pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sandang atau pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi
manusia. Pada awal perkembangannya bentuk pakaian yang ada belumlah
seperti pakaian yang kita kenakan sekarang ini. Awalnya manusia
menggunakan tanah liat, dedaunan, kulit binatang, dan kulit – kulit kayu
sebagai media untuk melindungi tubuh mereka. Bentuknyapun hanya seperti
celemek yang menutupi bagian panggul kebawah. Pada saat itu fungsi dari
pakaian itu sendiripun belum seluas saat ini. Dahulu manusia menggunakan
pakaian hanya sebatas untuk melindungi tubuh mereka dari panas, dingin,
hujan, sengatan binatang, dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan pola pikir manusia, pada jaman
Neolitikum atau Batu Baru diduga manusia sudah dapat mengolah serat –
serat yang terdapat pada hewan dan tumbuhan menjadi tekstil. Kemudian pada
700-1000 SM tekstil dan kain telah didokumentasikan sebagai komoditi
penting dalam aktivitas pertukaran dan perdagangan antar bangsa maupun
kerajaan di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini pakaian sudah memiliki
fungsi yang lebih luas daripada sekedar melindungi tubuh dari cuaca dan
gangguan binatang.
2
Lama kelamaan pakaian yang memiliki fungsi pokok sebagai
pelindung tubuh memiliki fungsi lain, yaitu fungsi etika dan estetika. Manusia
menggunakan pakaian sebagai bentuk kesopanan sekaligus sebagai sarana
untuk “mempercantik” dirinya. Dengan begitu manusia dapat lebih dihargai
sebagai seorang “manusia”. Diluar fungsi-fungsi tersebut pakaian secara tidak
langsung juga dapat membentuk identitas seseorang. Dengan pakaian yang
dikenakan seseorang, biasanya masyarakat dapat menilai dari golongan atau
stratifikasi mana orang tersebut berasal.
Tahun demi tahun berlalu, peradaban semakin berkembang. Secara
tidak langsung hal ini juga mengiringi perkembangan dalam berpakaian.
Hampir setiap dekade bentuk dari pakaian semakin beragam. Fungsi dari
pakaianpun menjadi semakin luas. Banyak orang mengatakan ini sebagai
“perkembangan fashion”. Definisi fashion sendiri adalah setiap mode pakaian
atau perhiasan yang populer selama waktu tertentu atau pada tempat tertentu.
Istilah fashion sering digunakan dalam arti positif, sebagai sinonim untuk
glamour, keindahan dan gaya atau style yang terus mengalami perubahan dari
satu periode ke periode berikutnya, dari generasi ke generasi. Juga berfungsi
sebagai refleksi dari status sosial dan ekonomi, fungsi yang menjelaskan
popularitas banyak gaya sepanjang sejarah kostum. (Maulana,
http://katalogpakaian.blogspot.com/2012/08/perkembangan-trend-fashion-
indonesia.html, diakses pada 1 Desember 2012).
3
Banyak faktor yang mendorong gaya berpakaian dari seseorang antara
lain, pekerjaan atau profesi, selera, dan bahkan agama. Beberapa agama
memang menganjurkan umatnya untuk menggunakan pakaian atau busana
dengan pakem-pakem tertentu. Misalnya, dalam agama Islam mewajibkan
para pemeluknya yang berjenis kelamin wanita untuk menutup aurat dengan
berhijab.
Hijab sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang
memiliki arti “penghalang”. Namun yang banyak diartikan dalam masyarakat
Indonesia saat ini hijab lebih mengarah kepada jilbab. Jilbab atau hijab adalah
pakaian terusan panjang yang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki,
dan wajah yang biasanya dikenakan oleh para wanita muslim. (Amfitasari,
artihijab.blogspot.com, diakses pada 24 Oktober 2013).
Perkembangan hijab di Indonesia dalam beberapa dekade dapat
dibilang cukup lambat. Dimulai pada tahun 1980-an, penggunaan hijab oleh
wanita Muslimah masih sangat jarang. Penggunaan hijab pada masa itu masih
dianggap sebagai sebuah kekunoan dan kefanatikan dalam beragama. Bahkan
sempat terjadi pelarangan penggunaan hijab bagi para peserta didik di
sekolah-sekolah umum pada masa itu. Pada tahun 90-an secara perlahan hijab
mulai mendapatkan tempat di dunia fashion. Saat itu juga mulai banyak
pelaku fashoin yang memproduksi dan meluncurkan brand-brand pakaian
khusus kaum Muslimah. Kemudian pada dekade 2000-an hingga sekarang
4
perkembangan hijab semakin pesat, baik dari segi penggunaan maupun kreasi
fashion dari hijab itu sendiri. Saat ini hampir di setiap tempat kita temui
wanita yang menggunakan hijab.
