penentuan waktu kematian

32
I. PENDAHULUAN Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis, mati seluler, mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya penggunaan oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan. Proses ini kemudian diikuti oleh proses autolisis dan pembusukan. Setiap sel tubuh memiliki perbedaan waktu untuk mengalami kematian sel disebabkan oleh perbedaan metabolisme seluler didalamnya. Neuron korteks memerlukan waktu paling cepat yaitu 3-7 menit setelah sel kehabisan oksigen. Pada tubuh terjadi kematian sel demi sel dan kematian secara keseluruhan akan terjadi dalam beberapa jam. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu respirasi dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati batang otak adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati batang otak, maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dikatakan hidup lagi. 1 Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam investigasi suatu kasus kematian, dimana perubahan postmortem banyak memberikan informasi baik mengenai waktu kematian, penyebab, maupun mekanisme kematian. 1,2 Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan, dengan demikian penyidik dapat lebih terarah dan selektif di dalam melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka pelaku tindak pidana. Seorang ahli forensik harus mampu 1

Upload: abdul-razak

Post on 16-Nov-2015

88 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Penentuan waktu kematian.aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

TRANSCRIPT

  • I. PENDAHULUAN

    Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian

    merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal

    tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis, mati seluler,

    mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat

    terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat,

    sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler adalah

    kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya penggunaan

    oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan. Proses ini kemudian diikuti

    oleh proses autolisis dan pembusukan. Setiap sel tubuh memiliki perbedaan

    waktu untuk mengalami kematian sel disebabkan oleh perbedaan metabolisme

    seluler didalamnya. Neuron korteks memerlukan waktu paling cepat yaitu 3-7

    menit setelah sel kehabisan oksigen. Pada tubuh terjadi kematian sel demi sel dan

    kematian secara keseluruhan akan terjadi dalam beberapa jam. Mati serebral

    adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan

    serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu respirasi dan kardiovaskuler

    masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati batang otak adalah bila terjadi

    kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak

    dan serebelum. Dengan diketahuinya mati batang otak, maka dapat dikatakan

    seseorang secara keseluruhan tidak dapat dikatakan hidup lagi. 1

    Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara klinis pada

    seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.

    Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam investigasi suatu kasus

    kematian, dimana perubahan postmortem banyak memberikan informasi baik

    mengenai waktu kematian, penyebab, maupun mekanisme kematian. 1,2

    Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti

    penting khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan, dengan demikian

    penyidik dapat lebih terarah dan selektif di dalam melakukan pemeriksaan

    terhadap para tersangka pelaku tindak pidana. Seorang ahli forensik harus mampu

    1

  • mendeskripsikan penyebab dan mekanisme kematian seseorang. Mekanisme

    kematian timbul akibat abnormalitas dari aspek biokimia dan fisiologi tubuh yang

    berujung pada kematian.1

    Dalam mempelajari kematian, dikenal istilah Thanatologi. Thanatologi

    berasal dari kata thanatos yang berarti berhubungan dengan kematian dan logos

    yang berarti ilmu. Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang

    mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor

    yang mempengaruhi perubahan tersebut.1

    Perubahan pada tubuh tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau

    beberapa menit kemudian. Tanda-tanda kematian dibagi atas tanda kematian pasti

    dan tidak pasti. Tanda kematian tidak pasti adalah penafasan berhenti, sirkulasi

    terhenti, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina

    mengalami segmentasi dan pengeringan kornea. Sedangkan tanda pasti kematian

    adalah lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu

    tubuh (algor mortis), pembusukan, mumifikasi, dan adiposera. 1

    2

  • II. A. KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS)

    Rigor mortis adalah kekakuan pada tubuh setelah kematian yang disebabkan

    karena tidak terdapat adenosine trifosfat (ATP) dalam otot. Pada saat awal

    kematian, tubuh menjadi flaccid. Namun dalam 1 hingga 3 jam setelah itu,

    kekakuan otot mulai meningkat dan terjadi imobilisasi pada sendi.1,3

    Kelenturan otot setelah kematian masih dapat dipertahankan karena

    metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen

    otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP

    menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan myosin tetap

    lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis maka energi tidak tebentuk lagi,

    aktin dan myosin akan menggumpal dan otot menjadi kaku. 1,4,5

    Gambar 1: Sumber energi untuk kontraksi otot. Dikutip dari kepustakaan 2.

    Otot membutuhkan pasokan energi dari ATP untuk berkontraksi karena

    jumlah yang tersedia di otot hanya mampu untuk mempertahankan fungsi

    kontraksi otot selama beberapa detik. Terdapat tiga jalur metabolisme yang

    mempertahankan agar pasokan ATP dalam otot tetap tersedia yaitu sistem

    fosfagen, sistem glikogen-asam laktat dan sistem aerobik. Ketika otot menjadi

    anoksia maka suplai oksigen berkurang sehingga ATP tidak diproduksi sehingga

    terjadi proses glikolisis aerobik sehingga meningkatkan kadar asam laktat dan

    3

  • asam piruvat. Kadar glikogen dalam otot berkurang, pH seluler menjadi 6 dan

    kadar ATP mulai berkurang. Normalnya, ATP berfungsi untuk menghambat

    aktivitas pelekatan antara aktin dan myosin.4,6

    Pada keadaan optimal, sistem fosfagen dapat menyediakan energi untuk

    digunakan oleh otot untuk berkontraksi selama 10-15 detik, sistem glikogen asam

    laktat menyediakan energi selama 30 hingga 40 detik dan sistem aerobik untuk

    waktu yang tidak terbatas.4

    Gambar 2: Gambaran aktivitas aktin dan myosin pada saat kontraksi dan relaksasi otot. Dikutip dari

    kepustakaan 4.

    Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot baik otot lurik maupun otot

    polos dan bila terjadi pada otot anggota gerak, maka akan didapatkan suatu

    kekakuan yang mirip atau menyerupai papan sehingga dibutuhkan tenaga untuk

    melawan kekuatan tersebut.1

    Kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot berbeda-beda, sehingga

    sewaktu terjadinya pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi pada saat

    terjadinya kematian somatik, akan menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP

    dalam setiap otot. Keadaan ini dapat menerangkan alasan kaku mayat mulai

    tampak pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya sedikit. Kaku mayat

    biasanya tampak pertama kali pada rahang dilanjutkan siku dan kemudian pada

    lutut. Pada laki-laki, kaku mayat lebih hebat dibandingkan pada perempuan oleh

    karena laki-laki memiliki massa otot yang lebih besar dibandingkan wanita.1,2

    4

  • Pada rata-rata orang pada suhu ruangan yang biasa, rigor mortis biasanya

    terlihat 2-4 jam setelah kematian. Dan biasanya terjadi rigor mortis sempurna

    setelah meninggal.Tubuh mengalami rigor mortis sempurna ketika rahang, siku,

    dan lutut sudah tidak dapat digerakkan lagi. Hal ini berlangsung 10-12 jam setelah

    kematian pada suhu ruangan 70-750 F. Keadaan ini akan menetap 24-36 jam dan

    setelah itu, kaku mayat akan mulai menghilang. 1,6

    Rigor Mortis pada Otot Involunter 7

    Kontraksi muskulus erektor pilli (otot polos folikel rambut) bermanifestasi

    sebagai goose bumps (cutis anserina). Hal ini menunjukkan mayat terpapar

    suhu dingin setelah mati.

    Gambar 3: Cutis anserine. Dikutip dari kepustakaan 8.

    Kontraksi vesikel seminalis (otot polos) setelah kematian menyebabkan

    keluarnya cairan seminalis (semen). Dapat pula menunjukkan terjadinya

    aktivitas seksual setelah kematian.

    5

  • Muskulus cilliaris pada iris mengubah ukuran pupil. Diameter pupil

    berkisar antara 0,2-0,9 cm. Sisi luar pupil tidak selamanya berbentuk

    sirkuler. Kedua pupil dapat berubah secara tersendiri dan memiliki ukuran

    yang tidak sama. Namun demikian, ukuran pupil tidak dapat digunakan

    untuk menentukan sebab kematian. Ukuran kedua pupil yang tidak sama

    tidak menunjukkan terjadinya trauma kepala.

    Kontraksi miokard ventrikel kiri menyebabkan dindingnya bertambah

    tebal dan berisi sejumlah kecil darah.

    Rigor Mortis pada Otot Volunter (Otot Skelet)7q

    Rigor mortis pada otot skelet menyebabkan terjadinya kekakuan pada sendi.

    Adapun beberapa proses yang terjadi selanjutnya yaitu :

    Initial flaccidity (kecuali instantaneous rigor)

    Terdapat sejumlah ATP yang cukup pada awal fase postmortem yang

    mengakibatkan otot-otot mengalami relaksasi dan sendi menjadi lemas.

    Fase ini berkisar antara 0,5-7 jam (rata-rata sekitar 3 + 2 jam).

    Onset

    Rigor terjadi secara bersamaan di semua otot, tetapi terjadi lebih cepat

    pada kelompok otot yang lebih kecil. Perubahan rigor mortis tidak terjadi

    secara konstan dan simetris. Rigor dimulai dari rahang, selanjutnya ke

    ekstremitas superior dan akhirnya ke ekstremitas inferior. Waktu yang

    dibutuhkan untuk terjadinya rigor secara keseluruhan di semua sendi

    bervariasi mulai dari 2 hingga 20 jam. Seseorang yang mati dalam keadaan

    supine menunjukkan sedikit fleksi pada siku dan lutut. Rigor bertahan

    selama 24-96 jam.

    6

  • Resolusi (secondary flaccidity)

    Rigor mulai berkurang dan bahkan menghilang saat terjadi denaturasi

    hubungan aktin-myosin dan dimulainya dekomposisi. Waktu yang

    dibutuhkan sekitar 24-192 jam.

    Umumnya rigor mortis awalnya terlihat di otot wajah dan menyebar ke

    dada, ekstremitas lalu ke seluruh tubuh. Pola menghilangnya rigor mortis juga

    mengikuti urutan munculnya. Awalnya menghilang di wajah lalu kemudian

    menyebar ke dada dan ekstremitas.2

    Gambar 4 :Rigor Mortis yang ditemukan pada mayat 2 hari setelah kematian. Dikutip dari kepustakaan 3.

    II.B. LEBAM MAYAT (LIVOR MORTIS)

    Livor mortis (post-mortem hypostasis, kebiruan) adalah perubahan warna

    pada tubuh setelah kematian akibat pengendapan darah sesuai gaya gravitasi yang

    tidak lagi dipompa melalui tubuh oleh jantung. Lebam mayat terbentuk bila terjadi

    kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang

    menggerakan darah mencapai capillary bed di mana pembuluh-pembuluh darah

    kecil afferen dan efferen saling berhubungan.3

    7

  • Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh

    vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke

    bawah, ke tempat-tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa

    gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnnya

    juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan konstribusi pada

    pembentukan gelembung-gelembung di kulit pada awal proses pembusukan.3,9

    Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai

    perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpalan darah terjadi secara

    pasif maka tempat-tempat di mana mendapat tekanan local akan menyebabkan

    tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga meniadakan terjadinya

    lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat.3

    Livor mortis biasanya terlihat sekitar 1 jam setelah kematian dan sering

    terlihat, dalam waktu 20-30 menit setelah kematian. Perubahan warna meningkat

    dan biasanya menjadi tetap sekitar 8-10 jam pada waktu ini dapat dikatakan lebam

    mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam mayat ini disebabkan oleh

    karena terjadinya perembesan darah ke dalam jaringan sekitar akibat rusaknya

    pembuluh darah akibat tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang banyak,

    adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh

    darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-

    12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari

    dapat member indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna.

    Setelah empat jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir

    darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan

    keluar dari kapiler yang rusak akan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga

    menyebabkan warna lebam mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan

    dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik. Jika pembalikan posisi dilakukan

    setelah 12 jam dari kematiannya. Maka lebam mayat baru tidak akan timbul pada

    posisi terendah, karena darah sudah mengalami koagulasi.3

    Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relative.

    Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian,

    bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilkukan perubahan posisi maka akan

    8

  • terjadi lebam sekunder pada posisi berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang

    ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada

    tubuh. Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah

    tidak pasti, Poslon mengatakan untuk menunjukan tubuh sudah diubah dalam

    waktu 8 sampai 12 jam, sedangkan Camps memberikan patokan kurang lebih 10

    jam.3

    Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan

    pengendapan darah pada daerah yang tidak tertekan akan menyebabkan

    pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan

    pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie

    (tardieus spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang

    mempunyai diameter dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan

    waktu 18 sampai 24 jam untuk terbentuknya dan sering diartikan bahwa

    pembusukan sudah mulai terjadi. Fenomena ini sering terjadi pada asphyxia atau

    kematian yang terjadinya lambat.3

    Gambar 5 : Lebam Mayat. Dikutip dari kepusakaan 3.

    Patomekanisme livor mortis :

    Orang meninggal ------> Jantung berhenti bekerja ------> Sirkulasi darah

    terhenti ------> Pengendapan butir darah dalam kapiler dalam letak rendah

    ------> butir darah terkoagulasi ------> Hemolisis

    9

  • II.C.PENURUNAN SUHU TUBUH (ALGOR MORTIS)

    Pada saat sel masih hidup ia akan selalu menghasilkan kalor dan energi.

    Kalor dan energi ini terbentuk melalui proses pembakaran sumber energi seperti

    glukosa, lemak, dan protein. Sumber energi utama yang digunakan adalah

    glukosa. Satu molekul glukosa dapat menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang

    nantinya digunakan sebagai sumber energi dalam berbagai hal seperti transpor

    ion, kontraksi otot dan lain-lain. Energi sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar

    38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul glukosa. Sisanya sebesar

    62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau panas.10

    Gambar 6: Glukogenesis. Dikutip dari kepustakaan 10.

    Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti

    sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya.

    Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi konduksi, dan pancaran

    panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor mortis. Algor

    10

  • mortis merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang

    sudah berada pada fase lanjut post mortem.10

    Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk

    sigmoid. Hal ini disebabkan ada 2 faktor, yaitu :10

    1. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih

    adanya proses glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot

    dan hepar.

    2. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu yang mencapai tangga

    suhu.

    Pada jam-jam pertama penurunannya sangat lambat tetapi sesudah itu

    penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat kembali.

    Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersbut antara 0,9 sampai 1 derajat celcius

    atau sekita 1,5 derajat Farenheit setiap jam, dengan catatan penurunan suhu

    dimulai dari 37 derajt celcius atau 98,4 derajat Farenheit sehingga dengan dapat

    dirumuskan cara untuk memperkirakan berapa jam mayat telah mati dengan

    rumus (98,4oF- suhu rektal oF) : 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rektal dengan

    menggunakan termometer kimia (long chemical termometer). Terdapat dua hal

    yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:9

    1.faktor internal

    a. Suhu tubuh saat mati

    Sebab kematiam, misalmya perdarahan otak dan septikemia, mesti dengan

    suhu tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan

    mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan,

    pada hipotermia tingkat penurunannya menjadi sebaliknya.

    b. Keadaan tubuh mayat

    Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan

    suhu tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat

    penurunannya menjadi lebih cepat.

    11

  • 2.Faktor Eksternal

    a. Suhu medium

    Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin

    cepat terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di

    tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.

    b. Keadaan udara di sekitanya

    Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal

    ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik.

    Selain itu, aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh

    mayat.

    c. Jenis medium

    Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air

    merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak

    panas dari tubuh mayat.

    d. Pakaian mayat

    Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin

    cepat. Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu

    medium atau lingkungan lebih mudah.9

    II.D.PEMBUSUKAN

    Dalam pembusukan terjadi dua proses yaitu autolysis dan putrefaction.

    Pembusukan adalah proses penghancuran dari jaringan tubuh yang terjadi setelah

    kematian akibat aktivitas bakteri dan enzim.1

    Autolisis

    Penghancuran jaringan adalah hasil dari proses enzim endogenous yang

    dikenal sebagai proses autolysis. Autolysis adalah pelunakan dan pencairan

    jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif

    oleh enzim yang dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan

    pembekuan jaringan. 1,2

    12

  • Pada autolisis terjadi pelepasan enzim yang berasal dari pankreas dan asam

    lambung yang berasal dari lambung. Pankreas menghasilkan banyak enzim

    pencernaan diantaranya adalah amylase, lipase, dan tripsinogen. Pada kematian,

    enzim ini dilepaskan oleh sel eksokrin dari pancreas dan enzim ini mencernakan

    dirinya sendiri (terjadi autodigesti). Lambung terdiri dari banyak sel yang

    menghasilkan enzim dan asam hidroklorida yang berperan penting dalam

    pencernaan. Ketika meninggal, pepsinogen dan asam hidroklorida dilepaskan dari

    sel lambung dan memberikan autodigesti dari mukosa lambung itu sendiri

    (gastromalasia). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan

    perforasi dari lambung. Proses yang sama juga terjadi pada esophagus akibat dari

    relaksasi sphincter esophagus sehingga cairan dari lambung masuk ke esophagus

    (esofagomalasia). Akibat gastromalasia dan esofagomalasia, akan menyebabkan

    perembesan isi cairan lambung ke cavum abdomen sehingga menyebabkan

    penghancuran struktur organ sekitar.7

    Ketika sel tubuh mencapai fase akhir dari proses autolisis, suasana lingkungan

    sekitar menjadi anaerobik. Pada saat ini, bakteri normal pada tubuh akan mulai

    berkembang dan mengancurkan jaringan tubuh dengan memproduksi asam, gas

    dan bahan-bahan organic (fase putrefaction).7

    Putrefaction

    Sedangkan putrefaction adalah pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas

    bakteri. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh

    segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut

    untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan traktus

    respiratorius. Bakteri ini merupakan bakteri anaerobik yang memproduksi spora,

    bakteri yang berbentuk coliform, mikrokokus, dan golongan proteus. Peningkatan

    kadar organism anaerobik disebabkan karena peningkatan kadar ion hidrogen

    dalam jaringan yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar oksigen. 1,7

