pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi bawang …repository.setiabudi.ac.id/1223/2/skripsi full...

100
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID PADA HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL Oleh : Trimida 20144104A FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2018

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG DAYAK

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TERHADAP KADAR

    MALONDIALDEHID PADA HATI TIKUS

    YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

    Oleh :

    Trimida

    20144104A

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS SETIA BUDI

    SURAKARTA

    2018

  • i

    PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG DAYAK

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TERHADAP KADAR

    MALONDIALDEHID PADA HATI TIKUS

    YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

    SKRIPSI

    Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

    Derajat Sarjana Farmasi (S. Farm)

    Program Studi S1 Farmasi pada Fakultas Farmasi

    Universitas Setia Budi

    Oleh :

    Trimida

    20144104A

    HALAMAN JUDUL

    FAKULTAS FARMASI

    UNIVERSITAS SETIA BUDI

    SURAKARTA

    2018

  • ii

    PENGESAHAN SKRIPSI

    Berjudul

    PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG DAYAK

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TERHADAP KADAR

    MALONDIALDEHID PADA HATI TIKUS

    YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

    Oleh:

    Trimida

    20144104A

    Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

    Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi

    Pada tanggal : 19April 2018

    Mengetahui,

    Fakultas Farmasi

    Univeritas Setia Budi

    Dekan,

    Prof. Dr. R.A. Oetari, SU., MM., M.Sc., Apt.

    Pembimbing,

    Fransiska Leviana, M.Sc., Apt

    Pembimbing pendamping,

    Yane Dila Keswara, M.Sc.,Apt

    Penguji:

    1. Jason Merari P, Dr., MM., M.Si., Apt ..........................

    2. Titik Sunarni, Dr., M.Si., Apt ..........................

    3. Reslely Harjanti, M.Sc., Apt ..........................

    4. Fransiska Leviana, M.Sc., Apt ..........................

  • iii

    PERSEMBAHAN

    ْحَمنِِ ا ِبْســــــــــــــــــمِِ ِحيم الرَّ اارَّ

    Kupersembahkan karyaku ini kepada :

    Allah Subhanuwata’ala dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi

    wasallam.

    Bapak, Ibu tercinta, dan keluarga besar

    “Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu. Niscaya Allah memudahkan jalannya menuju surga“.

    (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

    ُوْسَعهَا إَِلا نَْفًسا ٱّلَلُا يَُكلِّفُا َلا“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan

    kesanggupannya”

    (QS. Al-baqarah(2): 286)

    يُْسًرا ٱْلُعْسرِا َمعَا فَإِنَا“maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”

    (QS. Al-Insyirah (94):5)

  • iv

    PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil pekerjaan

    saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh

    gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya

    tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain,

    kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar

    pustaka.

    Apabila skripsi ini merupakan jiplakan dari penelitian/karya

    ilmiah/skripsi orang lain, maka saya siap menerima sanksi, baik secara akademis

    maupun hukum.

    Surakarta, 19 April 2018

    Trimida

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,

    dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

    “PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI BAWANG

    DAYAK (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TERHADAP KADAR

    MALONDIALDEHID PADA HATI TIKUS YANG DIINDUKSI

    PARASETAMOL. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh derajat

    sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta.

    Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini

    tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga

    penulis menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat :

    1. Dr. Ir. Djoni Tarigan, MBA selaku rektor Universitas Setia Budi.

    2. Prof. Dr. R. A. Oetari, SU., MM., M.Sc., Apt, selaku dekan Fakultas Farmasi

    Universitas Setia Budi.

    3. Fransiska Leviana, M.Sc., Apt selaku pembimbing utama yang telah

    memberikan bimbingan, koreksi pada tulisan dan ilmunya sehingga penulis

    dapat menyelesaikan skripsi ini.

    4. Yane Dila Keswara, M.Sc., Apt selaku pembimbing pendamping yang telah

    memberikan bimbingan, koreksi pada tulisan dan ilmunya sehingga penulis

    dapat menyelesaikan skripsi ini.

    5. Tim penguji yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran

    sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

    6. Bapak, ibu, adik, dan semua keluarga terimakasih untuk do’a, dukungan dan

    semangat yang diberikan

    7. Terimakasih kepada satu tim saya (Putri dan Rahmat) yang sudah membantu

    saya selama skripsi berjalan dan melewati banyak hambatan dalam

    menyelesaikan skripsi ini.

    8. Terimakasih kepada teman-teman seperantauan (diana, putri, pitry, anti, vita,

    bella, hefli, sukron,afif) yang sudah memberi support selama mengerjakan

    skripsi ini.

  • vi

    9. Terimakasih kepada sepupu saya Izza yang sudah membantu saya akomodasi

    selama penelitian di UGM.

    10. Segenap dosen, staff, laboran, dan asisten laboratorium, perpustakaan Fakultas

    Farmasi Universitas Setia Budi yang telah memberikan bantuan selama

    penelitian.

    11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

    membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

    Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak terkait maka skripsi ini

    tidak selesai dengan baik. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

    dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat berharap kritik dan saran. Penulis

    berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan

    perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

    Surakarta, 19 April 2018

    Trimida

  • vii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

    PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................................... ii

    PERSEMBAHAN .................................................................................................. iii

    PERNYATAAN ..................................................................................................... iv

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi

    DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii

    INTISARI ............................................................................................................. xiv

    ABSTRACT .......................................................................................................... xv

    BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

    B. Perumusan Masalah ............................................................................. 4

    C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4

    D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5

    A. Tanaman Bawang Dayak ..................................................................... 5

    1. Sistematika bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) .... 5

    2. Nama lain ...................................................................................... 5

    3. Deskrispsi tanaman ....................................................................... 6

    4. Khasiat tanaman ............................................................................ 6

    5. Kandungan kimia .......................................................................... 6

    5.1 Alkaloid. .............................................................................. 6

    5.2 Flavonoid. ............................................................................ 6

    5.3 Glikosida. ............................................................................. 7

    5.4 Saponin. ............................................................................... 7

    5.3 Tanin. ................................................................................... 7

    B. Simplisia ............................................................................................... 7

    1. Definisi simplisia .......................................................................... 7

    2. Pengumpulan simplisia ................................................................. 8

  • viii

    3. Pengeringan ................................................................................... 9

    C. Ekstrak ................................................................................................ 10

    1. Pengertian ekstrak ....................................................................... 10

    2. Metode ekstraksi ......................................................................... 10

    2.1 Maserasi. ............................................................................ 10

    2.2 Perkolasi. ........................................................................... 10

    2.3 Refluks. .............................................................................. 11

    2.4 Sokletasi. ............................................................................ 11

    3. Pelarut ......................................................................................... 11

    D. Kelainan Hati Akibat Obat ................................................................. 12

    E. Radikal Bebas ..................................................................................... 13

    1. Definisi dan sumber radikal bebas .............................................. 13

    1.1 Sumber radikal bebas secara endogen dan eksogen. ......... 14

    2. Parasetamol sebagai penginduksi radikal bebas ......................... 15

    F. Antioksidan ........................................................................................ 17

    1. Pengertian antioksidan ................................................................ 17

    2. Antioksidan endogen dan antioksidan eksogen .......................... 17

    2.1 Antioksidan endogen. ........................................................ 17

    2.2 Antioksidan eksogen. ......................................................... 17

    3. Antioksidan berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya ......... 17

    3.1 Antioksidan primer. ........................................................... 17

    3.2 Antioksidan sekunder. ....................................................... 18

    3.3 Antioksidan tersier. ............................................................ 19

    4. Antioksidan berdasarkan sumbernya .......................................... 19

    4.1 Antioksidan sintetik. .......................................................... 19

    4.2 Antioksidan alami. ............................................................. 19

    5. Curcuma® produk antioksidan ................................................... 19

    G. Malondialdehid (MDA) ..................................................................... 20

    1. Pengertian MDA ......................................................................... 20

    2. Pengukuran kadar MDA ............................................................. 22

    2.1 Tes thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS). ....... 22

    2.2 Pengukuran kadar MDA serum bebas dengan metode HPLC

    (High Performance Liqiud Chromatography). .................. 23

    2.3 Pengukuran kadar MDA dengan ELISA kompetitif. ........ 23

    H. Hewan Percobaan ............................................................................... 24

    1. Sistematika tikus putih ................................................................ 24

    2. Karakteristik utama tikus putih ................................................... 24

    I. Landasan Teori ................................................................................... 24

    J. Hipotesis ............................................................................................. 27

    BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 28

    A. Populasi dan Sampel .......................................................................... 28

    B. Variabel Penelitian ............................................................................. 28

    1. Identifikasi variabel utama .......................................................... 28

    2. Klasifikasi variabel utama ........................................................... 28

    3. Definisi operasional variabel utama ............................................ 29

  • ix

    C. Bahan, Alat, dan Hewan Uji............................................................... 29

    1. Bahan .......................................................................................... 29

    1.1 Bahan sampel. .................................................................... 29

    1.2 Bahan kimia. ...................................................................... 29

    2. Alat .............................................................................................. 29

    3. Hewan uji .................................................................................... 30

    D. Jalannya Penelitian ............................................................................. 30

    1. Determinasi bawang dayak ......................................................... 30

    2. Pengambilan sampel.................................................................... 31

    3. Pembuatan serbuk umbi bawang dayak ...................................... 31

    4. Penetapan susut pengeringan ...................................................... 31

    5. Penetapan karakteristik simplisia ................................................ 31

    5.1 Penentapan kadar abu total. ............................................... 31

    5.2 Penetapan kadar abu tidak larut asam. ............................... 32

    5.3 Penetapan kadar sari larut air. ............................................ 32

    5.4 Penetapan kadar sari larut etanol. ...................................... 32

    6. Pembuatan ekstrak etanol umbi bawang dayak .......................... 32

    7. Uji bebas alkohol ekstrak umbi bawang dayak ........................... 33

    8. Identifikasi senyawa kimia berdasarkan reaksi warna ................ 33

    8.1 Flavonoid. .......................................................................... 33

    8.2 Tanin. ................................................................................. 33

    8.3 Alkaloid. ............................................................................ 33

    8.4 Saponin. ............................................................................. 33

    9. Penentuan dosis ........................................................................... 33

    9.1 Dosis Curcuma®. .............................................................. 33

    9.2 Dosis parasetamol. ............................................................. 34

    9.3 Dosis ekstrak etanol bawang dayak. .................................. 34

    10. Pembuatan larutan uji .................................................................. 34

    10.1 Larutan suspensi Na CMC 0,5%. ...................................... 34

    10.2 Larutan Curcuma®. ........................................................... 34

    10.3 Larutan parasetamol. ........................................................ 34

    10.4 Pembuatan sediaan uji. ...................................................... 34

    11. Perlakuan hewan uji .................................................................... 34

    12. Penetapan kadar MDA ................................................................ 35

    12.1 Prosedur pembuatan kurva standar MDA. ........................ 35

    12.2 Prosedur pengukuran kadar MDA menggunakan Uji

    Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS). ........ 35

    E. Analisis Data ...................................................................................... 36

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 38

    A. Hasil Determinasi Umbi Bawang Dayak ........................................... 38

    B. Pembuatan Simplisia dan Serbuk ....................................................... 38

    C. Hasil Penetapan Karateristik Simplisia Umbi Bawang Dayak .......... 39

    D. Hasil Pembuatan Ekstrak Etanol Umbi Bawang Dayak .................... 40

    Hasil perhitungan rendemen ekstrak etanol umbi bawang dayak sebesar

    10,37% dapat dilihat pada Lampiran 8............................................... 40

  • x

    E. Hasil Penetapan Susut Pengeringan Serbuk dan Ekstrak Umbi Bawang

    Dayak ................................................................................................. 40

    F. Uji Bebas Alkohol Ekstrak Umbi Bawang Dayak ............................. 41

    G. Identifikasi Senyawa Kimia Berdasarkan Reaksi Warna ................... 41

    H. Hasil Penentapan Kurva Standar dan Panjang Gelombang MDA ..... 42

    I. Hasil Pengujian Ekstrak Etanol Umbi Bawang Dayak Terhadap

    Penurunan Kadar MDA Pada Hati Tikus Diinduksi Parasetamol ..... 44

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 48

    A. Kesimpulan ........................................................................................ 48

    B. Saran ................................................................................................... 48

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 49

    LAMPIRAN .......................................................................................................... 55

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Tanaman dan umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr). 5

    Gambar 2. Mekanisme biotransformasi parasetamol . ......................................... 16

    Gambar 3. Malondialdehid .................................................................................. 21

    Gambar 4. Reaksi malondialdehid dan TBA. ...................................................... 21

    Gambar 5. Skema prosedur penelitian. ................................................................ 37

    Gambar 6. Kurva standar MDA ........................................................................... 43

    Gambar 7. Grafik perbandingan rata-rata kadar MDA terhadap tiap kelompok. 46

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Hasil rendemen umbi kering terhadap umbi basah .............................. 39

    Tabel 2. Hasil penetapan susut pengeringan serbuk dan ekstrak umbi bawang

    dayak. .................................................................................................... 40

    Tabel 3. Hasil penetapan krakteristik simplisia umbi bawang dayak ................. 39

    Tabel 4. Hasil pembuatan ekstrak etanol umbi bawang dayak ........................... 40

    Tabel 5. Hasil uji bebas alkohol ......................................................................... 41

    Tabel 6. Hasil identifikasi senyawa kimia ekstrak etanol umbi bawang dayak. 42

    Tabel 7. Hasil panjang gelombang MDA ........................................................... 42

    Tabel 8. Hasil absorbansi kurva standar MDA ................................................... 42

  • xiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Hasil determinasi umbi bawang dayak ........................................... 56

    Lampiran 2. Ethical clearance ............................................................................. 57

    Lampiran 3. Formulir pemakaian Lab Gizi UGM .............................................. 58

    Lampiran 4. Surat keterangan bebas peminjaman alat ....................................... 59

    Lampiran 5. Foto umbi, serbuk dan ekstrak umbi bawang dayak ...................... 60

    Lampiran 6. Alat dan bahan ................................................................................ 61

    Lampiran 7. Hasil identifikasi senyawa kimia ekstrak umbi bawang dayak ...... 63

    Lampiran 8. Penetapan karakteristik umbi bawang dayak ................................. 64

    Lampiran 9. Hasil perhitungan rendemen serbuk dan ekstrak umbi bawang

    dayak............................................................................................... 65

    Lampiran 10. Hasil penetapan susut pengeringan serbuk dan ekstrak umbi

    bawang dayak ................................................................................. 66

    Lampiran 11. Hasil penetapan karakteristik simplisia umbi bawang dayak ........ 67

    Lampiran 12. Berat badan tikus ............................................................................ 70

    Lampiran 13. Dosis pemberian ekstrak etanol umbi bawang dayak ..................... 71

    Lampiran 14. Kadar MDA pada hati tikus ............................................................ 75

    Lampiran 15. Perhitungan persentase kadar MDA ............................................... 76

    Lampiran 16. Penentuan data oulier dengan Dixon Test ...................................... 77

    Lampiran 17. Perhitungan kurva baku .................................................................. 79

    Lampiran 18. Panjang gelombang dan absorbansi kurva standar MDA............... 80

    Lampiran 19. Hasil analisis statistik kadar MDA ................................................. 81

  • xiv

    INTISARI

    TRIMIDA., 2018. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL UMBI

    BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TERHADAP KADAR

    MALONDIALDEHID PADA HATI TIKUS YANG DIINDUKSI

    PARASETAMOL, SKRIPSI, FAKULTAS FARMASI, UNIVERSITAS

    SETIA BUDI, SURAKARTA.

    Umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) merupakan

    tanaman yang mempunyai efek dalam penurunan kadar antioksidan terutama kadar

    MDA. MDA (malondiladehid) adalah senyawa dialdehid dan produk akhir dari

    peroksida lipid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis efektif pemberian

    ekstrak etanol umbi bawang dayak yang dapat menurunkan kadar MDA pada hati

    tikus yang diinduksi parasetamol.

    Penelitian menggunakan 30 ekor tikus putih jantan yang dibagi menjadi 6

    kelompok. Pengukuran kadar MDA dilakukan pada hari ke-15 perlakuan.

    Kelompok perlakuan dibagi menjadi 6 yaitu I kelompok normal, II kelompok

    negatif (Na CMC), III kelompok positif (Curcuma® 18 mg/kg bb), IV kelompok

    dosis (ekstrak etanol umbi bawang dayak 40,5 mg/kg bb), V kelompok dosis

    (ekstrak etanol umbi bawang dayak 81 mg/kg bb) dan VI kelompok dosis ( ekstrak

    etanol umbi bawang dayak 162 mg/kg bb). Induksi metabolit reaktif menggunakan

    parasetamol 2,5 g/kg bb tikus secara oral pada hari ke-14 perlakuan. Data kadar

    MDA diuji Shapiro-wilk untuk mengetahui normalitas data, kemudian di analisis

    dengan uji One Way Anova yang dilanjutkan Uji Tukey HSD.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol umbi

    bawang dayak dapat menurunkan kadar MDA pada hati tikus yang diinduksi

    parasetamol. Dosis ekstrak etanol umbi bawang dayak yang paling efektif dalam

    menurunkan kadar MDA pada hati tikus yang diinduksi parasetamol adalah 162

    mg/kg bb (0,53 nmol/g) yang terbukti paling rendah dalam menurunkan kadar

    MDA di bandingkan dosis 40,5 mg/kg bb (1,09 nmol/g) dan 81 mg/kg bb (0,71

    nmol/g).

    Kata kunci: Umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia(L) Merr.), ekstrak etanol,

    kadar MDA

  • xv

    ABSTRACT

    TRIMIDA., 2018. EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT BAWANG

    DAYAK BULBS (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) TO LEVELS OF

    MALONDIALDEHYDE ON PARACETAMOL-INDUCED RAT LIVER,

    SKRIPSI, FACULTY OF PHARMACY, SETIA BUDI UNIVERSITY,

    SURAKARTA

    Bawang dayak bulbs (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) is a plant that has

    the effect of the decreased levels of antioxidants, especially MDA. MDA

    (malondiladehyde) is a compound dialdehid and the end product of lipid peroxides.

    The purpose of this research is to determine the effective dose of ethanol extract of

    bawang dayak bulbs to reduce levels of MDA on paracetamol-induced rat liver.

    The study used 30 male rats were divided into 6 groups. Measurement of

    MDA conducted on day 15 of treatment. The treatment group was divided into 6

    groups: I normal group, II negative group (Na CMC), III positive group

    (Curcuma® 18 mg/kg bb), IV dose group (ethanol extract of bawang dayak bulbs

    40.5 mg/kg bb), V dose group (ethanol extract of bawang dayak bulbs 81 mg/kg

    bb) and VI dose group (ethanol extract of bawang dayak bulbs 162 mg/kg bb).

    Induction of reactive metabolites used paracetamol 2.5g/kg bb rat orally at day 14

    of treatment. Data levels of MDA were tested to determine the Shapiro-Wilk

    normality of the data, and then analyzed by One Way Anova followed Tukey HSD

    test.

    The results showed that ethanol extract of bawang dayak bulbs can reduce

    levels of MDA on paracetamol-induced rat liver. Dose ethanol extract of bawang

    dayak bulbs most effective in reduce levels of MDA on paracetamol-induce rat

    liver was 162 mg/kg bb (0.53nmol/g) which proved to reduce in levels of MDA

    better than dose of 40.5mg/kg bb (1.09 nmol/g) and 81 mg/kg bb (0.71 nmol/g).

