pendidikan islam klasik
TRANSCRIPT
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 1/21
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan
dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw.
Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang
berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus-menerus
pasca generasi nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam
terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata pelajaran) maupun
metode.
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategisdan urgen dalam
pembentukan suatu bangsa. Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan
lainnya, maka kurikulum pun memainkan peranan penting dalam mewujudkan
tujuan pendidikan. Kurikulum mengalami perkembangan mengikuti
perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya,
tentu saja kurikulum mengalami pembaruan dalam isinya, sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya.1
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri.
Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan
sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan
Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem
pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan
sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung,
karsa dan karya manusia.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan
klasik yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini.
Kalau ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan
sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi
perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
1
Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 215
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 2/21
2
Sebelum membahas lebih jauh, ada beberapa terminologi yang tampaknya
perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebelum menguraikan makalah ini lebih lanjut.
Menguraikan term-term itu dianggap perlu karena diasumsikan akan memberikan
kesamaan pandangan dalam menginterpretasi dan mengeksplanasi makalah ini.
Pertama, kurikulum. Kurikulum pendidikan Islam klasik agaknya tidak
dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan modern. Pada kurikulum
pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional di Indonesia,
ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa
komponen: tujuan, isi, organisasi dan strategi. Dalam sistem pendidikan modern,
eksistensi kurikulum sangat niscaya. Bahkan, lembaga pendidikan formal modern
akan dianggap janggal jika tidak mempunyai kurikulum yang jelas. Kurikulum ini
terdiri dari komponen-komponen tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Sungguhpun
demikian pada lembaga pendidikan informal, seperti pesantren, keberadaan
kurikulum biasanya kurang mendapat perhatian secara serius.2
Pengertian dan komponen demikian agaknya sangat sulit ditemukan dalam
literatur-literatur kependidikan Islam klasik. Untuk itu, kurikulum pendidikan
Islam klasik dalam makalah ini dipahami dengan subyek-subyek ilmu
pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.
Kedua, sistem pendidikan. Istilah sistem pendidikan biasanya dipahami
sebagai suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga
formal, agen-agen, dan organisasi yang memindahkan (transfer) pengetahuan dan
warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan
sosial, spiritual, dan intelektual. Menurut Hasan Langgulung, sistem pendidikan
seperti demikian dalam literatur pendidikan Islam klasik tidak pernah dijumpai.
Sebab, sistem pendidikan itu tidak terpisah dari sistem-sistem yang lain, seperti
sistem politik (al-nizham al-siyasi), sistem tatalaksana (al-nizham al-idari), sistem
keuangan (al-nizham al-mali), sistem kehakiman (al-nizham al-qadhi), dan lain-
lain. Sistem politik mempunyai program pendidikannya sendiri untuk membentuk
kader-kader politik, begitu juga sistem-sistem tatalaksana, keuangan, sosial, dan
2
Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE, 1988), cet. Ke-1, h. 9-11
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 3/21
3
sebagainya. Jadi, sistem pendidikan Islam sebagai sistem yang berdiri sendiri
merupakan satu fenomena baru dalam sejarah Islam.3
Oleh karena sistem pendidikan itu tidak berdiri sendiri maka untuk
melihatnya dibutuhkan informasi yang menyajikan konstruk sosial, politik, dan
keagamaan yang terjadi pada masa-masa tertentu sehingga menunjukkan adanya
hubungan fungsional dan substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan
yang terjadi ketika itu. Sungguhpun demikian, dalam makalah ini hanya akan
dipaparkan konstruksi masyarakat sejauh ia memiliki korelasi yang signifikan
dengan pembahasan.
Ketiga, metode pendidikan Islam. Metode pendidikan sesungguhnya dapat
dikelompokkan menjadi dua bentuk: metode perolehan (acquisition) dan metode
pemindahan atau penyampaian (transmission). Metode perolehan lebih ditekankan
sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik (student) ketika mengikuti proses
pendidikan, sedangkan metode pemindahan diasosiasikan sebagai cara pengajaran
yang dilakukan oleh guru (teacher). Dengan demikian, metode-metode perolehan
ditekankan kepada peserta didik sedangkan metode pemindahan dititikberatkan
kepada guru.
Pada makalah ini dibatasi pada bentuk yang terakhir, yakni metode
pemindahan. Sebab, dalam banyak hal, kecenderungan pemikiran pendidikan
Islam klasik lebih memprioritaskan kepada guru sebagai subyek pendidikan,
bukan kepada murid. Guru dijadikan faktor penentu untuk menilai tingkat
keberhasilan pendidikan Islam. Sebagai konsekwensinya, konsep pendidikan
Islam klasik lebih banyak memperhatikan kepada guru.
