pengelolaan cairan perioperatif-journal reading
TRANSCRIPT
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
EDITORIAL
Manajemen cairan pada operasi besar: bilamanakah cukup?( Berg R van den, Heuvel SAS van den, Boschker M, Scheffer GJ
Departemen Anaesthesiology, Radboud University Medical Centre Nijmegen, the Netherlands, Netherlands
Journal of Critical Care, 2007; p.231-3 )
Spesialis perawatan intensif dihadapkan dengan pasien pasca operasi setiap
harinya, Pada sebagian besar pasien ini telah dilakukan laparatomi untuk berbagai alasan.
Meskipun banyak buku dan artikel membahas manajemen cairan peroperatif, tidak ada
konsensus mengenai manajemen terapi cairan yang optimal pada pasien yang menjalani
laparotomi.
Sementara itu, sekitar 50 tahun yang lalu, rejimen cairan restriksi menjadi terapi
standar dan selama beberapa dekade berikutnya digunakan regimen cairan yang bebas.
Rejimen bebas ini sekali lagi diperdebatkan dan selama lebih dari 15 tahun terakhir,
pendekatan dengan regimen restriksi menjadi popular kembali. Diskusi tersebut penting
karena manajemen cairan perioperatif memiliki potensi besar yang mempengaruhi tingkat
morbiditas dan mortalitas. Dalam editorial ini kami akan menunjukkan keuntungan dan
kerugian utama dari kedua rejimen, yang berdasarkan literatur terakhir dalam panduan
tentang terapi cairan yang direkomendasikan.
Patofisiologi
Enam puluh persen dari berat badan total adalah air, yang terdistribusikan antara
kompartemen ekstraseluler dan intraseluler. Transpor cairan antara kompartemen tubuh
diatur oleh teori “keseimbangan Starling” yang menentukan perbedaan tekanan
hidrostatik dan tekanan onkotik serta koefisien spesifik permeabilitas. Membran sel
bersifat selektif permeabel sementara endotelium kapiler adalah non-selektif, dan
permeabel, baik terhadap air dan ion berukuran kecil tetapi relatif kedap untuk molekul
besar seperti protein. Oleh karena itu penentu utama perpindahan air antara plasma dan
cairan interstisial adalah konsentrasi plasma protein.
Dua komponen utama terhadap respon stress pada pembedahan adalah respon
endokrin dan respon sitokin. Respon endokrin terhadap trauma pembedahan mengarah ke
1
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
penyimpanan natrium dan air dan ekskresi kalium, dengan mediator utama hormon
antidiuretik (ADH) dan sistm renin-angiotensine-aldosteron. Beberapa mediator lainnya,
yang ditingkatkan oleh stres pembedahan, dapat mempengaruhi distribusi cairan.
Peningkatan sekresi kortisol, yang merupakan respon stress yang signifikan, mungkin
sangat penting dalam mengontrol homeostasis cairan, utamanya sebagai perantara respon
stres lainnya dalam menjaga integritas kapiler. Selain itu, cortisol-induced yang dihambat
oleh respon inflamasi pada trauma dapat mengurangi perpindahan cairan pasca operasi.
Respon sitokin, yang terdiri dari IL-1, IL-6 dan TNF-α yang setelah operasi besar dapat
menyebabkan perubahan permeabilitas endotel dan vasodilatasi, yang menyebabkan
kehilangan protein dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.
Hal ini secara teoritis menyebabkan peningkatan tekanan oncotik interstisial yang
selanjutnya akan meningkatkan perpindahan cairan transkapiler ke interstitial dan
akhirnya mengarah kepada terjadinya edema jaringan.
Basah atau Kering
Untuk beberapa dekade anaestesiologis dan spesialis perawatan intensif
menganjurkan rejimen cairan yang bebas. Hal ini didasarkan pada kehilangan ruang
ketiga seperti yang dinyatakan oleh Shires dan ketakutan pada kemungkinan komplikasi
akibat pemberian cairan yang tidak memadai dalam hal ini mengurangi volume sirkulasi
yang efektif, pengalihan darah dari organ-organ non-vital (usus, kulit, ginjal) ke organ
vital (otak, jantung) yang mungkin akan mengakibatkan iskemik gastro-intestinal dan
insufisiensi ginjal.
