penerimaan diri 2

Upload: muhammad-amin-af

Post on 03-Jun-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    1/21

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pada bab ini akan dibahas beberapa teori yang mendasari penelitian yang dilakukan.

    Berdasarkan tema yang diangakat pada penelitian ini, maka digunakan beberapa teori

    yang berhubungan fenomena-fenomena yang akan diteliti, antara lain:

    Penerimaan Diri

    A.1. Definisi Penerimaan Diri

    A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

    A.3. Dampak Penerimaan Diri Bagi Individu

    A.4. Penerimaan Diri pada Pasien Penyakit Kronis

    Systemic Lupus Erythematosus(SLE)

    B.1. Sejarah dan Penjelasan Systemic Lupus Erythematosus(SLE)

    B.2. Dampak SLE bagi Pasien

    Dewasa Muda

    C.1. Perkembangan Dewasa Muda

    C.2. Perkembangan Fisik Dewasa Muda

    C.3. Perkembangan Sosial Dewasa Muda

    Gambaran Penerimaan Diri pada Penderita SLE Dewasa Muda

    2.A. Penerimaan Diri

    2.A.1. Definisi Penerimaan Diri

    Corsini (2002) mendefinisikan penerimaan diri sebagai pengenalan terhadap

    kemampuan pribadinya dan prestasinya, bersamaan dengan penerimaan terhadap

    keterbatasan dirinya. Rendahnya penerimaan terhadap diri dapat menimbulkan gangguan

    emosional (Corsiri, 2002). Sedangkan Jersild (dalam Hurlock, 1974) menjelaskan bahwa

    penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    2/21

    karakteristiknya, kemudian ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik

    tersebut.

    Menurut Hurlock (1974), penerimaan diri menjadi salah satu faktor yang berperan

    terhadap kebahagiaan (happiness) agar seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang

    baik (well-adjusted person). Sedangkan menurut Bain (Hurlock, 1974) salah satu

    karakteristik dari orang yang sehat secara mental adalah kebahagiaan. Selanjutnya

    Hurlock (1974) menjelaskan bahwa tidak seorang pun dilahirkan dengan kesehatan

    mental yang baik ataupun buruk, karena berbagai macam pola kepribadian dibentuk oleh

    pengalaman hidupnya. Apabila pengalaman hidupnya baik (tidak menimbulkan penilaian

    negatif terhadap pengalamannya tersebut), maka akan membentuk pribadi yang sehat,

    dan sebaliknya apabila pengalaman hidupnya tidak baik (menimbulkan penilaian negatif

    terhadap pengalamannya tersebut), maka seseorang akan membentuk pribadi yang tidak

    sehat (Hurlock, 1974).

    Lebih lanjut Rubin (1975) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan

    esensi dari saya. Seseorang tidak dikatakan menerima dirinya, bila ia tidak dapat

    menerima seluruh aspek dari dirinya, termasuk di dalamnya pikiran-pikiran, ide-ide,

    perasaan-perasaan, keputusan-keputusan dan tindakan.

    Penerimaan diri ada pada urutan kedua dari 15 karakteristik pribadi yang

    memiliki aktualisasi diri (self-actualizing person) dari Maslow (dalam Hejelle dan

    Ziegler, 1992). Menurut Maslow individu yang sehat mentalnya menampilkan rasa

    hormat terhadap dirinya dan orang lain, menerima dirinya dengan keterbatasan,

    kelemahan, kerapuhannya, terbebas dari rasa bersalah, malu, rendah diri dan kecemasan

    akan penilaian orang lain terhadap dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

    individu yang memiliki kesehatan mental yang baik akan menampilkan perasaan

    menghargai diri sendiri.

    Ryff (1996) menjelaskan bahwa penerimaan diri penting bagi terwujudnya

    kondisi sehat secara mental. Salah satu dari enam konsep kesejahteraan psikologis yang

    dijelaskan oleh Ryff adalah penerimaan diri. Lebih lanjut Ryff (1996) menjelaskan,

    individu memiliki penerimaan diri yang rendah, apabila ia merasa tidak puas dengan

    dirinya, merasa kecewa dengan kehidupan yang telah dijalaninya, mengalami kesulitan

    dengan sejumlah kualitas pribadinya dan ingin menjadi individu yang berbeda dengan

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    3/21

    dirinya saat ini. Oleh karena itu wujud dari penerimaan diri dalam kehidupan sehari-hari

    adalah dengan bersikap positif terhadap dirinya sendiri. Matthews (1993) menjelaskan

    bahwa sebelum seseorang dapat menerima orang lain, ia harus mampu menerima dirinya

    sendiri terlebih dahulu.

    Jersild (dalam Hurlock, 1974) memberikan batasan-batasan dalam penerimaan

    diri, batasan-batasan yang dikemukakan oleh Jersil adalah sebagai berikut:

    The self-accepting person has a realistic appraisal of his resources combined with

    appreciation of his own worth; assurance about standards an conviction of his own

    without being a slave to the opinions of others; and realistic assessment of limitations

    without irrational self-reproach. Self accepting people recognize their assets and are

    free to draw upon them even if they are not all that could be desired. They also recognize

    their shortcomings without needlessly blaming themselves. (Jersild dalam Hurlock,

    1974:434).

    Berdasarkan penjelasan tersebut Jersild menjelaskan bahwa seseorang yang

    menerima dirinya adalah seseorang yang memiliki penilaian yang realistis terhadap

    kemampuannya yang berkesinambungan dengan penghargaan terhadap keberhargaan

    dirinya, jaminan dari dirinya tentang kestandaraan pendiriannya tanpa merasa

    terendahkan oleh opini orang lain dan penilaian realistis dari keterbatasan dirinya tanpa

    menyalahkan dirinya secara tidak rasional. Orang yang menerima dirinya mengenali

    kemampuan dirinya dan dengan bebas mereka dapat menggunakan kemampuan dirinya

    walaupun tidak semua dari kemampuannya tersebut diinginkan. Mereka juga mengenali

    kelemahan dirinya tanpa perlu menyalahkan dirinya.

    Sedangkan Matthews (1993) menjelaskan bahwa individu yang menerima dirinya

    merasa aman akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa terpengaruh oleh

    kelompok, dapat mengekspresikan pendapat pribadinya tanpa ada rasa bersalah dan dapat

    menerima perbedaan pendapat, tidak merasa cemas akan hari kemarin ataupun esok.

    Kemudian individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk

    mengatasi semua masalah dan dirinya setara dengan orang lain terlepas dari latar

    belakangnya, sehingga ia tidak dapat didominasi oleh orang lain. Lebih lanjut Matthews

    (1993) menjelaskan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik akan

    merasa dirinya berharga bagi orang lain sehingga dapat menerima pujian, menikmati

    berbagai kegiatan dan peka terhadap orang lain juga nilai-nilai lingkungan.

