pencemaran dari industri

7
Hal 17-27 Pencemaran Dari Industri Dolaris Riauwati Industry merupakan salah satu sumber pecemaran udara, baik di perkotaan maupun di pedesaa. Emisi pencemar udara terutama berasal dari pembakaran bahan baakr di berbagai kegiatan industry termasuk pembangkit tenaga listrik, produksi kimia, dan lainnya, pengolahan logam, insenerasi, penggunaan bahan bakar industry, dll. Fasilitas industry yang mengeluarkan zat-zat pencemar udara di antaranya: perebus bahan cair (boiler), generator, pemanas semen dan keramik (cement dan ceramic kiln), turbin gas, pengering tanah liat atau deterjen, tungku pemanasan logam dan kaca, mesin pembakar (incinerator), pemanggang (oven), dll. Jenis bahan bakar yang digunakan industry, berdasarkan klasifikasi energy Indonesia, yang meliputi batu-bara (batu bara, kokas, dan kayu), dan bahan produk minyak (bahan bakar kendaraan air (marine fuel oil=MFO), solar untuk kendaraan air tinggi (high speed diesel = HSD), minyak tanah, bensin, minyak sisa, solar untuk industry (industrial diesel oil=IDO), dan gas cair (liquefied petroleum gas=LPG), serta gas alam. Kualitas bahan bakar, jenis bahan baku, proses industry, dan control emisi saat proses pembakaran, sangat mempengaruhi kualitas emisi industry. Sebagai contoh, kandungan belerang dalam MFO di Indonesia lebih tinggii daripada kandungan dalam HSD, minyak tanah, dan IDO, sehingga MFO menghasilkan oencemar SO2 per satuan volume lebih itnggi dibanding bahan bakar minyak lainnya. Beberapa kajian dari badan-badan internasional dan perorangan menyimpulkan bahwa sektor industry memberikan kontribusi yang besar terhadap total emisi sulfurdioksida (SO2) di wilayah Jabodetabek yaitu 75 persen (Badan Kerjasama Internasional Jepang=JICA, 1997), 63 persen (Bank Dunia=WB, 1997), 72 persen (Bamk Pembangunan Asia=ADB, 2002), dan 79 persen (Suhadi, 2005).

Upload: anitadwi

Post on 30-Jun-2015

334 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pencemaran Dari Industri

Hal 17-27

Pencemaran Dari Industri

Dolaris Riauwati

Industry merupakan salah satu sumber pecemaran udara, baik di perkotaan maupun di pedesaa. Emisi pencemar udara terutama berasal dari pembakaran bahan baakr di berbagai kegiatan industry termasuk pembangkit tenaga listrik, produksi kimia, dan lainnya, pengolahan logam, insenerasi, penggunaan bahan bakar industry, dll.

Fasilitas industry yang mengeluarkan zat-zat pencemar udara di antaranya: perebus bahan cair (boiler), generator, pemanas semen dan keramik (cement dan ceramic kiln), turbin gas, pengering tanah liat atau deterjen, tungku pemanasan logam dan kaca, mesin pembakar (incinerator), pemanggang (oven), dll.

Jenis bahan bakar yang digunakan industry, berdasarkan klasifikasi energy Indonesia, yang meliputi batu-bara (batu bara, kokas, dan kayu), dan bahan produk minyak (bahan bakar kendaraan air (marine fuel oil=MFO), solar untuk kendaraan air tinggi (high speed diesel = HSD), minyak tanah, bensin, minyak sisa, solar untuk industry (industrial diesel oil=IDO), dan gas cair (liquefied petroleum gas=LPG), serta gas alam.

Kualitas bahan bakar, jenis bahan baku, proses industry, dan control emisi saat proses pembakaran, sangat mempengaruhi kualitas emisi industry. Sebagai contoh, kandungan belerang dalam MFO di Indonesia lebih tinggii daripada kandungan dalam HSD, minyak tanah, dan IDO, sehingga MFO menghasilkan oencemar SO2 per satuan volume lebih itnggi dibanding bahan bakar minyak lainnya.

Beberapa kajian dari badan-badan internasional dan perorangan menyimpulkan bahwa sektor industry memberikan kontribusi yang besar terhadap total emisi sulfurdioksida (SO2) di wilayah Jabodetabek yaitu 75 persen (Badan Kerjasama Internasional Jepang=JICA, 1997), 63 persen (Bank Dunia=WB, 1997), 72 persen (Bamk Pembangunan Asia=ADB, 2002), dan 79 persen (Suhadi, 2005).

