penentuan struktur dan besar tarif trans · pdf filebiaya variabel memperhitungkan biaya bahan...
TRANSCRIPT
Dudi Budiman Penentuan Struktur dan Besar Tarif Trans Metro Bandung Koridor Jalan Soekarno-Hatta Berdasarkan Pola Pergerakan Dan Ability to Pay Masyarakat Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 20 No. 3, Desember 2009, hlm. 151 - 166
151
PENENTUAN STRUKTUR DAN BESAR TARIF TRANS METRO BANDUNG KORIDOR JALAN SOEKARNO HATTA BERDASARKAN POLA PERGERAKAN
DAN KEMAMPUAN MEMBAYAR MASYARAKAT
Dudi Budiman
Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung Labtek IX A, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132
Abstrak
Pemerintah Daerah Kota Bandung mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan sistem angkutan umum massal yaitu Trans Metro Bandung (TMB) yang akan beroperasi dengan trayek Cibiru-Cibeureum melewati Jalan Soekarno Hatta dalam rangka mengurangi kemacetan di ruas jalan tersebut. TMB nantinya akan dioperasikan oleh suatu badan konsorsium dari pengusaha-pengusaha angkutan umum di Kota Bandung namun tetap milik pemerintah daerah, sehingga keuntungan maupun kerugian yang dialami oleh konsorsium tersebut akan ditanggung oleh pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar dan struktur tarif buslane sesuai dengan biaya operasional kendaraan buslane, karakteristik pergerakan serta kemampuan membayar masyarakat di area sekitar jalur buslane Cibiru – Cibeureum yang melewati Jalan Soekarno-Hatta.. Studi ini mempertimbangkan penentuan besar dan struktur tarif dengan melihat pola pergerakan masyarakat,kemampuan membayar masyarakat (ATP), serta kelayakan penerapan tarif berdasarkan net present value (NPV) agar tarif yang dihasilkan menguntungkan penyedia jasa tapi juga mendekati (terjangkau) ATP masyarakat. Kata kunci: penentuan tarif, biaya operasional kendaraan (BOK), net present value (NPV), pola pergerakan, dan kemampuan membayar masyarakat (ATP)
Abstract
Local Government of City of Bandung issued a policy to develop a mass transit system called Trans Metro Bandung (TMB) which will operate the route Cibiru-Cibeureum through Jalan Soekarno-Hatta in order to reduce traffic jams on the roads. TMB will be operated by a consortium of agencies from the public transport entrepreneurs in Bandung but still owned by local governments, so the profits or losses suffered by the consortium will be borne by local governments. This study aims to determine the rate and structure of buslane tariff accordance with the buslane vehicle operating costs, the characteristics of movement and ability to pay people in the area around the track buslane Cibiru - Cibeureum through Soekarno-Hatta Road. This study consider the determination of the tariff structure by looking at patterns of people movement, the society ability to pay (ATP), as well as the feasibility of applying the rate based on net present value (NPV) so the resulting tariff not only benefit service providers but also close to (affordable) ATP community . Keywords: determination of tariffs, vehicle operating costs (BOK), net present value (NPV), movement patterns, and the ability to pay (ATP)
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
152
1. Pendahuluan
Kota Bandung merupakan salah satu kota yang
mengalami perkembangan pesat baik dilihat
dari pertumbuhan jumlah penduduk, laju
pertumbuhan ekonomi maupun perubahan
guna lahan. Hal ini disebabkan fungsi kota
yang diantaranya sebagai pusat pemerintahan
Propinsi Jawa Barat, pusat pendidikan, serta
Pusat Kegiatan Nasional yang tercantum dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW)
Propinsi Jawa Barat 2010 sehingga
memerlukan dukungan sektor transportasi
untuk memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan tersebut. Namun, ternyata
perbandingan tingkat penambahan ruas jalan
dan jumlah kendaraan tiap tahun di Kota
Bandung tidak seimbang. Hal ini
menyebabkan penurunan kinerja jalan yang
berdampak pada terjadinya kemacetan.
Jalan Soekarno-Hatta merupakan salah satu
jalan arteri primer di Kota Bandung yang
mengalami penurunan kinerja jalan atau
kemacetan khususnya di ruas Jalan Sudirman-
Kopo, Kopo-Moh.Toha, dan Jalan Moh. Toha-
Kiara Condong (Gunarto, 2002). Hal ini akibat
pergerakan yang tinggi di Jalan Soekarno
Hatta sehingga jumlah kendaraan yang berada
di jalan tersebut melebihi kapasitas atau daya
tampung. Meningkatnya jumlah kepemilikan
kendaraan pribadi di perkotaan tidak dapat
diimbangi dengan pembangunan jalan baru
yang terus menerus maupun pelebaran jalan.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya masalah
kemacetan, terbatasnya ruang jalan,
kelangkaan lahan parkir, masalah lingkungan
seperti pencemaran udara, dan lainnya. Salah
satu alternatif untuk memecahkan masalah
tersebut adalah dengan penggunaan angkutan
umum (Warpani, 2002).
Terjadinya penurunan kinerja jalan atau
kemacetan akibat tidak seimbangnya jumlah
kendaraan dengan infrastruktur jalan, agar
kemacetan di Jalan Soekarno-Hatta dapat
teratasi maka dikembangkan sistem
transportasi umum massal berkapasitas
banyak. Untuk itu, Pemerintah Kota Bandung
berencana menggunakan moda bus dengan
lajur khusus (buslane) yaitu Trans Metro
Bandung yang diharapkan rencana tersebut
dapat direalisasikan pada tahun 2009.
Pengoperasian buslane ini mengacu pada
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 2 Tahun
2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RT/RW) yaitu mengupayakan penyediaan
angkutan umum masal cepat berbasis rel atau
jalan raya pada koridor – koridor utama (jalur
primer).
Penentuan tarif merupakan salah satu
komponen penting yang perlu diperhatikan
dalam pengoperasian angkutan umum
penumpang (termasuk buslane) karena
pendapatan penyedia jasa sangat bergantung
kepada tarif. Diharapkan dengan pendapatan
yang memadai penyedia jasa, dalam hal ini
pemerintah daerah,akan memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat
(Dian, 1993). Oleh karena itu, perlu
diperhatikan penentuan tarif yang “sesuai”.
Tarif yang “sesuai” disini adalah tarif yang
tidak merugikan bagi penyedia jasa dengan
memperhatikan biaya operasional kendaraan
yang dikeluarkan sehingga pemerintah mampu
mempertahankan dan meningkatkan pelayanan
jasa tersebut serta mempertimbangkan
kemampuan membayar (ability to pay) dari
masyarakat, khususnya yang berada di sekitar
rute buslane, yang akan menjadipengguna
potensial dari moda buslane tersebut.
Selain besarnya tarif yang akan diterapkan,
juga sebaiknya memperhatikan struktur tarif
berdasarkan karakteristik pergerakan
masyarakat sekitar rute buslane agar
masyarakat yang menggunakan moda tersebut
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
153
mendapatkan tarif yang adil. Struktur tarif
yang menjadi alternatif dalam penentuan tarif
angkutan ini meliputi tarif per trip dimana tarif
ditentukan tidak berdasarkan jarak (jauh-
dekatnya) serta tarif berdasarkan jarak (per
km), yang akan dijelaskan secara rinci pada
bagian selanjutnya. Sehingga studi ini
bertujuan untuk mengetahui besar dan struktur
tarif buslane sesuai dengan biaya operasional
kendaraan buslane, karakteristik pergerakan
serta kemampuan membayar masyarakat di
area sekitar jalur buslane Cibiru – Cibeureum
yang melewati Jalan Soekarno-Hatta.
