pencemaran gas co 2

35
Pendahuluan Peran arsitek dalam Global warming dan “warning” issue “ Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu penting yang disuarakan di sejumlah negara. Gedung-gedung bertingkat menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Berdasarkan riset sebuah lembaga di Amerika Serikat, 68% total emisi CO2 di bumi dihasilkan bangunan gedung bertingkat. Arsitek masa kini dan masa depan harus memahami serta menguasai strategi perencanaan bangunan yang mampu meminimalkan penggunaan energi BBM (bahan bakar minyak) untuk meniadakan proses pemanasan bumi," ujar pengajar arsitektur Universitas Tarumanegara Jakarta Tri Harso Karyono pada Seminar Arsitektur "Peran Arsitek dalam Membakar Bumi". Saat ini, hampir semua teknologi modern yang digunakan manusia sangat bergantung pada sumber energi BBM. Pembakaran minyak bumi dalam jumlah besar secara kontinu akan menghasilkan polutan karbondioksida (CO2) yang diduga menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Bangunan modern cenderung boros BBM untuk memenuhi kenyamanan fisik manusia di dalamnya. Dari tangan arsitek bisa ditentukan apakah kota dan bangunan yang dirancang akan hemat energi atau sebaliknya, konsumtif terhadap BBM. Tak satu pun gedung pencakar langit di Indonesia memiliki ciri bangunan iklim tropis, apalagi didesain dengan arsitektur khas Indonesia. Pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan, pabrik, rumah, dan pembangkit listrik menghasilkan CO2 dalam jumlah tinggi.Namun, penting untuk diketahui bahwa masing-masing gas rumah kaca yang disebutkan di atas memiliki kemampuan memerangkap panas dalam jumlah berbeda. Menarik untuk diketahui bahwa gas seperti metana, nitrogen oksida, dan chlorofluorocarbon memiliki level 100 sampai 1000 kali lebih kuat dalam memerangkap panas dari CO2.

Upload: tegar-shidarta

Post on 06-Dec-2015

237 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

urban design

TRANSCRIPT

Pendahuluan

Peran arsitek dalam Global warming dan “warning” issue “

Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu penting yang disuarakan di sejumlah negara. Gedung-gedung bertingkat menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Berdasarkan riset sebuah lembaga di Amerika Serikat, 68% total emisi CO2 di bumi dihasilkan bangunan gedung bertingkat.

Arsitek masa kini dan masa depan harus memahami serta menguasai strategi perencanaan bangunan yang mampu meminimalkan penggunaan energi BBM (bahan bakar minyak) untuk meniadakan proses pemanasan bumi," ujar pengajar arsitektur Universitas Tarumanegara Jakarta Tri Harso Karyono pada Seminar Arsitektur "Peran Arsitek dalam Membakar Bumi".

Saat ini, hampir semua teknologi modern yang digunakan manusia sangat bergantung pada sumber energi BBM. Pembakaran minyak bumi dalam jumlah besar secara kontinu akan menghasilkan polutan karbondioksida (CO2) yang diduga menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Bangunan modern cenderung boros BBM untuk memenuhi kenyamanan fisik manusia di dalamnya. Dari tangan arsitek bisa ditentukan apakah kota dan bangunan yang dirancang akan hemat energi atau sebaliknya, konsumtif terhadap BBM. Tak satu pun gedung pencakar langit di Indonesia memiliki ciri bangunan iklim tropis, apalagi didesain dengan arsitektur khas Indonesia.

Pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan, pabrik, rumah, dan pembangkit listrik menghasilkan CO2 dalam jumlah tinggi.Namun, penting untuk diketahui bahwa masing-masing gas rumah kaca yang disebutkan di atas memiliki kemampuan memerangkap panas dalam jumlah berbeda. Menarik untuk diketahui bahwa gas seperti metana, nitrogen oksida, dan chlorofluorocarbon memiliki level 100 sampai 1000 kali lebih kuat dalam memerangkap panas dari CO2.

Meskipun demikian, CO2 adalah gas utama yang menyebabkan pemanasan global. Mengapa? Hal ini karena gas karbon monoksida diemisikan dalam jumlah besar sehingga dinilai lebih berbahaya dibandingkan gas-gas rumah kaca lain.

Karbon Dioksida ( CO2 ) dalam Kehidupan

Gas CO2 merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berasa dan tidak merangsang, sumber gas CO2 terutama berasal dari proses pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas alam. Selama manusia masih menggunakan bahan bakar kayu, pertambahan kadar gas Karbondioksida di udara dapat diabaikan. Sampai pada tahun 1960, di daerah-daerah yang belum ada industri, kadar gas Karbondioksida di udara hanya 300 ppm. Dengan adanya kemajuan industri dengan bahan bakar batu bara dan minyak bumi serta gas alam atau liquefied natural gas (LNG), kadar gas Karbondioksida di udara meningkat menjadi 320 ppm.

Dengan adanya laju pertumbuhan penduduk maka berbagai kebutuhan manusia bertambah, misalnya makanan, perumahan, penerangan, dan tranportasi. Hal itu berarti pengadaan pupuk, agro industri, tenaga listrik, dan industri tranportasi semakin

meningkat, sehingga kebutuhan bahan bakar juga semakin meningkat. Akibatnya, produksi Karbondioksida makin banyak mencemari udara di daerah industri.

Pengaruh CO2 terhadap pemanasan global

Adanya gas CO2 yang berlebihan di udara atau di atmosfer tidak berakibat langsung kepada manusia. Tetapi CO2 membentuk lapisan transparan (tembus pandang) di atmosfer yang mengisolasi di sekililing bumi. Hal itu yang mengakibatkan suhu udara di bawah lapisan gas CO2 dan dipermukaan bumi semakin tinggi, sehingga akan mempengaruhi makluk hidup. Sifat gas CO2 seperti diatas itu dikenal dengan istilah efek rumah kaca atau green house effect.

Sebenarnya, Karbondioksida tidak berbahaya bagi manusia. akan tetapi, karbondioksida tergolong gas rumah kaca, sehingga peningkatan kadar karbondioksida di udara dapat mengakibatkan peningkatan suhu permukaan bumi. Peningkatan suhu karena meningkatnya kadar gas-gas rumah kaca di udara disebut pemanasan global. Pemanasan global dapat mempengaruhi iklim, mencairkan sungkup es di kutub dan berbagai rangkaian akibat lainnya yang mungkin belum sepenuhnya dimengerti.