    Tanda awal dari proses pembusukan (putrefaction) yang terjadi adalah

    munculnya warna kehijauan pada kulit yang sering ditemukan pada kuadran

    bawah abdomen, dan biasanya tampak juga pada periumbilikus dan bagian

    abdomen kiri bawah. Hal ini dapat terlihat 36 hingga 72 jam setelah kematian

    13

  • pada suhu sekitar 70oF. Warna kehijauan disebabkan karena penyebaran bakteri

    dari caecum yang kemudian menyebar ke kuadran abdomen lainnya, dada,

    anggota gerak, lalu wajah. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana,

    H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak.Hasil dari putrefaction adalah

    udara, cairan, dan garam. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-

    met-hemoglobin dimana H2S yang berasal dari pemecahan protein akan bereaksi

    dengan Hb, membentuk Hb-S dan Fe-S. Secara bertahap warna kehijauan ini akan

    menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh

    darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman. 1,8

    Gambar 7: Terjadi perubahan warna kulit menjadi lebih kehijauan terutama pada daerah perut. Dikutip dari

    kepustakaan 3.

    Pada keadaan ini, kulit tampak lebih licin dan tampak vesikel dan bulla

    yang multipel. Kulit ari kemudian akan dengan mudah terlepas bila tergeser atau

    tertekan. Dalam minggu kedua akan terbentuk gelembung-gelembung

    pembusukan yang merupakan kelanjutan dari perubahan kulit ari diatas.

    Gelembung-gelembung tersebut berisi cairan berwarna merah kehitaman yang

    disertai dengan bau pembusukan, yang bila dipecahkan akan tampak kulit pada

    dasar gelembung tersebut licin dan berwarna merah jambu. Kulit tampak lebih

    mudah terkelupas bagian epidermisnya. Selain itu, rambut pada daerah kulit ini

    juga akan lebih mudah mengalami kerontokan. 1,8

    14

  • Gambar 8: Tampak kulit yang licin disertai dengan vesikel dan bulla yang telah pecah. Dikutip dari

    kepustakaan 3.

    Gambar 9 : Patomekanisme pembusukan. Dikutip dari kepustakaan 7.

    Terdapat dua proses yang mempengaruhi terjadinya pembusukan yaitu adiposera

    dan mumifikasi :

    Adiposera

    Adiposera adalah terbentuknya bahan berwarna keputihan, lunak, atau

    berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh

    paskamati. 1

    15

  • Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk

    dari hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam

    lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat,

    jaringan saraf yang termumifikasi, dan kristal-kristal sferis dengan gambaran

    radial. 1

    Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan

    hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab

    kematian masih dapat dimungkinkan. Faktor-faktor yang mempermudah

    terbentuknya adiposera adalah kelembapan dan lemak tubuh yang cukup.1

    Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera karena derajat

    keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. 1

    Gambar 10 : Kulit tampak sebagai soap like apperance (saponifikasi). Dikutip dari kepustakaan 3.

    Mumifikasi

    Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang

    cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat

    menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,

    berwarna gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat

    berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila suhu

    16

  • hangat, kelembapan rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan

    waktu yang lama.1

    Gambar 11: Mumifikasi tubuh bagian atas. Dikutip dari kepustakaan 3.

    Grafik di bawah ini menunjukkan perubahan post mortal yang dikaitkan dengan

    saat kematian:2

    17

  • III. PENENTUAN WAKTU KEMATIAN YANG TERKINI

    Forensik Entomologi

    Aktivitas serangga juga dapat digunakan untuk memperkirakan saat

    kematian yaitu dengan menentukan umur serangga yang biasa ditemukan pada

    jenazah. Lalat pemakan bangkai (Zoosaprofag) biasanya digunakan dalam

    entomologi forensik, untuk penentuan umur suatu mayat karena serangga

    tersebut sering ditemukan pada mayat, contoh Famili Calliphoridae,

    Sarcopagidae, Staphilinidae, Histeridae dan Silphidae. Serangga yang tertarik

    pada mayat, secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:

    pertama, spesies nekrofagus; yang memakan jaringan tubuh mayat, kedua

    18

  • kelompok predator dan parasit; yang memakan serangga nekrofagus dan

    kelompok terakhir adalah kelompok spesies omnivore yang memakan baik

    jaringan tubuh mayat dan juga memakan serangga lain. Dari tiga kelompok ini,

    kelompok spesies nekrofagus adalah kelompok spesies yang paling penting

    dalam membantu membuat perkiraan saat kematian. Sejalan dengan proses

    pembusukan, beberapa generasi serangga dapat menetap pada tubuh mayat.

    Berbagai faktor seperti derajat pembusukan, penguburan, terendam dalam air,

    proses mumifikasi dan kondisi geografi dapat menentukan kecepatan

    kerusakan tubuh mayat, dan berapa tipe serangga dan berapa generasi serangga

    yang dapat ditemukan.11

    Lalat adalah serangga yang paling umum diasosiasikan dengan

    pembusukan. Lalat cenderung menempatkan telurnya dalam orificium tubuh

    atau pada luka terbuka. Kecenderungan ini kemudian akan mengakibatkan

    berubahnya bentuk luka dan bahkan hancurnya daerah sekitar luka. Telur lalat

    umumnya terdeposit pada mayat segera setelah kematian pada siang hari. Bila

    mayat tidak dipindahkan dan hanya telur yang ditemukan dari mayat, maka

    dapat diasumsikan bahwa waktu kematian berkisar antara 1 sampai 2 hari.

    Angka ini sedikit variatif, tergantung pada temperature, kelembapan dan

    spesies lalat. Setelah menetas, larva berkembang lebih besar hingga akhirnya

    mencapai tahap pulpa. Tahap ini dapat memakan waktu 6 sampai 10 hari pada

    kondisi tropis biasa. Lalat dewasa keluar dari pulpa pada 12 sampai 18 hari.

