pengembangan bahan bakar transportasi rendah emisi

38
ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN BAHAN BAKAR TRANSPORTASI RENDAH EMISI LAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 23-24 JUNI 2014

Upload: indonesia-climate-change-center

Post on 03-Apr-2016

220 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ICCC mengadakan dialog kebijakan bertema “Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel” pada 25-26 Juni 2014 di Jakarta. Dialog tersebut menyimpulkan bahwa pengembangan industri bio-ethanol di Indonesia memerlukan beberapa syarat untuk berhasil (enabling conditions): kepemimpinan yang kuat, insentif dan bentuk dukungan lainnya, penegakan hukum yang tegas dan konsisten, serta sistem dan mekanisme komunikasi kebijakan ke publik.

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN

BAHAN BAKAR TRANSPORTASI RENDAH EMISILAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 23-24 JUNI 2014

Indonesia Climate Change Center

Gd. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi I16th. Fl. Jl. M.H. Thamrin 8, Jakarta 10340, Indonesia

Tel. +62 21 3190 4635

www.iccc-network.net

Page 2: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan2

ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN

BAHAN BAKAR TRANSPORTASI RENDAH EMISILAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 23-24 JUNI 2014

Page 3: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

3Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Saran Penulisan Referensi:

ICCC. 2014. Laporan Sintesis Dialog Kebijakan: Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi yang Rendah Emisi. Indonesia Climate Change Center. Jakarta, Indonesia.

Gambar sampul © semanistebu.blogspot.com

ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN

BAHAN BAKAR TRANSPORTASI RENDAH EMISILAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 23-24 JUNI 2014

Page 4: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan4

Pengantar...... ...........................................................................................................................................4

Ringkasan Eksekutif ..............................................................................................................................6

Pencapaian Hasil (Output) yang Diharapkan.................... ..............................................................8 Proses dari Dialog Kebijakan ..............................................................................................................9 Hari Pertama (23 Juni 2014)........................................................................................................9 Hari Kedua (24 Juni 2014) .........................................................................................................10

Agenda....................................................................................................................................................11 Hari Pertama (23 Juni 2014) .....................................................................................................11 Hari Kedua (24 Juni 2014) .........................................................................................................11

Pengantar Dialog dan Pembukaan ...................................................................................................12

Intisari Penelitian ICCC .....................................................................................................................16

Rangkuman Masukan (Stock Taking) ...............................................................................................25

Sintesis Hasil Diskusi ..........................................................................................................................27 Prinsip ..........................................................................................................................................28 Kepemimpinan ...........................................................................................................................28 Insentif dan Bentuk Dukungan Lain .......................................................................................29 Faktor yang Memungkinkan untuk Pengembangan dan Perguliran Investasi ..................30 Pencapaian Hasil (Output) Kegiatan................................................................................................32 Kesimpulan. ...........................................................................................................................................34

Referensi.................................................................................................................................................35

Daftar Isi

Page 5: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan4

Indonesia Climate Change Center (ICCC) atau Pusat Perubahan Iklim Indonesia merupakan kerjasama kemitraan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat, yang ditandatangani oleh kedua kepala negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Barack Obama. Tujuannya adalah untuk menyediakan landasan (platform) serta mekanisme agar informasi berbasis ilmu pengetahuan terkini bisa dikomunikasikan secara efektif dan sampai kepada para pengambil kebijakan (policy maker) di Indonesia. Lebih lanjut diharapkan agar kebijakan-kebijakan untuk mendorong aksi terkait isu perubahan iklim bisa dihasilkan dengan berdasarkan pada hasil penelitian yang handal dan memadai. Pada gilirannya, aksi-aksi yang diharapkan terwujud adalah muncul dan berkembangnya investasi-investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi rendah emisi. Secara lebih ringkas bisa dikatakan bahwa upaya-upaya mendorong “science to policy link to investment” lah yang menjadi fokus dari ICCC.

Dalam rangka mendorong upaya-upaya dari sains menuju kebijakan (science to policy), ICCC memiliki empat fokus bidang penelitian, yang diwakili oleh empat cluster atau empat kelompok kegiatan, yakni Lahan Gambut dan Pemetaan Lahan Gambut (Peatlands and Peatland Mapping); Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification) atau MRV; Strategi-strategi Pembangunan Rendah

Pengantar

Emisi (Low Emission Development Strategies, LEDS); serta Ketahanan Iklim (Climate Resilience).

Sebagai salah satu cluster yang ada di ICCC, serangkaian kegiatan telah dilakukan oleh LEDS cluster. Salah satu kegiatan LEDS adalah dialog kebijakan atau policy dialogue mengenai Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel (Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi yang Rendah Emisi). Sebagai informasi, dialog kebijakan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan dua studi yang dilakukan oleh ICCC.

Studi pertama adalah studi mengenai Renewed Perspectives on How to Attract Renewable Energy Investment: Feasibility Study on Crop to Energy. Sedangkan studi kedua adalah mengenai Crop to Energy on Degraded Land (DL) as a Step toward Energy Independence, Carbon Sink Agriculture and Protection of REDD+ Designated Areas.

Studi pertama menunjukkan pentingnya mendorong elektrifikasi ke wilayah terpencil dan kepulauan di Indonesia yang berpenduduk jarang dengan menguji kelayakan teknologi listrik biomassa berbasis tanaman. Sedangkan studi kedua berfokus pada bahan bakar transportasi ramah lingkungan (rendah emisi) dari bahan nabati dengan memanfaatkan lahan terdegradasi, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam

Page 6: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

5Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

jangka panjang (termasuk mengurangi defisit perdagangan) dan menyediakan lapangan kerja di daerah pedesaan.

Studi kedua LEDS perlu diperiksa oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) melalui kegiatan dialog kebijakan bertemakan “Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel” atau Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi yang Rendah Emisi. Dialog kebijakan tersebut diselenggarakan selama dua hari pada tanggal 23 dan 24 Juni 2014, bertempat di Gedung BPPT 1, Lantai 16, Jakarta.

Dari dialog kebijakan ini diperoleh kesimpulan bahwa penting untuk mendorong dan mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia dalam rangka mewujudkan transportasi rendah emisi, mengganti sebagian bahan bakar bensin dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) produksi dalam negeri dan ketersediaan lapangan kerja di daerah pedesaan. Dengan memanfaatkan peluang mengelola lahan terdegradasi (Degraded Land, DL) yang masih luas, pengembangan industri bio-ethanol ini tentunya akan mampu menurunkan ketergantungan pada impor bahan bakar minyak, yang pada gilirannya akan berdampak pada perbaikan neraca perdagangan Indonesia yang sekarang mengalami defisit.

Page 7: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan6

Ringkasan Eksekutif

Sejalan dengan pertumbuhan ekonominya, Indonesia sampai saat ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil/minyak (BBM). Terlebih, dari waktu ke waktu, konsumsi BBM semakin meningkat, sementara harga BBM mempunyai kecenderungan meningkat. Saat ini, konsumsi bensin yang bersubsidi mengalami peningkatan yang tinggi dan telah berimplikasi pada peningkatan impor bensin lebih dari 15% per tahun sejak 2006. Selain mengakibatkan peningkatan subsidi, peningkatan impor BBM juga mengakibatkan peningkatan defisit perdagangan. Lebih lanjut, peningkatan konsumsi BBM tentunya berdampak pada peningkatan emisi CO2.

Mengingat kecenderungan peningkatan kebutuhan transportasi, peningkatan konsumsi BBM masih akan terus terjadi di masa mendatang, Indonesia perlu memikirkan alternatif pengganti BBM. Dalam sektor transportasi, kebijakan pencampuran BBN diesel (bio-diesel) relatif terlaksana sesuai jadwal sedangkan pelaksanaan pencampuran BBN bensin (bio-ethanol) berhenti sejak 2010. Untuk mengatasi masalah tersebut, ICCC melakukan penelitian ini untuk melihat solusi alternatif yang dapat membuat kebijakan bio-ethanol untuk transportasi kembali berjalan.