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    4/21

    Berdasarkan berbagai definisi yang dikemukakan oleh berbagai sumber di atas,

    maka peneliti mendefinisikan penerimaan diri adalah penilaian positif terhadap kondisi

    dan keadaan yang menimpa dirinya, mengenali kelebihan ataupun kekurangan diri

    sendiri, kemudian individu tersebut mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala

    karakteristik yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan tidak nyaman, tidak puas terhadap

    dirinya, dan yakin akan kualitas yang dimilikinya dan memahami keterbatasan dirinya.

    2.A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

    Tidak semua individu dapat menerima dirinya karena setiap orang memiliki ideal

    selfatau diri yang diinginkan daripada diri yang sesungguhnya (Hurlock, 1974). Apabila

    ideal self tersebut tidak realistis dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata,

    maka hal ini akan menyebabkan frustrasi dan kecewa (Hurlock, 1974). Lebih lanjut

    Hurlock (1974) menjelaskan beberapa kondisi yang menentukan seseorang dapat

    menyukai dan menerima dirinya sendiri. Faktor-faktor ini sangat berperan bagi

    terwujudnya penerimaan diri dalam diri individu (Hurlock,1974). Faktor-faktor tersebut

    adalah:

    1. Pemahaman Diri (Self Understanding)

    Pemahaman diri adalah persepsi tentang diri yang dibuat secara jujur, tidak

    bepura-pura dan realistis. Pemahaman terhadap diri sendiri timbul jika seseorang

    mengenali kemampuan, dan ketidakmampuannya, serta bersedia untuk mencoba

    kemampuannya tersebut. Individu memahami dirinya sendiri tidak hanya tergantung

    dari kemampuan intelektualnya, tetapi juga pada kesempatannya untuk mengenali diri

    sendiri. Individu tersebut harus memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuannya.

    Individu yang memahami dirinya akan mampu menyebutkan siapa dirinya dan

    menerima keadaan dirinya sendiri. Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan

    dengan berdampingan. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami dirinya, maka

    semakin ia dapat menerima dirinya.

    2.Harapan yang Realistis(Realistic expectations)

    Harapan yang realistis timbul jika individu menentukan sendiri harapannya yang

    disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuannya, bukan harapan yang

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    5/21

    diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Dikatakan realistis bila individu

    tersebut memahami keterbatasan dan kekuatan dirinya dalam mencapai tujuannya.

    Maka ketika individu memiliki harapan dan tujuan, seharusnya ia telah

    mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk mencapai harapan dan tujuan tersebut.

    Semakin realistis seseorang terhadap harapan dan tujuannya, maka akan semakin besar

    kesempatan tercapainya harapan dan tujuannya. Kondisi ini dapat memberikan

    kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

    3. Tidak adanya hambatan lingkungan(Absence of environmental obstacles)

    Ketidakmampuan untuk meraih tujuan dan harapan yang realistis mungkin

    disebabkan oleh hambatan dari lingkungan. Bila lingkungan sekitar tidak memberikan

    kesempatan atau bahkan malah menghambat individu untuk mengekspresikan diri,maka penerimaan dirinya akan sulit untuk dicapai. Sebaliknya, jika lingkungan, seperti

    orangtua, saudara-saudara, dan teman-teman memberikan dukungan, maka kondisi ini

    dapat mempermudah penerimaan diri dan menerima apa yang terjadi pada dirinya.

    Berkaitan dengan faktor sebelumnya, bila lingkungan semakin mendukung apa yang

    diharapkan oleh individu, maka akan kondisi ini akan lebih mendorong individu untuk

    mencapai harapannya.

    4. Tingkah laku sosial yang sesuai(Favorable social attitudes)

    Individu yang memiliki favorable social attitudesdiharapkan mampu menerima

    dirinya. Ketika seseorang menampilkan tingkah laku yang diterima oleh masyarakat,

    kondisi tersebut akan membantu dirinya untuk dapat menerima diri. Yang dimaksud

    favorable social attitudes adalah tidak adanya prasangka terhadap lingkungan dalam

    diri individu, adanya pengakuan individu terhadap kemampuan sosial orang lain, tidak

    memandang buruk terhadap orang lain, dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan

    atau norma lingkungan.

    5. Tidak adanya stres emosional(Absence of severe emotional stress)

    Stres menunjukan adanya kondisi yang tidak seimbang dalam diri individu,

    menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh

    lingkungannya, menimbulkan kritik dan penolakan dari lingkungan. Kondisi ini dapat

    menyebabkan pandangan negatif terhadap dirinya dan pandangannya pun berubah ke

    arah negatif, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan dirinya. Tidak adanya

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    6/21

    gangguan stres berat yang dialami individu akan membuat individu dapat bekerja

    sebaik mungkin, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya.

    6.Kenangan akan Keberhasilan (Preponderance of successes)

    Ketika individu berhasil ataupun gagal, ia akan memperoleh penilaian sosial

    (social judgements) dari lingkungannya. Penilaian sosial yang diberikan oleh

    lingkungan, akan diingat individu karena dapat menjadi suatu tambahan dalam

    penilaian diri. Kenangan terhadap keberhasilan ini dapat dikenang dalam bentuk jumlah

    keberhasilan yang dicapai oleh seseorang (kuantitatif). Maupun dikengan dalam

    kulalitas keberhasilannya (kualitatif). Ketika seseorang gagal, maka mengingat

    keberhasilan adalah hal yang dapat membantu memunculkan penerimaan diri pada

    seseorang. Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan penolakan pada

    dirinya.

    7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

    (Identification with well-adjusted people)

    Ketika individu mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki

    penyesuaian diri yang baik (well-adjusted), maka hal ini dapat membantu individu

    untuk membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, serta bertingkah laku

    baik yang bisa menimbulkan penilaian diri yang baik. Lingkungan rumah dengan

    model identifikasi yang baik akan membentuk kepribadian yang sehat pada seseorang.

    Dengan demikian, pada akhirnya individu dapat memiliki penerimaan diri yang baik

    pula.

    8. Perspektif diri(Self perspective)

    Individu yang mampu melihat dirinya, sama dengan bagaimana orang lain melihat

    dirinya, membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik. Perspektif diri yang

    luas diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat

    pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan

    perspektif dirinya.

    9. Pola asuh masa kecil yang baik (Good childhood training)

    Konsep diri mulai terbentuk pada masa kanak-kanak di mana pola asuh

    diterapkan, sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada meskipun usia

    individu terus bertambah. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis cenderung

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    7/21

    berkembang menjadi orang yang dapat menghargai dirinya sendiri, karena ia diajarkan

    bagaimana ia menerima dirinya sendiri sebagai individu. Anak menganggap bahwa ia

    bertanggung jawab untuk mengontrol tingkah lakunya yang dilandasi oleh peraturan

    dan regulasi.

