pendahuluan (1)

42
kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis (WHO, 2004). Di Indonesia prevalensi demam tifoid di perkirakan 350 – 810 kasus per 1000 penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus setiap tahun 80 - 90% dari angka di atas adalah anak berusia 2-19 tahun. Pada tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4% per 10.000 penduduk. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi di Indonesia adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi Banten sebesar 2,2 %. insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760 sampai 810 kasus per 100.000 penduduk (Riskesdas, 2007). Di provinsi Jawa tengah tifoid klinis dideteksi dengan prevalensi 1,61 % dan tersebar di seluruh Kabupaten atau Kota dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap 2

Upload: gilang-ridha-fathurrahman

Post on 08-Feb-2016

84 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN (1)

kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka

kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia

Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit

demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis

(WHO, 2004).

Di Indonesia prevalensi demam tifoid di perkirakan 350 – 810 kasus

per 1000 penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus

setiap tahun 80 - 90% dari angka di atas adalah anak berusia 2-19 tahun. Pada

tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi

menjadi 15,4% per 10.000 penduduk. Berdasarkan data Riskesdas 2007

prevalensi di Indonesia adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi

Banten sebesar 2,2 %. insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan

biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157

kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760

sampai 810 kasus per 100.000 penduduk (Riskesdas, 2007). Di provinsi Jawa

tengah tifoid klinis dideteksi dengan prevalensi 1,61 % dan tersebar di seluruh

Kabupaten atau Kota dengan prevalensi yang berbeda-beda di setiap tempat.

Prevalensi tifoid di Kabupaten Semarang sebesar 0,8%.

Peningkatan jumlah kasus demam tifoid terjadi selama 3 tahun

berturut – turut di provinsi Jawa Tengah dari tahun 2007 jumlah kasus 254

dan pada tahun 2008 menjadi 971 kasus, pada tahun 2009 naik 4817 kasus,

dan pada tahun 2010 naik lagi 5021 kasus (Dinkes DKI, 2005). Demam tifoid

menduduki tempat kedua di antara penyakit usus setelah gastroenteritis

(Dinkes DKI, 2005). Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760 sampai 810

kasus pertahun dan angka kematian 3,1 sampai 10,4%.(WHO, 2004).

2

Page 2: PENDAHULUAN (1)

B. Tujuan

1. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan pemeriksaan feses pasien

demam tifoid dari tahap pre-enrichment sampai pewarnaan gram.

2. Mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi hasil pemeriksaan dari

mulai proses pre-enrichment sampai pewarnaan gram

3. Mahasiswa diharapkan mengetahui jenis bakteri yang terdapat pada feses

penderita demam tifoid dengan mengamati hasil morfologi koloni,

morfologi sel, medium SIMA dan TSIA

C. Manfaat

1. Teoritis

Hasil praktik lapangan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

tentang cara pemeriksaan bakteri Salmonella thypi dengan sampel feses.

2. Praktis

Praktik lapangan ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

menambah keterampilan mahasiswa dalam melakukan pemeriksaan

bakteri Salmonella thypi dengan sampe feses.

3

Page 3: PENDAHULUAN (1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bakteri Salmonella thypi

Salmonella thypi merupakan bakteri batang gram negatif, tidak

membentuk spora, memiliki kapsul dan sering disebut sebagai bakteri

facultative intra-cellular parasites karena.memiliki habitat asli di dalam usus

manusia. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein,

dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan . Ukuran

panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella

sehingga bersifat motil. Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku

untuk waktu yang lama. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan

mannose, serta dapat menghasilkan gas H2S namun hanya sedikit (Winn,

2006).

Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis

inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen. Menurut Widodo (2009), bakteri

ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu :

1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat

spesifik grup.

2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam

flagella dan bersifat spesifik spesies.

3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang

melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses

aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari

proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri

dan efektivitas vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan

bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah

dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam

tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.

4. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel

terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan

4

Page 4: PENDAHULUAN (1)

yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai

barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran

sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk

bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri dari protein purin,

berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang

penting dalam mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein non

purin hingga kini fungsinya belum diketahui secara pasti.

Antigen yang paling umum digunakan untuk Salmonella adalah

antigen O dan H. Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela

dari bakteri ini, yang disebut flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat

dihilangkan dengan pemanasan atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi

untuk antigen ini terutamanya adalah IgG (Brooks, 2005).

