pengantar epistomologi islam - bab 3 indra akal dan hati

12
INDRA, AKAL DAN HATI Teori atau filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan- bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu, menurut epistomologi Islam, tak lain adalah indra, akal dan ahti (intuisi). Marilah kita mulai dengan indra. Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra tentu amat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisisme, indra dipandang sebagai satu- satunya sumber pengetahuan. Melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita. Melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita. Melalui mata, kita bisa mengetahui bentuk, keberadaan, sifat-sifat, atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga, kita juga mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dicerap oleh mata, yaitu suara. Demikian juga, melalui indra perasa, kita bisa mengenal dimensi yang lain lagi dari objek-objek dunia, yaitu rasa (masam, asin, manis, pahit, dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat atau didengar oleh mata dan telinga. Tak kurang pentingnya juga adalah indra pencium yang dapat mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dilihat, didengar, atau dirasa, yaitu “bau” yang menyebabkan kita bisa membedakan antara harum bunga, parfum, atau bau busuk bangkai. Seperti indra pencium, indra peraba juga sangat penting karena bisa membedakan antara panas dan dingin, lunak, halus dan kasar, yang tentunya tidak bisa dicerap oleh indra-indra lain. Namun, sebelum membahas indra sebagai sumber pengetahuan, ada baiknya kita singgung sedikit tentang fungsi lain dari indra, yaitu sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan sebagai alat pertahanan hidup (survival). Mata, misalnya, sangat berguna untuk mengamati bahaya yang mungkin akan mengancam nyawa, seperti tertabrak kendaraan bermotor, terbakar oleh api, atau terjerembap ke dalam parit, dan dengan itu kita bisa mengambil tindakan seperlunya untuk menyelamatkan diri. Telinga juga berfungsi untuk menghindari

Upload: didit-pamungkas

Post on 28-Nov-2015

41 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

TRANSCRIPT

Page 1: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

INDRA, AKAL DAN HATI

Teori atau filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu, menurut epistomologi Islam, tak lain adalah indra, akal dan ahti (intuisi). Marilah kita mulai dengan indra. Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra tentu amat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita. Melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita. Melalui mata, kita bisa mengetahui bentuk, keberadaan, sifat-sifat, atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga, kita juga mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dicerap oleh mata, yaitu suara. Demikian juga, melalui indra perasa, kita bisa mengenal dimensi yang lain lagi dari objek-objek dunia, yaitu rasa (masam, asin, manis, pahit, dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat atau didengar oleh mata dan telinga. Tak kurang pentingnya juga adalah indra pencium yang dapat mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dilihat, didengar, atau dirasa, yaitu “bau” yang menyebabkan kita bisa membedakan antara harum bunga, parfum, atau bau busuk bangkai. Seperti indra pencium, indra peraba juga sangat penting karena bisa membedakan antara panas dan dingin, lunak, halus dan kasar, yang tentunya tidak bisa dicerap oleh indra-indra lain.

Namun, sebelum membahas indra sebagai sumber pengetahuan, ada baiknya kita singgung sedikit tentang fungsi lain dari indra, yaitu sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan sebagai alat pertahanan hidup (survival). Mata, misalnya, sangat berguna untuk mengamati bahaya yang mungkin akan mengancam nyawa, seperti tertabrak kendaraan bermotor, terbakar oleh api, atau terjerembap ke dalam parit, dan dengan itu kita bisa mengambil tindakan seperlunya untuk menyelamatkan diri. Telinga juga berfungsi untuk menghindari bahaya serupa, misalnya dengan mendengar suara klakson mobil ketika mata, karena satu dan lain hal, tidak bisa melihatnya. Demikian juga indra manusia yang lain, seperti indra perasa untuk menghindari diri untuk memakan benda-benda yang sudah membusuk atau beracun, dan sebagainya. Dengan demikian, kita sadar bahwa indra berfungsi tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga alat yang diperlukan untuk menghindari diri dari bahaya, atau dengan kata lain, pancaindra merupakan instrumen untuk kelangsungan hidup