    Keywords: bawang dayak bulbs (Eleutherine palmifolia (L) Merr.), Ethanol extract,

    MDA

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Radikal bebas memiliki peran penting dalam patofisiologi terjadinya

    berbagai penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit neurodegeneratif, atau

    diabetes. Interaksi antara radikal bebas dan antioksidan merupakan faktor penting

    dalam memelihara kesehatan. Ketika radikal bebas melewati batas efek protektif

    dari antioksidan maka terjadi kerusakan oksidatif yang terakumulasi yang

    berpengaruh terhadap penyakit degeneratif (Zalukhu et al 2016). Akibat tingginya

    kadar radikal bebas maka kemampuan proses oksidasi sel-sel tubuh normal

    menjadi semakin tinggi kemudian menimbulkan kerusakan seperti pada lipid,

    protein, dan DNA yang diikuti dengan kerusakan seluler dan jaringan (Hansson

    2005). Radikal bebas dapat berasal dari endogen dan eksogen. Radikal endogen

    terbentuk dari sisa proses metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat pada

    mitokondria, reaksi antara logam transisi dalam tubuh, proses inflamasi atau

    peradangan, fagosit, xantin oksidase, peroksisom, maupun kondisi iskemia.

    Sumber radikal eksogen berasal dari polutan, makanan dan minuman, radiasi,

    ozon, dan pestisida (Langseth 1995). Sejumlah obat yang memiliki efek oksidasi

    pada sel dan menyebabkan produksi radikal bebas melalui proses metabolisme.

    Salah satu penyebab terjadinya radikal bebas yaitu konsumsi obat-obatan

    tertentu yang dapat mengakibatkan kerusakan hati. Berdasarkan penelitian yang

    dilakukan oleh Shenoy et al (2012), ditemukan bahwa pemberian parasetamol

    dengan dosis berlebih dapat menyebabkan meningkatnya MDA pada hati yang

    signifikan. Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati karena reaksi toksik,

    alergi, dan radikal bebas (Wenas 1996). Dosis toksik parasetamol yang dapat

    menyebabkan kerusakan hati pada hewan uji adalah 0,5-1 g/kg bb mencit (Depkes

    1993). Kadar MDA mengalami peningkatan ketika diberikan dosis toksik

    parasetamol 2,5 g/kg bb tikus (Fahlevi 2015). Ketika parasetamol dikonsumsi

    secara berlebih akan menghasilkan NAPQI (N-asetil-p-benzokuinon) yang tidak

    dapat dinetralisir semuanya oleh glutation hati. Sehingga, memungkinkan NAPQI

  • 2

    berikatan secara kovalen pada makromolekul sel yang menyebabkan disfungsi

    berbagai enzim (Goodman dan Gilman 2008).

    NAPQI dapat menyebabkan terjadinya reaksi radikal bebas melalui proses

    biotransformasi oleh enzim sitokrom P450 dengan bantuan enzim CYP2EI.

    NAPQI yang berupa metabolit reaktif dapat menyebabkan kerusakan hati

    selanjutnya yaitu gagal ginjal (Zullies 2010). Metabolit reaktif yang terbentuk

    dapat bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh di membran sel sehingga terbentuk

    peroksida lipid dengan hasil pemecahan berupa malondialdehid (MDA). MDA

    dapat digunakan sebagai indikator terjadinya proses peroksida lipid dan dapat

    dideteksi dalam jaringan, plasma darah, dan urin (Momuat et al 2011). Proses

    kerusakan hati akibat radikal bebas dapat dicegah dengan peran antioksidan.

    Aktivitas antioksidan dapat ditemukan dalam tanaman obat tradisional.

    Berbagai jenis tanaman yang bermanfaat sebagai antioksidan telah

    berkembang menjadi sumber agen terapeutik dan preventif yang dapat membantu

    mempertahankan keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan.

    Kebanyakan masyarakat lebih memilih dengan kembali ke alam (back to nature).

    Tanaman obat tradisional yang banyak dimanfaatkan masyarakat Kalimantan

    adalah umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.). Berdasarkan

    penelitian Febrinda et al (2013), kandungan umbi bawang dayak yang terdiri atas

    senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid. Nilai

    total fenol dan total flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etanol umbi bawang

    dayak adalah 217,71 mg GAE/g dan 65,35 mg QE/g. Flavonoid dalam umbi

    bawang dayak berperan sebagai hepatoprotektor terhadap kerusakan hati yang

    diinduksi hepatoksik (Febrinda et al 2013). Flavonoid berperan dalam

    menghambat terjadinya peroksida lipid dengan cara menyumbangkan satu atom

    hidrogen dari gugus hidroksil yang terikat pada karbon cincin aromatik untuk

    menstabilkan senyawa reaktif sehingga peningkatan kadar MDA dapat dicegah

    (Hamid et al 2010).

    Menurut penelitian Rohmatin et al (2015), umbi bawang dayak juga dapat

    mencegah kerusakan sel hati tikus yang diinduksi karbon tetraklorida. Ekstrak

  • 3

    umbi bawang dayak dapat menghambat peningkatan kadar AST dan ALT dengan

    variasi dosis 40,5 mg/kg bb 81 mg/kg bb, 121,5 mg/kg bb tikus yang diinduksi

    isoniazid dan rifampisin (Wulandari 2016). Ekstrak bawang dayak memiliki

    aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 32,77 ppm

    dengan pelarut etanol 96% (Windari 2015). Daun bawang dayak dengan dosis 90

    mg/kg bb dapat menurunkan MDA pada plasma darah akibat kondisi stres

    oksidatif dengan paparan asap rokok (Andiriyani et al 2014). Ekstrak umbi

    bawang dayak dengan dosis 250-500 mg/kg bb mampu secara signifikan

    menurunkan kadar malondialdehid, penghambatan ulser dan meningkatkan indeks

    ulkus, aktivitas superoksida pada tikus wistar jantan yang diinduksi etanol

    (Windari 2017). Pengujian toksisitas akut dan subakut pada pemberian ekstrak

    etanol bawang tiwai atau bawang dayak pada dosis 5,2 mg/20 g bb dapat

    dikatakan relatif aman karena tidak menunjukkan kematian hewan uji (mencit)

    sebanyak 50% dengan jumlah kematian hewan uji sebanyak 2 ekor pada jam ke-

    72 (Ureeqa 2013).

    Senyawa aktif yang berperan sebagai antioksidan didapatkan dengan cara

    ekstraksi. Cara ekstraksi yang pilih adalah maserasi disebabkan senyawa aktif

    dalam umbi bawang dayak tidak tahan terhadap suhu tinggi karena dapat

    menurunkan jumlah kapasitas antioksidan, kestabilan oksidatif, total fenol, dan

    kadar vitamin C (Nur dan Astawan 2011). Maserasi merupakan metode ekstraksi

    sederhana dan tidak membutuhkan suhu tinggi sehingga tidak mempengaruhi

    senyawa yang terkandung dalam umbi bawang dayak. Pelarut yang digunakan

    dalam penelitian ini adalah etanol 96% karena bersifat universal dan selektif

    terhadap metabolit sekunder, selain itu pelarut etanol akan menyari senyawa aktif

    dalam ekstrak simplisia dengan nilai kapasitas antioksidan paling tinggi

    dibandingkan dengan pelarut heksan, metanol, dan air (Nur dan Astawan 2011).

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dilakukan

    penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi

    bawang dayak dalam menmenurunkan kadar malondialdehid pada hati tikus yang

    mengalami hepatotoksisitas akibat diinduksi parasetamol.

  • 4

    B. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang maka permasalahan yang terjadi dalam

    penelitian ini adalah :

    Pertama, apakah pemberian ekstrak etanol umbi bawang dayak

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) dapat menurunkan kadar MDA pada hati tikus

    yang diinduksi parasetamol ?

    Kedua, berapakah dosis efektif ekstrak etanol umbi bawang dayak

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) yang dapat menurunkan kadar MDA pada hati

    tikus yang diinduksi parasetamol ?

    C. Tujuan Penelitian

    Pertama, untuk mengukur kadar MDA pada pemberian ekstrak etanol

    umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) pada hati tikus yang

    diinduksi parasetamol.

    Kedua, untuk menentukan dosis efektif ekstrak etanol umbi bawang dayak

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) yang dapat menurunkan kadar MDA pada hati

    tikus yang diinduksi parasetamol.

    D. Manfaat Penelitian

    Pertama, pemanfaatan ekstrak umbi bawang dayak terhadap mencegah

    terjadinya hapatoksisitas akibat paparan radikal bebas yang berasal dari obat-

    obatan.

    Kedua, memberikan kontribusi nyata dalam dunia kesehatan dengan

    memanfaatkan bawang dayak sebagai antioksidan yang telah terbukti dapat

    mencegah terjadinya kerusakan hati.

    Ketiga, sebagai dasar penelitian bagi yang memanfaatkan umbi bawang

    dayak sebagai antioksidan.

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tanaman Bawang Dayak

    1. Sistematika bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.)

    Kerajaan : Plantae

    Divisi : Spermatophyta

    Sub divisi : Angiospermae

    Kelas : Monocotyledonae

    Bangsa : Liliales

    Suku : Iridaceae

    Marga : Eleutherine

    Jenis : Eleutherine palmifolia (L) Merr. (Depkes 2001).

    Gambar 1. Tanaman dan umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) (Febrinda

    2014).

    2. Nama lain

    Tanaman Eleutherine palmifolia (L) Merr, memiliki beberapa nama

    daerah yaitu bawang kapal (Sumatera), brambang sabrang (Jawa), beureum (Jawa

    Barat), bawang dayak (Kalimantan Barat), bawang berlian (Nusa Tenggara

    Timur). Nama asing: red bulb (Inggris), bebawang bara (Malaysia), hom daeng

    (Thailand) (BPOM RI 2011).

