pendidikan agama dan nasionalisme (studi pada sekolah...
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam
Oleh :
HENI LESTARI
10.3.00.0.16.01.0071
Promotor
Prof. Dr. DEDE ROSYADA, M.A
Prof. Dr. ABUDDIN NATA, M.A
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2017 M
iii
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Heni Lestari
NIM : 10.3.00.0.16.01.0071
Judul Disertasi : Pendidikan Agama dan Nasionalisme
(Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)
Menyatakan draft disertasi ini telah diperbaiki sesuai dengan saran
verifikasi yaitu penambahan jurnal ilmiah.
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh Ujian Terbuka (Promosi)
Jakarta, .………………. 2017
Saya yang membuat pernyataan,
Heni Lestari
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Heni Lestari
NIM : 10.3.00.0.16.01.0071
Judul Disertasi : Pendidikan Agama dan Nasionalisme
(Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)
Menyatakan bahwa seluruh isi disertasi ini adalah murni hasil karya
penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang penulis kutip dari sumbernya.
Jika terbukti ditemukan plagiasi dalam tulisan ini, maka penulis bersedia
mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, …………………..2017
Saya yang membuat pernyataan,
Heni Lestari
vii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disertasi dengan judul: “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi
pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta )” yang ditulis oleh Heni Lestari,
Konsentrasi Pendidikan Islam, NIM: 10.3.00.0.16.01.0071, telah disetujui
untuk diajukan pada Ujian Terbuka (Promosi).
Jakarta, 2017
Pembimbing I
Prof. Dr. DEDE ROSYADA, M.A ________________________
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disertasi dengan judul: “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi
pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)” yang ditulis oleh Heni Lestari,
Konsentrasi Pendidikan Islam, NIM: 10.3.00.0.16.01.0071, telah disetujui
untuk diajukan pada Ujian Terbuka (Promosi).
Jakarta, 2017
Pembimbing II
Prof. Dr. ABUDDIN NATA, M.A ________________________
xi
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PROMOSI DOKTOR
Disertasi dengan judul: “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi
pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)” yang ditulis oleh Heni Lestari,
Pendidikan Islam, NIM: 10.3.00.0.16.01.0071 telah dinyatakan lulus Ujian
Promosi Doktor yang diselenggarakan pada hari/tanggal: Kamis, 14
Desember 2017.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji
dan dapat dicetak menjadi buku ber-ISBN.
Jakarta, 14 Desember 2017
TIM PENGUJI
No. Nama Penguji Tanda Tangan Tanggal
1.
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
(Ketua Sidang/merangkap
Penguji)
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
(Pembimbing/Penguji)
3. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA
(Pembimbing/Penguji)
4. Prof. Dr. Husni Rahim
(Penguji)
5. Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag
(Penguji)
6. Prof. Dr. Zulkifli, MA
(Penguji)
7. Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A
(Sekretaris Sidang)
xiii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
Swt, karena atas perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
disertasi ini yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna
memperoleh gelar Doktor dalam bidang Pendidikan Islam pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad Saw beserta
keluarga, sahabat, serta umatnya yang senantiasa mengikuti ajarannya hingga
akhir zaman.
Judul yang diangkat dalam penulisan disertasi ini adalah “Pendidikan
Agama dan Nasionalisme (Studi Pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)”.
Judul ini penulis ambil dengan pertimbangan bahwa pembinaan sikap mental
spiritual yang diberikan dalam pendidikan agama yang selanjutnya mendasari
tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan, menjadi sarana yang
efektif untuk menanamkan wawasan kebangsaan kepada peserta didik yang
merupakan generasi penerus yang akan menegakkan eksistensi dan
melanjutkan estafeta pembangunan bangsa.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis hormati:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai promotor dan pembimbing I. Di
tengah kesibukan yang begitu padat beliau berkenan untuk terus
membimbing penulis hingga selesainya disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, selaku Direktur SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A. selaku kepala program Doktor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. selaku promotor dan pembimbing II
yang telah memberikan arahan, ide dan gagasan yang membuka
cakrawala berpikir penulis sehingga penulis terus melakukan
penyempurnaan-penyempurnaan dalam penulisan disertasi.
5. Prof. Dr. Husni Rahim, Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag, serta Prof. Dr. M.
Bambang Pranowo, M.A. yang telah memberikan kritik, saran, dan
koreksinya pada saat ujian pendahuluan sehingga memantik kreativitas
berpikir penulis dalam menyempurnakan penulisan disertasi ini.
6. Bapak dan ibu dosen pada SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
seluruh staff dan karyawan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
terus membimbing, mengarahkan dan memberi dukungan kepada penulis
pada saat penyelesaian studi dan pada saat penyelesaian penulisan
disertasi ini.
7. Seluruh civitas akademika SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak
dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima
kasih penulis atas segala arahan dan bimbingannya selama ini.
xiv
8. Seluruh guru, karyawan, dan staff SDIT Insan Mandiri dan SDIT Buahati
yang telah bersedia menjadi nara sumber pengambilan data-data yang
mendukung penelitian dalam penulisan disertasi ini.
9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam Jaringan
Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia, khususnya Bapak Dr. Fahmi
Alaydrus dan Bapak Sukro Muhab, M.Si selaku pembina dan ketua JSIT
Indonesia yang telah memberikan data-data kepada penulis baik melalui
wawancara langsung maupun melalui focus group discussion.
10. Suami terkasih Dr. karim Santoso, M.Si dan ananda Nabiel Muhamad
serta ibunda Hj Rohaya beserta seluruh keluarga besar H. Rauf dan
keluarga besar H. Badri atas segala dukungannya kepada penulis dalam
penyelesaian studi dan penulisan disertasi ini.
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun
tidak mengurangi rasa terima kasih dan penghargaan penulis kepada
mereka. Semoga Allah Swt memberikan balasan kebaikan dan
keberkahan yang berlimpah dan tercatat sebagai amal shalih yang
pahalanya akan terus mengalir hingga hari kebangkitan kelak.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini laksana
setetes embun di lautan samudera nan luas dan masih jauh dari kata sempurna.
Harapan penulis disertasi ini dapat memberikan setitik manfaat bagi
pendidikan Islam untuk terus mengembangkan perannya dalam mendidik
anak bangsa yang memiliki keimanan yang tinggi dan rasa nasionalisme yang
kokoh. Penulis juga mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari seluruh
pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan proses penulisan dan penelitian
berikutnya.
Jakarta, 4 Nopember 2017
Penulis
xv
ABSTRAK
Penelitian dalam disertasi ini menyimpulkan bahwa pendidikan nilai-
nilai agama di Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang diberikan secara integral
dan holistik melalui integrasi dengan mata pelajaran umum yang ada dalam
kurikulum utama (written curriculum) dan kurikulum pendukung (hidden
curriculum) serta dalam proses pembelajaran, dapat menumbuhkan nilai-nilai
nasionalisme yang terangkum dalam empat pilar kebangsaan, seperti
memelihara persatuan dan kesatuan, gotong royong, tolong menolong,
musyawarah dan mufakat, toleransi dan lain-lain.
Temuan ini sejalan dengan pendapat; UU Sistem Pendidikan Nasional
No 20 tahun 2003 pasal 1, PP No 55 tahun 2007 pasal 1, serta pendapat Azra
(2012), Rosyada (2013), Abuddin Nata (2011), serta Mastuhu (2003); bahwa
pendidikan agama yang integrated yang diberikan melalui proses
pembelajaran yang holistik dapat melahirkan peserta didik yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan mampu
menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama
yang merupakan unsur-unsur dari nasionalisme.
Disertasi ini tidak sependapat dengan pandangan nasionalisme Barat
yang dipelopori oleh Kohn (1985), Gellner (1994) dan Hegel (2009) yang
memandang bahwa nasionalisme adalah sebuah fenomena sosial yang tidak
terkait dengan nilai-nilai agama sehingga melahirkan corak nativis, radikal,
sektarian dan rasisme yang akan melahirkan bibit-bibit radikalisme dan
fanatisme yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Disertasi ini juga tidak
sependapat dengan pemikiran kubu konservatif revivalis fundamentalis yang
diwakili oleh al-Afgani (1990) dan Naqvi (1996), yang berpandangan bahwa
nasionalisme yang dikehendaki Islam adalah satu kesatuan umat dalam
khila<fah Isla<miyyah bukan pengkotak-kotakkan berdasarkan geografis.
Penelitian dalam disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Sedangkan
instrumen pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan studi
dokumentasi yang dianalisis dengan teknik triangulasi.
xvii
ABSTRACT
The research in this dissertation concludes that education of religious
values in Integrated Islamic School (SIT) is given integrally and holistically
through the integration of general subjects in the written curriculum and
hidden curriculum can foster the values of nationalism that summarized in
four pillars of nationality, such as maintaining unity, mutual cooperation,
discussion and consensus, tolerance and others.
This finding is aligned with constitution of national education system
number of 20 in 2003 chapter one and the regulation of government number
of 55 in 2007, azra’s opinion (2012), Rosyada’s opinion (2013), Nata’s
opinion (2011) and Mastuhu’s opinion (2003) which they said that the
integrated religious education is given through a holistic learning process will
be able to make students having faith to God Almighty, be cautious to God,
noble students and able to maintain peace and harmony of inter-religious
relationships that are elements of nationalism.
This dissertation does not agree with the view of Western nationalism
pioneered by Kohn (1985), Gellner (1994) and Hegel (2009) which sees that
nationalism is a social phenomenon unrelated to religious values resulting in a
nativist, radical, sectarian and racist pattern that will cause the seeds of
radicalism and fanaticism that are inconsistent with the purpose of education.
This dissertation does not agree with the conservative fundamentalist
revivalist conscience as represented by al-Afgani (1990) and Naqvi (1996),
who assumes that nationalism in Islam is one unity of the ummah in khila<fah
Isla<miyyah. It’s not a geographically- based.
The research in this dissertation is included in the type of qualitative
research by using a method of descriptive qualitative. While instrument of
data collecting in the form of interview, observation and study of
documentation that are analyzed by triangulation technique.
xix
ملخص
هذه الرسالة أن التعليم للقيم الدينية يف املدرسة اإلسالمية وخيلص البحث يف
املتكاملة بشكل متكامل وشامل من خالل دمج املوضوعات العامة يف املناهج ملخصا يف أربع الدراسية الرئيسية ودعم املناهج الدراسية ميكن أن تعزز قيم الوطنية
تبادلة، واملساعدة، واملداوتات، ركائز للجنسية، مثل احلفاظ على الوحدة، واملساعدة امل .والتوافق، والتسامح، وغري ذلك
، 0222لعام 02ويناسب هذا اتاستنتاج مع قانون نظام التعليم الوطين رقم ، و (0212)، ورشدا (0210)وآراء أزرا 1، املادة 0222لعام 55، من القانون رقم 1املادة
قالوا أن التعليم الديين املتكامل سوف أنه ( 0222) ، و ماستوهو(0211)أبودين انات يكون املتعلمني املؤمنني واملتقني هللا عز وجل، وهلم اخالق حممودة وقادرون على
.احلفاظ على السالم والوائم بني عالقاهتم و بني األداين اليت هي عناصر الوطنية( 1895)الغربية اليت قادها كوهن يتفق مع وجهة نظر الوطنية تا ا البحث هذ
ظاهرة اجتماعية تا عالقة هلا أن الوطنية الذين يرون( 0228) و هيجل( 1881) وجيلنرور ابلقيم الدينية، وتلد النشطاء، الراديكايل، الطائفي، العنصرية اليت ستحمل بذ
تفق أيضا مع يتا ا البحث هذ .فق مع الغرض من التعليمي تا يتذالتطرف والتعصب الالذي ، (1881) ونقفي( 1882) يف اإلحياء الذي ميثله األفغاينضمري األصوليني احملافظني
يف اخلالفة اتاسالمية وليست املستندة من األمةهو وحدة يف اإلسالم الوطنية يراين أن .إىل اجلغرافية
. يتم هذا البحث يف نوع البحث النوعي ابستخدام األسلوب النوعي الوصفي ويتم حتليل. حظة ودراسة الوئائقللمقابالت واملالوأداة جلمع البياانت يف شكل دراسة
.البياانت بواسطة تقنية التثليث
xxi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Konsonan
B = ب Z = ز F = ف
T = ت S = س Q = ق
Th = ث Sh = ش K = ك
J = ج ṣ = ص L = ل
ḥ = ح ḍ = ض M = م
Kh = خ ṭ = ط N = ن
D = د ẓ = ظ H = ه
Dh = ع = ‘ ذ W = و
R = ر Gh = غ Y = ى
Vokal Pendek : a = ‘ i = ِ u = ِ
Vokal Panjang : ā = ا ī = ى ū = و
Diftong : ay = اى aw = او
xxiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ....................................................................... xiii
ABSTRAK ........................................................................................... xv
ABSTRACT ...................................................................................... xvii
xix ............................................................................................... ملخص
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN............................. xxi
DAFTAR ISI .................................................................................... xxiii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Permasalahan ................................................................... 27
C. Tujuan dan Urgensi Penelitian ........................................ 29
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 30
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................. 30
F. Metodologi Penelitian ..................................................... 34
G. Sistematika Penulisan ...................................................... 39
BAB II ISLAM DAN NASIONALISME .......................................... 41 A. Nasionalisme dalam Perspektif Umum-Kajian atas
Nasionalisme Barat dan Timur ........................................ 41
B. Nasionalisme Indonesia ................................................... 52
C. Nasionalisme Perspektif Islam ........................................ 56
D. Nasionalisme Islam yang Dipraktekkan di Indonesia ..... 70
E. Nilai-Nilai Nasionalisme dalam Pendidikan Agama....... 75
F. Nasionalisme dalam Pendidikan Islam............................ 77
BAB III PROFIL SEKOLAH ISLAM TERPADU ......................... 89 A. Nasionalisme dalam Potret Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia ........................................................... 89
B. Pendidikan Nasionalisme di Sekolah Islam Terpadu ...... 99
C. Profil Sekolah Islam Terpadu Yang Bernaung Di
Bawah JSIT Indonesia ................................................... 136
BAB IV ANALISIS PENANAMAN NASIONALISME DI
SEKOLAH ISLAM TERPADU ........................................ 159 A. Menggagas Pendidikan Nasionalisme di Sekolah
Islam Terpadu ................................................................ 159
B. Kurikulum dan Nasionalisme di Sekolah Islam
Terpadu .......................................................................... 179
C. Nasionalisme dan Proses Pembelajaran di Sekolah
Islam Terpadu ................................................................ 189
xxiv
D. Pendidikan Nasionalisme di Sekolah Negeri dan
Swasta Non Sekolah Islam Terpadu (SIT) .................... 192
BAB V PENUTUP ............................................................................ 197 A. Kesimpulan .................................................................... 197
B. Saran. ............................................................................. 198
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 199
GLOSARIUM ................................................................................... 209
INDEKS ............................................................................................. 211
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ditinjau dari aspek teoritis maupun empiris, nasionalisme dan
pendidikan dalam konteks Indonesia adalah dua hal yang saling
mempengaruhi. Secara teori atau konsep hal ini terlihat dari arti pendidikan
itu sendiri, di mana pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara
sadar dan terencana guna mengembangkan potensi spiritual, intelektual, dan
emosional peserta didik yang merupakan potensi fitrah yang diberikan oleh
Tuhan yang bertujuan agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan
negaranya.1 Hal ini juga sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan agama
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah, bahwa fungsi dan tujuan
pendidikan agama dan keagamaan adalah membentuk manusia Indonesia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Menurut Qard{a<wi< pendidikan agama yang dapat
melahirkan manusia-manusia beriman dan bertakwa serta mampu menjaga
dan memelihara kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan antar manusia
adalah pendidikan agama yang diberikan secara utuh dalam memahami
pengetahuan agama serta melalui proses belajar yang tidak indoktriner.2
Karenanya jika merujuk pada pendapat Qard{a<wi<, pendidikan agama yang
dapat mendukung proses penanaman nasionalisme adalah pendidikan agama
yang diberikan secara integrated-holistic serta melalui proses pembelajaran
1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, No. 20 tahun 2003, Bab I,
pasal 1, lihat juga PP No 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, Bab I pasal 1 dan Bab II pasal 2. Lihat juga UU RI No. 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2005- 2009, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005).