Marilah sekarang kita beralih pada indra sebagai sumber pengetahuan. Sepintas lalu, tampaknya indra telah mencukupi kebutuhan kita akan pengetahuan karena melalui pancainda, kita bisa mengenal lima dimensi dari sebuah benda yang kita amati. Dan seperti yang telah disinggung, persepsi indra telah cukup memadai untuk menghindari diri dari banyak bahaya yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Pertanyaannya sekarang adalah apakah indra telah cukup memasok kebutuhan kita akan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya? Apakah misalnya penglihatan kita telah mampu memberi kita pengetahuan tentang sebuah benda,

Page 2: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

katakanlah, langit, bulan atau bintang? Sepintas kita akan menjawab ya. Misalnya, kita bisa mengatakan bahwa langit itu biru, bulan itu pipih seperti piring, atau bintang itu kecil. Namun, apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagaimana adanya, atau semata-mata kesan yang tercerap oleh mata kita belaka? Apakah kesan indriawi kita itu sama dengan kenyataan? Ternyata, denganpertanyaan yang sedikit kritisterhadap pengetahuan indra, kita tahu bahwa kesan indra itu tidaklah sesuai dengan keadaan benda itu sebagaimana adanya. bahwa bintang itu kecil, jelas keliru karena ternyata ada bintang yang jauh lebih besar dibandingkan matahari, seperti Vega dan Betelguese dari konstalasi Orion. Kita juga akn menduga bahwa langit itu biru, padahal langit iu sendiri tidak jelas apa definisinya. Indra kita mengesankan bahwa langit itu seperti kubah besar yang dapat dilihat dari dalam dengan bintang-bintang dan bulan yang menempel disana. Tentu saja, itu tidak sebagaimana adanya karena yang kita sebut langit itu adalah ruang angkasa yang tak terukur jauhnya yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan kita. Berdasarkan penglihatan, kita akan menduga bahwa bintang yang kita lihat berkelip-kelip dilangit ada disana pada saat kita melihat, padahal, menurut penyelidikan ilmiah, bisa saja bintang yang kita lihat sekarang sudah sirna, karena bisa jadi cahaya bintang yang kita lihat sekarang adalah cahaya yang terpancar dari bintang itu jutaan thun yang lalu karena bintang yang berjarak jauh memang membutuhkan jutaan tahun untuk merambat sampai ke mata kita. Jadi, jelas bahwa kesan yang kita tangkap jauh berbeda dengan keadaan sebenarnya.

Kesan keliru seperti itu tentu tidak hanya milik penglihatan kita, tetapi juga diderita oleh indra pendengaran (telinga). Suara sentuman bom atau gunung berapi yang kita dengar pada pukul 10.06, misalnya, belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya, sebab gelombang suara membutuhkan waktu beberapa saat untuk mencapai telinga kita, mungkin hanya beberapa detik atau 1-4 menit. Selain itu, kita juga tahu bahwa tidak semua gelombang suara dapat didengar (atau diterjemahkan oleh saraf-saraf telinga sebagai suara) karena telinga kita hanya mampu mendengar gelombang suara yang berfrekuensi tertentu saja, dan bukan gelombang suara yang jauh di luar batas frekuensi pendengaran kita. Apalagi jika telinga kita mengalami gangguan, bisa saja gelombang suara pendengaran pun tidak dapat ditangkap. Seperti halnya tekinga, penglihatan kita juga dapat menangkap gelombang cahaya dengan frekuensi tertentu sehingga gelombang cahaya yang jatuh diluar frekuensi penglihatan tidak akan dapat kita lihat, sekalipun sebenarnya mereka itu ada, seperti sinar kosmik, sinar gamma, sinar X, ultraviolet, dan bahkan inframerah.