Dari segi kebijakan, Indonesia telah memiliki ketentuan (mandate) campuran bio-ethanol pada bensin hingga tahun 2025 , namun sifatnya tidak memaksa, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggunakan bio-ethanol. Tingkatan regulasi dari ketentuan ini masih di bawah undang-

undang sehingga tidak mengikat semua warga negara.

Dari sudut pandang yang lebih luas, kebijakan BBN di Indonesia dapat dikatakan tidak terintegrasi dan bersifat sektoral, mulai dari tahapan persiapan lahan dan pengurusan ijin, sampai dengan tahapan pasar. Indonesia juga tidak menyediakan insentif yang menarik, baik bagi investor maupun bagi pengguna. Selain itu, koordinasi antar instansi untuk mendukung iklim investasi dan pasar, tidak terjalin dengan baik. Semua ini mengakibatkan tidak berkembangnya industri bio-ethanol untuk mendukung transportasi yang rendah emisi dan ekonomi yang berdaulat di Indonesia.

Di balik segala tantangan yang ada, Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan industri bio-ethanol dengan memanfaatkan lahan terdegradasi. Dari segi ekonomi, pengembangan industri bio-ethanol akan memberikan nilai tambah dari lahan terdegradasi yang menganggur. Dari setiap hektar lahan yang ditanami akan tercipta nilai tambah sekitar USD 2,500 setiap tahun. Keuntungan lainnya yang akan diperoleh adalah pengurangan emisi, kemandirian energi, pencegahan erosi maupun banjir serta penyerapan tenaga kerja oleh industri bio-ethanol. Untuk masa mendatang, harga BBM diproyeksikan akan lebih mahal daripada harga bio-ethanol dengan bahan baku (feedstock) dari tebu.

Dialog kebijakan ini yang bertema “Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel”

Page 8: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

7Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

menyimpulkan bahwa pengembangan industri bio-ethanol di Indonesia memerlukan beberapa syarat untuk berhasil (enabling conditions), yakni: kepemimpinan (leadership) yang kuat, insentif dan bentuk dukungan lainnya, penegakan hukum yang tegas dan konsisten, serta sistem dan mekanisme komunikasi kebijakan ke publik.

Terakhir, perlu digarisbawahi bahwa upaya mendorong dan mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia, perlu dilandasi beberapa prinsip yang harus selalu dipegang teguh, yakni: pengembangan tersebut adalah untuk kepentingan rakyat; dilakukan dalam rangka mendukung kedaulatan energi; berlandaskan pada keadilan, kesetaraan dan keterlibatan; serta tidak merusak lingkungan.

Page 9: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan8

Pencapaian Hasil (Output ) yang Diharapkan

Hasil dari pelaksanaan dialog kebijakan tentang BBN pencampur bensin ini ada tiga hal. Pertama, adanya pemahaman dan pengetahuan yang disebarkan kepada para peserta mengenai: a) prasyarat-prasyarat untuk mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia yang berasal dari tebu (sugarcane) dan bahan-bahan selulosik (cellulosic materials), b) status terkini mengenai kebijakan, sumberdaya nasional, insentif dan program-program yang sudah ada, c) kesenjangan-kesenjangan yang ada terkait kebijakan dan implementasi.

Kedua, dialog kebijakan ini diharap menghasilkan rekomendasi-rekomendasi mengenai arah kebijakan strategis (strategic policy direction) dan insentif untuk mengembangkan BBN transportasi (green transportation fuel). Yang terakhir, dialog ini diharapkan mampu mengidentifikasi persyaratan untuk berhasil (enabling conditions) mengembangkan investasi untuk memproduksi bahan bakar transportasi yang rendah emisi (BBN).

Page 10: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

9Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Hari Pertama (23 Juni 2014)

Proses Dialog Kebijakan

Dialog kebijakan yang bertemakan “Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel” ini dilakukan selama dua hari, yaitu tanggal 23 dan 24 Juni 2014.

Hari pertama dimulai dengan pengantar dan pembukaan oleh Farhan Helmy, selaku Manajer ICCC. Manajer ICCC memberikan uraian singkat mengenai beberapa hal penting dan mendasar, misalnya kerangka kebijakan perubahan iklim (climate change policy framework) dan beberapa informasi mendasar terkait kebijakan perubahan iklim di Indonesia.

Selanjutnya adalah paparan dari intisari penelitian yang dilakukan oleh ICCC yang disampaikan oleh Artissa Panjaitan selaku Koordinator LEDS cluster. Paparan Koordinator LEDS berjudul “Research Findings and Assessment: Green Transportation Fuel for Sustainable Economic Growth”. Kemudian diteruskan dengan proses untuk memperoleh masukan (stock taking) mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dipaparkan oleh Koordinator LEDS.

Sesuai dengan kerangka acuan kegiatan, beberapa pakar dan pihak berkompeten diharapkan bisa hadir untuk memberikan masukan terhadap hasil-hasil penelitian tentang bio-ethanol tersebut. Meski tidak semua undangan hadir seperti yang direncanakan, masukan yang diperoleh dari peserta atas hasil penelitian ICCC tersebut sangat relevan, dinamis, beragam

dan meningkatkan mutu rekomendasi yang dihasilkan. Sebab peserta yang hadir adalah mereka yang berpengalaman dan ahli di bidangnya. Mereka yang hadir mewakili unsur praktisi, instansi pemerintah, peneliti, konsultan bio-ethanol, serta lembaga swadaya masyarakat.

Setelah jeda makan siang, diskusi dilakukan berdasarkan pertanyaan panduan. Sebagai informasi, semula direncanakan akan dilakukan pembagian kelompok. Namun karena sesudah makan siang, beberapa peserta yang datang pagi hari meninggalkan ruangan, maka pembagian kelompok ditiadakan. Adapun dua pertanyaan panduan tersebut adalah:

1. Kepemimpinan (leadership) seperti apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang selama ini ditemui dalam mengembangkan industri bio-ethanol?

2. Insentif apa yang diperlukan dalam rangka mengembangkan industri bio-ethanol?

Kegiatan hari pertama dari dialog kebijakan ini diakhiri dengan uraian fasilitator mengenai sintesis hari pertama dan rencana agenda untuk hari kedua.

Page 11: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan10

Hari Kedua (24 Juni 2014)

Hari kedua dimulai dengan ulasan singkat dari fasilitator mengenai apa yang telah dicapai pada hari pertama, yakni paparan dari ICCC, masukan persoalan dan diskusi. Sesudah ulasan singkat selesai, diadakan diskusi lanjutan dengan para peserta berdasarkan pertanyaan panduan berikut: Faktor-faktor persyaratan apa yang memungkinkan (enabling conditions) untuk mengembangkan investasi BBN transportasi? Diskusi ini berlangsung sampai menjelang makan siang.

Dialog kebijakan pada hari kedua ini diakhiri sebelum istirahat untuk makan siang. Fasilitator memberikan rangkuman masukan yang dihasilkan selama dua hari dalam bentuk meta-plan, kemudian mengkonfirmasi kepada peserta tentang rangkuman yang sudah dilakukan. Terakhir, Manajer ICCC memberikan kata penutupnya untuk secara resmi mengakhiri kegiatan dialog kebijakan ini.

