pengaruh parenting style loneliness self regulation,...
TRANSCRIPT
PENGARUH PARENTING STYLE, LONELINESS, SELF-
REGULATION, FEAR OF MISSING OUT DAN KONFORMITAS
TERHADAP SMARTPHONE ADDICTION PADA REMAJA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Disusun Oleh :
Revina Citra Aditya
1113070000028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
v
-MOTTO –
“Remember that the happiest people are not those getting
more, but those giving more”
-H.Jackson Brown Jr-
If you are not willing to risk the usual, you will have
to settle for the ordinary
-Jim Rhon-
vi
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Oktober 2019
C) Revina Citra Aditya
D) Pengaruh Parenting Style, Loneliness, Self-Regulation, Fear of Missing Out
dan Konformitas terhadap Smartphone Addiction pada Remaja.
E) xiv + 99 halaman + lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parenting style
(permissive, authoritarian, authoritative), loneliness (kesepian sosial,
kesepian emosional), self-regulation, fear of missing out dan konformitas
terhadap smartphone addiction pada remaja. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 250 remaja pengguna smartphone di Jabodetabek yang berusia
antara 15-21 tahun, diambil dengan menggunakan teknik non-probability
sampling dengan metode accidental sampling. Alat ukur yang digunakan
dalam penelitian ini diantaranya Smartphone Addiction Scale dari Kwon, dkk
(2013), Parental Authority Questionnaire oleh Buri (1991), Loneliness Scale
oleh Gierveld (2006), Self-Regulatoion Scale oleh Schwarzer, dkk (2006)
dam Fear of Missing Out Scale oleh Przybylski, dkk (2013). Data yang
didapatkan dalam penelitian ini dianalisa menggunakan regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari
parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan
konformitas terhadap smartphone addiction pada remaja. Hasil uji hipotesis
membuktikan variable parenting style, konformitas dan kesepian emosional
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addcition. 16.3%,
dengan variable kontribusi yang signifikan yaitu permissive, authoritarian,
authoritative. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 16.3% smartphone
addiction dipengaruhi oleh parenting style, loneliness, self-regulation, fear
of missing out dan konformitas, sedangkan 83.7% dipengaruhi variable lain
di luar penelitian ini.
G) Bahan bacaan: 85; buku: 14 + Jurnal: 61 + Artikel: 6 + Skripsi : 4
vii
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology
B) October 2019
C) Revina Citra Aditya
D) Effect of Parenting Style, Loneliness, Self-Regulation, Fear of Missing Out,
and Conformity to Smartphone Addiction on Adolescents.
E) xvi + 99 pages + attachments
The aims of this research is to determine the effect of parenting style
(permissive, authoritarian, authoritative), loneliness (social loneliness,
emotional loneliness), self-regulation, fear of missing out and conformity to
smartphone addiction on adolescents. Sample of this research is 250
adolescents smartphone users in Greater Jakarta (Jabodetabek) aged between
15-21, which taken by non-probability sampling techniques with accidental
sampling method. This research used measuring instruments i.e. Smartphone
Addiction Scale by Kwon, et. al (2013), Parental Authority Questionnaire by
Buri (1991), Loneliness Scale by Gierveld (2006), Self-Regulatoion Scale by
Schwarzer, dkk (2006) and Przybylski, dkk (2013). Data on this research
were alayzed by using multiple regression.
The results showed that there was a significant effect of parenting style,
loneliness, self-regulation, fear of missing out and conformity to smartphone
addiction on adolescents. Hypothesis test results of the independent variable
of parenting styles, conformity, and emotional loneliness has a significant
effect on smartphone addiction. The results of this study showed that 16.3%
of smartphone addiction influenced by parenting style loneliness, self-
regulation, fear of missing out and conformity while 83,7% is influenced by
other variables outside of this research.
F) Reading materials: 85; Books: 14 + Journals: 61 + Articles: 6 + Thesis : 4
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT karena atas segala kuasa dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pengaruh Parenting Style, Loneliness, Self-Regulation, Fear
of Missing Out dan Konformitas terhadap Smartphone Addiction pada Remaja.”.
Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW, serta
pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum bisa
dikatakan sempurna, karena keterbatasan penulis dalam hal pengalaman,
pengetahuan, dan kemampuan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak agar memiliki kesadaran dalam menggunakan data
pribadi, khususnya bagi remaja. Skripsi ini tidak lepas juga dari bantuan berbagai
pihak yang memberikan bimbingan, saran, dan motivasi. Oleh karena itu
perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga
kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Zahrotun
Nihayah, M.Si beserta seluruh wakil dekan dan jajaran dekanat lainnya yang
tiada hentinya berusaha menciptakan lulusan-lulusan psikologi yang semakin
berkualitas.
2. Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktu, memberikan motivasi, kritik, saran, arahan secara
ix
terus menerus, dan tentunya kesabaran yang luar biasa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Bahrul Hayat, Ph. D. dan Ilmi Amalia, M. Psi. selaku penguji yang telah
memberikan saran dan perbaikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi
4. Dr. Natris Idriyani M,Si selaku dosen pembimbing akademik yang terus
memberikan motivasi, bimbingan, dan saran terkait kegiatan akademik dan
non akademik.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
staff dan jajarannya, yang selalu memberikan yang terbaik untuk penulis.
6. Seluruh responden penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk berpartisipassi dalam penelitian ini
7. Bapak Tjatur Supiantoro (Ayah), Ibu Nurjanah (Bunda), Ibu Sulastri (nenek),
Ibu Sulistiani (Tante) dan Arianda Fauzan (Adik) yang tak henti-hentinya
memberikan doa dan kasih sayangnya kepada penulis.
8. Achmad Afrizal Fauzan yang selalu menyempatkan waktu berdiskusi dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Para sahabat penulis Annisa Azhima, Fathya Firlianda, Amalia Muslimah dan
Kak Labib yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman seperjuangan kubu cordova Nurul Noverri, Imam Fachdrian, Teza
Auliannisa dan Ulfa Sepriliatika.
11. Keluarga besar Psikologi UIN Syarif Hidayatullah 2013 atas
kebersamaannya.
x
Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai
balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang diberikan. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu,
penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan mafaat
kepada pembaca.
Jakarta, 15 Oktober 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iv
MOTTO ................................................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB 1: PENDAHULUAN ............................................................................. 1-12
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................... 8-10
1.2.1 Pembatasan Masalah .............................................................................. 8
1.2.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 10-11
1.4.1 Manfaat Teoritis................................................................................... 11
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................................... 11
1.5 Sistematika Penulisan................................................................................... 11
BAB 2: LANDASAN TEORI ...................................................................... ..13-47
2.1 Smartphone Addiction ............................................................................ 13-21
2.1.1 Definisi Smartphone Addiction............................................................ 13
2.1.2 Karakteristik Smartphone Addiction.................................................... 14
2.1.3 Penyebab Smartphone Addiction ......................................................... 17
2.1.4 Pengukuran Smartphone Addiction .................................................... 20
2.2 Parenting Style........................................................................................ 22-28
2.2.1 Definisi Parenting Style ....................................................................... 22
2.2.2 Jenis-jenis Parenting Style ................................................................... 23
2.2.3 Aspek-aspek Parenting Style ............................................................... 25
2.2.4. Pengukuran Parenting Style ............................................................... 27
2.3 Loneliness ............................................................................................... 28-32
2.3.1 Definisi Loneliness .............................................................................. 28
2.3.2 Dimensi-dimensi Loneliness ................................................................ 29
2.3.3 Pengukuran Loneliness ........................................................................ 31
2.4 Self-Regulation ....................................................................................... 32-34
2.4.1 Definisi Self-Regulation ...................................................................... 32
2.4.2 Pengukuran Self-Regulation ................................................................ 33
2.5 Fear of Missing Out (FOMO) ................................................................. 34-38
xii
2.5.1 Definisi Fear of Missing Out (FOMO) ................................................ 34
2.5.2 Aspek-Aspek Fear of Missing Out (FOMO) ...................................... 35
2.5.3 Pengukuran Fear of Missing Out (FOMO) ........................................ 37
2.6 Konformitas .......................................................................................... 38-40
2.6.1 Definisi Konformitas ........................................................................... 38
2.6.2 Aspek-Aspek Konformitas .................................................................. 39
2.6.3 Pengukuran Konformitas ..................................................................... 40
2.7 Kerangka Berpikir ........................................................................................ 40
2.8 Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 46
BAB 3: METODE PENELITIAN................................................................ 48-71
3.1 Populasi dan Sampel ..................................................................................... 48
3.2 Variabel Penelitian.................................................................................. 49-51
3.2.1 Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... 49
3.2.2 Definisi Operasional Variabel ............................................................. 49
3.3 Instrumen Pengumpulan Data................................................................. 51-56
3.3.1 Smartphone Addiction ......................................................................... 51
3.3.2 Parenting Style..................................................................................... 52
3.3.3 Loneliness ............................................................................................ 53
3.3.4 Self-Regulation .................................................................................... 54
3.3.5 Fear of Missing Out (FOMO) ............................................................. 55
3.3.6. Konformitas ........................................................................................ 55
3.4 Uji Validitas Konstruk ........................................................................... 56-71
3.4.1 Uji Validitas Konstruk Smartphone Addiction .................................... 58
3.4.2 Uji Validitas Konstruk Permissive Parenting Style............................. 60
3.4.3 Uji Validitas Konstruk Authoritarian Parenting Style ........................ 61
3.4.4 Uji Validitas Konstruk Authoritative Parenting Style ......................... 61
3.4.5 Uji Validitas Konstruk Kesepian Sosial .............................................. 62
3.4.5 Uji Validitas Konstruk Kesepian Emosional ....................................... 63
3.4.4 Uji Validitas Konstruk Self-Regulation ............................................... 64
3.4.5 Uji Validitas Konstruk Fear of Missing Out (FOMO) ........................ 65
3.4.6 Uji Validitas Konstruk Konformitas .................................................... 66
3.5 Metode Analisis Data .................................................................................. 67
3.6 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 70
BAB 4: HASIL PENELITIAN ..................................................................... 72-85
4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian ...................................................... 72
4.2 Analisis Deskriptif ........................................................................................ 74
4.3 Pengujian Hipotesis ................................................................................. 77-84
4.3.1 Uji Hipotesis Mayor ............................................................................ 78
4.3.2 Uji Proporsi Varians ............................................................................ 83
BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................... 86-92
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 86
5.2 Diskusi .......................................................................................................... 87
5.3 Saran ....................................................................................................... 91-92
xiii
5.3.1 Saran Teoritis ............................................................................ …….91
5.3.2 Saran Praktis ....................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 93-99
LAMPIRAN ................................................................................................ 100-117
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Nilai dari Skala Variabel ...................................................................... 51
Tabel 3.2 Blue Print Smartphone Addiction Scale (SAS-SV) ............................. 52
Tabel 3.3 Blue Print Parental Authority Questionnaire (PAQ) .......................... 53
Tabel 3.4 Blue Print Loneliness Scale ................................................................ 54
Tabel 3.5 Blue Print Self-Regulation Scale (SRS) ............................................... 54
Tabel 3.6 Blue Print FoMO Scale ....................................................................... 55
Tabel 3.7 Blue Print Skala Konformitas .............................................................. 56
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Variabel Smartphone Addiction .......................... 59
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Variabel Permissive Style.................................... 60
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Variabel Authoritarian Style ............................... 61
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Variabel Authoritative Style ................................ 62
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Variabel Kesepian Sosial .................................... 63
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Variabel Kesepian Emosional ............................. 64
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Variabel Self-Regulation ..................................... 65
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Variabel Fear of Missing Out ............................. 66
Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Variabel Konformitas .......................................... 67
Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian ......................................................... 72
Tabel 4.2 Distribusi Skor ..................................................................................... 74
Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi ............................................................................. 75
Tabel 4.4 Kategorisasi Variabel Penelitian .......................................................... 76
Tabel 4.5 Model Summary ................................................................................... 78
Tabel 4.6 Tabel Anova ......................................................................................... 78
Tabel 4.7 Tabel Coefficient.................................................................................. 80
Tabel 4.8 Proporsi Varians ................................................................................... 84
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir .............................................................................. 46
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Concent ............................................................................. 101
Lampiran 2 Kuesioener Penelitian ...................................................................... 102
Lampiran 3 Output Hasil Uji Validitas CFA ....................................................... 109
Lampiran 4 Output Hasil Analisis Regresi ........................................................ 114
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kita berada di zaman dimana ponsel dan teknologi lainnya telah memenuhi
populasi. Teknologi komunikasi telah mengubah cara kita hidup dan telah menjadi
kebutuhan dalam hidup kita. Dengan adanya smartphone memungkinkan miliaran
orang diluar sana untuk bisa terhubung kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja.
Smartphone bukan lagi gadget komunikasi yang canggih, tetapi merupakan bagian
integral dari jaringan komunikasi individu, karena portabilitas dan aplikasinya yang
memungkinkan akses ke alat komunikasi lainnya (Chaudhry, 2015). Disamping itu
smartphone juga menawarkan fungsi operasioanal seperti komputer, memiliki
varian dan keunggulan dalam sistem operasional dimulai dari manajemen informasi
seperti kalender, kalkulator, notepad hingga pengaksesan internet, mengirim dan
menerima email serta sebagai pemutar media portable diikuti oleh foto dan video
(Gary dan Misty, 2011).
Survei mengungkapkan perkembangan penggunaan smartphone naik
44,6% di 47 negara, dan jumlah ini dinilai bertambah dengan cepat (International
Data Corporation, 2013). Statistik menunjukkan bahwa pengguna smartphone
terbanyak adalah usia 18-24 tahun yaitu sebesar 80 % dari semua usia pengguna
(Deloitte, 2014). Statistik tersebut didukung berdasarkan sebuah survei yang
dilakukan oleh Taylor Nelson Sofrens (TNS) di Indonesia, yaitu sebesar 39 %
pengguna smartphone di Indonesia dikuasai oleh kalangan remaja berusia 16
2
hingga 21 tahun. Survei tersebut menggambarkan bahwa pelaku yang paling pesat
beradaptasi dengan teknologi berkomunikasi adalah remaja (Perdana, 2013).
Irfan (dalam Rezi, 2016) menyatakan bahwa motif remaja dalam
menggunakan smartphone cukup beragam, antara lain karena kecanggihan fitur,
akses internet yang cepat, kemudahan dalam mengakses sosial media, sarana
hiburan dan membantu dalam mengerjakan tugas sekolah. Dengan berbagai macam
fasilitas yang ditawarkan smartphone hal ini menimbulkan masalah baru yang bisa
disebut sebagai smartphone addiction. Dengan berbagai fasilitas tersebut
terkadang membuat seseorang terlena dengan kegunaan smartphone, sehingga
menimbulkan dampak yang kurang baik dalam kehidupan sehari-hari. Menarik diri,
kesulitan dalam performa aktivitas sehari-hari atau munculnya gangguan kontrol
impuls yang diikuti pemeriksaan berulang menjadi beberapa contoh dari dampak
smartphone yang dijabarkan oleh Kwon, dkk (2013) tentang defisini smartphone
addiction
Penggunaan yang tidak tepat terhadap smartphone dapat mempengaruhi
seseorang secara negative. Secara khusus, penggunaan smartphone yang tidak tepat
dapat mengurangi konsentrasi individu, mengurangi jumlah informasi ketika dalam
kelas, mengurangi komunikasi tatap muka dan bahkan menyebabkan tekanan
mental atau fisik (Kiran, 2019). Didukung oleh penelitian Enez (2016) yang
mengaitkan smartphone addiction dengan gangguan psikososial, termasuk depresi,
kecemasan sosial, impulsif dan gangguan tidur. Kee, dkk (2016) juga menyatakan
bahwa smartphone addiction dapat menimbulkan masalah fisik seperti mata yang
kering, sindrom carpal tunnel, gangguan musculoskeletal dan sakit kepala migrain.
3
Li, dkk (2015) juga mengidentifikasi adanya berbagai pengaruh negatif pada
penggunaan smartphone dengan frekuensi yang tinggi seperti penurunan performa
akademik, penurunan kesehatan mental , kualitas tidur yang buruk, peningkatan
perilaku malas bergerak, penurunan kebugaran kardiorespirasi dan penurunan
kepuasan hidup. Berdasarkan dampak dari smartphone addiction yang telah
dijabarkan sebelumnya membuktikan pentingnya dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi smartphone
addiction pada individu.
Menurut Sohn dan Song (dalam Kim, dkk. 2014), remaja sangat mudah
menerima hal-hal baru dari media seperti smartphone karena mereka adalah
generasi yang telah tumbuh dikelilingi oleh berbagai bentuk media berteknologi
tinggi. Dengan demikian, remaja lebih rentan terhadap efek buruk dari smart media
dibandingkan kelompok usia yang lebih tua. Skierkowski dan Wood (2012)
menambahkan, bagi remaja, komunikasi berbasis telepon adalah cara penting untuk
mempertahankan hubungan sosial mereka. Hal ini yang membuat peneliti memilih
sampel remaja dalam penelitian kali ini.
Lingkungan keluarga pada remaja bisa menjadi peran penting dalam
membentuk perilaku remaja terkait penggunaan smartphone. Keluarga adalah unit
dasar masyarakat, dan sebagian besar remaja dilahirkan dan dibesarkan dalam unit
ini, dan di bawah pengaruhnya keluarga mengembangkan kepribadian mereka
(Kim, dkk . 2018). Dengan demikian, ketika remaja adalah bagaian dari keluarga
yang bermasalah, hal itu dapat mempengaruhi perkembangan perilaku yang
bersalah seperti halnya dengan adiksi. Hal ini yang membuat peneliti memilih
4
parenting style sebagai salah satu variable yang diteliti, untuk melihat apakah ada
pengaruh yang signfikan terhadap smartphone addiction dilihat dari unit terkecil
yaitu keluarga tapi diasumsikan dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap
remaja. Maccoby dan Martin (dalam, Bae 2015) berpendapat bahwa kehangatan
dan pengawasan orangtua adalah sikap inti yang mempengaruhi perkembangan
psikologis, emosional dan perilaku anak. Studi empiris juga menunjukkan bahwa
faktor lingkungan keluarga memainkan peran prediktif yang signifikan dalam
smartphone addiction (Lian, 2016). Secara khusus, authoritarian parenting style
bisa meningkatkan derajat ketergantungan smartphone, sementara authoritative
parenting style bisa mengurangi ketergantungan smartphone (Bae, 2015).
Sedangkan Kerig (dalam Park, 2014) pada penelitiannya mendapatkan hasil bahwa
permissive parenting style juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
smartphone addiction. Parenting style adalah konstruk gaya pengasuhan yang
digunakan untuk menangkap perbedaan normal dalam upaya orang tua untuk
mengendalikan dan bersosialisasi dengan anak-anak mereka (Baumrind, dalam
Darling, 1999)
Kesepian bisa dialami individu dari segala rentang usia, dan berdasarkan
penelitian sebagian besar kesepian dialami oleh remaja. Parlee (1979) menyatakan
bahwa 40.000 orang mengalami kesepian dan 79% dari mereka adalah remaja.
Untuk menghilangkan rasa kesepian, remaja secara aktif mengakses media sosial
menggunakan smartphone yang telah menjadi salah satu elemen tak tergantikan
dalam hidup kita. Smartphone juga digunakan oleh individu untuk mencari
dukungan emosional dan mengurangi perasaan negative, seperti kesepian (Jiang,
5
2018). Orang yang mengalami kesepian lebih mungkin untuk menjadi tidak
kompeten dalam relasional, dan sebagai hasilnya, mereka menghabiskan lebih
sedikit waktu pada kegiatan sosial tapi lebih banyak waktu sendirian (Spitzberg &
Canary, dalam Bian, 2014). Dalam hal komunikasi mobile, tujuan dasar dari ponsel
adalah untuk memungkinkan orang di dua tempat yang berbeda untuk
berkomunikasi langsung, menghilangkan kecemasan utama manusia yaitu kesepian
(Townsend, dalam Bian 2014). Oleh karena itu, masuk akal untuk percaya bahwa
orang-orang yang kesepian mungkin cenderung menggunakan ponsel lebih sering
untuk menyingkirkan hal negative seperti kecemasan yang dialaminya. Park (dalam
Bian, 2014) menemukan bahwa kesepian berkorelasi positif dengan smartphone
addiction di kalangan mahasiswa. Penelitian ini mengharapkan orang yang
kesepian akan lebih cenderung mengalami smartphone addiction karena orang yang
kesepian enggan berbicara dengan orang lain dalam komunikasi tatap muka,
mereka akan cenderung berinteraksi dengan orang-orang dengan mengirim atau
aplikasi jejaring sosial lainnya pada smartphone.
Seseorang mengendalikan pemikiran mereka untuk mencapai hasil yang
diinginkan, disebut sebagai self-regulation (Bandura, 1991). Karoly (1993)
menggambarkan self-regulation sebagai kemampuan untuk merencanakan,
membimbing, dan memantau perilaku seseorang secara fleksibel dalam
menghadapi keadaan yang berubah. Kegagalan self-regulation dikendalikan oleh
emosi, perilaku otomatis, dan dikendalikan oleh impuls (Metcalfe & Mischel,
1999). Dari kegagalan tersebut dapat berdampak menurunkan self-efficacy, harga
diri, dan dapat menyebabkan stress pada seseorang (LaRose & Eastin, 2004; Wills
6
et al., 2011). Untuk mengubah efek negative dari kegagalan self-regulation, orang
menggunakan media untuk melarikan diri, merasa lebih baik, atau menemukan
perasaan memiliki (LaRose & Eastin, 2004). Self-regulation sendiri telah terbukti
memiliki peran penting dalam gangguan seperti internet addiction (Dawe &
Loxton, 2004; LaRose et al., 2003). Kegagalan orang untuk mengatur diri sendiri
dapat menyebabkan penggunaan media mereka meningkat. Akibatnya, situasi ini
cenderung berubah menjadi addiction (LaRose & Eastin, dalam Gökçearslan 2016).
