penebare-news negara, masyarakat dan ekonomidimasukkan dan diedarkan melalui e-news ini. pengantar...

30
e-news pEnEbar Negara, Masyarakat dan Ekonomi* Farchan Bulkin Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan, Jakarta 13750, Indonesia • Tel./Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~ [email protected] • website ~ http://www.geocities.com/ypenebar/ No. 13, Mei - 2007 Redaksi: Edi Cahyono, Maxim Napitupulu, Maulana Mahendra, Muhammad H.T., Hemasari Dharmabumi Diterbitkan oleh: Yayasan Penebar pEnEbar e-news terbit sebagai media pertukaran dan perdebatan soal-soal perburuhan dan globalisasi. Kami mendukung gerak anti- globalisasi masyarakat Indonesia. Globalisasi dan perdagangan bebas merupakan jebakan negeri- negeri imperialis untuk menjadikan negeri-negeri miskin terus menjadi koloni dan dihisap oleh negeri- negeri maju. Kami menerima tulisan-tulisan yang sejalan dengan misi kami untuk dimasukkan dan diedarkan melalui e-news ini. Pengantar Pemahaman terhadap fenomen negara dan masyarakat kontemporer Indonesia mungkin lebih baik kalau didasarkan pada pemahaman arus, kekuatan dan lingkungan sejarah yang terungkapkan dalam kekuatan- kekuatan masyarakat, politik dan ekonomi masa kini yang pertumbuhan dan perkembangannya tidak terlepas dari kondisi-kondisi pada berbagai periode sebelumnya. Pemahaman ahistoris dan berdasarkan asumsi-asumsi keliru mengenai masyarakat moderen–seperti yang dilakukan studi-studi dalam kerangka fungsionalisme- struktural–justeru telah mengaburkan, dan bukannya memperjelas fenomen negara dan masyarakat. Tulisan ini mencoba melihat secara singkat perkembangan teori negara dan masyarakat serta makna yang bisa kita tarik daripadanya, kemudian akan menawarkan suatu cara untuk melihat negara dan masyarakat dalam kerangka pendekatan historis dan struktural. Teori Klasik dan Beamtenstaat Mungkin hanya ada satu hal yang pasti dan bisa disetujui bersama dalam usaha memahami fenomen negara–yaitu bahwa ia muncul dalam sejarah sebagai jawaban atas krisis mendalam dan luas yang menimpa beberapa entitas sosial, politik dan ekonomi di beberapa kawasan Eropa pada * Tulisan ini pernah dimuat dalam jurnal Prisma no 8, 1984.

Upload: others

Post on 08-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

e-newspEnEbar Negara, Masyarakatdan Ekonomi*

Farchan Bulkin

Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan,

Jakarta 13750, Indonesia • Tel./Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~

[email protected] • website ~ http://www.geocities.com/ypenebar/

No. 13, Mei - 2007

Redaksi:Edi Cahyono, MaximNapitupulu, MaulanaMahendra, Muhammad

H.T., HemasariDharmabumi

Diterbitkan oleh:

Yayasan Penebar

pEnEbar e-news terbitsebagai media pertukarandan perdebatan soal-soal

perburuhan dan globalisasi.Kami mendukung gerak anti-

globalisasi masyarakatIndonesia. Globalisasi dan

perdagangan bebasmerupakan jebakan negeri-

negeri imperialis untukmenjadikan negeri-negeri

miskin terus menjadi kolonidan dihisap oleh negeri-

negeri maju. Kami menerimatulisan-tulisan yang sejalan

dengan misi kami untukdimasukkan dan diedarkan

melalui e-news ini.

Pengantar

Pemahaman terhadap fenomen negara dan masyarakatkontemporer Indonesia mungkin lebih baik kalaudidasarkan pada pemahaman arus, kekuatan danlingkungan sejarah yang terungkapkan dalam kekuatan-kekuatan masyarakat, politik dan ekonomi masa kini yangpertumbuhan dan perkembangannya tidak terlepas darikondisi-kondisi pada berbagai periode sebelumnya.Pemahaman ahistoris dan berdasarkan asumsi-asumsikeliru mengenai masyarakat moderen–seperti yangdilakukan studi-studi dalam kerangka fungsionalisme-struktural–justeru telah mengaburkan, dan bukannyamemperjelas fenomen negara dan masyarakat. Tulisan inimencoba melihat secara singkat perkembangan teori negaradan masyarakat serta makna yang bisa kita tarikdaripadanya, kemudian akan menawarkan suatu cara untukmelihat negara dan masyarakat dalam kerangka pendekatanhistoris dan struktural.

Teori Klasik dan Beamtenstaat

Mungkin hanya ada satu hal yang pasti dan bisa disetujuibersama dalam usaha memahami fenomen negara–yaitubahwa ia muncul dalam sejarah sebagai jawaban atas krisismendalam dan luas yang menimpa beberapa entitas sosial,politik dan ekonomi di beberapa kawasan Eropa pada

* Tulisan ini pernah dimuat dalam jurnal Prisma no 8, 1984.

no. 13, mei 2007

2

pEnEbare-newspenggal terakhir Abad-Tengah, yang kemudian-berlanjut sampaiabad keenambelas, yang oleh Fernand Braudel disebut sebagaiabad “panjang” dalam sejarah Eropa. Kompleksitas dan misteriyang menyelubungi fenomen negara dengan jelas dicerminkandalam pikiran-pikiran yang terkandung dalam beberapakonstruksi teori dan argumentasi pada abad kesembilan belas.Beberapa teoritisi klasik seperti Marx, Weber dan Durkheim, telahberusaha mencari jawaban pada hampir seluruh kecenderungansosial, ekonomi dan politik yang kuat yang berkembang sejak abadkeenambelas di Eropa. Marx misalnya, telah mencari jawab padastruktur ekonomi, arah dan lingkungan sejarah, latar belakangfeodalisme, keterhubungan dan kebebasannya dengan masyarakatsipil, birokrasi, pembagian kerja dan evolusi masyarakat secarakeseluruhan. Durkheim mencarinya pada pembagian kerja sosial,sentralisasi, hukum administrasi, organ masyarakat danrasionalitas, kebebasan individu, otoritas dan hirarki dan padaperkembangan patologis. Sedangkan Weber mencarinya padakekuasaan, dominasi dan penaklukan, birokrasi, hukum,rasionalitas, otoritas, penggunaan kekerasan secara syah dan jenis-jenis perekonomian.1

Ilmu sosial yang berkembang di abad keduapuluh, telah gagaluntuk mengembangkan perspektif yang ditawarkan oleh parateoritisi klasik. Tradisi liberal-pluralis yang untuk sekian lamatelah mendominasi ilmu sosial Amerika malah mengabaikanfenomen negara. Tokoh-tokoh aliran ini, dari Arthur Bently sampaiDavid Truman, telah memusatkan analisa mereka pada individu,yang diasumsikan akan selalu mengejar kepentingan-kepentinganekonomi dan politik mereka dan kemudian membentukmasyarakat. Dalam teori-teori kelompok (group-theory) yangmereka kembangkan, negara hanyalah dipandang sebagai salah

1 Tinjauan singkat terhadap pandangan klasik diberikan dalam Bertrand Badicand Pierre Birnhaum, The Sociology of the State (Chicago and London: TheUniversity of Chicago Press, 1983), hal. 3-24. Lihat juga Alfred Stepan, TheState and Society: Peru in Comparative Perspective (Princeton: PrincetonUniversity Press, 1978), hal. 3-45.

3

no. 13, mei 2007

satu kelompok pelaku politik di antara kelompok-kelompok lainsehingga tidak memiliki keistimewaan dan sejarah tertentu yangharus diperhatikan. Lebih pokok dalam pandangan mereka adalahmasyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memilikikemampuan mengatur dirinya sendiri. Masyarakat, kebudayaandan kepribadian dinilai sebagai subyek yang patut diberi tingkatanalisa yang relatif otonom. Perlakuan terhadap fenomen negarayang demikian juga ditunjukkan dalam teori sitem danpendekatan sibernatika (cybernetics) yang dikemukakan olehDavid Easton dan Karl Deutsch–keduanya tidak menilai negaradan kekuasaan sebagai fenomen yang menuntut perhatian serius.2

Luasnya pengaruh fungsionalisme-struktural dalam pernikiran-pernikiran ilmu sosial mendesak fenomen negara, lebih jauh kebelakang. Negara dalam perspektif ini dipandang hanya sebagaikonsekuensi tak terelakkan, atau setidak-tidaknya merupakanbagian dari empat proses sentral modernisasi: differensiasi,otonomisasi, universalisasi dan institusionalisasi. Untuk menyebutbeberapa contoh, Shmuel Eisenstadt menekankan prosesdiferensiasi dan menempatkan negara sebagai lembaga fungsionaldan otonom sifatnya dalam proses diferensiasi dan pembagiankerja yang menimbulkan konflik dan pertentangan. Negaradengan begitu dilihat sebagai lembaga yang tujuan eksistensinyaadalah mengurangi ketegangan-ketegangan sosial danmelembagakan konsensus yang berkembang dan berubah-ubah.3Proses otonomisasi ditekankan oleh Reinhard Bendix untukmemahami pertumbuhan negara moderen. Dikemukakan bahwanegara tumbuh bersamaan dengan administrasi publik yangditunjukkan sebagai lembaga yang bebas dari persaingan-persaingan dan konflik politik serta kepentingan-kepentinganpribadi.4 Proses universalisasi dipakai oleh Robert Nisbet untuk

2 Bertrand Badic and Pierre Birnbaum, The Sociology of the State, hal. 25.3 Lihat Shmuel Eisenstadt, Modernization: Protest and Change (EnglewoodCliffs, NH: Prentice-Hall, 1966); The Political System of Empires (New York:Free Press, 1963); “Social Change, Differentiation, and Evolution”, AmericanSociological Review 29, no. 3, halaman 375-386.