Sifat gas Karbondioksida seperti dikemukan di atas itu dikenal dengan istilah efek rumah kaca atau green house effect . selain itu, ada beberapa kegunaan gas Karbondioksida diantaranya yaitu untuk fotosintesis tumbuhan yang mana dalam melakukan fotosintesis ini diperlukan adanya bantuan sinar ultraviolet dari sinar matahari. Zat yang di hasilkan dalam proses ini adalah zat tepung dan gas Oksigen yang sangat berguna bagi kehidupan makhluk hidup yaitu manusia, dan tumbuh-tumbuhan untuk pernapasan.

Jadi, untuk mengurangi jumlah gas Karbondioksida di atmosfer perlu diadakannya penghijauan, yaitu menanam pohon, memperbanyak taman kota, memperluas hutan konservasi serta pengelolaan hutan dengan sistem tebang tanam.

CO2 merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, yang dihasilkan dari alam dan proses pembakaran bensin, batu bara, minyak, dan kayu, serta hasil dari proses respirasi dan metabolisme manusia (merupakan kontributor terbesar gas CO2 dalam ruangan).Konsentrasi gas CO2 di dalam ruangan tergantung pada jumlah orang, lama ruangan dipergunakan, kegiatan dalam ruangan, pertukaran udara, dan polutan dari luar.

Menurut EPA dan ASHRAE batas maksimum gas CO2 dalam ruangan tidak boleh melewati 1.000 ppm untuk mencapai keadaan ruangan yang nyaman.

Penyebab Penecemaran Emisi Gas CO2

Karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas penting dan dalam kadar yang normal sangat bermanfaat dalam melindungi kehidupan manusia di bumi. Komposisi ideal dari CO2 dalam udara bersih seharusnya adalah 314 ppm sehingga jumlah yang berlebihan di atmosfer bumi akan mencemari udara serta menimbulkan efek gas rumah kaca – GRK (Kirby, 2008).

Emisi CO2 berasal daripembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab terbesar sekitar 50% dari efek GRK (Puslitbangkim, 2005). Umumnya, pencemaran yang diakibatkan oleh emisi CO2 bersumber dari 2 (dua) kegiatan yaitu; alam (natural), dan manusia (antropogenik) seperti emisi CO2 yang berasal dari transportasi, sampah, dan konsumsi energi listrik rumah tangga.

Emisi CO2 yang dihasilkan dari kegiatan manusia (antropogenik) konsentrasinya relatif lebih tinggi sehingga mengganggu sistem kesetimbangan di udara dan pada akhirnya merusak lingkungan dan kesejahteraan manusia (Yoshinori, et al., 2009)

Berbagai studi untuk memprediksi dan mengurangi emisi CO2 ke udara berkaitan dengan perubahan iklim dan lingkungan binaan telah dilakukan khususnya pada penyelenggaran perumahan perkotaan (Klunder, 2004; Jabareen, 2006; Zubaidah, 2007; Suhedi, 2007; Gupta, 2009).

Emisi ini sebagian dihasilkan dari pemakaian bahan bakar fosil selama konstruksi, dan sebagian berhubungan dengan pabrikasi dan transportasi bahan-bahan konstruksi

(Yudhi dan Sudjono, 2007; Dewi dan Sudjono, 2007). Selain itu, kegiatan rumah tangga juga melepaskan gas CO2 ke udara terutama melalui pemakaian energi yang bersumber dari pembakaran bahan bakar dan penggunaan listrik (Firth dan Lomas, 2009).

Lebih jauh, sirkulasi lalu lintas pada perumahan dan perubahan gaya hidup juga memberikan kontribusi pada meningkatnya timbulan emisi CO2 ke udara (Puslitbangkim, 2007).

Cara Mengatasi Dampak CO2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman (Puslitbangkim) Bandung mengungkapkan bahwa proses penyelenggaraan perumahan sederhana mulai dari tahapan pembuatan bahan bangunan, tahapan pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pengembangan perumahan, keseluruhan proses tersebut menghasilkan emisi CO2 (Puslitbangkim, 2005). Oleh karena itu, agar dapat mengendalikan emisi CO2 pada penyelenggaraan perumahan, pencegahan dan penanggulangan meningkatnya emisi CO2 dapat dilakukan mulai dari penentuan material bangunan, penentuan lokasi bangunan; perbandingan antara luas rumah dengan lahan terbuka hijau, penataan ulang ruang kawasan, sampai ke skala perkotaan seperti pembuatan kebijakan, aksesibilitas dan sarana-prasarana. Akan tetapi, penyelenggaraan perumahan sederhana umumnya mengabaikan sistem pencegahan dan penanggulangan emisi CO2 tersebut

Emisi CO2 pada penyelenggaraan perumahan sederhana dapat juga dicegah dan ditanggulangi melalui berbagai pendekatan rancangan seperti pengaturan; sistem ventilasi udara, ketinggian bangunan, luasan bidang bukaan vertikal, denah bangunan, koefisien dasar bangunan, persentase peruntukan lahan, sistem sirkulasi perumahan, ruang terbuka hijau, garis sempadan bangunan, dan penggunaan energi minimal untuk menujang aktifitas rumah tangga (Syahrin, 2003; Budihardjo, 2005; Dewi, dan Sudjono, 2007).

Berbagai studi untuk memprediksi dan mengurangi emisi CO2 ke udara berkaitan dengan perubahan iklim dan lingkungan binaan telah dilakukan khususnya pada penyelenggaran perumahan perkotaan (Klunder, 2004; Jabareen, 2006; Zubaidah, 2007; Suhedi, 2007; Gupta, 2009). Emisi ini sebagian dihasilkan dari pemakaian bahan bakar fosil selama konstruksi, dan sebagian berhubungan dengan pabrikasi dan transportasi bahan-bahan konstruksi (Yudhi dan Sudjono, 2007; Dewi dan Sudjono, 2007). Selain itu, kegiatan rumah tangga juga melepaskan gas CO2 ke udara terutama melalui pemakaian energi yang bersumber dari pembakaran bahan bakar dan penggunaan listrik (Firth dan Lomas, 2009). Lebih jauh, sirkulasi lalu lintas pada perumahan dan perubahan gaya hidup juga memberikan kontribusi pada meningkatnya timbulan emisi CO2 ke udara (Puslitbangkim, 2007).