Penelitian terbaru yang membandingkan antara pemberian rejimen cairan yang
bebas dan rejimen cairan restriksi (tertentu) pada pembedahan perut (operasi mayor) telah
menunjukkan hasil bahwa, walaupun selama beberapa dekade efek dari pemberian cairan
yang tidak memadai seharusnya lebih merugikan dibandingkan dengan pemberian
rejimen cairan yang lebih bebas, namun sebaliknya pemberian regimen cairan yang lebih
bebas kemungkinan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Brandstrup dkk mengelompokkan 141 pasien ASA I-III yang bedah colorectal
dalam dua kelompok, grup rejimen restriksi (RPG) dan grup rejimen bebas (LPG). Pada
kelompok RPG, yang bertujuan mempertahankan berat badan yang tetap, kehilangan
2
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
cairan eksternal hanya diganti dengan menggunakan HAES 6%. Hipotensi dan oliguria
ditangani sesuai dengan algoritma yang sama pada kedua kelompok. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat penurunan komplikasi pasca operasi secra signifikan (31%
vs 55%) pada kelompok RPG.
Nisanevich dkk memilih secara acak 152 pasien yang menjalani bedah elektif
intra-abdomen, dikelompokkan dalam grup LPG dan RPG. Status ASA dikelompokkan
dari ASA I-III (25% diklasifikasikan ASA III, yang secara signifikan lebih dari 3%
diantaranya telah dikelompokkan sebelumnya oleh Brandstrup et al). Kelompok LPG
mendapat bolus 10 ml/kg diikuti oleh 12 ml/kg/jam, sedangkan RPG menerima 4
ml/kg/jam larutan Ringer laktat's. Pasien kelompok LPG melalui defekasi secara
signifikan beberapa hari kemudian (6 vs 4 hari) dan secara signifikan lama rawat (length
of stay=LOS) pasca operasi lebih lama (9 vs 8 hari).
Lobo dkk mengelompokkan 20 pasien, yang diklasifikasikan dalam ASA I atau II,
yang menjalani hemicolectomy. Manajemen peroperative sama pada kedua kelompok
pasien. Pasca operasi kelompok RPG diberi 77 mmol natrium dan 2 liter air sehari,
sedangkan kelompok LPG diberikan natrium 154 mmol dan 3 liter air. Waktu
pengosongan lambung dan defekasi dan flatus secara signifikan terjadi lebih lama pada
kelompok LPG. Pasien pada kelompok LPG terjadi efek samping yang lebih banyak dan
lama rawat (LOS) mereka secara signifikan lebih lama. Studi ini lebih menguntungkan
pada kelompok rejimen cairan selama periode perioperatif (Tabel 1).
3
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
Tabel 1: penelitian yang membandingkan kelompok dengan rejimen cairan yang liberal
(LPG) dan rejimen cairan yang terbatas (RPG) pada operasi besar (LOS=length of
stay=lama tinggal)
Peneliti Jumlah Pasien Hasil
Brandstrup et al 141 Pengurangan komplikasi pada RPG
Nisanevich dkk 152 kembalinya fungsi usus lebih awal, LOS lebih pendek pada
RPG
Lobo et al 20 Pengurangan efek samping, fungsi usus kembali lebih awal,
LOS lebih pendek pada RPG
( Dikutip dari Berg R van den, Heuvel SAS van den, Boschker M, Scheffer GJ. Fluid management in major
surgery: when is enough enough? In: Neth J Crit Care; 2007; p.232 )
Penentuan Tujuan Perioperatif
Manajemen cairan didasarkan pada protap dan protokol perbedaan tekanan,
sedangkan satu tujuan yang coba untuk dicapai adalah mengoptimalkan suplai yang
memadai ke berbagai organ untuk menjamin oksigenasi selular dan fungsi mitokondria.
Beberapa kesulitan timbul ketika kita mencoba untuk menilai perfusi jaringan atau
oksigenasi. Beberapa tahun terakhir banyak peneliti telah mencoba untuk menilai
kecukupan perfusi jaringan dengan mennggunakan berbagai marker (petanda) seperti
saturasi oksigen vena sentral (SCVO2), tekanan parsial karbon dioksida pada jaringan
(PCO2) dan pH jaringan (sebagai contoh, tonometri lambung). Namun, meskipun
terdapat perbaikan teknis, banyak peneliti, yang menggunakan salah satu modalitas di
atas menyimpulkan bahwa teknik ini menarik dalam fasilitas penelitian tetapi belum
dapat diterapkan dalam praktek klinis.
