penelitian singkong lanjut ashar.pdf

21
1 PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS UMBI-UMBIAN Nasir Saleh, St.A. Rahayuningsih dan M.Muchlis Adie Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) P.O. Box 66 Malang 65101 ABSTRAK Ubikayu dan ubijalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan dan bahan baku industri (pangan dan kimia). Meningkatnya jumlah penduduk, berkembangnya industri peternakan dan industri berbahan baku ubikayu dan ubijalar (termasuk industri bioethanol) dipastikan akan mendorong kebutuhan ubikayu dan ubijalar meningkat secara tajam. Peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas ubikayu dan ubijalar yang masih rendah ( masing-masing 18,2 t/ha dan 11 t/ha), dilakukan dengan menanam varietas unggul dan menerapkan teknologi budidaya yang lebih maju. Ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan luas areal tanam/panen ke lahan kering dengan berbagai jenis tanah, memanfaatkan lahan tidur dan lebih meningkatkan indeks pertanaman. Perakitan varietas untuk perbaikan kualitas ubikayu sebagai bahan pangan, selain produktivitas tinggi juga diarahkan pada rasa enak (kadar HCN rendah), mempur dan tidak berserat. Sementara pada ubijalar diarahkan pada fungsi nya sebagai makanan kesehatan (functional foodt) yaitu mempunyai rasa enak dan kandungan betakaroten atau antosianin yang tinggi.Sebagai bahan baku industri (ethanol) selain produktivitas dan kadar pati tinggi juga mempunyai kadar gula total dan nilai konversi etanol yang tinggi. Kata kunci : Peningkatan produksi, kualitas, ubikayu, ubijalar ABSTRACT Cassava and sweet potato were used as food, feed and rough materials for industries (food and chemical industries). Increasing of the human population, development of veteriner industries, and many cassava/sweet potato based idustries (including bioethanol) was believed to sharply increase the cassava/sweet potato demands. Increasing of the cassava/sweet potato production could be achieved through increasing their productivity which are still low (18.2 t/ha and 11 t/ha respectively) by planting of improved varities followed by available advanced cultural practices and expanded the cassava and sweet potato to upland areas, sleeping land and increasing cropping indext. Crop improvement of eating-cassava was directed to high productivity, low HCN content and not fiberous, while for industrial was directed to high productivity, high starch and total glucose content and high ethanol-conversion values. For sweet potato crop improvement was directed in accordance to its role as functional food, i.e. high productivity and high betacarotene and anthocyanin content. Key words: Increase production, quality, cassava, sweet potato

Upload: arief-awan-budiman

Post on 17-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 1

    PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS UMBI-UMBIAN

    Nasir Saleh, St.A. Rahayuningsih dan M.Muchlis Adie Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi)

    P.O. Box 66 Malang 65101

    ABSTRAK Ubikayu dan ubijalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan dan bahan baku industri (pangan dan kimia). Meningkatnya jumlah penduduk, berkembangnya industri peternakan dan industri berbahan baku ubikayu dan ubijalar (termasuk industri bioethanol) dipastikan akan mendorong kebutuhan ubikayu dan ubijalar meningkat secara tajam. Peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas ubikayu dan ubijalar yang masih rendah ( masing-masing 18,2 t/ha dan 11 t/ha), dilakukan dengan menanam varietas unggul dan menerapkan teknologi budidaya yang lebih maju. Ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan luas areal tanam/panen ke lahan kering dengan berbagai jenis tanah, memanfaatkan lahan tidur dan lebih meningkatkan indeks pertanaman. Perakitan varietas untuk perbaikan kualitas ubikayu sebagai bahan pangan, selain produktivitas tinggi juga diarahkan pada rasa enak (kadar HCN rendah), mempur dan tidak berserat. Sementara pada ubijalar diarahkan pada fungsi nya sebagai makanan kesehatan (functional foodt) yaitu mempunyai rasa enak dan kandungan betakaroten atau antosianin yang tinggi.Sebagai bahan baku industri (ethanol) selain produktivitas dan kadar pati tinggi juga mempunyai kadar gula total dan nilai konversi etanol yang tinggi. Kata kunci : Peningkatan produksi, kualitas, ubikayu, ubijalar

    ABSTRACT

    Cassava and sweet potato were used as food, feed and rough materials for industries (food and chemical industries). Increasing of the human population, development of veteriner industries, and many cassava/sweet potato based idustries (including bioethanol) was believed to sharply increase the cassava/sweet potato demands. Increasing of the cassava/sweet potato production could be achieved through increasing their productivity which are still low (18.2 t/ha and 11 t/ha respectively) by planting of improved varities followed by available advanced cultural practices and expanded the cassava and sweet potato to upland areas, sleeping land and increasing cropping indext. Crop improvement of eating-cassava was directed to high productivity, low HCN content and not fiberous, while for industrial was directed to high productivity, high starch and total glucose content and high ethanol-conversion values. For sweet potato crop improvement was directed in accordance to its role as functional food, i.e. high productivity and high betacarotene and anthocyanin content. Key words: Increase production, quality, cassava, sweet potato

  • 2

    PENDAHULUAN Ubikayu dan ubijalar merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut tercermin dari daerah penyebaran komoditas tersebut di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Sebagai bahan sumber karbohidrat, ubikayu dan ubijalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, bahan pakan serta bahan baku industri (pangan dan kimia). Menurut Hafsah (2003) sebagian besar produksi ubikayu di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (85-90%), sedang sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chip dan tepung tapioka. Dari total produksi yang ada (19,3 juta ton), lebih kurang sebanyak 75% dikonsumsi sebagai bahan pangan (secara langsung atau melalui proses pengolahan), 13-14% untuk keperluan industri non-pangan, 2% untuk pakan dan 9% tercecer Jumlah penduduk Indonesia yang besar (247 juta) dengan pertumbuhan yang masih tinggi (1,47%/tahun) mendorong Pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubikayu sebagai bahan pangan alternatif mendukung ketahanan pangan Nasional. Dalam ransum pakan ternak maupun unggas, ubikayu digunakan dalam bentuk tepung tapioka, pellet maupun limbah industri ubikayu (onggok). Penggunaan ubikayu untuk pakan relatif masih rendah, sekitar 2%. Namun usaha peternakan yang meningkat dengan laju pertumbuhan 12,9% per tahun untuk ternak pedaging dan 18,0% per tahun untuk ternak petelur, permintaan ubikayu untuk pakan juga akan meningkat. Ubikayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri diolah melalui proses dehidrasi ( chip, pellet, tepung tapioka ), hidrolisa (dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose) dan proses fermentasi (alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol dll). Pencanangan bio-ethanol sebagai sumber energi alternatif terbarukan berupa Gasohol-10 (campuran premium dengan 10% etanol), dimana 8% keperluan etanol berasal dari ubikayu dan peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 7%/tahun akan lebih memacu kebutuhan ubikayu. Seperti halnya ubikayu, sebagian besar (89%) ubijalar juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan, baik secara langsung (direbus, digoreng, dioven, juice) atau setelah melalui proses pengolahan (kue basah, kue kering, rerotian, mie, selai). Hanya sebagian yang digunakan untuk bahan pakan dan baku industri. Di Papua, ubijalar merupakan makanan pokok dan merupakan komoditas yang punya arti penting dalam beberapa upacara adat. Sejalan dengan Program difersifikasi pangan, ubijalar yang banyak mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin ubijalar juga berpeluang dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif (non beras), bahkan dengan beberapa keunggulannya (mengandung beta karoten, antosianin, senyawa fenol, dan serat pangan serta nilai indeks glisemiknya (Glycemic Index), ke depan ubijalar difungsikan juga sebagai makanan untuk kesehatan (functional food) (Ginting et al.,.2011).