Ventilasi

Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi serta kecepatan angin yang rendah, maka sebaiknya ruangan atau bangunan memiliki sistem ventilasi yang baik. Kesehatan dan kenyamanan termal merupakan dua aspek

yang erat kaitannya dengan ventilasi bangunan. Pada umumnya terdapat 2 jenis ventilasi, yaitu:

Ventilasi alami

Pergantian udara secara alami tanpa bantuan peralatan mekanis seperti kipas ataupun penyejuk udara (AC).

Ventilasi mekanis

Penghawaan ruangan dengan bantuan peralatan mekanis (kipas angin atau AC), yang tujuannya untuk memperoleh kenyamanan suhu ruangan

Ventilasi Alami

Ventilasi alami merupakan media terjadinya proses pergantian udara dalam ruangan oleh udara segar dari luar ruangan tanpa bantuan peralatan mekanik. Ventilasi alami diperlukan untuk 2 tujuan yang umum:

Sebagai media penyedia udara segar ke dalam ruangan dan untuk menetralkan polutan, dengan kata lain berfungsi untuk menjaga kualitas udara dalam ruangan dalam kondisi baik.

Sebagai media untuk mendinginkan ruangan yang kelebihan panas.

Secara umum, sistem ventilasi alami terbagi atas 2 jenis, yaitu:

Ventilasi horizontal

Ventilasi horizontal merupakan aliran udara yang terjadi bila terdapat perbedaan suhu udara luar dan dalam ruangan, seperti: cross ventilation dan single-sided ventilation.

Ventilasi vertikal

Ventilasi vertikal merupakan ventilasi yang terjadi karena perbedaan jenis lapisan udara luar dan dalam bangunan. Udara dengan berat jenis rendah akan mengalir ke atas, dan udara luar yang lebih dingin (berat jenis tinggi), akan mengalir ke bawah (ruangan), yang disebut stack-effect ventilation.

Pergantian udara dalam ruangan sering dinyatakan dalam satuan ACH (Air Change per Hour). ACH merupakan jumlah pergantian seluruh udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar setiap jam-nya (Satwiko, 2009). M.Evans (1980) menyarankan sebaiknya besar bukaan outlet sama dengan inlet agar pertukaran udara optimum. Bila bukaan outlet lebih besar dari inlet, maka kecepatan angin dalam ruangan akan meningkat, namun pertukaran udara tidak optimum. Dari SNI, disarankan agar besar bukaan minimum 5% dari luas lantai ruangan.

Sistem ventilasi alami digemari di lokasi yang beriklim tropis karena dapat mengurangi penggunaan energi (Dutton, 2010). Efisiensi ventilasi dapat diprediksi dengan menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Hananto (2010).

Cross Ventilation dan Single Sided VentilationPencapaian jarak aliran udara tergantung pada kondisi inlet dan outlet-nya. Pertukaran udara akan optimum bila ukuran inlet dan outlet sama (cross-ventilation). Namun bila ruangan tersebut hanya memiliki salah 1 area bukaan saja (single-sided ventilation), maka ruangan tersebut akan sulit untuk mendapatkan pertukaran udara yang optimum.

Perbandingan ukuran bukaan dengan kecepatan rata-rata aliran udara. Sumber: M.Evans,1980 dalam Putra, 2009.

Cross ventilation (ventilasi silang) merupakan sistem ventilasi dengan bukaan pada dua atau lebih sisi ruangan. Sedangkan single-sided ventilation berarti ventilasi suatu ruangan hanya berada pada satu sisi ruangan.

Single-sided ventilation tidak efektif untuk diterapkan di daerah beriklim panas dan hanya cocok untuk ruangan yang kecil. Karena bila ruangan terlalu besar (lebar ruangan), maka pertukaran udara yang baik tidak akan terjadi, sehingga udara dalam ruangan akan terasa pengap dan tidak nyaman serta tidak baik untuk kesehatan.

Single-sided ventilation (atas) dan cross ventilation (bawah).Sumber: S.Roaf, 2003 dalam Putra, 2009.

Panjang ruangan maksimum untuk sistem ventilasi single-sided dapat dithitung dengan:

W = 2,5.c.H

Panjang ruangan maksimum untuk sistem ventilasi silang (cross ventilation) dapat dithitung dengan:

W = 5.c.H

dimana:W = Panjang maksimum ruanganc = Rasio luas bukaan dengan luas lantaiH = Tinggi ruangan

Penelitian Terkait

Efek Pengkondisian Ventilasi yang berbeda terhadap Konsentrasi CO2 dalam Ruangan

Penelitian ini dilakukan oleh Sribanurekha dkk. di Sri Lanka yang merupakan daerah beriklim tropis. Beliau melakukan penelitian dengan metode pembagian kuisioner dan pengukuran terhadap konsentrasi CO2 di dalam ruangan dengan sistem ventilasi mekanis dan ventilasi alami pada masing-masing bangunan sekolah, perkantoran dan rumah sakit. Metode pengukuran dilakukan dengan mengukur konsentrasi CO2, temperatur dan kelembaban di dalam dan luar ruangan. Aktivitas dan jumlah pengguna ruangan juga di-data begitu juga dengan jenis jendela yang digunakan. Kemudian sistem ventilasi alami dikondisikan dalam 3 fase dengan besar bukaan

yang berbeda, yaitu: jendela 100% terbuka, 50% terbuka, dan 100% tertutup. Pengukuran pada setiap kondisi dilakukan setelah udara dalam ruangan dikondisikan selama 3 jam hingga mencapai keadaan stabil. Pengukuran diulang 2 kali untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Kemudian hasil pengukuran pada sistem ventilasi alami dan buatan dibandingkan.