Dari dua contoh di atas, saya berharap kita menjadi sadar betapa indra kita, yang sepintas telah cukup memberi kita pengatahuan (informasi) tentang benda-benda indriawi, ternyata tidak memadai untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. oleh karena itu, kita membutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang sesuatu sebagaimana adanya. Al-Ghazali (w. 1111M) dalam kitabnya, Misykat Cahaya-Cahaya, memandang akal patut disebut “cahaya” daripada indra. Dengan kata lain, akan lebih patut disebut sebagai sumber ilmu daripada indra. Misalnya, dengan indra, kita dapat melihan bulan separuh saja pada satu saat. Mata tidak bisa

Page 3: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

membuktikan adanya paruh lain dari bulan yang tidak terlihat. Dalam hal ini, hanya akallah yang dapat menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola atau sferik. Demikian juga, akallah-dengan memakai ukuran tertentu- yang dapat menaksir dan dapat menunjukkan dengan logika atau model matematika, ukuran sebuah planet, bintang, matahari, atau keliling bumi, seperti yang pernah dilakukan oleh Al-Biruni, ilmuwan muslim pada abad ke-11. Dengan akal jugalah, kita dapat menyatkan bahwa pensil dalam gelas yang penuh air itu lurus sekalipun tampak pada pandangan kita bengkok karena bias.

Namun, sebelum melanjutkan pembahasan tentang akal sebagai sumber ilmu, ada baiknya kita juga membahas kecakapan-kecakapan mental lain yang dalam epistomologi Islam disebut pancaindra batin yang cukup efektif dalam membantu fungsi esensial akal. Yang pertama dari pancaindra bati itu disebut “Indra Bersama” (al-hiss al-musytarak). Mata boleh bisa melihat, telinga boleh bisa mendengar, kulit meraba, hidung mencium, dan lidah merasa, tetapi kecakapan mereka bersifat individual atau parsial. Tidak ada satupun dari alat-alat indra tersebut yang dapat menyatukan atau mengoordinasi data-data indriawi spesifik tersebut secara sintesis. Namun, karena dalam kenyataannya kita dapat mengenali data-daa indriawi tersebut secara sintesis dan utuh, harus ada kecakapan lain diluar kecakapan pancaindra lahir yang mampu menjalankan fungsi tesebut. Inilah yang disebut oleh Ibn Sina dengan al-hiss al-musytarak (indra bersama/ common sense). Indra batin inilah yang menyebabkan sebagai objek indriawi muncul sebagai sebuah kesatuan yang utuh dengan segala dimensinyadan tidak lagi data parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir.

Kedua, “khayal” atau “daya imajinasi retentif”. Seperti tadi, mata boleh melihat atau menangkap bentuk objek (termasuk warnanya) dengan sangat mengesankan; telinga boleh bisa menangkap ratusan nada yang berbeda-beda dengan sempurna. Namun, keduanya tidak bisa melestarikan atau merekam apa-apa yang mereka tangkap. Seperti kamera, mata bisa melihat objek-objek yang dicerapnya dengan baik, tetapi mata tidak memiliki tombol record, seperti yang dimiliki oleh sebuah kamera. Fungsi tersebut diambil alih, atau dimainkan secara sempurna, oleh indra batin lain yang disebut oleh Ibn Sina dengan al-khayal atau “daya imajinasi retentif” (retentive imaginative faculty. Khayal, dengan demikian, merupakan daya yang bisa melestarikan bentuk yang diangkap oleh mata, atau suara yang ditangkap oleh telinga, dan pencerapan-pencerapan indra lainnya. Daya ini sangat penting karena tanpa adanya daya khayal seperti ini, kita takkan pernah bisa mengingat wajah istri dan putra-putri kita, dan jika hal tersebut terjadi, tak bisa dibayangkan akibatnya, kita akan seperti orang yang kehilangan ingatan.

