penerapan algoritma van hengel dan spitzer untuk …repository.ub.ac.id/6482/1/fiqri al...
TRANSCRIPT
-
PENERAPAN ALGORITMA VAN HENGEL DAN SPITZER UNTUK ESTIMASI
KEDALAMAN LAUT DARI DATA LANDSAT 8
(STUDI KASUS: PERAIRAN ASEM BAGUS, SITUBONDO)
SKRIPSI
Oleh:
FIQRI AL FARISYI
NIM. 105080601111030
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
i
PENERAPAN ALGORITMA VAN HENGEL DAN SPITZER UNTUK ESTIMASI
KEDALAMAN LAUT DARI DATA LANDSAT 8
(STUDI KASUS: PERAIRAN ASEM BAGUS, SITUBONDO)
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Kelautan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
FIQRI AL FARISYI
NIM. 105080601111030
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
JULI, 2017
-
ii
SKRIPSI
HALAMAN PENGESAHAN PENERAPAN ALGORITMA VAN HENGEL DAN SPITZER UNTUK ESTIMASI
KEDALAMAN LAUT DARI DATA LANDSAT 8
(STUDI KASUS: PERAIRAN ASEM BAGUS, SITUBONDO)
Oleh:
FIQRI AL FARISYI
NIM. 105080601111030
telah dipertahankan didepan penguji
pada tanggal 27 Juli 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
(Ir. Bambang Semedi, M.Sc, Ph.D)
NIP. 19621220 198803 1 004
Tanggal :
Menyetujui,
Dosen Pembimbing II
(M. Arif Zainul Fuad, S.Kel, M.Sc)
NIP. 19801005 200501 1 002
Tanggal :
Mengetahui,
Ketua Jurusan
(Dr. Ir. Daduk Setyohadi, MP)
NIP. 19630608 198703 1 003
Tanggal :
-
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : PENERAPAN ALGORITMA VAN HENGEL DAN
SPITZER UNTUK ESTIMASI KEDALAMAN LAUT DARI
DATA LANDSAT 8 (STUDI KASUS: PERAIRAN ASEM
BAGUS, SITUBONDO)
Nama : FIQRI AL FARISYI
NIM : 105080601111030
Program Studi : Ilmu Kelautan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : Ir. BAMBANG SEMEDI, M.Sc, Ph.D
Pembimbing 2 : M. ARIF ZAINUL FUAD, S.Kel, M.Sc
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : NURIN HIDAYATI, ST, M.Sc
Dosen Penguji 2 : ANDIK ISDIANTO, ST, MT
Tanggal Ujian : 27 Juli 2017
-
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 20 Juli 2017
Penulis,
Fiqri Al Farisyi
NIM. 105080601111030
-
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam serangkaian proses penelitian ini tentunya banyak pihak-pihak
terkait yang banyak memberikan bantuan sehingga penelitian berjalan dengan
lancar, untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Bambang Semedi, M.Sc, Ph.D dan Bapak M. Arif Zainul Fuad,
S.Kel, M.Sc selaku dosen pembimbing atas ketersediaan waktu untuk
memberikan bimbingan, arahan serta kesabarannya selama melakukan
penelitian ini.
2. Ibu Nurin Hidayati, ST, M.Sc dan Bapak Andik Isdianto, ST, MT selaku
dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran
demi perbaikan penelitian ini.
3. Kedua Orang Tua yang selalu memberikan do’a, motivasi dan dukungan
dalam bentuk moril maupun spiritual selama perkuliahan dan penelitian ini.
Khususnya Ibu Siti Rukhaiyah (almh) yang menjadi motivasi utama penulis
selama masa perkuliahan dan penelitian.
4. Adik-adik, Farida Ramadhani dan Febriyanti Aulia Izzatunnisa yang selalu
memberikan do’a dan dukungannya.
5. Adhim, Affan, Dian, Yunus, Ardy, Wikan, Heru Y, Pulung, Hardik, Hendri
dan teman-teman seangkatan 2010 lainnya, kakak-kakak tingkat, Yosie,
Aden dan adik-adik tingkat lainnya dalam keluarga Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya yang telah membantu dalam menyelesaikan
penelitian ini dan selama perkuliahan.
Terima kasih juga untuk semua pihak-pihak yang belum penulis
sebutkan satu-persatu yang selama ini banyak membantu jalannya penelitian ini
sehingga dapat berjalan lancar.
Malang, 20 Juli 2017
Penulis,
Fiqri Al Farisyi
NIM. 105080601111030
-
vi
RINGKASAN
FIQRI AL FARISYI. Penerapan Algoritma Van Hengel dan Spitzer Untuk
Estimasi Kedalaman Laut Dari Data Landsat-8 (Studi Kasus: Perairan Asem
Bagus, Situbondo). (dibawah bimbingan Ir. Bambang Semedi, M.Sc, Ph.D dan
M.A. Zainul Fuad, S.Kel, M.Sc)
Informasi kedalaman suatu perairan laut merupakan suatu informasi
penting bagi semua kegiatan yang berlangsung di perairan laut. Informasi
kedalaman dibutuhkan dalam berbagai kegiatan baik di bidang perikanan
misalnya untuk memprediksi keberadaan ikan-ikan demersal tertentu, maupun di
bidang pelayaran seperti untuk acuan navigasi. Upaya-upaya untuk
mendapatkan informasi batimetri cukup beragam. Seiring dengan perkembangan
teknologi di bidang penginderaan jauh, sensor pasif dari satelit penginderaan
jauh diketahui mampu menangkap karakteristik objek-objek yang terhalang oleh
badan air hingga kedalaman tertentu. Keunggulan ini dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan estimasi batimetri suatu perairan hingga kedalaman tertentu.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pola
kedalaman perairan Kecamatan Asem Bagus dari hasil pengambilan data insitu
dan dari hasil pengolahan data citra satelit Landsat-8. Selain itu juga bertujuan
untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan data estimasi kedalaman dari citra
satelit Landsat-8 dalam memprediksi nilai kedalaman yang sebenarnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 April 2017 hingga 27 Juli
2017. Lokasi penelitian ini adalah kawasan perairan laut Kecamatan Asem
Bagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode deskriptif dan kuantitatif. Dengan metode deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan pola bentuk dasar perairan Asem Bagus berdasarkan dari data
citra Landsat-8 yang diinterpretasikan dengan cara menerapkan Algoritma
Transformasi Rotasi yang dikembangkan oleh Van Hengel dan Spitzer (1991).
Serta dilakukan analisis terhadap data penginderaan jauh tersebut untuk menilai
kelayakan serta kemampuan data tersebut dalam menjelaskan data kedalaman
yang sebenarnya.
Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil yang didapat adalah bentuk dasar
perairan menurut data insitu cenderung landai dan mempunyai kontur yang
halus, sedangkan bentuk dasar perairan menurut data landsat-8 cenderung
curam dan mempunyai tekstur dasar yang kasar. Menurut hasil analisis, estimasi
nilai kedalaman perairan dangkal optis (25 m) dapat dikatakan buruk dengan koefisien
korelasi R2 0.16 karena faktor keterbatasan Algoritma Transformasi Rotasi yang
kurang bisa mendeteksi kedalaman perairan lebih dari 25 meter. Sedangkan
secara keseluruhan estimasi kedalaman laut di perairan Asem Bagus dapat
dikatakan cukup bagus dengan nilai R2 0.63.
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi
yang berjudul “Penerapan Algoritma Van Hengel dan Spitzer Untuk Estimasi
Kedalaman Laut Dari Data Landsat-8 (Studi Kasus: Perairan Asem Bagus,
Situbondo)” sebagai salah satu syarat penyelesaian studi tingkat Sarjana pada
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang.
Di dalam tulisan ini disajikan informasi mengenai estimasi nilai
kedalaman perairan laut yang didapatkan dari penerapan Algoritma Transformasi
Rotasi pada data citra Landsat-8. Penyajian data kedalaman perairan dalam
bentuk 2D, 3D dan cross section untuk memudahkan dalam memahami pola
batimetri. Disajikan pula analisis data kedalaman untuk mengetahui seberapa
besar korelasinya dengan data lapang. Diharapkan informasi ini mampu menjadi
pertimbangan atau acuan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian serupa.
Demikian tulisan ini disusun, dengan ini penulis mengucapkan banyak
terimakasih, semoga kegiatan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
bagi rekan-rekan lainnya. Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih
mengandung banyak kekurangan. Oleh sebab itu penulis sangat berterima kasih
apabila pembaca memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tulisan ini.
