pencarian data

Upload: dyna-eka-alphattinson

Post on 15-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

e

TRANSCRIPT

Pada tahun 2005, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah melakukan pengujian terhadap 861 jenis makanan jajanan anak di sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji menunjukkan bahwa 39.9% dari jajanan yang diperjualbelikan tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Data Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan yang dihimpun oleh Direktorat Surveilans dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) BPOM, dari 26 BPOM di seluruh Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan 21,4% kasus terjadi di lingkungan sekolah dan 75,5% kelompok siswa anak SD paling sering mengalami keracunan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) (Andarwulan et al, 2009)

JAKARTA, KOMPAS.com Pengawasan Badan POM dalam lima tahun terakhir menunjukkan, masih banyak jajanan anak sekolah yang tidak sehat. Hasil pemantauan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang dilakukan secara rutin selama kurun waktu 2006-2010 menunjukkan, jajanan anak yang tidak memenuhi syarat berkisar 40-44 persen.Fakta ini sungguh memprihatikan. Berdasarkan survei Badan POM pada 2008, pangan jajanan memegang peranan penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah.Menurut hasil survei itu, pangan jajanan berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan energi sebesar 31 persen dan protein sebesar 27,4 persen. Fakta lain juga menyebutkan, sekitar 78 persen anak sekolah jajan di lingkungan sekolah, baik di kantin maupun dari penjaja sekitar sekolah.

Menurut hasil pemantauan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Kementerian Pendidikan Nasional dan Institut Pertanian Bogor (IPB) terhadap kantin di lebih dari 170.000 sekolah ditemukan hanya 0,9 persen kantin yang sehat.

Aksi Nasional yang telah dilakukan sejak tahun 2011 ini diperkirakan dapat melindungi sekitar 1,4 juta siswa Sekolah Dasar atau SD dari jajanan yang mengandung bahan berbahaya. Dari aksi tersebut juga diketahui, sekitar 24 persen makanan yang dijual di sekolah tidak memenuhi syarat pangan yang aman.Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah atau PJAS yang dicanangkan Wakil Presiden pada Januari 2011 bertujuan untuk meningkatkan keamanan, mutu, dan gizi anak sekolah melalui kemandirian komunitas sekolah di lingkungannya. Aksi ini telah menunjukkan hasil berupa peningkatan persentase keamanan pangan jajanan anak sekolah yang memenuhi syarat, dari 56 persen hingga 60 persen pada kurun waktu tahun 2008 hingga 2010, menjadi 65 persen pada tahun 2011, dan 76 persen pada tahun 2012 lalu.Iklan yang ditayangkan seringkali mempromosikan makanan atau minuman yang kurang baik bagi kesehatan. terutama jika dikonsumsi dengan jumlah berlebihan. Semakin banyak produk jajanan/makanan ringan yang disaksikan anak dari televisi, akan meningkatkan rasa penasaran terhadap rasa produk yang diiklankan. Suatu penelitian menggambarkan kecenderungan peningkatan konsumsi makanan ringan dengan kebiasaan anak dalam menonton televisi. Pada anak yang menonton televisi selama lebih dari dua jam per hari, mengkonsumsi makanan ringan dalam jumlah yang lebih banyak (57,4%) dibandingkan dengan anak yang menonton televisi kurang dari 2 jam (43,1%).

Apabila anak semakin sering melihat iklan makanan yang ditayangkan di televisi, maka terdapat peningkatan keinginan anak untuk mencoba produk makanan yang diklankan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raharjo (2008) pada anak-anak yang bersekolah di salah satu SD favorit di Bandar Lampung, terdapat keterkaitan antara pengaruh iklan makanan dengan sikap konsumtif (keinginan membeli dan mencoba) produk yang diiklankan. Sedangkan jenis makanan yang paling disukai anak-anak yaitu berbagai jenis chiki (46, 7%), kemudian diikuti oleh jenis bolu (16,6%).

Teman sebaya di lingkungan rumah (tetangga) atau di sekolah, berperan mempengaruhi keputusan anak ketika memilih jajanan. Terdapat perasaan bahwa anak diterima di lingkungan bermainnya ketika ia mengikuti perilaku teman-temannya. Termasuk kebiasaan jajan, meskipun anak di rumah sudah diajarkan untuk memilih makanan yang bersih dan sehat. Ginting (2007) dalam Dewi (2010) menyatakan bahwa alasan para murid SD terbiasa jajan, di antaranya: karena lapar, diajak oleh teman, ingin mengkonsumsi jajanan, dan hanya iseng.

Kecenderungan anak belajar dan meniru perilaku dari teman sebaya, sesuai dengan fungsi teman sebaya yang diungkapkan oleh Hartup (1992) dalam artikel yang ditulis oleh Didi Tarsidi mengenai perkembangan kompetensi sosial anak (http://file.upi.edu), yaitu:

Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (dapat memberikan rasa senang atau kebahagiaan).Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (memberikan pengetahuan dan membantu memecahkan masalah).

Hubungan sosial untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan sosial dasar (keterampilan komunikasi, kerja sama, dan bergabung ke dalam suatu kelompok).

Hubungan teman sebaya sebagai landasan terjalinnya hubungan-hubungan lain (misal dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Pada anak usia pra-sekolah yang memiliki hubungan baik dengan teman sebaya, memungkinkan hubungan yang baik pula dengan kakak atau adiknya.