pendahuluan latar belakang - repository.ipb.ac.id i... · menjamin tumbuh kembang anak secara...

15
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Anak merupakan investasi suatu bangsa dan negara yang sangat penting. Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal menjadi tugas utama orang tua dan harus dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sebelum menikah. Sunarti (2004) menyatakan bahwa kualitas anak adalah cermin kualitas bangsa dan cermin peradaban dunia. Indikator kesejahteraan suatu masyarakat atau suatu bangsa salah satunya bisa dilihat dari kualitas hidup anak. Hal senada juga disampaikan oleh Yudesti dan Prayitno (2013) yang menyatakan bahwa anak merupakan salah satu aset sumberdaya manusia di masa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan salah satu upaya yang penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Masa-masa yang rentan dari kehidupan seseorang berada pada lima tahun pertama dalam kehidupannya yang merupakan pondasi bagi perkembangan selanjutnya. Anwar (2002) menyatakan apabila pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa dewasa akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Usia dini merupakan masa terjadinya kematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi (rangsangan) yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan potensi fisik (motorik), intelektual, emosional, sosial, bahasa, seni dan moral spiritual (Widhianawati 2011). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya adalah kesiapan menikah kedua orang tua dan faktor karakteristik keluarga. Dampak dari tidak siapnya pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan tidak hanya berdampak pada stabilitas perkawinan namun juga berpengaruh besar terhadap kualitas anak. Kenyataannya, banyak diantara pasangan yang hendak menikah lebih memfokuskan diri dalam persiapan hari pernikahan dibandingkan mempersiapkan diri menjadi orang tua. Ghalili et al. (2012) menunjukkan bahwa hanya sedikit dari remaja yang telah mendapat informasi yang cukup mengenai pernikahan dari keluarga maupun lingkungan mereka. Selain itu, tidak sedikit diantara laki-laki maupun wanita yang kurang menyadari perlunya persiapan yang matang sebelum menuju sebuah perkawinan (Maryati et al. 2007). Persiapan sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan keluarga. Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan (Blood et al. 1978). Penting bagi setiap orang tua untuk dapat memberikan contoh-contoh positif agar anak dapat meniru kebiasaan baik tersebut, sehingga hal ini penting bagi anak dalam rangka pembentukan kepribadian yang baik ke depannya (KPP dan PA 2012). Sebelum menikah, calon pasangan harus memenuhi minimal tiga syarat yaitu mampu memperoleh sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga (Burgess dan Locke 1960). Kesiapan menikah dianggap penting karena kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih lajang. Sekitar 2-3 tahun di awal pernikahan, beberapa perubahan akan terjadi sehingga

Upload: doanh

Post on 07-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak merupakan investasi suatu bangsa dan negara yang sangat penting.

Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal menjadi tugas utama orang tua

dan harus dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sebelum menikah. Sunarti

(2004) menyatakan bahwa kualitas anak adalah cermin kualitas bangsa dan cermin

peradaban dunia. Indikator kesejahteraan suatu masyarakat atau suatu bangsa

salah satunya bisa dilihat dari kualitas hidup anak. Hal senada juga disampaikan

oleh Yudesti dan Prayitno (2013) yang menyatakan bahwa anak merupakan salah

satu aset sumberdaya manusia di masa depan yang perlu mendapat perhatian

khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan salah

satu upaya yang penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa.

Masa-masa yang rentan dari kehidupan seseorang berada pada lima tahun

pertama dalam kehidupannya yang merupakan pondasi bagi perkembangan

selanjutnya. Anwar (2002) menyatakan apabila pada masa tersebut pertumbuhan

dan perkembangan seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa

dewasa akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Usia dini merupakan

masa terjadinya kematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon

stimulasi (rangsangan) yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa

untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan potensi fisik (motorik),

intelektual, emosional, sosial, bahasa, seni dan moral spiritual (Widhianawati

2011).

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya

adalah kesiapan menikah kedua orang tua dan faktor karakteristik keluarga.

Dampak dari tidak siapnya pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan tidak

hanya berdampak pada stabilitas perkawinan namun juga berpengaruh besar

terhadap kualitas anak. Kenyataannya, banyak diantara pasangan yang hendak

menikah lebih memfokuskan diri dalam persiapan hari pernikahan dibandingkan

mempersiapkan diri menjadi orang tua. Ghalili et al. (2012) menunjukkan bahwa

hanya sedikit dari remaja yang telah mendapat informasi yang cukup mengenai

pernikahan dari keluarga maupun lingkungan mereka. Selain itu, tidak sedikit

diantara laki-laki maupun wanita yang kurang menyadari perlunya persiapan yang

matang sebelum menuju sebuah perkawinan (Maryati et al. 2007).

Persiapan sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk

mencapai kesuksesan keluarga. Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah

kesiapan (Blood et al. 1978). Penting bagi setiap orang tua untuk dapat

memberikan contoh-contoh positif agar anak dapat meniru kebiasaan baik tersebut,

sehingga hal ini penting bagi anak dalam rangka pembentukan kepribadian yang

baik ke depannya (KPP dan PA 2012). Sebelum menikah, calon pasangan harus

memenuhi minimal tiga syarat yaitu mampu memperoleh sumber daya ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas

sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem

dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas

keluarga (Burgess dan Locke 1960). Kesiapan menikah dianggap penting karena

kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih lajang.

