penegakan hukum kasus pembunuhan

6
Page 1 of 6 PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN 1) Oleh. Paul SinlaEloE 2) CATATAN PENGANTAR Indonesia adalah negara hukum 3) . Itulah amanat konstitusi sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum idealnya kekuasaan yang menjalankan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum, tunduk pada kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum demi terwujudnya suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram. Walaupun demikian, fakta membuktikan bahwa upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram di Indonesia belum dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat lemahnya penegakan hukum. Karenanya, mendiskusikan tentang persoalan penegakan hukum di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat relevan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara kegiatan yang sudah melibatkan saya dalam diskusi ini. Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan kepada saya, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan pemikiran mengenai Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur. Agar diskusi ini lebih terfokus pada judul, maka makalah ini akan dijabarkan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Delik Pembunuhan Dalam Prespektif Hukum. Ketiga, Kasus Pembunuhan dan Penegakan hukum. Keempat, Supremasi hukum harus ditegakan. Kelima, Catatan Penutup. DELIK PEMBUNUHAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Tindak pidana (delik) pembunuhan di Indonesia diatur secara gamblang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya pada Buku II Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, yang terdiri dari 13 pasal, yakni mulai dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. 4) 1) Kertas Kerja ini di presentasikan dalam Panel Diskusi, Thema: “Meningkatnya Budaya Kekerasan berujung Pembunuhan Baik oleh Sipil Maupun Aparat di Nusa Tenggara Timur Secara Khusus Dan Indonesia Pada Umumnya Serta Solusi Penangannya”, yang dilaksanakan oleh GMKI Cab. Kupang – Komisariat Teologi, di Aula Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW), pada tanggal 20 April 2013. 2) Aktivis PIAR NTT. 3) Suatu Negara disebut sebagai Negara hukum, minimal memiliki ciri, sebagai berikut: PERTAMA, Adanya pemenuhan, penghormtan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi. KEDUA, Terdapat Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. KETIGA, Adanya jaminan kepastian hukum dimana ketentuan hukumnya dapat dipahami dan dilaksanakan serta aman dalam melaksanakannya.Lihat Paul SinlaEloE, Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012. 4) R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Upload: paul-sinlaeloe

Post on 26-May-2015

2.062 views

Category:

Law


0 download

DESCRIPTION

Penegakan hukum merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga nilai-nilai dasar dari hukum, yakni: Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian dapat terwujud. Dalam kaitannya penegakan hukum terhadap kasus pembunuhan, pada tanggal 23 Maret 2013, Indonesia di buat geger dengan peristiwa penyerangan biadab di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan terbunuhnya empat orang penduduk Yogyakarta kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa memilukan sekaligus memalukan ini menunjukan bahwa tempat dimana seharusnya setiap warga negara merasakan aman dibawah perlindungan aparatusnya, justru terjadi kejahatan kemanusiaan yang merendahkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan. Tragedi di LP Cebongan ini menunjukan bahwa kewibawaan hukum telah dibunuh.

TRANSCRIPT

Page 1: PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN

Page 1 of 6

PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN1)

Oleh. Paul SinlaEloE

2)

CATATAN PENGANTAR Indonesia adalah negara hukum

3). Itulah amanat konstitusi sebagaimana yang tertera

dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum idealnya kekuasaan yang

menjalankan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum, tunduk pada kedaulatan hukum

(supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum demi terwujudnya

suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram.

Walaupun demikian, fakta membuktikan bahwa upaya untuk mewujudkan suatu

kehidupan yang damai, aman dan tentram di Indonesia belum dapat berjalan sebagaimana

mestinya akibat lemahnya penegakan hukum. Karenanya, mendiskusikan tentang persoalan

penegakan hukum di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat relevan. Untuk itu, saya

mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara kegiatan yang sudah melibatkan saya

dalam diskusi ini.

Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan

kepada saya, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan pemikiran

mengenai Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur. Agar diskusi ini

lebih terfokus pada judul, maka makalah ini akan dijabarkan dengan sistematika sebagai

berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Delik Pembunuhan Dalam Prespektif Hukum.

Ketiga, Kasus Pembunuhan dan Penegakan hukum. Keempat, Supremasi hukum harus

ditegakan. Kelima, Catatan Penutup.

