pengaruh penerapan model pembelajaran …journal.ustjogja.ac.id/download/jurnal nat edit hal...
TRANSCRIPT
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 1
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE JIGSAW DAN TIPE THINK PAIR SHARE TERHADAP HASIL BELAJAR
IPA SISWA KELAS VII SMP TAMAN DEWASA IBU PAWIYATAN TAHUN
AJARAN 2012/2013
Jati Aurum Asfaroh dan Hidayati
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract
According to descriptive study, the research is intended to know the inclination of
the result of IPA learning in class VII grade at SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan by
using jigsaw, Think Pair Share (TPS) and conventional model. According to comparative
study is to know the difference of the result of IPA learning on the VII grade students by
using the learning models. The research conducted in class VII grade of SMP Taman
Dewasa Ibu Pawiyatan in Academic 2012/2013. The research population included all
students of the VII grade of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatanin academic 2012/2013
which consists of 4 classes with totaling 88 students. The samples were taken 3 classes by
random sampling with class VII B and class VII C as experiment class and class VII D as
control class. The collecting data by using documentation techniques to obtain the first
skill of the students and using test technique to obtain data of the result of IPA learning.
Validity of the questions were looked for by using product moment correlation. The
question reliability was looked for using the KR-20 formula; the result is 0.72 rtt was
explained was reliable. The data analysis techniques was calculated using the F or
ANOVA test A, but previously conducted analysis of requirement test, including test
distribution normality and homogenity of variance test. According to descriptive study, the
result showed that the tendency of the result of IPA learning on class VII grade of SMP
Taman Dewasa Ibu Pawiyatan in Academic 2012/2013 which using the model of
cooperative learning (jigsaw in very high categories, Think Pair Share (TPS), and
conventional models ware high categories. In the F test using the dka = 2 and dbd = 52
obtained Fhitung = 7,07 whereas in table of The F values were 3.164 at significance level of
5 % and 4.98 at 1% significance level. Because the result of Fhitung > F 1%, there were
significant difference of the result of IPA learning on the class VII grade of SMP Taman
Dewasa Ibu Pawiyatan in academic 2012/2013 between the learning presses using jigsaw
and Think Pair Share (TPS) cooperative learning models. From the result of Shceffe test
described that jigsaw was higher than Think Pair Share (TPS) cooperative leaning
models, Think Pair Share (TPS) was higher than conventional cooperative learning
models. The teacher must be increase quality of learning outcomes besides using jigsaw
and Think Pair Share (TPS) models to get maximal learning outcomes.
Key Words: jigsaw and Think Pair Share (TPS) learning models and learning result
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 2
A. PENDAHULUAN
Mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari oleh
siswa SMP. Ilmu Pengetahuan Alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam
secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang
berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu
proses penemuan. Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. IPA diarahkan untuk berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pembelajaran IPA
sebaiknya dilakukan dengan model pembelajaran kooperatif untuk menumbuhkan
kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai
aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA yang dilaksanakan di
SMP hendaknya menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui
penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (BSNP, 2006: 1).
Pembelajaran IPA adalah pembelajaran yang tidak menuntut hafalan, tetapi
pembelajaran yang banyak memberikan latihan untuk mengembangkan cara berfikir yang
sehat dan masuk akal berdasarkan kaidah-kaidah IPA. Tidak dapat disangkal, bahwa
konsep merupakan suatu hal yang sangat penting. Pentingnya pemahaman konsep dalam
proses belajar mengajar sangat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara
memecahkan masalah. Untuk itu yang terpenting dari belajar yang bermakna dan tidak
hanya seperti menuang air dalam gelas pada siswa. Dalam kondisi demikian, maka
kompetensi guru dituntut untuk mampu meramu wawasan pembelajaran yang lebih
menarik dan disukai oleh siswa.
Berdasarkan hasil observasi di kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun
ajaran 2012/2013 menunjukkan bahwa pada saat proses pembelajaran IPA masih sering
dijumpai adanya kecenderungan siswa tidak memperhatikan pada saat guru menjelaskan
pelajaran dan tidak mau bertanya apabila ada bagian yang tidak jelas. Ketika guru
menanyakan bagian mana yang belum mengerti seringkali siswa hanya diam, dan setelah
guru memberikan soal latihan barulah guru mengerti bahwa sebenarnya ada bagian dari
materi yang belum dimengerti siswa. Siswa cenderung pasif dalam pembelajaran, seperti
kurangnya aktivitas bertanya, dan mengemukakan gagasan dari siswa. Siswa hanya
menerima informasi dari guru. Pembelajaran minim dengan aktivitas siswa sehingga
mengakibatkan pembelajaran menjadi tidak bermakna dan belum mencapai beberapa
tujuan pembelajaran IPA.
Sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan antara apa yang mereka
pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan/diaplikasikan pada
situasi baru. Siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep
tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep
yang dimiliki/dikuasai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih rendahnya daya serap
siswa terhadap pelajaran, yang tampak dari rerata hasil belajar siswa yang masih
memprihatinkan. Hasil belajar tersebut dapat dilihat dari perolehan nilai Ujian Tengah
Semester di SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 yang
relatif rendah dibanding dengan mata pelajaran lain.
Tabel 1. Data Nilai Ujian Tengah Semester
Mata pelajaran Nilai
Bahasa Inggris 78
IPA 63
IPS 65
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 3
Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan pembenahan dalam
pembelajaran sehingga dapat mengaktifkan siswa. Model pembelajaran yang diperlukan
saat ini adalah model pembelajaran yang inovatif dan kreatif yang memberikan iklim
kondusif dalam pengembangan daya nalar dan kreatifitas siswa. Salah satunya adalah
dengan menerapkan pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran dengan menggunakan
kelompok kecil yang saling bekerjasama dalam menyelesaikan tugas. Siswa dalam
kelompok kooperatif belajar diskusi, saling membantu, dan mengajak satu sama lain untuk
mengatasi masalah belajar (Isjoni, 2012: 20).
Pembelajaran kooperatif diantaranya adalah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dan tipe Think Pair Share (TPS). Pembelajaran tipe jigsaw merupakan suatu pembelajaran
kooperatif yang mengutamakan kerjasama dan saling ketergantungan antara siswa serta
didasarkan pada pandangan kontruktivisme dimana pengetahuan dibangun dari
pengetahuan siswa itu sendiri. Dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, siswa bekerja
dalam kelompok selama dua kali, yakni dalam kelompok mereka sendiri (asal) dan dalam
kelompok ahli. Pembelajaran tipe Think Pair Share (TPS), model pembelajaran ini
menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan
oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Pembelajaran kooperatif
Think Pair Share (TPS) memiliki prosedur pembelajaran yaitu guru memberikan
pertanyaan kepada kelas.Siswa diminta memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri,
lalu berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap
jawaban. Akhirnya guru meminta para siswa untuk berbagi jawaban yang telah mereka
sepakati denga seluruh kelas (Robert E. Slavin, 2005: 257).
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun
ajaran 2012/2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen. Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Matched Group Pre Test Post Test
Design” (Suharsimi Arikunto, 2002: 78). Model yang dimaksud terdiri dari kelompok
eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada kelas VII B
yang terdiri dari 18 siswa (10 putri dan 8 putra) dan tipe Think Pair Share (TPS) pada kelas
VII C yang terdiri dari 19 siswa (9 putri dan 10 putra) sedangkan kelompok kontrol pada
kelas VII D yang terdiri dari 18 siswa (10 putri dan 8 putra) menggunakan model
pembelajaran konvensional. Ketiga kelompok diberi pretest (T1) sebelum perlakuan
diberikan. Pretest digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Setelah perlakuan,
ketiga kelompok diberi postest (T2) untuk mengetahui hasil belajar siswa. Variabel
penelitian adalah sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2013: 60). Variabel penelitian meliputi:
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (TPS), dan hasil belajar siswa.
Data penelitian dikumpulkan melalui teknik dokumentasi untuk memperoleh nilai
tes berupa nilai ulangan tengah semester sebagai nilai kemampuan awal dan tes hasil
belajar (Sugiyono, 2008: 240). Penggunaan tes hasil belajar dimaksudkan untuk mengukur
hasil belajar siswa tiap kelompok setelah masing-masing kelompok diajar dengan
menggunakan model pembelajaran yang tidak sama tetapi materi yang sama (Sukardi,
2005: 138). Bentuk tes yang digunakan adalah pilihan ganda berjumlah 30 butir.
C. HASIL PENELITIAN
Sebelum melakukan proses uji hipotesis perlu dilaksanakan terlebih dahulu uji
normalitas dan uji homogenitas. Hasil uji normalitas sebaran dari data yang diperoleh
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 4
meliputi tiga kelompok yaitu kelompok yang pembelajarannya dengan model
pembelajaran jigsaw , Think Pair Share (TPS) dan konvensional. Hasil uji normalitas
sebaran data hasil belajar IPA adalah sebagai berikut.
Tabel. 2 Uji Normalitas Sebaran
Kelompok Dk 𝒳²hitung 𝒳²tabel 5% Status
jigsaw 3 2,350 5,991 Distribusi normal
TPS 3 4,860 5,991 Distribusi normal
Konvensional 3 2,760 5,991 Distribusi normal
Memperhatikan tabel di atas, tampak bahwa 𝒳 hitung < 𝒳 tabel, dengan demikian berarti bahwa ketiga kelompok tersebut sebaran data berdistribusi normal (Sugiyono,
2013: 241). Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal
dari populasi yang homogen atau tidak (Sudjana, 1976:263). Dari data hasil penelitian
diperoleh S² = 17,28 dan B = 64,35 sedangkan hasil selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3
berikut.
Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Varian
Sampel Dk 1/dk Si2 Log Si2 dk Log Si2
1 17 0.058 12,53 1,09 18,53
2 18 0.055 14,59 1,16 20,88
3 17 0.058 24,90 1,39 23,63
Jumlah 63,04
Dari data penelitian diperoleh harga 𝒳 ² = 3,016 sedangkan dari daftar tabel
distribusi chi-kuadrat, jika α = 0.05 dan dk = k – 1 = 3 – 1 = 2, maka nilai 𝒳² = 5,991
dengan demikian 𝒳 ² hitung <𝒳 ² tabel sehingga hipotesis yang menyatakan tidak ada pengaruh varians antara kelompok 1, 2 dan 3 dapat diterima berarti varian dari ketiga
kelompok tersebut homogen.
Untuk mengetahui kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan tipe Think Pair Share (TPS),
terlebih dahulu dihitung rata-rata observasinya. Untuk menganalisis data secara deskriptif
yang perlu dicari terlebih dahulu adalah skor terendah, skor tertinggi rata-rata, simpangan
baku dari setiap variabel kemudian dibandingkan dengan kurva normal ideal (Saifuddin
Azwar, 2009:108). Pada penelitian ini diperoleh skor maksimal ideal = 26 skor minimal
ideal = 0 maka M = 0,5(26+0)= 13 dan SD = 2,17 sehingga dapat disusun kriteria sebagai
berikut: 16,26 – 26,00 (Sangat tinggi), 14,09 – 16,25 (Tinggi), 11,92 – 14,08 (Sedang),
9,75 – 11,91 (Rendah), dan 0,00 – 9,74 (Sangat Rendah).
Hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran
jigsaw, diperoleh rata-rata = 19,37. Dengan melihat hasil rata-rata dan dibandingkan
dengan kriteria di atas, rata-rata kelompok ini berada pada interval 16,25 – 26,00 maka
hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran jigsaw
siswa kelas VII semester II SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran
2012/2013 termasuk kategori sangat tinggi.
Hasil belajar IPA yang pembelajaranya dengan menggunakan model pembelajaran
Think Pair Share (TPS), diperoleh rata-rata = 16,20. Dengan melihat hasil rata-rata dan
dibandingkan dengan kriteria di atas, rata-rata kelompok ini berada pada interval 14,09 –
16,25 maka hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model
pembelajaran Think Pair Share (TPS) siswa kelas VII semester II SMP Taman Dewasa Ibu
Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 termasuk kategori tinggi.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 5
Hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional, diperoleh rata-rata = 14,50. Dengan melihat hasil rata-rata dan dibandingkan
dengan kriteria di atas, rata-rata kelompok ini berada pada interval 14,08 – 16,25, maka
hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional siswa kelas VII semester II SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta
tahun ajaran 2012/2013 termasuk kategori tinggi.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan hasil belajar
IPA siswa kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013 antara
pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran
konvensional. Untuk menjawab hipotesis apakah ada perbedaan hasil belajar IPA siswa
antara pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe jigsaw, model kooperatif tipe
Think Pair Share (TPS), dan model pembelajaran konvensional, digunakan analisis varians
satu jalur (ANAVA). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga F hitung = 7,07. Ftabel
pada taraf signifikansi 5% dengan dk pembilang 2 dan dk penyebut 52 adalah 3,164
sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi 1% = 4,98 karena Fhitung> Ftabel 1%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: ada perbedaan yang sangat signifikan
hasil belajar IPA antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw, tipe Think Pair Share (TPS) dan konvensional, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat di tabel 4 berikut.
Tabel 4. Ringkasan ANAVA Data Penelitian
Sumber
variasi Dk JK RJK Fh Ft
Keterangan
Rerata 1 18620 185620
7,07
3.164 (5%)
4.98 (1%) Sangat
Signifikan
Antar kel 2 323,43 161,72
Dalam kel 52 1189,30 22,87
Total 55
Untuk menentukan model pembelajaran yang lebih baik dengan menggunakan uji
Scheffe, dengan terlebih dahulu diurutkan harga rata-rata dari ketiga model pembelajaran
tersebut, dari hasil perhitungan diperoleh harga rata-rata dari ketiga model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw > model pembelajaraan kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) >
harga rata-rata model pembelajaran konvensional (X1> X2> X3).
1. Membandingkan antara model pembelajaran jigsaw dengan Think Pair Share (TPS)
Hasil perhitungan, α = 0.05 serta dk = 52 diperoleh ttabel = 1,675 dengan demikian
bahwa diperoleh thitung> ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari pada model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS).
2. Membandingkan antara model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan model
pembelajaran konvensional
Hasil perhitungan, α = 0.05 serta dk = 52 diperoleh ttabel = 1,675 dengan demikian
bahwa diperoleh thitung> ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari pada model
pembelajaran konvensional.
3. Membandingkan antara model pembalajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)
dengan model pembelajaran konvensional
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 6
Hasil perhitungan, α = 0.05 serta dk = 52 diperoleh ttabel = 1,675 dengan demikian
bahwa diperoleh thitung> ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi
dari pada model pembelajaran konvensional.
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari model pembelajaran
koopearif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (TPS) lebih tinggi dari pada model pembelajaran konvensional, maka model
pembelajaran jigsaw lebih tinggi dari model konvensional. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa: hasil belajar IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw lebih tinggi dari model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS),
model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari model
pembelajaran konvensional.
D. PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan hasil
belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
yang diikuti 19 siswa memperoleh skor rata-rata = 19,37 sedangkan rata-rata ideal = 13
dan SD = 3,82 sehingga dalam kurva normal berada dalam kategori sangat tinggi. Hal ini
disebabkan dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw siswa akan lebih aktif dalam
kerja tim, dapat mengembangkan hubungan antar pribadi positif di antara siswa yang
memiliki kemampuan belajar berbeda, menerapkan bimbingan sesama teman, rasa harga
diri siswa yang lebih tinggi, penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar,
pemahaman materi lebih mendalam, meningkatkan motivasi belajar dan menguasai
pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba
untuk mempelajari semua materi sendirian (Mitahul Huda, 2013: 121).
Kecenderungan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) yang diikuti 18 siswa memperoleh
skor rata-rata = 16,20 sedangkan rata-rata ideal = 13 dan SD = 3,54 sehingga dalam kurva
normal berada dalam kategori tinggi. Karena dalam model pembelajaran kooperatif tipe
Think Pair Share (TPS) memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang pembelajarannyakan karena secara tidak
langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh
kesempatan untuk memikirkan materi yang pembelajarannyakan, siswa akan terlatih
menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk
mendapatkan kesepakaatan dalam memecahkan masalah, siswa lebih aktif dalam
pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, siswa memperoleh
kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide
yang ada menyebar, memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam
proses pembelajaran.
Kecenderungan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran konvensional yang diikuti 18 siswa memperoleh skor rata-rata = 14,50
sedangkan rata-rata ideal = 13 dan SD = 4,99 sehingga dalam kurva normal berada dalam
kategori tinggi. Karena dalam model pembelajaran konvensional yang aktif adalah guru
sedangkan siswa pasif maka konsep yang diperoleh tidak akan bertahan lama dalam
ingatan. Siswa lebih banyak mendengarkan penjelasan guru di depan kelas dan
melaksanakan tugas jika guru memberikan latihan soal-soal kepada siswa. Proses belajar
mengajar berjalan monoton sehingga membosankan dan membuat siswa pasif karena
kurangnya kesempatan yang di berikan, siswa lebih terfokus membuat catatan, siswa akan
lebih cepat lupa, pengetahuan dan kemampuan siswa hanya sebatas pengetahuan yang
diberikan oleh guru. Pembelajaran yang terjadi pada model konvensional berpusat pada
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 7
guru, dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan siswa. Siswa tidak bisa
menilai apa yang dipelajarinya, tidak bisa menyusun fakta dan mengambil kesimpulan
karena mereka tidak memperoleh hasil belajar yang lebih tahan lama tertanam dalam
memorinya.
Dalam pengujian hipotesis disimpulkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan
hasil belajar IPA antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan
model pembelajaran konvensional konsep ekosistem siswa kelas VII semester genap SMP
Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013. Hal ini ditunjukan oleh Fhitung >
Ftabel pada taraf signifikansi 1%.Ini berarti ada pengaruh yang positif dan sangat signifikan
antara model pembelajaran terhadap hasil belajar. Tiga kelompok yang memiliki
kemampuan awal yang sama, setelah diberi perlakuan yang berbeda ternyata memberikan
hasil belajar yang berbeda pula. Ini menunjukkan bahwa perlakuan dalam hal ini
penggunaan model pembelajaran berpengaruh terhadap hasil belajar. Hasil yang diperoleh
dari ketiga kelompok tersebut menunjukkan adanya perbedaan.
Untuk menentukan model pembelajaran yang lebih baik digunakan uji Scheffe.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh t21 = 2,02 > dari ttabel dengan dk 52 = 1.675 ini
berarti hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Untuk hasil t13= 1,750 > dari
ttabel dengan dk 52 = 1.675 ini berarti hasil belajar IPA yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari
hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.
Untuk hasil t23= 3,09 > dari ttabel dengan dk 52 = 1.675 ini berarti hasil belajar IPA yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi
dari hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.
Hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model jigsaw lebih tinggi
dari pada hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model Think Pair Share
(TPS). Ini berarti bahwa model jigsaw lebih baik dari pada Think Pair Share (TPS). Hasil
belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari pada hasil belajar menggunakan model
pembelajaran konvensional. Hal tersebut terjadi karena siswa yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih aktif dalam pembelajaran,
dapat mengembangkan hubungan antar pribadi positif di antara siswa yang memiliki
kemampuan belajar berbeda, menerapkan bimbingan sesama teman, rasa harga diri siswa
yang lebih tinggi, penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar, pemahaman materi
lebih mendalam, meningkatkan motivasi belajar dan menguasai pengetahuan secara
mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari
semua materi sendirian. Siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) tidak semuanya aktif, dan hanya siswa yang aktif
yang dapat menemukan konsep sendiri.
Pada model pembelajaran konvensional, siswa kurang aktif dalam mengerjakan apa
yang diperintahkan guru sehingga tidak dapat menemukan konsep sendiri. Siswa hanya
sebagai pendengar dan hanya mencatat hal-hal yang penting dari keterangan guru. Jika
dibandingkan antara model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran konvensional ternyata
model konvensional lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena yang aktif hanya gurunya
saja, sedangkan siswanya pasif. Dengan demikian hasil belajar IPA konsep ekosistem
apabila dalam pembelajarannya diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 8
atau model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), maka hasil belajarnya
akan meningkat.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan hasil belajar
IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw siswa kelas
VII semester genap SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran
2012/2013 adalah sangat tinggi. Kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya
dengan menggunakan model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) siswa kelas VII
semester genap SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013
adalah tinggi. Kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan
menggunakan model konvensional konsep ekosistem siswa kelas VII semester genap SMP
Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 adalah tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
yang sangat signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu
Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013, antara pembelajarannya menggunakan
model kooperatif tipe jigsaw, tipe Think Pair Share (TPS), dan model pembelajaran
konvensional. Dari hasil uji Shceffe didapat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw lebih tinggi dari model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan
model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari model
pembelajaran konvensional.
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran untuk guru dapat
meningkatkan kualitas mengajar antara lain dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dan tipe Think Pair Share (TPS) agar diperoleh hasil belajar yang
maksimal. Siswa dibiasakan untuk diskusi kelompok agar dapat berperan aktif dalam
pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk
mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang
bermakna.
F. DAFTAR PUSTAKA
BSNP.2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA untuk
SMP/MTs.Tidak diterbitkan. Jakarta.
Isjoni. 2012. Pembelajaran kooperatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Miftahul Huda. 2013. Cooperative Learning, metode, teknik, struktur, dan model
penerapan.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Robert E. Slavin. 2005.Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik.Bandung :Nusa
Media.
Saifuddin, Azwar. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sudjana. 1976. Metode statistik.Bandung : Tarsino.
Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R & D. Bandung : Alfabeta.
Sugiyono. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R & D. Bandung : Alfabeta.
Suharsimi, Arikunto. 2002. Evaluasi Pendidikan.Jakarta : Rineka Cipta.
Sukardi.2005. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.Jakarta :
Bumi Aksara.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 9
UPAYA PENINGKATAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR IPA SISWA
KELAS VIII SMP NEGERI 12 YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2012/2013
MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Chairin Najemi dan Hidayati Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract
The purpose of this research was to determine the constructivism learning model in
order to increase interest in science learning and achievement of class VIII C of SMP
Negeri 12 Yogyakarta in the Academic Year 2012/2013. This type of research is
Classroom Action Research (CAR) or Clasroom Action Research (CAR) conducted
collaboratively. Subjects in this study were students of class VIII C, amounting to 34
students. Objects in this research is of interest, science learning achievement and learning
constructivism. The data collecting technique is conducted by observation, interview,
questionnaires engineering, documentation and test. Techniques of data analysis
conducted qualitative descriptions. Achievement test data analysis is done by calculating
the average and the percentage of successful products. The results showed that after the
implementation of this constructivism learning students' interest in learning has increased.
Seen before action students just passively listening to the teacher explain the matter but
after being given the actions they have started actively to ask, and discuss with friends.
Percentage of student interest obtained from the questionnaire on pre-action that is
63.81%, while the percentage obtained in the first cycle of 71.55%, and the second cycle is
obtained percentage of 78.34%. The students also experienced an increase of value
average 56.65 initial capability, increased in the first cycle to 68.7, and the second cycle
increased to 75.92. It can be said that the interest in constructivism learning model and
student achievement VIII Class C SMP Negeri 12 Yogyakarta can be improved.
Keywords: Learning Constructivism, Interests, Learning Achievement.
A. PENDAHULUAN
Menurut Dimyati (2009:7), pendidikan adalah proses interaksi guru dengan siswa,
yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental sehingga mandiri dan utuh. Hal ini
membuat siswa mempunyai peran belajar serta guru sebagai fasilitator, motivator, dan
sekaligus evaluator dalam kegiatan belajar mengajar. Peran guru sebagai fasilitator dalam
kegiatan pembelajaran, antara lain menyediakan kemudahan kepada siswa dalam belajar.
Peran guru sebagai motivator dalam kegiatan pembelajaran antara lain memberikan
rangsangan bagi pengembangan inisiatif dan kreatifitas para siswa serta mendorong siswa
untuk menerapkan ide/gagasan barunya. Peran guru yang lain adalah sebagai evaluator atau
penilai, artinya guru harus mampu menilai kemajuan belajar siswa baik.
Menurut Munjid Nur Alamsyah (2003:1), kenyataan yang terjadi di lapangan, guru
cenderung dominan dalam mengajarkan konsep atau materi pelajaran di kelas sehingga
siswa semakin tergantung pada inisiatif guru. Dalam hal ini semua kegiatan di kelas berpusat
pada guru, apabila keadaan ini berlangsung secara terus menerus, maka upaya untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran tidak akan mengalami perubahan. Pembelajaran yang
dilaksanakan miskin aktivitas sehingga siswa merasa bosan dan pada akhirnya kemampuan
berpikir tidak berkembang, hal tersebut mengakibatkan pembelajaran menjadi tidak
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 10
bermakna. Dari hal tersebut akan secara otomatis mengurangi ketertarikan siswa terhadap
pelajaran IPA. Padahal pelajaran IPA bukanlah pelajaran yang sulit. Hal seperti di atas juga
terjadi di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta. Ketertarikan siswa terhadap
pembelajaran IPA masih rendah. Sebagaimana data yang diperoleh dari hasil nilai rata-rata
ulangan IPA akhir semester 1 kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta Tahun Pelajaran
2012/2013 sebesar 56,65. Artinya dalam Kriteria Ketuntusan Minimal (KKM) belum
memenuhi standar dari sekolah tersebut yang nilainya sebesar 70. Kondisi ini sangat
memperhatinkan dan perlu upaya konkrit sejak dini untuk meningkatkan prestasi belajar
siswa. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada tanggal 14 Maret 2013 di kelas
VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta pada pelajaran IPA, suasana belajar-mengajar masih
berpusat pada guru sehingga menjadikan siswa kurang komunikatif dalam kegiatan belajar
mengajar. Rasa ingin tahu siswa terhadap pelajaran IPA serta motivasi siswa untuk
menyelesaikan soal masih kurang. Siswa terkesan takut dan kurang percaya diri
mengemukakan idenya apalagi ketika guru meminta menyelesaikan soal di depan kelas.
Untuk menumbuhkan minat dan ketertarikan belajar IPA, guru harus berani menggunakan
model-model pembelajaran inovatif. Salah satu model pembelajaran yang berpusat pada
siswa yaitu model pembelajaran kontruktivisme.
