review tiga paradigma pembangunan (strukturalis, humanis dan empowering) “sebuah komparatif dan...

Upload: elkana-goro-leba

Post on 17-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • REVIEW TIGA PARADIGMA PEMBANGUNAN

    (Strukturalis, Humanis Dan Empowering) Sebuah Komparatif dan Kritik serta Saran

    Oleh :

    Elkana Goro Leba (Ely)

    Pembangunan adalah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat secara

    terencana dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan sosial masyarakat dengan tujuan

    memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan.

    Singkatnya pembangunan adalah upaya untuk merubah keadaan sosial ekonomi ke arah yang

    lebih baik. Upaya ini dilakukan oleh semua negara di dunia, baik negara maju maupun

    negara-negara berkembang. Dalam perkembangannya dari masa ke masa, pembangunan

    mengalami perubahan paradigma, teori dan pendekatan sebagai akibat dari perubahan cara

    pandang para ahli mengenai kata pembangunan itu sendiri. Beberapa paradigma yang

    dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:

    A. PARADIGMA STRUKTURALIS Fokus utama paradigma ini adalah politik dan ekonomi. Paradigma strukturalis

    memungkinkan negara-negara berkembang untuk mentransformasikan struktur

    perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsiten

    tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan

    perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor

    jasa-jasa yang tangguh. Paradigma struktural tersebut dalam analisisnya menggunakan

    perangkat-perangkat neo-klasik berupa konsep-konsep harga, alokasi sumber daya dan

    metode-metode ekonomi untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi suatu negara.

    Paradigma Struktural mempunyai dua model, yaitu:

    1. Model Pembangunan Lewis

    Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua

    sektor:

    1) Sektor Tradisional

  • Yaitu sektor dengan ciri-ciri di pedesaan, subsistem, kelebihan tenaga kerja

    dan produktivitasnya marjinalnya. Dengan kata lain adalah sektor ini

    2) Sektor Modern

    Sektor modern meiliki ciri-ciri perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi,

    sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit

    dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses

    pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di

    Sektor Modern, yang dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja

    di Sektor Modern.

    2. Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan Hollis Chenery

    Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan

    struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi

    barang industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan

    bahwa peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary

    but not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.

    Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia,

    diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur

    perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi

    tradisional kesistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh

    fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi

    permintaan konsumen, perdaganganinternasional serta perubahan-perubahan sosial-

    ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.

    Kritik Saya terhadap paradigma Strukturalis Teori ini tidak menghargai karakteristik dan budaya masyarakat lokal (petani dan

    nelayan). Sebab paradigma strukturalis menginstruksikan negara-negara berkembang yang

    notabenenya berkarakteristik pertanian tradisional untuk mentransformasikan struktur

    perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsiten tradisional ke

    perekonomian yang lebih modern dan lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan. Dengan

    cara yang demikian, maka apa yang menjadi potensi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat

    lokal sama sekali akan dihilangkan dan ditransformasikan secara radikal ke dalam kehidupan

    perkotaan yang individualistik.

    Karena bila demikian halnya, maka akan menimbulkan hal-hal sebagi berikut:

  • 1. Mengesampingkan karakteristik budaya, dan potensi masyarakat lokal yang bisa saja

    diolah agar menjadi modal dalam memperkuat ekonomi masyarakat lokal.

    2. Karena pendekatan pembangunan sturuktural yang berorientasi pada pertumbuhan

    ekonomi maka akan mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan social dan

    menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilai-nilai hedonistik,

    ketidak pedulian sosial, erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan,

    3. Pendekatan juga ini mengakibatkan ketergantungan masyarakat desa pada pemerintah

    sebagai penguasa dalam pembuatan kebijakan pembanugnan ekonomi karena mereka

    tidak dilibatkan di dalamnya. Yaitu ketergantungan masyarakat pada birokrasi-birokrasi

    sentralistik yang memiliki daya absorsi sumber daya yang sangat besar, namun tidak

    memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal, dan secara sistematis telah

    mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk memecahkan masalah-masalan yang mereka

    hadapi.

    4. Pembangunan yang berpolakan struktural ternyata meminggirkan posisi ekonomi

    masyarakat lokal (the development of underdevelopment).

    5. Menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat lokal, sehingga bukan kemajuan

    yang dihasilkan dari proses modernisasi tersebut melainkan kemadegan. Dalam hal ini,

    para scholars menyebutnya sebagai modernization without development.

    6. Pola ini sangat menguntungkan pertumbuhan dan ekspansi modal serta proses akumulasi

    kapital bagi perekonomian Barat serta Global.