Bagaimana kita dapat memperkirakan kecukupan perfusi jaringan pada saat
periode perioperatif? Penggunaan variabel cardiac output, variabel yang paling banyak
diselidiki, mungkin masih merupakan cara terbaik untuk memperkirakan kecukupan
perfusi. Meskipun review terhadap Kolaborasi Cochrane tidak menunjukkan bukti
manfaat dari katerisasi arteri pulmonary (PAC) pada pasien yang menjalani operasi besar,
berbagai metode yang kurang invasif dikembangkan dan dibandingkan dengan PAC
dalam hal reliabilitasnya. Modalitas yang kurang invasiv ini, yang digunakan untuk
mengistimasi cardiac output digolongkan berdasarkan prinsip fisiologisnya: teknik yang
4
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
berdasarkan prinsip Fick, teknik yang menggunakan analisa kontur gelombang nadi dan
teknik Doppler oesophagus.
Prinsip Fick
Persamaan Fick (cardiac output sama dengan ΔVCO2/ΔETCO2) sering
digunakan untuk mengukur cardiac output dengan menggunakan sirkulasi pulmonal dan
kandungan oksigen pada arteri dan venanya. Kelemahan utama dari teknik ini adalah
fakta bahwa hanya sejumlah aliran darah saja yang terlibat dalam pertukaran gas
yang berkontribusi terhadap perubahan jumlah total karbon dioksida (VCO2) dan end-
tidal karbon dioksida (ETCO2). Oleh karena itu, shunting intrapulmonary dapat
mempengaruhi estimasi curah jantung. Untuk menghilangkan bias, perangkat monitoring
pasien yang didasarkan pada teknik ini digunakan untuk memperkirakan fraksi shunting
oleh perangkat pulsoximetry dikombinasikan dengan fraksi hirup dari oksigen (FiO2) dan
kandungan oksigen arteri (PaO2) yang diukur dalam gas darah arteri. Untuk
menggunakan teknik ini, pasien harus menggunakan ventilasi mekanik dan diperlukan
analisa gas darah arteri.
Monitor yang paling ekstensif dipelajari, yang digunakan pada prinsip di atas
adalah NICO (Novametrix Medical Systems Inc). Sementara beberapa penelitian telah
menunjukkan kesesuaian yang sama antara termodilusi dan output NICO jantung,
penelitian lain menunjukkan bahwa ketidakstabilan hemodinamik, penyakit paru-paru
atau atelektasis (yang biasa pada pasien yang akan menjalani operasi besar),
kesesuaiannya kurang. Cuschieri dkk menggambarkan sebuah pendekatan mudah yang
berlaku untuk Prinsip Fick dengan hanya menggunakan pCO2 vena sentral dan arteri.
Perbedaan vena-arteri yang terbukti terbalik, berkorelasi dengan indeks jantung yg
mengikuti regresi persamaan sederhana, yang berkorelasi dengan koefisien kuadrat (R2)
0,892. Dengan menggunakan pendekatan ini, hanya akses vena sentral dan arteri yang
dapat mewakili dalam memperkirakan output jantung.
Analisis Kontur Gelombang Nadi
5
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
Analisis kontur nadi pertama kali dijelaskan oleh Wesseling dkk. Metode ini
seakurat metode pemantauan cardiac output termodilusi yang sebelumnya ditunjukkan
oleh Mielck, Goedje dan Linton dkk, bahkan untuk pasien dengan syok septik yang
menerima katekolamin. Linton et al menunjukkan kesesuaian yang sama antara
termodilusi dan kontur nadi pada pengukuran curah jantung. Sebuah studi baru-baru ini
oleh Solus-Biguenet telah mengevaluasi prediktor-prediktor potensial untuk menilai
respon cairan selama operasi besar pada hati. Variasi pernafasan pada tekanan nadi
dinilai menggunakan gelombang arteri (PPVART), gelombang oksimetri nadi (PPVSAT)
dan metode FinapresTM (PPVFina) yang menggunakan pengukuran dari tekanan arteri
dengan menggunakan sebuah inflatable manset yang dikombinasikan dengan
plethysmograph inframerah. Studi ini menunjukkan bahwa PPVART dan PPVFina
berkorelasi dengan baik pada beban cairan-yang diinduksi oleh perubahan stroke volume.