    10. Konsep diri yang stabil(Stable self concept)

    Individu dikatakan memiliki konsep diri yang stabil, apabila setiap saat individu

    tersebut dapat melihat dirinya dalam kondisi yang sama. Individu yang tidak memiliki

    konsep diri stabil, bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya, pada waktu yang lain

    ia membenci dirinya sendiri. Kondisi ini akan membuat dirinya kesulitan untuk

    menunjukkan siapa dirinya sebenarnya kepada orang lain karena ia sendiri memiliki

    konsep diri yang saling bertentangan pada dirinya, suatu saat ia menerima dirinya dan

    di saat lain membenci dirinya.

    2.A.3. Penerimaan Diri pada Pasien Penderita Penyakit Kronis

    Menurut Burish & Bradley, Maes et al., Taylor & Aspinwall (dalam Taylor, 1999)

    pada umumnya penyakit kronis akan mempengaruhi semua aspek kehidupan pasien.

    Bahkan penyakit kronis akan mengakibatkan perubahan sementara ataupun permanen

    pada kondisi fisik, pekerjaan, aktivitas sosial (Taylor, 1999). Moos (dalam Taylor, 1999)

    menjelaskan bahwa seketika setelah penyakit kronis terdiagnosis, biasanya pasien

    mengalami krisis yang disebabkan oleh ketidak seimbangan (disequilibrium) kondisi

    fisik, sosial, dan psikologis. Coping yang tidak berhasil dilakukan oleh pasien pada

    kondisi ketidakseimbangan, dapat menimbulkan perasaan tidak terorganisasi, kecemasan,

    ketakutan dan emosi lainnya (S.E. Taylor & Aspinwall, dalam Taylor, 1999).

    Setelah masa krisis dari penyakit kronik berlalu, mereka mulai mengembangkan

    bagaimana caranya hidup dengan kondisi penyakit krisis, kondisi ini merupakan masa

    dimana pasien melakukan rehabilitasi terhadapa kehidupanya, seperti kondisi fisik,

    pekerjaan, pekerjaan, sosial dan kondisi psikologis (Taylor, 1999). Shontz (dalam

    Sarafino, 1998) mengemukakan bahwa setelah seseorang terdiagnosis menderita penyakit

    kronis, mereka menunjukkan reaksi-reaksi awal yang bertahap. Reaksi tersebut adalah

    syok, menghadapi penyakit, dan mundur atau menghindar. Sedangkan Kubler-Ross

    (dalam Taylor, 1999) menjelaskan, ada lima tahap reaksi emosi, ketika seseorang

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    8/21

    beradaptasi dengan penyakit yang akan menyebabkan kematian, yaitu penyangkalan

    (denial), kemarahan (anger), tawar menawar (barganing for extra), depresi (depression)

    dan penerimaan diri (acceptance).

    1. Penyangkalan (denial)Terdiagnosisnya suatu penyakit kronis, sering kali menimbulkan kondisi syok

    pada seseorang, karena hanya dalam beberapa menit semuanya rencana kehidupannya

    harus berubah dan biasanya pasien langsung mengira bahwa telah terjadi kesalahan

    pada diagnosisnya. Kondisi tersebut merupakan bentuk penyangkalan terhadap

    realitas (Taylor, 1999). Menurut Taylor (1999) penyangkalan adalah sistem

    pertahanan (defense mechanism), dimana seseorang berusaha menghindari implikasi

    yang ditimbulkan oleh penyakit dan biasanya berlangsung dalam beberapa hari

    (Taylor, 1999). Pada kondisi ini sebagian dari kesadaran (subconscious) menghalangi

    keluarnya kesadaran tentang realitas, dan pada akhirnya menimbulkan gangguan

    (Taylor, 1999). Lebih lanjut Taylor (1999) menjelaskan bahwa penyangkalan

    merupakan bentuk pertahanan diri yang primitif dan biasanya tidak pernah berhasil,

    karena hanya berfungsi sesaat dan menimbulkan kecemasan (anxiety).

    2. Kemarahan (anger)Pada tahap kedua proses adaptasi Kubler-Ross menjelaskan bahwa pasien

    mengalami kemarahan. Pasien berusaha mempertanyakan, Mengapa harus saya

    yang menderita penyakit kronis?, karena setiap orang pasti memiliki peluang untuk

    menderita penyakit kronis (Taylor, 1999). Pada kondisi ini menunjukkan kebencian

    terhadap setiap orang yang sehat, seperti staf rumah sakit, anggota keluarga, atau

    teman-temannya. Pasien tidak dapat menunjukkan kemarahannya secara langsung

    dengan menangis atau pasien menjadi tidak peduli dan mudah menjadi sangat marah

    (Taylor, 1999). Menurut Taylor (1999) kondisi emosi marah yang dirasakan oleh

    pasien adalah salah satu kondisi sulit untuk dihadapi oleh keluarga dan teman-teman

    pasien, karena keluarga dan teman-teman pasien merasa bersalah terhadap pasien

    akan kesembuhan mereka. Keluarga dan teman-teman pasien harus memahami

    bahwa pasien tidak betul-betul marah pada mereka, tetapi marah pada kondisi

    kesehatannya (Taylor, 1999). Menurut Taylor (1999), kemarahan tersebut akan

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    9/21

    ditunjukkan langsung pada orang yang cukup dekat, terutama pada orang yang pasien

    anggap, tidak memperhatikan aturan atau perilaku yang tidak baik.

    3. Tawar menawar untuk mendapat sesuatu yang lebih (barganing for extra)Pada tahap ini pasien mengalihkan kemarahan dengan lebih baik dan strategi

    yang berbeda, misalnya mencoba hidup sehat agar mendapat hidup sehat (Taylor,

    1999). Menurut Taylor (1999) penawar untuk mendapat sesuatu yang lebih sering kali

    berbentuk kesepakatan dengan Tuhan, dimana pasien menyetujui atau sepakat untuk

    terikat dalam suatu aktivitas religi atau setidaknya meninggalkan keegoisannya demi

    kesehatan atau umur panjang. Tingkah laku menyenangkan yang muncul secara tiba-

    tiba bisa menjadi pertanda bahwa pasien sedang berusaha untuk melakukan tawar

    menawar ini (Taylor, 1999).

    4. Depresi (depression)Kubler-Ross menggunakan istilah depresi untuk menjelaskan kurangnya kontrol,

    ini merupakan realisasi dari kondisi memburuknya simtom-simtom sebagai indikasi

    bahwa penyakitnya tidak membaik (Taylor, 1999). Taylor (1999) menjelaskan pada

    tahap ini pasien merasakan muak, sesak, dan letih. Selainya itu mereka sulit untuk

    makan, mengontrol diri, sulit untuk memfokuskan perhatian, dan menghindar dari

    sakit atau ketidak nyamanan (Taylor, 1999).

