pendahuluan 1
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Selama ini epidemiologi kebanyakan berkecimpung dalam menangani masalah
penyakit menular, namun perkembangan sosio ekonomi juga kultural bangsa dan dunia
kemudian menuntut epidemiologi untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak
menular yang jumlahnya terus saja meningkat pada masyarakat, terutama terhadap
penyakit kanker yang saat ini menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia. 1
Menurut data dari WHO (World Health Organization) setiap tahun, jumlah
penderita kanker bertambah mencapai 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang,
diperkirakan 9 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari
penderita kanker di dunia akan berada di negara-negara yang sedang berkembang.2
Kanker serviks merupakan kanker nomor dua terbanyak pada perempuan berusia
15-45 tahun setelah kanker payudara. Tak kurang dari 500.000 kasus baru dengan
kematian 280.000 penderita terjadi tiap tahun di seluruh dunia. Bisa dikatakan, setiap dua
menit seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks.3
Di negara maju kasus kanker serviks sudah menurun yaitu pada urutan kelima, hal
ini kemungkinan karena dilakukan upaya pencegahan sekunder dan deteksi dini melalui
program pemeriksaan “pap smear” yang dilakukan secara periodik dan teratur. Di
Indonesia pada umumnya penderita kanker serviks baru berobat setelah stadium lanjut
sehingga lebih sukar diatasi. Hal tersebut mungkin karena faktor ekonomi dan tidak
mampu menjalani pemeriksaan pap smear, juga karena ketidaktahuan.4
Pap smear merupakan salah satu jenis pemeriksaan skrining dalam mendeteksi
dini kanker serviks yang sederhana, murah, praktis dan mudah. Sederhana, artinya cukup
dengan mengambil apusan sel leher rahim lalu mengamatinya di bawah mikroskop, maka
lesi prakanker dapat dideteksi bila terlihat sel-sel yang tidak normal. Murah, karena
pelaksanaannya hanya memerlukan biaya sedikit. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana
saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif,
spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh dokter umum, bidan dan
perawat yang terlatih.5
Disamping itu, Pap smear juga memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi dengan
sensitivitas yang mencapai 50-98% dan spesifisitas yang mencapai 93 % sehingga Pap
smear terbukti mampu sebagai alat diagnosa dini kanker serviks.6 Bahkan, di Amerika
Serikat, Pap smear terbukti efektif dalam mencegah kanker serviks hingga mencapai 93
%.7
PEMERIKSAAN PAP SMEAR
a. Definisi Pap smear
Pap (Papanicolaou) smear adalah pemeriksaan sitologi yang dilakukan dengan
cara mengamati sel-sel yang dieksfoliasi dari genitalia wanita bagian bawah, khususnya
serviks. Pap smear pertama sekali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George
Papanicolou dan Dr. Aurel Babel dan mulai populer sejak tahun 1943.6 Sel-sel yang
berasal dari eksfoliasi serviks diambil dan diwarnai secara khusus dan sel-sel yang
abnormal dapat terlihat di bawah mikroskop. Seorang spesialis sitologi mampu
membedakan tingkat displasia sampai kanker dengan pemeriksaan ini.8
b. Manfaat Pap smear
Pemeriksaan Pap smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan
pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker
dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih mudah dan murah. Pap Smear mampu
mendeteksi lesi prekursor pada stadium awal sehingga lesi dapat ditemukan saat terapi
masih mungkin bersifat kuratif.9 Manfaat pap smear dapat dijabarkan secara rinci sebagai
berikut:10
1) Diagnosis dini keganasan:Pap smear berguna dalam mendeteksi kanker serviks,
kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan
ovarium.
2) Perawatan ikutan dari keganasan Pap smear berguna sebagai perawatan ikutan
setelah operasi dan setelah mendapatkan kemoterapi dan radiasi.
3) Interpretasi hormonal wanita Pap smear bertujuan untuk mengikuti siklus
menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan maturitas kehamilan,
dan menentukan kemungkinan keguguran pada hamil muda.