Indra batin yang ketiga disebut “daya estimasi” (wahm). Pancaindra lahir kita bisa menangkap dimensi-dimensi benda yang cukup rumit, tetapi mereka tidak bisa menangkap “maksud” yang tersembunyi dari sebuah benda. Fungsi itu hanya bisa dilaksanakan oleh apa yang disebut oleh Syaikh Al-Rais sebagai wahm (estimate faculty). Indra batin yang satu inilah yang dapat menilai apakah, misalnya, sebuah benda itu bermanfaat atau berbahaya sehingga kita dapat mengambil tindakan yang diperlukan,

Page 4: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

baik untuk menghindari diri dari benda tersebut jika berbahaya, maupun untuk mendekatinya jika bermanfaat. Tentu saja, keduanya sangat diperlukan untuk survival atau kelangsungan hidup kita. Maksud (intention) sebagai aspek batin yang ditangkap oleh wahm. Arti penting wahm ini-terutama untuk tujuan praktis dan, dalam kaitan dengan daya hewani yang lain, gerak (harakah)-mungkin dapat dilihat dari pertimbangan berikut ini. Seperti telah disinggung, dengan wahm, manusia (dan hewan) menjadi sadar bahwa sesuatu itu “berbahaya” atau “bermanfaat” bagi hidup kita. Ketika wahm kita menyimpulkan (tentunya berdasarkan pengalaman) bahwa api itu panas, kita akan mengambil tindakan yang diperlukan berupa tindakan menjauhi objek tersebut. Sebaliknya, ketika wahm kita menyimpulkan bahwa makanan atau minuman itu baik untuk kesehatan diri, kita pun mengambil tindakan berupa gerakan ke arah objek tersebut agar kebutuhan nutrisi kita bisa terpenuhi. Tanpa kecakapan ini, manusia akan sangat riskan terhadap bahaya, bahkan terhadap malapetaka yang bisa mengancam bahaya.

Sekarang marilah kita beralih pada indra batin keempat yang disebut “imajinasi” (mutakhayyilah atau compositive imaginative faculty). Sebagaimana indra bersama (al-hiss al-musytarak) mampu mengakap sebuah objek fisik secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap bentuk (shurah) secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan penglihatan dapat dilihat melalui perbandingan ini. Sementara mata kita hanya bisa melihat satu bentuk dalam sebuah benda, imajinasi tidak hanya dapat mengabstaksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan bentuk manusia dan burung dalam sebuah bentuk unik yang bisa kita sebut “burak”. Ini hanya bisa dibayangkan dalam imajinasi, tetapi tidak pernah kita lihat sendiri dalam kenyataan. Atau, contoh yang diberikan sendiri oleh Ibn Sina adalah bahwa kita bisa membayangkan gunung yang terdiri dari zamrud atau emas sehingga kita menyebutnya gunung zamrud atau gunung emas. Kita bisa menemukan contoh-contoh lain, misalnya dalam pegasus (kuda terbang) atau unicorn (kuda bertanduk satu).

Sekarang sampailah kita pada indra batin kelima, yang disebut “memori” (al-hafizhah). Sebagaimana indra yang muncul dalam indra-bersama tidak bisa direkan sendiri oleh indra-bersama, tetapi oleh khayal, demikian juga bentuk-bentuk imajiner gabungan tersebut juga tidak bisa direkam sendiri oleh imajinasi. Untuk itu, kita membutuhkan “memori” (quwwat al-hafizhah) yang berguna untuk melestarikan bentuk-bentuk imajiner, sebagaimana kita membutuhkan “khayal” untuk merkam bentuk-bentuk fisik yang ditangkap oleh indra bersama. Memori inilah yang menyebabkan kita bisa mengingat tidak saja bentuk-bentuk fisik, tetapi juga bentuk-bentuk abstrak. Memori merupakan indra batin terakhir dalam sistem yang dibangun oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.