Sekitar 2-3 tahun di awal pernikahan, beberapa perubahan akan terjadi sehingga

2

pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri satu sama lain (Williams et al.

2006).

Keutuhan perkawinan harus selalu dijaga, pasangan calon suami istri harus

mempunyai bekal yang cukup agar siap dan mampu menghadapi segala

kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga (Arjoso 1996), salah

satunya adalah faktor usia. Keadaan perkawinan antara seseorang yang menikah

dengan usia yang belum matang dengan seseorang yang usia sudah matang, akan

menghasilkan kondisi rumah tangga yang berbeda. Emosi, pikiran dan perasaan

seseorang di bawah usia masih labil, sehingga tidak bisa mensikapi permasalahan-

permasalahan yang muncul dalam rumah tangga dengan dewasa, melainkan

dengan sikap yang lebih menonjolkan arogansi yaitu sifat yang mementingkan

egonya masing-masing (Munir 2003). Dampak dari menikah dini lainnya adalah

abortus, perceraian, tidak ada kesiapan untuk berkeluarga, tingginya angka

kematian bayi dan ibu melahirkan (Maryanti dan Septikasari 2009).

Perkawinan usia dini berdampak pada perkawinan itu sendiri dimana

tingkat kemandirian dari pasangan tersebut masih rendah, masih rawan dan masih

belum stabil sehingga dapat menyebabkan banyak terjadi perceraian. Oleh karena

itu, dari perkawinan usia dini tersebut akan sulit untuk memperoleh keturunan

yang berkualitas. Selain itu, jika dilihat dari segi kependudukan, perkawinan usia

dini mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi sehingga kurang mendukung

pembangunan di bidang kependudukan (KPP dan PA 2012). Oleh karena itu,

penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan agar generasi muda, utamanya

yang sedang mempersiapkan pernikahan dapat lebih memahami akan pentingnya

kesiapan menikah dan karakteristik keluarga bagi perkembangan anak.

Perumusan Masalah

Di Indonesia, kecenderungan rata-rata usia menikah pertama selalu

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia (SDKI) Tahun 2012 menunjukkan rata-rata usia kawin pertama pada

kelompok wanita yang sudah menikah berusia 25-49 tahun adalah 20,1 tahun.

Angka tersebut mengalami peningkatan dari data SDKI Tahun 2007 sebesar 19,8

tahun. Pendidikan menjadi salah satu indikator seorang wanita menunda menikah,

rata-rata usia menikah pertama pada wanita usia 25-49 tahun yang berpendidikan

tinggi adalah 22.9 tahun, lebih tua lima tahun dibandingkan yang tidak

berpendidikan yaitu 17.2 tahun (SDKI 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa

generasi muda saat ini semakin menyadari bahwa pernikahan membutuhkan

kesiapan yang matang sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.

Fakta lainnya menunjukkan bahwa secara nasional, sebesar 1,62 persen

anak perempuan berusia 10-17 tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah

kawin. Sebagian kecil dari jumlah tersebut, 1,54 persen diantaranya berstatus

kawin dan 0,08 persen berstatus cerai (cerai hidup dan cerai mati) (BPS 2011).

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena dalam usia yang sangat muda

anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian baik cerai hidup maupun cerai

mati (KPP dan PA 2012).

Pernikahan muda yang tidak diiringi persiapan yang matang oleh kedua

pasangan tak jarang menimbulkan dampak perceraian. Dalam kurun waktu 2007

hingga 2009, kasus perceraian meningkat dari 157.711 kasus menjadi 223.371

3

kasus (Badilag 2010). Sebagian besar masalah perceraian dipicu oleh adanya

suami atau istri yang meninggalkan kewajiban (Sunarti et al. 2012). Selain

tingginya tingkat perceraian, angka kelahiran bayi dari remaja perempuan justru

mengalami peningkatan.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan

angka fertilitas remaja (ASFR) pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48 dari

1.000 kehamilan. Angka rata-rata itu jauh lebih tinggi dibandingkan temuan SDKI

2007 yaitu 35 dari 1.000 kehamilan (SDKI 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa

pernikahan muda kemudian menyebabkan pasangan muda harus siap dengan

tugas pengasuhan anak pertama yang tidak mudah padahal anak sangat

membutuhkan peran orang tua untuk mengoptimalkan tumbuh kembang mereka.

Oleh karena itu, pasangan harus memiliki cara yang disepakati bersama mengenai

segala hal yang berhubungan dengan perencanaan yang berkaitan dengan anak

dan cara pengasuhan (Fowers dan Olson 1989).

Lahirnya seorang anak tentu masalah akan bertambah pula. Pertama,

masalah ekonomi, yang berarti bertambahnya pengeluaran yang harus pula

diimbangi dengan pemasukan yang lebih besar, sedangkan sumber nafkah

biasanya justru berkurang, karena istri mengurangi waktu bekerjanya demi

mengurus anak. Keadaan juga mengalami perubahan, karena berubahnya jadwal

harian dan perhatian yang tidak lagi sepenuhnya dicurahkan ke hubungan suami

istri, melainkan kepada si bayi. Perubahan keadaan ini memerlukan pengertian

dari suami dan istri (Gunarsa dan Gunarsa 2012). Hal ini menekankan pentingnya

calon pasangan untuk mempersiapkan diri secara maksimal sebelum menikah agar

mereka mampu menjalankan fungsi, peran dan tugasnya dalam keluarga dengan

baik.