    Kubler-Ross (Taylor, 1999) menjelaskan bahwa pertama-tama pasien merasa

    kehilangan nilai dari aktifitas di masa lalu dan teman-teman. Pada kondisi ini pasein

    murung berkelanjutan, tidak berespon terhadap stimulus sosial, tidak dapat makan

    dan pada dasarnya tidak berdaya untuk melakukan aktifitas (Taylor, 1999). Dalam

    kondisi depresi, sebaiknya ditemani oleh seseorang yang memanjakannya, seseorang

    untuk menemaninya dari waktu ke waktu (Taylor, 1999).

    5. Penerimaan Diri (acceptance)Pada tahap ini pasien mulai tidak marah lagi dan mulai membiasakan diri dengan

    ide kematian yang membuat dirinya tertekan. Pasien mencoba untuk menghadapi

    pikiran-pikiran tidak menyenangkan tentang penyakitnya. Dimana sebelumnya

    pikiran-pikiran tersebut ditekan oleh pasien.

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    10/21

    2.B. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

    2.B.1. Sejarah dan Penjelasan Systemic Lupus Erythematosus(SLE)

    Systemic Lupus Erythematosus (SLE), adalah prototipe dari kelainan kekebalan

    tubuh (autoimmune), yang dapat menyebabkan bermacam-macam diagnosis-diagnosis

    klinis yang berbeda pada penderita dan kelainan immunologi (Ramirez,et.al, 2006).

    NamaLupusitu sendiri, berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala. Pada abad ke-10,

    istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan kondisi peradangan kulit yang

    menyerupai gigitan srigala. Pada tahun 1972, seorang dokter yaitu Moriz Kaposi

    menyatakan bahwa Lupus Erythematosus adalah suatu kondisi peradangan kulit yang

    kadang-kadang disertai dengan gejala sistematik, seperti: demam, nyeri sendi, mudah

    lelah, anemia, penurunan berat badan, rambut rontok, luka di mulut dan sensitif terhadap

    sinar matahari. Sistem kekebalan tubuh pada penderita SLE, kehilangan kemampuan

    untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga kekebalan tubuh

    tidak hanya menyerang kuman yang merusak tubuh, tapi juga merusak organ tubuhnya

    sendiri (autoimmune) (Wallace, 2005). Jaringan tubuh dianggap sebagai benda asing

    sehingga timbul reaksi sistem imun yang dapat mengenai berbagai sistem organ tubuh

    seperti jaringan kulit, tulang, ginjal, sistem syaraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru dan

    lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan

    sel-sel darah (Wallace, 2005). SLE memiliki gejala yang unik yang hilang dan timbul,

    sangat beragam, pada berbagai organ tubuh manusia. Hal ini terkadang sering

    membingungkan penderita SLE (Hidayat, 2005) Penyakit ini pada umumnya diderita

    oleh wanita berusia 15-40 tahun, dengan perbandingan jumlah wanita dan pria adalah 7-

    8:1 (Philips, 2001). Tes ANA (Antinuclear Antibody) biasanya digunakan sebagai

    screening testSLE. Apabila Tes ANA positif ini menjelaskan bahwa seseorang memiliki

    setidaknya satu atau lebih autoantibodi dalam tubuh yang sifatnya bertolak belakang

    dengan sifat sel antibodi tubuh (Wallace, 2005). Hasil observasi pada tahun 1985 ini

    bahwa 90% penderita SLE mempunyai hasil positif tes ANA dan 10% dari semua pasien

    SLE memiliki hasil ANA yang negatif (Wallace, 2005). Menurut Wallace (2005) SLE

    adalah penyakit yang sulit di diagnosis, karena tidak berkembang sekaligus, namun

    perlahan-lahan menyerang organ vital. Gejalanya timbul dan hilang silih berganti dalam

    waktu lama, hingga akhirnya diidentifikasi sebagai SLE. Banyak pasien SLE yang

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    11/21

    terlihat sangat sehat, tapi menurut survey menjelaskan pasien yang terdiagnosis SLE,

    memiliki simptom, rata-rata 3 tahun, dengan gejala seperti : mengeluh tentang kelelahan,

    prestasi, stres, dan lain-lain (Wallace, 2005).

    Hingga saat ini penyebab sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti, belum

    ditemukan obatnya dan belum diketahui cara penyembuhannya, kecuali metode

    perawatan yang efektif agar mencegah akibat yang lebih buruk. Menurut Wallace (2005)

    terdapat faktor risiko yang dapat mempengaruhi timbulnya Lupus yaitu genetik dan

    lingkungan. Diduga ada beberapa faktor lingkungan yang menyebabkan bangkitnya atau

    kambuhnya Lupus, antara lain: sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, infeksi, beberapa

    antibiotik tertentu, hormon (Wallace, 2005). Gejala SLE sangat bervariasi dan tidak khas

    mulai dari ringan hingga yang berat dan mengancam kehidupan, tergantung pada organ

    mana yang terkena. Gejala yang ringan dapat berupa nyeri sendi, rasa berat dan lemas,

    berat badan menurun, kelainan kulit, sariawan, sensitif terhadap sinar matahari atau

    cahaya lampu hingga gejala yang berat seperti panas badan tinggi, bercak seperti kupu-

    kupu di pipi, rambut rontok, anemia, serta gangguan ginjal dan jantung (Wallace, 2005).

    Gangguan neuropsikiatrik dari ringan seperti lelah, sulit konsentrasi, gangguan ingatan,

    nyeri kepala, depresi hingga ganguan neuropsikiatrik yang berat seperti kejang-kejang,

    meningitis dan psikosis (Ramirez,et. al, 2006). Tidak ada pengaturan asupan makanan

    atau diet khusus untuk penderita SLE, hanya disarankan untuk mengkonsumsi makan

    berkadar lemak rendah, garam rendah, sedikit gula dan menghindari makan yang

    menyebabkan kambuhnya gejala SLE dan menambah asupan vitamin, mineral dan

    suplemen (Phillips, 2001).

    Menurut Kalunian (dalam Wallace & Hanhn, 1997) dalam perjalanan

    penyakitnya, penderita SLE sering mengalami remisi dan eksaserbasi. Remisi adalah

    periode bebas tanpa ada gejala, sedangkan eksaserbasi adalah timbulnya kembali gejala

    setelah beberapa waktu gejala minimal atau hilang dengan atau tanpa obat. Fase

    eksaserbasi ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti : demam, rasa lelah yang

    berkepanjangan, nyeri sendi dan otot, bercak pada kulit, ganguan kulit, nyeri dada, nafsu

    makan menurun, berat badan menurun, secara emosional, lebih mudah tertekan, sariawan

    dan rambut rontok (Kalunian, dalam Wallace & Hanhn, 1997).