  • 6

    3. Deskrispsi tanaman

    Bawang dayak adalah salah satu tanaman yang banyak ditemukan di

    Kalimantan dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Bawang dayak merupakan

    tanaman habitus herba semusim, merambat, dengan tinggi 30-40 cm. Mempunyai

    batang semu, membentuk umbi. Daun tunggal, bentuk pita, ujung dan pangkal

    runcing, tepi rata, berwarna hijau. Bunga majemuk, tumbuh di ujung batang,

    panjang tangkai ± 40 cm, bentuk silindris, kelopak terdiri atas dua daun kelopak,

    hijau kekuningan, mahkota terdiri atas empat daun mahkota, lepas, panjang ± 5

    mm, putih, benang sari empat, kepala sari kuning, putik bentuk jarum, panjang ± 4

    mm, putih kekuningan. Akar serabut dan berwarna coklat muda. Umbinya

    berlapis, berwarna merah, berbentuk bulat telur dan memanjang (BPOM RI

    2011).

    4. Khasiat tanaman

    Secara empiris, umbinya bersifat diuretik, astringen, pencahar, analgetik,

    mengobati luka, sakit kuning, batuk, mencret berdarah, sakit perut, disentri,

    radang poros usus, kanker colon, kanker payudara, perangsang muntah, dan obat

    bisul. Daunnya berkhasiat sebagai obat bagi wanita yang nifas (Galingging 2009).

    5. Kandungan kimia

    Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang dilakukan oleh Banjarnahor

    (2010), bahwa bawang dayak menunjukkan adanya alkaloid, flavonoid, glikosida,

    saponin, tanin, triterpenoid/steroid, dan antrakinon glikosida.

    5.1 Alkaloid. Alkaloid adalah senyawa yang mengandung satu atau lebih

    atom nitrogen yang bersifat basa, biasanya dalam bentuk gabungan sebagai bagian

    dari sistem siklik (Harborne 1987). Alkaloid sebagai hasil metabolisme dan

    sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berbentuk kristal dan hanya sedikit yang

    berupa cairan pada suhu kamar. Nitrogen merupakan senyawa yang mudah

    mengalami dekomposisi terutama oleh sinar, dengan adanya oksigen diakibatkan

    oleh kebasaannya (Lenny 2006).

    5.2 Flavonoid. Flavonoid memiliki berbagai aktivitas biologis seperti

    antikanker, antiviral, antiinflamasi, mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler,

    dan penangkap radikal bebas. Kekuatan aktivitas antioksidan dari flavonoid

  • 7

    bergantung pada jumlah dan posisi dari gugus -OH yang terdapat pada molekul.

    Semakin banyak gugus -OH pada flavonoid, maka aktivitas antioksidannya

    semakin tinggi. Adanya gugus orto-katekol (3,4,-OH) pada cincin B flavonoid

    merupakan faktor penentu kapasitas antioksidan yang tinggi (Amic et al 2003).

    5.3 Glikosida. Glikosida merupakan salah satu dari kelompok metabolit

    sekunder. Senyawa ini mengandung komponen gula dan bukan gula. Komponen

    gula dinamakan glikon dan komponen bukan gula sebagai aglikon. Bila gula yang

    terbentuk adalah glukosa maka golongan senyawa itu disebut glukosida,

    sedangkan bila terbentuk gula lainnya disebut glikosida.

    5.4 Saponin. Saponin merupakan suatu senyawa dalam bentuk glikosida.

    Saponin membentuk busa jika dikocok dan tidak hilang dengan penambahan asam

    karena membentuk larutan koloidal dalam air (Harborne 1996). Saponin

    menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir dan memiliki rasa pahit

    menusuk.

    5.3 Tanin. Tanin memiliki jumlah gugus hidroksi fenolik. Tanin mampu

    menstabilkan fraksi lipid dan keaktifannya dalam penghambatan lipoksigenase

    sehingga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Zeuthen dan Sorensen 2003).

    B. Simplisia

    1. Definisi simplisia

    Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

    belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia

    merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,

    simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral. Simplisia nabati adalah

    simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman.

    Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang

    dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, zat-zat nabati lainnya yang dengan

    cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani ialah simplisia yang

    berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh

    hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan (mineral) adalah

  • 8

    simplisia berupa bahan pelikan (mineral) yang belum diolah atau telah diolah

    dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes 1985).

    2. Pengumpulan simplisia

    Tanaman obat yang menjadi sumber simplisia dapat berupa tumbuhan liar

    atau berupa tanaman budidaya. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang tumbuh

    dengan sendirinya di hutan atau di tempat lain, atau tanaman yang sengaja

    ditanam dengan tujuan lain, misalnya sebagai tanaman hias, tanaman pagar, tetapi

    bukan dengan tujuan untuk memproduksi simplisia. Tanaman budidaya adalah

    tanaman yang sengaja ditanam untuk tujuan produksi simplisia. Tumbuhan liar

    umumnya kurang baik untuk dijadikan sumber simplisia jika dibandingkan

    dengan tanaman budidaya, karena simplisia yang dihasilkan mutunya tidak tetap.

    Hal ini terutama disebabkan oleh umur, jenis, dan lingkungan tempat tumbuh

    berbeda (Depkes 1985).

    Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif

    di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat

    bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar.

    Senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman

    pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu

    diperhatikan pula saat panen dalam sehari.

    Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-

    bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Tanah mengandung bermacam-macam

    mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari

    tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal.

    Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya

    yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,

    misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang

    mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar

    dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Cara sortasi dan pencucian

    sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Pada simplisia

    akar, batang atau buah dapat pula dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk

    mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian besar jumlah mikroba biasanya

  • 9

    terdapat pada permukaan bahan simplisia. Bahan yang telah dikupas tersebut

    mungkin tidak memerlukan pencucian jika cara pengupasannya dilakukan dengan

    tepat dan bersih.

    Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

    pengeringan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung

    dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama satu hari. Perajangan dapat

    dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajangan khusus sehingga diperoleh

    irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Irisan yang terlalu

    tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang

    mudah menguap sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang

    diinginkan.

    3. Pengeringan

    Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak

    mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan

    menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan

    simplisia.

    Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel

    bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Penundaan proses pengeringan

    untuk bahan simplisia ini akan menurunkan kadar senyawa aktif tersebut dan

    berarti menurunan mutu simplisia. Pengeringan simplisia dilakukan dengan

    menggunakan sinar matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal

    yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan,

    kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan.

    Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan menggunakan alat dari plastik.

    Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 sampai 90˚C. Tetapi suhu yang

    terbaik adalah tidak melebihi 60˚C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa

    aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu

    serendah mungkin, misalnya 30˚C sampai 45˚C atau dengan cara pengeringan

    vakum yaitu dengan mengurangi tekanan udara di dalam ruang atau lemari

    pengeringan sehingga tekanan kira-kira 5 mmHg (Depkes 1985).

  • 10

    C. Ekstrak

    1. Pengertian ekstrak

    Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa kering, kental dan cair, dibuat

    dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, yaitu

    maserasi, perkolasi atau penyeduhan dengan air mendidih. Sebagai cairan penyari

    digunakan air, eter atau campuran etanol dan air. Penyarian dilakukan di luar

    pengaruh cahaya matahari langsung. Penyarian dengan campuran etanol dan air

    dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi. Penyarian dengan eter dilakukan

    dengan cara perkolasi. Penyarian dengan air dilakukan dengan cara maserasi,

    perkolasi atau disiram dengan air mendidih (Anief 1987).

    Pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat

    di simplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi dan hal ini

    memudahkan zat berkhasiat dapat diatur dosisnya. Dalam sediaan ekstrak dapat

    distandarisasikan kadar zat berkhasiat sedangkan kadar zat berkhasiat dalam

    simplisia sukar didapat yang sama (Anief 1987).

    Beda penyarian pada ekstrak dengan tingtur ialah pada ekstrak disari

    sampai zat berkhasiat dalam simplisia habis sedangkan pada tingtur hanya

    sebagian zat berkhasiat tersari. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi

    serbuk (Anief 1987).

    2. Metode ekstraksi

    2.1 Maserasi. Maserasi adalah suatu cara penyarian simplisia dengan cara

    merendam simplisia tersebut dalam pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

    pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi adalah pengulangan

    penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan

    seterusnya. Keuntungan metode maserasi adalah prosedur dan peralatannya

    sederhana (Agoes 2007).

    2.2 Perkolasi. Perkolasi adalah suatu cara penyarian simplisia

    menggunakan perkolator di mana simplisianya terendam dalam pelarut yang

    selalu baru dan umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prosesnya terdiri atas

    tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

    (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak

  • 11

    (perkolat) (Ditjen POM 2000). Keuntungan metode perkolasi adalah proses

    penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya

    adalah membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang digunakan mahal

    (Agoes 2007).

    2.3 Refluks. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

    didihnya dalam jangka waktu tertentu di mana pelarut akan terkondensasi menuju

    pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM 2000).

    2.4 Sokletasi. Sokletasi adalah ekstraksi kontinyu menggunakan alat

    soklet di mana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian

    jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung sifon juga

    terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon,

    larutan tersebut akan kembali ke dalam labu (Ditjen POM 2000).

    3. Pelarut

    Pelarut yang digunakan dalam proses pemisahan ekstrak harus selektif

    yaitu pelarut yang digunakan mampu menarik zat berkhasiat yang dikehendaki,

    tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan untuk peraturan. Beberapa

    faktor penting yang dapat dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah

    mudah diperoleh dan murah, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral

    (Depkes 1986).

    Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi dipilih berdasarkan

    kemampuannya dalam melarutkan jumlah maksimum dari zat aktif dan

    seminimun mungkin untuk unsur yang tidak diinginkan. Pelarut yang biasa

    digunakan dalam penelitan adalah air, etanol, atau campuran etanol dan air (Ansel

    1989).

    Etanol merupakan pelarut yang baik karena etanol memiliki dua gugus

    yang berbeda kepolarannya yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus

    alkil yang bersifat nonpolar, adanya dua gugus ini diharapkan senyawa dengan

    tingkat kepolaran yang berbeda akan terekstrak ke dalam etanol (Depkes 1986).

    Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 96% karena bersifat

    universal dan selektif terhadap metabolit sekunder, selain itu pelarut etanol akan

    menyari senyawa aktif dalam ekstrak simplisia dengan nilai kapasitas antioksidan

  • 12

    paling tinggi dibandingkan dengan pelarut heksan, metanol, dan air (Nur dan

    Astawan 2011). Pelarut etanol 96% mampu mengekstraksi senyawa fenol dan

    flavonoid lebih baik daripada pelarut heksan (Yuswi 2017)

    D. Kelainan Hati Akibat Obat

    Hati adalah kelenjar tubuh yang paling besar, beratnya antara 1000-1500

    g. Hati memiliki beberapa fungsi yaitu pembentukan sel darah merah, sekresi

    empedu, fungsi detoksifikasi, metabolisme protein, karbohidrat, lemak, dan

    mineral (Ressang 1984). Hati sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan

    proses metabolisme obat terutama obat-obat yang diberikan melalui oral. Untuk

    dapat diserap oleh membran usus halus obat-obat ini harus larut dalam lemak

    dalam bentuk nonion dan mudah berdifusi. Dalam hati obat-obat ini harus diubah

    menjadi larut dalam air supaya dapat diekskresi melalui urin atau empedu

    (Husadha 1996).

    Metabolisme obat-obatan dalam hati yang disebut biotransformasi. Proses

    biotransformasi adalah suatu proses yang umumnya mengubah senyawa asal

    menjadi metabolit, kemudian membentuk konjugasi. Beberapa enzim yang

    terdapat dalam hati antara lain oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase,

    isomerase, dan ligase. Enzim yang terlibat dalam proses biotransformasi adalah

    sistem sitokrom P450 dan NADPH sitokrom P-450 reduktase yang terletak dalam

    retikulum endoplasma yang dikenal sebagai mikrosom karena letaknya dan zat

    kimia yang dikatalisisnya, maka enzim-enzim ini juga dikenal sebagai microsomal

    mixed-function oxydase (MFO) (Wenas 1996).

    Reaksi biotransformasi obat diklasifikasikan menjadi reaksi fase I yang

    melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan reaksi fase II merupakan

    produksi atau senyawa melalui konjugasi zat toksik. Reaksi fase I mengkonversi

    komponen yang relatif tidak berbahaya menjadi lebih reaktif dan toksik.

    Peningkatan reaktivitas fase I secara fisiologis berfungsi memfasilitasi

    berlangsungnya fase II yang lebih efisien. Akan tetapi, pada kondisi tertentu di

    mana terjadi gangguan pada reaksi fase II seperti defisiensi glutation akibat nutrisi

  • 13

    yang inadekuat, aktivitas fase I yang terus berlangsung dapat memicu terjadiya

    kerusakan hati (Wenas 1996).

    Kelainan hati akibat obat menyebabkan perubahan aktivitas enzim seperti

    pertambahan aktivitas enzim, pengurangan aktivitas obat atau metabolitnya

    menjadi antigen. Beberapa kerusakan yang terdapat dalam hati antara lain

    perlemakan hati, nekrosis hati, dan kolestasis. Nekrosis biasanya merupakan

    kerusakan akut berupa manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis,

    karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan yang luar biasa (Wenas 1996).

    Salah satu contoh, asetaminofen merupakan hepatoksin yang berkerja melalui

    metabolit reaktifnya dan berkonjugasi dengan sulfat dan glutation. Bila dosis

    meningkat kadar glutation berkurang dan pengikatan kovalen zat kimia terhadap

    protein meningkat serta lipid dan menyebabkan nekrosis (Wenas 1996).

    Gangguan hati oleh karena obat bisa merupakan toksik langsung yang tergantung

    kepada dosis obat atau merupakan reaksi alergi yang tergantung pada masing-

    masing individu (Husadha 1996).

    E. Radikal Bebas

    1. Definisi dan sumber radikal bebas

    Radikal bebas adalah senyawa yang memiliki elektron yang tidak

    berpasangan sehingga bersifat tidak stabil dan sangat reaktif (Winarti 2010).

    Elektron yang tidak berpasangan sangat mudah bereaksi dengan zat lain (protein,

    lemak maupun DNA) karena selalu berusaha mencari pasangan baru. Tubuh

    manusia mengandung molekul oksigen yang stabil dan tidak stabil. Oksigen yang

    tidak stabil seperti radikal bebas diperlukan tubuh untuk memelihara kesehatan

    tetapi ada radikal bebas yang bersifat merusak dan sangat berbahaya. Fungsi

    radikal bebas adalah melawan radang, membunuh bakteri, mengatur otot polos

    dalam organ dan pembuluh darah. Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel

    melalui tiga cara yaitu kerusakan DNA, peroksidasi komponen lipid dari

    membran sel dan sitosol, dan memodifikasi protein teroksidasi (Kumar et al 2005).

    Radikal bebas bersifat reaktif dapat merusak makromolekul pembentuk sel, yaitu

    protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat sehingga dapat menyebabkan penyakit

  • 14

    degeneratif seperti kanker, infeksi, penyakit jantung koroner, rematik, penyakit

    respiratorik, katarak, liver, dan aging (Wijaya 1996; Meydani 2000).

    Radikal bebas membentuk senyawa oksigen reaktif (ROS) melalui jalur

    enzimatik atau metabolik. Proses perubahan dari asam arakidonat menjadi

    prostaglandin dan prostasiklin dipicu oleh enzim lipoksigenase dan siklooksigenase

    yang menghasilkan senyawa oksigen reaktif berupa peroksida dan epoksida, serta

    oksidase yang berbentuk aldehid oksidase dan selanjutnya akan membentuk radikal

    anion superoksida. Tipe radikal bebas turunan oksigen reaktif sangat signifikan dalam

    tubuh. Oksigen reaktif ini mencakup, hidroksil, peroksil, hidrogen peroksida, singlet

    oksigen, oksida nitrit, peroksinitrit, dan asam hipoklorit (Sayuti dan Yenrina 2015).

    Radikal bebas dapat mengambil elektron dari DNA sehingga

    menyebabkan perubahan struktur DNA dan timbullah sel-sel mutan. Jika mutasi

    terjadi berlangsung lama dapat menjadi kanker. Radikal bebas juga berperan

    dalam proses menua, di mana reaksi inisiasi radikal bebas di mitokondria

    menyebabkan diproduksinya Reactive Oxygen Species (ROS) yang bersifat reaktif

    (Sayuti dan Yenrina 2015).

    1.1 Sumber radikal bebas secara endogen dan eksogen. Radikal bebas

    endogen berasal dari proses metabolisme yang normal dalam tubuh manusia.

    Radikal endogen terbentuk dari sisa proses metabolisme protein, lemak, dan

    karbohidrat pada mitokondria, reaksi antara logam transisi dalam tubuh, proses

    inflamasi atau peradangan, fagosit, xantin oksidase, peroksisom, maupun kondisi

    iskemia. Proses metabolisme dapat menghasilkan lebih 90% oksigen dengan cara

    yaitu melalui berbagai proses di antaranya adalah sejumlah obat yang memiliki

    efek oksidasi pada sel dan menyebabkan produksi radikal bebas; proses oksidasi

    makanan dalam menghasilkan energi di mitokondria yang disebut dengan electron

    transport chain akan memproduksi radikal bebas superoxide anion; reaksi yang

    melibatkan besi dan logam lain; sel darah putih seperti neutrofil secara khusus

    memproduksi radikal bebas yang digunakan dalam pertahanan untuk

    menghancurkan patogen; olahraga dengan latihan yang lebih lama dan lebih

    intensif akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak. Walaupun oksigen penting

  • 15

    untuk memproduksi energi, akan tetapi terdapat juga oksigen yang akan

    membentuk radikal bebas (Sayuti dan Yenrina 2015).

    Radikal bebas eksogen dapat bersumber dari minuman, radiasi, ozon,

    polutan, berbagai macam makanan, obat-obatan, dan pestisida. Seorang perokok

    mempunyai risiko lebih tinggi mengidap berbagai penyakit akibat dari asap rokok

    yang mengandung radikal bebas. Begitu juga bagi yang bekerja dalam lingkungan

    bahan kimia yang bersifat volatil seperti bensin, cairan pembersih atau lingkungan

    yaitu udara yang terkontaminasi oleh asap kendaraan bermotor. Tempat

    diproduksi radikal bebas adalah di dalam sel oleh lisosom, peroksisom,

    mitokondria, endoplasmic reticulum, membran plasma, dan inti sel (Sayuti dan

    Yenrina 2015).

    2. Parasetamol sebagai penginduksi radikal bebas

    Parasetamol (asetaminofen) dalam dosis terapeutik normal umumnya

    dianggap sebagai salah satu minor analgesik yang paling aman. Walaupun harus

    diperhatikan bahwa kelebihan dosis parasetamol dapat mengakibatkan nekrosis

    hati pada manusia dan hewan lain. Setelah pemberian, parasetamol dieleminasi

    dari tubuh oleh proses-proses metabolisme orde satu yang nyata dan dalam jumlah

    kecil metabolit utamanya pada manusia adalah sebagai konjugat glukoronida dan

    konjugat sulfat (Gibson dan Skeet 1991).

    Jalur metabolisme utama parasetamol dosis terapetik yakni melalui

    glukoronidasi dan sulfasi di hati, dan hanya sedikit dari dosis yang dapat

    menghasilkan NAPQI (N-asetil-p-benzokuinon) yang berupa metabolit reaktif

    yang berasal dari jalur metabolisme oksidasi oleh sitokrom P450. NAPQI dalam

    jumlah tersebut dapat didetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutation (GSH)

    menjadi bentuk konjugat asam merkapturat yang tidak aktif dan tidak toksik.

    Parasetamol dalam dosis berlebihan, menyebabkan kejenuhan jalur sulfasi dan

    glukoronidasi sehingga terbentuk NAPQI dalam jumlah besar yang

    mengakibatkan deplesi GSH. Pada akhirnya NAPQI akan berikatan secara

    kovalen dengan makromolekul berupa protein, lipid, DNA. Berikatannya

    metabolit reaktif dengan lipid tidak jenuh menyebabkan peroksida lipid (Gibson

    dan Skeet 1991).