Kota Depok sebagai lokasi penelitian menunjukkan persentase umur

perkawinan pertama yang cukup fluktuatif. Susenas 2003-2009 menunjukkan usia

kawin pertama pada tahun 2003 adalah 25,48 tahun, lalu mengalami penurunan

pada tahun 2008 yaitu 23,98 tahun dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan

kembali menjadi 24,62 tahun. Perkembangan selama lima tahun terakhir

menunjukkan bahwa perempuan di Kota Depok sudah mulai menunda perkawinan

pertama mereka sampai usia yang lebih matang. Selain itu, angka perceraian Kota

Depok pada tahun 2009 pun relatif cukup rendah yaitu 2,70 artinya tiap seratus

orang perempuan umur 10-49 tahun yang pernah kawin ada sebanyak 2 orang

yang berpisah karena perceraian. Fakta lain menunjukkan bahwa angka perceraian

justru cenderung tinggi untuk perempuan pernah kawin pada kelompok umur 20-

24 tahun yaitu sebesar 3,30. Diperkirakan, tingginya angka perceraian perempuan

berumur muda tersebut karena ketidaksiapan mereka dalam menjalani perkawinan

(BPS 2010).

Penelitian ini dilakukan didasarkan atas fenomena masih rendahnya

kesiapan menikah dan kesiapan menjadi orang tua di Indonesia khususnya di Kota

Depok. Kedua komponen tersebut sangat penting bagi keutuhan sebuah keluarga.

Melihat fenomena diatas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan

perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang

menikah muda dan dewasa?

4

2. Seberapa besar perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri

dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang

menikah muda dan dewasa?

3. Adakah pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri

terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui karakteristik

keluarga, kesiapan menikah istri, perkembangan anak usia 3-5 tahun.

Tujuan Khusus

Tujuan Penelitian ini secara khusus adalah untuk:

1. Menganalisis karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan

perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang

menikah muda dan dewasa

4. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan

perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang

menikah muda dan dewasa

2. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri

terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya yaitu:

1. Sebagai bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu

keluarga mengenai hubungan karakteristik keluarga dan kesiapan menikah

terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun

2. Sebagai tambahan informasi baik untuk individu maupun untuk orang tua

mengenai pentingnya kesiapan menikah agar memperoleh perkembangan

anak yang optimal

3. Sebagai bahan pengembangan program pendewasaan usia perkawinan dan

program sosialisasi stimulasi tumbuh kembang anak yang lebih baik lagi

yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi terkait.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Keluarga

Keluarga adalah unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang

merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat dan negara. Sebagai

unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan, minum

dan sebagainya (Puspitawati 2013). Keluarga yang menjadi fokus dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga dengan anak usia 3-5 tahun memiliki

tugas-tugas tertentu yang harus dipenuhi untuk menjamin tumbuh kembang anak

5

yang maksimal. Klein dan White (1996) menyatakan keluarga menjadi beberapa

pengertian diantaranya: (1) keluarga terbentuk hingga jangka waktu yang panjang

dibandingkan kelompok sosial lainnya; (2) keluarga merupakan intergenerasi; (3)

keluarga terdiri baik karena hubungan biologis namun juga karena legalisasi

hukum (adopsi dsb); (4) faktor biologis dalam keluarga maupun adopsi anak

secara legal di mata hukum merupakan aspek yang menghubungkan mereka

kepada organisasi kekerabatan yang semakin besar.

Keluarga memiliki beberapa ciri khas dan juga tugas-tugas yang harus

dipenuhi. Mattessich dan Hill (1987) dalam Zeitlin et al. (1995) menyatakan

bahwa keluarga adalah kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat

tinggal ataupun kedekatan secara emosional dan menjadikan mereka kepada

empat bentuk sistemik diantaranya saling ketergantungan satu sama lain

(hubungan intim), memelihara batasan-batasan terseleksi, kemampuan untuk

beradaptasi terhadap perubahan dan memelihara identitas mereka sepanjang waktu,

serta melakukan beberapa tugas keluarga seperti pemeliharaan fisik, sosialisasi,

edukasi, kontrol sosial dan perilaku seksual, memelihara moral dan motivasi

keluarga untuk melakukan yang terbaik di dalam maupun diluar keluarga, akuisisi

anggota keluarga yang dewasa dengan pembentukan formasi kemitraan seksual,

dan melepas anggota keluarga yang remaja ketika beranjak dewasa.