Keempat, masa klasik. Terminologi masa klasik ini memberi membuka
peluang untuk diperdebatkan: sejak dan hingga kapan (?). Apakah dalam
kacamata dunia muslim atau penulis barat. Sebab, para penulis Barat
mengidentikkan abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M sebagai zaman kegelapan
(dark age); sementara para penulis muslim mengidentikkannya dengan masa
keemasan (al-„ashr al-dzahabi). Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu,
3
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1, h. 4-5
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 4/21
4
penulis membatasi masa klasik dalam kacamata penulis muslim, seperti batasan
yang dilakukan Harun Nasution. Ia mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa:
a. Periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga
kehancuran Baghdad
b. Periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M., sejak Baghdad hancur
hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan
c. Periode modern, mulai tahun 1800 M. hingga sekarang.4
Dengan demikian, masa klasik dalam pembahasan makalah ini dibatasi
sejak masa Rasulullah hingga Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan, tepatnya
tanggal 10 Pebruari 1258 M.5
Untuk memudahkan dalam uraian, makalah ini akan
dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin,
Dinasti Umayyah, dan Dinasti „Abbasiyah.
4 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985,
cet. Ke-5, h. 56-915 Ibid ., h. 80
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 5/21
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Masa Rasulullah [611-632 M./12 SH.-11 H.]
Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua
periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni
sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah -kurang lebih sejak
tahun 611-622 M. atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari-, sistem pendidikan
Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai
kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan,
selain Nabi.
Secara umum, materi pendidikan pada periode Makkah dibagi menjadi
dua bagian, yaitu: Pertama, materi pendidikan tauhid, fokusnya untuk
memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yang telah
diselewengkan oleh masyarakat jahiliyah.6 Kedua, materi pengajaran al-
Qur‟an, yang meliputi baca tulis al-Qur‟an (imla’ dan iqra’ ), menghafal ayat-
ayat al-Qur‟an, pemahaman al-Qur‟an (Fahmil Qur‟an atau tafsir al-Qur‟an).7
Institusi pendidikan pada periode Makkah ada dua macam:8
1. Rumah Arqam ibn Arqam, yang merupakan tempat pertama berkumpulnya
kaum muslimin dan Rasulullah untuk belajar hukum-hukum Islam dan
dasar-dasar ajaran Islam. Rumah arqam ini disebut-sebut sebagai lembaga
pendidikan pertama atau madrasah yang pertama kali dalam Islam, dan
pengajarnya adalah Rasulullah sendiri.
2. Kuttab. Pendidikan di Kuttab pada awalnya terfokus pada baca tulis sastra,
syair arab dan berhitung, setelah Islam datang materi ditambah dengan
baca tulis al-Qur‟an. Adapun pengajar di Kuttab pada masa aawal Islam
adalah orang-orang non-muslim.
6 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Islam Era
Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 347
Ibid, h. 358 Ibid, h. 36
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 6/21
6
Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab
telah berdiri. Teori asal usul kuttab memang masih diperdebatkan. Menurut
Asma Hasan Fahmi, lembaga pendidikan kuttab ini didirikan oleh orang Arab
pada masa kekhalifahan Abu Bakar.9
Sementara menurut Ahmad Syalabi,
kuttab telah hadir sebelum Islam datang, tetapi ketika itu masih belum
terkenal.10
Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada
masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat
Himyariyin.11
Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan menulis
diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu Qais ibn
„Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn „Abd al-Malik.
Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis.12
Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran
Islam (kurang lebih tahun 610-an M.), di masyarakat Quraisy, baru ada 17
laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.13
Pada periode di Madinah, tahun 622-632 M. atau tahun 1-11 H., usaha
pendidikan Nabi yang pertama adalah membangun „institusi‟ masjid. Melalui
pendidikan masjid ini, Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia
memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa
permusuhan, terutama antar penduduk Anshar dan penduduk Muhajirin. Pada
periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga
dari isi al-Quran.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang:
pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani,
dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang
keagamaan terdiri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan
9Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1997), cet. ke-1, h.3010 Ahmad Syalabi, Sedjarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-1, h
ke 3311
Johannes Pederson, The Arabic Book , terj., Alwiyah Abdurrahman, Fajar Intelektulisme
Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung Mizan, 1996), cet. ke-112 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. ke-2,
h. 19-2013 Ibid
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 7/21
7
zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental
yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani
lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah
ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan
yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik,
ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pendidikan oleh rasul tentang
kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana,
perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.14
Dalam hal kurikulum pada periode Nabi baik di Makkah maupun di
Madinah adalah Al-Qur‟an yang diwahyukan oleh Allah sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dialam umat Islam pada masa itu, dan dijelaskan oleh
Hadits Nabi. Hanya saja Kurikulum Madinah lebih komplit seiring
bertambahnya wahyu yang diterima oleh Rasulullah.15
Metode yang dikembangkan oleh Nabi antara lain:16
1. Ceramah, dalam menyampaikan dan menjelaskan wahyu yang baru
diterimanya.
