penelitian derivasi

Download Penelitian Derivasi

If you can't read please download the document

Upload: muh-ridwan-septiaji

Post on 14-Nov-2015

26 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

morfologi

TRANSCRIPT

BAB I

28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bahasa Jerman termasuk bahasa fleksi yang mempunyai banyak perubahan bentuk untuk menggambarkan fungsi gramatikalnya. Penambahan afiks yang termasuk prefiks, infiks, serta sufiks sering muncul pada bahasa fleksi. Perubahan bentuk ini terkadang sukar dipahami oleh pembelajar bahasa. Namun demikian, semua perubahan tersebut bisa diuraikan dengan kajian tertentu, salah satunya linguistik sinkronis.

Proses pembubuhan afiks terjadi dengan suatu proses morfemis yang dikenal sebagai proses afiksasi. Prosess afiksasi merupakan salah satu proses morfologis yang amat berperan dalam pembentukan kata baru. Verhaar menyatakan bahwa fungsi utama proses afiksasi ada dua, antara lain infleksional dan derivasional. Afiksasi infleksional merupakan proses afiksasi yang menghasilkan alternan-alternan dari bentuk yang tetap merupakan kata, atau unsur leksikal, yang sama. Sedangkan afiksasi derivasional merupakan proses afiksasi yang menurunkan kata atau unsur leksikal yang lain dari kata atau unsur leksikal tertentu (2006; 107).

Derivasi merupakan salah satu proses morfologis yang terdapat dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Jerman. Dalam suatu bahasa, derivasi penting untuk diketahui dalam usaha pengkategorian kelas kata serta keajegan proses morfologis yang terdapat dalam bahasa tertentu. Dengan mengetahui sistem derivasi suatu bahasa maka akan diketahui bagaimana konstruksi kelas kata yang satu berubah menjadi kelas kata yang lain (Verhaar, 2006:118).

Pembentukan verba bisa dilakukan dengan derivasi kata benda maupun kata sifat. Derivasi kata kerja dari bentuk dasar benda maupun kata sifat dalam bahasa Jerman memiliki sifat dan ciri khas yang menarik. Sebagai contoh, sebelum terderivasi menjadi kata kerja, kata sifat dalam bahasa Jerman terlebih dahulu dirubah ke dalam bentuk komparatif atau bermakna lebih dengan membubuhkan sufiks er. Setelah itu, kata sifat yang telah berubah bentuk tadi dibubuhi lagi dengan prefiks ver dan sufiks n. seperti pada contoh di bawah ini.

gross besar adjektiva

gross + er = grsser lebih besar adjektiva comparatif

ver + grsser + n = vergrssern membesarkan verba

Jika kata kerja bentukan dari bentuk dasar kata sifat dalam bahasa Jerman di atas diartikan secara harfiah, maka memiliki arti melebihbesarkan. Hal ini dipengaruhi dari perubahan bentuk komparatifnya yang menyatakan lebih besar. Akan tetapi, arti kontekstual dari verba ini adalah tetap seperti verba pada umumnya, yakni memperbesar, yang secara tidak langsung mengandung makna melebihkan sesuatu dari keadaan sebelumnya.

Berprinsip pada fenomena proses perubahan tersebut, maka peneliti ingin menelaah lebih lanjut mengenai proses pembentukan verba dalam bahasa Jerman. Selama ini pembelajar bahasa Jerman menemui kesulitan dalam memahami kata turunan dalam bahasa Jerman. Penelitian ini diharapkan mampu memberi tambahan literature bagi pemahaman proses pembentukan kata dan perubahan makna kata dalam bahasa Jerman yang mengalami proses afiksasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji proses pembentukan kata kerja bahasa Jerman melalui proses afiksasi derivasional yang terdapat pada Kamus Jerman-Indonesia karangan Adolf Heuken, S.J.

1.2Rumusan Masalah

Pembahasan masalah derivasi pada dasarnya mempersoalkan perubahan yang disebabkan oleh proses morfemis. Proses morfemis tersebut dapat melalui afiksasi. Melalui proses ini dapat diperoleh bentukan-bentukan yang mungkin hanya berubah bentuk dasar atau asalnya, mungkin pula berubah identitas leksikalnya. Berdasarkan hal ini maka dapatlah dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bagaimanakah derivasi verba dalam bahasa Jerman? Dalam hal ini meliputi:

Bagaimanakah bentuk-bentuk afiks derivasional verba dalam bahasa Jerman?Bagaimanakah proses afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman?Bagaimanakah sistem morfofonemis afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman?Bagaimanakah makna verba turunan dari afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Mendeskripsikan bentuk-bentuk afiks derivasional verba dalam bahasa Jerman.Mendeskripsikan proses afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman.Mendeskripsikan sistem morfofonemis afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman.Mendeskripsikan makna verba turunan dari afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat teoritis maupun praktis, yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.4.1Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi bagi pengembangan kajian mengenai proses pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman. Pembentukan kata kerja dalam bahasa jerman bisa berasal dari bentuk dasar kata sifat maupun kata benda.