Von Glaserfeld dan Matthews yang dikutip dalam Paul Suparno (1997:18),
menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pada
pendekatan konstruktivisme, pengetahuan adalah bukan suatu fakta yang tinggal ditemukan,
melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Para
konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang
mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke
kepala orang lain (siswa). Langkah-langkah model pembelajaran konstruktivisme menurut
Tyler dalam Sumatowa (2006:55), dibagi dalam 3 fase sebagai berikut, 1) Fase Eksplorasi
yaitu guru memancing pengetahuan awal siswa mengenai materi yang akan dipelajari pada
saat itu, 2) Fase Klarifikasi, Pada fase ini informasi berupa pengetahuan awal siswa di
perdalam agar bisa menambah pengetahuan siswa mengenai materi yang dipelajari, dan 3)
Fase Aplikasi, Pada fase ini guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dipelajari
agar bisa mengetahui apakah perencanaan sesuai dengan pelaksanaan. Belajar merupakan
proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental siswa secara aktif, juga
merupakan proses yang menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-
pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu
menjadi lebih kokoh. Siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri,
dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap” oleh siswa. Ini berarti bahwa setiap
siswa akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan
(Muijs dan Reynolds, 2011:97). Menurut Syaiful Bahri D dan Aswan Zain (1996:95), model
pembelajaran konstruktivisme memiliki kelebihan antara lain sebagai berikut. 1) Dapat
membina siswa dengan kebiasaan menerapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara
terpadu, 2) Dapat mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan guru, 3) Dapat
merangsang dan mengembangkan kreatifitas siswa dalam bentuk ide, gagasan dan terobosan
dalam memecahkan suatu masalah, dan 4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri. Kekurangan model pembelajaran
konstruktivisme sebagai berikut. 1) Memerlukan waktu yang cukup lama, 2) Tidak mudah
merangsang siswa dengan memberikan pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berpikirnya
siswa, 3) Tidak semua siswa ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran melalui
percobaan, dan 4) Jumlah alat yang disediakan harus disesuaikan dengan jumlah siswa, jika
hal tersebut tidak dipenuhi maka akan menimbulkan hasil yang kurang memuaskan.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 11
Pembelajaran konstruktivisme merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
proses pembelajaran, dimana dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk aktif dalam
membangun sendiri pengetahuannya sehingga siswa mampu berpikir mandiri. Pada
pembelajaran ini guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, akan tetapi
guru berperan sebagai fasilitator untuk membantu agar proses pengkonstruksian
pengetahuan oleh siswa dapat berjalan lancar. Dalam kegiatan pembelajaran, model
pembelajaran konstruktivisme dapat membangkitkan minat karena siswa dituntut aktif
dalam membangun sendiri pengetahuannya yang kemudian siswa mampu berpikir mandiri,
maka penerapan model pembelajaran konstruktivisme dilakukan sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan minat siswa terhadap materi yang dipelajari melalui interaksinya
terhadap alam melalui pengalaman langsung, sehingga prestasi belajar siswa dapat
meningkat. Pembelajaran IPA melalui pendekatan konstruktivisme diharapkan siswa dapat
terlihat aktif dalam pelajaran sehingga siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan pengetahuan ilmiah yang baru ditemukan. Dari latar belakang di
atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: bagaimana upaya meningkatkan minat
siswa dalam pembelajaran IPA melalui model pembelajaran konstrukstivisme dan
bagaimana upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran IPA melalui
model pembelajaran konstruktivisme. Aplikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam
materi mata pelajaran IPA diharapkan dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar IPA.
B. METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta tahun ajaran
2012/2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan kelas. Menurut Suharmi
Arikunto (2009:2), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan (action
research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta berjumlah 34
siswa. Objek dalam penelitian ini adalah minat, prestasi belajar IPA, dan model
pembelajaran konstruktivisme.Teknikpengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan lembar observasi, angket, tes hasil belajar, catatan lapangan, lembar
wawancara, dan dokumentasi.
Data penelitian dikumpulkan melalui observasi langsung oleh peneliti dan
kolaborator pada saat pembelajaran berlangsung yang terdiri dari lembar observasi keaktifan
siswa, lembar observasi aktivitas guru dalam proses belajar mengajar. Angket untuk
mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran konstruktivisme, tes digunakan untuk
mengetahui hasil belajar sedangkan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data
kemampuan awal siswa.
Indikator keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur
tercapainya peningkatan prestasi belajar siswa, yaitu sebagai berikut. 1) Tindakan yang telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam model pembelajaran konstruktivisme, 2)
Meningkatnya minat belajar IPA siswa minimal 5% dilihat dari hasil angket yang diberikan
pada saat pra siklus, siklus I dan siklus II, dan 3) Setelah tindakan nilai rata-rata tes prestasi
belajar siswa dikatakan meningkat bila dari pra tindakan ke siklus I naik minimal 5%,
kemudian dari siklus I ke akhir siklus II naik minimal 5% dan mencapai kategori tinggi
(61% - 80%) sesuai dengan tabel tingkat keberhasilan prestasi belajar siswa.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 12
C. HASIL PENELITIAN
Proses pembelajaran pada penelitian tindakan kelas ini dalam 2 siklus.
Siklus pertama terdiri dari 3 pertemuan dan siklus kedua terdiri dari 3 pertemuan
dengan menerapkan modelpembelajaran konstruktivisme.
Siklus I
Pada siklus I dilaksanakan dalam 3 pertemuan, membahas tentang materi
bahan kimia dalam rumah tangga. Langkah-langkah dalam pembelajaran ini
sebagai berikut. Pada fase eksplorasi pembelajaran diawali dengan kegiatan
merangsang dan memancing pengetahuan siswa untuk mengungkapkan idenya
mengenai materi yang akan dibahas. Tugas guru dalam proses ini lebih
menekankan untuk merangsang pemikiran siswa, memberikan persoalan, dan
membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji
konsep yang dibentuk siswa. Untuk memancing pemikiran dan ide siswa maka guru
memberikan beberapa soal tanya jawab mengenai materi yang akan dibahas. Ketika
guru melakukan tanya jawab hanya beberapa siswa saja yang aktif menjawab
pertanyaan yang diberikan guru. Setelah itu untuk memudahkan siswa membentuk
ide dan konsep baru kemudian guru mengenalkan berbagai macam contoh baik
berupa benda maupun gambar. Yang terpenting dalam tahap ini adalah menghargai
dan menerima pemikiran siswa apa pun adanya. Dengan tetap mengarahkan apakah
pemikiran atau ide tersebut jalan atau tidak.Dalam fase klarifikasi guru lebih
memperdalam lagi informasi berupa pengetahuan awal siswa dengan kegiatan
diskusi. Sebelum diskusi dimulai guru membentuk beberapa kelompok siswa yang
masing-masing kelompok beranggotakan 4-5 siswa. Pada awalnya siswa banyak
yang kurang setuju dengan pembagian kelompok tersebut. Guru kemudian
membujuk siswa kembali ke kelompok semula. Guru membimbing kelompok
dalam melakukan kegiatan diskusi. Pada waktu berdiskusi guru berkeliling
membimbing siswa jika mengalami kesulitan, selain itu guru juga bertugas
mengarahkan siswa jika terjadi kesalahan konsep. Guru mengamati kerja
kelompok 3 dan 4 yang terlihat ramai sendiri. Mereka masih terlihat bingung dalam
bekerjasama dengan kelompok. Kemudian guru menanyakan apa kesulitan mereka.
siswa masih malu untuk menanyakan kepada guru. Berbeda dengan dengan
kelompok 5 dan 7 mereka justru terlihat aktif mengerjakan LKS. Mereka bahkan
sudah berbagi tugas untuk mencari informasi tentang materi tersebut. Setelah
selesai berdiskusi dengan kelompok, kemudian guru memberikan kesempatan
untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Dari sinilah minat siswa
mulai terlihat jelas dari pertemuan sebelumnya. Ketika menyarankan untuk
presentasi di depan, 4 dari 7 kelompok mengangkat tangan berharap kelompok
merekalah yang dipersilahkan maju ke depan. Setelah semua anggota kelompok
presentasi kemudian guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan hasil diskusi
yang telah dibahas. Guru juga memberikan penguatan terhadap materi yang
dianggap penting supaya tidak terjadi kesalahpahaman konsep. Dalam fase aplikasi
guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan
evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah perencanaan pembelajaran sesuai
dengan yang dilaksanakan. Guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran dengan
memberikan tes.
Pada siklus I, guru secara umum sudah melaksanakan proses pembelajaran
sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun akan tetapi keaktifan
siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung masih belum sepenuhnya tampak.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pelaksanaan tindakan siklus I dapat
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 13
disimpulkan bahwa pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran
konstruktivisme sudah sesuai dengan prosedur yang direncanakan. Meskipun
demikian, terdapat beberapa permasalahan yang muncul pada siklus I antara lain: 1)
Masih banyak siswa yang belum terlihat aktif berdiskusi dengan kelompok, 2)
Siswa masih cenderung malu untuk bertanya, 3) Siswa belum terbiasa belajar
secara kelompok sehingga kerjasama dalam kelompok masih kurang optimal, 4)
Siswa masih belum siap presentasi ketika ditunjuk untuk maju, dan 5) Beberapa
siswa ada yang kurang memperhatikan ketika kelompok lain presentasi di depan. 5)
Masih membutuhkan waktu yang lama untuk berdiskusi.
Siklus II
Berdasarkan refleksi yang dilakukan terhadap siklus I, masih terdapat
beberapa permasalahan yang harus diselesaikan sehingga pada siklus II dapat
diperbaiki. Hal-hal yang masih perlu dilakukan dalam memperbaiki kelemahan
dan kekurangan pada siklus I untuk diperbaiki pada siklus II, dilaksanakan dengan
cara sebagai berikut. 1) Guru memberikan motivasi secara intensifkepada siswa
agar berperan aktif dalam proses pembelajaran. 2) Guru lebih intensif dalam
melakukan pendampingan dalam kelompok supaya bisa bekerjasama secara
optimal. 3) Guru memberikan waktu yang cukup untuk persiapan terlebih dahulu
kepada kelompok yang akan presentasi. 4) Dalam pelaksanaan pembelajaran guru
lebih bersikap tegas dan efisien terhadap waktu agar pembelajaran lebih efektif. 5)
Guru mengingatkan dan memberikan teguran kepada siswa agar memperhatikan
ketika penyampaian materi. 6) Guru lebih memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bertanya. Pada awal siklus II, guru membuka pertemuan dengan mengucap
salam. Sebelum pembelajaran dimulai guru mengumumkan hasil evaluasi dan
memberikan penghargaan kepada kelompok atas keberhasilannya. Siswa terlihat
senang dan termotivasi untuk lebih meningkatkan nilainya pada evaluasi
selanjutnya. Materi yang dibahas pada siklus ini yaitu gerak pada tumbuhan.
Pada fase eksplorasi guru menyampaikan indikator yang akan dicapai
sebelum pelajaran dimulai. Sesuai dengan pembelajaran konstruktivisme guru
mencoba memancing pengetahuan siswa tentang gerak pada tumbuhan. Guru
melakukan tanya jawa kepada siswa mengenai materi tersebut. Tidak seperti pada
siklus I, pada siklus ini ketika guru melakukan tanya jawab banyak siswa yang
menanggapi pertanyaan tersebut. Keaktifan siswa siswa mulai terlihat
perkembanganya. Mereka sudah tidank cangung lagi untuk menjawab pertanyaan
dari guru, begitupula untuk menanggapi. Guru memberikan beberapa contoh
gambar tumbuhan yang sering terlihat disekeliling kita setiap hari. Ada beberapa
siswa yang cepat memahami contoh tersebut dan ada juga siswa yang lambat.
Beberapa ide yang diungkapkan siswa beranekaragam. Mereka sudah aktif untuk
mencari informasi tentang materi yang disajikan dari berbagai sumber. Misalnya
buku-buku refrensi, internet, bertanya kepada teman, dan lain sebagainya. Berbeda
dengan siklus I siswa masih malu untuk bertanya bahkan mengungkapkan idenya
ketika guru memberikan kesempatan. Pada fase klarifikasi siswa kembali
memposisikan diri untuk duduk bergabung dengan teman sekelompoknya.
kemudian guru membagikan LKS kepada siswa untuk didiskusikan. Kemudian
kegiatan diskusi dimulai dengan membahas materi tentang gerak pada tumbuhan.
Masing-masing kelompok mulai mempelajari materi dan mendiskusikan LKS yang
dibagikan. Kegiatan diskusi pada pertemuan ini sudah terlihat berjalan dengan baik.
Guru selalu berkeliling kelas mengamati perkembangan tiap-tiap kelompok. Guru
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 14
juga terus memberikan motivasi kepada kelompok yang kurang aktif. Menanyakan
tentang kesulitan yang dihadapi mereka. mereka harus berani dan aktif
mengemukakan pendapatnya serta menunjukkan sikap saling berbagi dan
bekerjasama dalam berdiskusi. Guru memberikan waktu kepada kelompok terlebih
dahulu untuk persiapan. Pada presentasi kali ini terlihat berbeda dengan siklus I.
Hampir semua kelompok berani mengangkat tangan untuk maju ke depan tanpa
ditunjuk oleh guru terlebih dahulu. Mereka sudah tidak canggung dan ragu lagi
untuk berbicara di depan. Seperti kelompok 3 yang sebelumnya hanya 1 orang saja
yang berbicara, namun sekarang semua anggotanya sudah berani berbicara sesuai
dengan tugasnya masing-masing. Pada siklus II ini kegiatan diskusi mulai terlihat
perkembangan dari siklus I. Keaktifan siswapun terlihat ketika mereka berani
berbicara di depan kelas dan mengemukakan pendapatnya. Selain itu mereka juga
mampu menangapi hasil presentasi dari kelompok lain. Dalam fase aplikasi guru
mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dipelajari agar bisa mengetahui
apakah perencanaan sesuai dengan pelaksanaan. Seperti pada siklus I kegiatan
evaluasi dilakukan dengan memberikan tes. Tes ini dilaksanakan secara individu,
maka setiap siswa harus mengerjakanya sendiri tanpa bertanya kepada siapapun.
Kemudian setelah siswa selesai mengerjakan guru kembali membagikan angket
untuk diisi oleh siswa. Berdasarkan observasi selama pembelajaran siklus II, minat
dan prestasi belajar siswa sudah meningkat. Peningkatan tersebut tidak hanya
dilihat dari nilai yang diperoleh siswa, namun juga dilihat dari perubahan sikap
siswa.
D. PEMBAHASAN
Pada siklus I, pelaksanaan belajar kelompok belum dapat optimal karena
masih terlihat beberapa siswa kurang percaya diri untuk aktif dalam mengikuti
pembelajaran, masih ada beberapa siswa yang tidak memperhatikan materi yang
disampaikan, dan siswa masih enggan untuk berdiskusi dengan kelompoknya.
Sedangkan pada siklus II, pelaksanaan belajar kelompok dapat berjalan dengan
lebih baik. Siswa sudah aktif dan lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran
disebabkan siswa sudah bisa membangun kerjasama dalam kelompok belajar,
berani mengemukakan pendapat, memperhatikan penjelasan yang diberikan dan
hampir semua siswa sudah terlibat dalam kerja kelompok.
Hasil lembar observasi keaktifan siswa dari tiap indikator mengalami
peningkatan dari siklus I dan siklus II. Jumlah rerata persentase yang diperoleh
siswa pada siklus I adalah 65,90% dan mengalami peningkatan pada siklus II
menjadi 79,54% sehingga indikator keberhasilan tindakan dapat tercapai. keaktifan
siswa yang mengalami kenaikan terletak pada indikator persiapan sebelum mulai
pembelajaran, hal ini terlihat saat guru sebelum memulai pelajaran siswa terlebih
dahulu sudah mempersiapkan buku dan alat tulis. Pada indikator kerjasama dalam
kelompok juga mengalami peningkatan, dimana pada saat bekerjasama dalam
kelompok siswa juga aktif mencari informasi. Untuk indikator presentasi hasil
diskusi juga mengalami peningkatan, terlihat adanya perubahan cara
menyampaikan hasil diskusi pada tahap pengorganisasian kelompok dan
menanggapi pendapat dari kelompok lain. Selama proses pembelajaran siswa
terlihat
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 15
Lebih semnagat dibandingkan pada siklus sebelumnya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 meningkat.
Hasil lembar observasi pengamatan aktivitas guru dalam proses belajar mengajar
dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya mengalami peningkatan
pada siklus I dan siklus II. Jumlah rerata pada siklus I sebesar 78,12% dan
meningkat pada siklus II menjadi 89,06%. Pada umumnya guru sudah
melaksanakan tugasnya dengan baik. Selain mengawasi jalannya pembelajaran
guru juga membimbing setiap kelompok untuk menyiapkan strategi untuk
mempresentasikan materi yang baru dipelajarinya bersama teman sekelompoknya
serta membantu menyiapkan media pengajaran yang diperlukan.
Berdasarkan hasil angket minat siswa, persentase angket yang
dikelompokkan dalam 4 indikator pada siklus I sebesar 71,55% dan meningkat
pada siklus II menjadi 78,34%. Persentase minat siswa pada siklus I ke siklus II
mengalami kenaikan tertinggi pada indikator aktivitas dalam kegiatan belajar IPA
dengan kenaikan 9,07 poin dari 68,94% menjadi 77,94%, hal ini disebabkan
karena banyaknya anggota kelompok yang aktif berdiskusi, lancar bertanya,
mengeluarkan pendapat ataupun menyanggah pendapat anggota yang lain dan
apabila ada anggota yang mengalami kesulitan maka tidak segan untuk bertanya
kepada anggota yang sudah paham. Sedangkan yang mengalami kenaikan paling
rendah indikator dapat rasa tertarik dalam belajar IPA yaitu mengalami kenaikan
sebesar 5,18 poin dari 79,96% menjadi 85,14%. Hal ini disebabkan karena pada
waktu mempersentasikan hasil pekerjaan kelompok mereka tidak mau maju untuk
mempersentasikan di depan kelas atau kemauan sendiri, tetapi hanya mau maju
apabila ditunjuk oleh guru. Prestasi belajar siswa juga mengalami peningkatan. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan nilai rata-rata tes untuk kemampuan
awal adalah 56,65, meningkat pada siklus I menjadi 68,7 dan meningkat lagi pada
siklus II menjadi 75,92. Banyak siswa yang mencapai KKM pada pra tindakan
adalah 7 orang dengan persentase sebesar 28,6%. Pada siklus I meningkat menjadi
52,9% dengan 18 orang siswa mencapai KKM. Dan pada siklus II, yang mencapai
KKM sebanyak 22 siswa dengan persentase pencapaian sebesar 64,7%. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar IPA siswa kelas VIII C SMP
Negeri 12 Yogyakarta meningkat sehingga indikator keberhasilan dapat tercapai.
E. KESIMPULAN
Pelaksanaan pembelajaran di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta
sudah sesuai dengan rencana pembelajaran dengan model pembelajaran
konstruktivisme. Dalam pembelajaran ini guru terlebih dahulu memancing
pengetahuan awal siswa mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi. Hal
ini dilakukan untuk membangun pengetahuan baru siswa yang dibentuk dari
pengetahuan awal yang sudah diperoleh. Kemudian untuk mengkonfirmasinya guru
Jumlah Pra Tindakan Siklus I Siklus II
Nilai Tertinggi 90 92,86 100
Nilai Terendah 0 35,71 31,25
Banyak Siswa Tuntas 7 18 22
Banyak Siswa Tidak
Tuntas
27 16 12
Rata-Rata Kelas 56,65 68,7 75,92
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 16
memberikan soal tanya jawab kepada siswa supaya ada respon dari siswa tersebut.
Untuk lebih mempermudah siswa dalam memahami materi kemudian guru
memberikan beberapa contoh benda ataupun gambar yang berhubungan dengan
materi tersebut. Siswa dibentuk dalam beberapa kelompok untuk melaksanakan
diskusi. Selama kegiatan diskusi guru berkeliling kelas untuk mengamati kegiatan
diskusi. Jika ada siswa yang merasa kesulitan maka guru memberikan bantuan,
setelah selesai diskusi maka guru memberikan kesempatan kepada tiap kelompok
untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan. Guru harus terus membimbing
dan mengarahkan apabila terjadi perbedaan pendapat antara kelompok satu dengan
yang lainya. Setelah semua kelompok melaksanakan tugas, guru dan siswa
bersama-sama menyimpulkan tentang apa yang mereka pelajari.
Model pembelajaran konstruktivisme dapat mengatasi permasalahan yang
ada di dalam kelas. Melalui model pembelajaran konstruktivisme, guru mampu
menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang lebih kondusif dan interaktif. Hal
tersebut berdampak pada minat belajar IPA siswa kelas VIII C SMP Negeri 12
Yogyakarta mengalami peningkatan pada pra tindakan mendapatkan hasil sebesar
63,81%, dan naik sebesar 7,74% menjadi 71,55% pada akhir siklus I, kemudian
naik sebesar 6,79% menjadi 78,34% pada akhir siklus II. Berdasarkan hasil tes
prestasi belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta mengalami
peningkatan, hal ini dilihat dari rata-rata kelas siswa pada nilai kemampuan awal
sebesar 56,65 naik 12,05 poin menjadi 68,7 pada siklus I dan naik lagi sebesar 7,22
poin menjadi 75,92 pada siklus II. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
maka siswa diharapkan agar mampu membiasakan diri mengikuti proses belajar
dengan model pembelajaran konstruktivisme atau model pembelajaran lainnya
sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar IPA dan dapat mengembangkan daya
berpikir secara mandiri. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, sebaiknya
guru melakukan perincian waktu yang digunakan sangat penting agar proses
pembelajaran model konstruktivisme berjalan secara efektif. Model pembelajaran
konstruktivisme yang telah dilaksanakan di SMP Negeri 12 Yogyakarta,
diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan agar keaktifan siswa dalam
pembelajaran IPA semakin berkembang sehingga berpengaruh terhadap minat
belajar siswa. Untuk peneliti yang bermaksud melakukan penelitian sejenis,
hendaknya direncanakan dengan matang sehingga diperoleh hasil sesuai yang
diharapkan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rhineka Cipta
Muijs, Daniel, dan Reynolds David. 2011. Effective Teaching, Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munjid Nur Alamsyah. 2003. Permasalahan yang Dihadapi Guru dalam Upaya
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA di SMU. Yogyakarta: UNY.
Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Samatowa Usna. 2006. Bagaimana Membelajarkan IPA Sekolah Dasar. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Trianto. 2007. Model-Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat
Ketenagaan.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 17
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA UNTUK
MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS
VIII SMP TAMAN DEWASA IBU PAWIYATAN
TAHUN AJARAN 2012/2013
Deni Afriani dan Astuti Wijayanti
Jurusan/Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract
This research purposes to increase student liveliness and learning outcomes
at the eighth grade student through peer teaching at SMP Taman Dewasa Ibu
Pawiyatan in academic year 2012/2013. It is because of some learning problems at
class VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan such as: 1). Teacher face come
constraints in applying the concept to student, 2) there is assumption that science is
hard because of its formula which is must be remembered, 3) too many material to
be learned in school which make student are not interested, 4) they tend to cluster
with certain student, 5) students are not active in the class, 6) the low value of
student learning outcome in science. This research is an action research that is
conducted collaboratively. The subjects of this research are 20 students in class
VIII A of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa. The object of this
research is learning through peer teaching, liveliness, and students learning
outcomes. The data collecting technique is conducted by observation, interview,
documentation and test. Data analysis technique of observation sheet or
questionnaire are conducted by calculating the total value of each indicator and
learning outcome test is conducted by searching the median of test and counting
the percentage that fulfill the passing grade. The reasult shows that after applying
peer teaching in class VIII A of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa,
the liveliness and learning outcomes of science subject go up. It is proven by the
enhancement of average percentage of student liveliness observation worksheet for
each cycle; the average of liveliness indicator in cycle 1 is 69,875%. It increases
8,9575% to 78,8325% in cycle 2. The average learning outcomes of science in pre-
action is 55,7 increase to 65,7 in cycle 1 and 76,3 in cycle 2. The numbers of
student that pass the passing grade in the pre-action are 5 students with a
percentage of 25%. In cycle 1, it increases to 60% with 12 students passing the
passing grade and it becomes 70% in cycle 2 with 14 students. Based on the result
of research conducted, the researcher advices science teacher to apply peer
teaching as a variation of the learning model.
Keywords: Liveliness, Learning Outcome Dan Peer Teaching.
A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses yang berfungsi membimbing siswa dari tidak
tahu menjadi tahu dan membimbing perkembangan diri sesuai dengan tugas-tugas
perkembangan yang harus dijalankan oleh siswa. Dalam keseluruhan proses
pendidikan, kegiatan belajar mengajar adalah proses pokok yang harus dilalui oleh
seorang guru. Berhasil tidaknya suatu tujuan pendidikan bergantung kepada
bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan disajikan. Guru secara langsung
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 18
mempengaruhi, membimbing, dan mengembangkan siswa menjadi pribadi yang
cerdas, terampil, dan bermoral tinggi.
Dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas, guru masih merasa
kesulitan bagaimana menanamkan konsep-konsep mata pelajaran IPA pada siswa.
Guru harus dapat mendorong siswa aktif dalam melakukan kegiatan yang dapat
memberikan pengalaman langsung sehingga belajar merupakan proses aktif siswa
dalam membangun pengetahuannya sendiri. Banyaknya materi yang harus
dipelajari siswa di sekolah dan adanya anggapan bahwa mata pelajaran IPA susah
dipahami karena banyak rumus yang harus dihafalkan menjadi salah satu penyebab
rendahnya hasil belajar IPA siswa SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan. Ketika guru
menerangkan siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran di kelas, siswa hanya
mencatat apa yang guru tuliskan di papan tulis. Dalam pembentukan kelompok,
siswa cenderung memilih sendiri anggota kelompoknya dan hanya mau
berkelompok dengan siswa tertentu. Siswa yang pandai di kelas VIII A cenderung
bersikap individualis terhadap siswa yang kurang pandai. Mereka enggan
berkumpul bersama, sehingga siswa yang kurang pandai merasa minder. Berbagai
kendala yang muncul dalam proses pembelajaran tersebut berakibat pada
rendahnya nilai siswa. Rata-rata nilai ujian pelajaran IPA kelas VIII adalah 64,55
dan belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Salah satu cara
mengatasi berbagai permasalahan tersebut adalah dengan diterapkannya model
pembelajaran yang dapat mengaktifkan belajar siswa. Model pembelajaran
merupakan unsur yang penting untuk menjalankan kegiatan belajar siswa di
sekolah. Karena dengan model pembelajaran yang baik, guru akan mudah untuk
mengajar dan terjadi proses belajar pada diri siswa. Pembelajaran merupakan aspek
kegiatan manusia yang kompleks yang pada hakikatnya merupakan suatu usaha
sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya dalam rangka mencapai
tujuan yang diharapkan (Trianto, 2012: 17).