Page 12: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

11Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Agenda

Time Agenda09:00 - 09:30 Registration, breakfast, networking09:30 - 09:55 • Opening

• Introduction to dialogue: Farhan Helmy (ICCC)09:55 - 12:30 Stock taking on Strategic Policy Directions for Green Transportation Fuel

• ICCC: Reserach findings and assessment on “Green Transportation Fuel” by Artissa Panjaitan, LEDS Cluster Coordinator

• Stock taking process• Discussion, clarification and comments

12:30 - 14:00 Break, lunch, networking14:00 - 16:45 Discussion on selected issues (leadership, insentives)16:45 - 17:00 Synthesis Day 1

Briefing for Day 2

Time Agenda09:00 - 09:15 Overview: CIRCLE09:15 - 12:30 Discussion on enabling conditions12:30 - 13:00 • Summary Day 1 and 2

• Future Works• Closing remarks by Farhan Helmy (ICCC Manager)

Hari Pertama (23 Juni 2014)

Hari Kedua (24 Juni 2014)

Page 13: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan12

Pengantar Dialog dan Pembukaan

Hari pertama dari dialog ini dibuka dengan sambutan sekaligus pembukaaan dari Farhan Helmy selaku Manajer ICCC. Manajer ICCC menekankan bahwa tujuan dari dialog kebijakan ini adalah untuk mengangkat hasil, temuan dan rekomendasi penelitian yang dilakukan oleh ICCC ke tingkat kebijakan. Dalam rangka mendorong ‘science to policy linking to investment’, salah satu tahapan yang dilakukan adalah dengan melakukan dialog kebijakan (policy dialogue) untuk mendapatkan input dari para pemangku kepentingan (stakeholder) atas temuan penelitian terkait yang sudah dilakukan oleh ICCC.

Dalam penjelasannya, Manajer ICCC memaparkan secara singkat mengenai Climate Change Policy Framework atau Kerangka Kebijakan Perubahan Iklim yang menjadi visi jangka panjang terkait isu perubahan iklim. Berikut adalah gambaran dari framework tersebut.

Ada tiga hal penting dalam kerangka kerja ini. Pertama, aksi yang diharapkan muncul dalam konteks perubahan iklim berupa keputusan-keputusan investasi yang bersifat green atau rendah emisi, yang pada gilirannya akan

Sumber: Farhan Helmy (DNPI, 2013)

Gambar 1. Kerangka kebijakan perubahan iklim

Page 14: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

13Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

membantu pencegahan dampak-dampak dari perubahan iklim. Karenanya pilihan-pilihan skenario pembangunan rendah emisi karbon yang efektif dan efisien perlu ditawarkan dan dikembangkan.

Kemudian, unsur tata kelola (governance) juga perlu diperhatikan untuk memastikan bahwa aksi terkait perubahan iklim dikelola secara baik. Tata kelola perlu didukung oleh sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi disingkat MRV (measurement, reporting, verification) yang handal. Selain itu, dalam rangka mendorong tata kelola yang baik, perlu melibatkan para pihak dengan pendekatan-pendekatan yang inklusif.

Selanjutnya, adalah penting untuk mendorong lahir dan berkembangnya pendekatan-pendekatan baik pasar (market) maupun nir-pasar (non-market). Pendekatan tersebut perlu didukung oleh mekanisme-mekanisme yang efektif dan efisien serta penataan kelembagaan (institutional arrangement) yang baik. Insentif bagi para pelaku di lapangan juga harus ada dan diatur dengan jelas.

Ringkasnya, dalam lingkup Kerangka Kebijakan Perubahan Iklim (Climate Change Policy Framework) penting untuk menghubungkan dan mengembangkan tiga hal, yakni: aksi, tata kelola dan mekanisme pasar & nir-pasar. Ini semua dilakukan dalam rangka mencapai target nasional penurunan emisi gas rumah kaca yang telah ditetapkan pemerintah.

Pemerintah, melalui Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), bertujuan untuk mendukung ilmu pengetahuan (science) yang handal dan dapat dipercaya sebagai landasan terbentuknya berbagai skenario-skenario pembangunan yang tepat terkait perubahan iklim. DNPI juga memiliki tujuan mendorong adanya berbagai kebijakan (policy) yang mampu menciptakan situasi yang menimbulkan berbagai dialog yang kondusif serta lahirnya kondisi-kondisi yang mendukung (enabling conditions). Selanjutnya, dengan adanya ilmu pengetahuan dan kebijakan tersebut, DNPI menginginkan muncul dan berkembangnya berbagai bentuk investasi rendah emisi yang berkelanjutan.

Manajer ICCC juga memberikan update tentang kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim yang keluar sampai dengan Juni 2014. Kebijakan tersebut terkait dengan konteks adaptasi, mitigasi, transfer teknologi, peningkatan kapasitas serta finansial. Misalnya untuk adaptasi, selain telah ada Peraturan Presiden (Perpres) No 61/2011 mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), juga ada beberapa kebijakan lain seperti Perpres No 71/2011 mengenai Sistem Inventarisasi Nasional Gas Rumah Kaca dan Perpres No 62/2013 mengenai Badan REDD+.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa dalam Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) terdapat 70 program yang terdistribusi dalam sektor-sektor yang

Page 15: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan14

Gambar 2. Profil emisi gas rumah kaca Indonesia 2010 - 2030

Proyeksi emisi , Giga ton CO2e

ListrikTransportasiPerrtanian Minyak Bumi dan GasSemen Gedung

Bagian terhadap emisi global3

LULUCF & Gambut2

1 Hanya memperhitungkan emisi secara langsung dari setiap sektor2 Kelompok emisi dari LULUCF didasarkan pada pendekatan emisi netto, yaitu: memasukkan bagian yang diserap3 Berdasarkan tahun 2011, perkiraan yang ada menunjukkan emisi global berada pada 51.7 Giga ton dan 67.6 Giga ton pada tahun 2010 dan 2030.

EMISI INDONESIA DIPERKIRAKAN MENINGKAT DARI 1.6 MENJADI 2.6 GIGA TON CO2e ANTARA TAHUN 2010 HINGGA 2030

Sumber: , “Indonesia’s GHG Abatement Cost Curve”, DNPI

Emisi Indonesia Diperkirakan Meningkat dari 1.6 Menjadi 2.6 Giga Ton CO2e antara Tahun 2010 Hingga 2030

tercatat menyumbang pada emisi gas rumah kaca. Tiga dari sektor tersebut menjadi fokus dari ICCC, yakni sektor Perubahan Pemakaian Lahan dan Gambut (LULUCF dan Peat) serta Listrik (Power) dan Transportasi (Transportation).

Dari informasi yang tercantum pada revisi “Indonesia’s GHG Abatement Cost Curve” (2014), terlihat bahwa emisi dari sektor transportasi adalah yang ke-3 terbesar tetapi jumlahnya hanya sekitar seperlima dari emisi pembangkit

listrik atau 8% dari proyeksi total emisi tahun 2030. Namun demikian, produksi bio-ethanol untuk campuran bensin akan memberi dampak ekonomi yang signifikan dalam hal mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia dan memberi lapangan kerja di daerah lahan terdegradasi. Ketersediaan lahan hutan yang terdegradasi untuk potensi bisnis bio-ethanol akan memberi pilihan usaha dan lapangan kerja yang akan mengurangi potensi emisi melalui perubahan lahan hutan (LULUCF).

Proyeksi emisi1, juta ton CO2e

Sumber: Paparan “Updating the Indonesia GHG Abatement Cost Curve” pada Lokarya Awal Kajian Pembaharuan Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK Indonesia di DNPI, 22 Januari 2014

Page 16: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

15Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Hasil dan temuan dari penelitian-penelitian ICCC yang berbasis ilmiah diharapkan menjadi masukan ataupun dasar dari pengambilan kebijakan (science to policy) yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun rendah emisi. Adalah penting untuk mengkomunikasikan hasil, temuan dan rekomendasi dari penelitian-penelitian tersebut kepada para pemangku kepentingan (stakeholder). Untuk itu, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ICCC,

dilaksanakan dialog kebijakan selama dua hari, yang difokuskan pada sektor energi terbarukan dan transportasi. Topik dari dialog ini sendiri adalah “Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel”. Diharapkan dari dialog kebijakan ini diperoleh masukan yang bermanfaat dan saling kesepahaman dari para peserta yang nantinya akan menjadi masukan serta rekomendasi bagi para pengambil kebijakan (policy maker).

