pengaruh hari besar pada komoditas utama inflasi … bi no... · secara garis besar ada tiga...

58
WORKING PAPER PENGARUH HARI BESAR PADA KOMODITAS UTAMA INFLASI DI INDONESIA Wijoyo Santoso (advisor senior) Sri Liani Suselo Nurhemi Guruh Suryani R. 2013 WP/16/2013

Upload: phungdat

Post on 27-Jul-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

WORKING PAPER

PENGARUH HARI BESAR PADA KOMODITAS UTAMA INFLASI DI INDONESIA

Wijoyo Santoso (advisor senior)

Sri Liani Suselo

Nurhemi

Guruh Suryani R.

2013

WP/16/2013

1

Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank

Indonesia.

2

PENGARUH HARI BESAR PADA KOMODITAS UTAMA INFLASI DI INDONESIA

Wijoyo Santoso, Sri Liani Suselo, Nurhemi, Guruh Suryani R.

Abstrak

Penelitian ini mengkaji pengaruh hari besar, khususnya Ramadan pada tingkat inflasi untuk komoditas utama inflasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua data, yakni data inflasi bulanan BPS dan data inflasi mingguan dari Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia dengan periode pengamatan tahun 2006–2012. Penentuan komoditas dan kota didasarkan pada bobot dalam perhitungan inflasi, yakni komoditas beras, minyak goreng, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan emas perhiasan; sedangkan untuk kota dipilih Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar. Analisis dilakukan dengan metode ARMA. Untuk data inflasi bulanan BPS, Ramadan berpengaruh signifikan untuk komoditas daging sapi, daging ayam, dan telur ayam, sedangkan untuk data inflasi mingguan Bank Indonesia, diperoleh hasil bahwa Ramadan signifikan berpengaruh pada inflasi adalah berbeda-beda antarkota, tetapi komoditas yang selalu signifikan di enam kota adalah daging sapi.

Key word : Ramadan, inflasi, komoditas utama

JEL Classification : E10

3

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hari besar/hari libur memberi pengaruh yang berbeda-beda antarnegara. Di

Amerika hari besar (Natal dan Thanksgiving) tidak berpengaruh terhadap inflasi,

sedangkan di Turki dan Pakistan hari besar (Ramadan) secara umum tidak

berpengaruh pada inflasi nasional, tetapi berpengaruh pada inflasi beberapa

komoditas. Pengaruh itu disebabkan adanya pola perubahan konsumsi masyarakat

terhadap beberapa komoditas tertentu yang pada akhirnya berpengaruh pada

permintaan dalam komoditas tersebut. Tingkat konsumsi yang meningkat

mendorong kenaikan harga beberapa harga barang-barang konsumsi. Pada

akhirnya tingkat inflasi juga terdorong naik akibat dari kenaikan barang-barang

konsumsi tersebut.

Di Indonesia fenomena kenaikan beberapa harga barang konsumsi juga

terjadi. Kenaikan harga barang terjadi pada barang-barang kebutuhan pokok, yakni

pangan, seperti telur, beras, cabai merah, minyak goreng, daging sapi, dan daging

ayam. Kenaikan itu dipengaruhi oleh budaya masyarakat dalam menghadapi bulan

Ramadan.

Berdasarkan Survei Mekanisme Pembentukan Harga 2001, tambahan inflasi

pada periode Idulfitri, terutama di Indonesia disebabkan oleh tingginya permintaan

dan kecenderungan perilaku permintaan yang kurang elastis terhadap harga pada

periode tersebut. Penyebab lainnya adalah faktor dorongan pesaing yang menaikkan

harga akibat naiknya ekspektasi para pedagang terhadap inflasi. Sementara itu,

keterbatasan pasokan bukan penyebab yang utama kenaikan harga pada kurun

waktu tersebut.

Peningkatan harga selama bulan Ramadan di Indonesia juga dipengaruhi

adanya perubahan pola konsumsi masyarakat. Oleh sebab itu, pada umumnya

harga yang terdorong naik adalah harga-harga kebutuhan pokok, khususnya yang

terkait dengan pangan. Pola konsumsi yang berubah selama bulan Ramadan juga

terkait dengan preferensi masyarakat yang cenderung berubah karena adanya

pertimbangan kepraktisan dan ketahanan bahan pangan untuk dikonsumsi.

Data terbaru BPS untuk harga pangan jelang Ramadan, secara nasional pada

akhir pekan ketiga Juni 2013 hingga pekan pertama Juli 2013 menunjukkan tren

penaikan, khususnya untuk beras, cabai rawit, bawang merah, daging sapi, daging

4

ayam ras, dan telur ayam. Kenaikan tertinggi terjadi pada cabai rawit. Pada pekan

ketiga Juni harga cabai rawit per kilogram sekitar Rp35.286,00 dan naik menjadi

Rp41.609,00 atau naik 75,6 persen sampai dengan minggu pertama Juli 2013.

Kemudian, bawang merah pada periode sama naik dari Rp33.815,00/kg menjadi

Rp41.704,00/kg atau naik 27,6 persen. Meskipun begitu, pemerintah menyatakan

bahwa kenaikan yang terjadi tidak hanya sebagai dampak Ramadan murni

melainkan sebagai akibat adanya kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh

pemerintah pada awal bulan Juli 2013. Sementara itu bulan Ramadan dimulai pada

minggu kedua bulan Juli 2013.

Untuk mengatasi lonjakan harga selama bulan Ramadan, pemerintah telah

berupaya untuk mencukupi pasokan komoditas yang mengalami lonjakan harga

tersebut. Beberapa hal yang dilakukan pemerintah, antara lain adalah operasi pasar

dan penambahan cadangan stok melalui impor beberapa komoditas, seperti daging

sapi dan cabai rawit.

Kajian yang dilakukan Wimanda et al. (2010) mengonfirmasi bahwa faktor

hari raya Idulfitri (termasuk bulan puasa) menjadi salah satu determinan inflasi.

Penelitian menggunakan data inflasi bulanan periode 2002–2004. Tabel berikut

menjelaskan adanya peningkatan inflasi selama bulan puasa pada jenis bahan

pangan dan bahan pangan olahan.

Tabel 1. Peningkatan inflasi pada bulan Ramadan

Sumber: Wimanda et al., 2010

5

Dampak Ramadan memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Hutabarat

(2005) membandingkan kenaikan inflasi sebagai dampak Idulfitri di Indonesia,

Malaysia, Thailand, dan Pakistan. Dari hasil yang diperoleh, dibandingkan dengan

Malaysia, Thailand, dan Pakistan, kenaikan inflasi Indonesia sebagai dampak

adanya hari raya Idulfitri lebih besar, yakni 1,5% dalam triwulan yang di dalamnya

terdapat Idulfitri berlangsung.

Kenaikan harga yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan inflasi yang

terjadi di bulan Ramadan dan Idulfitri terus terjadi sepanjang tahun dan telah

dianggap sebagai siklus tahunan oleh masyarakat. Penelitian-penelitian terdahulu

juga telah mengonfirmasi bahwa adanya bulan Ramadan dan Idulfitri memang

secara statistik berpengaruh pada tingkat harga, khususnya harga pangan. Untuk

itu, penelitian ini akan mengkaji lebih dalam pada beberapa komoditas di beberapa

kota besar dalam perhitungan inflasi di Indonesia. Pada penelitian yang telah ada,

analisis yang dilakukan masih bersifat agregat komoditas. Untuk itu, perlu dipilah

komoditas yang secara umum terpengaruh harganya oleh Ramadan untuk diketahui

apakah bulan Ramadan memberi dampak yang signifikan terhadap harga pada

periode tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Fenomena kenaikan beberapa barang konsumsi terjadi pada hari libur besar,

khususnya lebaran, terus terjadi dalam beberapa periode. Hal ini akan

mempengaruhi pencapaian Bank Indonesia dalam menstabilkan harga yang

menjadi tugas pokok Bank Indonesia. Untuk itu, perlu adanya kajian untuk melihat

pengaruh Ramadan pada beberapa komoditas utama penyumbang inflasi.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh Ramadan

terhadap enam komoditas utama penyumbang inflasi, yakni daging sapi, daging

ayam ras, telur ayam ras, minyak goreng, dan emas perhiasan, baik secara nasional

maupun di tujuh kota utama dalam perhitungan inflasi di Indonesia, yakni Jakarta,

Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar.

6

1.4 Metodologi

Metodologi yang akan dipakai untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah

analisis kuantitatif terhadap harga beberapa komoditas inflasi dan akan diolah

dengan series (ARMA) per kota untuk mengetahui pengaruh seasonal dari Ramadan

serta analisis nasional untuk mengetahui pengaruh Ramadan pada tiap komoditas

secara nasional.

Data yang digunakan adalah data mingguan untuk data inflasi mingguan dari

Bank Indonesia dan data inflasi bulanan dari BPS. Komoditas yang dipilih adalah

beras, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur ayam, dan emas perhiasan

yang merupakan enam komoditas utama dilihat dari bobot dalam perhitungan

inflasi Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan,

Palembang, dan Makassar.

1.5 Pembatasan Masalah

Penelitian hanya melihat pengaruh bulan Ramadan dan tidak mengkaji hari

besar lainnya.

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara

umum dan terus menerus. Kenaikan terjadi tidak hanya pada satu atau dua barang

dan jasa saja, tetapi meluas pada harga barang dan jasa yang lain. Kenaikan harga

ini akan cenderung terjadi secara tajam dan berlangsung terus menerus dalam

jangka waktu yang relatif lama. Bersamaan dengan kenaikan harga tersebut, nilai

mata uang juga turun secara tajam sebanding dengan kenaikan harga yang terjadi.

Kondisi yang merupakan lawan dari inflasi adalah deflasi, yaitu kondisi

harga-harga barang dan jasa terus menurun dengan tajam. Penurunan itu

sebenarnya dimaksudkan untuk menggairahkan produksi, industri, kesempatan

kerja, dan meningkatkan nilai uang. Akan tetapi, penurunan yang terus menerus

dan tak terkendali justru akan meyebabkan kondisi ekonomi menjadi tidak

menguntungkan karena uang menjadi tidak berharga. Baik inflasi maupun deflasi

dapat menganggu stabilitas perekonomian suatu negara.

Indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga

adalah indeks harga konsumen (IHK). IHK mencakup barang dan jasa yang dijual

secara eceran dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Perubahan IHK dari

waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang

dikonsumsi masyarakat yang dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di

pasar tradisional dan modern terhadap 283–397 jenis barang/jasa di setiap kota

dan secara keseluruhan terdiri atas 742 komoditas.

Selain inflasi IHK, inflasi masih mempunyai beberapa cara pengukuran,

antara lain adalah inflasi indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan inflasi

pendapatan domestik bruto (PDB) deflator. Namun, indikator yang paling sering

digunakan dalam pengukuran inflasi adalah inflasi IHK karena inflasi IHK

mencerminkan perubahan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat luas.

Dalam kehidupan nyata inflasi IHK merupakan inflasi yang secara langsung

mempengaruhi keputusan bisnis dan konsumen.

2.1.1 Teori dan Faktor yang Menyebabkan Inflasi

8

Secara garis besar ada tiga kelompok teori mengenai inflasi, yaitu teori

kuantitas, teori Keynes, dan teori strukturalis.

A. Teori Kuantitas

Teori tentang inflasi pada awalnya berkembang dari teori yang dikenal dengan

teori kuantitas (tentang uang). Teori kuantitas pada dasarnya merupakan suatu

hipotesa tentang faktor yang menyebabkan perubahan tingkat harga, yaitu

kenaikan jumlah uang beredar merupakan faktor penentu atau faktor yang

mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

Teori kuantitas tidak hanya menyatakan bahwa jumlah uang beredar sebagai

faktor penyebab perubahan tingkat harga. Teori kuantitas uang juga terkait dengan

teori tentang (1) proporsionalitas jumlah uang dengan tingkat harga, (2) mekanisme

transmisi moneter, (3) netralitas uang, dan (4) teori moneter tentang tingkat harga.

Ahli ekonomi moneter yang menganut teori kuantitas, dalam perkembangannya

lebih dikenal sebagai ahli ekonomi yang beraliran monetaris. Salah satu tokoh aliran

monetaris ini adalah ekonom Milton Friedman yang mendapatkan hadiah Nobel di

bidang ekonomi pada tahun 1976. Tokoh ini membuat pernyataan yang sangat

terkenal, yaitu bahwa inflation is always and everywhere a monetary phenomenon.

Milton Friedman adalah ekonom yang menyempurnakan teori kuantitas dan

memformulasikan lebih lanjut teori kuantitas uang serta menyusun teori tentang

permintaan uang. Teori permintaan uang tersebut dalam perkembangannya

menjadi teori yang sangat penting dalam teori ekonomi makro. Teori permintaan

uang dalam perkembangannya juga telah mengalami banyak variasi serta

perkembangan yang sangat pesat.

Teori permintaan uang pada dasarnya menyatakan bahwa permintaan uang

masyarakat ditentukan oleh sejumlah variabel ekonomi, antara lain adalah

pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan tingkat harga. Sejalan dengan teori

permintaan uang, tingkat harga atau laju inflasi hanya akan berubah apabila

jumlah uang beredar tidak sesuai dengan jumlah yang diminta atau diperlukan oleh

suatu perekonomian. Apabila jumlah uang yang beredar lebih besar dibandingkan

dengan jumlah uang yang diminta atau dibutuhan oleh masyarakat, tingkat harga

akan meningkat dan terjadilah inflasi. Sebaliknya, apabila jumlah uang yang

beredar lebih kecil dengan jumlah uang yang dibutuhkan oleh masyarakat, tingkat

harga akan turun dan terjadi apa yang disebut sebagai deflasi.

9

Banyak kajian empiris yang membuktikan bahwa pertumbuhan uang beredar

dan laju inflasi yang tinggi mempunyai korelasi yang tinggi, misalnya kajian yang

dilakukan oleh Fisher, Sahay, dan Vegh (2002, hal. 847). Mereka menyatakan bahwa

dalam jangka panjang hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan laju inflasi

menjadi semakin kuat (erat). Dalam hal jangka pendek pertumbuhan uang beredar

dan laju inflasi masih mempunyai korelasi yang cukup signifikan, terutama untuk

mengetes hubungan kedua variabel tersebut dengan mempergunakan data lag,

misalnya dengan data satu atau dua periode sebelumnya. Meskipun begitu, kajian

tersebut juga menyatakan bahwa hubungan dua variabel tersebut tidaklah instan

dan juga tidak persis berhubungan langsung satu satu. Kajian itu juga menemukan

bahwa laju inflasi yang tinggi cenderung tidak stabil, dan sebaliknya, laju inflasi

yang rendah cenderung lebih stabil.