Pembelajaran tutor sebaya melatih siswa untuk memiliki keterampilan baik
keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill)
seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran, dan
masukan dari orang lain, bekerja sama, rasa setia kawan dan mengurangi timbulnya
perilaku menyimpang dalam kehidupan. Siswa dapat memperoleh pengetahuan,
kecakapan, sebagai pertimbangan untuk berpikir dan menentukan, serta berbuat dan
berpartisipasi sosial. Tutor sebaya merupakan salah satu model pembelajaran untuk
membantu memenuhi kebutuhan siswa. Tutor sebaya dikenal dengan pembelajaran
teman sebaya atau antar siswa, siswa yang lebih mampu menyelesaikan
pekerjaannya sendiri kemudian membantu siswa lain yang kurang mampu. Tutor
dapat berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan kelompok dalam hal tertentu ia
dapat berperan sebagai pengganti guru.
Menurut Moh. Surya (Kusumah Wijaya, 2010: 211), tutor sebaya adalah
seorang atau beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu
siswa-siswa tertentu yang mengalami kesulitan belajar. Bantuan yang diberikan
oleh teman sebaya pada umumnya dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Hubungan antar siswa terasa lebih dekat dibandingkan dengan hubungan siswa
dengan guru. Hubungan antara tutor dengan temannya adalah hubungan antar
kakak-adik atau antar kawan sehingga kekakuan seperti yang ada pada guru dapat
dihilangkan (Muntasir, 1985: 58) ”. Tutor sebaya adalah siswa yang pandai
memberikan bantuan kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 19
diberikan kepada teman sekelasnya di sekolah atau kepada teman sekelasnya di luar
kelas (Conny Semiawan, 1985: 70).
Menurut Mel Silberman (2006: 185), langkah-langkah dalam mengajarkan
kepada teman sebaya adalah sebagai berikut. : (a) Membagi siswa menjadi
kelompok–kelompok kecil sebanyak segmen materi yang akan disampaikan, (b)
Masing-masing kelompok kecil diberi tugas untuk mempelajari satu topik materi,
kemudian mengajarkannya kepada kelompok lain. Topik-topik yang diberikan
harus yang saling berhubungan, (c) Setiap kelompok menyiapkan strategi untuk
menyampaikan materi kepada teman-teman sekelas. Sarankan kepada mereka
untuk tidak menggunakan metode ceramah atau seperti membaca laporan. Guru
dapat mengadakan variasi dalam pembelajaran seperti menggunakan alat bantu
visual, menyiapkan media pengajaran yang diperlukan, (d) Memberi waktu yang
cukup untuk persiapan, baik di dalam maupun di luar kelas, (e) Setiap kelompok
menyampaikan materi sesuai tugas yang telah diberikan, (f)Setelah semua
kelompok melaksanakan tugas, beri kesimpulan dan klarifikasi sekiranya ada yang
perlu diluruskan dari pemahaman siswa.
Dengan mengajar teman sebaya dapat memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang sama, menjadi
narasumber bagi yang lain serta mendapatkan pengetahuan dan pengalaman.
Dengan adanya pelajaran teman sebaya memberikan bantuan kepada para guru
apabila mengajar dilakukan oleh para siswa. Rusman (2012: 204) menegaskan
bahwa “Pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) lebih efektif daripada
pembelajaran oleh guru”. Menurut Mel Silberman (1996: 166), “Pembelajaran
dengan teman sebaya adalah sebuah pembelajaran “peer teaching” dalam kelas dan
yang menerima seluruh tanggung jawab untuk mengajar para siswa sebagai anggota
kelas”. Peran guru adalah mengawasi kelancaran pelaksanaan dengan memberi
pengarahan dan lain-lain.
Pembelajaran di kelas menuntut guru agar dapat memberikan kesempatan
belajar kepada siswa untuk mengoptimalkan keaktifan belajarnya. Kesempatan
yang diberikan guru akan menuntut siswa selalu aktif mencari, memperoleh, dan
mengolah perolehan belajarnya. Dalam proses belajar-mengajar siswa mampu
mengidentifikasi, merumuskan masalah, mencari dan menemukan fakta,
menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan. Menurut Thorndike,
“Keaktifan siswa dalam belajar sesuai dengan hukum “law of exercise“ yang
menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan” (Dimyati Mujiono,
2009: 45). Menurut Sardiman (2001: 98), keaktifan adalah kegiatan yang bersifat
fisik maupun mental yaitu berbuat dan berpikir sebagai suatu rangkaian yang tidak
dapat dipisahkan. Dalam proses pembelajaran, siswa mengaktifkan berbagai
macam inderanya untuk dapat menyerap dan mencapai hasil belajar yang
maksimal. Keaktifan belajar siswa ini akan mempengaruhi hasil belajar yang ia
peroleh. Semakin tinggi tingkat keaktifan diharapkan semakin besar hasil yang
diperoleh.
Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil
yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Nana Sudjana
(1996: 82), hasil belajar diperoleh pada akhir proses pembelajaran dan berkaitan
dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah
diajarkan. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Winarno Surakhmad (1986: 66)
mengatakan “Hasil belajar adalah suatu proses yang tidak terpisah dan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 20
menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula”. Pola tingkah laku tersebut
terlihat pada perbuatan reaksi dan sikap siswa secara fisik maupun mental.
Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:
bagaimana upaya meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA melalui
model pembelajaran tutor sebaya dan bagaimana upaya meningkatkan hasil belajar
siswa dalam pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tutor sebaya. Aplikasi
model pembelajaran tutor sebaya dalam materi mata pelajaran IPA diharapkan
dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu
Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan
kelas. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain yang
dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Suharsimi Arikunto, 2008: 16). Adapun
model yang dimaksud terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi dan refleksi. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan
sebanyak 2 siklus. Siklus pertama terdiri dari 3 pertemuan dan siklus kedua terdiri
dari 4 pertemuan. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai guru. Subyek
penelitian adalah 20 siswa, dengan siswa laki-laki sebanyak 10 siswa dan siswa
perempuan sebanyak 10 siswi. Variabel penelitian meliputi: keaktifan siswa, hasil
belajar siswa dan model pembelajaran tutor sebaya. Instrumen penelitian meliputi
lembar observasi, angket, tes, dokumentasi dan wawancara.
Data penelitian dikumpulkan melalui observasi langsung oleh peneliti dan
kolaborator pada saat pembelajaran berlangsung yang terdiri dari lembar observasi
keaktifan siswa, lembar observasi aktivitas guru dalam proses belajar mengajar dan
lembar observasi pengamatan tutor dalam membantu teman sebayanya. Angket
untuk mengetahui kepuasan siswa terhadap pengajaran tutor, tes digunakan untuk
mengetahui hasil belajar sedangkan angket dan dokumentasi digunakan sebagai
pedoman peneliti dalam menentukan siswa yang akan dijadikan tutor.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tingkat
keaktifan siswa pada mata pelajaran IPA mengalami peningkatan yakni dilihat dari
rekapitulasi indikator lembar observasi keaktifan siswa dalam proses belajar
mengajar dan adanya peningkatan hasil belajar IPA siswa setelah menggunakan
model pembelajaran tutor sebaya dengan pencapaian nilai rata-rata kelas di atas
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yakni 65.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Siklus I
Pada siklus I materi yang diajarkan adalah materi getaran dan gelombang.
Pokok materi tekanan dipecah menjadi 5 submateri yang saling berhubungan.
Kelompok pertama mendapat tekanan pada benda padat, kelompok kedua
mendapat tekanan hidrostatis, kelompok ketiga mendapat bejana berhubungan dan
Hukum Boyle, kelompok keempat mendapat Hukum Pascal, kelompok kelima
mendapat Hukum Archimedes.
Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
tutor sebaya adalah berikut. Sebelum pembelajaran guru dan kolaborator
mengucapkan salam kepada siswa, berdoa serta mengecek kehadiran siswa.
Sebelum memulai pembelajan, guru terlebih dahulu menjelaskan tujuan
pembelajaran, apersepsi dan memotivasi siswa. Sebelum melaksanakan tindakan,
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 21
guru membagi siswa menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4
orang dengan 1 siswa sebagai tutor. Pada awalnya siswa cenderung tidak mau
berkumpul dengan teman sekelompoknya, mereka ingin memilih sendiri dan hanya
mau berkelompok dengan siswa tertentu saja. Guru kemudian membagikan materi
dan LKS yang berbeda kepada masing-masing kelompok.
Guru meminta masing-masing kelompok untuk berdiskusi mempelajari
materi sesuai yang dibagikan dan menyuruh tutor membantu teman sebayanya yang
mengalami kesulitan dengan menjelaskan materi sesuai dengan petunjuk guru.
Guru kemudian mengkonfirmasi siswa berkaitan dengan tugas yang diberikan serta
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang relevan berkaitan dengan
materi yang dipelajari. Pada awalnya siswa masih enggan untuk bertanya kepada
tutor bila ada yang belum dimengerti. Tutor pun masih terlihat enggan membantu
teman-temannya bila tidak diminta terlebih dahulu.
Guru membimbing tiap kelompok untuk menyiapkan strategi untuk
mempresentasikan materi yang baru dipelajarinya beserta teman sekelompoknya
dan menyampaikan ke teman–teman sekelas dengan menggunakan alat bantu
visual, alat peraga serta menggunakan contoh–contoh yang relevan. Guru
memberikan kesempatan kepada salah satu kelompok untuk mempresentasikan
hasil diskusinya. Setiap kelompok menyampaikan materi sesuai dengan petunjuk
dalam LKS dengan menggunakan alat bantu yang relevan. Setiap anggota yang
ditunjuk wajib menyampaikan kepada teman-teman sekelas tanpa membaca
laporan. Kelompok yang lain memperhatikan dan wajib menanggapi presentasi dari
kelompok yang di depan.
Guru memberikan waktu kepada kelompok untuk melakukan persiapan.
Pada saat kelompok 1 mendapat giliran pertama untuk mempresentasikan
pekerjaannya, anggota yang ditunjuk terlihat belum siap dan terlihat kebingungan.
Tutor pun terlihat malu-malu saat membantu menjelaskan kepada teman-teman
sekelasnya. Guru kemudian meminta kelompok lain untuk bersiap menanggapi,
akan tetapi tidak ada yang mau menanggapi sampai peneliti menunjuk kelompok
lain untuk menanggapi. Siswa masih terlihat ragu-ragu dan takut mengemukakan
pendapatnya. Guru kemudian memberikan penguatan kepada siswa yang aktif dan
memotivasi siswa yang kurang aktif, Berbeda dengan kelompok 3 yang terlihat siap
ketika mempresentasikan hasil pekerjaaannya. Anggotanya pun terlihat lancar
dalam menjelaskan kepada teman sekelasnya dengan menggunakan alat bantu
visual. Penjelasan yang diberikan juga jelas dan menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti. Tutor juga menguasai materi dengan disertai contoh-contoh yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam melakukan pengamatan selama
tindakan berlangsung kolaborator menggunakan instrumen lembar observasi
keaktifan siswa, lembar observasi pengamatan aktivitas guru dalam proses belajar
mengajar dan lembar observasi pengamatan tutor dalam membantu teman
sebayanya. Guru juga menggunakan angket kepuasan siswa terhadap pengajaran
tutor. Kolaborator dalam penelitian ini adalah teman sejawat peneliti yaitu Yanuarti
Pradikta. Pada siklus I, guru secara umum sudah melaksanakan proses
pembelajaran sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun akan
tetapi keaktifan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung masih belum
sepenuhnya tampak.
Hasil observasi dan evaluasi pelaksanaan tindakan siklus I menunjukan
bahwa pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya
sudah sesuai dengan prosedur yang telah direncanakan. Meskipun demikian,
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 22
terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan pada pembelajaran di siklus I di
antaranya adalah : (a)Masih banyak siswa yang kurang terlibat aktif dalam kegiatan
diskusi bersama teman sekelompoknya, (b)Kerjasama antar kelompok masih belum
optimal, (c)Keberanian siswa bertanya masih kurang, mereka cenderung malu
untuk bertanya, (d)Kelompok masih harus ditunjuk terlebih dahulu agar maju ke
depan untuk menyampaikan hasil diskusinya, (e)Masih terdapat beberapa
kelompok yang belum siap ketika ditunjuk, (f)Tutor masih terlihat enggan dalam
membantu temannya bila tidak diminta terlebih dahulu, (g)Tutor belum dapat
menjalankan tugasnya dengan baik sehingga masih membutuhkan bimbingan dari
guru.
Pada saat pelaksaaan tindakan siklus II, guru kembali melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran tindakan siklus II
berdasarkan masukan dari refleksi di siklus I. Berdasarkan hasil evaluasi dan
refleksi, maka tindakan pada siklus II yang perlu dilakukan adalah (a)Guru
menambah intensif pendampingan dan lebih sering memberi motivasi kepada siswa
agar dapat lebih baik dalam bekerja sama, (b) Guru memberikan waktu yang cukup
agar kelompok melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum maju untuk
menyampaikan hasil diskusinya, (e)Guru memberikan materi tambahan kepada
tutor agar dapat dipelajari di rumah, (f) Guru harus dapat mengoptimalkan peran
tutor, (g)Guru juga harus menciptakan suasana kelas yang lebih kondusif sehingga
keaktifan siswa dapat lebih ditingkatkan.
2. Siklus II
Berdasarkan refleksi yang dilakukan terhadap siklus I, masih terdapat
beberapa permasalahan yang harus diselesaikan sehingga pada siklus II dapat
diperbaiki. Hal-hal yang masih perlu dilakukan dalam memperbaiki kelemahan dan
kekurangan pada siklus I untuk diperbaiki pada siklus II di antaranya guru harus
bersikap tegas kepada siswa yang tidak mau memperhatikan penjelasan guru dan
tidak mau bekerja sama dengan teman sekelompoknya. Setiap siswa dalam
kelompok diberikan tanggung jawab untuk menguasai LKS yang diberikan agar
setiap siswa siap ditunjuk untuk mempresentasikan hasilnya ke seluruh kelas. Guru
juga akan berkeliling pada saat tahapan menyiapkan strategi untuk membimbing
tiap kelompok apabila mengalami kesulitan. Peran tutor pun akan lebih
dioptimalkan serta tutor akan dibekali dengan materi tambahan.
Pada awal siklus II, guru membuka pertemuan dengan mengucap salam.
Sebelum pembelajaran dimulai guru mengumumkan hasil evaluasi dan memberikan
penghargaan kepada tutor atas keberhasilannya dalam membimbing teman-
temannya. Tutor dan anggotanya terlihat senang dan termotivasi untuk lebih
meningkatkan nilainya pada evaluasi selanjutnya. Guru menyampaikan
pembelajaran pada pokok pembelajaran selanjutnya yaitu getaran dan gelombang.
Selanjutnya guru meminta siswa agar berkelompok kembali seperti pada pertemuan
sebelumnya. Masing-masing kelompok beserta tutor berkumpul menjadi satu, guru
kemudian membagikan materi yang berbeda kepada masing-masing kelompok akan
tetapi saling berhubungan.
Pokok materi getaran dan gelombang dipecah menjadi 5 submateri yang
saling berhubungan. Kelompok pertama mendapat pengertian getaran dan periode
getaran, kelompok kedua mendapat frekuensi getaran dan hubungan antara
frekuensi dan periode, kelompok ketiga mendapat pengertian gelombang dan jenis-
jenis gelombang, kelompok keempat mendapat periode frekuensi dan cepat rambat
gelombang, kelompok kelima mendapat pemantulan dan penerapan konsep
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 23
gelombang. Guru meminta siswa agar berdiskusi bersama-sama berkaitan dengan
tugas yang diberikan. Masing-masing kelompok mempelajari materi sesuai yang
dibagikan dan tugas setiap tutor membantu teman sebayanya yang mengalami
kesulitan dengan menjelaskan materi sesuai dengan petunjuk guru. Pada siklus II,
siswa yang belum paham segera bertanya kepada tutor. Bahkan tanpa diminta tutor
menanyakan sendiri kepada para anggotanya yang belum paham dan segera
membantunya. Apabila tutor merasa kesulitan tutor segera menanyakan kepada
guru. Pada pertemuan pertama pada siklus II setiap kelompok segera menyiapkan
strategi untuk menyampaikan ke teman-teman sekelas dengan menggunakan alat
bantu visual, alat peraga serta menggunakan contoh-contoh yang relevan. Guru
berkeliling untuk membimbing kelompok yang mengalami kesulitan. Pada
sebagian besar kelompok, siswa sudah terlihat banyak yang mau berdiskusi
bersama. Mereka juga lebih aktif bertanya kepada tutor. Guru terus memotivasi
agar siswa bersikap berani dan aktif dalam mengemukakakan pendapat serta
menunjukkan sikap saling berbagi dan bekerjasama antar anggota kelompok. Tutor
juga melaksanakan tugasnya dengan baik.
Setiap kelompok menyampaikan materi dengan menggunakan alat bantu
yang relevan. Setiap anggota yang ditunjuk wajib menyampaikan kepada teman-
teman sekelas tanpa membaca laporan. Kelompok yang lain memperhatikan dan
wajib menanggapi presentasi dari kelompok yang di depan. Guru memberikan
waktu kepada kelompok untuk melakukan persiapan. Ketika guru akan menunjuk
kelompok yang mendapat giliran pertama untuk maju menyampaikan hasil diskusi
ke depan, kelompok-kelompok yang lain segera mengacungkan jarinya. Kelompok
yang pertama yang menawarkan diri segera maju ke depan dan mempresentasikan
hasil diskusi bersama teman sekelompoknya dengan penuh rasa percaya diri.
Kelompok lain pun tanpa diminta, berebutan untuk menanggapi. Keaktifan siswa
pun terlihat ketika siswa sudah berani mengemukakan pendapat serta dengan penuh
percaya diri menyampaikan hasil diskusinya. Setelah semua kelompok
melaksanakan tugas, peneliti bersama siswa memberi kesimpulan tentang apa yang
mereka pelajari dan klarifikasi bila ada yang salah dari pemahaman siswa.
Selanjutnya guru memberikan LKS yang berisi tentang percobaan guna
menyelidiki getaran pada bandul sederhana kepada setiap kelompok.
Pada waktu mengerjakan LKS kelompok 2 terlihat paling bersemangat.
Tutor segera membantu temannya yang belum paham, kelompok 2 menyelesaikan
percobaan paling cepat. Setelah selesai mereka berinisiatif untuk membantu teman
dari kelompok yang lain yang masih merasa kebingungan. Siswa menyelesaikan
tugas tang diberikan guru tepat sesuai waktu yang diberikan. Pada pelaksanan
siklus II, beberapa tutor terlihat sudah mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Tutor membantu teman sebayanya yang mengalami kesulitan dalam mempelajari
materi. Pada siklus II, siswa yang belum paham segera bertanya kepada tutor.
Bahkan tanpa diminta tutor menanyakan sendiri kepada para anggotanya yang
belum paham dan segera membantunya. Apabila tutor merasa kesulitan tutor segera
menanyakan kepada guru. Guru tidak harus menunjuk siswa yang akan mendapat
giliran menyampaikan hasil diskusinya, siswa terlebih dahulu menawarkan diri.
Pada siklus II, guru secara umum sudah melaksanakan proses pembelajaran sesuai
rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. Guru memberikan modul
tambahan kepada tutor. Guru juga memberikan waktu yang cukup kepada tiap
kelompok untuk melakukan persiapan. Keaktifan siswa dan kinerja tutor pun
mengalami peningkatan.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 24
3. Perbandingan Hasil Tindakan Antar Siklus
Pada siklus I, pelaksanaan belajar kelompok belum dapat optimal karena
ada beberapa siswa yang enggan bertanya kepada tutor bila ada yang belum
dimengerti. Tutor pun enggan membantu jika tidak diminta terlebih dahulu serta
beberapa siswa belum terlibat aktif dalam kelompoknya, sedangkan pada siklus II
pelaksanaan belajar dengan tutor dapat berjalan dengan lebih baik. Mereka lebih
aktif bertanya kepada tutor. Guru terus memotivasi agar siswa bersikap berani dan
aktif dalam mengemukakakan pendapat serta menunjukkan sikap saling berbagi
dan bekerjasama antar anggota kelompok. Tutor juga melaksanakan tugasnya
dengan baik.
Hasil lembar observasi keaktifan siswa dari tiap indikator mengalami
peningkatan dari siklus I dan siklus II. Jumlah rerata persentase yang diperoleh
siswa pada siklus I adalah 69,875% dan mengalami peningkatan pada siklus II
menjadi 78,8325% sehingga indikator keberhasilan tindakan dapat tercapai.
Persentase keaktifan siswa yang mengalami kenaikan paling rendah terletak pada
indikator saat mengerjakan soal dan tugas. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa
siswa yang harus dibimbing langsung oleh guru saat mengerjakan LKS. Persentase
keaktifan siswa yang mengalami kenaikan paling tinggi terletak pada indikator
kerjasama dengan teman sekelompoknya. Hal ini dapat terlihat dari saat mereka
merencanakan presentasi topik maupun saat melaksanakan percobaan. Dari
keseluruhan persentase rata-rata skor siklus II, keaktifan siswa termasuk dalam
kualifikasi baik. Dengan demikian dapat disimpulkan keaktifan siswa kelas VIII A
SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan meningkat.
Berdasarkan hasil lembar observasi pengamatan terhadap kinerja tutor,
persentase rata-rata yang diperoleh siswa pada siklus I sebesar 65% dan meningkat
pada siklus II menjadi 76,78%. Pada siklus II tutor terlihat lebih sabar dalam
membimbing teman sebayanya yang mengalami kesulitan dalam memahami
materi. Tutor membantu tanpa diminta terlebih dahulu. Kemampuan tutor dalam
memberikan penjelasan pada siklus II lebih baik dibandingkan pada siklus I. Hasil
lembar observasi pengamatan aktivitas guru dalam proses belajar mengajar dengan
menggunakan model pembelajaran tutor sebaya mengalami peningkatan pada
siklus I dan siklus II. Jumlah rerata pada siklus I sebesar 78,94% dan meningkat
pada siklus II menjadi 94,73%. Pada umumnya guru sudah melaksanakan tugasnya
dengan baik. Selain mengawasi jalannya pembelajaran guru juga membimbing
setiap kelompok untuk menyiapkan strategi untuk mempresentasikan materi yang
baru dipelajarinya bersama teman sekelompoknya serta membantu menyiapkan
media pengajaran yang diperlukan.
Berdasarkan hasil angket kepuasan siswa terhadap pengajaran
tutor,persentase angket yang dikelompokkan dalam 5 indikator pada siklus I
sebesar 68,56% dan meningkat pada siklus II menjadi 82,878%. Persentase angket
siswa yang mengalami kenaikan paling rendah terletak pada indikator 2 yaitu sikap
tutor pada teman sebayanya. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa tutor yang
dalam membantu teman sebayanya yang masih belum paham, tutor terlihat kesal
dan kurang sabar. Persentase angket siswa yang mengalami kenaikan paling tinggi
terletak pada indikator 5 yaitu motivasi belajar bersama tutor. Sebagian besar siswa
terlihat bersemangat untuk belajar bersama lagi dengan tutor, rasa saling
menghargai dan mengerti dibina di antara peserta didik yang bekerja bersama.
Siswa yang terlibat tutor sebaya merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 25
pengalamannya sehingga membantu memperkuat apa yang telah dipelajari dan
diperolehnya atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya
Hasil belajar IPA siswa juga meningkat, hal ini dilihat pada tabel berikut.
Perbandingan Hasil Belajar IPA Pra Tindakan, Siklus I, dan Siklus II
Persentase dan Kualifikasi Hasil Observasi Keaktifan Siswa
Siklus I dan Siklus II
No Indikator
Keaktifan
Siklus I Kualifikasi Siklus II Kualifikasi
1. Interaksi dengan
peneliti dan teman
62% Kurang 74% Cukup
2 Kerjasama dengan
teman sekelompok
61,67% Kurang 80,83% Baik
3 Mengerjakan soal
dan tugas
70,83% Cukup 73% Cukup
4 Motivasi dalam
mengikuti
pembelajaran
85% Baik 87,5% Baik
Rata-rata 69,875% 78,0825%
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rata-
rata kelas siswa pada pra tindakan sebesar 55,7 menjadi 65,7 pada siklus I dan
meningkat kembali menjadi 76,3 pada siklus II. Banyak siswa yang mencapai
KKM pada pra tindakan adalah 5 orang dengan persentase sebesar 25%. Pada
siklus I meningkat menjadi 60% dengan 12 orang siswa mencapai KKM. Dan pada
siklus II, yang mencapai KKM sebanyak 14 siswa dengan persentase pencapaian
sebesar 70%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA siswa
kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta meningkat sehingga
indikator keberhasilan dapat tercapai.
D. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran di
kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan sudah sesuai dengan rencana pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya. Kendala yang
ada dalam pelaksanaan model pembelajaran tutor sebaya antara lain: pemilihan strategi
yang tepat yang akan digunakan dalam menyampaikan materi ke teman sekelas dan
pengoptimalan peran tutor, (3) Melalui model pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran tutor sebaya guru mampu menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang
lebih kondusif dan interaktif, siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran IPA.
No Jumlah Pra Tindakan Siklus I Siklus II
1. Nilai Tertinggi 73 100 100
2. Nilai Terendah 40 27 33
3. Banyak Siswa Tuntas 5 12 14
4. Banyak Siswa Tidak Tuntas 15 8 6
5. Rata-Rata Kelas 55,7 65,7 76,3
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 26
Keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran meningkat dari siklus I ke siklus II. Rata-
rata persentase pada siklus I sebesar 69,875% dan meningkat 8,9575% menjadi 78,8325%
pada siklus II. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada tahap pra tindakan sebesar 55
meningkat menjadi 65,7 pada siklus I dan meningkat menjadi 76,3 pada siklus II. Guru
hendaknya membiasakan siswa untuk diskusi kelompok dalam pembelajaran IPA agar
dapat berperan aktif dalam pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan
kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa
yang dipelajari dengan cara yang bermakna,
E. DAFTAR PUSTAKA
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: Rineka Cipta.Melvin
Silberman. 2006. Active Learning : 101 Strategi Pembelajaran Aktif.