-5.6 -12.6

Neraca Perdagangan Miyak & GasNeraca Total Perdagangan

Neraca Perdagangan Selain Miyak & GasPertumbuhan GDP

NERACA PERDAGANGAN INDONESIA 2008 – 2013

Source: Badan Pusat Statistik (Statistics Indonesia), World Bank, International Monetary Fund

Neraca Perdagangan Indonesia 2008 - 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, World Bank, International Monetary Fund

Gambar 3. Neraca perdagangan versus pertumbuhan ekonomi Indonesia

Page 17: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan16

Intisari Penelitian ICCC

Paparan hasil penelitian ICCC dilakukan oleh Koordinator LEDS Cluster dengan judul Green Transportation Fuel for Sustainable Economic Growth: Research Findings and Assesment. Sebagai informasi, paparan tersebut merupakan rangkuman dari studi yang telah dilakukan ICCC mengenai Crop to Energy on Degraded Land (DL) as a Step toward Energy Independence, Carbon Sink Agriculture and Protection of REDD+ Designated Areas.

Beberapa hal penting dari paparan Koordinator

LEDS disampaikan berikut ini: sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, konsumsi BBM Indonesia masih akan terus meningkat sampai mencapai kesetaraan dengan negara maju sehingga akan terjadi peningkatan emisi. Di sisi lain, saat ini, biaya produksi bio-ethanol dunia telah bersaing dengan BBM. Namun, biaya produksi bio-ethanol di Indonesia masih kalah bersaing dari negara lain akibat persoalan ketersediaan lahan yang membuat persaingan bahan baku untuk produksi gula dan bio-ethanol sehingga harganya mahal.

38.6 36.8 44.4 53.7 64.878.8

97.1

90.067.5

76.976.4 52.9

66.260.9

36.2

27.528.2 23.0

21.1

16.912.3

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Others IDO ADO Gasoline

jutabarrel/tahun

164.8

131.7149.5 153.1

138.8

161.8170.2

KOMPONEN IMPOR BBM INDONESIA 2005 – 2011, DENGAN KONSUMSI BENSIN MENINGKAT > 16%/TAHUN

Lain-lain Diesel untuk Industri

Diesel untuk Otomotif

Bensin

Komponen Impor BBM Indonesia 2005 - 2011, dengan Konsumsi Bensin Meningkat >16% Per Tahun

Gambar 4. Komposisi impor BBM Indonesia

Page 18: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

17Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Data menunjukkan bahwa dari tahun 2005 sampai 2013 terjadi trend kenaikan pemakaian bahan bakar bensin dengan pertumbuhan impor > 16% per tahun. Peningkatan konsumsi yang tinggi tanpa perbaikan kapasitas produksi minyak berimplikasi pada peningkatan impor BBM yang terlihat dari memburuknya defisit perdagangan dengan cepat. Tahun 2012 akibat defisit perdagangan sektor minyak dan gas sebesar USD 5.6 milyar Indonesia mengalami defisit perdagangan total sebesar USD 1.62 milyar dan tahun 2013 defisitnya meningkat menjadi USD 4.06 milyar. Di luar itu, peningkatan konsumsi bahan bakar tersebut berdampak pada peningkatan emisi CO2 yang pesat.

Mengingat kecenderungan permintaan bahan bakar transportasi yang masih akan terus terjadi di masa mendatang, Indonesia perlu memikirkan alternatif bahan bakar yang mengurangi defisit perdagangan dan sekaligus emisi GRK. Untuk bahan bakar mesin diesel, Indonesia telah mampu mengimplementasikan ketentuan campuran bio-diesel. Tetapi, ketentuan campuran bio-ethanol seperti yang tercantum pada Gambar 4 masih belum berjalan sesuai dengan rencana. Padahal, pertumbuhan permintaan bahan bakar bensin meningkat dengan pesat.

Dalam konteks global, produksi bio-ethanol meningkat secara signifikan di banyak negara

0% 2% 4% 6% 8%

10% 12% 14% 16%

2008 2009 2010 2015 2020 2025

Target  Campuran  Bio-­‐ -­‐ Ethanol

Bio-­‐ethanol  untuk  Transportasi  Bukan  –  PSO  (Layanan  Masyarakat) Bio-­‐ethanol  untuk  Transportasi  Kewajiban  Layanan  Masyarakat  (PSO) Bio-­‐ethanol  untuk  Industri

Sumber: Permen. ESDM RI No. 32 tahun 2008

Gambar 5. Target campuran bio-ethanol pada bahan bakar bensin

Page 19: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan18

Sumber: Analisis ICCC

Gambar 6. Kebijakan yang menghambat pencapaian ketentuan campuran bio-ethanol

dan kecenderungan ini akan terus berlanjut di masa depan. Setelah Brazil menjadi negara pertama yang menggunakan bio-ethanol sebagai bahan bakar nasional pengganti bensin, banyak negara telah menetapkan kewajiban atau mandat untuk pencampuran bio-ethanol dalam bahan bakar (gasoline), seperti: China, India dan Thailand.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia telah membuat ketentuan campuran bio-ethanol dengan bahan bakar bensin untuk sektor transportasi dan industri. Setelah tahun 2010, target pencampuran bio-ethanol dengan bahan bakar minyak di sektor transportasi

publik dan non-publik yang telah ditetapkan akan meningkat setiap 5 tahun, , seperti yang tergambar dalam Gambar 5. Untuk tahun 2025, campuran bio-ethanol dengan bensin ditargetkan mencapai 15%, baik untuk sektor transportasi maupun industri.

Meski telah memiliki ketentuan campuran bio-ethanol, pelaksanaannya berhenti pada tahun 2010 karena ketidaksepakatan dalam penentuan Indeks Harga antara produsen dengan Pemerintah (qq. Pertamina). Hingga sekarang belum ada kemajuan dalam pelaksanaan ketentuan campuran tersebut karena hanya didukung oleh Peraturan Menteri yang tidak memiliki sangsi

Empat Alasan Utama Mengapa Indonesia Belum Berhasil Menjalankan Ketentuan Campuran Bio-Ethanol

Page 20: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

19Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Kewenangan yang Jelas adalah Syarat Mendasar untuk Menarik Investasi

Sumber: FGD, Analisis ICCC

Gambar 7. Lembaga pemerintah yang terkait dengan produksi bio-ethanol transportasi

Ketentuan Campuran Bio-Ethanol Tidak Didukung oleh Pengaturan Kelembagaan yang Jelas

yang mengikat. Untuk melaksanakan ketentuan campuran BBN, Indonesia perlu memiliki regulasi yang lebih kuat.

Pelaksanaan ketentuan campuran bio-ethanol perlu didukung oleh keberadaan industri bio-ethanol yang menjamin ketersediaan pasokan bagi pasar. Investasi industri bio-ethanol untuk BBN mengalami berbagai kendala, mulai dari ketersediaan lahan, infrastruktur dan mekanisme pasar. Saat ini, tidak ada peraturan yang mengatur ketersediaan lahan untuk menanam tebu atau tanaman lain sebagai bahan baku bio-ethanol untuk BBN.

Di luar faktor sosial yang terkait dengan keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan, penelitian ICCC menemukan ada empat hal yang mengakibatkan ketentuan campuran bio-ethanol di Indonesia belum berhasil, yakni: status hukum lahan yang tumpang tindih, regulasi yang tidak mendukung untuk ketersediaan lahan, ketentuan campuran yang tidak mengikat, serta penyusunan kebijakan energi yang tidak terintegrasi.

Penelitian ICCC juga menemukan ada banyak lembaga pemerintah yang terkait dengan perizinan untuk menjalankan ketentuan

Page 21: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan20

Untuk mendorong perkembangan industri BBN bio-ethanol di Indonesia, ketersediaan lahan pertanian/perkebunan yang baru adalah syarat mutlak. Dengan menggunakan proyeksi produktivitas 6,000 liter bio-ethanol per ha lahan

kebun tebu dalam setahun, upaya pemenuhan ketentuan campuran bio-ethanol dalam bensin Indonesia memerlukan lahan baru seluas 1.5 juta ha. Lahan baru yang diperlukan seharusnya tidak boleh merusak hutan yang ada dan dapat diperoleh dengan biaya yang bersaing untuk industri bio-ethanol serta bebas dari konflik.

Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lahan terdegrasi seluas 78.43 juta ha, baik yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Hasil penelitian ICCC menunjukkan bahwa kebutuhan lahan seluas 1.5 juta ha tersebut bisa

KETERSEDIAAN LAHAN TERDEGRADASI (DL) DALAM WILAYAH HUTAN KONVERSI UNTUK BIO-ETHANOL

Catatan: 1) Provinsi dengan Lahan Terdegradasi > 100,000 ha dalam Kawasan Hutan Konversi akan diselidiki dengan mendalam2) SC = Sedikit Kritis (Slightly Critical), C = Kritis (Critical), VC = Sangat Kritis (Very Critical).

Sumber: Peta Lahan Kritis Direktorat Jenderal Perencanaan Kementerian Kehutanan

723,281

692,883

350,432

132,794

102,976

99,794

85,618

47,099

34,312

22,660

14,035

9,646

7,652

4,533

2,638

2,349

- 200,000 400,000 600,000 800,000

PapuaCentral Kalimantan

RiauMaluku

North MalukuRiau Island

West PapuaSouth Kalimantan

West SumateraSouth East Sulawesi

West KalimantanNTT

South SumateraNorth SumateraWest Sulawesi

Central Sulawesi

Provinsi

ha

Lahan Terdegradasi

Bukan Gambut(Tanah Mineral)

Daerah Datar (kemiringan <25%)

Karbon kurang dari 35ton/ha

Di luar perkebuan yang sudah ada

Di luar wilayah yang diberi izin

Kriteria Penyaringan

Provinsi1)

PapuaKalimantan Tengah

Riau

Maluku

Maluku Utara

DL Dalam Kawasan Hutan Konversi(‘000 ha)

SC2) C 2) VC 2) Total DL

696 25 2

243 343 107

191 137 22

128 5 0

57 31 15

723

693

350

133

103

1

2

3

4

5

Kepulauan Riau 31 18 51 1006

TOTAL 1,346 559 197 2,102

Gambar 8. Hutan konversi terdegradasi yang tersedia untuk perkebunan tebu bio-ethanol

Ketersediaan Lahan Terdegradasi (DL) dalam Wilayah Hutan Konversi untuk Bio-Ethanol

Sumber: Peta Lahan Kritis Direktorat Jenderal Perencanaan Kementerian Kehutanan

campuran BBN. Kendala koordinasi di antara banyak lembaga pemerintah membuat proses perizinan memerlukan waktu yang lama dan biaya tidak efisien. Keberhasilan pelaksanaan ketentuan campuran BBN memerlukan penataan kelembagaan yang jelas, penyederhanaan prosedur perizinan dan kebijakan nasional yang disusun bersama antara Presiden dan DPR.

Page 22: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

21Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

dipenuhi di enam propinsi di Indonesia yang memiliki lahan terdegradasi dalam kawasan Hutan Konversi, yakni: Papua, Kalimantan Tengah, Riau, Maluku, Maluku Utara dan Kepulauan Riau. Proses penyaringan lahan terdegradasi dengan 6 kriteria tercantum dalam Gambar 8, menunjukkan ke-enam propinsi tersebut memiliki lahan terdegradasi kira-kira 2.1 juta ha. Dengan ketersediaan lahan untuk memenuhi ketentuan campuran BBN untuk bensin dan upaya mengembangkan teknologi di masa depan, Indonesia memiliki peluang untuk untuk mencapai kemandirian energi (energy independence) yang berpengaruh secara regional, termasuk kemungkinan untuk melakukan ekspor bio-ethanol di masa mendatang.

Dari segi ekonomi, pengembangan industri bio-

ethanol dengan tingkat produktivitas tersebut diperkirakan dapat memberi nilai tambah setiap hektar lahan yang ditanam tebu sekitar USD 2,500 setiap tahun. Dari menelaah model bisnis “industri bio-ethanol terintegrasi”, ICCC memperkirakan IRR investasi dalam keadaan normal akan berkisar pada 20% dengan masa pengembalian investasi selama 8 tahun. Dalam keadaan pesimis, investasi masih akan memberikan IRR sekitar 14% dengan masa pengembalian investasi selama 13 tahun. Di luar dampak finansial dan pengurangan emisi, melalui program ini Indonesia akan mendapat beberapa keuntungan ekonomi makro berupa: pengurangan defisit perdagangan, memperbesar ekonomi dalam negeri melalui “multiplier effect” dan meningkatkan kemandirian energi.

USD/ha/tahun

964

699138

720 2,521

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

Kebun Kilang Distribusi Eceran Nilai Tambah dari"Multiplier Effect"

Penciptaan NilaiTambah Ekonomi

PERKIRAAN PENCIPTAAN NILAI TAMBAH EKONOMI1) DARI BIO-ETHANOL TRANSPORTASI2) PADA LAHAN TERDEGRADASI

Gambar 9. Rangkaian penciptaan nilai tambah industri bio-ethanol transportasi

Perkiraan Penciptaan Nilai Tambah Ekonomi1) dari Bio-Ethanol Transportasi2) pada Lahan Terdegradasi

Sumber: Studi Literatur, Wawancara dan Analisis ICCC

Page 23: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan22

Selain itu, akibat berkurangnya cadangan minyak dengan biaya produksi rendah, harga minyak di masa mendatang akan meningkat hingga di atas harga bio-ethanol. Pemakaian tebu sebagai sumber bahan baku akan memberi BBN pengganti bensin yang paling murah per satuan energi dibandingkan dengan bahan bakar dari sumber-sumber lain, termasuk jika dibandingkan dengan BBN selulosik. Dalam jangka panjang, diproyeksikan bahwa permintaan biofuel akan semakin meningkat.

Hasil penelitian ICCC memperlihatkan bahwa pengembangan industri bio-

ethanol di lahan terdegradasi perlu disertai beberapa upaya sekaligus yang memperkuat faktor pendorongnya dan menghilangkan hambatan yang ada. Seperti tercantum dalam Gambar 11, faktor-faktor pendorong bagi pengembangan industri bio-ethanol adalah kenaikan harga bahan bakar fosil, penurunan investasi dalam eksplorasi minyak, bertambahnya beban ekonomi negara karena impor minyak, meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan, serta tumbuhnya kesadaran akan pentingnya keamanan/kemandirian energi.

Gambar 10. Proyeksi manfaat ekonomi pemakaian BBN dilihat dari berbagai jenis teknologi

Indonesia akan Menuai Manfaat Ekonomi dan Lingkungan Hidup dari Pelaksanaan Kebijakan Bahan Bakar Nabati

Biaya-biaya mencerminkan harga setara eceran rata-rata global tanpa pajak.Perbedaan secara regional dapat terjadi akibat perbedaan harga bahan baku (feedstock) dan faktor-faktor biaya lainnya.

Sumber: IEA

Perbandingan Biaya berbagai Bahan Bakar Nabati terhadap Bensin (Gasoline) dalam Skenario BLUE Map

Page 24: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

23Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Penggunaan Lahan Terdegradasi Untuk Tanaman Yang Mengembangkan Industri Bioethanol

Gaya Penggerak Utama Gaya Penahan Utama

Peningkatan Harga Bahan Bakar Fosil Secara Signifikan

Pengurangan Eksplorasi Minyak Secara Signifikan Biaya Produksi Yang Tinggi

Peraturan/Kebijakan Yang Tidak Kondusif

Peningkatan Beban Ekonomi Akibat Impor Bahan Bakar Fosil

Peningkatan Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup

Peningkatan Kepedulian Pada Keamanan/Kemandirian Energi

Harga Jual Yang Tidak Layak

Tantangan Perubahan Teknologi(Fleksibilitas Mesin Mobil)

Biaya Bahan Baku Yang Tinggi

PEN

GG

UN

AA

N L

AHA

N T

ERD

EGR

ADA

SI

UN

TUK

TAN

AM

AN

YAN

G M

ENG

EMB

ANG

-K

AN IN

DU

STR

I BIO

ETH

ANO

L

Sumber: Analisis ICCC

Gambar 11. Faktor-faktor yang menentukan kesuksesan industri bio-ethanol di lahan terdegradasi

Membuat Ketentuan Bio-Ethanol Terlaksana adalah Upaya dari Berbagai Elemen Tindakan

Upaya menciptakan industri bio-ethanol yang bersaing di Indonesia perlu lima pra-syarat yang mencakup kebijakan/peraturan, para pelaku industri yang tepat, pemangku kepentingan yang mendukung, infrastruktur yang cukup, serta implementasi kebijakan/regulasi yang konsisten. Uraian prasyarat tersebut dicantumkan dalam Gambar 12.

Dari penelitian ini, ICCC menyimpulkan bahwa manfaat upaya-upaya pengembangan industri bio-ethanol di Indonesia selain untuk mendorong transportasi yang rendah emisi juga memberi keuntungan dari segi ekonomi dalam hal pengurangan impor BBM, upaya pemanfaatan lahan terdegradasi untuk mengurangi pemakaian hutan tanaman

Page 25: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan24

Sumber: FGD

Gambar 12. Pra-syarat untuk keberhasilan penerapan ketentuan campuran bio-ethanol

industri. Kajian ICCC memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan industri bio-ethanol karena ketersediaan lahan terdegrasi yang lebih besar dari kebutuhan. Di samping itu, penggunaan bio-ethanol di masa mendatang

Persyaratan untuk Melaksanakan Ketentuan Campuran Bio-Ethanol

bernilai strategis karena harganya akan lebih murah dari BBM. Secara global, di masa mendatang, upaya peningkatan penggunaan bio-ethanol dan BBN secara umum di banyak negara akan menggunkan teknologi generasi ke-2 (selulosik) dan ke-3 (micro-algae).

Page 26: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

25Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Sebagai informasi, masukan yang terangkum di sini diperoleh dari proses merangkum masukan dalam pertemuan dengan para pemangku kepentingan (stock taking) terhadap paparan penelitian ICCC yang dipresentasikan oleh Koordinator LEDS. Proses untuk mendapatkan masukan tersebut dilakukan pada hari pertama dialog kebijakan.

Masukan penting yang diperoleh dari proses stock taking secara garis besar bisa dipaparkan berikut ini:

1. Meski telah ada ketentuan pencampuran bio-ethanol, pemakaian bio-ethanol untuk transportasi nasional di Indonesia berhenti pada tahun 2010 karena kegagalan dalam kesepakatan Indeks Harga.

2. Harga bio-ethanol di Indonesia menjadi mahal karena sumber bahan bakunya (tebu dan singkong) bersaing dengan bahan pangan (gula dan tapioka) karena bersumber dari lahan produksi pertanian/perkebunan yang sama.

3. Upaya penanaman tebu untuk produksi bahan bakar bio-ethanol secara terintegrasi belum didukung oleh kebijakan/peraturan untuk ketersediaan lahan. Lahan yang sudah ada untuk menanam bahan-bahan pangan kebutuhan pokok tidak boleh dipakai untuk produksi BBN. Tanpa kebijakan/peraturan yang mendukung, proses perijinan menjadi

Rangkuman Masukan (Stock Taking)

berbelit-belit, memakan waktu yang lama dan risikonya sulit diukur.

4. Dari kalangan aktivis lingkungan muncul kritik terhadap pola monokultur dari perkebunan-perkebunan yang menanam bahan dasar bio-ethanol tetapi hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada tanaman komoditas yang lain.

5. Produksi bio-ethanol memerlukan pengaturan tata niaga (distribusi) yang sejalan dengan BBM.

6. Untuk mendorong investasi, sekurang-kurangnya insentif diberikan melalui kebijakan harga yang setara perlakuannya dengan BBM. Ada empat alternatif kebijakan insentif yang dapat dilakukan, yaitu: realokasi subsidi BBM ke BBN untuk menurunkan biaya perolehan BBN (re-allocating), memberi harga bio-ethanol yang layak sesuai dengan keekonomian pasar (re-pricing), mengurangi subsidi BBM agar produsen bio-ethanol dapat menerima harga yang layak sesuai dengan keekonomian pasar (re-balancing) dan menghilangkan subsidi BBM.

7. Juga perlu peraturan/ketentuan yang mendukung produksi mesin mobil dengan campuran bahan bakar bio-ethanol yang fleksibel agar proses distribusi dan pemakaian bahan bakar oleh konsumen dapat berlangsung sesuai dengan perkembangan campuran bio-ethanol yang

Page 27: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan26

ditentukan meningkat secara bertahap.8. Kekuatan hukum yang mendasari kebijakan

pencampuran bio-ethanol dalam bahan bakar harus ditingkatkan menjadi setara dengan undang-undang atau regulasi yang lebih kuat agar bersifat mengikat bagi semua pemangku kepentingan industri.

9. Kebijakan BBN sektor transportasi memerlukan pengaturan kelembagaan yang jelas dan terkoordinasi dengan baik. Kompleksitas pengaturan kelembagaan saat ini menjadi penghalang industri bio-ethanol yang sukses.

10. Kebijakan pengembangan bio-ethanol di Indonesia juga harus memperhatikan arah perkembangan teknologi BBN sehingga Indonesia perlu mulai mendorong investasi dalam pengembangan teknologi generasi ke-2 dan ke-3.

11. Untuk mendorong akselerasi pengembangan industri bio-ethanol, diperlukan kepemimpinan yang kuat disertai visi yang jelas.

Page 28: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

27Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Sintesis Hasil Diskusi

Dari paparan hasil penelitian ICCC yang dilanjutkan dengan proses merangkum masukan pada hari pertama dialog kebijakan, diperoleh kesimpulan bahwa upaya pengembangan industri bio-ethanol belum dapat terlaksana dengan baik di Indonesia. Padahal ada beberapa manfaat dari berkembangnya industri bio-ethanol yang berkelanjutan (secara ekonomi, sosial dan lingkungan) yang belum bisa dirasakan Indonesia: manfaat ekonomi karena berkurangnya impor minyak dan penghematan biaya dengan harga bio-ethanol lebih murah dari bensin di masa mendatang, potensi penyediaan tenaga kerja karena berkembangnya industri, sampai manfaat lingkungan terkait pengurangan emisi gas rumah kaca, konservasi lahan terdegradasi dan pencegahan pemakaian hutan untuk industri.

Kebijakan Indonesia untuk campuran bio-ethanol, sifatnya tidak mengikat sehingga tidak ada kewajiban untuk menggunakan bio-ethanol. Dari sudut pandang yang lebih luas, kebijakan energi (BBN) di Indonesia bisa dikatakan tidak terintegrasi dan bersifat sektoral, mulai dari tahapan persiapan lahan dan pengurusan ijin, sampai dengan tahapan tata niaga (pasar). Koordinasi antar instansi untuk mendukung iklim investasi dan pasar yang efisien belum terjalin dengan baik. Indonesia juga belum menyediakan insentif yang menarik baik bagi investor maupun bagi pemakai BBN. Semua ini mengakibatkan tidak berkembangnya industri bio-ethanol.

Di balik tantangan tersebut di atas, Indonesia memiliki peluang yang baik untuk mengembangkan industri bio-ethanol. Penelitian ICCC memberi gambaran bahwa Indonesia memerlukan sekitar 1.5 juta ha lahan untuk pengembangan industri bio-ethanol. Enam provinsi di Indonesia memiliki total sekitar 2.1 juta ha lahan terdegradasi dalam Kawasan Hutan yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan/pertanian bahan baku bio-ethanol seperti tebu dan singkong. Mengingat potensi lahan terdegradasi yang ada dan berbagai manfaat yang diperoleh jika bio-ethanol dipergunakan untuk bahan bakar transportasi, baik dalam jangka pendek maupun panjang, pilihan pengembangan industri bio-ethanol yang berkelanjutan di Indonesia menjadi patut dipertimbangkan.