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 32. Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1961), 2. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis
dan Praktis (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 11. Ahmad D. Marimba,
Pengantar Filasafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), 193. Mahmud
Yunus, al-Tarbiyyah wa al-Ta’li<m, (Ponorogo: Darussalam PP. Wali Songo), 12.
Lihat juga Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990) 70. 2 Yusuf Al-Qard{a<wi<, Al-S{ah{wah al-Isla<miyyah bayn al-Juhu<d wa al-
Tat{t{arruf (Cairo: Bank al-Taqwa<, 1406 H), 59.
2
yang melibatkan unsur kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik secara
simultan.
Dari pengertian dan paparan di atas dapat dilihat bahwa sasaran akhir
dari pendidikan dan pendidikan agama adalah melahirkan peserta didik yang
memiliki integritas diri dalam bentuk kekuatan iman yang mengejawantah
dalam bentuk kemampuan menjawab tantangan hidup dan mampu berbuat
untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera di muka bumi. Pendidikan yang
mampu mencetak manusia untuk mengambil bagian secara aktif, kreatif, dan
kritis dalam membangun diri dan lingkungannya baik dalam skala mikro
maupun makro. Oleh karena itu diperlukan penataan kembali pendidikan
nasional yang menyeimbangkan antara sisi intelektual (sisi
kognitif/akademis), sisi emosional (sisi karakter) dan sisi spiritual (niai-nilai
agama) karena tak dapat dipungkiri ketiga hal ini diperlukan untuk menumbuh
kembangkan sisi individual dan sosial peserta didik yang dibingkai dengan
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana amanah UU. Oleh
karenanya dalam konteks Indonesia tidak ada pertentangan antara tujuan
pendidikan secara umum dan tujuan pendidikan agama yang diberikan di
lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada di dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara empiris hubungan timbal balik antara pendidikan dan
nasionalisme dapat terlihat dalam salah satu episode perjalanan sejarah bangsa
Indonesia ketika pada awal abad ke-20 Belanda menjalankan Politik Etis
(balas budi)3. Politik Etis merupakan bentuk balas budi pemerintah Belanda
atas keuntungan-keuntungan yang diperolehnya di Hindia selama dasawarsa-
dasawarsa lalu. Didirikanlah kemudian lembaga-lembaga pendidikan formal
seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk bumi
putera yang diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli
dan setara dengan pendidikan dasar atau SD, Meer Uitgebred Lager
Onderwijs (MULO) yang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
3 Berkembangnya pemerintah kolonial lain di Asia Tenggara memaksa
Belanda untuk pertama kali berkaca diri dengan membandingkan antara
pemerintahannya dengan hasil-hasil yang telah dicapai oleh pemerintah kolonial lain
seperti Inggris dan Prancis. Politik Etis yang merupakan bentuk tanggung jawab
moral pemerintih kolonial Belanda terhadap pribumi (rakyat Indonesia) yang
mengalami penderitaan luar biasa akibat politik tanam paksa kolonial Belanda. Politik
etis ini dipelopori oleh Pieter Brooshooft dan C. Th Van de Venter yang membuka
mata pemerintah colonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib rakyat pribumi.
Menurut Van Deventer yang dimuat dalam tulisannya di majalah De Gids tahun 1899,
pemerintah kolonial Belanda mempunyai utang kehormatan (Een Eereschuld) kepada
warga pribumi yang harus dibayar dengan melakukan tiga hal-yang dikenal dengan
“Trilogi Van Deventer”, yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi. Lihat Akira Nagazumi,
Bangkinya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta:Pustaka Utama
Grafiti,1989), 26-27
3
School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) yang merupakan sekolah
pendidikan dokter untuk pribumi di Batavia dan lain-lain. Pada akhirnya
lembaga-lembaga pendidikan ini memunculkan kesadaran kebangsaan pada
diri peserta didiknya saat itu dalam bentuk menyadari akan kondisi
penderitaan bangsanya sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Dari
kesadaran kebangsaan inilah kaum terdidik kemudian mendirikan organisasi-
organisasi pergerakan yang tujuan utamanya adalah Indonesia merdeka dalam
rangka menaikkan harkat dan martabat bangsa. Berdirilah kemudian
organisasi Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatera, Jong
Ambon, Jong Celebes dan lain-lain.
Dalam masyarakat Islam salah satu dampak dari politik etis ini adalah
lahirlah kemudian gerakan sosial keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam
(SDI), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Muhammadiyah, Persatuan Islam
(Persis), Nahdlatul Ulama (NU), serta berdiri juga partai-partai politik seperti
Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam
(SDI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Islam Indonesia
(PII). Dari organisasi-organisasi gerakan sosial keagamaan dan partai politik
Islam inilah selanjutnya terbangun karakter kebangsaan yang diawali dengan
membangun persatuan dan kesatuan (unity) yang merupakan unsur utama
dalam membangun nasionalisme, kebebasan (liberty), kesamaan (equality),
demokrasi, kepribadian nasional serta prestasi kolektif.)4 Tak ada diskursus
dan silang pendapat terkait hal ini karena ajaran Islam yang bersumber dari
Alquran dan Hadis memang menyerukan kepada persatuan dan anti
perpecahan, kesamaan dan kebebasan karena mereka meyakini bahwa sebagai
sebuah kepercayaan Islam memang menentang sikap memusuhi bangsa lain
yang merupakan salah satu ciri atau karakteristik utama dari nasionalisme5.
Dalam konteks Indonesia persatuan, kesamaan dan kebebasan inilah yang
kemudian mendasari semangat untuk membela kepentingan bangsa di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Puncak dari semangat inilah yang
kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928.6 Dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan puncak dan representasi
4 Sartono Kartodirjo, Multidimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme
Dan Negara Kesatuan (Yogyakarta: Kanisisus, 1999), 60. 5 Hazem Zaki Nusaibeh, Gagasan-Gasanan Nasionalisme Arab (Jakarta:
Bhratara, 1969), 17. Lihat juga Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s
Need of it (Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1379H), 55. 6Sumpah Pemuda lahir dari kesadaran para pemuda akan pentingnya
memperkuat persatuan di antara perkumpulan organisasi kepemudaan dan
membangkitkan kesadaran bahwa mereka berbangsa dan bertumpah darah satu
Indonesia. Hamid Darmadi, Kebangkitan Nasional, Pancasila dan UUD 1945 Kunci
Pemersatu Bangsa (Yogyakarta: Suluh Media, 2017), 42-43.
4
dari paham nasionalisme sebagai dampak dari kesadaran intelektual yang
terbangun sebagai hasil dari politik etis.
Lahirnya Sumpah Pemuda kala itu dapat dikatakan merupakan
representasi atau bibit-bibit lahirnya paham nasionalisme dalam pengertian
etik, yakni membangun visi, karakter dan paham kebangsaan sebagaimana
tercermin dalam teks Sumpah Pemuda. Namun di beberapa negara Islam
paham nasionalisme ini sudah lebih dulu diterapkan tepatnya di penghujung
abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani dengan seruannya
untuk menentang imperialisme negara-negara Barat baik dalam bidang
ekonomi, militer maupun politik terhadap negara-negara Islam baik melalui
perjuangan fisik maupun meningkatkan kesadaran intelektual serta seruan
untuk kembali pada Islam.7 Seruan untuk kembali kepada Islam dilandasi oleh
pemahaman bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam menentang
imperialisme satu negara atas negara lain karena hal ini bertentangan dengan
nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam ajaran Islam yang bertolak dari
teoantroposentrisme ajaran tauhid; kesatuan (unity), kebebasan (liberty),
kesamaan (equality) yang merupakan unsur-unsur dalam nasionalisme.
Karenanya sebagaimana dikatakan Boisard, nasionalisme Islam tidak bersifat
agresif, eksklusif dan etnosentrisme serta ekspansionis sebagaimana
nasionalisme Eropa.8 Hal-hal inilah antara lain yang menguatkan bahwa
faktor pendidikan agama memberikan pengaruh yang besar dalam
menumbuhkan paham nasionalisme melalui nilai-nilai kemanusiaan karena
Islam memberikan dasar-dasar etika dan landasan moral dalam kehidupan
bermasyarakat yang dinamis.
Dengan demikian dalam konteks Indonesia dan negara-negara Islam
saat itu, membangun nasionalisme melalui kesadaran intelektual dan kembali
kepada nilai-nilai agama merupakan pandangan yang menguatkan bahwa
cinta tanah air yang merupakan semangat utama dari nasionalisme tidak
hanya sebatas perjuangan fisik bersenjata tapi juga nilai-nilai luhur lainnya
yang bersifat educative seperti kesadaran akan kondisi penderitaan bangsanya
akibat penjajahan, rasa persamaan nasib dan kesadaran untuk menjalin
persatuan sebagamana telah dipaparkan di atas. Berdasarkan pandangan-
pandangan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan nasionalisme
merupakan dua hal yang saling mempengaruhi dan pendidikan Islam yang
bersumber dari ajaran Islam yang bertolak dari teoantroposentrisme dari
ajaran tauhid mendukung pendapat ini. Munculnya paham radikalisme dalam
masyarakat Islam sebagaimana dikatakan Qardhawy ketika teks-teks agama
hanya dipahami secara literal tidak kontekstual.
7 Jhon I Esposito, Islam Dan politik (Jakarta: Bulan Bintanng, 1990), 82.
8 Marcel A. Boisard, L’ Humanisme De L’Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang,1980), terj, 334-335
5
Hubungan antara pendidikan agama dan nasionalisme terlihat ketika
kualitas pendidikan memberi pengaruh pada tumbuh dan berkembangnya
suatu bangsa. Hal ini terlihat saat kaum terpelajar di Indonesia yang lahir dari
politik etis Belanda telah mempengaruhi dalam perkembangan paham
nasionalisme di Indonesia. Beberapa tokoh muda melihat nasionalisme etik
perlu dirubah menjadi nasionalisme dalam pengertian politik. Tokoh
nasionalis muslim yang secara langsung mengambil peran yang demikian
antara lain adalah HOS Tjokroaminoto melalui organisasi keislaman Sarekat
Islam (SI) yang dipimpinnya sejak bulan Mei 1912 di mana salah satu
programnya adalah meningkatkan pendidikan untuk meningkatkan derajat
rakyat Indonesia.9 Pada dekade pertama, SI di bawah kepemimpinan HOS
Tjokroaminoto mengejewantah menjadi organisasi politik besar yang
merekrut anggota dari berbagai kelas dan aliran. Pekerjaan ini dengan mudah
dilakukan, karena ideologi bangsa ketika itu hanya satu yakni persatuan dan
anti-kolonialisme. SI berupaya memperjuangkan lahirnya pemerintahan yang
berdaulat bagi penduduk Indonesia. Nasionalisme yang ada dalam pemikiran
HOS Tjokroaminoto dan tercermin dalam pergerakan SI yang dipimpinnya
dilandasi oleh semangat hubb al-wat{an min al-i<ma<n di mana cinta tanah air
merupakan bagian dari iman dan ini merupakan aplikasi dari nilai-nilai yang
ada dalam Alquran dan Hadis yang menyerukan persatuan dan menentang
kolonialisme. Dengan demikian nilai-nilai kebangsaan yang tumbuh sebagai
buah dari pendidikan keagamaan yang berkualitas pada hakikatnya telah
tumbuh dan berkembang melalui sebuah sejarah panjang bangsa Indonesia
dan tercermin dalam watak, kepribadian, sikap dan tingkah laku bangsa saat
itu. Dengan demikian dalam konteks Indonesia terlihat bahwa pendidikan
Islam yang berkualitas dapat memberikan penanaman nasionalisme kepada
peserta didiknya.
Berkaca dari politik etis di atas di mana pendidikan memberikan
kontribusi dalam pembebasan suatu bangsa dari imperialisme dan
kolonialisme, maka di zaman kolonial pendidikan ini seperti pisau bermata
dua dan mengandung tujuan yang memiliki beberapa arti penting. Dari kaca
mata kaum kolonial, pendidikan menjadi sarana penting untuk melancarkan
dominasi ekonomi, politik dan sosial-budaya sebagaimana kolonialis Belanda
menggunakan politik etis-edukasi sebagai jalan merintis ekspansi kapitalnya
di wilayah Hindia-Belanda. Pendidikan juga menjadi sarana penaklukan
politik, yakni penyerapan kaum priyayi ke dalam lembaga pendidikan
kolonial untuk mensuplai tenaga ambtenaar bagi administrasi kolonial saat
itu.10
Selain itu pendidikan bagi kaum kolonial juga menjadi sarana untuk
9 A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil (Jakarta: Grafiti Press,
1985), 89. 10
Tenaga ambtenaar merupakan istilah dari bahasa Belanda yang berarti
tenaga resmi atau pegawai negeri Kolonial.
6
menanamkan mental inferior pada rakyat jajahan. Sebaliknya bagi kaum
pergerakan di masa-masa awal sangat menyadari arti penting pendidikan
untuk menumbuhkan kesadaran anak bangsa agar terbebas dari belenggu
penjajahan dan sebagai senjata untuk memerdekakan manusia. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh RA Kartini bahwa dengan pendidikan orang akan
dapat mengatakan tidak atas eksplotasi bangsa lain kepada bangsanya.11
Pada
akhirnya hal ini menginspirasi kaum pergerakan yang mencoba mendorong
pendidikan alternatif sebagai senjata melawan kolonialisme, seperti Ki Hajar
Dewantara yang mendirikan Taman Siswa dan Haji Ahmad Dahlan yang
mendirikan Muhammadiyah sebagai perwujudan kesadaran akan pentingnya
pendidikan untuk membangun kejayaan bangsa.
Melalui lembaga pendidikan yang didirikan oleh tokoh-tokoh
pergerakan kebangsaan, ide-ide kebangsaan dan kemerdekaan ditanamkan
bukan hanya kepada para kaum priyayi dan bangsawan namun juga kepada
rakyat jelata. Dalam perkembanganya kemudian seiring dengan
perkembangan dunia, hubungan antara pendidikan dan nasionalisme semakin
jelas benang merahnya ketika nasionalisme sebagai sebuah ide modern masuk
ke dalam kesadaran pribumi melalui lembaga pendidikan, khususnya melalui
bacaan. Inilah antara lain benang merah mengapa para pelopor nasionalisme
pribumi adalah kaum terdidik yang sudah tercerahkan pemikirannya seperti
Raden Ajeng Kartini, Tirto Adhisoerjo, Wahidin Soedirohoesodo dan Tjipto
Mangoenkoesoemo. Pendidikan melalui bacaan berkontribusi dalam
melahirkan pengetahuan untuk membaca keadaan, mengetahui akar masalah
dan menyusun strategi untuk mengubahnya. Karena itu, selain faktor-faktor
material, yakni pengalaman sebagai sebuah bangsa terjajah dan kesadaran
sosial, bacaan juga berkontribusi dalam munculnya kesadaran sebagai nation;
kesamaan kehendak, kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita.