    7. Justru mendorong proses-proses disintegrasi sosial-masyarakat di kawasan sedang

    berkembang, dimana semangat kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis

    penting hilang secara dramatis.

    8. Pada taraf lanjut, negara-negara tujuan investasi asing menjadi pasar bagi produk-produk

    dari investasi asing tersebut.

    9. Pada titik inilah berlangsung proses economic leakage (pembocoran sumberdaya

    ekonomi) dari negara-negara berkembang ke negara maju.

    Dengan demikian, maka akibat dari adanya pembangunan yang berorientasi pada

    peradigma ini maka yang dihasilkan adalah:

    1. Pembangunan tidak menghasilkan kemajuan, melainkan justru semakin meningkatkan

    keterbelakangan (the development of underdevelopment).

    2. Melahirkan ketergantungan (dependency) negara sedang berkembang terhadap negara

    maju.

  • 3. Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap negara/pemerintah.

    4. Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat kecil (buruh, usaha kecil, tani,

    nelayan dll) terhadap pemilik modal.

    B. PARADIGMA HUMANIS Pada dasarnya, paradigma ini bermuara pada pandangan subyektivitas yang berpijak

    pada kesadaran manusia. Sehingga lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan

    dalam pembangunan. Implikasinya, pada persoalan etika, dan moralitas sebagai landasan

    dan tujuan pembangunan. Paradigma Humanis lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.

    Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk

    melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai

    potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan

    pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat

    kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.

    Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran

    humanisme. Tokoh-tokoh penting dalam paradigma ini antara lain adalah Arthur Combs,

    Abraham Maslow, Carl Ransom Rogers, Aldous Huxley, David Mills dan Stanley Scher

    Kaum humanis cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi

    berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Mereka beranggapan bahwa kesadaran

    manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh struktur idiologis yang berasal dari luar

    dirinya. Sehingga dia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Oleh belenggu itu, membuat

    pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya

    dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan

    dirinya sebagai manusia sejati.

    Karena itu, fokus utama dari paradigma ini adalah memahami kesulitan manusia

    dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat

    perkembangan dirinya sebagai manusia. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah

    bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam

    pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya.

    Berkaitan dengan proses penyadaran dan proses belajar manusia untuk mencapai

    kesadarannya maka Ambar Teguh dalam Bukunya Kemitraan dan Model-model

  • Pemberdayaan (2004:83) mengatakan bahwa proses belajar dalam pemberdayaan

    masyarakat dibagi dalam tiga tahap yaitu:

    1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga

    merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri;

    2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan

    agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil

    peran di dalam pembangunan;

    3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan keterampilan, sehingga

    terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan kepada kemandirian.

    Peran Paradigma Humanis dalam Pemberdayaan Bertolak dari paparan di atas, terungkap bahwa paradigma humanisasi adalah suatu

    kebutuhan pembangunan yang lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Pembangunan yang

    bermuara pada pendekatan humanis adalah suatu proses pembangunan yang memberikan

    perhatian terhadap persoalan peningkatan martabat kemanusiaan. Implikasinya, pada persoalan

    etika, dan moralitas sebagai landasan dan tujuan pembangunan. Artinya, sebagai Landasan

    Pembangunan, dalam melaksanakannya ada etika yang harus diperhatikan. Sedangkan Sebagai

    Tujuan Pembangunan, Etika pembangunan tersebut harus menjadi arah dan sasaran

    pembangunan. Dengan demikian maka akan tercapainya perpaduan antara tatanan negara

    yang demokratis dengan sikap dan perilaku masyarakat yang manusiawi.

    Menurut Magnis Suseno paradigma Pembangunan Humanis memiliki 3 prinsip etis yaitu:

    4) Pembangunan harus menghormati hak-hak asasi manusia.

    5) Adanya pembangunan yang demokratis

    6) Prioritasnya harus menciptakan taraf minimum keadilan sosial.

    Adapun tujuan pembangunan dari Pendekatan Humanis antara lain: 1. Human Capital

    Yaitu Modal pembangunan ekonomi nasional adalah tenaga kerja yang murah (unskilled).

    Eksploitasi pekerja murah di sektor primer dan sekunder. Seperti:

    1) Migrasi tenaga kerja dari sektor primer ke sekunder(dari desa ke kota).

    2) Rakyat hanya merupakan obyek, bukan subyek pembangunan.

    2. Growth With Equity

  • Yaitu Pemerataan distribusi pendapatan melalui berbagai program untuk meringankan

    beban masyarakat miskin. Seperti:

    1) Program Padat Karya.

    2) Perbaikan struktural di sektor produktif.

    3) Pengurangan intervensi pemerintah untuk mengurangidistorsi pasar.