  • 16

    Gambar 2. Mekanisme biotransformasi parasetamol (Lee 1995).

    Membran subsel bersifat rentan oleh karena kaya akan lipid seperti itu.

    Perubahan kimia dalam membran dapat menyebabkan pecahnya membran itu.

    Peroksidase lipid mikrosom mungkin menyebabkan penekanan pada pompa Ca2+

    mikrosom yang mengakibatkan gangguan awal hemoestatis Ca2+

    sel hati dan

    keadaan ini dapat menyebabkan kematian sel. Potensial kerusakan diperantarai

    oleh berbagai jalur, seperti peningkatan bioaktifasi CCl4, pengurangan glutation

    hati dan peningkatan ketahanan organel subsel (Husadha 1996).

    Kelainan yang ditimbulkan parasetamol sebagai akibat dosis yang

    berlebihan. Dosis toksik parasetamol adalah 10-15 g (Wilmana dan Gunawan

    2007). Dosis toksik parasetamol yang dapat menyebabkan kerusakan hati adalah

    0,5-1 g/kg bb mencit (Depkes 1993). Bila seorang makan 7,5 g parasetamol

    sekaligus akan timbul kerusakan pada hati dan bila makan lebih dari 15 g

    sekaligus dapat menyebabkan nekrosis pada hati yang berat dan dapat

    menyebabkan kematian. Kadar dalam darah antara 4-10 jam setelah minum obat,

    yang mencapai 300 µg/ml atau lebih dapat menyebabkan kerusakan hati. Nekrosis

    terjadi di zona tiga sebagai lokasi sistem enzim sehingga akan mengubah

    asetaminofen menjadi metabolit yang aktif. Gambaran klinis yang ditemukan

  • 17

    setelah 4 jam atau lebih makan obat adalah timbul mual nyeri uluhati kadang-

    kadang muntah-muntah, setelah 48 jam kemudian timbul ikterus, kadar

    transminase sangat meningkat, dan pada keadaan yang berat yang menujukkan

    tanda-tanda nekrosis hati yang akut (Husadha 1996).

    F. Antioksidan

    1. Pengertian antioksidan

    Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron yang dapat menangkal

    atau merendam dampak negatif oksidan dengan cara menghambat aktivitas

    senyawa oksidan sehingga dapat menghambat proses oksidasi (Winarti 2010).

    Antioksidan dibutuhkan oleh tubuh untuk melindungi tubuh dari serangan radikal

    bebas. Aktivitas antioksidan dapat diperoleh melalui senyawa fenolik dengan

    mekasime pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam, pendonor

    elektron (Karadeniz et al 2005). Salah satu dari kelompok senyawa fenolik yang

    dapat menangkap radikal bebas adalah flavonoid (Amic et al 2003). Senyawa

    antioksidan memiliki proses penghambatan yang berbeda-beda tergantung dari

    struktur kimia dan variasi mekanisme. Senyawa fenol adalah antioksidan jenis

    penstabil hidroperoxida dengan mekanisme menonaktifkan radikal bebas lipid dan

    mencegah penguraian hidroperoxida menjadi radikal bebas (Gordon et al 2001).

    2. Antioksidan endogen dan antioksidan eksogen

    2.1 Antioksidan endogen. Misalnya enzim superoksida dismutase,

    katalase, dan glutation peroksidase.

    2.2 Antioksidan eksogen. Dibagi dalam 2 kelompok lagi yaitu

    antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan

    bilirubin. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat dan protein pengikat logam

    (Sayuti dan Yenrina 2015).

    3. Antioksidan berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya

    3.1 Antioksidan primer. Antioksidan primer bekerja untuk mencegah

    pembentukan senyawa radikal baru, yaitu mengubah radikal bebas yang ada

    menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa radikal

    bebas bereaksi. Antioksidan primer mengikuti mekanisme pemutusan rantai reaksi

  • 18

    radikal dengan mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang

    radikal, produk yang dihasilkan lebih stabil dari produk awal (Sayuti dan Yenrina

    2015).

    Antioksidan primer adalah antioksidan yang sifatnya sebagai pemutus

    reaksi berantai (chain-breaking antioxidant) yang bisa bereaksi dengan radikal-

    radikal lipid dan mengubahnya menjadi produk-produk yang lebih stabil. Suatu

    molekul dapat beraksi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom

    hidrogen secara cepat kepada radikal lipid dan radikal yang berasal dari

    antioksidan ini lebih stabil daripada radikal lipidnya, atau diubah menjadi produk-

    produk lain yang stabil. Contoh antioksidan primer adalah Superoksida Dismutase

    (SOD), Glutation Peroksidase (GPx), katalase, dan protein pengikat logam. SOD

    dan GPx disebut juga dengan antioksidan enzimatis yaitu antioksidan endogenus

    yang melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal

    bebas oksigen seperti anion superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida

    (Sayuti dan Yenrina 2015).

    3.2 Antioksidan sekunder. Antioksidan sekunder bekerja dengan cara

    mengkelat logam yang bertindak sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan

    mencegah terjadinya reaksi berantai. Antioksidan sekunder berperan sebagai

    pengikat ion-ion logam, penangkap oksigen, pengurai hidroperoksida menjadi

    senyawa nonradikal, penyerap radiasi UV atau deaktivasi singlet oksigen (Sayuti

    dan Yenrina 2015).

    Senyawa pengkelat logam yang membentuk ikatan-ikatan σ dengan logam

    sifatnya efektif sebagai antioksidan sekunder karena hanya senyawa ini menurunkan

    potensi redoks dan karenanya menstabilkan bentuk teroksidasi dari ion-ion logam.

    Asam sitrat, EDTA dan turunan asam fosfat adalah senyawa-senyawa pengkelat ion-

    ion logam. Pengkelat ion-ion logam ini sering disebut sinergis karena dapat

    meningkatkan aktivitas antioksidan fenolik. Contoh antioksidan sekunder adalah

    vitamin E, vitamin C, β-caroten, isoflavon, bilirubin dan albumin. Potensi antioksidan

    ini dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan

    cara menangkapnya (scavenger free radical) sehingga radikal bebas tidak beraksi

    dengan komponen seluler (Sayuti dan Yenrina 2015).

  • 19

    3.3 Antioksidan tersier. Antioksidan tersier bekerja memperbaiki

    kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier

    adalah enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfida reduktase

    (DepKes 2008).

    4. Antioksidan berdasarkan sumbernya

    4.1 Antioksidan sintetik. Antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis

    reaksi kimia. Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaannya

    secara luas di seluruh dunia untuk digunakan dalam makanan adalah Butylated

    Hidroxyanisol (BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT), Tert-Butylated

    Hidroxyquinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan

    antioksidan yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck

    1991).

    4.2 Antioksidan alami. Antioksidan hasil ekstraksi bahan alami.

    Beberapa contoh antioksidan alami adalah vitamin E, keratenoid, vitamin A,

    vitamin C, antosianin, dan selenium (Sayuti dan Yenrina 2015).

    5. Curcuma® produk antioksidan

    Curcuma® mengandung serbuk rhizoma curcuma 200 mg yang

    diindikasikan untuk membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara

    kesehatan (IAI 2014). Rhizoma curcumin (Curcuma xanthorriza) mengandung

    kurkumin yang memiliki potensi besar dalam perannya sebagai antioksidan.

    Selain memiliki aktivitas sebagai antioksidan kurkumin juga berfungsi sebagai

    antiinflamasi, antibakteri, antijamur, antihepatotoksik, antikolesterol, antikanker,

    dan imunomodulator yang dapat meningkatan daya tahan tubuh terhadap serangan

    penyakit. Kurkumin merupakan konstituen utama pada spesies kurkuma.

    Kurkumin dan turunannya merupakan zat aktif yang mempunyai aktivitas biologi

    berspektrum luas (Bintang dan Nataatmaja 2005).

    Kurkumin memiliki mekanisme antioksidan hampir sama dengan

    antosianin karena mempunyai gugus fenolik yang merupakan gugus penting

    sebagai antioksidan. Mekanisme antioksidan kurkumin mempunyai dua fungsi.

    Fungsi utamanya adalah pemberian atom hidrogen kepada radikal lipida atau

    mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan

  • 20

    tersebut lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipida. Fungsi kedua yaitu

    memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme

    pemutusan rantai autooksidasi dengan perubahan radikal ke bentuk lebih stabil

    (Limantara dan Rahayu 2008).

    Kurkumin lebih aktif sebagai antioksidan dibandingkan dengan vitamin E

    dan beta karoten. Hal ini karena struktur kurkumin yang mempunyai gugus

    penting sebagai antioksidan. Struktur kurkumin terdiri atas fenolik dan gugus β

    diketon. Gugus hidroksi fenolik berfungsi sebagai penangkap radikal bebas pada

    fase pertama mekanisme antioksidan. Pada struktur senyawa kurkumin terdapat

    dua gugus fenolik sehingga satu molekul kurkumin dapat menangkal dua radikal

    bebas. Gugus β diketon berfungsi sebagai penangkap radikal pada fase berikutnya

    (Rao 1995).

    Penelitian ini menggunakan serbuk rhizoma cucuma sebagai kontrol

    positif. Jenis serbuk rhizoma curcuma yang digunakan berupa sediaan obat

    produksi industri Soho yaitu Curcuma® yang mengandung zat aktif kurkumin dan

    minyak atsiri. Bentuk sediaan tablet Curcuma® 200 mg dengan aturan pemakaian

    1-3 kali sehari 1 tablet untuk dewasa.