Emisi SO2 di wilayah-wilayah kawasan industry – di Jakarta Utara, Timur, Tangerang, Bekasi, dan Kabupaten Bogor – tergolong tinggi. Pembangkit listrik di Muara Karang dan Tanjung Priok di Jakarta Utara serta idustri semen Cibinong di kabupaten Bogor merupakan penyumbang terbesar emisi SO2 dan NOx dari sektor industry (26% dan 10%)

Selain itu, kontribusi industry manufaktur yang dikelompokkan berdasakan Klasifikasi Lapangan Usaha di Indonesia (KLUI) atau International Standart of Industrial Code (ISIC) terhadap pencemaran udara juga signifikan secara agregat.

Kelompok industry manufaktur-indutri yang mengolah bahan baku (bahan mentah) menjadi bahan jadi, atau pengolahan bahan setengah jadi menjadi bahan jadi (fabrkasi) adalah kelompok industry yang member sumbangan besar terhadap pencemaran udara. Kelompok industry ini disebut industry sekunder-mengolah produk (output) industry primer. Sedangkan sektor industry primer yang mengolah

Page 2: Pencemaran Dari Industri

sumber daya alam menjadi produk primer seperti perikanan, pertanian, agrobisnis, perhutanan, dan pertambangan termasuk industry yang tidak member sumbangan besar terhadap pencemaran udara.

Berdasarkan jumlah energy yang dihasilkan, komposisi terbesar penggunaan bahan bakar di industry (termasuk pembangkit listrik) adalah gas alam. Namun demikian, pemakaian bahan bakar minyak dan batubara juga cukup tinggi, yaitu 51 persen dari total energy sehingga juga tinggi sumbangannya terhadap pencemaran udara.

Industry semen di Jabodetabek menggunakan batu bara hampir 100 % dari total konsumsi batu bara. Sedangkan pembangkit listrik Muara Karang dan Tanjung Priok menggunakan gas alam lebih dari 50 % konsumsi gas alam di jabodetabek dan MFO sekitar 30 % dari totak konsumsi MFO di Jabodetabek.

Dalam perhitungan beban emisi, sumber industry dibagi dua yaitu (1) sumber titik besar (large point sources-LPS), dan (2) sumber industry kecil yang dikelompokkan menjadi sumber area industri (industrial are sources). Dalam hal ini, yang termasuk LPS adalah pembangkit listrik, industry semen, logam dan baja, keramik, pulp da kertas , dll, dengan catatan bahwa data spesifik setiap industry tersebut diperoleh. Sedangkan industri-industri lain yang tidak termasuk LPS dikelompokkan ke dalam sumber industri area.

Wilayah Jakarta Utara dan Kabupaten Bogor merupakan wilayah dengan jumlah bebas emisi pencemar indutri terbesar di atnara wilayah lain. Sementara itu, wilayah dengan beban emisi kecil adalah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Kota Bogor, dan Kota Depok. Dua wilayah pertama tidak memiliki kawasan industry. Sebagian besar iindustri di bagian selatan Jakarta berlokasi di Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Kota Bogor dan Kota Depok.

Perhitungan beban emisi ditentukan oleh faktor emisi, volume aktivitas, dan efesiensi control emisi suatu system/teknologi pereduksi amisi (jika digunakan di industry). Sebagai contoh, faktor emisi pencemar NOx pada fasilitas boiler di kegiatan pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar MFO adalah 5,27 kg NOx per kiloliter MFO; sedangkan jika menggunakan gas alam faktor emisinya adalah 2,33 kg NOx per 1000 m3 gas (Suhadi, 2005).

Satu kiloliter MFO menghasilkan energy sebesar ± 9,6 juta kcal, sedangkan 1000 m3 gas alam setara dengan 7,8 juta kcal energy. Ini berarti pada fasilitas boiler di pembangkitt listrik, setiap kalori yang dihasilkan, emosi NOx dari penggunaan MFO adalah 2 kali lipat emisi NOx dari gas alam. Faktor emisi pencemar SO2 pada fasilitas industry yang menggunakan gas alam adalah nol karena kandungan sulfur dlam gas alam yang nol; bandingkan dengan faktor emisi SO2 pada misalnya boiler di pembangkit listrik yang menggunakan MFO, yaitu 42,23 kg SO2/kiloliter MFO.