Pentingnya peran pendidikan dalam menanamkan nasionalisme
terlihat juga dari ide para pendiri bangsa yang meletakkan pendidikan sebagai
aspek penting dalam perjuangan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945
bahwa salah satu tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa.12
Inilah integrasi pendidikan dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia bahwa berdirinya sebuah bangsa tidak bisa dilepaskan dari
keberhasilan pendidikan. Oleh karenanya sebuah bangsa yang merdeka
hendaknya memperhatikan kualitas pendidikannya yang bertujuan
11
Kaum pergerakan sangat menyadari arti dan penting pendidikan
sebagaimana surat Kartini kepada E.H. Zeehandelaar, pada tanggal 12 Januari 1900
yang berbunyi: “Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan
kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi
mengiyakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan
oleh atasannya.” 12
Lihat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
7
mencerdaskan bangsanya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sebuah
konsepsi budaya bukan sekedar mencerdaskan otak bangsa. Hal ini terlihat
dari konsep pendidikan yang diusung oleh Taman Siswa, Muhammadiyah
dan NU yang menegaskan misinya yaitu menjadikan pendidikan sebagai
pencerahan budaya dan mempertebal keindonesiaan. Dari sini jelas terlihat
bahwa kemerdekaan tidak hanya dimaknai sebagai pembebasan bangsa dari
belenggu ekonomi-politik yang kolonialistik, tetapi juga pembebasan dari
kebodohan dan keterbelakangan. Karena kebodohan dan keterbelakangan
telah dimanfaatkan oleh kolonialisme untuk memelihara kekuasaannya selama
ratusan tahun.13
Pendidikan yang mampu menanamkan rasa kepekaan dan
kepedulian terhadap bangsa, karena pendidikan saja tidak cukup untuk
membangun bangsa dan negara tanpa ada rasa kepekaan dan kepedulian. Dua
hal inilah yang bisa dilihat dari para tokoh pendidikan Indonesia ketika
mereka merumuskan sistem pendidikan di Indonesia. Kepekaan dan
kepedulian terhadap lingkungan akan melahirkan keinginan untuk menjaga
bangsa dan negaranya agar tetap aman dan sejahtera.
Dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa
lahirnya nasionalisme tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan khususnya
pendidikan yang dilakukan di lembaga formal kelembagaan yang bernama
sekolah. Pendidikan yang dilakukan di sekolah dalam konteks Indonesia
terbukti telah memunculkan kesadaran pada diri peserta didik saat itu akan
kebangsaannya dalam bentuk menyadari akan kondisi penderitaan bangsanya
sebagai akibat dari penjajahan. Hal ini membuktikan bahwa sekolah
merupakan tempat pendidikan dan pembentukan jiwa serta semangat bagi
generasi muda melalui penanaman sentimen kebangsaan yang saat itu
mengalami penjajahan, melalui bacaan, melalui pencerahan budaya dan
dengan mempertebal keindonesiaan. Lingkungan makro yang melingkupi
Indonesia saat itu berupa kolonialisme dan imperialisme asing tak dapat
dipungkiri memang membuka jalan bagi penanaman nasionalisme sehingga
tidak ada kendala ideologi apapun dalam penanaman nasionalisme Indonesia
saat itu. Oleh karena itu di era kemerdekaan seperti sekarang kirannya perlu
dirumuskan kembali konsep dan praktek pendidikan yang dapat
menumbuhkan jiwa nasionalisme di kalangan anak bangsa yang akhir-akhir
ini semakin memudar seiring dengan arus globalisasi yang kian menggerus
bangsa ini, yaitu sebuah konsep pendidikan yang di satu sisi dapat menjawab
peluang dan tantangan persoalan kontemporer global dan di sisi lain juga
13
Rudi Hartono. Pendidikan dan Nasionalisme. Artikel ini disampaikan
dalam seminar bertajuk “Menerapkan Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Pendidikan
untuk Menciptakan Generasi Berkarakter Kebangsaan”, di kampus Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa, Jogjakarta, 15 November 2014. Diunduh pada tanggal 19
Januari 2017 pukul 09:38.
8
dapat menjadikan peserta didik orang-orang yang memiliki integritas
kebangsaan yang kuat.
Dalam perspektif Islam hakikat pendidikan dan nasionalisme ini
sejalan dengan misi ajaran Islam yang rah{matan lī al-‘a<lami<n yang
mengejawantah dalam pribadi tiap individu muslim.14 Dalam konteks
Indonesia pribadi muslim yang rah{matan lī al-‘a<lami<n sebagaimana dikatakan
Azra adalah pribadi yang dapat menjadi manusia seutuhnya yang tidak hanya
cerdas secara intelektual tapi juga cerdas moral dan spiritual. Jika merujuk
pada pendapat al-As{faha<ni<,15
di mana kata ar-rah{mah terkadang
berkonotasi al-riqqah (kelembutan), al-ih{sa<n (kebajikan), al-akhya<r (kebaikan), dan al-ni’mah (kenikmatan), maka pribadi muslim yang
rah{matan lī al-‘a<lami<n adalah pribadi yang memiliki sifat-sifat mulia tersebut
sebagaimana pribadi Nabi Muhammad Saw. Dalam konteks yang lebih luas
Nata mengartikan rah{matan lī al-‘a<lami<n yaitu terciptanya kehidupan dunia
yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sehingga seluruh makhluk yang
ada di dalamnya hidup dengan rasa aman dan nyaman serta penuh persatuan
di mana misi rah{matan lī ‘al-a<lami<n ini hanya dapat diemban oleh seorang
muslim yang mampu berperan sebagai khalifah yang dapat memberi
kemaslahatan melalui kemuliaan sifat-sifatnya serta dapat melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai kebajikan di muka bumi.16
Sehubungan dengan
itu maka pendidikan kepada manusia dalam pandangan Islam merupakan hal
utama yang diperlukan untuk melahirkan khalifah-khalifah sebagaimana
tujuan penciptaan manusia dalam Islam.
Merujuk pada term rah{matan lī al-‘a<lami<n sebagaimana uraian di atas,
karenanya pendidikan Islam merupakan salah satu alat pendidikan yang dapat
difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup
manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial sesuai dengan tujuan
14
Menurut Azra, term rah{matan lī al-‘a<lami<n merujuk pada pribadi seorang
hamba yang selalu bertakwa kepada-Nya yang dalam konteks sosial-masyarakat,
bangsa dan negara adalah pribadi yang dapat membawa maslahat atau kebaikan bagi
lingkungannya. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di
Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, 2012), 8. 15
Al-Raghi<b al-As{faha<ni<, Al-Mufrada<t fi< Ghari>b al-Qur’a<n, Maktabah Naza<r
Must{afa al-Ba<z, (I/253-254). 16
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan
Islam (Jakarta: Grasindo, 2001), 100. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam
(Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 32-33. Hal ini juga merupakan rumusan tentang tujuan
pendidikan Islam sebagaimana yang telah disepakati dalam Kongres Pendidikan Islam
se-Dunia yang kedua tentang pendidikan Islam yang diselenggarakan pada 1980 di
Islamabad. Lihat juga, Alquran surat al-Baqarah ayat 30.
9
penciptaannya.17
Penisbatan gelar khalifah kepada manusia yang merupakan
makhluk pribadi dan sosial mengandung amanah tugas yang harus dipikulnya,
yaitu memimpin, mengelola dan memelihara hidup dan kehidupan dalam
rangka mencapai tujuan kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan sebagai
perwujudan kasih sayang Allah Swt (rah{matan lī al-‘a<lami<n). Dengan
demikian pendidikan Islam di mana di dalamnya terkandung ajaran nilai-nilai
agama Islam memiliki korelasi dengan nasionalisme mengingat nilai-nilai
yang terkandunng dalam ajaran Islam mengandung substansi nilai-nilai
nasionalisme yaitu menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian dan
persatuan dalam rangka mencapai kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan
manusia melalui pengembangan sifat-sifat mulia seorang muslim sesuai
dengan ajaran nilai-nilai Islam.
Ditinjau dari aspek sosiologis, pendidikan Islam dan nasionalisme
sudah sejak lama memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi
dalam rangka menciptakan kehidupan berbangsa yang harmonis, karena pada
hakikatnya risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw merupakan
sebuah risalah dalam usaha membangun masyarakat Islam yang beriman,
berakhlak mulia, berbudi luhur dan mulia perangainya sebagaimana makna
yang terkandung dalam misi Islam yang rahmatan li< al-‘a<lami<n yang melatar
belakangi pemikiran tokoh-tokoh Islam yang hidup di abad ke-19 dan awal
abad ke-20 dalam mempersepsikan nasionalisme.18
Berdasarkan hal ini tokoh-
tokoh pembaru politik pada zaman kebangkitan Islam tersebut menuangkan
gagasan-gagasan politiknya termasuk gagasan tentang nasionalisme yang
tetap berpegang pada kaidah-kaidah politik dalam Islam yang tercantum
dalam Alquran. Salah satu gagasan yang muncul terkait nasionalisme ini
adalah bahwa dasar kesatuan umat manusia adalah berdasarkan kesamaan,
kebebasan dan persaudaraan dengan berpegang pada prinsip tauhid bukan
berdasarkan geografis. Dengan demikian menurut mereka Islam menolak
hubungan rasial berdasarkan kebudayaan, bahasa dan geografis sebagai dasar
kesatuan umat manusia.
Pandangan para tokoh Islam pada abad kebangkitan Islam tersebut
pada akhirnya memunculkan diskursus tentang nasionalisme dalam perspektif
Islam, sebab nasionalisme yang muncul sekarang ini mengabaikan unsur
agama dalam kesatuan politik.19
Peniadaan unsur agama dalam membangun
wacana nasionalisme inilah yang pada akhirnya menimbulkan pandangan
yang beragam dari tokoh Islam. Menurut Iqbal bagi seorang muslim seluruh
pelosok dunia adalah tempat tinggal dan tempat peribadatan karena seluruh
17
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga
Pendidikan Islam Klasik (Bandung: Penerbit Angkasa, 2004), Cet. I, 4. 18
Lihat kembali misi ajaran Islam yang rahmatan li< ‘al-a<lami<n. 19
Muhammad Aziz Ahmed, Pemikiran Politik Iqbal (Semarang: Risalah
Bandung & CV. Toha Putera, 1983), 22.
10
permukaan bumi adalah wilayah kedaulatan Allah. Meski nasionalisme dalam
pandangan Iqbal menolak pengkotak-kotakkan manusia berdasarkan
geografis, ras atau kesamaan warna kulit dan bahasa, namun tidak
mengabaikan semangat untuk berdamai dengan sesama manusia.20
Pandangan
Iqbal yang berpendapat tidak ada konsep nasionalisme dalam Islam lebih
dikarenakan karena praktek nasionalisme yang disaksikannya terutama
nasionalisme dalam konsepsi Barat memiliki sifat individualisme dan egoisme
yang berlebihan. Negara dan bangsa dalam pandangan politik Islam menurut
Iqbal bukanlah nasionalisme apalagi imperialisme, melainkan sebuah lembaga
bangsa-bangsa yang mengakui adanya batas territorial. Sedangkan perbedaan
yang ada pada diri manusia yang ada di dalamnya (perbedaan rasial) hanyalah
untuk memudahkan pengenalan saja. Dengan demikian nasionalisme yang
ditentang Iqbal adalah nasionalisme Barat karena nasionalisme Barat
mengandung benih-benih materialisme yang atheis serta penuh dengan
semangat kolonialisme yang bertujuan untuk memecah belah dunia muslim.
Sejalan dengan Iqbal, Mohammad Natsir yang merupakan salah
seorang tokoh pembaharu politik Islam Indonesia mengatakan ikatan
kebangsaan tidak ada salahnya digunakan oleh orang Islam untuk
mengumpulkan mereka dalam satu ikatan namun dengan tetap menghormati
kepentingan dan hak-hak golongan lain, di samping tidak memunculkan
ta’as{s{ub kebangsaan yang menutup keadilan bagi golongan lain. Ikatan
kebangsaan juga hendaknya tidak membuat terputusnya ukhuwwah dengan
kaum muslimin dari berbagai bangsa dengan dalih teritori ataupun dalih
sentimen kebangsaan lainnya.21
Natsir beranggapan bahwa nasionalisme tidak
bertentangan dengan Islam selama rasa cinta terhadap tanah air itu tidak
menomor duakan Tuhan karena Islam secara diametral tidak bertentangan
dengan nasionalisme bahkan Islam turut serta dalam membangun rasa cinta
terhadap tanah air. Dengan demikian nasionalisme dalam pandangan Natsir
tetap dalam bingkai Islam di mana ukuran benar atau salah dalam memaknai
dan praktek nasionalisme adalah dengan timbangan ajaran Islam. Itulah
mengapa nasionalisme dalam perspektif Islam tidak membenarkan dalih right
or wrong is my country yang menyebabkan suatu bangsa merasa berhak untuk
menjajah bangsa lain dengan dalih apapun.
Pandangan Iqbal dan Natsir sebagaimana uraian sebelumnya
menegaskan bahwa nasionalisme yang digagas Barat yang pada akhirnya
melahirkan kolonialisme dan imperialisme tidak sesuai dengan ajaran tauhid
yang menekankan keadilan di semua aspek kehidupan yang memperjuangkan
20
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama Dalam Islam
(Djakarta: Tintamas, 1966), 155. 21
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta:
LP3ES, 1980), 397. Lihat juga M. Natsir, Islam Sebagai Ideologi (Jakarta: Pustaka
Penyiaran Ilmu, 1950), 21.
11
golongan masyarakat lemah dan termarjinalkan.22
Sesuai dengan misi ajaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, praktek nasionalisme dalam
perspektif Islam menurut Iqbal dan Natsir menolak imperialisme,
kolonialisme dan materialisme atas nama negara bangsa yang bernuansa
narsistik dan egoistik karena bertentangan dengan nilai-nilai humanisme
Islam. Dari sinilah terlihat hubungan antara pendidikan Islam dan
nasionalisme. Pendidikan Islam sebagai sebuah pranata sosial menentang
praktek nasionalisme yang mengandung dehumanisasi karena tidak sejalan
dengan hakikat, tujuan, dan fungsi pendidikan Islam, yaitu melahirkan
pemakmur-pemakmur bumi yang memiliki tugas memimpin, mengelola dan
memelihara hidup dan kehidupan dalam rangka mencapai tujuan kedamaian,
keharmonisan dan kesejahteraan sebagai perwujudan kasih sayang Allah Swt.
Sebagai sebuah konsep politik dalam Islam, konsep nasionalisme
pernah dilontarkan oleh Ibnu Khaldun dengan mengambil term ‘as{a<biyyah.23
‘as{a<biyyah di sini berarti solidaritas, perasaan sekelompok (group feeling) dan
kesadaran kelompok (group consciousness). Persamaan nasionalisme dan
‘as{a<biyyah bahwa keduanya bertujuan untuk terciptanya suatu negara
kebangsaan. Hal ini sebagaimana dikatakan Gellner bahwa nasionalisme
memiliki aspek sentimen (perasaan bersama) yang akan berubah menjadi
kesadaran dan gerakan sosial.24
Nasionalisme menurut Gellner adalah sebuah
prinsip, maka sentimen akan memunculkan dampak gerakan yang positif jika
prinsip-prinsip tersebut dijalankan secara konsisten. Namun sentimen akan
berujung gerakan negatif jika terjadi pelanggaran terhadap prinsip tersebut.
Berbeda dengan konsep ‘as{a<biyyah, negara yang menjadi tujuannya
merupakan alat yang penting dalam rangka menegakkan sendi-sendi agama,
sebab tanpa negara sendi-sendi agama tidak akan dapat terwujud di muka
bumi. Sementara dalam pandangan Barat agama dan negara adalah dua hal
yang masing-masing berdiri sendiri. Karenanya dalam konsep ‘as{a<biyyah,
sentimen dan gerakan dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai agama
bukan bersifat etnocentris. Meski demikian menurut Azra, Islam secara
normatif maupun historis tidak memiliki masalah yang signifikan dengan
nasionalisme karena Islam tidak pernah mempertentangkan antara keislaman
(keimanan) dengan etnik.25
Pandangan Azra ini salah satunya dilihat dari
22
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), cet 1, 33. 23
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999) cet 1, 138. 24
Ernest Gellner, Nations and Nationalism, (NY:Cornell University
Press,1983), 1 25
Salah satu alasan yang dikemukakan Azra untuk mendukung pendapatnya
ini adalah bagaimana hadirnya kolonialisme oleh Belanda dan bangsa-bangsa lain
terhadap Indonesia, telah meniadakan sentimen etnisitas lokal (kedaerahan), menjadi
12
sudut pandang bahwa sejak awal mula Islam disebarkan di Indonesia
berlangsung dengan cara damai, sehingga hal ini membuat karakter
penyebaran Islam di Indonesia dengan cara mengakomodir kepercayaan dan
kebudayaan lokal yang begitu beragam di Indonesia, atau dengan kata lain
banyak terjadi pribumisasi Islam. Bahkan, menurut Azra Islamlah yang
menjadi pendorong munculnya nasionalisme di Indonesia. Karenanya
etnocentris dalam pandangan Azra bukanlah pemberhalaan terhadap suku,
puak dan sebagainya tapi lebih kepada penghormatan dan penghargaan
terhadap keragaman yang memang diciptakan Tuhan.
Relasi Nasionalisme dan Islam diungkapkan oleh Hasan Al-Bana
dalam risalah al-Mu'tamar al-Kha<mis. Al-Banna mengatakan bahwa “relasi
antara Islam dan nasionalisme tidak selalu bersifat taraddud atau kontradiktif.
Menjadi muslim yang baik tidak selalu berarti anti-nasionalisme."26
Nasionalisme dalam pandangan Al-Banna mengandung unsur-unsur kecintaan
dan kerinduan terhadap tanah air, keharusan bekerja serius untuk
membebaskan tanah air dari penjajah demi membela kehormatannya, serta
memperkuat ikatan antar anggota masyarakat di wilayahnya. Hal ini
dikarenakan seorang muslim yang baik adalah mereka yang berpegang teguh
pada ajaran moral yang dilandasi nilai-nilai ajaran Islam yang rah{matan lī al-
‘a<lamīn yang mengejawantah dalam pribadi seorang muslim sebagaimana
dikatakan Azra, Nata dan al-Ashfahani, pribadi yang dapat mengemban
amanah tugas yang harus dipikulnya, yaitu memimpin, mengelola dan
memelihara hidup dan kehidupan dalam rangka mencapai tujuan kedamaian,
keharmonisan dan kesejahteraan sebagai perwujudan kasih sayang Allah Swt
(rah{matan li< al-‘a<lami<n). Nasionalisme sebagaimana pandangan Al-Banna ini
sejalan dengan hakikat nasionalisme yaitu sebagai suatu paham (ajaran) untuk
mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu
bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai,
mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan
kekuatan bangsa.
Pernyataan yang sama juga dijelaskan oleh Ali Maschan Moesa
bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme. Bahkan, agama bisa
menjadi perekat bangsa dan menciptakan solidaritas yang kuat antar bangsa.27
sentiment etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada etnis yang lebih tinggi atau
luas. Dengan demikian Azra menolak anggapan yang menyatakan bahwa Islam hanya
akan menimbulkan dampak negatif terhadap nasionalisme. Lihat, Azyumardi Azra,
Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Perspektif Islam dan Ketahanan
Budaya (Jakarta: LIPI Press, 2011), 107. Lihat juga, Alquran surat al-Hujurat ayat 13. 26
Hasan al-Banna, Majmū’āt al-Rasāil, Terj. Kumpulan Risalah Dakwah
Hasan al-Banna (Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat, 2012), 56. 27
Ali Maschan Moesa lebih melihat agama sebagai basis kehidupan
masyarakat atau kepribadian umat (paradigm Islam kultural), dari pada harus
13
Pendapat Moesa ini menegaskan bahwa Islam dan nasionalisme saling
bersinergi dalam mewujudkan keutuhan dan karakter suatu bangsa. Islam
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya rasa nasionalisme
bangsa. Menurut Moesa, relasi antara Islam dan nasionalisme sangat
memungkinkan mengingat ajaran Islam yang integral dan komprehensif bisa
menjadi perekat hubungan antar bangsa baik secara internal maupun
eksternal. Dengan demikian, nasionalisme dalam kaca mata Islam bukanlah
merupakan hal yang baru atau asing, karena sebagian umat Islam percaya
bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam dan bahkan merupakan
bagian dari Islam itu sendiri. Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa
sebagian tokoh-tokoh Islam memandang dan membangun nasionalisme secara
normatif dimana nasionalisme diartikan sebagai cinta tanah air, membebaskan
negara dari imperialisme, merapatkan barisan dan merekatkan tali
persaudaraan adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Secara empirik masyarakat Islam sesungguhnya sangat akrab dengan
nilai-nilai yang ada dalam nasionalisme. Banyak ajaran-ajaran Islam yang
menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan yang demokratis. Hal
ini sebagaimana dikatakan Sukarno terlihat dari prinsip kesamarataan dalam
hak dan kewajiban yang dikenal dalam masyarakat Islam yang pada akhirnya
akan menuntut terbinanya kehidupan yang demokratis.28
Rusaknya tatanan
masyarakat Islam yang demokratis dimulai ketika rusaknya budi pekerti para
pemeluk Islam itu sendiri. Itulah mengapa menurut Sukarno yang terpenting
bagi umat Islam adalah bagaimana mengetahui dan menghayati jiwa Islam
yang hakiki. Banyaknya umat Islam yang belum memahami Islam sesuai
dengan jiwanya yang pada akhirnya umat hanya memahami Islam sesuai
teksnya dan kurang menyesuaikan dengan realita kehidupan yang sebenarnya.
Padahal semangat yang dijiwai ajaran-ajaran Islam akan membawa
masyarakat Islam mencapai puncak kejayaan sebagaimana pernah terjadi
dalam sejarah Islam.
Usaha-usaha untuk mengembalikan kejayaan masyarakat Islam
menurut Sukarno secara riil dapat dilakukan dengan menyamai
kemasyarakatan musuh kita dalam hal ini Barat.29
Dalam usahanya meniru
Barat sebagai awal memajukan masyarakat Islam, pertama yang menurut
Sukarno perlu mendapat perhatian adalah masalah-masalah yang berkaitan
membentuk suatu komunitas agama yang di sisi lain mengeksploitasi hak umat lain.
Lihat, Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama
(Yogyakarta: LKiS, 2007), 12. 28
Soekarno, Surat-surat Islam dari Endeh”, dalam Soekarno, Di Bawah
Bendera Revolusi (Djakarta: Gunung Agung, 1965), 327. 29
Dalam konsep nasionalismenya Sukarno menyebut bangsa Barat sebagai
musuh karena Barat lah yang merupakan pelopor kolonialisme dan imperialisme di
muka bumi ini.
14
dengan pendidikan. Dalam hal pendidikan dan pengetahuan Islam, Sukarno
tidak menganut paham dikotomis yang memisahkan antara pengetahuan
agama dan pengetahuan umum.30
Pandangan Sukarno ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh fakta sejarah bahwa pendidikan yang dijiwai ajaran Islam
terbukti telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai bidang
hingga lahirlah kemudian para cendekiawan muslim dalam pemikiran politik
dan ketatanegaraan seperti Ibn Abi < al-Rabi’< (abad ke-9), al-Farabi< (870-950),
al-Ma<wardi< (947-1058), Niz{a<mul Muluk (1017-1091), al-Ghaza<li< (1058-
1111), Ibn Khaldu<n (1332-1406), dan Ibn Taimiyah (1263-1328).31
Dengan
demikian terdapat hubungan timbal balik antara nasionalisme dan pendidikan
khususnya pendidikan Islam di mana dengan pendidikan Islam yang di
dalamnya diajarkan nilai-nilai agama Islam terbukti secara konsep dan fakta
dapat melahirkan orang-orang yang memiliki kesadaran akan jati dirinya dan
bangsanya serta dorongan untuk berbuat yang terbaik bagi kemakmuran dan
kejayaan bangsanya.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, penanaman wawasan
kebangsaan dalam dunia pendidikan Islam menurut Kartodirdjo, diberikan
antara lain melalui pemberian pemahaman kepada peserta didiknya untuk
menghilangkan faham fanatisme suku. Ia menjelaskan, ini merupakan hakikat
dari faham nasionalisme, di mana tidak ada faham rasisme dan sukuisme.
Bukti-bukti yang menunjukkan hal ini antara lain adalah kehadiran para
peserta didik yang berasal dari berbagai suku dan etnis pada lembaga
pendidikan Islam pada masa tersebut. Hal ini dimungkinkan mengingat nilai-
nilai yang terkandung dalam ajaran Islam memang mengajarkan untuk
menghilangkan paham etnocentris (supremasi suku).32
Hal ini sejalan dengan
hakikat dan tujuan pendidikan Islam yaitu rahmatan li< al-‘a<lami<n yang
mengandung nilai-nilai humanisme yang universal bagi seluruh makhluk
seperti kasih sayang, menghormati dan menghargai pluralisme serta tidak
mengenal etnisitas maupun sektarianisme. Inilah nilai-nilai nasionalisme yang
terkandung dalam pendidikan Islam. Karenanya dari pandangan ini dapat
dikatakan bahwa lembaga pendidikan Islam menjadikan ajaran Islam sebagai
wawasan dasar nasionalisme.
Dalam perkembangannya lembaga pendidikan Islam di Indonesia
terus bermetamorfosis sehingga lahirlah kemudian lembaga pendidikan Islam
semisal pesantren dan madrasah yang merupakan lembaga pendidikan Islam
30
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, 128. 31
Haroon Khan Sherwan, Mempelajari Pendapat-pendapat Sardjana-
sardjana Islam tentang Administrasi Negara (Djakarta: Tintamas, 1964) 32
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Maha Karya Perjuangan
Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Bandung: Grafindo Media Pratama, 2012), 138. Lihat juga surat al-Hujurat ayat 13
dan surat ar-Ruum ayat 22.
15
yang pada masa-masa awal sejarah perjalanan perjuangan bangsa ini memiliki
peranan yang sangat krusial. Melalui pendirian pesantren dan madrasah
tersebut tokoh-tokoh Islam berhasil melahirkan para pejuang pembela negara
dari cengkeraman penjajah. Keberadaan madrasah dan pondok pesantren yang
merupakan salah satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat yang telah
berurat berakar dalam masyarakat Indonesia sangat diperhitungkan oleh
bangsa-bangsa imperialis yang pernah menancapkan kuku-kuku
imperialismenya di bumi Nusantara ini. Peran para santri dalam membela
tanah airnya itulah yang menjadi alasan utama mengapa pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, pendirian-pendirian sekolah Islam tidak
selalu berjalan mulus karena dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda.33
Kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda tersebut memang cukup
beralasan, karena sekolah-sekolah Islam saat itu sangat kritis dalam
menentang kebijakan imperial kaum kolonial.
Peran lembaga pendidikan Islam dalam penanaman nasionalisme
sebagaimana paparan di atas menegaskan, bahwa pendidikan Islam yang
menjadikan nilai-nilai agama Islam sebagai landasan pelaksanaannya, tidak
hanya memberikan penekanan pada aspek spiritual namun juga moral dan
intelektual. Keterkaitan antara pendidikan agama dan nasionalisme jika
merujuk pada pendapat Al-Ghulayani,34
bahwa pendidikan Islam adalah
sebuah proses penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anak sehingga
akhlak tersebut menjadi malakah (hal-hal yang meresap) dalam jiwa yang
pada akhirnya membuahkan kemuliaan, kebaikan, serta cinta beramal untuk
kepentingan negara. Inilah antara lain hubungan antara pendidikan agama
dan nasionalisme. Hubungan antara pendidikan agama dan nasionalisme jika
merujuk pada pandangan Maarif,35
adalah bahwa pendidikan Islam bertujuan
meningkatkan sikap kritis terhadap dunia. Sikap kritis ini yang pada akhirnya
mampu menggerakkan individu untuk memelihara dan memakmurkan bumi
sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi dalam
rangka mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (rah{matan li< al-‘a<lami<n).
Penekanan aspek spiritual pada pendidikan Islam untuk menegaskan
bahwa pada akhirnya tujuan pendidikan Islam bermuara pada pembentukan
manusia sesuai dengan kodratnya yang menyangkut dimensi imanensi
(horizontal) yang menyangkut hubungan dengan alam semesta dan sesamanya
33
Nasution, Sejarah Pendidikan Islam (Surabaya: Bumi Aksara, 1995), 145
Lihat juga Gani Jumat, Nasionalisme Ulama, Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid
‘Idrus Bin Salim Aljufry 1391-1969 (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), 49-50. 34
Must{afa Al-Ghula<ya<ni<, Id{at Al-Na<shi’i<n, (Beirut: Al-Maktabah Al-
Ans{a<riyyah, 1993), hlm. 185. 35
Ahmad Syafii Maarif, Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan,
dalam Muslih Usa, (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), 22.
16
serta dimensi transendensi (vertical) yaitu hubungan dan pertanggungjawaban
manusia kepada Yang Maha Pencipta,36
yang didasari pada Alquran, hadis
dan sejarah Islam sebagai acuan dalam setiap aspek penyelenggaraannya.
Implikasi dari hal ini kemudian bahwa pendidikan Islam tidak hanya sebatas
transfer of knowledge, namun mencakup juga transfer of value serta memiliki
dimensi dunia dan akhirat.37
Oleh karena itu pendidikan Islam berorientasi
pada pembentukan insan kamil,yaitu manusia yang sempurna dari segi wujud,
pengetahuan dan sifat-sifatnya karena ia merupakan citra Tuhan di mana pada
dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara utuh.38
Karenanya
jika mengacu pada hakikat dan tujuan pendidikan Islam tersebut, maka
pendidikan Islam hendaknya berada pada barisan terdepan dalam menciptakan
manusia-manusia yang berguna bagi masyarakat karena pendidikanlah yang
secara langsung berhadapan dengan umat manusia.39
Dengan demikian
pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan Islam secara
shumuliyah (komprehensif) bukan parsial baik secara tekstual maupun
kontekstual dan ditujukan agar terinternalisasinya nilai-nilai Islam dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik, akan dapat menghasilkan peserta didik
yang mampu berperan sebagai individu-individu yang menebar kebajikan di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu tindakan kekerasan atau
radikalisme yang mengatas namakan agama bukanlah imbas dari pendidikan
agama yang diberikan secara komperehensif dan kontekstual. Menurut
Turmudzi, tindakan radikalisme biasanya bertolak dari gerakan politik yang
mendasarkan diri pada suatu doktrin keagamaan serta pengajaran nilai-nilai
agama yang literal bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpretasi
penafsiran.40 Oleh karena itu pembelajaran nilai-nilai agama yang kontekstual
akan dapat memberikan bekal kepada peserta didik untuk dapat menjadi
warga masyarakat yang mampu beerperan dalam menjawab tantangan
kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan kemajuan di bidang
ekonomi, politik dan sosial budaya.
Pendidikan agama yang komperehensif dan kontekstual dalam
lembaga pendidikan Islam menuntut untuk melibatkan segenap komponen
yang ada dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Beberapa komponen
36
Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1991), 31. 37
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam
(Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 94. 38
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta:Paramadina,1997), 49. 39
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan
Islam, 100. 40
Endang Turmudzi dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI
Press, 2004), 5. Lihat juga Yu<suf Al-Qard{a<wi<, Al-S{ah{wah al-Isla<<miyyah bayn al-
Juhu<d wa al-Tat{t{arruf (Cairo: Bank al-Taqwa<, 1406 H), 59
17
dalam lembaga pendidikan Islam terutama komponen utamanya seperti
kurikulum, proses pembelajaran, tenaga kependidikan dan kegiatan-kegiatan
yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam harus mengacu pada
terinternalisasinya nilai-nilai Islam dalam keseluruhan sistem sosial budaya
dan pembentukan wawasan intelektual,41
baik nilai-nilai ketauhidan maupun
nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang di dalamnya terkandung substansi dari
nilai-nilai nasionalisme.
