penetapan batas desa

12
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundang- undangan diterbitkan untuk memayungi otonomi daerah itu, diantaranya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran demi pemekaran telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperkuat asas desentralisasi. Asas ini memungkinkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa untuk mengatur daerahnya sendiri berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kedudukan pemerintahan desa menjadi lebih kuat sebagai pelaksana otonomi daearah. Hal ini berimplikasi terhadap pentingnya penetapan batas antar daerah bahkan antar desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 tahun 2006 tentang penetapan dan penegasan batas desa mengamanatkan setiap pemerintah daerah untuk melakukan penetapan dan penegasan batas desa. Permendagri Nomor 27 tahun 2006 dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 106 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Penetapan dan penegasan batas desa menjadi program yang sangat penting guna memberikan kepastian hukum terhadap batas desa dalam rangka menentukan batas kewenangan dan administrasi kepala desa dalam menjalankan sistem pemerintahan otonomi daerah. Penetapan batas desa perlu dilakukan mengingat desa-desa yang ada di Indonesia terus berkembang dan jumlahnya meningkat seiring dengan otonomi daerah yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Pembentukan desa baru mengakibatkan perubahan batas-batas administrasi desa sehingga perlu dilakukan penetapan batas desa kembali. Di Indonesia terdapat 81.253 desa yang terdiri dari 72.944 administrasi desa dan 8.309 administrasi kelurahan (Kemendagri, 2013).

Upload: nanang-s-laksono

Post on 10-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penetapan Batas Desa

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1. Latar belakang

    Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah

    dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundang-

    undangan diterbitkan untuk memayungi otonomi daerah itu, diantaranya Undang-

    Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-undang

    Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran demi pemekaran

    telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperkuat asas desentralisasi. Asas ini

    memungkinkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa untuk mengatur

    daerahnya sendiri berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan

    diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kedudukan

    pemerintahan desa menjadi lebih kuat sebagai pelaksana otonomi daearah. Hal ini

    berimplikasi terhadap pentingnya penetapan batas antar daerah bahkan antar desa.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 tahun 2006 tentang

    penetapan dan penegasan batas desa mengamanatkan setiap pemerintah daerah untuk

    melakukan penetapan dan penegasan batas desa. Permendagri Nomor 27 tahun 2006

    dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 106 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun

    2005 tentang desa. Penetapan dan penegasan batas desa menjadi program yang

    sangat penting guna memberikan kepastian hukum terhadap batas desa dalam rangka

    menentukan batas kewenangan dan administrasi kepala desa dalam menjalankan

    sistem pemerintahan otonomi daerah.

    Penetapan batas desa perlu dilakukan mengingat desa-desa yang ada di

    Indonesia terus berkembang dan jumlahnya meningkat seiring dengan otonomi

    daerah yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Pembentukan desa baru

    mengakibatkan perubahan batas-batas administrasi desa sehingga perlu dilakukan

    penetapan batas desa kembali. Di Indonesia terdapat 81.253 desa yang terdiri dari

    72.944 administrasi desa dan 8.309 administrasi kelurahan (Kemendagri, 2013).

  • 2

    Badan Informasi Geospasial selanjutnya disebut BIG yang merupakan instansi

    pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial

    bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan penetapan batas desa.

    Penetapan batas desa yang telah dilakukan di Indonesia baru mencapai sekitar

    20 persen sehingga masih terdapat 80 persen batas desa yang belum ditetapkan dan

    ditegaskan batas desanya. Dalam rangka proses percepatan penetapan dan penegasan

    batas desa di Indonesia, BIG menyelenggarakan kegiatan ajudikasi batas desa di

    berbagai wilayah Pulau Jawa sebagai pilot project. Kegiatan penetapan batas desa

    dilaksanakan secara kartometrik khususnya dalam tahap menyiapkan peta kerja

    untuk dasar pelacakan titik-titik dan garis batas. Pilot project ini dilakukan di

    daerah:

    1. Kabupaten Bogor

    2. Kabupaten Semarang

    3. Kabupaten Bantul

    4. Kota Surabaya.

    Sebagai kontribusi penetapan batas desa, proyek ini menjalankan pekerjaan

    penetapan batas antar desa di kabupaten Bantul. Kegiatan penetapan batas desa

    dilakukan di Kecamatan Bantul dan Kecamatan Bambanglipuro. Kegiatan yang

    dilakukan meliputi perijinan, pembuatan peta kerja, pengumpulan dokumen batas

    desa, penetapan batas desa dengan metode kartometrik pada peta kerja, survei

    lapangan, dan pembuatan peta batas desa.

    Metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja

    dan pengukuran/perhitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan

    menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Metode kartometrik

    ini sangat cocok untuk menetapkan batas desa-desa yang wilayahnya luas dan

    memiliki batas desa yang panjang. Penetapan batas desa dengan metode kartometrik

    ini memudahkan dalam penetapan batas desa, deliniasi batas desa hanya dilakukan

    pada peta kerja sehingga lebih mempercepat dalam menetapkan batas desa

    dibandingkan dengan penetapan batas dengan metode suvei lapangan yang

    membutuhkan banyak biaya dan waktu yang lama.

  • 3

    P enetapan batas secara kartometrik dilakukan di desa-desa di Kecamatan

    Bantul dan Kecamatan Bambanglipuro. Dua kecamatan ini mempunyai desa-desa

    yang wilayahnya luas sehingga tiap desa mempunyai batas antar desa yang panjang.

    Akhirnya masing-masing desa mempunyai lebih banyak masalah perbatasan dari

    pada desa yang luasnya lebih kecil. Penetapan batas di desa yang luas, dalam waktu

    yang terbatas, membutuhkan metode yang tepat untuk efisiensi waktu. Metode

    kartometrik relevan dengan kebutuhan ini karena penetapan batas desanya hanya di

    atas peta.

    I.2. Lingkup kegiatan

    Lingkup kegiatan untuk proyek ini meliputi :

    1. Wilayah kerja dibatasi pada penetapan batas desa di kecamatan Bantul dan

    kecamatan Bambanglipuro di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa

    Yogyakarta.

    2. Penarikan garis batas desa dilakukan langsung di atas peta kerja.

    3. Output yang dihasilkan berupa peta batas desa yang akan menjadi usulan

    peta batas desa kepada Bupati.

    I.3. Tujuan

    Kegiatan proyek ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagaimana dapat

    diuraikan di bawah ini :

    1. Menghasilkan peta kerja

    2. Pembuatan peta batas desa

    I.4. Manfaat

    Apabila pilot project ini berhasil akan memperoleh manfaat sebagai berikut :

    1. Metode kartometrik dapat dijadikan sebagai upaya mempercepat

    pelaksanaan penetapan dan penegasan batas desa.

  • 4

    2. Desa-desa yang dilakukan kegiatan penetapan batas desa memiliki peta

    batas desa terkini.

    3. Setiap desa yang telah dilakukan kegiatan ini akan memiliki kepastian

    hukum terhadap batas desanya.

    I.5. Landasan teori

    I.5.1. Batas desa

    Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang

    berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

    masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak

    tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

    Republik Indonesia. Penetapan batas desa adalah kegiatan penentuan batas secara

    kartometrik diatas peta dasar yang disepakati. Berdasarkan Permendagri No.27

    Tahun 2006 pasal 1 menjelaskan bahwa Batas desa adalah batas wilayah yurisdiksi

    pemisah wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

    suatu desa dengan desa yang lain. Batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk

    peta Desa yang ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota.

    Dalam Permendagri No.27 Tahun 2006 pasal 5 ayat, batas desa adalah

    pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar desa yang merupakan rangkaian

    titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda

    alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watersheed), median sungai

    dan/atau unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar batas) dilapangan

    yang dituangkan dalam bentuk peta. Penggunaan unsur-unsur alam akan

    mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah

    yang menyebabkan bergesernya batas suatu daerah. Namun penggunaan unsur alam

    ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar (Arsana, 2006).