1.4.2Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana tambahan mengenai pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman, serta diharapkan dapat membantu pembelajar bahasa Jerman dalam mengidentifikasi kata kerja dalam bahasa ini sekaligus dapat menggunakannya dengan baik dan benar.

Kajian ini juga dapat membantu dalam upaya pemahaman kosa kata bahasa Jerman utamanya mengenai verba bentukan yang bisa diidentifikasi maknanya berdasarkan afiks yang digunakan.

1.5Landasan Teori

Bagian ini berisi ulasan tentang beberapa pengertian yang terkait dengan topik penelitian. Pada bagian ini akan diuraikan tentang pokok pemahaman yang penting dalam morfologi bahasa Jerman. Uraian ini akan diawali dengan uraian mengenai konsep morfologi, proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman, pengertian verba, adjektiva, nomina, afiks, serta afiksasi yang sekaligus meliputi afiksasi infleksional dan juga derivasional dalam bahasa Jerman. Adapun uraian selengkapnya disajikan dalam bab berikutnya.

1.6Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif. Sudaryanto menyatakan bahwa metode deskriptif berarti penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada dan fenomena yang memang secara empiris hidup pada para penuturnya.

Secara prkatis, metode yang digunakan dalam kajian ini dijabarkan dalam tiga metode sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, antara lain:

Metode penyediaan dan pengumpulan dataMetode analisis dataMetode penyajian hasil analisis data

1.6.1Metode Penyediaan dan pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian bahasa ini merupakan data tulisan yang diambil dari buku ilmiah yang terkait dengan topik penelitian yang dianggap baik dan lengkap. Sumber data ini dipilih mengingat data tersebut telah melalui proses pengujian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Adapun buku ilmiah yang akan digunakan sebagai sumber data adalah Kamus Jerman-Indonesia yang ditulis oleh Adolf Heuken, S.J. Pemilihan kamus ini sebagai dasar analisis mengingat kamus ini merupakan kamus acuan yang digunakan oleh para pembelajar bahasa Jerman di Indonesia sehingga dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Adapun kenapa sumber data hanya dibatasi pada satu buku, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan analisis yang lebih rinci dan mendalam pada sumber data yang telah dipilih berdasarkan teknik pursposive. Menurut Johnson dan Christensen, teknik ini merupakan salah satu teknik pengambilan sampel dalam penelitian yang memungkinkan peneliti menentukan sendiri subjek penelitiannya (239: 2008).

Adapun penyediaan data yang dilakukan dengan teknik catat dari wacana tulis atau teks yang telah dipilih sebagai sumber data. Hasil analisis awal yang berupa kata kerja turunan yang diduga berasal dari pembentukan kata sifat dan kata benda dengan proses afiksasi derivasional dalam bahasa Jerman dicatat dalam tabel kata kerja turunan yang telah disediakan.

1.6.2Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, semua data yang berupa kata kerja turunan yang ditemukan dianalisis dengan menggunakan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituent analysis) untuk mendapatkan identifikasi unsur-unsur penyusun setiap kata tersebut. Menurut Edi Subroto (69: 2007) yang dimaksud dengan teknik urai unsur terkecil adalah mengurai suatu satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya. Unsur-unsur terkecil yang dimaksudkan dalam analisis pada kata kerja turunan yang muncul dalam kajian ini adalah morfem yang merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna gramatis.

1.6.3Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan dalam bentuk deskripsi afiks-afiks pembentuk verba dari adjektiva dalam bahasa Jerman. Proses afiksasi derivasional, sistem morfofonemis pembentukan kata kerja serta makna verba turunan yang ditemukan pada sumber data disajikan secara terperinci dalam sebuah laporan.

1.7Sistematika Penyajian

Penyajian hasil penelitian dibagi dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut.

Bab I adalah pendahuluan yang berisi: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Landasan Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penyajian dan Rencana Kerja. Bab II berisi gambaran umum mengenai tinjauan pustaka, teori serta kajian yang akan menjadi landasan berpikir dalam penelitian ini. Pada Bab III berisi Kajian metode serta langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini. Bab IV berisi uraian lengkap proses afiksasi derivasional pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman, serta bab V meringkas kesimpulan hasil dari penelitian ini.