Dengan pembahasan tentang indra-indra batin ini, tibalah saatnya kita membahas akal sebagai sumber pengetahuan kita. Oleh para filosof Muslim, akal (al-aql) biasanya dibagi menjadi dua macam, akal praktis dan akal teoretis. Namun, karena kita bicara tentang akal sebagai sumber pengetahuan, sedangkan akal praktis berkaitan dengan tindakan (etika), disini akan lebih terfokus pada akal teoretis. Kita telah mendiskusikan tidak

Page 5: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

hanya kemampuan dan kelebihan pancaindra lahir, tetapi juga kekurangan-kekurangannya. Misalnya, tidak semua gelombang cahaya, dapat ditangkap oleh mata kita, seperti halnya tidak semua gelombang suara dapat ditangkap oleh telinga kita. Hanya gelombang cahaya berfrekuensi tertentu yang dapat ditangkap oleh mata, dan hanya gelombang suara antara 15-20.000 hertz yang dapat diterima sebagai suara oleh telinga kita. Atau dengan contoh lain, hanya separuh dari bulan yang dapat ditangkap oleh mata pada saat kita memandangnya. Untuk menyempurnakan kesan indra ini agar menjadi “pengetahuan sebagaimana adanya”, kita membutuhkan alat lain yang kita sebut akal. Melalui akallah, kita dapat menyempurnakan pengetahuan kita tentang bentuk bulan yang seutuhnya, dan bukan hanya separuh sebagaimana yang dikesankan oleh mata kita.

Pertanyaan penting sekarang adalah bagaimana akal dapat menyempurnakan pencerapan indra kita dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan kesan yang diterimanya? Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa, yang tidak dimilki oleh hewan apapun, yaitu akal. Akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra –indra kita (baik lahir maupun batin), yaitu kemampuan untuk bertanya secara kritis. Akal, misalnya, dapat bertanya tentang dimana sebuah “benda” berada. Akal juga dapat bertanya ntang kapan suatu peristiwa yang kita dengar terjadi. Demikian juga ia mampu bertanya tentang apa yang menyebabkan peristiwa itu, oleh siapa, dan bagaimana. Melalui kemampuannya untuk menanyakan beberapa hal penting seperti tersebut di atas-apa, dimana, kapan, mengapa, bagaimana, siapa, dan lain-lain-akal telah menjadi sumber informasi yang luar biasa kayanya dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, yang semuanya tidak bisa dipasok oleh indra. Dengan demikian, kita tidak bisa meragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber pengetahuan kita, yang tanpanya manusia akan berada dalam kegelapan. Bagaimakan hal itu (kemampuan akal untuk bertanya) dapat dijelaskan? Itu tak lain karena akal memilki perangkat-perangkat, atau konstruksi-konstruksi mental, atau apa yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategori-kategori, seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi, dan kuantitas.

Namun, kelebihan yang paling istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap “kuiditas” atau “esensi” dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya. Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat memahami konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular. Ketika ki memahami “esensi” manusia, sebenarnya kita bukan lagi berbicara tentang manusia partikular a atau b, melainkan berbicara tentang manusia dalam pengertian yang universal-atau tentang sifat dasar kemanusiaan. Ketika berbicara tentang meja, kita bukan lagi berbicara tentang meja berbentuk segitiga, segiempat, segilima, atau berbentuk ati-ati, melainkan berbicara tentang hakikat atau kuiditas yang meliputi semua meja partikular atau tertentu. Inilah yang disebut oleh Aristoteles dengan “bentuk” (form/shurah). Dengan kemampuan akal menangkap esensi (mahiyyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia bisa

Page 6: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

menyimpan jutaan “makna” atau “pemahaman” tentang pelbagai objek ilmu yang bersifat abstrak sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas di dalam pikiran kita.