2. Teori Penentuan Tarif Angkutan
Tarif adalah harga jasa angkutan yang harus
dibayar oleh pengguna jasa, baik melalui
mekanisme perjanjian sewa menyewa, tawar
menawar, maupun ketetapan pemerintah
(Warpani, 2002). Dari definisi mengenai tarif
jasa angkutan tersebut dapat diketahui bahwa
ada beberapa pihak yang berkepentingan
dalam penentuan tarif, yaitu penyedia jasa
angkutan (operator), pengguna jasa angkutan
(user) serta pemerintah yang bertindak sebagai
regulator atau pengatur. Tarif merupakan
sumber pendapatan terbesar bagi penyedia jasa
angkutan (swasta) karena dari tarif yang
ditetapkan tersebut, penyedia jasa angkutan
dapat menjaga kelangsungan usahanya. Pada
umumnya penyedia jasa angkutan dapat terdiri
dari badan-badan usaha, baik berupa usaha
perseroan, badan usaha dalam bentuk badan
hukum yang resmi, maupun Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) (Stepantoro dan
Silviani, 1999). Pengguna jasa angkutan (user)
adalah Pengguna jasa angkutan (user) adalah
setiap lapisan masyarakat yang memanfaatkan
jasa penyedia angkutan untuk melakukan
perpindahan dari satu tempat ke tempat lain
(Stepantoro dan Silviani, 1999).
Pengambilan keputusan dalam kebijakan tarif
akan menghasilkan dua hal yaitu, pertama
dihasilkan tingkatan/besarnya tarif yang akan
dikenakan terhadap pengguna jasa angkutan
yang biasanya pemerintah menetapkan tarif
dasar batas bawah dan tarif dasar batas atas
untuk melindungi kelangsungan usaha
penyedia jasa dan mengakomodasi
kepentingan masyarakat / pengguna jasa
angkutan. Sementara yang kedua akan
dihasilkan struktur tarif angkutan yang
merupakan cara bagaimana tarif tersebut
dibayarkan. Struktur tarif tersebut akan
diuraikan sebagai berikut (Yuanita, 2000):
a. Tarif seragam
Dalam struktur tarif seragam (tarif per trip)
ini, tarif dikenakan tanpa memperhatikan
jarak yang dilalui oleh pengguna jasa. Secara
umum, struktur tarif ini diterapkan dimana
panjang perjalanan mayoritas penumpang
sama. Struktur tarif seragam bermanfaat
untuk diterapkan pada daerah yang
pelayanan angkutan umumnya terbatas dan
pada daerah yang kawasan permukimannya
sebagian besar mengelilingi pusat kota.
b. Tarif berdasarkan jarak
Perbedaan tarif pada struktur ini berdasarkan
tarif kilometer, tarif tahapan dan tarif zona.
Tarif kilometer. Struktur tarif ini
bergantung pada jarak yang ditempuh,
dimana penetapan besarnya tarif
dilakukan dengan pengalian tarif tetap
per kilometer dengan panjang perjalanan
yang ditempuh oleh setiap
penumpangnya.
Tarif bertahap. Struktur tarif bertahap
dihitung juga oleh jarak yang ditempuh
oleh penumpang. Namun menggunakan
tahapan di dalam jarak yang ditempuh
oleh penumpang. Tahapan adalah suatu
penggal dari rute yang jaraknya antara
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
154
satu atau lebih tempat pemberhentian
sebagai dasar perhitungan tarif.
Tarif zona. Struktur tarif ini merupakan
bentuk penyederhanaan dari tarif
bertahap dimana daerah pelayanan
angkutan umum dibagi ke dalam zona-
zona.
Dari kedua struktur tarif tersebut dapat
diketahui bahwa pola pergerakan penumpang
atau masyarakat berpengaruh dalam
penerntuan struktur tarif termasuk dalam
struktur tarif yang akan diterapkan buslane
Trans Metro Bandung. Pola pergerakan
mayoritas masyarakat di area sekitar rute
buslane akan mempengaruhi struktur tarif yang
akan diterapkan dimana pada studi ini akan
dibandingkan antara struktur tarif per trip
(seragam) dan struktur tarif per km
(berdasarkan jarak). Hal ini dilakukan agar
didapatkan struktur tarif yang adil menurut
pola pergerakan mayoritas masyarakat di area
sekita rute buslane sebagai calon pengguna
potensial sehingga masyarakat beralih
menggunakan moda angkutan umum masal.
Metode Penentuan Tarif
Dalam kebijakan tarif, selain menentukan
struktur tarif, hal lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkatan atau besarnya tarif yang akan
dikenakan. Besarnya tarif angkutan yang
ditetapkan seharusnya mencerminkan
kepentingan masyarakat terutama yang bersifat
captive terhadap angkutan umum (hal ini
karena sebagian besar pengguna jasa angkutan
umum adalah captive users), meningkatkan
kinerja angkutan umum agar choice users
bersedia beralih menggunakan moda angkutan
umum, dan memberikan pendapatan yang
cukup bagi penyedia jasa. Tarif yang
ditetapkan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut harus dilandasi
perhitungan biaya operasi kendaraan dan
sesuai dengan kemampuan membayar
masyarakat (ability to pay/ ATP).
Terdapat dua cara dalam menetapkan tarif,
yaitu berdasarkan Biaya Operasi Kendaraan
atau BOK (cost of service pricing) dan
berdasarkan nilai jasa angkutan bagi pemakai
angkutan (value of service pricing).
Perhitungan BOK menghasilkan biaya operasi
jasa angkutan dimana tarif yang terbentuk, dari
biaya operasi tersebut, merupakan tingkat tarif
terendah (minimum) dimana penyedia jasa
angkutan tidak bersedia menawarkan jasa
angkutannya. Untuk memudahkan perhitungan
biaya operasi satuan ini, dibuat
pengelompokan biaya yang sesuai dengan
sifatnya, yaitu: biaya tetap (fixed cost), biaya
variabel (variable cost), biaya umum (common
cost), dan biaya khusus (special cost) (Salim,
1993). Termasuk dalam kelompok biaya tetap,
antara lain biaya penyusutan kendaraan,
bangunan terminal dan biaya fasilitas angkutan
lainnya. Biaya tersebut hanya terpengaruh jika
dalam jangka panjang terjadi perubahan
kapasitas angkutan.
Biaya variabel memperhitungkan biaya bahan
bakar, tenaga kerja, asuransi, peralatan dan
lainnya yang berhubungan dengan kegiatan
operasi. Biaya ini berubah mengikuti
perubahan jumlah jasa angkutan yang
dihasilkan oleh penyedia jasa tersebut.
Sedangkan biaya umum timbul jika diberikan
pelayanan tertentu kepada barang-barang
pengiriman, seperti pengepakan dan ruang
pendingin (Yuanita, 2000). Biaya khusus
terjadi karena diberikannya pelayanan khusus
yang biasanya berada di terminal. Biaya ini
dapat diketahui dan besarnya tidak
terpengaruhi kegiatan yang dilakukan.
Penetapan tarif berdasarkan nilai jasa angkutan
(Value of Service Pricing) disebut juga sebagai
“multiple price strategies”. Tinggi rendahnya
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
155
tarif ditentukan oleh nilai yang diberikan oleh
pemakai jasa angkutan. Oleh karena itu, dalam
menghitung tarif ini yang menjadi dasar adalah
utilitas angkutan umum bagi pengguna jasa
angkutan tersebut. Jika pengguna jasa
memberikan nilai yang tinggi atas jasa
angkutan maka tingkat tarif akan tinggi.
Demikian sebaliknya, jika nilai yang diberikan
rendah maka tingkat tarif akan menjadi rendah.