4

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

menjelaskan disintegrasi keluarga-keluarga Romawi yangdianggapnya bersumber pada pertumbuhan kekuatan militeryang kemudian mengikis habis hak-hak istimewa tradisionalkepunyaan keluarga-keluarga Romawi. Nisbet menegaskanbahwa ini adalah suatu proses universal di mana pusat imperiumdan individu menciptakan suatu hubungan politik secaralangsung. Negara dengan demikian dilihat sebagai tumbuhnyakolektivitas baru dalam masyarakat yang akhirnya mendominasikolektivitas-kolektivitas lain dengan menekankan ciri-ciri univer-sal dan menciptakan hubungan-hubungan individual.5 Negarasebagai cerminan proses universalisasi ini berubah menjadietnosentrisme dalam analisa Edward Shils, Gabriel Almond danLucien Pye. Shils dan Almond dengan teori pembangunan ataumodernisasi politik, menegaskan bahwa suatu sistem politik yang“maju” (developed) adalah seperti yang ditampilkan oleh sistempolitik moderen Barat. Pye mengemukakan lebih tegas lagi bahwanegara moderen yang berkernbang di Eropa dan kini tersebardiikuti oleh seluruh bagian dunia merupakan satu-satunyapemecahan atas masalah pembangunan. Dalam pandangan Pye,krisis-krisis politik yang terjadi di negara-negara terkebelakangadalah langkah-langkah yang harus dilalui oleh negara-negara ituuntuk mencapai tingkat negara dan sistern politik moderen.6 Taklepas dari “paradigma” fungsionalisme-struktural adalah analisa-analisa Huntington yang memusatkan perhatiannya pada masalahpernbangunan institusi. Hipotesanya adalah bahwa semakinterdeferensiasi suatu masyarakat, maka ia akan lebih tergantungpada berfungsinya institusi-institusi dalam masyarakat itu, karena

4 Lihat misalnya Reinhard Bendix, Nation Building and Citizenship (New York:Wiley, 1964).5 Robert Nisbet, “Sate and Family”, dalam Amitai Etzioni and Eva Etzioni, eds.,Social Change (New York: Basic Books, 1973), hal. 190-210.6 Lihat Edward Shils, Political Development in the New State (The Hague:Mouton, 1960); Center and Periphery (Chicago: University of Chicago Press,1975); Gabriel Almond and Bingham Powell, Comparative Politics (Boston: Little,Brown, 1966); Lucien Pye, Aspects of Political Development (Boston: Little,Brown, 1967).

5

no. 13, mei 2007

tak satu kekuatanpun dalam masyarakat itu yang mampumemaksakan kehendaknya terhadap kekuatan lain.7

Perlu dikemukakan bahwa para pengemuka teori negara dalamtradisi fungsionalisme-struktural ini di sana-sini telah mengacupada butir-butir yang dikemukakan oleh para teoritisi klasik,terutama Max Weber. Pengacuan pada teori klasik ini dilakukanjuga oleh Ralph Miliband dan Nicos Poulantzas, yang berusahamengembangkan perspektif yang ditawarkan oleh Marx. Merekajuga menyadari betapa fenomen negara kurang memperolehperhatian serius terutama dalam hubungannya dengan realitaskongkrit sosial-ekonomi, politik dan kebudayaan dalammasyarakat kapitalis kontemporer.8 Dengan jelas nampak bahwapengacuan-pengacuan pada teori klasik ini tidaklah menyeluruh,tetapi hanya parsial.

Mungkin sebagai reaksi terhadap ketidak lengkapan dan tidakmemadainya ilmuwan sosial menangani fenomen negara, timbulsuatu gerakan studi yang menggunakan metodel makro sosiologidan sejarah untuk memahami saat-saat kritis peralihan di Eropa,yang dalam periode dan sejak saat itu telah muncul negaramoderen. Studi-studi Charles Tilly, Barrington Moore, RichardBrener, Immanuel Wallerstein, Perry Anderson dan ThedaSkocpol, adalah contoh gerakan studi ini. Dengan penekanan danstudi wilayah yang berbeda-beda, mereka pada umumnyamenunjukkan betapa tumbuhnya negara moderen sangat erathubungannya dengan struktur masyarakat, pertumbuhankapitalisme, dan lingkungan internasional. Moore menekankanstruktur sosial dalam negeri untuk memahami jalan menujuindustrialisasi dan peranan negara.9 Wallerstein menekankan

7 Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven:Yale University Press, 1968).8 Ralph Miliband, The State in Capitalist Societies (New York: Basic Books,1969); Nicos Poulantzas, Political Power and Social Classes (London: NewLeft Books and Sheed and Ward, 1973); “The Problem of the Capitalist State”,New Left Review, November-December 1969.9 Barrington Moore, The Social Origins of Dictatorship and Democracy (Boston:

6

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

pentingnya letak wilayah dalam struktur ekonomi-dunia kapitalisEropa dalam mencari jawab mengenai kuat atau lemahnya negara-negara di Eropa abad keenambelas.10 Perry Andersonberargumentasi bahwa dalam memahami munculnya negaramoderen di Eropa, struktur dan kekuatan feodalisme pada masasebelumnya harus terlebih dahulu dipahami.11

Usaha untuk memahami negara dan masyarakat di kawasan duniaketiga setidak-tidaknya telah melahirkan tiga perspektif teoritisyang pokok: teori negara dalam masyarakat periferal, konsep danmodel rezim birokratik dan otoriter, dan statisme-organik sebagaisuatu model pernerintahan. Perspektif pertama meletakkanstruktur sosial sebagai landasan permulaan dalam memahaminegara di kawasan dunia ketiga. Struktur masyarakat yangtumbuh sebagai akibat kolonisasi dalam waktu yang umumnyapanjang, dan telah bertahan pada masa pasca kolonial dengankecenderungan dan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masakolonial telah dijadikan substansi analisa dalam perspektif ini.Studi-studi yang dikemukakan oleh Hamza Alavi, John S. Pauldan Colin Leys, mengenai kawasan Pakistan, India dan Afrikayang menggunakan perspektif ini.12 Kesulitan ideologis yang

Beacon Press, 1966).10 Immanuel Wallerstein, The Modern World-System Capitalist Agriculture andthe Origins of the, European World-Economy in the Sixteenth Century (NewYork: Academic Press, 1974); “The Rise and Future Demise of the WorldCapitalist System: Concept for Comparative Analysis”, dalam Politics andSociety, 5,3 (1975); The Capitalist World Economy (New York: CambridgeUniversity Press, 1979); lihat juga Theda Skocpol, “Wallerstein’s World CapitalistSystem: A Theoretical and Historical Critique,” dalam American Journal ofSociology 82, no. 5 (1977).11 Perry Anderson, Passages from Antiquity to Feudalism (London: New LeftBooks, 1974); Lineages of the Absolutist State (London: New Left Books, 1974).12 Lihat Hamza Alavi, “The State in Post-Colonial Societies: Pakistan andBangladesh,” New Left Review, 74 (July-August, 1972), John S. Paul, “TheState in Post Colonial Societies: Tanzania,” The Socialist Register (1974) dan“The Unsteady State: Uganda, Obote and General Amin.” Review of AfricanPolitical Economy, 5 (January-April, 1976), dan Colin Leys, “The OverdevelopedPost Colonial State: A Reevaluation”, Review of Affican Political Economy, 5

7

no. 13, mei 2007

dihadapi dunia ketiga dalam menempuh jalan pembangunanadalah titik tolak model organic statisme. Hampir seluruh negaradunia ketiga dihadapkan pada pilihan: jalan kapitalis yang berartipemaksimalan kepentingan pribadi, kebebasan dan persainganuntuk mencapai efisiensi ekonomi dan keseimbangan politik yangmaksimal; atau jalan sosialis–komando yang berartimemaksimalkan kontrol ekonomi dengan perencanaan negarauntuk mencapai masyarakat politik monistik dan terintegrasidengan menghilangkan otonomi kelompok-kelompok yang adadan pembangunan struktur dan nilai kolektif. Beberapa negaradunia ketiga dengan tegas menolak kedua pilihan ini danmenempuh pemecahan korporatisme. Negara bertindak sebagai“kepala keluarga” yang berusaha untuk mengatur danmengharmoniskan seluruh kepentingan ekonomi dan profesi.Pemecahan ini ditandai oleh negara yang kuat dan kecenderungancampur tangan yang kuat di hampir seluruh aspek kehidupanmasyarakat.13