    KERAGAAN PRODUKSI Data perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas ubikayu dan ubijalar selama dasa warsa terakhir (tahun 2000-2009) menunjukkan bahwa produksi ubikayu dan ubijalar meningkat masing-masing 3,25% dan 0,75%/tahun, namun luas tanam berkurang -0,37% dan -0,58%/tahun (Tabel 1 dan 2). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi lebih disebabkan karena peningkatan produktivitas yang mencapai

  • 3

    3,89%/tahun pada ubikayu dan 1,35%/tahun pada ubijalar. Hal ini berarti pula bahwa perbaikan teknologi produksi pada ubikayu yang meliputi penggunaan varietas unggul dan perbaikan teknologi budidaya telah berhasil meningkatkan produktivitas secara lebih nyata dibanding pada ubijalar, namun keduanya mampu meningkatkan produksi ubikayu dan ubijalar. Tabel 1. Perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas ubikayu selama 10 tahun terakhir (2000-2009) ------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tahun Produksi Pertbhan Luas panen Pertbhan Produktivitas Pertbhan (000 t) (%) (000 ha) (%) (kw/ha) (%) ------------------------------------------------------------------------------------------------------- 2000 16.084 --- 1.284,0 --- 125 --- 2001 17.055 6,03 1.317,9 2,64 129 3,20 2002 16.913 -0,83 1.276,5 - 3,14 132 2,32 2003 18.524 9,52 1.244,5 - 2,50 149 12,88 2004 19.264 3,99 1.239,8 - 0,38 155 4,03 2005 19.321 0,29 1.213,5 -- 159 2,58 2006 19.986 3,44 1.227,5 1,15 163 2,51 2007 19.988 0,10 1.201,5 -2,11 166 1,84 2008 21.757 8,85 1.204,9 0,28 180 8,43 2009 21.990 1,07 1.205,5 0,40 18,2 1,11 --------------------------------------------------------------------------------------------------- Rata-rata (%/tahun) 3,25 -0,37 3,89 ------------------------------------------------------------------------------------------------------ Sumber : BPS, 2009, 2005 Tabel 2. Perkembangan produksi, luas panen dan produktivitas ubijalar selama 10 tahun terakhir (2000-2009) ------------------------------------------------------------------------------------------------------- Tahun Produksi Pertbhan Luas panen Pertbhan Produktivitas Pertbhan (000 t) (%) (000 ha) (%) (kw/ha) (%) ------------------------------------------------------------------------------------------------------- 2000 1.827,7 --- 194,3 --- 94,0 --- 2001 1.749,1 -4,37 181,0 -6,84 97,0 3,09 2002 1.771,6 1,14 177,3 -2,04 100,0 3,09 2003 1.991,5 12,41 197,5 11,39 101,0 1,00 2004 1.901,8 -4,50 184,5 - 6,58 104,1 3,07 2005 1.856,9 -2,10 178,3 - 3,36 104,1 0,00 2006 1.854,2 -0,54 176,5 - 1,00 105,0 0,86 2007 1.886,8 2,16 176,9 0,22 106,6 1,52 2008 1.881,7 -0,37 174,5 -1,35 107,8 1,12 2009 1.947,3 3,72 181,1 3,78 107,5 -0,28 ------------------------------------------------------------------------------------------------------ Rata-rata (%/tahun) 0,75 -0,58 1,35 ------------------------------------------------------------------------------------------------------ Sumber : BPS, 2005, 2009

  • 4

    SENTRA PRODUKSI

    Ubikayu dan ubijalar sebagian besar diusahakan di lahan kering dan hanya sebagian kecil ditanam di lahan sawah dengan berbagai jenis tanah yaitu: Alfisol. Ultisol, Inceptisol yang pada umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Provinsi sentra produksi ubikayu meliputi: Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan D.I. Yogyakarta. Data produksi ubikayu tahun 2000-2009 terlihat pada tahun 2000 pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubikayu yang dominan dalam memberi kontribusi produksi nasional (57,2%), Sumatera (25,5%), dan propinsi di pulau lainnya (17,3%). Namun pada tahun 2009, kontribusi produksi ubikayu di pulau Jawa menurun menjadi 44,56%, sementara pulau Sumatera naik mennjadi 42,33%, dan pulau lainnya sedikit turun menjadi 12,23% (Tabel 3). Hal ini menunjukkan adanya pergeseran sentra produksi ubikayu dari pulau Jawa ke pulau Sumatera. Data produksi ubikayu tahun 2000-2009 juga memperlihatkan bahwa angka pertumbuhan produksi nasional adalah 3,25%/tahun, dengan angka pertumbuhan untuk pulau Jawa sebesar 0,70%/tahun dan Sumatera 9,08%/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan ubikayu banyak terjadi di Sumatera dibandingkan di Jawa. Di antara enam provinsi sentra produksi ubikayu, provinsi Lampung menunjukkan angka pertumbuhan produksi tertinggi yaitu 11,31%/tahun, diikuti provinsi D.I.Yogajakarta (4,97%/tahun), Jawa Barat (2,11%/tahun), dan Nusa Tenggara Timur(1,77%/tahun). Angka pertumbuhan yang tinggi di provinsi Lampung diduga erat hubungannya dengan berkembangnya industri-industri pengolahan berbahan baku ubikayu. Di provinsi Lampung angka pertumbuhan produksi ubikayu yang tinggi terjadi pada tahun 2001 dan 2003 yang masing-masing sebesar 22,56% dan 43,60% akibat meningkatnya luas panen ubikayu di provinsi tersebut. Hal ini diduga terkait dengan harga ubikayu yang cukup baik pada tahun 2000 dan 2002, sehingga petani berusaha meningkat produksi ubikayu pada tahun berikutnya. Fluktuasi luas panen antar waktu merupakan gambaran tanggap terhadap tinggi rendahnya harga umbi dari waktu sebelumnya. Saleh et al. (2000) juga menjelaskan bahwa sebagian besar usahatani ubikayu di Indonesia yang dilakukan oleh petani kecil dengan kemampuan modal dan teknologi terbatas sangat respon terhadap signal harga yang diimplementasikan dalam bentuk usahatani ubikayu mereka pada tahun berikutnya. Apabila harga ubikayu baik, luas panen musim berikutnya naik dan sebaliknya bila harga ubikayu pada musim tersebut kurang bagus, maka luas panen pada tahun berikutnya juga berkurang. DI Yogyakarta merupakan propinsi sentra produksi ubikayu yang dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka pertumbuhan positif dari 1,88% pada tahun 2002 hingga 6,93% pada tahun 2004. Kenaikan angka pertumbuhan pada tahun 2004 diduga berkaitan dengan berkembangnya industri Tiwul instan dan meningkatnya kebutuhan ubikayu sebagai substitusi bahan pangan. Seperti halnya dengan ubikayu, pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubijalar . Pada tahun 2000, produksi ubijalar di pulau Jawa mencapai 0,73 juta ton yang berarti memberi kontribusi produksi nasional 39,9%, namun pada tahun 2009 kontribusinya sedikit turun menjadi 35,4%. Selama kurun waktu satu dasawarsa 2000-2009, pertumbuhan produksi tertinggi dicapai oleh propinsi Papua yaitu 5,61%/tahun, diikuti Sumatera Utara yang mencapai 2,22%/tahun. Sementara propinsi lain justru mengalami pertumbuhan produksi yang negatif.. Di Papua, produksi tertinggi terjadi pada