Pada hasil penelitian ditemukan bahwa konsentrasi CO2 berbanding terbalik dengan luas bukaan jendela. Ukuran, jumlah dan posisi jendela sangat berperan penting terhadap kualitas udara dalam ruangan. Perbedaan besar bukaan jendela 100% dan 50% tidak jauh berbeda, namun bila jumlah pengguna ruangan ditingkatkan, maka akan terdapat perbedaan yang lebih besar. Dan pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis, ditemukan bahwa AC central lebih bagus daripada AC split pada keadaan tidak terawat. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa konsentrasi CO2 lebih tinggi pada ruangan dengan sistem ventilasi mekanis daripada ruangan dengan sistem ventilasi alami. Dimana hal ini dimungkinkan karena tidak diaktifkannya sistem ventilasi alami sehingga tidak ada pertukaran udara.

Distribusi CO2 pada Ruangan dengan Sistem Ventilasi Alami dan Pemanasan yang Tinggi dalam Ruangan

Penelitian terhadap hubungan ventilasi alami dan CO2 dengan pemanasan dalam ruangan dilakukan oleh Steiger. Pengukuran dilakukan berdasarkan ketinggian perletakkan sensor yang berbeda dengan total penempatan 27 buah sensor CO2 di suatu ruangan dengan ukuran 2,6 m x 5,6 m x 2,7 m. Pada ruangan yang dikondisikan, terdapat 3 buah jendela, namun 2 buah jendela ditutup, dan hanya dibuka 1 buah jendela dengan model gantung yang dikondisikan terbuka dan tertutup.

Pemanasan yang dikeluarkan dalam ruangan berasal dari boneka tiruan (dummies). Panas yang dikeluarkan sebesar 1,2 met dan 0,006 l/s/dummy konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 di ruangan diukur dengan menggunakan photo-acoustic multi-gas sensor. Sensor CO2 tersebut diletakkan pada 9 titik dengan masing-masing pada tiga ketinggian yang berbeda(0,0 m, 1,2 m, 2,7 m), sehingga terdapat total 27 sensor. Hasil pengukuran berada pada satuan km/m3 yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan ppm pada kondisi ruangan 20°C dan tekanan 930 hPa . Sampel diambil setiap 250 detik.

Pada hasil penelitian, diperoleh bahwa pada di awal penelitian konsentrasi CO2 cenderung lebih tinggi pada area yang lebih tinggi (2,7 m) dan akan stabil setelah 2,5 jam. Titik yang dekat dengan jendela mengalami fluktuasi. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa posisi yang paling baik untuk sensor CO2 yaitu pada ketinggian pernafasan manusia dan berada dekat dengan dinding serta jauh dari sistem ventilasi. Dan konsentrasi CO2 perlahan meningkat ketika dikeluarkan dan posisi jendela dibuka, kemudian turun sedikit setelah karbon dioksida dihentikan dengan kondisi jendela ditutup. Dan ketika jendela ditutup dan CO2 dikeluarkan, konsentrasi CO2 meningkat tajam, dan kemudian perlahan turun ketika jendela dibuka dan konsentrasi CO2 dihentikan.

Penyumbang kerusakan lingkungan alam terbesar adalah sektor konstruksi yang secara Global mengonsumsi 50% sumber daya alam,40% energi dan 16% air. Konstruksi juga Menyumbangkan emisi CO2 terbanyak yaitu45% (Akmal, 2007).Passive Solar Design

Dalam kaitannya dengan bangunan, matahari bisa menjadi musuh sekaligus sahabat. Desain yang tidak mempertimbangkan aspek iklim, di mana seringkali terlihat dalam ‘aristektur modern’, menyebabkan bangunan menjadi terlalu panas, bahkan di lokasi beriklim dingin di mana sebelumnya permasalahan tersebut tidak pernah ada. Potensi matahari harus dipahami dan dipertimbangkan bagi perancang dalam menciptakan bangunan yang memaksimalkan matahari; sinar matahari yang merupakan sumber energi melimpah harus dimanfaatkan untuk bangunan tanpa mengganggu kenyamanan dan kebutuhan para penghuni bangunan itu sendiri.

Ada lima hal yang harus diketahui seorang perancang untuk membuat sebuah perancangan bangunan pasif:

1. intensitas matahari yang berubah-ubah setiap waktu sepanjang tahun pada tapak; 2. posisi matahari yang berubah-ubah setiap waktu sepanjang tahun pada tapak; 3. kebutuhan akan intensitas cahaya matahari untuk bangunan yang harus disesuaikan dengan kenyamanan pengguna di dalamnya; 4. seberapa jauh kapasitas bangunan dalam memanfaatkan energi cahaya matahari yang tersedia pada tapak untuk memenuhi kebutuhan dan kegiatan di dalam bangunan tersebut; dan 5. kelengkapan tambahan untuk mengendalikan panas berlebih yang akan dihasilkan dari radiasi, konveksi atau konduksi dalam sebuah desain dan bagaimana panas tersebut dapat diatasi dengan selubung bangunan, bentuk bangunan dan bukaan.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap intensitas atau kekuatan radiasi matahari pada tapak, yaitu:

posisi garis lintang tapak; azimut dan altitudo tapak; intensitas bayangan yang ada pada tapak yang ditimbulkan penghalang

atau bangunan di sekitarnya; dan cuaca pada tapak.Sun shading

Cara menetapkan sun shading :

Pembayang sinar matahari adalah satu-satunya cara yang efisien untuk mengurangi beban panas, walaupun rambatan panas juga dapat dikontrol dengan perancangan luas jendela.Pembayang sinar matahari merupakan usaha pengkondisian thermal dengan menyeleksi sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan dengan menggunakan sun shading (pembayang matahari).

Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pembayangan:- Sinar langsung yang membawa panas harus dibayangi- Sinar diffuse/tidak langsung/refleksi/terang langit (yang tidak menyilaukan) bila masuk ke dalam bangunan untuk kebutuhan penerangan alami.