Tinggi rendahnya nilai tersebut dapat diketahui
dari elastisitas permintaan jasa angkutan
tersebut.
Metode Dalam Analisis Keuangan
Alokasi modal yang paling efisien merupakan
salah satu kegiatan yang penting dalam
melakukan suatu investasi. Tindakan ini
berkaitan dengan kemampuan pendanaan
perusahaan atau badan tersebut dalam kegiatan
yang digelutinya dalam jangka panjang.
Biasanya, investasi tersebut terlebih dahulu
ditinjau dengan menggunakan metode analisis
keuangan atau finansial yang didasarkan pada
perbandingan antara manfaat (benerfit/B) dan
biaya (cost/C) di mana dapat digunakan
metode-metode sebagai berikut (Banny, 2009):
a. Undiscounted Criterion, yaitu pengukuran
kelayakan tanpa mempertimbangkan apa
yang akan diperoleh di kemudian hari
dibandingkan dengan nilai saat ini
sehingga bagi proyek-proyek yang
mempunyai umur ekonomis (economic
life) yang panjang pada umumnya 5
sampai 20 tahun. Pengujian-pengujian
yang didasarkan pada metode
undiscounted criterion ini terdiri dari
rangking by inspection dan payback
period. Metode ranking by inspection
digunakan dalam menyimpulkan
kelayakan investasi berdasarkan selisih
antara gross benefit dengan operation dan
maintenance (O dan M). Sedangkan
metode payback period digunakan dalam
menyimpulkan kelayakan investasinya
berdasarkan pada pelunasan biaya
investasi (cost) oleh net benefit.
b. Discounted Criterion, yaitu pengujian
untuk mengetahui sejauh mana nilai
manfaat (benefit) dan biaya (cost) selama
umur ekonomis proyek (in the future)
dinilai saat ini (at the present) diukur
dengan nilai uang sekarang (Present
Value).
Studi ini menggunakan metode net present
value untuk mendapatkan jenis tarif yang layak
diterapkan dari Tarif 1 dan Tarif 2 bagi
penyedia jasa namun paling mendekati ATP
masyarakat agar penyedia jasa Trans Metro
Bandung bisa mempertahankan pelayanan jasa
angkutan TMB dalam pengoperasiannya
kemudian struktur tarif seperti apa serta berapa
besar tarif tersebut yang dapat mendekati
kebutuhan atau keinginan masyarakat sebagai
calon pengguna Trans Metro Bandung.
3. Karakteristik Masyarakat
Yang dimaksud dengan karakteristik
pergerakan dan kemampuan masyarakat dalam
melakukan pergerakan di wilayah studi adalah
pergerakan di area–area sekitar koridor
rencana pembangunan buslane Trans Metro
Bandung di Jalan Soekarno Hatta Bandung dan
karakteristik dari kemampuan masyarakat
untuk transportasi. Karakteristik pergerakan
meliputi pergerakan bekerja, pendidikan,
berbelanja, dan pergerakan lainnya (rekreasi,
olahraga, beribadah). Kemampuan membayar
masyarakat dibagi menjadi kemampuan
membayar masyarakat umum, kemampuan
membayar pelajar/ mahasiswa, dan
kemampuan membayar rata-rata keduanya.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
156
Karakteristik pergerakan tersebut dapat
diketahui bahwa pergerakan bekerja dan
pendidikan merupakan pergerakan yang rutin
menggunakan Jl. Soekarno Hatta (rata-rata
melakukan pergerakan 5 hari per minggu)
sehingga masyarakat yang bekerja serta
pelajar/mahasiswa merupakan golongan yang
berpotensi menggunakan TMB. Walaupun
masyarakat umum dan pelajar/mahasiswa
cenderung hanya melalui Jl. Soekarno-Hatta
dimana lokasi kegiatannya bukan di jalan
tersebut, namun dengan jarak penggunaan
jalan sebesar 2,9 Km untuk kedua jenis
pergerakan tersebut (rata-rata untuk seluruh
maksud pergerakan sebesar 2,5 Km) maka
potensi menggunakan TMB masih cukup
besar. Hal ini karena berdasarkan rute
pergerakan angkot sebagian besar cenderung
menggunakan Jalan Soekarno-Hatta dalam
ruas-ruas tertentu bahkan sebagian hanya
memotong Jl. Soekarno-Hatta. Berdasarkan
hasil survey, pengguna potensial TMB rata-
rata frekuensi pergerakan (trip) untuk
masyarakat umum, khususnya yang bekerja,
sebesar 2,3 per hari. Sementara rata-rata jarak
yang ditempuh seseorang untuk mencapai
lokasi tujuan sebesar 5,315385 Km per
hari.Selain itu, diketahui bahwa rata-rata biaya
yang dikeluarkan masyarakat umum untuk
transportasi per hari yaitu Rp. 5787,671
(dibulatkan menjadi Rp. 5800).
Kemampuan membayar masyarakat umum
untuk setiap perjalanan/pergerakan yang
dilakukan diperoleh dengan membagi biaya
transportasi setiap harinya dengan jumlah
perjalanan/ pergerakan yang dilakukan.
Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
transportasi setiap harinya adalah Rp. 5800,
sedangkan jumlah pergerakan/perjalanan setiap
harinya adalah 2,3 trip per hari. Hal ini berarti
kemampuan membayar masyarakat sebesar
Rp. 2500 per trip. Kemampuan membayar
masyarakat umum untuk setiap kilometer jarak
yang ditempuh diperoleh dengan membagi
besarnya kemampuan membayar per-trip
sebesar Rp. 2500 dengan panjang perjalanan
rata-rata yang dilakukan. Panjang perjalanan
rata-rata dari masyarakat umum sebesar 5,3
Km per trip. Maka kemampuan membayar
masyarakat umum per Km adalah Rp. 500
(dibulatkan karena pecahan uang terkecil yaitu
Rp. 50).
Dari hasil survey diketahui bahwa rata-rata
frekuensi pergerakan (trip) per hari sebesar 2,7
sementara rata-rata jarak yang ditempuh untuk
mencapai lokasi tujuan per hari untuk kalangan
pelajar/ mahasiswa yaitu 6,6 Km. Selain itu,
diketahui bahwa rata-rata biaya yang
dikeluarkan untuk transportasi per hari untuk
pelajar/mahasiswa sebesar Rp. 6177,57
(dibulatkan menjadi Rp. 6200). Oleh karena
itu, dengan cara yang sama dapat diketahui
kemampuan membayar pelajar/mahasiswa
yaitu sebesar Rp. 2300 per trip (dibulatkan),
sedangkan kemampuan membayar pelajar/
mahasiswa per Km adalah Rp. 350 (dibulatkan
karena pecahan uang terkecil yaitu Rp. 50).
Rata-rata jarak yang ditempuh oleh masyarakat
keseluruhan, baik pelajar/mahasiswa dengan
masyarakat umum (bekerja), adalah 6 Km per
trip. Sementara rata-rata biaya transportasi dan
jumlah trip per hari sebesar Rp. 6050 dan 2,5.
Oleh karena itu, didapatkan kemampuan
membayar per trip sebesar Rp. 2450 per trip
dan kemampuan membayar masyarakat
keseluruhan per km sebesar Rp. 450.
4. Pembiayaan Trans Metro Bandung
Biaya Operasional Kendaraan (BOK) dapat
dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
biaya langsung dan biaya tidak langsung.Biaya
langsung adalah biaya yang manfaatnya akan
dirasakan langsung oleh pengguna jasa.