Tekanan kepada negara dunia ketiga untuk segera melaksanakanindustrialisasi adalah titik tolak bagi perspektif-teoritis negara-birokratis-otoriter. Proses dan tahap industrialisasi yang ditempuhnegara dunia ketiga pasti akan menimbulkan perubahan-perubahan baik dalam aliansi politik tingkat elit dan masyarakat,maupun kondisi dan kecenderungan kelompok politik danekonomi dalam masyarakat. O’Donnell misalnya mengemukakanbetapa peningkatan dan deepening (pendalaman) industrialisasiakan menimbulkan ketegangan yang tidak bisa dihinkan antaranegara dan masyarakat. Dalam perspektif O’Donnell situasi initimbul karena keruntuhan yang tak bisa dielakkan dalam mediasiantara negara dan masyarakat, yang akhirnya menuju kepadakrisis legitimasi suatu negara.14 Peranan negara yang besar dengan

(January-April, 1976).13 Lihat Phillipe Schmitter, “Still the Century of Corporatism?”, dalam FrederickB. Pike and Thomas Stritch, eds., The New Corporatism: Social-PoliticalStructure in the Iberian World (Notre Dame-London: University of Notre-DamePress, 1970).

8

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

kecenderungan birokratik dan otoriter yang dihubungkan denganindustrialisasi yang terlambat sudah dikemukakan oleh Mooredan Alexander Gerschenkron. Moore menggambarkan tekananindustrialisasi sebagai sumber bagi terjadinya militerisasi danbirokratisasi elit politik yang kemudian melancarkan revolusi dariatas. Sedangkan Gerschenkron menekankan ketidakmungkinannegara-negara yang terlambat melaksanakan industrialisasi untukmelakukan akumulasi modal secara primitif seperti industrialisasidi Inggeris. Untuk negara-negara ini maka tekanan bagi akumulasimodal telah mengubah negara menjadi agen pembangunan yangberakibat luasnya pengaruh negara dalam semua aspek kegiatanekonomi.15

Di Indonesia, studi mengenai negara dan hubungan dinamikanyadengan masyarakat belumlah berkembang. Tetapi tampaknyakesadaran akan perlunya melakukan ini sudah ada. Misalnya inidicerminkan oleh tulisan-tulisan pendek yang mencobamemberikan spekulasi-spekulasi teoritis pada perkembangan danesensi rezim yang muncul setelah 1966, seperti diajukan oleh RexMortimer, William Liddle, Herbert Feith, Harold Crouch danDwight King. Spekulasi-spekulasi teoritis ini masih merupakansuatu reaksi cepat terhadap perkembangan politik setelah 1966,dan bukan merupakan suatu usaha untuk memahami fenomennegara dalam kaitannya dengan kecenderungan politik, ekonomidan sosial yang kuat dan mendalam yang berkembang dalammasyarakat pasca kolonial Indonesia. Bentuk spekulasi-spekulasiteoritis ini dengan begitu masih merupakan suatu potret seketika(snap-shot) dari rezim dan politik Orde Baru. Sekalipun demikiandeteksi-deteksi yang mereka lakukan cukup menarik dan memilikipotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Birokratisasi, komplikasi-komplikasi politik yang ditimbulkan oleh tekanan-tekanan

14 Guillermo O’Donnell, “Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State andthe Question of Democracy,” dalam David Collier, ed., The New Authoritarianismin Latin America (New Jersey: Princeton University Press, 1978).15 Alexander Gerschenkron, Economic Backwardness in Historical Perspective(Cambridge: Harvard University Press, 1962).

9

no. 13, mei 2007

pembangunan, kapitalisme, repatrimonialisme, telah disinggungsebagai peralatan analisa untuk memahami rezim Orde Baru.

Usaha yang secara sadar memusatkan perhatian pada fenomennegara di Indonesia ditunjukkan oleh analisa Richard Robison.Kegagalan teori dependensia sebagai peralatan analisa untukmemahami ekonomi dan masyarakat dunia ketiga dan gerakan-gerakan menuju pendekatan yang mendasarkan diri pada konsep-konsep cara produksi dan formasi sosial, telah membawa Robisonuntuk melihat masyarakat dunia ketiga bukan sebagai prosestunggal yang sering dikemukakan sebagai prosesketerbelakangan, tetapi sebagai bermacam-macam variasi daribentuk-bentuk ekonomi dan sosial yang berkembang sesuaidengan berbagai konfigurasi dari pembentukan kelas danpertentangan pertentangannya dalam masyarakat. Pikiran-pikiranRobison, yang jelas diilhami oleh teori negara dalam masyarakatperiferal, memandang negara sebagai kornponen integral kasus-kasus khusus dari formasi kelas sosial dan kemungkinan-kemungkinan konflik di dalamnya. Dengan keyakinan ini Robisonkemudian menunjukkan bagaimana negara kapitalis yangterbentuk di Indonesia–dengan ciri-ciri memberikan kondisi-kondisi bagi berlangsungnya akumulasi kapital dan memberikanjaminan keamanan bagi dominasi sosial kelompok borjuis–telahmelewati tahap-tahap yang berbeda-beda sesuai dengantransformasi dalam struktur kelas, tingkat-tingkat produksikapitalis dan konflik-konflik politik sejak tahun 1870 sampai1981.16

Usaha untuk memahami negara dengan menggunakan metodesejarah konvensional artinya tidak seperti yang dilakukan olehMoore, Perry Anderson, Wallerstein atau Skocpol–juga muncul.Harry J. Benda memperkenalkan pengertian Beamtenstaat–negarasebagai mesin birokrasi yang efisien, dengan penekanan kuat padaadministrasi, keahlian teknis dan pembangunan ekonomi; danapolitik sifatnya–untuk menggambarkan negara-kolonial Belanda16 Richard Robison, “The Transformation of the State in Indonesia,” Bulletin ofConcerned Asian Scholars, 14, 1 (January-Maret 1982).

10

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

pada periode akhir kekuasaannya di Indonesia.17 Dalam suatuartikel yang lebih merupakan pertanyaan daripada suatu strukturargumentasi, Ruth T. McVey mempersoalkan munculnya kembalibeamtenstaat di masa Orde Baru. Dipersoalkan apakah adahubungan yang nyata antara Orde Baru dan masa akhir kekuasaankolonial atau hanya kebetulan yang superfisial dalam gaya. Kalaumemang ada hubungan yang berarti, apakah itu terletak padamasalah ekonomi dan masyarakat abad keduapuluh, ataukah ituterletak pada tuntutan-tuntutan ideologis dan organisasimasyarakat yang lebih besar di mana keduanya berada. Kalaukeduanya menekankan hal-hal yang sama seperti efisiensi dankeahlian, apakah itu suatu komitmen yang sungguh-sungguh atauhanya sebagai topeng–kalau sebagai topeng, dimaksudkan untukmenutupi apa. Kedua-duanya menekankan legalitas dandemokrasi konstitusional, sehingga persoalannya sampai sejauhmana beamtenstaat Indonesia bisa dipandang sebagai tahap menujusuatu sistem kekuasaan yang terbuka.18

Konsep beamtenstaat ini dikembangkan dalam suatu argumentasioleh Benedict R.O’G. Anderson. Dengan menggunakan dikotomiantara di satu pihak komunitas-bangsa yang dibayangkan (theimagined community of nation) yang hak dan keabsyahannya untukmandiri telah diterima sebagai norma dalam kehidupan moderen,telah menemukan keamanan kemandiriannya dalam suatunegara-untuk-negara-sendiri (a state “of its own”). Tetapi di pihaklain, negara yang tidak bisa menemukan pengesyahan untuktuntutan pada waktu, kerja dan kekayaan masyarakat hanyadengan eksistensinya, menemukan legitimasi moderennya dalamkebangsaan. Anderson berargumentasi bahwa hasil-hasilkebijaksanaan Orde Baru paling baik dimengerti sebagai ekspresimaksimal kepentingan negara-untuk-negara-sendiri.

17 Harry J. Benda, “The Pattern of Reforms in the Closing Years of Dutch Rulein Indonesia,” Journal of Asian Studies 25, 4 (1966).18 Ruth T. McVey, “The Beamstenstaat in Indonesia,” dalam Benedict Andersonand Audrey Kahin, eds., Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributionsto the Debate (Ithaca, New York: Comell Modern Indonesian Project, 1982).