    Penetapan batas desa terdiri dari tiga kegiatan, yaitu:

    1. Penelitian dokumen batas, terkait dengan undang-undang, sumber hukum

    dan peraturan-peraturan lainnya, yang tertulis maupun yang tidak tertulis

  • 5

    tentang pembentukan desa bersangkutan, misalnya Peraturan Pemerintah

    No.72 tahun 2005 tentang desa, undang-undang No. 6 tahun 2014, peta

    administrasi desa yang telah ada, peta batas desa yang sudah ada, peta rupa

    bumi, citra satelit, peta topografi dan dokumen sejarah dan data lainnya.

    2. Penentuan peta dasar, peta yang dapat digunakan untuk menggambarkan

    batas desa secara kartometrik, seperti : peta citra, peta rupa bumi, peta pajak

    bumi dan bangunan,peta pendaftaran tanah.

    3. Pembuatan Peta batas desa secara kartometrik, pembuatan peta batas desa

    dibuat sesuai dengan spesifikasi teknis yang sudah ditentukan. Dalam hal ini

    mengikuti spesifikasi sebagai berikut :

    Tabel I. 1. Spesifikasi teknis pemetaan wilayah desa

    No Jenis Persyaratan

    1 Datum Horizontal DGN 95

    2 Elipsoid Referensi WGS 1984

    3 Skala peta 1 : 3.500 1: 10.000

    4 Sistem Proyeksi Peta Transverse Mercator (TM)

    5 Sistem Grid Universal Transverse Mercator (TM)

    6 Ketelitian Planimetris 0.5 mm diukur di atas peta

    Sumber : Permendagri Nomor 27 tahun 2006

    Batas desa indikatif pada Peta Rupa Bumi Indonesia selanjutnya disebut peta

    RBI adalah batas sementara yang dibuat oleh tim penetapan batas desa pada peta RBI

    yang merupakan batas desa yang tidak dapat digunakan sebagai acuan batas desa

    yang benar akan tetapi batas indikatif dibuat dengan tujuan memudahkan tim

    penetapan batas dalam pembuatan batas desa yang sebenarnya (Khafid, 2013).

    I.5.2. Metode kartometrik

    Metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja

    dan pengukuran/perhitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan

    menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Penerapan metode

  • 6

    kartometrik ini mengikuti spesifikasi teknis yang sudah ditentukan oleh Peraturan

    Menteri Dalam Negeri No.27 tahun 2006 (Permendagri, 2006). Metode kartometrik

    ini dilakukan langsung di atas peta dasar dengan cara membuat garis batas desa di

    atas peta dasar secara manual menggunakan alat tulis untuk membuat batas desa dan

    survei lapangan jika diperlukan. Pengukuran dan penentuan posisi titik batas secara

    kartometrik dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pengukuran titik-titik

    koordinat batas dengan pengambilan (ekstraksi) titik-titik koordinat pada jalur batas

    dengan interval tertentu menggunakan peta kerja. Pengukuran berpedoman pada

    hasil pelacakan yang disepakati. Hasil pengukuran dalam bentuk daftar titik-titik

    koordinat batas desa. Hasil pengukuran dan penentuan posisi dituangkan dalam

    berita acara.

    I.5.3. Ajudikasi

    Menurut definisi hukum Kamus Umum Bahasa Indonesia Ajudikasi adalah

    penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan; pengambilan keputusan. Kegiatan

    ajudikasi meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan

    pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis,

    penyimpanan daftar umum dan dokumen untuk memperoleh data fisik yang

    diperlukan untuk penetapan batas, kumpulan dari bidang-bidang tanah (persil) yang

    akan dipetakan dilakukan pengukuran, ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan

    menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas disetiap titik batas yang

    bersangkutan. Ajudikasi yang dimaksud dalam kegiatan ini bukan merupakan

    pengertian ajudikasi dalam pendaftaran tanah tetapi yang dimaksud dengan ajudikasi

    dalam hal ini adalah kegiatan penetapan batas desa yang diwujudkan melalui tahapan

    penelitian dokumen, penentuan peta kerja yang dipakai, dan deliniasi batas secara

    kartometrik diatas peta kerja.