Apabila kelompok biaya ini mengalami
perubahan akan langsung mempengaruhi
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
157
produk atau layanan yang dihasilkan. Biaya
tidak langsung adalah biaya yang manfaatnya
tidak secara langsung dirasakan pengguna jasa
tersebut. Untuk itu diperlukan data-data
produksi bis seperti pada tabel berikut
Pada Tabel I dapat dilihat bahwa jarak yang
ditempuh dalam satu hari sangat dipengaruhi
oleh frekuensi rit/ hari. Trans Metro Bandung
dengan trayek Cibiru-Cibeureum mempunyai
jarak tempuh mencapai 40 Km/ rit atau PP.
Sementara kapasitas penumpang dalam satu
kali perjalanan dari Cibiru sampai Cibeureum
(satu trip), dengan melihat pada SK Dirjen
Perhubungan Darat No. 687 tahun 2002
tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Angkutan Penumpang Umum di Wilayah
Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur,
dapat dihitung, sebagai contoh, sebesar 70%
dari total kapasitas atau daya angkut bus.
Tabel I Produksi Moda Angkutan Trans Metro
Bandung Per Bus Produksi Per Bus
Jumlah Satuan
Kapasitas/ daya angkut bus
36 Penumpang
Km tempuh/ rit 40 Km Frekuensi/ hari 10 rit Km tempuh/ hari ((1x2)+3%) 412 Km/hari Penumpang/ trip (70%x36) 25 Penumpang Penumpang/rit 50 Penumpang Penumpang/ hari 500 Penumpang Hari operasi/ bulan 30 Hari Km-Tempuh/ bulan ((3)x(6)) 12360 Km Penumpang/ bulan ((5)x(6)) 15000 Penumpang Km-Tempuh/ Tahun ((7)x12 bulan)
148320 Km/Tahun
Penumpang/ Tahun ((8)x12 bulan) 180000 Penumpang
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Biaya langsung diperoleh dengan
menjumlahkan komponen-komponen biaya
langsung yang telah dihitung sebelumnya.Dari
hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui
bahwa biaya langsung per bus per km yaitu
sebesar Rp. 2152,519989. Perhitungan masing-
masing komponen dapat dilihat pada Tabel II
di bawah ini.
Tabel II Perhitungan Biaya Langsung Per Bus
Komponen Biaya Jumlah
(Rupiah/bus-km) Persentase
Biaya kir 0.283172 0.013155349
Biaya asuransi penumpang
4.854369 0.225520272
Retribusi terminal 7.281553 0.338280408
Biaya AC 12.35814 0.574124497
Biaya asuransi kendaraan dan awak
18.75 0.87107205
Penambahan olie mesin
30.33981 1.409501699
Biaya cuci bus 48.54369 2.255202719
Biaya penggantian SC
52.14 2.422277157
Biaya PKB dan STNK
67.42179 3.132225998
Biaya service besar dan kecil
96.31667 4.474600336
Biaya overhoul 181.6 8.436623163
Biaya ban 240 11.14972224
Biaya penyusutan 244.8759 11.37624483
Biaya awak kendaraan
360.0324 16.72608683
Biaya bunga modal 252.5283 11.73175248
Biaya BBM 535.1942 24.86360998
Total 2152.52 100
Sumber: Hasil Perhitungan, 2008
Dari perhitungan biaya tidak langsung
sebelumnya, didapatkan hasil dalam satuan
rupiah/tahun untuk seluruh armada bus Trans
Metro Bandung dengan total biaya tidak
langsung (penjumlahan biaya pegawai non
awak kendaraan, biaya pengelolaan dan biaya
pengelolaan bus) sebesar Rp. 1.258.420.000
per tahun. Sementara jumlah armada Trans
Metro Bandung direncanakan sebanyak 39 bus
sehingga biaya tidak langsung per bus-km
didapatkan dengan membagi total biaya tidak
langsung dengan km tempuh/ tahun dari 39 bus
tersebut yang kemudian didapatkan hasil biaya
tidak langsung per bus-km sebesar Rp.
217,5511023 per bus-km.
Biaya pokok merupakan penjumlahan dari
biaya langsung dan biaya tidak langsung yang
menjadi dasar bagi pembentukan tarif. Biaya
pokok dari Trans Metro Bandung per bus-km
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
158
sebesar Rp. 2370,071091 per bus-km. Namun
biaya pokok tidak serta merta ditetapkan
menjadi tarif tetapi membutuhkan biaya
lainnya serta perhitungan lebih lanjut yang
melibatkan perkiraan jumlah penumpang serta
keuntungan yang ingin diperoleh oleh
perusahaan.
5. Tarif Trans Metro Bandung
Dari perhitungan sebelumnya, dapat diketahui
bahwa jumlah biaya pokok untuk Trans Metro
Bandung sebesar Rp. 2370,071091 per bus-
km. Penentuan tarif tidak lepas dari jumlah
penumpang yang menggunakan jasa Trans
Metro Bandung. Oleh karena itu, jumlah
penumpang yang akan digunakan dalam
penentuan tarif Trans Metro Bandung dalam
studi ini menggunakan perkiraan jumlah
penumpang yang mengikuti SK Dirjen
Perhubungan Darat No. 687 tahun 2002 dari
kapasitas daya angkut bus (kapasitas bus Trans
Metro Bandung ± 36 penumpang, baik duduk
maupun berdiri). Selain itu, dengan
mempertimbangkan penentuan tarif yang
berbeda antara pelajar/ mahasiswa dan tarif
untuk masyarakat umum maka perhitungan
tarif pun akan dibagi pula menjadi perhitungan
tarif dimana masyarakat umum dan pelajar/
mahasiswa membayar tarif yang sama terkait
penerapan pembayaran tarif yang serupa di
sistem angkutan umum massal yang sudah ada
yaitu di Transjakarta dan perhitungan tarif
yang membedakan besarnya tarif untuk
pelajar/ mahasiswa dengan masyarakat umum.
Tarif I (tanpa dibedakan antara
masyarakat umum dan pelajar/mahasiswa)
Sebelum melakukan perhitungan tarif tersebut,
pertama harus diketahui terlebih dahulu jumlah
penumpang-trip, panjang perjalanan
penumpang dan jumlah penumpang-
kilometer.Penumpang-trip adalah jumlah
seluruh penumpang yang melakukan
perjalanan dengan menggunakan angkutan
umum tersebut dalam satu trip atau selama
angkutan bergerak dari satu titik asal (misal
dari Cibiru) ke titik tujuan (Cibeureum) (Dian,
1993).
i. Apabila menggunakan 70% dari kapasitas
bus yang memuat 36 penumpang,
didapatkan jumlah penumpang-trip sebesar
25.2 penumpang dengan penumpang per
hari sebesar 500 penumpang ( 25
penumpang/ trip x 20 trip/ hari).
ii. Untuk mengetahui jumlah penumpang-trip
yang membedakan antara pelajar/
mahasiswa dengan masyarakat umum,
maka perlu diketahui terlebih dahulu
perbandingan antara jumlah penumpang
masyarakat umum dan pelajar/mahasiswa.
Hal ini disebabkan adanya kebijakan
mengenai tarif yang untuk
pelajar/mahasiswa dengan masyarakat
umum. Dari hasil survey dapat diketahui
bahwa perbandingan jumlah penumpang
umum dan pelajar/ mahasiswa adalah
13:19. Dengan menggunakan jumlah
penumpang-trip sebesar 25 penumpang-
trip didapatkan jumlah penumpang
masyarakat umum-trip sebesar 10,15625
penumpang dan jumlah penumpang
pelajar/ mahasiswa-trip sebesar 14,84375
penumpang.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat
diketahui bahwa rata-rata panjang perjalanan
keseluruhan, dengan berbagai tujuan aktivitas
didapatkan nilai sebesar 2,5 Km. Selanjutnya
adalah mengetahui penumpang-kilometer.
