pengaruh qira’at terhadap...

16
1 PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRAN Faizah Ali Syibromalisi Email. [email protected] Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abstrak: Tulisan al-Qur‟an dan qira‟at (bacaannya) bagaikan dua sisi mata uang. Al- Qur‟an Sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia harus dibaca dan difahami untuk diamalkan dalam kehidupan,Namun pemahaman terhadap Al-Qur‟an tentu terkait erat dengan penguasaan terhadap ilmu qirâ‟at. Munculnya ilmu qira‟at karena adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan tampak kemu‟jizatannya karena adanya qira‟at. Layak disebutkan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an. Layak di sebutkan bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak semua dari jumlah ayat Al- Qur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at. Pengetahuan tentang ilmu qira‟at adalah kunci untuk memasuki disiplin ilmu tafsir. beragam qira‟at tersebut ada yang berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses isthinbat hukum dan produk hukum yang dihasilkannya. Tulisan ini menjadi penjelasan singkat seputar pengertian yaitu Qira‟at‟ untuk lebih memahami perbedaaan penafsiran pada ayat-ayat yang disentuh qira‟at. Kata Kunci: Al-Qur’an, Qira’at, penafsiran. Pendahuluan Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia (QS. al-Isra‟/7: 9), harus dibaca dan difahami untuk diamalkan dalam kehidupan. Pemahaman seseorang terhadap Al-Qur‟an tentu terkait erat dengan penguasaannya terhadap ilmu qirâ‟at (bacaan Al-Qur‟an), disamping ilmu-ilmu lain seperti bahasa Arab, sejarah Al-Qur‟an, Ulum Al- Qur‟an, kaidah-kaidah tafsir, karena Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. QS. Ibrahim 14/4: mengatakan : “Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” Ayat ini sangat relevan dengan situasi bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan. Mereka memiliki berbagai perbedaan bahasa, dialek, dan logat. Oleh sebab itu, Al-Qur‟an diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan dengan dialek mereka, sebagai toleransi, agar mereka bisa membacanya dan mengambil manfaat dari Al-Qur‟an Jika toleransi diatas tidak diberikan, maka memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi mereka. 1 Hal ini tentu bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan 1 Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar sahnun li an-Nashr wa at-Tauzi‟, t.th), Jilid 1, h. 51.

Upload: dinhthuan

Post on 24-Mar-2019

277 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

1

PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRAN

Faizah Ali Syibromalisi

Email. [email protected]

Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak: Tulisan al-Qur‟an dan qira‟at (bacaannya) bagaikan dua sisi mata uang. Al-

Qur‟an Sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia harus dibaca dan

difahami untuk diamalkan dalam kehidupan,Namun pemahaman terhadap Al-Qur‟an tentu

terkait erat dengan penguasaan terhadap ilmu qirâ‟at. Munculnya ilmu qira‟at karena

adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan tampak kemu‟jizatannya

karena adanya qira‟at. Layak disebutkan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang

dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an. Layak di sebutkan

bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang

berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak semua dari jumlah ayat Al-

Qur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at. Pengetahuan tentang ilmu

qira‟at adalah kunci untuk memasuki disiplin ilmu tafsir. beragam qira‟at tersebut ada yang

berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses isthinbat

hukum dan produk hukum yang dihasilkannya. Tulisan ini menjadi penjelasan singkat

seputar pengertian yaitu Qira‟at‟ untuk lebih memahami perbedaaan penafsiran pada

ayat-ayat yang disentuh qira‟at.

Kata Kunci: Al-Qur’an, Qira’at, penafsiran.

Pendahuluan

Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia (QS. al-Isra‟/7:

9), harus dibaca dan difahami untuk diamalkan dalam kehidupan. Pemahaman seseorang

terhadap Al-Qur‟an tentu terkait erat dengan penguasaannya terhadap ilmu qirâ‟at (bacaan

Al-Qur‟an), disamping ilmu-ilmu lain seperti bahasa Arab, sejarah Al-Qur‟an, Ulum Al-

Qur‟an, kaidah-kaidah tafsir, karena Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. QS. Ibrahim

14/4: mengatakan :

“Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,

supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah

menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia

kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat ini sangat relevan dengan situasi bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan.

Mereka memiliki berbagai perbedaan bahasa, dialek, dan logat. Oleh sebab itu, Al-Qur‟an

diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan dengan dialek mereka,

sebagai toleransi, agar mereka bisa membacanya dan mengambil manfaat dari Al-Qur‟an Jika

toleransi diatas tidak diberikan, maka memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi

mereka.1 Hal ini tentu bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan

1 Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar sahnun li an-Nashr wa

at-Tauzi‟, t.th), Jilid 1, h. 51.

Page 2: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

2

bagi orang-orang yang mau mempelajari Al-Qur‟an dimana Allah berfirman yang artinya:

“Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang

yang mengambil pelajaran?”(QS. al-Qamr 54 : 17)

Sejalan dengan kemudahan yang Allah berikan dalam ayat tersebut diatas, maka

Rasul Saw membacakan Al-Qur‟an kepada mereka dengan bacaan yang memudahkan bagi

setiap kabilah untuk membacanya, yaitu bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka.

Para sahabat menerima bacaan-bacaan tersebut dari Nabi Saw. Dari para sahabat inilah

berbagai qiraat disampaikan secara turun-temurun dari mulut ke mulut (الخلقى والوشافهت) sampai

saat ini. Dengan cara ini pula qirâ‟at-qirâ‟at yang berbeda tersebut dapat terjaga orisinalitas

dan otentisitasnya, dan dilestarikan sampai kini, sejalan dengan kelestarian Al-Qur‟an dan

otentisitasnya.

Berbagai qirâ‟at tersebut memang dinisbahkan kepada orang-orang tertentu, seperti

qirâ‟at Nafi‟, Ibnu Katsir, „Ashim, Qolun, dan lain-lain. Namun penisbahan ini bukanlah

karena qirâ‟at itu hasil ijtihad mereka tapi adalah hasil pilihan mereka terhadap satu qira‟at

dari beragam qirâ‟at yang ada, disamping upaya mereka mendalami ilmu qirâ‟at-qira‟at

tersebut, selalu membacanya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat, sehingga bacaan

itu dinisbahkan masyarakat kepada mereka.2

Maka sungguh keliru orang-orang yang menyangka bahwa qirâ‟at bacaan Al-Qur‟an

yang beragam itu muncul karena perbedaan bahasa dan logat semata atau karena tulisan-

tulisan Al-Qur‟an itu pada mulanya tidak bertitik dan tidak berbaris. Thoha Husein misalnya

mengatakan bahwa Qirâ‟at sab‟ah bukan bersumber dari wahyu, sehingga orang yang

mengingkarinya tidak menjadi kafir. Menurutnya sumber qirâ‟at adalah perbedaan lahjah

(logat) sehingga boleh diingkari dan diperdebatkan.3

Perbedaan qirâ‟at ternyata berimplikasi kepada penafsiran Al-Qur‟an. Karena

bentuk/struktur kosa kata yang memiliki beberapa kemungkinan bacaan juga memiliki

kemungkinan beberapa makna. Seperti, الهسخن dan لوسخن . Kosa kata lamastum dan lâamastum

misalnya, bukan hanya bisa dibaca dengan bacaan berbeda, meskipun bentuk baku kosa

katanya adalah sama, tapi berimplikasi pada penafsiran dan perbedaan isthinbath hukum dari

masing-masing bacaan. Kata lâamastum (saling bersentuhan) antara suami isteri mewajibkan

keduanya mandi junub (mandi hadats besar). Sedangkan bacaan lamastum tanpa alif (hanya

bersentuhan sengaja atau tidak sengaja) hanya mewajibkan keduanya berwudhu‟. Perbedaan

2 Imam al-Qoisiy dalam bukunya „‟al-IBanah‟‟ mengajukan pertanyaan apa sebab yang menjadikan

banyaknya perbedaan(qira‟t) diantara ulama, masing-masing memilih bacaannya sendiri, sesuai dengan bacaan

syeh tempatnya berguru. Ia menjawab perkataan tersebut dengan mengatakan bahwa masing-masing qori‟

menerima bacaan dari beberapa ulama yang berbeda, dan yang berbeda qira‟atnya. kemudian masing-masing

mentransfer qira‟at tersebut kepada murid-muridnya sehingga tersebarlah beragam qira‟at tersebut

dimasyarakat. Al-Qoisiy, Al-Ibanah h.61-62, sebagaimana dinukil dari Kholik Abdur rahman al-A‟k, Ushul at-

Tafsir wa Qowaiduhu,2007, h 440. 3 ThohaHusein,Al-AdabAl-Jahili,h.98-99. At-Thohawi mengomentari al-ahruf as-sab‟ah, ia mengatakan

ahruf as-sab‟ah adalah rukhsoh (keringanan), karena sulit bagi seseorang membaca dengan lafaz yang sama,

karena mereka tidak pandai memahami tulisan. Kemudian qira‟ah sab‟ah dinasah dengan hilangnya kesulitan

yang mereka hadapi diawal Isalam dan diperolehnya kemudahan dalam tulisan. Berdasarkan paparan diatas,

kedua pendapat ini jelas keliru. . .