DELIK PEMBUNUHAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan

cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Tindak pidana (delik)

pembunuhan di Indonesia diatur secara gamblang dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) khususnya pada Buku II Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, yang

terdiri dari 13 pasal, yakni mulai dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP.4)

1) Kertas Kerja ini di presentasikan dalam Panel Diskusi, Thema: “Meningkatnya Budaya Kekerasan berujung Pembunuhan

Baik oleh Sipil Maupun Aparat di Nusa Tenggara Timur Secara Khusus Dan Indonesia Pada Umumnya Serta Solusi Penangannya”, yang dilaksanakan oleh GMKI Cab. Kupang – Komisariat Teologi, di Aula Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW), pada tanggal 20 April 2013.

2) Aktivis PIAR NTT. 3) Suatu Negara disebut sebagai Negara hukum, minimal memiliki ciri, sebagai berikut: PERTAMA, Adanya pemenuhan,

penghormtan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi. KEDUA, Terdapat Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. KETIGA, Adanya jaminan kepastian hukum dimana ketentuan hukumnya dapat dipahami dan dilaksanakan serta aman dalam melaksanakannya.Lihat Paul SinlaEloE, Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012.

4) R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Page 2: PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN

Page 2 of 6

Uraian tentang jenis tindak Kejahatan Terhadap Nyawa (misdrijven tegen het leven)5)

sesuai dengan KUHP, dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini: Pertama, Pasal 338

KUHP, mengatur tentang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Kedua, Pasal 339 KUHP, mengatur tentang

pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang

dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya,

diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20

tahun.

Ketiga, Pasal 340 KUHP, mengatur tentang sengaja dan dengan rencana lebih dahulu

merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Keempat, Pasal 341 KUHP, mengatur tentang seorang ibu yang karena takut akan ketahuan

melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja

merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara

paling lama 7 tahun. Kelima, Pasal 342 KUHP, mengatur tentang melakukan pembunuhan

anak sendiri dengan rencana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Keenam,

Pasal 343 KUHP, mengatur tentang orang lain yang turut melakukan sebagai pembunuhan

atau pembunuhan dengan rencana.

Ketujuh, Pasal 344 KUHP, mengatur tentang merampas nyawa orang lain atas

permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam

dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kedelapan, Pasal 345 KUHP, mengatur

tentang sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri atau memberi sarana kepadanya

diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.

Kesembilan, Pasal 346 KUHP, mengatur tentang seorang wanita yang sengaja

menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam

dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kesepuluh, Pasal 347 KUHP, pada ayat (1)

mengatur tentang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita “tanpa

persetujuannya”, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Dan pada ayat (2)

mengatur jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara

paling lama 15 tahun.

Kesebelas, Pasal 348 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan

atau mematikan kandungan seorang wanita “dengan persetujuannya”, diancam dengan

pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan itu

mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Keduabelas, Pasal 349 KUHP, mengatur tentang seorang tabib, bidan atau juru obat

membantu melakukan pengguguran kandungan sebagaimana diatur dalam Pasal 346, 347,

5) Jika dilihat dari motivasi pelaku tindak kejahatan terhadap nyawa, maka terdapat 2 (dua) unsur Penting, yakni: PERTAMA,

UNSUR KESENGAJAAN (OPZET). Kesengajaan itu harus mengandung 3 (tiga) unsur tindakan pidana, yaitu: (1). Perbuatan yang dilarang; (2). Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu; (3). bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Unsur kesengajaan juga, dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kategori, yani: (1). kesengajaan yang bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); (2). kesengajaan yang bukan mengandung suatu btujuan, melainkan disertai dengan keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi. (opzet bij zekerheidsbewustzijn) atau kesengajaan secara insyaf kepastian; (3). kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkian (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. KEDUA, UNSUR KEALPAAN (CULPA). Culpa adalah suatu perbuatan tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku dalam keadaan tidak berhati-hati. Intisari dari tindak pidana culpa adalah ketidak hati-hatian atau kealpaan pelaku yang menyebabkan terjadi suatu tindak pidana. Lihat. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Rarifa Aditama, Bandung, 2003, Hal. 66.