Malang, 20 Juli 2017
Penulis,
Fiqri Al Farisyi
NIM. 105080601111030
-
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. ii
IDENTITAS TIM PENGUJI ................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Tujuan ................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ................................................................................................. 4
1.5 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5
2.1 Informasi Batimetri ................................................................................. 5
2.2 Penginderaan Jauh dan SIG .................................................................. 6
2.3 Deteksi Kedalaman Perairan Melalui Teknologi Penginderaan Jauh ..... 8
2.4 Landsat-8 .............................................................................................. 9
BAB 3. METODE PENELITIAN.................................................................... 13
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 13
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................... 13
3.2.1 Alat ............................................................................................... 14
3.2.2 Bahan ........................................................................................... 15
3.3 Alur Penelitian ..................................................................................... 15
3.4 Perolehan Data .................................................................................... 17
-
ix
3.4.1 Data Sounding .............................................................................. 17
3.4.2 Data Pasang Surut ....................................................................... 17
3.4.3 Data Landsat-8 ............................................................................. 17
3.5 Pengolahan Data ................................................................................. 18
3.5.1 Pengolahan Data Sounding .......................................................... 18
3.5.2 Pengolahan Data Pasang Surut ................................................... 19
3.5.3 Pengolahan Data Landsat-8 ......................................................... 19
3.5.3.1 Pengolahan Awal Landsat-8 ..................................................... 19
3.5.3.2 Penerapan Algoritma Transformasi Rotasi ................................ 21
3.6 Analisis Informasi Batimetri .................................................................. 22
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 25
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 25
4.2 Informasi Batimetri Tampilan 2D .......................................................... 25
4.3 Informasi Batimetri Tampilan 3D .......................................................... 27
4.4 Informasi Batimetri Tampilan Penampang Melintang ........................... 28
4.5 Analisis Hubungan Data Kedalaman Landsat-8 dan Insitu .................. 40
4.5.1 Analisis Korelasi di Kedalaman Perairan 25 m ........................... 42
4.5.3 Analisis Korelasi di Semua Tingkat Kedalaman Perairan .............. 44
4.6 Pembahasan ....................................................................................... 46
BAB 5. PENUTUP ........................................................................................ 49
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 49
5.2 Saran ................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 51
LAMPIRAN ........................................................................................................ 53
-
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Spesifikasi band-band Landsat-8 ......................................................... 12
Tabel 2. Alat-Alat Penelitian ............................................................................... 14
Tabel 3. Bahan-bahan penelitian ....................................................................... 15
Tabel 4. Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi ...................................................... 23
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pembagian panjang gelombang elektromagnetik ............................... 7
Gambar 2. Proses perekaman permukaan bumi oleh sensor penginderaan jauh 7
Gambar 3. Satelit Landsat-8 .............................................................................. 10
Gambar 4. Perbandingan band multispektral Landsat-8 dan Landsat-7 ............. 11
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................... 13
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian ..................................................................... 16
Gambar 7. Peta Sebaran Titik Sounding ............................................................ 18
Gambar 8, Hasil Proses Masking ....................................................................... 20
Gambar 9. Tampilan Kontur Batimetri 2D Data Insitu ........................................ 26
Gambar 10. Tampilan Kontur Batimetri 2D Data Landsat-8 ............................... 26
Gambar 11. Tampilan 3D Data Insitu ................................................................. 27
Gambar 12. Tampilan 3D Data Landsat-8 ......................................................... 28
Gambar 13. Peta Sebaran Jalur Penampang Melintang .................................... 29
Gambar 14. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 1 ........ 30
Gambar 15. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 1 ............... 30
Gambar 16. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 2 ........ 31
Gambar 17. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 2 ............... 31
Gambar 18. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 3 ........ 32
Gambar 19. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 3 ............... 32
Gambar 20. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 4 ........ 33
Gambar 21. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 4 ............... 33
Gambar 22. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 5 ........ 34
Gambar 23. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 5 ............... 34
Gambar 24. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 6 ........ 35
Gambar 25. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 6 ............... 35
-
xii
Gambar 26. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 7 ........ 36
Gambar 27. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 7 ............... 36
Gambar 28. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 8 ........ 37
Gambar 29. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 8 ............... 37
Gambar 30. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 9 ........ 38
Gambar 31. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 9 ............... 38
Gambar 32. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 10 ...... 39
Gambar 33. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 10 ............. 39
Gambar 34. Peta Sebaran Jalur dan Titik Sampel ............................................. 40
Gambar 35. Scatter-Graph Regresi di Kedalaman 25 m ..................................... 44
Gambar 39. Scatter-Graph Data di Semua Kedalaman ..................................... 45
Gambar 40. Grafik Residual Data di Semua Kedalaman ................................... 46
-
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Sounding ............................................................................... 53
Lampiran 2. Data Pasang Surut ......................................................................... 56
Lampiran 3. Detail Regresi Logaritmik ............................................................... 57
Lampiran 4. Titik Sampel Analisis Korelasi ........................................................ 59
Lampiran 5. Detail Analisis Regresi Linear......................................................... 64
-
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Informasi kedalaman suatu perairan laut merupakan suatu informasi
penting bagi semua kegiatan yang berlangsung di perairan laut. Informasi
kedalaman dibutuhkan dalam berbagai kegiatan baik di bidang perikanan
misalnya untuk memprediksi keberadaan ikan-ikan demersal tertentu, maupun di
bidang pelayaran seperti untuk acuan navigasi. Informasi tersebut biasa disajikan
dalam bentuk peta batimetri. Peta batimetri memiliki bentuk dan kegunaan yang
beragam. Peta batimetri pada umumnya berbentuk kontur dan gradasi warna
yang menunjukkan perubahan kedalaman pada jarak tertentu. Batimetri juga bisa
dideskripsikan sebagai ukuran kedalaman dari permukaan air sampai dengan
dasar laut (Setiawan et al, 2014).
Upaya-upaya untuk mendapatkan informasi batimetri cukup beragam.
Cara konvensional adalah dengan cara menenggelamkan pemberat yang diikat
tali sehingga panjang tali dari pemberat hingga permukaan air merupakan
representatif dari kedalaman titik lokasi tersebut. Kegiatan ini dilakukan berulang-
ulang di banyak titik lokasi sehingga didapatkan data batimetri. Cara yang lebih
modern dapat dilakukan dengan metode sounding menggunakan alat echo
sounder. Kinerja alat tersebut adalah dengan mengukur sela waktu antara bunyi
(ping) yang ditembakkan alat tersebut ke arah kedalaman suatu perairan dengan
ping pantulan dari dasar perairan yang diterima alat tersebut. Dengan
diketahuinya jeda waktu dan nilai cepat rambat gelombang suara di air laut maka
dapat diperoleh jarak antara alat (permukaan) dan bidang pantul (dasar laut)
yang dapat diartikan sebagai data kedalaman titik lokasi tersebut. Seiring dengan
perkembangan teknologi di bidang penginderaan jauh, sensor pasif dari satelit
penginderaan jauh diketahui mampu menangkap karakteristik objek-objek yang
-
2
terhalang oleh badan air hingga kedalaman tertentu. Keunggulan ini dapat
dimanfaatkan untuk mendapatkan estimasi batimetri suatu perairan hingga
kedalaman tertentu (Wahyuningrum et al, 2008).
Estimasi batimetri yang didasarkan dari data penginderaan jauh saja
akan menghasilkan nilai bias yang tinggi dikarenakan banyak faktor yang dapat
menghambat sifat optik suatu perairan, semisal Total Suspended Matter dan
kandungan klorofil dalam badan air. Selain itu data yang dihasilkan dari satelit
penginderaan jauh hanya mampu menunjukkan kontur rupa dasar perairan tanpa
tahu persis nilai kedalaman dalam satuan baku. Maka dari itu dibutuhkan juga
data batimetri insitu sebagai acuan untuk memverifikasi nilai kedalaman data
penginderaan jauh agar didapatkan nilai kedalaman absolut dalam satuan yang
baku (Arief et al, 2013).
Data batimetri yang telah terverifikasi oleh data insitu (kedalaman
absolut) masih memiliki perbedaan dengan data insitu yang merupakan data
batimetri yang valid. Oleh karena adanya perbedaan tersebut maka analisis
akurasi menjadi suatu langkah yang diperlukan guna menentukan layak atau
tidaknya data kedalaman absolut tersebut dijadikan sebagai peta batimetri yang
dapat dipercaya, mengingat tujuan penggunaan metode penginderaan jauh
batimetri adalah untuk memperoleh nilai kedalaman dalam skala luas tanpa
mengukur kedalaman di seluruh area yang luas tersebut. Jika hasil analisis
menunjukkan nilai akurasi yang tinggi maka metode penginderaan jauh batimetri
dapat dijadikan metode pembuatan peta batimetri yang efektif dan sedikit usaha
(less effort) sehingga dapat menghemat waktu dan biaya saat pengambilan data
insitu jika area yang diteliti sangat luas (Setiawan et al, 2014).