- Kita perlu mempelajari SBV (Sudut Bayangan Vertikal) dan SBH (Susut Bayangan Horisontal)Matahari terbit di timur, tenggelam di barat, hanya pada tanggal 21 September dan 21 Maret (panjang siang = panjang malam) atau Equinox- Alat bantu lainnya, Solar Chart (diagram matahari, seperti bola dunia di tengah dan kita melihat dari atas.a = AZIMUTH (SUDUT SAY HORIZONTAL = ALTITUDE fSUDUT BAY VERTIKALI

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan pembayang sinar matahari adalah:a. Mampu mengontrol hantaran panasb. Jumlah sinar yang masuk yang diperlukan untuk penerangan alamc. Silau yang terjadid. Waktu penyinaran matahari:- Waktu dimana matahari mencapai titik terjauh di sebelah selatan khatulistiwa 21 Desember- Waktu dimana matahari mencapai titik terjauh di sebelah utara katulistiwa 21 ]uni- Waktu matahari mencapai titik kulminasi- Waktu matahari mulai memancarkan radiasinya yang dianggap sudah mulai panas 08.30 - 09.00 pagi- Waktu matahari telah mengumpulkan radiasi terbanyak selama sehari (15.00)

Sudut pembayangannya sendiri berubah-rubah pada setiap saat, tergantung pada posisi matahari. Oleh sebab itu. Ada tiga macam pembayangan, yaitu:a. Pembayangan vertikalb. Pembayangan horisontalc. Kombinasi pembayangan vertikal dan horisontalTipe yang terakhir adalah tipe yang paling efektif, karena sekaligus dapat menyelesaikan arah sinar vertikal dan horisontal. Secara diagramatis dapat dilihat pada contoh berikut:

Secara terinci, aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam perancangan pembayang matahari adalah:a. Pembayang akan lebih efisien apabila berada di sebelah luar daripada di sebelah dalam bangunanb. Perbedaan efisiensi ini akan lebih nyata apabila pembayang tersebut berwarna gelap.c. Pembayang luar akan lebih efisien apabila mempunyai warna gelapd. Pembayang dalam bangunan akan efisien apabila menggunakan warna terange. Pemakaian pembayang dalam bangunan akan menyebabkan penambahan panas apabila menggunakan warna gelapf. Pembayang matahari sebaiknya dari bahan yang mempunyai kapasitas termis yang rendah. Maksudnya agar cepat dingin setelah matahari terbenam, sehingga tidak memberikan rambatan panas ke dalam bangunan.Sebaliknya apabila pembayang matahari mempunyai kapasitas panas yang tinggi, misalnya beton, panas yang tersimpan akan dilepaskan dan merambat

ke dalam bangunan pada waktu malam hari. Akibatnya akan menaikkan suhu udara dalam ruangan.g. Pembayang matahari tidak saja berfungsi menghalangi masuknya radiasi matahari ke dalam bangunan, namun juga jangan sampai berfungsi sebagai perangkap radiasi matahari. Apabila radiasi matahari yang terperangkap telah terkumpul cukup, maka selanjutnya panas sebagian akan merambat ke dalam bangunan.h. Pembayang matahari tidak selalu berupa sirip vertikal atau horisontal, atau keduanya secara bersama-sama, tetapi ide self shading juga merupakan suatu potensi rancang arsitektur, sehingga bentuk bangunan lebih bisa memberikan arti

Dalam pemanfaatan sinar matahari sebagai sumber pencahayaan, beberapa halyang perlu disimak adalah :• Sinar matahari disamping memberikan „terang“ juga memberi „panas“.Dalam pemecahannya secara teknis harus diusahakan agar didapatkanterangnya secara maksimal, tetapi sekaligus menolak atau mengurangipanasnya.• Sejauh mungkin menghindari cahaya langsung, dan mendapatkan sinarpantul/bias.• Untuk mendapatkan cahaya pantul/bias, diupayakan meletakkan

lubang/bukaan cahaya pada daerah bayang-bayang.

Menciptakan tabir matahari akan merupakan salah satu kunci dari pengolahandan permainan tampak bangunan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sinar

matahari sebagai sumber daya bagi pencahayaan bangunan.

Pengaruh sinar langsung pada permukaan jendela kaca akan merambatkanpanas ke dalam ruangan sebesar 80-90%. Pada situasi tersebut, selain mendapatkancahaya terang dari matahari, sekaligus mendapatkan panas. Hal ini dapat dilakukanpada perancangan yang membutuhkan kondisi seperti itu. Selanjutnya. pemasangankisi-kisi/tabir pada bagian dalam jendela, akan menurunkan perambatan panas kedalam ruangan hingga 30-40%. Pada situasi tersebut, selain mendapatkan cahayaterang dengan sinar pantul, sekaligus menurunkan panas ruang. Pemasangan kisi-kisi/tabir pada bagian luar jendela, akan menurunkan perambatan panas ke dalamruangan hingga 5-10%. Pada situasi tersebut, selain mendapatkan cahaya terang

dengan sinar pantul, sekaligus menurunkan panas ruang.

Energi dan Arsitektur

Menurut Suryabrata (2000), salah satu penyebab degradasi lingkungan adalahantara lain tingginya tingkat konsumsi energi yang sebagian besar berasal dari energifosil yang tak terbaharukan (non-renewable). Di negara maju, konsumsi energi listrikyang bersumber dari energi fosil untuk pencahayaan, cooling, dan heating padabangunan mencapai ± 25% dari total konsumsi energi listrik dunia. Pada beberapanegara maju, konsumsi energi listrik untuk operasional bangunan berkisar antara 20%- 40%. Sementara di Hongkong, menurut Dirdjojuwono (2001), berdasarkan hasil

penelitian Forecast of Annual Energy Hongkong Bank, konsumsi energi listrik terbesaradalah untuk tata udara (air conditioning) sebesar 59%, kemudian diikuti oleh tatacahaya (lighting) sebesar 21%, proses data elektronik (electronic data processing)

sebesar 17%, sisanya untuk kebutuhan transportasi dan lain-lain

Di Indonesia, meskipun konsumsi energi listrik saat ini relatif kecil biladibandingkan dengan negara-negara maju, namun kontribusinya terhadap totalkonsumsi energi dan akibatnya pada degradasi lingkungan di masa mendatang tetapakan substansial. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan adanya pertumbuhankonsumsi energi sebesar 2 – 3 kali pertumbuhan ekonomi (Suryabrata, 2000).Selanjutnya, Kahl (1993) mengungkapkan bahwa potensi iklim dalam arsitektursangatlah substansial, namun tetap bergantung pada lokasi dan kondisi topografi.Menurutnya, arsitektur yang sadar iklim merupakan suatu langkah yang paling pentingdalam usaha penghematan energi, penciptaan ruang yang nyaman, dan peningkatankualitas hidup manusia.Dari sudut filosofis bangunan, Priatman (2002) mengemukakan bahwaarsitektur hemat energi merupakan salah satu tipologi arsitektur yang berorientasipada konservasi lingkungan global alami. Kendati pun demikian, menurutnya efisiensi