Teori Struktural Fungsional

Perspektif teoritis struktural fungsional pada awalnya dikembangkan untuk

menganalisis keadaan sosial kemasyarakatan secara umum. Para sosiolog generasi

pertama pada akhir abad ke-18 dan kurun waktu abad ke-19, mulai memikirkan

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “bagaimana dan mengapa suatu

masyarakat bisa ada?” “Faktor-faktor apa yang dapat mempersatukan

masyarakat?”. Selain itu, ketidaksetujuan pada pemikir sosial abad ke-19 terhadap

paham utilitarianism timbul, karena melihat kenyataan yang sebaliknya, dimana

ketertiban sosial justru semakin kacau setelah faham utilitarianism semakin besar

mewarnai kehidupan masyarakat. Kenyataan yang demikian telah membuka

peluang timbulnya pemikiran baru tentang bagaimana tatanan masyarakat yang

tertib dan harmonis dapat diwujudkan. Sehingga pendekatan struktural fungsional

digunakan untuk menganalisis struktur sosial masyarakat. Pendekatan ini muncul

bersamaan dengan semakin mapannya ilmu biologi, terutama yang berkaitan

dengan struktur biologi kehidupan. Struktur biologi organisme hidup terdiri dari

elemen-elemen yang saling terkait walaupun berbeda fungsi. Perbedaan fungsi-

fungsi tersebut ternyata diperlukan, terutama untuk saling melengkapi agar suatu

sistem kehidupan yang berkesinambungan dapat terwujud (Megawangi 1999).

Parson dan Bales (1955) dalam Megawangi (1999) membagi dua peran

orangtua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh

suami atau bapak dan peran emosional dan ekspresif yang biasanya dipegang oleh

figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mancari nafkah

untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga sedangkan peran emosional

ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini

bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam

keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi

sosial antaranggota keluarga atau antarindividu di luar keluarga. Levy (1949)

6

dalam Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang

jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga

akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi.

Berikut ini prasyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga

sebagai sistem dapat berfungsi: (1) diferensiasi peran: harus ada alokasi peran

untuk setiap aktor dalam keluarga; (2) alokasi solidaritas: distribusi relasi

antaranggota keluarga menurut cinta, kekuatan dan intensitas hubungan; (3)

alokasi ekonomi: distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang

diinginkan; (4) alokasi politik: distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa

yang bertanggungjawab atas setiap tindakan keluarga; (5) alokasi integrasi dan

ekspresi: distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian

nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap

anggota keluarga.

Teori Perkembangan

Teori perkembangan merupakan teori yang menjelaskan perubahan, baik

yang terjadi pada individu atau kelompok. Individu, kelompok, dan masyarakat

mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan yang terjadi sepanjang waktu.

Menurut Klein & White (1996), ada beberapa asumsi dalam paradigma teori

perkembangan, yaitu:

- Proses perkembangan merupakan proses yang tidak bisa dielakkan dan juga

sangat penting dalam memahami keluarga. Keluarga dan individu mengalami

perubahan dalam jangka waktu tertentu melalui serangkaian tahapan

perkembangan yang sama dan menghadapi titik transisi dan tugas-tugas

perkembangan serupa. Memahami keluarga harus mempertimbangkan

tantangan yang dihadapi dalam setiap tahapnya, seberapa baik mereka

menyelesaikannya dan seperti apa transisi ke tahap berikutnya.

- Keluarga di analisis pada berbagai tingkat. Keluarga terdiri pada tingkat analisa

yang berbeda-beda. Pertama, keluarga ditinjau sebagai kelompok sosial. Kedua,

keluarga ditinjau dari hubungan seperti hubungan suami istri, orangtua dan

anak. Ketiga, keluarga ditinjau dari individunya sebagai anggota keluarga.

Keluarga dapat dipandang sebagai homogenous agregat cluster yang

terstrukturkan oleh kelas sosial dan etnis.

- Keluarga di pengaruhi oleh semua tingkat analisis. Keluarga dipengaruhi oleh

berbagai tingkat analisa termasuk norma sosial dari masyarakat yang lebih luas

dan norma sosial dari kelompok tertentu

- Keluarga merupakan kelompok semi-tertutup dan semipermeable. Keluarga

memiliki batasan-batasan yang jelas biasanya ditandai secara spasial oleh

lingkungan rumah atau tempa tinggal namun sesungguhnya batasan-batasn

tersebut dapat diserapi oleh pengaruh dari masyarakat yang lebih luas.

- Waktu adalah multidimensional. Asumsi ini mengatakan bahwa “waktu”

sesungguhnya tergantung dari cara mendefinisikan, memahaminya dan bahwa

“waktu: bergerak ke depan dan tidak dapat kembali lagi.

Teori perkembangan keluarga merupakan multilevel theory yang

berhubungan dengan individualis dan institusi keluarga. Hal-hal yang sering

dibahas pada teori ini adalah konsep perkembangan tugas (the Development of

7

task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family Life Cycle). Tahapan

perkembangan keluarga menurut Duvall dan Miller (1985) ada 8 tahap yaitu: (1)

tahapan perkawinan (marriage couple); (2) tahapan mempunyai anak

(childbearing); (3) tahapan anak berumur prasekolah; (4) tahapan anak berumur

sekolah dasar; (5) tahapan anak berumur remaja; (6) tahapan anak lepas dari

orang tua; (7) tahapan orang tua umur menengah; dan (8) tahapan orang tua umur

manula.

Penelitian ini memiliki fokus pembahasan pada keluarga tahap tiga yaitu

keluarga dengan anak berumur prasekolah namun ditinjau juga dari kesiapan

kedua orang tua sebelum menikah. Pada fase ini, suami dan istri berbagi peran dan

tugas untuk menjalankan fungsi pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan anak-

anaknya usia prasekolah. Mulai dipikirkan perencanaan keuangan untuk investasi

anak dalam hal kesehatan dan pendidikan serta jaminan sosial anak. Pendidikan

karakter sejak usia dini sudah menjadi keharusan bagi peran ayah dan ibu

(Puspitawati 2012).

Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk

mengindikasikan persiapan penting apa saja yang dapat seseorang lihat sebelum

mereka merasa siap untuk menikah. Teori horizon pernikahan menyatakan

kesiapan menikah tidak hanya berarti seperti diatas namun juga mengenai

keyakinan individu yang membuat mereka siap untuk menikah (Olson 2008).

Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) menyatakan kesiapan menikah

adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai

suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu

memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam

kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia

dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung

jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan

seksual, siap mengatur keluarga dan siap mengasuh anak (Duvall dan Miller

1985).

Kesiapan Menikah adalah penting untuk dipelajari karena membentuk

dasar dalam menentukan keputusan dengan siapa harus menikah, kapan harus

menikah, mengapa menikah dan perilaku perkawinan nanti (Larson dan Lamont

2005). Keadaan “kesiapan” seperti yang disebutkan Holman dan Li (1997) adalah

suatu keadaan diluar persiapan tindakan yang membentuk dan mengarahkan

tindakan. Oleh karena itu, kesiapan dapat digunakan untuk menjelaskan dan

memperkirakan jenis khusus dari tindakan. Kesiapan menikah menurut Larson

(1988) merupakan evaluasi subjektif dari kesiapan seseorang untuk mengambil

tanggung jawab dan tantangan pernikahan. Kesiapan menikah adalah kemampuan

seseorang untuk mengembangkan proses seleksi pasangan. Dengan demikian,

kesiapan menikah adalah kunci indikator perilaku perkawinan dan waktu transisi

dalam pernikahan.

Kesiapan dalam sebuah perkawinan sangat diperlukan baik dari segi

kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, maupun psikologis. Kesiapan sosial-

ekonomi berkaitan dengan bagaimana individu berani membentuk keluarga

melalui perkawinan dengan segala tanggung jawabnya dalam menghidupi

8

keluarga dan menjadi penyangga bagi keluarga. Kesiapan dari segi fisiologis atau

badaniah sangat diperlukan karena untuk melakukan tugas atau kewajiban dari

perkawinan itu sendiri dibutuhkan kesiapan jasmani yang cukup matang dan sehat

(Maryati et al. 2007). DeGenova (2008) memaparkan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, seperti usia saat menikah, level

kedewasaan dari pasangan yang akan menikah, waktu menikah, motivasi untuk

menikah, kesiapan untuk eksklusivitas seksual, emansipasi emosional dari orang

tua, tingkat pendidikan dan pekerjaan.

Rapaport (1963) dalam Duvall dan Miller (1985) menyatakan seseorang

dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria diantaranya (1)

memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri; (2) Memiliki

kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan

mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk

membina hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelembutan dan kasih

sayang kepada orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan

orang lain; (7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan

dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia

menerima keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteritik orang lain;

(11) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang

berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang

bertanggung jawab.

Perkawinan adalah suatu hal yang serius, sehingga memerlukan persiapan

yang matang, khususnya dalam kematangan fisik dan kematangan mental.

Pasangan calon suami istri harus mempunyai bekal yang cukup, agar siap dan

mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah

tangga untuk menjaga keutuhan perkawinan (Arjoso 1996).

a) Kedewasaan Fisik

Berdasarkan agama, seorang wanita dianggap dewasa setelah mendapatkan

menstruasi dan seorang pria dianggap dewasa pada waktu ia sudah mengalami

ejakulasi. Selain itu, ilmu kedokteran juga membuktikan bahwa kehamilan

dibawah usia 20 tahun adalah kehamilan dengan risiko tinggi dengan

kemungkinan tingginya angka kematian, baik bagi bayi maupun bagi ibunya,

sehingga dianjurkan agar kehamilan itu terjadi setelah seorang wanita berusia

paling sedikit 20 tahun.

b) Kedewasaan Sosial

Di Indonesia, pada umumnya pria memegang peranan penting dalam rumah

tang. Begitu terjadi perkawinan, maka suami harus mengambil tanggung jawab

sebagai kepala rumah tangga dengan mencari nafkah untuk keluarga dan

menjadi pelindung bagi keluarganya. Oleh karena itu, seorang calon pengantin

pria dituntut mempunyai kesanggupan untuk mempunyai penghasilan tertentu,

masa depan yang jelas, mempunyai tempat tinggal dengan perlengkapannya

dan lain-lain. Persyaratan-persyaratan tersebut jelas tidak dapat dipenuhi oleh

seorang pria remaja, kecuali dengan dukungan orang tua atau keluarganya

namun, keadaan demikian akan menjadi masalah karena berarti rumah tangga

yang demikian menjadi tidak mandiri. Pada umumnya seorang pria mencapai

kedewasaan sosial pada usia 25 tahun, sehingga dianjurkan seorang pria

9

menikah pada usia 25-30 tahun. Persyaratan sosial buat seorang wanita tidak

seberat persyaratan sosial untuk seorang pria. Setelah seorang wanita menikah

dan hamil atau melahirkan, ia sudah berubah status menjadi seorang ibu.