-
3
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mendapatkan nilai kedalaman suatu perairan dari data satelit
penginderaan jauh, ada banyak algoritma yang dapat diterapkan. Dalam
penelitian ini difokuskan data citra satelit dan algoritma yang digunakan adalah
data citra satelit Landsat-8 dan algoritma Transformasi Rotasi (Van Hengel dan
Spitzer, 1991). Penerapan algoritma yang sama dalam lokasi yang berbeda akan
menghasilkan nilai akurasi yang berbeda pula, maka dari itu perlu dilakukan
analisis penerapan algoritma Transformasi Rotasi di wilaya perairan dangkal
Kecamatan Asem Bagus, Kabupaten Situbondo. Adapun permasalahan yang
perlu dikaji antara lain:
1. Bagaimana pola kedalaman perairan Kecamatan Asem Bagus dari hasil
pengambilan data insitu?
2. Bagaimana pola kedalaman perairan Kecamatan Asem Bagus dari hasil
pengolahan data citra satelit Landsat-8?
3. Seberapa kuat hubungan data estimasi kedalaman dari citra satelit Landsat-8
dalam memprediksi nilai kedalaman yang sebenarnya (data insitu)?
1.3 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pola kedalaman perairan Kecamatan Asem Bagus dari hasil
pengambilan data insitu.
2. Mengetahui pola kedalaman perairan Kecamatan Asem Bagus berdasarkan
hasil pengolahan data citra satelit Landsat-8.
3. Mengetahui tingkat keeratan hubungan data estimasi kedalaman dari citra
satelit Landsat-8 dalam memprediksi nilai kedalaman yang sebenarnya (data
insitu).
-
4
1.4 Manfaat
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi
peneliti terkait ekstraksi nilai kedalaman perairan dari data citra satelit
penginderaan jauh Landsat-8 beserta nilai akurasinya terhadap data batimetri
insitu yang merupakan data valid perairan tersebut. Selain itu, hasil dari
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai alat atau instrumen untuk acuan
dalam upaya memonitor dan merevisi data batimetri yang sudah ada khususnya
untuk wilayah perairan dangkal Kecamatan Asem Bagus di waktu yang akan
datang.
1.5 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 April 2017 hingga 27 Juli
2017. Lokasi penelitian ini adalah kawasan perairan laut Kecamatan Asem
Bagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
-
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Informasi Batimetri
Batimetri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran kedalaman lautan,
laut atau tubuhperairan lainnya, sedangkan yang dimaksud peta batimetri adalah
peta yang menggambarkan perairan beserta kedalamannya. Peta batimetri
dideskripsikan juga sebagai data spasial yang berisi informasi kedalaman suatu
daerah peraiaran. Informasi batimetri dapat mengambarkan tentang kondisi
struktur dan bentuk dasar perairan dari suatu daerah. Pemetaan batimetri di
perairan dangkal memiliki peran penting untuk perikanan, keselamatan pelayaran
serta aktivitas kelautan (Nugraha, 2013).
Teknologi pemetaan batimetri berkembang dari waktu ke waktu. Pada
awalnya, kedalaman diukur dengan menggunakan tambang yang ujungnya diberi
pemberat dan mencoba untuk memperhitungkan kapan pemberat tersebut
menyentuh dasar. Tetapi metode ini sulit dilakukan dan hasilnya hampir selalu
tidak akurat karena arus yang kuat dapat menarik tambang dan pemberatnya ke
samping, jika perairan yang diukur relatif lebih dalam maka tambang yang
dibutuhkan akan lebih panjang dan sulit mengetahui kapan pemberat menyentuh
dasar. Selain itu juga membutuhkan waktu yang lama untuk menurunkan dan
menaikkan tambang (Wahyuningrum et al, 2008).
Pemetaan batimetri menggunakan metode modern dilakukan dengan
cara kapal menggunakan echosounder memberikan hasil yang cukup akurat.
Namun cara ini mempunyai keterbatasan antara lain: cakupan wilayah yang
terbatas dan sangat sulit diterapkan di perairan pesisir yang sangat dangkal serta
membutuhkan biaya operasi yang tinggi (Arief et al, 2013).
-
6
2.2 Penginderaan Jauh dan SIG
Penginderaan jauh (Remote Sensing) adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Dalam berbagai hal, penginderaan
jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan
sensor, kegiatan mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk
mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti dapat
dilakukan secara efektif (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Setelah beberapa tahun terakhir, teknologi penginderaan jauh di bidang
ilmu kelautan dapat diterima dan meningkatkan perhatian dalam hal
pengembangn sensor, pengolahan dan interpretasi citra, serta pengembangan
aplikasi untuk teknologi ini. Dengan kemajuan yang pesat ini, teknologi
penginderaan jauh menjadi semakin kompleks. Banyak individu berlatih berbagai
macam disiplin ilmu yang berhubungan dengan kelautan, yang bisa jadi dapat
mengambil keuntungan dari teknik penginderaan jauh (Deborah et al, 1983).
Dalam praktiknya, hanya band-band tertentu dari spektrum elektro-
magnetik yang berguna dalam penginderaan jauh sumberdaya alam dikarenakan
faktor lingkungan dan keterbatasan instrumen. Beberapa keterbatasan tersebut
antara lain efek atmosferik, ukuran antena instrumen, hubungan antara panjang
gelombang dan objek yang diamati, tenaga untuk mengoperasikan sensor
(khususnya sensor aktif) serta transmisi data ke stasiun bumi. Keterbatasan
tersebut yang mempengaruhi kualitas data citra yang dihasilkan, semisal resolusi
citra (Deborah et al, 1983).
-
7
Gambar 1. Pembagian panjang gelombang elektromagnetik (Deborah et al, 1983)
Instrumen penginderaan jauh didesain untuk bekerja dengan band-band
spesifik dari spektrum elektromagnetik. Sensor pasif (sensor yang hanya
menangkap pantulan energi elektromagnetik matahari) beroperasi di band
ultraviolet, sinar tampak, near infrared, thermal infrared, dan beberapa
gelombang mikro. Sedangkan sensor aktif (sensor yang memancarkan dan
menerima kembali sinyal pantulnya) hanya beroperasi di band gelombang mikro
dari spektrum yang ada. Sensor ini mengandalkan kekuatan dan frekuensi sinyal
pantul untuk menggambarkan objek yang diamati (Deborah et al, 1983).
Gambar 2. Proses perekaman permukaan bumi oleh sensor penginderaan jauh
-
8
Pada dasarnya, istilah Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
gabungan dari tiga pokok, yakni: sistem, informasi dan geografis. Dengan
demikian, pengertian terhadap ketiga unsur-unsur pokok ini akan sangat
membantu dalam memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya maka
jelas SIG merupakan salah satu sistem informasi dengan tambahan unsur
“geografis”. Atau SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur
“informasi geografis”. Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi
SIG yang baku. Sebagian besar definisi di dalam berbagai pustaka masih bersifat
umum, belum lengkap, tidak presisi dan bersifat elastik. Salah satu definisi SIG
adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, capturing,
menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa dan
menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan
bumi (Prahasta, 2001).
2.3 Deteksi Kedalaman Perairan Melalui Teknologi Penginderaan Jauh
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan untuk
memperoleh data batimetri karena dipandang sebagai salah satu cara yang
efektif dan efisien serta cukup terlihat kegunaannya dalam mengkompilasi dan
merevisi peta-peta sumberdaya yang telah ada sebelumnya. Teknologi ini
mampu mendapatkan informasi secara sinoptik sehingga dapat mengamati
fenomena yang terjadi di lautan yang luas dan dinamis dan mampu memberikan
informasi secara kontinu karena telah diprogram melintas daerah yang sama
dalam waktu tertentu (Wahyuningrum et al, 2008).
Metode pemetaan batimetri menggunakan data penginderaan jauh
awalnya dikembangkan oleh Jupp (1988). Metode tersebut menggunakan asumsi
hubungan linear antara pantulan spektral dan kedalaman, dan hasilnya adalah
nilai rentang kedalaman, dimana rentangnya tergantung pada jumlah band yang
digunakan sebagai input. Metode ini cukup rumit karena nilai k harus diketahui,
-
9
dan diperoleh melalui integrasi nilai piksel citra dan data kedalaman. Meskipun
demikian, metode ini mempunyai kelemahan tidak sesuai diterapkan untuk area
dengan tutupan dasar perairan yang bervariasi. Selain itu karena hasilnya adalah
data kategori (ordinal), akurasi pemetaan batimetri tidak dapat dikuantifikasikan
secara akurat karena rentang kedalaman sangat lebar (Wicaksono, 2015).
Pada tahun 1991, Van Hengel dan Spitzer memperkenalkan sebuah
algoritma untuk menghasilkan informasi batimetri menggunakan data citra
LANDSAT TM dengan menggunakan matriks tranformasi rotasi. Metode Van
Hengel dan Spitzer (1991) telah digunakan untuk menghasilkan informasi
batimetri di Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan menggunakan data
citra LANDSAT 7 ETM+ kombinasi band 1, band 2 dan band 3 (Wahyuningrum et
al, 2008).