Page 3: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

3

bacaan ini selain menimbulkan perbedaan penafsiran juga menimbulkan perbedaan hasil dari

istinbath hukum dari bacaan-bacaan tersebut.4

Definisi Qira’at

Dilihat Secara etimologis, kata qira‟at merupakan bentuk kata benda bentukan

(masdar) mengikuti wazan (rumus) fi‟alah, yang berakar kata ( ا -ر -ق ). Dari kata dasar ini

lahir kata qurán dan qiraáh. Kedua kata ini mempunyai makna (a) menghimpun dan

menggabungkan (al-jamú) yakni menghimpun dan menggabungkan antara satu dengan yang

lainnya (b) membaca (al-tilawat) yaitu mengucapkan kalimat-kalimat yang tertulis, seperti

ungkapan aku membaca kitab (mengucapkan atau membunyikan huruf). Tilawah disebut

qira‟áh karena menggabungkan suara-suara huruf menjadi satu dalam pikiran untuk

membentuk kalimat-kalimat yang akan diucapkan. Kata qirâ‟at berbentuk tunggal, meskipun

dalam studi ilmu Al-Qur‟an, ia ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya

mencakup banyak jenis qirâ‟at (bacaan).

Sedangkan Qirâ‟at menurut terminology didefinisikan Abu Syamah sebagai: Ilmu

yang membahas tentang tata cara melafalkan kosa kata Al-Qur‟an dari segi perawinya.5

Sedangkan Abd Fattah mendefiniskannya sebagai: “Ilmu yang membahas tentang tata cara

pengucapan kata-kata Al-Qur‟an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama

ahli Al-Qur‟an) ataupun yang terjadi perbedaan pendapat, dengan menisbatkan setiap model

(wajah) bacaanya kepada seorang Imam Qirâ‟at”6.

Dari paparan diatas diketahui bahwa objek kajian ilmu qirâ‟at adalah Al-Qur‟an,

baik dari segi perbedaan lafaz maupun cara artikulasinya. Inilah alasan mengapa al-Zarkasyi

dalam bukunya al-Burhan mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan qirâ‟at adalah merupakan dua

hal yang berbeda.7 Oleh sebab itu al-Zarkasy mendefiniskan Qirâ‟at dengan

menghubungkannya dengan al-Qur‟an. Ia mengatakan bahwa: “Perlu diketahui bahwa Al-

Qur‟an dan qirâ‟at adalah realitas yang berbeda. Yang dimaksud dengan Al-Qur‟an adalah

wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berfungsi sebagai penjelas (ajaran

agama Islam) dan sebagai mu‟jizat (bagi Rasul). Sementara qirâ‟at adalah perbedaan

beberapa lafal wahyu (Al-Qur‟an) dalam hal penulisan huruf maupun cara artikulasinya,

baik secara takhfîf (membaca tanpa tasydid), tatsqîl (membaca dengan tasydid) dan lain

sebagainya”8

Dari paparan diatas penulis melihat adanya hubungan yang sangat erat antara Al-

Qur‟an dan qira‟at, meskipun ada juga perbedaan yang nyata antara keduanya. Yaitu

munculnya ilmu qira‟at karena adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan

tampak kemu‟jizatannya karena adanya qira‟at. Qira‟at yang beragam tetapi mengacu

kepada Al-Qur‟an yang sama, merupakan salah satu keistimewaan dari sekian banyak

keistimewaaan Al-Qur‟an. Karena hanya Al-Qur‟an –diantara kitab suci yang ada- yang

4 Lihat selengkapnya Ibn Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55. .

5 Abu Syamah Ad-Dimasqi, Ibroz al-Ma‟ani min Hirz al-Amani fi Qira‟at as-Sab‟ah li al-Imam as-

Syat}ibi, Mesir: Maktabah Mustofa al-Albani al-Halabi wa Uladuh. Tth, h. 12. 6 Abd al-Fatah, Budur al-Zahirah fi al-Qira‟ât al-„Asyr, (Libanon: Maktabat al-Mushtafa al-Bâb al-

Halaby), h. 5. Lihat juga dalam Ahmad Fathoni, Kaidah Qira‟at Tujuh, (Jakarta, IIQ dan PTIQ, 2005) 7 Al Zarkasyi, Al-Burhan fi ulum Al-Qur‟an Jilid I h. 318.

8 Muhammad bin Bahadir bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-

Ma‟rifah, 1391 H) Jilid I, h. 318

Page 4: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

4

mempunyai tata cara membaca ayat-ayatnya secara teratur dengan beberapa bacaan yang

berbeda, sejak pertama kali diturunkan, dengan seizin Allah dan atas permintaan Rasulnya

demi memberi kemudahan bagi orang yang membacanya.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang

dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an, kecuali qira‟at-qira‟at

yang memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama Al-Qur‟an.9 Dengan

demikian, maka qira‟at-qira‟at yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, bukanlah

dinamakan Al-Qur‟an, seperti qira‟at syadzah 10

yang oleh para ulama dilarang membacanya,

baik diluar shalat, lebih-lebih didalam shalat, karena ia bukan dianggap sebagai bagian dari

Al-Qura‟an.

Disisi lain layak di sebutkan bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari

ayat-ayat Al-Qur‟an yang berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak

semua dari jumlah ayat Al-Qur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at.11

Adapun nilai guna ilmu qira‟at sebagaimana dikemukakan oleh Al-Z}harqani adalah

salah satu instrument untuk mempertahankan orisinalitas dan otentisitas bacaan Al-Qur‟an,

disamping membuktikan kemukjizatannya. Pengetahuan tentang ilmu qira‟at adalah kunci

untuk memasuki disiplin ilmu tafsir.12

Sedangkan ilmu tafsir sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi-ketika menukil

pendapat Abu Hayyan-adalah “ilmu yang membahas tentang cara-cara pengucapan lafaz-

lafaz Al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri

maupun ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya”.13

Sedangkan Az-zahabi

mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah

SWT.sesuai dengan kemampuan manusia.14

Maka berdasarkan dua pendapat ulama tersebut,

ilmu tafsir terkait juga dengan ilmu-ilmu lain seperti balaghoh, nahwu, sharaf, ushul fiqh dan

qira‟at. Selain itu, tafsir juga membutuhkan ilmu asbab an-Nuzul dan ilmu nasakh wa al-

mansukh.15

Menurut pakar tafsir Ibn „Asyur, ada perbedaan implikasi diantara beragam qira‟at

tersebut terhadap penafsiran, meskipun perbedaan itu berkisar diantara dua qira‟at yang

masing-masing memiliki derajat yang shahih, yaitu pertama qira‟at yang tidak berimplikasi

pada penafsiran dan kedua qira‟at yang berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya

akan mempengaruhi proses isthinbat hukum dan produk hukum yang dihasilkannya.16

Kondisi Bangsa Arab Ketika Al-Qura‘an Diturunkan

Keadaan bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan kepada mereka adalah bangsa

yang terdiri dari kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arab.

Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa‟d dan lain lainnya

9 Abu Zar‟ah, Hujjah al-Qur‟an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1984 M), Cet. IV h. 11

10 Qira‟ah yang tidak memenuhi persyaratan qira‟t yang shahih baik dari sisi sanad danperiwayatan,

rasm dan kaidah bahasa Arab 11

. Sya‟aban Muhammad Isma‟il, al-Qira‟at . h. 22 12

Al-Zharqani manahil al-Irfan, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, Jilid. 1, h. 21. 13

Al-Suyuthi, al-Itqon, jilid 2, h. 174. 14

Muhammad Husein az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961,

jid 1, h .9. 15

Al-Zarkasyi, Al-Burhan, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1957, Jilid 1, h. 13. 16

Ibn „Asyur, Tafsir Jilid.1, h. 50.

Page 5: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

5

mempunyai tradisi, logat dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai

tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.17

Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: Imalah, atau

mengucapkan huruf „a menjadi huruf „ê‟ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin

meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf

yang dikenal dengan sebutan Idgham. Suku Hudzail hanya mampu membaca عخى حيي yang

semestinya dibaca حخى حيي , orang dari suku Asad mengucapkan حعلوىى و و ألن إعهد إليكن

dengan mengkasrahkan awal huruf dari fi‟il mudlari‟, orang dari suku Tamim akan حعلن و حسىد

membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada

melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh قيل لهن و غيض الواء dengan “isymam” yaitu

mendlammahkan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat mengkasrahkan

keduanya, mereka juga membaca: ) بضاعخا ردث ( dengan mengisymamkan Ro‟nya yaitu

mencampurkan suara kasrah dengan d}ammah.18

Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas nabi Muhammad mensosialisasikan Al-

Qur‟an kepada masyarakat arab pada saat itu. Padahal Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang

harus dibaca, Tanpa dibaca, tentu pesan-pesan hidayah Al-Qur‟an tak tersampaikan dan tidak

bisa difahami umatnya.

Menyadari situasi yang majemuk ini, Rasulullah memohon kepada Allah SWT. agar

tidak menurunkan al-Qur‟an dengan satu huruf saja. Dalam satu hadits diriwayatkan:

جربيل فقال اي جربيل اين بعثت اىل امة اميني منهم العجوز الشيخ الكبري والغالم واجلارية ملسو هيلع هللا ىلص عن أيب كعب قال لقي رسول هللا سبعة أحرفو الرجل الذي مل يقرأ كتااب قط قال اي دمحم ان القران أنزل على

“Dari Ubay ibn Ka‟ab ia berkata, “Rasulullah saw menjumpai Jibril sembari

berkata, “Wahai Jibril, aku telah diutus kepada sebuah ummat yang ummiy (buta

aksara). Di antara mereka ada yang sudah lanjut usia, hamba sahaya, lelaki maupun

perempuan, dan orang yang sama sekali tidak mengenal aksara.” Maka Jibril

berkata, “Wahai Muhammad, Sesungguhnya al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh

huruf 19

Pada kesempatan lain Nabi mermohon kepada Jibril agar mengajarkan kepadanya

beberapa macam bacaan semata-mata untuk memudahkan ummatnya membaca al-Qur‟an.

Hadits berikut menjelaskan tentang hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ubay bin Ka‟ab.

تك -قال - كان عند أضاة بن غفار -ملسو هيلع هللا ىلص-عن أب بن كعب أن النب الم ف قال إن الل يمرك أن ت قرأ أم فأته جربيل عليو السث أته الثانية ف قال إن الل يمرك أن ت قرأ أمتك «. أسأل الل معافاتو ومغفرتو وإن أمت ال تطيق ذلك » ن على حرف. ف قال القرآ

تك «. اتو ومغفرتو وإن أمت ال تطيق ذلك أسأل الل معاف » القرآن على حرف ني ف قال يمرك أن ت قرأ أم ث جاءه الثالثة ف قال إن اللث جاءه الرابعة ف قال إن الل يمرك أن «. تطيق ذلك أسأل الل معافاتو ومغفرتو وإن أمت ال » القرآن على ثالثة أحرف. ف قال

ا حرف ق رءوا عليو ف قد أصابوا. عة أحرف فأيم تك القرآن على سب 2ت قرأ أم

17

Ahmad al-Bily, al-Ikhtilaf Baina al-Qira‟at, (Bairut : 1988), h. 39 18

Ibn Qutaibah, An-Nasyr fi al-Qira‟at, jilid 1, hal 33. 19

Muhammad ibn Isa al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Beirut: Dar Ihya‟ Turats al-„Arabiy, t, th,

hadits nomor 2944, Jilid V, h. 194. 20

Muslim ibn Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Musafirin wa Qashruha, (Beirut: Dar Ihya‟

Turats al-„Arabi, t.th), nomor hadits: 821, Jilid I, h. 562, Maktabah Al-Syamilah, Jilid 4, hadits nomor: 1357, h.

257

Page 6: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

6

“Dari Ubay bin Ka‟ab bahwa Nabi saw telah berada diawak sungai Bani Ghifar.

Lantas beliau didatangi oleh Jibril as sembari berkata, “Sesungguhnya Allah

memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada umatmu dengan satu

huruf”. Rasulullah bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfiroh Allah,

sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”, Jibril datang

lagi kepada Rasulullah untuk yang kedua kalinya sambil berkata, “Sesungguhnya

Allah memerintahkan untuk membaca al-Qur‟an kepada umatmu dengan dua huruf,

Rasulullah kembali bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfirah Allah,

sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Untuk yang

ketiga kali, Jibril datang menjumpai Rasulullah sambil berkata, “Sesungguhnya Allah

memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada umatmu dengan tiga huruf.

Rasulullah kembali bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfirah Allah,

sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Akhirnya

Jibril kembali menjumpai Rasulullah untuk yang keempat kalinya sembari berkata,

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada

umatmu dengan tujuh huruf”. Huruf manapun yang mereka baca, maka dianggap

sebagai bacaan yang benar”.

Dengan diturunkannya Al-Qur‟an dalam sab‟ah ahruf. Rasul membacakan Al-Qur‟an

dengan bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka. Sebab tidak mudah bagi

seseorang untuk memahami bahasa dan logat orang lain, selain logat yang dikenalnya sejak

lahir dalam waktu singkat, jika toleransi diatas tidak diberikan, maka dengan demikian

memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi mereka.21

Menyatukan atau menyeragamkan bacaan Al-Quran difase awal turunnya tentu

bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan bagi orang-orang yang

mau mempelajari Al-Qur‟an, sebagaimana firman Allah dalam:(QS. al-Qamr/54 : 17)

Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk dipelajari, Maka

Adakah orang yang mengambil pelajaran?” Disamping itu adanya ahruf sab‟ah dalam

bacaan Al-Qur‟an adalah cara Allah menjamin orisinalitas dan otentisitas al-Qur‟an,

sebagaimana firmanNya dalam (QS Al-Hijr/15:9) Artinya:” Sesungguhnya Kami-lah yang

menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Pengertian Sab’ah Ahruf Dan Pengertian Qira’at Sab’ah

Pakar qiraát Abu Syamah mengatakan bahwa banyak orang yang mengira tujuh

sistim qiraát yang dikenal dengan qiraát sab‟ah yang ada sekarang ini adalah tujuh huruf

atau sab‟ah ahruf yang dimaksud dalam hadits. Dugaan itu menurutnya, menyimpang dari

kesepakatan para ulama. Hanya orang-orang yang tak berilmu sajalah yang mempunyai

dugaan seperti itu.22

Untuk menghilangkan kerancuan antara, ahruf sabáh dan qiraát sab‟ah, maka

berikut ini penjelasan singkat seputar pengertian kedua aspek tersebut.

1. Pengertian Sab‟ah Ahruf

21

Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis, Dar sahnun li an-Nashr wa

at-Tauzi‟ Jilid 1 h. 51.

22

Abur Syamah al-Dimasyqiy, ibraz al-Maániy min Hirz al Amaniy fi Qiraát al-sab‟li al-Imam al-

Syathibi, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Albaniy al-Halabiy wa Auladuhu, tth), h. 12/ al_Suyuti , al-Itqon Jilid

1, h 138.