Kesimpulan yang bisa diambil kemudian adalah, bahwa dalam
konteks keindonesiaan tidak ada kontradiksi antara tujuan pendidikan Islam
dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang telah dirumuskan oleh
para pakar pendidikan dan tokoh agama di mana salah satu fungsi pendidikan
baik langsung maupun tidak langsung memiliki korelasi dengan penanaman
nilai-nilai nasionalisme. Pendidikan Islam yang secara fundamental
berlandaskan Alquran dan hadis sebagai acuannya, mengandung implikasi
bahwa dalam prosesnya senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai ideal Islam yang
goal-nya adalah melahirkan manusia-manusia sempurna (aḥsan al-taqwi<m),
dalam arti bertauhid dan bermoral (al-akhlāq al-karīmah) yang dalam
terminologi Islam disebut dengan individu yang memiliki karakter rah{matan
li< al-‘a<lami<n.
Berbeda dengan pendidikan Islam yang secara fundamental
berlandaskan Alquran dan hadis sebagai acuannya, pendidikan dalam
perspektif Barat yang sekuler, liberal, pragmatis dan materialis hanya
mendasarkan atas hasil pemikiran manusia dalam menuju kemaslahatan
umum atau humanisme universal. Oleh karenanya konsep pendidikan yang
menganut paham inilah yang pada akhirnya menjadi ajang pertarungan
ideologis yang acapkali berbenturan dengan kepentingan antara manusia satu
dengan yang lain dan antara bangsa satu dengan yang lain,42
karena tujuan
hidup yang ditetapkan hanya mendasarkan pada pandangan manusia seperti
yang terjadi pada masa Yunani kuno di mana orang-orang Sparta pada masa
Yunani lama berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk berbakti pada
negara dan memperkuat negara melalui kekuatan fisik semata sehingga
41
Lihat, UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan
nasional berfungsi kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Lihat juga PP No 55 tahun 2007 yang berbunyi, “Pendidikan agama berfungsi
membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yanng
Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan
hubungan inter dan antar umat beragama. 42
Arifin, Kapita Kapita Selekta Pendidikan Islam- slam dan Umum (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000), 52.
18
mereka yang kuat secara fisik dapat menguasai bangsa yang lemah.
Dampaknya kemudian di satu sisi Barat maju dalam peradabannya sebagai
akibat dari kemajuan pendidikan namun orientasi tujuan pendidikannya pada
akhirnya beralih pada usaha mencari keuntungan dengan jalan apapun baik
melalui eksploitasi, kolonialisme dan imperialisme yang pada akhirnya
mengkonstruksi paham nasionalisme Barat.
Penentangan terhadap konsep nasionalisme oleh sebagian ulama
Islam biasanya bermula dari penentangan mereka terhadap konsep
nasionalisme versi barat karena Barat menjadikan konsep nasionalisme
sebagai sarana untuk memecah belah kesatuan umat Islam dengan
menciptakan sekat-sekat geografis sehingga kekuatan umat Islam terpecah
dan akhirnya lemah. Hal ini tentu akan memudahkan barat untuk memuluskan
program imperialisme dan kolonialismenya. Nasionalisme Barat yang
memuat unsur imperialisme dan kolonialisme selain tidak sejalan dengan
nilai-nilai ajaran Islam juga bertentangan dengan fungsi pendidikan baik
dalam tinjauan Indonesia maupun tinjauan Islam.
Dari penjelasan-penjelasan di atas terlihat bahwa sesungguhnya nilai-
nilai yang terkandung dalam ajaran Islam memiliki korelasi dengan konsep
nasionalisme. Karenanya lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan berbasis Islam yang goal-nya adalah
melahirkan peserta didik yang memiliki al-akhla<q al-kari<mah yang membawa
kebaikan bagi bangsa dan negaranya (rah{matan li< al-‘alami<n) berperan besar
dalam menanamkan jiwa nasionalisme kepada para peserta didiknya. Oleh
karena itulah corak pendidikan yang dikehendaki oleh Islam menurut Maarif
adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang unggul secara
intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan.43
Jika
diterjemahkan dalam praktek di lapangan, corak pendidikan Islam
sebagaimana dikatakan Maarif ini adalah pendidikan yang dapat melahirkan
peserta didik yang bukan hanya dapat menjawab tantangan global di bidang
teknologi tapi juga dapat menjadi manusia berbudaya yang memiliki
kepekaan dan tanggung jawab sosial melalui kerja-kerja nyata di masyarakat
sebagaimana tujuan dan hakikat pendidikan Islam. Karenanya merosotnya
tatanan nilai-nilai di masyarakat termasuk rapuhnya nilai-nilai yang
nasionalisme menunjukkan rapuhnya landasan moral dan nilai-nilai agama
dalam pendidikan.
Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu lembaga pendidikan
merupakan salah satu lembaga formal yang memegang peranan penting dalam
memperkuat tatanan nilai-nilai dan menjaga kelangsungan hidup bangsa dan
negara. Untuk itu sekolah perlu merekonstruksi kembali konsep dan sistem
43
A. Syafi'i Ma'arif, Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, ed. Muslih Usa
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 155
19
pendidikannya sesuai dengan moral dan nilai-nilai ajaran agama Islam. Bukan
konsep pendidikan sekuler seperti yang dikemukakan al-Nahlawi,44
yang
memisahkan dimensi agamis dalam tatanannya yang kini banyak mewarnai
tatanan pendidikan pada umumnya. Akibat lanjutnya adalah bermunculannya
out put dari berbagai institusi pendidikan yang menguasai pengetahuan hanya
dari segi kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektif yang pada
akhirnya mendorong lahirnya paham-paham sekuler seperti imperialisme,
kolonialisme dan materialisme.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan yang
menyatakan bahwa ajaran Islam dan kekerasan memiliki hubungan yang erat
mengingat banyaknya fenomena tindakan terorisme dan radikalisme yang
mengatas namaka Islam tidak akan terjadi jika nilai-nilai yang ada dalam
agama Islam tidak dipahami secara eksklusif, skriptualis dan tidak
dikontekstualkan dalam kehidupan. Karenanya jika ajaran-ajaran agama
dipahami demikian maka akan terjadi pemberontakan dan tindak kekerasan
sebagai bentuk protes terhadap tatanan yang ada dalam masyarakat yang
dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Namun hal ini pun tidak
sepenuhnya benar. Menurut hasil penelitian, sebagian besar pelaku tindak
kekerasan yang tergabung dalam Al-Qaedah adalah mereka yang mengenyam
pendidikan umum Barat bukan pendidikan agama.45
Oleh karena itu
berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bawa tindakan radikalisme
bukan disebabkan oleh teks ajaran agama atau kurikulum pendidikan agama
melainkan lebih karena dipicu oleh kondisi sosial politik yang melatar
belakanginya ditambah lagi dengan pemahaman agama yang eksklusif dan
parsial.
Tidak signifikannya hubungan antara tindak kekerasan dan teks
ajaran agama serta kurikulum pendidikan agama secara tidak langsung
menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang berlandaskan ajaran tauhid
mendukung nilai-nilai humanisme sebagaimana juga terkandung dalam nilai-
nilai nasionalisme. Hal ini karena aspek transendental, yaitu domain iman
dalam pendidikan Islam disamping tiga domain kognitif, afektif dan
psikomotorik yang dikembangkan Bloom, mengajarkan nilai-nilai kebajikan.
Dengan adanya aspek transendental inilah pendidikan yang integral akan
terwujud, yaitu metode pendidikan yang menciptakan keseimbangan dalam
pemahaman dan penghayatan peserta didik sehingga dapat mengamalkan
ilmunya dengan baik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai keagamaan.
Inilah antara lain makna dari konsep pendidikan keterpaduan yang dikemukakan al-Attas di mana seluruh kegiatan pendidikan dijiwai oleh nilai-
44
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Isam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 118 45
Lihat Tim Peneliti Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Badan Intelijen
Negara, Deradikalisasi,(Jakarta:BIN RI,2009),48
20
nilai agama yang bersumber dari ajaran Islam. Implikasi dari pendidikan yang
terpadu menurut al-At{t{a<s adalah seluruh komponen yang ada dalam dalam
lembaga pendidikan yang antara lain mencakup tujuan pendidikan yang
terangkum dalam visi dan misi lembaga pendidikan Islam, kurikulum, metode
pendidikan, guru atau pendidik, peserta didik, serta lingkungan pendidikan
hendaknya dijiwai atau diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam baik secara
normatif maupun empirik. Beberapa komponen pendidikan yang ada dalam sebuah sekolah yang
cukup signifikan dalam memberikan memberikan pendidikan yang bermuatan
nasionalisme adalah komponen kurikulum dan komponen pendidik atau guru.
Kurikulum dan guru mempunya peranan strategis dalam membentuk karakter
anak didik sebagaimana tercantum dalam UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan ketentuan pasal 1 UU No 14/2005 tentang Undang-
Undang Guru dan Dosen.46
Sebagai sebuah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan, kurikulum memegang peranan strategis dalam
mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum yang di dalamnya terintegrasi dengan
pendidikan karakter dan menyebar dalam setiap mata pelajaran akan sangat
mendukung pendidikan karakter yang bermuatan nasionalisme.47
Karenanya
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan tentang rambu-rambu
kurikulum yang antara lain harus mengundang peningkatan iman dan takwa,
akhlak mulia, kompetensi atau keterampilan serta nilai-nilai persatuan dan
kebangsaan.
Selain kurikulum, peran guru sebagai role model sangat
mempengaruhi keberhasilan pendidikan di sekolah tak terkecuali dalam hal
pendidikan nasionalisme. Oleh karena itulah diperlukan pendidik yang
memiliki karakter kuat (integritas) dan cerdas. Dengan demikian guru yang
cerdas dan memiliki integritas jika dipadukan dengan kurikulum yang
mengandung kompetensi peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia,
kompetensi dan keterampilan, serta nilai-nilai kebangsaan akan memberi
pengaruh yang kuat dalam menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan pada
generasi bangsa. Sesuai dengan hakikat dan tujuan pendidikan Islam yang
menjadikan nilai-nilai Islam sebagai acuan, maka konsekuensinya adalah
46
UU no 20/2003 dan ketentuan pasal 1 UU no 14/2005 menegaskan bahwa
guru memiliki tugas utama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan demikian peran guru sangat
penting dalam keberhasilan belajar di sekolah. Lihat juga Permendiknas nomor
22/2006 tentang Standar Isi. 47
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
Lihat juga Zubaidi, Pendidikan Berbasis Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), 23.
21
terintegrasinya nilai-nilai Islam dalam komponen-komponen tersebut. Dengan
adanya integrasi ini niscaya akan terbangun kultur atau budaya sekolah yang
kondusif bagi pembentukan kristalisasi nilai-nilai agama dalam diri peserta
didik.
Perdebatan yang terjadi di kalangan pakar pendidikan juga
memunculkan diskursus, apakah konsep-konsep pembelajaran dan proses
pembelajaran yang ditawarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut
telah memberikan atau menanamkan wawasan kebangsaan kepada peserta
didiknya. Karena, lembaga-lembaga pendidikan seyogyanya menjadi tempat
pendidikan dan pembentukan jiwa serta semangat bagi generasi muda, untuk
menanamkan semangat nasionalisme maupun penguatan terhadap karakter
bangsa.48
Dan pendidikan Islam yang pada hakikatnya bertujuan menjadikan
nilai-nilai dasar Islam itu fungsional dalam diri seorang muslim, termasuk
dalam menjawab peluang dan tantangan persoalan kontemporer global, maka
seyogyanya pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
Islam bukan hanya berbicara tentang peserta didik sebagai seorang makhluk
individu namun juga peserta didik sebagai makhluk sosial.
Dalam penelitian disertasi ini, Sekolah Islam Terpadu (SIT) menjadi
subyek penelitian terkait konsep dan praktek pendidikan nasionalisme di
lembaga pendidikan Islam. Pemilihan SIT sebagau subyek penelitian
dilandasi oleh beberapa kekhasannya yaitu; berdasarkan dokumen
pendiriannya SIT termasuk dalam katagori lembaga pendidikan umum yang
bernafaskan Islam dan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional
yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia namun dalam penyelenggaraan pendidikannya SIT
mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kurikulum nasional yang
digunakannya di samping juga memiliki kurikulum tersendiri yang merupakan
ciri khas dari sekolah SIT, seperti kurikulum tah{si<n dan tah{fi<z{ al-qur’a<n,
pendalaman Agama Islam, Bahasa Arab dan kurikulum Pramuka SIT yang
diambil dari kurikulum pramuka nasional namun di dalamnya terdapat
integrasi nilai Islam dalam kegiatan-kegiatan kepramukaan.49
Selain keempat
kurikulum ini yang tergolong dalam written curriculum, terdapat juga hidden
48
Nasionalisme dalam arti cinta tanah air, merupakan salah satu potensi
(fitrah) yang dimiliki manusia, dan pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk
membentuk manusia agar mampu mengoptimalkan semua potensinya. Adapun
potensi-potensi manusia yang lainnya adalah yang perlu dikembangkan dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam adalah; fit{rah agama, fit{rah intelek, fit{rah sosial,
fit{rah susila, fit{rah ekonomi, fit{rah seni, fit{rah kemajuan, kemerdekaan, keadilan,
ingin dihargai, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Lihat, Armai Arief, Membumikan
Nilai-nilai Islam Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: Suara ADI, 2009), Cet. I, 43-
45 49
Lihat lampiran II
22
curriculum berupa pembiasaan ibadah dan adab islami serta kegiatan
pembinaan yang merupakan ciri khas SIT lainnya. Pengambilan SIT sebagai
subyek penelitian dilandasi oleh pemikiran bahwa pendidikan Islam secara
ideal memiliki ciri-ciri; ajaran tauhid dan persatuan, memuliakan manusia,
memandang hukum alam sebagai ketentuan Tuhan, menghargai akal dan
ilmu, memberikan kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan,
mengutamakan amal, mengajarkan kehidupan sosial, mengutamakan
toleransi, mengutamakan kepemimpinan yang beriman, dan menghendaki
ulama yang ahli dalam bidangnya.50
Ciri-ciri pendidikan Islam sebagaimana
dikemukakan oleh Nata ini tercermin dalam dokumen kurikulum tertulis
(written curiculum) khas SIT. Ajaran tauhid yang merupakan ciri khas
pendidikan Islam terlihat pada written curiculum SIT di mana SIT melakukan
integrasi nilai-nilai Islam dalam kompetensi dasar (KD) yang ada pada
kurikulum nasional yang di dalamnya terkandung ajaran persatuan,51
memuliakan manusia,52
memberikan kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan
persaudaraan,53
mengutamakan amal, mengajarkan kehidupan sosial,
mengutamakan toleransi, mengutamakan kepemimpinan yang beriman dan
ahli dalam bidangnya.54
Berdasarkan ciri-ciri tersebut ada beberapa point yang
menurut penulis mengandung semangat nasionalisme seperti persatuan,
memuliakan manusia, persaudaraan, mengajarkan kehidupan sosial dan
toleransi. Untuk melihat hal ini komponen yang akan dikaji dan dianalisis
adalah komponen kurikulum dan proses pembelajaran. Dua hal ini penting
untuk dikaji dan dianalisis karena dari sini akan terlihat mengenai tujuan, isi,
bahan pengajaran, serta proses pembelajaran yang dilaksanakan.55
Dan
kurikulum yang akan dikaji dalam penelitian ini bukan hanya kurikulum yang
dipelajari di dalam kelas saja (written curriculum) namun juga kurikulum
yang berbentuk hidden curriculum, yaitu berupa lingkungan sekolah, suasana
kelas, pola interaksi guru dengan siswa di dalam dan di luar kelas, bahkan
kebijakan dan manajemen sekolah. Kedua kurikulum ini penting untuk dikaji
50
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011), 339. 51
Lihat lampiran I kurikulum PKn kelas 1 KD 1.1 52
Lihat lampiran 1kurikulum kurikulum PKn kelas 1 KD 1.2 53
Lihat lampiran 1 kurikulum PKn kelas 2 KD 1.1, KD 1.2, KD 2.1, KD 2.2, 54
Lihat lampiran 1kurikulum PKn di semua kelas yang di dalamnya memuat
nilai-nilai nasionalisme yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran
Islam. Lihat juga lampiran 2 kurikulum Pendidikan Agama Islam SIT yang
diterbitkan oleh JSIT Indonesia serta dokumen enam dasar pembinaan khas SIT. 55
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pengajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Lihat
pengertian kurikulum menurut Undang-undang no 20 tahun 2003
23
karena merupakan bagian integral dalam proses pendidikan.56
Hal ini
sebagaimana amanat dalam kurikulum 2013 bahwa perlunya meleburkan
nilai-nilai moral di semua mata pelajaran serta dalam kegiatan ekstrakurikuler
dan kokurikuler.57
Sesuai dengan amanat tersebut maka selain kurikulum dan
proses pembelajaran, komponen pendidik dan tenaga kependidikan serta
lingkungan atau atmosfer akademik yang terdapat dalam Sekolah Islam
Terpadu juga memainkan peran penting dalam pendidikan nasionalisme.