2.4 Landsat-8
Satelit Landsat-8 telah berhasil diluncurkan NASA pada tanggal 11
Februari 2013 bertempat di Vandenberg Air Force Base, California yang
merupakan misi kerjasama antara NASA dan USGS (U.S. Geological Survey)
dengan pembagian tanggung jawab masing-masing. NASA bertanggung jawab
akan penyediaan satelit Landsat-8, instrumen-instrumen, pesawat peluncur, dan
elemen-elemen operasi misi Sistem Stasiun Bumi. NASA juga akan mengelola
fase awal peluncuran sampai dengan kondisi satelit beropersi di orbitnya pada
ruas antariksa (dari peluncuran sampai penerimaan). USGS bertanggung jawab
akan penyediaan pusat operasi-operasi misi dan sistem-sistem pengolahan pada
Stasiun Bumi (termasuk pengaripan dan jaringan-jaringan data), demikian juga
tim operasi-operasi penerbangan. USGS juga akan membiayai tim ilmuan
Landsat (Sitanggang, 2010).
-
10
Gambar 3. Satelit Landsat-8 (NASA, 2014)
Satelit Landsat-8 disebut juga satelit LDCM (Landsat Data Continuity
Mission) dengan misi mengorbit atau mengitari bumi setiap 99 menit dan
menggambar seluruh permukaan bumi setiap 16 hari, dan mengumpulkan
gambar atau citra pada akuisisi jadwal yang sama dengan Landsat-5 yang
sebelumnya digunakan. Karakteristik citra Landsat-8 ini adalah menggunakan
dua sensor, yakni sensor Operational Land Imager (OLI) dan sensor Thermal
Infrared Sensor (TIRS). Sensor OLI mempunyai selang band yang lebih pendek
dan tambahan dua band (menjadi 9 Band) dari Landsat sebelumnya yang hanya
7 band. Band tambahan tersebut antara lain band "Ultra-Blue" (Band 1) yang
akan digunakan untuk studi pesisir dan aerosol, serta Band 9 yang akan berguna
untuk mendeteksi awan cirrus. Sensor TIRS (Band 10 dan Band 11) dapat
menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak
dicitrakan oleh OLI. Citra Landsat-8 disinyalir memiliki akurasi geodetik dan
geometrik yang lebih baik (Childs, 2013).
-
11
Gambar 4. Perbandingan band multispektral Landsat-8 dan Landsat-7 (USGS, 2013)
Spesifikasi Landsat-8 (LDCM) adalah sebagai berikut:
Orbit
Worldwide Reference System-2 (WRS-2) path/row system
Orbit Sun-synchronous pada ketinggian 705 km (438 mil)
233 orbit cycle; mencakup seluruh permukaan bumi setiap 16 hari (kecuali
untuk lintang tertinggi di kutub)
Sudut inklinasi 98.2° (slightly retrograde)
Mengelilingi bumi setiap 98.9 menit
Melintas di ekuator pukul 10:00 pagi. +/- 15 menit
-
12
Pembagian Band
Tabel 1. Spesifikasi band-band Landsat-8
Bands of Landsat-8 (LDCM) Wavelength
(micrometer)
Resolution
(meter)
Band 1 – Coastal aerosol 0.43 – 0.45 30
Band 2 – Blue 0.45 – 0.51 30
Band 3 – Green 0.53 – 0.59 30
Band 4 – Red 0.64 – 0.67 30
Band 5 – Near Infrared (NIR) 0.85 – 0.88 30
Band 6 – SWIR 1 1.57 – 1.65 30
Band 7 – SWIR 2 2.11 – 2.29 30
Band 8 – Panchromatic 0.50 – 0.68 15
Band 9 – Cirrus 1.36 – 1.38 30
Band 10 – Thermal Infrared (TIRS) 1 10.60 – 11.19 100
Band 11 – Thermal Infrared (TIRS) 2 11.50 – 12.51 100
Sumber: United State Geological Survey, 2013
-
13
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengambilan data dan
tahap pengolahan data. Tahap pengambilan data dilaksanakan di perairan laut
Kecamatan Asem Bagus, Kabupaten Situbondo oleh Aden (2016) pada bulan
Mei 2016 (Gambar 5). Sedangkan tahap pengolahan data dilaksanakan di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya oleh penulis pada
bulan Mei 2017.
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat dan bahan-bahan memegang peran penting dalam
kelangsungan penelitian ini. Masing-masing digunakan sesuai dengan
peruntukannya. Adapun rincian alat dan bahan beserta fungsinya yang
digunakan dalam penelitian ini tertera secara rinci dalam sub bab di bawah.
-
14
3.2.1 Alat
Alat adalah suatu benda (dapat berupa hardware maupun software)
yang digunakan secara berulang-ulang yang mana secara fisik tidak akan
berkurang ketika digunakan. Alat berfungsi untuk mempermudah suatu pekerjaan
dalam penelitian ini. Alat-alat yang digunakan saat penelitian ini tertera dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Alat-Alat Penelitian
No. Nama Alat Spesifikasi Fungsi
1 Echosounder
Garmin
GPSmap 585
Sounder
Layar WQVGA, frekuensi
50/200 kHz, kedalaman
maksimum 1.500 ft, daya
10-36 V
Merekam nilai kedalaman
dan posisi geografis suatu
perairan
2 Perahu Perahu kayu,
Mesin Diesel
Sebagai wahana
pembawa echosounder
saat perekaman nilai
kedalaman suatu perairan
3 Laptop Processor Intel (R) Atom
(TM) N570, 4 CPU @
1.90Ghz, VGA 256 MB,
Memory RAM 2 GB, HDD
350 GB, Windows 7
Sebagai pengolah data
dan penyusunan laporan
penelitian
4 Map Source Versi 6.16.3 Untuk membuat
perencanaan rute
pengambilan data
kedalaman insitu
5 Matlab Versi 7.8.0.347 untuk kalkulasi nilai
pasang surut
6 ArcGIS Versi 9.3 Untuk menambahkan
unsur-unsur SIG ke dalam
peta batimetri
7 ERMapper Versi 7.1 Untuk pemrosesan awal
citra dan memasukkan
rumus Transformasi
Rotasi
8 Surfer Versi 10 Untuk membuat plot
kontur batimetri dan
tampilan 3D
9 Ms. Excel Versi Office 2010 Untuk kalkulasi matriks
Transformasi Rotasi
-
15
3.2.2 Bahan
Bahan adalah suatu benda yang habis saat digunakan sekali saja yang
mana secara fisik tidak habis, berkurang atau berubah ketika digunakan. Bahan
berfungsi sebagai objek yang diolah dalam penelitian ini. Bahan-bahan yang
digunakan saat penelitian ini tertera dalam Tabel 3.
Tabel 3. Bahan-bahan penelitian
No Nama Bahan Spesifikasi Fungsi
1 Citra Landsat-8 Tanggal Akuisisi 26-5-2016
Path 117, Row 065 Sumber:
http://earthexplorer.usgs.gov
Data multispektral
sebagai bahan dasar
ekstraksi nilai
kedalaman perairan
2 Data Pasang
Surut
Tanggal Akuisisi 19 Maret 2016
Sumber: tools TMD pada Matlab
v. 7.8.0.347
Untuk mengkoreksi
data kedalaman hasil
sounding
3 Data Sounding Tanggal Akuisisi 19 Maret 2016
Sumber: (Aden, 2016)
Sebagai data
kedalaman insitu
yang merupakan data
kedalaman
sebenarnya
3.3 Alur Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap. Tahap
pertama adalah tahap pengumpulan data, yang nantinya akan menghasilkan
data kedalaman insitu, data pasang surut dan data citra Landsat-8. Tahap kedua
adalah tahap pengolahan data, yang mana dalam tahap ini ketiga macam data
yang didapatkan dari tahap pertama akan diolah hingga menghasilkan dua data
identik, yakni data kedalaman insitu yang telah terkoreksi pasang surut serta data
kedalaman absolut yang merupakan nilai ekstraksi batimetri dari Landsat-8 yang
telah tervalidasi data kedalaman insitu. Tahap ketiga adalah analisis korelasi
menggunakan matriks error dengan masukan berupa data identik hasil dari tahap
dua hingga menghasilkan nilai akurasi hubungan antar keduanya. Alur penelitian
tersebut dapat dipahami melalui diagram alir pada Gambar 6.