Para peneliti menyimpulkan bahwa pengukuran respon cairan selama operasi besar dapat
dilakukan secara sederhana dan non-invasiv.
Oesophageal Doppler
Teknik Oesophageal Doppler menggunakan tranduser Doppler pada ujung sebuah
probe yang fleksibel yang diposisikan menghadap aorta descenden. Sebuah sinyal
kecepatan aorta yang khas, besarnya diperoleh dan ditentukan oleh kecepatan dari
pergerakan sel darah merah yang melewati aorta. Output jantung ditentukan dengan
mengalikan luas area di bawah kurva dengan luas penampang aorta. Selain itu, monitor-
monior ini memberikan sebuah parameter yang disebut corrected flow time (FTC) yang
merupakan waktu alir sistolik pada aorta desendens yang disesuaikan untuk denyut
jantung.
Dalam meta-analisis, Dark dkk (21 penelitian yang melibatkan 2400 pengukuran)
menyimpulkan monitor yang berbasis Doppler menunjukkan validitas yang tinggi untuk
memantau perubahan pada output jantung, namun ada kesesuaian klinis yang terbatas
antara termodilusi dan teknik Doppler ketika membandingkan nilai mutlak output
jantung.
Dengan mempertimbangkan keadaan teknologi saat ini, terlihat masuk akal untuk
menggunakan beberapa bentuk pengukuran curah jantung dalam menentukan strategi
6
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
cairan yang optimal selama operasi mayor. Selain itu juga, selama operasi hal itu akan
sangat berguna untuk memprediksi tingkat respon (kepekaan) cairan sebelum tatalaksana
jumlah cairan. Sinclair dkk, Gan dkk dan Noblett dkk ditugaskan pada kelompok pasien
yang berbeda untuk sebuah perawatan standar dan protokol kelompok.
Semua studi menggunakan protokol serupa di mana beban cairan diberikan jika
FTC (lihat di atas) lebih pendek dari 350 ms. Wakeling dkk melakukan percobaan
prospective randomized controlled untuk membandingkan esofagus Doppler yang
dipandu protokol cairan dalam pemantauan rutin tekanan vena sentral. Semua penelitian
ini menunjukkan penurunan morbiditas dan lama rawat pascaoperasi (Tabel 2).
Tabel 2: Penelitian yang membandingkan terapi cairan yang dipandu Doppler (kelompok
1) dengan protocol standar cairan (kelompok 2) dalam operasi besar (LOS = masa tinggal)
Peneliti Jumlah pasien Hasil
Sinclair et al 40 39% Penurunan LOS pada kelompok 1
Gan dkk 100 Kembalinya fungsi usus lebih awal, LOS 2 hari (5 ± 3 vs 7 ± 3)
lebih pendek pada kelompok 1
Noblett et al 108 86% pengurangan komplikasi pada kelompok 1, LOS 2 hari (7
vs 9) lebih
pendek pada kelompok 1
Wakeling dkk 128 Kembalinya fungsi usus lebih awal, LOS 1,5 hari (10 vs 11,5)
lebih pendek pada kelompok 1
( Dikutip dari Berg R van den, Heuvel SAS van den, Boschker M, Scheffer GJ. Fluid management in major
surgery: when is enough enough? In: Neth J Crit Care; 2007; p.232 )
Kesimpulan
Selama dekade terakhir tampaknya telah terjadi pergeseran dari penggunaan
rejimen cairan bebas menuju ke protokol yang lebih restriktif yang digunakan selama
operasi besar. Dalam banyak kasus, protokol standar penatalaksanaan cairan ditekan,
ditentukan dan berdasarkan pada formula, dan hiper-serta hipovolemia dengan mudah
dapat terjadi. Untuk lebih mengontrol oksigenasi jaringan dan status cairan intravaskuler
yang optimal, teknik yang lain masih sedang dipelajari. Mengukur aliran dan oksigenasi
jaringan tampaknya tak mampu (terjangkau) dilakukan pada praktek klinis, tapi pedoman
7
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
terhadap manajemen cairan yang menggunakan beberapa bentuk monitoring output
jantung telah terbukti layak dan kadang-kadang cukup sederhana dan non-invasif. Hal
yang perlu dicatat bahwa, sementara beberapa penelitian menggunakan pemantauan
Doppler yang telah menunjukkan bukti penurunan lama rawat dan morbiditas pasca
operasi, modalitas (teknik dopler) ini telah menemukan jalannya/perannya dalam
manajemen pasien kritis di ICU walaupun masih jarang digunakan dalam ruang operasi.