  • 5

    tahun 2003 yang mencapai 0,51 juta ton, yang berart1 meningkat 96% dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,26 juta ton. Hal tersebut diduga adanya gerakan meningkatkan pangan utama(ubijalar), setelah terjadinya kasus kelaparan di Yahokimo pada tahun 2002. Namun pada tahun-tahun berikutnya produksi relatif stabil antara 0,30-0,34 ton. Pada tahun 2009, propinsi Jawa Barat dan Papua masing-masing memberi kontribusi sebesar 20% dan 17,43%. Besarnya produksi ubijalar di propinsi Jawa Barat diduga didorong oleh adanya perusahaan yang bermitra kerja dengan kelompok tani dan mengekspor ubijalar ke negara Jepang, Malaysia dan Taiwan. Sementara propinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan NT.Timur memberi kontribusi antara 5,6 7,17%. (Tabel 4). Di Sumatera Utara ubijalar selain sebagai pangan, juga digunakan sebagai pakan babi. Pada beberapa tahun terakhir ubijalar (jenis Beniazuma) banyak dikembangkan untuk diekspor ke Jepang. Tabel 3. Sentra produksi ubikayu di Indonesia (2000-2009) -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Provinsi Produksi ( juta ton) Laju pertum- ----------------------------------------------------------------------------------- buhan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (%/tahun) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Lampung 2.9 3.58 3.47 4.98 4.68 4,87 5,50 6,39 7,21 7,88 11,31 Jawa Timur 3.6 4.01 3.92 3.78 3.96 4,02 3,68 3,42 3,53 3,09 - 1,29 Jawa Tengah 3.1 3.32 3.10 3.47 3.66 3,48 3,55 3,41 3,32 3,37 0,96 Jawa Barat 1.8 1.57 1.80 1.65 2.07 2,07 2,04 1,92 2,03 2,12 2,11 NT.Timur 0,8 0,78 0, 87 0,86 0,86 0.89 0,94 0,79 0,93 0,92 1,77 Yogyakarta 0,7 0,74 0,75 0,76 0,82 0,92 1,02 0,97 0,89 1,10 4,97 Sumatera 4.1 4.74 4.55 5.96 5.75 5,84 6,58 7,33 8,96 9,31 9,08 Jawa 9.2 9.74 9.71 9.82 10.68 10,63 10,44 9,85 9,90 9,80 0,70 Prop.lain 2,8 2,57 2,65 2,74 2,83 2,85 2,94 2,80 2,90 2,69 1,23 Indonesia 16.09 17.05 16.91 18.52 19.26 19,32 19,98 19,98 21,76 21,99 3,24 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Sumber: BPS, 2009 dan 2005 Tabel 4. Sentra produksi ubijalar di Indonesia (2000-2009) --------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Provinsi Produksi (juta ton) Laju pertum- -------------------------------------------------------------------------------------- buhan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 (%/tahun) ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Jawa Barat 0,38 0,31 0,39 0,35 0,39 0,39 0,39 0,37 0,38 0,39 0,87 Papua 0,28 0,28 0,26 0,51 0,30 0,29 0,31 0,32 0,35 0,34 5,61 Jawa Timur 0,19 0,20 0,17 0,17 0,16 0,15 0,15 0,15 0,14 0,14 - 2,85 Jawa Tengah 0,14 0,13 0,13 0,14 0,14 0,14 0,12 0,14 0,12 0,12 - 1,37 NT.Timur 0,15 0,15 0,13 0,09 0,13 0,10 0,11 0,10 0,11 0,11 - 2,18 Sumatera Utara 0,12 0,12 0,12 0,13 0,12 0,11 0,10 0,12 0,11 0,14 2,22 Jawa 0,73 0, 69 0,73 0,70 0,74 0,73 0,70 0,70 0,67 0,69 - 0,48 Indonesia 1.83 1.75 1.77 1.99 1.90 1,86 1,85 1,88 1,88 1,95 0,75 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Sumber: BPS, 2009 dan 2005

  • 6

    TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKSI Hingga tahun 2009, produktivitas ubikayu dan ubijalar masing-masing baru mencapai 18,2 t/ha dan 11 t/ha, jauh dari potensi hasil beberapa varietas unggul ubikayu dan ubijalar yang masing-masing dapat mencapai 30-40 t/ha dan 20-35 t/ha. Karama (2003) menyatakan bahwa rendahnya produktivitas ubikayu dan ubijalar antara lain disebabkan oleh: (a). Sebagian besar petani masih menggunakan varietas lokal yang umumnya produktivitasnya rendah, (b). Kualitas bibit yang digunakan seringkali kurang baik, (c). Ubikayu dan ubijalar sebagian besar diusahakan di lahan kering yang seringkali kesuburannya lebih rendah dibanding lahan sawah, (d). Pengelolaan tanaman dilakukan secara sederhana dengan masukan (input) sekedarnya. Secara umum, peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi), terutama pada daerah-daerah sentra produksi ubikayu dan ubijalar yang sudah ada, dan perluasan areal tanam/panen (ekstensifikasi) ke daerah pengembangan baru di lahan kering dan lahan tidur terutama di luar Jawa. Menurut Wargiono (2007) untuk memenuhi kebutuhan ubikayu perlu peningkatan produksi yang tumbuh secara berkelanjutan 5-7%/tahun. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas 3-5%/tahun dan perluasan areal 10-20%/tahun. 1. Intensifikasi 1.a. Varietas unggul baru (VUB). VUB merupakan komponen teknologi produksi yang sangat strategis dalam upaya

    meningkatkan produksi ubikayu/ubijalar karena berkaitan dengan potensi hasil yang tinggi. Varietas unggul baru yang mempunyai karakter sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pengguna juga relatif mudah diterima petani, dan kompatibel dengan komponen teknologi budidaya lain. Hingga tahun 2009, Badan Litbang Pertanian telah melepas masing-masing 10 varietas unggul ubikayu dan 19 ubijalar, masing-masing dengan sifat keunggulan (Tabel 5 dan 6). Dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubijalar), pembentukan/pelepasan varietas unggul ubikayu di Indonesia adalah tertinggal atau lambat, sebab selama ini di samping komoditas ubi kayu belum memperoleh prioritas, juga karena umur panennya panjang (810 bulan).

    Ubikayu varietas UJ-5 dan UJ-3 yang mempunyai hasil dan kadar pati yang tinggi telah berkembang secara luas di propinsi Lampung, sebagai bahan baku industri tepung dan pati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Malang-4 beradaptasi dan menghasilkan umbi 40-55 t/ha di kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Utara (Saleh et al., 2006 ; Rajid et al., 2008). Varietas Adira-4, MLG-6 dan Kaspro yang juga mempunyai produksi dan kadar pati tinggi telah berkembang luas di Jawa Timur.

  • 7

    Tabel 5. Varietas unggul ubikayu yang telah dilepas di Indonesia sejak 1978-2009 Varietas Asal usul Tahun

    dilepas Umur (bln)

    Hasil (t/ha)

    Keunggulan

    Adira 1 Mangi/Ambon 1978 7-10 22 - Agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus)

    - Tahan terhadap bakteri hawar daun, Pseudomonas solanacearum, dan Xanthomonas manihotis

    Adira 2 Mangi/Ambon 1978 8-12 22 - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus)

    - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum

    Adira 4 Silang bebas dari induk betina BIC 528

    1978 10 35 - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus)

    - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis

    Malang 1 CM1015-19/CM849-1 1992 9-10 36,5 -Toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus)

    - Toleran bercak daun (Cercospora sp.)

    -Adaptasi cukup luas Malang 2 CM922-2/CM507-37 1992 8-10 31,5 -Agak peka tungau merah

    (Tetranichus bimaculatus) - Toleran bercak daun (Cercospora sp.)

    Darul Hidayah

    1998 8-12 102,10 -Agak peka tungau merah (Tetranichus sp.)

    - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.)

    UJ-3 Thailand 2000 8-10 20-35 -Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight)

    UJ-5 Thailand 2000 9-10 25-38 - Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight)

    Malang 4 Silang bebas dari induk betina Adira 4

    2001 9 39,7 -Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.)

    -Adaptif terhadap hara sub-optimal

    Malang 6 MLG10071/MLG 10032 2001 9 36,4 -Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.)

    -Adaptif terhadap hara sub-optimal

    Sumber: Balitkabi, 2011

  • 8

    Tabel 6. Varietas unggul ubijalar yang telah dilepas di Indonesia sejak 1977-2009 Varietas Asal usul Tahun

    dilepas Umur (bln)

    Hasil (t/ha)

    Keunggulan

    Daya Putri selatan/jonga 1977 4 23 - Agak tahan hama boleng - Tahan terhadap penyakit keriting

    Borobudur No.380/Filipina II 1982 3,5-4 20 - Toleran hama penggerek - Toleran penyakit kudis

    Prambanan - 1982 -- 28 -- Mendut IITA, Nigeria 1989 4 35 -mampu beradaptasi lahan

    marginal - Dapat ditanam sampai 900 m dpl

    Kalasan AVRDC, Taiwan 1991 3-4 40 -Agak tahan karat daun Mampu beradaptasi pada lahan marginal

    Muaratakus SQ-27xIK-I 1995 4-4,5 30-35 -Tahan penyakit kudis(

    Sphaceloma batatas.) - Cocok di lahan kering dan sawah

    Cangkuang SRIS 226 1998 4-4,5 30-31 -Agak tahan hama boleng Tahan penyakit kudis

    Sewu Daya Op Sr-8 1998 4-4,5 28-30 - Agak tahan hama boleng Tahan penyakit kudis

    Sari Genjahrante x Lapis 2001 3,5-4 30-35 Agak tahan hama boleng Tahan penyakit kudis

    Boko No.14 x MLG 1258 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng Toleran penyakit kudis

    Sukuh AB 940 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng Tahan penyakit kudis

    Jago B0059-3 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng Agak tahan penyakit kudis

    Kidal Inaswang 2001 4-4,5 25-30 Agak tahan hama boleng Tahan penyakit kudis

    Sawentar Persilangan bebas induk betina varietas Mantang merah

    2006 4,5-6 25-30 Agak tahan boleng dan penyakit kudis, cocok untuk dataran tinggi

    Papua Patippi

    Persilangan bebas induk betina varietas Gowok

    2006 4,5-6 26-33 Agak tahan hama dan penyakit kudis, cocok untuk dataran tinggi

    Papua Solossa

    Muara Takus x Siate (lokal Papua)

    2006 4,5-6 24-30 Agak tahan hama boleng dan penyakit kudis, cocok untuk dataran tinggi

    Antin 1 Persilangan lokal Samarinda x Kinta (lokal Papua)

    2009 4-4,5 26-36 Kadar antosianin 33,89 mg/100 g bahan, agak tahan boleng, toleran kekeringan

    Beta-1 Persilangan bebas induk betina MSU 01015

    2009 4-4,5 25-35 Kadar betakaroten 12.032 ug/100 g, agak tahan kudis dan boleng

    Beta-2 Persilangan bebas induk betina MSU 01015

    2009 4-4,5 25-35 Kadar betakaroten 4.629 ug/100 j bahan, agak tahan poenyakit kudis dan boleng

  • 9

    Preferensi pengguna terhadap ubijalar lebih dinamis dan bervariasi tergantung daerah dan peruntukan dan perkembangan pasar. Di beberapa daerah petani menyukai umbi dengan kulit umbi merah dan daging umbi krem, sementara di daerah lain petani lebih suka kulit umbi dan daging umbi yang putih.Varietas Sari yang berumur genjah (dipanen 3,5-4 bulan) telah tersebar luas di kabupaten Karanganyar dan Malang, sebagian besar produknya dikirim ke Sidoarjo/Surabaya sebagai bahan baku industri saus. Varietas lokal Asih yang mempunyai kadar pati tinggi banyak ditanam di Cirebon untuk bahan baku industri pasta dan kubus beku untuk diekspor ke Jepang.

    1.2. Teknologi Budidaya pendukung Di samping varietas, teknologi budidaya pendukung akan membantu masing-masing

    varietas untuk menghasilkan sesuai dengan potensi hasilnya. Jarak tanam atau populasi tanaman per hektar merupakan komponen teknologi yang paling pertama dulu mendapat perhatian para petani, sebab komponen tersebut selain mudah dipahami dan diterapkan petani, juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. 1.2.a. Jarak tanam. Jarak tanam ubi kayu/ubijalar yang sesuai sangat ditentukan antara lain oleh sistem tanam, pola pertumbuhan tanaman dan tingkat kesuburan lahan. Pada sistem monokultur, penanaman ubikayu dapat dilakukan pada jarak tanam 100 cm x 100 cm atau 100 cm x 80 cm. Ubikayu dengan pola percabangan di bawah (misal varietas Darul Hidayah) umumnya ditanam dengan jarak yang lebih lebar (125 cm x 125 cm). Pada tanah yang kurang subur (daerah Lampung) untuk mendapatkan hasil yang tinggi per satuan luas, ubikayu dapat ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat (Tabel 7). Dengan menanam lebih rapat, meskipun hasil per tanaman lebih sekit tapi karena populasinya tinggi hasilumbi per satuan luas menjadi lebih tinggi pula. Tabel 7. Hasil ubikayu pada populasi tanam yang berbeda di Lampung Timur dan Lampung Tengah MT. 2007

    Varietas

    Lampung Timur Lampung Tengah

    12.500 tan/ha

    20.000 tan/ha

    40.000 tan/ha

    12.500 tan/ha

    20.000 tan/ha

    40.000 tan/ha

    UJ-3 31,0 0 bc 28,57 c 28,28 c 27,34 30,20 30,49 UJ-5 36,98 a 31,83 b 28,40 c 29,59 32,91 31,80

    Sumber: Balitkabi, 2010 Keterangan: Angka yang didampingi huruh yang sama tidak berbeda menurut BNT 0,05 Ubijalar umumnya ditanam pada guludan dengan ukuran yang bervariasi lebar dasar 80-100 cm, tinggi 15-30 cm, sehingga jarak antar puncak guludan berkisar 80-120 cm. Jarak tanam di dalam baris (gulud) berkisar 20-30 cm, sehingga diperoleh populasi tanaman 40.000-60.000 setiap hektarnya. Populasi tanaman sangat menentukan ukuran dan produksi umbi. Varietas Sari yang mempunyai tajuk kompak dapat ditanam dengan jarak tanam antar tanaman yang lebih rapat (20 cm), sehingga hasilnya meningkat. Hasil penelitian di tanah Entisol Blitar dan Mojokerto menunjukkan bahwa tinggi guludan 30 cm memberi hasil yang lebih baik dibanding tanpa guludan (Tabel 8).

  • 10

    Tabel 8. Produktivitas umbi ubijalar pada berbagai tinggi guludan di tanah Entisol Blitar dan Mojokerto MK 2003.

    Tinggi guludan (cm) Produktivitas (t/ha)

    Blitar Mojokerto

    Tanpa guludan 33,11 28,45

    Tinggi 10 cm 28,82 32,70

    Tinggi 20 cm 31,29 29,61

    Tinggi 30 cm 33,97 43,86

    Sumber: Balitkabi, 2003 Keterangan: Pada umur 4-5 minggu dilakukan pembubunan, sehingga semua perlakuan mempunyai tinggi guludan 30 cm; * = berbeda nyata dibanding kontrol tanpa gulud.

    1.2.b. Pemupukan

    Ubikayu merupakan tanaman yang adaptasi pada lingkungan tumbuh yang lebih baik dibanding tanaman pangan lain (toleran kekeringan, toleran masam, toleran kadar Al-dd yang lebih tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih efektif). Kemampuan adaptasi tanaman ubi kayu yang baik menyebabkan tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan biarpun diusahakan pada lahan sub-optimal maupun marjinal. Jumlah hara yang diambil untuk setiap ton umbi yang dihasilkan adalah lebih kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan 4,32 kg K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah tersebut perlu diganti melalui tindakan pemupukan organik dan anorganik (Howeler, 1994; Howeler, 2002). Oleh karena itu dalam jangka panjang produktivitasnya pada lahan sub-optimal/marjinal juga akan cepat menurun apabila dalam pengusahaannya apabila tanpa disertai dengan pemupukan yang seimbang dengan hara yang diekstraksi.

    Untuk memperoleh hasil ubikayu yang tinggi pemupukan sangat diperlukan, mengingat tanaman ini banyak dibudidayakan pada lahan yang tanahnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah seperti tanah Alfisol (Mediteran), Oxisol (Latosol), dan Ultisol (Podsolik). Karena relatif banyak membutuhkan hara N dan K, ubikayu tanggap terhadap pemupukan unsur hara tersebut. Pada lahan kering bertanah Alfisol di Patuk (Gunung Kidul) pemberian pupuk ZA sebagai sumber hara N dan S pada takaran yang meningkat dari 50 sampai 100 kg/ha selalu diikuti oleh peningkatan hasil umbi secara signifikan (Tabel 9). Pada tanah Alfisol di Patuk (Gunung Kidul) dan Bantur (Malang) yang mengandung K-dd (K-dapat ditukar) 0,2 me/100 g dan 0,5 me/100 g, tanaman ubi kayu tanggap terhadap pemupukan K hingga takaran 100 kg KCl/ha (Tabel 10). Berdasarkan hasil penelitian pada lahan kering Alfisol di Malang, pupuk KCl dianjurkan diaplikasi dua kali yaitu pada saat tanam dan umur 60 hari setelah tanam (Tabel 11).

    Pada lahan kering masam di luar Jawa yang tanahnya didominasi Ultisol (Podsolik) yang banyak mengandung Al-dd dan miskin unsur hara serta bahan organik. Dari segi keracunan Al, tanaman ubikayu tergolong tahan, karena kadar kritis kejenuhan Al-dd bagi ubikayu adalah sekitar 80%, padahal tingkat kejenuhan Al-dd tanah Ultisol di Indonesia umumnya jarang yang melampaui 75%. Walaupun demikian, pemberian kapur

  • 11

    dengan takaran rendah yang ditujukan untuk memupuk Ca dan/atau Ca + Mg ternyata dapat meningkatkan hasil ubi kayu, dan takaran kapurnya cukup 300 kg/ha (Tabel 12).

    Pada tanah Alfisol Bantur (Malang) yang kandungan bahan organiknya rendah (kadar C-organik 1,04%), pemberian pupuk kandang dengan takaran 3 dan 6 ton/ha dapat meningkatkan hasil ubikayu (Tabel 13). Dalam praktik, penggunaan pupuk kandang sekarang banyak dilakukan oleh petani ubikayu di Lampung, hal ini sebagian terkait dengan semakin sulit dan mahal untuk mendapatkan dan membeli pupuk anorganik. Sehubungan dengan ini maka usahatani integrasi ternaktanaman akan semakin strategis untuk membantu petani dalam menyediakan pupuk organik. Tabel 9. Pengaruh pemberian pupuk ZA terhadap hasil lima klon/varietas ubikayu pada

    lahan kering Alfisol Gunung Kidul. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------- Hasil umbi segar (ton/ha) Pupuk ZA (kg/ha) KTKN No. 13 No. 10 No. 12 Adira-1 0 23,7 22,56 24,78 24,11 18,89 50 27,33 18,11 29,22 27,33 23,53 100 36,56 33,89 32,89 32,22 26,55 Pupuk dasar: 100 kg SP36 + 100 kg KCl per hektar Sumber: Slamet et al. (2003). Tabel 10. Hasil ubikayu pada lahan kering Alfisol di Gunung Kidul dan Malang pada

    berbagai takaran pupuk KCl. Hasil umbi segar (ton/ha) Takaran KCl (kg/ha) Gunung Kidul *) Malang *) 0 18,89 33,00 50 21,56 36,33 100 24,45 44,56 150 23,12 44,33 Pada pemupukan dasar: 200 kg Urea + 100 kg SP36/ha. *) Kandungan K-dd Alfisol Gunung Kidul 0,2 me/100 g dan Alfisol Malang 0,5 me/100g Sumber: Ispandi et al. (2003).

  • 12

    Tabel 11. Hasil ubikayu pada tanah Alfisol di Patuk (Gunung Kidul) dan Bantur (Malang) pada beberapa takaran dan frekuensi pemberian pupuk KCl.

    Hasil umbi segar (ton/ha) Takaran KCl (kg/ha) 1 kali aplikasi**)2 kali aplikasi**)3 kali aplikasi **) Patuk (Gunung Kidul *) 50 20,98 32,45 27,73 100 30,93 37,57 25,75 150 29,71 32,56 26,98 Bantur (Malang) *) 50 19,82 24,10 19,55 100 22,67 27,56 25,62 150 23,60 27,78 23,33 Pada pemupukan dasar: 100 kg Urea + 50 kg ZA + 100 kg SP36 per hektar *) Kdd Alfisol Patuk 0,16 me/100 g dan Alfisol Bantur 0,29 me/100 g **) 1 kali aplikasi pada saat tanam, 2 kali aplikasi pada saat tanam dan umur 60 hari, dan 3 kali aplikasi pada saat tanam, umur 60 hari, dan umur 120 hari setelah tanam. Sumber: Ispandi dan Munip, 2004. Tabel 12. Pengaruh pemberian kapur pada takaran rendah terhadap hasil ubikayu pada

    lahan kering masam di Metro dan Tulangbawang (Lampung). ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Hasil umbi segar (ton/ha) *) Takaran kapur (kg/ha) Metro Tulangbawang 0 32,84 26,64 300 39,56 32,06 600 39,44 28,40 *) Dipanen umur 10 bulan. Pupuk dasar: 200 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha. Sumber: Munip dan Ispandi, 2004.

  • 13

    Tabel 13. Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil dua varietas ubikayu pada tanah Alfisol di Bantur (Malang). MT 2004/2005.

    Takaran Hasil umbi segar (ton/ha) pupuk kandang (ton/ha) UJ-5 Malang-6 0 15,00 15,06 3 18,80 19,47 6 22,00 22,20 Pupuk dasar: 150 kg Urea + 100 kg ZA + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha. Sumber: Ispandi dan Munip, 2006. Keragaman lingkungan tumbuh akan memberikan hasil yang beragam pula. Demikian juga ketidakstabilan suatu genotipa di berbagai lingkungan biasanya menunjukkan interaksi yang tinggi antara faktor genetik dengan lingkungan. Oleh karena itu ketersediaan paket teknologi yang adaptif termasuk penggunaan varietas yang berpotensi hasil tinggi, stabil dan sedikit berinteraksi dengan lingkungan merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan. Menurut Wargiono et al. (2009) komponen teknologi yang tersusun harus saling bersinergi diantaranya penyiapan lahan, penyediaan bibit, pemupukan, waktu tanam dan cara tanam. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh, telah disusun rakitan teknologi budidaya ubikayu dan dilakukan pengujian di Malang Selatan, Banyuwangi (Jawa Timur), Natar dan Sulusuban (Lampung). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bahwa dengan pengelolaan tanaman yang baik, hasil ubikayu dapat ditingkatkan hingga 50 -100 t/ha (Tabel 14). Hasil yang sama juga dilaporkan dari hasil demplot sekolah lapang kelompok tani Jati Subur Sukowilangun di Malang Selatan menunjukkan bahwa pada tanah Inceptisol, varietas lokal Sembung dapat mencapai hasil 153 t/ha, sedangkan varietas MLG-6, MLG-4 dan Adira-4 masing-masing dapat menghasilkan 83 t, 93 t, dan 74 t/ha dengan pemupukan 1200 kg Bokasi, 500 kg Ponska dan 85 kg Urea, ditanam dengan jarak 125 cm x 100 cm (Anonymous, 2006). Di daerah Rembang-Kepuh, kecamatan Ngadiluwih kabupaten Kediri, kelompok Tani Subur Makmur juga melaporkan bahwa pada tanah Entisol, dengan pengelolaan tanaman yang baik hasil ubikayu dapat mencapai 100 t/ha lebih (Komunikasi probadi, 2011).

    Ubijalar termasuk tanaman yang respon terhadap pemupukan, khususnya di tanah yang kurang subur dan ditanami terus menerus. Pada lahan sawah tadah hujan jenis tanah Entisol di Pasuruan dan Blitar, dengan pupuk organik campuran serbuk arang (Forgcomp) sebanyak 5 t/ha memberi hasil umbi setara dengan pemupukan 100 kg Urea + 100 kg KCl/ha (Tabel 15 ).

  • 14

    Tabel 14. Komponen teknologi produksi ubikayu spesifik lokasi di Malang Selatan, KP Genteng dan Lampung. Komponen teknologi

    Lokasi Malang Selatan Genteng Natar,

    Lampung Sulusuban Lampung

    Persiapan lahan Cara tanam Jarak tanam Klon (varietas) Waktu tanam Pemupukan : Urea SP-36 Ponska KCl Pupuk kandang Dolomit Penyiangan Pembumbunan Herbisida Hasil umbi (t/ha) B/C ratio

    Dibajak 2 kali Guludan 125 m x 100 cm MLG-6 dan Sembung Oktober 600 kg 200 kg 200 kg - 10 t - 2 kali 2 kali - 100-120 4,8-4,9

    Dibajak 2 kali Guludan 125 m x 100 cm MLG-6, Adira 4, UJ-5, Cecek hijau dan Sembung Oktober 300 kg - 300 kg - 10 t - 2 kali 2 kali - 64-87 2,7-4,0

    Dibajak 2 kali Guludan 100 cm x 80 cm Adira-4, UJ-5, Kaspro dan lokal Dampit Nopember 300 kg 100 kg - 100 kg 5 t - 2 kali 1 kali 4 liter 54-61 2,5-3,0

    Dibajak 2 kali Guludan 100 cm x 80 cm OMM 9908-4. Adira 4, Kaspro dan MLG-6 Nopember 300 kg 200 kg - 200 kg 5 t 500 kg 2 kali 1 kali 4 liter 46-51 1,3-1,6

    Dibajak 2 kali Guludan 100 cm x 80 cm OMM 9908-4. Adira 4, Kaspro dan MLG-6 Nopember 300 kg 200 kg - 200 kg 5 t 500 kg 2 kali 1 kali 4 liter 50-59 2,0--2,4

    Sumber: Radjit et al.(2008) ; Radjit et al. (2009) dan Radjit et al.. (2010)

    Tabel 15. Hasil umbi ubijalar pada berbagai pemupukan di tanah Entisol Pasuruan dan Blitar MK 2003 --------------------------------------------------------------------------------------------- Pemupukan Hasil umbi (t/ha) Pasuruan Blitar --------------------------------------------------------------------------------------------- Tanpa pupuk 33,26 32,28 Pupuk kandang 10 t/ha 33,67 32,47 100 kg Urea+ 100 kg KCl/ha 34,64* 34,85* 100 kg Ure + 100 kg KCl/ha + 5 ton pupuk kandang 34,21 34,42 * 200 kg Urea + 200 kg KCl/ha 34,22 34,85* Forgcomp 5 t/ha 38,55* 36,21* ---------------------------------------------------------------------------------------------- Sumber: Balitkabi, 2003 Keterangan: Forgcompt = pupuk organik dari kotoran ayam yang dicampur dengan serbuk arang komposit; * = berbeda nyata dibanding kontrol

  • 15

    Pupuk organik biasanya diberikan bersamaan dengan pembuatan guludan. Umumnya pemupukan diberikan dua kali, yaitu pada awal sejumlah 1/3 bagian, dan yang ke dua pada umur 1,5-2 bulan sejumlah 2/3 bagian.

    Hara yang terangkut oleh panen ubijalar dengan taraf hasil 15 t/ha umbi segar sejumlah 70 kg N, 20 kg P dan 110 kg K. Oleh karena itu, bagi tanah yang ditanami terus-menerus dan kurang subur dianjurkan untuk menggunakan dosis 200 kg Urea + 100 kg SP-36 + 150 kg KCl/ha ditambah mulsa jerami 10 t/ha serta pupuk kandang 10 t/ha. Untuk menghemat biaya pupuk kandang tidak perlu diberikan setiap tahun, tetapi setiap dua tahun. Di tanah vulkanik muda Kediri yang relatif subur, ubijalar yang ditanam setelah padi dan tanpa penambahan pupuk mampu menghasilkan 23 t/ha. Pemupukan yang berlebihan justru sering menimbulkan pertumbuhan tajuk yang maksimal, sehingga hasil umbi berkurang. 2. Perluasan areal tanam/panen. Pada saat sekarang luas panen ubikayu dan ubijalar masing-masing berkisar antara 1,2 1,5 juta hektar, dan 170-180 ribu hektar, sementara lahan kering berupa lahan tegalan, lahan ladang maupun yang sementara belum dimanfaatkan di seluruh Indonesia masih sangat luas. Wargiono (2001) menyebutkan bahwa di beberapa daerah sentra produksi ubikayu-pun indeks pertanaman belum optimal dan masih terdapat lahan-lahan tidur yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ubikayu.