Penumpang-kilometer adalah jumlah jarak
yang ditempuh, dalam satuan kilometer, oleh
seluruh penumpang angkutan umum dalam
satu trip (Dian, 1993). Nilai penumpang-
kilometer ini dapat dihitung dengan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
159
mengkalikan panjang perjalanan penumpang
dengan nilai penumpang-trip yang telah
diperoleh sebelumnya. Nilai penumpang-
kilometer, menggunakan jumlah penumpang-
trip sebesar 70% dari kapasitas bus, untuk
masyarakat umum sebesar 25 penumpang
sedangkan nilai penumpang-kilometer untuk
pelajar/ mahasiswa sebesar 37 penumpang.
Tarif per trip hanya mempertimbangkan rata-
rata jumlah penumpang untuk satu trip atau
satu perjalanan dari Trans Metro Bandung
(misal dari Cibiru dan berakhir di Cibeureum)
dari total kapasitas angkutan tanpa
memperhatikan jumlah penumpang yang naik
dan turun di antara Cibiru dan Cibeureum.
Perhitungan tarif per trip dilakukan sebagai
berikut:
Tabel III Tarif Dasar 1 Per Trip (Cibiru-Cibeureum)
Dengan Tingkat Keterisian Bus 70% Jumlah
Biaya pokok per bus-km Rp. 2370,071091
Biaya pokok per bus-trip ((1) x 20 trip) Rp. 47401,42183
Jumlah penumpang-trip (70% x daya angkut
bus dlm 1 trip)
25,2 penumpang
Tarif dasar ((2) : (3)) Rp. 1881,008803 ≈ Rp. 1900
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Tarif per km (antar halte) mempertimbangkan
rata-rata jumlah penumpang total dari titik asal
Trans Metro Bandung bergerak (misal Cibiru)
sampai titik tujuan (Cibeureum) yaitu
penumpang-kilometer sehingga panjang
perjalanan rata-rata dari penumpang serta
jumlah penumpang yang naik dan turun di
tengah perjalanan turut diperhitungkan.Oleh
karena itu, diperlukan nilai penumpang-
kilometer dan rata-rata panjang perjalanan
penumpang yang telah dijelaskan sebelumnya.
Perhitungan tarif per km dilakukan sebagai
berikut:
Tabel IV Tarif Dasar 1 Per Km dengan Tingkat
Keterisian Bus 70% Jumlah
Biaya pokok per bus-trip Rp. 47401,42183 Rata-rata panjang perjalanan penumpang
2,5 Km
Jumlah penumpang-trip 25,2 penumpang Jumlah penumpang-km dlm satu trip ((3)x(2))
63 Penumpang-km
Tarif dasar Rp. 752,4035211 ≈ Rp. 800
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui
bahwa tarif per trip lebih mahal dibandingkan
tarif per km.. Namun tarif per trip digunakan
untuk perjalanan dari Cibiru sampai
Cibeureum tanpa memperhatikan jarak
tempuh, sementara dengan tarif per km sebesar
Rp. 800, maka apabila akan bepergian dari
Cibiru-Cibeureum dengan melewati 16
halte/shelter dimana jarak antar halte ± 1 Km,
tarif yang harus dibayar sebesar Rp. 12800.
Agar didapatkan suatu alternatif tarif yang
mengakomodasi kepentingan penyedia jasa
maupun masyarakat sebagai calon pengguna,
perlu dilihat kisaran tarif yang mungkin terjadi
akibat perubahan tingkat keterisian bus.
Apabila menggunakan rata-rata kemampuan
membayar per trip dari masyarakat sebesar Rp.
2450 per trip dan per km sebesar Rp. 450,
maka besaran tarif dasar 1 per trip sampai
tingkat keterisian 60% dari perhitungan pada
Tabel VI yang dapat ditolerir.
Tabel V Tarif Dasar 1 Berdasarkan Potensi Tingkat
Keterisian Bus
Tingkat Keterisian
Tarif Dasar 1 (Rp.)
per trip per km
100% 1316.70616 526.682465
90% 1463.00685 585.202739
80% 1645.8827 658.353081
70% 1881.0088 752.403521
60% 2194.51027 877.804108
50% 2633.41232 1053.36493
Sumber: Hasil perhitungan Keterangan: = Tarif dasar berada pada kemampuan membayar
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
160
Pada Gambar 1 dapat dilihat alternatif tarif 1
dengan tingkat keterisian 70% pada tarif per
km dan per trip. Dari gambar tersebut dapat
diketahui bahwa dengan jarak rata-rata
masyarakat menggunakan Jalan Soekarno-
Hatta sebesar 2,5 Km yang didapatkan dari
karakteristik pergerakannya (untuk semua
tujuan kegiatan) maka diasumsikan masyarakat
akan lebih banyak bergerak dari halte 1
menuju antara halte 3 atau halte 4 (jarak antar
halte ± 1 Km). Apabila tarif per km maka
untuk mencapai halte 3 dari halte 1,
masyarakat perlu membayar Rp. 1600 dan Rp.
2400 untuk mencapai halte 4. Sementara tarif
per trip, apabila masyarakat hendak menuju
tarif 3 dan 4 perlu membayar Rp. 1900. Hal ini
menunjukkan bahwa tarif per km akan lebih
tepat untuk diterapkan apabila masyarakat
menggunakan TMB hanya dari halte 1 menuju
halte 3 sementara apabila masyarakat hendak
bepergian dari halte 1 menuju halte 4 dan
seterusnya akan lebih murah menggunakan
tarif per trip karena struktur tarif ini lebih
mengakomodasi pergerakan jarak jauh.
Gambar 1 Tarif Dasar 1 Berdasarkan Tingkat Keterisian
70%
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Tarif 2 (dibedakan antara tarif untuk
pelajar/ mahasiswa dengan masyarakat
umum)
Perhitungan tarif ini mirip dengan perhitungan
untuk tarif berdasarkan tingkat keterisian 70%
dari daya angkut bus pada tarif 1. Hanya
perhitungan pada bagian ini, jumlah
penumpang yang akan dibebani oleh biaya
pokok bus akan dibedakan antara pelajar/
mahasiswa dan masyarakat umum seperti pada
perhitungan tarif bagian sebelumnya.
Perhitungan tarif per trip dengan menggunakan
tingkat keterisian 70% dan dibedakan antara
pelajar/ mahasiswa dengan masyarakat umum
adalah sebagai berikut:
Tabel VI Tarif Dasar 2 Per Trip Untuk
Pelajar/Mahasiswa dan Umum dengan Tingkat Keterisian 70%
Jumlah Biaya pokok per bus-trip Rp. 47401,42183 Jumlah penumpang-trip (70% x daya angkut bus:36)
25,2 penumpang
Jumlah penumpang-trip masyarakat umum ((13/32)x(2))
10,2375 penumpang
Jumlah penumpang-trip pelajar/ mahasiswa ((19/32)x(2))
14,9625 penumpang
Tarif pelajar/mahasiswa = ½ tarif masyarakat umum. Jumlah penanggung beban biaya untuk pelajar/mahasiswa (½ x (4))
7,48125 penumpang
Tarif dasar untuk masyarakat umum ((1):((3)+(5))
Rp. 2675,212519 ≈ Rp. 2700
Tarif dasar untuk pelajar/ mahasiswa ((6):2)
Rp. 1337,60626 ≈ Rp. 1350
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Tabel VII Tarif Dasar 2 Per Km Untuk Pelajar/Mahasiswa
dan Umum Dengan Tingkat Keterisian 70% Jumlah Biaya pokok per bus-trip Rp. 47401,42183 Rata-rata panjang perjalanan penumpang
2,5 Km
Jumlah penumpang-trip 25,2 penumpang Jumlah penumpang-trip masyarakat umum
10,2375 penumpang
Jumlah penumpang-trip pelajar/ mahasiswa
14,9625 penumpang
Jumlah penumpang umum-km per trip ((4)x(2))
25,59375 penumpang
Jumlah penumpang pelajar/mahasiswa-km per trip ((5)x(2))
37,40625 penumpang
Tarif pelajar/mahasiswa = ½ tarif masyarakat umum. Jumlah penanggung beban biaya untuk pelajar/mahasiswa (½ x (7))
18,703125 penumpang
Tarif dasar untuk masyarakat umum ((1):((6)+(8))
Rp. 1070,085008 ≈ Rp. 1100
Tarif dasar untuk pelajar/ mahasiswa ((9):2)
Rp. 535,0425039 ≈ Rp. 550
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
161
Seperti yang dilakukan pada tarif 1, maka
dihitung pula alternatif tarif 2 yang mungkin
terjadi akibat perubahan tingkat keterisian bus
per trip.Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat
pada Tabel VIII.