Dari diskusi untuk merangkum masukan dari para pemangku kepentingan, ICCC mendapat gambaran bahwa faktor kepemimpinan (leadership) dan insentif adalah hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendorong pengembangan industri bio-ethanol di Indonesia. Pemahaman ini mengantarkan para peserta dialog untuk melakukan diskusi lebih lanjut terkait isu kepemimpinan (leadership), insentif dan beberapa isu penting lainnya.

Beberapa pertanyaan panduan disiapkan untuk memudahkan peserta fokus membahas isu tersebut. Ada dua pertanyaan panduan di hari pertama, dilanjutkan dengan satu pertanyaan panduan di hari kedua. Adapun pertanyaan-

Page 29: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan28

pertanyaan panduan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepemimpinan (leadership) seperti apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang selama ini ditemui dalam mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia?

2 Insentif apa yang diperlukan dalam rangka mengembangkan industri bio-ethanol?

3. Faktor-faktor apa yang memungkinkan/diperlukan (enabling condtions) untuk mengembangkan dan menggulirkan investasi bahan bakar transportasi yang rendah emisi?

Prinsip

Dalam rangka mendorong dan mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia, ada beberapa prinsip yang harus selalu dipegang teguh, yakni:

1. Untuk kepentingan rakyat.2. Dilakukan untuk mendukung kedaulatan

energi.3. Berlandaskan pada keadilan, kesetaraan dan

keterlibatan.4. Tidak merusak lingkungan.

Kepemimpinan

Pertanyaan: Kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang selama ini ditemui dalam mengembangkan industri bio-ethanol?

1. Dalam rangka mendorong pengembangan industri bio-ethanol di Indonesia, diperlukan kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan ini harus disertai dengan visi yang revolusioner dan target yang tidak linier (mampu mempertimbangkan proyeksi potensi-potensi energi yang akan datang). Kepemimpinan ini juga harus dilengkapi kemampuan untuk menetapkan prioritas implementasi yang tepat dan jelas. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa kepemimpinan ini harus dimiliki oleh semua lapisan kepemimpinan, dari lapis atas sampai bawah. Dengan demikian, akan lahir pengambil keputusan yang memahami persoalan dan handal untuk menentukan masa depan industri bio-ethanol di Indonesia.

2. Dengan sikap kepemimpinan yang kuat, diharapkan mampu terbangun sistem dan kelembagaan yang baik, disertai penetapan peran dan fungsi bagi para pihak yang terlibat. Indikator kinerja untuk menentukan keberhasilan juga harus ditetapkan. Kelembagaan yang ada haruslah ditata dan dikelola secara terintegrasi, dari hulu sampai ke hilir.

3. Kepemimpinan yang kuat harus mampu melahirkan regulasi baru dan/atau membenahi regulasi yang ada, agar tercipta proses pengaturan yang jelas dan saling padu. Dalam rangka membenahi regulasi yang sudah ada, perlu dilakukan regulatory audit

Page 30: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

29Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

untuk mengetahui dan menentukan regulasi mana yang harus dibenahi, disempurnakan ataupun dibentuk yang baru.

4. Kepemimpinan tersebut juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas serta alat dan teknologi yang handal. Pembenahan sistem, sumber daya manusia serta alat dan teknologi juga harus didasarkan pada audit yang baik.

5. Terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan kehandalan alat/teknologi untuk mendukung kepemimpinan, haruslah ada komitmen yang kuat untuk mendorong dan memperkuat riset dan pengembangan (research and development). Salah satu hal yang juga dipandang penting dan diharapkan ialah regulasi pengelolaan keuangan/pendanaan yang khusus untuk penguatan riset dan pengembangan tersebut.

6. Kepemimpinan yang kuat tersebut haruslah disertai dengan keberadaan sistem dan mekanisme informasi yang baik dan akurat yang bisa menjangkau dan menggerakkan semua pemangku kepentingan.

7. Kepemimpinan yang kuat berarti juga dilengkapi oleh kemampuan jejaring yang baik untuk merangkul dunia usaha (investasi) baik dari dalam maupun luar negeri.

Insentif dan Bentuk Dukungan Lain

Pertanyaan: Insentif apa yang diperlukan dalam rangka mengembangkan industri bio-ethanol?

Diskusi mendalam antar para peserta mengenai insentif menghasilkan kesepahaman bahwa penentuan/penetapan insentif haruslah didukung oleh regulasi yang kuat, jelas dan bisa ditegakkan. Dalam hal ini, regulatory audit perlu dilakukan untuk memahami insentif yang diperlukan.

Insentif tidak harus dibatasi hanya pada keuntungan finansial semata. Meski tidak dalam bentuk insentif finansial, kemudahan dan dukungan tertentu, serta bentuk-bentuk penghargaan kepada mereka yang berhasil juga harus ada dan jelas. Perlu dicatat, bahwa insentif dan bentuk dukungan tersebut haruslah tersedia baik bagi investor maupun pengguna/pemakai bio-ethanol.

Selain itu, para peserta menilai bahwa industri bio-ethanol memiliki tiga tahapan, yaitu tahap saat industri baru dibangun dan dimulai (start-up), tahap industri sedang bertumbuh, serta tahap konsolidasi industri. Oleh karena itu, insentif yang diberikan juga harus disesuaikan dengan masing-masing dan/atau beberapa tahap perkembangan industri.

Adapun insentif-insentif pada setiap tahap adalah sebagai berikut:

Page 31: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan30

Faktor yang Memungkinkan untuk Pengembangan dan Perguliran Investasi

Pertanyaan: Faktor-faktor apa yang merupakan persyaratan untuk berhasil (enabling conditions) untuk mengembangkan dan menggulirkan investasi bahan bakar transportasi yang rendah emisi?

Dari diskusi mendalam antara para peserta diperoleh kesepakatan bahwa paling tidak hal-hal berikut merupakan persyaratan untuk berhasil (enabling conditions) dalam mengembangkan dan menggulirkan investasi bahan bakar transportasi yang rendah emisi. Persyaratan tersebut adalahtersebut adalah:

1. Kepemimpinan yang kuat (lihat penjelasan terdahulu).

1. Tahap memulai industri (start-up). Beberapa insentif ataupun dukungan yang diharapkan para investor adalah: pembebasan pajak sementara (tax holiday), penyederhanaan ijin untuk lahan, jaminan kepastian pasar, dukungan terhadap riset dan pengembangan (dalam bentuk pemberian dana dan bentuk-bentuk lainnya), serta penghargaan/pengakuan bagi investor yang berhasil. Sementara untuk pengguna, haruslah bisa diyakinkan bahwa jika pengguna bahan bakar beralih ke bio-ethanol, maka keuntungan yang lebih baik (harga lebih murah) akan diperoleh.

2. Tahap pertumbuhan industri. Untuk investor, insentif yang diharapkan tersedia adalah adanya harga indeks yang disepakati bersama dan ditetapkan pemerintah, serta dilaksanakan secara bersama oleh para investor. Jika ada harga di luar harga keekonomian dan harga indeks, perlu disediakan regulasi tataniaga yang mengatur dari hulu hingga hilir. Juga pemerintah perlu menetapkan ketentuan pembagian wilayah distribusi antar para investor atas dasar kesepakatan bersama. Insentif bagi investor yang bersedia menjual bio-ethanol ke daerah dengan jumlah pemakaian yang rendah juga harus disediakan. Dukungan terhadap riset dan pengembangan (dalam bentuk pemberian dana dan bentuk-bentuk lainnya) juga perlu disediakan. Sementara

itu, pengguna haruslah diyakinkan bahwa pemakaian campuran bahan bakar bio-ethanol memberi keuntungan dalam jangka panjang.

3. Tahap konsolidasi industri. Bentuk insentif yang diharapkan di sini adalah insentif fiskal bagi daerah-daerah yang melakukan inisiatif penurunan konsumsi BBM bersubsidi. Kebijakan daerah-daerah untuk menjalankan inisiatif ini bisa menjadi salah satu indikator kinerja daerah.