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa self-regulation memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction (Gökçearslan, 2016; Van
Deursen, 2015). Ketika seseorang memiliki self-regulation yang tinggi, maka
kemungkinan mereka memiliki adiksi rendah, begitu juga sebaliknya.
Fear of Missing Out dapat didefinisikan sebagai rasa khawatir bahwa orang
lain mungkin memiliki pengalaman berharga dibandingkan dirinya dan ditandai
dengan ingin terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan. Orang-orang
dengan kepuasan kebutuhan dasar rendah umumnya mempersepsikan media sosial
sebagai platform untuk terhubung dengan orang lain agar dapat mengembangkan
kompetensi sosial mereka dan menjadi kesempatan untuk memperdalam ikatan
sosial (Przybylski et al.,2013). Fear of Missing Out melemahkan orang dengan
membangkitkan rasa tidak aman mereka dan telah ditemukan berhubungan dengan
penggunaan ponsel yang terus-menerus (Carbonell, Oberst, & Beranuy dalam
Chotpitayasunondh 2016). Mengingat bahwa terlibat dalam jejaring sosial adalah
kegiatan utama dalam menggunakan teknologi seluler, maka Fear of missing out
(FoMO) terkait dengan penggunaan smartphone. Penelitian yang dilakukan oleh
7
Tuch-Aksan (2019) yang menunjukkan Fear of missing out (FoMO) pada remaja
mempengaruhi penggunaan bermasalah terhadap media sosial, dimana hal ini dapat
menyebabkan smartphone addiction.
Pada masa remaja, individu dipengaruhi oleh berbagai factor dalam
kehidupan dan diantaranya teman-teman memainkan peran yang cukup vital.
Pengaruh teman memiliki hasil yang signifikan selama masa remaja, karena remaja
mulai menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan teman-teman mereka
(Sathiyaseelan, 2014). Berdasarkan survey singkat yang dilakukan peneliti terhadap
remaja Jakarta menggambarkan 43,9% remaja mengaku lebih dari 4 jam mereka
berinteraksi dengan teman-temannya secara tatap muka perharinya, sedangkan
29,3% remaja berinteraksi dengan orangtuanya rata-rata sebanyak 4 jam dalam
sehari dimana jumlah tersebut membuktikan bahwa remaja lebih sering berinteraksi
dengan teman-temannya dibandingkan orangtua. Remaja menghabiskan lebih
banyak waktu dengan teman-teman mereka daripada dengan keluarga mereka
(Brown, 1990) dan sangat sensitive terhadap penolakan teman-temannya (Peake,
Dishion, Stormshak, Moore, & Pfeifer, 2013; Sebastian et al., 2011; Somerville,
2013). Hal ini yang membuat seorang remaja rentan terhadap konformitas.
Konformitas sendiri memiliki definisi sebagai sebuah perubahan perilaku
atau kepercayaan sebagai hasil nyata atau yang dibayangkan dari tekanan kelompok
(Myers, 2012). Ketika seseorang memiliki konformitas yang tinggi maka perilaku
individu tersebut akan cenderung mengikuti perilaku kelompoknya. Begitu juga
ketika remaja berada dalam lingkungan dengan penggunaan smartphone yang
tinggi, maka remaja tersebut akan menyesuaikan dengan lingkungannya.
8
Penggunaan smartphone yang tinggi ini dapat menyebabkan smartphone addiction.
Sejalan dengan penelitian dari Khang (dalam Zhang, 2014) yang mengatakan
bahwa salah satu tujuan seseorang menggunakan smartphone adalah untuk
mendapatkan identitas dan menghindari celaan dari teman-teman. Seorang
pengguna smartphone dengan tingkat konformitas yang tinggi akan tetap
mempertahankan penggunaan smartphone nya, bukan hal yang mustahil jika ia
akan menjadi ketergantungan. Hal tersebut juga dibuktikan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Zhang (2014) yang mengatakan konformitas positif mempengaruhi
smartphone addiction.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan mengenai kasus smartphone
addiction yang terjadi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait
fenomena smartphone addiction pada remaja yang berdomisili di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi. Oleh karena itu judul yang peneliti angkat untuk
penelitian ini adalah “Pengaruh Parenting Style, Loneliness, Self-Regulation,
Fear of Missing Out dan Konformitas terhadap Smartphone Addiction pada
Remaja”
1.2 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti
membatasi ruang lingkup masalah penelitian ini pada pengaruh independent
variable, yaitu parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan
konformitas terhadap dependent variable, yaitu smartphone addiction. Adapun
pembatasan pada masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
9
1. Smartphone addiction adalah perilaku keterikatan atau kecanduan terhadap
smartphone yang memungkinkan menjadi masalah sosial seperti halnya
menarik diri, dan kesulitan dalam performa aktivitas sehari-hari atau
sebagai gangguan kontrol impuls terhadap diri seseorang (Kwon, dkk 2013).
2. Parenting style yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konstruk gaya
pengasuhan yang digunakan untuk menangkap perbedaan normal dalam
upaya orang tua untuk mengendalikan dan bersosialisasi dengan anak-anak
mereka (Baumrind, dalam Darling, 1999).
3. Loneliness yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ekspresi perasaan
negatif dari hubungan yang hilang atau hubungan yang tidak terealisasi.baik
secara sosial ataupun emosional (Giervield, 2006).
4. Self-Regulation yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
untuk merencanakan, membimbing, dan memantau perilaku seseorang
secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah (Karoly,1993).
5. Fear of Missing Out (FoMO) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
keadaan dimana seseorang mengalami kegelisahan setelah melihat ataupun
mengecek sosial media yang dimiliki dan adanya keinginan untuk tetap
terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain melalui
dunia maya (Przybylski, dkk 2013).
6. Konformitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah perubahan
perilaku atau kepercayaan sebagai hasil nyata atau yang dibayangkan dari
tekanan kelompok (Myers, 2012).
10
7. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja dengan usia 15-21 tahun yang
berdomisili di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dan
pengguna smartphone.
1.2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari variabel parenting style,
loneliness, self-regulation, fear of missing out dan konformitas terhadap
smartphone addiction?
2. Seberapa besar intensitas smartphone addiction yang dapat diprediksi
oleh parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan
konformitas?
3. Prediktor mana yang paling berpengaruh terhadap smartphone
addiction?
4. Berapa proporsi varians dari masing-masing variable?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang
signifikan antara parenting style, loneliness self-regulation, fear of missing out
dan konformitas terhadap smartphone addiction pada remaja.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :
11
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam upaya menambah wawasan keilmuan dan pengembangan ilmu
psikologi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai perilaku smartphone addiction pada remaja yang di tinjau dari
keterlibatan parenting style, loneliness self-regulation, fear of missing out dan
konformitas
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, di harapkan penelitian ini akan memberikan manfaat :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi untuk
memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku smartphone addiction
pada remaja, serta dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk program
intervensi pada remaja.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat
membantu menambah pengetahuan dan dapat ditindak lanjuti sebagai edukasi
dalam hal membangun karakter positif yang ada pada remaja.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, penelitian ini terbagi dalam 5 bab
dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB 1 Pendahuluan
Membahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan
12
BAB 2 Landasan Teori
Terdiri dari landasan teori mengenai smartphone addiction yang meliputi
pengertian, dimensi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi : parenting style,
loneliness, self-regulation, fear of missing out dan konformitas serta
pengukuran ke lima variable tersebut, kerangka berpikir dan hipotesis.
BAB 3 Metode Penelitian
Pada bab ini, penulis menyajikan gambaran umum subjek, metode
pengumpulan dan analisis data, dan hasil pengujian hipotesis penelitian dan
interpretasinya.
BAB 4 Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menggambarkan gambaran umum responden, uji
hipotesis penelitian, proporis varian, dan hasil penelitian. Peneliti juga
menyimpulkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, diskusi
hasil penelitian disertai rekomendasi dalam bentuk saran yang relevan dan
sifatnya konstruktif bagi pengambilan keputusan, analisis regresi, dan uji
hipotesis.
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini, penulis memberikan kesimpulan dari apa yang telah diteliti
sebelumnya. Selain itu, juga penulis menyajikan diskusi serta saran dalam
bentuk teoritis dan praktis.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Smartphone Addiction
2.1.1 Definisi Smartphone Addiction
Marlatt (1988) mendefinisikan adiksi sebagai pola kebiasaan berulang yang
meningkatkan risiko penyakit atau masalah pribadi dan sosial yang terkait. Perilaku
yang bersidat adiktif sering dialami secara subyektif sebagai perilaku kehilangan
control yang terjadi meskipun ada upaya untuk tidak menggunakan. Pola kebiasaan ini
biasanya dicirikan oleh kepuasan langsung (short term reward) sering digabungkan
dengan efek merusak yang tertunda (long term costs). Upaya untuk mengubah perilaku
adiktif biasanya ditandai dengan tingkat relapse yang tinggi. Turel & Serenko (2010)
menyebutkan smartphone addiction sebagai perilaku yang melibatkan interaksi
berlebihan dengan perangkat ponsel cerdas dan terutama fungsi yang disediakannya
Kwon, dkk. (2013) menyebutkan bahwa istilah smartphone addiction adalah
sebagai perilaku keterikatan atau kecanduan terhadap smartphone yang
memungkinkan menjadi masalah sosial seperti halnya menarik diri, dan kesulitan
dalam performa aktivitas sehari-hari atau sebagai gangguan kontrol impuls terhadap
diri seseorang.
14
Park & Lee (2012) mendefinisakan smartphone addiction sebagai penggunaan
smartphone yang berlebihan dan berdampak pada kehidupan seseorang sebagai
konsekuensi dari ketidakmampuannya mengendalikan perilaku tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka sebagai landasan teori dari
penelitian ini peneliti menggunakan definisi smartphone addiction menurut Kwon, dkk
(2013) yaitu perilaku penggunaan smartphone secara berlebihan sehingga
menimbulkan gangguan dalam berbagai aspek kehidupan.
2.1.2. Karakteristik smartphone addiction
Mengenai karakteristik smartphone addiction, Griffiths (1996) telah
merumuskan kembali komponen umum kecanduan, yaitu :
1. Salience
Hal ini terjadi ketika aktivitas tertentu menjadi kegiatan yang paling penting dalam
hidup seseorang dan mendominasi pemikiran, perasaan, dan perilaku mereka.
Misalnya, jika orang tersebut tidak melakukan hal tersebut, mereka akan berpikir untuk
melakukannya di waktu berikutnya.
2. Euphoria
Pengalaman subjektif sebagai konsekuensi dari keterlibatan dalam aktivitas tertentu.
3. Tolerance
Proses dimana peningkatan jumlah aktivitas tertentu yang diperlukan untuk mencapai
efek sebelumnya. Misalnya, seorang penjudi mungkin harus secara bertahap
15
meningkatkan ukuran taruhan untuk mengalami efek euforia yang awalnya memiliki
taruhan yang jauh lebih kecil.
4. Withdrawal symptoms
Keadaan perasaan yang tidak menyenangkan dan atau efek fisik yang terjadi ketika
aktivitas tertentu dihentikan atau tiba-tiba dikurangi, misalnya, getar, kemurungan,
lekas marah.
5. Conflict
Mengacu pada konflik antara pecandu dan orang-orang di sekitar mereka (konflik
interpersonal), konflik dengan kegiatan lain (pekerjaan, kehidupan sosial, hobi dan
minat) atau dari dalam diri individu itu sendiri (konflik intrapsikis) yang berkaitan
dengan kegiatan tertentu.
6. Relapse
Kecenderungan untuk berulang dengan pola awal dari kegiatan tertentu untuk kambuh
dan bahkan pola yang paling ekstrim khas ketinggian keanduan yang akan cepat
dipulihkan setelah bertahun-tahun pantang atau dikontrol.
Menurut Ross (dalam Goswami, 2016) smartphone addiction memiliki tiga
karakteristik. Pertama, orang yang kecanduan ponsel selalu menjaga ponsel mereka
untuk menyala. Kedua, mereka cenderung menggunakan ponsel mereka bahkan ketika
mereka memiliki saluran telepon di rumah. Ketiga, mereka biasanya dihadapkan
dengan kesulitan keuangan dan sosial akibat penggunaan ponsel yang berlebihan.
16
Menurut Kwon, dkk (2013), smartphone addiction memiliki tiga faktor
berdasarkan kepada hasil analisis receiver operating characteristic (ROC) yang
dilakukan untuk memeriksa kemampuan diagnostik SAS-SV dalam memprediksi
adiksi terhadap smartphone, yaitu:
1. Gangguan kehidupan sehari-hari
Ganguan kehidupan sehari-hari termasuk kehilangan pekerjaan yang direncanakan,
mengalami kesulitan berkonsentrasi di kelas atau saat bekerja, menderita pusing atau
penglihatan kabur, sakit pada pergelangan tangan atau di bagian belakang leher, dan
gangguan tidur.
2. Penarikan diri
Penarikan melibatkan seseorang menjadi tidak sabaran, rewel, dan tak tertahankan
tanpa smartphone dalam pikiran bahkan saat tidak menggunakannya, tidak pernah
menyerah menggunakan smartphone, dan menjadi kesal ketika terganggu saat
menggunakan smartphone.
3. Toleransi
Toleransi didefinisikan sebagai seseorang selalu berusaha untuk mengontrol
penggunaan smartphone tetapi selalu gagal untuk melakukannya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek smartphone addiction yang
dikembangkan oleh Kwon, dkk (2013) untuk melihat perilaku smartphone addiction
pada remaja.
17
2.1.3. Penyebab Smartphone Addiction
Berikut adalah factor-faktor yang mempengaruhi smartphone addiction :
1. Faktor internal
Faktor internal terdiri atas faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik
individu. Tingkat sensation seeking yang tinggi (individu yang memiliki tingkat
sensation seeking yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami kebosanan dalam
aktivitas yang sifatnya rutin), self-esteem yang rendah, kepribadian ekstraversi yang
tinggi, kontrol diri yang rendah, habit menggunakan telepon genggam yang tinggi,
expectancy effect yang tinggi, dan kesenangan pribadi yang tinggi dapat menjadi
prediksi kerentanan individu mengalami kecanduan telepon genggam (Yuwanto, 2010)
Individu yang tidak memiliki kemampuan self-regulation biasanya tidak akan
secara sukarela mengurangi penggunaan smartphone (Mahapatra, 2019). Dimana hal
ini dapat menimbulkan penggunaan smartphone yang berlebihan dan berujung pada
smartphone addiction. Dalam penelitian Gökçearslan (2016), mendapatkan hasil
bahwa individu yang memiliki self-regulation yang tinggi cenderung memiliki
smartphone addiction yang rendah. Ini membuktikan bahwa self-regulation memiliki
efek negative dari smartphone addiction. Maka dari itu, peneliti memutuskan untuk
memilih self-regulation sebagai salah satu factor internal yang diharapkan memiliki
pengaruh terhadap smartphone addiction.
2. Faktor situasional
Faktor situasional terdiri atas faktor-faktor penyebab yang mengarah pada
penggunaan telepon genggam sebagai sarana membuat individu merasa nyaman secara
18
psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman. Tingkat yang tinggi dalam
stres, kesedihan, kesepian, kecemasan, kejenuhan belajar, dan leisure boredom (tidak
adanya kegiatan saat waktu luang) dapat menjadi penyebab kecanduan telepon
genggam (Yuwnato, 2010)
Park (2005) menemukan korelasi positif antara penggunaan smartphone dan
loneliness di kalangan mahasiswa. Enez (2016) menemukan loneliness berkorelasi
dengan risiko tinggi smartphone addiction. Individu dengan masalah psikososial
seperti fobia sosial dan kesepian akan lebih memilih metode komunikasi lain, terutama
melalui perangkat teknologi mobile, daripada komunikasi tatap muka karena jenis
komunikasi ini dapat menyebabkan lebih sedikit kecemasan. Maka dari itu, peneliti
memutuskan untuk memilih loneliness sebagai salah satu factor situasional yang
diharapkan memiliki pengaruh terhadap smartphone addiction.
3. Faktor sosial
Faktor sosial terdiri atas faktor penyebab kecanduan telepon genggam sebagai
sarana berinteraksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Faktor ini terdiri atas
mandatory behavior dan connected presence yang tinggi. Mandatory behavior
mengarah pada perilaku yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan
berinteraksi yang distimulasi atau didorong dari orang lain. Connected presence lebih
didasarkan pada perilaku berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari dalam diri
(Yuwanto, 2010)
Fear of missing out menimbulkan kecemasan dan telah ditemukan berhubungan
dengan penggunaan ponsel yang terus menerus (Carbonell, Oberst, & Beranuy, 2013).
19
Penelitian lain juga menemukan fear of missing out terkait dengan penggunaan ponsel
yang bermasalah (Cheever, 2014). Tuch-Aksan (2019) dalam penelitiannya
menemukan bahwa Fear of missing out (FoMO) pada remaja mempengaruhi
penggunaan bermasalah terhadap media sosial dan hal inilah yang menyebabkan
smartphone addiction. Maka dari itu, peneliti memutuskan untuk mengambil Fear of
missing out sebagai salah satu faktor sosial yang diharapkan memiliki pengaruh
terhadap smartphone addiction.
Dalam konteks smartphone, individu menggunakan perangkat tersebut untuk
mendapatkan identitas dan menghindari penolakan di antara teman-teman mereka
(Khang, dkk. 2013). Pada peran motif dalam smartphone addiction dari perspektif
fungsionalis, ditemukan bahwa konformitas secara positif mempengaruhi smartphone
addiction (Zhang, 2017). Karena itu, jika pengguna smartphone memiliki tingkat
konformitas yang tinggi, maka ia akan cenderung menggunakan perangkat tersebut dan
akhirnya menjadi kecanduan. Maka dari itu, peneliti memutuskan untuk memilih
konformitas sebagai factor sosial kedua yang diharapkan dapat memiliki pengaruh
terhadap smartphone addiction.
4. Faktor eksternal
Faktor eksternal berasal dari luar diri individu, faktor ini terkait dengan tingginya
paparan media tentang telepon genggam dan fasilitasnya (Yuwanto, 2010)
5. Parenting Style
Moazedian, dkk (2014) dalam penelitiannya menyatakan parenting style adalah
salah satu factor dalam masa kanak-kanak dan remaja yang dapat mempengaruhi gaya
20
hidup dan perilaku pada anak. Beberapa studi empiris telah mengungkapkan bahwa
factor lingkungan keluarga memainkan peran prediktif yang signifikan terhadap
smartphone addiction (Bae 2015; Chiu, 2014).
Maccoby dan Martin (1983) menyatakan bahwa kehangatan dan pengawasan
orangtua adalah sikap inti yang mempengaruhi perkembangan psikologis, emosional
dan perilaku anak. Parenting style yang mengandung kehangatan, penjelasan rasional,
serta pengawasan dan kontrol (authoritative) akan mengurangi kecanduan
pengguanaan ponsel pintar (Hong, Chiu, & Huang, 2012). Penelitian yang dilakukan
oleh Kerig (dalam Park, 2014) menyatakan bahwa orang tua yang memiliki
demandingness rendah serta responsiveness tinggi (permissive) lebih mungkin
memiliki anak dengan smartphone addiction yang tinggi. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Bae (2015) mendapatkan hasil bahwa authoritarian parenting style
dapat meningkatkan ketergantungan terhadap smartphone.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah dijabarkan diatas sebelumnya, penulis
memutuskan untuk memilih self-regulation pada faktor internal, loneliness pada faktor
situasional, fear of missing out dan konformitas dari faktor sosial, dan parenting style
sebagai variable yang akan diteliti lebih lanjut.
2.1.4. Pengukuran smartphone addiction
Berikut ini terdapat beberapa instrument yang digunakan dalam pengukuran
smartphone addiction :
21
1. Smartphone Addiction Scale (SAS-SV)
yang dikembangkan oleh Kwon, dkk (2013) berdasarkan teori tiga aspek
Smartphone Addiction, yang sebelumnya sudah direvisi yaitu: Gangguan
Kehidupan Sehari-hari, Penarikan diri dan Toleransi. SAS-SV terdiri dari 10 item
dan memiliki konsistensi internal dengan nilai reliabilitas cronbach alpha
sebesar 0,911.
2. Smartphone Addiction Proneness Scale (SPAS)
Yang dikembangkan oleh Kim, dkk (2014) berdasarkan skala kecanduan internet
dan skala kecanduan ponsel. SAPS terdiri dari empat aspek, yaitu : Gangguan
fungsi adaptif, Orientasi kehidupan virtual, Penarikan diri, dan Toleransi. SPAS
terdiri dari 15 item dan memiliki konsistensi internal dengan nilai reliabilitas
Cronbach alpha sebesar 0,880.
3. Korean self-reporting internet addiction scale short-form scale (KS-Scale)
KS-Scale dikembangkan dalam kolaborasi Korea Agency for Digital
Opportunities dan Seoul National University (2014) yang terdiri dari empat
aspek, yaitu Gangguan fungsi adaptif, Orientasi kehidupan virtual, Penarikan
diri, dan Toleransi terdiri dari 15 item dan memiliki konsistensi internal dengan
nilai reliabilitas Cronbach alpha sebesar 0.836.
Pada penelitian ini, adiksi terhadap smartphone diukur menggunakan alat ukur yang
dikembangkan oleh Kwon et al (2013) yaitu dengan menggunakan smartphone
addiction scale-short version (SAS-SV) yang telah direvisi dari smartphone addiction
22
scale sebelumnya. Peneliti memilih alat ukur tersebut karena smartphone addiction
scale-short version (SAS-SV) merupakan alat ukur yang paling baru dibandingkan alat
ukur lain dan sejalan dengan teori utama yang digunakan peneliti yaitu Kwon, dkk
(2013)
2.2 Parenting Style
2.2.1 Definisi Parenting Style
Darling dan Steinberg (1993) mendefinisikan parenting style sebagai kumpulan sikap
yang dikomunikasikan kepada anak dengan tujuan mencipkan iklim emosional dimana
perilaku orangtua dapat diekpresikan.
Baumrind (dalam Darling, 1999) adalah konstruk gaya pengasuhan yang
digunakan untuk menangkap perbedaan normal dalam upaya orang tua untuk
mengendalikan dan bersosialisasi dengan anak-anak mereka. Walaupun orang tua
mungkin berbeda dalam cara mereka mencoba mengendalikan atau bersosialisasi
dengan anak-anak mereka dan sejauh mana mereka melakukannya, diasumsikan bahwa
peran utama semua orang tua adalah untuk mempengaruhi, mengajar, dan
mengendalikan anak-anak mereka.
Darling (1999) mendefinisikan parenting style sebagai kegiatan kompleks
kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa perilaku spesifik yang dilakukan secara
individu maupun bersama-sama bertujuan untuk mempengaruhi perilaku anak.
Kordi dan Baharudin (2010) menyatakan parenting style adalah konstruksi
psikologis yang mewakili strategi standar yang digunakan orang tua dalam
membesarkan anak-anak mereka. Istilah ini adalah kegiatan kompleks yang mencakup
23
banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual maupun kolektif untuk
mempengaruhi anak.
Penelitian ini merujuk pada pengertian parenting style menurut Baumrind yaitu
konstruk gaya pengasuhan yang digunakan untuk menangkap perbedaan normal dalam
upaya orang tua untuk mengendalikan dan bersosialisasi dengan anak-anak mereka.
2.2.2. Jenis-jenis Parenting Style
Baumrind (1991) menggambarkan tiga jenis parenting style, yaitu:
a. Authoritarian parenting
Pola asuh yang membatasi dan menerapkan hukuman. Dimana orang tua
mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan
serta usaha mereka. Batas dan control yang tegas ditempatkan pada anak, dan
sedikitnya pertukaran verbal yang diizinkan. Pola asuh ini dikaitkan dengan
perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial.
b. Authoritative parenting
Mendorong anak untuk mandiri tetapi tetap menempatkan batasan dan kontrol
pada tindakan mereka. Komunikasi verbal secara dua arah berlaku dan orang tua
bersikap hangat pada anak. Pola asuh ini dikaitkan dengan perilaku anak yang
kompeten dalam bersosialisasi.
c. Permissive parenting (indulgent)
Pola asuh yang ditandai dengan tingginya tingkat responsivitas akan tetapi
orangtua kurang memberikan tuntutan dan control pada anak. Orang tua dengan
pola asuh permissive sangat terlibat dengan anak tetapi tidak terlalu menuntut
24
atau mengontrol mereka. Orangtua membiarkan anak melakukan apa saja yang
mereka inginkan. Mereka menghargai ekspresi diri dan penaturan diri. Orangtua
dengan tipe pola asuh ini membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak
memonitor aktivitas mereka sendiri. Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak
menuntut.
Menurut Olson dan Wilde (2011), terdapat lima jenis parenting styles berdasarkan
Olson Circumplex Model, yaitu:
a. Balanced Style
Pola asuh dengan balanced style memiliki kedekatan dan fleksibilitas yang
terbilang sedang hingga tinggi. Balanced style mengakui keberagaman sikap
positif orangtua untuk membesarkan anak dengan baik. Jenis pola asuh ini
ditandai dengan orang tua yang hangat, mangasuh dan mendukung secara
emosional, responsive terhadap kebutuhan anak mereka, mendeorang anak untuk
mandiri (dengan pemantauan), konsisten dan adil dalam memenuhi disiplin, dan
mengharapkan perilaku yang sesuai dengan usia.
b. Uninvolved parenting style
Memiliki kedekatan yang sangat rendah diantara orangtua dan anak, tetapi
memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi. Pola asuh ini ditandai oleh koneksi
emosional yang rendah, responsif orang tua terhadap anak yang rendah,
kemandirian anak yang tinggi dari orang tua (orang tua terputus dari kehidupan
anak), aturan yang sangat bisa dinegosiasikan yang ditegakkan secara longgat
dan sedikit tuntutan yang dibuat untuk anak.
25
c. Permissive parenting style
Kedekatan serta fleksibilitas yang sangat tinggi antara orangtua dan anak. Pola
asuh ini ditandai oleh orang tua yang terlalu protektf terhadap anak mereka,
sangat responsif terhadap setiap kebutuhan anak mereka, anak memiliki banyak
teman, kurang disiplin dan kemungkinan kecil untuk menuntut anak mereka.
d. Strict parenting style
Kedekatan dan fleksibilitas yang sangat rendah terhadap orang tua dan anak. Pola
asuh ini dicirikan oleh aturan yang ditegakkan secara ketat, kebebasan anak
sangat terbatas, disiplin yang kuat, daya tanggap yang rendah terhadap anak, dan
hubungan emosional yang rendah antara orang tua dan anak.
e. Overbearing parenting style
Kedekatan dan flesibilitas yang sangat tinggi antara orangtua dan anak. Pola asuh
ini ditandai oleh orang tua yang protektif, memenuhi setiap kebutuhan anak dan
bertindak lebih seperti teman bagi anak sementara disaat yang sama menegakkan
banyak peraturan dengan disiplin yang kuat.
2.2.3. Aspek-aspek Parenting Style
Baumrind (1991), menggambarkan dua aspek dalam parenting styles, yaitu:
1. Demandingness (tuntutan), mengacu pada klaim yang dibuat orang tua pada
anak-anak untuk diintergrasikan ke dalam keluarga secara keseluruhan, dengan
tuntutan kedewasaan, pengawasan, upaya disiplin, dan kesediaan untuk
menghadapi yang tidak patuh.
26
2. Responsiveness (responsif), mengacu pada sejauh mana orang tua dengan
sengaja menumbuhkan kepribadian, pengaturan diri, dan penegasan diri sendiri
yang diselaraskan, mendukung, dan menyetujui kebutuhan dan permintaan
khusus anak.
Baumrind (dalam Darling, 1999) mengidentifikasi tiga pola asuh utama yang
menggambarkan perbedaan pola responsiveness dan demandingness, yaitu
authoritative, authoritarian dan permissive. Orangtua dengan pola asuh authoritative
memiliki demandingness dan responsiveness yang tinggi. Orangtua dengan pola asuh
authoritarian memiliki demandingness yang tinggi responsiveness yang rendah.
Sedangkan orangtua dengan pola asuh permissive memiliki demandingness yang
rendah dan responsiveness yang tinggi.
Parenting style yang mengandung kehangatan, penjelasan rasional, serta
pengawasan atau control akan mengurangi kecanduan pengguanaan ponsel pintar
Hong, Chiu, & Huang (2012). Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh dengan tingginya
responsiveness disertai demandingness dapat mengurangi kecanduan smartphone.
Sejalan dengan penelitian Bae (2015) yang menyatakan bahwa authoritative parenting
style dikaitkan dengan adiksi yang lebih rendah pada smartphone.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kerig (dalam Park, 2014) menyatakan
bahwa orang tua dengan permissive parenting style yang memiliki demandingness
rendah serta responsiveness tinggi lebih mungkin memiliki anak dengan smartphone
addiction yang tinggi.
27
Authoritarian style dicirikan oleh penolakan orang tua dengan pengasuhan yang
keras dan diserta hukuman, serta proteksi atau kontrol yang berlebihan Vera (2012).
Hal ini menunjukkvan bahwa negative parenting style memiliki demandingness yang
tinggi tetapi responsiveness yang rendah seperti authoritarian style. Bae (2015)
melakukan penelitian dan mendapatkan hasil bahwa authoritarian style dapat
meningkatkan ketergantungan terhadap smartphone.
2.2.4. Pengukuran Parenting Syle
Berikut ini terdapat beberapa instrument yang digunakan dalam pengukuran parenting
style, yaitu:
1. Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (1991)
berdasarkan teori tiga faktor Parenting Style Baumrind, yaitu: Authoritarian,
Authoritative, dan Permissive. PAQ ini berisi 3 sub-skala dan 30 pernyataan yang
dirancang untuk mengukur pola asuh kedua orang tua dalam hal otoritas dan
penerapan disiplin yang dilakukan orang tua berdasarkan sudut pandang anak.
2. Schaefer Parenting Style (dalam Moazedian, 2014) Skala ini terdiri dari 77 item
yang diukur menggunakan skala likert. Skala ini mengukur dua komponon
control dan kindness. Dari dua alat ukur yang dipaparkan di atas, maka penulis
akan menggunakan Parental Authority Questionnaire (PAQ) dikarenakan alat
ukur ini menggunakan grand theory Baumrind, yang mana paling sesuai untuk
melihat jenis pola asuh anak didalam keluarga.
28
3. Parenting Style Inventory II (PS-II) dikembangkan oleh Darling dan Toyokawa
(1997) terdiri atas 32 pernyataan yang mencakup responsiveness autonomy-
granting dan demandingness.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan adaptasi dari Parental Authority
Questionnaire (PAQ) untuk mengukur pola asuh orang tua yang disusun berdasarkan
dimensi-dimensi dari Baumrind yang dikembangkan oleh Buri (1991). Alat ukur ini
menggunakan tipe skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Peneliti memutuskan
menggunakan Parental Authority Questionnaire (PAQ) karena alaat ukur ini adalah
alat ukur paling umum yang sering digunakan oleh peneliti lainnya untuk mengukur
pola asuh, serta sejalan dengan teori utama yang peneliti gunakan yaitu Baumrind.
2.3. Loneliness
2.3.1. Pengertian Loneliness
Sullivan (dalam Christian, 2013), mendefinisikan loneliness sebagai suatu pengalaman
sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal untuk membangun
hubungan dekat dengan orang lain.
Menurut Perlman dan Peplau (1981), loneliness adalah pengalaman tidak
menyenangkan yang terjadi ketika hubungan sosial individu tidak mencukupi dalam
beberapa hal penting baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Russell (1996), loneliness merupakan adanya kepribadian dinamis dalam
individu dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan karakteristik perilaku dan
berfikir, kemudian adanya keinginan individu pada kehidupan sosial dan kehidupan di
lingkungannya, dan juga adanya depression, yang merupakan salah satu gangguan
29
alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih, murung, tidak bersemangat,
merasa tidak berharga, berpusat pada kegagalan.
Menurut Gierveld (2006), loneliness adalah situasi yang dialami oleh individu
sebagai salah satu dimana ada kekurangan (kualitas) hubungan tertentu yang tidak
menyenangkan atau tidak dapat diterima. Ini termasuk situasi, dimana jumlah
hubungan yang ada lebih kecil daripada yang diinginkan atau diterima, serta situasi di
mana keintiman yang diinginkan belum terealisasi.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti akan menggunakan definisi
loneliness yang diungkapkan Giervield (2006) kesepian merupakan ekspresi perasaan
negative dari hubungan yang hilang atau hubungan yang tidak terealisasi dan dapat
terjadi pada individu dari segala usia.
2.3.2. Dimensi-dimensi Loneliness
Menurut Russell (1996) loneliness didasari tiga dimensi, yaitu:
1. Trait loneliness yaitu adanya pola yang lebih stabil dari perasaan kesepian yang
terkadang berubah dalam situasi tertentu, atau individu yang mengalami kesepian
karena disebabkan kepribadian mereka. Kepribadian yang dimaksud adalah
seseorang yang memiliki kepercayaan yang kurang dan ketakutan akan orang
asing.;
2. Social desirability loneliness yaitu kesepian yang terjadi karena individu tidak
mendapatkan kehidupan sosial yang diinginkan pada kehidupan
dilingkungannya;
30
3. Depression loneliness yaitu kesepian yang terjadi merupakan salah satu
gangguan alam perasaan seperti perasaan sedih, murung, tidak bersemangat,
merasa tidak berharga dan berpusat pada kegagalan yang dialami oleh individu.
Young (dalam George, 1984) membagi dimensi loneliness menjadi tiga, yaitu :
1. Transient loneliness, meliputi suasana hati sehari-hari yang singkat dan muncul
sesekali.
2. Situational loneliness, kesepian yang melibatkan orang-orang yang memiliki
hubungan yang memuaskan sampai beberapa perubahan spesifik terjadi, seperti
perceraian, berduka atau pindah ke kota baru. Situational loneliness bisa menjadi
pengalaman yang sangat sulit.
3. Chronic loneliness, biasa terjadi ketika seseorang tidak memiliki hubungan sosial
yang memuaskan untuk jangka waktu dua tahun atau lebih. Ketika situasional
loneliness berlangsung lama, akan dapat berubah menjadi cronic loneliness.
Menurut Weiss (dalam Giervield, 2006), loneliness terbagi dalam dua dimensi, yaitu:
1. Emotional Loneliness
Kesepian yang bersumber dari tidak adanya sosok yang intim atau ikatan
emosional yang dekat (pasangan, sahabat). Kesepian emosional muncul,
misalnya, ketika hubungan pasangan larut melalui perceraian dan ditandai oleh
perasaan kehampaan, pengabaian, dan kesedihan yang intens.
2. Social Loneliness
disebabkan oleh ketidakhadiran hubungan yang intim yang timbul karena
kelompok di lingkungannya tidak menarik (teman, kolega, dsb). Orang-orang
31
muda yang telah pindah dan menjadi pendatang baru sering melaporkan kesepian
sosial. Perasaan dikucilkan dengan sengaja oleh lingkungan juga merupakan
salah satu contoh dari social loneliness.
Berdasarkan beberapa penjabaran dimensi-dimensi diatas, peneliti akan menggunakan
dimensi loneliness yang diungkapkan Weiss (dalam Giervield, 2006) yaitu Kesepian
Sosial dan Kesepian Emosional dalam penelitian ini agar sejalan dengan teori utama
yang peneliti pilih sebelumnya.
2.3.3 Pengukuran Loneliness
Berikut ini terdapat beberapa instrument yang mengukur loneliness :
1. Louvain Loneliness Scale for Children and Adolescents (LLCA)
Dikembangkan oleh Marcoen (1987) yang terdiri dari 48 item. Instrument
terdiri dari empat skala yang masing-masing memiliki 12 item mengukur empat
aspek diantaranya kesepian dalam hubungan orangtua (L-PART), kesepian
dalam hubungan teman sebaya (L-PEER), dan afinitas untuk kesendirian (A-
POS: kesepian yang dialami secara positif) atau keengganan untuk menyendiri
(A-NEG: kesendirian yang dialami secara negative).
2. UCLA Loneliness Scale Version 3
Dikembangkan oleh Russel (1996) yang mencakup tiga aspek, yaitu trait
loneliness, social desirability loneliness dan depression loneliness. Skala ini
merupakan pengembangan dari UCLA Loneliness Scale tahun 1978 dan The
Revised UCLA Lonelines Scale tahun 1980. Pada skala ini terdapat 20 item,
32
dan memiliki konsistensi internal dengan nilai reliabilitas Cronbach alpha
sebesar 0.92.
3. The De Jong Gierveld Loneliness Scale
Dikembangkan oleh De Jong Giervield (2006) yang mencakup dua aspek, yaitu
emotional loneliness dan social loneliness. Pada skala ini terdapat 11 item dan
memiliki konsistensi internal dengan nilai reliabilitas Cronbach alpha antara
0.70 dan 0.76.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan The De Jong Gierveld Loneliness Scale
(2006) untuk mengukur kesepian. Alat ukur ini menggunakan tipe skala Likert dengan
empat pilihan jawaban. Peneliti memilih alat ukur tersebut karena The De Jong
Gierveld Loneliness Scale merupakan alat ukur yang paling baru dibandingkan alat
ukur lain dan sejalan dengan teori utama yang digunakan peneliti yaitu Gierveld
(2006).
2.4 Self-Regulation
2.4.1 Definisi Self-Regulation
Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran sebelumnya (rencana), individu
memotivasi dan mengendalikan perilaku mereka untuk mencapai hasil yang
diinginkan, ini dinamakan sebagai self-regulation (Bandura, 1991).
Karoly (1993) mendefinisikan self-regulation atau regulasi diri sebagai proses
internal atau transaksional yang memungkinkan seseorang untuk memandu kegiatan
yang diarahkan pada tujuannya dari waktu ke waktu dan dalam berbagai keadaan yang
berubah. Regulasi menyiratkan modulasi pemikiran, pengaruh, perilaku atau perhatian
33
melalui penggunaan yang disengaja atau otomatis dari mekanisme spesifik dan
metaskill yang mendukung.
Brown (1998) mendefinisikan self-regulation sebagai kemampuan seseorang
untuk merencanakan, memantau dan mengarahkan perilakunya walupun dalam situasi
yang berubah-ubah. Zimmerman (2000) menyebut bahwa regulasi diri atau self-
regulation mengacu pada self-thoughts (pemikiran yang dihasilkan sendiri), perasaan
dan tindakan yang direncanakan serta disesuaikan melalui siklus untuk pencapaian
tujuan pribadi. Blair, dkk (2010) mendifinisikan self-regulation sebagai system
biobehavioral yang memungkinkan kontrol perhatian dan gairah emosional untuk
tujuan reflektif, tindakan yang diarahkan pada tujuan.
Pada penelitian ini, self-regulation difokuskan kepada attention control yang
merupakan komponen dari disposisi self-regulation. Attention control adalah
kemampuan untuk mengatur stimulus yang masuk untuk menjaga focus perhatian
terhadap tugas yang sedang individu kerjakan agar tetap fokus pada tujuan yang telah
ditetapkan (Luszcynska, dkk 2004)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti akan menggunakan definisi self-
regulation yang diungkapkan Karoly (1993) yang dapat disimpulkan sebagai
kemampuan untuk merencanakan, membimbing, dan memantau perilaku seseorang
secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah.
2.4.2 Pengukuran Self-Regulation
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur Self-Regulation Scale yang
dikembangkan oleh Schwarzer, dkk (2006) berdasarkan dimensi Karoly (1993). Self-
34
Regulation Scale sendiri memiliki 10 item dengan empat pilihan jawaban dan nilai
reliabilitas internal Cronbach alpha sebesar 0,76. Peneliti memutuskan memilih alat
ukur ini karena Self-Regulation Scale dikembangkan dari teori utama yang peneliti
pilih yaitu self-regulation dari Karoly (1993)
2.5 Fear of Missing Out
2.5.1 Definisi Fear of Missing Out
Przybylski, dkk (2013) mengatakan bahwa Fear of Missing Out adalah suatu keadaan
dimana seseorang mengalami kegelisahan setelah melihat ataupun mengecek sosial
media yang dimiliki dan melihat keseruan-keseruan yang sedang dilakukan oleh
rekannya di luar sana dan adanya keinginan yang besar untuk tetap terus terhubung
dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain melalui dunia maya. JWT Marketing
Communication (dalam Abel, (2016) menggambarkan Fear of Missing Out sebagai
perasaan gelisah dan kadang-kadang menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu
apa yang dilakukan teman-temannya karena dorongan rasa takut melewatkan
informasi.
Lai (dalam Blachino, 2018) mendefinisikan FoMO sebagai motivasi dasar
manusia yang terdiri dari keterikatan secara interpersonal. Keterikatan seperti itu dapat
dihambat oleh pengucilan sosial, yang sering dikaitkan dengan social pain. Beyens,
dkk (dalam Blachino, 2017) mendeskripsikan FoMO sebagai mediator dari hubungan
antara peningkatan kebutuhan untuk memiliki dan peningkaran kebutuhan akan
popularitas..
35
Alt (2018) mendefinisikan FoMO sebgaia kecemasan, dimana seseorang secara
kompulsif merasa gelisah bahwa ia mungkin kehilangan kesempatan untuk interaksi
sosial, mendapatkan pengalaman yang bermanfaat, investasi yang menguntungkan,
atau peristiwa memuaskan lainnya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti akan menggunakan definisi fear
of missing out (FoMO) yang diungkapkan Przybylski, dkk (2013) yaitu keadaan
dimana seseorang mengalami kegelisahan setelah melihat ataupun mengecek sosial
media yang dimiliki dan adanya keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang
sedang dilakukan oleh orang lain melalui dunia maya.
2.5.2 Aspek-aspek Fear of Missing Out
Dalam Przybylski, dkk (2013) aspek-aspek Fear of Missing Out dipengaruhi oleh
perspektif Self Determinant Theory (SDT). Dalam perspektif SDT sendiri, regulasi diri
dan kesehatan psikologis yang efektif dapat dicapai berdasarkan bentuk kepuasan pada
tiga kebutuhan dasar psikologis, yaitu :
1. Competence, mengacu pada perasaan efficacy dan kepercayaan diri dalam
lingkungan yang sedang berlangsung yang menunjukkan bahwa manusia secara
aktif mencari tantangan yang optimal dan meningkatkan keterampilan serta
kapasitas mereka
2. Autonomy, mencerminkan keinginan orang untuk melakukan perilaku dengan
sukarela dan demi kepentingan mereka sendiri
36
3. Relatedness, kecenderungan yang melekat pada individu untuk merasa
terhubung dengan orang lain (kedekatan atau keinginan untuk berhubungan
dengan orang lain).
Menurut Przybylski, dkk (2013) rendahnya tingkat kebutuhan dasar psikologis yang
berhubungan dengan fear of missing out (FoMO). Fear of missing out (FoMO) sendiri
dianggap sebagai keadaan situasional saat tidak terpenuhinya kebutuhan akan self dan
relatedness. Maka aspek-aspek dari FOMO menurut Przybylski (dalam Marlina,
2017), adalah :
1. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan relatedness
Relatedness (kedekatan atau keinginan untuk berhubungan dengan orang lain)
adalah kebutuhan seseorang untuk merasakan perasaan tergabung, terhubung, dan
kebersamaan dengan orang lain. Kondisi seperti pertalian yang kuat, hangat dan
peduli dapat memuaskan kebutuhan untuk pertalian, sehingga individu merasa
ingin memiliki kesempatan lebih dalam berinteraksi dengan orang-orang yang
dianggap penting dan terus mengembangkan kompetensi sosialnya. Dan apabila
kebutuhan psikologis akan relatedness tidak terpenuhi menyebabkan individu
merasa cemas dan mencoba mencari tahu pengalaman dan apa yang dilakukan oleh
orang lain, salah satunya melalui internet.
2. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan self
Kebutuhan psikologis akan self (diri sendiri) berkaitan dengan competence dan
autonomy. Competence didefinisikan sebagai keinginan yang melekat pada
individu untuk merasa efektif dalam berinteraksi dengan lingkungannya
37
mencerminkan kebutuhan untuk melatih kemampuan dan mencari tantangan yang
optimal (Reeve & Sickenius dalam Tekeng, 2015). Kebutuhan competence ini
berkaitan dengan keyakinan individu untuk melakukan tindakan atau perilaku
tertentu secara efisien dan efektif. Rendahnya kepuasan terhadap competence akan
memungkinkan individu merasa frustasi dan putus asa. Sementara autonomy adalah
pengalaman merasakan adanya pilihan, dukungan dan kemauan yang berkaitan
dengan memulai, memelihara dan mengakhiri keterlibatan perilaku (Niemic,
Lynch, Vansteenkistec, Bernstein, Deci & Ryan dalam Tekeng, 2015). Autonomy
bermakna bahwa individu bebas mengintegrasikan tindakan yang dijalankan
dengan diri sendiri tanpa terikat atau mendapat kontrol dari orang lain (individu
adalah inisiator dan sumber dari perilakunya). Apabila kebutuhan psikologis akan
self tidak terpenuhi, maka individu akan menyalurkannya melalui internet untuk
memperoleh berbagai macam informasi dan berhubungan dengan orang lain. Hal
tersebut akan menyebabkan individu terus berusaha untuk mencari tahu apa yang
sedang terjadi pada orang lain melalui internet.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek fear of missing out menurut
Przybylski, dkk (2013) yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan
relatedness dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan self.
2.5.3 Pengukuran Fear of Missing Out
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur Fear of Missing Out (FoMO) scale
yang dikembangkan oleh Przybylski, dkk (dalam Al-Menayes, 2016) alat ukur ini
terdiri dari 8 item dengan lima pilihan jawaban berupa skala likert. Namun untuk
38
menghindari jawaban netral, peneliti menggunakan empat pilihan jawaban. FoMO
scale ini memiliki konsistensi internal dengan nilai reliabilitas cronbach alpha sebesar
0,776. Peneliti memutuskan memilih alat ukur ini karena Fear of Missing Out (FoMO)
scale dikembangkan dari teori utama yang peneliti pilih yaitu Fear of Missing Out dari
Przybylski, dkk (2013)
2.6 Konformitas
2.6.1 Definisi Konformitas
Breckler, Olson, & Wiggins (2006) menganggap konformitas merupakan konsep yang
paling umum dan merujuk pada perubahan perilaku yang disebabkan oleh orang atau
kelompok lain; individu bertindak dalam beberapa cara karena pengaruh dari orang
lain. Sedangkan Baron & Branscombe (2011) mendefinisikan konformitas sebagai
suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap atau perilaku mereka
untuk mematuhi norma-norma sosial yang ada..
Myers (2012) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau
kepercayaan sebagai hasil nyata atau imaginasi dari tekanan kelompok. Wade dan
Tavris (2012) menganggap koformitas merupakan kecenderungan bagi semua anggota
kelompok untuk berpikir sama demi harmoni dan untuk menekan ketidaksetujuan.
Dari beberapa definisi konformitas diatas, penulis mengambil peneliti akan
menggunakan definisi menurut Myres (2012) yang dapat disimpulkan sebagai perilaku
mengikuti seseorang atau kelompok karena mendapat tekanan.
39
2.6.2 Aspek-aspek Konformitas
Myers (2012) membagi beberapa aspek dalam konformitas, diantaranya:
1. Compliance (pemenuhan), adalah dimana individu bertingkah laku sesuai dengan
tekanan yang diberikan oleh kelompok sementara secara pribadi ia tidak
menyetujui perilaku tersebut. Biasanya seseorang melakukan compliance untuk
menghindari penolakan dan mengharapkan reward atau penerimaan. Compliance
terjadi berdasarkan keinginan seseorang untuk memenuhi ekspektasi orang lain,
seringkali untuk mendapatkan penerimaan yang dengan kata lain agar disukai
orang lain atau disebabkan oleh normative influence (Myers, 2012). Normative
influence adalah mengikuti orang lain untuk menghindari penolakan, untuk tetap
diperlakukan baik atau untuk mendapatkan persetujuan orang lain.
2. Acceptance (penerimaan), adalah dimana seseorang secara ikhlas mempercayai
apa yang dibujuk kelompok untuk dilakukan. Acceptance melibatkan perbuatan
dan keyakinan yang sesuai dengan tekanan sosial. Pada bentuk acceptance,
konformitas terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak
dimiliki oleh individu (informational influence). Jadi acceptance adalah
konformitas yang didasari oleh penerimaan seseorang terhadap bukti realitas
yang diberikan oleh orang lain. Apabila individu tidak tahu atau bingung harus
berbuat apa makai akan menjadikan perilaku kelompok sebagai pedoman
perilaku dan meyakini hal tersebut benar (Myers, 2012)
40
2.6.3 Pengukuran Konformitas
Untuk mengukur konformitas, peneliti menggunakan alat ukur yang dikonstruk oleh
peneliti sendiri berdasarkan teori serta aspek dari Myers (2012) yang terdiri dari 10
item. Masing-masing dimensi memiliki 5 item dengan empat pilihan jawaban. Peneliti
memutuskan untuk mengkonstruk alat ukur karena tidak menemukan alat ukur yang
sesuai dengan teori utama yang peneliti gunakan.
2.7 Kerangka Berpikir
Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, sekarang ini smartphone
menjadi sebuah kebutuhan primer untuk kebanyakan orang. Dari orang tua, remaja
bahkan anak-anak sering kita jumpai sedang menggunakan smartphone-nya. Beberapa
survei seperti Taylor Nelson Sofrens menyatakan bahwa pengguna smartphone di
dominasi kalangan remaja. Smartphone memiliki banyak fitur dan aplikasi yang dapat
memudahkan berbagai aktivitas sehari-hari dimulai dari komunikasi, transaksi online,
hiburan dan hal lainnya. Dengan berbagai fasilitas tersebut terkadang membuat
seseorang terlena dengan kegunaan smartphone tersebut sehingga menimbulkan
dampak yang kurang baik dalam kehidupan sehari-hari. Menarik diri, kesulitan dalam
performa aktivitas sehari-hari atau munculnya gangguan kontrol impuls yang di ikuti
pemeriksaan berulang menjadi beberapa contoh dari dampak smartphone yang
dijabarkan oleh Kwon (2013) tentang defisini smartphone addiction.
Didukung oleh penelitian Enez (2016) yang mengaitkan smartphone addiction
dengan gangguan psikososial, termasuk depresi, kecemasan sosial, impulsive dan
41
gangguan tidur. Kee, dkk (2016) juga menyatakan bahwa smartphone addiction dapat
menimbulkan masalah fisik seperti mata yang kering, sindrom carpal tunnel, gangguan
musculoskeletal dan sakit kepala migrain. Penyebab smartphone addiction-pun bisa
disebabkan berbagai macam faktor.
Beberapa faktor tersebut adalah parenting style, loneliness, self-regulation, fear
of missing out dan konformitas. Keluarga menjadi lingkungan sosial terkecil yang
memiliki pengaruh besar terhadap individu. Pola asuh (parenting style) yang orangtua
terapkan mempengaruhi perilaku anak-anak mereka. Maccoby dan Martin (1983) juga
berpendapat bahwa kehangatan dan pengawasan orangtua adalah sikap inti yang
mempengaruhi perkembangan psikologis, emosional dan perilaku anak. Parenting
style sendiri memiliki defisini sebagai konstruk gaya pengasuhan yang digunakan
untuk menangkap perbedaan normal dalam upaya orang tua untuk mengendalikan dan
bersosialisasi dengan anak-anak mereka (Baumrind, dalam Darling, 1999). Baumrind
pun juga membagi parenting style menjadi tiga tipe yaitu Authoritarian, Authoritative
dan Permissive.
Permissive parenting style memiliki demandingness yang rendah dan
responsiveness yang tinggi. Dalam penelitian Kerig (dalam Park, 2014) permissive
parenting style memiliki pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction. Hal
ini dikarenakan permissive parenting style cenderung memiliki control yang rendah
terhadap anak, sehingga anak terbiasa melakukan aktivitas atas kehendaknya sendiri,
termasuk dalam penggunaan smartphone.
42
Authoritarian sebagai tipe parenting style dengan demandingness yang tinggi
dan responsiveness yang rendah, menggambarkan situasi atau keadaan dimana orang
tua membentuk perkembangan anak dengan mengontrol dan mengevaluasi perilaku
sesuai dengan standar yang dibuat oleh orang tua dengan kurangnya kehangatan.
Authoritarian parenting style dicirikan oleh penolakan orang tua dengan pengasuhan
yang keras dan diserta hukuman, serta proteksi atau kontrol yang berlebihan (Vera,
2012). Individu yang merasa ditolak atau terlalu dilindungi pada kehidupan awalnya
lebih rentan terhadap perilaku maladaptive di kemudian hari dan salah satunya adalah
smartphone addiction (Lian, 2016). Sejalan dengan penelitian Bae (2015) yang
mendapatkan hasil bahwa authoritarian parenting style dapat meningkatkan
ketergantungan terhadap smartphone. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa
authoritarian style memiliki pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction.
Pola asuh yang terakhir adalah Authoritative yang memiliki demandingness dan
responsiveness yang tinggi. Parenting style yang mengandung kehangatan, penjelasan
rasional, serta pengawasan atau control akan mengurangi kecanduan pengguanaan
ponsel pintar (Hong, Chiu, & Huang, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh
dengan tingginya responsiveness disertai demandingness dapat mengurangi kecanduan
smartphone. Sejalan dengan penelitian Bae (2015) yang menyatakan bahwa
authoritative parenting style dikaitkan dengan adiksi yang lebih rendah pada
smartphone. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa authoritative parenting style
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction.
43
Menurut Gierveld (2006) loneliness adalah situasi yang dialami individu sebagai
salah satu dimana ada kekurangan (kualitas) hubungan tertentu yang tidak
menyenangkan atau tidak dapat diterima. Ini termasuk situasi, dimana jumlah
hubungan yang ada lebih kecil daripada yang diinginkan atau diterima, serta situasi
dimana keintiman yang diinginkan belum terealisasi. Dengan kehidupan sosial yang
tidak sesuai harapan dan kondisi emosional yang belum stabil dapat menimbulkan rasa
kesepian yang kemudian dari kesepian tersebut munculah indikasi pengalihan salah
satunya dengan sibuk bermain smartphone sehingga dapat memunculkan indikasi
kecanduan terhadap smartphone. Sejalan dengan penelitian Stankovska, dkk (2016)
yang menyatakan aspek emosional dan sosial dari kesepian ditemukan secara positif
memprediksi kecanduan internet yang berujung pada pemakaian smartphone secara
berlebihan. Ketika seseorang yang memiliki hubungan sosial yang tidak memadai baik
dalam hal kualitas dan kuantitas akan mengalami kecanduan smartphone. Temuan ini
menyiratkan bahwa remaja yang kesepian akan lebih cenderung menjadi kecanduan
karena mendapatkan perasaan bahagia, disayangi, dan penting saat menggunakan
internet pada smartphone.
Kemampuan untuk merencanakan, membimbing, dan memantau perilaku
seseorang secara fleksibel dalam menghadapi keaadaan yang berubah disebut sebagai
self-regulation (Karoly, 1993). Kegagalan orang untuk mengatur diri sendiri dapat
menyebabkan penggunaan media mereka meningkat. Akibatnya, situasi ini cenderung
berubah menjadi kecanduan media (LaRose & Eastin, dalam Gökçearslan 2016)..
Untuk mengubah dampak negatif tersebut, memungkinkan seseorang menggunakan
44
media seperti smartphone untuk melarikan diri, merasa lebih baik, atau menemukan
perasaan memiliki LaRose & Eastin (dalam Van Deusen dkk, 2015). Mekanisme self-
regulation memiliki peran penting dalam gangguan smartphone addiction (Kun &
Demetrovics, dalam Van Deusen dkk, 2015). Tingkat self-regulation yang rendah
berada di balik resiko seseorang mengalami smartphone addiction (Beranuy, Oberst,
Carbonell, & Chamarro, 2009; Engelberg & Sjoberg, 2004; Parker et al., 2008, dalam
Van Deusen dkk, 2015).Dalam penelitian Gökçearslan (2016), mendapatkan hasil
bahwa individu yang memiliki self-regulation yang tinggi cenderung memiliki
smartphone addiction yang rendah. Ini membuktikan bahwa self-regulation memiliki
efek negative dari smartphone addiction. Ketika individu memiliki masalah dalam
mengontrol penggunaan smartphone mereka, kemungkinan besar mereka memiliki
kecenderungan smartphone addiction. Jeong et al. (2016) juga menyimpulkan bahwa
individu yang memiliki kurangnya kontrol diri lebih cenderung memiliki adiksi
terhadap smartphone.
Fear of missing out (FoMO) dapat didefinisikan sebagai rasa khawatir bahwa
orang lain mungkin memiliki pengalaman berharga dibandingkan dirinya dan ditandai
dengan ingin terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan. Orang-orang dengan
kepuasan kebutuhan dasar rendah umumnya mempersepsikan media sosial sebagai
platform untuk terhubung dengan orang lain agar dapat mengembangkan kompetensi
sosial mereka dan menjadi kesempatan untuk memperdalam ikatan sosial (Przybylski
et al.,2013). Fear of missing out (FoMO) juga menunjukkan dapat berkontribusi pada
kecanduan sosial media, karena individu yang khawatir tidak dapat terhubung ke
45
jaringan mereka, dapat mengembangkan kebiasaan pemeriksaan secara impulsive yang
seiring waktu dapat berkembang menjadi kecanduan (Griffits & Kuss, 2017).
Mengingat bahwa terlibat dalam jejaring sosial adalah kegiatan utama dalam
menggunakan teknologi seluler, maka Fear of missing out (FoMO) terkait dengan
smartphone addiction. Hal ini sejalan dengan penelitian Tuch-Aksan (2019) yang
menunjukkan Fear of missing out (FoMO) pada remaja mempengaruhi penggunaan
bermasalah terhadap media sosial, dimana hal ini dapat menyebabkan smartphone
addiction.
Perilaku konformitas merupakan perilaku mengikuti seseorang atau kelompok
karena mendapat tekanan (Myers, 2012). Seseorang dapat dikatakan konformitas
ketika ia melakukan suatu hal karena adanya tekanan kelompok untuk menghindari
penolakan dan ia meyakini bahwa apa yang dilakukan merupakan sesuatu yang benar.
Ketika seseorang berada pada lingkungan dengan intensitas penggunaan smartphone
yang tinggi, maka ia akan cenderung menyesuaikan penggunaan smartphone dengan
lingkungannya untuk menghindari penolakan. Cooper (dalam Chen, 2017) melakukan
penelitian terhadap adiksi, dan menemukan hasil bahwa konformitas memiliki
pengaruh pada perilaku adiksi. Penelitian lain juga memvalidasi bahwa individu
dengan motif konformitas yang tinggi menggunakan situs jejaring sosial cenderung
mengembangkan perilaku adiksi (Kuss & Griffiths dalam Chen, 2017). Khang, (dalam
Chen, 2017) menyatakan individu menggunakana smartphone untuk mendapatkan
identifikasi dan menghindari ketidaksetujuan diantara teman-teman mereka. Karena itu
46
jika pengguna smartphone mempunyai tingkat konformitas yang tinggi, maka dia akan
selalu menggunakan perangkat mereka dan menjadi adiksi.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam kerangka berpikir, maka
penelitian ini dapat dibuat bagan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pengaruh Parenting Style, Loneliness, Self-Regulation, Fear of Missing
Out dan Konformitas pada Smartphone Addiction
2.8 Hipotesis Penelitian
A. Hipotesis Mayor
Ada pengaruh yang signifikan antara Parenting Style, Loneliness, Self
Regulation, Fear of Missing Out dan Konformitas pada Smartphone Addiction
47
B. Hipotesis Minor
Ha1: Ada pengaruh signifikan antara permissive pada variabel parenting style
terhadap smartphone addiction pada remaja
Ha2: Ada pengaruh signifikan antara authoritarian pada variabel parenting style
terhadap smartphone addiction pada remaja
Ha3: Ada pengaruh signifikan antara permissive pada variabel parenting style
terhadap smartphone addiction pada remaja
Ha4: Ada pengaruh signifikan antara kesepian sosial pada variabel loneliness
terhadap smartphone addiction pada remaja
Ha5: Ada pengaruh signifikan antara kesepian emosional pada variabel loneliness
terhadap smartphone addiction pada remaja
Ha6: Ada pengaruh signifikan antara self-regulation terhadap smartphone
addiction pada remaja
Ha7: Ada pengaruh signifikan antara fear of missing out terhadap smartphone
addiction pada remaja
Ha8: Ada pengaruh signifikan antara konformitas terhadap smartphone
addiction pada remaja
48
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah remaja pengguna
smartphone berdomisili daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dengan
jumlah sampel 250 orang. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah remaja (remaja
madya dan remaja akhir) berusia 15-21 tahun yang memiliki smartphone dan bersedia
menjadi subjek penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk
ke dalam non probability sampling dengan metode accidental sampling, yaitu metode
pengambilan sampel dimana siapa saja yang secara aksidental atau kebetulan bertemu
dengan peneliti dan bersedia menjadi sampel serta telah memenuhi kriteria atau tujuan
yang telah ditentukan peneliti.
Penetapan jumlah sampel tersebut disesuaikan dengan kemampuan peneliti
berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian ini. Sampel yang
ditetapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Responden merupakan remaja berusia antara 15-21 tahun
2. Responden merupakan pengguna smartphone
3. Responden berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
49
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas.
Variabel-variabel penelitian yang akan diteliti yaitu:
1. Dependent variable (DV): Smartphone Addiction
2. Independent variable (IV): Parenting Style (Authoritative, Authoritarian dan
Permissive), Loneliness (Kesepian Emosional, Kesepian Sosial), Self-
Regulation, Fear of Missing Out dan Konformitas
3.2.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dari setiap variabel dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Smartphone addiction
tingkat kecanduan terhadap penggunaan smartphone yang memungkinkan
terjadinya masalah sosial seperti halnya menarik diri, kesulitan dalam performa
aktifitas sehari-hari atau sebagai gangguan kontrol impuls terhadap diri
seseorang.
2. Parenting Style
Sekumpulan sikap yang diterapkan orang tua terhadap anaknya.
a. Authoritarian
Pola asuh yang membatasi, menghukum, memandang pentingnya kontrol dan
kepatuhan tanpa syarat
50
b. Authoritative
Pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu
mengendalikan mereka
c. Permissive
Pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu
menuntut atau mengontrol anak
3. Loneliness adalah ekspresi perasaan negative yang muncul karena tidak
terpenuhinya hubungan sosial dan emosional.
a. Kesepiaan Sosial
Kesepian yang muncul berasal dari tidak adanya jejaring sosial atau kelompok
secara global yang menarik
b. Kesepian Emosional
Kesepian yang muncul kerena tidak adanya ikatan emosional atau kedekatan
pada seseorang.
4. Self-Regulation
Adalah kemampuan untuk merencanakan, membimbing, dan memantau
perilaku seseorang secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah
5. Fear of Missing Out
Adalah keadaan dimana seseorang mengalami kegelisahan setelah melihat
ataupun mengecek sosial media yang dimiliki dan adanya keinginan untuk tetap
terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain melalui
dunia maya.
51
6. Konformitas adalah sebuah perubahan perilaku yang didasari oleh tekanan dan
kepercayaan kebenaran perilaku tersebut oleh kelompok.
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari 6 alat ukur yang berupa
skala, diantaranya adalah skala smartphone addiction, parenting style, loneliness, Self-
Regulation, Fear of Missing Out dan Konformitas dalam bentuk kuesioner. Untuk
model skala, peneliti menggunakan model skala likert, dimana variabel penelitian
dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item-item instrumen
Pada setiap respon yang responden berikan pada kuesioner tersebut, peneliti memberi
nilai atau score tertentu seperti yang dijabarkan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Nilai dari Skala Smartphone Addiction, Parenting Style, Loneliness, Self-
Regulation, Fear of Missing Out dan Konformitas
Skala Item Favorable Item Unfavorable Item
Sangat Setuju (SS) 4 1
Setuju (S) 3 2
Tidak Setuju (TS) 2 3
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
3.3.1 Smartphone Addiction
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Smartphone Addiction Scale
(SAS-SV) yang dikembangkan oleh Kwon, dkk. (2013) dan telah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia. Skala smartphone addiction ini memiliki 10 item dengan nilai
reliabilitas internal cronbach alpha sebesar 0,911 dan 4 pilihan jawaban sangat setuju
(SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
52
Dibawah ini adalah blue print dari Smartphone Addiction Scale (SAS)
Tabel 3.2 Blue Print Smartphone Addiction Scale (SAS) Dimensi Indikator No. Item Jumlah item
Favorable
Gangguan
kehidupan sehari-
hari
Kehilangan rencana
Kesulitan
berkonsentrasi
Gangguan tidur
1
2
3
1
1
1
Penarikan Diri Tidak Sabaran
Terus bersama
Smartphone
Tidak Menyerah
5
4, 6
7
1
2
1
Toleransi Gagal Mengontrol
8, 9, 10 3
Jumlah 10
3.3.1 Parenting Style
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Parental Authority Questionnaire
(PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (1991) untuk tujuan pengukuran parenting style
yang pernah dikemukakan oleh Baumrind (2006). Kuesioner ini dirancang untuk
menilai gaya pengasuhan authoritarian, authoritative, dan permissive dan telah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Item-item yang dibuat berdasarkan ciri-ciri
pengasuhan yang orang tua lakukan terhadap anaknya. Dari ketiga dimensi tersebut
kemudian dibuat menjadi 30 item dengan menggunakan skala model Likert dengan
empat pilihan jawaban.
