pengaruh budaya perusahaan dan kepemimpinan terhadap keterikatan karyawan

14
1 “PENGARUH KEPEMIMPINAN EFEKTIF dan BUDAYA PERUSAHAAN TERHADAP TINGKAT KETERIKATAN KARYAWAN” BAB - III 3.1. KAJIAN PUSTAKA 3.1.1. Pengertian Budaya Perusahaan Budaya Perusahaan atau Budaya Organisasi telah di definisikan dalam beberapa perumusan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Pengertian Budaya Organisasi (untuk selanjutnya dituliskan sebagai Budaya Perusahaan) menurut Richard M. Hodgetts (2006: hal.154) di definisikan sebagai nilai-nilai yang di bagikan dan dipercayai yang memampukan para anggota organisasi untuk mengerti peran mereka dan norma-norma dari organisasi (the shared values and beliefs that enable members to understand their roles and the norms of the organization). Sejumlah karakteristik penting yang terkait dengan Budaya Perusahaan telah di ringkaskan sebagai berikut: 1. Perilaku reguler yang diamati, yang dipahami sebagai bahasa, terminologi dan ritual yang telah terbiasa digunakan. 2. Norma-norma yang di cerminkan dengan hal-hal seperti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dan tingkat kerjasama antara manajemen dan para karyawan. 3. Nilai-nilai yang dominan yang ditangani oleh Perusahaan dan diharapkan oleh para peserta di dalamnya untuk dibagikan, seperti misalnya barang atau jasa yang berkualitas tinggi, tingkat ketidak hadiran yang rendah, dan efisiensi yang tinggi. 4. Sebuah filosofi yang telah di tetapkan dan dipercaya pada perusahaan-perusahaan multi nasional mengenai bagaimana karyawan dan pelanggan harus diperlakukan. 5. Peraturan-peraturan disampaikan kepada karyawan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan berkenaan dengan hal-hal seperti produktifitas, hubungan pelanggan, dan kerjasama antar group dalam Perusahaan. 6. Iklim organisasi, atau keseluruhan atmosfir perusahaan yang di refleksikan oleh para partisipan ketika berinteraksi satu sama lain, perilaku diri mereka dengan pelanggan, dan bagaimana mereka merasa diperlakukan oleh manajemen. Dimensi-dimensi yang terkandung dalam Budaya Perusahaan (Dimensions of Corporate Culture) Motivasi (Motivation) Aktifitas Keluaran/hasil Bersifat konsisten dan teliti. Berusaha akurat dan perhatian pada hal-hal yang detil. Berusaha memperbaiki dan mencapai kesempuranaan. Melakukan hal dengan benar. Menjadi yang terdepan. Mengejar tujuan dan sasaran yang jelas. Melakukan inovasi dan kemajuan. Hubungan (Relationship) Pekerjaan (Job) Orang (Person)

Upload: bowo-trahutomo-suharso

Post on 13-Jan-2015

9.834 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Kumpulan study mengenai Budaya Perusahaan, Kepemimpinan dan Employee Engagement, sebuah kajian pustaka data sekunder

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

1

“PENGARUH KEPEMIMPINAN EFEKTIF dan BUDAYA PERUSAHAAN

TERHADAP TINGKAT KETERIKATAN KARYAWAN”

BAB - III

3.1. KAJIAN PUSTAKA

3.1.1. Pengertian Budaya Perusahaan

Budaya Perusahaan atau Budaya Organisasi telah di definisikan dalam beberapa perumusan dari

sudut pandang yang berbeda-beda. Pengertian Budaya Organisasi (untuk selanjutnya dituliskan

sebagai Budaya Perusahaan) menurut Richard M. Hodgetts (2006: hal.154) di definisikan sebagai

nilai-nilai yang di bagikan dan dipercayai yang memampukan para anggota organisasi untuk

mengerti peran mereka dan norma-norma dari organisasi (the shared values and beliefs that

enable members to understand their roles and the norms of the organization).

Sejumlah karakteristik penting yang terkait dengan Budaya Perusahaan telah di ringkaskan

sebagai berikut:

1. Perilaku reguler yang diamati, yang dipahami sebagai bahasa, terminologi dan ritual yang

telah terbiasa digunakan.

2. Norma-norma yang di cerminkan dengan hal-hal seperti sejumlah pekerjaan yang harus

diselesaikan dan tingkat kerjasama antara manajemen dan para karyawan.

3. Nilai-nilai yang dominan yang ditangani oleh Perusahaan dan diharapkan oleh para peserta di

dalamnya untuk dibagikan, seperti misalnya barang atau jasa yang berkualitas tinggi, tingkat

ketidak hadiran yang rendah, dan efisiensi yang tinggi.

4. Sebuah filosofi yang telah di tetapkan dan dipercaya pada perusahaan-perusahaan multi

nasional mengenai bagaimana karyawan dan pelanggan harus diperlakukan.

5. Peraturan-peraturan disampaikan kepada karyawan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak

boleh dilakukan berkenaan dengan hal-hal seperti produktifitas, hubungan pelanggan, dan

kerjasama antar group dalam Perusahaan.

6. Iklim organisasi, atau keseluruhan atmosfir perusahaan yang di refleksikan oleh para

partisipan ketika berinteraksi satu sama lain, perilaku diri mereka dengan pelanggan, dan

bagaimana mereka merasa diperlakukan oleh manajemen.