B. Teori Keynes

Dalam perkembangannya tidak semua ekonom sependapat dengan teori

kuantitas uang. Sebagai contoh para ekonom aliran Keynesian tidak sepenuhnya

sependapat dengan teori tersebut. Ekonom Keynesian menyatakan bahwa teori

kuantitas tidak valid karena teori tersebut mengasumsikan ekonomi dalam kondisi

full employment (kapasitas ekonomi penuh). Dalam kondisi kapasitas ekonomi yang

belum penuh, ekspansi (pertambahan) uang beredar justru akan menambah output

(meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja) dan tidak akan

meningkatkan harga. Lebih lanjut dikatakan bahwa uang tidak sepenuhnya netral,

pertambahan uang beredar dapat mempunyai pengaruh tetap (permanen) terhadap

variabel-variabel riil seperti output dan suku bunga.

Pendekatan Keynes juga menyatakan bahwa teori kuantitas yang

mengasumsikan elastisitas dan perputaran uang (velocity of circulation) adalah tetap

juga tidak benar. Elastisitas dan perputaran uang sangat sulit diprediksi dan

banyak dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat serta perubahan barang yang

merupakan substitusi uang (financial assets). Hal tersebut terbukti bahwa dalam

suatu perekonomian yang sektor keuangannya telah maju dan terdapat instrumen-

instrumen keuangan yang berfungsi sebagai substitusi uang, perputaran uang akan

menjadi semakin sulit diprediksi.

Perbedaan pendapat antara ekonom aliran monetaris, aliran Keynesian, dan

yang lain dalam perkembangannya semakin kecil, atau terjadi konvergensi antara

10

berbagai aliran tersebut. Mishkin (1984, 2001) menyatakan bahwa sepanjang inflasi

dilihat sebagai sustained inflation atau inflasi yang terus menerus dan berjangka

panjang, baik ekonom aliran monetaris maupun ekonom aliran Keynesian

sependapat bahwa inflasi adalah suatu gejala moneter. Untuk membuktikan bahwa

inflasi adalah suatu gejala moneter, berbagai kajian yang dipelopori oleh Friedman

(1963) dan dilanjutkan oleh berbagai kajian selanjutnya, telah dapat membuktikan

bahwa dalam jangka panjang memang terdapat keterkaitan yang erat antara inflasi

dan jumlah uang yang beredar. Dalam pengertian umum dapat dikatakan bahwa

inflasi timbul terutama karena jumlah uang yang beredar dalam suatu

perekonomian melebihi jumlah uang beredar yang diminta atau diperlukan oleh

perekonomian bersangkutan. Pengertian tersebut tidak mengatakan bahwa tidak

terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan laju inflasi. Banyak faktor lain

yang dapat menjadi penyebab timbulnya inflasi, tetapi inflasi terutama disebabkan

oleh jumlah uang beredar atau likuiditas yang berlebihan.

C. Teori Struktural

Teori ini lebih didasarkan pada pengalaman negara-negara di Amerika Latin.

Pendekatan ini menyatakan bahwa inflasi, terutama di negara berkembang,

terutama lebih disebabkan oleh faktor struktural dalam perekonomian.

Menurut teori ini ada 2 masalah struktural di dalam perekonomian negara

berkembang yang dapat mengakibatkan inflasi. Pertama, penerimaan ekspor tidak

elastis, yaitu pertumbuhan nilai ekspor yang lebih lambat dibandingkan dengan

pertumbuhan sektor lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh terms of trade yang

memburuk dan produksi barang ekspor yang kurang responsif terhadap kenaikan

harga. Pelambatan pertumbuhan ekspor akan menghambat kemampuan untuk

mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Sering kali negara berkembang

melakukan kebijakan substitusi impor meskipun dengan biaya yang tinggi dan

mengakibatkan harga barang yang tinggi sehingga menimbulkan inflasi. Kedua,

masalah struktural perekonomian negara berkembang lainnya adalah produksi

bahan makanan dalam negeri yang tidak elastis, yaitu pertumbuhan produksi

makanan dalam negeri tidak secepat pertambahan penduduk dan pendapatan

perkapita sehingga harga makanan dalam negeri cenderung meningkat lebih tinggi

daripada kenaikan harga barang-barang lainnya. Hal ini mendorong timbulnya

tuntutan kenaikan upah dari pekerja sektor industri yang selanjutnya akan

meningkatkan biaya produksi dan pada gilirannya akan menimbulkan inflasi.

11

Sementara itu, proses inflasi, dalam praktiknya, kemungkinan dapat mengandung

aspek-aspek dari ketiga teori inflasi tersebut.

2.1.2 Faktor Pembentuk Inflasi

Inflasi dapat timbul karena tiga hal yaitu adanya tekanan dari sisi supply

(cost push), tekanan dari sisi permintaan (demand pull), dan dari sisi ekspektasi

inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi

(melemahnya) nilai tukar, dampak inflasi yang terjadi di luar negeri, terutama di

negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur

pemerintah (administered price), serta adanya gangguan tiba-tiba pada sisi

penawaran (negative supply shocks) akibat bencana alam yang terjadi di suatu

daerah dan/atau terganggunya distribusi barang. Faktor penyebab terjadi demand

pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa dibandingkan dengan

kapasitas ketersediaannya (penawaran). Secara makroekonomi kondisi itu

digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan

total (agregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian yang akhirnya

menimbulkan output gap. Gap inilah yang pada akhirnya memicu kenaikan harga

barang. Hal itu sesuai dengan hukum ekonomi, jika permintaan melebihi

penawaran, harga akan naik.

Dengan menggunakan permintaan dan penawaran agregat, selanjutnya akan

digambarkan kenaikan tingkat harga umum yang terjadi atau yang disebut sebagai

inflasi. Dalam Grafik 1 perekonomian dalam tingkat keseimbangan jangka panjang

yang digambarkan pada titik Y*, yaitu pada saat kurva permintaan agregat (AD1)

berpotongan dengan kurva penawaran agregat (baik untuk penawaran jangka

pendek (SRAS1) maupun penawaran jangka panjang (LRAS)), yaitu pada titik A.

12

Grafik 1. Permintaan dan Penawaran

Dalam jangka panjang penawaran agregat dianggap tetap karena seluruh

kapasitas produksi telah dipergunakan. Pada titik tersebut tingkat harga terjadi

pada tingkat P1. Apabila jumlah uang beredar bertambah, sebagai akibatnya jumlah

permintaan agregat akan bertambah sehingga kurva permintaan agregat akan

bergeser ke kanan dan menjadi AD2. Pada awalnya (dalam jangka pendek)

perekonomian akan bergeser ke titik B. Akan tetapi, pada titik tersebut

perekonomian telah melampaui kapasitas yang tersedia sehingga kurva penawaran

agregat akan bergeser ke kiri menjadi SRAS2 sampai pada keseimbangan semula

dan berhenti pada titik C. Pada keseimbangan baru tersebut tingkat harga akan

meningkat dan tercapai pada titik P2. Apabila pertambahan uang beredar terus

berlanjut, yang terjadi adalah kenaikan harga pada titik P3, P4, dan seterusnya dan

tidak menambah besarnya output. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan

bahwa inflasi terjadi karena pertambahan jumlah uang beredar.

Inflasi yang disebabkan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran

agregat tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa apabila jumlah permintaan

agregat melebihi penawaran agregat (yang merupakan potensi yang tersedia), harga-

harga akan meningkat. Secara sederhana dapat digambarkan dengan persamaan

sebagai berikut:

P = D/S

Apabila P adalah harga, sedangkan D dan S masing-masing adalah permintaan dan

penawaran agregat, P akan naik selama jumlah D lebih besar dibandingkan dengan

jumlah S. Hal tersebut dapat terjadi apabila D meningkat, sedangkan S tetap atau

kenaikan S tidak sebanding dengan kenaikan D. Hal yang sama juga akan terjadi

B

C

P1

P2

y

y

AD1

AD2

SRAS2

SRAS1

LRAS

P

A

13

apabila S berkurang, sedangkan D tetap atau penurunan D tidak sebanding dengan

penurunan S.

Inflasi yang disebabkan oleh sisi permintaan maupun penawaran mempunyai

kesamaan dalam hal menaikkan tingkat harga output (kenaikan harga secara

umum—inflasi). Akan tetapi, kedua faktor tersebut mempunyai dampak yang

berbeda terhadap volume output (PDB riil). Dalam hal inflasi yang lebih disebabkan

oleh sisi permintaan, ada kecenderungan output akan meningkat sejalan dengan

kenaikan harga. Besaran kenaikan output tersebut sejalan dengan elastisitas

penawaran agregat. Sebaliknya pada inflasi yang disebabkan oleh sisi penawaran,

kenaikan harga sering kali justru diikuti dengan menurunnya barang yang tersedia.

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat

dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking.

Untuk negara-negara berkembang, pelaku ekonomi biasanya masih bersifat adaftif,

yang artinya akan segera dilakukan penyesuaian sesaat jika memasuki bulan-bulan

ketika permintaan barang akan meningkat, seperti menjelang hari-hari besar

keagamaan atau hari libur sekolah. Penyesuaian harga pada tipe masyarakat atau

pelaku ekonomi seperti di atas biasanya juga akan dilakukan pada pengumuman

kenaikan gaji atau upah minimum regional. Biasanya pada kondisi-kondisi di atas

itulah inflasi akan melonjak. Pada masyarakat atau pelaku ekonomi dengan perilaku

forward looking, inflasi relatif tidak begitu fluktuatif.

Selain itu, tekanan inflasi juga dapat dibedakan menjadi domestic pressures

(tekanan dari dalam negeri) dan external pressures (tekanan dari luar negeri).

Tekanan yang berasal dari dalam negeri merupakan segala sesuatu yang terjadi di

dalam negeri yang mempengaruhi harga barang. Tekanan itu dapat diakibatkan oleh

adanya gangguan dari sisi penawaran dan permintaan dalam negeri yang akan

berpengaruh pada pembentukan harga barang di pasar atau kebijakan yang diambil

oleh instansi di luar bank sentral, misalnya kebijakan pengetatan anggaran belanja

pemerintah dengan melakukan penghapusan subsidi pemerintah, kenaikan pajak,

atau kenaikan harga barang oleh pemerintah yang berimbas pada kenaikan harga

barang-barang yang lain. Tekanan dari luar negeri dapat berupa inflasi di negara

lain yang akan berpengaruh pada ekspor, impor, atau neraca pembayaran

antarnegara, kenaikan harga barang impor yang juga akan menyebabkan kenaikan

harga produk dengan bahan baku impor, serta kenaikan nilai tukar mata uang asing

yang secara otomatis akan berpengaruh pada kinerja neraca pembayaran.

14

2.1.3 Jenis-jenis Inflasi

Inflasi dapat dibedakan dari penyebab terjadinya. Berikut adalah jenis-jenis

inflasi berdasarkan faktor penyebabnya.

a. Inflasi inti (core inflation)

Inflasi inti ialah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental

perekonomian suatu negara, yaitu interaksi permintaan-penawaran, lingkungan

eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), serta

ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen. Inflasi inti pada dasarnya

merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan bahan makanan

dengan harga yang sangat berfluktuasi (volatile foods), dan barang-barang

dengan harga ditentukan pemerintah (administered goods).

b. Inflasi non-inti

Inflasi non-inti ialah inflasi di luar inflasi inti yang dipengaruhi oleh selain

faktor fundamental yang terdiri atas (1) inflasi volatile food, (2) inflasi

administered prices, dan (3) inflasi IHK.

1. Inflasi volatile food

Inflasi volatile food adalah inflasi yang dipengaruhi goncangan (shock), yang

biasanya terjadi pada produk-produk pertanian karena sifatnya yang

musiman dan rentan terhadap gagal panen akibat gangguan alam dan

penyakit, serta yang berpengaruh terhadap harga. Pada masa panen, harga

akan cenderung rendah, tetapi pada masa tanam atau musim kemarau atau

pada saat terjadi gagal panen, harga akan melonjak tinggi. Karena umur

tanam komoditas pertanian biasanya pendek, volatilitas harga menjadi

sangat tinggi.

2. Inflasi administered prices

Inflasi administered prices adalah inflasi yang dipengaruhi goncangan (shock)

akibat kebijakan harga pemerintah, seperti penetapan harga BBM, harga gas,

tarif listrik, dan/atau tarif angkutan. Adanya kenaikan pada harga suatu

barang akibat kebijakan pemerintah akan berimbas pada kenaikan barang-

barang yang lain yang pada akhirnya akan menimbulkan inflasi.

3. Inflasi IHK

15

Inflasi IHK adalah inflasi yang dihitung dengan keseluruhan indeks harga

konsumen, baik inti maupun non-inti. Inflasi IHK dikenal juga sebagai

headline inflation yang sama artinya dengan inflasi inti dengan memasukkan

unsur harga barang yang volatile dan administered price. Inflasi IHK dapat

lebih tinggi atau lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi inti. Hal itu

tergantung dari inflasi volatile food dan inflasi administered price.

2.2 Karakteristik Inflasi Indonesia

Determinan inflasi di Indonesia menjelaskan hubungan antara output gap,

inflasi administered, perubahan nilai tukar, inflasi volatile food, dan ekspektasi

inflasi.

Sumber: Bank Indonesia

Gambar 1. Determinan Inflasi di Indonesia

Inersia inflasi (kesulitan ekspektasi inflasi untuk diubah akibat adanya

kecenderungan untuk menjadikan tingkat inflasi atau perkembangan nilai tukar

dan perkembangan harga tahun lalu sebagai dasar ekpektasi inflasi tahun

berikutnya), target inflasi yang diumumkan Bank Indonesia, dan nilai tukar rupiah

akan berpengaruh langsung terhadap ekspetasi inflasi dari para pelaku pasar.