Tabel VIII Tarif Dasar 2 Berdasarkan Potensi Tingkat
Keterisian Bus Per Trip
Tingkat Keterisian
Tarif Dasar 2 (Rp.)
per trip per km
Umum Pelajar/
mahasiswa Umum
Pelajar/ mahasiswa
100% 1872.649 936.3244 749.0595 374.5298
90% 2080.721 1040.36 832.2883 416.1442
80% 2340.811 1170.405 936.3244 468.1622
70% 2675.213 1337.606 1070.085 535.0425
60% 3121.081 1560.541 1248.433 624.2163
50% 3745.298 1872.649 1498.119 749.0595
Sumber: Hasil perhitungan Keterangan: = Tarif dasar berada pada kemampuan membayar
Pada Gambar 2 dapat dilihat alternatif tarif 2
dengan tingkat keterisian 70% pada tarif per
km dan per trip. Karena ½ beban tarif yang
semestinya ditanggung oleh pelajar/
mahasiswa dialihkan ke masyarakat umum
sehingga tarifnya lebih mahal. Oleh karena itu,
struktur tarif 2 tidak memberikan besaran tarif
yang dapat memuaskan semua pihak
(diskriminatif) sehingga apabila struktur tarif
tersebut diterapkan akan beresiko bagi lapisan
pengguna masyarakat umum yang akan
semakin sedikit menggunakan TMB dan
beralih menggunakan kendaraan lain (misal
kendaraan pribadi) menyebabkan biaya operasi
kendaraan tidak dapat tertutupi oleh
pendapatan dari penjualan tiket sehingga TMB
akan menjadi jasa angkutan yang terus
disubsidi oleh pemerintah daerah. Selain itu,
perbandingan jumlah penumpang umum dan
pelajar/mahasiswa yang cenderung berubah-
ubah membuat tarif yang dihasilkan tidak akan
tepat sasaran karena penumpang yang menjadi
penanggung beban tidak jelas (bias).
Gambar 2 Tarif Dasar 2 Berdasarkan Tingkat Keterisian
70%
Sumber:Hasil Perhitungan, 2009
Namun perlu diketahui bahwa tarif dasar 1 dan
tarif dasar 2 belum dapat ditetapkan apabila
melihat dari sisi kepentingan penyedia jasa
angkutan.Untuk bisa mendapatkan tarif yang
bisa diterapkan, perlu ditambahkan dengan
persentase (%) keuntungan yang ingin
didapatkan agar penyediaan jasa angkutan
Trans Metro Bandung dapat terus berlangsung.
Oleh karena itu, perhitungan tarif
mempertimbangkan perhitungan net present
value (NPV) yang akan dibahas pada bagian
selanjutnya.
Penentuan Tarif Berdasarkan NPV
a. Tarif 1 Per Trip
Pada perhitungan NPV menggunakan laju
diskonto sebesar 10%. Laju diskonto (discount
rate) atau social opportunity cost of capital
menurut Bank Dunia dan Bank Pembangunan
Asia adalah sebesar 10%, 12%, dan 15%
sebagai laju diskonto sosial yang rasional
untuk negara berkembang. Sedangkan faktor
diskonto (discount factor) yang merupakan
bilangan pengali terhadap jumlah di waktu
yang akan datang untuk mendapatkan nilai
sekarang (Gray dkk, 1993 dalam Nugraha,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
162
2009). Tarif dasar yang digunakan adalah tarif
dasar 1 per trip sebesar Rp. 2633,41232.
Pada bagian ini, tarif dasar akan ditambahkan
dengan persentase keuntungan sebesar 10%
yang merupakan persentase keuntungan yang
sering diterapkan. Sementara tahun-tahun
berikutnya, tarif akan mengalami kenaikan
dalam periode waktu tertentu yang lebih rinci
dijelaskan sebagai berikut:
1. Skenario satu, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 10% dari tarif dasar
sebesar Rp. 2633,41232 dengan kenaikan
tarif setiap 3 tahun sekali sebesar 5%
mengikuti inflasi yang terjadi.
2. Skenario dua, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 10% dari tarif dasar
sebesar Rp. 2633,41232 dengan kenaikan
tarif setiap 4 tahun sekali sebesar 10%.
3. Skenario ketiga, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 10% dari tarif dasar
sebesar Rp. 2633,41232 tanpa mengalami
kenaikan tarif sampai umur
proyek/investasi berakhir.
Berdasarkan perhitungan untuk ketiga skenario
tersebut didapatkan:
1. Skenario satu, sampai dengan tahun 2019,
NPV yang diperoleh adalah –
Rp5.250.281.211,93;
2. Skenario dua, sampai dengan tahun 2019,
NPV yang diperoleh adalah -
Rp3.866.351.517,25;
3. Skenario tiga, sampai dengan tahun 2019,
NPV yang diperoleh adalah -
Rp9.850.783.008,07.
Hasil total NPV pada akhir masa
proyek/investasi tersebut menunjukkan bahwa
Tarif 1 per trip dengan tingkat keuntungan
10% dari tarif dasarnya, tidak layak untuk
diterapkan.
Dengan melihat pada hasil perhitungan NPV
sebelumnya maka perlu dilihat berapa persen
keuntungan yang akan diterapkan agar
penyedia jasa angkutan umum massal Trans
Metro Bandung tidak mengalami kerugian agar
pelayanan jasa angkutan tersebut bisa berjalan.
Oleh karena itu, dilakukan perhitungan tarif
dengan keuntungan yang didapatkan dari hasil
trial and error agar NPV pada tahun pertama
atau tahun ke-1 positif. Dari hasil trial and
error tersebut diketahui bahwa agar NPV pada
tahun pertama positif, maka keuntungan
minimum yang perlu diterapkan pada tarif
dasar adalah sebesar 22%. Selain itu, tarif
tersebut akan mengalami kenaikan seperti yang
telah dilakukan sebelumnya.
1. Skenario A, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 22% dari tarif dasar
sebesar Rp. 2633,41232 dengan kenaikan
tarif setiap 3 tahun sekali sebesar 5%
mengikuti inflasi yang terjadi. Dengan
menerapkan skenario A, diperoleh total
NPV sampai tahun 2019 adalah
Rp.5.331.073.816,67;
2. Skenario B, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 22% dari tarif dasar
sebesar Rp. 2633,41232 dengan kenaikan
tarif setiap 4 tahun sekali sebesar 10%.