    3. Social Capital & Social Development

    Yaitu memprioritaskan pembangunan pada perbaikan kelembangaan sosial, pertumbuhan

    dan hak-hak sosial anak, perubahan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang kondusif bagi

    peningkatan produktivitas yang mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi. Lebih pro

    rakyat miskin melalui berbagai program dalam peningkatan kualitas pelayanan sosial,

    pendidikan, kesehatan, pelatihan kerja. Namun masih cenderung bias pada sektor-sektor

    produktif/sistempasar, para pelaku pasar & aparatur pemerintah sebagaipelaksana/agen

    pembangunan.

    4. Human Development

    Yaitu, dilandasi oleh keyakinan dan pengakuan atas kekuatan people choices, rakyat

    diberi kesempatan untuk menggunakan kapabilitas dan kapasitasnya untuk membangun

    dirinya sendiri. Bersifat universal, non diskriminatif, menempatkan masyarakat sebagai

    subyek pembangunan, mendorong peningkatan kapabilitas dan penggunaannya, serta

    mengurangi deprivasi/penderitaan dan berorientasi pada sustainability atau keberlanjutan

    kesejahteraan generasi penerus.

    Skema pembangunan dari sudut pandang Humanistik

    PEMBANGUNAN

    Aktualisasi diri secara maksimal

    Kesulitan mengenali potensi diri

    HUMANIS

    Transformasi nilai melalui pendidikan

    Demokrasi

  • Sumber: Nur Ida Febriany 2012; Paradigma Humanis Administrasi Pembangunan.

    Dari skema di atas, kita melihat bahwa Pendekatan Humanis secara langsung akan

    memampukan masyarakat untuk mengaktualisasikan diri mereka secara maksimal. Dengan

    pendekatan yang humanis ini ada nilai-nilai yang ditransformasikan melalui pendidikan yang

    dilaksanakan secara demokratis dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan dan

    pemerataan. Namun disisi lain, terkadang masyarakat sulit mengenali potensi diri mereka

    secara utuh bahwa mereka mempunyai potensi untuk berubah.

    Catatan Kritis pada Teori Humanistik

    1) Kelebihan pembangunan yang menganut Pendekatan Humanis 1) Memotivasi pemerintah untuk mempertibangkan aspek kemanusiaan dalam

    pembangunan

    2) Menciptakan ide-ide baru pembangunan transportasi perkotaan harus dikembalikan

    menjadi satu sistem transportasi yang humanis dan terpadu melalui penyelenggaraan

    transportasi publik yang efektif, efisien, handal, terjangkau dan berkelanjutan.

    3) Masyarakat dituntut untuk berusaha agar lambat launmampu mencapai aktualisasi diri

    dengan sebaik-baiknya.

    4) Dengan menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan maka hak-hak dasar manusia akan

    menjadi tolok ukur dalam pembangunan.

    5) Memberikan pendidikan yang menyeluruh agar manusia dapat mencapai kesadaran

    masksimal dalam membangun dirinya untuk mendukung pelaksanaan pembagunan.

    6) Harus demokrasi

    7) Melakukan internalisasi dan tranformasi nilai-nilaikemanusiaan melalui pendidikan.

    Untuk meningkatkankesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial.

    2) Kelemahan pembangunan yang menganut Pendekatan Humanis 1) Para administratif kesulitan dalam mengenal diri dan potensi-potensi yang ada pada

    diri mereka.

    2) Teori humanistik tidak bisa diuji dengan mudah.

  • 3) Banyak konsep dalam psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah

    berhasil mengaktualisasikan dirinya, ini masih buram dan subjektif.

    4) Psikologi humanistik mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis

    C. PARADIGMA EMPOWERING Pemberdayaan masyarakat (empowering) dimaknai sebagai upaya yang disengaja

    untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola

    sumberdaya lokal, sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan (daya) dan

    kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. [Subejo dan Supriyanto (2004)].

    Konsep pemberdayaan mulai menjadi tema sentral dalam teori atau pendekatan

    pembangunan sekarang ini, terutama di negara-negara dunia ketiga. Munculnya

    pendekatan pemberdayaan dalam teori pembangunan modern merupakan akibat dari

    gagalnya pembangunan ala barat yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dan

    bertumpu pada sektor industri dan padat modal. Hal ini dinilai sangat kontradiksi dengan

    metode pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang mengandalkan sektor

    pertanian dan padat karya serta meletakkan manusia sebagai subjek atau utama dalam

    pembangunan. pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi

    ala barat dinilai telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan social dan

    menimbulkan berbagai persoalan lain seperti timbulnya akumulasi nilai-nilai hedonistik,

    ketidak pedulian sosial (individualistik), rusaknya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan.