Yogyakarta: Bumimedia.
Nana Sudjana.1996. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ngalim Purwanto. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pres.
Saleh Muntasir. 1985. Pengajaran Terprogram Teknologi Pendidikan Dengan
Pengandalan Tutor. Jakarta: Rajawali Pres
Suharsimi Arikunto.2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Trianto. 2012. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Bumi
Aksara.
Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama,Dedi. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: PT Indeks.
Winarno Surahmad. 1986. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar Dasar dan Teknik
Metodologi Pengajarani. Bandung: Tarsito.
Sardiman. 2001. Pengertian Keaktifan Siswa diunduh dari
http://www.buatskripsi.com/201/01pengertian-keaktifan-belajar-siswa.html
Diakses pada tanggal 10 Maret 2013
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 27
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERHADAP
HASIL BELAJAR IPA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR
SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PRAMBANAN KLATEN
TAHUN AJARAN 2013/2014
Wahyuni dan Astuti Wijayanti
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract According to descriptive study, the research is intended to know the
inclination of the result of IPA learning in class VIII grade at SMP NEGERI 1
Prambanan Klaten in academic 2012/2013 by using inquiry model, direct
instruction, and the learn motivation of the student. According to comparative
study is to know the difference of the result of IPA learning on the VIII grade at
SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten students with the learn using inquiry model and
direct instruction consederation from the learn motivation of the student. The research
conducted at the eight grade of SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten. The research
population included all students of the eight grade students of 7 classes. The removal
of sample by random sampling. From the result lottery get class VIII C as experiment
sample and class VIII D as control sample. The collecting data by using
documentation techniques to obtain the first skill of the students, angket techniques to
obtain the learn motivation and the test techniques to obtain learning outcomes of the
students Validity of the questions were looked for by using product moment
correlation. The question reliability was looked for using the KR-20 formula. The
question reliability angket was looked for using the Alpha Cronbach formula.
According to descriptive study, the result showed that the tendency of the result of IPA
learning on SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten in 2012/2013 which using the model
of learning inquiry in high categories with mean 23,18 on the interval 18,09- 23,26,
and direct instruction models high categories with mean 21,07 on the interval 18,09-
23,26. The tendency of the result of IPA learning on motivation which using the model
of learning inquiry in high categories with mean 83,3 on the interval 76,6- 92,03, and
direct instruction models high categories with mean 81,69 on the interval 76,68-92,03.
In comparative there were significant difference of the result of ipa learning in using
inquiry model n direct instruction consederation from the learn motivation of the
student. From the result of anacova test before control motivation get value F 17,023
and after control motivation get value F 15,875 it means decrease 1,148 it means get
removal the variable control is accurated. The teacher must be increase quality of
learning outcomes beside using inquiry models to get maximal outcomes.
Key words: inquiry models, motivation, and learning result.
A. PENDAHULUAN Mutu pendidikan IPA di Indonesia saat ini masih dianggap rendah. Indikator
rendahnya mutu pendidikan tersebut ditandai dengan hasil penelitian mutu
akademik negara-negara Asia melalui Programme for International Student
Assessment (PISA) pada tahun 2003. Hasil menunjukkan bahwa dari 41 negara yang
disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38 (Ida Bagus, 2012:
2). Rendahnya mutu pendidikan dapat diartikan sebagai kurang efektifnya proses
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 28
pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari proses belajar IPA yang dilakukan di kelas.
Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menuntut siswa untuk
terlibat aktif selama pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang dilakukan harus
menumbuhkan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya,
mempertanyakan dan mengemukakan gagasan mereka (Suprijono, 2012: 10). Hal itu
memungkinkan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa. Siswa yang aktif
dalam pembelajaran akan lebih mudah memahami pelajaran yang diberikan oleh guru
dibandingkan dengan siswa yang hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Ada
kecenderungan bahwa siswa akan lebih mudah memahami suatu pelajaran apabila
mereka itu melakukan dan mengalami sendiri hal tersebut. Pembelajaran yang hanya
berlandaskan teori saja hanya akan membuat siswa dapat mengingat pelajaran dalam
jangka waktu pendek. Berbeda dengan pembelajaran yang melibatkan siswa secara
langsung mereka akan dapat mengingat apa yang telah mereka lakukan dari pada
apa yang telah mereka pelajari dan menjadi ingatan jangka panjang (long term
memory). Kualitas hasil belajar siswa dipengaruhi oleh bagaimana cara guru
mengajar di kelas.
Untuk dapat menyampaikan pelajaran dengan efektif dan efisien, guru
perlu mengenal berbagai model belajar mengajar sehingga dapat memilih model
yang paling tepat untuk suatu bidang pelajaran. Model tersebut dimaksudkan
sebagai daya upaya guru dalam menciptakan suasana lingkungan yang
memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar, agar tujuan pembelajaran yang
dirumuskan dapat tercapai dan berhasil guna (Isriani, 2012: 2). Pada dasarnya
pembelajaran IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis. IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam
dan interaksi di dalamnya. Pembelajaran IPA bukan hanya penguasaan konsep
atau kumpulan pengetahuan yang merupakan fakta atau prinsip saja, tetapi juga
merupakan suatu proses penemuan. Pembelajaran IPA di SMP menekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa
mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar. Untuk itu, guru perlu
mengembangkan suatu strategi dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan
motivasi siswa sehingga keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengajar
meningkat. Bruner (2008: 32) menyatakan bahwa pengalaman belajar yang
diberikan kepada siswa harus bersifat penemuan yang memungkinkan siswa dapat
memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumnya. Pendapat
tersebut memberikan gambaran bahwa belajar hendaknya lebih banyak melibatkan
siswa daripada guru. Guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi
kebutuhan belajar siswa.
Motivasi belajar siswa terhadap bidang studi IPA sangat berpengaruh pada
proses dan hasil belajar yang diraih siswa. Motivasi belajar adalah proses yang
memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku (Suprijono, 2012: 163).
Menurut Rusyan (1994: 93), motivasi adalah dorongan yang tumbuh karena tingkah
laku dan kegiatan manusia. Belajar membutuhkan motivasi yang secara konstan
tetap tinggi dari para siswanya. Hamalik (2008: 65) menyatakan bahwa motivasi
yang dimiliki siswa dalam setiap kegiatan pembelajaraan sangat berperan untuk
meningkatkan hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu. Siswa yang bermotivasi
tinggi dalam belajar memungkinkan akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula,
artinya semakin tinggi motivasinya, semakin kuat usaha yang dilakukan, maka
semakin tinggi hasil belajar yang diperolehnya. Semakin rendah motivasi belajar
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 29
siswa maka semakin rendah pula hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMP Negeri 1 Prambanan
Klaten dalam pembelajaran IPA masih mengalami kendala dalam pembelajaran,
antara lain metode pembelajaran yang digunakan guru adalah ceramah dan
demonstrasi. Guru lebih mendominasi pembelajaran dengan menjelaskan materi
pokok yang sedang dipelajari, dan siswa mendengarkan apa yang disampaikan oleh
guru. Metode ceramah hanya mengutamakan produk atau hasilnya saja. Padahal
dalam pembelajaran IPA, proses dan produk sama pentingnya serta tidak dapat
dipisahkan. Metode ceramah tidak dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan
ide mereka dalam memecahkan permasalahan selama proses pembelajaran
berlangsung. Pada saat guru melakukan demonstrasi, siswa hanya melihat
demonstrasi yang dilakukan kemudian mencatat apa yang didapatkan dari
penjelasan tersebut. Kedua metode tersebut dirasa kurang efektif untuk
meningkatkan kualitas hasil belajar IPA sehingga hasil belajar yang dicapai siswa
tidak maksimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar IPA siswa yang masih di
bawah standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kriteria Ketuntasan Minimal
yang harus dicapai oleh siswa adalah 72. Hasil selengkapnya seperti pada tabel
berikut.
Tabel 1. Data Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas Nilai rata-rata kelas pelajaran IPA VIII A 70 VIII B 71 VIII C 65 VIII D 64 VIII E 70 VIII F 63 VIII G 69
Rendahnya hasil belajar IPA ini dipengaruhi oleh kurangnya motivasi
belajar siswa selama proses pembelajaran. Siswa hanya memperoleh informasi yang
disampaikan oleh guru. Siswa belum mampu untuk bertanya, mempertanyakan dan
mengemukakan gagasannya sendiri atas suatu permasalahan yang sedang mereka
hadapi. Akibatnya pemahaman atas apa yang mereka dapatkan belum tentu sesuai
dengan apa yang sebenarnya tersirat dalam materi yang telah mereka pelajari. Oleh
karena itu, penggunaan metode dan model pembelajaran yang tepat dan bervariasi
diharapkan akan meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.
Menanggapi hal tersebut, maka terdapat satu model pembelajaran inovatif yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi dan hasil belajar siswa yaitu
model pembelajaran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri menekankan pada
pengalaman belajar aktif yang berpusat pada siswa (student centered learning).
Inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis,
logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan
penuh percaya diri (Isriani, 2012: 70). Model pembelajaran ini berupaya
menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa sehingga dalam proses
pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas
dalam memecahkan masalah. Sunaryo (2005: 95) menambahkan bahwa model
pembelajaran inkuiri melibatkan siswa dalam tanya jawab, menjawab informasi, dan
melakukan penyelidikan.
Pembelajaran inkuiri berorientasi pada keterlibatan siswa secara maksimal
dalam proses kegiatan belajar, keterarahan kegiatan secara maksimal dalam proses
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 30
kegiatan belajar, mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang
ditemukan dalam proses inkuiri. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subyek dan
objek dalam belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan model inkuiri adalah
sebagai pembimbing dan fasilitator.
Model pembelajaran inkuiri terbimbing menurut Sund dan Trowbrigde
(Mulyasa, 2005: 9) mempunyai langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut. 1)
Menyajikan pertanyaan atau masalah: Guru membimbing siswa mengidentifikasi
masalah dan masalah dituliskan di papan tulis. Guru membagi siswa dalam
kelompok; 2) Membuat hipotesis: Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk
curah pendapat dalam membentuk hipotesis. Guru membimbing siswa dalam
menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan
hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan; 3) Merancang percobaan: Guru
memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai
dengan hipotesis yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan
langkah-langkah percobaan; 4) Mengumpulkan dan menganalisis data: Guru
memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan
data yang terkumpul; 5) Membuat kesimpulan: Guru membimbing siswa dalam
membuat kesimpulan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui: (1) kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran inkuiri, (2) kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran langsung (direct instruction), (3) kecenderungan motivasi belajar
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran inkuiri, (4) kecenderungan motivasi belajar
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) dan secara
komparatif untuk perbedaan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Prambanan Klaten antara pembelajaran menggunakan model inkuiri dan pembelajaran
langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa.
B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam kategori kuasi eksperimen, yaitu penelitian yang
mendekati eksperimen semu (Cholid Narbuko, 2003: 53). Dalam penelitian ini terdapat
tiga macam variabel meliputi variabel bebas yaitu model pembelajaran (A) yang
terdiri dari model pembelajaran inkuiri (A1) dan model pembelajaran langsung
(direct instruction) (A2), variabel sertaan/kovariat (X) yaitu motivasi belajar siswa
dan variabel terikat (Y) yaitu hasil belajar IPA. Populasi penelitian ini adalah seluruh
kelas VIII yang terdiri dari 7 kelas (A, B, C, D, E, F dan G) dengan jumlah siswa
238. Pengambilan sampel dengan teknik random sampling dengan cara diundi.
Dari hasil pengundian terambil kelas VIII C yang terdiri dari 34 siswa (21 putri
dan 13 putra) sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII D yang terdiri dari 33
siswa (25 putri dan 8 putra) sebagai kelas kontrol. Pengambilan data dilakukan
dengan teknik dokumentasi untuk mengetahui kemampuan awal siswa, teknik angket
untuk mengetahui motivasi belajar siswa, dan teknik tes untuk mengetahui hasil
belajar IPA siswa.
Ujicoba instrumen yaitu uji validitas butir soal dicari dengan rumus korelasi
Product Moment. Butir soal yang valid ditetapkan sebagai item yang akan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 31
digunakan untuk soal postes hasil belajar siswa yaitu sejumlah 30 soal. Uji reliabilitas
soal menggunakan KR-20. Uji reliabilitas angket menggunakan rumus Alpha
Cronbach. Teknik analisis data meliputi uji persyaratan analisis yang terdiri dari uji
normalitas sebaran dengan Chi-Kuadrat, uji homogenitas varian dan uji linieritas
hubungan dengan menggunakan uji F. Analisis secara deskriptif dibandingkan
dengan kriteria kurva normal. Analisis secara komparatif dengan menggunakan
ANACOVA 1 jalur. Metode ANACOVA digunakan untuk mengetahui ada dan
tidaknya hubungan antara variabel kovariat dengan hasil belajar IPA. Asumsi
analisis kovarian, bahwa data berdistribusi normal, varian homogen dan linieritas antar
kovariat sudah terpenuhi.
C. HASIL PENELITIAN
Deskripsi data tentang hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan
model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari
motivasi belajar siswa disajikan pada tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Data Hasil Belajar dan Motivasi Belajar Siswa
Hasil Belajar IPA
Model
N
Mean
SD
Skor
Minimu
m
Skor
Maksimu
m Inkuiri 34 23,12 2,22 21 28
Pembelajaran
Langsung
33
21,07
1,17
20
25
Motivasi Belajar Siswa
Model
N
Mean
SD
Skor
Minimu
m
Skor
Maksimu
m Inkuiri 34 83,3 9,50 58 99
Pembelajaran
Langsung
33
81,69
16,72
57
97
Deskripsi statistik hasil analisis data diperoleh gambaran bahwa rata-rata skor
hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri dan model
pembelajaran langsung (direct instruction) masing-masing sebesar 23,13 dan 21,07.
Skor motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri dan
model pembelajaran langsung (direct instruction) sebesar 83,3 dan 81,69. Hasil uji
prasyarat data, yaitu normalitas sebaran,homogenitas varians, dan linieritas
hubungan menunjukkan bahwa skor pretest dan posttes memenuhi syarat untuk
dilakukan uji analisis ANACOVA yaitu data berdistribusi normal, varians dari kedua
kelompok tersebut homogen dan hubungan antar variabel tersebut linier. Dari hasil
analisis regresi diperoleh hubungan Y= 47,738 + 0,352X dengan koefisien korelasi
0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,05. Hal ini berarti ada hubungan
yang positif dan signifikan antara motivasi belajar siswa dengan hasil belajar IPA.
Berikut adalah grafik hubungan antara motivasi belajar siswa dengan hasil belajar
IPA.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 32
Gambar 1. Grafik Hubungan antara Motivasi Belajar Siswa dengan Hasil
Belajar IPA
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan hasil belajar IPA antara
pembelajaran dengan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct
instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa digunakan analisis kovarians satu
jalur (ANACOVA). Dari hasil perhitungan uji hipotesis nihil diperoleh angka F
sebesar 1,199 dengan nilai probabilitas sebesar 0,278. Jika angka probabilitas ini
dibandingkan dengan angka signifikansi kategorik yaitu 0,05, maka terlihat
bahwa angka ini jauh lebih besar sehingga dapat dipastikan bahwa hipotesis nihil
dapat diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Hal ini berarti bahwa varian
variabel terikat adalah sama (homogen). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Nihil
F df1 df2 Sig.
1.199
1
65
0.278
Dari hasil analisis ini, sebelum motivasi belajar dikendalikan diperoleh F
hitung sebesar 17,023 dan 0,265 untuk angka signifikansi. Besarnya angka
signifikansi adalah 0,265 lebih besar dari 0,05. Ketentuan yang berlaku adalah
jika sig (p) > 0,05 maka hipotesis nihil diterima sedangkan jika sig (p) < 0,05
maka hipotesis nihil ditolak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sig (p) =
0,265 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil belajar IPA
yang pembelajarannya menggunakan jenis model yang berbeda, dengan
melakukan kontrol terhadap hasil belajar sebelum perlakuan diberikan. Setelah
motivasi belajar dikendalikan, diperoleh F hitung sebesar 15,875 dan 0,000 untuk
angka signifikansi. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa sig (p) = 0,000 <
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan hasil
belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri dan
model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Hasil Perhitungan ANACOVA
Source
Type III
Sum of
Squares
df
Mean
Square
F
Sig
. Corrected
Model
437.32
6a
2 218.663
15.875
.000 Intercept 3557.19
6
1 3557.196
154.32
8
.000 model *
motivasi
437.32
6
2 218.663
15.875
.000
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 33
Error 1475.17
5
64 23.050
Total 376017.6
10
67
Corrected Total 1912.50
2
66
Untuk menentukan model pembelajaran yang lebih baik antara model
pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung digunakan uji-t. Dari hasil
uji-t diperoleh t hitung sebesar 20,845 dan nilai sig. (p) = 0,000 ≤ 0,05 maka hipotesis
diterima dan signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran inkuiri lebih baik dari pada model pembelajaran langsung/direct
instruction. Sumbangan kontribusi variabel terikat (model pembelajaran) terhadap
hasil belajar IPA hanyalah 0,16 % sementara kontribusi variabel kovariat/sertaan
(motivasi belajar) terhadap hasil belajar sebesar 99,84 %.
D. PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini hasil analisis menunjukkan bahwa kecenderungan hasil
belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri termasuk dalam
kategori tinggi. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran dengan menggunakan model
inkuiri siswa terlibat langsung dalam pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Model pembelajaran ini berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada
diri siswa sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa tidak hanya diam
mendengarkan penjelasan dari guru melainkan siswa berperan aktif dalam
mengembangkan ide-ide mereka untuk memecahkan permasalahan dan mengambil
kesimpulan. Dengan demikian pemahaman dan ingatan yang diperoleh tidak
mudah hilang dan akan menjadi ingatan jangka panjang (long term memory)
karena mereka terlibat langsung dalam pembelajaran. Begitu juga dengan
kecenderungan motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model
inkuiri termasuk ke dalam kategori tinggi. Hal ini terlihat dari antusias siswa ketika
mereka berpendapat dan mulai dapat mengembangkan ide-ide mereka dalam
memecahkan permasalahan yang diberikan oleh guru. Mereka juga terlihat aktif
dalam pembelajaran. Siswa mulai berani berhipotesis terhadap masalah-masalah yang
diberiakn oleh guru.
Berbeda dengan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran langsung meskipun termasuk ke dalam kategori tinggi akan tetapi
masih mempunyai skor rata-rata di bawah siswa yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran inkuiri. Hal ini disebabkan karena guru terlibat aktif dalam
pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif. Guru kurang memberikan pelatihan
awal, mengajarkan keterampilan dasar sehingga siswa sangat bergantung dari guru
dan keberhasilan yang dicapai siswa sangat bergantung pada gaya komunikasi guru.
Jadi model pembelajaran langsung/direct instruction kurang efektif untuk diterapkan
dalam pembelajaran karena siswa belum cukup memahami informasi yang
disampaikan oleh guru sehingga ilmu yang diperoleh akan mudah hilang dari
ingatan. Kecenderungan motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran langsung termasuk dalam kategori tinggi tetapi rata-ratanya
masih di bawah siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
inkuiri. Hal ini terlihat dari keaktifan siswa selama proses pembelajaran
berlangsung. Hanya siswa yang aktif saja yang mau bertanya dan mengeluarkan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 34
pendapat. Siswa yang pasif hanya diam mendengarkan penjelasan dari guru. Dari
hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan
signifikan antara motivasi belajar siswa dengan hasil belajar IPA siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi akan dengan cepat
menguasai materi. Siswa yang motivasinya rendah akan menangkap materi dengan
lebih lambat.
Dalam pengujian hipotesis disimpulkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten antara
pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung
(direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai p = 0,000 berarti p ≤ 0,05. Karena F hitung > F tabel pada taraf signifikan 5%
atau p (sig) < 0,05, ini bearti ada pengaruh yang positif dan signifikan antara model
pembelajaran terhadap hasil belajar IPA. Sebelum diberi perlakuan siswa berangkat
dari kemampuan awal yang sama akan tetapi setelah diberi perlakuan yaitu dengan
menggunakan model pembelajaran yang berbeda ternyata kedua kelompok tersebut
mempunyai hasil belajar yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa model
pembelajaran berpengaruh pada hasil belajar siswa. Untuk menentukan model
pembelajaran yang lebih baik, dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata
hasil belajar yang diperoleh kedua kelompok tersebut. Nilai rata-rata kelas yang
pembelajarannya menggunakan model inkuiri adalah 77,06 sedangkan hasil belajar
dengan model pembelajaran langsung adalah 70,19. Jika dilihat dari skor rata-rata
dari masing-masing model, maka skor rata-rata hasil belajar IPA yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih besar dari skor
rata-rata hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
langsung. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri lebih baik dari
pada model pembelajaran langsung. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar IPA yang pembelajarannnya menggunakan model pembelajaran inkuiri
lebih tinggi dari pada hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran langsung. Ini berarti bahwa model pembelajaran inkuiri lebih baik
dari pada model pembelajaran langsung.
Siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih
aktif dan kreatif dalam mengembangkan ide-ide mereka dalam memecahkan
permasalahan. Mereka mulai berani bertanya, mengeluarkan pendapat dan
mengambil kesimpulan. Model pembelajaran inkuiri juga mengajarkan siswa untuk
dapat menemukan konsep sendiri karena mereka mempunyai peranan yang penuh
secara keseluruhan dalam pembelajaran. Hal ini akan menjadikan ingatan yang lebih
tahan lama dan mudah dimengerti artinya pengetahuan yang diperoleh akan sulit
hilang dari ingatan. Sementara siswa yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran langsung (direct instruction) tidak semua siswa dapat berpendapat
mengembangkan ide-ide mereka dalam memecahkan masalah. Hanya siswa yang aktif
yang mau berpendapat dalam memecahkan permasalahan. Siswa yang lain hanya
pasif mendengarkan penjelasan dari guru. Hal ini disebabkan guru berperan aktif
dalam mengusung pelajaran dalam pembelajaran di kelas sehingga siswa hanya
mendapatkan teori dari guru saja. Pembelajaran yang hanya berlandaskan teori
saja hanya akan membuat siswa dapat mengingat pelajaran dalam jangka waktu
pendek.
Model pembelajaran inkuiri meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa
merasa tertarik dengan hal-hal yang mereka temukan melalui proses inkuiri. Mereka
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 35
tidak hanya diam mendengarkan penjelasan guru saja, melainkan mereka harus
berhipotesis dan melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesis mereka. Hal
tersebut yang memotivasi siswa selama proses pembelajaran. Bearti dapat dikatakan
bahwa model pembelajaran berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Jika
dibandingkan antara model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung,
ternyata model pembelajaran langsung lebih rendah. Hal ini dimungkinkan dalam
pembelajaran ini yang aktif bukan siswanya melainkan guru. Dengan demikian hasil
belajar IPA apabila dalam pembelajarannya diterapkan model pembelajaran
inkuiri, maka hasil belajarnya akan meningkat.
E. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan hasil belajar
IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri adalah tinggi. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai rata-rata = 23,117 dan berada pada interval 18,09 – 23,26.
Kecenderungan motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten
tahun ajaran 2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
inkuiri adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata yang diperoleh
yaitu 83,3 dan terletak pada interval 76,68 – 92,03.
Kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan
Klaten tahun ajaran 2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran langsung (direct instruction) adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai rata-rata = 21,069 dan berada pada interval 18,09 – 23,26. Kecenderungan
motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran
2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung
(direct instruction) adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata yang
diperoleh yaitu 81,697 dan terletak pada interval 76,68 – 92,03.
Secara komparatif ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 antara
pembelajaran dengan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct
instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa. Dilihat dari reratanya ternyata hasil
belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran langsung. Berarti ada pengaruh model pembelajaran inkuiri
terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari motivasi belajar siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014.
Berdasarkan hasil penelitian di SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun
ajaran 2013/2014, maka diharapkan guru dapat meningkatkan kualitas mengajar
dengan cara memilih model pembelajaran yang tepat agar diperoleh hasil belajar
yang maksimal yaitu dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri dalam
membelajarkan IPA. Selain itu hendaknya siswa meningkatkan keaktifannya dalam
kegiatan pembelajaran dengan cara terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga
siswa dapat mengemukakan pendapat dan mengembangkan ide-ide mereka dalam
memecahkan suatu permasalahan.
F. DAFTAR PUSTAKA Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Sinar Grafika
Hardini, Isriani & Puspitasari, Dewi. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu:
Teori, Konsep dan Implementasi. Yogyakarta: Familia.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 36
Narbuka, Cholid. 2003. Model Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sudjana, Nana. 1990. Teori Belajar untuk Pengajaran. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Sunaryo. 2005. Strategi Belajar Mengajar Dalam Pengajaran IPS. Jakarta:
FPIPS IKIP Malang.
Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi
PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tabrani, Rusyan. at.al. 1994. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Rosdakarya.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 37
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN
KECAKAPAN SOSIAL (SOCIAL SKILLS) DAN HASIL BELAJAR IPA
SISWA KELAS VIIIE DI SMP NEGERI 12 YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2012/2013
Rizky Ridha Syafika dan Astuti Wijayanti
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract
This research was to improve social skills and the result of scientific of
students study with aplication of cooperative learning model Teams Games
Tournament (TGT) type. This was because there was learning problem in the class
of VIII E Junior High School 12 Yogyakarta. That was 1) the result of scientific of
students study was low; 2) students antusiasm in the learning activity was low; 3)
interaction student with student and student with teacher was low; 4) students was
pasive; and 5) the students social skills in the case of empatic, cooperative, and
solidarity communication was low. The learning metode that was applied was the
result of class action. In this result teacher o researcher and to be observer. The
subject o this research was the student o class VIII E Junior High School 12
Yogyakarta which has 32 students. The object this research was coperative
learning model TGT, social skills, and the result of students study. After using
cooperative learning model TGT, this research was down in 2 cycle ang it every
cycle consist of planning, acting, observation, and reflection. The technic data
collection through observation sheet, interview, westionair, field note, test, and
documentation. The research result indicated that social skills ang the result of
scientific students study can improve after giving action. Social skills had increase
which was indicated with by its appearing student social skills in every cycle as
case of empatic, cooperative, and solidarity skills. The improvement result of
scientific student amount was achieve minimum thoroughness criteria > 65% and
improvement average at evaluation value in every cycle it was from 70,14 at first
cycle to be 84,38 at second cycle. The efforts was down the teacher need impove
assistance on group, study group with intensive in order to the student can to
cooperative, to empatic, and to solidarity, and the teacher need giving motivation
in order to students have believe in with capability students.
Keywords : Cooperative, TGT, Social Skills, Student Result
A. Pendahuluan
Perkembangan bangsa-bangsa di dunia memiliki perbedaan antara satu
dengan yang lain. Setiap bangsa dan negara memiliki kemampuan sendiri-sendiri
dalam membangun negaranya. Pembangunan suatu negara tidak ditentukan oleh
seberapa banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat diolah, tetapi
kemajuan pembangunan ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
yang mampu mengolah, merancang strategi, merancang metode serta melaksanakan
tugas pembangunan itu (Triyono, 2005: 1). Pembentuk SDM berkualitas dapat
menjadi motor penggerak pembangunan. Salah satu upaya peningkatan SDM dapat
dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 38
Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia
adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan
umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan
kemampuan siswa mendapat skor dalam tes, kemampuan lulusan mendapatkan dan
melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan dianggap penting karena sangat
menentukan gerak laju pembangunan di suatu negara. Oleh karena itu, hampir
semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan
pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari data hasil
survei Depdiknas (2002: 2) menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia
kurang menggembirakan. Hasil studi the International Mathematics and Science
Study-Repeat (TIMSS-R 1999) melaporkan bahwa siswa SLTP Indonesia
menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara yang
survai di Asia, Australia, dan Afrika.
Indonesia telah lama berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Berbagai inovasi dan program pendidikan telah dilaksanakan, antara lain
penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, dan buku referensi lainnya,
peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui berbagai pelatihan
dan peningkatan kualifikasi pendidikan, peningkatan manajemen pendidikan, serta
pengadaan fasilitas lainnya. Depdiknas (2002: 1) menyatakan bahwa keberhasilan
program pendidikan melalui proses belajar mengajar di sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu siswa, kurikulum,
tenaga kependidikan, biaya, sarana, dan prasarana serta faktor lingkungan.
Apabila faktor-faktor tersebut dapat terpenuhi sudah tentu akan
memperlancar proses belajar mengajar, yang akan menunjang pencapaian hasil
belajar yang maksimal dan kualitas kecakapan siswa yang pada akhirnya akan
meningkatkan mutu pendidikan. Delors (Anwar, 2004: 5) menyatakan bahwa
UNESCO merekomendasikan adanya “empat pilar pembelajaran”, yaitu program
pembelajaran yang diberikan hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada
masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning to know or learning to
learn). Bahan ajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan
alternatif kepada siswanya (learning to do), dan mampu memberikan motivasi
untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan
(learning to be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk
keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup
bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-
bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to live together).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah
memegang peranan penting dalam membentuk siswa menjadi berkualitas. IPA
merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara ilmiah. Menurut
Trianto (2010: 141), hakikat IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
gejala-gejala melalui serangkaian proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap
ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga
komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara
universal. Pada kenyataan di sekolah, pelajaran IPA merupakan salah satu pelajaran
yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa. Siswa kurang meminati mata
pelajaran IPA bahkan memandang bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah sesuatu
yang tidak bersahabat, membosankan, banyak hitungan dan hafalan. Oleh karena
itu, guru IPA perlu menerapkan model pembelajaran yang bervariasi dalam proses
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 39
pembelajaran IPA sehingga IPA tidak lagi menjadi hal yang sulit akan tetapi
menarik dan menyenangkan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran
IPA kelas VIII E di SMP Negeri 12 Yogyakarta diketahui bahwa terdapat kendala
dalam pelaksanaan pembelajaran IPA. Kendala yang dihadapi yaitu: 1) penguasaan
materi IPA oleh siswa masih tergolong rendah; 2) kurangnya antusias siswa untuk
belajar; 3) kurangnya interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru;
4) siswa lebih cenderung menerima yang disampaikan oleh guru, diam, dan enggan
dalam mengemukakan pertanyaan maupun pendapat. Kendala tersebut
menyebabkan hasil belajar siswa menjadi kurang maksimal. Hal ini dapat dilihat
pada hasil rata-rata nilai UTS dan UAS siswa kelas VIII E pada mata pelajaran
IPA.
Kendala lain yang tampak saat observasi yaitu pada kelas VIII E kecakapan
sosial siswa pada pembelajaran IPA yang masih rendah. Kecakapan sosial ini
belum terlihat ketika pembelajaran dengan kerja kelompok. Pada saat kerja
kelompok, anggota belum mampu bekerjasama. Interaksi dengan siswa yang lain
melalui komunikasi langsung masih kurang, baik secara lisan maupun tulisan,
selain itu juga dalam kerja kelompok belum ada keterbukaan dan kepercayaan,
saling empati, dan tanggung jawab demi tujuan bersama. Siswa masih cenderung
ramai, belum fokus pada masalah yang harus dipecahkan pada diskusi kelompok
dan keterlibatan siswa dalam diskusi kelompok masih kurang. Satu atau dua orang
siswa yang memiliki kemampuan tinggi lebih dominan dalam diskusi kelompok.
Untuk meningkatkan kecakapan sosial dan hasil belajar siswa perlu
dikembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan lingkungan yang
kondusif bagi siswa untuk bertukar pendapat atau informasi, bekerja sama dengan
teman, berinteraksi dengan guru, merespon pemikiran siswa lain, dapat membina
kebersamaan, peduli satu sama lain, dan tenggang rasa. Salah satu model
pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah model pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif dapat mengubah pembelajaran yang semula teacher
centered menjadi student centered. Siswa akan lebih aktif dan kegiatan belajar akan
maksimal serta lebih bermakna.
Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa untuk
mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam
suasana belajar yang terbuka, siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran namun
dapat berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Pembelajaran ini didahului
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk
pemahaman materi siswa, kemudian untuk mengulang kembali materi digunakan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Menurut Slavin (2008: 166),
pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu presentasi
kelas (class presentation), belajar kelompok (teams), permainan (games),
pertandingan (tournament), dan penghargaan kelompok (teams recognition).
Presentasi kelas (class presentation) merupakan tahap dimana siswa
mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas. Tahap ini melatih
kecakapan berkomunikasi siswa dan kepercayaan diri siswa serta tanggungjawab
yang dibebankan kepada siswa oleh guru. Belajar dalam kelompok siswa belajar
bersama dengan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan masalah dan tugas
yang diberikan guru. Siswa diberikan kebebasan untuk belajar bersama dan saling
membantu teman kelompok untuk pemahaman materi. Siswa diharapkan dapat
berinteraksi dengan siswa lain, saling berbagi ide, dan bekerjasama.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 40
Permainan dan pertandingan dilakukan untuk mengetahui pengetahuan dan
pemahaman siswa setelah melakukan presentasi kelas dan diskusi kelompok, siswa
bermain dan bertanding dalam menjawab kartu soal dan menyumbangkan poin
untuk kelompoknya. Kegiatan ini mampu memotivasi siswa untuk selalu
meningkatkan hasil belajar siswa. Penghargaan kelompok dalam pembelajaran
diberikan berdasarkan keberhasilan yang diperoleh kelompok yang ditentukan oleh
keberhasilan masing-masing anggotanya dalam game dan tournament.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1) Bagaimana upaya menerapkan
model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) untuk
meningkatkan kecakapan sosial (social skills) siswa kelas VIII E di SMP Negeri
12 Yogyakarta?; dan 2) Bagaimana upaya menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) untuk meningkatkan hasil belajar
IPA siswa kelas VIII E di SMP Negeri 12 Yogyakarta?
B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 12 Yogyakarta yang berlokasi di
Jalan Tentara Pelajar No. 9 Bumijo, Jetis Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan
pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 yaitu pada tanggal 4 Maret s/d 22
Agustus 2013. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII E SMP Negeri
12 Yogyakarta yang berjumlah 32 siswa, sedangkan objek dalam penelitian ini
adalah model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament, kecakapan
sosial, dan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Teams Games Tournament.
Penelitian ini berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan
melalui siklus yang terdiri dari 4 langkah, yaitu plan (perencanaan), action
(tindakan), observation (observasi), dan reflection (refleksi) (Wijaya dan Dedi,
2010:39). Rancangan tindakan pada siklus pertama adalah sebagai berikut. Tahap
perencanaan, mencakup kegiatan mempersiapkan lembar observasi guru, siswa dan
angket keterampilan sosial; menyiapkan perangkat pembelajaran dan merancang
RPP pembelajaran IPA dengan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament; membentuk kelompok TGT dan menyiapkan tes hasil belajar. Tahap
pelaksanaan, dilakukan dengan mengadakan pembelajaran sesuai langkah-langkah
TGT. Pembelajaran dilakukan oleh guru kelas, sedangkan mahasiswa berperan
sebagai observer. Tahap observasi dilakukan observer dengan mengamati proses
pembelajaran IPA (akivitas guru dan siswa).
Observasi diarahkan pada poin-poin dalam pedoman yang telah disiapkan
peneliti. Selain itu, untuk memperoleh data yang akurat, peneliti juga melakukan
wawancara dengan para siswa mengenai poin-poin tertentu yang perlu ditanyakan
dan angket siswa untuk memperoleh data yang lengkap. Tahap refleksi dilakukan
guru dan peneliti dengan cara menganalisis hasil pekerjaan siswa, hasil observasi,
wawancara, angket, dan catatan lapangan. Dengan demikian, analisis dilakukan
terhadap proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh
rekomendasi fase mana yang perlu diperbaiki atau disempurnakan dan fase mana
yang telah memenuhi target. Perbaikan tersebut digunakan sebagai tindakan siklus
berikutnya.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 41
Tabel 1. Data Persentase Kecakapan Sosial Siswa Siklus I
No Aspek Kecakapan Sosial Persentase
1 Kecakapan Berkomunikasi dengan Empati 80%
2 Kecakapan Bekerjasama 75%
3 Kecakapan Bersolidaritas 50%
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa kecakapan sosial siswa dilihat dari
aspek siswa dalam bersolidaritas menunjukkan persentase yang paling rendah
(50%). Hal ini dikarenakan siswa belum menunjukkan antusiasme dalam
pembelajaran dan masih mengganggu diskusi kelompok lain. Selanjutnya disusul
siswa yang cakap dalam bekerjasama (75%), dalam pembelajaran keaktifan siswa
dalam bekerjasama masih kurang maksimal dan belum menunjukkan kekompakan
kelompok. Hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa dalam kerja kelompok. Pada
kecakapan berkomunikasi dengan empati (80%), dalam pembelajaran siswa belum
menunjukkan antusias dalam kegiatan diskusi dan presentasi.
Hasil belajar IPA siswa kelas VIII E pada siklus I materi bunyi yang telah
diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat diketahui hasilnya. Hasil
belajar ini diperoleh hasil evaluasi tes siklus 1, dimana terdapat 7 siswa yang belum
tuntas. Rata-rata nilai hasil belajar siklus I yaitu sebesar 70,14 dan dengan nilai
KKM sebesar 70. Nilai terendah yaitu 58,33, sedangkan nilai tertinggi yaitu 100.
Keseluruhan kegiatan pembelajaran pada siklus I ini mengalami beberapa kendala
antara lain: 1) pada saat pembagian kelompok siswa terlihat gaduh dan beberapa
siswa menolak untuk bergabung dengan kelompok yang telah ditentukan guru; 2)
pada saat kegiatan diskusi kelompok siswa belum menunjukkan kerjasama dalam
kelompok, hal ini terlihat beberapa siswa masih mengobrol dan tidak ikut dalam
diskusi kelompok; 3) pada saat presentasi kelas siswa belum menunjukkan
kepercayaan diri dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompok; 4) pada saat
game dan tournament siswa terlihat ramai dan tidak mematuhi aturan TGT yang
telah disepakati; dan 5) hasil belajar beberapa siswa masih belum memenuhi KKM.
Beberapa kendala pada pembelajaran TGT siklus I tersebut direfleksi dan
dicarikan solusi agar pada pembelajaran TGT siklus II tidak ditemukan kendala-
kendala tersebut. Upaya yang dilakukan yaitu antara lain: 1) seorang guru
menambah intensif pendampingan dan lebih sering memberikan motivasi kepada
siswa terutama pada siswa yang belum tuntas; 2) seorang guru memberikan
dorongan kepada siswa agar berani mengungkapkan pendapat dalam kelompoknya;
3) dalam pelaksanaan pembelajaran TGT maupun belajar kelompok, guru harus
lebih bersikap tegas, agar mereka bekerjasama dalam mengerjakan tugas yang
diberikan guru; 4) guru menjelaskan kembali aturan TGT yang telah disepakati; 5)
guru menghimbau kembali setelah kartu jawaban dibacakan untuk dapat membahas
soal secara bersama-sama jika terdapat perbedaan jawaban; dan 6) guru
memberikan batasan waktu pelaksanaan TGT secara jelas.
2. Siklus II
Pada pelaksanaan tindakan siklus II ini, guru berusaha melaksanakan
pembelajaran agar sesuai dengan rekomendasi tindakan dari refleksi siklus I.
Kegiatan pembelajaran diawali dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran
yang hendak dicapai dengan maksud agar siswa memiliki gambaran jelas tentang
pengetahuan yang akan diperoleh setelah proses pembelajaran berlangsung. Guru
juga melakukan tindakan perbaikan sebagaimana yang telah direncanakan. Pada
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 42
siklus II siswa sudah menunjukkan keaktifan dalam pembelajaran dan diskusi, hal
ni dikarenakan siswa mulai terbiasa dengan kegiatan ini.
Pada saat pembagian kelompok, siswa langsung menempatkan diri untuk
bergabung dengan kelompok mereka. Guru kemudian memberikan bahan diskusi
berupa LKS tentang materi cahaya kepada setiap kelompok. Guru mengkonfirmasi
kesiapan kelompok dalam melakukan diskusi dan mengkondisikan siswa untuk
melakukan diskusi dan mengerjakan tugas LKS. Tiap siswa diberi kesempatan oleh
guru untuk berdiskusi. Pada saat mengerjakan, beberapa siswa mulai menunjukkan
keikutsertaan dan keaktifan mereka dalam kegiatan diskusi. Siswa terlihat sudah
mampu berpendapat, bertanya dan menghargai jawaban teman yang lainnya.
Setelah siswa melakukan diskusi kelompok, guru memberikan kesempatan kepada
salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Tanpa
menunggu lama, salah satu siswa sudah berani tampil ke depan kelas
mempresentasikan hasil diskusi kelompok siswa. Siswa yang mempresentasikan
sudah terlihat percaya diri. Guru kemudian memberikan kesempatan kepada
kelompok lain untuk menanggapi. Siswa yang berada paling depan mengangkat
tangan dan menanggapi hasil presentasi siswa. Begitu pula pada saat game dan
tournament siswa terlihat aktif dan antusias. Siswa telah dapat melaksanakan
aturan TGT yang telah disepakati dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam
TGT.
Kecakapan sosial siswa pada siklus II mengalami peningkatan. Dalam
berkomunikasi dengan guru dan teman, siswa menunjukkan rasa empati yaitu
melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh, menghargai pendapat orang lain,
menyatakan pendapat, dan mampu mengajukan pertanyaan. Hasil observasi
kecakapan sosial siswa dalam kelompok pada siklus II dapat dilihat pada tabel 2
berikut.
Tabel 2. Data Persentase Kecakapan Sosial Siswa Siklus II
No Aspek Kecakapan Sosial Persentase
1 Kecakapan Berkomunikasi dengan Empati 87,5%
2 Kecakapan Bekerjasama 83,3%
3 Kecakapan Bersolidaritas 75%
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa kecakapan sosial siswa dilihat dari
aspek siswa dalam bersolidaritas menunjukkan persentase yang paling rendah
(75%), disusul siswa yang cakap dalam bekerjasama (83,3%), dan siswa yang
dalam mampu berkomunikasi dengan empati (87,5%) dengan persentase tertinggi.
Berikut disajikan diagram persentase kecakapan sosial siswa siklus I dan II,
sehingga terlihat peningkatan kecakapan kecakapan sosial siswa.
0
20
40
60
80
100
siklus I siklus II
Pro
sen
tase
Kec
ak
ap
an
Sosi
al
Hasil Observasi Kecakapan Sosial
kecakapan
berkomunikasi
dengan empati
kecakapan
bekerjasama
kecakapan
bersolidaritas
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 43
Gambar 1. Grafik Kecakapan Sosial Siswa pada Siklus I dan Siklus II
Pembelajaran yang telah dilakukan pada siklus II dapat diketahui
peningkatan hasil belajar IPA materi cahaya yang diajar dengan pembelajaran
kooperatif tipe TGT. Hasil yang diperoleh terdapat 4 siswa yang belum tuntas dan
sisanya sudah memenuhi KKM. Rata-rata nilai evaluasi siswa pada siklus II setelah
pelaksanaan pembelajaran TGT adalah 84,38 dengan nilai KKM sebesar 70. Nilai
terendah yaitu 64. Sedangkan nilai tertinggi yaitu 100.
Hasil belajar berasal dari kemampuan awal yaitu dari nilai mid semester
genap, nilai evaluasi setelah tindakan TGT siklus I dan siklus II. Berikut
perbandingan antara kemampuan awal, nilai siklus I dan siklus II.
Tabel 3. Perbandingan Antara Kemampuan Awal, Nilai Siklus I dan Siklus II
Keterangan/Nilai Kemampuan
Awal Siklus I Siklus II
Jumlah peserta tes 32 32 32
Rata-rata 67,72 70,14 84,38
Σ nilai ≥70 19 25 28
Berdasarkan tabel di atas, terlihat peningkatan nilai rata-rata ulangan harian
dan jumlah siswa yang sudah memenuhi KKM pada tiap siklusnya. Pada
kemampuan awal nilai rata-rata ulangan harian sebesar 67,72 dan jumlah siswa
yang KKM sebanyak 19 siswa. Pada siklus I nilai rata-rata ulangan harian sebesar
70,14 dan jumlah siswa yang KKM sebanyak 25 siswa. Pada siklus II nilai rata-rata
ulangan harian sebesar 84,38 dan jumlah siswa yang KKM sebanyak 28 siswa.
Hasil belajar siswa mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Hal ini
dikarenakan salah satu tahapan dalam pembelajaran TGT adalah game dan
tournament. Setiap kelompok berlomba dan bekerjasama untuk mengumpulkan
poin sebanyak-banyaknya agar kelompoknya menjadi yang terbaik. Dengan kata
lain, setiap siswa akan termotivasi untuk belajar dan memperhatikan pelajaran
dengan baik karena setiap anggota kelompok memiliki tanggungjawab yang sama
dalam keberhasilan kelompok. Selain itu, hasil belajar ini dapat mengalami
peningkatan dikarenakan salah satu kelebihan dari TGT yaitu meningkatkan
pemahaman dan keterampilan siswa dalam mengaplikasikan solusi/jawaban yang
tepat untuk permasalahan tertentu. Berikut peningkatan nilai siswa sebelum
tindakan dan setelah dilakukan tindakan.
Gambar 2. Grafik Pencapaian Nilai Kemampuan Awal, Siklus I dan Siklus II
0
50
100
150
200
250
300
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Nilai Kemampuan Awal Nilai Siklus I Nilai Siklus II
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 44
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat peningkatan pencapaian nilai
siswa dari kemampuan awal, siklus I, dan pada siklus II. Dengan demikian dapat
disimpulkan hasil belajar IPA siswa kelas VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta
meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari lembar observasi, catatan
lapangan, nilai game dan tournament, dapat disimpulkan bahwa kecakapan sosial
siswa dan hasil belajar IPA dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif
tipe TGT di kelas VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta mengalami peningkatan.
F. Simpulan
Secara ringkas, simpulan hasil penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut. Pelaksanaan pembelajaran di kelas VIII E SMP N 12 Yogyakarta sudah
sesuai dengan rencana pembelajaran yaitu dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT. Upaya yang dilakukan seorang guru adalah
perlu 1) menambah intensif pendampingan dan lebih sering memberikan motivasi
kepada siswa terutama pada siswa yang belum tuntas; 2) memberikan dorongan
kepada siswa agar berani mengungkapkan pendapat dalam kelompoknya; 3) dalam
pelaksanaan pembelajaran TGT maupun belajar kelompok, guru harus lebih
bersikap tegas, agar mereka bekerjasama dalam mengerjakan tugas yang diberikan
guru; 4) guru menjelaskan kembali aturan TGT yang telah disepakati; 5) guru
menghimbau kembali setelah kartu jawaban dibacakan untuk dapat membahas soal
secara bersama-sama jika terdapat perbedaan jawaban; dan 6) guru memberikan
batasan waktu pelaksanaan TGT secara jelas. (c) Melalui pembelajaran kooperatif
tipe TGT, siswa dapat berkelompok secara intensif, siswa dapat belajar
bekerjasama, berempati dan bersolidaritas, siswa memiliki kepercayaan diri
terhadap kemampuan dirinya, siswa merasa tertantang dan antusias dalam belajar.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament
(TGT) dapat meningkatkan kecakapan sosial siswa kelas VIII E. Hal ini
ditunjukkan dengan munculnya beberapa aspek kecakapan sosial ketika
pembelajaran berlangsung yaitu kecakapan berkomunikasi dengan empati,
kecakapan bekerjasama, dan kecakapan bersolidaritas, (b)Penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament (TGT) dapat meningkatkan
hasil belajar IPA siswa. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar IPA siswa kelas
VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta yang mengalami peningkatan dari nilai rata-rata
67,72 pada kemampuan awal menjadi 70,14 pada siklus I dan pada siklus II
meningkat menjadi 84,38. Berdasarkan nilai belajar IPA yang diperoleh pada siklus
I dan siklus II, siswa yang memperoleh nilai mengalami peningkatan dari 25 siswa
(66,67%) pada siklus I menjadi 28 siswa (87,5%) pada siklus II. Dengan kata lain
siswa telah mencapai ketuntasan secara perorangan.
G. Daftar Pustaka Anita Lie. 2002. Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di
Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia
Anwar . 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung: Alfabeta.
Depdiknas. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui
Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas Broad Based Education (BBE). Jakarta
http://kireyinha.blogspot.com/2011/07/model-pembelajaran-kooperatif-tipe-tgt.html
diakses tanggal 1 April 2013.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 45
http://mustofasmp2.wordpress.com/2009/02/07/pentingnya-ketrampilan-sosial/ diakses
tanggal 18 Maret 2013 pukul 23:43.
Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar
Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muslimin Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Robert E. Slavin. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktis. Boston: Allyn
and Bacon.
Rochiati Wiriaatmadja. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara
Triyono. 2005. Analisis Kecakapan Sosial (Social Skills) Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Muhammadiyah Prambanan Yogyakarta. Skripsi: UNY
Wijaya dan Dedi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Indeks.
W. J. S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Zainal Arifin. 2011. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 46
STUDI KORELASI KUALITAS SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER MATA
KULIAH BIOLOGI DASAR DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN ALAM FKIP UST SEMESTER
GASAL TAHUN AJARAN 2010/2011
Widowati Pusporini
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
ABSTRACT
Testing of the student’s ability is required to know the success of the learning
activity process. The purpose of the study is to describe the characteristic of the final term
examination test quality of Basic Biology Course of Natural Science study Program FKIP
UST on the odd term in Academic Year of 2010/2011 reviewed from the theorical and
empirical aspect. he study aimed to determine the relationship of the final term
examination test quality of basic Biology course. The process are blue print establishment,
optional objective test determination, assessment criteria, examination, revision, and trial.
The test characteristic clarified as follows: good content validity, content validity resulted
through item examination by practitioners and experts.. The responses of the student are
analyzed quantitavely to obtain the psychometric characteristic of the test. This study was
carried out in the Natural Science Education Study Program FKIP UST Yogyakarta. The
sample of research are 46 students of Natural Science Education Study Program FKIP
UST attended the Basic Biology Course on the odd term in Academic Year of 2010/2011
Result of the analysis using ITEMAN shows the test have alpha reliability coefficient
0,697 and SEM 2,488. The Analysis result using Iteman shows that this test instrument has
a quite good item difficulty level, good item discrimination, and good distracter affectivity.
Overall examination question is good, but still to be revised in determining the language
distractor and construction so the testee can understand the question easily. Suggestions
for this research are to be widely used, the test should not be carried out once, the
samples should be taken from the wider scope. This examination should be supported with
performance test to measure the real students ability.
Keywords: examination, difficulty level, item discrimination, distractor effectivity,
reliability.
A. Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan
perwujudan diri individu, serta bagi pembangunan bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat
dari kemajuan di berbagai sektor pembangunan yang semuanya merupakan dampak dari
hasil pendidikan. Kemajuan suatu negara sangatlah bergantung pada cara negara itu
mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, serta perhatiannya
terhadap kualitas pendidikan yang diberikan kepada masyarakat. Evaluasi merupakan salah
satu rangkain kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja atau produktivitas suatu
lembaga dalam melaksanakan programnya Djemari Mardapi (2008: 8). Oleh karena itu,
evaluasi merupakan salah satu subsistem yang penting dalam sistem pendidikan. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, evaluasi
diatur dalam Bab XVI Pasal 57, 58, dan 59. Pelaksanaan evaluasi bertujuan untuk
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 47
mengukur dan mengendalikan mutu pendidikan. Menyusun soal yang baik menyangkut
lebih dari sekedar menanyakan pemahaman yang sulit kepada mahasiswa. Banyak
pendidik tidak mendapatkan pelatihan formal dalam mendesain dan menyusun soal.
Penyusunan soal sebenarnya adalah usaha yang membutuhkan kecakapan tinggi.
Kenyataannya tidak semua soal buatan pendidik (dosen) diciptakan sama. Apabila
pendidik (dosen) tidak bisa mengenali kualitas soal, maka metode evaluasi dari pendidik
tersebut rawan untuk dipertanyakan (Shirran, 2008:80).
Selaras dengan pendapat diatas, Jejen, Harsoyo, dan Rusmawan (2009:358)
menyatakan bahwa apa yang dicapai siswa setelah melakukan kegiatan belajar sering
disebut sebagai prestasi belajar. Winkel (1999:164) menyatakan bahwa siswa yang
berorientasi pada keberhasilan, memiliki nilai tinggi sebagai hasil yang maksimal dan
memandang kemampuan sebagai suatu yang selalu dapat ditingkatkan, dia menetapkan
suatu sasaran belajar untuk mengangkat diri lebih jauh. Secara sederhana Allen & Yen
(1979: 1) menyebut tes sebagai “a test is device for obtaining a sample of an individual’s
behavior”. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Gronlund (1985: 5) yang
mendefinisikan tes sebagai instrumen atau prosedur sistematis untuk mengukur perilaku
sampel. Tes yang merupakan alat ukur dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah
ujian. Di dalam ujian, yang hendak diukur adalah kompetensi peserta didik sebagai
pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan. Sebagai
alat yang digunakan dalam pengukuran, seharusnya tes disusun dengan prosedur serta
aturan dan metode tertentu yang jelas dan sistematis.
Prosedur dan metode dalam penyusunan tes dimaksudkan agar kesalahan dalam
pengukuran yang disebabkan oleh alat ukur tersebut sekecil mungkin. Pengukuran dengan
alat ukur berupa tes, sesungguhnya merupakan upaya mengestimasi kesalahan yang
mungkin muncul dari respons peserta didik terhadap tes yang diberikan. Jenis atau
klasifikasi tes bukan hanya satu macam, melainkan banyak macamnya. Agar mudah
mengenalnya beberapa pakar mencoba membuat klasifikasi tes, diantaranya (Gronlund,
1982: 19) yang membedakan klasifikasi tes menjadi empat yaitu: 1) tes penempatan, 2) tes
formatif, 3) tes diagnostik, dan 4) tes sumatif. Tes juga dapat dibedakan menjadi
achievement test atau tes prestasi belajar dan learning outcome test atau tes hasil belajar
(Tim Puslitbang Sisjian, 1999: 15). Dalam tes prestasi belajar, yang hendak diukur ialah
tingkat kemampuan seorang siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang diajarkan
kepadanya. Oleh karenanya, kedudukan tes prestasi dalam pengambilan keputusan sangat
penting.
Penggunaan bentuk soal dalam tes prestasi belajar, secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1) tes uraian, terdiri dari uraian bebas, uraian
terbatas atau isian singkat, uraian berstruktur, dan 2) tes objektif, terdiri dari pilihan benar-
salah, pilihan ganda, dan menjodohkan. Setiap bentuk tes, memiliki keunggulan dan
keterbatasan. Saifuddin Azwar (1998: 75) secara garis besar menyebutkan keunggulan tes
yang terdiri dari soal-soal bentuk pilihan ganda yakni: (1) komprehensif, karena dalam
waktu tes yang singkat dapat memuat lebih banyak item, (2) pemeriksaan jawaban dan
pemberian skornya mudah dan cepat, (3) penggunaan lembar jawaban menjadikan tes
efisien dan hemat bahan, (4) kualitas item dapat dianalisis secara empirik, (5)
objektifitasnya tinggi, dan (6) umumnya memiliki reliabilitas yang memuaskan.
Keterbatasan tes pilihan ganda antara lain: (1) pembuatannya sulit dan memakan banyak
waktu dan tenaga, (2) tidak mudah ditulis untuk mengungkapkan tingkat kompetensi
tinggi, dan (3) ada kemungkinan jawaban benar semata-mata karena tebakan.
Validitas dan reliabilitas pada perangkat tes digunakan untuk menentukan kualitas
tes. Kriteria lain yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tes adalah indeks
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 48
kesukaran dan daya pembeda. Syarat tes yang baik adalah sahih dan handal ( Pujiyati
Suyata, 2005: 2), sahih baik dari isi, konstruk, dan daya prediksi. Kehandalan sebuah tes
dapat diketahui dari data hasil ujicoba, indeks kehandalan tes berkisar antara 0 sampai 1.
Indeks kehandalan dapat digunakan untuk menghitung besarnya kesalahan pengukuran.
B. Metode Penelitian
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas soal ujian akhir
semester mata kuliah Biologi Dasar di FKIP Prodi IPA semester gasal Tahun ajaran
2010/2011, merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Peneliti dengan bantuan ahli
menganalisis naskah soal secara kualitatif untuk mendeskripsikan kualitas tes berdasarkan
aspek materi, konstruksi, bahasa. Respon mahasiswa dianalisis secara kuantitatif guna
memperoleh karakteristik psikometris soal dan mengkorelasikan dengan indeks prestasi
mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
selama 6 bulan. Sampel penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Pengetahuan
Alam FKIP UST semester gasal Tahun Ajaran 2010/2011, berjumlah 46 orang mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah Biologi Dasar.
Bagan Alur Penelitian
Mengkaji Silabus dan
SAP Biologi Dasar
Mengkaji Silabus dan
SAP Biologi DasarMembuat
dan merakit soal
Membuat
dan merakit soal
Uji CobaUji CobaAnalisisAnalisis
Validasi AhliValidasi Ahli
Dokumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini antara lain:
Lembar telaah butir soal, lembar respon mahasiswa (lembar jawab dan nilai), dan output
hasil program ITEMAN. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : SAP mata
kuliah Biologi Dasar Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam FKIP UST Semester Gasal
Tahun Ajaran 2010/2011, lembar soal dan respon mahasiswa, dan lembar telaah butir soal
Validasi dilakukan dengan cara telaah butir dan menentukan kehandalan diuji
menggunakan program ITEMAN. Indeks reliabilitas ditunjukkan dengan besarnya nilai
alpha pada lampiran output ITEMAN.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis secara kualitatif
(teoritis) dan secara kuantitatif (empiris). Analisis secara kualitatif dilakukan melalui
telaah butir soal (item review) berdasarkan pertimbangan professional (expert judgment).
Tahapan ini dimaksudkan untuk melihat perilaku soal yang diharapkan, ditinjau dari aspek
materi, konstruksi, dan bahasa. Analisis butir soal pilihan ganda dengan pendekatan teori
tes klasik dilakukan dengan bantuan program Item and Test Analysis (ITEMAN) Versi
3.00. Tujuan analisis butir soal pilihan ganda dengan program ITEMAN adalah untuk
mengetahui karakteristik dan kualitas empirik soal ujian akhir semester mata kuliah
Biologi Dasar Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam FKIP UST Semester Gasal Tahun
Ajaran 2010/2011.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 49
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Statistik perangkat soal memberikan informasi meliputi: Jumlah butir soal,
jumlah mahasiswa, rerata, distribusi jawaban benar, standar deviasi, skor minimum
mahasiswa, skor maksimum mahasiswa, indeks keandalan (kualitas soal), dan estimasi
kesalahan pengukuran adalah sebagai berikut
Statistik Perangkat Soal dengan Program ITEMAN
N of Items
N of Examinees
Mean
Variance
Std. Dev.
Skew
Kurtosis
Minimum
35
46
21.717
20.420
4.519
-0.441
-0.092
9.000
Maximum
Median
Alpha
SEM
Mean P
Mean Item-Tot.
Mean Biserial
30.000
22.000
0.697
2.488
0.624
0.302
0.428
Nilai alpha menunjukkan reliabilitas/keandalan perangkat soal sebesar 0,697.
Besarnya Indeks ini menggambarkan mutu soal. Semakin besar nilainya maka
perangkat soal ujian semakin bagus. Hasil analisis menggunakan ITEMAN
menunjukkan, terdapat 10 butir dari 35 butir soal yang ada memiliki tingkat kesukaran
kategori sangat baik, 7 butir memiliki kategori baik, terdapat 10 butir memiliki
kategori cukup baik, dan terdapat 8 butir memiliki kategori tidak baik. Menurut daya
pembeda 35 butir soal yang ada memiliki kategori sangat baik, 7 butir memiliki
kategori baik, terdapat 10 butir memiliki kategori cukup baik, dan terdapat 8 butir
memiliki kategori tidak baik. Data menunjukkan 34 butir soal yang memiliki distraktor
yang baik dalam artian, 97,14% distraktor perangkat soal ujian adalah baik, hanya 1
soal memiliki keefektifan distraktor dibawah 2%.
2. Pembahasan
Hasil analisis teori tes klasik menunjukkan jumlah butir yang baik untuk soal
ujian akhir Biologi Dasar terdapat 20 butir dari 35 butir soal yang ada. Secara rinci
dapat dilihat bahwa 12 butir memiliki tingkat kesukaran lebih besar dari 0,70 (kategori
mudah), 20 butir memiliki tingkat kesukaran antara 0,30 dan 0,70 (kategori sedang)
dan 3 butir memiliki tingkat kesukaran kurang dari 0,30 (kategori sukar). Berikut ini
disajikan tabel tingkat kesukaran butir tes kompetensi membaca, menulis, dan
berhitung. Butir terlalu mudah atau terlalu sukar merupakan butir yang tidak baik,
butir yang baik adalah butir dengan tingkat kesukaran kategori sedang. Butir soal yang
mudah disebabkan karena distraktor butir soal tidak berfungsi sedangkan butir soal
yang sukar diprediksi akibat belum tuntasnya pembelajaran pada materi tersebut,
sehingga kompetensi minimum yang harus dikuasai mahasiswa belum tercapai.
Berdasarkan kriteria indeks daya pembeda berdasar korelasi point biserial yang
dianalisis dengan menggunakan program Iteman (tm) Version 3.00, dapat diperoleh
informasi perangkat soal ujian akhir Biologi Dasar. Terdapat 10 butir dari 35 butir soal
yang ada memiliki kategori sangat baik, 7 butir memiliki kategori baik, terdapat 10
butir memiliki kategori cukup baik, dan terdapat 8 butir memiliki kategori tidak baik.
Berikut ini disajikan tabel daya pembeda butir soal soal ujian akhir Biologi Dasar Data
menunjukkan 34 butir soal yang memiliki distraktor yang baik dalam artian, 97,14%
distraktor perangkat soal ujian adalah baik, hanya 1 soal memiliki keefektifan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 50
distraktor dibawah 2%. Distraktor yang tidak berfungsi tersebut mengakibatkan butir
soal menjadi mudah. Hasil analisis butir soal menurut teori tes klasik ini juga memiliki
beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya, karakteristik butir soal dapat
berubah jika karakteristik subjek, dalam hal ini peserta tes berubah. Meski demikian
setidaknya informasi ini dapat menjadi acuan untuk pembuatan soal ujian yang
berkualitas.
D. Simpulan dan saran
Hasil analisis menggunakan Iteman menunjukkan perangkat tes ini memiliki
tingkat kesukaran cukup baik 20 butir soal dalam tes yang memiliki tingkat kesukaran
sedang, 12 butir terlalu mudah, dan 3 butir soal terlalu sukar. Perangkat tes ini
memiliki daya beda yang baik, sebanyak 30 butir-butir soal dalam tes berada dalam
kisaran daya beda cukup baik dan sangat baik. Efektivitas distraktor baik, 34 soal
termasuk dalam kategori baik. Reliabilitas soal ujian akhir semester Biologi Dasar
secara keseluruhan adalah baik (handal). Berdasarkan hasil analisis butir soal dengan
menggunakan Iteman, perangkat soal ujian biologi dasar memiliki koefisien
reliabilitas alpha sebesar 0,697 dan SEM 2,488. Semakin kecil indeks kesalahannya,
semakin besar indeks keandalan ini maka semakin tinggi mutu tes. Saran untuk
penelitian ini adalah :
1. Agar dapat dipakai secara luas sebaiknya, uji coba tak hanya dilakukan sekali dan
mengambil sampel dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya mahasiswa
pendidikan IPA .
2. Supaya hasil uji coba lebih beragam, maka memerlukan peserta ujian lebih banyak.
3. Perlu kontrol yang ketat dalam pelaksanaan tes. Tata ruang dan pengaturan tempat
duduk ketika pelaksanaan ujian.
4. Ujian ini sebaiknya didukung dengan performance test agar mampu mengukur
kemampuan mahasiswa yang sebenarnya.
5. Perlu dilakukan penelitian dengan melibatkan psikologi behavioristik dan
humanistik, agar dapat menjelaskan kecerdasan yang lebih kompleks (multiple
inteligence).
E. Daftar Pustaka
Djemari Mardapi. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. Yogyakarta:
Mitra Cendikia Press.
Djaali. (2006). Hasil belajar evaluasi dalam evaluasi pendidikan: Konsep dan aplikasi.
Jakarta: Uhamka Press.
Gronlund, N.E. (1982). Constructing achievement test. (3rd ed). New York: Prentice Hall,
Inc., Englewood Cliffs.
____________. (1985). Measurement and evaluation in teaching. (5th ed). New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
Jejen, Harsoyo, & Rusmawan. (2009). Peningkatan belajar siswa dengan model
pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan pada mata pelajaran IPS di
kelas VI SDN Jagabaya )01 kecaatan Parung Panjang Kabupaten Bogor Tahun
Pelajaran 2008/2009.
Shirran, Alex. (2008). Evaluating Students. Jakarta : Grasindo.
Winkel. (1999). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 51
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN IPA 2 UNTUK
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPA YANG TERINTEGRASI
MAHASISWA PENDIDIKAN IPA FKIP UST
Septi Ambarwati
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstact
The aim of this study is to develop IPA 2 learning Module for the topic of The
Microscope that can improve the 2012/2013 class students at the Department of Science
Education Yogyakarta Sarjanawiyata Tamansiswa University in understanding the
concept of integrated science. This study was a research and development study by using
the design of the 4-D model consisting of defining, designing, developing, and
disseminating stages. Subjects were 27 students of 4th semester at the 2012/2013 class of
Department of Science Education Yogyakarta Sarjanawiyata Tamansiswa University. The
results form an integrated IPA 2 learning modules to enhance the 4th semester student at
Department of Science Education Yogyakarta Sarjanawiyata Tamansiswa University in
understanding the science concepts. Media validation, material validation, testing one-on-
one, small group testing, and field trials obtained good in overall criteria. The concept
understanding of the students has increased significantly, derived from the value of
midsemester and endsemester examination.
Keywords: modules, IPA 2
A. Pendahuluan Hasil observasi awal, pembelajaran IPA 2 di Program Pendidikan IPA FKIP UST
menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran masih berpaku pada konsep dasar dari
masing-masing bidang ilmu IPA yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi. Perangkat pembelajaran
juga masih sangat terbatas, karena dosen menggunakan buku referensi dari masing-masing
bidang ilmu tersebut. Hal tersebut dapat mengidentifikasikan bahwa perangkat
pembelajaran yang digunakan pun masih terbatas pada buku paket dan lembar kerja siswa
(LKS) dari penerbit. Indikasi tersebut memberi gambaran bahwa keberadaan perangkat
pembelajaran IPA terintegrasi di tingkat perguruan tinggi masih sangat terbatas. Wina
Sanjaya (2007: 52) mengungkapkan bahwa setiap guru memiliki pengalaman,
pengetahuan, kemampuan, gaya, dan bahkan pandangan yang berbeda dalam mengajar.
Perbedaan potensi lingkungan yang ada menuntut guru lebih kreatif dalam membuat
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga tujuan pembelajaran sains dapat tercapai,
terutama dalam kaitannya memahamkan mahasiswa untuk lebih bisa memahami konsep
IPA 2 secara terintegrasi.
Peneliti berencana untuk mengembangkan modul kuliah dengan menggunakan
pendekatan yang besifat induktif atau deduktif. Pendekatan, metode, maupun strategi yang
tepat sangat diperlukan agar pembuatan petunjuk ini memiliki kemanfaatan yang baik
untuk membantu mahasiswa dalam belajar sains. Diharapkan dengan dihasilkan produk
berupa modul dapat memberi kontribus nyata dalam mewujudkan pembelajaran IPA 2
yang terintegrasi.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 52
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi persoalan sebagai
berikut :
1. Pembelajaran IPA 2 masih belum terintegrasi.
2. Belum tersedia Modul pembelajaran IPA 2 terintegrasi
C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah subjek penelitian mengambil
mahasiswa semester 2 tahun angkatan 2012/2013 Prodi Pendidikan IPA FKIP UST.
Pengembangan Modul pembelajaran yaitu terbatas Modul dengan materi Mikroskop, yang
bertujun untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA 2 terintegrasi melalui uji validitasi..
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah, yaitu
bagaimana mengembangkan Modul pembelajaran IPA 2 Terintegrasi dengan tema
Mikroskop yang layak bagi mahasiswa IPA 2 Semester 2 Prodi IPA FKIP UST tahun
angkatan 2012/2013 dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA 2
terintegrasi.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah menghasilkan
produk modul pembelajaran IPA 2 sebagai sumber belajar mahasiswa Prodi Pendidikan
IPA FKIP UST tahun angkatan 2012/2013 untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA 2
terintegrasi.
F. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan
Produk yang diharapkan dari penelitian ini berupa Modul IPA 2 dengan materi
Mikroskop. Sebagai produk hasil pengembangan Modul Pembelajaran mengandung 3
komponen, yaitu: (a) rasionalisasi pengembangan, (b) teori pendukung, (c) pengembangan
Modul Pembelajaran melalui tahap ujicoba hingga memperoleh naskah jadi yang layak
digunakan.
G. Manfaat Penelitian
Pengembangan perangkat pembelajaran ini dinilai penting, karena bermanfaat bagi
beberapa pihak, diantaranya :
1. Bagi mahasiswa, produk Modul membantu mahasiswa dalam menerima dan
memahami materi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar,
menjadikan pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan sehingga mahasiswa
termotivasi untuk aktif belajar, membiasakan pola berfikir mahasiswa tentang
konsep sains yang ada di alam secara terintegrasi.
2. Bagi dosen, produk Modul pembelajaran dapat memotivasi dosen untuk
3. Bagi lembaga, produk Modul pembelajaran dapat memberikan referensi sebagai
Bahan Ajar IPA 2 yang terintegrasi. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan
sebagai salah satu inspirasi dalam melakukan inovasi pembelajaran pada mata
pelajaran yang lain dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran.
H. Metode Penelitian 1. Tempat dan waktu penelitian : Penelitian ini di lakukan di Prodi Pendidikan IPA
FKIP UST khususnya mahasiswa angkatan 2011.
2. Jenis Penelitian : Penelitian Pengembangan
3. Desain Penelitian : Penelitian ini menggunakan rancangan dan pendekatan
penelitian pengembangan Research and Development (R & D) termasuk dalam
penelitian pengembangan. Pada penelitian ini akan dikembangkan Modul
Pembelajaran dengan materi Mikroskop dan Keselamata Laboratorium, yang
hasilnya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA terintegrasi
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 53
mahasiswa prodi pendidikan IPA angkatan tahun 2011. Pada penelitian ini prosedur
pelaksanaan penelitian R & D diformulasikan dengan penelitian pengembangan
menjadi model siklus 4-D (Four-D Models). Tahapan pengembagan tersebut
adalah: (a) Tahapan Pendahuluan (define), (b) Tahapan Perencanaan (design), (c)
Tahapan Pengembangan (develop), (d) Tahapan desiminasi (desiminate).
4. Subjek dan Objek Penelitian : Subjek penelitian adalah mahasiswa Program
Studi Pendidikan IPA FKIP UST tahun akademik 2012/2013 yang menempuh mata
kuliah IPA 2.
5. Instrumen Teknik Pengumpulan data : Untuk menghasilkan produk
pengembangan yang berkualitas diperlukan instrumen yang mampu menggali data
yang diperlukan dalam pengembangan produk perangkat pembelajaran. Instrumen
yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini berupa lembar
validasi ahli, lembar observasi dan kuesioner. Lembar observasi digunakan untuk
mencatat kejadian-kejadian penting dan respon mahasiswa selama proses ujicoba
produk berlangsung. Lembar validasi digunakan untuk mengukur/mengevaluasi
kualitas produk yang dikembangkan dari aspek pembelajaran/materi oleh ahli
materi, dari aspek media instruksional dari ahli media. Lembar kuesioner
digunakan untuk mengukur/mengevaluasi kualitas produk aspek
materi/pembelajaran dan aspek perangkat oleh mahasiswa. Sesuai keperluan di
atas, kemudian dikembangkan indikator-indikator kualitas perangkat pembelajaran
baik dari aspek pembelajaran, tampilan dan isi/materi dengan mengacu pada teori
dan pendapat sesuai bidangnya. Berdasarkan kisi-kisi tersebut kemudian
dikembangkan instrumen penelitian.
6. Teknik analisis data : Data hasil penelitian ini berupa tanggapan ahli media
instruksional, ahli materi dan mahasiswa terhadap kualitas produk yang telah
dikembangkan ditinjau dari aspek tampilan, pembelajaran dan isi atau materi. Data
berupa komentar, saran revisi dan hasil pengamatan peneliti selama proses ujicoba
dianalisis secara deskriptif kualitatif, dan disimpulkan sebagai masukan untuk
memperbaiki atau merevisi produk yang telah dikembangkan. Sementara, data
berupa skor tanggapan ahli media, ahli materi dan mahasiswa yang diperoleh
melalui kuesioner, dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan teknik persentase
dan kategorisasi. Langkah-langkah yang digunakan untuk menentukan kriteria
kualitas produk yang telah dikembangkan, sebagai berikut: (a) Konversi jenis data.
Data yang diperoleh dari kuesioner tentang tanggapan mahasiswa diubah dulu
menjadi data interval. Dalam kuesioner diberikan lima pilihan untuk memberikan
tanggapan tentang produk, yaitu: sangat baik (5), baik (4), cukup (3), kurang (2)
dan sangat kurang (1). Apabila siswa memberi tanggapan ”sangat baik” pada suatu
butir pertanyaan/pernyataan, maka skor butir pertanyaan tersebut adalah ”5”,
demikian seterusnya. (b) Mengkonversi skor yang diperoleh menjadi data kualitatif
Skor yang diperoleh, kemudian dikonversikan menjadi data kualitatif skala lima,
dengan acuan rumus yang dikutip dari Sukardjo (2008: 101) sebagai berikut:
Tabel 1. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala Lima
Skor Kriteria
Rumus Perhitungan
X > X + 1,80SBi X > 4,21 Sangat baik
X + 0,60SB < X < X +1,80SBi ,40 < X < 4,21 Baik
X − 0,60SB < X < X + 0,60SBi 60 < X < 3,40 Cukup
X −1,80SB < X < X − 0,60SBi 1,79 < X < 2,60 Kurang
X < X −1,80SBi X < 1,79 Sangat kurang
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 54
Dengan :
X = Skor responden atau skor aktual
MI = Mean ideal yang dapat dicapai responden
Sbi = Simpangan baku ideal yang dapat dicapai responden
Nilai kelayakan produk minimal pada penelitian ini adalah dengan kategori
“cukup”, sebagai hasil penilaian baik dari ahli media instruksional, ahli materi maupun
mahasiswa. Jika hasil penilaian akhir (keseluruhan) pada aspek perangkat pembelajaran
dan aspek pembelajaran/materi dengan nilai minimal “cukup” oleh para ahli, dan jika hasil
penilaian akhir (keseluruhan) pada aspek perangkat dan aspek pembelajaran/materi dengan
nilai minimal “cukup” oleh mahasiswa, maka produk hasil pengembangan tersebut sudah
dianggap layak digunakan sebagai sumber belajar. Menentukan tingkat kecenderungan
dilakukan dengan kategorisasi tingkat kecenderungan pada variabel. Oleh karena itu, perlu
ditentukan dahulu mean ideal (MI), simpangan baku ideal (Sbi) serta skor tertinggi ideal
dan skor terendah ideal masing-masing subvariabel sebagai kriteria. Perhitungan mean
ideal, simpangan baku ideal mengacu pada Djemari Mardapi (2008: 123), sebagai berikut:
Mean ideal (MI) = 1/2 × (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)
Simpangan Baku ideal = 1/6 (skor tertinggi ideal - skor terendah ideal)
Skor tertinggi ideal = Σ butir kriteria × skor tertinggi
Skor terendah ideal = Σ butir kriteria × skor terendah
Keterlaksanaan perangkat pembelajaran
Instrumen ini digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran sains,
keterlaksanaan dilihat melalui reliabilitas instrumen berdasarkan rumus:
𝑹 = (𝟏 −𝑨 − 𝑩
𝑨 + 𝑩) 𝑿 𝟏𝟎𝟎 %
Dengan :
R : Reliabilitas Instrumen
A : Frekuensi aspek aktivitas siswa yang teramati oleh pengamat yang memberikan
frekuensi yang lebih.
B : Frekuensi aspek aktivitas siswa yang teramati oleh pengamat yang memberikan
frekuensi lebih rendah.
I. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Analisis Data Validasi Ahli Media : Berdasarkan data pada Tabel 2 tentang hasil
validasi ahli media terhadap kualitas produk ditinjau dari aspek media
pembelajaran diketahui bahwa rata-rata skor penilaian ahli media sebesar 3,62.
Angka ini menurut tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif Skala 5 (tabel 1)
tergolong pada kriteria baik. Dari data penilaian ahli media tersebut persentase baik
sebesar (80 %). Berdasarkan hasil penilaian dari ahli media, modul yang
dikembangkan dinyatakan layak untuk diujicobakan di lapangan. Meskipun
demikian produk pembelajarn ini masih perlu penyempurnaan sesuai dengan saran
dari ahli media dan hasil revisi dapat dilihat pada pembahasan revisi produk.
2. Analisis Data Validasi Ahli Materi : Berdasarkan data pada Tabel 3 tentang hasil
penilaian ahli materi terhadap kualitas produk ditinjau dari aspek pembelajaran
diketahui bahwa rata-rata skor penilaian ahli materi sebesar 3,25. Angka ini
menurut tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif skala 5 tergolong pada
kriteria " baik". Persentase kriteria baik dari penilaian ahli materi adalah sebesar 78
%. Sesuai saran dari ahli materi untuk penyempurnaan modul, telah dilakukan
revisi dan hasil revisi dapat dilihat pada pembahasan revisi produk. Berdasarkan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 55
hasil validasi dari ahli materi pada aspek pembelajaran, maka produk awal produk
yang dikembangkan "layak" untuk diujicobakan di lapangan.
3. Analisis Ujicoba Satu-Satu (One to One Evaluation) : Ada dua aspek yang
dianalisis dalam ujicoba satu-satu yaitu aspek media pembelajaran dan aspek materi
pembelajaran. Sesuai dengan data pada tabel 3 diketahui bahwa rata-rata skor
tanggapan mahasiswa untuk aspek media pembelajaran sebesar 3,66. Angka ini
menurut Tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif 3,41 skala 5 tergolong
pada kriteria " baik", dan skor rata-rata keseluruhan untuk aspek materi
pembelajaran 3,66 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk kategori
“baik”. Jumlah skor rata-rata keseluruhan untuk aspek media pembelajaran dan
aspek materi pembelajaran 3,76 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti
termasuk kategori “baik”.
Tabel 8. Hasil skor rata-rata tanggapan mahasiswa pada Ujicoba Satu-Satu
Aspek Rata-rata Kategori
Media 3,66 Baik
Pembelajaran 3,41 Baik
Skor rata-rata
keseluruhan
3,53 baik
4. Analisis Data Ujicoba Kelompok Kecil (Small Group Evaluation) : Berdasarkan
tabel 5 data skor penilaian kelompok kecil, terdapat dua aspek yang dianalisis
dalam ujicoba yaitu aspek media dan aspek pembelajaran. Sesuai dengan data
tersebut, diketahui bahwa rata-rata skor tanggapan siswa untuk aspek media sebesar
3,62. Angka ini menurut Tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif skala 5
(Tabel 1) tergolong pada kategori "baik", dan skor rata-rata untuk aspek
pembelajaran 3,54 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk kategori
“baik”. Jumlah skor rata-rata keseluruhan untuk aspek media dan aspek
pembelajaran adalah 3,83 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk
kategori “baik”. Secara jelas ujicoba kelompok kecil diperlihatkan pada Tabel 9
berikut.
Tabel 9. Hasil skor rata-rata tanggapan mahasiswa uji kelompok kecil
Aspek Rata-rata Kategori
Media 3,62 Baik
Pembelajaran 3,54 Baik
Skor rata-rata
keseluruhan
3,58 baik
5. Analisis Data Ujicoba Lapangan (Field Trial) : Pada penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep IPA 2 mahasiswa Program
Studi Pendidikan IPA semester 3 UST. Adapun data yang diperoleh untuk
mengetahui peningkatan pemahaman konsep dari nilai hasil pretest dan posttest
adapun data tersebut tersaji dalam diagram berikut ini :
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 56
Gambar 1. Grafik hasil pretest dan posttest
6. Revisi Ahli Media : Berdasarkan rekomendasi ahli media untuk perbaikan produk
agar layak digunakan sebagai media pembelajaran, maka ada beberapa saran yang
diberikan kepada peneliti untuk dilakukan revisi sebelum dilakukan tahapan
ujicoba produk pada siswa. Peneliti melakukan revisi berdasarkan saran-saran
sebagai berikut : (a)Gambar yang tidak sesuai dengan materi yang sajikan
dihilangkan saja, atau diganti dengan gambar yang relevan, (b) Tulisan dibuat
seragam, jangan terlalu banyak model tulisan, (c) Letak gambar dibuat lebih rapi,
agar mahasiswa tertarik untuk membaca modul dan memahaminya, (d) Kombinasi
warna pada modul jangan terlalu banyak, cukup beberapa warna yang menarik
perhatian mahasiswa.
7. Revisi Ahli Materi : Berdasarkan hasil validasi ahli materi yang dituangkan dalam
kuesioner, dikatakan bahwa modul yang dikembangkan sudah layak di ujicobakan
dengan revisi sesuai saran dari ahli materi. Dengan menggunakan produk yang
dikembangkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami materi IPA,
perbaikan dan saran dari ahli materi terhadap produk yang dikembangkan adalah
sebagai berikut : (a) Bahasa diperbaiki, (b) Materi yang tersaji dalam modul
diringkas lagi, jangan terlalu banyak, singkat, padat dan jelas, (c) Pertanyaan dan
petunjuk kegiatan dibuat tidak ambigu, sehingga mahasiswa tidak bingung
melaksanakan kegiatan, (d) Pertanyaan pada pojok diskusi dibuat lebih luas, agar
mahasiswa bisa lebih aplikatif.
8. Revisi ujicoba satu-satu : Berdasarkan hasil ujicoba satu-satu ditinjau dari aspek
media dan aspek pembelajaran mendapatkan hasil dengan kategori baik. Dengan
demikian modul yang dikembangkan sudah layak di ujicobakan pada tahapan
berikut yaitu pada ujicoba kelompok kecil. Meskipun demikian masih terdapat
masukan yang diberikan yaitu bahasa yang digunakan masih membingungkan, dan
masih terdapat pertanyaan yang ambigu.
9. Revisi ujicoba kelompok kecil : Hasil ujicoba kelompok kecil ditinjau dari aspek
media dan aspek pembelajaran mendapatkan hasil dengan kategori baik. Dengan
demikian produk perangkat pembelajaran Sains yang dikembangkan sudah layak di
ujicobakan pada tahapan berikut yaitu ujicoba lapangan. Meskipun demikian masih
terdapat masukan yang diberikan berupa materi disederhanakan lagi, masih terlalu
banyak dan panjang.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
Pretest
Posttest
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 57
10. Revisi ujicoba lapangan : Berdasarkan hasil ujicoba lapangan ditinjau dari aspek
media dan aspek pembelajaran mendapatkan hasil dengan kategori baik. Dengan
demikian produk Modul pembelajaran IPA 2 yang dikembangkan sudah layak di
gunakan sebagai Bahan ajar. Meskipun demikian masih terdapat masukan yang
diberikan berupa, gambar yang tidak relevan lebih baik dihilangkan saja atau
diganti dengan gambar yang sesuai. Peneliti kemudian memilih untuk
menghilangkan gambar yang tidak sesuai, dalam hal ini adalah gambar monyet
disebelah kolom judul. Berdasarkan hasil ujicoba lapangan setelah pengembang
mengamati proses pemanfaatan produk yang dikembangkan, maka dapat
disimpulkan bahwa produk ini dapat dipakai sebagai sumber belajar.
11. Kajian Produk Akhir : Melalui validasi aspek media oleh ahli media dan aspek
pembelajaran oleh ahli materi, maupun ujicoba satu-satu, ujicoba kelompok kecil
dan ujicoba lapangan telah diperoleh produk perangkat pembelajaran yang
diharapkan. Berdasarkan hasil analisis data pada ujicoba menunjukkan bahwa
penilaian terhadap Modul pembelajaran hasil pengembangan pada aspek materi
dengan kategori baik, aspek media dengan kategori baik. Hasil ujicoba diperoleh
skor rata-rata keseluruhan dengan kategori baik. Dengan demikian Modul
pembelajaran ini sudah layak untuk dipergunakan sebagai sumber belajar dan dapat
disebarluaskan kepada pengguna.
Sebagai produk hasil pengembangan, dalam bentuk naskah jadi memiliki
kelemahan dan kelebihan. Kelebihannya adalah: produk modul ini memuat materi
baru yang tersaji dengan gambar-gambar yang menarik, bahasa yang sederhana,
dan variasi pokok bahasanya yang disesuaikan dengan materi mata kuliah IPA 2 di
Prodi Pendidikan IPA. Hal tersebut sesuai dengan tujuan peneliti dalam
mengembangkan modul pembelajaran IPA 2 yang menarik dan dapat digunakan
sebagai bahan ajar yang dapat membantu mahasiswa untuk memahami konsep IPA
2. Merupakan suatu kepuasan tersendiri bagi peneliti apabila produk ini diterima
oleh mahasiswa maupun dosen. Hal ini berarti bahwa Modul pembelajaran yang
dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA mahasiswadapat
tercapai.
J. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan, dapat disimpulkan bahwa Modul
IPA 2 telah dikembangkan sesuai dengan prosedur pengembangan. Evaluasi terhadap IPA
2 melalui tahap validasi ahli materi pembelajaran dan ahli media pembelajaran, uji coba
satu-satu, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan melalui ujicoba satu dan ujicoba
dua, serta analisis dan revisi sehingga menjadi produk akhir yang layak digunakan sebagai
sumber belajar dan dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA mahasiswa Prodi
Pendidikan IPA UST.
K. Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan penelitian ini adalah keterbatasan biaya, waktu, tenaga
peneliti dalam proses penelitian ini dan analisis yang dilakukan masih bersifat klasikal dan
keterbatasan dalam mengintreprestasikan hasil penelitian secara lengakap.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 58
L. Saran Pemanfaatan Produk, Diseminasi, dan Pengembangan Produk Lebih
Lanjut
1. Saran Pemanfaatan Produk : Modul IPA 2 tentang materi Mikroskop dan
Keselamatan Kerja Laboratorium diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal
oleh pengguna.
2. Desiminasi : Untuk pemanfaatan secara luas, Modul pembelajaran ini dapat
disosialisasikan kepada dosen dan mahasiswa untuk dapat dipakai sebagai salah
satu sumber belajar.
3. Pengembangan Produk Lebih Lanjut : Untuk pengembangan lebih lanjut, perlu
dikembangkan Modul IPA 2 dengan Materi lain dalam mata kuliah IPA 2.
M. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. (2007). Meaningful learning re-invensi kebermaknaan pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BNSP.
Carin, A.A & Sund, R.B (1985). Teaching science through discovery (5th ed). Ohio: A Bell
& Howell Company.
Depdiknas. (2004-a). Pedoman pemilihan dan pemanfaatan bahan ajar. Jakarta:
Depdiknas Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. (2004-c). Materi pelatihan terintegrasi sains. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen.
Gulo. W. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: PT Grasindo Widiasarana Indonesia.
Hendro Darmojo, Jenny Kaligis. (1991). Pendidikan IPA II. Jakarta: Depdikbud.
Lorin, Kratwohl. (2001). A taxonomy for learning, teaching and Assesing. New York:
Longman.
NRC. 2007. Taking science to school: Learning and teaching science in grades K–8.
Washington, DC: National Academies Press
Oemar Hamalik. (2003). Proses belajar mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Sharon J. Sherman dan Robert S. Sherman. (2004). Science and Science Teaching.
USA: Houghton Mifflin Company. Sukardjo. (2008). Handout mata kuliah evaluasi pembelajaran sains. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Trianto. (2007). Model pembelajaran terpadu dalam teori dan praktek. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Victor Sampson, Jonathon Grooms, and Joi Walker (2009). Jurnal The Science Teacher.
Full peer-review sheet: www.nsta.org/highschool/connections.aspx
Wina Sanjaya. (2007). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan.
Jakarta: Kencana.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 59
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS-ACHIEVEMENT
DIVISIONS (STAD) PADA MATA KULIAH ILMU LINGKUNGAN SEBAGAI
UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR
MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN IPA FKIP UST
TAHUN AKADEMIK 2010/2011
Tias Ernawati
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract This research has been done to know how STAD as a model of study could
increase activity and achievement the students of natural science education department
on 2010/2011 of academic year and also to know the statement according to the model.
This research was begun on observing class condition to identify problems. This was a
class action research which had cycles to improve class condition. Each cycle was
consist of planning, doing and observing, reflecting. Planning action used STAD
model. The model included announcing model’s aim, studying college’s topics,
grouping, tasking of groups, individual evaluating and rewarding the winner group.
The winner was the most of points. Total points were equals of discuss point and
average of total individual evaluating points in group. The instruments of this research
were lecture-observing papers, students-observing papers, evaluating papers and
statements papers. The research’s result showed increasing of students’ activity. At
first discussion on first cycles, there were 38.7% students active, at last discussion on
second cycles there were 90.3% students active. Average of students’ achievement has
increased 20.6 points, i.e. from 61.8 to 82.4. According to the students’ statements of
model showed that they liked STAD because they could get the topics easier and
improve students’ activity by making life-class in order to increase achievement.
A. Pendahuluan
Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa dan kualitas manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat maju,
serta dapat mengembangkan diri sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Salah satu
masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses
pembelajaran. Oleh karena itu inovasi serta variasi proses pembelajaran dalam dunia
pendidikan merupakan kebutuhan keyakinan yang pasti terjadi selaras dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Beberapa proses pembelajaran masih kurang meningkatkan keaktifan dan
kreatifitas mahasiswa. Masih ada yang menggunakan metode konvensional secara
monoton dalam kegiatan pembelajaran, sehingga suasana belajar terkesan kaku.
Mahasiswa kurang termotivasi untuk bertanya dan berdiskusi di kelas guna
memecahkan suatu permasalahan dalam materi perkuliahan. Dengan demikian,
suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif sehingga mahasiswa cenderung
menjadi pasif. Kurangnya antusiasme mahasiswa dalam proses pembelajaran
memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap hasil belajar mahasiswa. Mahasiswa
hanya mengandalkan apa yang sudah diberikan oleh dosen. Kesulitan-kesulitan yang
dialami mahasiswa dalam pemahaman materi biasanya tetap tersimpan, kemudian
pada akhirnya mahasiswa akan membiarkan ketidaktahuannya. Akibatnya prestasi
belajar mahasiswa menjadi kurang memuaskan dan cenderung turun.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 60
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan
temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu
memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan
kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif (Trianto
2007:41).
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang berorientasi pada
siswa. Pembelajaran kooperatif ini memiliki beberapa variasi, antara lain : Student
Teams-Achievement Divisions (STAD), Jigsaw, Investigasi kelompok menggunakan
Teams Games Tournaments, Pendekatan struktural yang meliputi Think Pair Share
dan Numbered Head Together. Pembelajaran kooperatif model STAD merupakan
salah satu variasi dari pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-
kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang mahasiswa secara
heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi
perkuliahan, kegiatan kelompok, evaluasi individual dan penghargaan kelompok.
Gagasan utama STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya saling
mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang
diajarkan oleh guru (Slavin 2008:12). Pembelajaran kooperatif model STAD
mendorong mahasiswa untuk aktif di kelas. Mahasiswa yang aktif diharapkan dapat
memiliki prestasi belajar yang baik. Penulis juga berharap adanya respon positif dari
mahasiswa ketika diadakan STAD di dalam kelas baik proses maupun hasil.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST. pada
semester genap tahun akademik 2010/2011. Penelitian ini merupakan jenis penelitian
tindakan kelas, yang terdiri dari dua siklus yang dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi dan (4) refleksi.
Gambar 1 Siklus Penelitian Tindakan Kelas
Instrumen yang digunakan adalah: lembar observasi untuk dosen, lembar
observasi untuk mahasiswa, lembar tes prestasi belajar Ilmu Lingkungan, dan lembar
angket yang telah dikonsultasikan dengan ahli. Teknik analisis data meliputi
keberhasilan proses dan keberhasilan produk. Keberhasilan proses meliputi presentase
skor keaktifan kegiatan pembelajaran model STAD dosen dan mahasiswa berdasarkan
observasi observer, yang dihitung dengan rumus:
% 𝑆𝑇𝐴𝐷 = 𝑋
𝑌 𝑥 100%
Keterangan:
% 𝑆𝑇𝐴𝐷 : persentase kegiatan pembelajaran model STAD
X : jumlah butir centangan pada kolom “ya”
Y : jumlah butir keseluruhan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 61
Presentase skor pelaksanaan kegiatan pembelajaran model STAD selanjutnya
dibandingkan dengan kriteria menurut Arikunto (2007:76). Penelitian ini menggunakan
angket dengan 4 kategori pilihan, yaitu : SS (Sangat Setuju) bernilai 4, S (Setuju)
bernilai 3, TS (Tidak Setuju) bernilai 2, STS (Sangat Tidak Setuju) bernilai 1, dimana
tiap-tiap kategori berjarak 25.
Skor angket tiap butirnya dihitung dengan rumus :
% 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑒𝑡 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑥 100%
Keterangan :
Skor butir : hasil kali skor semua kolom dalam satu baris
Skor total : skor maksimum x banyaknya responden
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
a. Keaktifan Dosen dan Mahasiswa : Aktifitas dosen peneliti dan mahasiswa
pada pembelajaran model STAD berdasarkan hasil observasi kolaborator di tiap
siklus disajikan dalam tabel 1. Keaktifan mahasiswa ketika berdiskusi dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 1 Prosentase Aktifitas Dosen dan Mahasiswa
Berdasarkan Lembar Observasi Kolaborator
Siklus Prosentase Keaktifan
Dosen Mahasiswa
I 100% 71,4%
II 100% 85,7%
Tabel 2 Prosentase Keaktifan Mahasiswa dalam Diskusi Siklus I
Diskusi Jumlah mahasiswa aktif pada kelompok
Prosentase I II III IV V VI VII
I 2 2 2 1 2 1 2 38,7%
II 3 3 3 3 3 3 3 67,7%
III 3 4 4 3 3 3 4 77,4%
Tabel 3 Prosentase Keaktifan Mahasiswa dalam Diskusi Siklus II
Diskusi Jumlah mahasiswa aktif pada kelompok
Prosentase I II III IV V VI VII
I 3 3 4 3 3 4 4 77,4%
II 4 4 4 4 3 4 4 87,1%
III 4 5 4 4 3 4 4 90,3%
2. Prestasi Belajar
Prestasi belajar mahasiswa disajikan dalam tabel di bawah ini.
a. Prestasi kelompok
Tabel 4 Skor Prestasi Kelompok
Diskusi Nilai kelompok (skor) Rata-rata
(skor) I II III IV V VI VII
Siklus I 70 80 70 75 70 70 85 74,3
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 62
Siklus II 82 89 77 88 97 83 90 87,6
b. Prestasi individu
Tabel 5 Skor Rerata Tes Evaluasi Individual Mahasiswa
Indikator Nilai
Terendah
Nilai
Tertinggi
Rerata
Tes penempatan 32 80 61,8
Tes evaluasi individual siklus I 45 88 69,1
Tes evaluasi individual siklus II 68 93 82,4
2 Pembahasan
a. Kondisi Awal Penelitian Tindakan Kelas : Subyek penelitian dipilih
berdasarkan observasi penulis, selaku dosen peneliti, yang dilakukan
sebelum penelitian dimulai. Subyek cenderung pasif dan tidak termotivasi
dalam kegiatan pembelajaran. Prestasi belajar subyek cenderung pas-pasan.
Sehubungan dengan keragaman latar belakang subyek maka diadakan tes
penempatan sebagai dasar pengelompokkan mahasiswa. Hasil tes diperoleh
skor tertinggi 80 dan skor terendah 32. Sedangkan rata-rata skor tes adalah
61,8. Setelah mengerjakan tes, banyak siswa yang merasa tidak puas akan
hasilnya.
b. Hasil Penelitian Tindakan Kelas Siklus I : (a) Perencanaan : Kegiatan
perencanaan diawali dengan menyusun rencana pembelajaran dengan
menerapkan model STAD pada mata kuliah Ilmu Lingkungan, soal tes
penempatan, materi perkuliahan, bahan diskusi serta soal evaluasi
individual. Langkah berikutnya adalah menentukan kelompok STAD
berdasarkan hasil tes penempatan. Ada 7 kelompok STAD. Kelompok I, II
dan III terdiri dari 5 mahasiswa, sedangkan kelompok IV, V, VI dan VII
terdiri dari 4 mahasiswa. Selama penelitian, penulis dibantu kolaborator.
Hasil observasi penulis dan kolaborator akan dianalisis sebagai dasar untuk
menentukan langkah berikutnya, (b) Pelaksanaan dan Observasi :
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran menggunakan model STAD diawali
dengan penjelasan tentang pembelajaran model STAD yang akan
digunakan pada perkuliahan dan diikuti pengumuman nama-nama
kelompok. Kegiatan berikutnya adalah menyampaikan indikator yang harus
dicapai mahasiswa dilanjutkan pemberian materi pengantar ilmu
lingkungan, atmosfer, pencemaran udara, dan. Pemberian materi
berlangsung dalam 3 kali pertemuan. Selama penyampaian materi dosen
memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam kelompok untuk bertanya.
Pada pertemuan kesatu dan kedua tidak dijumpai pertanyaan dari
mahasiswa. Pertemuan ketiga ada 2 mahasiswa yang bertanya karena
tertarik untuk belajar lebih lanjut mengenai materi pencemaran udara.
Pertemuan ketiga, keempat dan kelima digunakan untuk diskusi tahap I, II
dan III. Pada tahapan diskusi terlihat bahwa masih ada beberapa mahasiswa
yang diam, tidak ikut berpendapat, cenderung mengandalkan teman untuk menyelesaikan permasalahan dalam kelompok dan bahkan ada yang tidak
kebagian tugas. Mahasiswa juga ada yang enggan untuk berinteraksi
dengan kawannya. Dalam hal ini penulis berupaya sebagai mediator agar
mahasiswa berkomunikasi lebih baik dengan sesama anggota kelompok.
Penulis akan memberikan pertanyaan tambahan. Mahasiswa tersebut akan
memerlukan bantuan dari kelompoknya, sehingga penulis benar-benar
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 63
melihat sendiri ketika mahasiswa tersebut berinteraksi dengan anggota
kelompoknya. Keaktifan mahasiswa dalam tiga tahapan diskusi teramati
dan dapat dihitung prosentasenya. Berdasarkan hasil observasi, prosentase
keaktifan mahasiswa pada tiap tahapan diskusi mengalami kenaikan, yaitu
38,7% , 67,7% dan 77,4%. Pada pertemuan keenam diadakan evaluasi
individual. Perolehan skor individu kemudian direrata dengan anggota
kelompoknya. Hasil rataan dijumlahkan dengan skor diskusi masing-
masing kelompok. Pada pertemuan ketujuh mahasiswa mengisi angket
respon pembelajaran STAD. Berikutnya penulis mengumumkan kelompok
pemenang dan memberikan penghargaan untuk kelompok pemenang.
Pemenang dalam siklus I adalah kelompok VII.. (c) Refleksi : Keaktifan
dan peningkatan prestasi belajar mahasiswa menjadi penentu keberhasilan
proses. Berdasarkan lembar observasi kolaborator, keberhasilan proses
yang dilihat dari sudut pandang keaktifan mahasiswa adalah sebesar 71,4%.
Berdasarkan teori keberhasilan-proses menurut Arikunto, nilai ini masuk
dalam kategori baik. Prosentasi keaktifan mahasiswa dalam diskusi tahap I
sampai tahap III naik sebesar 38,7%. Sedangkan rata-rata skor tes evaluasi
individu terhadap tes penempatan naik sebesar 7,3 poin. Penelitian
tindakan kelas siklus II perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari siklus I.
Beberapa kondisi yang perlu diperbaiki dalam siklus I antara lain: (1) Ada
mahasiswa yang tidak ikut mengerjakan tes evaluasi kelompok karena ada
beberapa yang mendominasi pekerjaan, (2) Ada mahasiswa yang kurang
bisa berinteraksi dengan sesama anggota kelompok, (3) Ada mahasiswa
yang enggan bertanya apabila merasakan kesulitan dalam menyelesaikan
tugas, (4) Ada mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan pembelajaran,
hanya diam dan mengandalkan temannya Berdasarkan kesepakatan dengan
kolaborator, beberapa kondisi di atas dicoba diatasi dengan : (1) Lebih
memotivasi mahasiswa agar lebih aktif dalam perkuliahan, (2) Memberikan
perhatian yang lebih pada mahasiswa-mahasiswa yang pasif, (3)
Mempersiapkan beberapa pertanyaan tambahan supaya semua mahasiswa
dalam kelompok mempunyai tugas.
c. Hasil Penelitian Tindakan Kelas Siklus II : (a) Perencanaan :
Perencanaan penelitian tindakan kelas siklus II yaitu mempersiapkan
lembar observasi, merancang materi perkuliahan berikutnya, membuat
bahan diskusi, membuat soal evaluasi individual serta mempersiapkan
angket respon mahasiswa terhadap pembelajaran STAD. Selama kegiatan,
penulis tetap dibantu oleh seorang kolaborator untuk observasi pelaksanaan
pembelajaran model STAD, (b) Pelaksanaan dan Observasi : Pertemuan
pertama diawali dengan mengumumkan pelaksanaan pembelajaran model
STAD siklus II dengan peraturan yang sama. Berikutnya adalah pemberian
materi siklus hidrologi, reaksi kimia dalam air dan pencemaran air.
Pemberian materi berlangsung selama 3 kali pertemuan. Indikator yang
harus dicapai mahasiswa disampaikan pada pertemuan pertama. Selama
penyampaian materi, dosen tetap memberikan kesempatan bertanya bagi
mahasiswa. Ketika penyampaian materi berlangsung, tidak ada mahasiswa
yang bertanya. Dari kondisi ini dapat diambil kesimpulan sementara, yaitu
mahasiswa cukup memahami materi. Untuk lebih memantapkan kondisi
mahasiswa, pada pertemuan ketiga setelah selesai materi dilanjutkan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 64
dengan sesi diskusi. Diskusi ini berlanjut hingga pertemuan keempat dan
kelima. Selama berdiskusi, penulis berkeliling untuk memberi motivasi dan
perhatian yang lebih pada mahasiswa yang dianggap pasif. Beberapa
mahasiswa diarahkan untuk membagi pekerjaan dengan kawan sesama
kelompoknya agar tidak terjadi dominasi. Penulis dan kolaborator mendata
mahasiswa yang aktif selama kegiatan diskusi berlangsung. Skor yang
diperoleh kelompok diakumulasi dan dicatat oleh penulis. Pada pertemuan
keenam diadakan tes evaluasi individu. Skor yang diperoleh masing-
masing mahasiswa direrata dengan kelompoknya kemudian diakumulasi
dengan skor diskusi. Kegiatan pada pertemuan ketujuh adalah pengisian
angket respon mahasiswa dan pemberian penghargaan untuk kelompok
dengan skor tertinggi. Pada penelitian tindakan kelas siklus II ini kelompok
V keluar sebagai pemenang., (c) Refleksi : Pembelajaran Ilmu Lingkungan
dengan model STAD yang dikemas dalam penelitian tindakan kelas siklus
II dapat dikatakan berjalan dengan baik. Keberhasilan proses ditinjau dari
sisi keaktifan mahasiswa selama pembelajaran berdasarkan observasi
kolaborator menunjukkan prosentase sebesar 85,7%. Jika mengikuti kriteria
keberhasilan proses menurut Arikunto, nilai ini masuk ke dalam kategori
sangat baik. Prosentase keaktifan mahasiswa dalam diskusi tahap I sampai
dengan tahap III naik sebesar 12,9%. Kenaikan ini tidak terlalu tinggi,
namun apabila dibandingkan dengan kondisi awal maka diperoleh kenaikan
sebesar 51,6%. Sedangkan rata-rata skor diskusi mengalami kenaikan
sebesar 13,3 poin, dari 74,3 menjadi 87,6. Rata-rata hasil tes evaluasi
individual juga mengalami kenaikan sebesar 13,3 poin terhadap rata-rata
tes evaluasi individual siklus I. Namun jika dibandingkan dengan rata-rata
tes penempatan akan diperoleh kenaikan sebesar 20,6 poin. Berdasarkan
analisis kondisi siklus II telah dapat dikatakan bahwa penerapan model
pembelajaran STAD pada mata kuliah Ilmu Lingkungan sebagai upaya
meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar mahasiswa Prodi Pendidikan
IPA FKIP UST Tahun Akademik 2010/2011 berhasil mencapai tujuan
daripada penelitian ini. Sehingga penelitian tindakan kelas berhenti pada
siklus II.