Dengan menerapkan skenario B, diperoleh
total NPV sampai tahun 2019 adalah
Rp.6.865.977.659,87;
3. Skenario C, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 22% dari tarif dasar
sebesar Rp. 2633,41232 tanpa mengalami
kenaikan tarif sampai umur
proyek/investasi berakhir.Dengan
menerapkan skenario C, diperoleh total
NPV sampai tahun 2019 sebesar
Rp.228.699.097,32 Akan tetapi pada
skenario C, total NPV dari tahun ke-7
sampai tahun ke-10 negatif.
Berdasarkan NPV yang diperoleh, yang
dipertimbangkan adalah tarif di skenario A dan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
163
B. Namun, dari tarif pada skenario A dan
skenario B yang layak untuk diterapkan perlu
dilihat kemampuan membayar masyarakat
secara keseluruhan (baik pelajar/mahasiswa
maupun masyarakat umum) yang sebesar Rp.
2450 per trip sehingga dapat dihasilkan tarif
yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan
penyedia jasa tapi juga masyarakat. Apabila
melihat kemampuan membayar masyarakat
sebesar Rp. 2450 per trip sementara tarif yang
akan diterapkan dengan keuntungan 22%
menjadi sebesar Rp. 3212,76 mungkin terlihat
bahwa tarif tersebut tidak dapat diterapkan
karena lebih tinggi dibandingkan kemampuan
membayarnya. Namun pada kenyataannya,
ATP masyarakat setiap tahun dapat berubah,
dimana pada studi ini ATP masyarakat akan
meningkat sesuai dengan inflasi sebesar 5%
per tahun.Pada Tabel IX dapat dilihat bahwa
meskipun pada tahun-tahun awal pelaksanaan
Tarif 1 per trip sebesar Rp. 3212,76 belum
mendekati ATP masyarakat, namun dengan
peningkatan ATP dari masyarakat keseluruhan
yaitu sebesar 5% per tahun, maka pada tahun
2017 tarif yang diterapkan dapat ditolerir oleh
ATP masyarakat.
Tabel IX Perbandingan Tarif 1 Per Trip Yang Layak
Berdasarkan NPV Terhadap ATP Masyarakat
Tahun Tarif (Rp.)
ATP (Rp.)
Inflasi Per
tahun Skenario A
Skenario B
2009 3212.76 3212.76 2450 -
2010 2572.5 5%
2011 2701.125 5%
2012 2836.181 5%
2013 3373.4 2977.99 5%
2014 3534.03 3126.89 5%
2015 3283.234 5%
2016 3542.07 3447.396 5%
2017 3619.766 5%
2018 3887.44 3800.754 5%
2019 3719.17 3990.792 5%
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Keterangan: = Tarif berada pada kisaran ATP masyarakat b. Tarif 2 Per Trip
Namun pada perhitungan NPV untuk Tarif 2
per trip menggunakan tarif dasar untuk umum
sebesar Rp. 3745,298 dan untuk
pelajar/mahasiswa sebesar Rp. 1872,649
dengan jumlah penumpang umum dan pelajar/
mahasiswa berdasarkan perbandingan 13:19.
Pada bagian ini, tarif dasar akan ditambahkan
dengan persentase keuntungan sebesar 10%.
Sementara tahun-tahun berikutnya, tarif akan
mengalami kenaikan dalam periode waktu
tertentu yang lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut:
1. Skenario satu, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 10% dari tarif dasar
untuk masyarakat umum sebesar Rp.
3745,298 dan pelajar/mahasiswa sebesar
Rp. 1872,649 dengan kenaikan tarif setiap
3 tahun sekali sebesar 5% mengikuti
inflasi yang terjadi. Berdasarkan
perhitungan, total NPV yang dari skenario
satu sampai dengan tahun 2019 adalah –
Rp. 5.250.281.211,93;
2. Skenario dua, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 10% dari tarif dasar
untuk masyarakat umum sebesar Rp.
3745,298 dan pelajar/mahasiswa sebesar
Rp. 1872,649dengan kenaikan tarif setiap
4 tahun sekali sebesar 10%.Berdasarkan
perhitungan, total NPV yang dari skenario
dua sampai dengan tahun 2019 adalah –
Rp. 3.866.351.517,25;
3. Skenario ketiga, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 10% dari tarif dasar
untuk masyarakat umum sebesar Rp.
3745,298 dan pelajar/mahasiswa sebesar
Rp. 1872,649tanpa mengalami kenaikan
tarif untuk dua golongan tersebut sampai
umur proyek/investasi
berakhir.Berdasarkan perhitungan, total
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
164
NPV yang dari skenario tiga sampai
dengan tahun 2019 adalah -
Rp.9.850.783.008,07;
Hasil total NPV pada akhir masa
proyek/investasi tersebut menunjukkan bahwa
Tarif 2 per trip dengan tingkat keuntungan
10% dari tarif dasarnya, tidak layak untuk
diterapkan.
Seperti halnya yang telah dilakukan pada Tarif
1 per trip, maka perlu diketahui berapa
keuntungan minimum yang perlu diterapkan
agar penyediaan jasa angkutan Trans Metro
Bandung tidak mengalami kerugian.Dari hasil
trial and error tersebut diketahui bahwa agar
NPV pada tahun pertama positif, maka
keuntungan minimum yang perlu diterapkan
pada tarif dasar untuk masyarakat umum dan
pelajar/mahasiswa adalah sebesar 22%.
Sementara kenaikan tarif dalam periode waktu
tertentu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Skenario A, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 22% dari tarif dasar
untuk masyarakat umum sebesar Rp.
3745,298 dan pelajar/mahasiswa sebesar
Rp. 1872,649 dengan kenaikan tarif setiap
3 tahun sekali sebesar 5% mengikuti
inflasi yang terjadi.Berdasarkan
perhitungan, total NPV yang dari skenario
A sampai dengan tahun 2019 adalah
Rp.5.331.073.816,67;
2. Skenario B, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 22% dari tarif dasar
untuk masyarakat umum sebesar Rp.
3745,298 dan pelajar/mahasiswa sebesar
Rp. 1872,649dengan kenaikan tarif setiap
4 tahun sekali sebesar 10%.Berdasarkan
perhitungan, total NPV yang dari skenario
B sampai dengan tahun 2019 adalah
Rp.6.865.977.659,87;
3. Skenario C, yaitu keuntungan yang
diterapkan sebesar 22% dari tarif dasar
untuk masyarakat umum sebesar Rp.
3745,298 dan pelajar/mahasiswa sebesar
Rp. 1872,649tanpa mengalami kenaikan
tarif untuk dua golongan tersebut sampai
umur proyek/investasi
berakhir.Berdasarkan perhitungan, total
NPV yang dari skenario C sampai dengan
tahun 2019 adalah Rp.228.699.097,32;
Selanjutnya perlu ditinjau tarif tersebut bila
dibandingkan dengan tingkat kemampuan
membayar masyarakat umum sebesar Rp. 2500
per trip dan kemampuan membayar
pelajar/mahasiswa sebesar Rp. 2300 per trip
yang diasumsikan akan mengalami kenaikan
sebesar 5% per tahun mengikuti inflasi.Dari
Tabel X dapat diketahui bahwa setiap kenaikan
tarif pada skenario A dan skenario B, hanya
tarif untuk pelajar/mahasiswa saja yang masih
berada dalam kemampuan membayarnya.