    1. Penelitian dokumen, Dokumen batas yang perlu disiapkan adalah perundang-

    undangan dan peraturan lainnya, baik yang bersifat tertulis maupun yang

    tidak tertulis tentang pembentukan batas yang ditentukan. Dokumen batas

    yang perlu disiapkan, antara lain adalah :

  • 7

    a. Batas desa indikatif dari peta RBI

    b. Peta acuan batas desa seperti : peta rupa bumi, peta topografi, peta pajak

    bumi dan bangunan, peta pendaftaran tanah dan peta citra satelit

    c. Data lainnya dan dokumen sejarah.

    2. Penentuan peta dasar, menurut undang-undang No. 4 tahun 2011 tentang

    informasi geospasial, peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan batas

    desa secara kartometrik dapat menggunakan peta rupa bumi, peta topografi,

    peta hipsografi, peta perairan, peta batas wilayah, peta penutup lahan sebagai

    peta acuan batas secara kartometrik.

    3. Deliniasi batas secara kartometrik di atas peta kerja, penarikan garis batas

    secara kartometrik di atas peta kerja di sesuaikan dengan spesifikasi peta

    yang ada yaitu mengacu kepada lampiran Permendagri nomor 27 tahun 2006

    tentang prosedur penetapan dan penegasan batas.

    Tahapan kegiatan ajudikasi batas desa :

    1. Mendatangi kelurahan yang akan ditetapkan batasnya dengan membawa peta

    kerja yang telah disiapkan

    2. Melakukan penarikan batas desa secara kartometrik diatas peta kerja.

    3. Melakukan survei lapangan jika diperlukan.

    I.5.4. Citra QuickBird

    Satelit Quickbird adalah satelit pertama yang dikembangkan oleh

    perusahaan Digital Globe yang memiliki keakuratan yang tinggi dan merupakan citra

    komersial beresolusi tinggi. Citra pankromatik dan multispektral citra Quickbird

    didesain untuk mendukung aplikasi pembuatan peta batas wilayah yang

    membutuhkan resolusi citra yang tinggi untuk memudahkan identifikasi obyek diatas

    citra.

  • 8

    Tabel I. 2. Karakteristik Citra Quickbird

    Diluncurkan Tanggal 18 Oktober 2001 di Pangkalan SLC-2W, Vandenberg Air Force Base, California

    Wahana Delta II

    Orbit Dengan ketinggian 450 km dari permukaan bumi, waktu/periode orbit 93,4 menit, frekuensi kembali pada titik semula 2-3 hari tergantung pada lintang

    Koleksi per orbit 128 gigabits kira-kira 57 image single area

    Inklinasi 98 gigabits kira-kira 57 image single area

    Lebar swath Nominal lebar swath : 16,5 km pada nadir. Ground swath yang dapat dicapai : 544 km berpusat pada ground track satelit (sampai 30 off-nadir)

    Ukuran area yang tercakup

    Single area : 16,5 km x 16,5 km

    Strip : 16,5 km x 115 km

    Ketelitian metric 23 m circular error, 17 m linear error (tanpa kontrol tanah)

    Sensor Pankromatik Multispektral

    Resolusi 0,61 m (2ft) Ground Sample Distance (GSD) pada nadir

    2,4 m (8ft) GSD pada nadir

    Bandwidth spectral

    Hitam dan putih : 445-900 nm

    Blue : 450-520 nm

    Green : 520-600 nm

    Red : 630-690 nm

    Near-IR : 760-900 nm

    Rentang Dinamik 11 bits per piksel 11 bits per piksel

    Sumber : Harintaka, 2005

    Citra Quickbird memiliki resolusi image pankromatik 0,61 m dan resolusi

    multispektralnya sebesar 2,4 m dari nadir. Citra pankromatik maupun spektral sangat

    baik untuk melakukan klasifikasi dan interpretasi obyek di permukaan bumi dengan

    cakupan yang luas. Dengan citra pankromatik tekstur dan bentuk dari suatu obyek

  • 9

    akan sangat terlihat jelas detilnya. Dari citra multispektral yang terdiri dari beberapa

    band (RGB) citra akan memiliki warna, hal tersebut akan memudahkan kita untuk

    mengenali obyek di lapangan berdasarkan warna yang divisualisasikan pada citra.