energi bukanlah merupakan kriteria baru dalam disain arsitektur

Arsitektur hemat energi awalnya mencuat pada sekitar tahun 1980-1990sebagai reaksi atas berbagai pengungkapan saintifik para ahli tentang fenomenakerusakan planet bumi dan atmosfer, termasuk isu pemanasan global dan efek rumahkaca. Hal mana kemudian mendorong para praktisi dan akademisi dibidang arsitekturmemunculkan pemikiran baru dalam perancangan arsitektur yang lebih pedulilingkungan global alami dan dikenal dengan istilah arsitektur hijau (green architecture).Menurut Ken Yeang dalam Priatman (2002), “Arsitektur hijau adalah arsitekturyang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasilingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensi energi (energy efficient),pola berkelanjutan (sustainability) dan pendekatan holistik (holistic approach)”. Hal

tersebut bertitik tolak dari pemikiran disain ekologi yang menekankan pada salingketergantungan (interdependencies) dan keterkaitan (interconnectedness) antarasemua sistem, artifisial maupun natural dalam lingkungan biosfer dan lingkunganlokalnya. Slogan “form follows function” pun berubah menjadi ”form follows energy”dan akhirnya diperluas menjadi “form follows environment” yang berdasarkan padaprinsip recycle, reuse, dan reconfigure.Pada dasarnya, terdapat beberapa tingkat operasional yang digunakan dalambangunan (Wirthington, 1997 dalam Yeang, 1999, dalam Priatman, 2002), antara lain:• Sistem pasif (passive mode); tingkat konsumsi energi listrik paling rendah,tanpa ataupun minimal penggunaan peralatan mekanikal-elektrikal darisumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources).• Sistem hybrid (mixed mode); sebagian tergantung pada energi listrik (energydependent) atau sebagian dibantu dengan penggunaan mekanikal-elektrikal.• Sistem aktif (active mode/full mode); seluruhnya menggunakan peralatanmekanikal elektrikal yang bersumber dari energi yang tidak dapatdiperbaharui (energy dependent).• Sistem produktif (productive mode); sistem yang dapat mengadakan/membangkitkan energinya sendiri (on-site energy) dari sumber daya yang

dapat diperbaharui (renewable resources), misalnya pada

http://energyandco2.weebly.com/heating--cooling.html

Vegetasi

Pengurangan CO2 oleh Tanaman Melalui Proses FotosintesaTanaman membutuhkan CO2 untuk pertumbuhannya. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir antara lain akan merangsang proses fotosintesa, meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitasnya tanpa diikuti oleh peningkatan kebutuhan air (transpirasi). Fotosintesa umumnya terjadi pada semua tumbuhan hijau yang memiliki kloroplast atau pada semua tumbuhan yang memiliki zat warna. Secara umum proses fotosintesa adalah pengikatan gas karbon-dioksida (CO2) dari udaradan molekul air (H2O) dari tanah dengan bantuan energi foton cahaya tampak,akan membentuk gula heksosa (C6H12O6) dan gas oksigen (O2) sbb :6 CO2 + 6 H2O + 48 hv - C6H12O6 + 6 O2

Reaksi tersebut terurai menjadi 3 proses utama: pertama pembentukan O2 bebas,kedua reaksi NADP, dan ketiga pengubahan CO2 menjadi C6H12O6. Duaproses yang pertama membutuhkan energi cahaya, sedangkan proses yangke tiga dapat berlangsung di dalam gelap.

Material Bahan Bangunan

Beberapa pendekatan pada penyelenggaraan perumahan berkelanjutan perkotaan telah dikembangkan untuk mengurangi timbulan emisi karbon di udara. Hal ini dilakukan dengan misalnya, pertama adalah hemat bahan bangunan yang diarahkan kepada terbentuknya masyarakat “Zero-Emmission” melalui daur ulang material dan bangunan-bangunan tahan lama, atau kedua hemat energi melalui perbaikan sistem bahan dan konstruksi bangunan, dan ketiga adalah melalui optimalisasi sistem jaringan lalulintas perkotaan (Kobayashi, 2010).

Energi Terbarukan

Energi terbarukan energi yang berasal dari "proses alam yang berkelanjutan", seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air proses biologi, dan panas bumi.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang penggunaan energi terbarukan di masyarakat modern, lihat pengembangan energi terbarukan. Untuk diskusi umum, lihat pengembangan energi masa depan.

Sumber utama energi terbaharui

Energi panas bumi

Energi panas bumi berasal dari peluruhan radioaktif di pusat Bumi, yang membuat Bumi panas dari dalam, serta dari panas matahari yang membuat panas permukaan bumi. Ada tiga cara pemanfaatan panas bumi:

Sebagai tenaga pembangkit listrik dan digunakan dalam bentuk listrik Sebagai sumber panas yang dimanfaatkan secara langsung menggunakan pipa

ke perut bumi Sebagai pompa panas yang dipompa langsung dari perut bumi

Panas bumi adalah suatu bentuk energi panas atau energi termal yang dihasilkan dan disimpan di dalam bumi. Energi panas adalah energi yang menentukan temperatur suatu benda. Energi panas bumi berasal dari energi hasil pembentukan planet (20%) dan peluruhan radioaktif dari mineral (80%)[1]. Gradien panas bumi, yang

didefinisikan dengan perbedaan temperatur antara inti bumi dan permukaannya, mengendalikan konduksi yang terus menerus terjadi dalam bentuk energi panas dari inti ke permukaan bumi.