B. Demam Tifoid

1. Definisi

Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-

gejala sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Penularannya

terjadi secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang

terkontaminasi (Mansjoer, 2000). Gejala klinis demam thypoid disebut

trias typhoid yang terdiri dari demam lebih dari 7 hari naik turun,

gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Selain itu, infeksi demam

tifoid ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada sistem

retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan

ulserasi plaque peyeri di distal ileum. Penulis lain membuat kriteria

demam tifoid, ditandai adanya demam tujuh hari atau lebih, gejala saluran

pencernaan dan gangguan pada sistem saraf pusat (sakit kepala, kejang

dan gangguan kesadaran) (Soegijanto, 2002).

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam

paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun

5

Page 5: PENDAHULUAN (1)

klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,

penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan

demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid

(Sumarmo, 2002).

2. Gejala

Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari

status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit,

penderita demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang

melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari

dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam

pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder temperature chart”, yang

ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik

tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan

selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat

fokus infeksi (Cammie et al.,2005; IDAI, 2008)

Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise,

pusing, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia,

hingga delirium dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat

ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan

kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi

abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular

berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot

(chamber,2006; IDAI, 2008)

3. Patomekanisme

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang

melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan,

kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke

dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri

6

Page 6: PENDAHULUAN (1)

melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan

mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi

dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke

sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui

sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya

tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil

yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari (Bhutta, 2006).

Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari,

gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang

lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C

hingga 40º C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah,

batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan

semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan

merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir

minggu pertama, diare lebih sering terjadi (Salyers, 2000).

Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung

merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita

sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke

dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-

gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.

Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada

abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)

berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi

terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah

tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut,

lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada

infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa

menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi (Salyers, 2000).

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur

meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian

7

Page 7: PENDAHULUAN (1)

meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua

suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu

badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.

Terjadi perlambatan relatif nadi penderita yang seharusnya nadi

meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih

lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septikemia semakin

berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.

Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, merah

mengkilat, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare

yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut

kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus

menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi (Widodo, 2009)..

Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan

normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau

berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan

temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat

lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk,

dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa

delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan

inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan

abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita

kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai

oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah

terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar

bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran

adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab

umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu

ketiga (Widodo, 2009)..

8

Page 8: PENDAHULUAN (1)

Kegawatan abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat

kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri

sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera

yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan

intraabdomen, infeksi, dan obstruksi. Perforasi usus adalah komplikasi

yang cukup serius, terjadi pada 1-3 % kasus. Terdapat lubang di usus,

akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga perut dan menimbulkan

gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut yang tidak

tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada sebelumnya

mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah

menurun secara tiba-tiba. Kegawatan abdomen ini membutuhkan

penanganan segera.Perforasi intestinal dapat dibagi menjadi perforasi non

trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis serta perforasi

oleh trauma (tajam dan tumpul) (Widodo, 2009).

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun

pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau

tromboflebitis vena femoralis.15 Pada mereka yang mendapatkan infeksi

ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,

kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.

Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat

menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh

persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan

timbulnya relaps (Widodo, 2009). Kekambuhan dapat terjadi bila kuman

masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan

berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella

dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier

(Parry,2005).

9

Page 9: PENDAHULUAN (1)

4. Penegakkan Diagnosis

Menurut Mehta (2008), diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan

pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri,

deteksi antigen mikroba dan titrasi antibodi terhadap organisme penyebab.

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya

positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah

yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Pada daerah endemik

dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas

kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi) (Bhutta,

2006).

Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap

antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen

O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada

hari 10-12 setelah sakit (Mehta, 2008). Pada orang yang telah sembuh,

antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H

setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk

menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan

titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau

bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang

sehat setempat (Zulkarnain, 2000).

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil

pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap

Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan

hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D (Mehta, 2008).

Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan

IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan

terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase

pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi,

oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan

kasus dalam masa penyembuhan. Pemeriksaan yang lebih baru lagi adalah

10

Page 10: PENDAHULUAN (1)

Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot

M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan

Typhidot (Bhutta,2006) Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi

tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan

sebelumnya (Mehta, 2008).

Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting

untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu,

dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu

menegakkan diagnosis (Zulkarnain, 2000)

11

Page 11: PENDAHULUAN (1)

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Pipet

b. Mikropipet

c. Jarum ose

d. Drugalsky

e. Tabung reaksi

f. Rak tabung reaksi

g. Cawan Petri

h. Api bunsen

i. Objek glass

j. Cover glass

k. Mikroskop

l. Tissue

m. Selotip

2. Bahan

a. Medium Lactose Broth (LB)

b. Medium Selenith Broth (SB)

c. Medium SSA

d. Medium TSIA

e. Medium SIMA

f. Kristal Ungu

g. Kalium Iodida

h. Alkohol Aseton

i. Aquades

j. Safranin

12

Page 12: PENDAHULUAN (1)

B. Langkah Kerja

1. Sampel diambil dari feses yang dicurigai terinfeksi bakteri Salmonella

Typhi, masukkan sebanyak 1 gram

2. Masukkan media Lactose Broth (LB), inkubasi selama 1x 24 jam dalam

suhu 370C

3. masukkan ke dalam Selenith Broth (SB), Inkubasi selama 1x 24 jam

dalam suhu 370C

4. Setelah inkubasi selesai :

a. dengan menggunakan jarum ose, inokulasikan pada medium SSA

secara streak atau kuadran, atau

b. 0,1 ml dengan mikropipet masukkan dalam medium SSA dan

diratakan dengan drugalsky

5. Inkubasi sampel pada suhu 37 OC selama 1-2 x 24 jam

6. Amati pertumbuhan koloni yang terbentuk, jika nampak koloni berwarna

merah atau bening keruh dan pada bagian tengahnya berwarna hitam

menunjukkan adanya koloni Salmonella.

7. Koloni yang diduga Salmonella kemudian dilakukan pewarnaan gram

dengan cara :

a. Buat preparat ulas dari suspensi kuman yang diduga S. typhi.

b.Lakukan fiksasi dengan hati-hati

c. Genangi preparat dengan kristal ungu dan dibiarkan selama 30 detik

d.Cuci dengan air mengalir dan dikeringkan

e. Genangi preparat dengan kalium iodida dan dibiarkan selama 45 detik

f. Cuci dengan air mengalir

g.Cuci dengan alkohol aseton sampai warna ungu hilang dan dikeringkan

h.Genangi preparat dengan safranin dan dibiarkan selama 30 detik

i. Cuci dengan air mengalir dan dikeringkan

j. Amati preparat dengan mikroskop.

13

Page 13: PENDAHULUAN (1)

8. Sebagian sampel dari koloni tersebut juga ditumbuhkan pada media tegak

miring TSIA dan SIMA untuk identifikasi jenis Salmonella. Inkubasi

pada suhu 35 OC selama 1 x 24 jam.

9. Amati pertumbuhan koloni dan perubahan media identifikasi.

C. Hasil

(lampiran 1)

D. Pembahasan

Tabel 1. Pembahasan

Hari ke- Pembahasan

1 Tahap pre Enrichment, yakni tahap pengkayaan bakteri

secara umum pada media LB (Lactose Broth). Tahap Feses pre

Enrichment pada keompok 11 dan kelompok 12 memberikan hasil

spesimen feses yang berwarna kehijauan yang telah dimasukkan

kedalam media LB sebelum dilakukan inkubasi 1x 24 jam.

Sebagian besar mendapatkan warna pada tabung reaksi menjadi

kekuningan.

2Tahap Enrichment, sampel feses tercampur bersama

media SB (Selenith Broth) dan diinkubasi selama 1x24 jam pada

suhu 37oC. Tahap pengkayaan untuk bakteri Salmonella sp. dan

Shigella sp. Media pengaya, digunakan dengan maksud

memberikan kesempatan terhadap satu jenis atau kelompok

mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dari

jenis/kelompok lainnya yang sama-sama berada dalam satu bahan.

Misalnya untuk memindahkan bakteri penyebab penyakit tipoid

dari bahan tinja. Dalam media pengaya ini masih memungkinkan

terjadinya pertumbuhan dan perkembangan semua jenis kelompok

yang berada dalam bahan. Hal ini disebabkan karena kandungan

14

Page 14: PENDAHULUAN (1)

mikroba dalam tinja bukan hanya puluhan, tetapi mungkin ratusan

jenis mikroba.