Dimensi-dimensi yang terkandung dalam Budaya Perusahaan (Dimensions of Corporate Culture)

Motivasi (Motivation)

Aktifitas Keluaran/hasil

Bersifat konsisten dan teliti. Berusaha akurat dan

perhatian pada hal-hal yang detil. Berusaha

memperbaiki dan mencapai kesempuranaan.

Melakukan hal dengan benar.

Menjadi yang terdepan. Mengejar tujuan dan

sasaran yang jelas. Melakukan inovasi dan

kemajuan.

Hubungan (Relationship)

Pekerjaan (Job) Orang (Person)

Page 2: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

2

Menempatkan kepentingan pekerjaan diatas

kepentingan individu

Menempatkan kepentingan individu diatas

kepentingan pekerjaan

Identitas

Korporasi Profesional

Melekatkan diri kepada Perusahaan dan harapan-

harapan Perusahaan.

Mengejar tujuan-tujuan dan harapan dari setiap

praktik kerja yang professional

Komunikasi

Terbuka Tertutup

Menstimulasi dan menggerakkan pertukaran

informasi dan pendapat secara penuh dan terbuka.

Memantau dan mengendalikan proses pertukaran

dan aksesbilitas dari informasi dan pendapat.

Pengendalian

Ketat Tanpa Kendali

Patuh kepada aturan dan sistim serta prosedur yang

ditentukan secara jelas

Bekerja dengan fleksibilitas dan beradaptasi sesuai

dengan kebutuhan dan situasi

Perilaku

Konvensional Pragmatis

Menempatkan keahlian-keahlian dan standard

organisasi sebagai hal yang utama.

Menempatkan permintaan dan harapan dari

pelanggan sebagai hal yang utama. Melakukan apa

yang diminta pelanggan.

Sumber: Lisa Hoecklin, Managing Cultural Differences: Strategies for Competitive Advantage (Workingham,

England: Addison-Wesley, 1995), p.146

3.1.2. Karakteristik Budaya

David C. Thomas (“Cultural Intelligence”, 2006: h.24) menuliskan ada beberapa karakteristik

dasar yang berlaku pada berbagai budaya:

1. Budaya adalah dibagikan (Culture is shared): secara definisi, budaya adalah sesuatu yang

dimiliki secara umum oleh kelompok, yang mana biasanya tidak disediakan bagi orang yang

berada diluar kelompok. Hal ini adalah semacam pemrograman mental yang diadakan secara

umum yang memungkinkan masing-masing anggota didalam kelompok berinteraksi satu

sama lain dengan kedekatan yang khusus.

2. Budaya di pelajari dan bertahan (Culture is learned and is enduring): Pemrograman mental

dari sebuah kelompok dipelajari oleh anggota-anggota kelompoknya dalam waktu yang lama

pada saat yang bersamaan dengan mereka berinteraksi dengan lingkungannya.

3. Budaya adalah pengaruh yang kuat terhadap perilaku (Culture is a powerful influence on

behavior): pemrograman mental yang terlibat dalam budaya adalah sangat kuat. Walaupun

ketika seseorang mempertanyakan secara aspek rasional dari budaya atau mencari cara

untuk menerapkan fleksibilitas budaya melakukan beberapa hal berbeda dengan budaya

lain, namun orang akan memiliki tendensi alami untuk kembali kepada akar budaya mereka.

4. Budaya adalah sistematis dan terorganisasi (Culture is systematic and organized): Budaya

tidak bersifat acak. Budaya adalah sebuah sistem yang terorganisasi atas nilai-nilai, sikap,

kepercayaan, dan makna yang terhubung satu sama lainnya ke dalam konteks lingkungan.

5. Aspek terbesar dari Budaya bersifat tidak terlihat (Culture is largery invisible): apa yang

terlihat dalam konteks budaya seperti misalnya bahasa, kebiasaan, pakaian, hanyalah

sebagian kecil dari bagian terbesar yang tidak terlihat bagaikan pucuk gunung es. Hal

Page 3: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

3

terpenting dalam budaya bukanlah apa yang terlihat di permukaan, namun nilai-nilai yang

terkandung didalam makna (tersirat), serta asumsi-asumsi yang di ekspresikan. Maka untuk

memahami sebuah budaya, bukan hanya melihat hal-hal yang terlihat di permukaan saja,

namun hal terpenting adalah memahami bagian atau elemen budaya yang tidak terlihat -

seperti misalnya nilai-nilai yang tersirat, struktur sosial, cara dan pola berpikir – adalah hal-

hal yang terpenting.

6. Budaya dapat bersifat “Ketat” atau “Longgar” (Culture may be “Tight” or “Loose”): Budaya

dapat bersifat “Ketat”, misalnya memiliki kesamaan dan persetujuan bersama yang

berdasarkan kepada populasi yang homogen, atau dominasi dari kepercayaan agama

tertentu. Contohnya misalnya Negara Jepang. Sebaliknya, contoh budaya bersifat “Longgar”

misalnya seperti di Negara Amerika yang memiliki berbagai ragam latar belakang budaya,

yang dilatar belakangi dorongan untuk kebebasan berpikir dan bertindak.

3.1.3. Tipe-Tipe Budaya Perusahaan

Fons Trompenaars dalam bukunya Riding the Waves of Culture (1994; h.154), membagi empat

cirri khas tipe Budaya Perusahaan. Dalam praktik sehari-hari, Budaya Perusahaan tidak selalu

dapat di golongkan secara tepat dalam empat tipe Budaya Perusahaan ini, namun dapat

membantu kita menguji dan memahami bagaimana individu berhubungan satu dengan lainnya,

berpikir, belajar, berubah, termotivasi, dan mengatasi konflik atau masalah.