Pada saat yang sama globalisasi tengah melanda dunia. Dampak yang
ditimbulkan dari globalisasi ini sangat kuat meng-influence negara-negara di
dunia. Salah satu dampak dari globalisasi adalah lahirnya sebuah budaya
populer atau budaya pop (pop culture). Budaya pop terjadi dalam berbagai
bentuk, antara lain adanya keseragaman selera yang dimiliki oleh hampir
semua orang di seluruh dunia. Baik itu tentang musik, film, dan mode
termasuk didalamnya jenis dan gaya berpakaian orang-orang. Budaya pop
juga ditandai dengan adanya komodifikasi, karena para kapitalis, yang
merupakan sebuah ideologi dibalik terciptanya budaya tersebut, sangat
berorientasi pada keuntungan material.
Di Indonesia, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Seperti
yang telah dijelaskan diatas bahwa hijab merupakan sebuah kewajiban bagi
wanita muslim. Dengan adanya hal tersebut, para kapitalis menangkap ada
sebuah “pasar” tersendiri di Indonesia. Kemudian terjadilah sebuah
komodifikasi busana muslim. Busana muslim, termasuk hijab yang tadinya
belum memiliki variasi kemudian dibuat dengan berbagai macam model agar
lebih menarik dan memberi kesan modis bagi para pemakainya. Hal ini
5
menjadi salah satu usaha dalam sebuah proses komodifikasi hijab dan busana
muslim.
Proses komodifikasi tersebut kemudian diperkuat dengan adanya iklan
yang muncul dalam berbagai media massa dan media sosial. Komodifikasi
secara perlahan mengubah nilai guna dari sebuah busana muslim menjadi nilai
tukar. Melalui iklan transformasi nilai tersebut kemudian semakin diperkuat,
sehingga hijab dan busana muslim resmi menjadi sebuah komoditas
perdagangan. Maraknya iklan tentang hijab, busana muslim, dan acara atau
ritual keagamaan lainnya di satu sisi dapat ditanggapi positif sebagai kembali
diperhitungkannya nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari kita.
Namun, jika kita melihat dari perspektif lain hal tersebut bisa saja tampak
sebagai fenomena yang berisikan tidak lebih dari sebuah perdagangan nilai-
nilai agama belaka.
Pada 27 November 2010, bertempat di Jakarta, 30 orang Muslimah
yang berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda berkumpul, dan
berbekal dari visi yang sama mereka membentuk sebuah komunitas wanita
muslimah yang bernama Hijabers Community (Community, 2012: 2).
Komunitas ini bertujuan untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan seputar
muslimah dan hijabnya, mulai dari kajian-kajian seputar Islam hingga fashion.
Fashion yang dimaksud disini adalah seputar busana muslim dan kreasi-kreasi
hijab agar tetap terlihat trendy walaupun menggunakan hijab.
6
Namun untuk berpenampilan menarik tentu saja dibutuhkan dana yang
tidak sedikit. Mulai dari membeli baju model masa kini, hijab yang
beranekaragam bentuknya, dan make up yang cocok, dimana kesemuanya itu
memiliki harga yang tidak murah. Apalagi bagi wanita konsep matching
sangatlah berlaku dalam berpakaian sehingga jika mereka membeli baju yang
berwarna merah maka harus membeli hijab yang berwarna merah pula atau
warna lain yang cocok dikombinasikan dengan warna merah, dan tidak semua
orang mampu melakukan hal tersebut dari segi finansial. Yang paling
disayangkan adalah apabila muncul opini bahwa mengenakan hijab juga
sebagai salah satu penentu kelas sosial seseorang. Hal ini dapat tercermin dari
jenis hijab dan pakaian muslim yang dikenakan.