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    12/21

    Ada tiga jenis bentuk gangguan pada penderita SLE, yaitu (Kalunian, dalam

    Wallace & Hanhn, 1997) :

    1. Cutaneus Lupus(sering disebut Discoid) yang mempengaruhi kulit, 10% dari kasusCutaneus Lupusberkembang menjadi systemic lupus, tetapi hal ini dapat diperkirakan

    atau dicegah sebelumnya.

    2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti : kulit,persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak dan syaraf.

    3. Drug Induced Lupus (DIL), timbul karena menggungunakan obat-obatan tertentu.Setelah pemakaiannya dihentikan, umumnya gejala akan hilang. Tetapi ANA tetap

    positif untuk bertahun-tahun.

    Sedangkan kriteria untuk mengklasifikasikan seseorang menderita SLE berdasarkan

    SLICC (The Systemic Lupus International Collaborating Clinics) dan ACR (American

    College of Rheumatology) tahun 1997 adalah (dalam Gladman & Urowitz, dalam

    Hochberg, et al., 2003):

    Item Definisi

    Malar Rash Ruam pada wajah (butterfly rash)

    Discoid Rash Ruam berbentuk bulatan menimbul di atas permukaan kulit

    Photosensitivity Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitifitas terhadap sinar

    matahari

    Oral Ulcers Luka di mulut atau langit-langit mulutNon-erosive

    arthritis

    Bengkak dan terasa nyeri atau terdapat kumpulan cairan di ruang-

    ruang sendi

    Pleuritis or

    Pericarditis

    a.Pleuritis(radang pada selaput pembungkus paru-paru)b.Pericarditis(radang pada selaput pembungkus jantung)

    Renal disorder Kandungan protein dalam urin (Proteinuria) yang melebihi normal

    Seizures or

    Psychosis

    a.Kejang spontan bukan karena obat-obatan atau ganguanmetabolisme

    b.Psikosis spontan bukan karena obat-obatan atau kelainanmetabolisme

    Hematologic

    disorder

    a.Anemia yang diakibatkan oleh pecahnya atau sel darah merahb.Jumlah sel darah putih sedikit (Leukopenia)c. Jumlah sel Limposit sedikit (Lymphopenia)d.Jumlah sel Thrombosit sedikit (Thrombocytopenia)

    Immunologic

    disorder

    a.Anti-DNA: Kadar abnormal (titer abnormal) antibodi terhadapnegative DNA

    b.Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos, atauc.Antiphospholipid positif

    Positive ANA Abnormal pada tes ANA

    Tabel 2.1.Tabel Kriteria Penderita SLE

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    13/21

    Selain mengalami gangguan fisik, penderita SLE mengalami gangguan psikologis.

    Berdasarkan penelitian Noelle, et.al(dalam Wallace & Hanhn, 1997) pada 35 penderita

    SLE, ditemukan bahwa 54% subjek mengalami gangguan psikologis. Gangguan

    psikologis dan psikiatri pada penderita SLE, dikelompokkan pada neuropsychiatric lupus

    (NPSLE). American College of Rheumatology (ACR) (dalam Ramirez, et.al, 2006)

    menjelaskan bahwa yang termasuk neuropsychological abnormalities dengan

    neuropsychiatric abnormalities dari SLE, adalah simptom yang ditandai dengan

    keterlibatan satu atau lebih system saraf. Sedangkan menurut Saphiro, (dalam Wallace &

    Hanhn, 1997) yang termasuk NPSLE adalah gangguan pada sistem syaraf dan simptom

    psikiatrik seperti vertigo, sakit kepala, gangguan organis pada otak, psikosis, dan depresi.

    Menurut Saphiro (dalam Wallace & Hanhn, 1997) menjelaskan bahwa NPSLE

    (neuropsychiatric lupus) pada pasien SLE berkisar 12%-71% dan gangguan psikologi

    yang paling umum dialami adalah depresi.

    Gangguan psikologis dan kesulitan neurobehavioral yang umum terjadi pada

    penderita SLE diklasifikasikan pada psikosis, gangguan emosi, sindrom organik otak,

    kemunduran kognitif, reaksi obat (umum bagi pengunaan obat corticosteroids), gangguan

    fungsi, terganggunya sistem siklus ritme biologis kerja tubuh (bioritmik), dan berbagai

    gangguan pada saraf otonom (Shapiro, dalam Wallace & Hanhn, 1997). Berdasarkan

    penelitian Shapiro (dalam Wallace & Hanhn, 1997) pada 995 pasien SLE dilaporkan

    bahwa 18 % mengalami gangguan fungsi mental dan data ini didukung oleh hasil

    penelitian Dubois pada 520 pasien SLE, 12% dari pasien tersebut mengalami psikosis.

    Sedangkan menurut penelitian Paulo (dalam Gladman & Urowitz, dalam Hochberg, et

    al., 2003) 63% dari pasien SLE aktif, didiagnosis mengalami gangguan psikiatrik

    (seperti: delirium, demensia, halusinasi, sindrom delusi, depresi mayor) dengan ketidak

    normalan pada syarafnya. Hal ini terjadi, di perkirakan karena antibodi tubuh

    memproduksi imun yang merusak sirkulasi saraf otak (Gladman & Urowitz, dalam

    Hochberg, et al.,2003).

    Kombinasi dari keadaan fisik penderita SLE, lingkungan, biososial, dan penggunaan

    obat-obat Chostiscosteroid, memperbesar resiko berkembangnya gangguan psikologis

    (Shapiro, dalam Wallace & Hanhn, 1997). Dampak psikologis akan lebih mudah diatasi

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    14/21

    bila sudah ada kesiapan mental sejak awal atau sejak pertama kali didiagnosa dan

    mengantisipasi dampak psikologis yang mungkin terjadi (Hidayat, 2005).

    2.B.2. Dampak SLE bagi Pasien

    Menurut Kasjmir (2006) dampak besar SLE bagi penderita adalah tingkat

    kesakitan tinggi, tingkat gangguan aktifitas keseharian tinggi, kehilangan pekerjaan,

    ketergantungan tinggi (keluarga, pelayanan kesehatan), dampak psikologis seperti

    depresi, beban ekonomi tinggi (biaya pembelian obat, biaya pembeliaan obat penyerta

    atau untuk mengatasi efek samping obat, biaya kehilangan produksi) dan dampak

    psikologis keluarga.

    Pasien SLE harus menjalani masalah dengan kondisi fisik, psikologis, dan stresemosional yang berkelanjutan (Shapiro dalam Wallace & Hanhn, 1997). Selain itu

    pasien SLE yang bertahan hidup harus menerima konsekuensi akumulasi kerusakan

    organ dari imun tubuh yang merusak organ-organ tubuhnya dan obat-obatan yang

    dikonsumsinya (Gladman & Urowitz, dalam Hochberg et al., 2003). Menurut Shapiro

    (dalam Wallace & Hanhn, 1997), umumnya pasien penderita SLE harus beradaptasi

    dengan penyakit kronis yang tidak ada obatnya, dengan pola durasi dari remisi (hilangnya

    gejala SLE pada penderita) dan eksaserbasi (timbulnya kembali gejala setelah beberapa

    waktu gejala hilang dengan ataupun tanpa obat) yang tidak menentu dan terkadang hilang

    tanpa dapat terdiagnosis lagi.