c) Kepribadian yang mantap

Kepribadian yang dewasa dan mantap merupakan faktor utama untuk mencapai

suatu perkawinan yang bahagia. Kepribadian yang dewasa ditunjukkan oleh

kemampuan seorang untuk menilai diri sendiri secara objektif, sehingga ia

mengetahui kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan, juga ia

mempunyai citra yang benar tentang dirinya sendiri. Seseorang yang

berkepribadian mantap akan memilih pasangan yang dianggap cocok betul

dengan jalan hidupnya, bisa mengisi kekurangan-kekurangan dan dapat

memberikan dorongan kearah cita-cita yang sudah ditetapkan. Pilihan pasangan

yang didasarkan kepribadian yang mantap tidak mudah berubah dan

perkawinan yang dibina dapat kekal abadi sampai akhir hayat. Perlu diketahui,

bahwa pembentukan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh masa kanak-

kanaknya, terutama pada usia di bawah lima tahun dan melalui proses

perkembangan bertahun-tahun, sehingga pada usia remaja, kepribadiannya

sudah nampak selanjutnya dimantapkan oleh pengalaman-pengalaman

hidupnya.

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)

Program pendewasaan usia perkawinan adalah upaya untuk meningkatkan

usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat

perkawinan yaitu usia 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan

sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar

kehamilan pertama pun terjadi pada usia yang cukup dewasa bahkan harus

diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka

penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan.

Pendewasaan Usia Perkawinan merupakan bagian dari program keluarga

berencana nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur

kawin pertama yang pada giliriannya akan menurunkan Total Fertility Rate

(TFR). Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah memberikan

pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga,

mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan

berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi

serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini

berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa.

Program PUP dalam program KB bertujuan meningkatkan usia kawin

perempuan pada umur 21 tahun.

Program pendewasaan usia perkawinan dan perencanaan keluarga

merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini

terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan

kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) masa mencegah

kehamilan. Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini (BKKBN

2008):

10

Gambar 1 Perencanaan Keluarga

Masa Kanak-Kanak

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan

masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan – saat dimana individu relatif

tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Masa kanak-kanak dimulai setelah

melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun

sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira tiga belas tahun untuk wanita

dan empat belas tahun untuk pria. Periode awal masa kanak-kanak berlangsung

dari usia dua sampai enam tahun dan periode akhir dari enam sampai tiba saatnya

anak matang secara seksual. Sebagian orang tua menganggap awal masa kanak-

kanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Para pendidik

menyebutnya sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat dimana

anak dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugas-

tugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal. Para ahli psikologi

menyebutnya dengan usia kelompok, usia menjelajah, usia bertanya dan usia

meniru serta usia kreatif (Hurlock 1980).

Gunarsa dan Gunarsa (2012) menyebut periode anak sekitar usia 3 tahun

dan berjalan sampai kira-kira anak berumur 5 tahun sebagai masa krisis kedua.

Sering kali, masa ini ditandai dengan sikap-sikap negatif, penentangan, atau

dengan istilah bahasa Jerman, periode Trots-alter. Bagi ahli psikologi, masa ini

dianggap sebagai masa krisis pertama. Pada masa ini, anak mulai memperlihatkan

tingkah laku yang sungguh “mengesalkan” orang tua. Segala permintaan orang

lain ditolaknya. Apabila anak disuruh makan, mandi bahkan berjabatan tangan

atau memberi salam selalu dijawabnya dengan kata “tidak”. Anak berada dalam

masa dimana ia sedang memperkembangkan diri untuk melepaskan diri dari orang

tua. Masa krisis ini juga memerlukan pemikiran khusus orang tua karena mereka

juga turut mengalami penambahan persoalan, baik sehubungan dengan

bertambahnya anak maupun kelakuan sang anak.

Perkembangan Anak

Perkembangan merupakan sesuatu proses yang mula-mula global, massif,

belum terpecah atau terperinci, dan kemudian semakin lama semakin banyak,

berdiferensiasi dan terjadi integrasi yang hierarkis (Gunarsa 2008). Menurut Negel

20 THN 35 THN

Masa menunda perkawinan

dan kehamilan

Masa menjarangkan

kehamilan

Masa mencegah

kehamilan

11

(1957) dalam Gunarsa (2008), perkembangan merupakan pengertian dimana

terdapat struktur yang terorganisasikan dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu, dan

karena itu bilamana terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun

dalam bentuk, akan mengakibatkan perubahan fungsi.

Perkembangan (development) adalah pola perubahan yang dimulai sejak

pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup. Kebanyakan perkembangan

melibatkan pertumbuhan, meskipun juga melibatkan penuaan. Saat ini, pandangan

Barat mengenai anak-anak menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan

masa yang unik dan sangat hidup, yang meletakkan dasar penting bagi tahun-

tahun dewasa dan jelas berbeda dari tahun-tahun dewasa tersebut. Masa kanak-

kanak tidak lagi dilihat sebagai periode menunggu yang tidak nyaman di mana

orang dewasa harus bertoleransi terhadap kebodohan anak-anak. Sebagai gantinya,

kita melindungi anak dari tekanan dan tanggung jawab pekerjaan orang dewasa

melalui hukum perburuhan anak (Santrock 2007).