Sementara itu, pada fasilitas cement kiln di industry semen, jenis batu bara yang digunakan adalah yang mengandung sulfur 1,07 persen berat. Penggunaan batu bara tersebut mengemisikan 6,42 kg SO2 per ton batu bara, dan 1 ton batu baa adalah setara dengan 7,05 juta kcal energy yang dihasilkan (suhadi, 2005). Ini berarti, penggunaan bahan bakar gas alam atau LPG untuk sektor industry, terutama industry manufaktur akan dapat mengurangi beban emisi oencemar udara secara signifikan.

Page 3: Pencemaran Dari Industri

Faktor emisi untuk fasilitas dan kegiatan tertentu dapat berbeda-beda. Faktor-faktor emisi tersebut ditentukan dari pengukuran di sejumlah instalasi/fasilitas di industry, dan faktor yang dihasilkan kemudian diberlakukan untuk semua fasilitas sejenis. Umumnya Negara-negara maju telah melakukan pengukuran untuk menentukan faktor emisi di negaranya.

Di Indonesia, pengukuran untuk menentukan faktor misi belum pernah dilakukan, sehingga sebagian besar faktor emisi diadopsi dari Negara-negara maju.

Penggunaan faktor emisi ini harus dilakukan hati-hati; variasi faktor emisi dari satu Negara kke Negara lain cukup besar karena erbedaan kualitas bahan bakar, teknologi industry, dan lain-lain. Namun, terlepas dari ketiadaan faktor emisi yang berlaku di Indonesia, perhitungan beban emisi dan yang lebih luas lagi adalah inventori emisi seluruh kategori sumber pencemar sangat penting.

Inventori emisi meletakkan dasar penyusunan strategi dan evaluasi pelaksanaan program pengendalian emisi. Untuk saat ini, inventori emisi yang menggunakan data statistic yang belum lengkap dan faktor emisi yang diadopsi dari Negara lain dapat tetap dilakukan, dan harus dimutakhirkan secara rutin dengan memasuukkan data statistic dan faktor emisi yang suatu saat akan lebi lengkap, tepat, dan akurat.

Pengendalian pencemaran udara dari sektor industry dilakukan dengan menerapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak (industry). Pengelolaan lingkungan termasuk pemenuhan baku mutu emisi indutri menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku indutri untuk memperoleh izin usaha indutri. Ppemberian izin tersebut dikaitkan dengan penilaian kelayakan lingkungan suatu rencana kegiatan industry (industry) yang dilakukan melalui mekanisme Analisa mengenai Dampak lingkungan (AMDAL) attau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).

Baku Mutu emisi (BME) industry diatur melalui keputusan Menteri Linkungan Hidup (KepMen LH) No.13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu emisi Sumber Tidak bergerak. BME tersebut mencakup nilai ambang batas emisi untuk lima jenis industry, yaitu: industry besi baja, industry pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga uao (PLTU) berbahan bakar batu bara, industri semen, dan industry lain-lain (yang tidak termasuk daam empat kegiatan di atas). Selain itu, tambahan cakupan industry yang diatur ambang lalu adalah KepMen LH No.129/2003 untuk kegiatan minyak dan gas serta Kepmen LH no.133/2004 untuk industry pupuk.

Di provinsi DKI Jakarta, Surat Keputusan Gubernur (SK Gub) No.670/2000 menetapkan BMW untuk industry yang beroperasi di Jakarta, yaitu industry besi dan baja, PLTU berbahan bakar batu bara, dan industry lain-lain yang tidak termasuk ke dalam dua jenis industry tersebut. Beberapa peraturan lainnya ke dalam dua jenis industry tersebut. Beberapa peraturan lainnya yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan di industry adalah:

SK Gub No.3586/2003 tentang pelimpahan wewenang pelayanan dan pemberian izin di bidang usaha perindustrian dan perdagangan di provinsi DKI Jakarta;

Page 4: Pencemaran Dari Industri

SK Gub No.2863/2001 tentang jenis rencana usaha/kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal;

SK Gub No.99/2002 tentang mekanismw Amdal dan UKL/UPL dalam perizinan daerah; SK Gub No.189/2002 tentang jenis usaha/kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL/UPL; SK Gub No.2333/2002 tentang jenis usaha/kegiatan yang wajib dilengkapi dengan SPPL.

Pada intinya, peratura-peraturan di atas menyebutkan bahwa setiap pelaku industry berkewajiban melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemantauan kualitas emisi industry. Hasil pemantauan dilaporkan kepada instansi-instansi pemerintah daerah, yaitu instansi teknis yang berwenag dalam bidang perindustrian (Dinas Perindustrian) dan instansi yang bertanggung jawab dalam lingkungan hhidup, yaitu Badan Pengelolaan Liingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta. Pemantauan kualitas emisi industry dilakukan oleh penanggung jawab industrii secara rutin 6 bulan atau 3 bulan sekali sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL/UPL yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan dari BPLHD.