11

no. 13, mei 2007

Dikemukakan betapa kepentingan negara-untuk-negara-sendiritelah berkembang sejak kehadiran VOC, kernudianmemanifestasikan diri dalam beamtenstaat di zarnan kolonial danakhirnya di masa pasca kolonial dalam negara Orde Baru.Pemimpin-pemimpin nasionalis yang mewakili komunitas bangsayang dibayangkan atau kepentingan representatif danpartisipatori telah gagal menggabungkan peranan mereka dengankepemimpinan negara-untuk-negara-sendiri.19

Pelajaran yang mungkin paling penting yang bisa kita tarik dariteoritisi-teoritisi klasik adalah bahwa fenomen negara hanya bisakita pahami kalau fenomen ini kita hubungkan dengan arus dankekuatan sejarah yang mendalam, yang terungkapkan dalarndinarnika politik, ekonomi dan sosial dalam suatu periode, arahdan lingkungan sejarah tertentu masyarakat yang telahmemunculkan negara. Kegagalan fatal tradisi fungsionalisme-struktural untuk menangkap makna pelajaran ini telahmenyebabkan bahwa tradisi ini justeru telah mengaburkan danmembawa fenomen negara ini ke latar-belakang yang tidak terang.Lebih-lebih etnosentrisme kuat telah menghalangi tradisi ini untukmemahami negara, bukan hanya yang tumbuh di Eropa danAmerika, tetapi juga yang tumbuh di kawasan Dunia Ketiga.Metode sejarah dan makro sosiologi sekali lagi telah memperkuatbutir-butir yang telah ditawarkan oleh para teoritisi klasik. Studi-studi negara di kawasan Dunia Ketiga, terutama konsep negara-birokratik-otoriter dan teori negara di masyarakat periferal, jugamenunjukkan betapa kita perlu memahami arus dan kekuatansejarah yang telah mencekam masyarakat di kawasan DuniaKetiga. Ini tidak lain berarti kita perlu memahami makna integrasikawasan ini dengan perekonomian dunia dalam waktu yangcukup panjang, yang dengan sendirinya telah menumbuhkanstruktur ekonomi dan sosial tertentu yang memberikan corak,

19 Benedict R.O’G. Anderson, “Old State, New Society: Indonesia’s New Orderin Comparative Historical Perspective,” Journal of Asian Studies 62, 3 (May1983); Imagined Communities: Reflections on the Origins and Growth ofNationalism (London: New Left Books, 1983).

12

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

batasan dan mengkondisikan tumbuhnya negara di kawasan ini.

Jika perspektif ini dihubungkan dengan studi mengenai negaradi Indonesia yang secara sporadis telah tumbuh, maka konsepbeamtenstaat yang telah diperkenalkan oleh Benda dandikedepankan kernbali oleh McVey mungkin akan lebih berartilagi kalau dihubungkan dengan struktur perekonornian dan sosialyang tumbuh sejak zaman kolonial. Pertanyaan McVey: apakahdaya tahan beamtenstaat terletak pada masalah ekonomi danmasyarakat abad keduapuluh, ataukah pada tuntutan-tuntutanideologis dan organisasi masyarakat yang lebih besar di manakeduanya berada, nampak sangat relevan sekali. jika dihubungkandengan skema pendekatan Anderson, maka masalah yang perludipersoalkan tentunya adalah: kepentingan negara-untuk-negara-sendiri tentunya memiliki logika yang bisa memahamiketergantungannya pada suatu pengaturan ekonomi, memahamibahaya dan kemungkinan yang terkandung dalam suatu sistemperekonomian, atau dengan kata lain kepentingan negara-negara-untuk-negara itu juga berarti kepentingan untuk memilih jenisatau sistem perekonomian. Dikembangkan lebih jauh, makasoalnya adalah bahwa ada jenis-jenis perekonomian dan sosialtertentu yang memungkinkan bisa dikejarnya kepentingan negara-untuk-negara-itu-sendiri. Di sisi lain dari skema Anderson, yaitukepentingan kebangsaan-yang-dibayangkan, tentunya bisadipersoalkan bahwa kekalahan kepentingan ini tidak bisa hanyadilihat dalam tingkat manuver politik saja, tetapi harusdidudukkan dalam kerangka yang lebih luas: kekuatan sosial danekonomi masyarakat yang mendukung kepentingan kebangsaan-yang-dibayangkan, yang dalam analisa lebih jauh tentunyamerupakan akibat dan hasil proses perekonomian dan sosial yangmendalam dan berjangka panjang.

Dari VOC sampai Beamtenstaat

Jika kita menerima argumentasi bahwa VOC secara institusional–yaitu lembaga yang membangun dan memelihara tentara,

13

no. 13, mei 2007

membuat perjanjian, menarik pajak, menghukum pelanggarhukum dan sebagainya merupakan cikal-bakal negara moderendi Indonesia, maka menariklah untuk menyadari bahwa cikal-bakal ini merupakan suatu compagnie (company; perusahaan).20 Jikakita melihat perubahan kebijaksanaan dan kelembagaan yang silihberganti dari “negara” yang dipimpin oleh J.P. Coen sampai“negara” Hindia Belanda yang ditaklukkan oleh tentara “negara”Jepang pada 1942, maka nampaklah bahwa ciri dan watak negara-negara itu tetaplah menampilkan diri ada mula sebagai compagnie.VOC lahir pada mulanya dan dasamya adalah untuk kepentinganekonomi. Hukum ekonomi VOC mengatakan bahwa denganmodal terbatas, untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnyaadalah dengan menggunakan sistem penyerahan-paksa (forced de-livery) dan monopoli kekuasaan dalam perdagangan luar negeri.Penaklukan kekuasaan, perluasan daerah dan pemeliharaantentara, bukanlah demi perluasan negara qua negara, tetapi untukmemenuhi logika VOC, atau lebih umum logika ekonomikolonialisme pada permulaan abad ketujuhbelas. Penting untukdicatat, bahwa VOC bangkrut dah hancur bukanlah karena peranguntuk perluasan kekuasaan atau penaklukan, tetapi karenakorupsi dan keteledoran. Ini bisa digunakan untuk menunjukkanbahwa “staf-negara” VOC telah memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi yang dikejar melalui korupsi danpembukuan yang kacau di dalam “negara” VOC.

Ketika revolusi Perancis telah menimbulkan banyak perubahandi Eropa, Daendels, seorang pemuja Napoleon, memperkenalkan“negara” Eropa ke pulau Jawa, dari 1808 sampai 1811. Setelahinvasi Inggeris dengan prinsip-prinsip yang hampir sama, Raffles,seorang pegawai kolonial Inggeris yang banyak pengalaman, jugamemperkenalkan “negara” Eropa. Prinsip-prinsip hukum yangdi Eropa merupakan bagian pokok dalam transformasi kapitalismetelah dipindahalihkan oleh kedua tokoh negara kolonial ini.

20 Mengenai sumber dan tinjauan yang agak terperinci mengenai periodekolonial diberikan dalam Farchan Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengahdan Negara: Sebuah Catatan Penelitian,” Prisma XIII, 2 (Februari 1984).

14

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

Sekalipun benar bahwa pola-pola yang dikembangkan olehDaendels dan Raffles ini kemudian diteruskan oleh “negara”Hindia Belanda, namun perluasan “negara” Eropa ini masih belumberkembang dengan pesat. Lestarinya kekuasaan-kekuasaantradisional dan belum terartikulasinya kepentingan ekonomikolonial mungkin merupakan sebab-sebab pokok situasi ini. Halkedua bisa ditunjukkan oleh defisit “negara” Hindia Belanda yangkronis sejak permulaan 1820-an.

Berdasarkan perkiraan jika negara menggunakan model yangdiperkenalkan Raffles, maka pendapatan negara akan terus turun;pertimbangan akan timbulnya ancaman persaingan denganInggeris terutama dalam perdagangan dan pengangkutan kapal,serta kenyataan masih lemahnya modal swasta di negeri Belanda,maka tradisi lama staatbedrijf dibangkitkan kembali. Tradisi yangmemperlakukan daerah koloni sebagai perusahaan negara inidiwujudkan, dengan pernbentukan NHM (Nederlandsche HandelMaatschappij) pada 1825, Javasche Bank pada 1825 dandilaksanakannya sistem tanam paksa (cultuur-stelsel) pada tahun1830. NHM bertindak sebagai agen tunggal negara dalam impordan ekspor; Javasche Bank untuk menangani masalah-masalahfinansial; sedangkan sistem tanam paksa untuk memberikankerangka institusional, organisasi dan politik. Perubahanmendalam pelaksanaan staatbedrijf terhadap hubungan antaranegara dan sektor non-negara, kapitalisme dan terhadap negaraitu sendiri, menunjukkan bahwa dalam waktu lebih dariempatpuluh tahun, “negara” Hindia Belanda telah berkembangberkait-berkelindan dengan pertumbuhan modal, kapitalisme diJawa dan tidak kalah pentingnya pasar yang luas di Eropa untukbarang-barang ekspor dari Jawa.