Medium Lactose Broth digunakan untuk menumbuhkan

bakteri Salmonella dan bakteri koliform dari makanan. Tanda

positif pada tabel 3.1 menunjukan adanya bakteri koliform dalam

sampel feses yang diuji. Indikator yang digunakan dalam

melakukan pengamatan ini adalah dengan melihat perubahan

warna menjadi kuning, ada atau tidaknya gelembung dalam tabung

reaksi dan gas pada tabung reaksi. Hal ini terjadi karena bakteri

kioliform yang tumbuh mampu memfermentasikan laktosa

menjadi asam dan gas. Gelembung gas yang muncul menunjukan

adanya metabolisme pada bakteri tersebut.

Medium Selenith Broth digunakan untuk memberikan

kesempatan pertumbuhan dan perkembangan bakteri, khususnya

Salmonella. Medium ini juga akan menghambat pertumbuhan dan

perkembangan bakteri lain. Pada rentang waktu 18-22 jam, bakteri

selain Salmonella akan terhenti pertumbuhannya dan untuk bakteri

Salmonella akan terjadi pertumbuhan serta perkembangan. Dengan

metode ini diharapkan pada saat melakukan pengisolasian

selanjutnya akan didapatkan bakteri Salmonella saja.

Pada sebagian besar kelompok, mendapatkan pada media

LB berwarna putih hingga kuning keruh. Pada media SB,

didapatkan warna kuning jernih.

3 Pengamatan pada medium SB yang telah diinkubasi

selama 24 jam dan dilakukan percobaan menggunakan mesin

vortex untuk menilai campuran dari medium SB tersebut. Medium

Selenith Broth merupakan media yang digunakan untuk

mengembangbiakan Salmonella. Pada hasil inkubasi yang positif

biasanya didapatkan adanya endapan berwarna merah yang

15

Page 15: PENDAHULUAN (1)

menunjukan adanya koloni bakteri Salmonella. Faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah zat makanan, pH, air,

oksigen, dan senyawa penghambat pertumbuhan (Fardiaz, 1992).

Pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh wakti, potensial

reduksi oksidasi, struktur biologi, dan faktor pengolahan (Buckle,

1987). Semua kelompok medapatkan perubahan warna menjadi

kuning keruh.

4 Pengamatan morfologi koloni yang diambil dari hasil

isolasi bakteri pada medium Selenith Broth Agar. Pengamatan

morfologi koloni ini dilakukan setelah proses penanaman/inokulasi

menggunakan jarum ose dengan metode streak plate. Proses

penanaman ini dilakukan pada 2 cawan yang mengamdung

medium Salmonella Shigella Agar (SSA).

Media Salmonella Shigella Agar (SSA) adalah media

yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri Salmonella dan

Shigella, karena media ini termasuk ke dalam media selektif yang

membuat pertumbuhan bakteri selain Salmonella dan Shigella

tidak tumbuh. Media selektif merupakan media yang mencegah

pertumbuhan mikroba lain, sehingga dapat mengisolasi mikroba

tertentu yang diinginkan. Media ini mengandung nutrisi dan zat

aktif tertentu yang dapat menekan pertumbuhan mikroba lain serta

meningkatkan pertumbuhan bakteri yang diinginkan.

Sebagian besar kelompok mendapatkan hasil

Ukuran : kecil

Bentuk : bulat

Warna : merah muda

Tepi : rata

Permukaan : halus

Bau : busuk

16

Page 16: PENDAHULUAN (1)

Elevasi : cembung

Perbedaan yang ditemukan diantaranya ada beberapa kelompok

yang menyebutkan warna coklat. Perbedaan warna yang

ditimbulkan dapat disebabkan karena kondisi penanaman yang

kurang asepsis.

5 Pengamatan morfologi koloni kembali dan dilakukan

pengamatan pada medium TSIA dan SIMA. Selain itu dilakukan

pula pewarnaan gram untuk dilakukan pengamatan. Sebagian

besar kelompok mendapatkan

TSIA

Tabung I

Lereng: merah

Bawah: kuning

Gas: (++)

Tabung II

Lereng: kuning

Bawah: kuning

Gas: (-)

SIMA

Tabung I

H2S (-)

Motilitas (+)

Tabung II

H2S (-)

Motilitas (+)

Pewarnaan gram : merah muda, gram negatif, tidak berspora,

17

Page 17: PENDAHULUAN (1)

bentuk batang

Hasil praktikum diperoleh Salmonella sp. merupakan

bakteri gram negatif, berbentuk batang, dan berwarna merah

karena tidak dapat mempertahankan zat warna kristal violet

sewaktu proses pewarnaan gram (Madigan et al., 2006). Banyak

spesies bakteri gram negatif yang bersifat patogen, yang berarti

berbahaya bagi organisme inang. Sifat patogen ini umumnya

berkaitan dengan komponen tertentu pada dinding sel gram

negatif, terutama lapisan lipopolisakarida (dikenal juga dengan

LPS atau endotoksin) (Prescott et al., 2002).

Terdapat perbedaan hasil penanaman pada media TSIA,

sediaan sampel pada cawan 1 memiliki warna yang berbeda-beda

setiap kelompoknya. Penanaman yang tepat akan memberi warna

lereng kemerahan dan warna dasar kuning. Perbedaan ini

kemungkinan berhubungan erat dengan keberadaan mikroba lain

akibat, kontaminasi alat dan bahan, dan perbedaan waktu

pengamatan. Pada media SIMA, seluruh kelompok mendapatkan

hasil motilitas positif dan tidak menghasilkan H2S. Bila dilihat dari

literatur, hanya bakteri batang motil pada gram negatif saja yang

memenuhi atau merupakan karakteristik Salmonella sp karena

memiliki flagel peritrik (Jawetz, 2007).

IV. PENUTUP

18

Page 18: PENDAHULUAN (1)

A. Kesimpulan

1. Pemeriksaan bakteri Salmonella thypi dengan menggunakan sampel feses

dapat dilakukan melalui tahapan pre enrichment, enrichment, isolasi

bakteri, penanaman pada media TSIA dan SIMA serta media SSA, dan

terakhir adalah tahap identifikasi dengan pengamatan hasil serta

pewarnaan Gram

2. Identifikasi bakteri dapat diamati pada media TSIA berupa warna lereng

dan warna dasar, SIMA dengan mengamati motilitas bakteri, serta

pewarnaan Gram untuk pemeriksaan mikroskopis

3. Salmonella thypi dapat diamati dengan penanaman yang tepat pada TSIA

akan memberikan warna lereng merah dan dasar kuning, pada SIMA

menunjukan bentuk seperti akar yang berarti motilitas (+) serta pewarnaan

Gram menunjukkan bakteri berbentuk batang, gram negative berwarna

kemerahan dan tidak berspora.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 19: PENDAHULUAN (1)

Baron. 2005. Medical Microbiology. Edisi 4 The University of Texas Medical at Galveston.

Bhutta, Z.A. 2006. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ; 333: 78-82.

Bhutta, Z.A. 2006. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract. BMJ; 14: 266-72.

Brooks, B. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 1. Surabaya: FKU Unair.

Brooks, N., A. Hossain and M.A. Baker. 2004. Medical Microbiology and Imunology. New York: Lange Medical Books.

Cammie F. L., S.I. Miller. 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed). page :897-900

Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment (45th ed). Page :1425-1426.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed). Jakarta : Badan Penerbit IDAI.

Jawetz, M.A. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Madigan M.T, J.M. Martinko and T.D. Brock . 2006. Brock Biology of Microorgnisms. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Mehta, KK. 2008. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update ; 18: 201-4

Parry C.M. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever [Internet]. 2005 [cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org

Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. 5th Ed. Boston: McGraw-Hill.

Salyers, A.A, Whitt D.D., 2000. Salmonella Infections. Dalam : Bacterial Pathogenesis. A molecular Approach

20

Page 20: PENDAHULUAN (1)

Soegijanto,S.2002.Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika

Sumarmo S.2002.Garna H, Sri RSH, Hindra IS. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Widodo D. 2009. Demam Tifoid. In; Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing

Winn, W.A. 2006. Koneman’s color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology 6th edition. Baltimore. MD.

World Health Organization. 2004. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. WHO/V&B/03.07.Geneva : World Health Organization 7-18.

Zulkarnain, I.2000. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p.6-12

21

Page 21: PENDAHULUAN (1)

22

Page 22: PENDAHULUAN (1)

23

Page 23: PENDAHULUAN (1)

24

Page 24: PENDAHULUAN (1)

25

Page 25: PENDAHULUAN (1)

26

Page 26: PENDAHULUAN (1)

27

Page 27: PENDAHULUAN (1)

Lampiran 2. Foto Kegiatan

Gambar 1. Hari ke-1

28

Page 28: PENDAHULUAN (1)

Gambar 2. Hari ke-2

gambar 3. Hari ke-3

29

Page 29: PENDAHULUAN (1)

Gambar 4. Hari ke-4

Gambar 5. Hari ke-5

30

Page 30: PENDAHULUAN (1)

31