    Model-model Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat

    (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004:117)

    1. Pendekatan CIPOO (Context-Input-Process- dan output-outcome) Ambar Teguh dalam bukunya yang berjudul Kemitraan dan Model-model

    Pemberdayaan Masyarakat menemukan kerangka kerja konseptual yang kemudian

    dikenal dengan pendekatan CIPOO (Context-Input-Process- dan output-outcome).

    1) Context

    Yaitu konteks pemberdayaan agen pembaharu menjelaskan program atau kegiatan

    yang sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan agen pembaharu.

    2) Input

  • Yaitu menggambarkan sumber daya, fasilitas yang diperlukan dalam

    memperdayakan agen pembaharu.

    3) Process

    Yaitu menggambarkan serangkaian langkah ataua tindakan yang ditempuh untuk

    memperdayakan agen pembaharu.

    4) Output

    Yaitu hasil akhir setelah serangkaian proses pemberdayaan dilakukan akan mencapai

    kompetensi sebagai agen pembaharu yang berdaya dan mampu implementasi

    pendampingan kepada masyarakat untuk melakukan program aksi dari perencanaan,

    pelaksanaa, monitoring dan evaluasi program pemberdayaan masyarakat miskin.

    5) Outcome

    Yaitu nilai manfaat yang ditimbulkan setelah agen pembaharu memiliki tingkat

    keberdayaan tertentu, sehingga agen pembaharu mampu bertindak sebagai agen

    pembaharu dengan melakukan peran dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin,

    yaitu dengan tingkat peran linaer atau berbanding lurus dengan tingkat keberdayaan

    yang sudah dimiliki tersebut.

    2. Pendekatan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) Pengetahuan (Knowledge), Sikap (Attitude), dan Praktek (Practice). Faktor perilaku

    ini tidak bisa diubah dalam waktu singkat, tetapi perlu pendekatan konsep KAP (Knowledge,

    Attitude, Practice). Artinya masyarakat perlu diberi pengetahuan (Knowledge) untuk

    mengubah sikap (Attitude), dan dengan berubahnya sikap, akan mengubah perilaku (Practice)

    masyarakat ke arah yg lebih baik.

    Faktor perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap individu maupun

    masyarakat. Perilaku aktif dapatlah dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif tidaklah tampak,

    seperti misalnya pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-

    bentuk perilaku. Misalnya:

    Bloom membedakan antara:

    1. Perilaku kognitif (yang menyangkut kesadaran atau pengetahuan);

    2. Afektif (emosi) dan

    3. Psikomotor (tindakan/gerakan).

  • Ki Hajar Dewantoro menyebutnya sebagai :

    1. Cipta (peri akal),

    2. Rasa (peri rasa) dan

    3. Karsa (peri tindak).

    Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespons (secara positif

    atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu.

    Ambar Teguh dalam bukunya Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan

    Masyarakat (2004:84) mengemukakan tahapan pemberdayaan (Knowledge), Sikap

    (Attitude), dan Praktek (Practice) dengan pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik

    dan Konatif yang dapat disimak dalam tabel berikut:

    Tabel Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitude, Practice (KAP) dengan pendekatan

    Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik dan Konatif

    Tahapan Afektif Tahapan Kognitif Tahapan

    Psikomotorik Tahapan Konatif

    Belum merasa sadar

    dan peduli

    Belum memiliki

    wawasan dan

    pengetahuan

    Belum memiliki

    keterampilan dasar

    Tidak berperilaku

    membangun

    Tumbuh rasa

    kesadaran dan

    kepedulian

    Menguasai

    pengetahuan dasar

    Menguasai

    keterampilan dasar

    Bersedia terlibat

    dalam pembangunan

    Memupuk

    semangat,

    kesadaran dan

    keperdulian

    Mengembangkan

    pengetahuan dasar

    Mengembangkan

    keterampilan dasar

    Berinisiatif untuk

    mengambil peran

    dalam pembangunan

    Merasa

    membutuhkan

    kemandirian

    Mendalami

    pengetahuan pada

    tingkat yang lebih

    tinggi

    Memperkaya variasi

    keterampilan

    Berposisi secara

    mandiri untuk diri

    dan lingkungan

    Sumber: Ambar Teguh (Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan Masyarakat,

    2004:84)

  • Catatan Kritik saya terhadap Pendekatan Empowering Pendekatan Empowering atau sering dipopuler dengan Pemberdayaan dalam hal ini

    memberikan daya atau kemampuan bukan memberi kekuasaan, memang pendekatan yang

    sangat diandalkan oleh pemerintah modern terutama negara-negara yang sedang berkembang

    dan tak luput juga Indonesia. Pemerintah yakin bahwa dengan pilihan pendekatan

    pembangunan ini akan membawa dampak positif untuk mengeluarkan negara ini dari krisis

    pembangunan yang berlanjutan. Sebab, pendekatan ini dianggap sangat cocok dengan

    keadaan penduduk Indonesia di pedesaan dan bermata pancaharian pertanian. Dan karena itu,

    pendekatan pemberdayaan (empowering) mencoba memanfaatkan potensi lokal yang ada di

    daerah.