Page 3: PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN

Page 3 of 6

dan 348 KUHP, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan

sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pekerjaannya.

Ketigabelas, Pasal 350 KUHP mengatur tentang pemidanaan karena pembunuhan,

pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan menurut Pasal 344, 347, dan

348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut pasal 35 nomor 1-5, yaitu (1) hak memegang

jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; (2) hak memasuki angkatan bersenjata; (3)

hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

(4) hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum hak menjadi wali, wali pengawas,

pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (5) hak

menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.

KASUS PEMBUNUHAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pelaksanaan

ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang

mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat

penegak hukum sehingga nilai-nilai dasar dari hukum, yakni: Keadilan, Kemanfaatan dan

Kepastian dapat terwujud.

Dalam kaitannya penegakan hukum terhadap kasus pembunuhan, pada tanggal 23

Maret 2013, Indonesia di buat geger dengan peristiwa penyerangan biadab di Lembaga

Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan terbunuhnya

empat orang penduduk Yogyakarta kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa

memilukan sekaligus memalukan ini menunjukan bahwa tempat dimana seharusnya setiap

warga negara merasakan aman dibawah perlindungan aparatusnya, justru terjadi kejahatan

kemanusiaan yang merendahkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan. Tragedi di LP

Cebongan ini menunjukan bahwa kewibawaan hukum telah dibunuh.6)

Pada konteks NTT yang masih merupakan bagian integral dari Negara Indonesia, juga

terdapat sejumlah kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik berkaitan dengan proses

penegakan hukumnya. Ironinya, kasus-kasus ini sampai dengan sekarangi belum mampu

6) Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan kasus penyerangan Lemabga Pemasyarakatan Cebongan bukan

pelanggaran hak asasi manusia. (Argumen selengkapnya Lihat: http://www.antaranews.com/berita/368668/menhan-kembali-tegaskan-kasuscebongan-bukan-pelanggaran-ham?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter). Berkaitan dengan pernyataan dari Menteri Pertahanan ini, maka Pertanyaannya adalah apakah mentri pertahanan sudah memahami Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia dengan benar..???? Pertanyaaan ini menjadi penting karena indikasi pelanggaran HAM itu ada dan sangat transparan. INDIKASI PERTAMA pelanggaran HAM adalah adanya upaya perampasan hak hidup terhadap korban penembakan yang dilakukan oleh anggota grup II Kopassus Kartasura. Dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, tertulis, setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. INDIKASI KEDUA, Setiap Orang Berhak Hidup Tenteram, Aman, Damai, Bahagia, Sejahtera Lahir Dan Batin. Indikasi kedua pelanggaran HAM, yaitu adanya intimidasi terhadap petugas sipir penjaga LP cebongan yang dilakukan oleh para pelaku. pada saat kejadian, mereka mengancam sipir dengan menggunakan senjata dan granat. INDIKASI KETIGA, Kejadian tersebut menimbulkan rasa yang tidak nyaman di masyarakat, warga Sleman khususnya, dan warga Yogyakarta pada umumnya. Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan jika setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. INDIKASI KEEMPAT, Ketika keempat tahanan dipindahkan dari rutan POLDA Yogyakarta ke Lp Kelas II B, Cebongan, Sleman, keempatnya mendapat pengawalan ketat dari pihak Kepolisian. Namun, saat sudah dititipkan, tidak ada penjagaan sama sekali dari pihak Kepolisian. Padahal, Pihak LP Cebongan telah meminta Bantuan penjagaan kepada pihak Kepolisian sehingga seolah ada pembiaran dari pihak Kepolisian. Selain itu, Argumen dari Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro ini sebenarnya agak mengejutkan tapi sangat tidak mengherankan karena patut diduga ini adalah bagian dari strategi militer untuk menghindari pengadadilan HAM. Bandingkan dengan, Eko Prasetyo, Pengadilan HAM untuk Para Jenderal, Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif (WACANA), Edisi 17/2004 - Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer, Penerbit insist Press, Yogyakarta, 2004, Hal.197-228.