Page 7: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

7

Kata “sab‟atu ahruf” dipahami berbeda oleh ulama. Ada yang memahami kata sab‟ah

sebagai bilangan tujuh, dan ada pula yang memahami bilangan yang banyak, karena orang

Arab biasa menyebut jumlah banyak dengan kata sab‟ah. Adapun kata ahruf merupakan

bentuk plural dari kata harf yang secara etimologi berarti salah satu huruf hijaiyyah. Ada

juga yang mengatakan bahwa makna harf secara bahasa adalah tepi sesuatu. Ketika harf

dipahami dalam konteks terminologi sab‟atu ahruf, maka muncullah berbagai macam

pendapat. Ada yang memaknainya dengan bacaan, model, bahasa, dialek, cara, segi, atau

lainnya23

. Menurut Abu Hatim ibn Hibban (w. 354/965) ada sekitar tiga puluh lima pendapat

ulama mengenai permasalahan ini.24

Sedangkan menurut al-Suyuthi (w. 991/1583) ada

empat puluh pendapat tentang terminologi sab‟atu ahruf.25

Dari berbagai pendapat ulama, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua:

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab‟ah adalah hakekat bilangan

tujuh. Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan makna harf atau ahruf. Sufyan

ibn „Uyainah (w. 198), diikuti Abu „Ubaid Qasim bin Salam (w. 224), Ibn Jarir al-Thabari (w.

310), Abu Syamah (w. 665), al-Qurthubi (w. 761) . Memahami harf adalah bahasa, atau

lahjah dimana al-Qur‟an diturunkan.26

. Ibnu Qutaibah (w. 276) . Memahami ahruf dari segi

perbedaan lafal di mana al-Qur‟an diturunkan. yang dimaksud adalah tujuh macam segi

perbedaan. Adapun tujuh macam perbedaan tersebut meliputi a).Perbedaan segi harakat

kalimat, dimana bentuk dan makna tidak berubah, seperti firman Allah :

dan , huruf ra‟ selain dibaca dhammah, juga dibaca fathah. b)

Perbedaan I‟rab/harakat, di mana bentuknya sama sedang makna berbeda, seperti firman

Allah: dan , huruf ba‟ pada dibaca dhammah, sedang „ain

dan dal pada ba‟id dibaca fathah.c.) Perbedaan pada huruf, I‟rab tetap, bentuknya sama

makna berbeda, seperti firman Allah: dan شزها. Pada

nunsyizuha dibaca dengan zay dan ra‟. 27

d.) Perbedaan bentuk kata, makna tidak berubah

dan سقيت28

e.) Perbedaan pada bentuk kata, makna berubah,

23

Ibnu Mundzirr, Lisan al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid IX, h. 41 24

Manna‟ Qattan, Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah Ahruf, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), Cet. Kel-1,

hal. 32-33 25

Al-Suyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr, t, th), Jilid I, h. 47 26

Tujuh bahasa yang dimaksud adalah Quraisy (suku terbesar di wilayah Arab), Hudzail, Tsaqif,

Kinanah, Hawazin, Tamim dan Yaman. Ada pula yang mengatakan: Quraisy, Hudzail, Tamim, Adz, Rubai‟ah,

Hawazin, Sa‟ad ibn Bakar. Lihat Ibnu Mandzur, Lisan al-„Arab, Jilid VI, h. 335 27

QS. Al-Baqarah/2: 259. Nunsyizuha adalah qira‟at Aban dari „Ashim. Lihat Ibnu Khalawaih,

Mukhtashar fi Syawadz al-Qur‟an Min al-Kitab al-Badi‟, Mesir: Mathba‟ah al-Rahmaniyah, 1934, h. 16 28

QS. Yasin/36: 29. Zaqyatan adalah qira‟at Ibnu Mas‟ud. Lihat Ibnu Khalawaih, Mukhtashar fi

syawadz al-Qur‟an, h. 125.

Page 8: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

8

bacaan lain عطل 29

. f) Perbedaan antara taqdim dan ta‟khir (diawalkan

dan diakhirkan), seperti firman Allah: qira‟at lain membaca

ىوجاءث سكزة الحق بالوىح g). Perbedaan antara naqsh dan ziyadah (pengurangan dan و

penambahan), seperti firman Allah: وها عولج ايد يهن dan وها عولخه ايد يهن

Kedua, mengartikan kata sab‟ah bukan bilangan tujuh, melainkan bilangan yang

bermakna banyak, karena orang Arab biasa menunjuk bilangan banyak dengan kata tujuh.

Banyaknya qira‟at adalah bentuk kemudahan kepada hamba-Nya. Pendapat ini dikemukakan

oleh Ali bin Abi Thalib ra (w. 40), Ibnu Abbas ra (w. 67), Qadhi „Iyadh (w. 544)..

Kenyatannya pendapat yang berkembang dalam kurun waktu yang cukup panjang

adalah pendapat pertama. Karena pendapat ini mengandung kelonggaran, disamping

bermacam qira‟at yang pernah dibenarkan Rasulullah tidak ditunggalkan, tetapi di akomodir.

bahkan pendapat pertama ini juga memberikan alternatif lain yang dibolehkan. Sedangkan

pendapat kedua, yang memahami kata sab‟atu ahruf dengan makna banyaknya qira‟at,

sebagai kemudahan dan kelonggaran bagi umat islam ketika itu, tidak mendapat legitimasi

ulama, karena membolehkan adanya qira‟at dengan bilangan yang tak terbatas, akan

membuka peluang bagi siapa saja untuk membaca Al-Qur‟an dengan dialek masing-masing,

tanpa dibatasi oleh bahasa atau dialek tertentu. 30

. Adanya tujuh macam huruf (sab‟atu ahruf)

dalam bacaan Al-Qur‟an inilah yang menjadi sebab dibalik munculnya bermacam-macam

qira‟at, dan pada akhirnya menjadi embrio dari lahirnya disiplin ilmu qira‟at.

Keragaman qira‟at yang terjadi di kalangan ulama juga ditopang oleh teks awal Al-

Qur‟an yang ditulis tanpa tanda baca dan titik. Ketiadaan tanda baca ini memungkinkan

timbulnya perbedaan dalam membaca Al-Qur‟an. Seperti kata شزها pada firman Allah QS.

Al-Baqarah/2: 259: واظز الى العظام كيف ششها karena tidak bertitik bisa dibaca ششها dan

. شزها Contoh lain kata سلن (al-silmi) pada firman Allah QS. Al-Baqarah/2: 208 :

Karena tidak berbaris bisa dibaca سلن (salmin) dan سلن (silmun)

Sumber Qira’at

Sebagaimana Al-Qur‟an diyakini bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw. Maka Qira‟at yang mutawatir juga dianggap bersumberkan wahyu. Dua

hadits berikut ini bisa dijadikan dalil bahwa qira‟at memang bersumber pada Nabi saw. Dua

hadits tersebut adalah:

29

QS. Al-Waqi‟ah/56: 29. Yang membaca wa thal‟in (dengan „ain) qira‟at Ali Ibn Abi Thalib. Lihat

Ibnu Khalawaih, Mukhtashar fi Syawadz al-Qur‟an, h. 151 30

Ramlah Widayati nampaknya lebih menekankan pendapat pertama yang didukung Ibnu Qutaibah,

al-Razi, Ibn Jazari, al-Zarqani dan lainnya , yang dianggapnya lebih tepat, karena didasarkan atas hadits yang

cukup banyak dan penelitian yang dalam dengan menggabungkan teori dan praktik. Upaya yang mereka

lakukan dengan melacak beberapa mushaf yang ada di wilayah-wilayah Islam dan mengecek praktik bacaan

yang beredar. Tujuh macam perbedaan seperti disebut di atas mencakup seluruh Qira‟at atau bacaan, baik yang

mutawatir maupun syadz. Artinya, baik Qira‟at mutawatirah maupun syadzah tidak keluar dari tujuh macam

perbedaan tersebut. Lihat Ramlah Widayati, Qira‟at Syazah dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith karya abu Hayyan,

disertasi UIN, 2008 h. 29.