1. Budaya Keluarga: budaya yang karakteristik nya sangat kuat menekankan pada hirarki dan

orientasi kepada manusia (people oriented). Dalam budaya ini, karyawan bukan hanya

menghormati individu yang berwenang, namun juga meminta bimbingan/tuntunan dan

persetujuan dari orang tersebut. Dalam hal ini manajemen mengasumsikan hubungan

patrilineal dengan karyawan, menjaga karyawan, dan memastikan bahwa mereka

diperlakukan dengan baik serta hubungan kerja yang berkelanjutan.

2. Budaya Menara Eiffel: budaya yang karakteristik nya yang sangat kuat menekankan kepada

hirarki dan berorientasi kepada tugas. Dibawah budaya perusahaan ini, pekerjaan-pekerjaan

di definisikan secara baik, karyawan memahami apa yang harus mereka lakukan, dan semua

di kordinasikan dari atas. Sebagai hasilnya, budaya perusahaan ini – sama seperti Menara

Eiffel – bentuknya meruncing, kecial diatas, dan besar/luas dibagian bawah.

3. Budaya Peluru Kendali: budaya yang karakteristik nya sangat kuat menekankan mengenai

persamaan di tempat kerja dan berorientasi kepada tugas. Budaya perusahaan ini

berorientasi pada pekerjaan, yang biasanya ditangani oleh team atau grup-grup proyek.

Berbeda dengan budaya Menara Eiffel, karyawan dalam budaya Peluru Kendali melakukan

apapun yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pekerjaan diselesaikan.

4. Budaya Inkubator: budaya yang karakteristik nya sangat kuat dalam hal persamaan dan

berorientasi kepada manusia. Budaya ini didasarkan pada anggapan bahwa peran dari

organisasi untuk melayani sebagai inkubator bagi ekspresi-diri, dan pemenuhan diri masing-

masing anggota perusahaan; sebagai hasilnya, jenis perusahaan ini tidak terlalu memiliki

struktur yang formal.

Page 4: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

4

3.1.4. Kepemimpinan

3.1.4.1. Pengertian Kepemimpinan

Menurut Jerald Greenberg (2008:h.501), Pemimpin, adalah individu di dalam sebuah organisasi

yang memegang peranan terbesar untuk mempengaruhi orang lain. Sedangkan Kepemimpinan,

adalah sebuah proses dimana seorang individu mempengaruhi anggota kelompok lainnya guna

memenuhi tujuan-tujuan organisasi atau kelompok.

Pengertian kepemimpinan menurut Richard M. Hodgetts (2006: hal.398) adalah suatu proses

untuk mempengaruhi orang lain untuk mengarahkan upaya-updaya yang mereka lakukan guna

mencapai tujuan tertentu atau tujuan-tujuan secara umum.

3.1.4.2. Latar Belakang Filosofi Kepemimpinan

Pelopor teori kepemimpinan, Douglas McGregor menyebutkan dua jenis asumsi manajer dalam

mengarahkan anak buah mereka dengan cara yang paling efektif. Dikenal dengan Teori X dan Y.

1. Manajer yang menganut Teori X: Manajer yang percaya bahwa orang pada dasarnya adalah

malas, dan oleh karena itu tindakan disiplin dan hukuman harus diterapkan agar mereka

bekerja.

2. Manajer yang menganut Teori Y: Manajer yang percaya bahwa dalam kondisi yang tepat,

orang tidak hanya akan bekerja keras, namun juga akan mencari tanggung jawab yang lebih

serta tantangan.

William Ouchi menawarkan tambahan perspektif filosofi kepemimpinan, yang disebutkan

sebagai “Teori Z”, hal tersebut menggabungkan bersama Teori Y dan teknik manajemen Jepang

modern. Manajer Teori Z percaya bahwa pekerja mencari kesempatan untuk berpartisipasi

dalam manajemen dan termotivasi oleh kerja team serta pembagian tanggung jawab (William

Ouchi, Theory Z: How American Management Can Meet the Japanese Challenge, New York:

Addison-Wesley; 1981).

3.1.4.3. Perilaku Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan

Menurut Hodgetss (2006: h.400) Pola perilaku Kepemimpinan dapat diterjemahkan ke dalam

tiga gaya kepemimpinan yang secara umum dikenal sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Otoriter (Authoritarian Leadership): adalah menggunakan perilaku yang

berpusat kepada pekerjaan, yang di rancang untuk memastikan pemenuhan pekerjaan. Tipe

kepemimpinan ini biasanya menggunakan cara komunikasi satu arah, dari manajer kepada

anak buahnya.

2. Kepemimpinan Paternalistik (Paternalistic leadership): adalah menggunakan perilaku yang

berpusat kepada pekerjaan namun dibarengi dengan hal yang mementingkan dan

memperhatikan hal-hal yang berpusat kepada karyawan.

Page 5: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

5

3. Kepemimpinan Partisipatif (Participative leadership): adalah menggunakan pendekatan baik

perilaku yang berpusat kepada pekerjaan, dan perilaku yang berpusat kepada orang.

Participative leaders biasanya mendorong orang-orang mereka untuk memainkan peran yang

aktif dalam mengontrol pekerjaan mereka; dan biasanya wewenang sangat di desentralisasi.