    Lahan Ultisol, Inceptisol dan Alfisol yang mendominasi sentra produksi ubikayu dan belum diusahakan (merupakan lahan tidur berupa padang alang-alang) di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur masing-masing sekitar 3,1 juta hektar, 6,2 juta hektar, 0,8 juta hektar dan 1,2 juta hektar sangat potensial sebagai daerah pengembangan ubikayu, terutama pada daerah beriklim basah (Suyamto dan Wargiono, 2009). Selain secara khusus mengembangkan ubikayu dan ubijalar pada lahan yang baru, peningkatan luas areal tanam/panen ubikayu dan ubijalar juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan lahan pada perkebunan/hutan industri yang tanaman utamanya masih berumur 1-3 tahun. Di Lampung, ubikayu banyak diusahakan pada perkebunan karet/kelapa sawit muda. Di Jawa Timur, ubikayu banyak ditanam di bawah naungan hutan jati muda. Di lahan tadah hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ubikayu banyak ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain seperti padi gogo, jagung, kacang-kacangan atau sayuran. Berkembangnya wanatani dan penggunaan lahan sawah tadah hujan untuk usahatani ubikayu di daerah industri pengolahan ubikayu dapat dijadikan indikator bahwa penambahan areal tanam berpeluang diimplementasikan.

  • 16

    Tabel 16. Sebaran dan luas jenis tanah Inceptisol, Alfisol dan Ultisol di Indonesia

    Propinsi Jenis dan luas (000 ha) Lahan Tidur Tipe iklim (%)

    Inceptisol Alfisol Ultisol 000 ha) Basah Kering Sumatera Utara 2517 36 855 244 100 0 Sumatera Barat 1700 14 1472 321 100 0 Riau 1676 0 2230 273 100 0 Jambi 1209 0 973 349 100 0 Bengkulu 894 0 609 166 100 0 Sumatera Selatan 1635 0 1602 1022 100 0 Lampung 967 0 467 97 100 0 Total Sumatera 8638 50 6678 2383 Jawa Barat 1666 252 844 14 60 40 Jawa Tengah 1172 365 368 0 36 64 Yogyakarta 54 - 12 0 14 86 Jawa Timur 1339 436 26 0 19 81 Total Jawa 4231 1305 1250 14 Nusa TT 1963 296 56 785 6 94 Kalimantan Barat 3271 0 5744 1729 100 0 Kalimantan Tengah 1932 0 4829 1172 100 0 Kalimantan Timur 5821 0 9827 1787 100 0 Total Kalimantan 11024 20400 4689 Sulawesi Selatan 2361 583 1558 996 63 37 Sulawesi Tenggara 1479 197 722 282 62 38 Total Sulawesi 3840 780 2280 1278 Sumber: Adimihardja dan Mapaona (2005) dan BPS 2004 dalam Suyamto dan Wargiono, 2009

    PENINGKATAN KUALITAS

    Sebagai sumber karbohidrat ubikayu dan ubijalar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan dan bahan baku industri melalui proses dehidrasi ( chip, pellet, tepung tapioka ), hidrolisa (dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose) dan proses fermentasi (alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol dll). Sebagai bahan pangan yang dikonsumsi langsung (digodok, digoreng) diperlukan ubikayu yang rasanya enak (tidak pahit dengan kadar HCN< 50 ppm), mempur tidak berserat. Sebaliknya untuk bahan baku industri tepung atau tapioka, selain produktivitasnya yang tinggi, juga diperlukan kadar pati yang tinggi. Untuk bahan baku ethanol, selain produksi dan kadar pati juga diperlukan varietas yang mempunyai kadar gula total dan nilai konversi etanol yang tinggi. Beberapa

  • 17

    varietas/klon ubikayu yang sesuai untuk bahan baku ethanol antara lain : Adira-4, UJ-5, UJ-3, OMM 9908-4, CMM 99008-3 dan MLG 0311 (Tabel 17 ). Tabel 17. Varietas ubikayu yang sesuai untuk bahan baku ethanol

    Klon ubikayu

    Kadar bahan kering (%)

    Kadar gula total (% bb)

    Kadar pati (% bk)

    Konversi umbi segar kupas menjadi etanol (kg/liter) a

    Adira-4 39,51 40,93 80,31 4,70 UJ-3 41,34 36,22 79,57 4,93 UJ-5 46,31 43,47 80,24 4,52

    OMM 9908-4 43,41 42,38 80,48 4,25

    CMM 99008-3 49,36 45,28 82,13 4,23 MLG 0311 45,49 41,29 80,93 4,29 Keterangan: a: Etanol dengan kadar 96% (effisiensi distilasi dianggap 95%) (Sumber: Ginting, et al., 2006) Pada ubijalar, peningkatan kualitas umbi diarahkan pada fungsi ubijalar sebagai pangan kesehatan (functional food). Aspek fungsional tersebut berkaitan dengan keberadaan beta karoten (pada umbi berdaging kuning/orange) dan antosianin (pada umbi berdaging ungu), senyawa fenol, dan serat pangan serta nilai indeks glisemiknya (Glycemic Index). Akhir-akhir ini dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, permintaan ubijalar berdaging umbi kuning(orange) dan ungu meningkat. Fungsi utama beta karoten ubijalar adalah sebagai pro vitamin A. Di samping memiliki aktivitas vitamin A, beta karoten dilaporkan juga dapat memberi perlindungan/ pencegahan terhadap kanker, penuaan, penurunan kekebalan tubuh, penyakit jantung, stroke, katarak, sengatan cahaya matahari dan gangguan otot (Mayne 1996). Hal ini berkaitan dengan kemampuannya untuk menangkap radikal bebas, yang dipercaya sebagai penyebab terjadinya tumor dan kanker. Varietas ubijalar yang mengandung betakarotene adalah Sari, Papua Solossa, Sawentar , Beta-1 dan Beta -2 (Tabel 18). Tabel 18. Varietas ubijalar berdaging kuning/orange dan kandungan beta karoten nya

    Varietas Warna daging umbi Kandungan beta karoten (ug/100 g bahan)

    Sari Kuning 380,92 Papua Solossa Kuning tua 533,80 Sawentar Kuning tua 347,84 Beta-1 Orange tua 12.032,00 Beta-2 Orange 4.629,00

    Sumber: Balitkabi, 2011 Antosianin yang terdapat pada ubijalar ungu, memiliki kemampuan yang tinggi sebagai antioksidan karena kemampuannya untuk menangkap radikal bebas dan menghambat peroksidasi lemak, penyebab utama kerusakan pada sel yang berasosiasi dengan terjadinya penuaan dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti arteosklerosis,

  • 18

    jantung koroner, dan kanker (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2002; Suda et al. 2003). Selain itu, antosianin memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik (Yamakawa dan Yoshimoto 2002). Antosianin juga dapat mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi, dan antihiperglisemik (Suda et al., 2003). Beberapa varietas/klon ubijalar yang berdaging ungu dan mengandung antosianin tinggi adalah Antin-1, Antin-2, Ayamurasaki, RIS 03065-03, MSU 03028-10

    Tabel 18. Varietas ubijalar berdaging ungu dan kandungan antosianinnya

    Varietas Warna daging umbi Kandungan Antosianin (mg/100 g bahan)

    Antin-1 Warna ungu sembur 33,89 Ayamurasaki Ungu tua 281,90 RIS 03065-03 Ungu tua 510,80 MSU 03028-10 Ungu tua 590,80 MSU 03007-82 Ungu 148,0 MSU 01022-12 Ungu muda 33,9 MSU 01015-02 Ungu muda 64,0

    Kandungan senyawa fenol pada ubi jalar ungu lebih tinggi dibandingkan ubi jalar kuning dan putih. Keberadaan senyawa fenol tersebut berasosiasi dengan tingginya aktivitas antioksidan ubijalar ungu (Yashimoto et al., 1999).