    Namun, terlepas dari optimisme tersebut di atas, pendekatan ini tdak semulus yang

    diharapkan pemerintah saat ini. Dengan fokusnya kepada pemberdayaan (memberi daya atau

    kemampuan) kepada masyarakat desa sambil diikuti dengan suntikan modal kepada

    masyarakat, seringkali pendekatan ini terbentur oleh berbagai masalah klasik yang timbul

    karena egoisme pemerintah itu sendiri.

    Dengan demikian maka saya mencoba membangun kritik terhadap pendekatan ini

    berdasarkan apa yang terjadi selama ini.

    1) Paradigma Pemberdayaan terbentur dengan prinsip birokrasi yang Max Weber: Birokrasi tersentralisasi dan hirarkhis;

    Birokrasi yang dituntun oleh aturan;

    Birokrasi yang terstandarisasi dan impersonal;

    Birokrasi yang menggunakan proses-proses administratif;

    Birokrasi yang memilih staf berdasarkan ujian bukan kriteria subyektif; (David

    Osborn & Peter Plastrik, 2000)

    Birokrasi, masalah tentang sistem, proses dan prosedur birokrasi publik, dan

    Masalah kelembagaan birokrasi (Miftah Toha, 1996).

    2) Implementasi pendekatan ini tidak sejalan dengan semangat atau misi utama yang dibawa oleh kata empowering itu sendiri.

    Sebab ketika pendekatan ini diimplementasikan di lapangan, pemerintah terlalu

    memanjakan masyarakat lokal dengan dana dan dana, sehingga mindset (pola pikir)

    masyarakat selalu berorientasi pada dana yang diberikan pemerintah. Dan lebih

    parahnya lagi, dana yang diberikan pemerintah terkadang tanpa pengawasan dan

    evaluasi yang jelas, sekalipun ada pengawasan dan evaluasi, seringkali hanya

  • formalitas semata, dan sarat dengan pencitraan. Sehingga dalam evaluasi itu, program

    pemerintah yang tidak berhasil pun dikatankan berhasil. Ada kebohongan yang terjadi

    di sana, dan kebohongan itu, tidak lain adalah untuk mengangkat citra pemerintah

    yang bersangkutan, karena itu sekali kelak mereka akan disanjung sebagai pemrintah

    yang berhasil dalam membangun daerahnya.

    3) Pendekatan ini diimplemntasikan oleh birokrasi yang strukturalis dan kaku.

    Akibatnya adalah bukan kepentingan atau potensi masyarakat lokal yang dijadikan

    acuan dalam pelaksanaannya tetapi keinginan pemerintah atau birokrasi lokal

    sehingga terkesan semua yang dilaksanakan di lapangan, para birokrat mendikte

    masyarakat untuk melakukan ini da itu sesuai dengan misi yang mereka bawa,

    padahal itu misi itu tidak sesuai dengan potensi masyarakat lokal. Seakan masayarakat

    dipaksakan untuk melakukan hal yang diluar kemampuan mereka. Timbul

    pertanyaan, mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya sederhana yaitu, pemerintah takut

    program mereka dikatakan gagal dalam pandangan publik.

    4) Pemerintah tidak inovatif. tidak kreatif, tidak responsif.

    Pemerintah seringkali mati gaya dalam mengurus masyarakat, terutama

    masyarakat pedesaaan. Pemerintah tidak punya jiwa inovatif dan kreatifitas dalam

    menyusun program-program pemberdayaan masyarakat. Ini menjadi hambatan dalam

    pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.

    Hal ini sangat dibutuhkan sebab pemerintah mengahadapi:

    Terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia yang baik dan profesional;

    Terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang

    berasal dari kemampuan desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar

    (eksternal);

    Belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara

    efektif;

    Belum terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas;

    Kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional.

    Saran Saya Terhadap Pendekatan Pemberdayaan sekarang ini

  • Bertolak dari kritik yang saya uraikan di atas, maka saya menyarankan beberapa hal

    sebagai berikut agar mendukung pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam mencapai

    cita-cita pembangunan yang merata di negeri ini.

    a. Program-program pemberdayaan (empowering) perlu menerapkan prinsip-prinsip birokrasi sebagai berikut: Pemerintah yang katalik yang lebih berfungsi sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai

    implementator;

    Pemerintah yang sinergik yang mampu melihat kelemahan sendiri dan kebaikan pihak

    lain dan kemudian mengupayakan perbaikan yang lebih kompreshensif dan produktif;

    Pemerintah dari satu masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat bukan

    hanya untuk mengatur saja;

    Pemerintah yang kompetitif yang mampu meng-energized semangat dalam pelayanan

    publik;

    Pemerintah yang lebih didorong oleh misi yang jelas, bukannya sekedar birokrasi yang

    mendasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis;

    Pemerintah yang berorientasi kepada pengaruh ketimbang mengutamakan kekuasaan saja;

    Pemerintah yang lebih fleksibel dan mengurangi kekakuan aturan.

    b. Mereformasi Birokrasi dan menerapkan Prinsip-prinsip sebagai berikut:

    a. Reinventing Government Reinventing Government adalah transformasi system dan organisasi pemerintah

    secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas,

    efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini

    dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur

    kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan.

    Prinsip-prinsip Reinventing Government :

    Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Steering Rather Than Rowing)

    Berfokus pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan public.

    - Memisahkan fungsi mengarahkan (kebijaksanaan dan regulasi) dari

    fungsi mengayuh (pemberian layanan dan compliance).

    - Peranan pemerintah lebih sebagai fasilitator dari pada langsung

    melakukan semua kegiatan operasional;

    Pemerintah adalah Milik Masyarakat

  • - Memberdayakan Ketimbang Melayani (Empowering raher than Serving ).

    - Mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan

    diserahkan kepada masyarakat;

    - Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat,

    perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah;

    - Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan

    adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada

    masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya

    sendiri (community self-help).

    Pemerintah yang kompetitif

    - Menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan (Injecting

    Competition into service Delivery)

    - Pemberian jasa/layanan harus bersaing dalam usaha berdasarkan kinerja

    dan harga

    - Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak memberikan

    pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public;

    - Pelayanan public yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat

    monopoli tetapi harus bersaing

    - Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya. Oleh sebab itu

    pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan satu-

    satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas

    pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat

    ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.

    Pemerintah Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan

    oleh peraturan (Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi

    digerakkan oleh misi (mission-driven).

    - Secara internal, dapat dimulai dengan mengeliminasi peraturan internal

    dan secara radikal menyederhanakan system administrasi.

    - Perlu ditinjau kembali visi tentang apa yang harus dilakukan oleh

    pemerintah

    - Misi pemerintah harus jelas dan peraturan perundangan tidak boleh

    bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat

    dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah

    bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD.

  • APBD memang harus disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan

    baku, tetapi pemenuhan prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah

    meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

    Pemerintah yang berorientasi pada hasil dengan tidak mengabaikan proses

    - Membiayai hasil bukan masukan (Funding outcomes, Not input).

    - Berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif

    - Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu

    memecahkan masalah.

    - Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk

    mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja.

    Pemerintah berorientasi pada pelanggan: Memenuhi kebutuhan pelanggan,

    bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy)

    - Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya.

    - Pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti

    apa yang diminta masyarakat

    - Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan

    selera konsumen;

    - Perlu dilakukan penelitian untuk mendengarkan pelanggan mereka,

    - Perlu penetapan standar pelayanan kepada pelanggan

    - Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai

    maksimum kepada para pelanggannya.

    - Menciptakan dual accountability (masyarakat dan bisnis, serta DPRD dan

    pejabat).

    Pemerintah wirausaha

    - Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather than Spending)

    - Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya bukan hanya

    membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang) melainkan

    memperolehnya.

    - Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna dan biaya

    dampaknya (impact fees); pendapatan atas investasinya dan dapat

    menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana)

    - Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga dapat meringankan

    beban pemerintah. Contoh pelaksanaan :

  • Pemerintah antisipatif (anticipatory government)

    - Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than Cure)

    - Bersikap proaktif

    - Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah.

    - Visi membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak

    terduga, tanpa menunggu perintah.

    Pemerintah desentralisasi (decentralized government)

    - Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to

    Participation and Teamwork) Dengan melihat beberapa tantangan dari

    masyarakat, diantaranya :

    (a) Perkembangan teknologi sudah sangat maju.

    (b) Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks.

    (c) Staf banyak yang berpendidikan tinggi Maka pemerintah perlu untuk

    - Menurunkan wewenang melalui organisasi, dengan mendorong mereka

    yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk lebih banyak membuat

    keputusan (Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat, asosiasi,

    pelanggan, LSM.)

    - Tujuan : Untuk memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya

    suasana kerja Tim.

    - Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat (from-line

    workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan

    kewenangan yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi

    cross functional antar semua instansi yang terkait.

    Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government)

    Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging change throught the

    Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar ( sistem insentif )

    dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan).

    Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme

    administratif. Mekanisme pasar terbukti yang terbaik di dalam mengalokasi

    sumberdaya.

    (a) Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar, tidak

    memerintah dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan

    sistem insentif agar tidak merugikan masyarakat.

  • (b) Lebih baik merekstrukturisasi pasar guna memecahkan masalah

    daripada menggunakan mekanisme administrasi seperti pemberian

    layanan atau regulasi, komando dan control;

    (c) Tidak semua pelayanan public harus dilakukan oleh pemerintah sendiri.

    (d) Kebijaksanaan public harus dapat memanfaatkan mekanisme pasar

    untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

    (e) Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.

    b. Good Governance Prinsip-prisp Good Governance a. Partisipasi

    Mendorong Setiap Warga Untuk Mempergunakan Hak Dalam

    Menyampaikan Pendapat Dalam Proses Pengambilan Keputusan, Yang

    Menyangkut Kepentingan Masyarakat Baik Secara Langsung Maupun Tidak

    Langsung.

    b. Penegakkan Hukum Mewujudkan Adanya Penegakkan Hukum Yang Adil Bagi Semua Pihak

    Tanpa Pengecualian, Menjunjung Tinggi Ham Dan Memperhatikan Nilai-

    Nilai Yang Hidup Dalam Masyarakat. c. Transparansi

    Menciptakan Kepercayaan Timbal Balik Antara Pemerintah Dan Masyarakat

    Melalui Penyediaan Informasi Dan Menjamin Kemudahan Di Dalam

    Memperoleh Informasi Yang Akurat Dan Memadai

    d. Kesetaraan Memberi Peluang Yang Sama Bagi Setiap Anggota Masyarakat Untuk

    Meningkatkan Kesejahteraan-Nya.

    e. Daya Tanggap Meningkatkan Kepekaan Para Penyelenggara Pemerintah Terhadap Aspirasi

    Masyarakat Tanpa Terkecuali.

    f. Wawasan Ke Depan Membangun Daerah Berdasarkan Visi Dan Strategi Yang Jelas Dan

    Mengikutsertakan Warga Dalam Seluruh Proses Pembangunan, Sehingga

  • Warga Merasa Memiliki Dan Ikut Bertanggung Jawab Terhadap Kemajuan

    Daerahnya.

    g. Akuntabilitas Meningkatkan Akuntabilitas Para Pengambil Keputusan Dalam Segala

    Bidang Yang Menyangkut Kepentingan Masyarakat.

    h. Pengawasan Meningkatkan Daya Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Dan

    Pembangunan Dengan Mengusahakan Keterlibatan Swasta Dan Masyarakat

    Luas.

    i. Efisiensi Dan Efektifitas Menjamin Terselenggaranya Pelayanan Kepada Masyarakat Dengan

    Menggunakan Sumber Daya Yang Tersedia Secara Optimal Dan Bertanggung

    Jawab.

    j. Profesionalisme Meningkatkan Kemampuan Dan Moral Penyelenggara Pemerintahan Agar

    Mampu Memberi Pelayanan Yang Mudah, Cepat, Tepat Dengan Biaya Yang

    Terjangkau

  • Kesimpulan

    Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan akhirnya saya dapat

    membandingkan ketiga pendekatan (Strukturalis, Humanis dan Empowering). Dimana

    1) Paradigma strukturalis itu menekankan pada pembangunan ekonomi secara besar-besaran

    yang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola

    perekonomian pertanian subsiten tradisional ke perekonomian yang lebih modern dan

    lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan.

    2) Paradigma humanis adalah paradigma pembangunan yang lebih menekankan nilai-nilai

    kemanusiaan. Pendekatan humanis adalah suatu proses pembangunan yang memberikan

    perhatian penuh terhadap persoalan peningkatan martabat kemanusiaan. Implikasinya, pada

    persoalan etika, dan moralitas sebagai landasan dan tujuan pembangunan.

    3) Paradigma Empowering yang kemudian dikenal dengan pendekatan Pemberdayaan Pada intinya,

    lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Masyarakat

    menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan. Negara adalah

    fasilitator dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.