Page 4: PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN

Page 4 of 6

diungkap oleh aparat penegak hukum secra tuntas. Kasus-kasus dimaksud adalah Kasus

pembunuhan Yohakim Atamaran di Flores Timur, Kasus pembunuhan Paulus Usnaat di

ruang tahanan Polsek Nunpene di Timor Tengah Utara (TTU), Kasus Pembunuhan Obadja

Nakmofa di Kota Kupang dan Kasus pembunuhan Deviyanto Nurdin Yusuf di Maumere, di

Kabupaten Sikka.

Hasil Investigasi7)

PIAR NTT8)

menunjukan bahwa terdapat sejumlah indikasi

keganjilan dalam pengungkapan keempat kasus ini. Untuk kasus kematian Yohakim

Atamaran, Kapolres Flores Timur menyimpulkan bahwa korban meninggal karena

kecelakaan lalu lintas pada hal dalam penyelidikan dan penyidikan telah dikatakan pada

publik bahwa kasus ini adal kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti. Dalam

perkembangannya saksi mahkota menarik keterangannya dan dikatakan penyidikan tak bisa

dilanjutkan. Begitu juga dengan kematian Paulus Usnaat di TTU. Kapolres TTU

menyimpulkan bahwa korban meninggal bukan karena dibunuh, tapi bunuh diri. Pada hal

pihak penyidik dalam publikasinya mengatakan bahwa dalam kerja-kerja penyidikan, pihak

Polres TTU telah menemukan 5 (lima) alat bukti. Dalam perkembangannya pihak Kejaksaan

menyuruh penyidik Kepolisian mencari saksi lain di luar tersangka dan hal ini menyulitkan

proses penyidikan dan kasus ini menjadi terkatung-katung.

Pada kasus kematian Deviyanto Nurdin bin Yusuf pun demikian. Kapolres Sikka telah

menyimpulkan bahwa korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas tunggal. Hal ini sangat

aneh karena pada awalnya pihak Kepolisian telah menyataan bahwa kasus ini adalah kasus

pembunuhan dan sudah cukup bukti. Dalam perkembangannya dokter ahli forensik yang

mengotopsi jenazah korban mencabut keterangannya tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, alat

bukti pun dinyatakan kurang dan akhirnya Reskrim Polda NTT mengeluarkan SP3.

Sedangkan unuk kasus kematian Obadja Nakmofa sampai saat ini pihak Kepolisian masih

melengkapi berkas perkara untuk di limpahkan kembali ke pihak Kejaksaan. Salah satu

kesulitan pihak kepolisian untuk memenuhi tuntutan pihak Kejaksaan adalah pihak

Kepolisian harus melampirkan Barang Bukti berupa pisau yang diigunakan untuk membunuh

Obaja. Karena Barang Bukti berupa pisau belum bisa ditemukan oleh tim penyidik Polda

NTT, maka penanganan kasus ini pun akhirnya berulang tahun.

SUPREMASI HUKUM HARUS DITEGAKKAN

Istilah supremasi hukum merupakan rangkaian dari perpaduan kata supremasi dan

kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata Supremacy dan kata

Law. Menurut Teori Kedaulatan Hukum (Rechts Souvereineteit), supremasi hukum

(supremacy of law/law’s supremacy) bermakna bahwa hukum memiliki kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara. Baik penguasa, rakyat maupun negara, semua harus tunduk pada hukum.

Dalam negara hukum modern, supremasi hukum menunjuk pada ”the rule of law, and not of

man” (hukum yang memerintah dalam suatu negara, bukan kehendak manusia).9)

Itu berarti,

7) Hasil invetigasi secara lengkap, lihat PIAR NTT, Kumpulan Dokument Pendampingan/Advokasi Kasus Pembunuhan di

Nusa Tenggara Timur, Tidak diterbitkan, Kota Kupang, 2005 – 2012. 8) Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non pemerintah yang bersifat

independent dan non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 Nopember 2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.

9) Syafran Sofyan, Supremasi Hukum Dalam Rangka Mendukung Percepatan Daerah Tertinggal, makalah yang untuk di presentasikan dalam Kuliah Hukum dan HAM, Forkon Angkatan VI (Bupati, Walikota, Ketua DPRD), yang dilaksanakan oleh Lemhannas RI, di Jakarta, pada tanggal 21 Maret 2012.