3. Pembahasan Hasil Penelitian
a. Keaktifan Mahasiswa : Keaktifan mahasiswa bila ditinjau dari lembar
observasi penulis maupun kolaborator menunjukkan hasil ada peningkatan
keaktifan mahasiswa dari siklus I ke siklus II sebesar 14,3%. Jumlah
mahasiswa yang aktif pada diskusi siklus I maupun siklus II juga
mengalami kenaikan. Jumlah mahasiswa yang aktif diawali pada skor
38,7% pada siklus I dan menjadi 90,3% pada akhir siklus II. Rata-rata skor
prestasi kelompok juga mengalami kenaikan yaitu sebesar 13,3 poin.
Nampak ada antusiasme mahasiswa mengikuti model pembelajaran STAD.
Hasil analisis prestasi belajar sehubungan dengan keaktifan mahasiswa
menunjukkan ada 8 mahasiswa yang mengalami penurunan nilai setelah tes
evaluasi I. Hal ini disebabkan kurangnya antusiasme mahasiswa untuk
mencari informasi materi. Mahasiswa lebih banyak pasif pada diskusi siklus
I. Penulis berupaya mengarahkan agar mahasiswa lebih aktif. Hasil
pantauan terhadap ke-8 mahasiswa tersebut akhirnya memberikan hasil
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 65
positif. Pada siklus II mereka lebih aktif. Nilai evaluasi II mengalami
kenaikan.
b. Prestasi Belajar Mahasiswa : Penelitian ini diawali dengan tes penempatan,
tes evaluasi individu untuk siklus I dan siklus II. Dari hasil tes diperoleh
data sebagai berikut :
Tabel IV.7 Rekap Nilai Mahasiswa
Rentang
Nilai
Jumlah Mahasiswa
Tes Penempatan Tes Evaluasi
Individual I
Tes Evaluasi
Individual II
30 - 39 3 0 0
40 - 49 1 5 0
50 - 59 6 5 0
60 - 69 9 5 3
70 - 79 11 3 5
80 - 89 1 13 13
90 - 100 0 0 10
Jumlah 31 31 31
Berdasarkan tabel teramati bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar.
Keaktifan mahasiswa berperan penting dalam upaya peningkatan prestasi
belajar.
c. Respon Mahasiswa terhadap Model Pembelajaran STAD : Dari angket yang
telah disebar kepada mahasiswa, diperoleh beberapa kesimpulan antara lain
mahasiswa menyukai pembelajaran model STAD karena memudahkan
untuk memahami materi. Model pembelajaran STAD dapat meningkatkan
keaktifan mahasiswa dengan membuat suasana kelas lebih hidup dan
kondusif sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Model
pembelajaran STAD sesuai untuk diterapkan pada mata kuliah Ilmu
Lingkungan dan berharap dapat pula diterapkan pada mata kuliah lain.
D. Kesimpulan Dan Saran
a. Kesimpulan, Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : (1) Ada
peningkatan keaktifan mahasiswa Prodi Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Ajaran
2010/2011 setelah diterapkannya penelitian tindakan kelas dengan menggunakan
pembelajaran model STAD baik di siklus I maupun siklus II, (2) Ada peningkatan
prestasi belajar mahasiswa Prodi Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Ajaran
2010/2011 setelah diterapkan pembelajaran model STAD, (3) Ada respon yang
baik dari mahasiswa terhadap pembelajaran model STAD.
b. Saran : (1) Para dosen diharapkan mencoba pembelajaran model STAD untuk
menghidupkan suasana kelas guna meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, (2)
Mahasiswa hendaknya lebih aktif mencari informasi dalam kegiatan pembelajaran
baik ketika diskusi maupun ketika belajar sendiri.
E. Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan untuk Guru, Kepala Sekolah dan
Pengawas Yogyakarta: Aditya Media
Connel, Des W. dan Miller, Gregory J. 2006. Terjemahan : Kimia dan Ekotoksikologi
Pencemaran. Jakarta : UI Press
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 66
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik Konsep,
Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher
Slavin, Robert. E. 1995. Cooperative Learning Theory Research dan Practice 2nd ed.
Washington D.C.: National Education Association
Slavin, Robert. E. 1991. Student Team Learning 3rd ed. Boston: Allyn and
Bacon
Sugianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Modul PLPG. Surakarta: Panitia
Sertifikasi Guru Rayon 13
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 67
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING TERHADAP
HASIL BELAJAR IPA DI TINJAU DARI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TEPUS GUNUNGKIDUL
TAHUN AJARAN 2013/2014
Susi Murtini dan Astuti Wijayanti
Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract
The research aims to know the result of learning natural science of SMP Negeri 1
Tepus Gunungkidul school year 2013/2014 which through quantum teaching learning and
direct instruction. In comparative term in the research to determine the differences in the
result of learning natural science eight grade student in SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul
school year 2013/2014 at the between used quantum teaching learning and direct
instruction in terms of critical thinking skill. This research did in SMP Negeri 1 Tepus
Gunungkidul in academic 2013/2014. The population in the research was 126 students at
the eight grade from four classes. This research in clude on descriptive comparatif. Was
like “quasi eksperiment”. The sample got random sampling technical where two classes
take a randomly from four classes there, VIII C as control class and VIII D as eksperiment
class. The quetion validity tested with. Product moment corelation. The instrument
reliability tested with KR-20 formula and got the reliabel criteria rt = 0,6924. The analysis
technical used anakova test after this tested with analysis requirement induded disreminate
normality test, variance homogenity, and connection linierity test. Descritively, the result
of the study showed that propensity of learning natural science result at the eight grade
student in SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul scool year 2013/2014 which through with
quantum teaching learning and direct instruction included of high category. Inclination of
critical thinking skill students with quantum teaching included very high category and
while with direct instructionincluded high category. Comparatively there was significanly
deference of science learning outcomer at the eight grade student in SMP Negeri 1 Tepus
Gunungkidul in academic year 2013/2014 between used quantum teaching learning and
direct instruction observed from critical thinking skill.
Keywords: quantum teaching, direct instruction, the result, critical thinking skill.
A. Pendahuluan
Dalam era globalisasi dewasa ini, tantangan peningkatan mutu dalam berbagai
aspek kehidupan tidak dapat ditawar lagi. Pesatnya perkembangan iptek dan tekanan
globalisasi mempersyaratkan setiap bangsa untuk mengerahkan pikiran dan seluruh
potensi sumber daya yang dimilikinya untuk mampu bertahan dan dapat memenangkan
persaingan global. Perlu adanya peningkatan sikap kompetitif secara sistematik dan
berkelanjutan terhadap sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan dewasa ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing bangsa agar
mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal ini bisa tercapai jika pendidikan di
sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep
ilmiah, tetapi juga pada peningkatan kemampuan dan keterampilan berpikir siswa,
khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kritis
(http://edukasi.kompasiana.com).
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 68
Dalam dunia pendidikan, khususnya kegiatan belajar mengajar, strategi sangat
diperlukan. Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif yang di
dalamnya terdapat interaksi antara guru dengan siswa (Hardini & Puspitasari, 2012: 1).
Strategi yang perlu dilakukan oleh seorang guru adalah menerapkan model
pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di dalam kelas sangat
berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar. Untuk mengatasi rendahnya hasil
belajar diperlukan pembelajaran yang efektif dan efisien yaitu diperlukannya suatu
model belajar yang baik. Menurut Trianto (2012: 154), pembelajaran IPA di sekolah
sebaiknya: 1) Memberikan pengalaman kepada siswa sehingga kompeten dalam
melakukan pengukuran berbagai besaran fisis; 2) Menanamkan pentingnya pengamatan
empiris dalam uji hipotesis; 3) Melatih berpikir kuantitatif dan 4) Memperkenalkan
dunia teknologi.
Banyak anggapan bahwa mata pelajaran IPA termasuk pelajaran yang sulit
dipelajari bagi siswa, mereka sering mengeluh karena pelajaran IPA yang terdiri dari
Fisika, Kimia, dan Biologi itu sulit dipahami. Pembelajaran yang monoton menjadikan
siswa kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran, sulit memahami materi yang
disampaikan oleh guru, susah dalam mengerjakan soal-soal latihan serta mengerjakan
PR sehingga nilai mata pelajaran IPA masih rendah. Berdasarkan hasil pengamatan di
SMP Negeri 1 Tepus bahwa saat kegiatan belajar mengajar di kelas VIII: 1) siswa
kurang antusias, dan 2) kurang aktif dalam bertanya dan menjawab pertanyaan dari
guru. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan dan keterampilan berpikir kritis
siswa SMP 1 Tepus masih kurang atau belum berkembang dengan baik. Hal tersebut
dikarenakan pembelajaran IPA masih berpusat pada guru sehingga membuat siswa
kurang aktif dalam pembelajaran.
Pembelajaran IPA di kelas VIII masih didominasi oleh penggunaan metode
ceramah dan pembelajaran langsung. Aktivitas siswa yang teramati yaitu siswa hanya
mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting sehingga
keterampilan berpikir kritis siswa kurang berkembang dengan baik. Siswa cenderung
hanya menghafal apa yang telah disampaikan oleh guru. Padahal seharusnya
membahas IPA tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang lebih penting
adalah proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum. Hasil
belajar IPA kelas VIII saat ini masih rendah, Siswa SMP Negeri 1 Tepus memperoleh
nilai rata-rata IPA yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), nilai
rata-rata siswa 62,12 sedangkan untuk nilai KKM IPA 71. Hal ini dapat dilihat dari
perolehan nilai ujian semester 2 di SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul yang belum
semua mencapai batas nilai KKM yang ditetapkan. Dari berbagai permasalahan yang
ada tentunya guru harus dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kualitas belajar
IPA di dalam kelas yang dapat menciptakan siswa mampu mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan hasil belajar siswa.
Banyak pengajar menyatakan bahwa mereka telah mengajarkan kepada para
siswanya tentang “bagaimana berpikir”, sebagian besar mengatakan bahwa mereka
melakukannya secara tidak langsung atau secara implisit, yaitu sembari menyampaikan
isi materi pelajaran mereka. Lambat laun, para pendidik mulai meragukan efektivitas
mengajarkan “keterampilan-keterampilan berpikir” dengan cara ini, karena hampir
sebagian siswa sama sekali tidak memahami keterampilan-keterampilan berpikir yang
dibicarakan (Fisher, 2009: 1) John Dewey menganjurkan agar sekolah mengajarkan
cara berpikir kritis yang benar pada siswanya. Menurut Reggiero (Johnson: 187),
berpikir merupakan segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau
memecahkan masalah, membuat keputusan atau memenuhi keinginan untuk
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 69
memahami sebuah pancaran jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Senada dengan
pendapat Johnson (2008: 185) bahwa pentingnya berpikir kritis dalam kehidupan saat
ini adalah memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran di tengah banjir kejadian
dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam mengajar diupayakan agar siswa
tidak lagi menemukan kejenuhan bahkan kesulitan dalam memahami materi yang
diajarkan di sekolah. Model pembelajaran yang baik dan menarik akan menjadikan
siswa mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis serta mampu belajar
dengan baik sehingga hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil
belajar IPA di kelas yaitu dengan menggunakan model pembelajaran quantum
teaching. Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah, dengan segala
nuansanya. Quantum teaching juga menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan
yang memaksimalkan momen belajar. Quantum Teaching berfokus pada hubungan
dinamis dalam lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan untuk belajar
(Bobbi Deporter, 2008: 3).
Asas utama quantum teaching adalah “Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan
antarkan dunia kita ke dunia mereka” (Bobbi Deporter, 2008: 6). Asas ini terletak pada
kemampuan guru untuk mampu menjembatani antara dua dunia yaitu guru dengan
siswa. Artinya tidak ada yang dapat membatasi interaksi antara guru dengan siswa
sehingga mereka mampu berinteraksi dengan baik. Seorang guru diharapkan mampu
memahami karakter siswa, minat, motivasi, bakat dan setiap pikiran siswa, dengan
demikian guru mampu masuk ke dunia siswa. Selain memiliki asas utama quantum
teaching juga memiliki prinsip atau kebenaran tetap. Menurut Bobbi Deporter (2008: 7-
8), prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut.
1. Segalanya Berbicara : Segalanya dari lingkungan kelas berbicara. Segala hal yang
ada di dalam kelas mengirim pesan tentang belajar. Aspek yang perlu diperhatikan
dalam menata kelas yaitu suasana, landasan dan rancangan.
2. Segalanya Bertujuan : Semua yang kita lakukan mempunyai tujuan. Semua yang
terjadi dalam skenario pembelajaran mempunyai tujuan. Pembelajaran yang
dilakukan guru harus mempunyai tujuan, yaitu agar siswa mencapai kompetensi
yang diharapkan yang nantinya dapat bermanfaat dalam kehidupan siswa.
3. Pengalaman Sebelum Pemberian Nama Otak manusia berkembang pesat dengan
adan: ya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh
karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami
informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari.
4. Akui Setiap Usaha : Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar
dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka patut mendapat
pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.
5. Jika Layak Dipelajari, maka Layak Pula Dirayakan : Perayaan adalah sarapan
pelajar juara. Perayaan mengenai umpan balik mengenai kemajuan dan
meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
Kerangka perencanaan quantum teaching yang lebih dikenal dengan ungkapan
TANDUR (Bobbi Deporter, 2008: 10). Komponen kerangka rancangan TANDUR
sebagai berikut :
1. Tumbuhkan, menumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat Bagiku”
(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan siswa.
2. Alami, menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti
oleh semua siswa.
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 70
3. Namai, mengandung makna bahwa dalam menamai kegiatan yang akan dilakukan
selama proses belajar mengajar dengan menyediakan kata kunci, konsep, model,
rumus, strategi atau sebuah masukan.
4. Demonstrasikan, memberi kesempatan bagi siswa untuk mendemonstrasikan apa
yang telah mereka pelajari dan ketahui (menunjukkan bahwa mereka tahu);
5. Ulangi, menunjuk beberapa siswa untuk menglangi materi yang telah diketahui,
dipelajari dan menegaskan, (Aku tahu bahwa aku memang tahu ini).
6. Rayakan, merayakan atas keberhasilan yang sudah dilakukan oleh siswa sebagai
pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu
pengetahuan Pengetahuan.
Sintaks quantum teaching dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
Kegiatan Keterangan
- Menyampaikan salam, berdo’a, presens siswa dan
mengingatkan agar siswa duduk memperhatikan
kegiatan yang akan diberikan.
Tanamkan
- Guru membagi kelompok dan menjelaskan tugas
untuk setiap kelompok
- Guru memberikan lembar pengamatan serta
memberikan konfirmasi tugas yang akan dikerjakan
oleh setiap kelompok.
- Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
melakukan percobaan sesuai waktu yang telah
ditentukan.
- Guru membimbing siswa dalam percobaan.
- Siswa melakukan percobaan secara berkelompok.
Alami
- Guru memberikan kesempatan kepada kelompok
untuk berdiskusi membahas percobaan yang telah
dilakukan.
Namai
- Guru memberi kesempatan pada kelompok untuk
mempresentasikan hasil diskusi.
- Guru memberikan kesempatan pada kelompok lain
untuk menanggapi hasil diskusi kelompok.
Demonstrasikan
- Guru mengkonfirmasi hasil diskusi kelas. Ulangi
- Guru bersama-sama siswa membuat kesimpulan
tentang materi yang telah dipelajari.
- Guru memberikan umpan balik atas keberhasilan
belajar siswa.
Rayakan
Dalam melaksanakan pembelajaran IPA dengan pendekatan quantum teaching
hendaknya guru memahami dan melaksanakan secara utuh kerangka TANDUR
(Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan) dan guru lebih
kreatif dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran sehingga proses dan hasil
pembelajaran meningkat (Afif Rifa’i, 2012: 7).
B. Metodologi
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII C dan VIII D SMP Negeri 1 Tepus tahun
ajaran 2013/2014. Penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen. Desain
penelitian ini terdiri dari model pembelajaran quantum teaching (A1); model
pembelajaran langsung/direct instruction (A2) sebagai variabel bebas, keterampilan
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 71
berpikir kritis (X) sebagai variabel sertaan atau kovariant, dan hasil belajar (Y) sebagai
variabel terikat. Variabel penelitian meliputi: model pembelajaran quantum teaching,
model pembelajaran langsung, hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester ganjil SMP Negeri 1
Tepus Gunungkidul tahun ajaran 2013/2014 dengan jumlah siswa 126 yang terbagi
dalam 8 kelas. Teknik pengambilan sampel menggunakan random sampling. Dari
empat kelas diambil dua kelas yaitu kelas VIII C sebagai kelas kontrol dan kelas VIII
D sebagai kelas eksperimen.
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan lembar observasi
dan tes. Tes terdiri dari 40 soal pilihan ganda yang terdiri dari 4 pilihan jawaban,
terdapat 26 soal yang valid kemudian soal digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Analisis butir soal menggunakan program iteman diperoleh reliabilitas 0,692. Lembar
observasi digunakan untuk menilai dan mengukur siswa dalam berpikir kritis pada saat
pembelajaran berlangsung. Analisis data secara deskriptif dihitung dengan melihat
hasil belajar yang dibandingkan pada kategori kurva normal. Selain itu, dilakukan uji
persyaratan analisis yang meliputi uji normalitas sebaran menggunakan rumus uji chi
kuadrat, uji homogenitas varian menggunakan uji F, uji linieritas menggunakan teknik
anareg dan uji hipotesis menggunakan uji anakova A (satu jalur) kemudian diuji t.
Dalam melakukan analisis data peneliti menggunakan program SPSS 16.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dapat dilihat dari hasil belajar dan
keterampilan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA berkembang dengan baik
yakni dilihat dari hasil belajar IPA yang berada pada kategori tinggi (rerata 19,5) dan
keterampilan berpikir kritis pada kategori sangat tinggi (rerata 81%) setelah
menggunakan model pembelajaran quantum teaching sedangkan hasill belajar IPA
(rerata 17,00) dan keterampilan berpikir kritis (rerata 69%) pada kategori tinggi setelah
menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) dalam proses belajar
mengajar.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Setelah analisis butir soal, 26 butir soal valid sehingga berlaku ketentuan skor
maksimal idealnya adalah 26 skor minimal idealnya adalah 0 sehingga menurut kriteria
kurva normal adalah sebagai berikut:
19,513 < 𝑥 26 = sangat tinggi
15,171 ≤ 𝑥 < 19,513 = tinggi
10,829 ≤ 𝑥 < 15,171 = sedang
6,487 ≤ 𝑥 < 10,829 = rendah
0,00 < 6,487 = sangat rendah
Dari data tes hasil belajar IPA kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul
Tahun Ajaran 2013/2014 diperoleh data sebagai berikut : Kelompok siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum teaching diperoleh data
hasil belajar IPA sebagai berikut: skor tertinggi = 23; skor terendah = 14; nilai rata-rata
19,5 dan simpangan baku 2,437. Dari hasil penelitian diperoleh skor rata-rata 19,5 jika
dibandingkan dengan kriteria kurva normal, kelompok ini berada pada interval 15,171
≤ �̅� 19,513 termasuk kategori tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa kecenderungan hasil belajar IPA siswa SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun
Ajaran 2013/2014 termasuk kategori tinggi. Dari data hasil belajar IPA yang diberi
perlakuan dengan model pembelajaran quantum teaching diperoleh hasil skor tertinggi
= 22, skor terendah = 14 dari simpangan baku 2,160 dan nilai rata-rata 17 dengan
melihat kriteria di atas berati hasil belajar IPA yang diajar dengan model quantum
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 72
teaching siswa SMP Negeri 1 Tepus tahun ajaran 2013/2014 termasuk kategori tinggi.
Dalam semua aspek keterampilan berpikir kritis siswa di kelas eksperimen rata-rata
memiliki kategori sangat tinggi yaitu pada interval 80.00 – 100% sedangkan kelas
kontrol rata-rata berada dalam kategori tinggi yaitu pada interval 60,00 – 69,00%.
Pengujian persyaratan analisis dalam penelitian ini meliputi uji normalitas
sebaran, uji homogenitas varian dan uji linieritas varian. Uji normalitas ini bertujuan
untuk mengetahui apakah data pada penelitian ini terdistribusi normal atau tidak.
Berdasarkan hasil uji normalitas sebaran menggunakan Kolmogrorov-Smirnova
diperoleh bahwa siginifikansi kelas kontrol adalah 0,136 dan kelas eksperimen 0,136.
Karena signifikansi kedua kelompok tersebut lebih besar dari 0,05 maka kedua
kelompok tersebut terdistribusi normal. Uji homogenitas varian digunakan untuk
mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam penelitian berasal dari populasi yang
homogen atau tidak. Berdasarkan analisis data diperoleh besarnya F 0,440 dengan
signifikansi 0,510. Karena signifikansi lebih besar dari 0,05, maka kedua kelompok
homogen. Uji linieritas varian digunakan untuk mengetahui status linier tidaknya suatu
distribusi data penelitian. Berdasarkan analisis data yang diperoleh sebesar F 0,655
dengan signifikansi 0,685. Signifikansi yang diperoleh lebih besar daripada 0,05, maka
kedua kelompok linier.
Model pembelajaran quantum teaching lebih efektif dari pada model
pembelajaran langsung (direct instruction). Berdasarkan uji anakova sebelum
keterampilan berpikir kritis dikendalikan diperoleh Fhitung sebesar 18,539 dan 0,000
untuk angka signifikansi. Sedangkan setelah keterampilan berpikir kritis dikendalikan
diperoleh F hitung sebesar 17,595 dan 0,000 untuk angka signifikansi, dari hasil
perhitungan menunjukkan bahwa sig. 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran quantum teaching dan model pembelajaran langsung (direct
instruction) ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa Kelas VIII SMP Negeri 1
Tepus Gunungkidul tahun ajaran 2013/2014.
Berdasarkan uji t diperoleh bahwa bahwa thitung sebesar 8,228 dan nilai sig./ p =
0,000 ≤ 0,05 maka hipotesis diterima dan signifikan. Berdasarkan analisis tersebut
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum teaching dengan model
pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari keterampilan berpikir kritis
siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Ajaran 2013/2014.
D. Simpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut. Kecenderungan
hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran
2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran quantum teaching dalam kategori
tinggi. diperoleh rerata sebesar 19,50 dan berada pada interval 15,171 – 19,513.
Kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul
Tahun Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran langsung (direct
instruction) dalam kategori tinggi. diperoleh rerata sebesar 17.00 dan berada pada
interval 15,171 – 19,513. Kecenderungan keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan
model pembelajaran quantum teaching dalam kategori sangat tinggi. Diperoleh rerata
prosentase sebesar 81% dan berada pada interval 80,00 – 100%. Kecenderungan
keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun
Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran langsung (direct
ISSN. 2355-0813
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014 73
instruction) dalam kategori tinggi. Diperoleh rerata prosentase sebesar 69% dan berada
pada interval 60,00 – 79,00%.
Secara komparatif ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VIII
SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 antara yang
menggunakan model pembelajaran Quantum Teaching dan model pembelajaran
Langsung (direct instruction) ditinjau dari keterampilan berpikir kritis. Dengan melihat
reratanya ternyata hasil belajar IPA yang menggunakan model pembelajaran quantum
teaching lebih tinggi daripada yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
langsung (direct instruction). Berarti ada pengaruh model pembelajaran quantum
teaching terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa kelas
VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul tahun pelajaran 2013/2014.
Berdasarkan kesimpulan yang terdapat pada penelitian di atas maka diharapkan: 1)
Model pembelajaran quantum teaching dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA dan
dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
hasil belajar siswa; 2) Pengelompokan antara siswa yang berkemampuan sedang dan
tinggi perlu dibiasakan agar mampu berdiskusi sehingga keterampilan berpikir kritis
siswa berkembang ketika pembelajaran berlangsung, dan 3) Siswa dibiasakan tertib
dalam mengemukakan pendapat didalam kelas agar suasana tidak gaduh dan
pembelajaran berjalan dengan lancar.
E. Daftar Pustaka
Afif Rifa’i, dkk. 2012. Penerapan Pendekatan Quantum Teaching Dalam
Pembelajaran Ipa Di Kelas V Sdn 2 Jogomertan. Jurnal ilmiah:
Alec Fisher. 2009. Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga
Bobbi DePorter, dkk. 2001. Quantum Teaching : Mempraktekkan Quantum Learning
di Ruang-Ruang Kelas. Bandung : Kaifa.
Elaine B Johnson. 2008. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan
kegiatanBelajar Mengajar Mengasyikkan dan Beramakna. Bandung: Mizan
Learning Center.
Isriani Hardini & Dewi Puspitasari. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu (Teori,
Konsep & Implementasi). Yogyakarta: Famillia (Group Relasi Inti Media).
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatf-Progresif: Konsep Landasan,
dan Implementasinyapada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Jakarta: Kencana.
Turmudzi. 2013. Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis Pada Siswa.
http://edukasi.kompasiana.com (diakses 12 Juli 2013)