Bagaimana peran mereka dalam pemberian pendidikan nasionalisme dalam
proses pembelajaran serta peran mereka dalam menciptakan atmosfer
akademik yang mendukung penanaman nilai-nilai nasionalisme di sekolah
yang dijadikan subyek penelitian.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, SIT yang didirikan di era
tahun 90-an, keberadaannya memang cukup mendapat respon positif
masyarakat karena pengaruh lingkungan makro yang mengelilinginya, yaitu
meningkatnya kesadaran ber-Islam di masyarakat terutama kalangan ekonomi
menengah atas yang dampaknya adalah kecenderungan mereka untuk
memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam yang tidak hanya concern
terhadap pembinaan akademik tapi juga concern terhadap pendidikan moral
value.58 Hal ini sebagaimana dikatakan Azra,
59 bahwa sebagai salah satu
pranata pendidikan Islam di Indonesia, Sekolah Islam Terpadu merupakan
sekolah yang berbasis pada antara integrasi ilmu sains dan Islam dan
menjadikan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam proses
penyelenggaraannya.
Terkait dengan pembentukan moral bangsa, Sekolah Islam Terpadu
telah menetapkan standar mutunya, yaitu “Pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yg dimiliki seseorang. Potensi ini tidak
terbatas fisik dan intelektual namun juga budi pekerti, moral dan spiritual.
Selain itu pendidikan juga harus mampu menyiapkan seseorang agar dapat
hidup bermasyarakat dan bermakna untuk masyarakat”. Implementasi model
pendidikan ini telah direalisasikan sejak berdirinya sekolah-sekolah Islam
Terpadu tahun 1993. Pembinaan karakter di SIT telah dilaksanakan bahkan
56
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Kencana,
2013), 31-32. 57
Salah satu amanat yang tercantum dalam kurikulum 2013 adalah bahwa
pendidikan karakter yang terintegrasi dalam seluruh pembelajaran pada setiap bidang
studi dan dihubungkan dengan konteks kehidupan sehari-hari dan menekankan pada
keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas keilmuan
dan kegiatan yang kondusif. 58
Wawancara dengan Fahmi Alaydrus, salah satu pendiri SIT Nurul Fikri
Depok dan juga salah satu pendiri Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) 59
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III, 87-88.
24
jauh sebelum Kurikulum 2013 dilaksanakan. Pendidikan karakter yang
berlandaskan nilai-nilai Islam tidak sekedar menjadi bagian dari mata
pelajaran tapi menjadi budaya sekolah yang terintegrasi dengan seluruh sendi-
sendi kehidupan di sekolah dan di luar sekolah. “Di sinilah peran dan peluang
kami untuk turut serta dalam pembinaan moral bangsa.”60
Hal ini sejalan
dengan pendidikan Islam yang merupakan bagian dari aspek ajaran Islam di
mana tujuannya tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu
menjadi pribadi hamba yang bertakwa kepada-Nya. Dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, pribadi takwa inilah yang dapat membawa
rah{matan li< al-‘a<lami<n baik dalama skala kecil maupun besar.61
Itulah
mengapa kemunculan lembaga pendidikan ini yang memadukan antara
pengetahuan agama dan umum diharapkan mampu menghasilkan anak didik
yang tidak hanya baik akademiknya, tapi juga memiliki akidah yang bersih,
mampu beribadah dengan benar dan mampu menghafal Alquran.62
Alquran
memberikan prinsip sangat penting bagi pendidikan Islam sebagaimana
dikatakan beberapa pakar pendidikan Islam;63
penghormatan kepada akal
manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, memelihara
kebutuhan sosial, mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan
bagi manusia, menawarkan hubungan yang erat, harmonis dan seimbang
dengan Tuhan, manusia dan alam, pendidikan yang demokratis, egaliter, adil,
dinamis, manusiawi dan sesuai dengan fitrah manusia. Selain itu prinsip
pendidikan Islam adalah pendidikan yang mendukung kecerdasan akal,
spiritual, sosial, emosional, kinestetis, seni, etika dan lainnya. Inilah tugas
berat pendidikan Islam, karena sebagai khalifah manusia memiliki tanggung
jawab besar karena di samping mengabdi kepada Allah dengan menjalankan
segala perintahNya juga memainkan perannya di masyarakat karena dalam
Alquran dan Hadis proporsi terbesar dari isinya tentang urusan muamalah.
Istilah “terpadu” dalam term Sekolah Islam Terpadu adalah sebagai
penguat (muakkid) dari Islam itu sendiri, yaitu Islam yang utuh menyeluruh,
integral bukan parsial, shumu<liyyah bukan juz’iyyah. Dalam aplikasinya
60
. Lihat, “Pernyataan Sikap Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT)”,
menanggapi pelaksanaan kurikulum 2013, yang dimuat di www.jsit-indonesia.com,
pada tanggal 9 Desember 2014 61
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III, 8. 62
Sukro Muhab, Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), saat
wawancara dengan Harian Umum Republika pada tanggal 31 Januari 2014, pada
acara Milad X JSIT 63
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, 196.
Lihat juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III, 9. Lihat juga Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan
Pendekatan Multidisipliner (Jakarta: Rajawali Press, 2010). Abuddin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.
25
kemudian, Sekolah Islam Terpadu menerapkan pendekatan penyelenggaraan
pendidikannya dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama
menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran
dan semua kegiatan sekolah tidak terlepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai
Islam.64
Jika dipahami secara sosiologis65
dan sesuai dengan tujuan
pendidikan Islam sebagaimana uraian sebelumnya, tantangan bagi SIT adalah
membumikan shumu<liyyah Islam dalam komponen-komponen
penyelenggaraan pendidikan nasionalisme dalam konteks kehidupan
berbangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang plural.
Untuk melengkapi penelitian, penulis juga mengobservasi bagaimana
peran SIT dalam membumikan shumu<liyyah Islam dalam konsep pendidikan
integral atau terpadu yang diusungnya dalam menjawab tantangan zaman dan
memberikan pendidikan nasionalisme di tengah problematika kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi karena tak dapat dipungkiri akibat perkembangan
teknologi batasan negara dan sosial masyarakat semakin mudah diakses oleh
para siswa, ditambah dengan keberadaan media-media sosial seperti akses
internet, facebook, twitter, youtube, whatshaap dan lain-lain yang berdampak
pada penggerusan rasa nasionalisme seperti berkurangnya rasa cinta terhadap
tanah air yang ditunjukkan dengan kurang mengenalnya budaya negara
sendiri, lagu kebangsaan yang mulai ditinggalkan dan dilupakan siswa dan
digantikan dengan lagu lain yang sangat mudah diakses dan terjadinya
dekadensi moral yang harus diwaspadai antara lain meningkatnya kekerasan
di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, pengaruh
peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, semakin kaburnya pedoman
baik dan buruk, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
membudayanya ketidak jujuran, adanya rasa caling curiga dan kebencian
64
SIT sebagai sekolah yang memiliki beberapa kekhasan jika dibandingkan
dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu penanaman nilai-nilai Islam secara
komprehensif. Oleh karena itu, kurikulum yang digunakan di lembaga ini selain
menggunakan kurikulum nasional secara utuh juga melakukan pengembangan-
pengembangan pada kurikulumnya. Pengembangan dilakukan dengan memadukan
nilai-nilai Islam dalam semua aspek kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik.
Hal ini berarti kompetensi tersebut ada pada kurikulum nasional namun diperluas atau
diperdalam dengan nilai-nilai Islam. Hasil wawancara dengan Fahmi Alaydrus,
pendiri Sekolah Islam Terpadu Nurul Fikri Depok dan juga Pendidiri Jaringan
Sekolah Islam Terpadu. 65
Sesunggunya banyak ajaran Islam yang baru dapat dipahami secara utuh
jika menggunakan tinjauan sosiologis. Itulah mengapa untuk membumikan tujuan
pendidikan Islam harus disertakan aspek-aspek sosiologis karena Islam memiliki
perhatian dan keselarasan dengan kehidupan manusia. Lihat Abuddin Nata,
Metodologi Studi Islam, 39.
26
antar sesama, dan lain-lain.66
Kondisi ini pada puncaknya akan menyebabkan
pudarnya tenggang rasa, hormat menghormati, teposalira, serta semakin
memudarnya rasa toleransi yang pada akhirnya akan menghancurkan
eksistensi suatu bangsa.
Peran SIT dalam membumikan shumu<liyyah Islam sebagaimana
tergambar dalam konsep keterpaduannya yang menerapkan pendekatan
penyelenggaraan pendidikannya dengan memadukan pendidikan umum dan
pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum sehingga dengan
pendekatan ini semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah tidak
terlepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam sebagaimana dikatakan
Natsir pendidikan Islam integral yang mengajarkan pendidikan agama dan
pendidikan umum secara integral mampu membangkitkan umat Islam dari
keterpurukan,67
karena semakin seseorang memahami nilai-nilai ajaran Islam
secara utuh maka akan semakin muncul kesadarannya untuk melakukan
kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi lingkungannya.
Makna keterpaduan lainnya dalam konsep SIT adalah dalam metode
pembelajaran yang mengoptimalkan ranah kognitif, afektif, dan
konatif/psikomotor sehingga dengan memadukan ketiga ranah ini dalam
proses pembelajaran peserta didik diajarkan untuk berpikir integral dalam
memahami suatu konsep. Keterpaduan dalam konsep SIT juga mengandung
makna memadukan antara pendidikan aqliyah, ruhiyah, dan jasadiyah
sehingga peserta peserta didik menjadi anak yang berkembang kemampuan
aqal dan intelektualnya, meningkat kualitas keimanan dan ketakwaannya
kepada Allah Swt, memiliki akhlak yang mulia, sehat dan bugar jasmaninya,
serta memiliki ketrampilan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam
hal pemberdayaan lingkungan keterpaduan dalam konsep SIT berarti
memadukan keterlibatan dan partisipasi aktif lingkungan belajar yang
meliputi sekolah, rumah, dan masyarakat. Sinkronisasi antara peran guru,
orang tua, dan masyarakat dalam proses pengelolaan sekolah dan
pembelajaran sehingga terjadi sinergi yang konstruktif dalam membangun
kompetensi dan karakter siswa.
Konsep keterpaduan yang merupakan kekhasan SIT yang di dalamnya
mengandung penekanan pada pendidikan karakter atau akhlak sebagaimana
paparan di atas merupakan sebuah peluang bagi SIT untuk memberikan
pendidikan nasionalisme karena dalam perspektif Islam pembentukan karakter
bangsa merupakan pembentukan karakter ummat dalam rangka terbentuknya
muslim ideal (insan kamil) yaitu seorang pribadi muslim yang memiliki
66
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk
Membangun Bangsa (Jakarta: BP Migas dan Star Energy, 2004), 8. 67
Thohir Luth, Mohammad Natsir Dakwah dan Pemikirannya (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), 12. Lihat juga “Sekolah Islam Terpadu Konsep dan
Aplikasinya” (Jakarta: Jaringan Sekolah Islam Terpadu, 2006), 57-58.
27
kesadaran ideal (kesadaran keislaman), kesadaran tempat (kesadaran
keindonesiaan), dan kesadaran waktu (kesadaran kemoderenan). Dengan tiga
kesadaran ini, seorang muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan, dan
kejayaan. Inilah puncak karakter dari seorang muslim yang merupakan
indikator dari ketakwaannya kepada Tuhan. Hal inilah yang seharusnya
ditekankan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Penataan kembali pendidikan nasional yang menyeimbangkan antara
sisi intelektual (sisi kognitif/akademis), sisi emosional (sisi karakter) dan sisi
spiritual (niai-nilai agama) merupakan sebuah kebutuhan dalam rangka
mengembangkan jiwa cinta damai dan kemerdekaan, serta menjunjung tinggi
ideologi negara dan pemerintahan yang dibingkai dengan keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan substansi dasar dari nasionalisme.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, korelasi antara pendidikan dan
nasionalisme ini diperkuat dengan tinjauan dari aspek teoritis maupun empiris
di mana keduanya memperlihatkan bahwa sasaran akhir dari pendidikan Islam
adalah adalah melahirkan manusia Indonesia seutuhnya atau insan kamil yang
dapat menjadi khalifah-khalifah yang bertugas sebagai pemelihara dan
pemakmur bumi.
Dalam prakteknya korelasi antara nasionalisme dan pendidikan Islam
masih mengalami kendala-kendala yang menghambat karena adanya
diskursus antara Islam di satu sisi dan nasionalisme di sisi lain yang
disebabkan oleh beberapa hal yaitu; nasionalisme dan Islam memiliki
hubungan yang diametral karena nasionalisme mengabaikan unsur-unsur
agama, nasionalisme mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan geografis, ras
dan bahasa sedangkan Islam memandang bahwa seluruh pelosok dunia adalah
wilayah kedaulatan Allah sehingga bagi seorang muslim seluruh pelosok
dunia adalah kedaulatannya. Perbedaan dalam aspek ini yang pada akhirnya
memunculkan perbedaan cara pandang dalam memahami nasionalisme dan
aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Implikasinya
kemudian lahirlah dua kubu dalam masyarakat muslim yang masing-masing
memiliki pemahaman tersendiri tentang nasionalisme; kubu yang menolak
mentah-mentah paham nasionalisme karena nasionalisme dianggap lahir dari
Barat dan mengandung benih-benih materialisme yang ateis serta penuh
semangat kolonialisme. Kubu yang kedua adalah kubu yang menerima paham
nasionalisme namun tetap berpegang pada kaidah-kaidah Islam yang
tercantum dalam Alquran.