    Harus diingat bahwa banyak variable yang mempengaruhi perkembangan

    serangga, karenanya dari opini para penulis, suatu usaha memperkirakan saat

    kematian dengan menggunakan metode dari entomologi, harus dibantu oleh

    seorang ahli entomologi medik.11

    Dalam perkembangannya dari telur menjadi dewasa, serangga ada yang

    menjalani metarmorphosis lengkap dan ada yang menjalani metarorphosis

    tidak lengkap. Pada metarmorphosis tidak lengkap, versi kecil Dari serangga

    dewasa menetas dari telur. Serangga bertahap ini secara bertahap matang

    menjadi bentuk dewasa. Pada metarmorphosis lengkap, serangga menetas dari

    19

  • telur sebagai larva. Larva ini memiliki bentuk yang amat berbeda dengan

    bentuk dewasanya. Setelah beberapa waktu larva memasuki fase istirahat, yang

    disebut pupa. Dari pupa serangga keluar sebagai serangga telah terbentuk

    sesuai anatomi dan histology serangga dewasa. 11

    Gambar 13 : Metarmorphosis lengkap lalat. Dikutip dari kepustakaan 12.

    Gambar 12: Wajah yang ditutupi dengan larva. Dikutip dari kepustakaan 11.

    HUMOR VITREUS

    20

  • Memperkirakan saat mati secara kimia dalam humor vitreus sudah pernah

    dicoba selama 30 tahun belakangan ini, walaupun tidak pernah diterima sebagai

    pemeriksaan rutin. Dasar pemikiran dari digunakannya humor vitreus dalam

    penentuan saat mati ialah karena cairan ini bebas terkontaminasi dari darah,

    bakteri dan produk-produk autolisa postmortem bila dibandingkan dengan LCS.

    Sebenarnya banyak yang dapat dinilai untuk penentuan saat mati melalui humor

    vitreus, seperti mengukur kadar asam askorbat, konsentrasi asam piruvat,

    hypoxanthine,glukosa dan potassium, tetapi yang paling banyak dipakai sebagai

    penentuan saat mati adalah kadar potassium dalam humor vitreus.Pengikut

    pengikut Jaffe adalah yang pertama kali memperkenalkan peningkatan kadar

    potassium dan menghubungkannya dengan saat kematian, dan John Coe adalah

    forensik patologis yang berpengalaman dalam hal ini. Sesudah kematian,

    potassium interseluler menembus masuk kedalam retina melalui membran sel

    yang setelah kematian menjadi membran yang permeable, dan kemudian masuk

    kedalam corpus vitreus. Disini terdapat peningkatan yang nyata dan progressif

    dari konsentrasi potassium sesudah mati, tetapi masih menjadi perdebatan apakah

    peningkatan ini secara linear atau bifasik. Cara pengambilan humor vitreus ini

    tidaklah sulit, hanya dibutuhkan 2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak syringe

    no 20. Sering didapati perbedaan kadar potassium mata kiri dan mata kanan dalam

    satu individu. Selain itu bila aspirasinya dilakukan secara paksa atau terlalu dekat

    dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil pemeriksaan oleh karena potassium

    mencapai vitreus dengan jalan menembus retina. Pengaruh suhu juga masih

    menjadi perdebatan yang penting.13

    Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus adalah konsentrasi

    sodium dan chlorida, dimana konsentrasi elektolit - elektrolit ini megalami

    penurunan sesudah kematian, dan ini dapat digunakan untuk memeriksa

    reabilitasnya satu sama lain, misalnya kadar potassium adalah < 15 mmol/l maka

    kadar sodium dan chlorida dapat diperkirakan, dimana penurunan chlorida kurang

    dari 1 mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga penurunan

    sodium disini tidak signifikan pada beberapa jam pertama, berbeda dengan

    21

  • potassium yang peningkatannya terjadi secara bermakna. Sturner menemukan

    cara pengukuran yang paling populer dalam penentuan potassium vitreus untuk

    penentuan saat mati dengan menggunakan rumus :13

    7,4 x konsentrasi potassium (mEq/L)- 3,91

    Teknik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium sering

    memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada tahun 1985

    mengatakan bahwa penggunaan metode flame fotometrik memberikan nilai 5

    mmol/l kurang untuk sodium , 7 mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l

    kurang untuk chloride bila dibandingkan dengan pemeriksaan dengan

    menggunakan methode specifik electrode yang modern. Pada orang yang

    mengalami saat mati yang lama seperti pada penyakit-penyakit kronis dengan

    retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila dibandingkan dengan sudden

    death, agaknya gangguan elekrolit premotral pada pasien juga mempengaruhi

    hasil pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan dengan mengunakan flame fotometri

    dalam mmol/l bila sodium >155 ,chloride > 135, dan urea > 40 ini dipercaya

    sebagai indiksasi dari dehidrasi antemortem. Bila sodium dan choride adalah

    normal tetapi kelebihan urea adalah 150, diagnosis uremia dapat diterima. Angka

    ini berbeda dengan dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah

    < 130, chloride < 105 dan potassium >20 mellitus. Problem umum yang sering

    ditemukan dalam autopsi adalah mendiagnosa diabetes yang tidak terkontrol dan

    hypoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya turun setelah kematian dan

    akan mencapai angka nol dalam beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan

    6000 analisa , dan dia mendapatkan glukosa vitreus yang lebih dari 11.1 mmol/l

    adalah indikator yang tidak variable dari diabetes gula darah rendah antemortem.

    Sturner pada tahun 1972 menghubungkan adanya kadar glukosa vitreus yang

    kurang dari 1.4 mmol/l marupakan petunjuk adanya gula darah yang rendah

    antemortem, tetapi berapapun konsentrasinya interprestasi ini tidak reliable untuk

    22

  • dapat digunakan sebagai pegangan. Pada hipotermia terdapat juga peningkatan

    glukosa vitreus tetapi tidak lebih besar dari 11.1 mmol/l.13

    PENGOSONGAN ISI LAMBUNG

    Banyak para pathologis memperdebatkan penggunaan isi lambung sebagai

    pengukuran saat mati dan menghubungkannya dengan saat makan terakhir

    sebelum terjadi kematian. Dasar dari metode pengosongan lambung sebagai

    penentuan saat mati adalah bahwa makanan hampir mempunyai waktu yang sama

    di lambung sebelum dilepaskan dan masuk kedalam duodenum yang secara fisik

    sudah diubah oleh asam lambung , yang diukur pada saat makanan itu ditelan.