2. Dialog. Seperti yang dilakukan Rasulullah dengan Mu‟adz ibn Jabal untuk
mengatur strategi perang ketika akan diutus ke Yaman.
3. Diskusi atau tanya jawab Rasulullah dengan para sahabat tentang suatu
hukum.
4. Perumpamaan, misalnya orang mukmin laksana satu tubuh yang apabila
satu bagian sakit maka akan sakit seluruh badan.
5. Kisah. Seperti Rasulullah saat mengisahkan peristiwa isra‟ dan mi‟raj.
6. Pembiasaan, dengan membiasakan kaum muslimin untuk shalat
berjamaah.
7. Hafalan, ini diberlakukan dalam hal menjaga al-Qur‟an.
8. Peneladanan, hal ini dalam bidang akhlak dimana Nabi tampil sebagai suri
tauladan dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan
keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakannya.17
14 Ibid ., h. 16-1915
Samsul Nizar, Op. Cit., h. 4016 Ibid, h. 35
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 8/21
8
B. Pendidikan Islam Masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M./12-41 H.]
Pada masa Nabi, negara Islam meliputi seluruh jazirah Arab dan
pendidikan Islam berpusat di Madinah. Pasca wafatnya Rasulullah kekuasaan
pemerintahan Islam diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan wilayah Islam
telah meluas di luar jazirah Arab. Para khalifah ini memusatkan perhatiannya
kepada pendidikan, syi‟arnya agama, dan kokohnya negara Islam.
Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan
secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah
Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di
lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan
membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar
misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang
berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah
menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa
yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga
para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan fardlu
kifayah.18
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti
pendidikan di kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
“tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat
menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu
adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai
status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah
ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan
dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.19
Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode
pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang – mungkin dalam tradisi
17 Mahmud Yunus, Op. Cit., h. 25-3018
Asma Hasan Fahmi, Op.Cit., h. 3019Mahmud Yunus, Op.Cit , h. 39
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 9/21
9
pesantren, metode itu biasa disebut sorogan,20
sedangkan pendidikan di
masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh
para pelajar secara bersama-sama.21
Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di
Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan
Madinah (Hijaz), kota Bashrah dan Kufah (Irak), kota Damsyik dan Palestina
(Syam), dan kota Fustat (Mesir). Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan
Islam berkembang secara cepat.22
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin
sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644 M.), untuk kuttab, adalah
belajar membaca dan menulis, membaca al-Qur‟an dan menghafalnya, belajar
pokok – pokok agama Islam, seperti cara wudhu‟, shalat, puasa, dan
sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah, ia
menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan berenang,
mengendarai onta, memanah, membaca dan menghafal syair-syair yang
mudah dan peribahasa.23
Sedangkan materi pendidikan pada tingkat
menengah dan tinggi terdiri dari al-Qur‟an dan tafsirnya, hadits dan
mengumpulkannya, dan fiqh (tasyri).24
Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan
ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di
mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam
pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman
al-Quran dan Hadits secara literal.
C. Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah [41-132 H. / 661-750 M.]
Secara esensial, sistem pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah
ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Nabi dan masa Khulafa al-
20 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), cet. ke-4, h. 2821 Mahmud Yunus, Op.Cit , h. 39-4022 Ibid., h. 3323
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Op. Cit., h. 224Mahmud Yunus, Loc. Cit.
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 10/21
10
Rasyidin.25
Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya
sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang
memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan
berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang
dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi, sistem
pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.
Periode dinasti Umayyah merupakan masa inkubasi. Pada masa ini
peletakan dasar-dasar dari kemajuan pendidikan di munculkan. Intelektual
muslim berkembang pada masa ini.26
Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam
masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari
konstruksi sejarah bani Umayyah – yang bersamaan dengan kelahirannya hadir
pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar – ,27
wacana
kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun
wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini
kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma
berfikir secara mandiri.
Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
politis dan golongan maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra,
sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab, baik dalam
bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai menunjukkan
kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan
penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan
dan ulama-ulama terkemuka.28
25 Samsul Nizar, Op. Cit., h. 6326 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 6027
Harun Nasution , Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet. ke-5, h. 1-1128 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Bustami A. Ghanidan
Djohar Bahry, Dasar-dasar pokok pemikiran Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-7, h.72-73
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 11/21
11
Pada zaman ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu
terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu
kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada
umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu
dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.
Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan
ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah.29
Selain beberapa materi di atas, pada masa ini juga tampaknya masih
melanggengkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti
ilmu tafsir. Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang
strategis. Di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa
daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra
Arab, juga karena banyak orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan
pencemaran bahasa al-Quran dan pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk
kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga disebabkan oleh
karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan
Nasraniyat.
Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih dalam dunia pendidikan
pada saat itu adalah dikembangkannya ilmu nahwu yang digunakan untuk
memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan
bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu,
tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini.
Selain disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga
mendapat perhatian secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat
dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat
perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk
mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn
Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-
29
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge and Kegan Paul,1975), h. 3
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 12/21
12
720 M., pernah mengirim surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn
Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan
mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga dengan masa akhir
kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah
Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para
ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap
mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu aliran ahli al-ra‟yi dan aliran ahl al-hadits. Kelompok aliran
pertama mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca:
qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran kedua,
ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini
tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang
menerangkannya.
Pada masa ini dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang
sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid-mujtahid fiqh.
Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu
Hanifah di Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah
(lahir 96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafi‟i dan Imam Ahmad ibn
Hanbal lahir pada masa Abbasiyah.30
Di antara jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut
Hasan Langgulung, adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga
menjadi pusat perkembangan ilmu dalam tahap perguruan tinggi dalam
masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa
macam ilmu, di antaranya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan teologi
dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara
permulaan abad kedua hijriah sampai akhir abad ketiga hijriah merupakan
zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.31
30
Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 5631Hasan Langgulung, Op.Cit., h. 9
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 13/21
13
D. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H./750-1258 M.]
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik
Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama,
kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif
dalam soal-soal agama dan hukum,32
bukan ditentukan oleh struktur
kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan
seutuhnya, terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga
pendidikan madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam
Nashabe, negara melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang
ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan juga melakukan investigasi metode
pengajarannya. Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (state)
menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga
pendidikan di kalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan
Stanton itu lebih ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk
madrasah, seperti kuttab. Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan oleh
madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, baik
kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam
tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang
yang dalam kebiasaannya memang menargetkan tujuannya masing-masing.33
Institusi pendidikan masa Abbasiyah, secara umum, dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri
dari kuttab, rumah, toko, dan pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah
menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu pengetahuan,
sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang
meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di
Baghdad dan Dar al-„ulum di Kairo.
Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang
diajarkannya meliputi membaca al-quran dan menghafalnya, pokok-pokok
32 Charles Michael Stanton, Op.Cit ., h. 41-4533
Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannyadalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1, hal. 52
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 14/21
14
agama Islam, seperti wudlu, shalat, dan puasa, menulis, kisah orang-orang
yang besar, membaca dan menghafal syair-syair, berhitung, dan pokok-pokok
nahwu dan shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini
tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah
terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan
„Abd al-„Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm
(tulisan) nya. Di Andalusia, diajarkan al-Quran dan menulis serta syair,
pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia
(Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi
lebih mementingkan hafalan al-Quran.
Waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat
Ashar mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum‟at
merupakan hari libur. Selain hari Jum‟at, hari libur juga pada setiap tanggal 1
Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya
dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu
Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu
Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang.
Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan
lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga akhir siang (Ashar).34
Pada tingkat
rendah ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan
papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu
persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode
pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran
didepan murid dan murid mengikutinya yang kemudian diharuskan hafal
bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas pada materi-materi al-
Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain. Tak terkecuali untuk
pelajaran syair, guru mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling
mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat.
34Mahmud Yunus, Op.Cit , h. 50-51
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 15/21
15
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran
sebagai berikut. al-Quran, bahasa Arab dan kesusasteraan, fiqh, tafsir, hadits,
nahwu/sharf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu
kealaman, kedokteran, musik.35
Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum
jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda.
Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di
masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga
pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-
ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu
berikut: Tafsir al-Quran, Hadits, Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Nahw/Sharf,
Balaghah, bahasa dan satra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat).
Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: manthiq, ilmu-ilmu alam dan
kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu
hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran.36
Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum
diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan
setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan bakat dan kecenderungan
masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini dibuktikan
oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat athibba,
bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia
17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan
filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia
mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi‟ah
(metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat
kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti
buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Literatur-
literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai
35
Ibid, h. 55-5636Mahmud Yunus, Op. Cit ., h. 57-58
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 16/21
16
studi disana dalam usia 18 tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada orang
lain.37
Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah
halaqah. Guru duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya.
Guru memberikan materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah
mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru
itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka para
mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi dari para
mahasiswa, bahkan mungkin jadi halaqah-nya ditutup.
Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi,
ia terlebih dahulu menyususn ta‟liqah. Ta‟liqah ini memuat silabus dan
uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan
catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan
pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta‟liqah mengandung
rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu
empat tahun. Mahasiswa menyalin ta‟liqah itu dalam proses dikte, bahkan
kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain,
menambahkan pada salinan ta‟liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri
sehingga ta‟liqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang
disampaikan gurunya.38
Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah.
Mahasiswa itu telah lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan
dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru
yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan
diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada
mahasiswa yang lain.
37
Ibid , h. 58-5938Charles Michael Stanton, Op.Cit.,h. 54
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 17/21
17
BAB III
PENUTUP
Uraian diatas sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa pendidikan Islam
pada masa klasik memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik itu agaknya
dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa Nabi hingga Bani
Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk kepentingan
keagamaan, sehingga materi pendidikannya pun adalah berkisar pada masalah-
masalah keagamaan an sich. Sedangkan pada masa Abbasiyah yang wilayah
kekuasaan Islam semakin jauh dan problematika serta perkembangan
peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk
kepentingan keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain,
seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya.
Pergeseran dibidang metode disebabkan oleh karena bermacam-macamnya
disiplin ilmu pengetahuan yang menuntut metodologi pengajaran yang lebih
efektif. Tentu saja, materi-materi keagamaan akan menggunakan metode yang
berbeda dengan materi-materi eksakta. Pada masa awal, karena materi yang
dikenal relatif sedikit maka metodenya pun lebih terbatas jika dibandingkan
dengan pendidikan pada masa Abbasiyah.
Secara umum, sistem pengelolaan pendidikan pada masa klasik tampaknya
lebih ditentukan oleh kekuatan ulama [orang yang memiliki komitmen intelektual]
daripada kekuatan negara [orang yang memiliki kekuasaan]. Baik pada masa Nabi
maupun hingga pada masa Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas untuk
menentukan sistem pendidikannya. Hal ini berlainan ketika sistem pendidikan
yang digunakan adalah sistem madrasah. Pada madrasah, biasanya yang
mempunyai otoritas kekuasaan dalam pengelolaan pendidikan adalah penguasa
atau orang yang memberikan harta wakafnya. Wa Allah A‟lam bi al-Shawab.
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 18/21
18
KURIKULUM, SISTEM DAN METODE
PENDIDIKAN ISLAM KLASIK
MAKALAH
Disajikan Dalam Diskusi Mata Kuliah
Sejarah Sosial Pemikiran dan Kelembagaan Pendidikan Islam
Dosen:
Dr. Zainal Abidin, M.Ag
Oleh:Nur Azizah Ulfiyana
NPM: 1101351
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
2011
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 19/21
19
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung: Citapustaka Media, 2007)
Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan
Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet.
ke-1
Ahmad Syalabi, Sedjarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
cet. ke-1
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1997), cet. ke-1
Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah:
Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE, 1988), cet. Ke-
1
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:
UI-Press, 1985, cet. Ke-5
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1
Johannes Pederson, The Arabic Book , terj., Alwiyah Abdurrahman, Fajar
Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab,
(Bandung Mizan, 1996), cet. ke-1
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1992), cet. ke-2
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Bustami A.
Ghanidan Djohar Bahry, Dasar-dasar pokok pemikiran Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), cet. ke-7
Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang,
1989)
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. ke-4
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 20/21
20
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt, karena atas berkat petunjuk-Nyalah
makalah tentang Kurikulum, Sistem, dan Metode Pendidikan Islam Klasik ini
dapat terselesaikan.
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran
konstruktif dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Semoga makalh ini bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Penulis
Nur Azizah Ulfiyana
8/3/2019 Pendidikan Islam Klasik
http://slidepdf.com/reader/full/pendidikan-islam-klasik 21/21
21
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5
A. Pendidikan Islam Masa Rasulullah ..................................................... 5
B. Pendidikan Islam Masa Khulafa al-Rasyidin ...................................... 8
C. Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah .......................................... 9
D. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah ......................................... 13
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17