Meski pada akhirnya tokoh-tokoh Islam memandang dan membangun
nasionalisme secara normatif dimana nasionalisme diartikan sebagai cinta
tanah air, membebaskan negara dari imperialisme, merapatkan barisan dan
merekatkan tali persaudaraan adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam,
namun tak dapat dielakkan dua kubu pemahaman yang sudah mengkristal
28
tersebut pada akhirnya mewarnai pendidikan nasionalisme yang diberikan di
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah dan lembaga
pendidikan Islam lainnya seperti sekolah Islam terpadu (SIT). Pesantren dan
madrasah yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
terbukti dalam sejarah memiliki peran besar dalam penanaman nasionalisme
kepada peserta didiknya melalui; pembentukan al-akhla<q al-kari<mah peserta
didik, pemberian pemahaman untuk menghilangkan paham fanatisme suku,
perjuangan nyata dalam mengusir penjajah dan turut berperan aktif dalam
proses berdirinya NKRI melalui perjuangan fisik saat itu. Peran lembaga
pendidikan Islam semisal pesantren dan madrasah dalam penanaman
nasionalisme saat itu menegaskan bahwa pendidikan Islam memberikan
penekanan tidak hanya pada aspek spiritual namun juga sosial-emosional dan
intelektual.
Dalam era kemerdekaan dan globalisasi seperti sekarang ini, peran
sekolah dalam menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara dapat dilihat
dari komponen penting yang ada dalam sebuah sekolah dalam memberikan
pendidikan yang bermuatan nasionalisme seperti kurikulum, proses
pembelajaran dan keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan (tendik). Dua
komponen mempunya peranan strategis dalam membentuk karakter anak
didik sebagaimana tercantum dalam UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, PP No 55 tahun 2007 dan ketentuan pasal 1 UU No
14/2005 tentang Undang-Undang Guru dan Dosen.
Penelitian dalam disertasi ini menjadikan SIT subyek penelitian untuk
melihat pendidikan nasionalisme dalam penyelenggaraan pendidikan dalam
lembaga pendidikan yang mengusung konsep keterpaduan seperti yang
dilakukan oleh SIT yang merumuskan beberapa konsep dan strategi dalam
kurikulum dan proses pembelajaran berupa; integrasi nilai-nilai Islam dengan
kurikulum nasional yang digunakannya, merumuskan kurikulum penunjang
yang mengacu pada kekhasannya seperti kurikulum tah{si<n dan tah{fi<z{ al-
qur’a<n, kurikulum Pendidikan Agama Islam, kurikulum Bahasa Arab dan
kurikulum Pramuka SIT, metode pembelajaran yang mengoptimalkan ranah
kognitif, afektif, dan konatif/psikomotor sehingga dengan memadukan ketiga
ranah ini dalam proses pembelajaran peserta didik diajarkan untuk berpikir
integral dalam memahami suatu konsep, memadukan keterlibatan dan
partisipasi aktif lingkungan belajar yang meliputi sekolah, rumah, dan
masyarakat, serta penekanan pada pendidikan karakter atau akhlak dalam
setiap kegiatannya.
Berdasarkan identifikasi-identifikasi di atas, penelitian dalam disertasi
ini melakukan analisis terhadap komponen kurikulum, proses pembelajaran
dan kurikulum agama yang terdapat dalam Sekolah Islam Terpadu. Hal ini
penting untuk dikaji dan dianalisis karena dari sini akan terlihat mengenai
tujuan, isi, bahan pengajaran, serta proses pembelajaran yang memuat nilai-
nilai nasionalisme yang dilaksanakan.
29
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah; Bagaimana Proses Penanaman Nilai-nilai Nasionalisme
yang Dilakukan Pada Sekolah Islam Terpadu? yang selanjutnya penulis
rumuskan dalam sub pertanyaan berikut:
1. Bagaimana nasionalisme dalam perspektif SIT?
2. Bagaimana konstruksi kurikulum SIT dalam memuat pendidikan
nasionalisme?
3. Bagaimana penanaman nasionalisme dalam kurikulum Pendidikan Agama
Islam SIT? 4. Bagaimana penanaman nasionalisme dalam proses pembelajaran di SIT?
Penelitian ini bertujuan untuk melihat, memaparkan dan menganalisis
bagaimana SIT memberikan pendidikan agama yang dapat menumbukan
semangat nasionalisme pada komponen-komponen kurikulum dan proses
pembelajaran di lembaga pendidikannya. Permasalahan tersebut perlu
dipaparkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam penelitian ini.
3. Pembatasan Masalah
Sebagai sebuah sistem, lembaga pendidikan Islam memiliki beberapa
komponen yang kesemuanya saling berkaitan dan saling memberikan
pengaruh bagi keberhasilan sebuah pendidikan. Dalam penulisan disertasi ini
penulis membatasi hanya pada empat komponen pendidikan yang ada dalam
SIT untuk melihat bagaimana SIT memberikan pendidikan nasionalisme,
yaitu:
1. Nasionalisme dalam perspektif pendidik dan tenaga kependidikan di SIT.
2. Nasionalisme dalam kurikulum utama dan kurikulum pendukung di SIT.
3. Nasionalisme dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam SIT.
4. Penanaman nilai-nilai nasionalisme pada proses pembelajaran di SIT.
Pembatasan masalah di atas bukan menafikan unsur-unsur lain yang
ada dalam lembaga pendidikan Islam di SIT. Pembatasan pada empat aspek di
atas bertujuan untuk lebih membuat analisa yang tajam dan terinci mengenai
pemberian pendidikan nasionalisme di SIT.
C. Tujuan dan Urgensi Penelitian
Berdasarkan judul penelitian, latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Memberikan gambaran ragam pemahaman mengenai nasionalisme di
lembaga pendidikan Islam Terpadu.
2. Memaparkan integrasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum nasional yang
dikonstruksi sesuai kekhasan SIT yang dapat menumbuhkan jiwa
nasionalisme kepada peserta didik.
30
3. Memaparkan desain kurikulum Pendidikan Agama Islam SIT yang
memuat unsur-unsur nasionalisme.
4. Memaparkan model dan strategi pembelajaran SIT dalam memberikan
pendidikan nasionalisme.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat Antara lain:
1. Memberikan kontribusi kepada sekolah-sekolah Islam bagaimana
menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme dalam diri siswa-
siswanya dalam bingkai keimanan kepada Allah Swt.
2. Sebagai acuan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam merumuskan konsep pembelajaran karakter yang dapat
menguatkan nilai-nilai nasionalisme di sekolah-sekolah.
3. Memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk gambaran bahwa
konsep keterpaduan dalam pendidikan dapat menguatkan pendidikan
nasionalisme kepada peserta didik.
4. Sebagai bahan masukan kepada sekolah Islam terpadu yang dikelola oleh
organisasi apapun, bahwa pendidikan Islam dalam konteks Indonesia
selalu bersinergi dengan nilai-nilai Islam.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Berdasarkan penelusuran studi pustaka dan penelitian terdahulu
tentang pendidikan agama dan nasionalisme baik dalam bentuk buku,
ensiklopedi, jurnal dan disertasi, sudah banyak ditemukan pembahasan secara
lengkap dan spesifik tentang peran pendidikan agama dalam penanaman
nasionalisme di lembaga pendidikan Islam. Beberapa kajian terdahulu dalam
bentuk buku yang relevan dengan penulisan disertasi ini antara lain adalah:
Pertama, Abuddin Nata, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
seluruh komponen pendidikannya seperti visi, misi, tujuan, kurikulum, proses
belajar mengajar dan lainnya didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam
sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Sunah yang menawarkan hubungan
yang erat, harmonis dan seimbang dengan Tuhan, manusia dan alam.
Pendidikan Islam juga adalah pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai
demokratis, egaliter, keadilan, humanisme dan sesuai dengan fitrah manusia.68
Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama pada
dasarnya berkorelasi dengan nilai-nilai nasionalisme.
Kedua, Azyumardi Azra, dalam perspektif Islam pendidikan
merupakan salah satu aspek saja dari keseluruhan ajaran Islam. Karenanya
tujuan pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari tujuan hidup manusia
dalam Islam yaitu menjadi pribadi yang bertakwa kepada-Nya dan dalam
68
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner.
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.
31
konteks sosial masyarakat, bangsa dan negara, pribadi yang bertakwa ini
digambarkan Azra sebagai pribadi yang rah{matan li< al-‘a<lami<n,69
pribadi yang
memiliki akhlak mulia dan dapat membawa kemaslahatan bagi diri dan
lingkungannya. Karenanya pribadi yang rah{matan li< al-‘a<lami<n adalah pribadi
pribadi muslim yang religius sekaligus juga nasionalis.
Ketiga, A. Malik Fadjar, Pendidikan Islam dimana pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan cita-cita untuk
mengejawantahkan nilai-nilai agama Islam yang tujuannya adalah
menciptakan muslim paripurna atau insan kamil, seorang muslim yang dapat
mengaktualisasikan esensi ajaran-ajaran Islam yang rah{matan li< al-‘a<lami<n.70
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan Islam itu peran guru agama
yang profesional dan memiliki kekuatan moral disertai metodologi pengajaran
yang menekankan pada penilaian perilaku dan kesalehan pribadi dan sosial
dalam keseharian akan mendukung penanaman nilai-nilai nasionalisme.
Keempat, Dede Rosyada, melalui pengembangan kurikulum, baik
written curriculum maupun hidden curriculum serta proses pembelajaran yang
demokratis dan memberdayakan potensi siswa dapat mendukung penanaman
nilai-nilai nasionalisme dan implementasinya dalam keseharian peserta
didik.71
Karenanya penanaman nilai-nilai nasionalisme dalam lembaga
pendidikan akan efektif jika diberikan secara komperehensif melalui
komponen kurikulum dan proses pembelajaran.
Kelima, hasil penelitian LIPI tahun 2009, menurut hasil penelitian ini,
sebagian besar pelaku tindak kekerasan yang mengatas namakan agama
(Islam), adalah mereka yang mengenyam pendidikan umum Barat bukan
pendidikan agama.72
Oleh karena itu berdasarkan penelitian ini dapat
disimpulkan bawa tindakan radikalisme bukan disebabkan oleh teks ajaran
agama atau kurikulum pendidikan agama, melainkan lebih karena dipicu oleh
kondisi sosial politik yang melatar belakanginya ditambah lagi dengan
pemahaman agama yang eksklusif dan parsial.
Adapun tulisan lain yang relevan dengan penelitian ini karena memuat
kajian tentang relasi Islam dan nasionalisme adalah;
Pertama, Azyumardi Azra, menurut Azra pada dasarnya keislaman
dan keindonesiaan telah terintegrasi dan melembaga pada berbagai level baik
secara individual, sosial, maupun organisasional. Hal ini dikarenakan Islam
69
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III. 70
A. Malik Fajar, dkk, Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Aditya Media, 2004). A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam
(Jakarta: LP3NI, 1998). 71
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis. 72
Lihat Tim Peneliti Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Badan Intelijen
Negara, Deradikalisasi,(Jakarta:BIN RI,2009),48
32
tidak memiliki masalah yang signifikan dengan nasionalisme sehingga
keislaman dan kebangsaan bukanlah sesuatu yang bertentangan. Integrasi
antara keislaman dan kebangsaan dalam konteks Indonesia menurut Azra
antara lain terlihat dalam hal pribumisasi Islam melalui akulturasi dengan
budaya lokal.73
Akulturasi ini dimungkinkan mengingat karakteristik ajaran
Islam yang global dapat dikorelasikan dengan dengan budaya yang ada di
masyarakat selama tidak mengorbankan nilai-nilai aqidah yang sudah qat{’i<. Kedua, Ahmad Syafii Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan, menurut Maarif, meski secara semantik istilah
nasionalisme tidak ditemukan dalam khasanah Islam, namun secara realitas
empirik nasionalisme Islam terlihat dari bagaimana seorang muslim
melakukan kerja-kerja nyata untuk kemakmuran dan kedamaian negerinya.
Hal ini karena secara implisit pesan normatif yang ada dalam ajaran Islam dan
tercantum dalam Alquran mendorong setiap pemeluknya untuk berbuat baik
dan berbakti kepada alam semesta baik berupa alam di mana ia tinggal (tanah
airnya), maupun alam di luar tanah airnya sebagai bukti universalitas Islam
(rah{matan li< al-‘alami<n). Karenanya dalam konteks Indonesia, nasionalisme
adalah bagaimana bekerja dan berkarya dalam rangka memberi solusi dalam
permasalahan-permasalahan bangsa.74
Ketiga, Komarudin Hidayat, Menjadi Indonesia. Relasi Islam dan
nasionalisme dalam sejarah Indonesia terlihat dari perjuangan umat Islam
Indonesia yang konsisten menentang kolonialisme Barat hingga mencapai
puncaknya dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945. Ini menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dan
kontradiktif dengan nasionalisme. Justru melalui Islamlah nasioalisme
Indonesia tumbuh subur. Bahkan, ketika berbagai organisasi kebangsaan
bermuculan mengusung ide kebangsaan, namun membatasi diri pada suku
bangsa masing-masing, pergerakan Islamlah yang mula-mula menanamkan
bibit persatuan Indonesia.75
Keempat, Achmad Mubarok, Nasional Religius Jati Diri Bangsa
Indonesia. Relasi nasionalisme dan Islam dirumuskan Mubarok dengan
“nasionalis religious”, yaitu mereka yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan dalam segala sendi kehidupan termasuk dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan jati diri nasionalis religius ini
73
Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim Dari Australia
Hingga Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), 143. Lihat juga Azyumardi
Azra, Nasionalisme, Etnisitas, dan Agma di Indonesia: Perspektif Islam dan
Ketahanan Budaya, 107. 74
Ahmad Syafii Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Jakarta: Mizan Pustaka, 2015), 20. 75
Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus, Menjadi Indonesia (Jakarta: Mizan,
2006).
33
tercermin dari saling menghormati dan memberi manfaat dalam perbedaan,
menghormati hak asasi dalam beragama, mengembangkan musyawarah
dengan menghormati hak mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas.
Dengan kata lain, nasionalis religius meliputi semua aspek kehidupan seorang
muslim dalam berinteraksi dengan masyarakat.76
Sedangkan beberapa kajian terdahulu yang relevan dan berupa
disertasi adalah:
Pertama, Ali Maschan Moesa, Agama (Islam) tidak bertentangan
dengan naionalisme, justru agama bisa menjadi perekat antar bangsa. Oleh
karena itu Islam dan nasionalisme saling bersinergi dalam mewujudkan
keutuhan dan karakter suatu bangsa. Menurut Moesa, relasi antara Islam dan
nasionalisme sangat memungkinkan mengingat ajaran Islam yang integral dan
komprehensif bisa menjadi perekat hubungan antar bangsa baik secara
internal maupun eksternal. Penelitian Moesa terhadap nasionalisme kyai
memperlihatkan bagaimana seorang kyai mengkonstruksi pemahaman
nasionalisme Islamnya dalam bentuk kerja-kerja nyata dalam membangun
bangsa.77
Kedua, Gani Jumat, menyatakan bahwa sejak zaman pra kemerdekaan
para ulama telah berperan dalam meletakkan fondasi atau wawasan
kebangsaan. Fondasi dari wawasan kebangsaan para ulama ini didasarkan
pada dua aspek, yaitu aspek normatif yang diambil dari hadits Nabi Saw
bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hub al-wat{an min al-ima<n),
sedangkan landasan normatif lainnya diambil dari Al-quran surah al-Hujurat
ayat 13, di mana dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kehidupan
berbangsa dan bersuku-suku adalah sebuah keniscayaan. Berdasarkan kedua
landasan normatif inilah maka para ulama merumuskan trilogi ukhuwah;
ukhuwwah isla<miyyah (saudara seiman), ukhuwwah insa<niyyah (saudara
sesama manusia) dan ukhuwwah wat{aniyyah (saudara sebangsa). Sedangkan
aspek historis dari fondasi kebangsaan para ulama adalah berdasarkan pada
Piagam Madinah (Mi<tha<q al-Madi<nah). Karenanya Piagam Madinah
merupakan prototype nasionalisme dalam konteks Islam karena mengandung
prinsip-prinsip dasar hidup bermasyarakat dan bernegara yang sangat
modern.78
Berbeda dengan kajian dan penelitian-penelitian sebelumnya yang
melihat relasi antara agama dan nasionalisme, penelitian dalam disertasi ini
melihat bagaimana relasi antara pendidikan agama dan nasionalisme dalam
76
Achmad Mubarok, Nasional Religius Jati Diri Bangsa Indonesia (Jakarta:
Mubarok Institut, 2010). 77
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis
Agama. 78
Gani Jumat, Nasionalisme Ulama, Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid
‘Idrus Bin Salim Aljufry 1391-1969, 49-50.