    Adelson mengatakan secara fisiologis biasanya makanan ringan meninggalkan

    lambung dalam 1,5 jam sampai 2 jam sesudah makan, makanan yang jumlahnya

    sedang membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam untuk meninggalkan lambung, dan

    untuk makanan berat memerlukan waktu 4 sampai 6 jam sebelum seluruhnya

    dikeluarkan kedalam duodenum. Makanan biasanya mencapai distal ileum antara

    6 sampai 8 jam sesudah makan. Modi memberi batasan 4 sampai 6 jam untuk

    makan daging dan sayuran dan 6 sampai 7 jam untuk makanan biji-bijian dan

    kacang-kacangan. Akan tetapi semua nilai-nilai ini adalah sangat bervariasi dari

    tiap individu. Metode terbaru dengan menggunakan teknik radioisotop dalam

    penelitian mengenai pengosongan lambung memperlihatkan hal-hal yang

    menarik. Bila makanan padat dimakan bersama dengan air maka air akan

    meninggalkan lambung lebih cepat terlepas dari sifat atau kandungan kalori dari

    bagian yang padat. Akan tetapi cairan yang mengandung kalori ternyata tinggal

    lebih lama dalam lambung.13

    Pengalaman menunjukan bahwa waktu pengosongan lambung ini tidaklah

    konstan, waktu pengosongan lambung yang lama tidak hanya disebabkan oleh

    penyakit dalam saluran cerna saja tetapi juga oleh faktor-faktor psikologis atau

    trauma fisik terutama yang mengenai kepala.13

    PERTUMBUHAN RAMBUT

    23

  • Pengetahuan mengenai rata-rata tumbuh rambut mula memberi petunjuk

    dalam membuat perkiraan kapan saat cukur terakhir. Sejak rambut berhenti

    pertumbuhannya pada saat kematian maka panjang dari jenggot mayat mungkin

    dapat menjadi pemikiran tentang lamanya waktu antara kematian dan cukur

    terakhir. Gonzales dkk, pada tahun 1954 mengatakan rata-rata pertumbuhan

    rambut adalah 0,4 mm/hari, sedangkan Balthazard seperti yang dikutip oleh

    Derobert dan Le Breton tahun 1951 mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut

    adalah 0,5 mm/hari, dan menurut Glaister pada tahun 1973 adalah 1-3

    mm/minggu, akan tetapi pada tiap2 individu mempunyai perbedaan dalam rata

    pertumbuhan dalam area yang sama, juga variasi rata-rata dari satu tempat ke

    tempat lain di muka dan juga berbeda dari satu individu ke individu yang lain.

    Selain itu variasi musim atau iklim mempengaruhi metabolisme dari tubuh itu

    sendiri. Pada pria rata-rata pertumbuhan rambut pipi adalah 0,25 mm/hari dalam

    bulan agustus-oktober di antartica, akan tetapi pada temperatur iklim di Lautan

    Pasifik dalm bulan April adalah 0,325 mm.13

    Pertumbuhan panjang jenggot diukur dengan mencukur mayat, dan

    diletakkannya di atntara slide dan gelas objek yang kemudian diukur dibawah

    mikroskop 80% dari rambut-rambut ini aka menunjukkan panjang yang sama.13

    Observasi terhadap bpertumbuhan rambut jenggot dalam menentukan saat

    mati harus dilakukan dalam 24 jam pertama sesudah kematian karena sesuadah ini

    kulit akan mengkerut dan ini akan menyebabkan rambut akan lebih menonjol di

    atas permukaan dalam 48 jam setelah kematian, fenomena ini yang sering dikira

    bahwa rambut masih terus tumbuh setelah kematian.13

    TULANG

    Gambaran Fisik

    Tulang-tulang yang baru mempunyai sisa jaringan lunak yang melekat

    pada tendon dan ligamen, khususnya di sekitar ujung sendi.Periosteum kelihatan

    berserat, melekat erat pada permukaan batang tulang. Tulang rawan mungkin

    masih ada dijumpai pada permukaan sendi. Melekatnya sisa jaringan lunak pada

    tulang adalah berbeda-beda tergantung kondisi lingkungan, dimana tulang

    24

  • terletak. Mikroba mungkin dengan cepat merubah seluruh jaringan lunak dan

    tulang rawan, kadang dalam beberapa hari atau pun beberapa minggu. Jika mayat

    dikubur pada tempat atau bangunan yang tertutup, jaringan yang kering dapat

    bertahan sampai beberapa tahun. Pada iklim panas mayat yang terletak pada

    tempat yang terbuka biasanya menjadi tinggal rangka pada tahun-tahun pertama,

    walaupun tendon dan periosteumnya mungkin masih bertahan sampai lima tahun

    atau lebih.14

    Secara kasar perkiraan lamanya kematian dapat dilihat dari keadaan tulang

    seperti :1

    1. Dari Bau Tulang

    Bila masih dijumpai bau busuk diperkirakan lamanya kematian kurang dari 5

    bulan. Bila tidak berbau busuk lagi kematian diperkirkan lebih dari 5 bulan.

    2. Warna Tulang

    Bila warna tulang masih kekuning-kuningan dapat diperkirakan kematian

    kurang dari 7 bulan. Bila warna tulang telah berwarna agak keputihan

    diperkirakan kematian lebih dari 7 bulan.

    3. Kekompakan Kepadatan Tulang

    Setelah semua jaringan lunak lenyap, tulang-tulang yang baru mungkin

    masih dapat dibedakan dari tulang yang lama dengan menentukan kepadatan

    dan keadaan permukaan tulang. Bila tulang telah tampak mulai berpori-pori,

    diperkirakan kematian kurang dari 1 tahun. Bila tulang telah mempunyai

    pori-pori yang merata dan rapuh diperkirakan kematian lebih dari 3 tahun.