    Stres yang disebabkan oleh terganggunya pola kehidupan sebelumnya sering

    terjadi pada pasien SLE dan keluarganya, seperti kelelahan dan ketidakstabilan emosi.

    Perasaan yang umumnya timbul pada penderita SLE adalah perasaan takut mati,

    ketidakmampuan, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berharga, tidak bisa merawat

    diri sendiri dan ketergantungan terhadap orang lain (Shapiro dalam Wallace & Hanhn,

    1997). Lebih lanjut Shapiro (dalam Wallace & Hanhn, 1997), menjelaskan bahwa

    perasaan tersebut menjadi faktor terjadinya depresi, kecemasan dan insomnia.

    Pasien SLE memerlukan coping terhadap semua aspek kehidupannya,

    memodifikasi tujuan dan gaya hidupnya yang berhubungan langsung dengan penyakitnya

    (Shapiro dalam Wallace & Hanhn, 1997). Stres dalam menerima penyakit SLE,

    merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh penderita SLE, misalnya penggunaan

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    15/21

    obat steroid sering kali menyakibatkan perubahan fisik dan menyebabkan ketidak

    berdayaan karena menyebabkan kelelahan pada pasien, kelelahan fisik terhadap penyakit

    dan ketegangan otot-otot badan dapat mengarah pada depresi dan menghindari aktivitas,

    sosial dan integrasi diri dengan hilangnya harapan (Shapiro dalam Wallace & Hanhn,

    1997). Pasien merasa mereka kehilangan ingatan, tidak dapat mengontrol emosinya, dan

    mengkibatkan tidak bisa melakukan pekerjaan (Shapiro dalam Wallace & Hanhn, 1997).

    Menurut Gladman & Urowitz (dalam Hochberg et al., 2003) bahwa penderita SLE sulit

    mendapatkan pekerjaan dan akibatnya mereka mengalami depresi. Menurut Shapiro

    (dalam Wallace & Hanhn, 1997) sebaiknya pasien SLE harus memodifikasi semua

    tujuan, harapan dan impiannya, memulai untuk menerima tanggung jawab besar dalam

    keterbatasan hidupnya.

    Penyakit SLE sulit diterima bagi pasien SLE remaja, karena kondisi ini sulit bagi

    kebutuhan-kebutuhan pada masa perkembangannya. Nashel dan Ulmer (dalam Shapiro,

    dalam Wallace & Hanhn, 1997) menjelaskan bahwa biasanya remaja penderita SLE tidak

    meminum obat Chosticosteroids karena obat Chosticosteroid membuat berat badan

    bertambah, rambut rontok, dan dapat menimbulkan jerawat. Selain itu adanya

    keterbatasan dalam hubungan sosial dengan teman yang disebabkan oleh penghindaran

    terhadap matahari, kerontokan rambut dan ruam kulit (Nashel dan Ulmer dalam Shapiro,

    dalam Wallace & Hanhn, 1997). Beberapa pasien berusaha untuk menyangkal bahwa

    mereka menderita penyakit SLE dari pada mereka berusaha memahami segala sesuatu

    tentang SLE (Shapiro dalam Wallace & Hanhn, 1997). Menurut Shapiro (dalam Wallace

    & Hanhn, 1997) masalah ini berkembang menjadi permasalahan dalam hubungan intim,

    pernikahan dan memiliki keturunan. Kehidupan dalam seksualitas pun terganggu, hal ini

    merupakan efek dari pengobatan dan depresi pada penderita SLE. Keadaan ini pada

    akhirnya dapat mengakibatkan perceraian, berdasarkan data statistik 50% dari penderita

    SLE mengalami perceraian (Shapiro dalam Wallace & Hanhn, 1997). Menurut Gladman

    & Urowitz (dalam Hochberg et al., 2003) bahwa penderita SLE sulit mendapatkan

    pekerjaan dan pada akibatnya mereka mengalami depresi. Bagi sebagian besar pasien

    SLE, penyakitnya tersebut sangat mempengaruhi gaya hidup yang sudah terbentuk

    sebelum mereka menderita SLE (Gladman & Urowitz, dalam Hochberg et al., 2003).

    Namun Stein et. al,(dalam Wallace & Hanhn, 1997) menjelaskan bahwa penderita SLE

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    16/21

    dapat berfungsi baik secara sosial, tanpa terhalangi oleh kekurangan-kekurangan dalam

    dirinya dan melakukan penyesuaian dengan memahami penyakitnya, menerima

    kondisinya dan memperoleh dukungan sosial.

    2.C. Dewasa Muda

    2.C1. Perkembangan Dewasa Muda

    Kenneth (dalam Shantrock, 2002) menjelaskan dewasa muda adalah istilah untuk

    periode antara remaja dan dewasa, dimana pada masa ini adalah waktunya untuk

    kemandirian ekonomi dan kepribadian yang menetap. Menurut Papalia et., al, (2003)

    rantang usia dewasa muda adalah antara 20 tahun hingga 40 tahun. Berdasarkan teori

    tahap perkembangan psikologis dari Erikson, dewasa muda berada pada tahap VI dari

    tahap live development, yaitu intimacy and solidarity versus isolasi. Menurut Erikson

    (dalam Wrightsman, 1994) bahwa intimacy harus meliputi perasaan keterkaitan dan

    hubungan saling menguntungkan antar pasangan yang dicintai, mampu dan bersedia

    saling berbagi kepercayaan, dan dengan siapa orang tersebut mampu dan bersedia

    meregulasi putaran pekerjaan dan rekreasi. Lebih lanjut Erikson (dalam Wrightsman,

    1994) menjelaskan bahwa intimacy merupakan kemampuan untuk menyatukan

    kepribadian dengan orang lain tanpa ada rasa takut bahwa dirinya akan hilang. Individu

    yang berhasil melakukan intimacyakan memperoleh keuntungan dari cinta, seperti dapat

    berkomitmen dalam hubungan dan memiliki kekuatan etik untuk menerimanya walaupun

    diperlukan pengorbanan dan kompromi. Sedangkan permasalahan yang terjadi pada

    dewasa muda adalah distantiation. Distantiation adalah kemampuan individu untuk

    mengisolasi dirinya dari individu lain, ketika perilakunya diarahkan oleh individu lain.

    2.C.2. Perkembangan Fisik

    Berdasarkan penelitian (Shantrock, 2002) kondisi fisik dewasa muda bukan saja

    berada pada kualitas yang baik, namun kemunduran dari kondisi fisiknya pun dimulai

    sejak periode ini, oleh karena itu biasanya ketika sudah memasuki masa dewasa muda

    mereka mulai memperhatikan tentang diet, berat badan, olah raga dan ketergantungan.