Ekspektasi pelaku pasar terhadap inflasi juga akan dipengaruhi oleh inflasi harga-

16

harga yang ditentukan pemerintah (administered price). Sementara itu, nilai tukar

rupiah dan inflasi yang terjadi pada mitra dagang akan berpengaruh terhadap

kenaikan harga barang impor (inflasi barang impor) yang akan menimbulkan output

gap. Ekspektasi inflasi, output gap, dan inflasi harga impor akan mempengaruhi

inflasi inti. Jika inflasi inti digabungkan dengan inflasi administered dan inflasi

volatile foods, akan terbentuk inflasi IHK.

Pergerakan core inflation dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, output gap, dan

import price. Output gap merepresentasikan tekanan inflasi dari sisi permintaan.

Meskipun begitu, pergerakan level output gap tidak selalu dapat menjelaskan

pergerakan inflasi inti. Tekanan inflasi dari output gap dapat bersumber dari kondisi

likuiditas perekenomian, harga minyak mentah, pass–through tidak langsung nilai

tukar, dan perilaku permintaan musiman (Wimanda et al., 2011).

Inflasi IHK dapat diagregeasi menjadi tiga komponen, yakni core inflation,

volatile food inflation, dan administered price inflation. Total komoditas yang disurvei

oleh BPS sebesar 774 komoditas yang terdiri atas 692 komoditas core (63,64%), 61

komoditas volatile food (18,69%), dan 21 komoditas administered price (17,67%).

2.3 Studi Terdahulu

Penelitian mengenai dampak dari hari besar pada inflasi sudah banyak

dilakukan di berbagai negara. Hari besar yang diteliti antara lain Ramadan, Natal,

Thanksgiving Day, dan Galungan. Dari keseluruhan hari besar yang diteliti, secara

umum dampak hari besar tidak terlalu signifikan terlihat pada CPI umum. Akan

tetapi, terlihat pada CPI beberapa komoditas yang memang mengalami perubahan

pola konsumsi pada saat hari besar berlangsung. Adapun tiap-tiap penelitian

dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.

Akmal dan Abbasi (2010) meneliti dampak bulan Ramadan pada pergerakan

harga di Pakistan. Data yang digunakan dalam penelitian itu adalah data CPI yang

dikelompokkan menjadi tiga, yakni CPI umum, CPI food, dan CPI non-food dengan

rentang waktu Juli 1991 sampai dengan Desember 2008. Model yang digunakan

adalah model ARIMA dengan menggunakan ketiga variabel tersebut. Hasil dari

penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya bulan Ramadan tidak berpengaruh

signifikan terhadap CPI di Pakistan, tetapi berpengaruh pada beberapa komoditas

tertentu saja. Komoditas yang terpengaruh oleh bulan Ramadan, antara lain, adalah

17

buah-buahan, tetapi karena bobot buah-buahan dalam keranjang, inflasi relatif

kecil dan pengaruhnya tidak signifikan terhadap CPI secara umum.

Arini (2005) meneliti dampak hari raya Galungan pada inflasi di Bali dengan

judul “Pengaruh Hari Raya Galungan pada Seasonal Adjustment IHK dan Penentuan

Komoditas Utama yang Mempengaruhi Inflasi di Provinsi Bali: Analisis ARIMA”. Data

yang digunakan adalah IHK, inflasi, indeks harga komoditas, harga di tingkat

produsen, dan harga di tingkat konsumen dengan range waktu 1990–2011. Metode

yang digunakan adalah metode dekomposisi x-12 ARIMA dan untuk peramalan

digunakan SARIMA. Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa hari raya Galungan

tidak signifikan sebagai komponen musiman yang mempengaruhi IHK Provinsi Bali

dan peramalan terhadap nilai inflasi di Bali tahun 2012 adalah sebesar 6,23%.

Levy et al. (2008) meneliti persistensi harga pada saat hari libur (Natal dan

Thanksgiving) dan penyesuaian biaya dengan menggunakan data harga mingguan

dari 4.500 barang yang berdasar 18 kategori yang ditentukan yang diperoleh dari

supermarket besar yang memiliki cabang di beberapa daerah untuk periode 1989–

1993. Alasan lebih tingginya lalu lintas barang seperti penyesuaian stok di rak

display, menjawab pertanyaan pelanggan, kesibukan di kasir, serta pembersihan

dan pengantongan, hal ini menjadi sesuatu yang lebih penting untuk diperhatikan

selama hari libur. Sebagai dampaknya cost opportunity untuk penyesuaian harus

secara dramatis meningkat di toko eceran yang menyebabkan meningkatnya price

rigidity pada hari libur.

Yucel (2005) meneliti mengenai dampak Ramadan pada harga makanan di

Turki. Yucel akan membandingkan hasil pengolahan data dengan menggunakan

sistem penanggalan Masehi dan sistem penanggalan Islam karena dengan

menggunakan kalender Islam, bulan terjadinya Ramadan adalah tetap, hal ini

berbeda dengan kalender Masehi yang terus bergerak antarbulan. Model

menggunakan X-11 dan X-12 ARIMA. Data yang digunakan adalah food price index

bulan Januari 1994–Desember 2004. Hasil pengolahan data dengan menggunakan

sistem penanggalan Islam menunjukkan bahwa Ramadan signifikan mempengaruhi

tingkat harga, sedangkan menggunakan sistem penanggalan masehi memberi hasil

yang tidak signifikan.

Hutabarat (2005) dan Wimanda et al., (2010) menyebutkan bahwa faktor

musiman, terutama hari Idulfitri menjadi salah satu determinan inflasi di Indonesia.

Jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand Selatan, dan Pakistan, Indonesia

18

memiliki dampak inflasi yang lebih tinggi, yaitu 1,5% dalam triwulan ketika hari

Idulfitri berlangsung.

Darsono et al., (2001) juga melakukan survei mengenai penyebab inflasi

musiman di hari Idulfitri sebagian besar dipengaruhi oleh tingginya permintaan.

Sumber: Darsono et.al (2011).

Grafik 2. Penyebab Kenaikan Harga pada Idulfitri

Dalam survei tersebut disimpulkan bahwa kenaikan inflasi pada periode

menjelang hari raya pada umumnya tidak dipandang sebagai ketidakmampuan sisi

penawaran memenuhi kenaikan permintaan, melainkan sebagai akibat dari aksi

ambil untung pedagang. Dari sisi pedagang, aksi ambil untung itu dilakukan karena

tidak adanya gaji ke-13 seperti yang diterima pegawai negeri. Survei ini juga

menemukan bahwa kenaikan harga pada periode tersebut bukan disebabkan oleh

keterbatasan penawaran, tetapi disebabkan oleh berkurangnya elastisitas terhadap

kenaikan harga.

Dari penelitian terdahulu pengaruh Ramadan pada inflasi lebih disebabkan

oleh adanya pola perubahan konsumsi dan pada umumnya pengaruh Ramadan

tidak signifikan terlihat pada inflasi secara umum, tetapi terlihat pada beberapa

komoditas saja.

III. DATA DAN METODOLOGI

19

3.1 Data

Data yang digunakan adalah data inflasi mingguan yang diperoleh dari survei

pemantauan harga (SPH). SPH merupakan survei yang dilakukan Bank Indonesia

sejak tahun 2006 pada tujuh kota yang memiliki bobot yang besar dalam

perhitungan inflasi, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang,

Palembang, dan Makassar (bobot 60,70% dari total bobot kota secara nasional) dan

mencakup 40 komoditas. Pada Juni 2009 SPH dilakukan pada 14 kota dan

mencakup 48 komoditas.

Pada penelitian ini dari data SPH dipilih enam komoditas dan tujuh kota yang

disurvei sejak tahun Juni 2006 dengan mempertimbangkan panjang data, yakni

beras, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, serta minyak goreng untuk

kelompok makanan dan emas perhiasan untuk kelompok nonmakanan yang

diwakili oleh emas perhiasan. Komoditas dipilih berdasarkan bobotnya dalam

perhitungan inflasi karena bobot relatif tetap dalam kurun waktu observasi.

Sementara itu, jika pemilihan komoditas didasarkan pada sumbangan terhadap

inflasi, komoditas yang muncul tiap tahun dapat berbeda-beda. Periode data adalah

data mingguan untuk periode 2006–2012.

Selain itu, untuk komparasi hasil akan digunakan pula data inflasi BPS. Hasil

itu akan menjadi pembanding dan komparasi dari temuan hasil dari data SPH Bank

Indonesia. Data BPS yang digunakan adalah data bulanan dengan periode waktu

yang sama dengan data SPH Bank Indonesia.

Selain itu, akan digunakan pula indikator-indikator ekonomi lainnya sebagai

pendukung pada saat analisis per wilayah, seperti GDP, pertumbuhan ekonomi, dan

fact finding lain untuk mempertajam analisis.

3.2 Metodologi

Penelitian ini tidak hanya melihat signifikansi dampak bulan Ramadan secara

nasional, tetapi juga melihat per komoditas dan per kota. Selain itu, akan dilihat

dampak inflasi pada komoditas yang berdasarkan pengamatan umum mengalami

kenaikan harga pada saat bulan Ramadan pada tiap-tiap komoditas, yakni beras,

daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, minyak goreng, dan emas perhiasan.

Metode yang digunakan untuk melihat pengaruh bulan Ramadan adalah

ARMA karena ARMA merupakan metodologi yang dapat melihat pengaruh seasonal

20

dalam kurun waktu data tertentu. Untuk melihat dampak bulan Ramadan, dalam

model akan dimasukkan dummy variabel, yakni minggu dalam Ramadan (minggu

Ramadan=1, minggu non-Ramadan=0). Jika melihat hasil uji stasioneritas yang

menunjukkan bahwa seluruh data yaang digunakan stasioner pada level atau I (0)

pada tingkat signifikansi 5%, teknik analisis yang digunakan akan berbasis pada

ordinary least square (OLS). Adapun analisis yang dilakukan adalah analisis secara

nasional dan analisis per kota.

Analisis ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh bulan Ramadan terhadap

inflasi komoditas penelitian pada setiap kota. Jenis data yang digunakan adalah

data time series dengan teknik analisis yang digunakan adalah autoregressive

moving average (ARMA) untuk melihat pengaruh seasonal harga. Teknik ini dipilih

karena sifat seluruh data yang telah stasioner pada level.

Time series adalah serangkaian pengamatan terhadap suatu variabel yang

diambil dari waktu ke waktu dan dicatat secara berurutan menurut urutan waktu

kejadian dengan interval waktu yang tetap (Wei, 1994). Data yang dianalisis time

series haruslah stasioner dalam varian dan mean. Beberapa model time series di

antaranya ialah model autoregressive (AR), model moving average (MA), dan model

autoregressive moving average (ARMA). Model autoregressive moving average

merupakan model campuran dari model autoregressive dan moving average. Adapun

model yang dibangun adalah sebagai berikut.

𝑌𝑡 = 𝛼0 + ∑ 𝜃𝑝

𝑝

𝑝=1

𝑌𝑡−𝑝 + ∑ 𝛽𝑖 𝐷𝑖 + ∑ 𝛿𝑞

𝑞

𝑞=1

휀𝑡− 𝑞 + 𝜇𝑖

6

𝑖=1

Keterangan:

Yt = inflasi komoditas pembentuk inflasi (beras, daging ayam, daging sapi, telur, minyak

goreng, dan emas perhiasan)

Di = dummy variabel untuk penanggalan masehi (1=minggu yang jatuh pada Ramadan,

0=bukan Ramadan, i =2006–2012)

θp = koefisien autoregressive (AR)

δq = koefisien moving average (MA)

μi = white noise dari ARMA model

p,q = ordo ARMA

Selanjutnya dilakukan analisis yang sama dengan menggunakan data inflasi

bulanan dari BPS yang datanya bersifat nasional. Model yang digunakan adalah

sama dengan model sebelumnya, hanya periode data adalah bulanan sehingga

untuk perhitungan dummy Ramadan dilakukan dengan memperhitungkan

banyaknya hari yang masuk dalam bulan Ramadan sebagaimana yang dilakukan

21

oleh Akmal. Adapun teknis penghitungannya menggunakan teknik penghitungan

proposial dummy yang digunakan oleh Akmal dan Abassi (2010).

IV. KOMPARASI INDIKATOR EKONOMI

4.1 Beberapa Indikator Terkini

a. Jumlah Penduduk

22

Berdasarkan Grafik 3 wilayah Indonesia yang banyak dihuni oleh penduduk

adalah wilayah Indonesia bagian barat. Sementara itu, wilayah yang sedikit dihuni

oleh penduduk adalah wilayah Indonesia bagian timur. Salah satu pulau terbesar

di wilayah Indonesia bagian barat, yaitu Pulau Jawa, merupakan salah satu daerah

dengan jumlah penduduk terpadat di dunia, yaitu dengan dihuni lebih dari 107 juta

jiwa. Pulau dengan kepadatan penduduk terendah adalah Pulau Papua.

Meningkatnya jumlah penduduk di wilayah Indonesia bagian barat diakibatkan

semakin berkembangnya kota besar di wilayah ini.

Sumber: BPS, 2013

Grafik 3. Jumlah Penduduk Indonesia per Wilayah

b. Produk Domestik Regional Bruto

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah tercermin dari kenaikan PDRB daerah

tersebut. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingginya PDRB suatu

daerah, seperti penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri

(PMDN), angkatan kerja, dan ekspor. Namun, hal tersebut pun dipengaruhi oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah infrastruktur yang menunjang. Tingginya

PDRB rata-rata di wilayah Indonesia bagian barat dapat dipengaruhi oleh

banyaknya kota besar yang menjadi pusat perekonomian dengan infrastruktur yang

menunjang.