-
16
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian
Regresi Logaritmik
Mulai
Perolehan Data
Citra Landsat 8 Data Pasang Surut
Pengolahan Awal Data Citra
Koreksi Geometrik
Koreksi Radiometrik
Masking Daratan dan Awan
Koreksi Pasang Surut
Data Kedalaman Insitu
Algoritma Transformasi Rotasi
(Van Hengel and Spitzer)
Indeks Kedalaman Air Relatif
Kedalaman Air Absolut
Data Kedalaman Landsat-8
Data Sounding
Analisis Korelasi
Korelasi di Kedalaman 25 m
Korelasi di Semua Kedalaman
Hasil
-
17
3.4 Perolehan Data
Perolehan tiga jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berbeda-
beda. Cara memperoleh data masing-masing akan dijelaskan dalam sub bab
dibawah.
3.4.1 Data Sounding
Data ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil pengukuran
kedalaman menggunakan alat echosounder yang telah dilakukan oleh Aden
(2016) pada tanggal 19 Maret 2016 di perairan Asem Bagus. Sebelum
melakukan proses perekaman, dibuat terlebih dahulu jalur (track) pengukuran
kedalaman. Track tersebut disimpan dalam echosounder dan digunakan sebagai
rute dalam proses perekaman nilai batimetri insitu. Kemudian selama perjalanan
dalam rute tersebut pengukuran kedalaman dilakukan dengan cara
mentransmisikan ping ke dasar laut dengan interval sekitar 5 detik hingga rute
berakhir. Data kedalaman tersebut akan tersimpan dalam memori echosounder
yang nantinya dapat diambil dan dilakukan pengolahan dalam tahap selanjutnya.
3.4.2 Data Pasang Surut
Data pasang surut merupakan data sekunder yang didapatkan dari
software Matlab melalui Tools TMD. Pengaturan waktu disesuaikan dengan
waktu pengukuran kedalaman insitu (sounding), yang mana dalam penelitian ini
waktu sounding adalah pukul 07.00 – 12.30 WIB tanggal 19 Maret 2016.
3.4.3 Data Landsat-8
Data Landsat-8 merupakan data sekunder yang dapat diperoleh atau
diunduh langsung dari halaman web earthexplorer.usgs.gov. Sebaiknya dipilih
citra Landsat-8 yang tanggal akuisisinya sama dengan tanggal pengambilan data
sounding. Namun dikarenakan resolusi temporal Landsat-8 adalah 16 hari, maka
dipilih tanggal akuisisi yang mendekati tanggal pengambilan data sounding,
-
18
dalam penelitian ini digunakan citra Landsat-8 tanggal 26 Mei 2016 dengan path
117 dan row 065, sesuai lokasi penelitian.
3.5 Pengolahan Data
3.5.1 Pengolahan Data Sounding
Data sounding yang tersimpan dalam memori echosounder harus
diunduh dan diekstrak menjadi bentuk tabel dalam Ms. Excel. Unsur yang
diperlukan dalam tabel tersebut adalah x, y dan z. Dimana x dan y (latitude dan
longitude) merupakan koordinat posisi titik pengukuran, sedangkan z adalah nilai
kedalaman yang terekam. Tabel yang berisi unsur x, y dan z ini yang disebut
data sounding yang nantinya akan diterapkan koreksi pasang surut. Selain dalam
bentuk tabel, data tersebut juga dapat diubah bentuk menjadi data shapefile
untuk dapat mengetahui sebaran titik perekamannya. Untuk melakukan konversi
ini dibutuhkan software ArcGIS dengan cara pilih fitur Add X+Y data, gunakan x
dan y dalam tabel sebagai posisi geografis dalam ArcGIS. Hasilnya dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Peta Sebaran Titik Sounding
-
19
3.5.2 Pengolahan Data Pasang Surut
Data pasang surut ini digunakan untuk mengetahui Mean Sea Level
(MSL) pada saat pengambilan data lapang. Selanjutnya nilai MSL yang didapat
akan sandingkan dengan nilai z yang sudah ditambah nilai kedalaman tranducer
(diasumsikan 0.5 m) untuk kemudian dicari selisihnya. Selisih tersebut bisa
bernilai negatif atau positif. Selanjutnya nilai selisih tersebut digunakan untuk
mengkoreksi nilai z dengan cara ditambahkan atau dikurangkan terhadap nilai z,
sehingga didapatkan nilai z yang terkoreksi pasang surut.
3.5.3 Pengolahan Data Landsat-8
3.5.3.1 Pengolahan Awal Landsat-8
Dalam penelitian ini data Landsat-8 yang digunakan hanya data band 1
hingga band 5, dengan ketentuan band 2, 3, 4 digunakan sebagai kombinasi
untuk membangun matriks algoritma transformasi rotasi nantinya, sedangkan
band 1 dan 5 digunakan untuk menyeleksi daratan dan tutpan awan dalam
proses Masking. Serangkaian proses pengolahan data Landsat-8 ini dilakukan di
dalam software ERMapper.
Langkah pertama pengolahan data Landsat-8 adalah koreksi geometrik.
Dalam penelitian ini koreksi geometrik dibutuhkan karena data Landsat-8 yang
tersedia sebenarnya sudah terproyeksi dengan tepat namun mempunyai system
koordinat yang salah, sehingga latitude dan longitude bernilai negatif. Koreksi
Geometrik dilakukan dalam ArcGIS dengan memanfaatkan Define Projection
Tool yang bertujuan mengubah system koordinat citra menjadi yang sebenarnya.
Selanjutnya adalah Koreksi radiometrik. Tujuan dari koreksi radiometrik
adalah untuk mengoptimalkan nilai energi elektromagnetik yang ditangkap
sensor satelit sehingga tampilan citra menjadi semakin tajam. Koreksi radiometrik
dilakukan dengan menerapkan persamaan dibawah ini kedalam setiap band.
-
20
Setelah terkoreksi radiometrik, maka diterapkan proses masking. Tujuan
dari masking adalah untuk mengubah nilai daratan dan tutupan awan menjadi 0
agar tidak ikut terkalkulasi saat dilakukan penerapan algoritma nantinya. Proses
masking dilakukan dengan membuat scattergram dengan kombinasi band 5 yang
notabene paling kuat menangkap gelombang pantul dari daratan serta band 1
yang kuat mendeteksi tutupan awan. Dari hasil scattergram tersebut dibuat
region yang menunjukkan tutupan awan dan daratan. Selanjutnya ubah nilai pixel
yang berada dalam region tersebut menjadi 0 melalui fitur edit formula. Maka
data yang dihasilkan berupa tampilan citra seperti Gambar 8.
_
Gambar 8, Hasil Proses Masking
Sebelum Masking (kiri), Sesudah Masking (kanan)
. . . . . . . . . . . . . . (1)
-
21
3.5.3.2 Penerapan Algoritma Transformasi Rotasi
Algoritma Transformasi Rotasi (Van Hengel dan Spitzer, 1991)
merupakan algoritma yang dapat mengubah kombinasi nilai reflektans dari tiga
band menjadi nilai kedalaman relatif suatu perairan. Kedalaman relatif adalah
suatu nilai yang mampu menunjukkan pola batimetri namun tidak dapat
menunjukkan nilai kedalaman dalam satuan panjang yang baku, semisal dalam
meter. Algoritma ini berupa matriks 3x3 yang membutuhkan masukan 3 band.
Keterangan:
X1 = Band 1 Y1 = Hasil utama
X2 = Band 2 Y2 dan Y3 = Hasil sampingan
X3 = Band 3 r dan s = sudut rotasi
Hasil dari matriks tersebut dapat dijabarkan dalam bahasa matematika
sebagai berikut:
Sedangkan nilai r dan s diperoleh dari rumus (4).
Dan u diperoleh dari:
. . . . . . . . . . . . . . (2)
. . . . . . . . . . . . . . (3)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . (4)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . (5)
-
22
Keterangan:
var xi = nilai varian band i
cov xixj = nilai kovarian band i dan band j
Hasil yang akan diterapkan kepada citra Landsat-8 adalah hasil utama
yaitu (Y1), hasil sampingan tidak digunakan. Menerapkan formula Y1 persamaan
(3) pada kombinasi 3 band citra, dalam penelitian ini adalah band tampak (2,3,4),
akan didapatkan hasil berupa data indeks kedalaman relatif.
Langkah selanjutnya adalah mengubah indeks kedalaman relatif
menjadi kedalaman absolut. Hal ini dilakukan dengan cara membuat regresi
logaritmik natural (LN) dari 30 titik sampel yang dipilih secara acak antara data
kedalaman insitu terkoreksi dan data indeks kedalaman relatif. Persamaan garis
tren regresi yang dihasilkan akan diterapkan ke data indeks kedalaman relatif,
maka akan menghasilkan data kedalaman absolut dengan satuan meter.
Langkah ini tersaji secara rinci di Lampiran 3.