Disini Hijabers Community, yang terdiri dari para wanita muslimah,
dianggap sebagai “tokoh” yang mengusung perkembangan tren hijab dan
busana muslim di Indonesia. Selain memperkenalkan berbagai style dalam
berhijab, mereka juga mencoba untuk membuktikan kepada masyarakat
bahwa wanita muslimah yang berhijab bukanlah wanita yang menutup diri
dari pergaulan. Mereka mampu berkarya dan berkarir tanpa meninggalkan
syariat agama. Namun, merujuk dari yang telah dipaparkan diatas kemudian
timbul pertanyaan bahwa apakah yang dilakukan Hijabers Community hanya
memuat sebuah komodifikasi hijab dan busana muslim atau murni karena
sebuah nilai ibadah atau bahkan memuat kedua unsur tersebut.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
didapat rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana konteks komodifikasi busana muslim yang dilakukan oleh
Hijabers Community Yogyakarta?
2. Bagaimana relasi sosial ekonomi yang terbangun dalam Hijabers Community
Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, terdapat tujuan yang
ingin dicapai dari penilitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui konteks komodifikasi busana muslim yang dilakukan
Hijabers Community Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui relasi sosial ekonomi yang terbangun dalam Hijabers
Community Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian
maka yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain bermanfaat untuk:
1. Referensi pengaruh budaya populer dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Referensi bahwa komodifikasi telah merambah ke berbagai bidang, salah
satunya busana muslim.
3. Memberi kontribusi dan referensi dalam ilmu pengetahuan.
8
E. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian teori memiliki peran yang sangat penting.
Jika dianalogikan, teori merupakan pisau yang digunakan untuk mengupas
dan menganalisis sebuah masalah dalam penelitian. Snelbecker (dalam
Moleong, 1993: 34-35) mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi
yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang
dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang
dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang diamati.
Oleh sebab itu, maka dalam penelitian ini juga menggunakan teori di
dalamnya. Penggunaan teori ini diharapkan dapat menjelaskan tentang
konsumsi dan komodifikasi dalam komunitas wanita muslimah di Yogyakarta
secara lebih sistematis. Berikut penjelasannya:
1. Komodifikasi dalam Berhijab
Jika berbicara tentang komodifikasi, maka kita juga berbicara tentang
kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang menitikberatkan
aktivitas ekonomi pada modal yang dimiliki oleh seseorang. Sistem ini
memberikan peluang yang sangat besar kepada para pemilik-pemilik modal
besar untuk menguasai perekonomian. Hal ini kemudian membawa dampak
pada suasana kehidupan yang saling mengeksploitasi karena orang-orang
kemudian akan berlomba-lomba menumpuk modal dan kekayaan melalui
9
berbagai cara. Dari sini dapat terlihat bahwa sistem ini sangatlah money-
oriented.
Kapitalisme tahap akhir dicirikan dengan komoditas. Sirkulasi
komoditas dimanfaatkan sedemikian rupa, dari mulai komoditas pokok hingga
komoditas mewah yang kurang esensial. Pada dasarnya komoditas memiliki
dua fungsi, yaitu fungsi material dan fungsi budaya. Fungsi material
merupakan fungsi esensial dari suatu komoditas, misalnya fungsi material dari
hijab adalah sebagai penutup aurat bagi kaum hawa yang beragama Islam,
melindungi diri dari kemaksiatan, sebagai bentuk pengamalan dalam
beragama, dll. Fungsi budaya lebih menekankan pada makna dan nilai yang
terkandung pada sebuah komoditas, misalnya orang memakai hijab untuk
menunjukkan identitasnya sebagai umat Islam, atau kemudian memakai hijab
model tertentu agar lebih terlihat cantik dan terlihat modern. Semua
komoditas dapat digunakan oleh konsumen untuk mengkonstruksi makna dari
diri, identitas sosial, dan hubungan sosial. Nilai budaya dari sebuah komoditas
inilah yang kemudian dilirik dan dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk
menghimpun pundi-pundi uang, dan mucullah apa yang kita sebut sebagai
komodifikasi.
Barker (2008: 14) mengatakan bahwa komodifikasi adalah proses yang
diasosiasikan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas, dan tanda-tanda
diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk
dijual di pasar. Secara teoritik, komodifikasi menjelaskan cara kapitalis dalam
10
menjaga tujuan mereka dalam mengakumulasi keuntungan material atau dapat
juga disebut usaha untuk mentransformasikan nilai guna yang terdapat pada
sebuah benda menjadi nilai tukar.