    Menurut Shantrock (2002) puncak kualitas fisik berkisar diantara usia 19-26 tahun. Dan

    menurut Papalia et. al,(2003) kesehatan dalam kondisi yang baik, apabila terjadi suatu

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    17/21

    kondisi sakit, biasanya disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

    Selain itu kesehatan dipengaruhi juga oleh beberapa faktor seperti gen, perilaku

    (misalnya: merokok, mengkonsumsi alkohol, tidur dan makan teratur, olah raga dan lain-

    lain), dimana perilaku saat ini sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan yang akan

    datang (Papalia et. al, 2003). Masih berdasarkan penjelasan Papalia et. al, (2003), ada

    beberapa faktor yang secara tidak langsung berhubungan dengan kondisi kesehatan yaitu

    : pendapatan, pendidikan, ras atau etnik, dan gender. Semakin baik pendapatan dan

    pendidikan seseorang, maka kondisi kesehatannya akan lebih baik. Kondisi genetik,

    biologis dan kebiasaan akan berbeda pada setiap ras dan etnik, misalnya wanita Afrika-

    Amerika lebih memiliki kecenderungan gendut daripada ras atau etnik lainnya. Dalam

    perbedaan gender sudah tentu telihat perbedaanya, dijelaskan bahwa wanita lebih mudah

    sakit dibandingkan dengan pria, wanita lebih banyak mengetahui tentang kesehatan dan

    berusaha untuk menjaganya di bandingakan dengan pria.

    2.C.3. Perkembangan Sosial

    Menurut Lambeth et, al.,& Mitchell et, al.,(dalam Papalia et, al.,2003) dewasa

    muda adalah awal untuk mulai bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam hal

    mengambil keputusan dan mulai memiliki otonomi terhadap diri sendiri dan

    memperbaharui bentuk hubungan dengan orang tua. Dewasa muda mulai hidup dalam

    lingkungan sosial yang lebih beragam, misalnya terlibat dengan orang dari etnik lain,

    berlainan intelektual dan lain-lain. Mereka mulai menjadi diri mereka yang

    sesungguhnya dan mulai tertarik secara emosional dan keintiman fisik dalam

    hubungannya dengan kelompok maupun dengan pasanganya (Papalia et, al., 2003).

    Menurut Papalia et, al., (2003) dalam hubungan tersebut diperlukan kemampuan self-

    awareness, empati kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi, keputusan untuk

    melakukan hubungan sek, pemecahan masalah dan kemampuan untuk berkomitmen.

    Menurut Erikson (dalam Papalia et, al., 2003) tugas pada tahap perkembangan dewasa

    muda adalah intimacy and solidarity versus isolation. Intimacybukan sekedar kedekatan

    secara seksual, namun adanya perasaan memiliki, adanya emosi positif dan negatif dalam

    attachment(Papalia et, al.,2003). Baumeister et, al.,& Myers et, al.,(dalam Papaplia

    et,al.,2003) orang yang sehat secara fisik dan mental dan akan lebih hidup lebih lama,

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    18/21

    apabila kondisi hubungan dengan orang terdekatnya terpuaskan. Menurut Papalia et al.,

    (2003), dewasa muda memerlukan teman untuk saling berbagi pengalaman tentang karir,

    pekerjaan dan menjadi orang tua. Selain itu fungsi dari pertemanan adalah agar memiliki

    perasaan well-being, karena dengan berteman seseorang akan miliki perasaan positif

    tentang dirinya (Papalia et, al.,2003).

    2. D. Gambaran Penerimaan Diri pada Penderita SLE Dewasa Muda

    Systemic Lupus Erythematosus(SLE), adalah penyakit kelainan kekebalan tubuh

    (autoimmune), yang dapat menyebabkan bermacam-macam gangguan fungsi tubuh pada

    penderitanya. Gejala SLE sangat unik, beragam, hilang dan timbul tanpa sebab,

    menyerang berbagai organ tubuh manusia, dan hal ini terkadang sering membingungkan

    penderita SLE. Gejala yang unik dan beragam inipun, terkadang membuat diagnosis SLE

    terasa tidak tepat bagi pasiennya, hingga akhirnya terkadang pasein-pasien SLE berganti-

    ganti dokter untuk memastikan diagnosis penyakitnya. Sulitnya diagnosis pada penyakti

    SLE, disebabkan karena SLE tidak berkembang sekaligus, namun perlahan-lahan

    menyerang organ vital, gejalanya timbul, berganti dalam waktu lama, hingga akhirnya

    diidentifikasi sebagai SLE. Penyakit ini pada umumnya diderita pada usia dewasa muda

    antara usia 15-40 tahun, dengan perbandingan wanita dengan pria adalah 7-8: 1. Menurut

    Papalia et., al, (2003) rantang usia 20 tahun hingga 40 tahun berada pada tahap

    perkembangan dewasa muda.

    Adapun dampak dideritanya SLE bagi pasien adalah tingkat kesakitan tinggi,

    tingkat gangguan aktifitas keseharian yang tinggi karena penderita sensitif terhadap sinar

    matahari sehingga akhirnya dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan dan sulit mendapat

    pekerjaan. Apabila ada fungsi tubuh yang terganggu, misalnya pada mata akan

    menyebabkan ketergantungan tinggi terhadap keluarga, pelayanan kesehatan, dan

    akhirnya menyebabkan dampak psikologis seperti depresi. Biaya terapi yang tinggi

    seperti biaya untuk pembelian obat, pembelian obat penyerta atau untuk mengatasi efek

    samping obat yang dapat menyebabkan beban ekonomi semakin tinggi yang akhirnya

    akan berdampak pada psikologis keluarga. Selain itu pasien SLE yang bertahan hidup

    harus menerima konsekuensi akumulasi kerusakan organ dari imun tubuh yang merusak

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    19/21

    organ-organ tubuhnya dan obat-obatan yang dikonsumsinya (Gladman & Urowitz, dalam

    Hochberg et al., 2003).

    Terdiagnosisnya penyakit SLE akan menganggu aspek fisik dan sosial pada masa

    perkembangan dewasa muda. Misalnya gangguan pada aspek fisik seperti adanya tingkat

    kesakitan yang tinggi pada penderita SLE karena bengkak dan nyeri pada sendi ataupun

    mudah lelah mengakibatkan ganggu aktifitas ketika mereka bekerja. Sensitif terhadap

    sinar matahari sering kali mengakibatkan Odapus (Orang penderita Lupus/SLE) tidak

    dapat melakukan aktifitas di luar ruangan ataupun bekerja di luar rumah. Gangguan

    aspek fisik lainya adalah low vision, sering demam tinggi, sering mimisan, sulit

    berkonsentrasi dan lain-lain. Apabila gangguan-gangguan tersebut terus terjadi dan

    akhirnya terjadi penurunan fungsi fisik yang menyebabkan adanya hambatan dalam

    bekerja, tidak jarang penderita SLE dewasa muda kehilangan kesempatan untuk bekerja.