53
Dibawah ini adalah blue print dari Parental Authority Questionnaire (PAQ)
Tabel 3.3 Blue Print Parental Authority Questionnaire (PAQ) Dimensi Indikator No item Jumlah item
Favorable
Permissive Style Gaya pengasuhan
yang relative hangat,
tidak ada tuntutan
dan tidak ada kontrol
dari orang tua
1, 6, 10, 13,
14, 17, 19,
21, 24, 28
10
Authoritarian
Style
Gaya yang
menerapkan
kedisiplinan,
kepatuhan anak
terhadap orang tua,
bahkan terkadang
melalui sebuah
hukuman
2, 3, 7, 9, 12,
16, 18, 25,
26, 29
10
Authoritative Style Gaya yang
fleksibelitas antara
rang tua dan anak,
tegas, jelas, serta
mengutamakan
tujuan dalam
membuat aturan
4, 5, 8, 11,
15, 20, 22,
23, 27, 30
10
Jumlah 30
3.3.2 Loneliness
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Loneliness Scale yang
dikembangkan oleh De Jong Giervield (2006) dan telah diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia. Loneliness Scale ini memiliki 11 item dan 4 pilihan jawaban sangat setuju
(SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
54
Dibawah ini adalah blue print dari Loneliness Scale
Tabel 3.4 Blue Print Loneliness Scale Dimensi Indikator No item Jumlah item
Favorable Unfavorable
Kesepian Sosial Ketika seseorang
tidak
memiliki keterlibatan
yang menarik dalam
dirinya pada
lingkungannya
1,4,7,8,11 5
Kesepian
Emosional
Ketika seseorang
tidak
memiliki ikatan
hubungan yang intim
2,3,5,6,9,10 6
Jumlah 11
3.3.3 Self Regulation
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Self Regulation Scale (SRS) yang
dikembangkan oleh Schwarzer, dkk (2006) dan telah diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia. Skala smartphone addiction ini memiliki 10 item dengan cronbach alpha
sebesar 0,76 dan 4 pilihan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan
sangat tidak setuju (STS). Dibawah ini adalah blue print dari Self Regulation Scale
(SRS)
Tabel 3.5 Blue Print Self Regulation Scale (SRS)
Dimensi Indikator No item Jumlah item
Favorable Unfavorable
Attention control Mampu mengatur
stimulus yang masuk
yang menarik dalam
dirinya pada
lingkungannya
1,2,3,4,6,8,10
5,7,9
10
Fokus terhadap pekerjaan
Fokus pada tujuan yang
telah ditetapkan
Jumlah 10
55
3.3.4 Fear of Missing Out
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah FoMO Scale yang dikembangkan
oleh Swharzer, dkk (2006) dan telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Skala FoMO
ini memiliki 10 item dengan 4 pilihan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tidak
setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Tabel 3.6 Blue Print FoMO Scale
Dimensi Indikator No item Jumlah item
Favorable Unfavorable
Tidak
terpenuhinya
kebutuhan
psikologis akan
relatedness
Rasa ingin terhubung
dengan orang lain
tidak terpenuhi
Merasa ingin
memiliki kesempatan
lebih dalam
berinteraksi
1,2,3,4,5
- 5
Tidak
terpenuhinya
kebutuhan
psikologis akan
diri
Ketika seseorang
tidak
memiliki ikatan
hubungan yang intim
6,7,8
- 3
Jumlah 8
3.3.5 Konformitas
Untuk mengukur variable ini peneliti memodifikasi item berdasarkan teori konformitas
Myers. Instrumen konformitas terdiri dari 10 item dengan 4 pilihan jawaban sangat
setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS)
Dibawah ini adalah blue print dari Konformitas
56
Tabel 3.7 Blue Print skala Konformitas
Dimensi Indikator No. Item Jumlah item
Favorable
Compliance Mengikuti kemauan
seseorang agar tidak
ditolak
1, 2, 3, 4, 5 5
Acceptance Melakukan suatu
perbuatan karena
kepercayaan terhadap
seseorang
6, 7, 8, 9, 10 5
Jumlah 10
3.4 Uji Validitas Konstruk Instrumen
Dalam penelitian ini validitas konstruk dalam setiap instrument diuji dengan analisis
factor konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis atau CFA). Adapun yang dimaksud
dengan CFA adalah bagian dari analisis factor yang digunakan untuk menguji sejauh
mana masing-masing item valid di dalam mengukur apa yang diukur. Oleh karena itu,
pada CFA kegiatannya adalah menguji hipotesis sesuai dengan penetapan banyaknya
faktor maupun struktur faktor tersebut. Dalam penelitian ini, yang diuji adalah sebuah
model unidiemsional (satu faktor) dan jika ternyata model ini fit dengan data maka
dapat dilakukan uji hipotesis apakah masing-masing item signifikan di dalam
mengukur apa yang hendak diukur (Umar, 2012). Untuk menguji hal ini peneliti
menggunakan software LISREL 8.70 (Joreskog & Sorbom, 1993)
Caranya terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1. Menguji apakah hanya satu faktor saja yang menyebabkan item-item saling
berkorelasi (hipotesis unidimensionalitas item). Hipotesis ini diuji dengan chi-
square. Untuk memutuskan apakah memang tidak ada perbedaan anatara
57
matriks korelasi yang diperoleh dari data dengan matriks korelasi yang dihitung
menurut teori atau model. Jika hasil chisquare tidak signifikan (p>0.05), maka
hipotesis nihil yang menyatakan bahwa “tidak ada perbedaan antara matriks
korelasi yang diperoleh dari data dan model” tidak ditolak yang artinya item
yang diuji mengukur satu faktor saja (unidimensional). Sedangkan jika nilai
chi-square signifikan (p<0.05) maka hipotesis nihil tersebut ditolak yang
artinya item-item yang diuji mengukur lebih dari satu faktor
(multidimensional). Dalam keadaan demikian maka peneliti melakukan
modifikasi terhadap model dengan cara memperbolehkan item-item saling
berkorelasi tetapi dengan tetap menjaga bahwa item hanya mengukur satu
factor (unidimensional). Jika sudah diperoleh model yang fit (tetapi tetap
unidimensional) maka dilakukan langkah selanjutnya.
2. Menganalisis item mana yang menjadi sumber tidak fit
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui item mana
yang menjadi sumber tidak fit, yaitu:
a. Melakukan uji signifikansi terhadap koefisien muatan factor dari masing-
masing item dengan menggunakan t-test. Jika nilai t yang diperoleh pada
sebuah item tidak signifikan (t<1.96) maka item tersebut akan di drop
karena dianggap tidak signifikan sumbangannya terhadap pengukuran yang
sedang dilakukan.
b. Melihat arah dari koefisien muatan factor (factor loading). Jika suatu item
memiliki muatan factor negative, maka item tersebut didrop karena tidak
58
sesuai dengan pengukuran (berarti semakin tinggi nilai pada item tersebut
semakin rendah nilai pada factor yang diukur)
3. Menghitung factor skor
Jika langkah-langkah di atas telah dilakukan, maka diperoleh item-item yang
valid untuk mengukur apa yang ingin diukur. Item-item inilah yang kemudian
diolah untuk mendapatkan faktor skor pada tiap skala. Dengan demikian
perbedaan kemampuan masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak
diukur ikut menentukan dalam menghitung faktor skor (true score). True score
inilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis
tidak menggunakan raw score atau skor mentah (hasil menjumlahkan skor
item). Oleh karena itu sebenarnya tidak diperlukan informasi tentang
reliabilitas masing-masing alat ukur (misalnya, cronbach alpha) karena true
score itu reliabilitasnya sama dengan satu (100%). Untuk kemudian di dalam
penafsiran hasil analisis maka penulis mentransformasikan faktor skor yang
diukur dalam sakala baku (Z score) menjadi T-score yang memiliki mean=50
dan standard deviasi (SD)=10 sehingga tidak ada responden yang mendapat
skor negatif.
3.4.1 Uji validitas konstruk smartphone addiction
Pada uji validitas konstruk smartphone addiction ini, peneliti menguji apakah item
seluruh aspek smartphone addiction yang berjumlah 10 item benar bersifat
unidimensional, yaitu hanya mengukur dependent smartphone addiction yang ingin
diukur. Uji validitas ini bertujuan untuk melihat apakah model yang terbentuk sudah
59
fit dengan persyaratan nilai RMSEA <0.05 dan/atau memiliki nilai P-value >/0.05. Dari
model yang sudah fit ini dapat diperoleh item yang bersifat unidimensional dan item-
item yang perlu didrop sehingga hanya item pilihan saja yang akan digunakan untuk
menganalisa pengaruh kelima independent variable pada dependent variable.
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item smartphone
addiction diketahui bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square =
104.70, df = 35, P-value = 0.00000, dan RMSEA = 0.089. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi sebanyak 3 kali terhadap model, sehingga memperoleh model
yang fit dengan nilai Chi-Square = 45.89, df = 32, P-Value = 0.05311, dan RMSEA =
0.042 seperti yang tertera pada table 3.8
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Variabel Smartphone Addiction
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.23 0.07 3.45 √
2 0.21 0.07 3.05 √
3 0.12 0.07 1.76 ×
4 0.77 0.06 13.35 √
5 0.73 0.06 12.55 √
6 0.74 0.06 12.61 √
7 0.61 0.06 9.96 √
8 0.62 0.06 10.15 √
9 0.09 0.07 1.29 ×
10 0.58 0.06 9.28 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa hampir seluruh item pada variable
smartphone addiction memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga diperoleh
2 item yang harus didrop, yaitu item nomor 3 dan 9. Selain itu, 8 item lainnya
dinyatakan signifikan dan akan digunakan untuk menganalisis korelasi antar variable
dalam penelitian.
60
3.4.2 Uji validitas konstruk permissive style
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item permissive style diketahui
bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 261.30, df = 35, P-
value = 0.00000, dan RMSEA = 0.161 Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
sebanyak 10 kali terhadap model, sehingga memperoleh model yang fit dengan nilai
Chi-Square = 36.37, df = 25, P-Value = 0.06615, dan RMSEA = 0.043 seperti yang
tertera pada table 3.9
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Variabel Permissive Style
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.26 0.07 3.65 √
2 0.51 0.07 7.51 √
3 0.40 0.08 5.28 √
4 0.22 0.08 2.71 √
5 0.24 0.08 3.14 √
6 0.46 0.07 7.00 √
7 0.61 0.06 9.50 √
8 0.15 0.08 1.80 ×
9 0.68 0.07 10.04 √
10 0.54 0.06 8.36 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa hampir seluruh item pada variable
permissive style memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga diperoleh 1 item
yang harus didrop, yaitu item nomor 8. Selain itu, 9 item lainnya dinyatakan signifikan
dan akan digunakan untuk menganalisis korelasi antar variable dalam penelitian.
61
3.4.3 Uji validitas konstruk authoritarian style
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item authoritarian style
diketahui bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 238.69, df
= 35, P-value = 0.00000, dan RMSEA = 0.153. Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi sebanyak 15 kali terhadap model, sehingga memperoleh model yang fit
dengan nilai Chi-Square = 28.36, df = 20, P-Value = 0.10114, dan RMSEA = 0.041
seperti yang tertera pada table 3.10
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Variabel Authoritarian Style
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.62 0.06 10.25 √
2 0.27 0.06 4.28 √
3 0.73 0.06 12.99 √
4 0.79 0.06 13.88 √
5 0.28 0.07 4.07 √
6 0.74 0.06 12.69 √
7 0.69 0.06 12.01 √
8 0.46 0.06 7.41 √
9 0.41 0.06 6.28 √
10 0.84 0.06
14.38 √
Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa seluruh item pada variable
authoritarian style memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga diperoleh 10
item authoritarian style dinyatakan signifikan dan akan digunakan untuk menganalisis
korelasi antar variable dalam penelitian.
3.4.4 Uji validitas konstruk authoritative style
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item autohoritative style
diketahui bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 910.64, df
62
= 35, P-value = 0.00000, dan RMSEA = 0.317 Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi sebanyak 10 kali terhadap model, sehingga memperoleh model yang fit
dengan nilai Chi-Square = 29.76, df = 20, P-Value = 0.07382, dan RMSEA = 0.044
seperti yang tertera pada table 3.11
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Variabel Authoritative Style
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.96 0.05 20.26 √
2 0.94 0.05 19.90 √
3 0.70 0.06 12.56 √
4 0.96 0.05 20.64 √
5 0.31 0.06 4.95 √
6 0.62 0.06 10.73 √
7 0.69 0.06 12.54 √
8 0.50 0.06 8.41 √
9 0.52 0.06 8.85 √
10 0.88 0.05 17.77 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa seluruh item pada variable
authoritative style memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga diperoleh 10
item authoritative style dinyatakan signifikan dan akan digunakan untuk menganalisis
korelasi antar variable dalam penelitian.
3.4.5 Uji validitas konstruk kesepian social
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item kesepian sosial diketahui
bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 18.24, df = 5, P-value
= 0.00267, dan RMSEA = 0.103 sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak 2
kali terhadap model, sehingga memperoleh model yang fit dengan nilai sehingga
63
memperoleh model yang fit dengan nilai Chi-Square = 3.05, df = 3, P-Value = 0.38401,
dan RMSEA = 0.008seperti yang tertera pada tabel 3.12
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Variabel kesepian sosial
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.70 0.06 12.08 √
2 0.43 0.06 6.82 √
3 0.71 0.06 12.35 √
4 0.93 0.05 17.93 √
5 0.71 0.06 12.25 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa seluruh item pada variable
kesepian sosial memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga tidak ada item
yang harus didrop. 5 item pada kesepian sosial dinyatakan signifikan dan akan
digunakan untuk menganalisis korelasi antar variable dalam penelitian.
3.4.6 Uji validitas konstruk kesepian emosional
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item kesepian emosional
diketahui bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 109.04, df
= 9, P-value = 0.00000, dan RMSEA = 0.211. Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi sebanyak 4 kali sehingga memperoleh model yang fit dengan nilai Chi-
Square = 4.54, df = 5, P-Value = 0.47519, dan RMSEA = 0.000 seperti yang tertera
pada table 3.13
64
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Variabel kesepian emosional
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.86 0.05 16.36 √
2 0.53 0.06 8.71 √
3 0.92 0.05 18.14 √
4 0.37 0.06 5.75 √
5 0.75 0.06 13.48 √
6 0.28 0.07 4.35 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa seluruh item pada variable
kesepian sosial memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga tidak ada item
yang harus didrop. 6 item pada kesepian emosional dinyatakan signifikan dan akan
digunakan untuk menganalisis korelasi antar variable dalam penelitian.
3.4.7 Uji validitas konstruk self-regulation
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item self-regulation diketahui
bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 360.24, df = 35, P-
value = 0.00000, dan RMSEA = 0.192. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
sebanyak 12 kali sehingga memperoleh model yang fit dengan nilai Chi-Square =
30.78, df = 23, P-Value = 0.12841, dan RMSEA = 0.037 seperti yang tertera pada table
3.14
65
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Variabel Self-Regulation
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.41 0.07 6.21 √
2 0.56 0.06 8.79 √
3 0.55 0.06 8.70 √
4 0.77 0.06 12.57 √
5 0.25 0.07 3.65 √
6
7
0.79
0.21
0.06
0.07
13.48
2.99
√
√
8 0.31 0.07 4.24 √
9 0.03 0.07 0.49 ×
10 0.55 0.07 7.97 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa hampir seluruh item pada variable
self-regulation memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga diperoleh 1 item
yang harus didrop, yaitu item nomor 9. Selain itu, 9 item lainnya dinyatakan signifikan
dan akan digunakan untuk menganalisis korelasi antar variable dalam penelitian.
3.4.5 Uji validitas konstruk fear of missing out (FoMO)
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item fear of missing out
diketahui bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 306.14, df
= 20, P-value = 0.00000, dan RMSEA = 0.240. Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi sebanyak 8 kali sehingga memperoleh model yang fit dengan nilai Chi-
Square = 15.15, df = 12, P-Value = 0.12664, dan RMSEA = 0.045 seperti yang tertera
pada tabl 3.15
66
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Variabel Fear of Missing Out (FoMO)
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.51 0.06 8.10 √
2 0.72 0.06 12.10 √
3 0.56 0.06 9.18 √
4 0.83 0.06 14.52 √
5 0.67 0.06 11.13 √
6
7
0.33
0.64
0.07
0.06
4.99
10.79
√
√
8 0.43 0.07 5.87 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa seluruh item pada variable fear of
missing out memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga tidak ada item yang
harus didrop. 8 item pada fear of missing out dinyatakan signifikan dan akan digunakan
untuk menganalisis korelasi antar variable dalam penelitian
3.4.9 Uji validitas konstruk konformitas
Dari hasil analisis CFA yang telah dilakukan pada item-item konformitas diketahui
bahwa model yang terbentuk tidak fit, dengan nilai Chi-Square = 170.06, df = 35, P-
value = 0.00000, dan RMSEA = 0.124. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
sebanyak 11 kali sehingga memperoleh model yang fit dengan nilai Chi-Square =
33.61, df = 24, P-Value = 0.09186, dan RMSEA = 0.040 seperti yang tertera pada table
3.16
67
Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Variabel Konformitas
Item Koefisien Standar Error Nilai T-value Signifikan
1 0.50 0.06 7.95 √
2 0.41 0.06 6.34 √
3 0.58 0.06 9.58 √
4 0.88 0.05 16.99 √
5 0.69 0.06 11.72 √
6 0.73 0.06 12.85 √
7 -0.36 0.07 -5.49 ×
8 0.60 0.06 9.84 √
9 0.48 0.06 7.69 √
10 0.45 0.06 7.11 √ Keterangan: √ = signifikan (t-values ≥1.96) × = tidak signifikan
Dilihat dari model faktornya, dapat diketahui bahwa hampir seluruh item pada variable
konformitas memiliki nilai t-value ≥1.96 (nilai absolute). Sehingga diperoleh 1 item
yang harus didrop, yaitu item nomor 7. Selain itu, 9 item lainnya dinyatakan signifikan
dan akan digunakan untuk menganalisis korelasi antar variable dalam penelitian.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah multiple regression
atau analisis regresi berganda. Hal ini disebabkan, terdapat lima independent variable
yaitu parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out, dan konformitas
yang ingin peneliti lihat pengaruhnya terhadap dependet varibale yaitu smartphone
addiction. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui arah hubungan independent
variable terhadap dependent variable, apakah memiliki pengaruh positif atau negative,
serta prediksi nilai smartphone addiction jika independent variable mengalami
kenaikan atau penurunan. Metode ini juga dipilih karena peneliri ingin melihat
pengaruh parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out, dan
konformitas secara parsial terhadap smartphone addiction serta persentase sumbangan
68
pengaruh parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out, dan
konformitas secara Bersama-sama terhadap smartphone addiction dan apakah hasilnya
dapat digeneralisasikan untuk seluruh populasi.
Persamaan multiple regression dalam penelitian adalah:
Keterangan:
Y = Smartphone Addiction
a = Intercept (konstan)
b = Koefisien regresi yang distandardisasikan untuk masing-masing X
X1 : Permissive
X2 : Authoritarian
X3 : Authoritative
X4 : Kesepian Sosial
X5 : Kesepian Emosrional
X6 : Self-Regulation
X7 : Fear of Missing Out
X8 : Konformitas
e : Residu
Untuk dapat melihat apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang
paling sesuai dengan memiliki error terkecil pada penelitian ini, maka dibutuhkan
beberapa pengujian dan analisis, yaitu:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + e
69
1. Uji R2 (koefisien determinasi berganda)
Dari pengujian multiple regression akan diperoleh hasil berupa nilai R2, dalam
penelitian ini adalah pengujian multiple regression parenting style, loneliness,
self-regulation, fear of missing out, dan konformitas terhadap smartphone
addiction. Besarnya resiliensi ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda
atau R2, nilai ini menunjukkan variasi perubahan dependent variable (Y) yaitu
smartphone addiction yang disebabkan oleh independent variable (X) yaitu
parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out, dan
konformitas. Dengan kata lain dapat digunakan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh independent variable (X) terhadap dependent variable (Y) atau
merupakan proporsi varian dari intense yang dijelaskan oleh parenting style,
loneliness, self-regulation, fear of missing out, dan konformitas. Untuk
mendapatkan nilai R2 digunakan rumus berikut:
R2 = 𝑆𝑆𝑟𝑒𝑔
𝑆𝑆𝑦
2. Uji F
Setelah R2 diperoleh, maka untuk membuktikan signifikan regresi Y
(dependent variable) terhadap X (independent variable) dilakukan uji F dengan
rumus:
𝐹 =
𝑅2/𝑘
(1 − 𝑅2)/(𝑁 − 𝑘 − 1)
70
Keterangan:
k = jumlah independent variable
N = jumlah sampel
Dari uji F ini akan diperoleh apakah benar independent variable memiliki
pengaruh terhadap dependent variable.
3. Uji t
Setelah melakukan Uji F, selanjutnya penelitian ini melakukan Uji t yang
berfungsi untuk melihat apakah pengaruh yang diberikan independent variable
(X) signifikan terhadap dependent variable (Y). Oleh karena itu, sebelum
melakukan Uji t, perlu diketahui terlebih dahulu nilai standart error estimate
dari b (koefisien regresi) dari masing-masing independent variable yang
diperoleh melalui akar mean square dibagi SS. Setelah diperoleh nilai Sb maka
dapat dilakukan Uji t, yaitu hasil bagi dari b (koefisien regresi) dengan nilai Sb
itu sendiri.