    KESIMPULAN 1. Sebagai sumber karbohidrat untuk pangan, pakan dan bahan baku industri, pada masa

    mendatang kebutuhan ubi kayu dan ubijalar akan meningkat secara tajam sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, berkembangnya industri peternakan dan industri berbahan baku ubikayu dan ubijalar.

    2. Selama kurun waktu dasawarsa terakhir (tahun 2000-2009), produksi ubikayu dan ubijalar meningkat dengan pertumbuhan 3,5 dan 0,75 %/tahun. Namun luas tanam ubikayu dan ubijalar cenderung stagnan bahkan menurun. Peningkatan produksi lebih disebabkan oleh meningkatnya produktivitas.

    3. Hingga tahun 2009, rata-rata produktivitas ubikayu dan ubijalar masih rendah, yaitu masing-masing 18,2 t/ha dan 11 t/ha. Peningkatanm produktivitas ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul, disertai teknologi budidaya yang maju.

    4. Peningkatan produksi ubikayu dan ubijalar dapat dilakukan dengan memperluas areal tanam/panen. Ke lahan kering, lahan tidur dan meningkatkan indeks tanam.

    5. Dalam merakit varietas unggul, perbaikan kualitas ubikayu untuk pangan lansung diarahkan pada rasa enak, kadar HCN rendah dan tidak berserat. Untuk ubikayu sebagai bahan baku industri selain produktivitas tinggi, juga diarahkan pada kadar pati dan gula total.

    6. Untuk ubijalar, perakitan varietas diarahkan pada peran ubijalar sebagai functional food sehingga diarahkan pada kadar beta karoten dan antosianin yang tinggi.

  • 19

    DAFTAR PUSTAKA Balitkabi. 2003. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun

    2003. Balitkabi Malang. Balitkabi. 2011. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balitkabi

    Malang.179 hal.

    Balitkabi.2010. Hasil Utama Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun 2005-2009. Balitkabi Malang.66 hlm.

    BPS (2005). Statistik Indonesia. 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta., Indonesia. 604 p. BPS. 2009. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik- Jakarta. 640 hlm.

    Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and functional properties of purple sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). Acta Horticulture 583:195-203.

    Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo, dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi pasca panen ubi jalar mendukung difersifikasi pangan dan pengembangan agroindustri, Bulletin Palawija no.11:15-28.

    Ginting, E., J.S. Utomo, R. Yulifianti, dan M. Yusuf. 2011. Potensi ubijalar ungu sebagai

    pangan fungsional. IPTEK Tanaman Pangan 6(1):116-138. Hafsah, M.J. 2003. Bisnis ubi kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 263 p. Howeler, R.H. 1994. Integrated soil and crop management to prevent environment

    degradation in cassava based cropping systems in Asia. Proc. Of workshop on Upland Agriculture in Asia, April 6-8, Bogor, Indonesia, : 195-224

    Howeler, R.H. 2002. Cassava mineral nutrition and fertilization. In. R.J. Hillocks, J.M. Thresh and A.C.Belloti (ed). Cassava Biology. Production and Utilization. Pp: 115 147. Cabi Publishing, CAB International, Wallingford. Oxon.

    Mayne, S.T. 1996. Beta-carotene, carotenoids and disease prevention in humans. FASEB J. 10:690-701.

    Ispandi, A, L.J. Santoso, dan Mayar. 2003. Pemupukan dan dinamika kalium dalam tanah dan tanaman ubi kayu di lahan kering Alfisol, p.190201. Dalam: Koes Hartojo et al. (ed.). Pemberdayaan ubi kayu mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

    Ispandi, A dan A. Munip. 2004. Efektivitas pemupukan N, K, dan frekuensi pemberian pupuk K pada tanaman ubi kayu di lahan kering Alfisol, p. 368383. Dalam: A. K. Makarim et al. (ed.). Kinerja penelitian mendukung agribisnis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

  • 20

    Ispandi, A dan A. Munip. 2006. Pengaruh pupuk organik dan pupuk K terhadap peningkatan serapan hara dan produksi umbi beberapa klon ubi kayu di lahan kering Alfisol. Makalah bahan seminar hasil penelitian tanaman pangan di Balitkabi, Malang (belum dipublikasi).

    Karama, S. 2003. Potensi, tantangan dan kendala ubi kayu dalam mendukung ketahanan

    pangan, p.114. Dalam: Koes Hartojo et al. (ed.). Pemberdayaan ubi kayu mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

    Munip, A dan A. Ispandi. 2004. Pengaruh pengapuran terhadap serapan hara, hasil umbi

    dan kadar pati beberapa klon ubi kayu di lahan kering tanah masam. Laporan Teknis. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (belum dipublikasi).

    Presiden Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5., tentang

    Kebijakan Enerji Nasional Radjit,B.S., Y. Widodo, A. Munip, N. Prasetiaswati dan N. Saleh. 2008. Teknologi

    Produksi Ubikayu di Lahan Kering yang produktif dan Efisien. Lap. Akhir Tahun 2008. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbantan: 19 hal.

    Radjit,B.S., N. Saleh, Y. Widodo, A. Munip, N. Prasetiaswati dan. 2009. Teknologi

    Produksi Ubikayu monokultur dan tumpangsari di Lahan Kering yang produktif dan Efisien. Lap. Akhir Tahun

    Radjit,B.S., N. Prasetiaswati, A. Munip dan N. Saleh. 2010. Teknologi Produksi

    Ubikayu Umur genjah yang efisien di Lahan kering dan pasang surut dengan potensi hasil 40 60 t/ha. Lap. Teknis Akhir Tahun 2010. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 38 hal.

    Saleh, N., K. Hartojo and Suyamto. 2000. Present situation and future potential of

    cassava in Indonesia. Cassava Potential in Asia in 21 st Century. Proc. 6th Regional Cassava Workshop. Ho Chi Minh city, Vietnam. p : 47-60.

    Saleh, N. , B. Santoso, Y. Widodo, A. Munip, E.Ginting dan N. Prasyaswati. 2006.

    Alternatif teknologi produksi ubikayu mendukung agroindustri. Laporan akhir tahun 2006.

    Slamet, P; L.J. Santoso, dan A. Ispandi. 2003. Pengaruh dosis pemupukan ZA terhadap

    hasil umbi lima klon/varietas ubi kayu di lahan kering tanah Alfisol Gunung Kidul Yogyakarta. p. 202213. Dalam: Koes Hartojo et al. (ed.). Pemberdayaan

  • 21

    ubi kayu mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis kerakyatan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

    Suda, I., Oki, T., Masuda, M., Kobayashi, M., Nishiba, Y. and Furuta, S. 2003. Review: Physiological functionality of purple-fleshed sweetpotatoes containing anthocyanins and their utilization in foods. JARQ. 37(3):167-173. http://www.jircas.affrc.go.jp . Accessed 1 march 2006.

    Suyamto dan Wargiono. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubikayu.Hal. 3-25 Dalam (Wargiono, Hermanto dan Sunihardi) Ubikayu. Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

    Wargiono, J., B. Santoso dan Kartika, 2009. Dinamika Budidaya Ubikayu. Hal 138 167.

    Dalam (Wargiono, Hermanto dan Sunihardi) Ubikayu. Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

    Yamakawa, O and M. Yashimoto. 2002. Sweetpotato as food material with physiological

    functions. Acta Horticulture 583:179-185.

    Yashimoto, M., S. Okuna, M. Yoshinaga, O. Yamakawa, M. Yamaguchi and J. Yamada. 1999. Antimutagenicity of sweet potato (Ipomoae batatas) root. Biosci. Biotech.. Biochem. 63:541-543.