Dengan uraian di atas, cukup kiranya kita telah membicarakan kemampuan dan fungsi akal yang luar biasa penting sebagai sumber pengetahuan, yang tentu saja tidak bisa ditinggalkan oleh manusia karena tidak bisa ditangani oleh indra-indra kita, baik yang lahir maupun yang batin. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita masih membutuhkan sumber pengetahuan lain dari pengetahuan yang dapat menyempurnakan pengetahuan kita tentang sesuatu sebagaimana adanya? bisakah kita hanya mengandalkan dua sumber atau alat pngetahuan yang telah kita diskusikan tadi, yaitu indra dan akal? Meskipun tidak semua, para epistemolog Muslim pada umumnya meyakini keterbatasan akal dan keperluannya terhadap sumber lain yang lebih tinggi, yaitu hati (intuisi). Ibn Khaldun (w. 1405), misalnya, berkata, “Sebagai timbangan emas atau perak, akal adalah sempurna. Namun, timbangan emas sesempurna apapun pasti tidak akan bisa untuk menimbang gunung.” Oleh karena itu, diperlukan timbangan lain untuk menimbang hal-hal yang tidak bisa ditimbang oleh akal. Al-Ghazali ditempat lain berkata, “Ketika kita dalam keadaan tidur (mimpi), tampak semua seperti masuk akal, tetapi ketika kita tersadar, tampak betapa mereka tidak masuk akal karena akal tidak mampu memahaminya.” Bahkan, Ibn Sina sendiri sebagai filosof, yang tentunya sangat menggunakan akal, yaitu intuisi suci (al-hads al-qudsi) yang pada umumnya dimilki oleh seorang nabi. Apapun ungkapan para pemikir tersebut, mereka sepakat bahwa akal-betapapun sangat pentingnya ia-tetap terbatas dan karena itu memerlukan alat atau sumber lain, yaitu hati atau intuisi yang bentuk tertingginya adalah wahyu. Bergson (w. 1938) dan para pengikutnya menyatakan bahwa akal sangat kompeten untuk menganalisis ruang, tetapi tidak tentang waktu. Untuk memahami waktu, kita harus menggunakan intuisi sebagai alat atau “metode filosofis” yang paling tepat untuknya. Akal memang sangat kompeten untuk memahami apa yang saya sebut sebagai “pengalaman fenomenal”, tetapi tidak untuk “pengalaman eksistensial”.

Apakah keistimewaan hati (qalb) sebagai sumber pengetahuan? Secara umum, kita bisa mengatakan bahwa intuisi mampu memahami banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal. Marilah kita analisis beberapa kelamahan akal untuk bisa dengan lebih mudah mengenai keunggulan intuisi. (1) Rumi pernah berkata “akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu, tetapi tentang hidupnya sendiri, ia tidak tahu apa-apa. Akal memang sangat berguna sebagai sumber ilmu, tetapi hanya sebagai kecapakan intelektual atau kecerdasan intelegensi. Akal sering dibuat tidak berdaya oleh persoalan-persoalan hidup yang lebih dalam, yang menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalanya, akal tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran kita buntu dan lidah menjadi kelu. Dengan kata lain, akal tidak mengerti banyak tentang pengalaman-pengalaman eksistensial, yaitu pengalamn yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati atau intuisilah yang mampu melakukannya.”

Page 7: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

(2) Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang (spatilize) apapun yang menjadi objeknya cenderung memahami sesuatu secara general atau homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan sebuah “momen” atau “ruang” sebagaimana yang dialami secara langsung oleh seseorang. Bahwa setiap saat dari kehidupan kita unik, sulit dimengerti oleh akal karena bagi akal, satu menit disini akan sama saja dengan satu menit di mana pun. Akal tidak akan mengerti mengapa bagi seseorang ada ahri baik dan hari yang buruk. Demikian juga, akal tidak akan mengerti mengapa bagi orang-orang tertentu, ada tempat-tempat yang sakral dan ada yang profan.

(3) Akal, yang seperti yang dikatkan oleh Rumi dan Bergson, tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akal dengan menggunakan kata-kata atau simbol hanya akan berputar-putar seputar objek tersebut, tetapi tidak pernah dapat secara langsung menyentuhnya. Pengenalan akal t rhadap objeknya adalah pengenalan yang bersifat simbolis, yakni melalui kata-kata, tetapi kata-kata saja tidak akan pernah memberi pengetahuan yang sejati (sebagaimana adanya) tentang sebuah objek yang dipelajarinya. Secara ironis, Rumi pernah bertanya “dapakah anda menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R? Tidak, anda baru menyebut nama, cari yang empunya nama.”