34
lembaga pendidikan Islam yang dikontekstualkan melalui komponen-
komponen pendidikan yang ada di sekolah. Adapun pandangan para peneliti
sebelumnya yang melihat relasi antara pendidikan agama dan nasionalisme,
penulis jadikan bahan acuan untuk menganalisis relasi Islam dan nasionalisme
serta bagaimana lembaga pendidikan Islam memberikan pendidikan
nasionalisme kepada peserta didiknya.
Selain kajian-kajian dan penelitian-penelitian yang telah tercantum di
atas, kajian-kajian dan penelitian-penelitian lain yang terkait dengan
penelitian dalam disertasi ini, baik berupa buku, jurnal dan sebagainya akan
menjadi rujukan pula dalam penelitian ini. Buku kekhasan Sekolah Islam
Terpadu yang menjadi rujukan utama dalam disertasi ini, akan menjadikan
penelitian dalam disertasi ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini ingin memperoleh informasi tentang peran pendidikan
agama dalam menanamkan nasionalisme pada lembaga pendidikan Islam.
Adapun lembaga pendidikan Islam yang dijadikan subyek penelitian adalah
Sekolah Islam Terpadu (SIT) di Jakarta dan berada di bawah naungan
Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia. Untuk mendapatkan
jawaban atas rumusan masalah penelitian dalam disertasi ini maka metodologi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian dalam disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, di mana
prosedur penelitiannya pada akhirnya akan menghasilkan data deskriptif,
yaitu berupa kata-kata tertulis dari orang atau perilaku yang diamati.
Penelitian dengan menggunakan metode ini percaya bahwa uraian yang kaya
mengenai dunia sosial sangat bernilai,79
serta mengandung unsur-unsur
pendukung yang kompleks. Metode penelitian kualitatif yang digunakan
dalam penulisan disertasi ini adalah studi kasus. Penggunaan pendekatan studi
kasus pada penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan:80
(1) Studi kasus
merupakan salah satu metode atau strategi penelitian kualitatif yang muncul
pada masa keemasan penelitian kualitatif yang bersifat spesifik, khusus, dan
berskala lokal. (2) studi kasus banyak digunakan dalam penelitian bidang
pendidikan, khususnya tentang effective schools, yang sekarang banyak
mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan, peneliti, dan praktisi
79
Yvonna S. Lincoln, Norman Denzin, Handbook of Qualitative Researc
(London: Sage Publication, 2001), 14. Lihat juga, Jhon W. Cresswel, Research
Design:Qualitative and Quantitative Approach (London: Sage Publication, 1994), 21 80
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), 118
35
pendidikan, yang peneliti menjadi salah satu unsur di dalamnya atau
setidaknya peneliti ikut terlibat secara mendalam. (3) Studi kasus juga berlaku
apabila, suatu pertanyaan ”bagaimana” (how) dan ”mengapa” (why) diajukan
mengenai seperangkat peristiwa masa kini, yang mustahil atau sukar dikontrol
oleh peneliti.
Untuk menemukan data yang valid dalam penelitian ini maka
pengambilan data dilakukan sealamiah mungkin (natural setting)81, hal ini
berarti pengambilan data dilakukan dalam situasi normal tidak dimanipulasi.
Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi partisipasi yang
melibatkan peneliti secara langsung dalam kegiatan pengamatan penelitian.
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pengambilan data mengenai masalah
penelitian yaitu bagaimana konstruksi nasionalisme yang dipahami oleh
lembaga SIT dan bagaimana pendidikan agama yang diberikan di SIT
mengajarkan nilai-nilai nasionalisme melalui kurikulum dan dalam proses
pembelajaran.
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam disertasi ini membahas bagaimana pendidikan
agama yang dilaksanakan di SIT dan korelasinya dalam menanamkan nilai-
nilai nasionalisme melalui konstruksi kurikulum dan proses pembelajaran.
3. Sumber Data
3.1. Data Primer (primary sources), adalah data yang diambil langsung dari
para informan di lapangan atau data yang didapat langsung dari tangan
pertama atau subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini data primer yang
digunakan adalah: Buku-buku yang diterbitkan oleh Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT), kurikulum kekhasan SIT, kurikulum Pendidikan
Agama SIT serta arsip-arsip sekolah yang dijadikan subyek penelitian.
Selain itu juga data primer didapat dari wawancara dengan pendiri dan
pengurus JSIT, Kepala Sekolah beserta wakil-wakilnya serta sebelas
guru dari SDIT Buahati dan SDIT Insan Mandiri. Selain itu penulis
juga melakukan observasi langsung untuk mendapatkan data yang
terkait dengan proses pembelajaran, kegiatan pembiasaan serta kegiatan
pembinaan.
3.2. Data Sekunder (secondary sources), adalah data yang didapat
melalui tangan kedua atau orang lain yang dapat memberikan informasi
tentang subyek yang akan diteliti, atau melalui tulisan yang
menggambarkan tentang subyek yang dimaksud. Dalam penelitian ini
81
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R dan D
(Bandung: Alfabeta, 2008) 8. Lihat juga, Agus Salim, Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 118
36
data sekunder diperlukan sebagai pelengkap atau pendukung data
primer seperti kurikulum nasional yang diterbitkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, tulisan-tulisan dari para tokoh dan pakar
pendidikan mengenai SIT dan juga wawancara dengan orang tua siswa.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik/metode pengumpulan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
4.1. Observasi Peneliti menggunakan metode observasi langsung untuk mengetahui
bagaimana proses pembelajaran yang memuat penanaman nilai-nilai
nasionalisme serta bagaimana SIT menciptakan atmosfer akademik yang
mendukung penanaman nilai-nilai nasionalisme. Oleh karenanya peneliti
terjun langsung ke sekolah-sekolah Islam terpadu yang berada di bawah
naungan Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT) yang berada di wilayah
Jakarta. Dengan menggunakan instrumen pengamatan disertai dengan
pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran, penulis
memfokuskan observasi penelitian ini pada: (a) pelaksanaan pendidikan
nasionalisme melalui proses pembelajaran; (b) faktor pendukung lainnya
dalam penanaman nasionalisme kepada peserta didik.
4.2. Wawancara Wawancara dilakukan guna memperoleh informasi tentang konstruksi
pemahaman nasionalisme lembaga pendidikan SIT beserta pendidik dan
tenaga kependidikan yang ada di dalamnya. Wawancara penulis lakukan
terhadap beberapa guru sebagai sampel dan kepala sekolah yang merupakan
informan utama yang ada di sekolah melalui teknik wawancara terbuka dan
dalam suasana yang sealamiah mungkin. Penulis juga mewawancarai satu
orang key informan atau informan utama yang merupakan salah satu
penggagas berdirinya SIT dan Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT)
Indonesia yang kini anggotanya sudah menyebar hampir di seluruh Indonesia.
4.3. Studi Dokumentasi
Dalam penelitian ini studi dokumentasi bertujuan untuk mencari,
mengumpulkan, dan melengkapi data yang terkait dengan masalah penelitian
yaitu bagaimana SIT memasukkan nasionalisme dalam pendidikan dokumen
kurikulumnya. Adapun dokumen dan arsip-arsip sekolah yang diteliti berupa
dokumen kurikulum dan perangkatnya yang digunakan di sekolah. Untuk
melengkapi data ini penulis juga melihat dokumen tertulis berupa profil
sekolah, foto-foto kegiatan peserta didik di sekolah, serta laporan-laporan
kegiatan sekolah.
37
5. Teknik Analisa Data
Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan teknik analisa data
dengan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi
yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.82
Teknik triangulasi yang digunakan meliputi: (a) triangulasi sumber;83
(b)
triangulasi pengumpulan data;84
(c) triangulasi waktu atau suasana.85
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian adalah melalui
tahapan sebagai berikut:86
5.1. Pengumpulan data; pengumpulan data dilakukan setelah penulis
menetapkan batasan penelitian. Selanjutnya penulis mengumpulkan data-data
yang terkait penelitian ini yang dimulai dari pengumpulan dokumen-dokumen
dan bahan-bahan visual lainnya, melakukan wawancara dengan pihak-pihak
yang berkompeten, serta melakukan pengamatan (observasi) yang bertujuan
untuk mencocokkan data yang didapat dari kajian dokumen dan wawancara.87
5.2. Reduksi data; reduksi data dibutuhkan mengingat data yang
didapat melalui penelitian kualitatif sangat banyak. Untuk itu peneliti perlu
menyortir data/informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian.88
Data yang
penulis ambil dibatasi hanya pada data yang berkenaan dengan pendidikan
nasionalisme yang dilaksanakan di SIT.
82
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), 330 83
Triangulasi sumber dilakukan untuk mengecek kredibilitas data yang
didapat dari beberapa sumber. Data-data yang didapat dari berbagai sumber tersebut
kemudian dideskripsikan menurut temuan, mana data yang sama dan mana yang
berbeda. 84
Triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan peneliti dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama, namun dengan teknik yang berbeda.
Sebagai contoh jika peneliti mengambil data dengan teknik observasi untuk melihat
bagaimana pendidikan nasionalisme di SIT melalui proses pembelajaran, maka data-
data yang didapat melalui teknik observasi ini akan dicek lagi dengan memakai teknik
wawancara dan dokumentasi. 85
Triangulasi waktu peneliti lakukan dengan cara melakukan pengecekan
informasi melalui observasi dalam waktu yang berbeda. Hal ini dilakukan secara
berulang-ulang sampai ditemukan kepastian datanya. 86
Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama
(Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijajaga, 2012), 130 87
Jhon W. Creswell, Research Design, Qualitative dan Quantitative
Approaches (Jakarta: KIK Press, 2003), 143 88
Jhon W. Creswell, Research Design, Qualitative dan Quantitative
Approaches, 147
38
5.3. Setelah data direduksi dan didapatkan data yang akurat terkait
masalah penelitian, penulis melakukan kajian terhadap dokumen dan data-
data yang sudah didapatkan.
5.4. Penyajian data; Penyajian data dilakukan setelah penulis selesai
melakukan kajian dokumen atau data. Penyajian data ini dilakukan dalam
bentuk cerita atau gambar dan juga naskah kualitatif, baik deskriptif atau
naratif.89
Naskah naratif merupakan bentuk tampilan/penyajian data yang
sering muncul dalam penelitian kualitatif.90
5.5. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi. Penarikan kesimpulan
dilakukan peneliti setelah data disajikan. Penarikan kesimpulan ini berupa
hasil penelitian berdasarkan data-data yang didapat peneliti terkait dengan
pertanyaan penelitiannya.
6. Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah:
a) Melakukan wawancara, observasi, dan pengumpulan dokumen untuk
mendapatkan data yang diperlukan.
b) Menginterpretasi data-data yang telah terkumpul sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
c) Pengolahan data dan menganalisisnya.
d) Menyusun dan menyajikan data sebagai hasil dari penelitian secara
deskriptif.
e) Memverifikasi dan menarik kesimpulan untuk mendapatkan kesimpulan
yang komprehensif dan integral sebagai hasil dari penelitian.
7. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dasar Islam terpadu (SDIT)
yang berada di DKI Jakarta yang berada di bawah naungan Jaringan Sekolah
Islam Terpadu (JSIT). Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan dengan
beberapa pertimbangan, yaitu; (a) Belum ada penelitian sebelumnya terkait
tentang penanaman nasionalisme di SIT, (b) SIT yang berada di bawah
naungan JSIT Indonesia memiliki beberapa kekhasan terutama dalam
memberikan pendidikan agama yang terintegrasi di semua mata pelajaran dan
kegiatan di mana hal ini terlihat dari pengintegrasian antara kurikulum umum
dengan nilai-nilai Islam, (c) kedekatan peneliti dengan subyek penelitian
sehingga penulis memiliki referensi yang cukup.
Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai
dengan Februari 2016 dengan tahapan dalam penelitian sebagai berikut:
89
Jhon W. Creswell, Research Design, Qualitative dan Quantitative
Approaches, 147 90
M.B. Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis: a Sourcebook of New
Method (Beverly Hills, CA: Sage, 1984), 45
39
1. Pembangunan rapport antara peneliti dengan subyek penelitian baik
secara informal dan formal pada bulan Juli 2015.
2. Penyusunan proposal penelitian dimulai pada bulan Juli-September 2015.
3. Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada bulan Oktober sampai
dengan Januari 2016.
4. Analisis data dan penyusunan laporan penelitian dilakukan pada bulan
Februari 2016.
8. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Sekolah Islam Terpadu yang
berada di bawah Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT) Indonesia, yang
meliputi para pendirinya, kepala sekolah beserta wakil-wakilnya, guru atau
pendidik dan kependidikan yang ada di Sekolah Islam Terpadu yang menjadi
anggota JSIT, kurikulum Sekolah. Pemilihan subjek ini didasarkan dengan
kesesuaian antara data yang diperlukan dalam penelitian ini terkait dengan
bagaimana pendidikan agama diberikan di SIT sehingga dapat menumbuhkan
jiwa nasionalisme.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan bentuk karya tulis yang sistematis, jelas dan
terarah, penulis membagi disertasi ini menjadi lima bab di mana masing-
masing bab merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan.
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari latar
belakang masalah yang menguraikan tentang perdebatan antara hubungan
nasionalisme dan pendidikan serta bagaimana pendidikan agama memberikan
atau menanamkan jiwa nasionalisme. Bab ini juga terdiri dari beberapa sub
bab yaitu permasalahan yang terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan
masalah, dan perumusan masalah. Selanjutnya adalah sub bab tujuan dan
urgensi penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, serta
metode penelitian.
Bab kedua, merupakan kajian teori yang membahas tentang teori-teori
dan perdebatan akademik tentang Islam dan nasionalisme. Karenanya
pembahasan dalam bab ini meliputi nasionalisme dalam perspektif umum,
Nasionalisme Indonesia, nilai-nilai nasionalisme dalam pendidikan agama,
nasionalisme Islam yang dipraktekkan di Indonesia serta nasionalisme dalam
lembaga pendidikan Islam yang meliputi pembahasan tentang kurikulum,
proses pembelajaran, serta peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam
menanamkan nasionalisme di lembaga pendidikan Islam.
Bab ketiga, merupakan pokok pembahasan tentang profil lembaga
pendidikan Islam yang mengusung konsep sekolah Islam terpadu (SIT).
Sesuai dengan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka komponen yang
akan dibahas dalam bab ini adalah sejarah pendirian, filosofi dan prinsip-
prinsip penyelenggaraan SIT, kurikulum yang digunakan, metode dan strategi
40
pembelajaran, serta peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam
memberikan pendidikan nasionalisme kepada peserta didiknya.
Bab keempat, berisi analisa hasil penelitian mengenai hubungan
antara pendidikan agama dan nasionalisme pada SIT berdasarkan komponen
yang telah diuraikan pada bab tiga.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dari
hasil penelitian dan saran-saran penulis terkait dengan pendidikan
nasionalisme di Sekolah Islam pada umumnya dan sekolah Islam terpadu
khususnya.