Meskipun tidak mungkin untuk menuliskan sebuah bukti berdasarkan pedoman
manajemen cairan yang didasarkan pada hasil dari penelitian yang dilakukan saat ini,
hingga tersedia lebih banyak bukti, tampaknya masuk akal untuk dapat melaksanakan
beberapa hasil dari penelitian tersebut dalam praktek klinis sehari-hari.
Berdasarkan penelitian ini, kita dapat berpikir bahwa, untuk mengurangi jumlah
cairan perioperatif yang dikelola dengan menggunakan pemantauan esofagus Doppler
dan hanya memberikan beban cairan ketika FTC turun di bawah 350 ms atau penurunan
stroke volume lebih dari 10% dari nilai terakhir, adalah dibenarkan. Ketika tidak ada
reaksi terhadap pemberian beban cairan dalam bentuk kenaikan pada stroke volumenya
dan FTC tetap kurang dari 350 ms, maka beban cairan lebih lanjut harus dihentikan dan
penanganan lainnya diperlukan (misalnya dengan dukungan inotropik). Pendekatan ini
telah terbukti mengurangi tingkat komplikasi pasca operasi dan lama rawat dan mudah
diterapkan dalam praktek klinis, sedangkan keuntungan dari rejimen cairan bebas belum
terbukti dalam hal hasil klinis.
Tapi mungkin, intinya bukanlah jumlah total cairan, tetapi 'jumlah cairan yang
tepat untuk pasien pada kondisi tertentu'.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore FD. Metabolic care of the surgical patient 1959
8
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
2. Joshi GP. Intraoperative fluid restriction improves outcome after major elective
gastrointestinal surgery. Anesth.Analg. 2005;2:601-605
3. Morgan GE. Clinical anesthesiology 2002
4. Grocott MP, Mythen MG, Gan TJ. Perioperative fluid management and clinical
outcomes in adults. Anesth.Analg. 2005;4:1093-1106
5. Desborough JP. The stress response to trauma and surgery. Br.J.Anaesth.
2000;1:109-117
6. Holte K, Sharrock NE, Kehlet H. Pathophysiology and clinical implications of
perioperative fluid excess. Br.J.Anaesth. 2002;4:622-632
7. Rassam S. Perioperative electrolyte and fluid balance. Continuing education in
anaesthesia, critical care and pain 2005;5:157-160
8. Shires T, Williams J, BROWN F. Acute change in extracellular fluids associated
with major surgical procedures. Ann.Surg. 1961;803-810
9. Brandstrup B, Tonnesen H, Beier-Holgersen R, Hjortso E, Ording H, Lindorff-
Larsen K et al Effects of intravenous fluid restriction on postoperative
10. complications: comparison of two perioperative fluid regimens: a randomized
assessor-blinded multicenter trial. Ann.Surg. 2003;5:641-648
11. Arkilic CF, Taguchi A, Sharma N, Ratnaraj J, Sessler DI, Read TE et al
Supplemental perioperative fluid administration increases tissue oxygen pressure.
12. Surgery 2003;1:49-55
13. Nisanevich V, Felsenstein I, Almogy G, Weissman C, Einav S, Matot I. Effect of
intraoperative fluid management on outcome after intraabdominal surgery.
Anesthesiology 2005;1:25-32
14. Lobo DN, Bostock KA, Neal KR, Perkins AC, Rowlands BJ, Allison SP. Effect
of salt and water balance on recovery of gastrointestinal function
15. after elective colonic resection: a randomized controlled trial. Lancet
2002;9320:1812-1818
16. Grocott MP. Fluid therapy. Baillière’s Clinical Anaesthesiology 1999;3:363-381
17. Heard SO, Helsmoortel CM, Kent JC, Shahnarian A, Fink MP. Gastric tonometry
in healthy volunteers: effect of ranitidine on calculated intramural pH. Crit Care
Med. 1991;2:271-274
9
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
18. Parviainen I, Vaisanen O, Ruokonen E, Takala J. Effect of nasogastric suction and
ranitidine on the calculated gastric intramucosal pH. Intensive Care Med.
