pada kemandirian warganya. Pemerintah kota tidak bisa hanya mengganti rasionalitas pemerintah pusat dengan rasionalitas pemerintah kota. Sistem pengelolaan top-down ala Orde Baru tidak bisa diganti dengan sistem top-down di daerah, karena sistem yang demikian tidak akan berhasil menggali potensi perkembangan yang ada dan secara jangka panjang akan tertinggal oleh kota-kota lain dan tidak akan bisa melepaskan diri dari posisi marg inal-peripheral. Mungkin lokasi pusat nya akan bergeser dari Jakarta sebagai primat-city diganti oleh kota besar yang berdekatan, tapi posisi kota tersebut tidak berubah yaitu sebagai penunjang kota-pusat tersebut.

    Pengembangan ruang kota bercirikan lokal adalah satu proses yang harus tumbuh dari elemen dinamis yang ada di dalam kota tersebut. Kota tidak bisa mempunyai ciri karakter yang spesifik bila ciri karakter tersebut dikonsepkan secara artifisial. Tidak ada satupun planer atau arsitek di dunia yang bisa menyusun sebuah konsep pengembangan kota yang bercirikan lokal di atas meja dengan menggunakan metode perencanaan yang rasional. Ciri lokal sebuah kota lahir dari penjumlahan elemen -elemen kota, penggabungan bagian-bagian kota yang satu sama lain terkait berpijak pada filsafat yang sama yaitu kemauan warga kota untuk membentuk kota tersebut sebagai tempat tinggal mereka bersama.

  • www.bktrn.org 6

    Tugas pengelola kota dalam perencanaan pengembangan kota yang bercirikan lokal adalah memberdayakan masyarakat untuk belajar membuat konsensus dan membantu mereka merumuskan kesepakatan bersama mereka kedalam rencana pembangunan yang konkret. Inti dari konsep perencanaan semacam itu bukanlah keterpaduan tata-ruang yang rasional-ilmiah dilihat dari sudut pandang ilmu planologis, tetapi sebuah tata-ruang yang didukung oleh seluruh lapisan masyarakat dan dengan mana mereka bisa mengidentifikasi diri mereka.

    Pengertian ciri lokal dalam hal ini tidak mengacu pada bentuk tertentu tapi pada identitas kultural yang menyatukan ruang kota dengan penduduknya sebagai satu kesatuan yang utuh. Penduduk kota yang demikian adalah mereka yang sangat bangga akan kotanya dan dari sini dapat dibayangkan bahwa tidaklah sulit untuk mengelola kota yang demikian. Sebenarnya banyak kota-kota di Indonesia terutama kota ukuran menengah yang mempunyai ciri-lokal yang kuat, Jogyakarta adalah salah satunya. Tetapi seharusnya ciri lokal tersebut harus dikelola sedemikian rupa demi perkembangan kota, bukan sekedar sebagai warisan budaya. Tradisi adalah sesuatu yang harus terus menerus dibina bukan hanya dijadikan pijakan (atau lebih buruk lagi di eksploitasi) untuk maksud-maksud lain. Ciri khas kota tumbuh dari komitmen penghuninya untuk membina kehidupan bersama, karena tradisi tidak bisa survive tan pa proses aktualisasi. Membina tradisi berarti mengembangkan pola kehidupan bersama secara kreatif untuk menjawab tantangan-tantangan jaman.