3.1.4.4. Teori Kepemimpinan Situasional (Situational Leadership Theory)

Jerald Greenberg (“Behavior in Organisations”, 2008: h.522) menyampaikan hasil penelitian para

peneliti mengenai teori Kepemimpinan Situasional. Teori ini menyarankan bahwa gaya

kepemimpinan yang paling efektif – baik dalam hal pendelegasian, partisipasi, menjual ide, atau

menyampaikan – tergantung dari sejauh mana pengikut membutuhkan bimbingan dan

pengarahan, dan dukungan emosional. Pemimpin menjadi efektif saat mereka memilih gaya

kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi yang mereka hadapi (Hersey, P. & Blanchard,

K.H. (1988), Management of organizational behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall). Secara

spesifik hal ini akan tergantung dari kedewasaan para pengikut – yaitu, kesiapan mereka dalam

menerima tanggung jawab untuk perilaku mereka sendiri. Hal ini, pada gilirannya berdasar pada

dua variabel, yaitu (1) perilaku tugas (task behavior) tingkatan dimana para pengikut memiliki

pengetahuan atas pekerjaan dan keahlian yang sesuai – yaitu, kebutuhan mereka akan

bimbingan dan pengarahan; dan (2) perilaku hubungan (relationship behavior) tingkatan dimana

para pengikut bersedia untuk bekerja tanpa menerima pengarahan dari orang lain – yaitu

kebutuhan mereka akan dukungan emosional.

3.1.5. Hubungan Budaya Perusahan terhadap Kepemimpinan

Hodgetts (International Management – Culture, Strategy, and Behavior, 2008: p.421) menuliskan

hasil studi GLOBE (Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness), sebuah

organisasi yang melakukan penelitian di berbagai negara dan evaluasi atas atribut-atribut budaya

serta perilaku kepemimpinan terhadap lebih dari 17.000 manajer dari 825 organisasi di 62 negara.

Studi yang dilakukan oleh GLOBE, menemukan bahwa ada atribut-atribut kepemimpinan tertentu

yang diakui dan diterima secara universal di seluruh budaya yang ada, dan atribut kepemimpinan

lainnya dipandang efektif hanya di budaya tertentu. Dari antara atribut-atribut kepemimpinan

yang ditemukan efektif di berbagai jenis budaya adalah sikap dapat dipercaya (trustworthy), jujur,

memiliki integritas; memiliki pandangan jauh ke depan dan perencanaan masa depan; bersikap

positif, dinamis, bersikap mendorong dan memotivasi, serta membangun kepercayaan diri; dan

mampu bersikap komunikatif, mampu mengkoordinasikan dan integrator team kerja.

Sebagai ringkasan atas temuan hasil penelitian GLOBE, para peneliti menyimpulkan bahwa nilai-

nilai budaya mempengaruhi preferensi kepemimpinan, dengan banyak hasil intuisi yang

diprediksikan. Secara spesifik, kelompok sosial yang membagikan nilai-nilai yang serupa, memiliki

preferensi atribut kepemimpinan atau gaya kepemimpinan yang serupa, atau mendukung nilai-

nilai budaya tersebut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Farough Amin Mozaffari, yaitu studi atas hubungan

antara Budaya Perusahaan dan Kepemimpinan (A Study of Relationship between Organizational

Page 6: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

6

Culture and Leadership, International Conference on Applied Economics – ICOAE 2008), studi

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Budaya Perusahaan dengan Gaya Kepemimpinan;

semakin serupa antara Budaya Perusahaan dengan Gaya Kepemimpinan maka keahlian manajerial

akan semakin efektif. Lebih jauh ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

keahlian manajerial dan efektifitas menunjukkan bahwa budaya memiliki efek yang tidak langsung

terhadap efektifitas. Budaya Perusahaan, yang terkonsep dalam kerangka nilai-nilai dalam

persaingan (Quinn & Rohrbaugh 1981), berpotensi membantu pemahaman lebih jauh hubungan

antara keahlian manajerial dan efektifitas.

Nilai-nilai utama sebuah organisasi dimulai dari kepemimpinannya, yang kemudian berkembang

menjadi gaya kepemimpinan. Para anak buah akan dipimpin oleh nilai-nilai tersebut dan perilaku

dari para pemimpinnya. Ketika penyatuan perilaku yang kuat, nilai-nilai, dan keyakinan telah

dikembangkan, maka budaya perusahaan yang kuat akan muncul. Para pemimpin harus

menghargai fungsi mereka dalam mempertahankan budaya organisasi. Hal ini akan kembali lagi

menyakinkan bahwa perilaku yang konsisten diantara para anggota organisasi, akan mengurangi

konflik-konflik dan menciptakan suasana kerja yang harmonis bagi para karyawan.