    Keadaan diatas berlaku bagi tulang yang tertanam di dalam tanah. Kondisi

    penyimpanan akan mempengaruhi keadaan tulang dalam jangka waktu tertentu

    misalnya tulang pada jari-jari akan menipis dalam beberapa tahun bahkan sampai

    puluhan tahun jika disimpan dalam ruangan.14

    Tulang baru akan terasa lebih berat dibanding dengan tulang yang lebih tua.

    Tulang-tulang yang baru akan lebih tebal dan keras, khususnya tulang- tulang

    25

  • panjang seperti femur. Pada tulang yang tua, bintik kolagen yang hilang akan

    memudahkan tulang tersebut untuk dipotong. Korteks sebelah luar seperti pada

    daerah sekitar rongga sumsum tulang, pertama sekali akan kehilangan stroma,

    maka gambaran efek sandwich akan kelihatan pada sentral lapisan kolagen pada

    daerah yang lebih rapuh. Hal ini tidak akan terjadi dalam waktu lebih dari sepuluh

    tahun, bahkan dalam abad, kecuali jika tulang terpapar cahaya matahari dan

    elemen lain. Merapuhnya tulang-tulang yang tua, biasanya kelihatan pertama

    sekali pada ujung tulang-tulang panjang, tulang yang berdekatan dengan sendi,

    seperti tibia atau trochanter mayor dari tulang paha. Hal ini sering karena lapisan

    luar dari tulang pipih lebih tipis pada bagian ujung tulang dibandingkan dengan di

    bagian batang, sehingga lebih mudah mendapat paparan dari luar. Kejadian ini

    terjadi dalam beberapa puluh tahun jika tulang tidak terlindung, tetapi jika tulang

    tersebut terlindungi, kerapuhan tulang akan terjadi setelah satu abad. Korteks

    tulang yang sudah berumur, akan terasa kasar dan keropos, yang benar-benar

    sudah tua mudah diremukkan ataupun dapat dilobangi dengan kuku jari.14

    a. Tes Fisika

    Seperti pemeriksaan gambaran fisik dari tulang, fluoresensi cahaya ultra

    violet dapat menjadi suatu metode pemeriksaan yang berguna. Jika batang tulang

    dipotong melintang, kemudian diamati ditempat gelap, dibawah cahaya ultra

    violet, tulang-tulang yang masih baru akan memancarkan warna perak kebiruan

    pada tempat pemotongan. Sementara yang sudah tua, lingkaran bagian luar tidak

    berfluorosensi sampai ke bagian tengah. Dengan pengamatan yang baik akan

    terlihat bahwa daerah tersebut akan membentuk jalan keluar dari rongga sumsum

    tulang. Jalan ini kemudian pecah dan bahkan lenyap, maka semua permukaan

    pemotongan menjadi tidak berfluoresensi. Waktu untuk terjadinya proses ini

    berubah-ubah, tetapi diperkirakan efek fluoresensi ultra violet akan hilang dengan

    sempurna kira-kira 100 -150 tahun. Tes fisika yang lain adalah pengukuran

    kepadatan dan berat tulang, pemanasan secara ultra sonik dan pengamatan

    26

  • terhadap sifat-sifat yang timbul akibat pemanasan pada kondisi tertentu. Semua

    kriteria ini bergantung pada berkurangnya stroma organik dan pembentukan dari

    kalsifikasi tulang seperti pengeroposannya.14

    Garnbar I : a. Tulang berumur 3 -80 tahun. Kelihatan permukaan

    pemotongan tulang meman carkan warna perak kebiruan

    pada seluruh pemotongan.

    b. Setelah satu abad atau lebih sisa fluoresensi mengerut ke

    pusat sumsum tulang.

    c. Sebelum fluoresensi menghilang dengan sempurna pada

    abad berikutnya.14

    b. Tes Serologi

    Tes yang positif pada pemeriksaan hemoglobin yang dijumpai pada

    pemeriksaan permukaan tulang ataupun pada serbuk tulang, mungkin akan

    memberikan pernyataan yang berbeda tentang lamanya kematian tergantung pada

    kepekaan dari tehnik yang dilakukan. penggunaan metode cairan peroksida yang

    hasilnya positif, diperkirakan lamanya kematian sekitar 100 tahun. Aktifitas

    27

  • serologi pada tulang akan berakhir dengan cepat pada tulang yang terdapat di

    daerah berhawa panas.14

    Pemeriksaan dengan memakai reaksi Benzidin dimana dipakai campuran

    Benzidin peroksida. Jika reaksi negatif penilaian akan lebih berarti. Jika reaksi

    positif menyingkirkan bahwa tulang masih baru. Reaksi positif, diperkirakan

    umur tulang saat kematian sampai 150 tahun. Reaksi ini dapat dipakai pada tulang

    yang masih utuh ataupun pada tulang yang telah menjadi serbuk.14

    Aktifitas Immunologik ditentukan dengan metode gel difusion technique

    dengan anti human serum.

    Serbuk tulang yang diolesi dengan amoniak yang konsentrasinnya rendah,

    mungkin akan memberi reaksi yang positif dengan serum anti human seperti

    reagen coombs, lama kematian kira-kira 510 tahun, dan ini dipengaruhi kondisi

    lingkungan.14

    c. Tes Kimia

    Tes Kimia dilakukan dengan metode mikro-Kjeld-hal dengan cara

    mengukur pengurangan jumlah protein dan nitrogen tulang. Tulang-tulang yang

    baru mengandung kira-kira 4,5 % nitrogen, yang akan berkurang dengan cepat.