3.6 Analisis Informasi Batimetri
Analisis korelasi diterapkan dengan menggunakan metode regresi
linear. Regresi linear dilakukan di tiga tingkatan kedalaman perairan, yaitu regresi
linear di kedalaman 25 m dan di semua tingkat kedalaman. Pembagian
penerapan regresi menjadi tiga tingkatan ini dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat keeratan antar kedua data kedalaman pada masing-masing tingkatan
kedalaman laut. Penetapan batas 25 m tersebut didasarkan pada kemampuan
optimal deteksi kedalaman laut oleh algoritma transformasi rotasi yang
digunakan. Penentuan titik-titik sampel untuk regresi tersebut didapatkan dengan
menggunakan metode Stratified Random Sampling (pemilihan titik-titik sampel
secara acak dan teratur) yang terdapat dalam fitur Hawth Tool pada ArcGIS.
Jarak latitudinal antar titik sampel adalah 100 m, sedangkan jarak longitudinal
antar titik sampel adalah 500 m. Penetapan besarnya jarak antar titik sampel
-
23
yang berbeda secara latitudinal maupun longitudinal tersebut dilakukan agar
sebaran titik sampel merata di seluruh area penelitian yang dapat dikatakan
berbentuk persegi panjang dengan posisi memanjang secara longitudinal, oleh
karena itu jarak longitudinal lebih besar daripada jarak latitudinal. Dengan
membuat regresi linear data citra dan data insitu di tiga tingkatan kedalaman
tersebut, maka dapat diperoleh nilai R2; Standart Error dan Multiple R, yang
mana nilai-nilai tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui seberapa kuat
keterkaitan antar kedua data tersebut.
R Square (R2) merupakan salah satu hasil analisis regresi yang
menunjukkan seberapa kuat kemampuan variabel independen (data citra)
menerangkan variable dependen (data insitu). Nilai R2 berkisar antara 0 hingga
1. Semakin R2 mendekati 1 maka semakin kuat kemampuan variabel independen
dalam memberikan informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel
dependen. Sebaliknya, semakin jauh nilai R2 dari 1 maka semakin lemah
kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Dasar
penentuan nilai kualitatif hubungan antar dua data dari besarnya nilai R2 yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi (Jonathan, 2006)
Nilai R2 Keterangan
0 Tidak ada korelasi antar kedua data
>0 – 0.25 Korelasi sangat lemah
>0.25 – 0.5 Korelasi cukup kuat
>0.5 – 0.75 Korelasi kuat
>0.75 – 0.99 Korelasi sangat kuat
1 Korelasi Sempurna
Sumber: Jonathan, 2006
Multiple R merupakan ukuran untuk menunjukkan tingkat keeratan
hubungan antar dua data. Semakin tinggi nilai Multiple R menunjukkan semakin
kuat hubungan antar kedua data tersebut.
-
24
Standart Error adalah tingkat error / galat variabel independen (data
citra) dalam mengestimasi variabel dependen (data insitu). Nilai ini digunakan
untuk menunjukkan ketepatan model regresi dengan cara membandingkannya
dengan nilai standar deviasi. Semakin kecil angka standart error ini dibandingkan
angka standar deviasi data citra, maka model regresi tersebut semakin tepat
dalam memprediksi data insitu.
-
25
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Asem Bagus, Kabupaten Situbondo merupakan kawasan
pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Madura di sebelah utara.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Banyuputih, Sebelah Barat
berbatasan dengan Kecamatan Jangkar dan Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Bondowoso. Desa terluar adalah Desa Wringin Anom yang
mana merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Asem Bagus yang
berbatasan langsung dengan laut. Luas Desa terluar ini adalah 11.9 km2.
Substrat di pantai didominasi pasir, namun sebagian tempat dominan lumpur,
terutama di muara saluran buangan tambak. Dari data pengukuran kedalaman,
area pantai tergolong mempunyai kemiringan yang landai, namun seteah jarak
sekitar 150 m lepas pantai, kemiringan berubah drastis menjadi sangat curam.
4.2 Informasi Batimetri Tampilan 2D
Hasil dari pengukuran kedalaman laut menggunakan echosounder
berupa data titik-titik lokasi yang mempunyai koordinat dan nilai kedalaman
tertentu. Data tersebut berjumlah 6226 titik yang posisi geografisnya dapat dilihat
pada peta sebaran titik sounding (Gambar 7). Sedangkan Data Kedalaman
Landsat-8 didapatkan dari penerapan Algoritma Transformasi Rotasi Van Hengel
dan Spitzer (1992) pada Data Citra Landsat-8. Rentang nilai Data Kedalaman
Insitu adalah antara 0 – 34.2 meter dan rentang nilai Data Kedalaman Landsat-8
adalah antara 0 – 29.3 meter.
Kedua data kedalaman tersebut (Insitu dan Landsat-8) dapat
ditampilkan dalam bentuk kontur data batimetri 2 Dimensi (2D) dengan interval
kedalaman 2 meter yang dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Membuat tampilan
data kedalaman menjadi kontur 2D dilakukan dalam software Surfer 10.
-
26
Perbedaan dari kedua tampilan 2D tersebut adalah kontur Data Kedalaman Insitu
terlihat lebih renggang dibandingkan dengan kontur Data Kedalaman Landsat-8
walaupun dengan interval kontur yang sama (2 meter). Hal ini dapat dikatakan
bahwa secara umum kemiringan dasar perairan (Slope) untuk Data Kedalaman
Insitu lebih landai daripada slope Data Kedalaman Landsat-8.
Gambar 9. Tampilan Kontur Batimetri 2D Data Insitu
Gambar 10. Tampilan Kontur Batimetri 2D Data Landsat-8
(m)
(m)
-
27
4.3 Informasi Batimetri Tampilan 3D
Membuat tampilan data kedalaman menjadi tampilan 3D dilakukan
dalam software Surfer 10. Hasil pengolahan data kedalaman (Insitu dan Landsat-
8) berupa tampilan 3D dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Perbedaan dari
kedua tampilan 3D tersebut adalah tingkat kemiringan dasar perairan Data
Kedalaman Insitu terlihat jelas lebih landai dibandingkan dengan tingkat
kemiringan dasar perairan Data Kedalaman Landsat-8. Tampilan dasar perairan
pun juga terlihat berbeda. Dasar perairan Data Kedalaman Insitu terlihat lebih
halus daripada dasar perairan Data Kedalaman Landsat-8. Hal ini dimungkinkan
karena terdapat berbagai macam faktor yang menghalangi atau mengurangi
intensitas energi elektromagnetik yang tertangkap sensor OLI.
Gambar 11. Tampilan 3D Data Insitu
(m)
-
28
Gambar 12. Tampilan 3D Data Landsat-8
4.4 Informasi Batimetri Tampilan Penampang Melintang
Tampilan penampang melintang (Cross-Section) adalah suatu cara
penyajian data yang memberikan tampak samping dari data yang bersifat tiga
dimensi yang dibelah, seperti data batimetri. Penyajian data dalam bentuk
penampang melintang berfungsi untuk mengetahui bentuk dasar perairan secara
horizontal sesuai dengan titik yang telah ditentukan sehingga dapat diketahui
bentuk dasar perairan serta kemiringan dasar perairan atau biasa disebut slope.
Dengan diketahuinya bentuk dasar perairan, maka dapat diketahui pula jenis
topografi dasar laut (Aden, 2016).
Untuk mengetahui bentuk dasar perairan yang dikaji, maka data
kedalaman, baik Data Kedalaman Landsat-8 maupun Data Kedalaman Insitu,
akan dibuat beberapa tampilan penampang melintang pada jalur yang sama
kemudian dibandingkan. Ada 10 jalur yang akan dibuat tampilan penampang
(m)
-
29
melintang bagi kedua data yang ada. Sebaran lokasi 10 jalur tersebut dapat
dilihat pada Gambar 33.
Gambar 13. Peta Sebaran Jalur Penampang Melintang
Karena area penelitian yang luas dan mempunyai pola dasar laut yang
beragam, maka tampilan penampang melintang dibuat di setiap 500 meter dalam
area penelitian hingga menghasilkan 10 jalur seperti pada Gambar 13.