𝑡 = 𝑏
𝑆𝑏
Keterangan:
b = Koefisien regresi
Sb = Standart Error dari b
3.6 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini meliputi tahap persiapa, tahap pelaksanaan dan tahap
pengolahan data. Berikut penjelasannya:
71
1. Tahap Persiapan
a. Merumuskan masalah yang akan diteliti
b. Menentukan variable yang akan diteliti dan melakukan studi pustaka untuk
mendapatkan landasan teori yang sesuai dengan variable dalam penelitian
c. Menentukan subjek penelitian
d. Mempersiapkan alat pengumpulan data dengan menentukan dan menyusun
ala ukur atau instrument penelitian yang akan digunakan. Dalam penelitian
ini adalah enam alat ukur yang digunakan yaitu skala smartphone addiction,
skala parenting syle, skala loneliness ̧ skala self-regulation, skala fear of
missing out dan skala konfomitas.
2. Tahap Pelaksanaan
Membuat kuesioner dalam bentuk booklet serta google form dan diisi oleh 250
remaja berusia 15-21 tahun baik laki-laki atau perempuan yang berdomisili di
Jabodetabek dan menggunakan smartphone secara langsung maupun online.
3. Tahap Pengolahan Data
a. Melakukan skoring dengan membuat tabulasi terhadap hasil jawaban
responden
b. Menganalisa jawaban responden dengan uji valitidas terlebih dahulu, lalu
dilanjutkan dengan anlisis statistic multiple regression untuk menguji
hipotesis.
4. Tahap Penelitian Laporan
Membuat kesimpulan, diskusi dan saran peneliti.
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah remaja di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi sebanyak 250 responden. Penjelasan mengenai sampel penelitian berdasarkan
jenis kelamin, usia, dan semester akan diuraikan dalam table 4.1 berikut ini:
Table 4.1
Gambaran responden penelitian Sampel Penelitian Frekuensi %
Jenis Kelamin:
Laki-Laki
Perempuan
105
145
42%
58%
Usia:
15
16
17
18
19
20
21
21
34
35
29
41
35
55
8,4%
13,6%
14,0%
11,6%
16,4%
14,0%
22,0%
Domisili
Jakarta
Bogor
Depok
Tangerang
Bekasi
115
18
18
53
46
46,0%
7,2%
7,2%
21,2%
18,4%
TOTAL 250 100%
Berdasarkan data yang terdapat pada table 4.1, dapat diketahui bahwa
responden laki-laki berjumlah 105 orang (42%) dan responden perempuan berjumlah
145 orang (58%). Dengan demikian, responden yang terdapat dalam penelitian ini
sebagian besar adalah perempuan.
73
Responden dengan usia 21 tahun merupakan responden dengan jumlah yang
paling banyak dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 55 orang (22%), dan responden
dengan usia 15 tahun merupakan jumlah responden paling sedikit yaitu 21 orang
(8,4%). Sementara itu, responden dengan usia 16 tahun berjumlah 34 orang (13,6%),
17 tahun berjumlah 35 orang (14,0%), 18 tahun berjumlah 29 orang (11,6%), 19 tahun
berjumlah 41 orang (16,4%), dan 20 tahun berjumlah 35 orang (14,0%).
Kemudian, responden dengan jumlah terbanyak terdapat pada daerah Jakarta
yaitu sebanyak 115 orang (46,0%), sedangkan jumlah paling sedikit terdapat pada
daerah Bogor dan Depok dengan jumlah yang sama yaitu sebanyak 18 orang (7,2%).
Sementara itu, responden pada daerah Tangerang berjumlah 53 (21,2%) dan daerah
Bekasi sebanyak 46 orang (18,4%).
4.2 Analisis Deskriptif
Berikut akan diuraikan mengenai analisis deskriptif dari smartphone addiction,
parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan kondormitas. Skor
yang digunakan dalam analisis deskriptif ini adlaah nilai murni (t-score) yang
merupakan hasil konversi dari raw score. Hal ini bertujuan untuk memudahkan saat
peneliti membandingkan skor hasil penelitian dan masing-masing varibel, dengan
demikian semua raw score pada setiap variable harus mempunyai skala yang sama.
Untuk mencapai hal ini maka raw score harus ditrasnformasikan menjadi z-score. Agar
nilai z-score menjadi positif, maka terlebih dahulu harus diperoleh t-score.
Adapun rumus t-score adalah:
T-score = (10 x factor score) + 50
74
Dalam perhitungan penelitian ini, skor mean, median, standar deviasi, minimum, dan
maksmimum dari setiap variable dijadikan acuan untuk menjelaskan gambaran umum
mengenai deskripsi statistic. Nilai tersebut diuraikan dalam table 4.2
Table 4.2 Distribusi Skor
N Minimum Maximum Mean Standar
Deviasi
Smartphone Addiction 250 24.86 72.16 50.0000 8.96014
Parenting Style
Permissive 250 25.25 71.38 50.0000 8.25603
Authoritarian 250 29.38 75.96 50.0000 9.18501
Authoritative 250 28.62 81.09 50.0000 8.89985
Loneliness
Kesepian Sosial 250 22.48 66.85 50.0000 9.10427
Kesepian Emosional 250 24.21 65.70 50.0000 9.25863
Self- Regulation 250 26.22 74.24 50.0000 8.72509
Fear of Missing Out 250 24.56 78.39 50.0000 8.96964
Konformitas 250 33.49 85.00 50.0000 9.07445
Nilai-nilai yang tertera pada table 4.2 di atas adalah nilai yang telah distandarkan
sehingga mempunyai skala yang sama untuk membandingkannya. Skor terendah yang
telah diperoleh untuk variable smartphone addiction adalah 24.86, sementara skor
tertinggi adalah 72.16 dengan standar deviasi 8.06014. Skor terendah yang diperoleh
oleh untuk variable permissive adalah 25.25 dan skor tertinggi sebesar 71.38 dengan
standar deviasi sebasar 8.25603. Sedangkan untuk variable authoritarian diperoleh
skor terendah 29.38 dan skor tertinggi sebesar 75.96 serta standar deviasi sebesar
9.18501. Untuk variable authoritative diperoleh skor terendah sebesar 28.62 dan skor
tertinggi sebesar 81.09 dengan standar deviasi sebesar 8.89985.
75
Untuk variable kesepian sosial diperoleh skor terendah sebesar 22.48 dan skor
tertinggi sebesar 66.85 dengan standar deviasi sebesar 9.10427. Sementara untuk
variable kesepian emosional diperoleh skor terendah sebesar 24.21 dan skor tertinggi
sebesar 65.70 dengan standar deviasi sebesar 9.25863. Sedangkan untuk variable self-
regulation diperoleh skor terendah sebesar 26.22 dan skor tertinggi sebesar 74.24
dengan standar deviasi sebesar 8.72509.
Berikutnya untuk variable Fear of Missing Out diperoleh skor terendah 24.56
sebesar dan skor tertinggi sebesar 78.39 dengan standar deviasi sebesar 8.96964.
Sedangkan untuk variable Konformitas diperoleh skor terendah sebesar 33.49 dan skor
tertinggi sebesar 85.00 dengan standar deviasi sebesar 9.07445.
Selanjutnya dilakukan kategorisasi variable yang bertujuan untuk memisahkan
individu berdasarkan kelompok jenjang kontinum dari atribut yang diukur.
Kategorisasi skor kontinum variable dibagi menjadi kelompok tingkatan tinggi, sedang
dan rendah. Table berikut ini menjabarkan variable smartphone addiction, permissive,
authoritarian, authoritative, kesepian sosial, kesepian emosional, self-regulation, fear
of missing out dan konformitas menjadi dua kategori skor, yaitu:
Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi
Kategori Rumus
Rendah X < Mean
Tinggi X > Mean
76
Adapun kategorisasi skor masing-masing variable adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4 Kategorisasi Variabel Penelitian
Variabel Frekuensi (%)
Rendah Tinggi
Smartphone addiction 152 (52.8%) 118 (47.2%)
Parenting style
Permissive 114 (45.6%) 136 (54.4%)
Authoritarian 145 (58.0%) 105 (42.0%)
Authoritative 122 (48.8%) 128 (51.2%)
Loneliness
Kesepian sosial 154 (61.6%) 96 (38.4%)
Kesepian emosional 115 (46.0%) 135 (54.0%)
Self-regulation 122 (48.0%) 128 (51.2%)
Fear of missing out 130 (52.0%) 120 (48.0%)
Konformitas 115 (46%) 135 (54%)
Berdasarkan table 4.4 dari 250 jumlah responden, terlihat bahwa responden dengan
skor kecenderungan smartphone addiction yang rendah berjumlah 132 orang (52.8%),
sedangkan responden yang memiliki tingkat kecenderungan smartphone addiction
tinggi berjumlah 118 orang (47.2%).
Kemudian untuk permissive dari 250 jumlah responden memiliki skor yang
rendah sebanyak 114 orang (45.6%) dan responden dengan permissive yang tinggi
sebanyak 136 orang (54.4%). Selanjutnya, responden dengan authoritarian yang rendah
sebanyak 145 orang (58%) dan responden dengan authoritarian yang tinggi sebanyak
105 orang (42%). Sementara untuk pola asuh terakhir yaitu authoritative, responden
77
yang memiliki skor rendah sebanyak 122 orang (48.8%) dan yang memiliki skor
tertinggi sebanyak 128 orang (51.2%).
Berdasarkan hasil perhitungan perhitungan skor kesepian sosial, diketahui
bahwa responden dengan skor kesepian sosial yang rendah sebanyak 154 orang
(61.6%) dan responden dengan skor kesepian sosial yang tinggi sebanyak 96 orang
(38.4%). Kemudian untuk skor kesepian emosional diketahui bahwa responden dengan
skor kesepian emosional yang rendah sebanyak 115 orang (46%) dan responden
dengan skor kesepian emosional yang tinggi sebanyak 135 orang (54%)
Untuk variable self-regulation skor dengan jumlah 250 orang, responden yang
memiliki skor yang rendah sebanyak 122 (48.8%) dan responden yang memiliki skor
tinggi sebanyak 128 orang (51.2%). Selanjutnya diketahui bahwa responden dengan
skor fear of missing out yang rendah sebanyak 130 orang (52%) dan responden yang
memiliki skor fear of missing out yang tinggi berjumlah 120 orang (48%). Diikuti
dengan skor konformitas, responden yang memiliki skor konformitas yang rendah
sebanyak 115 orang (46%) dan yang memiliki skor tinggi berjumlah 135 orang (54%).
4.3 Pengujian Hipotesis
Langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis penelitian ini dengan Teknik multiple
regression menggunakan software SPSS 25. Uji hipotesis ini dilakukan untuk
menjawab hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini.
78
4.3.1 Uji Hipotesis Mayor
Uji hipotesis mayor digunakan untuk menjawab pertanyaan: apakah ada pengaruh
yang signifikan antara variable parenting style, loneliness, self-regulation, fear of
missing out dan konformitas terhadap smartphone addiction pada remaja. Untuk table
R square dapat dilihat pada table 4.5
Tabel 4.5 Model Summary
Model R R
Square
Adjusted
R Square
Std
Error of
the
Estimate
R
Square
Changes
F
Change
df1 df2 Sig. F
Change
1 0.404 0.163 0.136 8.33097 0.163 5.879 8 241 0.000
Dengan menggunakan seluruh independent variable, diperoleh nilai R square (R2)
sebesar 0.163 atau 16.3%. Artinya, proporsi varians dari parenting style, loneliness,
self-regulation, fear of missing out dan konformitas yang mempengaruhi smartphone
addiction dalam penelitian ini adalah sebesar 16.3%, sedangkan sisanya 83.7%
dipengaruhi variable lain di luar penelitian ini.
Selanjutnya, untuk melakukan analisis dari keseluruhan independent variable,
peneliti melakukan Uji F yang hasilnya dpaat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini:
Tabel 4.6 Tabel Anova
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 3264.157 8 408.020 5.879 0.000
1 Residual 16726.607 241 69.405
Total 19990.764 249
Dari Tabel 4.6 diperoleh hasil bahwa nilai F adalah 5.879 dengan signifikansi (p)
sebesar 0.000. Karena syarat nilai p < 0.05 untuk menyatakan bahwa suatu independent
variable memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dependent variable dalam
79
penelitian, maka hipotesis mayor yang menyarakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan
konformitas terhadap smartphone addiction diterima. Sehingga dapat diperoleh
kesimpulan bahwa seluruh dimensi dari parenting syle (permissive, authoritarian,
authoritative, loneliness (kesepian sosial dan kesepian emosional), self-regulation, fear
of missing out dan konformitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
smartphone addiction pada remaja di Jabodetabek.
Selanjutnya, peneliti melihat koefiensi regresi dari masing-masing independent
variable, jika nilai koefisiensi regresi tersebut <0.05, maka independent variable
tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction pada
remaja. Koefisien regresi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:
80
Tabel 4.7 Tabel Coefficient
Unstandardized
Coefficient
Standardized
Coefficient
B Std. Error Beta t-value Sig
(Constant) 26.529 9.250 2.868 0.004
Parenting
Style
Permissive 0.113 0.075 0.104 1.517 0.131
Authoritarian 0.142 0.067 0.146 2.129 0.034*
Authoritative -0.180 0.068 -0.179 -2.663 0.008*
Loneliness
Kesepian
Sosial
0.122 0.071 0.124 1.711 0.088
Kesepian
Emosional
0.181 0.061 0.187 2.988 0.003*
Self
Regulation
-0.113 0.066 -0.111 -1.729 0.085
Fear of
Missing Out
0.067 0.059 0.067 1.126 0.261
Konformitas 0.137
0.062 0.139 2.229 0.027*
Berdasarkan koefisien regresi pada table 4.6 dapat dijelaskan persamaan regresi
sebagai berikut:
Smartphone Addiction = 26.529 + (0.113) permissive + (0.142) authoritarian + (-
0.180) authoritative + (0.122) kesepian sosial + (0.181) kesepian emosional + (-
0.113) self-regulation + (0.067) fear of missing out + (0.137) konformitas
Berdasarkan hasil dari table 4.6 koefisien regresi authoritarian, authoritative, kesepian
emosional dan konformitas yang signifikan, sedangkan yang lainnya tidak signifikan.
Hal ini berarti bahwa dari 10 hipotesis minor, ada 4 hipotesis yang yang signifikan
81
yaitu Ha2, Ha3, Ha5 dan Ha8. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh
dari masing-masing independent variable adalah sebagai berikut:
1. Variabel Permissive
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.104 dengan signifikansi 0.131
(sig>0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa permissive tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction
2. Variabel Authoritarian
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.146 dengan signifikansi 0.034
(sig<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa authoritarian memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap smartphone addiction. Dilihat dari arahnya ialah
positif, jika seseorang memiliki parenting style authoritarian yang paling
dominan maka semakin tinggi pula smartphone addiction orang tersebut, begitu
juga sebaliknya.
3. Variabel Authoritative
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.179 dengan signifikansi 0.008
(sig<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa authoritative memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap smartphone addiction. Dilihat dari arahnya ialah
negatif, jika seseorang memiliki parenting style authoritative yang paling
dominan maka semakin rendah tingkat smartphone addiction orang tersebut,
begitu juga sebaliknya.
82
4. Variable Kesepian Sosial
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.124 dengan signifikansi 0.088
(sig<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kesepian sosial tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction.
5. Variabel Kesepian Emosional
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.187 dengan signifikansi 0.003
(sig>0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kesepian emosional memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction. Dilihat dari arahnya
ialah positif, semakin tinggi tingkat kesepian emosional pada seseorang maka
semakin tinggi smartphone addiction-nya.
6. Variabel Self-Regulation
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.111 dengan signifikansi 0.085
(sig<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa self-regulation tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction.
7. Variabel Fear of Missing Out
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.067 dengan signifikansi 0.261
(sig<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa fear of missing out tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addictione
8. Variabel Konformitas
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.139 dengan signifikansi 0.027
(sig<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa konformitas memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap smartphone addiction. Dilihat dari arahnya ialah
83
positif, semakin tinggi tingkat konformitas pada seseorang maka semakin tinggi
smartphone addiction-nya, begitu juga sebaliknya.
Pada table dapat dilihat dari 8 independent variable diatas yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap smartphone addiction pada remaja adalah authoritarian,
authoritative, kesepian emosional dan konformitas. Sedangkan untuk variable
permissive, kesepian sosial, self-regulation dan fear of missing out tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction pada remaja. Variabel yang
memberikan pengaruh paling besar terhadap smartphone addiction dilihat dari skor
Beta (β) yang telah baku dan berada pada satuan yang sama adalah variable kesepian
emosional, yaitu sebesar 0.187.
4.3.2 Uji Proporsi Varians
Untuk melihat proporsi variasn dari smartphone addiction secara keseluruhan dapat
diterapkan 10 variabel independent (permissive, authoritarian, authoritative, kesepian
sosial, kesepian emosional, self-regulation, fear of missing out dan konformitas.
Peneliti melakukan uji analisis regresi berganda menggunakan SPSS 25.0, hasilnya
sebagai berikut:
84
Tabel 4.7 Proporsi varians dependent variable dari keseluruhan independent
variable
a. Predictors: (Constant), Permissive
b. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian
c. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian, Authoritative
d. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian, Authoritative, Kesepian Sosial,
e. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian, Authoritative, Kesepian Sosial, Kesepian Emosional
f. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian, Authoritative, Kesepian Sosial, Kesepian Emosional, Self-
Regulation
g. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian, Authoritative, Kesepian Sosial, Kesepian Emosional, Self-
Regulation, Fear of Missing Out
h. Predictior: (Constant), Permissive, Authoritarian, Authoritative, Kesepian Sosial, Kesepian Emosional, Self-
Regulation, Fear of Missing Out, Konformitas
Selanjutnya peneliti menganalisis proporsi varian untuk masing-masing variable.
Pengujian pada tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya
penambahan proporsi varian tiap independent variable (permissive, authoritarian,
authoritative, kesepian sosial, kesepian emosional, self-regulation, fear of missing out,
dan konformitas, yang mana independent variable tersebut dianalisis dengan
menambahkan satu persatu independent variable, berikut ini merupakan table proporsi
varian smartphone addiction yang terkait dengan independent variable.
Dari table 4.7 diatas didapatkan informasi sebagai berikut:
1. Permissive memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 2.7% terhadap varians
smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.009 (sig < 0.05). Artinya,
sumbangan signifikan.
Std.
Error
R Adjusted Of the R Square Sig F
Model R Square R Square Estimate Change F Change df1 df2 Change
1 .164a .027 .023 8.85678 .027 6.846 1 248 .009*
2 .252b .064 .056 8.70532 .037 9.705 1 247 .002*
3 .291c .084 .073 8.62576 .021 5.577 1 246 .019*
4 .299d .089 .074 8.62032 .005 1.311 1 245 .253
5 .359e .129 .111 8.44656 .040 11.184 1 244 .001*
6 .375f .140 .119 8.40916 .011 3.175 1 243 .076
7 .382g .146 .121 8.39903 .006 1.586 1 242 .209
8 .404h .163 .136 8.33097 .017 4.971 1 241 .027*
85
2. Authoritarian memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 3.7% terhadap
varians smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.002 (sig < 0.05).
Artinya, sumbangan authoritarian signifikan.
3. Authoritative memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 2.1% terhadap
varians smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.019 (sig < 0.05).
Artinya, sumbangan authoritative signifikan.
4. Kesepian Sosial memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 0.5% terhadap
varians smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.253 (sig < 0.05).
Artinya, sumbangan kesepian sosial tidak signifikan.
5. Kesepian Emosional memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 4.0% terhadap
varians smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.001 (sig < 0.05).
Artinya, sumbangan kesepian emosional signifikan.
6. Self-Regulation memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 1.1% terhadap
varians smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.076 (sig < 0.05).
Artinya, sumbangan self-regulation tidak signifikan.
7. Fear of Missing Out memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 0.6% terhadap
varians smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.209 (sig < 0.05).
Artinya, sumbangan fear of missing out tidak signifikan.
8. Konformitas memberi sumbangan R2 (R Square) sebesar 1.7% terhadap varians
smartphone addiction, dengan sig F change sebesar 0.027 (sig < 0.05). Artinya,
sumbangan konformitas tidak signifikan.
86
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat
diperoleh dari hasil penelitian ini adalah ditemukan adanya pengaruh yang signifikan
dari dimensi variable parenting style yaitu permissive, authoritarian, dan authoritative,
dimensi variable loneliness yaitu kesepian sosial dan kesepian emosional, variable self-
regulation, variable fear of missing out dan konformitas terhadap smartphone
addiction pada remaja Jabodetabek dengan sumbangan yang signifikan sebesar 16.3%.
Dapat disimpulkan bahwa hipotesis mayor yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan
konformitas terhadap remaja Jabodetabek diterima.
Setelah hipotesis mayor dalam penelitian ini diterima, maka peneliti melakukan
uji hipotesis minor untuk mengetahui signifikansi dari masing-masing independent
variable terhadap dependent variable. Dari nilai koefisien masing-masing independent
variable diperoleh hasil bahwa, independent variable yang memiliki pengaruh secara
signifikan terhadap smartphone addiction remaja Jabodetabek adalah dimensi
parenting style, yaitu authoritarian dan authoritative, kemudian dimensi loneliness,
kesepian emosional dan variable konformitas. Independent variable lain seperti
permissive, self-regulation dan fear of missing out tidak memberikan pengaruh secara
signifikan terhadap smartphone addiction. Prediktor yang paling dominan dalam
87
mempengaruhi smartphone addiction pada remaja Jabodetabek adalah kesepian
emosional.
5.2 Diskusi
Dari hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa parenting style,
loneliness, self-regulation, fear of missing out dan konformitas memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap smartphone addiction. Dalam penelitian ini, independent
variable parenting style, loneliness, self-regulation, fear of missing out dan
konformitas memberikan sumbangan 16.3%. sedangkan sisanya sebesar 83.7%
disumbangkan oleh variable lain di luar penelitian ini.
Hasil penelitian ialah authoritarian dan authoritative parenting style memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap smartphone addiction. Sumbangan authoritarian
parenting style 3.7% dan authoritative parenting style 2.1%. Pada authoritarian
parenting style, koefisien regresinya positif sedangkan pada authoritative koefisien
regresinya negatif. Hal ini mengartikan semakin orang tua memberikan pengasuhan
authoritarian, semakin tinggi intensitas smartphone addiction anak tersebut.
Authoritarian style memiliki tuntutan serta aturan yang tinggi tetapi minimnya
kehangatan, hal ini sejalan dengan penelitian Bae (2015) yang mendapatkan hasil
bahwa pola asuh negative seperti authoritarian dapat meningkatkan ketergantungan
terhadap smartphone. Individu yang mengalami penolakan atau terlalu dilindungi
dalam arti banyaknya aturan lebih rentan terhadap perilaku maladaptive dikemudian
hari yang menyebabkan smartphone addiction (Lian, 2016). Orangtua dengan
88
authoritarian style biasanya tidak menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka dan
minimnya kehangatan yang diberikan. Anak-anak mereka lebih cenderung beralih ke
penggunaan smartphone secara berlebihan sebagai sarana untuk memperoleh
kenyamana emosional dan kepuasan psikologis. Demikian pula, perlindungan
berlebihan dan pemantauan yang ketat serta tingkat campur tangan yang tinggi yang
diterapkan pada anak-anak dapat meningkatkan risiko anak-anak mencari pertemanan
melalui smartphone secara berlebihan. Oleh karena itu, semakin individu merasakan
penolakan, gangguan, dan rasa tidak percaya dari orang tua, perilaku bermasalah
seperti smartphone addiction dapat dipicu (Stoltz, 2013)
Selanjutnya orangtua dengan authoritative parenting style dikaitkan dengan
kehangatan emosional dan penjelasan aturan yang rasional sehingga mengarah pada
peningkatan rasa bahagia. Dampaknya anak tidak perlu menggunakan smartphone
untuk mengurangi pengalaman emosional yang negatif. Sejalan dengan penelititan Bae
(2015) yang menyatakan bahwa authoritative parenting style dikaitkan dengan adiksi
yang lebih rendah terhadap smartphone.
Permissive parenting style tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku smartphone addiction. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kerig (dalam Park, 2014) yang menyatakan bahwa orang tua dengan permissive
style lebih memungkinkan memiliki anak dengan smartphone addiction yang tinggi.
Permissive parenting style cenderung memiliki kontrol yang rendah terhadap anak,
sehingga anak terbiasa melakukan aktivitas atas kehendaknya sendiri. Dalam penelitian
ini, kemungkinan responden dengan pola asuh permisif lebih cenderung melakukan
89
aktivitas lain dibanding menggunakan smartphonenya sehingga tidak memiliki
pengaruh yang signifikan.
Berikutnya adalah kesepian emosional dari variabel loneliness mempengaruhi
smartphone addiction secara signifikan dan memiliki koefisien yang bernilai positif.
Kesepian emosional memberikan kontribusi sebesar 4%. Hal ini sejalan dengan
penelitian Stankovska (2016) yang menyatakan aspek emosional dari kesepian
ditemukan secara positif memprediksi kecanduan internet yang berujung pada
pemakaian smartphone secara berlebihan. Individu yang mengalami kesepian akan
lebih memilih metode komunikasi lain daripada tatap muka (Enez Darcin, 2016), dan
smartphone menjadi salah satu media yang tepat digunakan oleh individu yang merasa
kesepian.
Kesepian sosial dalam penelitian ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap smartphone addiction. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Stankovska
(2016) yang menyatakan aspek sosial dari kesepian ditemukan secara positif
memprediksi kecanduan internet yang berujung pada pemakaian smartphone secada
berlebihan. Kesepian sosial muncul karena ketidakpuasan seseorang terhadap orang-
orang dilingkungannya. Orang-orang dengan kesepian sosial yang tinggi biasanya akan
mencari lingkungan sosial baik secara virtual atapun tidak. Asumsi penulis, responden
dengan kesepian sosial yang tinggi dalam penelitian ini kemungkinan tidak mencari
lingkungan sosial yang sesuai dengan mereka secara virtual sehingga intensitas
penggunaan smartphone rendah.
90
Dalam penelitian ini variable self-regulation secara negative tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap smartphone addiction. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gokçearslan (2016) yang memperoleh hasil self-
regulation secara negative memiliki pengaruh yang signifikan terhadap smartphone
addiction. Perbedaan hasil penelitian bisa disebabkan oleh responden yang
kemungkinan memang tidak memiliki goal sehingga variable self-regulation tidak
memiliki pengaruh.
Selanjutnya variable fear of missing out (FoMO) dalam penelitian ini memiliki
arah positif tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap smartphone addiction.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Tuch-Aksan (2019) yang
menunjukkan Fear of missing out (FoMO) pada remaja mempengaruhi penggunaan
bermasalah terhadap media sosial, dimana hal ini dapat menyebabkan smartphone
addiction. Diasumsikan dalam penelitian ini, individu yang mengalami fear of missing
out bisa saja mengalami social media addiction tanpa mengalami smartphone
addiction secara bersamaan.
Variable terakhir dalam penelitian ini adalah konformitas. Konformitas
mempengaruhi smartphone addiction secara signifikan dan memiliki koefisien yang
bernilai positif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen, dkk (2017)
yang menyatakan konformitas memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap
smartphone addiction. Dalam konteks smartphone, individu menggunakan perangkat
tersebut untuk mendapatkan identifikasi dan menghindari ketidaksetujuan di antara
teman-teman mereka (Khang dalam Chen, 2017). Oleh karena itu, jika pengguna
91
smartphone memiliki tingkat konformitas tinggi, maka ia berkemungkinan akan terus
menerus menggunakan smartphone dan menimbulkan adiksi. Dalam penelitian ini
sendiri konformitas memberikan sumbangan sebesar 1.7%. Temuan dalam penelitian
ini agak bertolak belakang dengan dilihatnya variable kesepian sosial yang tidak
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap smartphone addiction. Hal ini bisa
disebabkan responden dalam penelitian memiliki kepuasan terhadap lingkungan
sosialnya sehingga keinginan untuk diterima lingkungannya menjadi hal yang lebih
penting.
5.3 Saran
Berdasarkan penulisan pada penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan di dalamnya. Karenanya peneliti memberikan beberapa saran
sebagai bahan pertimbangan untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya baik berupa
saran teoritis maupun praktis. Berikut adalah penjelasnnya:
5.3.1 Saran Teoritis
1. Variasi dari delapan independent variable (IV) dalam penelitian ini hanya
memberikan sumbangan sebesar 16.3%, sedangkan sisanya yaitu 83.7%
dipengaruhi variable lain di luar penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti
menyarankan agar penelitian selanjutnya untuk meneliti variable lain seperti
sensation seeking, smartphone usage duration, smartphone facilities atau self-
control yang diharapkan memiliki pengaruh terhadap smartphone addiction.
2. Pada penelitian selanjutnya disarankan memilih kategori adiksi yang lebih
spesifik seperti game additcion, internet addiction atau social media addiction.
92
3. Pemilihan usia sample diharapkan lebih spesifik guna mengurangi bias pada
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi variable bebas.
5.3.1 Saran Praktis
Untuk dapat mengurangi smartphone addiction pada remaja, maka peneliti
menyarankan beberapa intervensi sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran orangtua terhadap anak dengan melakukan kontrol yang
suportif, menciptakan komunikasi yang terbuka dengan anak, dan memahami
penggunaan smartphone guna meminimalisir penggunaan smartphone yang
bermasalah pada anak.
2. Memberi kegiatan positif pada anak seperti kursus pada bidang tertentu,
mengikuti ekstrakulikuler, melakukan hobi, atau melakukan kegiatan sosial di
masyarakat. Sehingga anak bisa tetap berinteraksi dengan orang lain diiringi
melakukan kegiatan yang positif guna meminimalisir rasa kesepian dan
perilaku maladaptif.
3. Menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga, teman atau hewan
peliharaan, mengekspresikan diri dengan olahraga, seni atau menulis jurnal,
berpartisipasi sebagai relawan atau anggota komunitas guna meminimalisir rasa
kesepian.
4. Remaja diharapkan untuk tidak mudah terpengaruh oleh perilaku-perilaku yang
berdampak buruk seperti halnya pemakaian smartphone yang berlebihan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Abel, J. P., Buff, C. L., & Burr, S. A. (2016). Social Media and the Fear of Missing
Out: Scale Development and Assessment. Journal of Business & Economics
Research (JBER), 14(1), 33-44. https://doi.org/10.19030/ jber.v14i1.9554
Al-Menayes, J. (2016). The fear of missing out scale: validation of the Arabic
version and correlation with social media addiction. International Journal of
Applied Psychology, 6(2). 41-46. doi: 10.5923/j/ijap.20160602.04
Alt. D., & Boniel-Nissim, M. (2018). Links between Adolescents’ Deep and
Surface Learning Approaches, Problematic Internet Use, and Fear of
Missing Out (FoMO). Internet Interventions, 13, 30-39. Doi:10.1016/j.
invent.2018.05.002
Bae, S. M. (2015). The relationships between perceived parenting style, learning
motivation, friendship satisfaction, and the addictive use of smartphones
with elementary school students of South Korea: Using multivariate latent
growth modeling. School Psychology International, 36(5), 513–531. doi:10.
1177/0143034315604017
Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of self-regulation. Organizational
Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 248–287.
doi:10.1016/0749-5978(91)90022-l
Baumrind, D. 1991. The influence of parenting style on adolescent competence and
substance use. The Journal of Early Adolescence, 11 (1), 56-95..
Bian, M., & Leung, L. (2014). Linking Loneliness, Shyness, Smartphone Addiction
Symptoms, and Patterns of Smartphone Use to Social Capital. Social Science
Computer Review, 33(1), 61–79. doi:10.1177/0894439314528779
Błachnio, A., & Przepiórka, A. (2018). Facebook intrusion, fear of missing out,
narcissism,and life satisfaction: A cross-sectional study. Psychiatry
Research, 259, 514–519.https://doi.org/10.1016/j.psychres.2017.11.012
Błachnio, A., & Przepiórka, A. (2018). Facebook intrusion, fear of missing out,
narcissism,and life satisfaction: A cross-sectional study. Psychiatry
Research, 259, 514–519.https://doi.org/10.1016/j.psychres.2017.11.012
Blair, C., & Cybele, C. Raver. (2012). Individual Development and Evolution:
Experiential Canalization of Self-Regulation. Development Psychology,
48(3), 647-657. Doi: 10.1037/a0026472
Brown, A. L. (1990). Domain-Specific Principles Affect Learning and Transfer in
Children. Cognitive Science, 14(1), 107–133. doi:10.1207/s15516709
cog1401_6
Brown, J. M. (1998). Self-regulation and the addictive behaviors. In W. R. Miller,
& N. Heather (Eds.), Treating addictive behaviors (2nd ed., pp. 61-73). New
York, NY: Plenum Press.
94
Buri, J. R. (1991). Parental Authority Questionnaire. Journal of Personality
Assessment, 57(1), 110–119. doi:10.1207/s15327752jpa5701_13
Carbonell, X., Oberst, U., & Beranuy, M. (2013). The Cell Phone in the Twenty-
First Century. Principles of Addiction, 901–909. doi:10.1016/b978-0-12-
398336-7.00091-7
Chaudhry, L. A. (2015). Can you please put your phone away? Examining how the
FOMO phenomenon and mobile phone addiction affect human
relationships. Retrieved from https://scholarscompass.vcu.edu/cgi/viewcon
tent. cgi?article=1146&context=uresposters
Chen, C., Zhang, K. Z. K., Gong, X., Zhao, S. J., Lee, M. K. O., & Liang, L. (2017).
Examining the effects of motives and gender differences on smartphone
addiction. Computers in Human Behavior, 75, 891–902. doi:10.1016/j.chb.
2017.07.002
Cheever, N. A., Rosen, L. D., Carrier, L. M., & Chavez, A. (2014). Out of sight is
not out of mind: the impact of restricting wireless mobile device use on
anxiety levels among low, moderate and high users. Computers in Human
Behavior, 37, 290-297. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.05.002.
Chotpitayasunondh, V., & Douglas, K. M. (2016). How “phubbing” becomes the
norm: the antacedents and consequences of snubbing via smartphone.
Computer in Human Behavior, 63, 9-18.doi:10.1016/j.chb.2016.05.018
Christian, L. S & Wagoner, Brady. (2013). Loneliness: And Intergrative Approach.
Journal of Integrated Social Sciences, 3(1), 1-29.
Common Sense, Media (2016) Dealing With Devices: The Parent-Teen Dynamic.
Retrieved from dari Common SenseMedia: https://
www.commonsensemedia.org/technolog-addictionconcern -controversy -
and- finding- balance-infographic#
Darling, N. (1999). Parenting style and its correlates. Clearing house on
Elementary and Early Childhood Education. Retrieved from http://ecap. crc.
illinois. edu/eecearchive/digests/1999/darlin99.pdf
Darling, N., & Toyokawa, T. (1997). Construction and validation of the parenting
style inventory II (PSI-II).
Dawe, S., & Loxton, N. J. (2004). The role of impulsivity in the development of
substance use and eating disorders. Neuroscience & Biobehavioral Reviews,
28, 343–351.
Deloitte. (2014). The Smartphone Generation Gap: Over-55? There's no App for
that. Retrieved from Creative Studio at Deloitte:http://www2.deloitte.com/
content/dam/Deloitte/global/Documents/Technogy-Media Telecommunica
tions /gx-tmt-2014prediction-smartphone.pdf
Desmita. (2015). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Enez Darcin, A., Kose, S., Noyan, C. O., Nurmedov., S., Yilmaz, O., & Dilbaz, N.
(2016). Smartphone addiction and its relationship with social anxiety and
95
loneliness. Behaviour & Information Technology, 35(7), 520-525.
Doi:10.1080/0144929x.2016.1158319
Gary B. & Shelly, Misty.E. (2011). Discovering Computers. Boston: Course
Technology Cengage Learning.
George, Jeanne Lee. (1984). A Comparison of Chronic and Transient Loneliness
on the Variables of Anxiety, Depression and Self-Esteem." . LSU Historical
Dissertations and Theses. https://digitalcommons.lsu.edu/gradschool
disstheses /4015
Gierveld, J. D. J., & Van Tilburg, T. (2006). A 6-item scale for overall, emotional,
and social loneliness confirmatory tests on survey data. Research on Aging,
28(5), 582-598.
Gökçearslan, S., Filiz, K. M., Tülin, H., Yasemin, D. Ç. (2016). Modelling
smartphone addiction: The role of smartphone usage, self-regulation,
general self-efficacy and cyberloafing in university students. Computers in
Human Behavior, 639-649. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2016.05.091
Goswami, V., & Divya Rani, S. (2016). Impact of mobile phone addiction on
adolescent’s life. International Journal of Home Science, 2(1), 69-74
Griffiths, M.D. & Kuss, D.J. (2017). Adolescent social media addiction
(revisited). Education and Health, 35, 59-62.
Griffiths, M.D. (1996). Behavioural addictions: An issue for everybody? Journal of
Workplace Learning, 8(3), 19-25.
Griffiths, M.D. (2005). A ‘components’model of addiction within a
biopsychosocial framework. Journal of Substance Use, 10, 191-197.
Hong, F. Y., Chiu, S. I., & Huang, D. H. (2012). A model of the relationship
between psychological characteristics, mobile phone addiction and use of
mobile phones by Taiwanese university female students. Computers in
Human Behavior, 28(6), 2152–2159, doi: 10.1016/j.chb.2012.06.020.
International Data Corporation (2013). Worldwide mobile phone market forecast to
grow 7.3% in 2013 driven by 1 billion smartphone shipments, according to
IDC. Retrieved from http://www.idc.com/getdoc.jsp?containerId=prUS
24302813
Jiang, Q., Li, Y., & Shypenka, V. (2018). Loneliness, Individualism, and
Smartphone Addiction Among International Students in China.
Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. doi:10.1089/cyber.
2018.01
Jeong, S. H., Kim, H., Yum, J. Y., & Hwang, Y. (2016). What type of content are
smartphone users addicted to?: SNS vs. games. Computers in Human
Behavior, 54, 10e17. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2015.07.035.
96
Joreskog, K. and Sorbom, D. (1993). LISREL 8: Structural Equation Modelling
with the SIMPLIS Command Language. Scientific Software International
Inc., Chicago.
Karoly, P. (1993). Mechanisms of self-regulation: A systems view. Annual Review
of Psychology, 44, 23-52. http://dx.doi.org/10.1146/annurev.ps.44.
020193.000323
Kee, I.-K, Byun, J.-S., Jung, J.-K., & Choi, J.-K. (2016). The presence of altered
craniocervical posture and mobility in smartphone-addicted teenagers with
temporomandibular disorders. Journals of Physical Therapy Science, 28(2),
339-346. Doi:10.1589/jpts.28.339
Kim, D., Lee, Y., Lee, J., Nam, J. K., & Chung, Y. (2014). Development of Korean
Smartphone Addiction Proneness Scale for Youth. PLoS ONE, 9(5).
doi:10.1371/journal.pone.0097920
Kim, H.-J., Min, J.-Y., Min, K.-B., Lee, T.-J., & Yoo, S. (2018). Relationship
among family environment, self-control, friendship quality, and
adolescents’ smartphone addiction in South Korea: Findings from
nationwide data. PLoS ONE, 13(2). doi:10.1371/journal. pone.0190896
Kiran, Sk. (2019). Mobile Phone Addiction: Symptoms, Impacts and Causes-A
Review, presented at International Conference on Trends in Industrial &
Value Engineering, Business and Social Innovation, Bengaluru, 2019.
Bengaluru: BMS College of Engineering.
Kwon M, Lee JY, Won WY, Park JW, Min JA. (2013). Development and
Validation of a Smartphone Addiction Scale (SAS). PloS one 8(2)
doi:10.1371/journal.pone.0083558
Kwon, M., Kim, D.J., Cho, H & Yang, S. (2013). The Smartphone Addiction Scale:
Development dan Validation of a Short Version for Adolescent. PloS ONE,
8(12): e83558
LaRose, R., & Eastin, M. S. (2004). A Social Cognitive Theory of Internet Uses
and Gratifications: Toward a New Model of Media Attendance. Journal of
Broadcasting & Electronic Media, 48(3), 358–377. doi:10.1207/s155
06878jobem4803_2
LaRose, R., Lin, C. A., & Eastin, M. S. (2003). Unregulated Internet usage:
Addiction, habit, or deficient self-regulation? Media Psychology, 5(3), 225–
253.
Lian, L., You, X., Huang, J., & Yang, R. (2016). Who overuses Smartphones? Roles
of virtues and parenting style in Smartphone addiction among Chinese
college students. Computers in Human Behavior, 65, 92–99.
doi:10.1016/j.chb.2016.08.02
Li, J., Lepp, A., & Barkley, J. E. (2015). Locus of control and cell phone use:
Implications for sleep quality, academic performance, and subjective well-
being. Computers in Human Behavior, 52, 450–457.
doi:10.1016/j.chb.2015.06.021
97
Luszczynska A, Diehl M, Gutiérrez-Doña B, Kuusinen P, & Schwarzer R. (2004)
Measuring one component of dispositional self-regulation: Attention
control in goal pursuit. Personality and Individual Differences, 37, 555–
566.
Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1983). Socialization in the context of the family:
Parent-child interaction, Manual of child psychology. New York, NY: John
Wiley and Sons.
Mahapatra, S. (2019). Smartphone addiction and associated consequences: role of
loneliness and self-regulation. Behaviour & Information Technology, 1–12.
doi:10.1080/ 0144929x.2018.1560499
Marcoen, A., Goossens, L., & Caes, P. (1987). Loneliness in pre- through late
adolescence: Exploring the contributions of a multidimensional approach.
Journal of Youth and Adolescence, 16, 561–577. doi:10.1007/ bf02138821.
Marlatt, G. A., Baer, J. S., Donovan, D. M., & Kivlahan, D. R. (1988). Addictive
behaviors: Etiology and treatment. Annual Review of Psychology, 39, 223–
252.
Marlina. (2017). Hubungan Fear of Missing Out (FoMO) dengan Kecenderungan
Kecanduan Internet pada Emerging Adulthood. Skripsi. Depok : Fakultas
Psikologi. Universitas Indonesia \
Metcalfe, J., & Mischel, W. (1999). A hot/cool-system analysis of delay of
gratification: Dynamics of willpower. Psychological Review, 106(1), 3–
19. doi:10.1037/0033-295x.106.1.3
Myers, D. G., (2012). Social Psychology: Tenth Edition. New York: Mc Graw Hill
Companies.
Moazedian, A., Taqavi, S. A., HosseiniAlmadani, S. A., Mohammadyfar, M. A., &
Sabetimani, M. (2014). Parenting style and Internet addiction. Journal of
Life Science and Biomedicine, 4 (1), 9-14.
Olson, H. David., & Jason L. Wilde. (2011). Five Parenting Styles based on the
Olson Circumplex Method.
Park, N., & Lee, H. (2012). Social implications of smartphone use: Korean college
students’ smartphone use and psychological well-being. Cyberpsychology,
Behavior, and Social Networking, 15(9), 491-497. http://dx.doi.org/10.10
89/cyber.2011.0580.