1996;4:319-323
19. Harvey S, Young D, Brampton W, Cooper AB, Doig G, Sibbald W et al
Pulmonary artery catheters for adult patients in intensive care.
Cochrane.Database. Syst.Rev. 2006;CD003408-
20. Gunn SR, Fink MP, Wallace B. Equipment review: the success of early goal-
directed therapy for septic shock prompts evaluation of current approaches for
monitoring the adequacy of resuscitation. Crit Care 2005;4:349-359
21. Cholley BP, Payen D. Noninvasive techniques for measurements of cardiac
output. Curr.Opin.Crit Care 2005;5:424-429
22. Botero M, Kirby D, Lobato EB, Staples ED, Gravenstein N. Measurement of
cardiac output before and after cardiopulmonary bypass: Comparison among
aortic transit-time ultrasound, thermodilution, and noninvasive partial CO2
rebreathing. J.Cardiothorac.Vasc.Anesth. 2004;5:563-572
23. van Heerden PV, Baker S, Lim SI, Weidman C, Bulsara M. Clinical evaluation of
the non-invasive cardiac output (NICO) monitor in the intensive care unit.
Anaesth.Intensive Care 2000;4:427-430
24. Cuschieri J, Rivers EP, Donnino MW, Katilius M, Jacobsen G, Nguyen HB et al
Central venous-arterial carbon dioxide difference as an indicator of cardiac index.
Intensive Care Med. 2005;6:818-822
25. Wesseling KH, Purschke R, Smith NT, Wust HJ, de WB, Weber HA. A computer
module for the continuous monitoring of cardiac output in the operating theatre
and the ICU. Acta Anaesthesiol. Belg. 1976;327-341
26. Mielck F, Buhre W, Hanekop G, Tirilomis T, Hilgers R, Sonntag H. Comparison
of continuous cardiac output measurements in patients after cardiac surgery.
J.Cardiothorac.Vasc.Anesth. 2003;2:211-216
27. Goedje O, Hoeke K, Lichtwarck-Aschoff M, Faltchauser A, Lamm P, Reichart B.
Continuous cardiac output by femoral arterial thermodilution calibrated pulse
contour analysis: comparison with pulmonary arterial thermodilution. Crit Care
Med.
10
NETH J CRIT CARE # VOLUME 11 # NO 5 # OCTOBER 2007
28. 1999;11:2407-2412
29. Linton NW, Linton RA. Estimation of changes in cardiac output from the arterial
blood pressure waveform in the upper limb. Br.J.Anaesth. 2001;4:486-496
30. Linton RA, Band DM, Haire KM. A new method of measuring cardiac output in
man using lithium dilution. Br.J.Anaesth. 1993;2:262-266
31. Solus-Biguenet H, Fleyfel M, Tavernier B, Kipnis E, Onimus J, Robin E et al
Non-invasive prediction of fluid responsiveness during major hepatic surgery.
Br.J.Anaesth. 2006;6:808-816
32. Cholley BP, Singer M. Esophageal Doppler: noninvasive cardiac output monitor.
Echocardiography. 2003;8:763-769
33. Laupland KB, Bands CJ. Utility of esophageal Doppler as a minimally invasive
hemodynamic monitor: a review. Can.J.Anaesth. 2002;4:393-401
34. Dark PM, Singer M. The validity of trans-esophageal Doppler ultrasonography as
a measure of cardiac output in critically ill adults. Intensive Care Med.
2004;11:2060-2066
35. Sinclair S, James S, Singer M. Intraoperative intravascular volume optimisation
and length of hospital stay after repair of proximal femoral fracture: randomised
controlled trial. BMJ 1997;7113:909-912
36. Gan TJ, Soppitt A, Maroof M, el-Moalem H, Robertson KM, Moretti E et al
Goal-directed intraoperative fluid administration reduces length of hospital stay
after major surgery. Anesthesiology 2002;4:820-826
37. Noblett SE, Snowden CP, Shenton BK, Horgan AF. Randomized clinical trial
assessing the effect of Doppler-optimized fluid management on outcome after
elective colorectal resection. Br.J.Surg. 2006;9:1069-1076
38. Wakeling HG, McFall MR, Jenkins CS, Woods WG, Miles WF, Barclay GR et al
Intraoperative oesophageal Doppler guided fluid management shortens
39. postoperative hospital stay after major bowel surgery. Br.J.Anaesth. 2005;5:634-
642
11