    Akibatnya para Odapus dewasa muda harus bergantung secara finansial pada orang tua

    mereka untuk membiayai dan pengobatan mereka dan mahalnya biaya terapi dapat

    berdampak pada masalah psikologis keluarga.

    Hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh SLE akan menghambat tugas

    perkembangan di masa dewasa muda, karena menurut Lambeth et, al.,& Mitchell et, al.,

    (dalam Papalia et, al.,2003) dewasa muda adalah awal untuk mulai bertanggung jawab

    terhadap diri sendiri dalam hal mengambil keputusan terhadap diri sendiri dan mulai

    memiliki otonomi dan memperbaharui bentuk hubungan dengan orang tua. Selain itu

    dewasa muda dituntut untuk mandiri secara ekonomi (Erikson dalam Papalia et. al.,

    2003). Gangguan pada aspek fisik pada Odapus seperti penurunan fungsi tubuh dapat

    menyebabkan para Odapus ketergantungan tinggi pada orang lain. Hal ini menyebabkan

    timbulnya masalah psikologis pada Odapus, seperti merasa tidak berdaya, merasa tidak

    berharga dan lain-lain.

    Sedangkan gangguan pada aspek sosial misalnya adanya perubahan body image

    sebagai efek samping dari penyakitnya maupun obat Chostiscosteroid maupun

    penyakitnya, misalnya menyebakan moon face atau bertambahnya berat badan akibat

    obat Chositiscosterid dapat mengganggu hubungan sosial. Terkadang mereka merasa

    rendah diri karena merasa dirinya berbeda dengan teman-temnaya yang bisa bekerja dan

    menunjukkan unjuk kerja yang baik. Terkadang aspek intimacy pada Odapus pun

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    20/21

    terganggu, mereka terkadang merasa ragu untuk melakukan komitmen dengan lawan

    jenis. Ragu untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan karena konsekuensi

    dirinya sebagai Odapus bisa mempengaruhi kehidupan pasangan mereka kelak. Mereka

    takut akan menjadi beban bagi pasangannya, jika kelak panyakitnya bertambah parah

    atau takut tidak bisa memberi keturunan pada pasangannya karena bila Odapus hamil,

    akan mengaktifkan penyakitnya. Sedangkan bagi Odapus pria, meraka takut tidak bisa

    melindungi pasanganya bila kelak fungsi tubuhnya terganggu oleh penyakitnya.

    Sedangkan Erikson (dalam Papalia et. al., 2003) menjelaskan bahwa dewasa

    muda berada pada tahap VI dari delapan tahap life development, yaitu intimacy and

    solidarity versus isolasi. Tugas perkembangan pada masa dewasa muda adalah dewasa

    muda harus menjadi diri mereka yang sesungguhnya, mulai tertarik secara emosional

    maupun keintiman fisik dalam hubunganya dengan pasanganya dan membuat komitmen

    dalam hubungan antar lawan jenis, membentuk keluarga, dituntut untuk mandirian secara

    ekonomi dan perkembangan kepribadian yang menetap. Gangguan-gangguan pada aspek

    intimacy, fisik dan sosial dapat menimbulkan gangguan psikologis dan stres emosional

    yang berkelanjutan. Oleh karena itu stres dalam menerima penyakit SLE, merupakan

    tantangan yang harus dihadapi oleh penderita SLE (Shapiro dalam Wallace & Hanhn,

    1997).

    Seberat apapun dampak yang ditimbulkan oleh penyakit SLE pada penderitanya,

    penderita SLE harus bisa menerima kondisi mereka. Mereka harus melakukan

    penyesuaian, memahami penyakit dan menerima kondisi bahwa dirinya menderita SLE,

    agar dapat berfungsi baik secara sosial, tanpa terhalangi oleh kekurangan-kekurangan

    dalam dirinya dan siap menghadapi dampak yang lebih buruk dari penyakitnya. Selain

    itu dampak psikologis akan lebih mudah diatasi bila sudah ada kesiapan mental sejak

    awal atau sejak pertama kali didiagnosis dan akhirnya dapat mengantisipasi dampak

    psikologis yang mungkin terjadi.

    Berdasarkan faktor-faktor tersebut, sangatlah penting aspek penerimaan diri bagi

    para penderita SLE agar mereka dapat berfungsi baik dalam berbagai aspek tanpa

    terhalagi oleh gangguan-gangguan yang disebabkan oleh penyakitnya. Walaupun

    penderita SLE terhalang oleh kekurangan-kekurangan dalam dirinya yang diakibatkan

    oleh penyakitnya, diharapkan mereka menilai positif terhadap kondisi dan keadaan yang

    Penerimaan Diri..., Citra Hati, F.Psi UI, 2007

  • 8/12/2019 Penerimaan Diri 2

    21/21

    menimpa dirinya, mengenali kelebihan ataupun kekurangan dirinya, yakin akan kualitas

    yang dimilikinya dan memahami keterbatasan dirinya, mampu dan bersedia untuk hidup

    dengan segala karakteristik yang ada dalam dirinya.

    Jersild (dalam Hurlock, 1974) menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah derajat

    dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, kemudian ia mampu dan

    bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Sedangkan menurut Hurlock (1974)

    salah satu faktor psikologis yang memberi kontribusi pada kesehatan mental individu

    adalah penerimaan diri. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

    individu adalah pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak ada hambatan lingkungan,

    tingkah laku sosial yang sesuai, tidak adanya sters yang berat, kenangan akan

    keberhasilan, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik,

    persfektif diri yang diri yang sama dengan persfektif orang lain, pola asuh yang baik,

    konsep diri yang stabil (Hurlock, 1974). Menurut Matthews (1993) pentingnya

    penerimaan diri sebagai modal individu untuk dapat menerima orang lain dan

    membangun hubungan interpersonal yang bermakna dalam kehidupannya, tanpa

    penerimaan diri, seseorang akan kesulitan untuk membangun suatu hubungan yang

    efektif.

    Kondisi setelah seseorang didiagnosis menderita SLE, dapat menjadi suatu

    hambatan bagi Odapus dewasa muda untuk dapat memiliki penerimaan diri yang baik.

    Dalam penelitian kali ini akan diteliti tentang gambaran penerimaan diri dewasa muda

    penderita SLE. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hambatan-hambatan yang

    disebabkan penyakit SLE dapat menghambat tugas-tugas perkembangan di masa dewasa

    muda. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses penerimaan diri

    dewasa muda penderita SLE, hal-hal apa yang terjadi dengan penerimaan diri penderita

    SLE, dan kondidi emosional penderita SLE, setelah ia didiagnosis sebagai penderita SLE.