Park, Cheol & Park, Ye Rang (2014) The Conceptual Model on Smart Phone
Addiction among Early Childhood, International Journal of Social Science
and Humanity, 4(2) 147-150. DOI: 10.7763/IJSSH.2014.V4.336
Parlee, M. B. (1979). The friendship bond. Psychology Today, 13, 43−54
98
Peake, S. J., Dishion, T. J., Stormshak, E. A., Moore, W. E., & Pfeifer, J. H. (2013).
Risk-taking and social exclusion in adolescence: Neural mechanisms
underlying peer influences on decision-making. NeuroImage, 82, 23–34.
doi:10.1016/j .neuroimage.2013.05.061
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a Social Psychology of Loneliness. In
R. Gilmour, & S. Duck (Eds.), Personal Relationships: 3. Relationships in
Disorder (pp. 31-56). London: Academic Press.
Perdana. (2013). 41 Juta Masyarakat Indonesia Miliki Smartphone, 95% nya
Digunakan di Rumah. Retrieved from Marketeers: http://www.themar
keteers .com/archives/41-juta-masyarakat-indonesia-miliki-smartphone-95
nyadigunakan-di-rumah.html#.UqF-ddlW3gM
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013).
Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out.
Computers in Human Behavior, 29, 1841–1848. http://dx.doi.org/10.1016/
j.chb.2013.02.014
Rezi, L. Retani (2016). Hubungan Antara Tingkat Adiksi Dengan Keterampilan
Sosial Pada Remaja Pengguna Smartphone di SMP N 10 Tegal. Skripsi.
Semarang : Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro
Russell, D. W. (1996). UCLA Loneliness Scale (Version 3): Reliability, Validity,
and Factor Structure. Journal of Personality Assessment, 66(1), 20–40.
doi:10.1207/s15327752jpa6601_2
Sathiyaseelan, A. (2014). Exploring the experience of adolescents on peer
influence. Global Journal of Biology, Agriculture & Health Science, 3(1),
174-184
Schwarzer, R. (2006). Assessing attention control in goal pursuit: a component of
dispositional self regulation. Journal of personality assessment, 86(3), 306-
317
Sebastian, C. L., Tan, G. C. Y., Roiser, J. P., Viding, E., Dumontheil, I., &
Blakemore, S.-J. (2011). Developmental influences on the neural bases of
responses to social rejection: Implications of social neuroscience for
education. NeuroImage, 57, 686-694. Doi: 10.1016/j.neuroimage.2010.09.
06
Skierkowski, D., & Wood, R. M. (2012). To text or not to text? The importance of
text messaging among college-aged youth. Computers in Human Behavior,
28(2), 744–756. doi:10.1016/ j.chb.2011.11.023
Somerville, L. H. (2013). The teenage brain: Sensitivity to social evaluation.
Current Directions in Psychological Science, 22, 121–127.
Stankovska, G., Angelkovska, S., Grncarovska, S. P. (2016). Social Networks Use,
Loneliness and Academic Performance among University Students.
Education Provision to Every One: Comparing Perspectives from Around
the World BCES Conference Books, 14(1)
99
Stoltz, S., Londen, M., Dekovic, M., Prinzie, P., Castro, B., & Lochman, J. (2013).
Simultaneously testing parenting and social cognitions in children at-risk
for aggressive behavior problems: Gender differences and ethnic
similarities. Journal of Child and Family Studies, 22(7), 922-931.
http://dx.doi.org/10.1007/s10826-012-9651-8.
Tuch-Aksan, A., & Enim, S. A. (2019). Smartphone addiction, fear of missing out,
and perceived competence as predictors of social media Addiction of
Adolescents. European Journal of Education, 8(2), 559-569
Turel, O., and Serenko, A. (2010). Is mobile email addiction overlooked?
Communications of the ACM, 53(5), 41-43.
Umar, J. 2012. Confirmatory factor analysis: Bahan ajar perkuliahan, Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah
van Deursen, A. J., Bolle, C. L., Hegner, S. M., & Kommers, P. A. (2015).
Modeling habitual and addictive smartphone behavior: The role of
smartphone usage types, emotional intelligence, social stress, self-
regulation, age, and gender. Computers in human behavior, 45, 411-420.
Vera, J., Granero, R., & Ezpeleta, L. (2012). Father's and mother's perceptions of
parenting styles as mediators of the effects of parental psychopathology on
antisocial behavior in outpatient children and adolescents. Child Psychiatry
and Human Development, 43(3), 376-392. http://dx.doi.org/10.1007/s10
578-011-0272-z.
Wade, C., & Tavris, C. (2012). Invitation to Psychology: Fifth Edition. New Jersey:
Prentice Hall
Wills, T. A., Pokhrel, P., Morehouse, E., & Fenster, B. (2011). Behavioral and
emotional regulation and adolescent substance use problems: A test of
moderation effects in a dual-process model. Psychology of Addictive
Behaviors, 25, 279–292.
Yashika, A. F. (2015). Pengaruh dukungan sosial, loneliness, dan trait kepribadian
terhadap gejala depresi narapidana remaja di Lembaga pemasyarakatan.
Ciputat: skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Yuwanto, L. (2010). Cause of Mobile Phone Addiction. Anima Indonesian
Psychological Journal, 25(3), 225-229.
Zhang, Kem Z.K.; Chen, Chongyang; and LEE, Matthew K O, (2014).
Understanding The Role of Motives in Smartphone Addiction. PACIS 2014
Proceedings. http://aisel.aisnet.org/pacis2014/131
Zimmerman, B. J. (2000). Attaining self-regulation: a social cognitive perspective.
In M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of self-
regulation (pp. 13-39). Burlington: Elsevier Academic Press
LAMPIRAN
101
Assallammualaikum wr. Wb
Dengan Hormat,
Perkenalkan saya Revina Citra mahasiswi Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saat ini sedang melakukan penelitian yang merupakan persyaratan untuk mencapai gelar sarjana psikologi
(S.Psi), memohon kesediaan kawan-kawan untuk mengisi kuesioner yang akan diberikan. Hal ini dilakukan
guna mendapatkan data acuan untuk penelitian yang sedang saya jalani.
Harap isi angket/kuisioner ini sejujur-jujurnya sesuai dengan kondisi Anda. tidak ada jawaban salah/benar
dalam pengisian angket ini.
kriteria yang saya butuhkan adalah sebagai berikut:
1. Berusia 15-21 tahun
2. Memiliki smartphone
3. Berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang atau Bekasi.
Jika Anda termasuk kedalam kriteria tersebut, maka saya memohon bantuan Anda untuk berpartisipasi
dalam pengisian kuisioner ini.
Dalam pengisian kuesioner ini tidak ada jawaban benar ataupun salah. Oleh karena itu kawan-kawan bebas
menentukan jawaban yang paling sesuari dengan kondisi diri kawan-kawan sekalian.
Saya sangat mengharapkan kerjasama dari kawan-kawan untuk mengisi seluruh bagian dari kuesioner ini
secara lengkap. Sesuai dengan kode etik penelitian, semua jawaban yang kawan-kawan berikan DIJAMIN
KERAHASIAANNYA dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
*Akan ada hadiah pulsa/ovo/go-pay (pilih salah satu) senilai 50 ribu untuk kawan-kawan yang beruntung.
Terimakasih atas kerjasama dan kesediaan waktu kawan-kawan dalam mengisi kuesioner ini. Semoga
kebaikan anda dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa dan segala urusan anda dipermudah.
Hormat saya,
Revina Citra Aditya (081289380166)
Atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan terima kasih
Wassalammualaikum wr.wb
102
IDENTITAS RESPONDEN (WAJIB DIISI)
Nama (Inisial) :
Usia :
Jenis Kelamin :
Domisili : Jakarta/Bogor/Depok/Tangerang/Bekasi *coret yan tidak perlu
No. Hp :
Reward yang diinginkan : Pulsa/GO-PAY/OVO *coret yang tidak perlu
Petunjuk Pengisian
Dibawah ini, terdapat sejumlah pernyataan yang menggambarkan smartphone addiction. Anda diminta
untuk memilih salah satu pada setiap pernyataan dengan memberikan tanda checklist (√). pilihlah jawaban
yang paling sesuai menggambarkan diri anda.
Keterangan:
STS = Sangat Tidak Setuju
TS = Tidak Setuju
S = Setuju
SS = Sangat Setuju
Sebelum anda menyerahkan lembaran ini, harap periksa kembali dan pastikan semua nomor terisi
dengan baik
Contoh :
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya senang bermain musik √
103
Skala 1
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Gagal melaksanakan rencana yang
sudah dibuat karena berlebihan menggunakan smartphone
2 Saya merasa sulit berkonsentrasi ketika
mengerjakan tugas didalam kelas atau
saat bekerja karena menggunakan smartphone
3 Saya merasakan sakit pada
pergelangan tangan atau belakang
leher ketika menggunakan smartphone secara berlebihan
4 Saya merasa tidak sanggup jika tidak menggunakan smartphone
5 Saya merasa resah atau jengkel jika tidak membawa smartphone
6 Pikiran saya selalu tertuju kepada
smartphone jika saya tidak
menggunakannya
7 Saya tidak akan berhenti menggunakan
smartphone walaupun kehidupan
sehari-hari saya sudah banyak terpengaruh oleh smartphone
8 Saya selalu memeriksa smartphone
secara terus-menerus sehingga saya
tidak melewatkan interaksi di media
sosial seperti WhatsApp, Line, Facebook, dsb.
9 Saya menggunakan smartphone lebih lama dari yang saya harapkan
10 Orang-orang di sekitar saya
mengatakan bahwa saya terlalu sering menggunakan smartphone
Skala 2
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Orangtua saya merasa bahwa anak memiliki peran yang sama seperti anggota keluarga yang lain.
104
2 Jika saya tidak sependapat dengan orangtua, mereka tetap memaksa saya untuk mengikuti pendapat mereka.
3 Ketika orangtua saya meminta saya
untuk melakukan sesuatu, saya harus
segera melakukannya tanpa banyak bertanya
4 Orangtua saya selalu menjelaskan
alasan dibuatnya peraturan untuk anaknya
5 Orangtua saya selalu memberi
kesempatan berdiskusi ketika saya
merasa ada peraturan dalam keluarga yang tidak masuk akal
6 Orangtua saya merasa bahwa saya
bebas untuk menentukan pilihan
walaupun hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang orangtua pikirkan
7 Orangtua saya tidak mengizinkan saya
untuk mempertanyakan keputusan yang telah mereka buat.
8 Orangtua saya mengatur kegiatan saya
dan menentukan keputusan untuk saya sebagai bentuk kedisiplinan
9 Orangtua saya beranggapan dengan
memberikan banyak tekanan, maka saya akan semakin patuh.
10 Orangtua saya berpikir bahwa saya
tidak perlu mematuhi aturan yang berlaku.
11 Saya mengetahui harapan orangtua
saya, tetapi saya juga bisa
mendiskusikan harapan tersebut jika saya tidak sependapat dengan mereka.
12 Orangtua saya merasa bahwa orangtua
yang bijaksana adalah orangtua yang
mengajarkan siapa pemimpin dalam keluarga.
13 Orangtua saya jarang membimbing
saya tentang bagaimana seharusnya bersikap
14 Ketika membuat keputusan dalam keluarga, orangtua saya menuruti apa yang saya inginkan
15 Orangtua saya membesarkan saya
dengan arahan dan bimbingan secara rasional dan objektif
16 Orangtua saya akan sangat marah jika
saya tidak sesuai dengan keinginan mereka.
105
17 Orangtua saya beranggapan bahwa
masalah dalam masyarakat dapat
terselesaikan jika orangtua tidak
membatasi kegiatan, aktivitas, keputusan, ataupun keinginan anak- anak mereka
18 Orangtua saya memberi tahu harapan
mereka terhadap saya, dan jika saya tidak memenuhi harapan mereka saya akan mendapat hukuman
19 Orangtua saya memperbolehkan saya
menentukan banyak hal untuk diri saya tanpa banyak arahan dari mereka.
20 Orangtua saya mempertimbangkan
pendapat saya ketika membuat
keputusan di dalam keluarga, tetapi dia
tidak memutuskan hanya karena keinginan anak-anaknya
21 Orangtua saya tidak menganggap
bahwa mereka memiliki tanggung
jawab untuk mengarahkan dan membimbing perilaku saya
22 Orangtua saya mempunyai standar
yang jelas mengenai perilaku anak
dirumah, namun mereka berkenan
untuk merubah standar tersebut sesuai
dengan kebutuhan setiap anak di dalam keluarga
23 Orangtua saya memberikan arahan
mengenai perlaku dan aktivitas saya,
mereka mengharapkan saya mengikuti
arahan tersebut, namun mereka setuju
untuk mendengar keluhan dan mendiskusikan hal tersebut kepada saya
24 Orangtua saya memperbolehkan saya
dan menentukan apa yang ingin saya lakukan
25 Orangtua saya mengaggap bahwa
masalah dalam masyarakat bisa di
cegah bila orangtua dapat mengontrol
anaknya secara paksa sehingga mereka
tidak melakukan hal yang tidak diinginkan
26 Orangtua saya sering mengatakan harapannya dan menginginkan saya sesuai dengan harapan mereka
27 Orangtua saya memberi arahan yang jelas untuk perilaku dan aktivitas saya,
106
tapi mereka juga mengerti ketika saya tidak setuju dengan mereka
28 Orangtua saya tidak mengatur
perilaku, aktivitas ataupun apa yang saya inginkan
29 Orangtua saya tetap memaksakan
keinginan mereka walau mengetahui saya tidak menginginkannya.
30 Orangtua saya berani meminta maaf kepada anaknya jika memang melakukan hal yang salah
Skala 3
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Saya memiliki seseorang yang bisa mendengarkan cerita tentang masalah sehari-hari saya
2 Saya merindukan memiliki teman dekat
3 Saya merasa hampa
4 Saya memiliki banyak orang yang bisa
saya percayai ketika saya memiliki
masalah
5 Saya merindukan memiliki seseorang yang dekat dengan saya
6 Saya merasa lingkungan pertemanan dan kenalan saya terlalu sempit.
7 Saya memiliki banyak orang yang bisa saya percayai sepenuhnya
8 Saya memiliki cukup orang yang dekat dengan saya
9 Saya merindukan bisa dekat dengan orang lain
10 Saya terkadang merasa dijauhi atau ditolak
11 Saya bisa menghubungi teman saya ketika saya membutuhkan mereka
Skala 4
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Saya bisa berkonsentrasi untuk
mengerjakan satu kegiatan dalam waktu yang lama, jika dibutuhkan.
2 Jika saya terganggu ketika melakukan seuatu kegiatan, mudah bagi saya
107
untuk kembali focus terhadap kegiatan tersebut
3 Jika suatu kegiatan membuat perasaan
saya tidak enak, saya bisa
menenangkan diri sejenak kemudian melanjutkan kegiatan tersebut
4 Jika dalam suatu kegiatan
membutuhkan keprofesionalan diri,
saya bisa mengkontrol perasaan saya
5 Susah bagi saya untuk menghilangkan
pikiran negatif yang mengganggu
dengan cara apapun
6 Saya bisa mengendalikan pikiran saya dari hal-hal mengganggu ketika mengerjakan tugas
7 Saya tidak bisa berkonsentrasi ketika saya merasa khawatir
8 Walaupun ada masalah yang
mengganggu, mudah bagi saya untuk tetap menyelesaikan suatu pekerjaan
9 Saya biasanya mempunyai banyak
pikiran dan perasaan yang
mengganggu konsentrasi saya ketika bekerja atau belajar
10 Saya tetap focus terhadap tujuan saya
dan tidak akan membiarkan apapun megalihkan saya dari tujuan saya.
Skala 5
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Saya merasa gelisah apabila teman- teman saya memiliki pengalaman berharga melebihi saya.
2 Saya merasa khawatir ketika teman- teman saya bersenang-senang tanpa saya
3 Penting bagi saya untuk memahami lelucon teman-teman saya.
4 Terkadang saya merasa menghabiskan
banyak waktu untuk mengikuti apa yang sedang terjadi (up to date)
5 Saya merasa tidak nyaman jika melewatkan kesempatan untuk bertemu teman saya
6 Sangat penting bagi saya untuk
membagikan momen di media sosial ketika saya sedang bersenang-senang
108
7 Saya merasa terganggu jika melewatkan acara yang sudah direncanakan jauh-jauh hari.
8 Ketika saya berlibur, saya akan
mencari tahu kegiatan apa yang
dilakukan teman-teman saya melalui sosial media (stalking)
Skala 6
NO PERNYATAAN STS TS S SS
1 Saya rela melakukan apa saja sesuai
dengan apa yang diinginkan orang lain agar diterima di lingkungan
2 Saya tidak bisa menjadi diri saya
sendiri ketika bersama teman-teman saya
3 Saya merokok ketika saya bertemu
dengan orang yang suka merokok
(perokok) meskipun sebenarnya saya bukan perokok
4 Saya ikut pergi bersenang-senang
dengan teman-teman daripada belajar
untuk ujian agar tidak dijauhi teman- teman
5 Saya rela menunda perkerjaan saya
karena ajakan bermain dengan teman- teman.
6 Saya berpakaian sesuai dengan apa yang teman-teman saya suka
7 Saya biasanya mematuhi orang tua saya
8 Saya sering meniru apa yang teman- teman saya lakukan
9 Saya mengikuti keinginan orang lain ketika memutuskan suatu hal
10 Berpergian dengan teman-teman saya
sampai lupa waktu merupakan hal
yang biasa
109
UJI VALIDITAS KONSTRUK
SMARTPHONE ADDICTION
DA NI=10 NO=250 MA=PM
LA
SA1 SA2 SA3 SA4 SA5 SA6 SA7 SA8
SA9 SA10
PM SY FI=SA.COR
MO NX=10 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
SA
PD
FR TD 2 1 TD 10 3 TD 7 1
OU SS TV MI
Lampiran 3
HASIL UJI VALIDITAS CFA
1. Smartphone Addiction
110
UJI VALIDITAS KONSTRUK
PERMISSIVE
DA NI=10 NO=250 MA=PM
LA
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
PM SY FI=permissive.cor
MO NX=10 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY LK
permissive
FR TD 9 4 TD 8 3 TD 9 3 TD 4 2 TD 10
8 TD 8 4 TD 4 3 TD 9 5 TD 4 1 TD 9 8
PD
OU SS TV MI
UJI VALIDITAS KONSTRUK
AUTHORITARIAN
DA NI=10 NO=250 MA=PM
LA
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10
PM SY FI=AUTHORITARIAN.COR
MO NX=10 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
AUTHORITARIAN FR TD 9 8 TD 7 2 TD 5 1 TD 10 5 TD 8
7 TD 9 6 TD 5 3 TD 3 1 TD 9 1 TD 8 1
TD 10 4 TD 10 6 TD 2 1 TD 7 6 TD 9 4
PD
OU SS TV MI
2. Permissive Style
3. Authoritarian Style
111
UJI VALIDITAS KONSTRUK
OTORITATIF
DA NI=10 NO=250 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
PM SY FI=OTORITATIF.COR
MO NX=10 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
OTORITATIF PD
FR TD 7 6 TD 8 5 TD 9 5 TD 9 8 TD 6 5
TD 9 6 TD 8 6 TD 7 2 TD 9 7 TD 8 7 TD
7 5 TD 3 1 TD 9 3 TD 8 3 TD 4 1
OU SS TV MI
UJI VALIDITAS KONSTRUK
KESEPIAN SOSIAL
DA NI=5 NO=250 MA=PM
LA X1 X2 X3 X4 X5
PM SY FI=KSOSIAL.COR
MO NX=5 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
KSOSIAL
FR TD 3 1 TD 3 2
PD OU SS TV MI
4. Authoritative Style
5. Kesepian Sosial
112
UJI VALIDITAS KONSTRUK
KESEPIAN EMOSIONAL
DA NI=6 NO=250 MA=PM
LA E1 E2 E3 E4 E5 E6
PM SY FI=KEMOSIONAL.COR
MO NX=6 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
KEMOSIONAL
FR TD 6 2 TD 4 2 TD 6 4 TD 6 5
PD
OU SS TV MI
6. Kesepian Emosional
7. Self-Regulation
UJI VALIDITAS KONSTRUK SELF REGULATION
DA NI=10 NO=250 MA=PM
LA
SR1 SR2 SR3 SR4 SR5 SR6 SR7 SR8
SR9 SR10
PM SY FI=SR.COR
MO NX=10 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
SR FR TD 7 5 TD 8 4 TD 9 7 TD 9 5 TD 9 2
TD 7 4 TD 10 5 TD 10 4 TD 10 8 TD 8 2
TD 2 1 TD 3 2
PD
OU SS TV MI
113
UJI VALIDITAS KONSTRUK FEAR
OF MISSING OUT
DA NI=8 NO=250 MA=PM
LA
R1 R2 R3 R4 R5 R6 S7 S8
PM SY FI=FOMO.COR
MO NX=8 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
FOMO
FR TD 8 6 TD 5 1 TD 7 6 TD 8 4 TD 8 5
TD 7 1 TD 6 3 TD 8 2
PD
OU SS TV MI
UJI VALIDITAS KONSTRUK
KONFORMITAS
DA NI=10 NO=250 MA=PM
LA
C1 C2 C3 C4 C5 A6 A7 A8 A9 A10
PM SY FI=KONFORMITAS.COR
MO NX=10 NK=1 LX=FR PH=ST
TD=SY
LK
KONFORMITAS FR TD 9 8 TD 10 5 TD 3 2 TD 7 6 TD 2
1 TD 10 2 TD 7 1 TD 10 1 TD 5 3 TD 8 3
TD 8 7
PD
OU SS TV MI
8. Fear of Missing Out (FOMO)
9. Konformitas
114
Lampiran 4
HASIL ANALISIS REGRESI
1. Distribusi Frekuensi
115
2. Kategorisasi Variabel
116
3. Analisa Multiple Regression
117