Page 9: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

9

عن عبد الرمجن بن أيب ليلى عن أيب بن كعب عن النيب صلى هللا عليو و سلم أن هللا تعاىل أمره أن يقرأ القرآن على حرف فقال رب خفف عن أميت فأمره أن يقرأ القرآن على سبعة أحرف

Diberitakan oleh Abd ar-Rahman dari Ubay Ibn Ka‟ab dari Nabi saw. Bahwa Allah

swt. telah memerintahkanNya untuk membaca Al-Qur‟an satu huruf. Maka Nabi

berkata Tuhanku beri keringanan bagi umatku. Maka Allah memerintahkan Nabi

untuk membacakan Al-Qur‟an (dengan bacaan) Sab-ah ahruf.

عن عروة بن الزبري عن عبد الرمحن بن عبد القاري قال : مسعت عمر بن اخلطاب يقول مسعت ىشام بن احلكيم يقرأ سورة الفرقان على غري ما أقرؤىا عليو وكان رسول هللا صلى هللا عليو و سلم أقرأبيها فكدت أن أعجل عليو ث أمهلتو حت انصرف ث لببتو بردائو فجئت بو رسول هللا صلى هللا عليو و سلم فقلت : اي رسول هللا إين مسعت ىذا يقرأ سورة الفرقان على غري ما أقراتنيها فقال لو رسول هللا صلى هللا عليو و سلم : اقرأ فقرأ القراءة اليت مسعتو يقرأ فقال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم : ىكذا أنزلت ث

فقرأت فقال : ىكذا أنزلت إن ىذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منو [ قال يل : اقرأ “Dari urwah ibn Zubbair, dari Abd ar-Rahman ibn al-Qoriy, ia mengatakan telah

mendengar Umar ibn KHothob berkata : Aku mendengar Hisyam ibn al-Hakim

membaca surah al-Furqan bukan seperti yang dibaca (oleh para sahabat) dan yang

dibaca Rasul. Hampir saja aku menghantamnya, namun aku mengurungkannya

sampai dia selesai (shalat). kemudian aku tarik bajunya dan aku bawa dia kehadapan

Rasulullah saw. Maka aku berkata: ya Rasulallah saya mendengar (orang ) ini

membaca surah al-Furqan bukan seperti apa yang engkau bacakan kepadaku. Rasul

kemudian berkata (kepada Hisyam) : “Bacalah, (Hisyam) Lalu membaca (surah al-

Furqan) dengan bacaan seperti yang aku dengar. (setelah mendengar bacaan

Hisyam) Rasul kemudian bersabda: Demikianlah (Al-Qur‟an ) diturunkan. Kemudian

Rasul berkata kepadaku : :Bacalah, maka aku membaca (surah al-Furqan).

Sesudahnya Rasul bersabda: Begitulah (Al-Qur‟an ) diturunkan. Sesungguhnya Al-

Qur‟an ini diturunkan dalam sab‟ah ahruf, bacalah (dengan bacaan ) yang

memudahkan kalian.31

Dua hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa semua qira‟at yang mutawatir

tauqifi, artinya bersumber dari Allah, bukan hasil ijtihad manusia. Kedudukan qira‟at seperti

ini menjadi pegangan para ulama qira‟at sampai saat ini. Misalnya Al-Dimasyqiy

menganggap bahwa ilmu qiraát sebagai disiplin ilmu yang berbicara tentang tata cara

artikulasi dan ragam perbedaan lafazh al-Qurán bersumber dari informasi perawi yang tentu

saja sumber utamanya adalah Rasulllah saw.32

Karena posisi qira‟at yang shahih itu sama dan sebanding dalam keshahihannya dan nilai

ta‟abbudiyahnya, maka kita tidak boleh mentarjih diantara qira‟at mutawatir yang beragam

itu, yang dibolehkan hanyalah memilih diantara qira‟at-qira‟at itu yang akan kita ikuti dan

menjadi bacaan kita. Sedangkan qira‟at-qira‟at lainnya menambah penjelasan dari qira‟at

yang di ikuti, sebab ulama qira‟at sepakat mengatakan:”Ta‟addudul qiraat yunazzilu

manzilata ta‟adudu al-ayat.33

31

Shahih al-Bukhari , kitab fadhail Al-Qur‟an Bab Unzila Al-Qur‟an ala sab‟ah ahruf jilid vi hal 185. 32

Abu syamah al-Dimasyqiy,Ibraz Al-Ma‟ani min Hirz al-Amany fi Qira‟at al-Sab‟ah Ii al-Imam al-

Syathibi, h.12. Ibn Asyur Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir jilid 1, h 63

33

Muhammad al-Habasy, Al-Qira‟at al-Mutawatirah wa asaruha fi ar-rasm Al-Qur‟aniwa al-ahkam as-

syar‟iyah.

Page 10: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

10

Sejarah Perkembangan Qira’at

a. Masa Nabi dan Sahabat

Pada masa Al-Qur‟an diturunkan secara bertahap berlangsung. Setiap ayat yang turun

akan dihafal dengan baik oleh Rasulullah saw. sendiri maupun para Sahabat Pemeliharaan

Al-Quran dari sisi tulisan dilakukan dengan cara menunjuk secara resmi beberapa orang

Sahabat sebagai penulis wahyu seperti: „Ali ibn Abi Thalib, Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan,

Aban ibn Abi Sa‟id, Khalid ibn Walid, Ubay ibn Ka‟ab, Zaid ibn Tsabit dan Tsabit ibn

Qais.34

Selain mengemban tugas resmi sebagai penulis Al-Qur‟an, beberapa orang sahabat

yang disebutkan diatas dan beberapa sahabat lainnya juga memiliki dokumen atau catatan

pribadi yang terkait dengan Al-Qur‟an, seperti Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah

ibn „Abbas, Abdullah ibn Mas‟ud dan „Aisyah.Tulisan Al-Qur‟an juga dicek oleh Rasulullah,

Bahkan sebelum Rasulullah wafat- menurut sebuah riwayat- Zaid ibn Tsabit telah

menyerahkan dokumen tertulis yang mengakomodir semua huruf dan qira‟at kepada

Rasulullah untuk dikoreksi. 35

Uraian diatas menegaskan kepada kita bahwa landasan periwayatan qira‟at dan

pemeliharaannya melalui dua cara, disamping hafalan yang tertanam dalam sanubari

Rasulullah saw dan para Sahabat sebagai landasan utama, juga dalam bentuk tulisan. Dengan

demikian orisinalitas Al-Qur‟an dan otentisitasnya yang memang sudah dijamin oelh Allah

SWT,36

baik dari sisi hafalan maupun tulisan tetap terjaga.

Perbedaan bacaan Al-Qur‟an di kalangan Sahabat tidak menimbulkan persoalan

karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira‟at tersebut bukan hasil rekayasa atau

ijtihad sahabat, tetapi merupakan petunjuk Tuhan kepada Nabi (taufiqi).,oleh sebab itu setiap

qira‟at disandarkan langsung kepada Nabi. Qira‟at yang diterima Sahabat dari Nabi itulah

yang kelak menjadi pedoman ketika qira‟at menjadi disiplin ilmu tersendiri. Situasi seperti

digambarkan di atas berjalan hingga masa Umar. Para Sahabat mengajarkan Al-Qur‟an

dengan qira‟at masing-masing

Pada masa pemerintahan khalifah Usman, perbedaan qira‟at yang selama ini ditolerir

keberadaannya, mulai mengarah kepada pertentangan di kalangan umat Islam. Kasus

pertikaian pernah disaksikan langsung oleh Khuzaimah al-Yamani, antara pasukan Syam dan

Irak saat penaklukan kota Armenia dan Azerbaijan.37 Pertikaian terjadi karena tidak adanya

Al-Qur‟an standar yang menyatukan cara bacanya. Berdasarkan kasus ini Khuzaimah

mengusulkan kepada khalifah Usman agar menuliskan kembali Al-Quran untuk dijadikan

sebagai master atau pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Usman membentuk tim

yang terdiri dari empat orang: Zaid ibn S|abit (w. 45) sebagai ketua, dan Sa‟id ibn Ash al-

Amawi (w. 59), Abdullah ibn Zubair al-Asadi (w. 73), dan Abdurrahman ibn Harits ibn

Hisyam al-Makhzumi (w. 43) sebagai anggota.38

34

Abd al-Fattah al-Qadhi,Tarikh al-Mushaf al-syarif,Kairo:Maktabah al-Husaini,t.th, 35

Manna‟ Qattan, Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah ahruf, h. 124

36 Lihat firman Allah: QS Al-Hijr/15:

Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar

memeliharanya. 37

Ibn Jarir Al-Thobari,Tafsir Jami‟ al-Bayan, jilid 1, h 61. 38

Lihat Al-Zarqoniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an, jilid 1, h.256-257.

Page 11: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

11

Sebelum pelaksanaan tugas ini, Usman memberlakukan beberapa syarat, yaitu

pertama “Jika terjadi perselisihan dalam soal tulisan dengan Zaid ibn S|abit, maka hendaklah

ditulis dengan bahasa Quraisy, karena Al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Quraisy.39

Pesan

ini disampaikan mengingat zaid adalah orang Anshar, sedang ketiga anggotanya berasal dari

suku Quraisy. kedua, qira‟at yang diakomodir dalam mushaf adalah qira‟at yang sudah

dikoreksi di hadapan Nabi, sehingga qira‟at yang sudah di-naskh atau periwayatannya hanya

mencapai derajat ahad tidak dimasukkan dalam mushaf standar.

Mushaf hasil kodifikasi Utsman yang masyhur dengan sebutan “Mushaf „Utsmani”,

menjadi mushaf standar dan rujukan bagi seluruh umat Islam hingga kini. Berikutnya Usman

menghimbau agar semua mushaf pribadi yang pernah ditulis dihadapan Nabi, diserahkan

untuk kemudian dimusnahkan demi menjaga keutuhan umat, jangan sampai hanya karena

perbedaan qira‟at umat islam bertikai dikemudian hari. Kebijakan membakar mushaf tersebut

dinilai sebagai sadd al-Dzari‟ah, upaya menjaga kemaslahatan dan keutuhan umat Islam.

Dalam konsep fikih, apapun yang ditetapkan dan sudah menjadi keputusan pemerintah atau

penguasa mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga wajib ditaati, sebagaimana

kaedah ushul fiqh mengatakan : حكم الحاكم الزام ويرفع الخالف 40

(Artinya: keputusan pemerintah

adalah mengikat dan menghilangkan semua perbedaan pendapat).

Khalifah Utsman ketika mengirim mushaf standar ke berbagai wilayah juga

menyertakan para muqri‟ dengan bacaan yang standar. Al-Zarqani menyebutkan bahwa

Sahabat yang diberi tanggungjawab untuk mengajarkan mushaf kekawasan Madinah adalah

Zaid ibn Tsabit, kekawasan Makkah dengan muqri‟„Abdullah ibn al-Saib (w. 70/690),

kekawasan Syam Al-Mughirah ibn al-Saib (w. 71/690), kekawasan Kufah Abu Abdurrahman

Al-Sulami, dan ke Bashrah „Amir ibn „Abd al-Qais.41

b. Masa Tabi‟in

Pada masa Tabi‟in, yakni pasca disusunnya mushaf Usmani periwayatan qira‟at

seperti pada masa Sahabat tetap berlangsung. Di masa Tabi‟in inilah masa keemasan dan

kematangan disiplin ilmu qira‟at berlangsung. Antusias masyrakat dalam mengkaji ilmu ini

sangat besar. Sehingga pada abad kedua Hijriyah, lahirlah ahli-ahli qira‟at hasil bimbingan

Sahabat, di antaranya Abu Ja‟far Yazid ibn Qa‟qa‟ (w. 130/747), Nafi‟ ibn Abd al-Rahman

(w. 169/785) qurra‟ wilayah Madinah, Ibn Katsir al-Dary (w. 120/737), Humaid ibn Qais al-

A‟raj (w. 123/740) qurra‟ Makkah, Abdullah al-Yahshubi atau „Amir (w. 118/736) qari‟ dari

Syam, Abu „Amr (w. 154/770) qari‟ Basrah, „Ashim al-Jahdari (w. 128/745), „Ashim ibn Abi

al-Najud (w. 127/744), Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat (w. 188/803), Sulaiman al-A‟masy (w.

119/737) qurra‟ dari Kufah.42

Pada masa Tabi‟in ini buku-buku qira‟at hasil karya para qurra‟ bermunculan, seperti

Abu „Ubaid al-Qasim ibn Sallam (154-224/774-838) menulis sebuah buku dengan judul al-

Qira‟at. Dalam karya ini, ia mengangkat 25 qira‟at termasuk di dalamnya imam qira‟at sab‟.

Ahmad ibn Jubair al-Kufi (w. 258) menulis kitab qira‟at al-khamsah, Isma‟il ibn Ishaq al-

Maliki (w. 282) menyusun kitab qira‟at yang mengangkat 20 qira‟at, termasuk di dalamnya

imam qira‟at sab‟ah, al-Thabari (w. 310) menyusun karya yang diberi nama al-Jami‟, yang

39

Lihat al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid I, h. 334. 40

Jalal al-Din Al-suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair, juz 2, h. 479, Maktabah al-Syamilah, 41

AL-Zarqoniy,Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur‟an, jiid 1,h 337. 42

Ahmad al-Baily, Al-Ihktilaf baina al-Qira‟at, Beirut, Dar al-Jail, h. 68

Page 12: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

12

mengangkat kurang lebih 20 qira‟at, Abu Bakar al-Dajuni (w. 324) menyusun kitab qira‟at

dengan memasukkan Abu Ja‟far (salah satu Imam qira‟at sepuluh), dan Ibnu Mujahid (w.

324) mengarang buku berjudul “Kitab al-Sab‟ fi Al-Qur‟an” yang mengangkat nama imam-

imam qira‟at tujuh. Karya-karya ini menjadi petanda lahirnya disiplin ilmu qira‟at.

Parameter keshahihan sebuah qira’at

Mengingat banyaknya ragam qirâ‟ât yang beredar dikalangan umat islam yang

diriwayatkan oleh para qâri‟, Maka untuk menentukan kualitas qirâ‟ât, para ulama membuat

parameter berupa syarat-syarat, sebagai ketentuan untuk dijadikan acuan ketika menilai

shahih atau tidaknya sebuah qirâ‟ât. Parameter ini meliputi:1) Qira‟at itu harus memiliki

rangkaian sanad yang shahih dan bersambung sampai kepada Rasulullah saw.2)redaksi dari

qira‟at itu harus sesuai dengan kaedah bahasa Arab.3) Bentuk tulisannya harus sesuai dengan

salah satu rasm (gambararan dari tulisan) mushaf Utsmâni.

Diantara ulama yang menetapkan tiga parameter ini adalah syaikh al-Makki ibn Abî

Tâlib (w.347)43

. Parameter ini dipopelerkan oleh Ibnu al-Jazari (w.833) yang dicantumkan

dalam bait “Thaibah al-Nasyr” yang artinya adalah: “Setiap Qirâ‟ât apabila sesuai dengan

kaedah nahwu (bahasa), sesuai dengan rasm Utsmani, dan memiliki sanad shahih maka

wajib diakui ke Qur‟anannya.” Inilah tiga rukun yang harus dipenuhi, sekiranya tidak

terpenuhi tiga syarat tersebut maka qira‟at itu dianggap syadz” 44

Klasifikasi Qirâ’at.

Klasifikasi qirâ‟ât didasarkan pada dua kategori, yaitu berdasarkan pada kategori kualitas

keabsahan qirâ‟ât dan berdasarkan kuantitas jumlah perawinya. Pertama: Qirâ‟ât

berdasarkan Kualitas Keshahihannya. Al-Suyûthi memaparkan kwalitas qirâ‟ât yang

didasarkan pada jumlah perawi, menjadi: a. Qirâ‟ât Mutawâtir, yaitu qirâ‟ât yang

diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang, sehingga di masing-masing

tingkatan perawinya dan rangkaian sanadnya tidak mungkin terjadi kebohongan. Contoh

qirâ‟ât mutawatir adalah qirâ‟ât sab‟ah. b. Qirâ‟ât Masyhûr adalah qirâ‟ât yang memiliki

sanad berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit, serta

sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan salah satu rasm mushaf „Utsmani. Jenis qirâ‟ât ini

cukup masyhur di kalangan ahli qirâ‟ât, hanya saja jumlah perawi dalam sanadnya tidak

mencapai jumlah mutawatir. c. Qira‟at Ahad adalah qirâ‟ât yang memiliki sanad berkualitas

shahih, namun tulisannya tidak bersesuaian dengan rasm mushaf „Utsmani dan kaedah tata

bahasa Arab. Jenis qirâ‟ât ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini keberadaannya; d.