Pemerintah Provinsii DKI Jakarta telah melaksanakan Program udara bersih (PRODASIH) bidang industri sejak tahun 2002 yang bertujuan untuk menurunkan beban emisi sumber industry. Kelompok sasaran prodasih adalah industry-industri yang berpotensi besar mencemari udara, yang diatur BME nya dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 1995, yang memiliki kapasitas produksi besar, dan yang berlokasi di daerah sensitive 9perumahan, sekolah, dan lain-lain). Kegiatan prodasih menitikberatkan pada pementauan emisi sendiri (self-monitoring) oleh industry dan bersifat sukarela. Sampai saat ini sebanyak 15 industri di DKI Jakarta yang berpartisipasi dalam Prodasih dan telah melakukan pemantauan kualitas emisi kegiatan industrinya secara rutin serta melaporkan kepada BPLHD.

Hasil pemantauan tersebut bersama-sama dengan hasil pemantauan aspek lingkungan lainnya seperti limbah cair, limbah padat, pengelolaan limbah berbahaya, dan lain-lain menjadi masukan dalam penilaian profil kegiatan industry di bidang lingkungan hidup. Hasil penilaian diumumkan setiap tahun oleh Pemda DKI Jakarta selain itu juga menjadi bagian penilaian dalam Program Penialaian Kinerja prusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) di tingkat nasional. Hasil pemantauan kualitas emisi beberapa industry yang berpartisipasi dalam Prodasih di DKI Jakarta pada tahun 2003 menunjukkan bahwa beberapa parameter BME telah dilampaui, yaitu debu (pada industry peleburan besi dan baja, dan industry makanan); SO2 (pada industry makanan dan industry kimia dan amoniak (NH3) pada industry makanan dan industry kimia (BPLHD, 2004).

Beberapa faktor yang menyebabkan pencemaran udara dan beberapa industry yang berpartisipasi dalam Prodasih dan industry-industri lainnya yang berpotensi mencemari udara namun tidak terpantau adalah:

Tingkat ketaatan industry untuk memenuhi eraturan lingkungan masih rendah; tidak ada sanksi yang tegas yang diterapkan pada idustri yag melebihi BME kecuali jika telag terjadi pencemaran yang menggangu masyarakat sekitar sehingga menimbulka protes.

Page 5: Pencemaran Dari Industri

Kapasitas sumber daya pemerintah terbatas untuk melakukan pemantauan dan pengawasan secara komprehensif; pemantauan hanya dapat dilakukan secara acak sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini adalah dengan mewajibkan menajemen kawasan industry melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan di dalam kawasan industrinya. Pengawasan satu per satu industridi suatu kawasan akan tidak efektif bagi pemerintah.

BME hanya mengatur industry-industri yang berpotensi besar mencemari udara, sedangkan industry-industri yang tidak berpotensi besar mencemari udara dikelompokkan ke dalam industry lain-lain dan harus memenuhi BME dengan jumlah parameter yang sama untuk semua industry. Di Indonesia, BME ditetapkan berdasarkan keonsentrasi parameter, buka beban emisi. Hal ini mengakibatkan beberapa industry terbebani melakukan pemantauan parameter pencemar udara yang tidak signig=fikan untuk industry terkait, yang pda akhirnya menyebabkna tidak cost-effective dan industry cenderung menabaikan peraturan.

Kuarangnya koordinasi antarinstansi yang mengeluarkan izin usaha industry dan yang menyetujui dokumen lingkungan kadang menyebabkan izin usaha dikeluarkan sebelum dokumen lingkungan disetujui, atau kepentingan pertumbuhan ekonomi )industry) melebihi kepentingan penilaian kelayakan ingkungan.

Sistem intensif fiscal bagi industry yang menurunkan emisi secara signifikan melalui penerapan produksi bersih, penggunaan bahan bakar lebih bersih, dan kontrol emisi tidak diterapkan; hanya industry-industri besar yang memerlukan label lingkungan untuk kepentingan pemasaran dan ekspor produknya yang melakukan pengelolaan lingkungan lebih karena kebuthan dan bukan hanya karena peraturan.

JAKARTA KOTA POLUSI menggugat Hat Atas Udara bersi

Editor : ari Muhammad , Bambang Nurbianto

Penerbi:LP3S tahun 2006