    Dengan demikian, saya membuat komparatif di antara ketiga paradigma di atas. Yaitu Strukturalis yang

    dalam hal ini saya sebut dengan pendekatan lama dan empowering dan humnis yang saya sebut dengan

    pendekatan baru. Seperti yang tampak dalam tabel berikut:

  • Perbandingan Tiga Paradigma

    PENDEKATAN LAMA (strukturalis) PENDEKATAN BARU ( Humanis, Empowering)

    Pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir, tidak peduli pada hadirnya sindroma ketergantungan.

    Keadilan sosial, kedamaian, kualitas pertumbuhan, peningkatan kualitas lingkungan sebagai tujuan terpenting

    Redistribusi kesejahteraan hanya dilakukan (melalui dan oleh) negara dan pasar Seringkali tidak fair

    Merangkul semua pihak 1) dilakukan secara partisipatif 2) mengikutsertakan semua pihak

    Tumbuhnya kekuasaan otoriter dipahami sebagai konsekuensi tak terelakkan (harga) dari prestasi pencapaian pembangunan (target angka pertumbuhan)

    Pencapaian kebebasan, otonomi, dan kedaulatan sebagai prinsip penting pembangunan untuk direalisasikan.

    Subsisdi ekonomi disediakan oleh Negara, rakyat menjadi sangat tergantung pada kekuatan Negara, tuntutan berbagai hal terhadap negara menjadi sangat tinggi

    Memberdayakan lokalitas untuk pertumbuhan secara mandiri (self-reliance), masyarakat lokal berprakarsa dan ikut memecahkan segala persoalan

    Transfer teknologi dan pembangunan berlangsung dari kawasan yang maju ke kawasan miskin, sindroma ketergantungan sangat tinggi

    Pengembangan teknologi yang partisipatif dan pengakuan terhadap pengetahuan local, bottom-up, apresiasi terhadap indigenous knowledge and local wisdom

    Pemerintah (negara) sangat menentukan nilai ekonomi suatu sumberdaya Masyarakat lokal menentukan penilaian dan cara penilaian atas sumberdaya alamnya

    Prinsip pembangunan yang Kompartementalistik, terkotak-kotak berdasarkan bidang yang tersekat-sekat secara ketat, egoisme sektoral

    Prinsip pembangunan yang holistik dan mempedulikan semua aspek kehidupan, termasuk eksistensi komponen alam bukan manusia (non human society)

  • Daftar Pustaka

    Jurnal Ali, S.S., Apr.June 2006, Kautilya And The Concept Of Good Governance The Indian,

    Jurnal Of Political Science Vol. LFVII NO. 2

    NANDA, VED P., JANUARY 2006, The "Good Governance" Concept Revisited, AANALS,

    AAPPSS, 603

    Godbole, Madhav, March 13 2004, Good Governance: A Distant Dream Economic And

    Political Weekly.

    Mkandawire, Thandike, Agustus 2007, 'Good Governance': The Itinerary of an Idea

    Development In Practice, Volume 17, Number 4-5.

    Lelah, Larry James, October 2005, Application Of An Appreciative Inquiry And Work-Out,

    Intervention: The Influence On Empowerment

    Rashid, Yahya, September 2013, Women Empowerment In The Corporate Sector Of

    Pakistan: Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business

    Institute Of Interdisciplinary Business Research 518 Vol. 5, No. 5

    Gandz, Jeffrey; Bird, Frederick G, Apr 1996, The ethics of empowerment; Journal of

    Business Ethics;; 15, 4; pg. 383

    Darling, Michele, Jun/Jul 1996, Empowerment: Myth or reality? Executive Speeches; 10, 6;

    ABI/INFORM Complete, pg. 23

    Joiner, Therese A; Bartram, Timothy, Sep 30, 2004, How Empowerment And Social

    Support Affect Australian Nurses' Work Stressors; Australian Health Review;

    28, 1; ABI/INFORM Complete, pg. 56

  • Buku Teguh Sulistiyani, Ambar, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Yogyakarta:

    Gava Media

    Hazen, Mary Ann, 1994, A Radical Humanist Perspective Of Interorganizational

    Relationships Volume-47, New York : SAGE PUBLICATIONS, INC.

    Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

    Utama

    Haq, Mahbub ul, 1995, Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Jakarta:

    Yayasan Obor Indonesia.

    Habermas, J., 1990, Ilmu dan teknologi sebagai ideology, Jakarta: LP3ES.

    Ritzer, G. dan Goodman, DJ., 2003, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana

    Ritzer, G., 2004, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta:

    PT. Raja Grafindo Persada.

    Poloma, MM., 2004, Sosiologi Kontemporer (edisi keenam), Jakarta: PT. Raja Grafindo

    Persada.

    Sanderson, SK., 2003, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (edisi

    kedua), PT. Raja Grafindo Persada