Perubahan penting dalam periode yang secara langsungmendukung pertumbuhan “negara” Hindia Belanda adalahterciptanya kapitalisme periferal. Berkat perlindungan NHM,Javasche Bank dan sistem tanam paksa, maka tumbuhlah sedikitdemi sedikit sektor swasta. Kemenangan kelas menengah dankaum liberal di negeri Belanda telah memperkuat sektor swasta

15

no. 13, mei 2007

yang nampak terasa pada 1860-an. Pada saat inilah “negara”Hindia Belanda mulai menyadari kepentingan dan bidang-bidangusahanya dan tentunya tidak terlepas dari logika kapitalismeperiferal, yaitu memperlancar dan mengembangkan usaha swasta.Tindakan hukum yang penting dalam periode ini adalahpengesahan Undang-undang Agraria pada 1870 dan PeraturanPersewaan pada 1871. Kebebasan memperoleh tanah dan arus kuatpermodalan kelas menengah Belanda yang berkepentingan untukikut dalam perekonomian Hindia Belanda telah memungkinkanperusahaan swasta untuk mengimpor mesin-mesin dan dengandemikian menambah produksi secara substansial ini tentunyadiperkuat dengan gelombang kemajuan perbankan pada tahun1850-an dan 1880-an.

Pada saat inilah “negara” Hindia Belanda bisa mengonsentrasikandiri untuk mengembangkan elemen-elemen penting dari sosokkehadirannya: birokrasi dan administrasi hukum. Dalam periodeini negara Hindia Belanda mengalami suatu modifikasi yangekstensif secara vertikal maupun horizontal dalam aparatbirokrasinya. Hukum dan perundang-undangan pun mulaidikeluarkan sebagai akibat pengaruh liberalisme yangmenekankan hukum dan orde, persamaan di depan hukum,pendidikan dan kesejahteraan umum. Perangkat perundang-undangan dan hukum ini bukan saja untuk memberikanperlindungan kepada pegawai-pegawai Eropa dan pribumi, tetapiuntuk kaum pribumi di tingkat desa.

Krisis ekonomi Hindia Belanda pada pertengahan 1880-an–suatukrisis yang bersebab di pasaran Eropa–telah mengundang kembaliperanan negara dalam perekonomian. Pada periode itu negarabertanggung jawab bukan hanya pada masalah administratifmempertahankan hukum dan keteraturan, memberikan fasilitasdan kesejahteraan umum-tetapi juga mengambil kembalipcranannya yang penting dalam ekonomi. Ini diwujudkan dalampartisipasi langsung usaha perkebunan melalui perusahaannegara NHM, eksplorasi dan penanaman modal dalam usaha yangprospek keuntungannya tidak cukup untuk menarik modal swasta

16

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

seperti pertambangan, kehutanan dan pembangunan prasaranaseperti pengangkutan kereta api, jalan dan sistem irigasi.Nampaklah di sini betapa peranan “negara” Hindia Belandaberurusan langsung dengan penyelamatan dan pengembanganperekonomian Hindia Belanda.

Di bawah ideologi kolonial “Politik Etis” negara mulaiberkembang ke arah konsepsi yang luas dalam fungsinya.Pembaruan politik dan administrasi cara pemerintahan mulaidiperkenalkan. Di bawah tema-tema umum efisiensi,kesejahteraan dan otonomi, pembaruan itu meliputi masalahdesentralisasi, administrasi departemen dan teritorial, danpengikut sertaan pribumi dalam birokrasi dan pengambilankeputusan. Pada saat inilah perluasan aparatur negara mulai terasabenar dalam masyarakat. Pendidikan, agama, irigasi, perbaikanpertanian, kesehatan, eksploitasi mineral, dan penanggulanganmasalah-masalah politik–semua ini ditangani oleh aparat negaradengan logika mempertahankan suatu perekonomian yangmendukung tumbuhnya kapitalisme periferal. Hanya denganmempertahankan sistem ini–suatu sistern di mana modal swastabisa berkembang dengan pesat dan hubungan dengan pasar diEropa terjamin–maka negara bisa memperoleh pendapatan untukmembiayai kegiatan-kegaitannya. Dilihat dari segi pendapatandan pola pembelanjaannya, memang nampaknya negara sepertiberdiri untuk dirinya sendiri; tetapi dilihat dari keberadaan negaradalam suatu tata perekonomian makro, maka nampaklah bahwanegara Hindia Belanda bukanlah berada untuk dirinya sendiri.Malahan bisa dikatakan bahwa negara Hindia Belanda bisabertahan secara finansial, justeru karena sistem perekonomianmakro yang dipertahankan itu. Lebih-lebih lagi kalau kita ingatperspektif ideologis Eropa yang dominan pada waktu itu, makamemang demikianlah peranan negara dalam suatu sistemkapitalisme yang sedang tumbuh. Perlu juga dicatat di sini bahwaperkembangan aparat dan birokrasi negara Hindia Belanda jugaditekan perkembangannya untuk menanggulangi akibat negatifyang ditimbulkan oleh perkembangan kapitalisme periferal sejak

17

no. 13, mei 2007

tahun 1830-an, yang setelah tahun 1910 tak bisa diterima lagi olehideologi kolonial mutakhir: Politik Etis. Dengan mengatakan inibukanlah berarti kita meletakkan negara Hindia Belanda semata-mata sebagai pelayan kapitalisme periferal. Negara juga bisa danmungkin mengembangkan kepentingan-kepentingannya sendiri;tetapi kepentingan-kepentingan ini tidak bisa tidak harus dikejardi dalam suatu sistem sosial dan ekonomi tertentu yangmendukung pengejaran-pengejaran kepentingan-kepentingan itu.Ini bisa kita lihat nanti dalam perkembangan negara pada masapasca-kolonial.

Nasionalisme dan Masyarakat

Dalam periode sejak sekitar tahun 1910 sampai 1965 masyarakatatau sektor nonnegara di Jawa, kemudian juga di luar Jawa danakhirnya seluruh Indonesia, mengalami politisasi dan ideologisasiyang mendalam. Gerakan politisasi dan ideologisasi ini berasaldari kelompok atas golongan pribumi yang merupakan campurandari kaum bangsawan, intelektual pendidikan Barat, pemimpinagama dan anggota kelompok pedagang dan komersial yang telahmewakili kelahiran borjuis pribumi. Mereka kemudianmenemukan diri mereka sebagai pemimpin sosial dan politik yangmemperkenalkan metode baru dalam mengorganisasikanpengetahuan dan pemikiran dalam hubungannya dengan duniamoderen, terlepas dari kerangka “negara” Hindia Belanda. Halpenting yang terjadi dalam proses politisasi dan ideologisasipribumi ini adalah bahwa kepada masyarakat pribumi telahdiperkenalkan arti praktek diskriminasi dan eksploitasi dalampendidikan, kesempatan ekonomi, profesi, administrasi hukumdan perundang-undangan, dalam perspektif luas, yaitukolonialisme.

Kenyataan bahwa mobilisasi ke atas kelompok-kelompok yangaktif dalam masyarakat pribumi pada periode 1910-an tidak bisadikejar melalui bidang ekonomi–tentunya karena sektor moderendikuasai oleh perusahaan negara dan asing, dan sektor perantara

18

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

oleh golongan Cina–dan pula tidak bisa melalui birokrasiperusahaan asing dan negara, maka kelompok-kelompok inidengan sendirinya menyadari perlunya peduangan politik denganmempersoalkan legitimasi negara Hindia Belanda serta orde sosialekonomi kolonial yang mendukungnya. Kurang lebih inilah wataknasionalisme yang tumbuh pada periode itu. Sarekat Dagang Is-lam (SDI) dan tokoh pendirinya, Raden Mas Tirto Adisoerjo,adalah representasi tipikal gerakan nasionalisme ini. SDI yang-pada mulanya merupakan asosiasi koperasi dari pedagang-pedagang batik Jawa yang dibentuk demi menghadapi persaingandengan golongan Cina dan kemudian muncul kembali sebagaiorganisasi politik, Sarekat Islam, juga menunjukkan betapakesulitan-kesulitan ekonomi yang dihadapi golongan pribumitelah menjelma menjadi gerakan politik.

Konsekuensi penolakan pada legitimasi negara dan orde sosialekonomi kolonial adalah bahwa kelompok-kelompok yang aktifdalam gerakan-gerakan kemasyarakatan ini ditekan untukmemberikan suatu alternatif kehidupan kemasyarakatan tanpanegara Hindia Belanda atau tata susunan kemasyarakatan tanpakolonialisme. Pada saat inilah pemikiran-pemikiran Islammoderen, demokrasi liberal dan sosialisme mulai mengakar dalammasyarakat sebagai prospek masa depan kemerdekaan politik danekonomi. Inilah peranan penting yang dilakukan kelompokintelektual didikan Barat dan profesi, yaitu memberikan wawasanspektrum ideologi dan politik yang luas.

Ketegangan antara masyarakat pribumi dan negara HindiaBelanda terjadi ketika keduanya mengerahkan kekuatan merekamasing-masing. Pemimpin-pemimpin sosial dan politik telahmemperkuat diri dengan pembentukan partai politik danorganisasi sosial untuk memobilisasi massa dalam berbagai sektormasyarakat kota dan pedesaan. Inilah pula yang mewarnaigerakan nasionalisme pada periode dasawarsa kedua sampaikeempat abad keduapuluh: munculnya bermacam-macamorganisasi sosial dan politik dengan orientasi politik dan ideologiyang kuat. Ketiadaan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dalam

19

no. 13, mei 2007

usahanya untuk mempertahankan diri, keamanan dan keteraturanorde kolonial, negara Hindia Belanda mendasarkan diri padakebijaksanaan-kebijaksanaan individual, ad hoc dan jangka pendek,yang pada dasarnya bersifat pelarangan dan represi, penekanan-penekanan langsung, pengasingan dan penangkapan. GubernurJendral memiliki suatu otoritas untuk mengasingkan, menangkaptanpa otorisasi pengadilan dan melarang penerbitan yangdipandang bertentangan dengan kepentingan umum.Perkumpulan bebas dan pertemuan–yang merupakan mediapenting bagi unsur-unsur kemasyarakatan untuk memperkuat dirisecara politik dan ideologis–secara ketat dikontrol denganancaman penahanan dan pemenjaraan. PID (Politieke InlichtingenDienst) dan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger)merupakan bagian penting bagi negara Hindia Belanda untukmengusahakan keamanan dan keteraturan (rust en orde).

Negara Hindia Belanda yang secara struktural telah terasing darimasyarakat pribumi kini dipersoalkan legitimasinya dan menjadidefensif dan dengan terpaksa memperkembangkan dan akhirnyamendasarkan diri pada birokrasi dan aparat politik. KegagalanVolksraad untuk berfungsi secara efektif sebenarnya adalahkegagalan negara dalam menciptakan mediasi dengan masyarakatpribumi dan dengan begitu mengatasi keterasingannya.Sementara itu masyarakat yang terasing dari peranan-perananyang berarti dalam ekonomi terus memperkuat dirinya denganpolitik dan ideologi. Nampaklah di sini betapa birokrasi dan aparatpolitik negara telah berkembang bukan sebagai akibat rangsanganinternal negara di ruang kosong; tetapi dari politisasi danideologisasi unsur-unsur masyarakat.

Unsur-unsur kemasyarakatan ini terus bergerak dan berkembangdalam ruang lingkup politik dan ideologi. Dalam proses inipemimpin-pemimpin mereka yang muncul telah menghadapipenahanan, pengadilan dan pengasingan yang dilakukan olehnegara Hindia Belanda. Depresi tahun 1921 telah memaksanegara–demi kelangsungan perekonomian kolonial, dan bukanuntuk kepentingan masyarakat pribumi–untuk memberikan

20

e-newspEnEbarno. 13, mei 2007

kesempatan kepada pribumi berperanan dalam ekonomi, dengankebijaksanaan-kebijaksanaan yang berorientasi ke dalam dankemandirian ekonomi. Namun tidak lama setelah itu dankebijaksanaan baru negara ini belum secara nyata memberikanhasil, negara itu sendiri telah dihancurkan oleh kekuatan negaraJepang tahun 1942. Sejak saat ini sampai tahun 1965 masyarakattelah mengalami proses politisasi dan ideologisasi maksimal. Initelah ditunjukkan oleh keberhasilan masyarakat untukmenempatkan wakil mereka dalam lembaga-lembaga negarapribumi yang, secara formal memperoleh kedaulatannya padatahun 1949.

Namun kemenangan politik dan ideologi unsur-unsurkemasyarakatan ini tetap berada dalam landasan perekonomiankolonial yang belum berubah, malahan lebih jelek. Distribusikekuatan ekonomi, pola pemilikan aset-aset produktif, alokasifaktor-faktor produksi dan kesentralan peranan impor dan eksportelah menunjukkan betapa struktur kapitalisme periferal yangtelah berkembang sejak abad kesembilanbelas masih tetapbertahan dan tentunya dalam keadaan rusak. Kerusakan inipertama disebabkan oleh dislokasi dan stagnasi yang diderita olehpasaran dunia akibat Perang Dunia Kedua; dan pada tingkatdomestik, disebabkan olch kehancuran prasarana, organisasiperekonomian dan keuangan akibat gejolak politik dari 1942sampai 1949.

Landasan perekonomian yang sama tentunya menimbulkan akibatyang sama bagi unsur-unsur masyarakat: keterasingan merekadari peranan-peranan yang berarti dalam perekonomian, terlepasdari kenyataan bahwa secara politik dan ideologi mereka telahmenang. Dalam periode tahun 1950-1965 keterasingan ini telahdicoba untuk diatasi dengan dua cara: pertama, dengan tetapmempertahankan berlangsungnya kapitalisme periferal, tetapidengan pengusahaan–melalui kebijaksanan negara, bantuan kreditdan fasilitas–agar unsur-unsur masyarakat pribumi berperanandi dalamnya dan dengan begitu mengubah distribusi kekuatanekonmi dan pola pemilikan aset-aset produktif ke tangan

21

no. 13, mei 2007

masyarakat pribumi. Kedua, dengan cara menghancurkankapitalisme periferal, melalui pemutusan hubungan dengan pasarinternasional, dan secara politik mengubah pemilikan aset-asetproduktif dan distribusi kekuatan ekonomi, serta menggantikanpasar dengan sistem ekonomi komando. Namun kekukuhan danketegaran struktur kapitalisme periferal telah menghalangi keduausaha tersebut.

Halangan struktural kapitalisme periferal terhadap kedua usahatersebut pada prinsipnya terwujud dalam bentuk stagnasi dandislokasi perekonomian secara keseluruhan bila hubungan denganpasaran internasional mengalami kesulitan atau diputuskan samasekali. Ini nampak jelas sekali dalam perkembangan setelahselesainya boom Perang Korea pada 1952 sampai 1966. Usaha untukmengatasi keterasingan masyarakat pribumi dari peranan-peranan penting dalam perekonomian melalui cara yang pertamabukan hanya telah gagal, tetapi malahan telah mengikis habisdasar-dasar dan kekuatan unsur-uhsur masyarakat untukmempertahankan supremasi politik dan ideologi mereka.Sedangkan cara kedua yang mulai dilancarkan pada akhir tahun1957 pada nyatanya bukan memperkuat unsur-unsur masyarakatdalam peranan-peranan ekonomi, tetapi telah membuka jalan bagiperanan luas sektor negara.

Negara dan Ekonomi

Ketika akhirnya pada bulan Agustus 1950 Negara KesatuanRepublik Indonesia lahir secara de facto “negara” boleh dikatakanbelumlah lahir, atau setidak-tidaknya masih teramat lemah:birokrasi sipil yang koheren belum tegak, sementar itu tentaramasih terpecah-pecah dalam bermacam-macam kelompok yangsering telah meletus dalam kekerasan. Sosok “negara” masih kaburdan tenggelam dalam kegaduhan “masyarakat” yang baru sajamengalami revolusi, politisasi dan ideologisasi yang maksimal.Dalam waktu kurang lebih delapan tahun menjelang tahun 1950di Indonesia, khususnya di Jawa, telah bertarung tiga “negara”:

22

no. 13, mei 2007

pEnEbare-newsHindia Belanda, Jepang dan tentunya “negara” Republik Indone-sia. Negara yang terakhir ini tentunya sangatlah lemah mengingatkekuatan dirinya lebih tergantung pada unsur-unsur masyarakatyang terwakili dalam diri pemimpin-pemimpin nasionalisdaripada kepada unsur-unsur negara moderen. Dalam revolusisejak 1945 sampai 1950 malahan justeru unsur-unsur masyarakatyang telah mempertahankan “negara” Republik melalui organisasiperjuangan non-negara.21 Suasana seperti ini masih nampak jelasketika Indonesia memasuki tahun pertama masa pasca-kolonial.Hanya setelah periode dari 1952 sampai 1959, dalam periode manaunsur-unsur negara, terpenting di antaranya adalah tentara, telahmengalami suatu proses kristalisasi politik, sosial dan ekonomi,suasana “negara” di bawah “masyarakat” itu berubah secaradramatis.

Negara moderen pasca-kolonial Indonesia pertama-tama mulaimengenal sosok kehadiran dirinya secara lebih terang dalamAngkatan Darat yang bersatu. Proses penyatuan Angkatan Daratdimulai secara nyata kurang lebih pada pertengahan 1958, secarasetelah Nasution berhasil mengatasi pemberontakan-pemberontakan daerah secara militer. Perkembangan negara yangmenyandarkan diri pada Angkatan Darat yang bersatu inikemudian berlanjut lebih jauh lagi ketika ternyata Angkatan Daratyang bersatu ini juga berkeyakinan bahwa ia harus melakukanperanannya sendiri dalam bidang politik, sosial, ekonomi sertabidang-bidang non-militer lainnya. Pelaksana keyakinan inidimulai mendasarkan diri pada Undang-undang Darurat Perangpada bulan Maret 1957. Periode dari Maret 1957 sampai juli 1959adalah periode yang amat penting yang menjelaskan bagaimananegara pasca-kolonial Indonesia telah membentuk danmengembangkan diri.

Segera setelah pengeluaran Undang-undang Darurat Perang,Angkatan Darat sebagai unsur “negara” masuk ke dalam wilayah“masyarakat” dengan pembentukan Badan Kerja Sama antara21 Lihat Benedict R.O’G. Anderson, “Old State, New Society: Indonesia’s NewOrder in Comparative Historical Perspective,” halaman 480-481.