Pembuatan penampang melintang di setiap jalurnya dimulai dari satu titik di bibir
pantai yang ditarik lurus ke arah laut lepas. Misalkan di Jalur 1 penampang
melintang dibuat mulai dari titik A menuju titik B, dan di Jalur 2 dimulai dari titik C
menuju titik D, begitu seterusnya hingga Jalur 10. Dan berikut adalah tampilan
penampang melintang di 10 jalur yang telah ditetapkan:
-
30
a. Penampang melintang di Jalur 1
Gambar 14. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 1
Gambar 15. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 1
Panjang Rentang Penampang Melintang A-B (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
)
Panjang Rentang Penampang Melintang A-B (m)
Ked
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
31
b. Penampang melintang di Jalur 2
Gambar 16. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 2
Gambar 17. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 2
Panjang Rentang Penampang Melintang C-D (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang C-D (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
32
c. Penampang melintang di Jalur 3
Gambar 18. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 3
Gambar 19. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 3
Panjang Rentang Penampang Melintang E-F (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang E-F (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
33
d. Penampang melintang di Jalur 4
Gambar 20. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 4
Gambar 21. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 4
Panjang Rentang Penampang Melintang G-H (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang G-H (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
34
e. Penampang melintang di Jalur 5
Gambar 22. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 5
Gambar 23. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 5
Panjang Rentang Penampang Melintang I-J (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang I-J (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
35
f. Penampang melintang di Jalur 6
Gambar 24. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 6
Gambar 25. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 6
Panjang Rentang Penampang Melintang K-L (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang K-L (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
36
g. Penampang melintang di Jalur 7
Gambar 26. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 7
Gambar 27. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 7
Panjang Rentang Penampang Melintang M-N (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang M-N (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
37
h. Penampang melintang di Jalur 8
Gambar 28. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 8
Gambar 29. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 8
Panjang Rentang Penampang Melintang O-P (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang O-P (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
38
i. Penampang melintang di Jalur 9
Gambar 30. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 9
Gambar 31. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 9
Panjang Rentang Penampang Melintang Q-R (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang Q-R (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
39
j. Penampang melintang di Jalur 10
Gambar 32. Penampang Melintang Data Kedalaman Landsat-8 di Jalur 10
Gambar 33. Penampang Melintang Data Kedalaman Insitu di Jalur 10
Panjang Rentang Penampang Melintang S-T (m)
Panjang Rentang Penampang Melintang S-T (m)
Ked
ala
man D
ata
Landsa
t-8
(m
) K
ed
ala
man D
ata
Insitu (
m)
-
40
4.5 Analisis Hubungan Data Kedalaman Landsat-8 dan Insitu
Analisis hubungan / korelasi diterapkan pada Data Kedalaman Landsat-
8 terhadap Data Kedalaman Insitu dengan cara membuat model regresi dari titik-
titik sampel. Peta sebaran titik sampel dapat dilihat pada Gambar 34. Sedangkan
nilai kedalaman tiap titik tersaji dalam Lampiran 4.
Gambar 34. Peta Sebaran Jalur dan Titik Sampel
4.5.1 Analisis Korelasi di Kedalaman Perairan
-
41
Dalam model regresi linear tersebut data kedalaman Landsat-8 berperan sebagai
variabel independen atau variabel yang akan memprediksi variabel dependen,
dalam hal ini adalah data kedalaman insitu. Hasil analisis regresi secara lengkap
tertera dalam Lampiran 2, sedangkan nilai R2 = 0.52, Multiple R = 0.72 dan
Standart Error = 4.75.
R2 sebesar 0.52 menunjukkan bahwa nilai variabel Data Kedalaman
Landsat-8 mampu menjelaskan variabel Data kedalaman Insitu sebesar 0.52
(52%). Oleh karena nilai Multiple R sebesar 0.72 maka dapat dikatakan
hubungan antara Data Kedalaman Landsat-8 dengan Data Kedalaman Insitu
sangat erat kaitannya. Sedangkan nilai Standart Error sebesar 4.75 menandakan
bahwa model regresi cukup tepat dalam memprediksi nilai kedalaman yang
sebenarnya.
Gambar 35. Scatter-Graph Regresi di Kedalaman
-
42
diagonal, semakin dekat semakin normal data tersebut, artinya antara Data
Kedalaman Landsat-8 dengan Data Kedalaman Insitu ada hubungan secara
linear. Di area kedalaman 25 m, dapat dihasilkan 103 titik sampel. Nilai
kedalaman perairan (baik nilai kedalaman insitu maupun nilai kedalaman
Landsat-8) yang terkandung dalam titik-titik sampel tersebut akan digunakan
-15
-10
-5
0
5
10
15
-7.7
-12.3
-9.7
-9.8
-7.5
-12.6
-11.2
-13.9
-9.7
-4.5
-13.6
-13.6
-15.2
-15.3
-16.2
-17.3
-16.3
-16.6
-18.1
-17.3
-17.4
-15.8
-18.4
-17.9
-18.1
-17.7
Resid
ual
(m)
Nilai Kedalaman Terprediksi (m)
-
43
untuk membangun model regresi linear. Hasil analisis regresi secara lengkap
tertera dalam Lampiran 2, sedangkan nilai R2 = 0.16, Multiple R = 0.40 dan
Standart Error = 1.86.
R2 sebesar 0.16 menunjukkan bahwa nilai variabel Data Kedalaman
Landsat-8 tidak mampu untuk menjelaskan variabel Data Kedalaman Insitu,
karena hanya dapat menjelaskan 16% dari variabel Data Kedalaman Insitu. Oleh
karena nilai Multiple R sebesar 0.40 maka dapat dikatakan hubungan antara
Data Kedalaman Landsat-8 dengan Data Kedalaman Insitu sangat kurang
berkaitan satu sama lain. Sedangkan nilai Standart Error sebesar 1.86
menandakan bahwa model regresi cukup tepat dalam memprediksi nilai
kedalaman yang sebenarnya.
Gambar 37. Scatter-Graph Regresi di Kedalaman >25 m
Dari output regresi yang berupa Scatter Graph dapat dilihat lebih banyak
titik-titik sampel yang posisinya tersebar jauh dari garis regresi, hal ini
menunjukkan bahwa kedua data yang dianalisis dapat dikatakan data tidak
y = 0.8104x - 9.3912 R² = 0.1596
-36
-34
-32
-30
-28
-26
-24
-22
-20
-28-27-26-25-24-23-22-21-20
Data
Ked
ala
man
In
sit
u (
m)
Data Kedalaman Landsat-8 (m)
-
44
normal. Di area kedalaman >25 m, Data Kedalaman Landsat-8 memiliki
hubungan dengan Data Kedalaman Insitu yang positif karena titik-titik pada
Scatter Graph membentuk garis diagonal yang bergerak dari kanan atas ke kiri
bawah.
Gambar 38. Grafik Residual Data di Kedalaman >25 m
Dilihat dari grafik di atas dapat diketahui nilai residual berkisar di ±5, dan
sebagian besar titik sampel mempunyai nilai residu yang menjauhi sumbu x. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hubungan antar kedua data tidak begitu erat.
4.5.3 Analisis Korelasi di Semua Tingkat Kedalaman Perairan
Dalam area penelitian dapat dihasilkan 205 titik sampel. Nilai kedalaman
perairan (baik nilai kedalaman insitu maupun nilai kedalaman Landsat-8) yang
terkandung dalam titik-titik sampel tersebut akan digunakan untuk membangun
model regresi linear. Hasil analisis regresi secara lengkap tertera dalam
Lampiran 3, sedangkan nilai R2 = 0.63, Multiple R = 0.79 dan Standart Error =
5.80.
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
-28.4
-28.9
-28.8
-30.0
-29.4
-29.5
-29.4
-28.3
-30.4
-30.5
-29.6
-29.3
-29.5
-30.3
-29.8
-30.3
-30.1
-30.5
-30.6
-29.5
-29.6
-30.5
-29.3
-30.1
-31.5
-29.6
Resid
ual
(m)
Nilai Kedalaman Terprediksi (m)
-
45
R2 sebesar 0.63 menunjukkan bahwa nilai variabel Data Kedalaman
Landsat-8 mampu untuk menjelaskan variabel Data kedalaman Insitu sebesar
0.63 (63%). Oleh karena nilai Multiple R sebesar 0.79 maka dapat dikatakan
hubungan antara Data Kedalaman Landsat-8 dengan Data Kedalaman Insitu
sangat erat kaitannya. Sedangkan nilai Standart Error sebesar 5.80 menandakan
bahwa model regresi cukup tepat dalam memprediksi nilai kedalaman yang
sebenarnya.
Gambar 39. Scatter-Graph Data di Semua Kedalaman
Dari output regresi yang berupa Scatter Graph dapat dilihat lebih banyak
titik-titik sampel yang posisinya ada di dekat garis regresi, hal ini menunjukkan
bahwa kedua data yang dianalisis dapat dikatakan data normal. Dalam area
penelitian, Data Kedalaman Landsat-8 memiliki hubungan dengan Data
Kedalaman Insitu yang positif karena titik-titik pada Scatter Graph membentuk
garis diagonal yang bergerak dari kanan atas ke kiri bawah.
y = 1.7727x + 18.236 R² = 0.63
-40
-30
-20
-10
0
10
20
-30-25-20-15-10-50
Data
Ked
ala
man
In
sit
u (
m)
Data Kedalaman Landsat-8 (m)
-
46
Gambar 40. Grafik Residual Data di Semua Kedalaman
Dilihat dari grafik di atas dapat diketahui nilai residual berkisar di ±19,
dan sebagian besar titik sampel mempunyai nilai residu yang mendekati sumbu
x. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antar kedua data sangat erat.