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

dala

m r

ibu

Jumlah Penduduk

Indonesia Barat Indonesia Tengah

23

Sumber: BPS, 2013

Grafik 4. Produk Domestik Regional Bruto

PDRB rata-rata untuk setiap wilayah bagian memiliki tren yang semakin

meningkat, tetapi pada tahun 1997–1998 terjadi penurunan yang cukup tajam,

khususnya pada wilayah Indonesia bagian barat. Penurunan yang tajam pada

wilayah Indonesia bagian barat itu disebabkan oleh banyaknya daerah yang telah

memiliki sektor moneter yang berkembang, seperti industri perbankan, pasar modal,

dan asuransi. Ketika terjadi krisis moneter, wilayah itulah yang mengalami

guncangan yang lebih kuat daripada wilayah Indonesia lainnya.

c. Pemilihan Komoditas Strategis

Secara sederhana inflasi dapat diartikan sebagai peningkatan harga secara

umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang dapat

dikatakan inflasi apabila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga

pada barang lainnya. Di Indonesia inflasi yang diukur dengan IHK dikelompokkan

ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu (i) kelompok bahan makanan: (ii)

makanan jadi, minuman, dan tembakau; (iii) perumahan; (iv) sandang; (v)

kesehatan; (vi) pendidikan dan olah raga; (vii) transportasi dan komunikasi.

Untuk dapat menghasilkan suatu indikator inflasi yang mampu

menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental, saat ini BPS juga

melakukan perhitungan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang

dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi IHK dikelompokkan menjadi

inflasi inti dan inflasi non-inti. Inflasi non-inti itu terbagi menjadi inflasi komponen

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

1983

1985

1987

1989

1991

1993

1995

1997

1999

2001

2003

2005

2007

2009

2011

Produk Domestik Regional Bruto Rata-rata

WIB WITA

24

bergejolak (volatile food) dan inflasi komponen harga yang diatur pemerintah

(administered prices). Berdasarkan Survei Biaya Hidup 2007 yang dilakukan BPS

terdapat 774 komoditas yang disurvei yang terdiri atas 692 komoditas core (63,64%),

61 komoditas volatile food (18,69%), dan 21 komoditas administered price (17,67%).

Sebagaimana tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian

ini berupaya menangkap pola perubahan harga komoditas inflasi pada bulan

Ramadan. Oleh karena itu, pemilihan komoditas strategis dipilih dari kelompok

komoditas volatile food yang tingkat inflasinya dominan dipengaruhi oleh kejutan

(shocks) dalam kelompok bahan makanan. Selain itu, dipilih pula satu komoditas

durable goods yang juga terpengaruh pada bulan Ramadan. Pemilihan komoditas

strategis dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa kriteria berikut.

a) Komoditas memiliki permintaan yang tinggi pada bulan Ramadan.

b) Komoditas memiliki bobot yang tinggi dalam perhitungan inflasi.

c) Komoditas tersebut juga merupakan komoditas dengan kontribusi yang

cukup tinggi terhadap inflasi nasional.

Grafik 5 menggambarkan bobot inflasi pada beberapa komoditas. Pada grafik

tersebut tampak bahwa beras memiliki bobot paling besar, yaitu 4,19%. Tingginya

bobot beras tidak terlepas dari tingginya konsumsi masyarakat sebagai bahan

makanan pokok utama. Kelompok bahan makanan lain yang memiliki bobot

terhadap inflasi cukup tinggi adalah minyak goreng (1,22%), daging ayam ras

(1,21%), telur ayam ras (0,92%), dan daging sapi (0,90%). Sementara itu, emas

perhiasan memiliki bobot yang cukup tinggi pula, yaitu sebesar 1,43%.

25

Sumber: BPS, 2013

Grafik 5. Bobot Inflasi Komoditas di Indonesia Menurut SBH 2007

Dari grafik di atas didapatkan beberapa komoditas dengan bobot yang besar,

yaitu beras, emas perhiasan, minyak goreng, daging ayam ras, telur ayam ras, dan

daging sapi. Keenam komoditas tersebut akan diteliti dalam penelitian ini. Total dari

bobot 6 komoditas ini adalah 9,87. Tabel berikut menunjukkan besarnya

sumbangan masing-masing komoditas tersebut terhadap inflasi nasional. Secara

umum, beras merupakan komoditas yang memberikan sumbangan terhadap inflasi

nasional terbesar jika dibandingkan dengan komoditas volatile food lainnya. Namun,

jika dibandingkan dengan keseluruhan komoditas dalam penelitian ini, pada 2007

dan 2008 sumbangan terbesar terhadap inflasi nasional adalah komoditas emas

perhiasan. Sementara itu, pada tahun 2009 terjadi deflasi untuk komoditas telur

ayam ras dan minyak goreng.

Tabel 2. Sumbangan Komoditas Terhadap Inflasi Nasional

Sumber : BPS, 2013

4.19

1.43 1.22 1.21

0.92 0.90

0.52 0.47 0.44 0.40 0.40 0.28 0.27 0.21 0.17 0.13

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

4.50

26

Selain melihat perilaku komoditas inflasi pada bulan Ramadan secara

nasional, penelitian ini juga melihat perilaku komoditas inflasi tersebut dalam

tingkat kota. Sesuai dengan SBH 2007, terdapat 66 kota yang disurvei oleh BPS.

Namun, terdapat sepuluh kota dengan bobot inflasi terbesar yang mencapai 53,71%,

yaitu Jakarta (22,49%), Surabaya (6,47%), Bandung (5,38%), Medan (4,67%),

Semarang (3,48%), Palembang (2,96%), dan Makassar (2,56%), Batam (2,02%),

Bandar Lampung (1,91%), dan Malang (1,77%). Pada penelitian ini, pemilihan kota

didasarkan pada besarnya bobot inflasi sehingga didapatkan tujuh kota yang akan

diteliti.

Sumber: BPS, 2013

Grafik 6. Bobot Inflasi Kota di Indonesia Menurut SBH 2007

4.2 Karakteristik dan Tata Niaga Komoditas Inflasi

a. Komoditas Beras

Beras merupakan makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun

1950 yang perannya tidak tergantikan dengan komoditas pangan lain hingga saat

ini. Hal itu terlihat dengan semakin meningkatnya konsumsi beras nasional sebagai

sumber karbohidrat dari 53% pada tahun 1950 menjadi 95% pada tahun 2011. Pada

tahun 2011 data BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139

kg per kapita per tahun. Nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan

Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg–70 kg per kapita per tahun.

Tingginya tingkat konsumsi itu diiringi pula dengan peningkatan produksi dalam

22.49

6.47

5.38

4.67

3.482.96

2.562.021.911.77

46.29

Jakarta Surabaya Bandung Medan

Semarang Palembang Makassar Batam

Bandar Lampung Malang Gab 56 Kota

27

negeri. Capaian produksi komoditas padi selama tahun 2006–2012 telah

menunjukkan prestasi yang baik, antara lain dengan meningkatnya produksi padi

dari 54,45 juta ton pada tahun 2006 menjadi 69,04 juta ton pada tahun 2012.

Tingginya tingkat produksi itu membawa Indonesia menduduki urutan ketiga di

dunia setelah Cina dan India. Selain itu, tingkat produktivitas per hektare pun

sangat baik, yaitu mencapai 5,13 ton/hektare, di atas produktivitas rata-rata negara

Asia lainnya.

Produksi padi terpusat di Pulau Jawa dengan lahan yang subur dan juga

infrastruktur pertanian yang memadai, yaitu mencapai 52,90% pada tahun 2012.

Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang padi terbesar dengan porsi 17,67%,

kemudian diikuti Jawa Barat sebesar 16,33%, Jawa Tengah 14,82%, Sulawesi

Selatan 7,25%, dan Sumatera Utara 5,38%. Sementara itu, provinsi yang

memberikan sumbangan terkecil adalah Kepulauan Riau, yaitu sebesar 0,0019%.

Kegiatan produksi yang terpusat di Pulau Jawa menjadikan proses distribusi

menjadi faktor penting. Hal itu sejalan dengan hasil pengamatan di lapangan yang

dilakukan oleh Ridhwan et al. (2012) bahwa DKI Jakarta dan Surabaya merupakan

pasar induk yang menjadi referensi bagi daerah lain dalam mementukan harga jual

di pasar setempat. Untuk wilayah Indonesia bagain barat, khususnya Sumatera

terjadi hubungan perdagangan yang intensif dengan DKI Jakarta, sedangkan untuk

wilayah Indonesia Timur hubungan perdagangan dilakukan melalui Surabaya.

Dalam pendistribusiannya tersebut tata niaga beras diatur melalui Inpres Nomor 2

Tahun 1997 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah dijelaskan bahwa koperasi

bertugas dalam pembelian gabah petani. KUD ditugasi membeli gabah petani sesuai

dengan harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. KUD juga dapat menjual

beras kepada Bulog sesuai dengan harga pembelian beras yang ditetapkan oleh

pemerintah, sedangkan Bulog ditugasi untuk membeli gabah dan beras dari KUD

dan non-KUD (swasta) sesuai dengan harga penetapan pemerintah.

Dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2001 dan Inpres Nomor 9 Tahun 2002 tentang

Penetapan Kebijakan Perberasan, dilakukan perubahan sehingga tidak terdapat lagi

harga dasar gabah pada tingkat petani dan KUD tidak lagi diberikan tugas dalam

pembelian gabah dan penjualan beras. Harga dasar pembelian gabah dan beras

hanya diberikan pada tingkat gudang Bulog dan dilaksanakan oleh Bulog. Secara

umum jalur tata niaga beras dapat dilihat pada gambar berikut.

28

PetaniPedagang

Desa/

Penggilingan

KUD/

Pedagang

Kecamatan

Pedagang

Besar

Kabupaten

Pasar Induk/

GrosirPengecer Konsumen

BULOG/DOLOG

Sumber: Surono, 1998

Gambar 2. Jalur Tata Niaga Komoditas Beras

Gambar di atas menunjukkan jalur distribusi beras dari produsen hingga

akhirnya sampai ke konsumen yang relatif panjang. Panjangnya rantai tata niaga

beras itu merugikan konsumen dan produsen karena semakin panjang rantai

pemasaran akan semakin besar selisih harga yang harus dibayar konsumen dari

harga petani. Selain itu, panjangnya rantai tata niaga beras memungkinkan

probabilitas terjadinya fluktuasi harga menjadi lebih besar dengan banyaknya pihak

yang berperan di dalamnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prastowo et al.

(2008), faktor yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi harga eceran beras di

pasaran menurut pedagang adalah ketersediaan beras karena kendala

cuaca/musim (50%), peningkatan biaya angkut/transportasi (15%), ketersediaan

beras karena kendala transportasi (13%), operasi pasar yang dilakukan Bulog (9%),

tingkat persaingan antarpedagang (8%), dan perubahan harga beras di pasar

internasional (8%).

Sebagai negara kepulauan, transportasi dan sarana pendukung menjadi

faktor utama kelancaran mata rantai perdagangan. Namun, dalam penelitian yang

dilakukan Prastowo et al. (2008) dijelaskan bahwa sebagian besar pedagang yang

menjadi responden tidak pernah mengalami hambatan/kendala transportasi dalam

melakukan kegiatan distribusi beras. Hal itu mengindikasikan bahwa sarana

angkutan/transportasi bukan merupakan masalah krusial dalam pendistribusian

beras. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa komoditas beras bersifat tahan lama dan

manajemen inventori di bawah koordinasi Bulog telah berjalan dengan baik.

Sementara itu, masih berdasarkan pendapat Prastowo et al. (2008) jenis

hambatan/kendala transportasi yang paling sering dihadapi adalah peningkatan

biaya angkutan (30%), keterbatasan jumlah armada (26%), kerusakan infrastruktur

jalan (22%), dan hambatan cuaca seperti banjir dan tanah logsor (22%). Faktor

utama terjadinya peningkatan biaya angkutan adalah kenaikan BBM. Besarnya

biaya angkut tergantung pada jarak tempuh yang dituju. Beberapa hasil survei

29

menunjukkan bahwa perubahan biaya angkut di beberapa kota berbeda-beda

sehingga perubahan harga eceran beras pada tiap kota tentu akan berbeda pula.

b. Komoditas Daging Sapi

Daging sapi merupakan satu dari lima komoditas yang ditetapkan sebagai

komoditas strategis dalam RPJMN 2010–2014. Pada tahun 1970–1980 Indonesia

merupakan negara pengekspor ternak sapi dan kerbau dengan negara tujuan

Singapura dan Hongkong. Namun, karena permintaan dalam negeri terus

meningkat, pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan ekspor ternak

sapi dan kerbau pada tahun 1979. Sesuai dengan komitmen kesepakatan

perdagangan internasional, pada tahun 1995 pemerintah membuka diri terhadap

produk dan komoditas pertanian impor. Kebijakan impor tersebut dilakukan karena

produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus

dicukupi. Pertumbuhan sapi potong dari tahun ke tahun sangat rendah dengan

rata-rata pertumbuhan populasi sapi nasional hanya sebesar 1,6% pada kurun

waktu 2003–2007. Sementara itu, jumlah sapi impor selama kurun waktu lima

tahun (2002–2006) meningkat tajam, yaitu sebesar 77% atau rata-rata 15,5% per

tahun.

Komoditas ternak sapi di Indonesia memiliki jenis sapi lokal yang cukup

potensial seperti sapi yang berasal dari Bali, Madura, dan Aceh. Populasi sapi potong

tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan sentra terbesar berada di wilayah

Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Jawa Timur

dan Jawa Tengah merupakan penyumbang sapi potong terbanyak dengan porsi

masing-masing sebesar 23,17% dan 12,43% pada tahun 2011. Sentra produsen sapi

potong yang tersebar pada berbagai daerah tersebut sebagian besar bermuara pada

sentra konsumen di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hal itu mengakibatkan

terbentuknya pola distribusi sedemikian rupa sehingga harga eceran daging sapi

pada beberapa daerah di pasar domestik bergerak harmonis dengan perbedaan

margin tertentu (Ilham, 2009).

Tabel 3. Populasi dan Produksi Sapi Potong Tahun 2011

30

Provinsi Populasi (%) Produksi (%)

Jawa Timur 31.89 23.17

Jawa Tengah 13.07 12.43

Sulawesi Selatan 6.64 2.27

Nusa Tenggara Timur 5.25 1.79

Lampung 5.01 2.07

Jawa Barat 2.85 16.17

Sumatera Barat 2.21 4.18

Banten 0.32 5.32

DKI Jakarta 0.01 1.94

Sumber: Ditjennak, 2013

Menurut Prastowo et al. (2008), hampir semua provinsi dapat memenuhi

kebutuhan daging sapi dari pemeliharaan sapi setempat, kecuali untuk wilayah

Jawa Barat dan DKI Jakarta yang sangat besar permintaannya terhadap daging sapi

sehingga kedua wilayah itu harus mendatangkan produksi dari daerah lain. Hal itu

didukung pula dengan masih tingginya perilaku masyarakat yang menginginkan

daging segar sehingga mengharuskan distribusi produk dalam bentuk hewan ternak

sapi dan pemotongan sapi dilakukan di daerah sentra konsumsi.