Page 32: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

31Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

2. Insentif dan bentuk dukungan lain (lihat penjelasan terdahulu).

3. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten.

Dalam rangka mendorong dan mengembangkan industri bio-ethanol, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Tentu saja ini bisa dilakukan sesudah adanya regulasi yang jelas dan terpadu dengan dilandasi regulatory audit yang baik.

4. Sistem dan mekanisme komunikasi kebijakan kepada publik.4.1. Sesudah adanya kebijakan dan regulasi

yang baik, jelas dan terpadu, para peserta menyepakati perlu adanya lembaga/institusi yang mampu mengkoordinir pelaksanaan dan pengawasan kebijakan. Institusi tersebut bisa saja berasal dari lembaga yang sudah ada, namun diberi mandat khusus untuk melakukannya. Institusi tersebut juga memiliki tugas untuk mengkoordinir semua lembaga/instusi yang terkait.

4.2. Komunikasi kebijakan dari pusat ke daerah haruslah dilakukan secara top-down, dikoordinasikan oleh lembaga yang sudah mendapat mandat tersebut. Daerah yang bisa mengimplementasikan kebijakan dengan baik haruslah mendapat penghargaan (reward) yang jelas sehingga daerah tertarik untuk melaksanakannya.

4.3. Kebijakan mengenai pengembangan industri bio-ethanol haruslah diteruskan/dikomunikasikan dengan efektif kepada publik dalam berbagai bentuk media komunikasi. Isi komunikasi yang ditonjolkan haruslah terfokus pada tujuan dan kegunaan pengembangan industri bio-ethanol untuk masa depan Indonesia dan bersifat menggugah sehingga kebijakan tersebut mendapat dukungan dari masyarakat.

4.4. Untuk mengetahui dan menilai efektivitas dari upaya-upaya sosialisasi dan komunikasi kebijakan tersebut kepada publik, harus dibuat indikator/alat ukurnya.

Page 33: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan32

Pencapaian Hasil (Output) Kegiatan

Dialog kebijakan tentang green transportation fuel ini dilaksanakan untuk mendapatkan tiga hasil (output).

Output pertama adalah adanya pemahaman dan pengetahuan yang disebarkan kepada para peserta mengenai tiga hal. Pertama adalah tentang prasyarat-prasyarat untuk mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia yang berasal dari tebu (sugarcane) dan bahan-bahan selulosik (cellulosic materials). Kedua adalah status terkini mengenai kebijakan, sumberdaya nasional, insentif dan program-program yang sudah ada. Ketiga adalah mengenai kesenjangan-kesenjangan yang ada terkait kebijakan dan implementasi.

Untuk output pertama, melalui informasi yang terdapat dalam paparan Koordinator LEDS, tergantung pada faktor-faktor pendorong utama serta enabling conditions untuk mengembangkan industri bio-ethanol. Selain itu, terkait dengan kebijakan juga telah dijelaskan tentang persoalan ketentuan campuran bio-ethanol yang belum terlaksana akibat kesenjangan antara kebijakan dan implementasi. Sumber daya nasional untuk mengembangkan industri ini misalnya bisa dilihat dari potensi penggunaan lahan terdegrasi untuk bio-ethanol.

Output kedua yang diharapkan dari dialog kebijakan ini adalah beberapa rekomendasi mengenai arah kebijakan strategis (strategic policy directions) dan insentif untuk mengembangkan

bahan bakar transportasi yang rendah emisi (green transportaton fuel). Untuk bagian insentif, banyak yang telah dibahas dalam dialog kebijakan ini dan bisa dilihat dalam bagian insentif.

Untuk rekomendasi mengenai arah kebijakan strategis, beberapa hal berikut yang diperoleh dari diskusi bisa menjadi panduan/arah kebijakan strategis:

1. Pertama, pengembangan industri bio-ethanol harus mendasarkan diri pada empat prinsip, yakni: untuk kepentingan rakyat; dilakukan dalam rangka mendukung kedaulatan energi; berlandaskan pada keadilan, kesetaraan dan keterlibatan; serta tidak merusak lingkungan.

2. Mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan rendah emisi.

3. Mampu melihat tantangan yang dihadapi Indonesia terkait bahan bakar fosil dewasa ini dan memanfaatkan peluang yang dimiliki, misalnya potensi penggunaan lahan terdegradasi.

4. Harus dikaitkan dengan proyeksi penggunaan energi terbarukan di masa depan pada tingkat global.

Terakhir, untuk output ketiga yang diharapkan adalah identifikasi dari syarat-syarat yang memungkinkan/diperlukan (enabling conditions)

Page 34: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

33Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

untuk mengembangkan dan menggulirkan investasi bahan bakar transportasi yang rendah emisi (green transportation investment roll out). Dari diskusi mendalam antar peserta, syarat-syarat tersebut adalah: kepemimpinan yang kuat; insentif dan bentuk dukungan lain; penegakan hukum yang tegas dan konsisten; serta sistem dan mekanisme komunikasi kebijakan kepada publik.

Dengan demikian, melalui proses yang dilakukan dalam dialog kebijakan ini, hasil yang diinginkan dapat dikatakan sudah tercapai.

Page 35: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan34

Kesimpulan

Dari dialog kebijakan yang bertemakan “Strategic Policy Direction for Green Transportation Fuel” ini diperoleh kesimpulan bahwa penting untuk mendorong dan mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia dalam rangka mengurangi defisit neraca perdagangan, memberikan lapangan kerja di daerah produksi di pedesaan dan mewujudkan green transportation (transportasi rendah emisi). Selain itu, pengembangan industri bio-ethanol akan memanfaatkan peluang untuk mengelola lahan terdegradasi (degraded land) yang masih luas dalam fungsi konservasi dan pencegahan pemakaian sisa hutan yang masih ada untuk industri.

Selain itu, dalam jangka panjang, penggunaan bio-ethanol bernilai strategis karena harganya akan lebih murah dari bahan bakar bensin. Secara global, penggunaan bio-ethanol juga telah dan akan menjadi arah kebijakan energi di banyak negara untuk masa mendatang.

Selain itu diperoleh juga kesepamahaman bahwa jika ingin mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia, dibutuhkan syarat-syarat berikut yakni: kepemimpinan yang kuat, insentif dan bentuk dukungan lainnya, penegakan hukum yang tegas dan konsisten, serta sistem dan mekanisme komunikasi kebijakan ke publik.

Kemudian, penting untuk digarisbawahi bahwa dalam rangka mendorong dan mengembangkan industri bio-ethanol di Indonesia, ada beberapa prinsip yang harus selalu dipegang teguh, yakni: untuk kepentingan rakyat; dilakukan dalam rangka mendukung kedaulatan energi; berlandaskan pada keadilan, kesetaraan dan keterlibatan; serta tidak merusak lingkungan.

Page 36: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

35Arah Kebijakan Strategis untuk Mendorong Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Referensi

DNPI. 2013. Integrated Framework of National Appropriate Mitigation Actions (NAMAs). Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta, Indonesia.

DNPI. 2014. Updating the Indonesia GHG Abatement Cost Curve. Dipresentasikan pada “Lokakarya Awal Kajian Pembaharuan Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK Indonesia” di DNPI, 22 Januari 2014. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta, Indonesia.

ICCC. 2014. Final Report: Crop to Energy on Degraded Land as a step toward Energy Independence, Carbon Sink Agriculture and Protection of REDD+ Designated Areas. Indonesia Climate Change Center. Jakarta, Indonesia.

Page 37: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

Laporan Sintesis Dialog Kebijakan36

Page 38: Pengembangan Bahan Bakar Transportasi Rendah Emisi

ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN

BAHAN BAKAR TRANSPORTASI RENDAH EMISILAPORAN SINTESIS DIALOG KEBIJAKAN, JAKARTA 23-24 JUNI 2014

Indonesia Climate Change Center

Gd. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi I16th. Fl. Jl. M.H. Thamrin 8, Jakarta 10340, Indonesia

Tel. +62 21 3190 4635

www.iccc-network.net