Anak menjalani proses perkembangan dengan pengaruh lingkungan alam

yang benar-benar asli maupun pengaruh lingkungan alam yang sudah diubah oleh

lingkungan sosial, juga pengaruh linkungan sosial itu sendiri. Ia akan berkembang

menjadi seorang manusia dewasa yang lebih tangkas dalam menghadapi dan

mengatasi tuntutan lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Proses ini

meliputi penambahan ketangkasan, pengolahan dan pengamalan ilmu sepanjang

masa hidupnya (Gunarsa dan Gunarsa 2012).

Menurut Depkes (2006) aspek-aspek perkembangan anak yang perlu dipantau

diantaranya adalah:

1. Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh melibatkan otot-

otot besar seperti duduk, berdiri dan sebagainya

2. Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian

tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan

koordinasi yang cermat seperti mengawasi sesuatu, menjimpit, menulis

dan sebagainya

3. Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, berbicara,

berkomunikasi, mengikuti perintah, dan sebagainya

4. Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan setelah

selesai bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan

berinteraksi dengan lingkungannya dan sebagainya.

Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun,

ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita,

dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training) dan mengenal beberapa hal

yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya). Berikut ini beberapa

perkembangan anak usia prasekolah (Yusuf 2000):

1. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya.

Meningkatnya pertumbuhan tubuh baik menyangkut ukuran berat dan tinggi,

12

maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan

keterampilan fisiknya dan eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa

bantuan dari orangtuanya. Perkembangan fisik anak sangat memerlukan gizi

yang cukup, baik protein, vitamin, mineral dan karbohidrat. Perkembangan

fisik anak ditandai juga dengan berkembangnya kemampuan dan keterampilan

motorik, baik yang kasar maupun yang lembut. Kemampuan motorik tersebut

dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Tabel 1 Deskripsi kemampuan motorik anak usia 3-6 tahun

Usia Kemampuan Motorik

Kasar

Kemampuan Motorik Halus

3-4 Tahun 1. Naik Turun Tangga

2. Meloncat dengan

dua kaki

3. Melempar bola

1. Menggunakan krayon

2. Menggunakan

benda/alat

3. Meniru bentuk (meniru

gerakan orang lain)

4-6 Tahun 1. Meloncat

2. Mengendarai

sepeda anak

3. Menangkap bola

4. Bermain olahraga

1. Menggunakan pensil

2. Menggambar

3. Memotong dengan

gunting

4. Menulis huruf cetak

2. Perkembangan Intelektual

Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode

praoperasional,, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi

mental secara logis. Periode ini ditandai dengan berkembangya

representasional atau “symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan

sesuatu untuk merepresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain degan

menggunakan symbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak dan benda). Berikut

beberapa perkembangan periode praoperasional: (1) mampu berpikir dengan

menggunakan symbol; (2) berpikirnya masih dibatasi oleh persepsinya. Mereka

meyakini apa yang dilihatnya, dan hanya terfokus kepada satu atribut/dimensi

terhadap satu objek dalam waktu yang sama; (3) cara berpikirnya masih kaku

tidak fleksibel. Cara berpikirnya terfokus kepada keadaan awal atau akhir dari

suatu transformasi, bukan kepada transformasi itu sendiri yang mengantarai

keadaan tersebut; (4) Anak sudah mulai mengerti dasar-dasar mengelompokkan

sesuatu atas dasar satu dimensi, seperti atas kesamaan warna, bentuk dan

ukuran.

3. Perkembangan Emosional

Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya

(dirinya) berbeda dengan bukan aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini

diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh

orang lain atau benda lain. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa

anak,, yaitu sebagai berikut: takut, cemas, marah, cemburu, kegembiraan, kasih

sayang, phobi dan ingin tahu.

13

4. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa anak usia prasekolah dapat diklasifikasikan ke dalam

dua tahap yaitu sebagai berikut:

Masa ketiga (2.0-2,6) yang bercirikan:

a. Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna

b. Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan

c. Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, dimana dan dari mana

d. Anak sudah banyak menggunakan kata-kata yang berawalan dan yang

berakhiran

Masa Keempat (2,6-6,0) yang bercirikan:

a. Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak

kalimatnya

b. Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal

waktu-sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, kemana,

mengapa dan bagaimana

5. Perkembangan Sosial

Pada usia prasekolah (terutama mulai usia empat tahun), perkembangan social

anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan

teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan social pada tahap ini adalah: (1)

anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun

dalam lingkungan bermain; (2) sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk

pada peraturan; (3) anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain dan

(4) anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebaya.

6. Perkembangan Moral

Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap

kelompok sosialnya (orangtua, saudara dan teman sebaya). Melalui

pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang

kegiatan atau perilaku mana yang baik/boleh/diterima/disetujui atau

buruk/tidak boleh/ditolak/tidak disetujui. Berdasarkan pemahamannya itu,

maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia

harus bertingkah laku.

Penelitian Terdahulu

Saat ini ketersediaan data mengenai persiapan dan kesiapan menikah

pasangan yang baru menikah masih sangat terbatas (Holman dan Li 1997; Larson

dan Holman 1994). Carrol, Badger, Willoughby, Nelson, Madsen dan Barry (2009)

menunjukkan bahwa kesiapan pernikahan dipandang oleh orang dewasa muncul

sebagai proses pengembangan kompetensi interpersonal, membuat komitmen

seumur hidup dan memperoleh kapasitas untuk merawat orang lain. Selain itu,

kesiapan menikah menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan anak.

Berikut ini adalah beberapa ringkasan hasil penelitian terkait perkembangan anak

dan kesiapan menikah:

14

Tabel 2 Penelitian terdahulu

Tahun Penulis Judul Hasil

Perkembangan Anak

2012 Dewanggi et al. Pengasuhan Orang Tua

dan Kemandirian Anak

Usia 3-5 Tahun

berdasarkan Gender di

Kampung Adat Urug

Terdapat hubungan antara pola

asuh orang tua dengan

kemandirian anak. Kemandirian

Anak berhubungan dengan

umur anak dan pendapatan

keluarga. Selain itu, ditemukan

perbedaan nyata antara

kemandirian anak laki-laki dan

anak perempuan.

2011 Hastuti et al. Kualitas lingkungan

pengasuhan dan

Perkembangan Sosial

Emosi Anak Usia

Balita di Daerah

Rawan Pangan

Perkembangan sosial emosi

anak berhubungan dengan

tingkat pendidikan ibu, usia

anak, pengeluaran keluarga dan

kualitas lingkungan

pengasuhan.

2009 Hastuti Stimulasi Psikososial

Pada Anak Kelompok

Bermain dan

Pengaruhnya Pada

Perkembangan

Motorik, Kognitif,

Sosial Emosi dan

Moral/Karakter Anak

Usia anak, stimulasi psikososial

di rumah dan sarana prasarana

di sekolah berpengaruh

signifikan terhadap

perkembangan motorik dan

kognitif anak pada kedua

kelompok penelitian.

2010 Hastuti et al. Nilai Anak, Stimulasi

Psikososial, dan

Perkembangan

Kognitif Anak Usia 2-5

Tahun Pada Keluarga

Rawan Pangan di

Kabupaten

Banjarnegara, Jawa

Tengah

Perkembangan kognitif anak

dipengaruhi positif oleh lama

pendidikan ibu, lama partisipasi

anak di pendidikan prasekolah,

status ekonomi keluarga dan

stimulasi psikososial.

2009 Latifah et al. Kualitas Tumbuh

Kembang, Pengasuhan

Orang Tua, dan Faktor

risiko komunitas Pada

Anak Usia Prasekolah

Wilayah Pedesaan di

Bogor

Tingkat stress dan kecemasan

ibu memberikan pengaruh

negatif terhadap kualitas

pengasuhan. Terdapat beberapa

faktor yang menjadi faktor

risiko terhadap perkembangan

anak diantaranya rendahnya

tingkat pendidikan, pendapatan

dan pengetahuan mengenai

pengasuhan.

15

Kesiapan Menikah

2012 Sunarti et al. Kesiapan Menikah dan

Pemenuhan Tugas

Keluarga Pada

Keluarga Dengan Anak

Usia Prasekolah

Kesiapan menikah istri lebih

rendah dibandingkan dengan

kesiapan menikah suami.

Kesiapan menikah suami dan

istri berpengaruh terhadap tugas

perkembangan keluarga. Tugas

perkembangan keluarga dan

kesiapan menikah istri

berpengaruh terhadap

perkembangan anak

2012 Ghalili et al. Marriage Readiness

Criteria among young

adults of Isfahan: A

Qualitative Study

Hasil penelitian menunjukkan

Sembilan kategori utama dalam

kesiapan menikah diantaranya:

kesiapan usia, fisik, mental,

finansial, moral, emosional,

sosial kontekstual,

interpersonal, dan keterampilan

hidup dalam rumah tangga.

Remaja dewasa saat ini fokus

untuk siap secara finansial

kemudian moral sebelum

akhirnya memutuskan untuk

menikah.

2010 Krisnatuti dan

Oktaviani

Persepsi dan Kesiapan

Menikah Pada

Mahasiswa

Pengetahuan tentang pernikahan

berhubungan signifikan dengan

usia, jenis kelamin dan prestasi

akademik. Kesiapan menikah

berhubungan signifikan dengan

frekuensi memperoleh

informasi tentang pernikahan,

dan dipengaruhi oleh usia,

jumlah penyakit yang diderita,

dan cara untuk mengelola

rumah tangga.

2011 Afifah Perkawinan Dini dan

Dampak Status Gizi

Pada Anak (Analisis

Data Riskesdas 2010)

Pernikahan dini dapat

mempengaruhi status gizi

anaknya yang lahir dan tumbuh

kembangnya sehingga menjadi

anak pendek. Persentase anak

pendek meningkat pada ibu

yang menikah pada usia dini.

2013 Gunnels The Impact of Self-

Esteem and

Religiousity on the

Marital Readiness

Criteria of College

Students

Self esteem dan religiusitas

memiliki hubungan signifikan

positif dengan kriteria kesiapan

menikah.