3.1.6. Teori Keterikatan Karyawan (Employee Engagement)

Menurut jurnal Frank Catteeuw (2007) Keterikatan karyawan adalah tingkat dimana karyawan

merasa puas dengan pekerjaan mereka, merasa dihargai, dan merasakan kolaborasi serta

kepercayaan. Karyawan yang merasakan keterikatan akan bertahan bersama perusahaan lebih

lama, dan secara berkesinambungan menemukan cara-cara baru untuk memberikan nilai tambah

kepada perusahaan dengan cara yang lebih cerdas, dan lebih efektif. Hasil akhirnya adalah

perusahaan yang berkinerja tinggi dimana karyawan merasa puas dan sejahtera, dan pada

akhirnya produktifitas akan meningkat dan bertahan dalam jangka panjang (“Engagement is the

degree to which employees are satisfied with their jobs, feel valued, and experience collaboration

and trust. Engaged employees will stay with the company longer, and continually find smarter,

more effective ways to add value to the organization. The end result is a high-performing

company where people are flourishing and productivity is increased and sustained.”) Catteeuw,

Frank; Flynn, Eileen; Vonderhorst, James, “Employee Engagement: Boosting Productivity in

Turbulent Times”, Organization Development Journal; summer 2007

Pemahaman Keterikatan Karyawan adalah bagaimana seorang karyawan “menggunakan berbagai

tingkatan diri sendiri baik secara fisik, kognitif dan secara emosional dalam kinerja sesuai peranan

tugas mereka masing-masing” (“how people can use varying degrees of their selves – physically,

cognitively and emotionally in work role performances.”) Employee Engagement, Kahn (1990)

Alpha Measure mendefinisikan Keterikatan Karyawan sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan

yang dimiliki karyawan kepada perusahaan dan nilai-nilai organisasi. (“the level of commitment

and involvement an employee has towards his organization and its values.”)

Menurut Scarlett Surveys, Keterikatan Karyawan adalah keterikatan emosional positif maupun

negative dari karyawan yang dapat diukur terkait pekerjaannya, rekan kerjanya, dan organisasi,

Page 7: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

7

yang akan mempengaruhi dengan sangat signifikan atas keinginannya untuk belajar dan

menunjukkan kinerja yang baik dalam pekerjaannya. (“Employee Engagement is a measurable

degree of an employee’s positive or negative emotional attachment to his job, colleagues and

organization which profoundly influences his willingness to learn and perform at work.”)

Menurut Schmidt et al (1993), Keterikatan Karyawan adalah versi yang di perbaharui dari

kepuasan kerja, yang pada dasarnya karyawan terlibat didalamnya, komitmen, dan kepuasan

dengan pekerjaan. (“employee engagement as a modernized version of job satisfaction, which is

basically an employee’s involvement with, commitment to and satisfaction with work.”)

Menurut Hay Group, Keterikatan Karyawan diintisarikan dari dua komponen: Komitmen –

kesetiaan emosional dan niat untuk tetap bertahan dengan organisasi dan Usaha yang semata-

mata diputuskan mutlak – kemauan untuk bertindak melebihi dan melampaui persyaratan

pekerjaan formal. (“Engagement is comprised of two components: Commitment – affective

attachment to and intention to remain with an organization and Discretionary Effort – the

willingness to go above and beyond formal job requirements.”)

3.1.7. Kunci Penggerak utama Keterikatan Karyawan

Berdasarkan atas 12 (dua belas) studi penelitian utama yang dilakukan firma penelitian seperti

Gallup, Towers Perrin, Blessing White, The Corporate Leadership Council dan lainnya; didapatkan

dari 4 (empat) studi penelitian menyebutkan 8 (Delapan) kunci penggerak utama dari Keterikatan

Karyawan yang diintisarikan dari 26 faktor penggerak secara kolektif. Hal tersebut adalah:

1. Kepercayaan dan Integritas – para manajer harus mampu berkomunikasi secara baik dan

melakukan apa yang mereka katakan (go by their words).

2. Sifat dari pekerjaan – para karyawan harus menemukan pekerjaan mereka cukup menantang

untuk memberi motivasi diri sendiri.

3. Keterkaitan antara kinerja karyawan dengan kinerja perusahaan – karyawan harus memiliki

pemahaman yang jelas bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi kepada kinerja

perusahaan.

4. Kesempatan perkembangan karir – karyawan harus memiliki jenjang karir dan pertumbuhan

karir.

5. Kebanggaan pada perusahaan – karyawan harus merasa dihargai dan di libatkan dengan

organisasi.

6. Teman / Rekan Kerja – hubungan dengan rekan-rekan kerja secara signifikan meningkatkan

level Keterikatan Karyawan.

7. Pengembangan Karyawan – organisasi harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan

untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, serta perilaku karyawan.

8. Hubungan kerja dengan manajer – karyawan harus merasa nyaman dengan manajernya dan

menghargai hubungan kerja yang baik dengan atasannya.

Beberapa faktor penggerak lain yang memberikan kontribusi dalam hal meningkatkan keterikatan

karyawan seperti misalnya:

Page 8: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

8

1. Budaya menghargai dimana pekerjaan yang baik diberikan penghargaan.

2. Umpan balik (feedback), konseling dan mentoring.

3. Imbalan yang adil, penghargaan, dan skema insentif.

4. Kepemimpinan yang efektif.

5. Harapan kerja yang jelas (clear job expectations)

6. Perlengkapan kerja yang memadai untuk memenuhi tanggung jawab kerja.

7. Motivasi.

Artikel “Employee Engagement – A review of current research and its implication” yang diterbitkan

Conference Board, didasarkan atas 12 studi penelitian utama yang diadakan perusahaan riset

Gallup, Towers Perrin, Blessing White, The Corporate Leadership Council, tahun 2006.

3.1.8. Hubungan Budaya Perusahaan terhadap Employee Engagement

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Denison Consulting, ditemukan hasil penelitian

bahwa Keterikatan adalah hasil dari Budaya Perusahaan yang sehat (Engagement is an outcome of

a healthy culture). Denison Consulting melakukan penelitian antara bulan Januari dan Juli 2010

atas 9.464 individu dari 90 perusahaan melalui proses melengkapi Survey Budaya Perusahaan

(Denison Organizational Culture Survey) serta Modul Penelitian Keterikatan Karyawan (Denison

Engagement Content Module). Dengan menggunakan analisa multiple regression ditemukan hasil

bahwa indeks Visi, Nilai-Nilai Utama Budaya Perusahaan (Core Values), Pengembangan Kapabilitas

(Capability Development), dan Pemberdayaan (Empowerment) merupakan faktor-faktor terkuat

yang diperkirakan mempengaruhi Keterikatan Karyawan.

Dikarenakan adanya peralihan dari perekonomian dunia dari berdasarkan ekonomi industrial ke

perekonomian yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge-based), karyawan dihargai bukan

hanya atas apa yang mereka produksi, namun juga apa yang mereka ketahui/kuasai. Memiliki

budaya perusahaan yang berkinerja tinggi (high performing business culture) merupakan

keunggulan daya saing (competitive advantage) bagi organisasi dimasa kini. Setiap karyawan

dapat memberi pengaruh kepada penguatan budaya perusahaan, atau bahkan melemahkannya.

Di pertengahan 1990, ditemukan bahwa tidak ada satu organisasi pun - baik yang kecil maupun

yang besar – memiliki satu budaya saja, namun kecenderungannya memiliki kultur/budaya yang

berbeda di banyak fungsi, para manajer dan supervisor. Perusahaan mengetahui hal tersebut

namun hanya memiliki sedikit kendali atas budaya yang sudah ada. Hal tersebut tidak berarti

mereka tidak mampu menemukan manajer-manajer dan supervisor yang terbaik. Budaya tidak

dapat dibentuk begitu saja melalui pernyataan visi dan misi. Namun pada saat organisasi

mencapai budaya yang diinginkan, para karyawan yang memiliki perilaku dan kebiasaan yang

selaras dengan budaya yang diinginkan akan merasa terikat (engaged) dan mereka yang tidak bisa

sesuai dengan hal tersebut, akan meninggalkan atau dipaksa meninggalkan perusahan karena

dorongan budaya. Tujuan organisasi harus mencapai target karyawan yang tepat. Seiring dengan

perubahan budaya perusahaan, bagi kelompok karyawan yang tepat yang tetap bersama dengan

Page 9: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

9

perusahaan, akan menghasilkan tingkat nilai Keterikatan Karyawan (the engagement score) yang

tinggi.

3.1.8.1. Aspek dari Keterikatan Karyawan:

Studi penelitian global menyarankan adanya tiga aspek mendasar dari Keterikatan Karyawan:

1. Aspek Para Karyawan dan pengalaman psikologis unik yang dialami masing-masing karyawan

2. Aspek Pengusaha / Perusahaan dan kemampuan mereka untuk menciptakan kondisi yang

mendukung Keterikatan Karyawan

3. Aspek interaksi antar karyawan di semua level / tingkatan.

Abhijit Siddhanta; Debalina Roy (Ghosh); “Employee engagement – Engaging the 21st century

workforce”, Asian Journal of Management Research, 2010.

3.1.9. Hubungan Kepemimpinan terhadap Employee Engagement

Banyak konsultan dan pihak akademisi setuju bahwa atasan langsung dari seorang karyawan

memainkan peranan kunci dalam mempengaruhi tingkat keterikatan dari karyawan tersebut

(Frank et al., 2004; Gopal, 2004; Gibbons, 2006; Sardo, 2006; Stairs, Galpin, Page, and Linley, 2006;

Jones, Wilson, and Jones, 2008; Amos, Ristow, Ristow, and Pearse, 2009; Schneider et al., 2009).

Secara fakta, Buckingham dan Coffman (1999) mengklaim bahwa hubungan antara individu

dengan atasan langsungnya adalah faktor yang paling kuat mempengaruhi dari tingkat keterikatan

karyawan tersebut (an individual’s relationship with his/her supervisor is the strongest influencer

of his/her engagement). Selain diambil sebagai ukuran untuk memprediksikan keterikatan

karyawan, para atasan langsung juga memiliki pengaruh tidak langsung kepada faktor lain yang

bisa berpengaruh pada tingkat keterikatan karyawan, seperti misalnya komunikasi yang kuat,

kepercayaan dan integritas, serta pemberdayaan pekerjaan (Towers Perrin, 2003; Robinson,

Perryman, and Hayday, 2004; Shaw and Bastock, 2005; Baumruk et al., 2006; CIPD, 2006a; Stairs

et al., 2006; Schneider et al., 2009).

Bates (2004) percaya bahwa peran dari atasan langsung semakin meningkat dalam kaitannya

dengan peran mereka yang signifikan dalam menciptakan keterikatan karyawan, karena atasan lini

pertama merupakan titik kontak utama antara organisasi dengan karyawan. Ia menjelaskan bahwa

sifat dari kekaryawanan telah berubah di era post-industrialisme, dari yang bersifat “paternalistik”

ke peran yang bersifat “partnership” (kemitraan). Hubungan kemitraan ini menggantikan ide

tradisional yaitu gaya kepemimpinan otokrasi dengan gaya kepemimpinan yang menampilkan

ikatan emosional antara atasan dengan karyawan, yang didalamnya termasuk: nilai-nilai yang

dibagikan, tujuan-tujuan, saling memperhatikan dan saling menghormati satu sama lain.

Team pemimpin/manajemen yang memiliki keterikatan yang kuat terhadap perusahaan, dan

menerapkan kompetensi Kepemimpinan yang efektif, merupakan unsur yang sangat esensial

dalam keterikatan karyawan (employee engagement). Ada 10 kapabilitas kepemimpinan yang

sangat penting (critical leadership capabilities) yang esensial dalam keterikatan karyawan, yaitu:

1. Membangun Kepercayaan

Page 10: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

10

2. Membangun rasa kepercayaan diri karyawan

3. Berkomunikasi secara efektif

4. Membangun lingkungan kerja yang menyenangkan dan pemenuhan pengetahuan

5. Fleksibel dalam memahami kebutuhan individu

6. Mengembangkan bakat dan melatih anggota-anggota team

7. Memacu tingkat kinerja yang berkualitas tinggi

8. Menguasai pengetahuan yang diperlukan

9. Mengawasi issu-issu yang berkenaan dengan keterikatan karyawan

10.Mengindentifikasikan anggota-anggota team yang sesuai untuk team kerja.

Karyawan akan tinggal bekerja lebih lama serta memberikan kontribusi yang lebih besar kepada

perusahaan apabila mereka memiliki hubungan yang baik dan dialog yang terbuka dengan atasan

langsung mereka. (Johnson, Meg, “Workforce Deviance and the Business Case for Employee

Engagement”, The Journal for Quality and Participation; July 2011; 34,2; ABI/INFORM Research

pg.11)

Sebagai kontradiksi atas fakta yang dikemukakan sebelumnya, apabila faktor kepemimpinan

dalam sebuah organisasi, lemah atau buruk, menjadi penyebab atau sumber dari masalah

karyawan yang tidak memiliki keterikatan (Ashok Gopal, “Disengaged Employees Cost Singapore

$4.9 Billion,” Gallup Management Journal, October 9, 2003). Secara ringkas, konsensus yang

dihasilkan dari penelitian menyatakan bahwa atasan langsung memiliki peran yang krusial dalam

menggerakan keterikatan karyawan.

3.1.10. Budaya Perusahaan dan Kepemimpinan secara bersama-sama berpengaruh kepada Keterikatan

Karyawan

Gary Yukl (2006: h.304) menuliskan bahwa para pemimpin dapat mempengaruhi budaya

perusahaan dengan berbagai pendekatan. Tipe-tipe pendekatan yang berbeda dalam memberikan

pengaruh, dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar yaitu:

1. Perilaku Pemimpin (Leadership Behavior): pendekatan yang melibatkan tindakan langsung

dari pemimpin. Pemimpin mengkomunikasikan nilai-nilai mereka, ketika menerangkan visi

organisasi, membuat pernyataan-pernyataan dan ide-ide yang penting, serta

memformulasikan tujuan-tujuan jangka panjang dan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan

tersebut. Termasuk didalam perilaku pemimpin ini adalah peran pemimpin menjadi role-

model (panutan) bagi anggota organisasi, serta bagaimana cara dan perilaku mereka dalam

bereaksi terhadap krisis.

2. Program, System, Struktur, dan Bentuk Budaya: anggaran-anggaran formal, sesi yang

terencana, laporan-laporan, prosedur penilaian kinerja, serta program pengembangan

manajemen dapat digunakan untuk menekankan nilai-nilai budaya dan keyakinan terhadap

perilaku yang dianggap sesuai bagi organisasi. Program orientasi karyawan baru, dapat

digunakan untuk media sosialisasi dan mengajarkan mengenai budaya perusahaan. Program

Page 11: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

11

training dapat di desain untuk meningkatkan keahlian pekerjaan, namun juga digunakan untuk

mengajarkan kepada peserta training mengenai ideologi dari perusahaan.

Peran pemimpin dan budaya perusahaan secara bersama-sama menjadi dasar pelaksanaan

strategi keterikatan kerja (employee engagement). Dua peran utama para pemimpin baik dalam

lini manajer maupun supervisor, yang perlu dilakukan untuk mempercepat proses terjadinya

keterikatan karyawan adalah sebagai berikut:

Peran #1: Mengkaitkan para Karyawan dengan Organisasi (Connecting Employees with the

Organization): menyediakan informasi mengenai arah kebijakan perusahaan agar para

karyawan mengerti bagaimana memberikan kontribusi untuk kesuksesan organisasi.

Peran #2: Memberikan bimbingan mengenai Pekerjaan dan Kinerja yang diharapkan kepada para

Karyawan: memberikan umpan balik yang seimbang dan akurat (providing fair and

accurate feedback) dan membantu karyawan mencari solusi-solusi atas tantangan-

tantangan pekerjaan mereka (helping employees find solutions to job challenges).

Catteeuw, Frank; Flynn, Eileen; Vonderhorst, James, “Employee Engagement: Boosting

Productivity in Turbulent Times”, Organization Development Journal; summer 2007.

3.1.11. Pengertian Perusahaan Market Research

Menurut Asosiasi Marketing Amerika, “Riset Pemasaran (Marketing Research) adalah fungsi yang

menghubungkan antara konsumen, pelanggan dan masyarakat kepada pihak pemasar melalui

informasi-informasi yang digunakan untuk mengindentifikasi dan menentukan kesempatan-

kesempatan pemasaran dan permasalahan yang ada, untuk menghasilkan, memperbaiki, dan

melakukan evaluasi tindakan-tindakan pemasaran; mengawasi kinerja pemasaran; dan

meningkatkan pemahaman pemasaran sebagai sebuah proses.”

Riset Pemasaran memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengidentifikasi kebutuhan

pelanggan dan memenuhinya dalam cara yang paling memungkinkan. Tugas utama dari Riset

Pemasaran adalah pengumpulan dan analisa informasi secara sistematis.

Perusahaan Riset Pemasaran yang menyediakan jenis riset studi pelayanan penuh (full service

market research agency) adalah perusahaan riset pemasaran yang mampu melaksanakan semua

elemen dari proyek penelitian dari mulai awal studi sampai dengan penyelesaian pelaporan dan

rekomendasi kepada klien.

3.2. Rerangka Pemikiran

Karyawan

Budaya Perusahaan Pemimpin

Gaya

Kepemimpinan

Page 12: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

12

3.3. Hipotesis

3.3.1. Hubungan antara Budaya Perusahaan dengan Keterikatan Karyawan

Berkenaan dengan pembahasan mengenai keterkaitan antara Budaya Perusahaan dan

Keterikatan Karyawan, maka hipotesa pertama adalah: Budaya Perusahaan yang dibentuk akan

memiliki korelasi positif terhadap Keterikatan Karyawan pada perusahaan.

3.3.2. Hubungan antara Kepemimpinan dan Keterikatan Karyawan

Berkenaan dengan pembahasan mengenai keterkaitan antara Kepemimpinan dan Keterikatan

Karyawan, maka hipotesa kedua adalah: ada hubungan korelasi yang kuat dan positif antara

Kepemimpinan yang efektif dengan Keterikatan Karyawan.

3.3.3. Budaya Perusahaan bersama-sama dengan Kepemimpinan Berpengaruh pada Keterikatan

Karyawan

Budaya Perusahaan dan Kepemimpinan secara simultan bersama-sama berpengaruh terhadap

Keterikatan Karyawan.

Keterikatan Karyawan

yang diinginkan

Budaya Perusahaan

(X1)

Gaya Kepemimpinan

(X2)

Keterikatan

Karyawan

(Y)

Page 13: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

13

Relationship between organizational culture and leadership behavior

Hypothesis 1- Organizational culture is positively correlated with leadership behavior.

Relationship between leadership behavior and job satisfaction

Job satisfaction has been associated with nurses who perceive their managers as supportive and caring.

A supportive manager shares values, believes in a balance of power, and provides opportunities for

open dialogue with nurses [21], which in turn reduces the chances of internal conflicts. This type of

leader is successful in his or her role and is supportive and responsive to clinical nurses, thereby

preserving power and status within the hospital system. Such leaders are valued throughout the

organization and have executive power to do what they see as necessary to create a positive

environment for nursing [22]. Accordingly, they have a measurable effect on the morale and job

satisfaction of nurses [23].

Hypothesis 2 - Leadership behavior is positively correlated with Employee Engagement.

Relationship between organizational culture and job satisfaction

Organizational culture expresses shared assumptions, values and beliefs, and is the social glue holding

an organization together [24]. A strong culture is a system of rules that spells out how people should

behave [25]. An organization with a strong culture has common values and codes of conduct for its

employees, which should help them accomplish their missions and goals. Work recognition and job

satisfaction can be achieved when employees can complete the tasks assigned to them by the

organization.

Hypothesis 3 -.Organizational culture is positively correlated with job satisfaction.

The measurement of organizational culture, leadership behavior and job satisfaction

A structured questionnaire was compiled based on similar studies published in international journals

[26,27]. Twenty-three factors regarding organizational culture were taken from Tsui et al. [26], a study

based on two groups of MBA students from two universities in Beijing, China. Our research was focused

on clinical nurses in hospitals; therefore, refinements were made to the questionnaire designed by Tsui

et al. [26] to cater for our particular research objective. The study invited three directors or supervisors

from the medical center to validate the questionnaire. Lastly, there were 22 questions in the

organizational culture section.

Thirty items regarding leadership behavior were taken from Strange & Mumford [27], and the questions

structured using this literature. However, the proposed test was not empirically studied. Nurses from

hospital A were used as a pilot study sample. Four question items were deleted to improve the validity

of the questionnaire: "People will have an extreme reaction to the leader"; "Followers will sacrifice

themselves for the leader and/or the leader's vision"; "The leader is motivated by the accomplishment

Page 14: Pengaruh Budaya Perusahaan Dan Kepemimpinan Terhadap Keterikatan Karyawan

14

of his vision"; and "The leader will take into account the needs of the organization in his decision

making."

Vroom [28] classified job satisfaction into 7 dimensions: organizational, promotion, job content,

superior, reward, working environment and working partners. We took into consideration that nurses'

salary increases are based on promotion. Furthermore, a large number of variables in organization

culture and leadership behavior were covered by this research. To prevent too few number nurses from

responding to the questionnaires, we asked only 4 job satisfaction dimensions out of a total of 12 items:

job recognition, reward and welfare, superior and working partners.

Conclusion

Culture within an organization is very important, playing a large role in whether or not the organization

is a happy and healthy place to work [20]. Through communicating and promoting the organizational

vision to subordinates, and in getting their acknowledgement of the vision, it is possible to influence

their work behavior and attitudes. When there is good interaction between the leader and subordinates,

there will be contributions to team communication and collaboration, and encouragement of

subordinates to accomplish the mission and objectives assigned by the organization, which in turn

enhances job satisfaction.