Sementara bagi masyarakat umum semenjak
tahun 2009 pun tidak ada tarif yang sesuai
dengan kemampuan membayarnya. Hal ini
disebabkan Tarif 2 per trip menetapkan ½ tarif
bagi pelajar/mahasiswa sehingga lebih murah
namun ½ tarif sisanya dibebankan kepada
masyarakat umum sehingga lebih mahal. Hal
ini mengakibatkan Tarif 2 hanya
menguntungkan bagi pelajar/mahasiswa
padahal yang paling rentan untuk tidak
menggunakan TMB adalah pengguna dari
masyarakat umum dikarenakan golongan ini
biasanya telah bekerja dan lebih mampu untuk
membeli kendaraan pribadi dibandingkan
pelajar/mahasiswa.
Tabel X Perbandingan Tarif 2 Per Trip Yang Layak
Berdasarkan NPV Terhadap ATP Masyarakat
Sumber: Hasil Perhitungan, 2009
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
165
Apabila dibandingkan antara perhitungan NPV
untuk Tarif 1 per trip dan Tarif 2 per trip, baik
dengan keuntungan 10% maupun 22% pada
periode waktu kenaikan tarif di skenario 1, 2
dan 3 serta di skenario A,B dan C, dapat
diketahui bahwa kedua jenis tarif tersebut
memberikan hasil NPV yang sama, baik di
akhir akumulasi aliran biaya atau total NPV
maupun pada hasil NPV per tahun. Hal ini
disebabkan cara perhitungan tarif dasar dimana
total biaya yang telah diprediksi dibagi dengan
jumlah penumpang pada tingkat keterisian
50% kemudian ditambah dengan keuntungan
yang sama besar. Perhitungan tersebut
menyebabkan hasil NPV atau total keuntungan
bagi dua jenis tarif tersebut sama, yang
membedakan adalah besarnya tarif yang
ditanggung oleh pengguna pada Tarif 1 per trip
lebih sedikit karena tarif yang dibebankan
ditanggung bersama sementara pada Tarif 2
per trip, masyarakat umum menanggung beban
tarif lebih besar dibandingkan
pelajar/mahasiswa.
Pada pembahasan Tarif 1 dan Tarif 2 dapat
dilihat bahwa dengan tingkat keuntungan 10%
dari tarif dasar ternyata belum dapat
memberikan keuntungan (total/hasil NPV
negatif) di akhir masa usia investasi/projek.
Sementara keuntungan minimum agar NPV
positif pada tahun pertama sebesar 22%
memberikan total NPV yang positif (baik di
Tarif 1 per trip maupun Tarif 2 per trip), yang
menjadikan tarif tersebut layak untuk
diterapkan, walaupun untuk skenario C tarif
tersebut menjadi kurang baik untuk diterapkan
karena ada beberapa tahun dimana penyedia
jasa angkutan tidak mendapatkan keuntungan
(NPV di tahun tersebut nilainya negatif)
sehingga skenario C kurang layak diterapkan
apabila dibandingkan dengan skenario A dan
B.
6 .Penutup
Berdasarkan perhitungan alternatif tarif yang
dilakukan, tarif yang membedakan antara
pelajar/ mahasiswa dengan masyarakat umum
(Tarif 2) lebih tidak terjangkau khususnya bagi
masyarakat umum apabila dibandingkan
dengan tarif yang seragam antara pelajar/
mahasiswa dengan masyarakat umum (Tarif
1). Oleh karena itu, akan lebih baik apabila
tarif yang seragam antara pelajar/ mahasiswa
dengan masyarakat umum (Tarif 1) yang
diterapkan karena lebih mendekati kemampuan
membayar masyarakat.
Apabila mempertimbangkan pola pergerakan
masyarakat yang cenderung menggunakan
Jalan Soekarno hatta hanya berjarak ± 2,5 Km
(jarak pendek dalam berkendaraan) maka Tarif
1 per km (antar halte) akan lebih tepat dan adil
untuk diterapkan. Namun apabila
mempertimbangkan ATP masyarakat yang
lebih mendekati tarif pertrip serta preferensi
masyarakat yang sebagian besar menginginkan
sistem tarif flat atau jauh dekat (trip) maka
Tarif 1 per trip menjadi lebih mungkin untuk
diterapkan daripada Tarif 1 per km atau tarif
antar halte.
Besarnya Tarif 1 per trip untuk pengoperasian
Trans Metro Bandung yang dapat diterapkan
yaitu sebesar Rp. 3212,76≈ Rp. 3250 (tingkat
keuntungan minimal sebesar 22% dari tarif
dasar) dengan peningkatan tarif setiap 3 tahun
sekali atau 4 tahun sekali. Hal ini karena
apabila tarif tersebut tidak mengalami
peningkatan sampai usia proyek/investasi
TMB berakhir, maka penyedia jasa angkutan
akan mengalami kerugian dimana pada tahun-
tahun tertentu NPV menjadi negatif sehingga
dikhawatirkan pemerintah daerah menjadi
tidak mampu untuk meneruskan pengoperasian
TMB. Kemudian tarif tersebut ditinjau juga
dari segi ATP masyarakat yang diasumsikan
meningkat mengikuti besarnya inflasi (5% per
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009
166
tahun). Walaupun pada tahun pertama, Tarif 1
per trip sebesar Rp. 3250 tidak terjangkau oleh
ATP masyarakat sebesar Rp. 2450 per trip
namun pada tahun 2017 tarif tersebut berada di
bawah ATP masyarakat yang menjadikan tarif
tersebut memiliki kemungkinan untuk
diterapkan bila dibandingkan dengan Tarif 2
per trip untuk masyarakat umum yang tidak
tercapai oleh ATP masyarakat.
Daftar Pustaka Andriani, Rina. 2008. Studi Kemungkinan
Penerapan Angkutan Mahasiswa Sebagai Alternatif Moda Transportasi Studi Kasus: ITB-UNPAD-UNIKOM-UNISBA. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
B. Dwiagus Stepantoro & Lusi Silviani.1999. Studi Evaluasi Tarif Angkutan Umum Bis DAMRI Kota Bandung. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Button, Kenneth J. 1993. Transport Economics 2nd Edition. Northampton, Massachusetts USA: Edward Elgar Publishing, Inc.
Dian, Rahmad. 1993. Evaluasi Tarif Angkutan Umum Penumpang di Kotamadya Bandung. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat.2002. Pedoman Teknism Penyelenggraan Angkutan Penumpang Umum Diwilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap Dan Teratur (SK.687/AJ.206/DRJD/2002).
Ekaputri, Aida. 2006. Kajian Karakteristik Permintaan Pelaku Pergerakan terhadap Rencana Pengembangan Moda Buslane. Studi Kasus: Jl.Soekarno-Hatta, Kota Bandung. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Eriyanto.2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. Yogyakarta: Penerbit LkiS.
Gunarto, Danang. 2002. Kajian Kinerja Jl. Soekarno-Hatta Sebagai Jalan Arteri Primer di Kota Bandung. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Lesmana, Indra. 2007. Penentuan Lokasi Halte Buslane di Sepanjang Jalan Soekarno Hatta. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Miro, Fidel. 2005. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana dan Praktisi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ofyar, Z Tamin. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.
Ofyar, Z Tamin. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.
Ofyar, Z Tamin. 2006. Menuju Terciptanya Sistem Transportasi Berkelanjutan di Kota Bandung. dalam Seminar Proceeding Sustainable Transportation, 3 Februari 2007 di Bandung.
Salim, Abbas. 1993. Manajemen Transportasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Simanjuntak, Dameria. 2007. Tingkat Kepentingan Variabel Pelayanan Moda Buslane Sesuai Dengan Preferensi Market Demand di Koridor Jalan Soekarno Hatta. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Warpani, Suwardjoko. 2002. Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bandung: Penerbit ITB.
Yunianita, Primasurya. 2000. Studi Penentuan Tarif Bus Damri berdasarkan Willingness to Pay. Tugas Akhir, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.