23

no. 13, mei 2007

unsur-unsur Angkatan Darat dengan organisasi-organisasipemuda yang berafiliasi pada partai, kemudian dengan organisasi-organisasi buruh, tani dan wanita, pada bulan juni 1957. KemudianNasution juga berhasil menyatukan berbagai-bagai organisasiveteran ke dalam organisasi tunggal Legium Veteran di bawahsupervisi Angkatan Darat. Dalam pesaingan dengan Sukarno,Angkatan Darat juga berhasil mendirikan Front NasionalPembebasan Irian Barat sebagai organisasi mobilisasi untukmenggalang unsur dan kekuatan Angkatan Darat dan masyarakat.Paling penting untuk dicatat di sini, bahwa dengan Undang-undang Darurat Perang, Angkatan Darat bisa bertemu, bersatu,dengan dan menghidupkan kembali unsur-unsur negara mod-ern yang tak kalah pentingnya dengan Angkatan Darat, yaitubirokrasi dan administrasi sipil. Berdasarkan Undang-undang iniAngkatan Darat masuk dan mengawasi aparatur dan birokrasisipil, dan di daerah-daerah komandan-komandan regionaldiinstruksikan untuk membawa aparatur dan birokrasi sipil iniuntuk mengidentifikasikan diri dengan kepentingan masyarakatsetempat. Dengan undang-undang ini pula kini Angkatan Daratbisa mengawasi dan mengontrol unsur-unsur masyarakat yangterwakili dalam partai politik, organisasi-organisasi sosial dantentunya pers.

Kehadiran negara yang mulai dirasakan di mana-mana inikemudian diikuti oleh suatu peristiwa penting yang secarastrategis membuka peluang bagi perluasan negara dalam bidangekonomi. Pada bulan Desember 1957 terjadi nasionalisasiperusahaan-perusahaan asing dan segera setelah itu Nasutionmenginstruksikan agar perusahaan-perusahaan yangdinasionalisasi berada di bawah pengawasan dan penguasaanAngkatan Darat. Pada bulan Agustus 1958 ketika perusahaan-perusahaan asing akan diintegrasikan ke departemen-departemenpemerintah Nasution meminta persyaratan agar para perwirasenior atau yang tidak memiliki tugas supaya disalurkan ke dalamkedudukan manajemen perusahaan-perusahaan itu. Dalam waktuyang hampir bersamaan Nasution juga menginstruksikan agar

24

no. 13, mei 2007

pEnEbare-newsperwira-perwira yang secara administratif bertanggung jawabpada pelaksanaan Undang-undang Darurat Perang dimasukkanke dalam dewan manajemen perusahaan-perusahaan asing itu.Penguasaan dan pengawasan perusahaan-perusahaan asing yangdinasionalisasi di tangan Angkatan Darat telah menandai suatuloncatan penting bagi perkembangan negara pasca-kolonial bahwanegara kini secara politik telah menguasai sektor ekonomimoderen. Perusahaan-perusahaan asing ini kemudian diubahbentuknya menjadi perusahaan-perusahaan negara. Menarikuntuk diingat di sini betapa negara Hindia Belanda pada tahappermulaan pertumbuhannya, juga telah membangkitkan tradisiperusahaan negara (staatbedrijft) yang terwujud dalampembentukan NHM pada 1825 untuk memonopoli perdagangandi sektor moderen.

Persatuan dan sentralisasi Angkatan Darat lebih kukuh danmeyakinkan ketika pada pertengahan 1958 Nasution secara militertelah mengatasi pemberontakan-pemberontakan daerah yangmelibatkan perwira-perwira Angkatan Darat saingan Nasution.Setelah konflik internal yang mungkin terberat yang dihadapiAngkatan Darat ini, segera dibentuklah Panitia Doktrin AngkatanDarat, suatu lembaga yang dimaksudkan untuk memecahkanmasalah-masalah konseptual peranan Angkatan Darat yangsemakin mendalam dan luas. Panitia ini telah memperkenalkansuatu konsep pertahanan yang juga mendasarkan diri padakekuatan-kekuatan populer masyarakat. Konsep ini kemudianditingkatkan menjadi Doktrin Perang Wilayah. Pada bulanAgustus 1958, suatu konferensi komando wilayah telahmengeluarkan suatu resolusi yang menyatakan bahwa AngkatanDarat akan memusatkan kekuatannya untuk menegakkan hukum,disiplin dan keteraturan, serta membersihkan organisasikenegaraan baik sipil maupun militer. Puncak pernecahankonseptual diberikan oleh Nasution pada bulan November denganpemecahan “jalan tengah” yang pada dasarnya merupakan suatupengesahan bagi peranan Angkatan Darat di luar bidang militer.Dalam sidang Dewan Nasional yang berlangsung dari bulan Juli

25

no. 13, mei 2007

sampai November, Nasution dengan gigih mengusulkan suatupenyederhanaan dan kontrol atas partai-partai politik,menggantikan sistem Pemilihan Umum perwakilan menjadisistem distrik, depolitisasi birokrasi sebagai cara untukmengurangi ketegangan dan ketidakstabilan dan pengusulan agarAngkatan Darat diwakili dalam lembaga kenegaraan danparlemen sebagai Golongan Karya. Dalam sidang di akhir No-vember, Dewan Nasional akhimya menyetujui daftar GolonganKarya di mana Angkatan Darat termasuk di dalamnya.Keberhasilan secara de facto Angkatan Darat ini kemudian lebihdikukuhkan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945–suatupemecahan politik yang telah diperjuangkan dengan gigih olehNasution.22

Demikianlah dalam waktu yang relatif pendek, negara pasca-kolonial Indonesia melalui penyatuan, politisasi dan ideologisasiserta perluasan peranan dari salah satu unsurnya yang terpenting-telah mengubah kekaburan dirinya di awal 1950-an menjadi suatukehadiran yang pasti dan menonjol. Dalam periode setelah 1959lembaga-lembaga kenegaraan, politik dan birokrasi telah beradadalam pengaruh kuat unsur-unsur negara itu sendiri. Sukarnosebagai representasi unsur “masyarakat” yang selamat dalamkrisis transisional 1957-1959 telah terpaksa, demi keselamatanpolitik dan sekaligus memperkuat posisinya vis-a-vis “negara”,memobilisasi dan mengonsolidasikan unsur-unsur “masyarakat”yang selamat dari krisis itu yang terwakili dalam diri partai-partaipolitik, terutama PKI, PM dan NU, serta tokoh-tokoh sipil non-partai. Ruangan kosong yang telah ditinggalkan oleh unsur-unsur“masyarakat” yang tidak berhasil untuk selamat dalam krisistransisional 1957-1959 hendak dicoba untuk diisi oleh kekuatan-

22 Transformasi angkatan darat setelah kemerdekaan diulas secara bagus dalamRuth T. McVey, “The Post-Revolutionary Transformation of the Indonesian Army,”(Part I and II) Indonesia 11: 131-76; 13: 147-82. Untuk periode transisional1957-1959, lihat Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: IndonesianPolitics, 1957-1959 (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesian Project,1966).

26

no. 13, mei 2007

pEnEbare-newskekuatan politik di bawah Sukamo ini.

Keperluan akan legitimasi politik dan mempertahankan suatutingkat mobilisasi yang tinggi telah memaksa Sukarno untukmeradikalkan dan merevolusionerkan masyarakat dengan politikdan ekonomi revolusi dan berdikari; pilihan lain berupaperubahan gradual seperti yang telah dikejar pada masasebelumnya tidaklah mungkin. Angkatan Darat yang mewakiliunsur “negara” terpaksa menjadi defensif dan konservatif–suatusikap yang diterjemahkan ke dalam bentuk menyelamatkan danmempertahankan aparatur, birokrasi dan lembaga-lembaganegara lainnya. Pertemuan dua arus-pemecahan dan kepentinganpolitik Sukarno di satu pihak, dan di pihak lain, Angkatan Daratyang telah mengalami politisasi, ideologisasi dan perluasanperanan dan menyadari perlunya menyelamatkan “negara”–telahmelahirkan etatisme dan perekonomian komando.