4.6 Pembahasan
Estimasi nilai kedalaman perairan dangkal optis (
-
47
menggunakan data citra LANDSAT 7 ETM+. Karena sensor OLI pada Landsat-8
mempunyai kualitas yang tidak kalah baik dengan sensor ETM+ pada Landsat-7,
maka perbedaan citra yang digunakan bukan menjadi faktor penyebab
berbedanya hasil analisis. Faktor kejernihan perairan lah yang sangat mungkin
untuk menjelaskan perbedaan hasil yang terjadi. Perairan Pulau Pari Kepulauan
Seribu di tahun 2008 merupakan perairan yang sangat jernih karena wilayah
pesisirnya yang bersubstrat pasir serta tidak ada muara sungai yang mengalirkan
air langsung ke pesisir. Sedangkan substrat pantai di Asem Bagus didominasi
oleh lumpur, selain itu juga terdapat muara saluran buangan tambak yang
langsung mengarah ke perairan dangkal. Imbasnya adalah kecerahan perairan
dangkal cukup rendah, hal ini mengganggu proses pendeteksian profil dasar
perairan oleh sensor OLI, sehingga dapat menghasilkan koefisien korelasi yang
cukup rendah.
Estimasi kedalaman perairan dangkal non-optis (>25 m) Asem Bagus
dapat dinilai buruk. Koefisien korelasi yang dihasilkan di area ini adalah R2 0.16.
Dalam kasus ini kecerahan perairan bukan lagi menjadi faktor penyebab
rendahnya nilai R2 yang dihasilkan, karena perairan Asem Bagus hanya
mempunyai area dengan kecerahan yang cukup rendah di dekat bibir pantai
saja, sedangkan di perairan lepas pantai kecerahannya sangat tinggi.
Rendahnya nilai R2 di area ini dikarenakan kemampuan Algoritma Transformasi
Rotasi yang memang terbatas dalam mendeteksi nilai kedalaman perairan
dalam. Estimasi nilai kedalaman perairan Asem Bagus dari data Landsat-8
tanggal 26 Mei 2016 menghasilkan nilai kedalaman absolut 0 sampai 29.3 m. Hal
ini diperkuat oleh hasil penelitian Setiawan et al (2014) yang hanya mampu
mendapatkan nilai kedalaman absolut 0 sampai 22.5 m saja menggunakan
algoritma yang sama. Kondisi ini mendekati hasil penelitian Jupp (1988) yang
mampu mencapai penetrasi hingga 25 m.
-
48
Secara keseluruhan, estimasi kedalaman laut di perairan Asem Bagus
dengan menerapkan Algoritma Transformasi Rotasi pada data Landsat-8 dapat
dikatakan cukup bagus. Hasil analisis keseluruhan menunjukkan koefisien
korelasi R2 0.63. Angka tersebut membuat metode penginderaan jauh untuk
estimasi kedalaman perairan dinilai dapat membawakan hasil yang cukup baik
untuk memprediksi nilai kedalaman perairan Asem Bagus.
-
49
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka dari hasil pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa:
1. Pola kedalaman perairan Asem Bagus berdasarkan Data Kedalaman Insitu
menunjukkan transisi antar kontur yang lebih halus dengan rentang nilai
kedalaman 0 sampai 34.2 meter. Di daerah pantai tingkat kemiringannya
tergolong landai hingga sepanjang rata-rata 150 meter arah lepas pantai akan
ditemui slope yang curam, namun di dasar slope masih tergolong perairan
dangkal yang rata-rata kedalamannya 31 meter.
2. Pola kedalaman perairan Asem Bagus berdasarkan Data Kedalaman Lansat-8
sangat identik dengan pola dari Data Kedalaman Insitu, hanya saja yang
membedakan adalah transisi antar kontur kedalaman sangat kasar, hal ini
dimungkinkan karena adanya banyak faktor yang menggagu sifat optik
perairan tesebut seperti kandungan TSM, klorofil atau bisa juga karena
banyaknya penghalang-penghalang kecil seperti perahu nelayan yang dapat
menginterferensi pantulan gelombang elektromagnetik. Kedalaman maksimal
yang mampu dideteksi oleh algoritma V-S (1991) dengan Landsat 8 adalah
29.3 meter.
3. Estimasi nilai kedalaman perairan dangkal optis (25 m) dapat dikatakan buruk
dengan koefisien korelasi R2 0.16 karena faktor keterbatasan Algoritma
Transformasi Rotasi yang kurang bisa mendeteksi kedalaman perairan lebih
dari 25 meter. Sedangkan secara keseluruhan estimasi kedalaman laut di
perairan Asem Bagus dapat dikatakan cukup bagus dengan nilai R2 0.63.
-
50
5.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut terdapat saran guna perbaikan
penelitian ini dan penelitian selanjutnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Untuk estimasi nilai batimetri lebih baik menggunakan data citra satelit yang
mempunyai resolusi spasial lebih tinggi agar hasil yang didapat tetap halus
walau hanya dalam lingkup area yang kecil.
2. Untuk pengukuran kedalaman insitu menggunakan echosounder sebaiknya
diusahakan dapat mencakup seluruh area yang dikehendaki agar hasil
interpolasi data kedalaman lebih realistis.
-
51
DAFTAR PUSTAKA
Aden, L.Y., 2016. Pemetaan Batimetri Sebagai Informasi Dasar Penempatan Fish Apartement di Periran Asembagus Kabupaten Situbondo. Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan FPIK UB
Arief, M., Hastuti, M., Asriningrum, W., Parwati, E., Budiman, S., Prayogo, T., Hamzah, R., 2013. Pengembangan Metode Pendugaan Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Satelit SPOT-4, Studi Kasus: Teluk Ratai, Kabupaten Pesawaran. J. Penginderaan Jauh. Vol.10 No.1
Childs, J., 2013. Landsat 8 Band Specifications. Alamat Situs: http://www.pancroma.com/. Diakses tanggal 22 September 2013
Deborah, R.S., 1983. Application of remote sensing to the study of coastal physical processes and marine resource mapping. California: IEEE
Jonathan, S., 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Jupp, D.L., 1988. Background and extensions to depth of penetration (DOP) mapping in shallow coastal waters. Proceedings of the Symposium on Remote Sensing of the Coastal Zone. Gold Coast, Queensland
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., 1990. Remote Sensing and Image Interpretation. Madison: John Wiley & Sons Inc.
Lutfi, W.B.A., 2014. Analisis Perbandingan Algoritma Citra Satelit Landsat-8 Untuk Mengetahui Konsentrasi dan Pola Sebaran Total Suspended Matter (TSM) Pada Kawasan Teluk Pacitan, Jawa Timur. Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan FPIK UB
NASA, 2014. NASA-USGS Landsat 8 Satellite Celebrates First Year of Success. Alamat Situs: https://www.nasa.gov/content/goddard/nasa-usgs-landsat-8-satellite-celebrates-first-year-of-success/. Diakses tanggal 25 Desember 2014
Nugraha, A.R., Saputro, S., Purwanto, 2013. Pemetaan Batimetri dan Analisis Pasang Surut untuk Menentukan Elevasi Lantai dan Panjang Dermaga 136 di Muara Sungai Mahakam, Sanga-Sanga, Kalimantan Timur. J. Semesta Teknika Vol.16. No.1, 21-30
Prahasta, E., 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: CV. Informatika
Setiawan, K.T., Osawa, T., Nuarsa, I.W., 2014. Aplikasi Algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk Ekstraksi Informasi Batimetri Menggunakan Data Landsat. Seminar Nasional Penginderaan Jauh, 222 – 230
Sitanggang, G., 2010. Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem Penginderaan Jauh Satelit LDCM (Landsat-8). Berita Dirgantara Vol.11. No. 2, 47-58
-
52
USGS, 2013. How do Landsat 8 band combinations differ from Landsat 7 or Landsat 5 satellite data?. Alamat Situs: https://landsat.usgs.gov/how-do-landsat-8-band-combinations-differ-landsat-7-or-landsat-5-satellite-data. Diakses pada tanggal 24 Juni 2014
Van Hengel, W., Spitzer, D., 1991. Multi-temporal Water Depth Mapping by Means of Landsat TM. Int. J. Remote Sensing 12, 703-712
Wahyuningrum, P.I., Jaya, I., Simbolon, D., 2008. Algoritma untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta). Buletin PSP. Vol.XVII. No. 3
Wicaksono, P., 2015. Perbandingan Akurasi Metode Band Tunggal dan Band Rasio untuk Pemetaan Batimetri pada Laut Dangkal Optis. Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV
Bagian Depan.pdfBAB I.pdfBAB II.pdfBAB III.pdfBAB IV.pdfBAB V.pdfDaftar Pustaka (1).pdf