Pada tabel di atas, populasi sapi potong di Jawa Barat hanya sebesar 2,85%,

sedangkan produksi daging sapi yang dihasilkan mencapai 16,17% dari total

produksi nasional. Hal itu mengindikasikan adanya distribusi ternak hidup dari

wilayah lain ke Jawa Barat. Kegiatan distribusi tersebut akan mendorong tingginya

biaya (Ilham dan Yusdja, 2004). Selain itu, tingginya harga daging sapi di DKI

Jakarta dan Jawa Barat dibandingkan dengan wilayah lain disebabkan oleh

tingginya ketergantungan akan pasokan daging dari wilayah lain (Prastowo et al.,

2008).

Dalam menjalankan kegiatan perdagangan daging sapi potong antardaerah,

dibutuhkan sarana dan prasarana transportasi dalam pendistribusiannya. Menurut

Prastowo et al. (2008) terdapat setidaknya tiga permasalahan utama dalam

pemasaran ternak sapi di Indonesia, yaitu transportasi ternak antardaerah,

khususnya antarpulau; pungutan pemda pada ternak yang melewati daerahnya;

dan banyak peternak yang menjual ternak pada pedagang pengumpul daripada ke

pasar hewan.

31

Peternak

Pedagang

Pengumpul

Desa

RPH

Importir

Pedagang

Besar

Pedagang

EceranKonsumen

RPH Wilayah

Lain

Pedagang

Wilayah LainJalur Distribusi Utama

Jalur Distribusi Sekunder

Impor

Sumber: Ilham dan Yusdja (2004)

Gambar 3. Jalur Tata Niaga Komoditas Daging Sapi

Selama ini sarana transportasi yang digunakan mencakup angkutan darat,

yaitu truk dan kereta api serta angkutan laut. Namun, belum adanya penataan

sistem transportasi sapi potong menyebabkan biaya pemasaran yang tinggi, baik

disebabkan oleh ketidakteraturan jadwal angkutan laut, sistem angkutan yang

bersifat paket, maupun pungutan resmi dan tidak resmi yang semakin meningkat.

Selain sarana transportasi, distribusi ternak dan daging sapi juga membutuhkan

infrastruktur pemasaran yang tidak sedikit. Semakin panjang jarak tempuh

pengangkutan ternak dari sentra produksi ke sentra konsumsi, semakin banyak

infrastruktur yang dibutuhkan sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan

biaya.

Kelemahan dalam sistem tata niaga sapi potong ialah penyebarannya yang

luas. Oleh karena itu, dibutuhkan infrastruktur transportasi ternak yang tahan

terhadap perubahan cuaca, terutama gelombang laut. Infrasruktur tersebut masih

lemah sehingga harga jual selalu dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim.

c. Komoditas Daging Ayam Ras

Sebagai negara agraris, produksi daging ayam ras di Indonesia masih rendah

jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Cina dan Amerika Serikat.

Pada tahun 2010 populasi ayam ras pedaging di Indonesia mencapai hampir 1.000

32

juta ekor. Namun, produksi dalam negeri itu tidak mampu mengimbangi tingginya

laju pertumbuhan permintaan sehingga permintaan terhadap daging ayam impor

semakin meningkat. Meskipun demikian, produksi daging ayam ras nasional

mengalami perkembangan yang cukup tinggi. Pada tahun 2000 produksi daging

ayam ras baru mencapai 515.300 ton dan pada tahun 2011 melonjak tajam menjadi

1.337.911 ton. Pertumbuhan rata-rata dalam kurun waktu tiga tahun terakhir

(2008–2011) adalah sebesar 9,5%. Peningkatan produksi daging ayam ras ini seiring

dengan meningkatnya permintaan masyarakat.

Jawa Barat merupakan daerah dengan populasi ayam ras pedaging

terbanyak, yaitu mencapai hampir 50% dari total populasi ayam ras pedaging

nasional, sedangkan sisanya tersebar di beberapa daerah. Meskipun begitu,

produksi daging ayam ras di Jawa Barat menyumbang sebesar 38,80% dari produksi

nasional, sedangkan DKI Jakarta yang memiliki populasi ayam ras pedaging hanya

0,01% menyumbang produksi daging ayam ras sebesar 8,12%. Hal itu

mengindikasikan adanya pendistribusian ternak ayam hidup dari wilayah lain ke

DKI Jakarta.

Tabel 4. Populasi Ayam Ras dan Produksi Daging Ayam Ras Tahun 2011

Provinsi Populasi (%) Produksi (%)

Jawa Barat 49.51 36.80

Jawa Timur 12.70 11.95

Jawa Tengah 5.62 7.83

Banten 4.44 8.56

Kalimantan Selatan 3.71 2.94

DKI Jakarta 0.01 8.12

Sumber: Ditjennak

Secara umum struktur pasar komoditas daging ayam ras pada tingkat

produsen dan pedagang memiliki struktur pasar oligopoli, yaitu terdapat produsen

yang menguasai pasar, baik secara independen (sendiri-sendiri) maupun secara

diam-diam bekerja sama dalam mempengaruhi harga pasar. Jalur distribusi

komoditas daging ayam ras dimulai dari produsen (peternak inti/plasma), kemudian

disalurkan ke rumah potong ayam (RPA) yang selanjutnya disalurkan lagi ke

pedagang pengecer. Selain melalaui RPA, sebagian ayam hidup juga dijual langsung

33

melalui pedagang besar. Pada tingkat pedagang besar, ayam ras selain dijual dalam

bentuk daging utuh per ekor juga dijual dalam bentuk potongan ayam.

Rumah Potong Ayam

(RPA)

Peternak Inti/Plasma

Pedagang Besar

Pedagang Eceran

(Tradisional)

Pedagang Eceran

(Modern)

Konsumen

Sumber: Daud et al., 2000

Gambar 4. Jalur Tata Niaga Komoditas Daging Ayam Ras

d. Komoditas Telur Ayam Ras

Telur ayam merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Meskipun begitu, konsumsi telur di Indonesia masih rendah jika dibandingkan

dengan negara-negara lain. Sementara itu, pada sisi penawaran, berdasarkan data

FAO (2007), Indonesia termasuk negara produsen telur dunia pada tahun 2005

setelah Cina dan Thailand. Sentra produksi telur ayam ras di Indonesia tersebar

luas di berbagai daerah. Provinsi dengan produksi telur ayam ras terbanyak berada

di Pulau Jawa dengan tiga daerah penghasil utama, yaitu Jawa Timur 22,94%, Jawa

Tengah 17,51%, dan Jawa Barat 11,27%. Sementara itu provinsi utama penghasil

telur ayam ras di luar Pulau Jawa adalah Sumatera Utara sebesar 7,71% dan

Sumatera Barat 5,85%.

Tabel 5. Populasi Ayam Ras Petelur dan Produksi Telur Ayam Ras Tahun 2011

Provinsi Populasi (%) Produksi(%)

Jawa Timur 29.71 22.94

Jawa Tengah 14.76 17.51

Jawa Barat 9.57 11.27

34

Provinsi Populasi (%) Produksi(%)

Sumatera Utara 7.22 7.71

Sumatera Barat 6.27 5.85

Sumber: FAO, 2007

Pemasaran telur ayam ras memiliki sebaran yang lebih merata karena telur

merupakan jenis komoditas pangan yang lebih dapat diakses oleh masyarakat

sehingga tingkat permintaannya tidak terkonsentrasi hanya di satu wilayah (Daud

dan Arief, 2001). Meskipun begitu, DKI Jakarta tetap menjadi pasar terbesar untuk

telur ayam ras dengan produsen utama dari Jawa Timur. Masih menurut penelitian

yang dilakukan Daud dan Arief (2001), selain menguasai pangsa pasar telur ayam

ras di DKI Jakarta, produsen Jawa Timur pun memiliki dominasi yang kuat di

wilayah Bandung dan sekitarnya.

Pemasaran telur pada umumnya dapat disalurkan kepada pedagang

pengumpul terlebih dahulu atau langsung ke pedagang di pasar konvensional

(supplier). Gambar 4 menunjukkan rantai pasok komoditas telur ayam ras. Pihak-

pihak yang terlibat adalah peternak, pedagang pengumpul, supplier, agen telur,

pengecer di pasar konvensional dan modern, serta konsumen seperti rumah tangga,

hotel, restoran, dan rumah sakit. Jalur distribusi yang panjang dari produsen

sampai ke konsumen menyebabkan jalur distribusi komoditas telur ayam ras

menjadi kurang efisien.

Peternak

Pedagang

Pengumpulsupplier

Pengecer/ Pasar

KonvensionalPasar ModernAgen Telur

Konsumen

Sumber: Santoso (2005) dan Sejati (2011)

Gambar 5. Jalur Tata Niaga Komoditas Telur Ayam Ras

35

Kurang efisiennya pemasaran telur dapat mengakibatkan terjadinya fluktuasi

harga karena banyaknya pihak yang terlibat dalam pendistribusian. Berdasarkan

beberapa penelitian, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan harga

adalah penawaran dan permintaan (terutama pasar-pasar besar di Jakarta), hari-

hari besar, infrastruktur/transportasi, dan harga kebutuhan pokok lainnya.

Menurut Sejati (2011), pembentukan harga telur lebih banyak ditentukan oleh

ketersediaan telur yang ada di Jakarta. Hal itu didukung oleh Pinsar (2005) yang

menyatakan bahwa Jakarta merupakan barometer terhadap harga telur di

Indonesia. Jumlah telur yang ada di Jakarta jika melebihi kapasitas akan

berdampak terhadap akses pasar dan penurunan harga telur pada tingkat peternak

di wilayah produsen. Sementara itu, dari sisi penawaran, ketersediaan telur

dipengaruhi oleh pasokan telur dari Jawa Timur dengan harga yang relatif murah

jika dibandingkan dari Jawa Barat. Hal itu disebabkan banyak peternak di Jawa

Timur yang mengelola ayam dengan menggunakan pakan hasil ramuan sendiri.

e. Komoditas Minyak Goreng

Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia setelah

Malaysia dengan tingkat produksi 10 juta ton per tahun. Jumlah tersebut jauh di

atas kebutuhan domestik, yaitu hanya sekitar 3,8 juta ton per tahun sehingga

pengadaan bahan baku minyak goreng sawit dalam negeri pada dasarnya tercukupi.

Melimpahnya ketersediaan CPO di dalam negeri menjadikan komoditas ini sebagai

andalan ekspor.

Areal perkebunan kelapa sawit tersebar di delapan belas provinsi, yaitu (1)

Nangro Aceh Darussalam, (2) Sumatera Utara, (3) Riau, (4) Jambi, (5) Sumatera

Barat, (6) Sumatera Selatan, (7) Lampung, (8) Bengkulu, (9) Bangka Belitung, (10)

Kalimantan Barat, (11) Kalimantan Selatan, (12) Kalimantan Tengah, (13)

Kalimantan Timur, (14) Sulawesi Selatan, (15) Sulawesi Tengah, (16) Sulawesi

Tenggara, (17) Jawa Barat, dan (18) Papua, termasuk Irian Jaya Barat. Pada tahun

2005 luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera mencapai 4,27 juta hektare

atau sekitar 77% dari total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sedangkan

provinsi dengan luas area perkebunan kelapa sawit terbesar adalah Riau dengan

luas area mencapai 1,46 juta hektare atau sekitar 26% dari total area perkebunan

kelapa sawit di Indonesia.

36

Meskipun bahan baku minyak goreng sawit berasal dari luar Pulau Jawa,

tetapi karena industri pengolahannya berada di Pulau Jawa, sentra perdagangannya

pun terkonsentrasi pada daerah utama di Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta, Jawa

Barat, dan Jawa Timur (Ridhwan et al., 2012). Daerah produsen bahan baku mentah

minyak goreng, seperti Sumatera dan Kalimantan membawa hasil produksinya ke

daerah-daerah utama di Pulau Jawa tersebut. Sebagian besar CPO diolah dan

didistribusikan oleh perusahaan yang berlokasi di Jawa. Berbeda dengan komoditas

sebelumnya yang dapat diproduksi dan didistribusikan secara perseorangan,

komoditas minyak goreng hanya dapat diproduksi oleh industri sehingga titik awal

jalur distribusi lebih fokus. Selain itu, kuatnya pengaruh jalur distribusi binaan

Bulog sebelum dilakukan liberalisasi pada tahun 1998 membuat jalur distribusi

minyak goreng lebih efisien. Secara umum jalur tata niaga minyak goreng dapat

dilihat pada gambar berikut.

Petani

Kelapa sawitKonsumen

Pedagang

Eceran

Ekspor CPO

Konsumen

Industri

Pedagang

Besar/ Grosir

Industri Minyak

Goreng

Jalur Distribusi Utama

Jalur Distribusi Sekunder

Sumber: Anindito, 2007

Gambar 6. Jalur Tata Niaga Komoditas Minyak Goreng

Struktur pasar minyak goreng yang terintegrasi dengan pasar input-nya

berimplikasi pada pentingnya peran pemerintah dalam pengendalian harga pada

tingkat konsumen. Sebelum tahun 1998 harga minyak goreng eceran cenderung

stabil, tetapi seiring dengan dilepasnya peran Bulog sebagai stabilisator harga,

perkembangan harga minyak goreng pada tingkat konsumen menjadi lebih

fluktuatif dengan tren yang terus meningkat. Sejak Maret 2006 sampai Desember

2007 terjadi lonjakan harga yang tajam yang dipicu oleh kenaikan harga CPO di

pasar internasional seiring dengan meningkatnya permintaan CPO untuk biodiesel.

37

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh bulan Ramadan terhadap

inflasi di Indonesia. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis yang lebih

mendalam untuk mengetahui pengaruh Ramadan per kota dan per komoditas.

Untuk itu, perlu dipilah komoditas yang harganya secara umum terpengaruh oleh

Ramadan sehingga diketahui apakah bulan Ramadan memberi pengaruh seasonal

yang signifikan terhadap harga.

5.1 Data Inflasi BPS

Untuk melihat pola pergerakan inflasi per komoditas, dilakukan plotting

pergerakan dengan menggunakan data inflasi bulanan yang bersumber dari BPS.

Adapun secara umum pergerakan inflasi tujuh komoditas adalah sebagai berikut.

38

Sumber: data BPS, 2013

Grafik 7. Pergerakan Inflasi Nasional untuk 6 Komoditas Tahun 2006–2012

(bulanan)

Pergerakan inflasi daging ayam, beras, dan daging sapi cenderung sama

hanya dengan ketajaman fluktuasi yang berbeda. Dari grafik di atas daging ayam

cenderung lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan daging sapi dan beras.

Sumber: data BPS, 2013

Grafik 8. Pergerakan Inflasi Nasional untuk 6 Komoditas Tahun 2006–2012

(bulanan)

-10

-5

0

5

10

15

Jan

uari

2006

Mare

t 2006

Mei 2006

Ju

li 2

006

Sep-0

6

Nov-0

6

Jan

uari

2007

Mare

t 2007

Mei 2007

Jan

uari

2007

Mare

t 2007

Mei 2007

Ju

li 2

007

Oct-

06

Dec-0

6

Jan

uari

2008

Mare

t 2008

Mei 2008

Jan

uari

2008

Mare

t 2008

Mei 2008

Ju

li 2

008

Nov-0

6

Jan

-07

Jan

uari

2009

Mare

t 2009

Mei 2009

Jan

uari

2009

Mare

t 2009

Mei 2009

Ju

li 2

009

Dec-0

6

Feb-0

7

Jan

uari

2010

Mare

t 2010

Mei 2010

Jan

uari

2010

Mare

t 2010

Mei 2010

Ju

li 2

010

Jan

-07

Mar-

07

daging ayam Beras daging sapi

-15

-10

-5

0

5

10

15

Jan

uari

2006

Mare

t 2006

Mei 2006

Ju

li 2

006

Sep-0

6

Nov-0

6

Jan

uari

2007

Mare

t 2007

Mei 2007

Jan

uari

2007

Mare

t 2007

Mei 2007

Ju

li 2

007

Oct-

06

Dec-0

6

Jan

uari

2008

Mare

t 2008

Mei 2008

Jan

uari

2008

Mare

t 2008

Mei 2008

Ju

li 2

008

Nov-0

6

Jan

-07

Jan

uari

2009

Mare

t 2009

Mei 2009

Jan

uari

2009

Mare

t 2009

Mei 2009

Ju

li 2

009

Dec-0

6

Feb-0

7

Jan

uari

2010

Mare

t 2010

Mei 2010

Jan

uari

2010

Mare

t 2010

Mei 2010

Ju

li 2

010

Jan

-07

Mar-

07

telur ayam minyak goreng emas perhiasan

39

Untuk inflasi telur ayam, minyak goreng, dan emas perhiasan juga relatif

sama pergerakannya. Karena seluruh komoditas (kecuali emas perhiasan) masuk

dalam kelompok volatile food, tingkat inflasi dari 6 komoditas ini tampak

berfluktuasi sepanjang periode pengamatan. Harga emas perhiasan juga cenderung

fluktuatif karena mengikuti perubahan nilai tukar dan harga emas dunia.

Untuk melihat pergerakan tiap-tiap komoditas, dihitung juga standar deviasi

dan variance dari tiap-tiap komoditas dengan hasil sebagai berikut.

Tabel 6. Standar Deviasi dan Varian dari 6 Komoditas Utama Penyumbang

Inflasi

Sumber: olah data BPS

Standar deviasi merupakan ukuran yang sederhana untuk melihat volatilitas

suatu komoditas. Dari 6 komoditas yang diteliti, komoditas yang paling volatile

adalah telur ayam dan daging ayam, sementara komoditas yang relatif rendah

volatilitas harganya adalah daging sapi, minyak goreng, dan beras (volatilitas di

bawah 3). Hal itu dapat dipahami karena minyak goreng dan beras merupakan

komoditas yang pergerakan harganya relatif dijaga secara ketat oleh pemerintah.

Sementara itu, untuk daging sapi, permintaannya juga relatif stabil.

5.2 Data Inflasi SPH Bank Indonesia

Untuk melihat pergerakan tiap-tiap komoditas, dihitung juga standar deviasi

dan variance rata-rata tiap-tiap komoditas di tujuh kota observasi dengan hasil

sebagai berikut.

Tabel 7. Standar Deviasi dan Varian dari 6 Komoditas Utama Penyumbang

Inflasi

40

Sumber: olah data SPH

Daging ayam, telur ayam, dan emas perhiasan merupakan komoditas yang

menduduki 3 peringkat utama dari sisi volatilitas harga. Jika merujuk penelitian

data Dirjen Peternakan, harga daging ayam dan telur ayam dipengaruhi oleh sifat

produk yang tidak tahan lama dan juga adanya perdagangan antardaerah yang pada

akhirnya mempengaruhi pembentukan harga yang berkaitan dengan biaya

distribusi. Struktur pasar yang oligopoli juga menyebabkan harga lebih

dikendalikan oleh sekelompok pedagang.

Telur ayam juga merupakan komoditas dengan rantai pemasaran yang relatif

panjang sehingga kurang efisien jalur distribusinya yang pada akhirnya

mempengaruhi harga telur ayam di tingkat konsumen. Sesuai dengan penelitian

Pinsar (2005), Jakarta merupakan barometer pembentukan harga telur.

Selanjutnya, dihitung pula perbedaan rata-rata inflasi bulan Ramadan

dengan inflasi mingguan dan bulanan dari tiap komoditas di tiap kota observasi

dengan hasil sebagai berikut.

Tabel 8. Rata-Rata Inflasi Mingguan Umum vs Inflasi Mingguan pada Bulan Ramadan

41

Sumber: olah data SPH BI

Tanda hijau menunjukkan tingkat inflasi yang lebih tinggi. Dari tabel di atas

dapat dijelaskan bahwa untuk enam komoditas yang diamati, dari 7 kota observasi,

sebagian besar rata-rata tingkat inflasi mingguan pada saat bulan Ramadan lebih

tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata mingguan sepanjang periode waktu

pengamatan, kecuali untuk komoditas minyak goreng. Minyak goreng merupakan

salah satu komoditas pangan olahan yang relatif aman untuk disimpan dalam

jangka waktu lama dan masyarakat cenderung menggunakan lebih dari satu kali.

Faktor itu diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat

inflasi minyak goreng. Namun, daging sapi justru memiliki pola yang sebaliknya.

Hampir di seluruh kota yang diamati, rata-rata tingkat inflasi mingguan pada bulan

Ramadan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat inflasi mingguan sepanjang

periode pengamatan. Hal itu dipicu oleh peningkatan konsumsi daging pada bulan

Ramadan terkait dengan pola perubahan jadwal makan. Di samping itu, karena

daging sapi merupakan komoditas yang tidak dapat diawetkan dan cenderung

untuk diolah dalam keadaan segar, peningkatan konsumsi itu mendorong adanya

peningkatan inflasi daging sapi.

42

Terkait dengan volatilitas tiap-tiap komoditas, dihitung standar deviasi dan

varian tiap-tiap komoditas pada setiap kota tampak sebagai berikut.

Tabel 9. Volatilitas Inflasi Mingguan untuk Enam Komoditas di Tujuh Kota

Sumber: olah data SPH

Dari tabel di atas, dapat dijelaskan hal sebagai berikut.

1. Beras

Kota dengan volatilitas inflasi beras tertinggi adalah Jakarta. Hal itu dapat

dipahami karena pemenuhan kebutuhan beras di kota Jakarta sangat

bergantung dari suplai daerah lain sehingga akhirnya berpengaruh pada

pembentukan harga beras di kota Jakarta yang kompleks jika dibandingkan

Sdev. variance Sdev. variance

1.43 2.04 0.72 0.51

1.67 2.77 0.72 0.52

1.71 2.91 0.82 0.68

2.01 4.04 0.83 0.69

2.23 4.97 1.62 2.63

2.76 7.64 1.71 2.93

3.13 9.78 2.07 4.27

5.00 24.95 2.27 5.17

5.28 27.88 4.19 17.56

5.80 33.60 5.18 26.86

6.05 36.57 5.69 32.37

6.27 39.27 6.13 37.62

6.86 47.13 7.36 54.22

8.51 72.35 8.35 69.77

1.43 2.05 1.22 1.48

1.45 2.11 1.99 3.98

1.79 3.21 2.14 4.56

2.30 5.10 2.43 5.89

2.43 5.90 2.78 7.72

2.60 6.78 2.86 8.18

2.74 7.53 3.20 10.26

4.58 21.01 4.55 20.74

5.55 30.85 5.03 25.34

5.60 31.31 5.95 35.44

5.77 33.33 6.64 44.11

6.72 45.18 7.25 52.53

7.24 52.45 8.09 65.39

7.46 55.60 8.88 78.78

2.54 6.43 1.21 1.46

2.55 6.49 1.51 2.29

2.67 7.15 1.58 2.51

2.92 8.55 1.73 3.00

2.94 8.67 1.78 3.15

2.95 8.68 1.84 3.37

3.69 13.61 2.05 4.20

2.86 8.19 2.22 4.93

3.00 9.00 2.82 7.96

3.20 10.23 3.55 12.62

3.22 10.38 3.63 13.19

3.58 12.80 3.73 13.92

3.89 15.10 4.08 16.66

4.54 20.63 6.59 43.49

43

dengan daerah yang tingkat produksi berasnya relatif tinggi seperti Surabaya.

Akan tetapi, apabila dilihat pada minggu Ramadan, volatilitas inflasi beras

tertinggi adalah di kota Semarang, sedangkan Jakarta tidak lagi menjadi kota

yang tertinggi volatilitas inflasi berasnya. Hal itu dipengaruhi oleh operasi pasar

yang relatif cepat dilakukan di kota Jakarta daripada kota-kota lainnya.

2. Daging Ayam

Untuk inflasi daging ayam, kota dengan standar deviasi tertinggi adalah Medan,

sedangkan kota dengan standar deviasi terendah adalah Jakarta. Sementara itu,

pada minggu Ramadan, kota dengan standar deviasi inflasi ayam yang tertinggi

adalah Palembang dan yang terendah adalah Surabaya. Palembang merupakan

kota dengan volatilitas yang relatif tinggi untuk daging ayam, baik pada minggu

normal maupun pada minggu pada bulan Ramadan.

3. Daging Sapi

Untuk inflasi daging sapi, kota dengan volatilitas tertinggi untuk inflasi daging

sapi adalah Medan, sedangkan yang terendah adalah kota Surabaya. Sementara

itu, untuk minggu Ramadan, kota dengan volatilitas tertinggi adalah Jakarta dan

terendah adalah Makassar. Tingkat konsumsi yang tinggi di Jakarta untuk

daging sapi pada saat Ramadan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

tingginya pergerakan inflasi di Jakarta pada saat Ramadan. Surabaya dan

Makassar merupakan kota yang relatif rendah volatilitas inflasi daging sapi, baik

pada minggu normal maupun pada minggu Ramadan.

4. Telur Ayam

Standar deviasi telur ayam yang tertinggi adalah kota Semarang, sedangkan yang

terendah adalah Medan. Namun, untuk minggu Ramadan, standar deviasi yang

tertinggi adalah kota Semarang dan yang terendah adalah kota Medan. Apabila

dibandingkan antara sebelum dan pada saat Ramadan, volatilitas inflasi telur

ayam di Medan selalu yang terendah.

5. Minyak Goreng

Standar deviasi untuk inflasi minyak goreng relatif rendah setelah beras dan

daging sapi. Kota dengan standar deviasi yang tinggi adalah kota Jakarta dan

terendah adalah Surabaya. Namun, pada minggu-minggu Ramadan, standar

deviasi tertinggi adalah Medan dan terendah adalah Palembang.

6. Emas Perhiasan

44

Standar deviasi untuk emas perhiasan selalu tinggi di kota Medan, baik pada

minggu normal maupun pada minggu setelah minggu Ramadan. Sementara itu,

Semarang merupakan kota yang relatif rendah standar deviasi untuk inflasi

emas perhiasan, baik pada minggu normal maupun pada minggu Ramadan.

5.3 Pengaruh Ramadan

5.3.1 Analisis dengan Menggunakan Data SPH

Penelitian ini memilih beberapa komoditas konsumsi dan kota untuk

dijadikan objek penelitian. Komoditas tersebut adalah beras, daging ayam, daging

sapi, telur, minyak goreng, dan emas perhiasan. Pemilihan komoditas didasarkan

pada besarnya bobot dari enam komoditas tersebut di antara seluruh komoditas

inflasi. Sementara itu, untuk pilihan kota digunakan tujuh kota besar di Indonesia

yang meliputi Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, dan

Makassar. Pemilihan kota juga didasarkan pada besarnya bobot kota dalam

perhitungan inflasi Indonesia, yakni 60% dari seluruh bobot kota. Data yang

digunakan adalah data mingguan dengan periode waktu Juni 2006–Desember 2012

(sesuai dengan ketersediaan data) yang merupakan data hasil Survei Pemantauan

Harga (SPH) Bank Indonesia

Langkah pertama adalah menguji stasioneritas data dengan menggunakan

augmented dickey-fuller (ADF) test. Dari hasil uji ADF, dapat disajikan hasil sebagai

berikut.

Tabel 10. Hasil Tes Stasioneritas Data SPH Bank Indonesia

Augmented Dickey-Fuller Test Statistic

Beras Minyak Sapi Ayam Telur Emas

JKT -7.211 -6.693 -5.771 -7.236 -7.943 -6.360

BDG -7.038 -5.548 -6.816 -7.400 -9.549 -6.718

45

SBY -6.643 -6.833 -6.883 -5.878 -9.701 -6.836

PLG -5.869 -6.282 -8.382 -8.642 -9.794 -7.353

SMG -5.695 -6.169 -7.789 -6.717 -9.161 -6.258

MDN -6.343 -6.851 -7.991 -8.475 -5.569 -8.079

MKS -5.057 -5.345 -6.887 -7.357 -8.491 -8.008

Sumber: olah data

Semua data yang akan digunakan stasioner pada level atau I(0) pada tingkat

signifikansi 5%. Oleh karena itu, data dapat diolah dengan menggunakan teknik

analisis berbasis ordinary least square (OLS).

Dengan melihat hasil panel komoditas, akan dilihat pengaruh Ramadan pada

tujuh kota obeservasi secara terpisah, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya,

Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar. Hal itu didasarkan pada adanya

karakteristik dan faktor budaya yang memungkinkan adanya pengaruh yang

berbeda pada tiap kota. Pengolahan data adalah pengolahan time series dengan

menggunakan autoregressive moving average (ARMA). Teknik ini dipilih karena

seluruh data stasioner pada level.

Time series adalah serangkaian pengamatan terhadap suatu variabel yang

diambil dari waktu ke waktu dan dicatat secara berurutan menurut urutan waktu

kejadiannya dengan interval waktu yang tetap (Wei, 1994). Data yang dianalisis time

series haruslah stasioner dalam varian dan mean. Beberapa model time series di

antaranya ialah model autoregressive (AR), model moving average (MA), dan model

autoregressive moving average (ARMA). Model autoregressive moving average

merupakan model campuran dari model autoregressive dan moving average.

Penentuan dummy menjadi faktor penting dalam analisis ini. Dummy

dihitung dengan melihat pola terjadinya Ramadan di sepanjang periode

pengamatan. Dari hasil pengamatan ini, diperoleh rata-rata jarak Ramadan satu ke

Ramadan berikutnya adalah 47 minggu. Selanjutnya dummy disusun setiap 47

minggu dari Ramadan pertama pada periode pengamatan pertama, yakni tahun

2006. Sementara penentuan lag optimal dilakukan dengan melihat hasil AIC,

swarch criterion, dan hannan quinn criterion.

Dari hasil pengolahan data, signifikansi Ramadan pada inflasi komoditas

pada tiap kota beserta ordonya disajikan sebagai berikut.

46

Tabel 11. Hasil ARMA untuk Tujuh Kota dan Enam Komoditas

Kota Beras Daging Ayam

Daging Sapi

Telur ayam

Minyak goreng

Emas perhiasan

Jakarta (1,1) (1,0) (2,1) (2,1) (1,0) (1,0)

Bandung (2,2) (2,1) (1,1) (2,1) (1,1) (2,1)

Medan (2,1) (2,1) (2,1) (2,0) (2,1) (2,1)

Makassar (2,1) (2,1) (2,1) (2,1) (1,0) (2,1)

Palembang (2,1) (2,1) (2,1) (2,1) (2,1) (2,1)

Surabaya (2,2) (1,0) (2,1) (2,1) (2,1) (2,1)

Semarang (2,1) (2,2) (2,2) (2,1) (2,1) (2,1)

Tingkat signifikansi: α= 10%

Sumber: olah data

Tabel 12. Pengaruh Bulan Ramadan pada Inflasi Komoditas

Kota Jakarta Bandung Medan Makassar Palembang Surabaya Semarang

Beras tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak

Daging Ayam signifikan tidak tidak signifikan tidak tidak signifikan

Daging Sapi signifikan signifikan signifikan tidak signifikan signifikan signifikan

Telur ayam signifikan tidak tidak signifikan tidak tidak tidak

Minyak goreng tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak

Emas perhiasan tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak

Tingkat signifikansi: α= 10%

Sumber: olah data

Hasil running data selengkapnya terlampir pada bagian akhir working paper.

Dari hasil di atas, tampak bahwa signifikansi pengaruh Ramadan untuk tiap

komoditas berbeda pada tiap kota. Akan tetapi, untuk beras, minyak goreng, dan

emas perhiasan, pengaruh Ramadan terhadap inflasi adalah tidak signifikan di

seluruh kota. Lag optimal dari tiap-tiap komoditas pada tiap kota berbeda-beda.

Untuk kota yang memiliki pengaruh Ramadan yang signifikan, inflasi ayam memiliki

lag optimal 1 di Jakarta dan 2 di Makassar dan Semarang. Inflasi daging sapi

memiliki lag optimal 1 di Bandung dan 2 di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya,

dan Semarang. Namun, inflasi telur ayam memiliki lag optimal 2 di Jakarta dan

Makassar.

47

5.3.2 Analisis Data Inflasi Bulanan dari BPS

Pada dua analisis di atas, data yang digunakan adalah data hasil Survei

Perubahan Harga Bank Indonesia. Untuk itu, akan dilakukan konfirmasi hasil

melalui pengolahan data BPS yang tersedia untuk nasional (karena keterbatasan

data). Data diolah dengan menggunakan ARMA dan spesifikasi model seperti pada

pengolahan per kota. Perbedaannya adalah pada penentuan dummy Ramadan.

Karena data ini merupakan data bulanan, dimungkinkan adanya dua bulan berbeda

yang terkena Ramadan. Untuk itu, penentuan dummy menggunakan metode

perhitungan yang digunakan oleh Akmal dan Abassi (2010) dengan melihat porsi

Ramadan pada tiap bulan.

Sebelum dilakukan running data, dilakukan uji stasioneritas data inflasi BPS.

Dari hasil uji unit root dengan ADF, data inflasi BPS stasioner pada level dengan

membandingkan t-stat dengan nilai kritis pada α=5%. Adapun keseluruhan hasil

ADF data inflasi bulanan pada level adalah sebagai berikut.

Tabel 13. Stasioneritas Data BPS

Beras Daging Ayam

Daging Sapi

Telur ayam

Minyak goreng

Emas perhiasan

t-stat -8.482587 -7.107047 -7.554418 -9.052031 -5.367656 -7.356423

Nilai kritis (α = 5%) -2.897223 -2.896779 -2.896779 -2.897223 -2.896779 -2.896779

Kesimpulan stasioner stasioner stasioner stasioner stasioner stasioner

Sumber: olah data

Selanjutnya dilakukan perhitungan dummy Ramadan dengan metode

perhitungan Akmal dan Abassi (2010), kemudian dimasukkan dalam model dan

selanjutnya diolah dengan hasil sebagai berikut.

Tabel 14. Hasil ARMA dengan Data BPS

48

Sumber: olah data

Berdasarkan running ARMA dengan menggunakan data BPS, diperoleh hasil

bahwa Ramadan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi daging

ayam, inflasi daging sapi, dan inflasi telur ayam dengan lag optimal 1 dengan tingkat

α=10%. Tanda bintang menunjukkan signifikan pada tingkat α dimaksud.

Dari running data inflasi, baik data inflasi mingguan dari Survei Pemantauan

Harga Bank Indonesia maupun inflasi bulanan yang bersumber dari BPS, hasilnya

adalah sama, yaitu bahwa Ramadan signifikan berpengaruh pada inflasi daging

ayam, inflasi daging sapi, dan inflasi telur ayam. Namun, untuk inflasi beras, inflasi

minyak goreng, dan inflasi emas perhiasan, tidak signifikan terpengaruh oleh

Ramadan. Akan tetapi, lag yang dihasilkan adalah berbeda. Apabila running data

inflasi mingguan menggunakan data SPH BI, lag dari inflasi pada tiap-tiap kota

sebagian besar adalah 2 yang berarti lag optimal adalah 2 minggu. Sementara itu,

jika menggunakan data inflasi bulanan BPS, lag optimal adalah 1 yang berarti 1

bulan.

Beras dan minyak goreng merupakan bagian dari komoditas yang harganya

dikendalikan oleh pemerintah melalui operasi pasar. Keduanya merupakan

komoditas pangan yang relatif aman untuk disimpan dalam jangka waktu yang

lama. Karena itulah, masyakarat memiliki tingkat konsumsi terhadap beras dan

minyak goreng yang relatif stabil jika dibandingkan dengan komoditas pangan segar,

seperti daging sapi, daging ayam, dan telur. Pemerintah juga cenderung mudah

untuk melakukan intervensi terhadap kedua komoditas itu karena adanya sifat yang

aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Pemerintah dapat melakukan

stocking untuk kedua komoditas itu yang akan dikeluarkan ke pasar apabila terjadi

lonjakan harga yang tinggi. Selain itu, pergerakan harga minyak goreng Indonesia

Nasional

Beras (1,1) Ayam (1,0) Sapi (1,1) Telur (1,0) Minyak (1,1) Emas (2,1) Umum (1,1)

Ramadhan 0.029 5.949 2.035 4.470 0.302 1.896 0.211

0.06 4.29 * 4.76 * 2.83 * 0.53 1.36 1.93

AR 0.990 0.969 1.026 0.980 0.955 0.429 0.990

70.63 * 41.72 * 82.67 * 43.49 * 39.40 * 2.50 * 176.99 *

MA 0.630 0.227 0.535 0.836 0.472

7.61 * 1.83 * 5.59 * 7.11 * 4.62 *

R-squared 0.990 0.957 0.992 0.959 0.979 0.989 0.998

S.E of Regression 2.305 5.110 1.504 5.857 2.387 4.901 0.452

Durbin-Watson stat 1.900 1.870 1.984 1.894 1.884 2.083 1.866

Heteroskedasticity Test White (p-value) 0.401 0.915 0.102 0.181 0.517 0.347 0.670

Serial Correlation LM test (p-value) 0.831 0.218 0.880 0.727 0.429 0.611 0.446

F- stat 4387.700 * 891.870 * 3396.607 * 952.554 * 1257.360 * 1832.867 * 22365.130 *

49

juga mengikuti pergerakan harga CPO dunia. Hal itu menjadi wajar jika berdasarkan

hasil analisis Ramadan tidak signifikan mempengaruhi inflasi beras dan inflasi

minyak goreng.

Daging ayam, daging sapi, dan telur ayam merupakan komoditas yang mudah

rusak dan memerlukan perlakukan khusus apabila akan disimpan dalam jangka

waktu yang lama. Sementara itu, budaya masyarakat Indonesia lebih menyukai

konsumsi dalam bentuk segar daripada olahan/awetan. Pemerintah juga tidak

memiliki sediaan (stock) untuk melakukan intervensi apabila terjadi lonjakan harga

pada komoditas-komoditas ini. Oleh karena itu, dalam melakukan respons,

pemerintah biasanya akan melakukan kebijakan impor yang berimplikasi adanya

lag waktu untuk pengadaan. Di samping itu, masyarakat pada umumnya memiliki

perilaku untuk membeli daging sapi, daging ayam, dan telur untuk memenuhi

kebutuhan dalam jangka pendek. Daging sapi, daging ayam, dan telur juga

merupakan produk yang mudah rusak apabila disimpan dalam jangka waktu yang

lama tanpa adanya perlakuan khusus. Hal itu menjadi wajar jika tingkat inflasi

ketiga komoditas ini signifikan terpengaruh oleh Ramadan.

Demikian pula untuk emas perhiasan, pengaruh Ramadan juga tidak

signifikan karena berdasarkan hasil fact finding singkat dengan pedagang emas

perhiasan dan juga ANTAM, harga emas perhiasan di Indonesia lebih dipengaruhi

oleh harga emas dunia dan kurs rupiah terhadap dolar. Pergerakan emas perhiasan

di Indonesia mengikuti pergerakan emas dunia. Pedagang emas juga menyatakan

bahwa harga emas tidak dapat dipastikan akan berubah pada saat Ramadan dan

pada beberapa kurun waktu terakhir cenderung stabil pada bulan Ramadan.

Demikian pula dalam penelitian “Kelayakan Emas Perhiasan dalam Perhitungan

Inflasi di Indonesia” yang dilakukan oleh Wijoyo et al. (2012) juga mengonfirmasi

bahwa masyarakat menghindari untuk menjual emas perhiasan pada saat

membutuhkan dana, tetapi lebih memiliih untuk menggadaikan emas perhiasan di

pegadaian untuk kemudian dapat ditebus kembali apabila sudah memiliki dana

pengganti. Dengan demikian, apabila membutuhkan dana tambahan pada saat

bulan Ramadan, masyarakat lebih memilih untuk menggadaikan emas perhiasan

daripada menjualnya sehingga harga emas perhiasan relatif tidak terpengaruh oleh

Ramadan.

50

VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Dengan berdasarkan pada perhitungan standar deviasi dan varian serta

berdasarkan data inflasi bulanan BPS, urutan komoditas berdasarkan volatilitas

terbesar adalah telur ayam, daging ayam, emas perhiasan, beras, minyak goreng,

dan daging sapi. Namun, jika menggunakan data inflasi mingguan SPH Bank

Indonesia, urutan komoditas adalah daging ayam, telur ayam, emas perhiasan,

beras minyak goreng, dan daging sapi.

2. Jika dilakukan perhitungan terhadap rata-rata inflasi mingguan SPH BI dan

dibandingkan dengan rata-rata inflasi mingguan yang masuk pada bulan

Ramadan, kota-kota yang memiliki rata-rata inflasi mingguan di bulan Ramadan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata inflasi mingguan secara umum

adalah

a) beras: Surabaya, Bandung, Semarang, dan Palembang;

b) daging ayam: Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang;

c) daging sapi: Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang,

dan Makassar;

d) telur ayam: Jakarta, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar;

e) minyak goreng: tidak ada; dan

f) emas perhiasan: Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Palembang.

3. Apabila dilihat dari perhitungan standar deviasi dan varian inflasi mingguan, jika

dibandingkan antara rata-rata umum dan rata-rata di bulan Ramadan, dapat

disimpulkan bahwa kota-kota yang memiliki volatilitas inflasi mingguan di bulan

Ramadan yang lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi mingguan secara umum

adalah

a) beras: tidak ada;

b) daging ayam: Semarang, Surabaya, dan Palembang;

c) daging sapi: Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Semarang;

d) telur ayam: Jakarta, Palembang, Surabaya, dan Semarang;

e) minyak goreng: tidak ada; dan

f) emas perhiasan: Surabaya, Palembang, Bandung, dan Jakarta.

51

4. Dari hasil running model ARMA dengan menggunakan data inflasi bulanan BPS,

secara umum Ramadan tidak berpengaruh secara signifikan pada inflasi

nasional, sedangkan apabila dilihat pada enam komoditas utama penyumbang

inflasi, yakni beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, minyak goreng, dan

emas perhiasan, Ramadan berpengaruh secara signifikan pada inflasi pada tiga

komoditas saja, yakni komoditas daging ayam, daging sapi, dan telur ayam.

Sementara itu, untuk emas perhiasan, minyak goreng, dan beras, Ramadan

tidak berpengaruh secara signifikan. Adapun lag optimal dari seluruh komoditas

adalah 1.

5. Dari hasil running model ARMA dengan menggunakan data inflasi mingguan

Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia yang merupakan data inflasi per

komoditas dan per kota, pengaruh Ramadan pada tiap komoditas berbeda pada

tiap kota, yakni

a) Jakarta: signifikan untuk komoditas daging ayam (lag optimal 1), daging sapi,

dan telur ayam (lag optimal 2);

b) Bandung: signifikan untuk komoditas daging sapi (lag optimal 1);

c) Medan: signifikan untuk komoditas daging sapi (lag optimal 2);

d) Makassar: signifikan untuk daging ayam dan telur ayam (lag optimal 2);

e) Palembang: signifikan untuk daging sapi (lag optimal 2);

f) Surabaya: signifikan untuk daging sapi (lag optimal 2); dan

g) Semarang: signifikan untuk daging ayam dan daging sapi (lag optimal 2).

6.2 Rekomendasi

1. Dengan melihat simpulan di atas bahwa dari enam komoditas yang diamati,

perlu adanya cadangan stock yang kuat untuk tiga komoditas yang signifikan

terpengaruh Ramadan, yaitu daging ayam, daging sapi, dan telur ayam. Hal itu

penting untuk mengantisipasi adanya lonjakan harga pada awal Ramadan,

khususnya pada saat pemerintah akan melakukan operasi pasar.

2. Dalam jangka panjang, perlu adanya perbaikan sisi supply melalui perbaikan

pada sisi produksi antara lain dengan perbaikan teknologi pertanian dan

peternakan di kota-kota besar yang terpengaruh secara signifikan oleh adanya

bulan Ramadan. Selain itu, perlu adanya perbaikan pada jalur distribusi untuk

memperlancar aliran barang, khususnya menjelang hari-hari besar. Perbaikan

sisi produksi dan distribusi penting karena produk pertanian dan peternakaan

52

sangat rentan terhadap gangguan musim, bencana alam, dan kendala

transportasi.

3. Operasi pasar menjelang Ramadan menjadi penting untuk mempengaruhi

ekspektasi pedagang terhadap inflasi sehingga lonjakan harga dapat diredam

sejak awal. Untuk itu, perlu dilihat waktu yang tepat untuk melakukan operasi

pasar, yakni sebelum terjadinya lonjakan harga.

53

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, Muhammad; Abbasi, Muhammad Usman (2010). Ramadan Effect on Price Movements: Evidence from Pakistan, SBP Working Paper Series, State Bank of Pakistan

Arini, Putu Simpen (2012). “Pengaruh Hari Raya Galungan pada Seasonal Adjustment IHK dan Penentuan Komoditas Utama yang Mempengaruhi Inflasi di Provinis Bali: Analisis ARIMA”. Dalam Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan Vo. 5 No. 2, Udayana-Bali.

Anindito, Istasius. (2007). “Pertumbuhan Industri Kelapa Sawit dan Minyak Goreng Sawit”. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Daud, Andre & Hasni Arief. (2000). “Kajian Ekonomi Wilayah dan Kelembagaan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kabupaten Tasikmalaya.” Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran.

Direktorat Kebijakan Moneter (2005). Kerangka Kerja Kebijakan Moneter dengan Sasaran Akhir Kestabilan Harga. Jakarta: Bank Indonesia.

Hutabarat, Akhlis. R.,"Determinan Inflasi Indonesia”, BI, Occasional Paper, Juni, 2005.

Ilham, Nyak. (2009).“Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional”. Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 7 No. 3, September 2009: 211–221.

Ilham, Nyak & Yusmichad Yusdja. (2004). “Sistem Transportasi Perdagangan Ternak Sapi dan Implikasi Kebijakan di Indonesia.” Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 2 No. 1, Maret 2004: 37–53.

Levy, Daniel et al. (2008). Holiday Price Rigidity and Cost of Price Adjustment. Economica. London: The London School of Economics and Political Science.

Lantarsih, Retnodkk. (2011). “Sistem Ketahanan Pangan Nasional : Kontribusi Ketersediaan dan Konsumsi Energi Serta Optimalisasi Distribusi Beras.” Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9 No. 1, Maret 2011: 33–51.

Khalwati, MS Tajul. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mishkin, Frederic S., “The Cause of Inflation”, Dalam NBER Working Paper Series No. 1453, National Bureau of Economic Research, September, 1984.

Prastowo, Joko Nugroho et al. (2010). :”Perilaku Pembentukan Harga Komoditas di Indonesia: Sebuah Ringkasan” Dalam Occasional Paper No. 1, Biro Riset Ekonomi, Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Jakarta.

Prastowo, Nugroho., Tri Yanuarti & Yoni Depari. (2008). “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”. Dalam Working Paper No. WP/07/2008, Bank Indonesia.

Ridhwan, Masagus., M. Noor Nugroho., dkk. (2012). “Analisis Status Ketahanan Pangan di Indonesia dengan Aplikasi Model Panel Data Spasial.” Dalam Working Paper No. WP/ /2012. Bank Indonesia.

Ridhwan, Masagus., Ibrahim., dkk. (2012). “Perdagangan Antardaerah, Distribusi, Transportasi, dan Pengelolaan Stok Komoditas Pangan Strategis di Indonesia”. Dalam Working Paper No. WP/ /2012, Bank Indonesia.

54

Santosa, Mukson., dkk. (2005). “Analisis Efisisnesi Pemasaran Telur Ayam Ras di Kabupaten Kendal Jawa Tengah.” Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro.

Sejati, Wahyuning. (2011). “Analisis Kelembagaan Rantai Pasok Telur Ayam Ras Peternakan Rakyat di Jawa Barat.” Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9 No. 2, Juni 2011: 183–198.

Silalahi, Tumpak et al. (2011). “Pemetaan Struktur Pasar dan Pola Distribusi Komoditas Strategis Penyumbang Inflasi Daerah serta Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Harga Komoditas Daerah.” Dalam Working Paper No. WP/ /2011. Bank Indonesia.

Surono, Indro. “Inefisiensi Tataniaga Beras dan Nasib Petani”. Dalam Wacana, No.

13/ September–Oktober 1998.

Talib, Chalid & Yudi Guntara Noor. (2008). “Penyediaan Daging Sapi Nasional Dalam Ketahanan Pangan Indonesia“. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Wimanda, Rizki et al. (2011). “Karakteristik Inflasi Indonesia: Sebuah Rangkuman Studi yang Komprehensif dan Pelajaran yang Dapat Dipetik”., Dalam Occcasional Paper No. 4, Biro Riset Ekonomi, Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Jakarta.

Yucel, Eray M (2005). “Does Ramadan Have Any Effect on Food Prices: A Dual–Calender Perspective on the Turkish Data”. Dalam MPRA Paper No. 11, Munich.

LAMPIRAN

55

Hasil ARMA untuk data SPH Bank Indonesia

Jakarta

Beras (1,1) Ayam (1,0) Sapi (2,1) Telur (2,1) Minyak (1,0) Emas (1,0)

Ramadhan -0.065 2.403 2.191 2.155 0.351 1.098

-0.110 2.459 * 5.238 * 2.070 * -0.519 1.601

AR 0.802 0.718 -0.502 -0.696 0.766 0.792

18.479 * 17.759 -3.623 * -10.423 * 22.042 * 23.740 *

MA -0.144 -0.442 -0.766

-2.007 * -2.076 * -6.983 *

R-squared 0.548 0.539 0.603 0.603 0.589 0.626

S.E of Regression 2.113 3.404 1.431 3.536 2.372 2.386

Durbin-Watson stat 2.002 1.851 2.033 2.047 1.979 1.909

Serial Correlation LM test (p-value) 0.930 0.116 0.060 0.551 0.152 0.324

F- stat 138.207 * 200.446 * 128.884 * 129.105 * 245.817 * 286.063 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%

Bandung

Beras (2,2) Ayam (2,1) Sapi (1,1) Telur (2,1) Minyak (1,1) Emas (2,1)

Ramadhan 0.215 0.258 2.059 0.439 0.125 0.335

0.464 0.232 6.886 * 0.377 0.296 0.503

AR -0.766 -0.606 0.665 -0.713 0.796 -0.657

-18.218 * -5.512 * 12.113 * -12.159 * 20.313 * -7.694 *

MA -0.167 -0.582 0.188 -0.614 0.126 -0.705

-2.592 * -3.432 * 2.669 * -6.239 * 1.968 * -5.208 *

R-squared 0.679 0.618 0.669 0.660 0.698 0.605

S.E of Regression 1.578 3.769 1.034 3.950 1.478 2.265

Durbin-Watson stat 1.986 1.993 1.994 2.008 1.983 2.028

Serial Correlation LM test (p-value) 0.521 0.990 0.082 0.805 0.335 0.596

F- stat 143.363 * 137.201 * 230.425 * 164.934 * 262.545 * 129857.000 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%

56

Medan

Beras (2,1) Ayam (2,1) Sapi (2,1) Telur (2,0) Minyak (2,1) Emas (2,1)

Ramadhan -0.083 -0.888 1.898 -0.866 -0.261 2.291

-0.234 -0.594 3.264 * -1.074 -0.466 2.582 *

AR -0.686 -0.809 -0.474 -0.160 -0.507 -0.632

-8.353 * -24.393 * -2.335 * -2.984 * -2.448 * -7.340 *

MA -0.763 -0.921 -0.573 -0.551 -0.704

-6.342 * -29.299 * -1.724 * -1.830 * -4.907 *

R-squared 0.636 -0.649 0.473 0.645 -0.578 0.562

S.E of Regression 1.221 5.070 2.009 2.743 1921.000 3.022

Durbin-Watson stat 2.068 1.938 2.049 2.053 2.072 2.084

Serial Correlation LM test (p-value) 0.525 0.307 0.162 0.067 0.102 0.173

F- stat 148.077 * 157.155 * 76.065 * 206.305 * 116.057 * 108.665 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%

Makassar

Beras (2,1) Ayam (2,1) Sapi (2,2) Telur (2,1) Minyak (1,0) Emas (2,1)

Ramadhan 0.330 3.762 -0.092 1.641 0.179 -0.058

1.604 3.526 * 0.353 1.715 * 0.461 -0.097

AR -0.867 -0.792 0.720 -0.764 0.844 -0.556

-32.216 * -23.129 * 14.975 * -17.045 * 28.882 * -4.686 *

MA -0.994 -0.922 0.128 -0.799 -0.512

-231.264 * -25.381 * 1.850 * -11.475 * -2.842 *

R-squared 0.753 0.674 0.614 0.664 0.708 0.608

S.E of Regression 0.715 3.598 0.907 3.266 1.379 2.029

Durbin-Watson stat 1.874 1.908 1.976 1.948 1.832 2.051

Serial Correlation LM test (p-value) 0.460 0.480 0.110 0.089 0.096 0.198

F- stat 259.064 * 175.080 * 107.765 * 168.075 * 416.371 * 131.693 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%

Palembang

Beras (2,1) Ayam (2,1) Sapi (2,1) Telur (2,1) Minyak (2,1) Emas (2,1)

Ramadhan -0.010 0.405 1.870 0.230 -0.446 0.306

-0.038 0.299 3.306 * 0.236 -0.864 0.577

AR -0.590 -0.619 -0.631 -0.761 -0.490 -0.592

-7.046 * -7.511 * -14.462 * -16.213 * -2.592 * -5.784 *

MA -0.682 -0.602 -0.989 -0.709 -0.455 -0.496

-6.289 * -4.352 * -105.604 * -8.981 * -1.727 * -3.263 *

R-squared 0.712 0.562 0.446 0.678 0.638 0.677

S.E of Regression 0.909 4.577 1.954 3.300 1.771 1.815

Durbin-Watson stat 2.016 2.011 2.002 2.048 2.029 2.029

Serial Correlation LM test (p-value) 0.795 0.933 0.561 0.691 0.311 0.254

F- stat 209.539 * 109.168 * 68.297 * 179.091 * 149.874 * 177.892 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%

57

Surabaya

Beras (2,2) Ayam (1,0) Sapi (2,1) Telur (2,1) Minyak (2,1) Emas (2,1)

Ramadhan 0.242 0.457 0.743 -0.140 0.170 0.038

0.813 0.465 2.903 * -0.111 0.400 0.079

AR -0.545 -0.512 -0.646 -0.765 -0.535 -0.573

-3.648 * -10.957 -6.459 * -17.643 * -3.678 * -3.728 *

MA 0.142 -0.661 -0.761 -0.441 -0.542

1.838 * * -4.351 * -10.633 * -2.153 * -2.521 *

R-squared 0.639 0.633 0.631 0.655 0.673 0.675

S.E of Regression 1.008 3.533 0.875 4.288 1.463 1.633

Durbin-Watson stat 1.994 1.979 2.022 1.993 2.027 2.019

Serial Correlation LM test (p-value) 0.597 0.937 0.887 0.632 0.434 0.673

F- stat 119.753 * 146.921 * 145.172 * 161.178 * 174.316 * 176.231 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%

Semarang

Beras (2,1) Ayam (2,2) Sapi (2,2) Telur (2,1) Minyak (2,1) Emas (2,2)

Ramadhan 0.501 1.686 1.648 0.712 -0.095 0.432

1.555 1.926 * 3.945 * 0.539 -0.186 0.822

AR -0.856 -0.773 -0.545 -0.765 -0.568 -0.683

-28.679 * -18.452 * -5.014 * -18.049 * -3.266 * -6.370 *

MA -0.946 -0.119 0.232 -0.788 -0.569 0.135

-34.708 * -1.804 * 2.964 * -11.482 * -2.310 * 1862.000 *

R-squared 0.752 0.692 0.658 0.646 0.645 0.644

S.E of Regression 1.118 2.960 1.433 4.476 1.769 1.806

Durbin-Watson stat 1.859 1.989 1.964 1.991 2.072 2.003

Serial Correlation LM test (p-value) 0.276 0.608 0.121 0.983 0.104 0.865

F- stat 257.169 * 151.909 * 130.151 * 154.575 * 154.463 * 122.424 *

Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi

Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%