Hijab merupakan sebuah kewajiban dan salah satu bentuk peribadatan
bagi para wanita pemeluk agama Islam. Pemakaian hijab didasari dari niat
dalam hati untuk mentaati agama. Namun, setelah masuknya globalisasi dan
hijab kemudian ditangkap sebagai sebuah “pasar” dalam industri kapitalis,
hijab dijadikan sebuah komoditas perdagangan. Hal ini diantaranya ditandai
oleh munculnya berbagai macam model hijab secara cepat. Selalu muncul
berbagai model baru hanya dalam tempo beberapa bulan saja.
Munculnya fenomena tersebut menandai terjadinya sebuah
komodifikasi agama. Komodifikasi agama adalah transformasi nilai guna
agama, yang pada hakikatnya memiliki fungsi sebagai pedoman hidup yang
memuat nilai-nilai ketuhanan, menjadi nilai tukar, dengan menggunakan
fungsi-fungsi yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia atas agama. Secara
teoritik, komodifikasi agama membuat kita mendefinisikan ulang agama
sebagai komoditas pasar untuk dipertukarkan. Keadaan ini kemudian semakin
diperkuat dengan adanya media yang memungkinkan proses komodifikasi
semakin tersebar luas dan meng-influence pemikiran masyarakat. Disini
media juga berperan dalam mengintensifkan terjadinya komodifikasi.
11
2. Hijabers Community sebagai Fenomena Pop Culture dan Lifestyle
Sebuah budaya dapat dikatakan sebagai budaya populer ditandai
dengan munculnya sebuah tren. Tren muncul karena budaya tersebut disukai
dan kemudian diikuti oleh banyak orang. Untuk bisa disebut sebagai budaya
populer, sebuah tren atau komoditas tertentu haruslah mewakili kepentingan-
kepentingan masyarakat. Budaya pop sendiri memiliki arti yaitu sebuah
budaya yang sengaja diciptakan untuk alasan profit atau komersial.
Dalam masyarakat industri, budaya populer memiliki sebuah
kontradiksi. Di satu sisi budaya tersebut diindustrialisasi, namun di sisi lain
budaya tersebut merupakan produk dari sebuah masyarakat. Di dalam budaya
tersebut terdapat keterkaitan antara produk-produk industri budaya dengan
kehidupan sehari-hari.
Budaya pop atau pop culture memperoleh kekuatannya dengan
menggunakan media massa sebagai sarana untuk menyebarkan pengaruhnya
dalam masyarakat, salah satunya adalah melalui iklan. Periklanan berusaha
mengendalikan makna-makna budaya yang menjadi komoditas. Iklan
memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mempengaruhi mindset audiens,
sehingga dengan mudah makna-makna yang terdapat dalam suatu komoditas
diinternalisasi oleh masyarakat yang dalam hal ini berposisi sebagai audiens.
12
Hijab merupakan budaya sehari-hari di masyarakat Indonesia. Dalam
penelitian ini peneliti memandang batasan hijab bukan hanya sebagai suatu
perintah agama, namun juga sebagai bentuk kebudayaan, yaitu budaya
berhijab. Budaya ini lahir dari perilaku sehari-hari masyarakat yang
menggunakan hijab dalam berbagai aktivitas mereka. Semakin lama, semakin
banyak orang-orang menggunakan hijab. Dikarenakan semakin banyak orang
yang menggunakan hijab, hijab kemudian ditangkap sebagai sebuah tren. Tren
ini kemudian diindustrialisasikan dengan makin banyaknya pengusaha mode
yang membuat desain untuk hijab dan busana muslim agar terlihat semakin
modern.
Disini peneliti memaknai munculnya Hijabers Community sebagai
sebuah fenomena pop culture. Melalui Hijabers Community penelitian ini
ingin mengetahui bagaimana “hijab” saat ini tidak lagi dipandang sebagai
simbol konservatisme dan kekunoan, namun sebagai sebuah simbol
modernitas dengan menghadirkan desain busana muslim yang cantik dan
modis. Kemudian peran media dalam fenomena ini juga patut diperhitungkan.
Media berfungsi menyampaikan makna-makna dari sebuah komoditas kepada
masyarakat. Melalui media, model-model hijab terbaru dengan sangat mudah
dipublikasikan sehingga masyarakat bisa dengan cepat mengetahui tren hijab
terbaru dan kemudian mengikutinya.
13
3. Teori Imitasi
Teori imitasi salah satunya dikemukakan oleh seorang sosiolog
bernama Gabriel Tarde. Tarde beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial
itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja (dalam Gerungan, 1991: 58).