Qirâ‟ât Syâdz yaitu qirâ‟ât yang kualitas sanadnya tidak shahih. Contohnya seperti bacaan

يي هلك يىم الد pada surat al- Fâtihah:e.Qirâ‟ât Maudhû‟ yaitu qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh

seorang perawi tanpa memiliki asal-usul yang jelas. f. Qirâ‟ât Mudraj yaitu bacaan yang

disisipkan dalam al-Qur‟an oleh perawinya sebagai penafsiran. Contohnya adalah qirâ‟ât

43

Ulama dalam menetapkan validitas qiraat berbeda pendapat, namun perbedaan itu tidak keluar dari

tiga parameter sebagaimana disebut di atas. Diantara mereka hanya menetapkan dua, yaitu keshahihan sanad

dan kesesuaiannya dengan rasm mushaf utsmani saja. Lihat al-Bili, Al-Ikhtilaf Bain al-Qirâ‟ât, h. 76-77 44

Ibnu al-Jazari, Tayyibah al-Nasyr fi al Qirâ‟ât al-„Asyr, Madinah: Maktabah Dâr al-Huda,

1421/2000, Cet. Ke 2, h.32

Page 13: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

13

Ibnu „Abbas yang menambahkan kata ليس عليكن جا ح اى حبخغىا pada firman Allah في هىاسن الحج

فضال هي ربكن )في هىاسن الحج(

Kedua, Qirâ‟ât berdasarkan Jumlah perawinya. Berdasarkan jumlah perawi dan

mengacu kepada validitas keabsahan qirâ‟ât, ulama membagi tiga kategori qirâ‟ât yaitu: a.

Qirâ‟ât Sab‟ah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâ‟ât dengan tujuh

perawi disetiap qirâ‟ât nya. Tujuh qirâ‟ât ini dihimpun dan dipopulerkan oleh Abu Bakar

Ibnu Mujâhid (w.324/938),45

. sejak masa awal Islam hingga kini ada consensus (ijma‟)

bahwa tujuh qirâ‟ât ini diakui sebagai qira‟at yang mutawatir, Para qurra‟ yang dinisbatkan

kepadanya qira‟at sab‟ah adalah :Nafi‟. Ibn „Amir, Ibn Katsir, Ab „Amr, „Ashim, Hamzah

dan Al-Kisai. b Qirâ‟ât „Asyrah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qirâ‟ât.

Jumlah sepuluh tersebut terdiri atas tujuh qirâ‟ât sab‟ah ditambah tiga qirâ‟ât lainnya,

yaitu:1.Abu Ja‟far al-Makhzumi al-Madani 2,Ya‟qub al-Hadhrami 3. Khalaf ibn Hisyâm al-

Bazzâr. c. Qirâ‟ât Arba‟a Asyrah. Ketika masa pembukuan berbagai ilmu keislaman,

termasuk juga ilmu qira‟at, beberapa pakar qira‟at mulai mngumpulkan qira‟at dan

membukukannya, baik qira‟at yang shahih, mutawatir, begitu juga dengan qira‟at yang

syadzdzah, dimana sumber qira‟at yang terakhir ini adalah hafalan dan ingatan yang masih

tersisa. Karena dokumen tertulisnya telah dimusnahkan atas perintah Utsman. qira‟at

syadzdzah juga banyak diakomodir pakar-pakar tafsir dalam buku-buku tafsir mereka46

.

Tujuannya, disamping menyempurnakan imformasi seputar qira‟at, juga untuk memperjelas

penafsiran, karena qira‟at syadzdzah bisa menambah jelas makna ayat yang dibaca dengan

qira‟at yang mutawatir. nama-nama qurra‟ yang banyak memperkenalkan qira‟at syadzdzah.

adalah empat orang qurra‟ yang paling dikenal, yang menambah jumlah qira‟at dari sepuluh

menjadi empat belas qira‟at atau yang terkenal dengan “ Qirâ‟ât arba‟a Asyrah”.47

Empat

orang qurra‟ yang dimaksud adala 1.Ibn Muhaisin 2.Yahya al-Yazidi 3. Hasan al-Bashri

4.al-A‟masy

Hubungan Qira’at Dengan Penafsiran

Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 1879-1973

M). Dalam muqaddimah kitab tafsirnya membahas tentang qirâ‟at dan pengaruhnya terhadap

penafsiran Al-Qur‟an. Menurut Ibn „Asyur hubungan antara qirâ‟at dan tafsir dapat

dikelompokkan menjadi: pertama, qirâ‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran dan

Kedua, qirâ‟at yang berimplikasi pada penafsiran.48

Jenis pertama, yaitu qirâ‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran, diantaranya

disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca (harokat), panjang dan pendeknya

bacaan (mad), al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-Tahqiq, al-Jahr, al-Hams dan al-Gunnah.

Beliau mencontohkan pada ayat (al-Baqarah/ 2:254):

45

Ibnu Mujâhid, kitab al-Sab‟ah, h.15 46

Fakhruddin al-Razi (w. 1210) adalah mufassir bermadzhab syafi‟I, termasuk yang banyak

memaparkan Qira‟at Syadzdzah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, meskipun terkadang ia menjelaskan

atau mengomentari status Qira‟at tersebut, terkadang tidak. Padahal al-Razi termasuk mufassir yang cenderung

mengambil sikap tidak menjadikan Qira‟at syadzdzah sebagai hujjah. Sebagai contoh sikapnya tersebut dapat

dilihat pada penafsiran al-Razi dan komentarnya pada QS al-Baqarah, 2:226, yang membahas tentang „ila‟.

Lihat tafsirnya Mafatih al-Ghaib, Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, tth, jilid III, h, 78. 47

Ahmad al-Beilly, Ikhtilaf baina al-Qira‟at ,h 111-112. 48

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50

Page 14: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

14

Tiga kosa kata pada ayat di atas dapat dibaca dhommah seluruhnya atau fathah

seluruhnya, atau dapat juga dibaca salah satunya rofa‟ dan yang lainnya fathah tanpa

menimbulkan perbedaan makna yang dapat mempengaruhi penafsiran Al-Qur‟an.49

Jenis

bacaan yang kedua adalah qirâ‟at yang berimpliksi terhadap penafsiran (QS Yusuf 12: 11).

كذ seperti pada kata kudzdzibu bisa dibaca dengan tasydid pada huruf dzal

yang bermakna mereka (yaitus para Nabi) telah didustakan kaumnya, atau bisa dibaca tanpa

tasydid, yang bermakna mereka (yaitu orang-orang yang berdosa dan melanggar larangan

Allah) telah mendustakan Rasul. Perbedaan bacaan ini berimplikasi pada penafsiran.50

Qira‟at lainnya yang berimplasi pada penafsiran adalah pada ayat yang membahas

tentang thaharoh yaitu QS al-Baqoroh/2 :222 ,

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu

gangguaan". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu

haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelummerek suci. apabila mereka

telah Suci, Maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-

orang yang mensucikan diri. "

Abu Hayyan ketika menafsirkan ayat mengangkat empat

qira‟at:

1. Qira‟at Nafi‟, Ibn Katsir, Abu „Amr, Ibn „Amir dan Hafash membaca dengan

tahkfif/tanpa tasydid,dengan sukun pada huruf tha‟ dan dhommah pada huruf ha‟

( ) berasal dari kata thaharo yng berarti terputus/terhentinya darah haidh.

2. Qira‟at Hamzah al-Kisa‟iy dan Syu‟bah membacanya dengan tasydid tho‟ dan ha‟

serta harakat fathah pada keduanya, sehingga dibaca Yaththoharna berasal dari kata

yatathohharna.

3. Qira‟at Ubay ibn Ka‟ab dan Abdullah ibn Mas‟ud membacanya yathathohharna

4. Anas ibn Malik membaca yatathohharna51

وال حقزبىا الساء في هحيضهي واعخشلىهي حخي

يخطهزى

Qira‟at pertama dan kedua statusnya mutawatir, sedangkan qira‟at ketiga dan ke

empat statusnya syadzdzah. Perbedaan qira‟at ini juga memberi perbedaan penafsiran.

Bacaan pertama yathhurna memberi makna bahwa suami boleh menggauli istri setelah

terputusnya darah haidh walaupum belum mandi (junub). Sedangkan Al-Thabari dan al-

Zmakhsyari menafsirkan bacaan keduan yaitu kata yaththoharna dengan hatta yaghtasilna

49

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50. 50

Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55. 51

Abu Hayyan al-Bahru al-Muhith juz II, h 424

Page 15: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

15

artinya sampai mandi. Hukum yang timbul akibat dari penafsiran ini suami tidak boleh

menggauli istri sampai berhentinya darah haid dan mndi (hadats atau mandi junub).52

Sedangkan bacaan/qira‟at ke tiga memperjelas makna qira‟at yang kedua yaitu menerangkan

asal kata yaththoharna. Sementara qira‟at ke empat Abu Hayyan mengatakan bahwa qira‟at

ini hanya dianggap sebagai tafsir dari bacaan yang shahih, bukan al-Qur‟an karena banyak

menyalahi tulisan (rasam usmaniy).53

Menurut Ibn Athiyyah qira‟at kedua dan ketiga masing-

masing mengandung makna terhentinya darah haidh dan mandi dengan air. Hal ini diperkuat

dengan redaksi ayat berikutnya yaitu

Berdasarkan pendapat ini Imam Malik dan Imam Syafi‟I berpendapat suami baru

boleh menggauli istrinya setelah istri mandi. Qira‟at pertama mengandung makna hanya

terputusnya darah haidh suami sudah boleh menggauli istrinya, meskipun belum mandi.

Berdasarkan penafsiran ini ImamAbu Hanifah menurut Al- Shobuni membolehkan suami

menggauli istrinya setelah terhentinya darah haidh tanpa perlu mandi terlebih dahulu. 54

Melihat perbedaan pendapat diatas menimbulkan pertanyaan apakah pendapat imam

Syafi‟I yang didasarkan pada qira‟at yang shahih dan mutawatir berari menolak bacaan

/qira‟at pertama yang juga mutawatir yaitu qira‟at yang dijadikan landasan hukum oleh imam

Abu Hanuifah? Al- Rozi menjawab pertanyaan diatas dengan mengatakan bahwa Syafi‟I

menerima seluruh qira‟at mutawatirah. Jika terdapat perbedaan makna diantara qira‟at itu,

maka wajib dikompromikan, jika memungkinkan. Kedua qira‟at tersebut mengandung makna

berhenti darah haidh sebagaimana di tunjukkan pada qira‟at Yathhurna dan mengandung

makna mandi pada qira‟at Yaththoharna. Menurut hujjah Syafi‟I kedua qira‟at tersebut dapat

dikompromikan, sehingga dapat difahami bahwa suami baru boleh menggauli istri setelah

istri berhenti darah haidhnya dan mandi janabah, Hujjah kedua adalah mengaitkan bersetubuh

dengan bersuci, yang termaktub dalam redaksi ayat selanjutnya

Yang menunjukkan bahwa kebolehan bersetubuh apabila terpenuhi satu syarat, yaitu

bersuci. Dengan kata lain bersuci menjadi syarat boleh melakukan hubungan suami

istri.55

Dengan dua contoh diatas terbukti bahwa ada pengaruh / implikasi qira‟at terhadap

penafsiran.

DAFTAR PUSTAKA

ʻAbd al-Baqi, M. Muhammad Fuad, al-Mu‟jam al-Mufahras Li al-Faz al-Qur‟an al-Karim,

Beirut: Dar al-Fikri, 1412 H/1992

Abd al-Fatah, Budur al-Zahirah fi al-Qira‟ât al-„Asyr, Libanon: Maktabat al-Mushtafa al-

Bâb al-Halaby, t.th.

Abu al-Faraj, Sayyid Laysin dan Khalid Muhammad al-Hafizd, Taqrib al-Ma‟ani fi Syarh

Hirz al-Amani fi al-Qira‟at al-Sab‟, Madinah: Dar al-Zaman, t.th

52

Al-Thabari, Jami‟ al-Bayan,jilid 4,h.385 53

Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, jil II, h 424. 54

Muhammad al-Shobuni, Rawa‟I al-bayan, Damaskus: Maktabah al-Ghozali, 1980, cet ke 3, jil. I,

h.302-303 55

Al-Razi, Mafatih al- Ghoib , jil, III, h 302.

Page 16: PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/31011/1/Faizah... · diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan

16

Abu Zar‟ah Abd al-Rahman Ibn Muhammad, Hujjah al-Qira‟at, Beirut: Muassasah al-

Risalah, 1404 H/1989 M

Anis, Ibrahim, al-Muj‟am al-Wasit, Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1392 H

Bazamul, Muhammad Ibn Umar Ibn Salim, Al-Qira‟at wa „Ashruha fi al-Tafsir wa al-

Ahkam, Riyadh: Dar al-Hirah, 1417 H/1996 M

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989

al-Dimasyqiy, Abu syamah, Ibraz Al-Ma‟ani min Hirz al-Amany fi Qira‟at al-Sab‟ah Ii al-

Imam al-Syathibi, Mesir, Maktabah Mustafa al-Albaniy al-Halabiy wa Auladuhu,tth

al-Duri, Abu Umar Hafsh bin Umar, al-Qira‟at al-Waridah fi as-Sunnah, Kairo: Dar al-

Salam, 2006

al-Habasy, Muhammad, Al-Qira‟at al-mutawatirah wa atsruha fi a l-rosm al-Utsmany wa al-

ahkam al-syar‟iyah, Beirut: Dar-al-Fikri1419 H/1999

Ibnu Asyur, Muhammad al-Thohir, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar sahnun li an-

Nashr wa at-Tauzi‟, t.th

Ibn Faris, Mu‟jam maqoyis al-Lughoh, Beirut: Darul Fikri, 1994

Ibnu al-Jazari, Thayyibah anNashir fi al-Qira‟at al-„Asyr, Madinah: Maktabah Dar al-Hud,

t.th

Ibn Mandzur- Lisan al-Arab, Beirut, Dar al Fikri, t.th

Ismail, Nabil Muhammad Ibrahim Ali, Ilmu al-Qira‟at Nasy‟atuhu, athwaruhu, atsaru fi al-

Ulum as-Syar‟iyah, Riyadh: Maktabah at-Taubah, 2000.

Ismail, Sya‟ban Muhammad, Al-Qira‟at Ahkamuha wa Masadiruha Semarang: Dina Utama,

1993

Kharuf, Muhammad Fahd, Al-Tashil li Qira‟at al-Tanzil, Damaskus: Maktabah Dar al-

Bairuti, 1420 H/1999 M

al-Qadhi, Abdul Fatah, Tarikh al-Mushaf al-Syarif, Kairo: Maktabah wa al-Matba‟ah

Husaini, t.th.

al-Qattan, Manna‟, Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah Ahruf, Kairo: Maktabah Wahbah, 1991

Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah, Penerbit Lentera hati, November 2000.

al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-qur‟an, Bairut :Daar al-Fikr, 1979

al-Turmudziy, M. Muhammad ibn Isa, Sunan al-Turmudziy, Beirut: Dar Ihya‟ Turats al-

„Arabiy, t, th, hadits nomor 2944

Widayati, Ramlah, Qira‟at Syazah dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith karya abu Hayyan,

disertasi UIN Tahun 2008

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,

(Medinah Munawwarah: Mujamma‟ al-Malik Fahd Li Thiba‟at al-Mushaf al-Syarif,

Waqaf Lillahi Ta‟ala Min Khadim al-Haramain al-Syarifain al-Malik Fahd bin ʻAbd

al-ʻAziz al-Sa‟ud, Raja Kerajaan Saudi Arabia, 1418), Kholid Bin Muhammad, al-

Minah al-IlahiyahFi Jam‟i al-Qiraat, Madinah

al-Zarkasyi, Badrudin Muhammad ibn Abdillah, al-Burhan fi Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar

al-ma‟rifah, 1391

al-Zarqaniy, Muhammad „Abd al-„Adzim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an, , Beirut: Dar

al-Ma‟rifah