Namun pertemuan dua arus yang ditupang oleh keseimbanganyang penuh ketegangan dan sangat eksplosif ini telah berdiri diatas perekonomian yang amat rapuh dengan tingkat dislokasi danstagnasi yang amat tinggi. Kecenderungan-kecenderunganintrinsik dalam kapitalisme periferal yang mengalami kerusakanini semakin kuat dan tak terkendalikan lagi, berupa ekspor danimpor yang menurun secara menyolok, diikuti penurunan tingkatproduksi hampir mendekati titik kelumpuhan dan defisit negarayang amat besar. Etatisme dan perekonomian komando yangbertemu dengan kapitalisme periferal yang rusak dengan begitutelah menghasilkan inflasi pada tingkat fantastis dan pendapatanper-kapita yang menurun. Negara, dengan perusahaan-perusahaan negara yang didirikan secara cepat dan tergesa-gesa,yang pada 1959-1960 telah meloncat masuk dan menguasai hampirseluruh kegiatan ekspor, impor, distribusi dan perdagangan padaakhirnya telah terjerat dalam perekonomian yang terlalu penuhperaturan dan birokratisasi yang tidak efektif dan tidak menentu,di mana pasar telah tak kuasa mengatur mekanismenya.Betapapun kuat dan luas jangkauan Negara, namun–setidak-tidaknya dalam periode itu–satu kenyataan keras tidak bisa

27

no. 13, mei 2007

dilawannya: bahwa pendapatan terbesarnya tergantung padakegiatan-kegiatan ekonomi yang menghubungkan perekonomiandomestik dengan pasaran internasional. Dalam tulisan lain penuliskemukakan ini sebagai ciri kapitalisme periferal. Perluasankekuasaan negara dan birokratisasi perekonomian pada periodeini tepat bersamaan dengan saat di mana hubungan ekonomidengan pasaran internasional boleh dikatakan hampir putus samasekali. Pemecahan yang menekankan stabilisasi dan normalisasiperekonomian, dan dengan begitu hubungan ekonomi luar negeridiharapkan bisa dipulihkan kembali seperti yang diusahakan olehDjuanda pada bulan Mei 1963 telah terdepak ke luar arus olehunsur-unsur masyarakat yang telah termobilisasi danterradikalisasi.

Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini nampaklah duakecenderungan yang kuat. Di satu pihak, “masyarakat” telahtenggelam dalam heroisme, simbolisme dan sloganismerevolusioner–suatu kecenderungan yang semakin diperkuatsebagai kompensasi terhadap kesulitan-kesulitan ekonomi. Dipihak lain, “negara” telah semakin mandiri, terlepas dari“masyarakat” dan telah mengembangkan logika dan kepentingan-kepentingannya sendiri, serta telah memperluas sektor kegiatandan jangkauannya. Namun ironisnya adalah bahwa kemandiriandan perluasan negara ini tidak melaju ke mana-mana, ataustagnan. Dapat dikemukakan di sini bahwa kemacetan ini sebagianbesar disebabkan akibat seluruh mekanisme perekonomian yangmemungkinkan negara mengumpulkan pendapatnya yangsebagian besar ditarik dari kegiatan-kegiatan ekonomi luar negeritelah lumpuh sama sekali. Negara menjadi tidak relevan secaraekonomi; malah telah menjadi beban perekonomian dengan defisitterus menerus yang dengan sendirinya menimbulkan tekananinflatoir terhadap perekonornian secara keseluruhan. Demikianlahnegara dan masyarakat dalarn waktu yang sangat cepat tiba-tibatelah terjerat ke dalam arus melingkar ke bawah yang sulit diatasi.Peristiwa G-30-S dan akibat-akibat fatal yang secara cepatmenimpa sektor masyarakat telah mengakhiri keseimbangan yang

28

no. 13, mei 2007

pEnEbare-newspenuh ketegangan dan eksplosif ini dan membuka babakan barusejarah negara yang sedikit banyak telah “berpengalaman” dalammenanggulangi masalah-masalah yang timbul dalam interaksinyadengan masyarakat.

Dalam perspektif historis dan struktural yang telah kita pakaiuntuk melihat perkembangan negara dan masyarakat pada masakolonial dan pasca-kolonial, maka menarik untuk kita catat betapadalam periode pasca1966 penataan dan pengukuhan negara telahdimungkinkan oleh: 1. pengusahaan negara menjadi lembaga yangrelevan untuk mempertahankan stabilitas perekonomian; 2.diberikannya kesempatan kepada pasar untuk mengaturmekanisme perekonomian; 3. dibukanya kesempatan kepadamodal, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk bergiat dalamekonomi; dan 4. pengintegrasian kembali perekonomian Indone-sia ke dalam perekonomian internasional. Periode pendek 1966-1969 mcrupakan tahap permulaan dari penataan dan pengukuhannegara di mana krisis keuangan negara dan inflasi diatasi,perdagangan luar negeri dibenahi, diperolehnya jaminan sumberdana luar negeri dari negara-negara IGGI yang terutama ditujukanuntuk menopang neraca perdagangan luar negeri dan anggaranbelanja negara, serta dibukanya perekonomian Indonesia untukpenanaman modal asing. Dalam periode ini pula negara telahberhasil membersihkan diri dari seluruh elemen-elemen yangdiperkirakan akan merupakan sumber ketidakstabilan dandisintegrasi; dan tidak kalah pentingnya adalah dipersatukannyaseluruh kekuatan angkatan bersenjata–suatu kekuatan yangberkeyakinan bahwa peranannya tidak terbatas pada masalahkeamanan, tetapi juga pada masalah-masalah non-militer. Denganbekal seperti inilah maka pada awal 1970-an telah terciptabeamtenstaat pascakolonial Indonesia yang lebih kuatdibandingkan negara-negara sebelumnya dengan akibat-akibatyang tidak jauh berbeda dengan beamtenstaat terdahulu. Ininampak jelas dalam kenyataan bahwa masyarakat belumlahmampu mengatasi keterasingannya dari partisipasi yang berartidalarn politik dan ekonomi-suatu persoalan yang terus saja

29

no. 13, mei 2007

muncul sejak zaman kolonial Dalam periode pendek 1945 sampai1960-an kita menyaksikan betapa masyarakat dengan penuhharapan telah mengisi “kekosongan” yang ditinggalkan olehnegara-negara lama–Hindia Belanda dan Jepang–sementaranegara pasca-kolonial Indonesia belum menemukan sosokkehadirannya secara tegas. Kita menyaksikan pula betapaperekonomian yang integrasinya dengan perekonomianinternasional melemah telah menimbulkan proses-proses sosialdan politik yang akhirnya membawa masyarakat dalamkedudukan yang tidak menguntungkan.

Catatan Penutup

Di bagian akhir dari tinjauan perkembangan teori fenomen negaradan hubungannya dengan masyarakat sudah dikemukakan betapapentingnya kita menghubungkan fenomen ini dengan arus,kekuatan dan lingkungan sejarah yang terungkapkan dalamdinamik politik, ekonomi dan sosial dalam suatu periodemasyarakat yang telah memunculkan negara itu. Dalam uraianmengenai pertumbuhan negara di zaman kolonial, dari “negara”VOC sampai beamtenstaat, ditunjukkan betapa negara telahtumbuh dan berkembang secara berkait-berkelindan denganpertumbuhan kapitalisme periferal di Indonesia. Dalam tahap-tahap pertumbuhan ini nampaklah betapa negara telahmengartikulasikan diri sesuai dengan pertumbuhan kapitalismeperiferal.

Struktur ekonomi yang berkembang ini secara efektifmenimbulkan proses politisasi dan ideologisasi masyarakatpribumi. Struktur yang temyata tetap bertahan ini telah mengalamitahap-tahap kemunduran ketika depresi melanda dunia yangkemudian diikuti oleh keruntuhan negara Hindia Belanda, dandiperburuk lagi oleh datangnya “negara” Jepang dan revolusi.Ketika “masyarakat menang dan memegang tampukkepemimpinan politik pada penggal pertama dekade 1950-an,struktur yang telah mapan, namun mengalami kerusakan ini, telahmerupakan halangan struktural bagi usaha-usaha masyarakat

30

no. 13, mei 2007

pEnEbare-newsuntuk mengatasi keterasingannya dari peranan-peranan pentingdalam ekonomi.

Kegagalan usaha ini telah menimbulkan pergeseran-pergeseranpolitik yang pada akhirnya membawa “negara” pasca-kolonialIndonesia mempertegas diri dan memperluas peranannya. Namunketegasan diri dan perluasan peranan negara dalam DemokrasiTerpimpin ini justeru telah meruwetkan dan lebih memperburukperekonomian. Lompatan negara ke sektor moderenperekonomian malah telah lebih melemahkan hubungan antaraekonomi Indonesia dan perekonomian internasional. Keadaanobyektif tahun 1966 telah memaksa untuk digabungkannyakembali perekonomian Indonesia dengan perekonomianinternasional dengan pemenuhan-pemenuhan persyaratan dalamnegeri di bawah pimpinan negara secara ketat. Hanya setelahdiintegrasikannya perekonomian Indonesia ke dalamperekonomian internasional, negara pasca-kolonial mengalamikemajuan pesat. Keterpaksaan integrasi perekonomian Indone-sia ke dalam perekonomian internasional inilah mungkin, yangmerupakan arus, kekuatan dan lingkungan sejarah yang haruskita simak dan amati untuk memahami negara dan masyarakatIndonesia.

ooo0ooo

Yayasan Penebar adalah institusi nir-laba independen.Kami berharap saudara/i (individu) maupun organisasi

bersedia mendukung aktivitas kami. Kami menerima donasi,hibah dan dukungan tak mengikat dalam bentuk apapun. Bilasaudara/i bermaksud mendukung kami dengan mendonasikanuang, rekening bank kami adalah: BCA (Cabang Cimanggis),

rekening Tahapan BCA, nomor account: 166 1746276.