Dalam perkembangannya teori Tarde menuai banyak kritik, walaupun begitu
teori ini tidak sepenuhnya salah. Manusia mempelajari perannya dan peran
orang lain dalam masyarakat melalui proses belajar, dimana pada proses
belajar tersebut terjadi proses-proses peniruan yang dilakukan seseorang untuk
menyesuaikan perannya dalam masyarakat. Dalam penelitian ini tren hijab
dan busana muslim yang terjadi di Indonesia tidak hanya diduga merupakan
proses komodifikasi, namun juga imitasi. Tren dapat tersebar secara luas
dalam masyarakat salah satunya disebabkan oleh proses imitasi yang
dilakukan masyarakat dengan model-model yang ia lihat, salah satunya
Hijabers Community Yogyakarta.
Miller dan Dollard (dalam Sarwono, 2000: 23-24) turut mendukung
teori ini dengan mengelompokkan tipe-tipe perilaku imitasi. Tipe-tipe perilaku
tersenut adalah sebagai berikut:
1. Same behavior, tingkah laku sama (same behaviour) terjadi bila dua
orang bertingkah laku balas sama terhadap rangsang atau isyarat yang
sama.
2. Matched-dependent behavior, tingkah laku ini timbul dalam hubungan
antara dua pihak dimana salah satu pihak adalah lebih pintar, lebih tua,
14
atau lebih mampu daripada pihak yang lain. dalam hal ini pihak yang
lain itu akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan
tergantung (dependent) pada pihak pertama.
3. Copying, sama halnya dengan matched-dependent behaviour, pada
copying si peniru bertingkah laku atas dasar isyarat (berupa tingkah
laku juga) yang diberikan oleh model. Namun berbeda dengan
matched-dependent behaviour yang mana peniru melukan proses
imitasi hanya pada saat itu saja, dalam tingkah laku copying ini si
peniru juga melakukan imitasi terhadap model di masa lampau dan
memperkirakan perilaku model di masa yang akan datang.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti tentang konsumsi
dan proses komodifikasi dalam komunitas wanita Muslimah berhijab di
Yogyakarta adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor
(dalam Suyanto, 2006: 166), penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai
penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan
maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang
yang diteliti.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong,
1993: 3) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
15
pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena yang ingin
didapat adalah suatu penjelasan deskriptif mengenai jawaban dari masalah
yang diteliti. Selain itu metode ini dianggap lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Adapun karakteristik dari
penelitian kualitatif adalah sebagai berikut (Moleong, 1993: 4-8)
1. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau
pada konteks dari suatu keutuhan
2. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan
orang lain merupakan alat pengumpul data utama
3. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif
4. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka (deskriptif)
5. Penelitian menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya
atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian
6. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reliabilitas, dan
objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim
digunakan dalam penelitian klasik
7. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-menerus
disesuaikan dengan kenyataan lapangan.
16
8. Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil
interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh
manusia yang dijadikan sebagai sumber data.
Melalui metode penelitian kualitatif ini diharapkan dapat
memaparkan masalah-masalah yang ada secara lebih terperinci. Penelitian
ini juga bersifat deskriptif, karena hasil penelitian ini berupa deskripsi dan
interpretasi dari masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini, yang menjadi
fokus perhatian adalah para anggota dan pengurus Hijabers Community
Yogyakarta. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan tentang konteks
komodifikasi dan relasi sosial ekonomi yang terbentuk di dalam Hijabers
Community Yogyakarta secara mendalam dan terperinci.
2. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan terkecil yang diteliti. Unit analisis
dapat berupa kelompok maupun perseorangan. Sesuai dengan judul
penelitian ini, yaitu Hijabers Community (Studi tentang Konsumsi dan
Komodifikasi dalam Komunitas Wanita Muslimah Berhijab di
Yogyakarta) maka yang menjadi unit analisisnya adalah kelompok.
Dimana yang menjadi informannya adalah individu, yaitu wanita
Muslimah yang tergabung dalam Hijabers Community Yogyakarta.
Melalui ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai proses
17
komodifikasi dan relasi sosial ekonomi yang terjadi dalam Hijabers
Community Yogyakarta.