Nah, untuk menutupi kekurangan akal tersebut, manusia dilengkapi oleh Tuhan intuisi atau hati (qalb) sehingga akan lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. Ketika akal tidak mampu memahami “wilayah kehidupan emosional manusia “, hati kemudian dapat memahaminya. Hati (intuisi) yang terlatihakan dapat memahami perasaan seseorang hanya, misalnya, dengan mendengar suara atau memandang matanya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman mistik atau religius) sehingga mempu memahami pengalamn-pengalaman non-indriawi atau apa yang sering disebut ESP (extra-sensory perception). Ia bahkan bisa berkomunikasi melalui “bahasa hati” dengan makhluk-makhluk gaib, seperti malaikat, jin, atau bahkan Tuhan sendiri, seperti yang dialami oleh para nabi. Ibarat radar, hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan begitu terang, batapapun rendahnya sinyal itu dari sudut pandang akal.

Selain itu, hati juga mampu, seperti telah disinggung, memahami “keunikan-keunikan” setiap peristiwa atau kejadian yang kita alami sehari-hari. Dengan dihindarinya kecenderungan-kecenderungan generalisasi dan spasialisasi yang bersifat rasioanal, hati (intuisi) mampu melihat dan menghayati setiap peristiwa apapun sebagai peristiwa yang istimewa dan partikular. Hati inilah yang dapat memahami pengalaman langsung yang kita rasakan dalam apa yang saya sebut sebagai pengalamn-pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, dan bukan sebagaimana dikonsepsikan akal. Hati inilah yang dapa mengerti mengapa, misalnya, rentang waktu satu jam terasa berbeda bagi yang ditunggu dibandingkan yang menunggu. Hati atau intuisi ini jugalah yang dapat memahami mengapa sebuah “halte bus” bisa begitu indah dan mengesankan bagi mereka yang sedang kasmaran, tetapi begitu “menjemukkan”

Page 8: PENGANTAR EPISTOMOLOGI ISLAM - BAB 3 INDRA AKAL DAN HATI

bagi mereka yang sedang kalut pikirannya. Padahal, bagi akal, tempat itu akan sama saja bagi siapa pun yang berada di sana. Selanjutnya, melalui hati ini juga kita bisa mengerti mengapa bagi orang yang beriman ada tempat-tempat yang dipandang suci (sakral), demikian jua kota-kota atau situs-situs suci, sebagaimana juga hari-hari atau bulan-bulan suci, dan ada juga tempat-tempat dan waktu-waktu yang biasa atau profan.

Terakhir, hati juga mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan “eksperimental” atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Ia mengerti “manis” bukan dari kata orang atau bacaan, melainkan justru denga mencicipinya. Ia, misalnya, mengerti cinta bukan melalui mulut orang atau bacaan dan teori-teori cinta yang sering jauh berbeda dengan yang dialami, melainkan memahaminya denga betul-betul jatuh cinta. Tidak bisa terbayangkan indahnya bercinta bagi akal, tetapi hati sangat memahaminya, sekalipun mungkin ia tidak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata karena mengungkapkan perasaan cinta mengharuskan kita menggunakan “peraturan” bahasa yang bersifat rasional. Selain itu, pengetahuan hati juga disebut “presensial” karena objeknya dipandang hadir dalam diri atau jiwa seseorang. Tidak ada lagi jurang yang memisahkan seseorang dari objek yang telah ditelitinya karena ia telah bersatu-telah hadir pada dirinya. Akal mungkin akan bingung mengapa seseorang yang begitu “jauh di mata”, tetapi terasa begitu “lekat di hati”. Bahkan, kalau perasaan cinta telah begitu besar, seseorang pecinta tidak bisa lagi dipisahkan dengan kekasihnya, dan dua jiwa pun kini tak dapat dipisahkan lagi karena mereka telah bersatu. Lalu, terkenallah ungkapan “dua jantung, yang berdetak satu”. Dari sinilah kita dapat mengerti mengapa banyak sufi yang telah merasa bersatu dengan Kekasihnya, yaitu Tuhan, sehingga nama Al-Hallaj pun hilang, dan yang tersisa hanyalah Tuhan, Sang Kebenaran (Al-Haqq).