Energi panas bumi dari inti Bumi lebih dekat ke permukaan di beberapa daerah. Uap panas atau air bawah tanah dapat dimanfaatkan, dibawa ke permukaan, dan dapat digunakan untuk membangkitkan listrik. Sumber tenaga panas bumi berada di beberapa bagian yang tidak stabil secara geologis seperti Islandia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Filipina, dan Italia. Dua wilayah yang paling menonjol selama ini di Amerika Serikat berada di kubah Yellowstone dan di utara California. Islandia menghasilkan tenaga panas bumi dan mengalirkan energi ke 66% dari semua rumah yang ada di Islandia pada tahun 2000, dalam bentuk energi panas secara langsung dan energi listrik melalui pembangkit listrik. 86% rumah yang ada di Islandia memanfaatkan panas bumi sebagai pemanas rumah[3][4].

Energi surya

Panel surya (photovoltaic arrays) di atas yacht kecil di laut dapat mengisi baterai 12 V sampai 9 ampere dalam kondisi cahaya matahari penuh dan langsung. Karena kebanyakan energi terbaharui berasal adalah "energi surya" istilah ini sedikit membingungkan. Namun yang dimaksud di sini adalah energi yang dikumpulkan secara langsung dari cahaya matahari.

Tenaga surya dapat digunakan untuk:

Menghasilkan listrik menggunakan sel surya Menghasilkan listrik Menggunakan menara surya Memanaskan gedung secara langsung Memanaskan gedung melalui pompa panas Memanaskan makanan Menggunakan oven surya. Memanaskan air melalui alat pemanas air bertenaga surya

Tentu saja matahari tidak memberikan energi yang konstan untuk setiap titik di bumi, sehingga penggunaannya terbatas. Sel surya sering digunakan untuk mengisi daya baterai, di siang hari dan daya dari baterai tersebut digunakan di malam hari ketika cahaya matahari tidak tersedia.

Tenaga Angin

Perbedaan temperatur di dua tempat yang berbeda menghasilkan tekanan udara yang berbeda, sehingga menghasilkan angin. Angin adalah gerakan materi (udara) dan telah diketahui sejak lama mampu menggerakkan turbin. Turbin angin dimanfaatkan untuk menghasilkan energi kinetik maupun energi listrik. Energi yang tersedia dari angin adalah fungsi dari kecepatan angin; ketika kecepatan angin meningkat, maka energi keluarannya juga meningkat hingga ke batas maksimum energi yang mampu dihasilkan turbin tersebut[5]. Wilayah dengan angin yang lebih kuat dan konstan seperti lepas pantai dan dataran tinggi, biasanya diutamakan untuk dibangun "ladang angin".

Tenaga air

Energi air digunakan karena memiliki massa dan mampu mengalir. Air memiliki massa jenis 800 kali dibandingkan udara. Bahkan gerakan air yang lambat mampu diubah ke dalam bentuk energi lain. Turbin air didesain untuk mendapatkan energi dari berbagai jenis reservoir, yang diperhitungkan dari jumlah massa air, ketinggian, hingga kecepatan air. Energi air dimanfaatkan dalam bentuk:

Bendungan pembangkit listrik. Yang terbesar adalah Three Gorges dam di China.Mikrohidro yang dibangun untuk membangkitkan listrik hingga skala 100 kilowatt. Umumnya dipakai di daerah terpencil yang memiliki banyak sumber air.Run-of-the-river yang dibangun dengan memanfaatkan energi kinetik dari aliran air tanpa membutuhkan reservoir air yang besar.

Biomassa

Tumbuhan biasanya menggunakan fotosintesis untuk menyimpan tenaga surya, udara, dan CO2. Bahan bakar bio (biofuel) adalah bahan bakar yang diperoleh dari biomassa - organisme atau produk dari metabolisme hewan, seperti kotoran dari sapi dan sebagainya. Ini juga merupakan salah satu sumber energi terbaharui. Biasanya biomass dibakar untuk melepas energi kimia yang tersimpan di dalamnya, pengecualian ketika biofuel digunakan untuk bahan bakar fuel cell (misal direct methanol fuel cell dan direct ethanol fuel cell).

Biomassa dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar atau untuk memproduksi bahan bakar jenis lain seperti biodiesel, bioetanol, atau biogas tergantung sumbernya. Biomassa berbentuk biodiesel, bioetanol, dan biogas dapat dibakar dalam mesin pembakaran dalam atau pendidih secara langsung dengan kondisi tertentu.

Biomassa menjadi sumber energi terbarukan jika laju pengambilan tidak melebihi laju produksinya, karena pada dasarnya biomassa merupakan bahan yang diproduksi oleh alam dalam waktu relatif singkat melalui berbagai proses biologis. Berbagai kasus penggunaan biomassa yang tidak terbarukan sudah terjadi, seperti kasus deforestasi zaman romawi, dan yang sekarang terjadi, deforestasi hutan amazon. Gambut juga sebenarnya biomassa yang pendefinisiannya sebagai energi terbarukan cukup bias karena laju ekstraksi oleh manusia tidak sebanding dengan laju pertumbuhan lapisan gambut[6][7].

Ada tiga bentuk penggunaan biomassa, yaitu secara padat, cair, dan gas [8]. Dan secara umum ada dua metode dalam memproduksi biomassa, yaitu dengan menumbuhkan organisme penghasil biomassa dan menggunakan bahan sisa hasil industri pengolahan makhluk hidup.

Bahan bakar bio cair

Bahan bakar bio cair biasanya berbentuk bioalkohol seperti metanol, etanol dan biodiesel. Biodiesel dapat digunakan pada kendaraan diesel modern dengan sedikit atau tanpa modifikasi dan dapat diperoleh dari limbah sayur dan minyak hewani serta lemak. Tergantung potensi setiap daerah, jagung, gula bit, tebu, dan beberapa jenis rumput dibudidayakan untuk menghasilkan bioetanol. Sedangkan biodiesel dihasilkan

dari tanaman atau hasil tanaman yang mengandung minyak (kelapa sawit, kopra, biji jarak, alga) dan telah melalui berbagai proses seperti esterifikasi.

Biomassa padat

Penggunaan langsung biasanya dalam bentuk padatan yang mudah terbakar, baik kayu bakar atau tanaman yang mudah terbakar. Tanaman dapat dibudidayakan secara khusus untuk pembakaran atau dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti diolah di industri tertentu dan limbah hasil pengolahan yang bisa dibakar dijadikan bahan bakar. Pembuatan briket biomassa juga menggunakan biomassa padat, di mana bahan bakunya bisa berupa potongan atau serpihan biomassa padat mentah atau yang telah melalui proses tertentu seperti pirolisis untuk meningkatkan persentase karbon dan mengurangi kadar airnya.

Biomassa padat juga bisa diolah dengan cara gasifikasi untuk menghasilkan gas.

Biogas

Berbagai bahan organik, secara biologis dengan fermentasi, maupun secara fisiko-kimia dengan gasifikasi, dapat melepaskan gas yang mudah terbakar.

Biogas dapat dengan mudah dihasilkan dari berbagai limbah dari industri yang ada saat ini, seperti produksi kertas, produksi gula, kotoran hewan peternakan, dan sebagainya. Berbagai aliran limbah harus diencerkan dengan air dan dibiarkan secara alami berfermentasi, menghasilkan gas metana. Residu dari aktivitas fermentasi ini adalah pupuk yang kaya nitrogen, karbon, dan mineral.

Konstruksi Bangunan Berkelanjutan

Konstruksi berwawasan lingkungan (green construction) menurut Dirjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak adalah konstruksi yang dapat mengurangi biaya-biaya yang disebabkan bencana yang ditimbulkan karena kerusakan alam. Contohnya saat membangun jalan terkadang membelah aliran sungai agar tidak putus maka harus dibuatkan saluran gorong-gorong yang memadai agar saat hujan tidak meluap ke jalan.Kemudian dalam membangun jalan menggunakan bahan-bahan yang dapat diperbarui (renewable), bobotnya lebih ringan dan kuat untuk menghemat biaya angkut, serta yang panti harus dapat didaur ulang. Sementara dari segi lingkungan setidaknya untuk jalan karena merupakan fasilitas umum harus menyediakan 30 persen sebagai ruang terbuka hijau yang ditempatkan disisi kanan dan kiri jalan, jelasnya.

Konsep Strategi Desain Berkelanjutan UIA dapat dijabarkan kedalam 9 point;

Dimulai dengan tahap awal pekerjaan proyek yang melibatkan seluruh pihak : klien, desainer, insinyur, pemerintah, kontraktor, pemilik, pengguna, dan komunitas;

Analisa dan Manajemen seluruhnya dari Daur Hidup Bangunan, yaitu mengintegrasikan semua aspek dalam konstruksi dan penggunaan dimasa depan;

Optimalisasi desain yang efisien, energi terbarukan, teknologi modern dan ramah lingkungan harus menjadi satu kesatuan;

Kesadaran bahwa proyek arsitektur dan konstruksi tersebut merupakan sistem interaktif yang kompleks dan terkait pada lingkungan sekitar yang lebih luas yang bisa mencakup warisan sejarah, kebudayaan, dan sosial masyarakat;

Penerapan “material bangunan yang sehat”, yaitu untuk menciptakan bangunan yang sehat, tata guna lahan yang seimbang, kesan estetik dan inspiratif, serta memberikan keyakinan ke masyarakat;

Upaya untuk mengurangi “carbon imprint”, mengurangi penggunaan material berbahaya yang berdampak terhadap aktivitas pengguna;

Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup, kesetaraan baik lokal maupun global, memajukan kesejahteraan ekonomi, serta menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kegiatan bersama masyarakat;

Populasi urban tergantung pada sistem desa-kota yang terintergrasi, saling terkait untuk keberlangsungan hidup seperti fasilitas publik (air, udara, rumah, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dll;

Mendukung pernyataan UNESCO mengenai keberagaman budaya umat manusia sebagai sumber pertukaran, penemuan, kreativitas yang sangat diperlukan oleh manusia.

https://clararchita77.wordpress.com/konstruksi-bangunan-berkelanjutan/

Contoh Kasus

Bangunan LCCM (Life Cycle Carbon Minus) Demonstration House tersebut

dibangun oleh Building Research Institute (BRI) Ibaraki, Japan. Bangunan ini

dibangun dengan tujuan untuk mengurangi emisi CO2 di muka bumi ini dari tahap

konstruksi, operasional dan masa depan. Konsep bangunan ini dirancang dengan

konsep beberapa lapisan untuk memberikan karakter pada setiap zona. Bangunan ini

dirancang dengan tiga zona, yaitu zona buffer, zona aktivitas, dan resting zone.

Penyusunan ini digambarkan secara vertikal sebagai konfigurasi ditumpuk, lebih

memungkinkan udara alami dan aliran panas keluar masuk bangunan. Bangunan

dibuat dengan beberapa lapisan lapisan pembukaan jendela dengan tujuan disesuaikan

pada kondisi musim. Fasad terbuka ke arah selatan dan menara ventilasi di sisi utara

membiarkan cahaya dan udara segar keluar masuk dengan leluasa.

Gambar dari tiga pintu kaca geser 

Rumah ini adalah untuk mengurangi emisi CO2 di seluruh siklus hidup rumah, dari

konstruksi dan operasi hingga pembongkaran dan pembuangan. Konsep LCCM

bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada  CO2 negatif di seluruh siklus hidup

seluruh rumah dengan menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya dan panas

matahari. Hal ini didasarkan pada penyebaran teknologi untuk mengurangi CO2 yang

dihasilkan di seluruh siklus hidup dari rumah, dan pembentukan gaya hidup hemat

energi dengan memanfaatkan teknologi ini.

Facade utara di mana ada pintu masuk dan pompa untuk operasional bangunan

(Sebuah pompa panas pemanas air dan solar sel bahan bakar rumah tangga)

Fasad selatan ditutupi oleh bahan kaca yang dilengkapi dengan tiga lapisan kaca dan

kayu yang Louvre kayu. Penggunaan lapisan ini disesuaikan dengan musim yang

sedang terjadi. Kayu Louvre dibuka untuk memasukkan sinar matahari ke dalam

bangunan selama musim dingin dan akan ditutup selama musim panas untuk

menyaring sinar matahari yang masuk secara berlebihan. Sirkulasi udara alami masuk

ke dalam gedung juga dapat ditangani dengan menutup Louvre kayu dan membuka

pintu kaca.