    Jika pada pemeriksaan tulang mengandung lebih dari 4 % nitrogen, diperkirakan

    bahwa lama kematian tidak lebih dari 100 tahun, tetapi jika tulang mengandung

    kurang dari 2,4 %, diperkirakan tidak lebih dari 350 tahun. Penulis lain

    menyatakan jika nitrogen lebih besar dari 3,5 gram percentimeter berarti umur

    tulang saat kematian kurang dari 50 tahun, jika Nitrogen lebih besar dari 2,5 per

    centimeter berarti umur tulang atau saat kematian kurang dari 350 tahun.14

    Inti protein dapat dianalisa, dengan metode Autoanalisa ataupun dengan

    Cromatografi dua dimensi. Tulang segar mengandung kira-kira 15 asam amino,

    terutama jika yang diperiksa dari bagian kolagen tulang. Glisin dan Alanin adalah

    yang terutama. Tetapi Fralin dan Hidroksiprolin merupakan tanda yang spesifik

    jika yang diperiksa kolagen tulang. Jika pada pemeriksaan Fralin dan

    Hidroksiprolin tidak dijumpai, diperkirakan lamanya kematian sekitar 50 tahun.

    28

  • Bila hanya didapatkan Fralin dan Hidroksiprolin maka perkiraan umur saat

    kematian kurang dari 500 tahun. Asam amino yang lain akan lenyap setelah

    beratus tahun, sehingga jika diamati tulang-tulang dari jaman purbakala akan

    hanya mengandung 4 atau 5 asam amino saja. Sementara itu ditemukan bahwa

    Glisin akan tetap bertahan sampai masa 1000 tahun. Bila umur saat kematian

    kurang dari 70 -100 tahun, akan didapatkan 7 jenis asam amino atau lebih.14

    Jadi banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan membusuknya tulang,

    disamping jenis tulang itu sendiri mempengaruhi. Tulang-tulang yang tebal dan

    padat seperti tulang paha dan lengan dapat bertahan sampai berabad-abad,

    sementara itu tulang-tulang yang kecil dan tipis akan hancur lebih cepat.

    Lempengan tulang tengkorak, tulang-tulang kaki dan tulang-tulang tangan, jari-

    jari dan tulang tipis dari wajah akan membusuk lebih cepat, seperti juga yang

    dialami tulang-tulang kecil dari janin dan bayi.14

    IV.KESIMPULAN

    29

  • Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis,

    kematian merupakan suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ

    internal tubuh terhenti. Dikenal beberapa istilah kematian, yaitu mati somatis,

    mati seluler, mati serebral, dan mati batang otak. Mati somatis (mati klinis) terjadi

    akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf

    pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan, yang menetap. Mati seluler

    adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul akibat terhentinya

    penggunaan oksigen serta metabolisme normal sel dan jaringan.1

    Bila seseorang meninggal dunia maka siklus oksigen akan terhenti , tubuh

    akan mengalami berbagai perubahan jaringan yang disebut perubahan awal

    kematian atau tanda kematian tidak pasti dimana susunan saraf pusat akan

    mengalami kemunduran dengan cepat ini akan menyebabkan perubahan pada

    tubuh menjadi insensibel, reflek cahaya dan reflek kornea hilang, aliran darah,

    gerakan nafas berhenti, kulit pucat dan otot mengalami relaksasi. Setelah beberapa

    waktu akan timbul perubahan pasca mati yang memungkinkan diagnosis kematian

    lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa

    lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh pembusukan, mumifikasi dan

    adiposera, yang dapat membantu dalam penentuan waktu kematian.1,3,7

    Selain itu, terdapat juga metode penentuan cara kematian terkini yaitu,

    berdasarkan entomologi forensik, humor vitreus, pengosongan isi lambung,

    pertumbuhan rambut dan penelitian tulang.Namun, walaupun dimanfaatkan

    semua saranan yang ada, penentuan saat kematian yang tepat adalah tidak

    mungkin hanya untuk memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan.13

    30

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Howard C.,Adelman.M.Establishing The Time of Death in : Forensic Medicine. New York :Infobase Publishing : 2007. p.20-26.

    2. Morgan,C.,Nokes, LDM, et al. Postmortem Changes and Determination of The Time of Death. Forensic Science International (1988) Vol. 39 No. 1, p. 89-95.

    3. Dix, J., Graham, M. Time of Death, Decomposition and Identification An Atlas. New York: CRC Press LLC: 2000. p. 10-27

    4. Dix, J., Calaluce, R. Rigor Mortis in : Guide to Forensic Pathology. New York: CRC Press: 2001. p. 15-25.

    5. Shepherd, R. The Medical Aspects of Death In : Shepherd R. Simpsons Forensic Medicine 12th Edition. London : Arnold : 2003. p. 27-8

    6. Pounder, DJ. Lecture Notes Postmortem Changes and Time of Death. Department of Forensic Medicine University of Dundee. 1995.

    7. Cox, WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. New York: Forensic Science International: 2009.

    8. Shkrum, MJ., Ramsay, DA. Postmortem Changes The Great Pretenders in: Forensic Pathology of Trauma Common Problems for The Pathologist. New Jersey: Humana Press: 2002. p. 23-47.

    9. Indriati Etty. Mati: tinjauan klinis dan antropologi forensik [homepage on the internet] No date [cited 2011 oktober 02] Available from URL : http://www.freewebs.com/dekomposisi_posmortem/dekomposisi.htm

    10. M. Algozi Agus, Tanatologi [homepage on the internet] No date [cited 2011 oktober 02] Available from URL : http://www. wordpress.com.

    11. Nurwidayati.A, Penerapan Entomologi Dalam Bidang Kedokteran : Jurnal Vektor Penyakit,Vol III No.2. Sulawesi Tengah :2009. p55-59.

    12. Halfian , Tanatologi [homepage on the internet] No date [cited 2011 oktober 02] Available from URL: http://medicinestuffs.com/2010/06/tanatologi.html

    13. Ferryal basbet, Perkiraan saat mati [homepage on the internet] No date [cited 2011 Oktober 04] Available from URL : http://www.freewebs.com/forensicpathology/

    31

    http://www.freewebs.com/forensicpathology/http://medicinestuffs.com/2010/06/tanatologi.htmlhttp://www.freewebs.com/dekomposisi_posmortem/dekomposisi.htm

  • 14. Ritongga Mistar: Penentuan Lama kematian Dilihat Dari Keadaan Tulang; USU Digital Library, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.

    32