    Sehingga dapat meningkatkan kemampuan interpretasi citra secara manual.

    Citra Quickbird adalah citra yang memiliki resolusi yang tinggi, dengan

    resolusi yang tinggi tersebut obyek di lapangan yang dijadikan sebagai acuan

    penetapan batas seperti garis tepi sungai, garis tepi jalan, pematang sawah dan

    obyek-obyek lainnya akan mudah diidentifikasi. Untuk menafsirkan atau mengkaji

    obyek-obyek yang tampak pada citra dilakukan interpretasi citra. Interpretasi citra

    dapat didefinisikan sebagai proses menafsirkan secara intensif suatu citra yang

    dilaksanakan secara menyeluruh untuk mengidentifikasi dan menyimpulkan

    kenampakan unsur-unsur yang ada pada citra tersebut, yang selanjutnya digunakan

    untuk menyajikan informasi yang diperlukan mengenai daerah yang diinterpretasi

    (Sumaryo, 2002).

    I.5.4.1 Koreksi Geometrik.

    I.5.4.1 Koreksi Geometrik. Koreksi Geometrik terdiri dari dua langkah yaitu :

    Georeferensi dan rektifikasi. Georeferensi adalah suatu proses pemberian koordinat

    peta pada citra yang sebenarnya telah planimetris. Dalam arti pemberian sistem

    koordinat suatu peta hasil pada hasil digitasi peta atau hasil scaning citra. Hasil dari

    digitasi citra sebenarnya sudah datar tetapi area yang direkam masih memiliki

    kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan sensor

    itu sendiri. Koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena

    semua sistem proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Registrasi citra ke citra

    melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah digeoreferensi.

    Georeferensi hanya merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangkan grid

    citra tidak berubah (Prasetyo,2008).

    Rektifikasi adalah proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid

    menggunakan suatu transformasi geometrik. Karena posisi piksel pada citra output

    (hasil) tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang

    digunakan untuk mengisi citra yang baru harus dilakukan ekstrapolasi nilai data

  • 10

    untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya

    (Harintaka. 2005).

    Tahap dalam rektifikasi peta secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :

    1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point). GCP tersebut

    sedapat mungkin adalah titik-titik yang mudah berubah dalam jangka

    waktu lama, misalkan tugu dipersimpangan jalan atau di pojok

    bangunan.GCP harus menyebar merata keseluruh obyek citra yang akan

    dikoreksi. Dan juga bisa menggunakan peta RBI untuk penarikan GCP

    dalam penetapan batas sebagai kontrol kualitas titik.

    2. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk interpolasi

    spasial. Persamaan yang sering digunakan adalah :

    Ordo I : disebut juga persamaan affin (diperlukan 3 GCP)

    Ordo II : Memerlukan 6 GCP

    Ordo III : Memerlukan 10 GCP

    3. Menghitung kesalahan RMS (Root Mean Square Error) dari GCP yang

    dipilih.Pada umumnya tidak boleh dari 0,5 piksel.

    4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan).

    I.5.5. Dasar hukum penetapan batas desa.

    Dasar hukum dalam penetapan batas daerah adalah Peraturan Pemerintah No.

    72/2005 tentang desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27/2006 tentang

    penetapan dan penegasan batas desa.

    1.5.5.1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005.

