penegakan hukum pidana dalam lingkungan hidup

17
Penegakan Hukum Pidana dalam Lingkungan Hidup Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species). Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam 98 UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang-undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat.

Upload: tafta-na-ei

Post on 20-Jul-2016

82 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Makalah membahas tentang penegakan hukum pidana dalam lingkungan hidup

TRANSCRIPT

Page 1: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

Penegakan Hukum Pidana dalam Lingkungan Hidup

Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi

pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep

dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum

(delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic

species).

Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam 98 UUPPLH

sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh

pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah

“mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan

umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana

lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan dalam UUPPLH maupun

dalam ketentuan undang-undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang

mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan”

dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna

substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya

berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif

dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat.

Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup”,

dicantumkan pada Pasal 1 angka (14) UUPPLH memberikan adalah:

“masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”

Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:

1. Masuknya atau dimasukkannya:makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain

ke dalam lingkungan;

2. Dilakukan oleh kegiatan manusia;

3. Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH di nyatakan bahwa penentuan terjadinya

pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu

Page 2: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu: “ukuran batas atau kadar

makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur

pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai

unsur lingkungan hidup.”.

Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, meliputi:

a. Baku mutu air;

b. Baku mutu air limbah;

c. Baku mutu air laut;

d. Baku mutu udara ambien;

e. Baku mutu emisi;

f. Baku mutu gangguan, dan

g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain

sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur dalam Peraturan

Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan,

diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.

Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap maku

mutu tersebut, sebagai berikut:

- “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau

komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

keberadaannya di dalam air.

- “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang

untuk dimasukkan ke media air .

- “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau

komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

keberadaannya di dalam air laut.

- “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau

komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

keberadaannya dalam udara ambien.

- “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk

dimasukkan ke media udara.

Page 3: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

- “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang

keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.

Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik dirumuskan dalam

Pasal 1 angka (16) UUPLH, sebagai berikut:

“tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”.

Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana terkandung

dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH, yaitu:

1. adanya tindakan;

2. menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau

hayati lingkungan;

3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk menentukan

terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka (15) UUPPLH, yaitu

ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat

ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPPLH,

meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.

Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan

akibat perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.

Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH, meliputi:

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan

dan/atau lahan;

d. kriteria baku kerusakan mangrove;

e. kriteria baku kerusakan padang lamun;

f. kriteria baku kerusakan gambut;

g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau

Page 4: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21

ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain:

a. kenaikan tempratur;

b. kenaikan muka air laut;

c. badai; dan/atau

d. kekeringan.

Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap maksud

“produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa”,

“kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan hidup yang

berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”.

- “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk

menghasilkan biomassa.

- “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas

perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan

produksi biomassa.

Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian

atau lahan budi daya dan hutan.

- “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik

dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.

- “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau

lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan

dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan

dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan tindak pidana

pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH tidak lagi luas dan

abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan dalam UUPLH dapat

memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk melakukan inovasi hukum

dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan

yang terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup karena ia (hakim)

mempunyai semangat dan kepedulian untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam

Page 5: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

melindungi lingkungan hidup. Atau, juga dapat menyulitkan penegak hukum pidana

lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam

merespon perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup,

dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk

kepentingan lain (“kepentingan pribadi”).

Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan berdasarkan

UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam UUPLH, karena

UUPPLH telah memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan

lingkungan, yaitu: “melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau

“melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan”.

Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97

sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Tindak pidana dalam undang-undang ini

merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang

diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut

sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht”

hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas

dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak

dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan

(rechtsdelicten) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak

tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia

dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan

perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat tanpa

memperhatikan undang-undang pidana.

Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan

(rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara esensial

bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan

(membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang dilakukan menyangkut

pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keharusan

untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan hidup, mencegah dan

menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

Page 6: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH – 115

UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan

tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan.

Tindak pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya

akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.

Tindak pidana formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah

melanggar rumusan ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka

telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat

dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem

tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target

bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya

tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit

ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.

Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau

perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan

sebab akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui

dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan

pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin.

Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH,

jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik

materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH mengatur

bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar baku

mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan

lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, atau

mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan

sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku udara ambien, baku mutu air, baku

mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka

dan/atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika

ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku

mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang

luka dan atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku

Page 7: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas

perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.

Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan materiil,

Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku

dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika dakwaan berdasarkan tindak

pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana

formal dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 105 UUPPLH, tindak

pidana lingkungan yaitu berupa:

1. Pasal 98 UUPPLH dan Pasal 99 UUPPLH:

a. Pasal 98 ayat (1) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (1) UUPPLH:

melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya :

o baku mutu udara ambien,

o baku mutu air,

o baku mutu air laut, atau

o kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

b. Pasal 98 ayat (2) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2) UUPPLH

melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya :

o baku mutu udara ambien,

o baku mutu air,

o baku mutu air laut, atau

o kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia.

c. Pasal 98 ayat (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (3) UUPPLH:

melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya:

o baku mutu udara ambien,

o baku mutu air,

o baku mutu air laut, atau

o kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

yang mengakibatkan orang luka berat atau mati.

Page 8: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

Tindak pidana yang dilakukan berdasarkan Pasal 98 UUPPLH dilakukan

dengan sengaja, sedangkan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 99 UUPPLH,

dilakukan dengan kelalaian.

2. Pasal 100 UUPPLH:

melakukan perbuatan melanggar:

- baku mutu air limbah,

- baku mutu emisi, atau

- baku mutu gangguan

Berdasarkan Pasal 100 ayat (2) UUPPLH, tindak pidana ini baru dapat

dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau

pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Kemudian, penjelasan umum UUPPLH,

menyatakan “… Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas

ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai

upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak

berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana

formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,

emisi, dan gangguan….”, maka untuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal

100 UUPPLH, berlaku asas ultimum remedium.

3. Pasal 101 UUPPLH:

melakukan perbuatan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin

- melepaskan dan/atau

- mengedarkan

produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup

4. Pasal 102 UUPPLH:

melakukan perbuatan pengelolaan limbah B3 tanpa izin

5. Pasal 103 UUPPLH:

melakukan perbuatan menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan

6. Pasal 104 UUPPLH:

melakukan perbuatan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup

tanpa izin

Page 9: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

7. Pasal 105 UUPPLH:

melakukan perbuatan: memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia

8. Pasal 106 UUPPLH:

melakukan perbuatan memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia

9. Pasal 107 UUPPLH:

melakukan perbuatan memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–

undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

10. Pasal 108 UUPPLH:

melakukan perbuatan pembakaran lahan

11. Pasal 109 UUPPLH:

melakukan perbuatan melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin

lingkungan

12. Pasal 110 UUPPLH:

melakukan perbuatan menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi

penyusun amdal

13. Pasal 111 UUPPLH:

Pejabat:

a. pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi

dengan amdal atau UKL-UPL

b. pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau

kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan

14. Pasal 112 UUPPLH

Pejabat pengawas tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung

jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin

lingkungan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia

15. Pasal 113 UUPPLH:

melakukan perbuatan berupa:

a. memberikan informasi palsu,

b. memberikan informasi menyesatkan,

Page 10: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

c. menghilangkan informasi,

d. merusak informasi, atau

e. memberikan keterangan yang tidak benar

yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang

berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

16. Pasal 114 UUPPLH

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:

- tidak melaksanakan paksaan pemerintah

17. Pasal 115 UUPPLH

melakukan perbuatan mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan

pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik

pegawai negeri sipil.

Page 11: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup
Page 12: Penegakan Hukum Pidana Dalam Lingkungan Hidup

TUGAS HUKUM LINGKUNGAN HIDUP

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM

LINGKUNGAN HIDUP

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD RIZKI

NIM. ERB10012068

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAMBI

2014