4) Menentukan proses peradangan Pap smear berguna untuk menentukan proses
peradangan pada berbagai infeksi bakteri atau jamur.
c. Akurasi Pap Smear
Sensitivitas Pap smear untuk mendeteksi CIN berkisar antara 50-98% dan
spesifisitasnya adalah 91,3%. Angka negatif palsu diperkirakan berkisar antara 5-50%
dengan kesalahan terbanyak disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat
(62%), kegagalan skrining (15%), dan kesalahan interpretasi (23%). Angka positif palsu
untuk Pap smear adalah 3-15%.6
d. Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear
Pap smear mulai dapat dilaksanakan pada wanita yang telah 3 tahun menikah atau
aktif secara seksual, tetapi usianya tidak di bawah 21 tahun.7 Pap smear sebaiknya tidak
dilakukan pada wanita yang baru menikah atau aktif secara seksual kurang dari 3 tahun
karena dapat menimbulkan pengobatan yang berlebihan akibat gambaran sel abnormal
yang bersifat sementara. 8
Menurut rekomendasi terbaru dari American Collage of Obstetricans and
Gynecologist dan The American Cancer Society, pemeriksaan Pap smear dianjurkan
untuk diulang setahun sekali secara teratur seumur hidup. Bila pemeriksaan tahunan tiga
kali berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan frekuensi
yang lebih jarang atas kebijakan dokter.9 Pada wanita yang telah berusia di atas 70 tahun
tidak dilakukan Pap smear lagi dengan syarat hasil 2 kali negatif dalam 5 tahun terakhir.
Selain itu, Pap smear juga tidak dilakukan lagi bagi wanita yang telah menjalani
pengangkatan seluruh rahim (histerektomi) dengan riwayat penyakit jinak dan bukan
merupakan lesi prakanker.10,11
Pap smear sebaiknya tidak dilaksanakan pada saat wanita menstruasi (haid).
Waktu yang paling tepat untuk melakukan Pap smear adalah 10-20 hari setelah hari
pertama haid terakhir. Pada pasien dengan peradangan berat, Pap smear ditunda sampai
pengobatan selesai. Dua hari sebelum pemeriksaan Pap smear dilakukan, pasien dilarang
mencuci atau menggunakan pengobatan melalui vagina, seperti spermicidal foams,
creams, dan jellies. Hal ini perlu diperhatikan karena obat-obat tersebut dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan Pap smear. Wanita juga dilarang untuk berhubungan
seksual selama 1-2 hari sebelum pemeriksaan Pap smear. Setelah melaksanakan Pap
smear, pasien dapat langsung kembali mengerjakan aktivitasnya sehari-hari.12
e. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear
Prosedur pemeriksaan Pap smear adalah sebagai berikut:10,13
a. Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi formulir konsultasi sitologi,
spekulum bivalve (cocor bebek) , spatula Ayre, kaca objek (object glass) yang
telah diberi tanda/label pada satu sisinya, dan wadah berisi larutan alkohol 95%.
b. Persiapkan pasien untuk berbaring dangan posisi ginekologi.
c. Pasang spekulum kering dan disesuaikan sehingga tampak dengan jelas vagina
bagian atas, forniks posterior, serviks uteri, dan kanalis servikalis.
d. Memeriksa serviks apakah normal atau tidak.
e. Spatula Ayre dengan ujung yang pendek dimasukkan ke dalam endoserviks,
dimulai dari arah jam 12 dan diputar 360° searah jarum jam.
f. Sediaan lendir serviks dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi
tanda dengan membentuk sudut 45° satu kali usapan.
g. Kemudian kaca objek dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.
h. Sediaan diletakkan pada wadah transpor kemudian dikirim ke ahli patologi
anatomi.
f. Interpretasi Pap smear
Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan Pap smear, yaitu sistem
Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN), dan sistem Bethesda.14
Klasifikasi Papanicolaou adalah sistem yang pertama kali ditemukan oleh Papanicolaou.
Sistem ini membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas yaitu:10
a. Kelas I : Tidak ada sel atipik atau sel abnormal
b. Kelas II : Gambaran sitologi atipik, tetapi tidak ada bukti keganasan
c. Kelas III : Gambaran sitologi dicurigai keganasan
d. Kelas IV : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah sedikit
e. Kelas V : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah banyak
Perkembangan sitologi di bidang diagnostik ahli menganjurkan untuk mengganti
klasifikasi Papanicoloau karena sistem ini dianggap tidak mencerminkan pengertian
neoplasia serviks/vagina, tidak mempunyai padanan dengan terminologi histopatologi,
tidak mencantumkan diagnosis non kanker, tidak menggambarkan interpretasi yang
seragam, dan tidak menunjukkan suatu pernyataan diagnosis.
Sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) pertama sekali dipublikasikan oleh
Richart RM (1973) di Amerika Serikat. Klasifikasi tersebut terdiri dari CIN grade I, CIN
grade II, dan CIN grade III. CIN grade I sesuai dengan displasia ringan, CIN grade II
sesuai dengan displasia sedang, dan CIN grade III sesuai dengan displasia berat dan
karsinoma in situ. Sistem CIN menegaskan kembali bahwa lesi prekursor kanker serviks
ini membentuk rangkaian berkelanjutan menuju karsinoma, sehingga semua derajat CIN
wajib diobati.15
Sistem Bethesda pertama sekali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun 1988,
dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA. Klasifikasi sistem Bethesda
adalah sebagai berikut:7
Untuk sel squamous dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance(ASCUS)
b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LGSIL), yang meliputi displasia
ringan (CIN I), koilositosis, dan flat condyloma.
c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesions (HSGIL), yang meliputi CIN II dan
CIN III.
d. Squamous Cells Carcinoma.
Untuk sel glandular, sistem Bethesda dibagi menjadi:
a. Sel endometrial (pada wanita menopause)
b. Atypical Glandular Undetermined Significance (AGUS)
c. Lesi intraepitel glandular
d. Adenokarsinoma endoserviks
e. Adenokarsinoma endometrium
f. Adenokarsinoma ekstrauterin
g. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya. Sistem Bethesda lebih
sering digunakan karena sistem ini mampu memfasilitasi komunikasi antara
laboratorium dengan klinikus dan sistem ini juga mampu menjelaskan derajat
abnormalitas sel yang tidak jelas.13
g. Kanker Serviks
Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi (pertumbuhan) sel-
sel baru (neoplastic cells) yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.16 Sementara
kanker serviks merupakan proses keganasan/kanker yang berasal dari sel-sel leher rahim
yang tidak normal akibat pertumbuhan yang tidak terkendali.17 Hampir 85%, kanker
serviks berasal dari epitel selapis pipih (squamous cell carcinoma) dan 15% merupakan
adenocarcinoma yang berasal dari sel penghasil mucus di endoserviks, yaitu bagian dari
serviks yang dekat dengan rahim. Jenis lain dari kanker serviks adalah adenosquamous
carcinoma yang merupakan gabungan dari kedua jenis kanker tersebut.18
h. Penyebab Kanker Serviks
Penyebab pasti kanker serviks sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, penemuan biologi molekuler telah
menunjukkan bahwa HPV (Human papilomavirus) turut berperan dalam terjadinya
kanker serviks. Infeksi HPV dapat dideteksi pada 80-90% pasien displasia dan kanker
leher rahim.19
HPV adalah DNA virus yang menular secara seksual dan menimbulkan proliferasi
pada permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi sering terjadi pada wanita yang aktif
secara seks. Dalam studi lebih lanjut, dibuktikan bahwa HPV yang menginfeksi mukosa
anogenital dibagi dalam 3 grup, yaitu tipe high risk oncogenic (tipe 16, 18, 45, 56), tipe
intermediate risk oncogenic (tipe 31, 33, 35, 51, 52, 54) dan tipe low risk oncogenic (tipe
6, 11, 42, 43, 44). Yang lebih berperan dalam terbentuknya lesi prakanker dan kanker
serviks adalah HPV tipe high risk oncogenic.20 Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Bosch, dkk pada tahun 1995 menunjukkan bahwa HPV tipe 18 merupakan tipe yang
paling sering ditemukan pada pasien kanker serviks di Indonesia (48,9%), kemudian
disusul oleh HPV tipe 16 (31,9 %) dan HPV tipe 45 (8,5%).
Karsinogenesis bermula ketika DNA HPV tipe high risk oncogenic berintegrasi
dengan genome sel serviks yang menyebabkan kemungkinan terjadinya mutasi. Bila
mutasi terjadi pada gen p53, suatu gen yang menekan proses pertumbuhan neoplasma,
maka fungsi gen tersebut menjadi terganggu dan neoplasma akan terbentuk.21
i. Faktor Risiko Kanker Serviks
Faktor risiko untuk kanker serviks adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan inisiasi transformasi atipik serviks dan perkembangan dari displasia.
Transformasi atipik merupakan daerah atipik (abnormal) yang terletak di antara
perbatasan sel-sel squamouscolumnar serviks yang asli dengan sel-sel yang baru
terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi sel squamous.12 Faktor risiko tersebut
terutama berhubungan dengan riwayat seksual. Dari studi epidemiologi, kanker serviks
berhubungan erat dengan perilaku seksual seperti mitra seksual yang multipel dan usia
pada saat pertama kali melakukan hubungan seksual. Risiko meningkat lebih dari 10 kali
bila wanita berhubungan seksual dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila hubungan
seksual pertama di bawah umur 15 tahun.22 Selain itu, risiko juga meningkat bila
berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi (pria yang berhubungan seks dengan
banyak wanita), atau pria yang mengidap penyakit “jengger ayam” (kondiloma
akuminata).
Faktor risiko lainnya adalah usia, paritas, rokok, diet/nutrisi, pemakaian
kontrasepsi, sosial ekonomi rendah, dll. Menurut WHO, wanita yang berusia 40-45 tahun
memiliki risiko tertinggi untuk mengidap kanker serviks.23 Dari segi paritas, wanita yang
multiparitas (jumlah anak > 4 orang) juga memiliki risiko yang lebih tinggi. Wanita
perokok memiliki risiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks dibandingkan dengan wanita
yang tidak merokok.22 Sebuah penelitian pada tahun 2003 menunjukkan adanya
hubungan antara wanita yang obesitas dengan kejadian cervical adenocarcinoma. Akan
tetapi, wanita yang mengalami defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, dan beta
carotin/retinol juga memiliki hubungan terhadap peningkatan risiko kanker serviks.
Selain itu, kanker serviks juga berhubungan dengan peningkatan kadar estrogen atau
hormon wanita lainnya. Hal ini terlihat pada peningkatan kejadian kanker serviks pada
wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi oral dalam jangka panjang.17
j. Perkembangan Kanker Serviks
Kanker serviks didahului oleh lesi prakanker yang disebut displasia (CIN/
Cervical Intraepithel Neoplasm). Displasia ditandai dengan adanya perubahan morfologi
berupa gambaran sel-sel imatur, inti sel yang atipik, perubahan rasio inti/sitoplasma dan
kehilangan polaritas yang normal. Displasia bukan merupakan suatu bentuk kanker tetapi
akan mengganas menjadi kanker bila tidak diatasi.24
Displasia dikelompokkan menjadi displasia ringan (CIN I), displasia sedang (CIN
II), dan displasia berat (CIN III). Pengelompokkan displasia dibagi berdasarkan luas
perubahan morfologi yang terjadi pada epitel leher rahim. Pada CIN I, sel-sel yang
mengalami perubahan morfologi hanya sebatas 1/3 bagian atas dari lapisan epithelium
serviks. CIN II ditandai dengan perubahan morfologi sel yang telah mencapai 2/3 bagian
dari lapisan atas epithelium serviks. Sementara itu, CIN III ditandai dengan lebih
banyaknya variasi dari sel dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan hiperkromasi
yang telah melebihi 2/3 lapisan atas epithelium serviks, namun belum menginvasi
jaringan stroma di bawahnya. Bila perubahan berlanjut hingga menginvasi jaringan
stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut karsinoma in situ.12
Interval waktu antara timbulnya lesi prakanker dan terjadinya kanker leher rahim
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Diperkirakan 80 % dari displasia akan menjadi
karsinoma in situ dalam waktu 10-15 tahun. Selama interval waktu yang panjang tersebut
dapat dilakukan berbagai upaya pencegahan berupa pemeriksaan dan pemberian terapi
secara dini.11
k. Pencegahan Kanker Serviks
Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu:25
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan
kontak individu dengan karsinogen untuk mencegah terjadinya proses
karsinogenesis. Pencegahan primer kanker serviks dapat dilakukan dengan
menghindari berbagai faktor risiko serta dengan memberikan vaksin pencegah
infeksi dan penyakit terkait HPV. Vaksin ini terbukti efektif dalam mencegah
infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang merupakan HVP tipe high oncogenic risk untuk
kanker serviks.21
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker
serviks, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan
sekunder termasuk skrining dan deteksi dini, seperti Pap smear, kolposkopi,
servikografi, Pap net (dengan komputerisasi), dan inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA). Menurut WHO, Pap smear merupakan standart emas program
skrining karena pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit serta
dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada masa haid. Selain itu, Pap smear juga
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi, sehingga pap smear
mampu untuk mencegah kejadian kanker serviks hingga mencapai 93 %.7
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier kanker serviks bertujuan untuk mencegah komplikasi klinik
dan kematian awal. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan cara memberikan
pengobatan yang tepat baik berupa operasi, kemoterapi, dan radioterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan. Kanker Leher Rahim Lebih
Cepat ditemukan, Lebih Besar Kemungkinan Sembuh. Jakarta Selatan, Leaflet.
2008
2. Setiati, E. Waspadai Empat Kanker Ganas Pembunuh Wanita. ANDI Yogyakarta,
2009
3. Kanker Serviks dan Penanggulangannya. www.drprima.com.
4. Kusuma HW. Atasi Kanker Dengan Tanaman Obat, PT. Niaga Swadaya, Jakarta.
2004
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Deteksi Kanker Leher Rahim.
Available from: http://www.depkes.go.id/en/2104ea.htm (Accessed 3 februari
2009).
6. Purwoto G, Nuranna L. Metode Skrining Alternatif Pada Kanker Serviks. Deteksi
Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 142-143. 2002
7. Rosevear, S.K. Cervical Screening and Premalignant Disease of the Cervix. In:
Hand Book of Gynaecology Management. Osney Mead: Black Wall Science Ltd,
80-83. 2002
8. Schoenstadt, A., 2006. Cervical Cancer Screening. Available from:
http://cervical-cancer.emedtv.com/cervical-cancer/cervical-cancer- screening.html
9. Hillegas, K.B. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. In: Hartanto, H., et al,
eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC,
1295-1297. 2005
10. Manuaba, I. Pemeriksaan Pap Smear. In: Rusmi & Sari, L., eds. Dasar- Dasar
Teknik Operasi Ginekologi. Jakarta: EGC, 100-104. 2005
11. Husain, A. & Hoskins, W.J. Screening for Cervical Cancer. In: Aziz, K. & Wu,
G.Y., eds. Cancer Screening: A Practical Guide for Physicians. Totowa: Humana
Press Inc., 27-41. 2002
12. Aziz, M. Skrining dan Deteksi Dini Kanker Serviks. In: Ramli, H.M., et al, eds.
Deteksi Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 97-110. 2002
13. Soepardiman, H. Tes Pap dan Interpretasi. In: Ramli, H.M., et al, eds. Deteksi
Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 123-129. 2002
14. Garcia, A.A., 2007. Cervical Cancer, University of Southern California.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/253513-overview
15. Tierner L, Saint S, Whooley, M. Cervical Dysplasia. In: Essentials of Diagnosis
& Treatment. 2nd
ed. New York: McGraw-Hill, 415. 2002
16. Mills K. Molecular Analysis of cancer. In: Boultwood, J. & Fidler, C., eds.
Methods in Molecular Medicine, vol 68. Totowa: Humana Press, 1-4. 2002
17. Cherath, L. & Alic, M., 2006. Cervical Cancer. Available from:
http://www.medical-encyclopedia-cid-2901203.html [Accessed 28 February
2009]
18. Crowder S, Lee C, Santoso, J. Cervical cancer. In: Santoso, J.P. & Coleman, R.L.,
eds. Gyn Oncology Handbook. New York: McGraw-Hill, 25- 31. 2001
19. Nuryastuti T. Deteksi Infeksi Human Papilomavirus (HPV) tipe 16 dan 18 pada
Penderita kanker Leher Rahim (KLR) dari beberapa Rumah Sakit di Yogyakarta.
Jurnal kedokteran YARSI, 15 (2): 102-110. 2007
20. Doeberitz, M., et al., 1991. Papilomaviruses and Human Cancer. In: Maza, L.M.
& Peterson,E.M., eds. Medical Virology. 10th
ed New York: Plenum Press, 165-
179
21. Tiro, J.A. et al., 2007. What do Women in the US Know about Human
papilomavirus (HPV) and Cervical Cancer. Bethesda : National Cancer Institute.
Available from: http://cebp.aacjournals.org/cgi/reprint/16/2/288
22. Dalimartha S. Kanker Serviks. In: Deteksi Dini Kanker & Simplisia Antikanker.
Jakarta: Penebar Swadaya, 14-18. 2004
23. WHO, 2005. Cervical Cancer, Human Papilomavirus (HPV), and HPV Vaccines.
Available from:
http://www.who.int/healthinfo/statistics/bodprojections2030/en/index.html.
24. Hacker N. Cervical Cancer. In: Weinberg, R., ed. Practical Gynecologist
Oncology. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 337-342. 2005
25. Sukardja I. Prevensi Kanker. In: Tutiek, K., ed. Onkologi Klinik. Surabaya:
Airlangga University Press, 171-174. 2000