3. Informan dan Teknik Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik purposive atau bertujuan, artinya informan dipilih
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria informan dalam penelitian
ini adalah informan merupakan pengurus atau anggota Hijabers
Community Yogyakarta. Selain itu informan juga harus mengetahui
tentang seluk beluk kegiatan dan pola jaringan dalam Hijabers
Community Yogyakarta. Apabila pada informan sebelumnya belum
didapatkan data yang lengkap maka peneliti mencari data pada informan
yang selanjutnya. Pemilihan informan atau pencarian informasi dihentikan
apabila informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dirasa sudah
cukup.
4. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini disesuaikan dengan
tempat tinggal atau tempat yang dipilih informan dalam melakukan
wawancara. Lokasi tersebut antara lain di Hotel Satya Graha, Djendello
Koffie, dan di daerah Condong Catur. Namun untuk memudahkan dalam
mencari informan maka peneliti memilih Rumah Muslimah Hijabers
Community Yogyakarta yang beralamat di Jl. Cendrawasih no 32 Lt.2,
Demangan Baru, Yogyakarta sebagai pusat informasi dan lokasi
18
pemilihan informan. Rumah Muslimah ini merupakan sekretariat resmi
Hijabers Community Yogyakarta.
Alasan pemilihan lokasi tersebut karena penelitian ini hanya berfokus
pada cabang resmi Hijabers Community yang terletak di provinsi
Yogyakarta. Kemudian hal lain yang menjadi pertimbangan adalah
kemudahan dan keefisienan dari segi transportasi, akomodasi, dan akses
menuju lokasi.
5. Metode Pengumpulan Data
Riset merupakan aktivitas ilmiah yang sistematis, terarah dan
bertujuan. Maka data atau informasi yang dikumpulkan harus relevan
dengan persoalan yang dihadapi, artinya data itu bertalian, berkaitan,
mengena dan tepat. Sebelum pengumpulan data dilakukan, perlu
diperhatikan (Marzuki, 2000: 55) yaitu:
1. Data macam apa yang diperlukan (Kualitatif = diukur secara tidak
langsung seperti ketrampilan, aktivitas, sikap dan sebagainya)
2. Dimana diperoleh data itu (dari sumber primer, lapangan atau dari
sumber sekunder, dokumenter)
3. Bagaimana cara memperolehnya (observasi, komunikasi)
4. Berapa jumlah data yang tepat atau cukup memadai (adequate).
19
Informasi atau data dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu
data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan
data yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
5.a Data Primer
a.1 Observasi
Observasi adalah sebuah metode dimana peneliti
melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap
gejala atau fenomena yang sedang diteliti. Observasi dilakukan
tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Selain dengan
melakukan pengamatan dalam melakukan observasi dapat
dilakukan dengan bantuan alat pemotret atau perekam suara.
Teknik observasi ini dipilih karena teknik ini memiliki beberapa
kelebihan (Marzuki, 2009: 59) diantaranya:
1. Pencatatan dapat dilakukan pada waktu terjadinya peristiwa
atau terlihatnya gejala tertentu
2. Tidak bergantung pada jawaban responden; maka lebih
objektif dan lebih teliti.
Observasi dilakukan dengan turut serta dalam kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan oleh Hijabers Community
Yogyakarta. Dalam kegiatan tersebut peneliti berpartisipasi
20
langsung sekaligus mengamati bagaimana acara tersebut
berlangsung, bagaimana komodifikasi dilakukan, dan interaksi-
ineraksi yang terjadi antara komite Hijabers Community baik
dengan sesama komite maupun dengan peserta lainnya.
a.2 Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Menurut Mashud (dalam Suyanto, 2006: 69) teknik
wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data dalam
suatu penelitian. Karena menyangkut data, maka wawancara
merupakan suatu elemen penting dalam proses penelitian.
Wawancara dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk
mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya
langsung secara bertatap muka (face to face).
Sedangkan maksud dari wawancara itu sendiri, seperti
yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1993:
135), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan
lain-lain; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai
yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan
sebagai yang telah diharapkan untuk dialamipada masa yang akan
datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi
yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan
21
manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan
memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai
pengecekan anggota.