Page 5: PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN

Page 5 of 6

supremasi hukum tidak sekedar tersedianya peraturan (gezetz, wet, rule), tetapi lebih dari itu,

yakni perlunya kemampuan menegakkan kaidah (recht, norm).

Dengan logika pikir seperti ini, maka penegakan supremasi hukum dapat dipahami

sebagai upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat

melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun

termasuk oleh penyelenggara Negara. Dalam upaya penegakan Supremasi hukum harus tidak

boleh mengabaikan 3 (tiga) Nilai dasar dari hukum itu sendiri, yakni: keadilan, kemanfaatan,

dan kepastian.10)

Untuk mewujudkan supremasi hukum di Indonesia, saat ini diperlukan pembenahan

terkait dengan sistem hukum.. Sistem hukum dimaksud terdiri dari 4 (empat) komponen,

yakni:11)

Pertama, Komponen Struktur Hukum (Legal Structure). Komponen struktur

hukum ini merupakan “motor penggerak” yang memungkinkan sistem hukum dapat bekerja

secara nyata dalam masyarakat. Sistem struktural ini yang menentukan bisa atau tidaknya

hukum itu dilaksanakan dengan baik dan sangat tergantung dari penegak hukum dan/atau

lembaga penegak hukum. Karenanya, dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya,

penegak hukum dan/atau lembaga penegak hukum harus terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak

ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya

suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang

baik maka keadilan hanya angan-angan.

Kedua Komponen Substansi Hukum (Legal Substance). Komponen substansi

hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang

tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang dipergunakan oleh

pihak yang berkompeten untuk mengatur subjek hukum. Hal ini disebut sebagai sistem

Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga

berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup

keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup

hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang

(law books).

Ketiga Komponen Budaya Hukum (Legal Culture). Komponen budaya hukum ini

berkaitan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,

serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum

erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum

masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir

masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat

terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Keempat komponen

dampak hukum (Legal Impact)12)

. Komponen dampak hukum yang dimaksudkan adalah

dampak dari suatu keputusan hukum yang berpengaruh pada perubahan sosial. Komponen

dampak hukum13)

ini nantinya difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of

10) Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, Hal. 19 11) Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, P. 6-7. 12) Pada awalnya Friedman hanya membagi sistem hukum kedalam 3 (tiga) komponen. Dalam perkembangan pemikirannya,

baru ditambahkan Komponen dampak hukum. Lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Invalueable Guide To The Many Faces Of The Law, And How It Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, P. 16

13) Komponen dampak hukum ini sejalan dengan pemikirannya Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa social. Lihat Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Penerbit Bhratara, Jakarta, 1978, 7

Page 6: PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN

Page 6 of 6

social engineering) dengan penekanan pada mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-

badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi.

PENUTUP

Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai Penegakan Hukum Kasus

Pembunuhan. Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang

lebih luas.

DAFTAR BACAAN 1. Eko Prasetyo, Pengadilan HAM Untuk Para Jenderal, Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif

(WACANA), Edisi 17/2004 - Negeri Tentara: Membongkar Politik ekonomi militer, Penerbit insist Press,

Yogyakarta, 2004.

2. Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977

3. Lawrence M. Friedman, American Law: An Invalueable Guide To The Many Faces Of The Law, And How

It Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.

4. Paul SinlaEloE, Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan

Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-

Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS

HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di

Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012.

5. PIAR NTT, Kumpulan Dokument Pendampingan/Advokasi Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur,

Tidak diterbitkan, Kota Kupang, 2005 – 2012.

6. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge

Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.

7. Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa social. Lihat Roscoe Pound, Filsafat Hukum,

Jakarta: Penerbit Bhratara, Jakarta, 1978.

8. Syafran Sofyan, Supremasi Hukum Dalam Rangka Mendukung Percepatan Daerah Tertinggal, makalah

yang untuk di presentasikan dalam Kuliah Hukum dan HAM, Forkon Angkatan VI (Bupati, Walikota,

Ketua DPRD), yang dilaksanakan oleh Lemhannas RI, di Jakarta, pada tanggal 21 Maret 2012.

9. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Rarifa Aditama, Bandung, 2003

10. Undang-Undang Dasar 1945.

11. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia.