pendahuluan 1

17
PENDAHULUAN Selama ini epidemiologi kebanyakan berkecimpung dalam menangani masalah penyakit menular, namun perkembangan sosio ekonomi juga kultural bangsa dan dunia kemudian menuntut epidemiologi untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak menular yang jumlahnya terus saja meningkat pada masyarakat, terutama terhadap penyakit kanker yang saat ini menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia. 1 Menurut data dari WHO (World Health Organization) setiap tahun, jumlah penderita kanker bertambah mencapai 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang, diperkirakan 9 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia akan berada di negara-negara yang sedang berkembang. 2 Kanker serviks merupakan kanker nomor dua terbanyak pada perempuan berusia 15-45 tahun setelah kanker payudara. Tak kurang dari 500.000 kasus baru dengan kematian 280.000 penderita terjadi tiap tahun di seluruh dunia. Bisa dikatakan, setiap dua menit seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks. 3 Di negara maju kasus kanker serviks sudah menurun yaitu pada urutan kelima, hal ini kemungkinan karena dilakukan upaya pencegahan sekunder dan deteksi dini melalui program pemeriksaan “pap smear” yang dilakukan secara periodik dan teratur. Di Indonesia pada umumnya penderita kanker serviks

Upload: wendy-setiawan

Post on 19-Jan-2016

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN 1

PENDAHULUAN

Selama ini epidemiologi kebanyakan berkecimpung dalam menangani masalah

penyakit menular, namun perkembangan sosio ekonomi juga kultural bangsa dan dunia

kemudian menuntut epidemiologi untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak

menular yang jumlahnya terus saja meningkat pada masyarakat, terutama terhadap

penyakit kanker yang saat ini menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia. 1

Menurut data dari WHO (World Health Organization) setiap tahun, jumlah

penderita kanker bertambah mencapai 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang,

diperkirakan 9 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari

penderita kanker di dunia akan berada di negara-negara yang sedang berkembang.2

Kanker serviks merupakan kanker nomor dua terbanyak pada perempuan berusia

15-45 tahun setelah kanker payudara. Tak kurang dari 500.000 kasus baru dengan

kematian 280.000 penderita terjadi tiap tahun di seluruh dunia. Bisa dikatakan, setiap dua

menit seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks.3

Di negara maju kasus kanker serviks sudah menurun yaitu pada urutan kelima, hal

ini kemungkinan karena dilakukan upaya pencegahan sekunder dan deteksi dini melalui

program pemeriksaan “pap smear” yang dilakukan secara periodik dan teratur. Di

Indonesia pada umumnya penderita kanker serviks baru berobat setelah stadium lanjut

sehingga lebih sukar diatasi. Hal tersebut mungkin karena faktor ekonomi dan tidak

mampu menjalani pemeriksaan pap smear, juga karena ketidaktahuan.4

Pap smear merupakan salah satu jenis pemeriksaan skrining dalam mendeteksi

dini kanker serviks yang sederhana, murah, praktis dan mudah. Sederhana, artinya cukup

dengan mengambil apusan sel leher rahim lalu mengamatinya di bawah mikroskop, maka

lesi prakanker dapat dideteksi bila terlihat sel-sel yang tidak normal. Murah, karena

pelaksanaannya hanya memerlukan biaya sedikit. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana

saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif,

spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh dokter umum, bidan dan

perawat yang terlatih.5

Disamping itu, Pap smear juga memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi dengan

Page 2: PENDAHULUAN 1

sensitivitas yang mencapai 50-98% dan spesifisitas yang mencapai 93 % sehingga Pap

smear terbukti mampu sebagai alat diagnosa dini kanker serviks.6 Bahkan, di Amerika

Serikat, Pap smear terbukti efektif dalam mencegah kanker serviks hingga mencapai 93

%.7

Page 3: PENDAHULUAN 1

PEMERIKSAAN PAP SMEAR

a. Definisi Pap smear

Pap (Papanicolaou) smear adalah pemeriksaan sitologi yang dilakukan dengan

cara mengamati sel-sel yang dieksfoliasi dari genitalia wanita bagian bawah, khususnya

serviks. Pap smear pertama sekali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George

Papanicolou dan Dr. Aurel Babel dan mulai populer sejak tahun 1943.6 Sel-sel yang

berasal dari eksfoliasi serviks diambil dan diwarnai secara khusus dan sel-sel yang

abnormal dapat terlihat di bawah mikroskop. Seorang spesialis sitologi mampu

membedakan tingkat displasia sampai kanker dengan pemeriksaan ini.8

b. Manfaat Pap smear

Pemeriksaan Pap smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan

pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker

dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih mudah dan murah. Pap Smear mampu

mendeteksi lesi prekursor pada stadium awal sehingga lesi dapat ditemukan saat terapi

masih mungkin bersifat kuratif.9 Manfaat pap smear dapat dijabarkan secara rinci sebagai

berikut:10

1) Diagnosis dini keganasan:Pap smear berguna dalam mendeteksi kanker serviks,

kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan

ovarium.

2) Perawatan ikutan dari keganasan Pap smear berguna sebagai perawatan ikutan

setelah operasi dan setelah mendapatkan kemoterapi dan radiasi.

3) Interpretasi hormonal wanita Pap smear bertujuan untuk mengikuti siklus

menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan maturitas kehamilan,

dan menentukan kemungkinan keguguran pada hamil muda.

4) Menentukan proses peradangan Pap smear berguna untuk menentukan proses

peradangan pada berbagai infeksi bakteri atau jamur.

c. Akurasi Pap Smear

Sensitivitas Pap smear untuk mendeteksi CIN berkisar antara 50-98% dan

spesifisitasnya adalah 91,3%. Angka negatif palsu diperkirakan berkisar antara 5-50%

dengan kesalahan terbanyak disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat

Page 4: PENDAHULUAN 1

(62%), kegagalan skrining (15%), dan kesalahan interpretasi (23%). Angka positif palsu

untuk Pap smear adalah 3-15%.6

d. Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear

Pap smear mulai dapat dilaksanakan pada wanita yang telah 3 tahun menikah atau

aktif secara seksual, tetapi usianya tidak di bawah 21 tahun.7 Pap smear sebaiknya tidak

dilakukan pada wanita yang baru menikah atau aktif secara seksual kurang dari 3 tahun

karena dapat menimbulkan pengobatan yang berlebihan akibat gambaran sel abnormal

yang bersifat sementara. 8

Menurut rekomendasi terbaru dari American Collage of Obstetricans and

Gynecologist dan The American Cancer Society, pemeriksaan Pap smear dianjurkan

untuk diulang setahun sekali secara teratur seumur hidup. Bila pemeriksaan tahunan tiga

kali berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan frekuensi

yang lebih jarang atas kebijakan dokter.9 Pada wanita yang telah berusia di atas 70 tahun

tidak dilakukan Pap smear lagi dengan syarat hasil 2 kali negatif dalam 5 tahun terakhir.

Selain itu, Pap smear juga tidak dilakukan lagi bagi wanita yang telah menjalani

pengangkatan seluruh rahim (histerektomi) dengan riwayat penyakit jinak dan bukan

merupakan lesi prakanker.10,11

Pap smear sebaiknya tidak dilaksanakan pada saat wanita menstruasi (haid).

Waktu yang paling tepat untuk melakukan Pap smear adalah 10-20 hari setelah hari

pertama haid terakhir. Pada pasien dengan peradangan berat, Pap smear ditunda sampai

pengobatan selesai. Dua hari sebelum pemeriksaan Pap smear dilakukan, pasien dilarang

mencuci atau menggunakan pengobatan melalui vagina, seperti spermicidal foams,

creams, dan jellies. Hal ini perlu diperhatikan karena obat-obat tersebut dapat

mempengaruhi hasil pemeriksaan Pap smear. Wanita juga dilarang untuk berhubungan

seksual selama 1-2 hari sebelum pemeriksaan Pap smear. Setelah melaksanakan Pap

smear, pasien dapat langsung kembali mengerjakan aktivitasnya sehari-hari.12

e. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear

Prosedur pemeriksaan Pap smear adalah sebagai berikut:10,13

a. Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi formulir konsultasi sitologi,

spekulum bivalve (cocor bebek) , spatula Ayre, kaca objek (object glass) yang

telah diberi tanda/label pada satu sisinya, dan wadah berisi larutan alkohol 95%.

Page 5: PENDAHULUAN 1

b. Persiapkan pasien untuk berbaring dangan posisi ginekologi.

c. Pasang spekulum kering dan disesuaikan sehingga tampak dengan jelas vagina

bagian atas, forniks posterior, serviks uteri, dan kanalis servikalis.

d. Memeriksa serviks apakah normal atau tidak.

e. Spatula Ayre dengan ujung yang pendek dimasukkan ke dalam endoserviks,

dimulai dari arah jam 12 dan diputar 360° searah jarum jam.

f. Sediaan lendir serviks dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi

tanda dengan membentuk sudut 45° satu kali usapan.

g. Kemudian kaca objek dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.

h. Sediaan diletakkan pada wadah transpor kemudian dikirim ke ahli patologi

anatomi.

f. Interpretasi Pap smear

Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan Pap smear, yaitu sistem

Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN), dan sistem Bethesda.14

Klasifikasi Papanicolaou adalah sistem yang pertama kali ditemukan oleh Papanicolaou.

Sistem ini membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas yaitu:10

a. Kelas I : Tidak ada sel atipik atau sel abnormal

b. Kelas II : Gambaran sitologi atipik, tetapi tidak ada bukti keganasan

c. Kelas III : Gambaran sitologi dicurigai keganasan

d. Kelas IV : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah sedikit

e. Kelas V : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah banyak

Perkembangan sitologi di bidang diagnostik ahli menganjurkan untuk mengganti

klasifikasi Papanicoloau karena sistem ini dianggap tidak mencerminkan pengertian

neoplasia serviks/vagina, tidak mempunyai padanan dengan terminologi histopatologi,

tidak mencantumkan diagnosis non kanker, tidak menggambarkan interpretasi yang

seragam, dan tidak menunjukkan suatu pernyataan diagnosis.

Sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) pertama sekali dipublikasikan oleh

Richart RM (1973) di Amerika Serikat. Klasifikasi tersebut terdiri dari CIN grade I, CIN

grade II, dan CIN grade III. CIN grade I sesuai dengan displasia ringan, CIN grade II

sesuai dengan displasia sedang, dan CIN grade III sesuai dengan displasia berat dan

karsinoma in situ. Sistem CIN menegaskan kembali bahwa lesi prekursor kanker serviks

Page 6: PENDAHULUAN 1

ini membentuk rangkaian berkelanjutan menuju karsinoma, sehingga semua derajat CIN

wajib diobati.15

Sistem Bethesda pertama sekali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun 1988,

dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA. Klasifikasi sistem Bethesda

adalah sebagai berikut:7

Untuk sel squamous dibagi menjadi 4, yaitu:

a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance(ASCUS)

b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LGSIL), yang meliputi displasia

ringan (CIN I), koilositosis, dan flat condyloma.

c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesions (HSGIL), yang meliputi CIN II dan

CIN III.

d. Squamous Cells Carcinoma.

Untuk sel glandular, sistem Bethesda dibagi menjadi:

a. Sel endometrial (pada wanita menopause)

b. Atypical Glandular Undetermined Significance (AGUS)

c. Lesi intraepitel glandular

d. Adenokarsinoma endoserviks

e. Adenokarsinoma endometrium

f. Adenokarsinoma ekstrauterin

g. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya. Sistem Bethesda lebih

sering digunakan karena sistem ini mampu memfasilitasi komunikasi antara

laboratorium dengan klinikus dan sistem ini juga mampu menjelaskan derajat

abnormalitas sel yang tidak jelas.13

g. Kanker Serviks

Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi (pertumbuhan) sel-

sel baru (neoplastic cells) yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.16 Sementara

kanker serviks merupakan proses keganasan/kanker yang berasal dari sel-sel leher rahim

yang tidak normal akibat pertumbuhan yang tidak terkendali.17 Hampir 85%, kanker

serviks berasal dari epitel selapis pipih (squamous cell carcinoma) dan 15% merupakan

adenocarcinoma yang berasal dari sel penghasil mucus di endoserviks, yaitu bagian dari

serviks yang dekat dengan rahim. Jenis lain dari kanker serviks adalah adenosquamous

Page 7: PENDAHULUAN 1

carcinoma yang merupakan gabungan dari kedua jenis kanker tersebut.18

h. Penyebab Kanker Serviks

Penyebab pasti kanker serviks sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, penemuan biologi molekuler telah

menunjukkan bahwa HPV (Human papilomavirus) turut berperan dalam terjadinya

kanker serviks. Infeksi HPV dapat dideteksi pada 80-90% pasien displasia dan kanker

leher rahim.19

HPV adalah DNA virus yang menular secara seksual dan menimbulkan proliferasi

pada permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi sering terjadi pada wanita yang aktif

secara seks. Dalam studi lebih lanjut, dibuktikan bahwa HPV yang menginfeksi mukosa

anogenital dibagi dalam 3 grup, yaitu tipe high risk oncogenic (tipe 16, 18, 45, 56), tipe

intermediate risk oncogenic (tipe 31, 33, 35, 51, 52, 54) dan tipe low risk oncogenic (tipe

6, 11, 42, 43, 44). Yang lebih berperan dalam terbentuknya lesi prakanker dan kanker

serviks adalah HPV tipe high risk oncogenic.20 Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Bosch, dkk pada tahun 1995 menunjukkan bahwa HPV tipe 18 merupakan tipe yang

paling sering ditemukan pada pasien kanker serviks di Indonesia (48,9%), kemudian

disusul oleh HPV tipe 16 (31,9 %) dan HPV tipe 45 (8,5%).

Karsinogenesis bermula ketika DNA HPV tipe high risk oncogenic berintegrasi

dengan genome sel serviks yang menyebabkan kemungkinan terjadinya mutasi. Bila

mutasi terjadi pada gen p53, suatu gen yang menekan proses pertumbuhan neoplasma,

maka fungsi gen tersebut menjadi terganggu dan neoplasma akan terbentuk.21

i. Faktor Risiko Kanker Serviks

Faktor risiko untuk kanker serviks adalah segala sesuatu yang berhubungan

dengan inisiasi transformasi atipik serviks dan perkembangan dari displasia.

Transformasi atipik merupakan daerah atipik (abnormal) yang terletak di antara

perbatasan sel-sel squamouscolumnar serviks yang asli dengan sel-sel yang baru

terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi sel squamous.12 Faktor risiko tersebut

terutama berhubungan dengan riwayat seksual. Dari studi epidemiologi, kanker serviks

berhubungan erat dengan perilaku seksual seperti mitra seksual yang multipel dan usia

pada saat pertama kali melakukan hubungan seksual. Risiko meningkat lebih dari 10 kali

bila wanita berhubungan seksual dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila hubungan

Page 8: PENDAHULUAN 1

seksual pertama di bawah umur 15 tahun.22 Selain itu, risiko juga meningkat bila

berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi (pria yang berhubungan seks dengan

banyak wanita), atau pria yang mengidap penyakit “jengger ayam” (kondiloma

akuminata).

Faktor risiko lainnya adalah usia, paritas, rokok, diet/nutrisi, pemakaian

kontrasepsi, sosial ekonomi rendah, dll. Menurut WHO, wanita yang berusia 40-45 tahun

memiliki risiko tertinggi untuk mengidap kanker serviks.23 Dari segi paritas, wanita yang

multiparitas (jumlah anak > 4 orang) juga memiliki risiko yang lebih tinggi. Wanita

perokok memiliki risiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks dibandingkan dengan wanita

yang tidak merokok.22 Sebuah penelitian pada tahun 2003 menunjukkan adanya

hubungan antara wanita yang obesitas dengan kejadian cervical adenocarcinoma. Akan

tetapi, wanita yang mengalami defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, dan beta

carotin/retinol juga memiliki hubungan terhadap peningkatan risiko kanker serviks.

Selain itu, kanker serviks juga berhubungan dengan peningkatan kadar estrogen atau

hormon wanita lainnya. Hal ini terlihat pada peningkatan kejadian kanker serviks pada

wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi oral dalam jangka panjang.17

j. Perkembangan Kanker Serviks

Kanker serviks didahului oleh lesi prakanker yang disebut displasia (CIN/

Cervical Intraepithel Neoplasm). Displasia ditandai dengan adanya perubahan morfologi

berupa gambaran sel-sel imatur, inti sel yang atipik, perubahan rasio inti/sitoplasma dan

kehilangan polaritas yang normal. Displasia bukan merupakan suatu bentuk kanker tetapi

akan mengganas menjadi kanker bila tidak diatasi.24

Displasia dikelompokkan menjadi displasia ringan (CIN I), displasia sedang (CIN

II), dan displasia berat (CIN III). Pengelompokkan displasia dibagi berdasarkan luas

perubahan morfologi yang terjadi pada epitel leher rahim. Pada CIN I, sel-sel yang

mengalami perubahan morfologi hanya sebatas 1/3 bagian atas dari lapisan epithelium

serviks. CIN II ditandai dengan perubahan morfologi sel yang telah mencapai 2/3 bagian

dari lapisan atas epithelium serviks. Sementara itu, CIN III ditandai dengan lebih

banyaknya variasi dari sel dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan hiperkromasi

yang telah melebihi 2/3 lapisan atas epithelium serviks, namun belum menginvasi

jaringan stroma di bawahnya. Bila perubahan berlanjut hingga menginvasi jaringan

Page 9: PENDAHULUAN 1

stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut karsinoma in situ.12

Interval waktu antara timbulnya lesi prakanker dan terjadinya kanker leher rahim

membutuhkan waktu yang cukup panjang. Diperkirakan 80 % dari displasia akan menjadi

karsinoma in situ dalam waktu 10-15 tahun. Selama interval waktu yang panjang tersebut

dapat dilakukan berbagai upaya pencegahan berupa pemeriksaan dan pemberian terapi

secara dini.11

k. Pencegahan Kanker Serviks

Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu:25

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan

kontak individu dengan karsinogen untuk mencegah terjadinya proses

karsinogenesis. Pencegahan primer kanker serviks dapat dilakukan dengan

menghindari berbagai faktor risiko serta dengan memberikan vaksin pencegah

infeksi dan penyakit terkait HPV. Vaksin ini terbukti efektif dalam mencegah

infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang merupakan HVP tipe high oncogenic risk untuk

kanker serviks.21

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker

serviks, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan

sekunder termasuk skrining dan deteksi dini, seperti Pap smear, kolposkopi,

servikografi, Pap net (dengan komputerisasi), dan inspeksi visual dengan asam

asetat (IVA). Menurut WHO, Pap smear merupakan standart emas program

skrining karena pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit serta

dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada masa haid. Selain itu, Pap smear juga

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi, sehingga pap smear

mampu untuk mencegah kejadian kanker serviks hingga mencapai 93 %.7

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier kanker serviks bertujuan untuk mencegah komplikasi klinik

dan kematian awal. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan cara memberikan

pengobatan yang tepat baik berupa operasi, kemoterapi, dan radioterapi.

Page 10: PENDAHULUAN 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan. Kanker Leher Rahim Lebih

Cepat ditemukan, Lebih Besar Kemungkinan Sembuh. Jakarta Selatan, Leaflet.

2008

2. Setiati, E. Waspadai Empat Kanker Ganas Pembunuh Wanita. ANDI Yogyakarta,

2009

3. Kanker Serviks dan Penanggulangannya. www.drprima.com.

4. Kusuma HW. Atasi Kanker Dengan Tanaman Obat, PT. Niaga Swadaya, Jakarta.

2004

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Deteksi Kanker Leher Rahim.

Available from: http://www.depkes.go.id/en/2104ea.htm (Accessed 3 februari

2009).

6. Purwoto G, Nuranna L. Metode Skrining Alternatif Pada Kanker Serviks. Deteksi

Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 142-143. 2002

7. Rosevear, S.K. Cervical Screening and Premalignant Disease of the Cervix. In:

Hand Book of Gynaecology Management. Osney Mead: Black Wall Science Ltd,

80-83. 2002

8. Schoenstadt, A., 2006. Cervical Cancer Screening. Available from:

http://cervical-cancer.emedtv.com/cervical-cancer/cervical-cancer- screening.html

9. Hillegas, K.B. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. In: Hartanto, H., et al,

eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC,

1295-1297. 2005

10. Manuaba, I. Pemeriksaan Pap Smear. In: Rusmi & Sari, L., eds. Dasar- Dasar

Teknik Operasi Ginekologi. Jakarta: EGC, 100-104. 2005

11. Husain, A. & Hoskins, W.J. Screening for Cervical Cancer. In: Aziz, K. & Wu,

G.Y., eds. Cancer Screening: A Practical Guide for Physicians. Totowa: Humana

Press Inc., 27-41. 2002

12. Aziz, M. Skrining dan Deteksi Dini Kanker Serviks. In: Ramli, H.M., et al, eds.

Deteksi Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 97-110. 2002

13. Soepardiman, H. Tes Pap dan Interpretasi. In: Ramli, H.M., et al, eds. Deteksi

Page 11: PENDAHULUAN 1

Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 123-129. 2002

14. Garcia, A.A., 2007. Cervical Cancer, University of Southern California.

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/253513-overview

15. Tierner L, Saint S, Whooley, M. Cervical Dysplasia. In: Essentials of Diagnosis

& Treatment. 2nd

ed. New York: McGraw-Hill, 415. 2002

16. Mills K. Molecular Analysis of cancer. In: Boultwood, J. & Fidler, C., eds.

Methods in Molecular Medicine, vol 68. Totowa: Humana Press, 1-4. 2002

17. Cherath, L. & Alic, M., 2006. Cervical Cancer. Available from:

http://www.medical-encyclopedia-cid-2901203.html [Accessed 28 February

2009]

18. Crowder S, Lee C, Santoso, J. Cervical cancer. In: Santoso, J.P. & Coleman, R.L.,

eds. Gyn Oncology Handbook. New York: McGraw-Hill, 25- 31. 2001

19. Nuryastuti T. Deteksi Infeksi Human Papilomavirus (HPV) tipe 16 dan 18 pada

Penderita kanker Leher Rahim (KLR) dari beberapa Rumah Sakit di Yogyakarta.

Jurnal kedokteran YARSI, 15 (2): 102-110. 2007

20. Doeberitz, M., et al., 1991. Papilomaviruses and Human Cancer. In: Maza, L.M.

& Peterson,E.M., eds. Medical Virology. 10th

ed New York: Plenum Press, 165-

179

21. Tiro, J.A. et al., 2007. What do Women in the US Know about Human

papilomavirus (HPV) and Cervical Cancer. Bethesda : National Cancer Institute.

Available from: http://cebp.aacjournals.org/cgi/reprint/16/2/288

22. Dalimartha S. Kanker Serviks. In: Deteksi Dini Kanker & Simplisia Antikanker.

Jakarta: Penebar Swadaya, 14-18. 2004

23. WHO, 2005. Cervical Cancer, Human Papilomavirus (HPV), and HPV Vaccines.

Available from:

http://www.who.int/healthinfo/statistics/bodprojections2030/en/index.html.

24. Hacker N. Cervical Cancer. In: Weinberg, R., ed. Practical Gynecologist

Oncology. 4th

ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 337-342. 2005

25. Sukardja I. Prevensi Kanker. In: Tutiek, K., ed. Onkologi Klinik. Surabaya:

Page 12: PENDAHULUAN 1

Airlangga University Press, 171-174. 2000