Wawancara mendalam memiliki metode yang sama dengan
wawancara pada umumnya, hanya peran pewawancara, tujuan
wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang
memiliki sedikit perbedaan. Wawancara mendalam dilakukan
berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama
informan, pewawancara juga turut masuk dalam kegiatan atau
kehidupan informan. Hal-hal itulah yang tidak dijumpai dalam
wawancara pada umumnya. Dalam penelitian ini wawancara
mendalam dilakukan dengan komite Hijabers Community
Yogyakarta untuk memperoleh data yang diperlukan. Wawancara
tersebut secara umum guna memperoleh informasi atau data
mengenai sejarah berdirinya komunitas tersebut,
perkembangannya, dan aktivitas yang dilakukan oleh komunitas
tersebut. Sedangkan secara khusus, peneliti ingin mengetahui
tentang bentuk komodifikasi dan relasi ekonomi yang terjadi
dalam Hijabers Community Yogyakarta. Walaupun menggunakan
metode wawancara mendalam, namun wawancara dilakukan tetap
berdasarkan interview guide yang telah disusun sebelumnya oleh
peneliti.
22
Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara
mendalam dengan tujuh orang komite Hijabers Community
Yogyakarta, yaitu
1. Kiki, Wakil Ketua Hijabers Community Yogyakarta. Wawancara
dilakukan pada tanggal 4 April 2013 di House of Dinna.
2. Vicky Dania, anggota Divisi IT Hijabers Community Yogyakarta.
Wawancara dilakukan pada tanggal 7 April 2013 di Jogja Classic.
3. Anggita Primassari, Koordinator Divisi PR&Marketing Comm
Affair Hijabers Community Yogyakarta. Wawancara dilakukan
pada tanggal 18 April 2013 di kediamannya di daerah Condong
Catur, Yogyakarta.
4. Maya Handayani, Koordinator Divisi HRD Hijabers Community
Yogyakarta. Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Mei 2013 di
hotel Satya Graha Yogyakarta.
5. Hilda Bisyir, Ketua Hijabers Community Yogyakarta. Wawancara
dilakukan pada tanggal 21 Mei 2013 di hotel Satya Graha
Yogyakarta.
6. Rahma Afni, anggota Divisi Event Hijabers Community
Yogyakarta. wawancara dilakukan pada 5 Juli 2013 di Djendello
Koffie Yogyakarta.
7. Ulfa Ufi Azmi, anggota Divisi Event Hijabers Community
Yogyakarta.wawancara dilakukan dua kali, yaitu pada tanggal 14
23
Juli 2013 dan 30 Agustus 2013 di kediamannya di daerah
Demangan, Yogyakarta.
5.b Data Sekunder
Data sekunder yang dimaksud adalah metode dokumentasi.
Metode ini merupakan metode pengumpulan data yang
menggunakan artikel, tulisan, dan bahan kepustakaan lainnya
sebagai sumber data. Penelitian ini juga menggunakan metode
dokumentasi dengan mempelajari buku, jurnal, artikel, maupun
tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Selain itu peneliti juga menggunakan foto, tidak hanya
sebagai salah satu sumber data sekunder namun juga sebagai
penguat data yang dituliskan pada laporan akhir. Metode ini
dilakukan peneliti sejak awal hingga akhir proses penyusunan
tugas akhir. Diantaranya peneliti melakukan penelusuran pada
website resmi Hijabers Community Yogyakarta dan mengambil
foto pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Hijabers
Community Yogyakarta.
6. Analisis Data
Menurut Patton (dalam Moleong, 1993: 103) analisis data adalah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori, dan satuan uraian dasar. Sedangkan Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 1993: 103) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang
24
merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan
hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk
memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Dari dua definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa analisis data adalah sebuah kegiatan bermaksud
untuk mengorganisasikan data yang telah didapat di lapangan. Terdapat
tiga komponen dalam analisis data dalam pendekatan kualitatif (Miles dan
Huberman, 1992: 16-21) yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilahan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Pada proses ini
peneliti melakukan transkrip hasil wawancara yang berupa rekaman
menjadi sebuah narasi untuk memudahkan pada saat penulisan
nantinya.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Setelah data ditulis dalam bentuk narasi, tabel,
dan skema peneliti mulai menuliskan data-data tersebut sesuai alur
penelitian.
25
c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah pencarian arti,
pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi, alur sebab-akibat dan
proporsisi. Setelah data tertulis sesuai dengan alur penelitian yang
diinginkan maka peneliti dapat mengambil kesimpulan dari penelitian
ini.
Secara singkat, alur teknik analisis dapat dilihat dalam skema dibawah
ini:
Gambar 1.1
Skema Alur Teknik Analisis Data Kualitatif
Sumber: Miles dan Huberman (1992: 20)
Pengumpulan
Data
Reduksi Data
Penyajian
Data
Penarikan
Kesimpulan/
Verifikasi