    G. Malondialdehid (MDA)

    1. Pengertian MDA

    MDA banyak digunakan sebagai indikator terhadap adanya kerusakan

    akibat radikal bebas dan dapat ditentukan secara spesifik maupun nonspesifik

    dalam suatu pengukuran menggunakan asam tiobarbiturat. MDA merupakan

    produk peroksidasi lipid berupa metabolit komponen dari hasil produk oksidasi

    asam lemak tidak jenuh dan radikal bebas pada membran sel. Status antioksidan

    yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA dan kadar MDA yang

    tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Efek negatif

    senyawa radikal dapat diatasi oleh antioksidan, baik berupa zat gizi seperti

    vitamin A, C, E, dan albumin, maupun antioksidan nongizi seperti flavonoid dan

    gingerol. Tinggi rendahnya kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan

    dalam tubuh seseorang (Winarsi 2007). MDA adalah senyawa dialdehid yang

  • 21

    merupakan produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki

    tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2 (Winarsi 2007).

    Gambar 3. Malondialdehid.

    Malondialdehid (MDA) dapat diukur dengan metode pengukuran TBARS

    (Thiobarbituric Acid Reactive Subtance) menggunakan spektrofotometer atau

    spektrofluorometer. Metode pengukuran TBARS ini mempunyai spesifisitas

    rendah namun efisiensi tinggi dengan cara pengukuran yang sederhana dan

    bermanfaat. Metode tersebut merupakan metode pengukuran kolorimetrik yang

    banyak digunakan untuk mendeteksi peroksidasi lipid pada sampel biologi.

    Prinsipnya adalah TBA akan bereaksi dengan gugus karbonil dari MDA, yaitu

    satu molekul MDA akan berikatan dengan dua molekul TBA sehingga

    membentuk senyawa kompleks berwarna merah. Reaksi tersebut dihitung

    absorbansinya menggunakan fluorometer atau spektrofotometer dengan panjang

    gelombang 532 nm (Jetawattana 2005). Cara penyimpanan sampel MDA harus

    terlindung dari cahaya karena tidak stabil dan bila tidak segera diperiksa harus

    disimpan pada suhu -70˚C, penyimpanan -20˚C tidak memadai (Taylor dan

    Vincent 2006).

    Gambar 4. Reaksi malondialdehid dan TBA.

    Keunggulan pemeriksaan MDA dibandingkan dengan produk peroksidasi

    lipid yang lain adalah signifikan akurat, stabil daripada senyawa lainnya dan

    sangat cocok sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan yaitu

    pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat

    diukur secara akurat dengan berbagai metode yang telah tersedia, bersifat stabil

    dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, pengukurannya tidak dipengaruhi oleh

  • 22

    variasi diurnal dan kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari

    peroksidasi lemak dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua

    jaringan tubuh dan cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan

    referensi interval (Swastika 2013).

    Nilai normal MDA tergantung metode yang digunakan, metode

    kolorimetri memiliki nilai normal tidak lebih dari 4 µmol/l, metode fluorometri

    dengan kadar normal hinggga 2,5 µmol/l, dan metode HPLC (High Performance

    Liqiud Chromatography) dengan kadar 0,6-1 µmol/l (Siswonoto 2008). Metode

    spektrofotometer dapat menunjukkan kadar MDA plasma secara spesifik kadar

    MDA total dan memberikan hasil yang serupa kadar MDA yang didapat

    menggunakan metode HPLC, dengan koefisien variasi 1,2-3,4%. Kadar MDA

    dengan metode spektrofotometer 1,04±0,43 µmol/l (Asni et al 2009).

    2. Pengukuran kadar MDA

    2.1 Tes thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS). Dasar

    pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometer sederhana, di mana satu molekul

    MDA akan terpecah menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan

    pada pH 2-3. TBA akan memberikan warna pink-kromogen yang dapat diperiksa

    secara spektrofotometer. Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk

    karena proses peroksidasi lipid juga mengukur produk aldehid lainnya termasuk

    produk nonvolatil yang terjadi akibat panas yang ditimbulkan pada saat

    pengukuran kadar MDA serum yang sebenarnya. Kadar MDA dapat diperiksa

    baik di plasma, jaringan maupun urin (Reilly et al 1991; Konig et al 2002).

    Beberapa metode pengukuran TBA adalah sebagai berikut :

    2.1.1 Pengukuran reaksi TBA dengan metode kolorimetri. Pengukuran

    reaksi TBA dengan metode kolorimetri dengan spektrofotometer merupakan

    kadar MDA yang paling sering dilakukan. Metode yang digunakan adalah metode

    Yagi. Metode ini mudah dilakukan akan tetapi bersifat tidak spesifik oleh karena

    mengukur produk aldehid lainnya (Reilly et al 1991; Konig et al 2002; Dalle-

    Donne et al 2006).

    2.1.2 Pengukuran reaksi TBA dengan metode fluorosens. Metode ini

    memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode kolorimetri oleh karena tidak

  • 23

    terganggu oleh beberapa substansi produk reaksi TBA yang larut air. Pemeriksaan

    dilakukan dengan metode spektrofluorometri (Reilly et al 1991; Konig et al 2002;

    Dalle-Donne et al 2006).

    2.1.3 Pengukuran MDA-TBA dengan HPLC (High Performance

    Liqiud Chromatography). Metode ini secara spesifik dapat mengukur kompleks

    MDA-TBA sehingga pengukuran kadar MDA lebih akurat. Namun demikian

    metode ini membutuhkan kondisi asam dengan suhu tinggi sehingga tetap ada

    kemungkinan terbentuknya MDA yang bukan karena peroksidasi lipid (Reilly et

    al 1991; Konig et al 2002; Dalle-Donne et al 2006).

    2.2 Pengukuran kadar MDA serum bebas dengan metode HPLC

    (High Performance Liqiud Chromatography). Merupakan metode pengukuran

    kadar MDA serum yang paling sensitif dan spesifik. MDA bukan produk yang

    spesifik dari proses peroksidasi lipid sehingga dapat menimbulkan positif palsu

    yang berakibat nilai duga positif yang rendah, dan telah dilaporkan dapat

    meningkatkan spesifisitas pada pemeriksaan kadar MDA serum (Konig et al

    2002; Dalle-Donne et al 2006).

    2.3 Pengukuran kadar MDA dengan ELISA kompetitif. Prinsipnya

    adalah pada alat yaitu microtiter plate atau sumuran sudah dilapisi dengan MDA.

    Ketika diberi sampel dan reagen antibodi dalam jumlah yang sama, maka MDA

    sampel akan berikatan secara spesifik dengan antibodi. Sedangkan yang tidak

    berikatan akan terbuang saat pencucian. Setelah itu diberikan reagen HRP

    (Horseradish Peroxidase) dan reagen substrat yaitu TMB (Tetramethylbenzidine)

    sehingga berubah warna menjadi biru. Warna biru ini akan berubah menjadi

    kuning dengan diberikan reagen stop yaitu larutan asam sulfur yang fungsinya

    menghentikan reaksi. Hasil absorbansinya dibaca dengan ELISA plate readers

    pada panjang gelombang 450 nm.

  • 24

    H. Hewan Percobaan

    1. Sistematika tikus putih

    Sistematika tikus menurut Depkes (2009), sebagai berikut :

    Dunia : Animalia

    Filum : Chordata

    Sub Filum : Vertebrata

    Classis : Mamalia

    Sub Classis : Plasentalia

    Orde : Rodentia

    Familia : Murindae

    Genus : Rattus

    2. Karakteristik utama tikus putih

    Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Jika

    dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di

    laboraturium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit tetapi

    tikus dapat berbiak sebaik mencit. Berat badan tikus laboratorium pada umur

    empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi

    bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 g tetapi

    tikus betina jarang lebih dari 350 g. Galur sparague-Dawley paling besar, hampir

    sebesar tikus liar. Ada beberapa galur tidak berhenti tumbuh selama hidupnya.

    Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu bahwa

    tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat

    esofagus bermuara ke dalam lambung, dan tikus tidak mempunyai kandung

    empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

    I. Landasan Teori

    Bawang dayak mengandung beberapa senyawa kimia seperti alkaloid,

    flavonoid, glikosida, saponin, tanin, triterpenoid/steroid, dan antrakinon glikosida

    (Banjarnahor 2010). Kekuatan aktivitas antioksidan dari flavonoid bergantung

    pada jumlah dan posisi dari gugus -OH yang terdapat pada molekul. Semakin

    banyak gugus -OH pada flavonoid, maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi

  • 25

    (Amic et al 2003). Ekstrak bawang dayak memiliki aktivitas antioksidan yang

    sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 32,77 ppm dengan pelarut etanol 96%

    (Windari 2017). Ekstrak etanol dalam umbi bawang dayak menunjukkan total

    fenol 217,71 mg GAE/g dan total flavonoid 63,35 mg QE/g (Febrinda et al 2013).

    Senyawa flavonoid yang terkandung dalam umbi bawang dayak adalah golongan

    flavon (Napitupulu 2011).

    Antioksidan menghambat proses oksidasi dengan cara memberikan

    elektron kepada radikal bebas yang dapat meredam dampak negatif dan

    menghambat aktivitasnya (Winarti 2010). Flavonoid merupakan sumber

    antioksidan eksogen yang larut dalam lemak (Sayuti dan Yenrina 2015). Radikal

    bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki elektron yang tidak

    berpasangan sehingga berusaha bereaksi dengan zat lain seperti protein, lemak

    maupun DNA (Winarti 2010). Sebagian radikal bebas diperlukan oleh tubuh

    untuk memelihara kesehatan tetapi dapat menjadi sangat berbahaya jika

    berlebihan. Radikal bebas bersifat reaktif dapat merusak makromolekul

    pembentuk sel, yaitu protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat sehingga

    dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker, infeksi, penyakit jantung

    koroner, rematik, penyakit respiratorik, katarak, liver, dan aging (Wijaya 1996;

    Meydani 2000). Sejumlah obat yang memiliki efek oksidasi pada sel dan

    menyebabkan produksi radikal bebas melalui proses metabolisme (Langseth

    1995).

    Salah satu obat yang memproduksi radikal bebas adalah parasetamol.

    Umumnya parasetamol dalam dosis terapi dianggap aman untuk analgesik dan

    antipiretik. Parasetamol dalam dosis berlebih dapat menjadi metabolit reaktif yang

    dapat merusak hati. Pemberian dosis toksik parasetamol menghasilkan NAPQI

    (N-asetil-p-benzokuinon) yang berlebih dan tidak mampu diatasi oleh glutation.

    NAPQI berikatan secara kovalen dengan makromolekul berupa protein, lipid, dan

    DNA. Berikatannya metabolit reaktif dengan lipid tidak jenuh menyebabkan

    peroksida lipid. (Gibson dan Skeet 1991). Parasetamol menghasilkan senyawa

    reaktif melalui jalur metabolisme oksidasi oleh sitokrom P450 (Wenas 1996).

    Dosis parasetamol yang menimbulkan hepatoksisitas adalah 10-15 g (Wilmana

  • 26

    dan Gunawan 2007). Dosis toksik parasetamol yang dapat menyebabkan

    kerusakan hati pada hewan uji adalah 0,5-1 g/kg bb mencit (Depkes 1993).

    Malondialdehid (MDA) digunakan sebagai indikator terhadap adanya

    radikal bebas karena MDA merupakan produk dari peroksida lipid akibat oksidasi

    asam lemak tidak jenuh dan radikal bebas pada membran sel (Winarsi 2007).

    Kadar MDA mengalami peningkatan ketika diberikan dosis toksik parasetamol

    2,5 g/kg bb tikus (Fahlevi 2015). Tingginya kadar MDA menunjukkan adanya

    proses oksidasi dalam membran sel (Winarsi 2007). MDA diukur dengan metode

    pengukuran TBARS menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang

    532 nm (Jetawattana 2005). Pemeriksaan kadar MDA lebih akurat dan stabil

    daripada senyawa lain (Swastika 2013). Ekstrak umbi bawang dayak dengan dosis

    250-500 mg/kg bb mampu secara signifikan menurunkan kadar malondialdehid,

    penghambatan ulser dan meningkatkan indeks ulkus, aktivitas superoksida pada

    tikus wistar jantan yang diinduksi etanol (Windari 2017).

    Pengujian toksisitas akut dan subakut pada pemberian ekstrak etanol

    bawang tiwai atau bawang dayak pada dosis 5,2 mg/20 g bb dapat dikatakan

    relatif aman karena tidak menunjukkan kematian hewan uji (mencit) sebanyak

    50% dengan jumlah kematian hewan uji sebanyak 2 ekor pada jam ke-72 (Ureeqa

    2013). Ekstrak etanol daun bawang dayak dosis 90 mg/kg bb dan 180 mg/kg bb

    mampu menurunkan kadar malondialdehid pada tikus pasca paparan asap rokok

    (Andiriyani et al 2014). Ekstrak umbi bawang dayak dapat menghambat

    peningkatan kadar AST dan ALT dengan variasi dosis 40,5 mg/kg bb 81 mg/kg

    bb, 121,5 mg/kg bb tikus yang diinduksi isoniazid dan rifampisin (Wulandari

    2016).

    Proses ekstraksi umbi bawang dayak menggunakan metode maserasi

    karena umbi bawang dayak tidak tahan terhadap pemanasan (Nur dan Astawan

    2011). Penyarian simplisia dilakukan dengan merendam simplisia yang telah

    dikeringkan dan diserbuk dengan pelarut etanol 96% dalam temperatur kamar

    dengan beberapa kali pengadukan (Agoes 2007). Pelarut etanol 96% digunakan

    karena bersifat universal dan etanol memiliki dua gugus yang berbeda

    kepolarannya yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang

  • 27

    bersifat nonpolar, adanya dua gugus ini diharapkan senyawa dengan tingkat

    kepolaran yang berbeda akan terekstrak ke dalam etanol (Depkes 1986). Pelarut

    etanol akan menyari senyawa aktif dalam ekstrak simplisia dengan nilai kapasitas

    antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan pelarut heksan, metanol, dan air

    (Nur dan Astawan 2011).

    J. Hipotesis

    Berdasarkan permasalahan yang ada dalam penelitian ini dapat disusun

    hipotesa sebagai berikut :

    Pertama, pemberian ekstrak etanol umbi bawang dayak (Eleutherine

    palmifolia (L) Merr.) berpengaruh dalam menurunkan kadar MDA pada hati tikus

    yang diinduksi parasetamol.

    Kedua, dosis ekstrak etanol umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia

    (L) Merr.) 40,5; 81; 162 mg/kg bb efektif berpengaruh terhadap penurunan kadar

    MDA pada hati tikus yang diinduksi parasetamol.

  • 28

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Populasi dan Sampel

    Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman bawang

    dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) yang diperoleh dari Samarinda,

    Kalimantan Timur.

    Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bawang dayak

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) yang masih segar dan tidak busuk.

    B. Variabel Penelitian

    1. Identifikasi variabel utama

    Variabel utama dalam penelitian ini adalah ekstrak umbi bawang dayak

    (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) yang diperoleh dari hasil remaserasi dengan

    pelarut etanol 96%.

    2. Klasifikasi variabel utama

    Variabel utama memuat identifikasi dari semua yang diteliti langsung.

    Variabel utama yang telah diidentifikasi terlebih dahulu dapat diklasifikasikan

    dalam berbagai macam variabel yaitu variabel bebas, variabel tergantung, dan

    variabel terkendali.

    Variabel bebas adalah variabel yang sengaja diubah-ubah untuk dipelajari

    pengaruhnya terhadap variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini

    adalah dosis ekstrak umbi bawang dayak dengan berbagai variasi dosis.

    Variabel tergantung adalah variabel akibat dari variabel utama. Variabel

    tergantung dalam penelitian ini adalah kadar malondialdehid (MDA) pada hati

    hewan uji setelah perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol bawang dayak.

    Variabel terkendali adalah variabel yang mempengaruhi variabel

    tergantung sehingga perlu dinetralisir atau ditetapkan kualifikasinya agar hasil

    yang didapatkan tidak tersebar dan dapat diulang oleh peneliti lain secara tepat.

    Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah peneliti, kondisi fisik hewan uji

    yang meliputi berat badan, usia, jenis kelamin, galur, dan kondisi laboratorium.

  • 29

    3. Definisi operasional variabel utama

    Pertama, umbi bawang dayak adalah umbi dari tanaman bawang dayak

    yang segar dan tidak rusak yang diperoleh dari Samarinda, Kalimantan Timur.

    Kedua, ekstrak umbi bawang dayak adalah ekstrak kental yang dihasilkan

    dari metode ekstraksi berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia berupa remaserasi

    dengan 10 bagian pelarut etanol 96% selama 2 hari, kemudian hari ke-3 dengan 5

    bagian pelarut etanol 96%.

    Ketiga, dosis ekstrak umbi bawang dayak adalah berbagai variasi dosis

    ekstrak umbi bawang dayak 40,5 mg/kg bb, 81 mg/kg bb, 162 mg/kg bb tikus

    yang diberikan pada hewan uji.

    Keempat, parasetamol adalah obat yang digunakan untuk menginduksi

    terjadinya radikal bebas akibat pemberian dosis berlebih 2,5 g/kg bb tikus selama

    1 hari.

    Kelima, kadar MDA adalah kadar MDA yang ditetapkan dari data

    supernatan hati dengan metode TBARS.

    C. Bahan, Alat, dan Hewan Uji

    1. Bahan

    1.1 Bahan sampel. Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) yang diperoleh dari

    Samarinda, Kalimantan Timur.

    1.2 Bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah etanol 96% sebagai cairan penyari. Uji farmakologi yang digunakan

    induksi parasetamol, Curcuma®, CMC 0,5%, larutan fisiologis (NaCl 0,9%),

    aquadest, trichloroacetic acic (TCA) 50%, HCl 1N, Na-Thio TBA 0,67%, 1,1,3,3-

    tetraetoksipropana (TEP) 99%.

    2. Alat

    Alat untuk membuat simplisia seperti pisau dan blender. Alat untuk

    maserasi antara lain, gelas ukur, corong kaca, gelas beker, kain flanel, dan botol

    berwarna gelap, timbangan tikus, jarum suntik, neraca analitik, dan alat-alat gelas.

  • 30

    Alat untuk pengujian MDA antara lain, sentrifugase eppendrof, mikropipet,

    waterbath, ice bath, homogenizer, dan spektrofotometer sp-300.

    3. Hewan uji

    Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur

    wistar dengan jenis kelamin jantan, umur 2-3 bulan dengan berat badan rata-rata

    150-200 g. Semua tikus mendapat diet dan ukuran kandang yang sesuai

    temperatur 30±10oC. Penerangan diatur dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam

    gelap. Selama penelitian kebutuhan makanan dan minuman harus selalu terkontrol

    agar mencegah kematian tikus. Besarnya jumlah sampel tikus yang akan

    digunakan ditentukan dengan rumus frederer (Supranto 2000) :

    (t)(n-1) ≥ 15

    Dengan (t) adalah jumlah kelompok perlakuan, dan (n) adalah jumlah ulangan

    pada masing-masing kelompok.

    (t)(n-1) ≥ 15

    (6)(n-1) ≥ 15

    6n - 6 ≥ 15

    6n ≥ 21

    n ≥ 3,5

    n ≥ 4

    Dari perhitungan di atas, dibutuhkan jumlah sampel minimal sebanyak 4

    ekor tikus untuk tiap kelompok. Karena pada penelitian ini menggunakan 6

    perlakuan, maka jumlah sampel seluruhnya adalah 24. Sampel ditambah 25%

    untuk menjaga kemungkinan drop out sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah

    30.

    D. Jalannya Penelitian

    1. Determinasi bawang dayak

    Determinasi tanaman dilakukan untuk menetapkan kebenaran sampel

    tanaman berkaitan dengan ciri-ciri mikroskopis dan makroskopis, serta ciri-ciri

    morfologis yang ada pada tanaman