1.8. Rencana Kerja

Tahapan

Sept

Okt

Nov

Des

1. Persiapan Penelitian

#

#

#

#

1.1. Pencarian Objek

#

1.2. Studi Pustaka Awal

#

#

1.3. Penelusuran Data Awal

#

1.4. Analisis Data Awal

#

#

#

1.5 Penulisan Proposal

#

#

2. Pengambilan Data

#

#

#

#

2.1. Studi Pustaka

#

#

#

2.2. Klasifikasi Data

#

#

#

3. Pengolahan Data

#

#

#

#

#

3.1 Analisis Data

#

#

#

#

#

4. Penyusunan Laporan

#

#

#

#

#

#

#

4.1. Penulisan Laporan

#

#

#

#

4.2. Laporan Masuk

#

4.3. Ujian

#

4.4. Revisi

#

#

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Bab ini berisi uraian mengenai dua hal utama, yakni tinjauan pustaka dan landasan teori. Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk memberikan deskripsi mengenai hal-hal yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dalam kaitannya dengan pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman dengan melalui proses afiksasi. Uraian ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan keaslian atau keorisinalitasan dari kajian ini. Sedangkan, landasan teori mengungkapkan teori-teori yang telah ada dan dianggap mapan yang berkaitan dengan afiksasi derivasional pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan dasar dan sekaligus arah kajian tentang afiksasi pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman ini.

2.1. Tinjauan Pustaka

Penelitian berhubungan dengan afiksasi derivasional pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Siti Sudartini (2009) yang meneliti Afiksasi Derivasional Pembentukan Kata Benda dalam Bahasa Inggris (Kajian Proses, Proporsi Pemakaian, dan Permasalahannya). Dalam penelitian tersebut, Sudartini mengkaji proses pembentukan afiksasi derivasional dalam bahasa Inggris. Di samping itu, beliau juga menelaah proporsi pemakaian serta permasalahan yang muncul akibat proses afiksasi ini.

Selain itu, masih ada Awaluddin (2010) yang meneliti Afiks Pembentuk Verba dalam Bahasa Muna serta Akhmad Sauqi Ahya (2009) yang menjabarkan Makna dan Fungsi Afiks Derivasional dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia (Studi Kontrastif).

Sementara itu, Rattih Ariyantini (2009) menelaah Analisis Proses Afiksasi dalam Pembentukan Kata Bahasa Jerman pada Buku Studio d A1. Namun, dalam penelitian tersebut Ariyantini hanya menjabarkan tentang macam perubahan dan frekuensi pemakaiannya dalam buku Studio D A1. Jadi, dari penelitian yang dilakukan oleh Ariyantini tersebut belum dapat ditemukan pemecahan masalah bagi pemahaman proses pembentukan, sistem morfofonemis serta makna yang diakibatkan oleh proses afiksasi ini.

2.2 Landasan Teori

Kajian ini mencoba untuk melihat secara kritis kompleksitas dalam bahasa Jerman dari aspek morfologi sebagai salah satu hasil pengaruh perkembangan bahasa. Seperti dinyatakan oleh Stockwell dan Minkova, yakni all aspects of language are constantly changing, but vocabulary is the parts that reacts most readily and rapidly to external influences (Stockwell dan Minkova, 2001; 1-2).

Sub bagian ini akan mengulas beberapa konsep dasar terkait dengan topik kajian ini, antara lain konsep morfologi, proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman, verba, adjektiva, nomina, afiks, serta afiksasi yang sekaligus meliputi afiksasi infleksional dan juga derivasional dalam bahasa Jerman.

2.3Morfologi

Trask mendefinisikan morfologi sebagai the branch of linguistics which studies word structure (R.L. Trask, 1999; 128-129). Trask lebih lanjut menyatakan cabang ilmu linguistik ini secara umum terdiri atas dua kajian utama, yakni inflection dan word-formation. Kajian dalam inflection terkait dengan pembahasan mengenai variasi bentuk suatu kata demi memenuhi kaidah gramatikal, misalnya adanya variasi bentuk dalam bahasa Jerman untuk kata machen yang bisa berubah menjadi mache, machst, macht, machte dan gemacht. Kajian tentang word-formation membahas tentang pembentukan kata-kata baru dari kata-kata yang sudah ada, misalnya pada kata das Krankenhaus yang berasal dari kata krank dan das Haus. Salah satu jenis topik dalam word-formation adalah derivation atau proses derivasional.

Senada dengan Trask, Bauer menyatakan morfologi sebagai a sub-branch of linguistics deals with the internal structure of word-forms (Bauer, 1983; 13). Sementara itu OGrady dan Guzman mendefinisikan morfologi sebagai the system of categories and rules involved in word formation and interpretation (Ogrady, 1996; 132). Berdasarkan ketiga definisi tersebut, morfologi dapat dipahami sebagai salah satu cabang ilmu dalam linguistik yang terkait dengan struktur internal kata, proses terbentuknya kata dan juga aturan-aturan yang menyertai proses-proses tersebut.

2.4Proses Pembentukan Kata dalam Bahasa Jerman

Kajian ini membahas tentang permasalahan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman. Kajian ini tidak membahas semua proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman, namun hanya dibatasi pada proses pembentukan kata dengan proses penambahan afiks atau proses afiksasi, terutama afiksasi derivasional pembentukan kata kerja atau verba. Sebelum berbicara mengenai proses pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman, pembahasan mengenai jenis-jenis proses pembentukan kata yang umum dalam bahasa Jerman kiranya penting untuk dijelaskan terlebih dahulu. Uraian ini menjadi dasar pemahaman mengenai berbagai jenis proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman.

William OGrady dan Fancis Katamba mengidentifikasi beberapa proses morfologi yang umum digunakan dalam pembentukan kata. Proses-proses morfologi tersebut meliputi, affixation, cliticization, internal change, suppletion, compounding, conversion, clipping, blends, backformation dan acronyms (138-159). Berikut adalah uraian singkat tentang kesepuluh proses morfologi dalam bahasa Jerman tersebut.

Proses pembentukan kata yang pertama adalah affixation. Affixation merupakan proses pembentukan kata baru dengan menambahkan afiks pada suatu bentuk dasar. Penambahan afiks pada suatu bentuk dasar ini bisa disertai dengan perubahan kelas kata ataupun perubahan makna pada bentuk dasar tadi. Proses penambahan afiks yang umumnya disertai dengan perubahan kelas kata ataupun perubahan makna dari bentuk dasar dikenal sebagai proses afiksasi derivasional, sedangkan proses penambahan afiks yang tidak disertai dengan perubahan kelas kata ataupun makna dari bentuk dasar dikenal sebagai proses afiksasi infleksional. Dalam proses afiksasi bahasa Jerman ada dua jenis afiks yang sering digunakan, yakni afiks yang dilekatkan di depan bentuk dasar atau yang biasa disebut dengan Prfix dan afiks yang dilekatkan pada bagian akhir dari bentuk dasar atau yang lazim disebut sebagai Suffix. Berikut adalah contoh beberapa kata yang dibentuk dengan proses afiksasi, baik derivasional maupun infleksional.

der Glck (Nom.)+ -lich> Glcklich (Adj.)

kebahagiaan bahagia

lesen (Verba)+ ge-> gelesen (Verba)

membaca telah membaca

stolz (Adj.)+ -ieren> stolzieren (Verba)

bangga membanggakan

Proses pembentukan kata yang kedua, yakni cliticization, merupakan proses pembentukan kata untuk mempermudah pengucapan. Proses ini sering disebut sebagai proses penambahan clitics (kata yang telah dipersingkat sehingga tidak dapat berdiri sendiri sebagai bentuk yang independen karena alasan fonologis, seperti mempermudah atau mempercepat pengucapan) pada kata yang lain dalam suatu kalimat. Berikut ini adalah beberapa contoh cliticization dalam bahasa Jerman.

Ich bin im Zimmer(berasal dari kata in dem)

saya berada di dalam kamar

Ich fahre zum Bahnhof(berasal dari kata zu dem)

saya pergi ke stasiun

Adapun internal change merupakan suatu proses morfologis yang dapat didefinisikan sebagai proses penggantian suatu unsur / segmen bukan morfem dalam suatu kata dengan segmen atau unsur yang berbeda. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dihasilkan dari proses internal change beserta bentuk dasar yang digunakan.

werden (prsens)>wurden (prteritum)menjadi

bleiben (prsens)>blieben (prteritum)tinggal

der Vater (singular)>die Vter (plural)ayah

die Mutter (singular)>die Mtter (plural)ibu

Proses morfologis yang keempat yakni suppletion. Suppletion merupakan proses morfologi dimana suatu root digantikan oleh root yang secara fonologis sangat berbeda untuk menyatakan perbedaan gramatikal. Berikut adalah contoh kata yang dibentuk dengan proses morfologi tersebut.

sein> war / warenadalah

Proses morfologis dalam bahasa Jerman yang juga produktif adalah proses compounding. Bersama dengan proses afiksasi, compounding merupakan proses morfologis yang bisa dikatakan memiliki produktivitas yang tinggi untuk membentuk kata dalam bajasa Jerman. Proses morfologis ini merupakan proses penggabungan atau kombinasi beberapa kategori leksikal untuk membentuk suatu kata yang lebih kompleks. Heidi Harley menyatakan compounding occurs when two independently meaningfull roots are directly combined to form a new, complex word, usually a noun or adjective (Harley, 2006; 98). Tabel berikut berisi beberapa contoh kata yang dibentuk dengan proses compounding tersebut beserta komponen penyusunnya.

Tabel 1. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Nomen + Nomen)

Nomen + Nomen

Gloss

die Autobahn

das Motorrad

die Hausfrau

Jalan tol

Sepeda motor

Ibu rumah tangga

Tabel 2. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Adjektiv + Nomen)

Adjektiv + Nomen

Gloss

das Krankenhaus

der Grossvater

die Grossmutter

Rumah sakit

Kakek

Nenek

Tabel 3. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Verben + Nomen)

Verben + Nomen

Gloss

der Esstisch

die Hrtexte

das Lehrbuch

Meja makan

Teks mendengarkan

Buku ajar

Tabel 4. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Prposition + Nomen)

Prposition + Nomen

Gloss

der Ingang

der Ausgang

der Durchschnitt

Pintu masuk

Pintu keluar

Jumlah rata-rata

Bila dilihat sepintas lalu, contoh kata-kata kompleks yang dibentuk dari proses compounding mirip dengan kelompok kata atau frase. Namun bila diperhatikan secara seksama kata-kata tersebut tidak sama dengan frase. Carstairs dan McCarty menyatakan dua perbedaan yang mendasar antara compound dan frase, yakni pada letak stress dan juga pada maknanya (Carstairs dan McCarty, 2002; 60). Compound biasanya memiliki stress pada elemen yang pertama, berbeda dengan frase yang umumnya stress diletakkan pada elemen kedua. Compound juga memiliki makna idiomatik yang umumnya tidak langsung dapat diperkirakan dari elemen penyusunnya, berbeda dengan frase yang maknanya bisa diperkirakan dari elemen penyusunnya.

Proses morfologis yang lain adalah proses conversion atau yang lebih sering dikenal sebagai proses zero derivation. Proses morfologis ini merupakan proses perubahan kategori sintaksis suatu kata.perubahan ini seringkali juga diikuti dengan perubahan makna (OGrady, 1996; 157). Plag menyatakan, conversion can be defined as the derivation of a new word without any overt marking (Ingo Plag, 2002; 64). Proses morfologis ini seringkali muncul pada proses afiksasi, baik derivasional maupun infleksional. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dibentuk dengan proses morfolgis ini yang juga bisa dikatakan sebagai hasil derivasi tanpa penambahan afiks.

essenmakan> das Essenmakanan

lebenhidup> das Lebenkehidupan

hrenmendengar> das Hrenpendengaran

Proses morfologis yang juga masih tergolong produktif dalam bahasa Jerman adalah proses clipping, blending, backformation, dan acronym. Berikut adalah uraian singkat mengenai ketiga proses morfologis tersebut.

Clipping merupakan proses pemendekan kata polysyllabic atau bersuku kata banyak dengan cara menghilangkan satu atau dua suku kata. OGrady menyatakan bahwa proses ini awalnya hanya digunakan pada komunikasi antar siswa, namun sejumlah kata hasil proses ini pada akhirnya umum dipakai oleh penutur yang lain (1996; 157). Sejalan dengan hal tersebut Harley (2006; 95) menyatakan :

In clippings, a multisyllabic word is reduced in size, usually to one or two syllables. Its often the case that a word is clipped because it comes into more common usage-its frequency count increases- and speakers find that they dont need to use the full sesquipedalian version to identify the concept. They prefer a more quickly and easily pronounced version.

Berikut adalah beberapa contoh kata yang merupakan hasil proses morfologis ini berikut kata asalnya.

die Universitt> die Uniuniversitas

der Professor> der Profprofesor

die Demonstration> die Demodemonstrasi

der Kugelschreiber> der Kullipulpen

Sementara itu, blending bisa dikatakan sebagai proses pembentukan blends, yakni kata-kata yang dibentuk dari gabungan dua kata yang lain dan membentuk makna yang baru. Secara umum blending merupakan proses pembentukan kata dengan menggabungkan bagian dari dua kata yang lain. Sama halnya dengan compounding, kata yang dihasilkan umumnya membentuk pengertian yang baru. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dibentuk dari proses morfologis ini.

unter + die Bahn> U-Bahnkereta api bawah tanah

die Sonne + der Tag> Sonntaghari Minggu

die Mitte + die Woche> Mittwochhari Rabu

Adapun backformation merupakan proses pembentukan kata baru dengan memindahkan afiks dari suatu kata. Proses ini bisa dikatakan sebagai kebalikan dari proses afiksasi. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dihasilkan dari proses morfologis ini.

die Vergangenheit masa lalu> vergangensudah berlalu

das Alterusia> alttua

einkaufenberbelanja> der Einkaufbarang belanja

Proses morfologi berikutnya adalah proses pembentukan acronyms. Acronyms dibentuk dengan mengambil huruf awal beberapa kata dalam satu frase dan dibaca sebagai satu kata. Berikut adalah beberapa contoh acronyms yang umumnya terkait dengan istilah ilmiah serta nama organisasi.

DAAD(Deutscher Akademischer Austausch Dienst)

Dinas Pertukaran Pelajar Jerman

DFB(Deutscher Fussball Bund)

Persatuan Sepak Bola Jerman

2.5Verba

Penentuan suatu kata termasuk verba atau bukan dapat dilihat dari ciri-cirinya. Nida (1970: 181-186) mengemukakan bahwa verba dapat dilihat dari tiga segi yaitu ciri semantik, ciri morfologis, dan ciri sintaktik. Ciri semantik adalah ciri yang bisa dilihat dari makna kata misalnya verba ambil bermakna tindakan. Ciri morfologis adalah ciri yang dapat dilihat dari bentuk kata yang telah mengalami proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi maupun komposisi. Ciri sintaktik dapat dilihat dari hubungan kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu frase, klausa atau kalimat. Hasan Alwi dkk (2003: 87) mengemukakan ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaksis, (3) bentuk morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva, karena ciri-ciri (1) verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi yang lain, (2) verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, (3) verba khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefix ter- yang berarti paling, (4) pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan.

Menurut Kridalaksana (2005: 51) ditinjau dari segi bentuknya verba dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu (1) verba dasar bebas dan (2) verba turunan. Verba dasar bebas adalah verba ang berupa morfem dasar bebas. Verba turunan adalah verba yang mengalami proses morfologis seperti afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau berupa paduan leksem.

Ramlan (1997: 18) mengemukakan istilah kata verba mempunyai dua ciri yaitu (1) dapat menduduki tempat predikat, dan (2) dapat diletakkan di belakang kata yang tidak berfungsi sebagai pengingkarnya. Selanjutnya dikatakan bahwa verba dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu verba transitive dan verba intransitive. Keraf (1991: 78-82) mengemukakan bahwa verba dalam bahasa Indonesia adalah segala macam kata yang dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat.

Berdasarkan beberapa konsep verba yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa verba ditentukan dengan melihat ciri morfologis, ciri sintaktik dan ciri semantiknya. Ciri morfologis verba ditandai dengan sejumlah afiks yang berfungsi sebagai pembentuk verba, pada ciri sintaktik, verba dapat berfungsi sebagai predikat. Ciri semantis verba yaitu verba bermakna tindakan, proses atau keadaan.

2.6Adjektiva

Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan partikel tidak (nicht), (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih (mehr), sangat (sehr), agak (ziemlich), (4) mempunyai ciri-ciri morfologis, atau (5) dibentuk menjadi nomina dengan konfiks (Kridalaksana, 2005: 59).

Adjektiva mempunyai lima macam ciri, yaitu (1) dapat berfungsi sebagai atribut, (2) dapat berfungsi sebagai predikat, (3) dapat diingkarkan dengan kata tidak (nicht), (4) dapat hadir berdampingan dengan kata lebih..(mehr), daripada..(als), atau paling.(am.. sten) Untuk menyatakan tingkat perbandingan, dan (5) dapat berdampingan dengan kata penguat sangat (sehr) dan sekali (so) (Sasangka, 2000: 9).

Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Adjektiva dicirikan oleh kemungkinannya menyatakan tingkat kualitas dan tingkat bandingan acuan nomina yang diterangkannya. Perbedaan tingkat kualitas ditegaskan dengan pemakaian kata seperti sangat (sehr) dan agak (ziemlich) disamping adjektiva (Hasan Alwi dkk., 2003: 171).

2.7Nomina

Nomina atau kata benda merupakan salah satu jenis kata utama selain kata kerja, kata sifat dan kata keterangan. Alwi (2000; 213) mendeskripsikan nomina secara semantis sebagai kata yang mempunyai referen terhadap manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Lebih lanjut, Alwi memaparkan bahwa berdasarkan bentuk morfologisnya, nomina dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nomina yang berbentuk kata dasar serta nomina bentuk turunan, yakni nomina yang diturunkan dari bentuk dasar kata lain.

Sedangkan Chaer (2008; 71-73) membagi nomina dari sisi semantis dalam sebelas tipe, antara lain orang, orang metaforis, binatang, tumbuhan, buah-buahan, bunga-bungaan, peralatan, makanan dan minuman, nama geografis, bahan baku, serta kegiatan. Menurut Chaer (2008; 69-70), terdapat empat ciri utama nomina atau kata benda dilihat dari adverbial pendampingnya, yakni (1) tidak dapat didahului oleh adverbial negasi tidak, (2) tidak dapat didahului oleh adverbial derajat agak (lebih, sangat, paling), (3) tidak dapat didahului oleh adverbial keharusan wajib, dan (4) dapat didahului oleh adverbial yang menyatakan jumlah seperti satu, sebuah, sebatang, dan sebagainya.

2.8Afiksasi

2.8.1Afiks

Pembahasan mengenai afiks ini diawali dengan pemahaman tentang pengertian morfem terlebih dahulu, mengingat afiks adalah salah satu jenis morfem. Stocwell dan Minkova mendefinisikan morfem sebagai the smallest units that carry the fundamental meanings of a language (Stockwell dan Minkova, 2001; 56). Lebih lanjut, Stockwell dan Minkova menyatakan ada dua jenis morfem, yakni roots dan affixes. Setiap kata pasti memiliki roots. Roots menjadi dasar proses penurunan atau derivasi kata dan umumnya telah memiliki makna.

Sementara itu, Carstairs dan McCarty mengatakan ada dua jenis morfem, yakni yang disebut sebagai free morphemes dan bound morphemes. Carstairs dan McCarty menyatakan morphemes that can stand on their own are called free, and ones that cannot are bound. Mereka mengkategorikan roots sebagai free morphemes dan afiks sebagai bound morphemes.

Afiks juga dapat didefinisikan sebagai satuan gramatik terikat, yang merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (M. Ramlan, 1997). Hal ini juga dikemukakan oleh Plag, yang mendefinisikan afiks sebagai a bound morpheme that attaches to bases (Plag, 2002; 90). Selanjutnya Plag menyatakan seringkali terdapat beberapa bentuk dalam bahasa Jerman yang mirip afiks, namun ternyata bukan afiks melainkan morfem terikat yang lain. Bentuk-bentuk ini seringkali disebut sebagai neoclassical elements dalam bahasa Inggris (2002; 92). Bentuk-bentuk ini umumnya merupakan lexeme yang diserap dari bahasa Latin ataupun Yunani. Berikut adalah beberapa contoh morfem terikat yang bukan afiks dalam bahasa Jerman yang ditunjukkan pada elemen yang dicetak miring pada kata-kata di bawah ini.

Biochemie b. Fotografc. Geologie

biokimia fotografi ilmu geologi / ilmu bumi

Biosphre Fotomodell Biologie

Biosfir fotomodel ilmu biologi

Biograph Fotoapparat Neuropathologie

biografi kamera foto neuropathologi

Morfem bio, photo, dan logy merupakan morfem terikat yang bukan afiks, oleh karenanya kata-kata tersebut bukanlah merupakan hasil afiksasi, melainkan hasil proses compounding.

Sementara itu Parker menyebutkan bahwa: the more familiar term for the class of bound grammatical morphemes is affix (Parker, 1986; 69). Stockwell dan Minkova (2001; 63) menyatakan:

All morphemes which are not roots are affixes and affixes differ from roots in three ways. (1) They do not form words by themselves-they have to be added on to a stem, (2) their meaning, in many instances, is not as clear and specific as is the meaning of roots, and many of them are almost completely meaningless, (3) compared with the total number of roots, which is very large (thousands or tens of thousands in any language), the number of affixes is relatively small (a few hundred at most).

Lebih lanjut Stockwell dan Minkova menyatakan secara umum afiks dalam suatu bahasa dapat dikategorikan menjadi dua jenis yakni afiks-afiks yang berperan dalam pembentukan kata baru, yakni afiks derivasional, serta afiks-afiks yang kurang berperan dalam pembentukan kata baru, yakni yang dikenal sebagai afiks infleksional. Mereka menegaskan, bahwa afiks derivasional yang sangat berperan dalam pembentukan kata baru, sedangkan afiks infleksional tidak lebih dari pembentukan kata yang didasari oleh perubahan fungsi gramatikal kata dan oleh karenanya seringkali tidak disertai perubahan makna leksikal dari kata tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Kelly yang menyatakan,

Of affixes there are two kinds: inflectional and derivational. The former does not change the meaning of the root. Instead, it provides the hearer with additional information (e.g. the ing ending on a verb marks progressive action). The latter can change the meaning of the root.

2.8.2Afiksasi

Proses pembubuhan afiks ini terjadi dengan suatu proses morfemis yang dikenal sebagai proses afiksasi. Prosess afiksasi merupakan salah satu proses morfologis yang amat berperan dalam pembentukan kata baru. Beberapa ahli bahasa menyatakan afiksasi sebagai proses mendasar dalam pembentukan kata baru. Salah seorang yang menyatakan ini adalah Szymanek (1989), yang menyatakan: Affixation is probably the most frequent and wide-spread method of producing morphologically complex words in human language.

Hal senada juga dikemukakan oleh Verhaar, yang menyatakan bahwa di antara proses-proses morfemis, yang terpenting adalah afiksasi, yaitu proses pengimbuhan afiks. Verhaar juga menyatakan bahwa fungsi utama proses afiksasi ada dua, antara lain fleksi dan derivasi. Fleksi merupakan proses afiksasi yang menghasilkan alternant-alternan dari bentuk yang tetap merupakan kata, atau unsur leksikal, yang sama. Sedangkan derivasi merupakan proses afiksasi yang menurunkan kata atau unsur leksikal yang lain dari kata atau unsur leksikal tertentu (Verhaar, 2006; 107). Sementara itu Chaer mendefinisikan afiksasi sebagai proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar yang melibatkan tiga unsur, yakni dasar atau bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal yang dihasilkan (Chaer, 2003; 177). Proses afiksasi dapat merubah jenis kata (seperti misalnya pada kata der Glck menjadi glcklich) atau mengubah makna kata (seperti pada kata die Neble menjadi neblig). Lebih lanjut Chaer menyatakan bahwa, proses afiksasi ini bisa bersifat inflektif maupun derivatif.

2.8.2.1Afiksasi Derivasional

Derivasi dapat diartikan sebagai proses afiksasi penurunan satu kata dari bentuk dasarnya, baik bentuk dasar yang samam maupun bentuk dasar dari kata yang lain, dengan disertai perubahan makna leksikal. Finegan menyatakan dua ciri umum afiksasi derivasional, yakni (1) mengubah makna suatu kata dan (2) mengubah kategori leksikal dari kata tersebut (Finegan, 2004; 49). Berikut adalah beberapa contoh dari afiksasi derivasional:

der Bau (N)bangunan>verbauen (V) membangun

gross (Adj.)besar>vergrssern (V) membesarkan

vergangen (V)sudah berlalu>die Vergangenheit (N) masa lalu

Jenis derivasi dipengaruhi oleh asal atau dasar kata yang mengalami proses derivasi. Misalnya der Bau bangunan (N) diturunkan menjadi verbauen membangun (V) karena berasal dari nomina maka disebut dengan derivasi denominal dan karena hasilnya sebuah verba, maka verba verbauen disebut verba denominal. Proses gross besar (adj) diturunkan menjadi vergrssern membesarkan disebut derivasi deadjektival dan karena hasilnya adalah verba, maka verba vergrssern disebut verba deadjektival. Proses vergangen sudah berlalu (V) diturunkan menjadi die Vergangenheit masa lalu (N) karena berasal dari verba, maka disebut derivasi deverbal dan karena hasilnya sebuah N maka N die Vergangenheit disebut nomina deverbal (Verhaar, 2006: 151).

2.8.2.2 Afiksasi Infleksional

Berbeda dengan afiksasi derivasional, afiksasi infleksional tidak menghasilkan lexeme baru namun lebih cenderung menghasilkan word-forms yang baru (Bauer, 1983; 29). Afiksasi infleksional hanya melibatkan jumlah afiks yang terbatas dan sangat terkait dengan kesesuaian gramatika yang disebut sebagai concord and agreement. Carstairs dan McCarty (2002; 49) menyatakan,

Some words (lexemes) have more than one word form, depending on the grammatical context or on choices that grammar forces us to make (for example, in nouns, between singular and plural). This kind of word formation is called inflectional.

Sama halnya dengan pembentukan nomina, afiks-afiks infleksional yang digunakan untuk verba juga dapat dibedakan menjadi afiks yang umum atau regular dan juga irregular. Bentuk umum atau regular adalah pembentukan kata kerja yang menunjukkan past tense yakni dengan sufiks te / -tet ataupun bentuk progressive yakni dengan penambahan en. Adapun bentuk irregular inflection dalam pembentukan kata kerja adalah yang terkait dengan bentuk irregular verbs. Bentuk verba yang termasuk irregular verbs bisa berupa bentuk yang tetap atau zero inflection atau dengan bentuk yang sangat berbeda dengan bentuk dasar verba.

Pembentukan adjektiva dengan proses afiksasi infleksional terkait dengan Steigerung yakni perbandingan dalam bahasa Jerman yang umumnya dilakukan dengan penambahan afiks er untuk menyatakan tingkatan lebih (komparativ) dan sten untuk tingkatan paling (superlativ). Carstairs dan McCarty (2002; 41) menyatakan bahwa penambahan sufiks er dan sten sebagai regular pattern of suffixation, sedangkan untuk pembentukan kata gut menjadi besser dan am bensten sebagai suppletive disebut irregular.

Bibliografi

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Bauer, Laurie. 1983. English Word-Formation. Cambridge: Cambridge University Press.

Carstairs, Andrew and McCarty. 2002. An Introduction to English Morphology : Words and Their Structure. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Finegan, Edward. 2004. Language: Its Structure and Use. Fourth Edition. Boston: Wadsworth-Thomson Corporation.

Harley, Heidi. 2006. English Words: A Linguistic ntroduction. Malden, MA 02148-5020, USA: Blackwell Publishing.

Johnson, Burke and Lary Christensen. 2008. Educational Research : Quantitative, Qualitative, and Mixed Approach Third Edition. California: Sage Publications.

Kelley, Wendy. (tanpa tahun). Eight Derivational Suffixes in American English. http://www.xmission.com/~ladyslvr/wlk/suffixes.htm).

Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. (Edisi Kedua). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nida, Eugene A. 1970. Morphology: The Descriptive analysis of words. (Second Edition) Ann Arbor. The University of Michigan Press.

OGrady, William, Michael Dobrovsky and Francis Katamba. 1996. Contemporary Linguistics - An Introduction (3rd ed.). Edinburgh: Pearson Education Limited.

Parker, Frank. Linguistics for Non-Linguists. London: Taylor & Francis Ltd.

Plag, Ingo. 2002. Word-Formation in English. Cambridge: Cambridge University Press.

Ramlan, M. 1997. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.

Sasangka, Wisnu. 2000. Adjektiva dan Adverbia dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Stockwell, Robert dan Donka Minkova. 2001. English Words: History and Structure. Cambridge: Cambridge university press.

Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UPT Penerbitan dan Perctakan UNS / UNS Press.

Szymanek, Bogdan. 1989. Introduction to Morphological Analysis. Warsawa: Panstwowe Wydawnictwo Naukowe.

Trask, R. L. 1999. Key Concepts in Language and Lingustics. New York: Roudledge.

Verhaar, J. W. M. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.