    1.5.5.1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. PP No.7/2005 tentang desa

    merupakan Peraturan Pemerintah melaksanakan Undang-undang Nomor 32 tahun

    2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-undang No.3 tahun 2005 tentang perubahan atas

    Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang ditetapkan

    dengan undang-undang Nomor 8 tahun 2005. Menurut PP No.7/2005 pasal 1 ayat

  • 11

    (5), Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah

    kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang

    untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-

    usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan

    Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    1.5.5.2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. 1.5.5.2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014. Undang-undang No.6/2014 tentang

    desa dibuat mengingat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 5

    ayat 1, pasal 18, pasal 18B ayat 2, pasal 20, pasal 22D ayat 2 bahwa dalam

    perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam

    berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,

    maju, demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam

    melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,

    makmur, sejahtera. Berdasarkan bab III tentang penataan desa pasal 8 ayat (3) huruf f

    menyatakan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang

    telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Menurut pasal 17 ayat 2 peraturan

    daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan

    perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi desa diundangkan

    setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode desa dari menteri disertai

    lampiran peta batas wilayah desa. Pembuatan peta wilayah desa harus menyertai

    instansi teknis terkait dalam hal ini adalah Badan Informasi Geospasial.

    1.5.5.3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006

    1.5.5.3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006. Permendagri

    No.27/2006 tentangPenetapan dan Penegasan Batas Desa merupakan tindak lanjut

    untuk melaksanakan ketentuan pasal 106 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005

    tentang desa,perlu menetapkan peraturan menteri dalam negeri tentang penetapan

    dan penegasan batas desa. diadakannya penetapan dan penegasan batas desa ini

    bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap batas desa di wilayah darat

    dan sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan penetapan dan penegasan batas

    desa secara tertib dan terkoordinasi.

    Permendagri No.27 tahun 2006 tentangPenetapan dan Penegasan Batas

    Desa menyatakan bahwa penetapan dan penegasan batas desa yang dilakukan

  • 12

    mengikuti prinsip-prinsip penetapan batas desa yang telah ditentukan dalam lampiran

    Permendagri No. 27 tahun 2006. Penetapan batas desa dilakukan secara kartometrik

    di atas peta dasar yang disepakati.

    Penegasan batas daerah berpedoman pada batas daerah yang ditetapkan dalam

    undang-undang pembentukan daerah, peraturan perundang-undangan, dan dokumen

    lain yang mempunyai kekuatan hukum.Batas daerah hasil penegasan batas ditetapkan

    oleh Menteri Dalam Negeri dengan Peraturan Menteri yang memuat titik koordinat

    batas daerah yang diuraikan dalam batang tubuh dan dituangkan dalam bentuk peta

    batas dan daftar titik koordinat yang tercantum dalam laporan.

    I.5.6. Peta batas desa

    Peta adalah suatu gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan

    diGambarkan pada bidang datar menggunakan simbolsimbol tertentu melalui sistem

    proyeksi peta (Riyadi, 1994). Peta hasil penetapan batas adalah peta batas wilayah

    yang dibuat secara kartometrik dari peta dasar yang telah ada dan pengukuran di

    lapangan. Proses pembuatan peta batas desa dapat dilakukan dengan berbagai cara,

    antara lain dengan pembuatan peta situasi atau dibuat dari peta yang sudah ada

    (diturunkan dari peta digital).

    Pembuatan peta batas desa dapat diperoleh dari peta-peta yang sudah ada

    seperti peta-peta dasar, peta pendaftran tanah, peta blok, citra satelit dan sumber data

    lainnya. Proses pembuatan peta batas desa perlu dilakukan penyesuaian skala dengan

    peralatan dan metode yang digunakan. Detil yang digambarkan pada peta batas desa

    adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan batas desa seperti pilar batas, jaringan

    jalan, perairan dan detil lainnya sesuai dengan keperluan desa. Pembuatan peta batas

    desa dilakukan dengan dijitasi dengan perangkat lunak Arc.GIS dan dicetak dengan

    menggunakan plotter atau printer.

    Peta batas desa yang telah disetujui oleh Kepala Desa yang berbatasan dicetak

    dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan pengesahan dari Bupati/Walikota. Peta

    batas desa yang merupakan batas antar provinsi dan/atau batas antar Kabupaten/Kota

    akan diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri.