penanggung jawab asfinawati siti rakhma mary herwati ... · universitas islam indonesia, yogyakarta...
TRANSCRIPT
2
Penanggung Jawab
ASFINAWATI
Pemimpin Redaksi
SITI RAKHMA MARY HERWATI
Redaksi
MUHAMAD ISNUR
FEBI YONESTA
ARIP YOGIAWAN
Editor
SITI RAKHMA MARY HERWATI
JANE AILEEN TEDJASEPUTRA
LayoutMUHAMAD ISNUR
MARIA ELYSABETH SUATAN
3
Buletin edisi tiga ini
mengangkat tema penyediaan
bantuan hukum. Beberapa artikel
para penulis menceritakan
pengalaman kunjungan belajar ke
Australia dan Afrika Selatan
mengenai penyediaan bantuan
hukum di sana. Australia dan
Afrika Selatan dikenal memiliki
sistem penyediaan bantuan hukum
yang bagus. Karena itulah kedua
negara ini dipilih sebagai tujuan
belajar. Dari kedua negara itu, kita
mengetahui betapa maju dan
beragamnya penyediaan bantuan
hukum di dua negara tersebut.
Pemerintah Australia dan Afrika
Selatan memperhatikan warga
negaranya dalam mengakses
keadilan dengan menyediakan
ruang-ruang yang cukup untuk itu.
Di Indonesia, penyediaan bantuan
hukum dan upaya mendekatkan
akses masyarakat miskin dan
marginal terhadap keadilan masih
terseok-seok. Terbitnya UU No.
16/2011 tentang Bantuan Hukum
bisa jadi merupakan upaya
pemerintah memenuhi akses
terhadap keadilan. Tetapi, rupanya
upaya ini belum cukup. UU ini
masih memiliki keterbatasan dan
kekurangan yang dalam
implementasinya membuat banyak
masyarakat korban dalam kasus-
kasus struktural belum dapat
mengakses bantuan hukum. Hal ini
masih ditambah dengan
terbatasnya jumlah advokat
probono yang mau mendampingi
masyarakat marjinal. Situasi ini
berbeda jika melihat pengalaman
negara-negara lain yang terungkap
dalam Konferensi Pro bono di
Malaysia, September 2017.
Indonesia masih jauh tertinggal
dengan beberapa negara lain
4
dalam hal keikutsertaan para
advokat yang mau terlibat bantuan
hukum pro bono.
Bantuan hukum merupakan hak
asasi manusia yang harus dijamin
pemenuhannya oleh negara.
Bantuan hukum hanyalah salah
satunya. Pengalaman lain
mengenai penegakan hak asasi
manusia juga diperoleh dari cerita
yang disampaikan Aditia Santoso
dari hasil kunjungannya ke Korea
Selatan. Sementara itu, dari hasil
pertemuan para pengacara di
forum bertajuk “Regional
Roundtable on Judicial Engagement
for Southeast Asia” di Malaysia,
bantuan hukum dan perlindungan
hak asasi manusia masih menjadi
isu krusial terkait masalah
pengungsi.
Pembelajaran-pembelajaran dari
berbagai negara tersebut
membangkitkan semangat kami
untuk terus mendorong
pemenuhan bantuan hukum dan
akses keadilan masyarakat miskin
dan marjinal. Semoga demikian
halnya dengan pemerintah dan
publik secara luas.
Selamat membaca.
Redaksi
Siti Rakhma Mary Herwati
5
REDAKSI KATA PENGANTAR PROFIL PBH Bantuan Hukum Di New South Wales Australia Memperkuat Budaya Pro Bono: Persatuan Dalam Keragaman Bantuan Hukum Di Afrika Selatan Penyediaan Bantuan Hukum di Afrika Selatan: Perbandingan dengan Indonesia Forum Pengacara se-Asia Tenggara Untuk Advokasi Hak Pengungsi FEATURE : Annyeong Haseyyo, The May 18 Academy 2017: Catatan Perjalanan ke Korea Selatan
Wajah Baru Diponegoro 74
2
3
6
10
21
25
33
39
43
54
6
Arip Yogiawan1
Mengorganisir masyarakat dan
memberi bantuan hukum menjadi hal yang tak terpisahkan dari rentetan kehidupan seorang bapak yang menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk menjadi Pengabdi Bantuan Hukum (PBH).
1 Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye
Arip Yogiawan – akrab dipanggil Yogi - menceritakan lika-liku hidup dan pengalamannya di LBH-YLBHI. Sarjana Hukum lulusan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta tahun 2000 ini telah menjadikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai rumah belajarnya selama 16 tahun. Waktu yang tidak pendek untuk mengabaikan berbagai cerita dan kisah yang dapat menginspirasi seluruh insan keadilan. Salah satunya adalah kredibilitas yang ia tunjukkan sewaktu menjabat sebagai seorang Direktur Lembaga
7
Bantuan Hukum Bandung tahun 2012-2015. Loyalitas yang dipertahankan Yogi sejak 2001 tak diragukan lagi. Ia memulai prosesnya dengan menjadi relawan, staf, dan direktur. Setelah usai mengabdi di LBH Bandung, Yogi bergabung dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Saat mengabdi di LBH, Yogi lebih banyak fokus pada advokasi masalah agraria dan lingkungan hidup di Jawa Barat. Kedekatannya dengan serikat-serikat tani sejak kuliah menjadikannya sangat dekat dan berkomitmen dengan garis perjuangannya. Awal 2002, Yogi yang masih volunteer telah menangani kasus kriminalisasi petani Desa Tegalbuleud di Kabupaten Sukabumi terkait sengketa kawasan hutan. Setelah itu tahun 2003, Perhutani beserta Polda Jabar menggelar operasi hutan besar-besaran di wilayah Tegalbuleud dan Cibabi Kabupaten Sukabumi. Tentu saja hal itu berdampak terhadap petani penggarap yang sedang berkonflik di wilayah tersebut. Mereka ditangkapi dan diintimidasi. LBH Bandung menugaskan Yogi untuk melakukan advokasi petani
korban operasi hutan Wanalaga Lodaya tersebut. Setelah itu, Operasi Wanalaga Lodaya digelar berturut-turut pada tahun 2004, 2005, dan 2006 di Kabupaten Garut, Tasik, dan Ciamis tepatnya di wilayah-wilayah Serikat Petani Pasundan. Lagi-lagi Yogi sebagai PBH Muda mendapat tugas untuk melakukan advokasi terhadap petani yang menjadi korban operasi Wanalaga Lodaya. Puncaknya tahun 2008, Polda Jabar menggelar Operasi Hutan Wana Lestari di Kecamatan Cigugur Kabupaten Ciamis (saat ini masuk wilayah Kabupaten Pangandaran). Operasi di Cigugur itu adalah operasi hutan paling besar-besaran dilakukan yang mengakibatkan kriminalisasi petani, pimpinan serikat tani, bahkan aktifis-aktifis reforma agraria. Sepanjang tahun 2006 hingga 2008 bisa dikatakan LBH Bandung tak memiliki banyak tenaga advokat, terutama untuk isu agraria. Bisa dibilang, saat itu Yogi lah satu-satunya advokat yang dimiliki oleh LBH Bandung. Hal itu membuat Yogi gelisah. Ia kemudian mengorganisir advokat-advokat muda untuk mau bergerak membela petani. Atas
8
bantuan aktifis-aktifis reforma agraria di Jawa Barat, akhirnya terbentuklah Tim Pembela Petani yang diumumkan ke publik pada 14 Februari 2009. Selain membentuk Tim Pembela Petani, Yogi juga menginisasi penyelenggaraan pendidikan hukum kritis, pendidikan paralegal, dan pendidikan politik reforma agraria di kampung-kampung. Selain berjejaring dengan pegiat Reforma Agraria, Yogi juga aktif terlibat dalam beberapa jejaring, di antaranya jaringan advokasi keterbukaan informasi “Wakca Balaka” dimana Yogi menjadi koordinatornya. Kelompok inilah yang kemudian mendorong perubahan-perubahan terutama dalam hal keterbukaan informasi di Jawa Barat. Yogi juga terlibat dalam advokasi beberapa kasus di Bandung, terutama menyangkut perlindungan Kawasan Bandung Utara sebagai kawasan konservasi. Bersama para PBH LBH Bandung, ia pernah menjadi kuasa hukum Adnan Buyung Nasution. Ia menggugat pembangunan sebuah hotel di Kawasan Rancabentang persis di sebelah rumah keluarga Bang Buyung yang termasuk
dalam Kawasan Bandung Utara. Saat itu, LBH Bandung tidak saja menjadi kuasa hukum Bang Buyung sebagai Penggugat. LBH Bandung melakukan upaya pengorganisasian warga di Rancabentang sehingga warga meyakini bahwa ini bukan pertarungan Bang Buyung, melainkan pertarungan untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Maka, warga pun turut menjadi Penggugat dalam perkara tersebut. “Kasus-kasus lingkungan di Bandung itu banyak, terang Yogi”. Waktu itu ia juga mengadvokasi beberapa kasus lain menyangkut Kawasan Bandung Utara seperti Kasus Dago Resort, pembangunan beberapa hotel dan apartemen. Terakhir, Yogi bersama para PBH LBH Bandung mengajukan gugatan Citizen Lawsuit melawan Pemerintah Kota Bandung terkait kerusakan jalan yang parah dan menimbulkan korban jiwa. Kasus ini memperoleh perhatian yang sangat besar sehingga muncul komitmen dari Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memperbaiki infrastruktur Jalan di Kota Bandung.
9
Buah manis tersebut tanpa serta merta muncul begitu saja. Para PBH LBH Bandung terus mengorganisir petani dengan mengadakan berbagai kegiatan penataan produksi lahan setelah kemenangan di pengadilan diraih. “Hal tersebut membuktikan, stigma yang melekat di sebagian orang mengenai kredibilitas dan kesulitan yang selalu diraih oleh Lembaga Bantuan Hukum adalah
keliru, karena kemenangan, simpati masyarakat, dan hubungan harmonis dengan para petani ialah bukti yang bisa dikedepankan untuk mematahkan stigma tersebut. Tugas kita adalah mempelajarinya sebagai sebuah proses pengembangan diri dan sikap bijaksana, terangnya”. Ia menambahkan, “Point yang tak kalah penting pula adalah untuk tetap berjuang pada sebuah kebenaran dan mengedepankan sikap cinta terhadap keadilan, karena jika bukan kita yang memulai lalu siapa lagi? tanyanya”. “Sebagai gantinya, segala pengorbanan baik tenaga, waktu, dan biaya akan dibayar lunas. Karena, hasil yang maksimal takkan pernah mengkhianati kegigihan sebuah proses. Usaha dan proses yang maksimal tentu akan menjadikan kita makin berkembang atas segala tantangan yang datang silih berganti,” tutupnya.
“Kami bukannya tanpa
hambatan menjalankan
kegiatannya. Mereka pernah
menerima bujukan,
ancaman, dan intimidasi dari
pihak-pihak pengusaha.
Namun, upaya-upaya
tersebut tak menyurutkan
tekad dan posisi kami untuk
tetap konsisten memihak
terhadap korban yaitu warga
negara yang termarjinalkan,”
tuturnya.
10
Bantuan Hukum Di New
South Wales Australia2
Siti Rakhma Mary Herwati3
2 Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis mengikuti studi visit di Sydney, Australia tanggal 24-27 Juli 2017. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Haswandy (Direktur LBH Makassar) yang berkontribusi beberapa data dalam artikel ini.
Pada 24-27 Juli 2017, YLBHI
bersama LBH Lampung dan LBH
Makassar, berkesempatan
melakukan study visit bantuan
hukum di Sydney, New South
Wales (NSW), Australia. Selain
YLBHI dan LBH, study visit yang
diorganisir Yayasan TIFA dan
Open Society Justice Initiative
(OSJI) tersebut juga diikuti Badan
Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), Bappenas, Kemendagri,
Pemkab Binjai Sulawesi Selatan,
3 Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI.
11
dan DPRD Lampung. Selama
empat hari, para peserta
mempelajari mekanisme
penyediaan bantuan hukum di
NSW dengan mengunjungi kantor
pemerintah, organisasi non-
pemerintah, dan universitas, yaitu
Law and Justice Foundation
(Yayasan Hukum dan Keadilan)
NSW, Legal Aid NSW (Komisi
Bantuan Hukum, NSW),
Community Legal Centre NSW,
Kantor Paramatta Community
Legal Centre di Sydney Barat,
Kantor Law Access, Kingsford
Legal Centre di Fakultas Hukum
NSW, Pro bono Centre, dan
Refugee Advice & Casework
Service.
Di NSW, pemerintah menaruh
perhatian cukup besar terhadap
penyediaan bantuan hukum
dengan memberikan dana kepada
beberapa lembaga dan organisasi
penyedia layanan bantuan hukum.
Law and Justice Foundation
Di lembaga ini, kami mempelajari
sistem hukum dan pengadilan di
Australia. Yayasan ini didirikan
pada tahun 1967 dan merupakan
badan independen yang didirikan
di New South Wales berdasarkan
Undang-undang. Pegawai yayasan
ini bukan pegawai negeri. Para
staf dan dewan yayasan berasal
dari berbagai latar belakang
seperti hukum, penelitian,
pendidikan dan ilmu sosial untuk
menganalisis masalah akses
terhadap keadilan dari perspektif
yang berbeda.
Yayasan ini bertujuan memajukan
keadilan dan keadilan sistem
peradilan dan untuk memperbaiki
akses terhadap keadilan, terutama
bagi orang-orang yang secara
sosial dan ekonomi kurang
beruntung. Maka, dilakukanlah
berbagai kegiatan, seperti meneliti
program akses terhadap keadilan
dan ketaatan hukum dan
mendukung masyarakat dan
organisasi lainnya untuk
menghasilkan berbagai akses
terhadap inisiatif keadilan.
Beberapa organisasi yang terlibat
dalam pemberian layanan bantuan
hukum, antara lain: Legal Aid
12
NSW, Community Legal Centres,
Aboriginal Legal Services, Family
Violence Prevention Legal
Services, Law Access, dan
Probono services.
Legal Aid NSW
Komisi Bantuan Hukum (Legal Aid
NSW) adalah lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang. Lembaga ini
didirikan pada tahun 1979,
awalnya bernama sebagai Komisi
Pelayanan Hukum, lalu menjadi
Komisi Bantuan Hukum. KBH lalu
berganti nama menjadi Legal Aid
NSW pada 2006. Legal Aid NSW
adalah organisasi negara bagian
yang memberikan layanan hukum
kepada orang-orang yang kurang
beruntung secara sosial dan
ekonomi di seluruh NSW.
Lembaga ini memberikan layanan
hukum di sebagian besar wilayah
hukum pidana, keluarga dan
hukum perdata. Para pengacara
memberikan layanan melalui
kantor pusat di Sydney dan 23
kantor regional. Legal Aid
mempekerjakan sekitar 1000 staf.
Legal Aid NSW memberikan
layanan hukum dalam kemitraan
dengan profesi hukum swasta
melalui hibah bantuan hukum.
Lembaga ini bekerja sama dengan
LawAccess NSW, Pusat Hukum
Masyarakat dan Layanan Hukum
Aborigin dan Torres Strait Islander
NSW/ACT. Pelayanan bantuan
13
hukum untuk Aborigin mendapat
perhatian utama di Australia
mengingat Aborigin adalah
masyarakat asli yang rentan
mengalami diskriminasi. Maka,
terdapat 45 klinik hukum outreach
(penjangkauan) yang letaknya
dekat permukiman
Aborigin.Masyarakat yang akan
menerima bantuan hukum dari
Legal Aid NSW harus lulus
verifikasi terlebih dahulu yang
disebut dengan Means Test dan
Merit Test. Means Test terdiri atas
tes penghasilan, yaitu penghasilan
masyarakat harus masuk skema
tunjangan negara, dan tes tentang
asset, yaitu calon klien bukan
orang mampu secara ekonomi.
Sedangkan Merit Test adalah
pengujian pada aspek kasusnya,
yaitu apakah orang ini akan
mendapat manfaat dengan
bantuan hukum. Kalau gagal
dengan kedua tes itu, mereka
tidak akan bisa mengakses layanan
bantuan hukum.
legal Aid memiliki beberapa
program dan bagian seperti NSW
Legal Assisstance Forum (NLAF)
yaitu forum antar-lembaga yang
menyatukan penyedia layanan
hukum utama di seluruh sektor
pemerintah, non pemerintah dan
swasta, The Cooperative Legal
Service Delivery (CLSD) yaitu
program bantuan hukum yang
bertujuan menjangkau wilayah-
wilayah jauh pedesaan, Bagian
Layanan Klien, Bagian Perdata,
Bagian Hukum Keluarga, Bagian
Hukum Pidana, dan Bagian
Perencanaan Strategis, Kebijakan,
dan Kemitraan Masyarakat.
Community Legal Centres
Organisasi ini mirip dengan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Sebagian staf CLC berasal dari
relawan dari mahasiswa atau
aktifis. Di Seluruh NSW terdapat
37 CLC di NSW dengan 1.415
relawan. Para relawan tak dibatasi
usia. Relawan dan organisasi saling
menguntungkan, relawan
mendapatkan ilmu dan
pengalaman, sedangkan organisasi
mendapatkan bantuan dalam
menjalankan kegiatannya.
Sebagian besar perkara yang
14
ditangani CLC adalah perkara
perdata, keluarga, dan kekerasan
dalam rumah tangga, sedangkan
perkara pidana ditangani Komisi
Bantuan Hukum.
Di seluruh Australia terdapat 320
CLC, 37 CLC ada di NSW.
Organisasi ini menerima dana dari
pemerintah, tapi jumlahnya sangat
kecil atau sekitar sepersepuluh
dibandingkan Komisi Legal Aid.
Meskipun pemerintah mulai
menyukai CLC, tetapi anggaran
yang akan dikucurkan untuk CLC
terancam dipotong.
Aboriginal Legal Service
ALS adalah organisasi yang
dikelola oleh masyarakat Aborigin
yang didirikan pada tahun 1970
untuk memberikan bantuan
hukum kepada masyarakat
Aborigin seperti pelayanan hukum
pidana, hukum perawatan dan
perlindungan anak, dan hukum
keluarga. ALS memiliki 23 kantor
dan 200 staf Aborigin dan non-
Aborigin di NSW. Lembaga ini
memperoleh dana dari pemerintah
Federal. ALS beroperasi melalui
wilayah yang mencakup seluruh
NSW dan ACT. Wilayah tersebut
disebut Wilayah Utara, Wilayah
Barat dan Wilayah Timur Tengah
Bagian Selatan. Setiap Wilayah
dikelola oleh Regional Manager
yang melapor langsung ke Chief
Executive Officer. Eksekutif
Aboriginal Legal Services terdiri
dari tim Manajemen Senior ALS
termasuk Chief Executive Officer,
Chief Legal Officer dan Chief
Financial Officer.
West Sydney Community Legal
Centre
WSCLC adalah organisasi nirlaba yang didanai oleh badan pemerintah negara bagian dan federal (misalnya Departemen Kejaksaan Agung) dan badan non-pemerintah, seperti Macquarie University dan Western Sydney University. Organisasi ini memberikan nasehat hukum umum gratis di berbagai bidang hukum di antaranya hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, hukum ketenagakerjaan, kecelakaan kendaraan bermotor, perselisihan lingkungan, dan kredit
15
konsumen. Selain menyediakan layanan pekerjaan ringan untuk klien yang memenuhi syarat, organisasi ini juga mengembangkan dan melaksanakan kegiatan Pendidikan Hukum Masyarakat dari waktu ke waktu dalam berbagai topik.
WSCLC dibentuk pada pertengahan tahun 2016 dengan penggabungan tiga Pusat Hukum Komunitas yang ada: Pusat Hukum Komunitas Hawkesbury Nepean, Pusat Hukum Macquarie, dan Pusat Hukum Masyarakat Dlittitt.
WSCLC memiliki skema dukungan
pengadilan bagi perempuan yang
terkena dampak KDRT. Lembaga
ini memiliki kontak dimana anak-
anak bisa tetap berhubungan
dengan orang tuanya ketika orang
tuanya mengalami masalah. Jika
anak perlu bertemu ayahnya, perlu
bertemu. Tapi perlu diawasi. Si ibu
dan si bapak tidak saling bertemu
tapi di satu tempat.
WSCLC juga memiliki program
khusus untuk orang-orang
Aborigin muda. Seperti Legal Aid,
suku Aborigin juga mendapat
perhatian utama.
Law Access
Law Access didirikan pada 2001
utk membantu masyarakat
mendapat layanan hukum. Badan
Pengurus LawAccess terdiri atas
beberapa perwakilan dari badan
kehakiman, Legal Aid NSW, The
Law Society NSW, NSW Bar
association, CLC, dan Community
Representative. Penerima layanan
prioritas adalah orang-orang yang
tinggal di daerah, pedesaan,
terpencil, pedesaan, penduduk
Pulau Torres, dan mereka yang
berasal dari budaya dan kelompok
budaya.
Law Access tidak
mempublikasikan alamat kantor
tidak mendampingi, advokasi,
banding, nasehat hukum penjualan
perusahaan, pajak, dan lain-lain.
Para staf memberikan layanan
hukum melalui telepon yang tidak
bebas biaya. Law Access hanya
ada di NSW. Law Access
16
merupakan bagian dari
Departemen Kehakiman. Sehingga
pendanaan, sumber daya manusia,
dan teknologi didukung oleh
Departemen Kehakiman.
Masyarakat boleh menelepon dari
mana saja, tetapi masalahnya yang
diadukan harus berlokasi di New
South Wales. Adapun bentuk
layanan hukum yang diberikan ada
dua macam: pertama, berupa
informasi, kedua, berupa nasehat
tergantung kasusnya.
Masyarakat dapat mengetahui
informasi tentang law access ini
melalui alamat website
www.lawaccess.nsw.gov.au yang
menyediakn informasi yang
diperlukan mengenai bantuan
hukum dan dokumen-dokumen
pembelaan perkara.
Kingsford Legal Clinic
Kingsford Legal Clinic (KLC)
adalah klinik hukum yang terdapat
di Fakultas Hukum Universitas
New South Wales (UNSW). Latar
belakang pembentukan klinik
hukum di Australia dimulai ketika
pada era 1970-an banyak aktivis
berkeinginan melakukan
perubahan karena ada banyak
kelompok masyarakat tersisih. Ada
gerakan feminis yang kuat dan
aktivis utk penduduk asli. Atas
dasar itu CLC bermunculan.
Kingsford Legal Centre berdiri
pada tahun 1981 dengan tujuan
memberikan informasi dan nasihat
hukum gratis kepada masyarakat
marginal dan membentuk pusat
pembelajaran bagi mahasiswa
hukum. KLC adalah salah satu CLC
di NSW. CLC selalu berhubungan
dengan Komisi Bantuan Hukum.
KLC lebih banyak kasus pidana
yakni 60%, perdata 25%, dan
lainnya 5%. CLC mengisi
kekosongan yang tidak dikerjakan
oleh Legal Aid.
KLC memiliki 60 pengacara, yang masing-masing bekerja selama 3 jam, memiliki beban kerja yang sama dan hak yang sama. Kantor ini memperoleh dana sekitar 13 sampai 15 ribu dollar untuk proyek lain, biaya dari pemerintah lokal. Kadangkala kantor pengacara menempatkan
17
pengacara mudanya di KLC selama sekitar 6 bulan untuk belajar. Selain Pengacara, KLC juga memiliki Staf Penyuluh Hukum yang memberikan nasihat hukum secara gratis di malam hari.
KLC merupakan kawah
pembelajaran bagi mahasiswa
Fakultas Hukum. Mahasiswa
belajar dan bekerja di KLC selama
satu semester dan
bertanggungjawab terhadap para
klien. Dalam melakukan
pekerjaannya, mahasiswa diawasi
supervisor klinis. Mata kuliah
magang di KLC ini mendapatkan
kredit 6 SKS atau 12 SKS.
Mahasiswa juga bisa magang di
klinik kewenangan kepolisian atau
klinik hukum lingkungan dengan
jumlah kredit yang sama. Rata-rata
dalam satu semester, KLC
menerima 36 mahasiswa.
Selain pelayanan hukum rutin,
KLC juga membuka pelayanan
hukum pada malam hari yang
dilakukan para volunteer. Mereka
membuka konsultasi pada Selasa
malam, Rabu malam, dan Kamis
malam seusai jam kerja. Selain itu,
KLC juga memiliki program
outreach atau penjangkauan
mengingat ada kelompok-
kelompok masyarakat yang
kesulitan datang ke kantor.
Pro Bono
Ada beberapa macam bantuan
hukum cuma-cuma (probono).
Salah satunya adalah NCYLC (The
National Children’s and Youth Law
Centre) adalah organisasi
pengacara pro bono yang
memberikan bantuan hukum
cuma-cuma bagi masyarakat yang
membutuhkan bantuan hukum
khususnya anak-anak dan orang
muda khususnya yang mempunyai
masalah keluarga dan kriminal.
NCYLC memberikan dua macam
layanan yaitu Lawstuff dan
Lawmail.
Lawstuff adalah layanan internet
yang menyediakan informasi-
informasi penting tentang bantuan
hukum yang bisa diakses warga di
seluruh negara bagian, nasehat
hukum, dan informasi tentang
18
beracara di pengadilan. Lawmail
adalah formulir yang diisi orang
muda. Metodenya, orang muda
akan membuat pertanyaan, semua
lewat email. Klien akan
memberikan email pribadinya.
Pengacara probono membuat
jawaban, staf NCYLC yang akan
mengeditnya. Semua jawaban
tidak mungkin dapat langsung
dikirim tanpa disetujui NCYLC.
Organisasi ini juga mendapatkan
dana operasional dari pemerintah,
tetapi jumlahnya kecil
dibandingkan organisasi bantuan
hukum yang lain.
Probono Centre
Probono centre adalah badan
pusat probono yang memfasilitasi
kegiatan bantuan hukum ribuan
pengacara probono. Bentuk
layanan bantuan hukumnya lebih
banyak perdata, berbeda dengan
badan pemerintah yang bergerak
di hukum pidana dan keluarga.
Probono center yang didirikan
sejak 2002 ini tidak melakukan
kerja probono, melainkan hanya
memfasilitasi pengacara probono.
Targetnya adalah meningkatnya
jumlah pengacara yang melakukan
kerja-kerja probono. Probono
Center juga memelopori
terselenggaranya Asia Probono
Conference.
Refugee Advice & Casework
Service
Kami juga berkunjung ke kantor
Refugee Advice and Casework
Service. Kantor yang berdiri sejak
1987 ini memberikan bantuan
hukum dan melakukan advokasi
terhadap para pengungsi atau
pencari suaka yang memasuki
wilayah Australia. Yang menarik,
para staf di lembaga bantuan
hukum satu-satunya di NSW ini
memiliki latar belakang berbeda-
beda dan dapat berbahasa Tamil,
Urdu, Arabic, Rumania, dan
Ukrania. Sebagian staf tersebut
sebelumnya para pengungsi juga
yang diadvokasi kantor lembaga
ini. Tiap tahun, RACS memberikan
sekitar 7000 konsultasi atau
bantuan hukum kepada para
19
pengungsi. Sumber pendanaan
kantor ini sebagian besar (60%)
didapatkan dari pemerintah. RACS
membuka kesempatan banyak
orang menjadi volunteer
mengingat para pengungsi datang
dengan latar belakang dan bahasa
yang berbeda-beda. Para
volunteer biasanya membantu
menerjemahkan bahasa para
pengungsi ke para staf RACS,
demikian sebaliknya.
Pembelajaran
NSW memiliki skema penyediaan
bantuan hukum yang beragam,
terhubung, dan terintegrasi. Legal
Aid dan lembaga-lembaga
penyedia bantuan hukum non-
pemerintah terhubung dengan
Law Access, lembaga penyedia
informasi dan pemberian layanan
bantuan hukum online. Sementara
itu, Community Legal Centre dan
Kingsford Legal Clinic juga
menjalin komunikasi dan
koordinasi dengan Legal Aid, Law
and Justice Foundation, dan
Probono Lawyers menyangkut
pelayanan bantuan hukum.
Pemerintah Australia maupun
pemerintah negara bagian NSW
sama-sama memiliki alokasi dana
untuk menyokong keberlanjutan
lembaga-lembaga bantuan hukum.
Yang terbesar didanai adalah Legal
Aid karena merupakan lembaga
independen pemerintah yang
dibentuk berdasarkan Undang-
undang. Lembaga-lembaga non-
pemerintah rata-rata mendapat
sedikit dana dari pemerintah dan
harus mencari donatur lain untuk
kegiatan bantuan hukumnya. Para
peserta kunjungan belajar hanya
mendatangi beberapa organisasi
bantuan hukum; selain yang
tersebut di atas, masih terdapat
beberapa lembaga penyedia
bantuan hukum di NSW. Dari
seluruhnya, mereka tak ada yang
secara khusus memberikan
bantuan hukum terhadap kasus-
kasus struktural seperti yang
dilakukan YLBHI dan 15 kantor di
daerah.
Kegiatan bantuan hukum dan jiwa
kesukarelawanan (voluntary) sudah
ditanamkan sejak mahasiswa. Para
mahasiswa terfasilitasi
20
kemampuan memberikan bantuan
hukum dan jiwa sukarela nya
melalui pemberian kredit (SKS)
mata kuliah belajar di klinik-klinik
hukum di beberapa universitas di
Australia. Mahasiswa tak hanya
menunggu masyarakat datang ke
klinik, tetapi juga mendatangi
tempat-tempat yang terjangkau
masyarakat.
Beberapa pembelajaran dari
kunjungan belajar yang juga diikuti
pemerintah daerah dan pusat ini
diantaranya: beragamnya
mekanisme penyediaan bantuan
hukum yang mendekatkan
masyarakat mengakses keadilan,
pendanaan dari pemerintah pusat
dan negara bagian yang
merupakan komitmen pemerintah
terhadap pelaksanaan UU
Bantuan Hukum, koordinasi dan
komunikasi lembaga penyedia
bantuan hukum dengan
pemerintah, dan bagi kelompok
masyarakat sipil adalah
membangun jaringan pengacara
publik dan probono yang lebih
luas, memperbanyak jumlah
paralegal, memperkuat
konsolidasi, koordinasi, dan
komunikasi di antara organisasi
bantuan hukum, dan mendorong
berdirinya klinik-klinik hukum di
unversitas.
21
Memperkuat Budaya Pro
Bono: Persatuan Dalam
Keragaman
Febi Yonesta dan Muhamad
Isnur4
4 Ketua Bidang Pengembangan Organisasi dan Ketua Bidang Advokasi YLBHI.
Pada 29 September – 2 Oktober
2017, YLBHI menghadiri
Konferensi Pro Bono Asia yang
ke-6 yang diselenggarakan, di
Westlane Place, Petaling Jaya,
Selangor, Malaysia. Konferensi
tersebut diadakan oleh
BABSEACLE yang berkolaborasi
dengan berbagai Firma Hukum
internasional, perguruan tinggi,
dan Perhimpunan Advokat di
Malaysia.
Asia Probono Conference pertama
kali diadakan di Vientine - Laos
pada 2012. Konferensi ini
diadakan dalam rangka
22
mengembangkan dan sharing
kerja-kerja probono di berbagai
belahan negara Asia,
pengembangan etika hukum, dan
pendidikan klinik hukum. Dalam
tiap konferensi, peserta terus
mengembangkan nisiatif-inisiatif
diskusi dalam rangka
meningkatkan akses kepada
keadilan. Hingga kini, Konferensi
telah diadakan di beberapa negara
diantaranya Vientiane, Laos
(2012); Ho Chi Minh City, Vietnam
(2013); Sigapore (2014);
Mandalay, Myanmar (2015); Bali,
Indonesia (2016), dan terakhir di
Kuala Lumpur, Malaysia (2017).
Seperti tahun-tahun sebelumnya,
konferensi Pro Bono selalu diikuti
oleh ratusan peserta. Konferensi
Pro Bono kali ini dihadiri oleh
sekitar 400 peserta yang berasal
dari berbagai negara seperti Asia,
Australia, Eropa, dan Amerika
Serikat.
Konferensi ini juga dihadiri oleh
peserta-peserta asal Indonesia.
Ada sekitar 18 orang asal
Indonesia yang berasal dari
berbagai organisasi, antara lain:
PERADI, Pusat Bantuan Hukum,
Organisasi Bantuan Hukum, PBHI,
LBH Masyarakat, dan perwakilan
Kementerian Hukum dan HAM.
Misi para peserta Indonesia
tersebut adalah untuk mempelajari
pengalaman negara-negara lain
dalam mengembangkan program
pro bononya.
Ketua penyelenggara Konferensi,
Bruce Lasky, dalam pidato
pembukaannya menjelaskan
perbedaan antara bantuan hukum
dan pro bono, dimana dalam
bantuan hukum para pengacara
pada umumnya memperoleh
bayaran, baik berupa gaji atau
kompensasi lainnya dari
pemerintah atau organisasi
profesi, sementara dalam pro
bono para pengacara pada
prinsipnya tidak memperoleh
bayaran dalam bentuk apapun. Dia
mengajak para peserta, baik
pengacara privat, firma hukum,
Perguruan Tinggi, mahasiswa, dan
LSM, untuk bekerjasama
membangun budaya Pro Bono di
kalangan para pemberi layanan
23
hukum untuk mencapai akses
keadilan bagi semua orang.
Beberapa panel konferensi diisi
oleh berbagai narasumber dan
diikuti tanya jawab. Demikian juga
diselenggarakan workshop
interaktif yang dipimpin oleh para
pengacara Internasional dan
professor-professor hukum. Para
narasumber dalam sesi-sesi yang
disediakan mempresentasikan
tantangan dan kisah sukses kerja-
kerja pro bono yang dilakukan
oleh para pengacara dari berbagai
pengalaman masing-masing
negara. Konferensi-konferensi
serupa juga diadakan langsung
bersamaan dengan konferensi ini
yang disertai penerjemahan ke
dalam berbagai bahasa.
YLBHI terlibat aktif dalam
berbagai forum dalam konferensi
ini yang juga dimanfaatkan untuk
memperkuat jejaring yang
dibangun bersama. Dalam
berbagai kesempatan, YLBHI
berbagi tentang pengalaman
menginisiasi dan membangun
bantuan hukum di Indonesia. Sejak
2011 Indonesia telah memiliki UU
Bantuan Hukum yang sampai
sekarang sedang berkembang dan
terus diperbaiki. Sementara itu,
sejak 2010 para advokat telah
mengembangkan bantuan hukum
pro bono. Meski demikian,
Indonesia cukup tertinggal dalam
pengembangan pro bono nya
dibandingkan negara-negara maju.
Perhimpunan-perhimpunan
Advokat di Indonesia masih dalam
tahap pengembangan dan
penguatan pemberian pro bono di
masing-masing organisasinya.
Perwakilan YLBHI, Febi Yonesta,
dalam salah satu sesi
menyampaikan, “Tantangan
terbesar kolaborasi antara
pengacara privat atau firma
hukum dengan LSM dalam
memperjuangkan keadilan bagi
komunitas marjinal adalah soal
kepercayaan. Oleh karena itu
penting untuk terlebih dahulu
membangun kapasitas pengacara
privat atau firma hukum yang
ingin terlibat dalam pelayanan
24
hukum secara pro bono dengan
pengetahuan dasar tentang hak
asasi manusia untuk
menumbuhkan kepekaan terhadap
perosalan yang dihadapi oleh
komunitas marjinal”.
Salah satu peserta asal Indonesia
yang juga merupakan Ketua
Bidang Bantuan Hukum dan Pro
Bono DPN Peradi, Saor Siagian,
berbagi pengalamannya
melakukan kerja-kerja pro bono
dalam membela kelompok
minoritas keagamaan yang
memperjuangkan hak
beribadahnya di Indonesia. “Peran
pengacara secara pro bono sangat
dibutuhkan oleh kelompok
masyarakat yang rentan terlanggar
haknya”, ungkapnya.
25
Bantuan Hukum Di Afrika
Selatan
Asfinawati5
Simposium Afrika tentang
Pemberdayaan Hukum (Africa
Legal Empowerment Symposium)
yang saya ikuti pada 30 Oktober –
3 November 2017 tak sekedar
berlangsung di Johannessburg,
tetapi tepat di jantung penciptaan
sejarah Afrika Selatan; Liliesleaf.
Pada tahun 1960-an, tempat ini
sebagian besar terdiri atas tanah
pertanian yang berdasarkan
Undang-undang Kelompok
Wilayah hanya dapat ditinggali
oleh orang kulit putih. Arthur
5 Ketua Umum YLBHI.
Goldreich – anggota Partai
Komunis Afrika Selatan – bersama
keluarganya pindah ke tempat ini
dengan menunjukkan dirinya
sebagai tipikal keluarga kulit putih
yang kaya raya. Sebenarnya ini
adalah penyamaran. Pertanian ini
digunakan sebagai tempat
persembunyian Nelson Mandela
dan beberapa aktivis kunci anti
apartheid yang sedang dikejar-
kejar kepolisian. Selama berada di
pertanian Liliesleaf, mereka
sampai pada kesimpulan,
meskipun tidak ingin terlibat
dalam kekerasan tetapi tidak ada
cara lain untuk mengakhiri
apartheid di Afrika Selatan selain
dengan perlawanan bersenjata.
Mereka bekerja selama dua tahun
untuk mempersiapkannya. Sayap
tentara ANC dinamakan Umkhonto
weSizwe yang berarti the Spear of
the Nation. Pada Juli 1963,
Liliesleaf dirazia oleh lusinan
tentara dan menangkap siapapun
yang mereka temui di sana.
Mandela sedang tidak ada di sana
karena sedang menjalani hukuman
lima tahun penjara dengan
26
tuduhan menghasut pemogokan
dan juga karena meninggalkan
negara tanpa paspor.6 Persidangan
delapan orang pimpinan ANC ini
kemudian disebut sebagai
persidangan yang mengubah
Afrika Selatan.
Keterangan foto: salah satu tulisan
di dinding yang menggambarkan
tempat ini sebagai perjuangan
6Liliesleaf Farm, periksa
https://www.gauteng.net/attractions/liliesleaf
_farm.
melawan apartheid dengan sayap
militer.
Di tengah aura seperti inilah,
dalam pembukaan simposium,
hakim Yvonne Mokgoro
menceritakan revolusi Afrika
Selatan melalui hukum dan
aktivitas pemberdayaan hukum. Ia
sendiri sesungguhnya
mencerminkan revolusi itu;
perempuan dan kulit hitam yang
menjadi hakim.
27
Panel pertama mengupas hal
mendasar yaitu pemberdayaan
hukum (What Do We Mean by
Legal Empowerment). Panel ke-2
membahas tentang
institusionalisasi dan
keberlanjutan kantor penasehat
komunitas (paralegal) dan diikuti
topik pendekatan berbasis bukti
dalam inisiatif keadilan
masyarakat. Simposium ini
kemudian dilanjutkan dengan
mengupas penggunaan teknologi
untuk meningkatkan akses kepada
keadilan, isu independensi,
akuntabilitas, dan keberlanjutan
profesi paralegal jaringan serta
diakhiri dengan pemberdayan
hukum di kelompok rentan dan
bagaimana membangun gerakan
secara global.
Apabila para penyaji – khususnya
yang berasal dari Afsel – dalam
workshop ini dilihat dalam skema
bantuan hukum di Afsel, maka
setidaknya mereka mewakili
lembaga yang akan dijelaskan di
bawah ini:
I. Legal Aid
Legal Aid (Bantuan Hukum) Afrika
Selatan yang kami datangi
bukanlah kantor pusatnya
melainkan sebuah kantor cabang.
Meski menempati satu sisi dari
gedung tua, kantor ini cukup luas.
Aktivitas bantuan hukum ditandai
dengan ruang tunggu yang
ditempati orang-orang yang
sedang menunggu konsultasi.
Legal Aid South Africa adalah
badan hukum independen yang
dibentuk dengan undang-undang
sebagai perwujudan dari
Konstitusi tahun 1996 yang
memasukkan bantuan hukum
sebagai hak. Selain orang miskin,
kelompok rentan seperti
perempuan, anak-anak, dan
masyarakat miskin pedesaan juga
masuk dalam cakupan mereka.
28
Badan independen ini memang
sudah lama berdiri, yaitu pada
tahun 1969 melalui UU Bantuan
Hukum. Tetapi, banyak orang
mengritik pelaksanaan badan
independen ini. Hal ini karena
awalnya orang kulit hitam tidak
mendapatkan layanan. Setelah
diberi bantuan hukum, layanan
bantuan hukum ini justru menjadi
justifikasi atas penghukuman yang
tidak adil dalam kerangka politik
apartheid. Misalnya, orang yang
dihukum bahkan dihukum mati
dapat dianggap “justified”
(dibenarkan) karena telah melalui
proses yang adil dengan
mendapatkan bantuan hukum.
Sebelum 1990-an, bantuan hukum
di Afrika Selatan memberikan
bantuan hukum melalui judicare
atau menggunakan jasa pengacara
dalam praktik pribadi untuk
mewakili mereka yang
membutuhkan bantuan hukum.
Baru pada 1990-an diadakan
Kantor Pembela Umum, yaitu
bantuan hukum diberikan oleh
praktisi hukum yang digaji dan
dipekerjakan oleh Legal Aid South
Africa atau salah satu mitra kerja
sama. Pada tahun 1997 hingga
saat ini mereka beralih ke sistem
29
praktisi hukum yang digaji sebagai
cara utama pemberian bantuan
hukum.
Hal menarik adalah saat
perekonomian Afsel memburuk,
negara pernah terancam bangkrut
apabila tetap mengeluarkan uang
untuk bantuan hukum. Saat itu
muncul pandangan untuk
menghentikan bantuan hukum,
tetapi saran ini ditolak oleh Nelson
Mandela dengan dasar bantuan
hukum adalah hak konstitusional
warga dan karenanya harus
dilaksanakan.
Bentuk layanan yaitu:
• Pusat Keadilan/Justice
Center
• Perjanjian
kerjasama/cooperation
agreements
• litigasi khusus/special
litigation
• biaya lain yang efektif dan
efisien dalam mengakses
keadilan/other cost effective
and efficient ways of
accessing justice.
Justice Center Pusat Keadilan adalah kantor dimana orang yang mencari bantuan hukum dapat datang. Setiap Justice Center memiliki seorang pengacara utama, yang merupakan kepala Justice Centre, asisten profesional, calon pengacara, dan paralegal. Pusat Keadilan menawarkan bantuan hukum untuk masalah pidana dan perdata. Layanan yang ditawarkan mencakup saran, rujukan, dan proses pengadilan/litigasi. Dalam beberapa tahun terakhir Legal Aid Afrika Selatan telah mendirikan setidaknya 32 Justice Center untuk memberikan bantuan hukum. Justice Center ini biasanya berada di dekat pengadilan dan masing-masing melayani antara 10 dan 20 pengadilan. Berdasarkan data Legal Aid Afsel, melalui justice center telah memberikan bantuan hukum kepada sekitar 736.679 orang setiap tahunnya. Perjanjian Kerja Sama Bantuan Hukum Afrika Selatan memiliki kesepakatan kerjasama dengan berbagai universitas yang memiliki klinik hukum. Melalui klinik hukum inilah bantuan hukum diberikan kepada
30
masyarakat. Bantuan Hukum Afrika Selatan saat ini memiliki perjanjian kerjasama dengan 19 universitas. Litigasi Khusus/Special litigation Kategori litigasi khusus adalah kasus khusus yang jika dibawa ke pengadilan dan dimenangkan akan memiliki dampak besar pada hukum Afrika Selatan. Jenis kasus ini sering melibatkan kelompok orang yang melakukan tindakan hukum bersama-sama (class action) dan oleh karena itu memerlukan tim khusus dari perwakilan hukum untuk membantu mereka. Perwakilan hukumnya dapat berasal dari Justice Center atau pengacara pribadi yang dikontrak oleh Legal Aid Afsel. Dana yang digunakan adalah dana khusus. Cara lain yang efektif dan efisien dalam mengakses keadilan Metode layanan tidak terpaku pada tiga hal di atas dan terus dipikirkan untuk dikembangkan dari waktu ke waktu sesuai perubahan/konteksnya.
II. Community Advice Office
Thusang Morwalo:
Pusat Keadilan Komunitas
dengan Layanan Beragam
Udara terik kering jam 11 siang
melanda begitu pintu mobil
terbuka. Sebuah pusat komunitas
yang bersahaja ada di depan kami.
Sebuah halaman dengan tanah
kemerahan mengelilingi rumah
mulai dari depan hingga samping
kiri dari arah depan. Ruang tamu
yang kecil sama sekali tak
mencerminkan bagian ruang lain.
Melangkah lebih jauh ke sebelah
kiri adalah ruang memanjang yang
tampaknya sering disiapkan untuk
pertemuan, termasuk untuk
bertemu kami. Keunikan yang
menimbulkan perasaaan familiar
adalah adanya mesin cuci, kompor
gas besar, dan tempat mencuci
piring yang masing-masing lebih
dari satu berjajar di sekeliling
ruangan tersebut. Belakangan
kami ketahui dari percakapan
dengan pengelola Thusang
Morwalo jika peralatan tersebut
digunakan untuk melatih
31
komunitas setempat. Ruangan ini
memiliki jendela-jendela yang
langsung menghadap halaman
samping, Melalui pintu, yang
langsung membawa ke halaman
itu, bertemulah kami dengan
sekelompok anak yang sedang
bermain di alat permainan
sederhana serupa alat panjat dan
perosotan. Harapan masa depan
benar-benar tertebar dari senyum
malu-malu hingga penuh ingin
tahu dari mereka.
Gambaran di atas bukan sekedar
tempat sekolah anak-anak dan
pelatihan komunitas melainkan
juga sebuah kantor penasihat
komunitas. Ya benar, tempat
masyarakat dapat mengadukan
masalahnya mendapatkan
konsultasi hingga rujukan ke
bantuan hukum7. Selain dengan
ketua, kami juga bertemu dengan
petugas yang melayani
masyarakat yang mengadukan
7 Bantuan hukum di sini bukan berarti
penyediaannya, tetapi sebuah lembaga negara
independen yaitu Legal Aid South Africa.
masalahnya dan advokat yang
membantu justice centre ini.
Kantor pelayanan komunitas ini
akan memberikan konsultasi dan
mengarahkan masyarakat yang
datang untuk mengurus
masalahnya. Apabila tidak
terselesaikan maka masyarakat
akan diarahkan ke justice centre.
NADCAO (National Alliance for the
Development of Community Advice
Offices/ Aliansi Nasional untuk
Pengembangan Kantor Penasihat
Komunitas)
Kantor ini terletak di tengah kota
tepat di pusat keramaian, tepatnya
di suatu sisi lapangan yang
dikelilingi kantor, pertokoan dan
makanan. Kantor mereka tidak
terlalu luas dan berbagi bersama
satu organisasi lain.
Nadcao bekerja dengan 230
kantor penasihat komunitas
(paralegal/community advices
offices) dan bertujuan untuk
memfasilitasi pengakuan dan
32
dukungan terhadap kantor
penasihat komunitas secara jangka
panjang dan berkelanjutan.
Penyatuan ini dilatari
berkurangnya dana dan krisis
keuangan yang melanda
organisasi-organisasi tersebut.
Penutup Belajar dari Afsel, sistem bantuan hukum dapat disusun menjadi sebuah skema dari hulu ke hilir sehingga menutup ruang kosong pemberian bantuan hukum. Meskipun demikian, sesuatu yang terlalu tersistem dapat kehilangan sisi spontan atau ideologisnya karena menjadi business as usual.
33
Penyediaan Bantuan
Hukum di Afrika Selatan:
Perbandingan dengan
Indonesia
Donny Ardianto8
8 Staf Program Yayasan TIFA.
Dalam penyusunan sistem
bantuan hukum di Indonesia, salah
satu negara yang menjadi rujukan
adalah Afrika Selatan. Afrika
Selatan dipandang oleh dunia
internasional sebagai contoh
sukses dalam banyak hal di sektor
keadilan, misalnya dalam
penyelesaian HAM masa lalu
melalui Komisi Keadilan dan
Rekonsiliasi, maupun dalam hal
pemberian layanan bantuan
hukum bagi warga yang tidak
mampu.
Membandingkan layanan bantuan
hukum (oleh negara) antara
Indonesia dengan Afrika Selatan
mungkin dapat dianggap tidak
berimbang. Afrika Selatan sudah
memulai program bantuan hukum
ini melalui Legal Aid Board sejak
tahun 1969 (Legal Aid Act No. 22
of 1969) dan mulai dilaksanakan
pada tahun 1971. Dari segi dana
yang dialokasikan oleh negara,
Afrika Selatan mengalokasikan 1,5
milyar Rand (Rp 1,5 trilyun) untuk
bantuan hukum dengan jumlah
penduduk miskin sekitar 22 juta
jiwa (sekitar Rp 68.000,00 per
34
kapita penduduk miskin).
Sementara, Indonesia dengan
anggaran bantuan hukum sekitar
Rp 48 milyar dan penduduk miskin
sekitar 28 juta jiwa, alokasi
anggaran bantuan hukum per
kapita penduduk miskin hanya
sekitar Rp 1.700,00 saja. Meski
demikian, kita bisa belajar banyak
dari bagaimana bantuan hukum
Afrika Selatan dirumuskan dan
diimplementasikan.
Awal Mula Kebijakan Bantuan
Hukum
Kebijakan bantuan hukum sudah
lahir pada saat Afrika Selatan
masih di bawah sistem apartheid.
Saat itu, layanan bantuan hukum
disediakan oleh negara dengan
anggaran yang sangat terbatas
dan hanya diperuntukkan bagi
warga kulit putih. Pada tahun
1994 dengan lahirnya konstitusi
baru, layanan bantuan hukum
dapat dinikmati oleh warga kulit
hitam. Sistem yang digunakan juga
berubah dari sebelumnya
menggunakan sistem Inggris
(judicare), di mana bantuan hukum
dilakukan oleh pengacara privat
atas rujukan dari Legal Aid Board,
menjadi layanan bantuan hukum
yang lebih variatif dan sistematis.
Sepanjang tahun 1971 hingga
awal 1990-an, kebutuhan layanan
bantuan hukum maupun anggaran
bantuan hukum terus meningkat.
Sistem judicare kemudian
dianggap tidak lagi efisien dari segi
anggaran. Dengan sulitnya kontrol
terhadap biaya yang diajukan oleh
pengacara privat ketika
memberikan bantuan hukum, total
biaya bantuan hukum menjadi
sangat tinggi. Runtuhnya rezim
apartheid pada tahun 1994
membuka ruang untuk
membangun sistem bantuan
hukum yang baru. Berbagai uji
coba terhadap alternatif-alternatif
sistem/mekanisme bantuan
hukum yang ada terus dilakukan,
hingga akhirnya pada tahun 1997
pemerintah memutuskan untuk
mengutamakan penggunaan
model pengacara publik yang
direkrut dan bekerja untuk Legal
Aid Board. Setelah itu, pemerintah
membentuk pula kantor-kantor
35
Pada tahun 2014, lahir UU Bantuan
Hukum baru yaitu Act 39 of 2014 yang
semakin mempertegas model bantuan
hukum yang mengutamakan Justice
Centre sebagai pemberi layanan
bantuan hukum dengan pengacara
publik yang digaji oleh negara. Sampai
saat ini terdapat 64 Justice Centre serta
64 Satellite Offices di seluruh wilayah
Afrika Selatan dengan 1,057 pengacara
permanen, 578 pengacara kontrak,
333 manajer, dan 168 paralegal. Meski
demikian, model-model pemberian
layanan bantuan hukum lainnya tetap
dijalankan sebagai pelengkap dan
menutup kekurangan bantuan hukum
yang sudah ada dengan sistem in-house
lawyer.
pengacara publik yang diberi nama
Justice Centre di berbagai daerah
di Afrika Selatan. Hal ini
diputuskan berdasarkan
pengalaman Afrika Selatan sendiri,
bahwa skema bantuan hukum
nasional tidak akan berhasil
apabila pengacara yang
memberikan layanan bantuan
hukum tidak memperoleh imbalan
yang memadai.
Perkembangan Bantuan Hukum di
Afrika Selatan
Pemerintah tetap mendorong
tradisi pro bono di Afrika Selatan.
Sebuah organisasi bernama
probono.org berperan sebagai
clearing house yang
menghubungkan sekaligus
menyediakan pengacara yang
hendak melakukan pro bono
dengan warga yang membutuhkan
jasa hukum. Pemerintah juga
mempertahankan model rujukan
kasus ke pengacara privat di area
di mana tidak terdapat Justice
Centres. Demikian juga bila
Justice Centres tidak dapat
menangani perkara tersebut,
baik dengan alasan logistik
maupun etik, seperti misalnya
konflik kepentingan maupun
keterbatasan kapasitas atau
pengalaman.
Model lainnya yang juga terus
dikembangkan adalah dengan
merekrut dan menggaji
pengacara magang untuk
memberikan layanan bantuan
hukum di Satellite Office (pos
khusus yang dimiliki Justice
Centres, semacam LBH Pos bagi
36
LBH Kantor) dan daerah
pedesaan. Bagaimanapun juga,
dana yang dibutuhkan merekrut
dan menggaji pengacara magang
ini lebih murah dibanding dengan
biaya untuk membentuk Justice
Centre baru dan membayar gaji
pengacara.
Peran paralegal di tingkat
komunitas juga diakui oleh sistem
bantuan hukum Afrika Selatan.
Banyak organisasi yang berbasis
pada kerja-kerja paralegal
komunitas yang memberikan
akses terhadap keadilan dengan
mendidik masyarakat tentang hak-
hak hukum mereka, serta melatih
paralegal untuk memberikan
nasihat hukum. Dari sekitar 350
organisasi komunitas, salah
satunya adalah Orange Farm
Human Rights Advice Centre yang
berjarak kurang lebih 45 km dari
Johannesburg. Seperti halnya
Community Advice Offices lainnya
di Afrika Selatan, mereka menjadi
pelengkap bagi skema layanan
bantuan hukum berbasis
pengacara konvensional. Dengan
basis komunitas, mereka
memainkan peran penting dalam
memberikan informasi dan nasihat
dasar, serta memberikan rujukan
ke layanan bantuan hukum
berbasis pengacara. Di tingkat
nasional, organisasi bantuan
hukum berbasis komunitas ini
telah membentuk The National
Association for the Development of
Community Advice Offices
(NADCAO). Asosiasi ini dibangun
untuk membantu pengembangan
dan pendanaan lebih dari 350
Community Advice Offices di
negara tersebut dengan pelatihan
dan penggalangan dana.
Di samping model-model layanan
bantuan hukum di atas, beberapa
model layanan juga terus
dikembangkan di Afrika Selatan
dalam bentuk pendanaan negara
untuk kerja-kerja: litigasi
kepentingan publik (public interest
litigation), klinik hukum universitas,
serta layanan nasihat hukum
melalui telepon. Bisa kita lihat
bahwa Afrika Selatan berpegang
pada prinsip bahwa tidak ada
model sistem bantuan hukum
yang bersifat paripurna. Masing-
37
masing model atau sistem layanan
bantuan hukum memiliki
keunggulan dan kelemahannya
masing-masing. Dengan dasar itu,
eksperimen-eksperimen piloting
terus dilakukan di Afrika Selatan
terhadap berbagai model layanan
bantuan hukum yang ada.
Pembelajaran untuk Indonesia
Tahun depan, implementasi UU
bantuan Hukum di Indonesia
sudah memasuki tahun kelima.
Sudah waktunya pula bagi kita
untuk melihat lebih dalam,
melakukan refleksi, evaluasi, dan
reformasi. Sistem rujukan (referral)
kepada pemberi bantuan hukum
yang terakreditasi (OBH) mungkin
sudah saatnya dilengkapi juga
dengan sistem in-house lawyer.
Advokat bantuan hukum in-house
ini bakal lebih memastikan kualitas
layanan, sekaligus memberi
benchmark bagi advokat yang
bekerja di OBH. Selain itu,
pembentukan komisi khusus
bantuan hukum juga perlu
dipikirkan kembali. Tanpa
menafikan hasil dan kerja keras
yang dilakukan oleh BPHN
beserta jajarannya, komisi khusus
bantuan hukum akan lebih
memastikan fokus kerja dari
institusi yang diberi mandat untuk
memastikan akses keadilan bagi
masyarakat. Komisi bantuan
hukum juga akan lebih efektif
dalam memberikan dan
mengembangkan layanan bantuan
hukum, baik yang bersifat
informasi, konsultasi, maupun
pendampingan hukum dengan
membentuk unit-unit khusus
untuk itu.
Sistem referral yang berlaku saat
ini akan lebih tepat sasaran apabila
diutamakan pada OBH-OBH yang
beroperasi di daerah-daerah
terpencil, maupun mendorong
OBH-OBH baru di daerah
tersebut. OBH-OBH yang saat ini
terkonsentrasi di perkotaan akan
didorong untuk lebih fokus pada
legal empowerment melalui
informasi dan konsultasi hukum,
serta melakukan kerja-kerja litigasi
kepentingan publik (public interest
litigation). Sementara itu, dalam hal
kerja-kerja pendampingan hukum
38
(case works), advokat OBH tetap
akan bisa memberikan
pendampingan hukum dan akan
terpacu kualitas kerjanya dengan
adanya perbandingan dan
"benchmarking" dari advokat in-
house.
Tantangan untuk melakukan
reformasi sistem bantuan hukum
tak akan jauh berbeda.
Keberadaan dan kekuatan sebuah
sistem bantuan hukum utamanya
ditentukan oleh kapasitas finansial
negara dan kemauan politik
pemerintah. Namun, ada sedikit
perbedaan antara momen awal
penyusunan UU Bantuan Hukum
dengan situasi saat ini. Baik
RPJMN 2015-2019, Strategi
Nasional Akses Keadilan (SNAK)
2016-2019, Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2017 tentang
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan, dan Paket
Reformasi Hukum Jilid II dari
pemerintahan Joko Widodo
merupakan peluang bagi
dimulainya reformasi sistem
bantuan hukum. Dengan
demikian, kita sudah memiliki
sistem hukum dan konstitusi yang
menunjang kebijakan bantuan
hukum serta pengalaman
implementasi kebijakan layanan
bantuan hukum yang sudah
berjalan. Dengan itu semua, kita
tetap perlu mengingatkan kembali
bahwa komitmen negara untuk
memberikan akses terhadap
keadilan bagi warganya dapat
dilihat dari efektivitas dan efisiensi
sistem dan implementasi layanan
bantuan hukum.
39
Forum Pengacara se-Asia
Tenggara Untuk Advokasi
Hak Pengungsi
Febi Yonesta9
9 Ketua Bidang Pengembangan Organisasi YLBHI.
Pada 6-7 Desember 2017, telah
diselenggarakan sebuah forum
pertemuan para pengacara yang
bertajuk “Regional Roundtable on
Judicial Engagement for Southeast
Asia”, bertempat di Kuala Lumpur-
Malaysia. Forum yang didukung
oleh Komisariat Tinggi PBB untuk
Urusan Pengungsi (UNHCR) ini
dihadiri oleh sekitar 47 pengacara
yang berasal dari Indonesia,
Thailand, dan Malaysia.
UNHCR memilih beberapa
perwakilan dari YLBHI – LBH
untuk turut menghadiri forum
pertemuan ini. Mereka adalah:
40
Febi Yonesta (YLBH), Aldo Fellix
Januardy (LBH Jakarta), Haswandy
Andy Mas (LBH Makassar), dan
Aditia B Santoso (LBH Pekanbaru).
Substansi Forum
Forum pertemuan ini bertujuan
untuk mendiskusikan peluang
melakukan litigasi strategis
(strategic litigation) dalam advokasi
hak-hak pengungsi, khususnya
anak pengungsi yang berada
dalam detensi10. Para narasumber
dan peserta menyampaikan
beberapa praktik baik dan
pembelajaran di bidang litigasi
strategis.
Mewakili delegasi Indonesia, Aldo
Felix mempresentasikan hasil
identifikasi permasalahan anak
pengungsi dalam sistem hukum
dan kebijakan di Indonesia.
Delegasi Indonesia
mengidentifikasi paling tidak ada
10
Rumah Detensi Imigrasi atau yang disingkat dengan rudenim adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dianggap melanggar Undang-Undang Imigrasi.
empat masalah menyangkut anak
pengungsi di dalam detensi, antara
lain:
1. Sampai saat ini, masih ada
anak-anak pengungsi
mendekam di ruang-ruang
rumah detensi imigrasi,
meskipun berbagai
instrumen hukum yang
mengatur hak anak
mendorong agar
penahanan hanya bisa
dilakukan sebagai upaya
terakhir;
2. Undang-Undang
Perlindungan Anak masih
mengatur secara sempit
tujuan perlindungan anak
hanya kepada anak
Indonesia, sehingga anak
pengungsi tidak mendapat
jaminan berdasarkan
undang-undang ini;
3. Undang-Undang Imigrasi
dan Peraturan Presiden
tentang Penanganan
Pengungsi yang hanya
mengatur bahwa anak
pengungsi “dapat”
ditempatkan di luar detensi,
41
dinilai mengandung
ketidakpastian;
4. Meskipun Peraturan
Presiden telah mengatur
tentang tempat
penampungan di luar
Rudenim, namun sampai
saat ini Pemerintah tidak
kunjung membangun
fasilitas penampungan dan
fasilitas penunjang lainnya;
Untuk itu, delegasi Indonesia
sepakat untuk melakukan langkah
hukum terhadap berbagai
permasalahan tersebut, salah
satunya melalui upaya litigasi
strategis dengan tujuan
mendorong perubahan hukum
atau kebijakan agar lebih
menjamin hak-hak anak
pengungsi.
Pada sesi berikutnya, Febi Yonesta
mengingatkan pentingnya
pelibatan media dalam
mendukung upaya litigasi
strategis. Namun demikian, ia juga
mengingatkan agar tetap berhati-
hati dalam melibatkan media
khususnya di isu-isu sensitif.
Menurutnya, pengacara harus
selalu siap untuk berhadapan
dengan media. Pengacara harus
menyediakan bahan yang
sederhana yang dapat digunakan
oleh media dalam memberitakan
langkah hukum yang dilakukan.
Pembelajaran
Pengungsi, khususnya anak-anak
pengungsi merupakan komunitas
yang rentan mengalami
pelanggaran HAM berlapis.
Mereka telah menjadi korban dan
terusir dari negara asalnya dan
masih tetap mengalami
pelanggaran HAM di negara
dimana mereka singgah. Hal ini
dikarenakan oleh status ilegal
yang senantiasa dilekatkan kepada
mereka, sehingga hak-hak mereka
sebagai manusia tidak diakui.
Termasuk hak untuk mendapatkan
bantuan hukum.
Oleh karena itu, para advokat dan
pengabdi bantuan hukum yang
bekerja di organisasi bantuan
hukum seperti YLBHI dan kantor-
kantor LBH di berbagai provinsi
42
maupun advokat yang bekerja
secara pro bono harus
bekerjasama untuk memberikan
bantuan hukum dan
mengupayakan langkah-langkah
hukum strategis untuk adanya
perubahan hukum dan kebijakan
yang lebih baik bagi pengungsi,
khususnya anak-anak pengungsi.
43
Annyeong Haseyyo, The
May 18 Academy 2017:
Catatan Perjalanan ke
Korea Selatan11
Aditia Bagus Santoso12
Kegiatan yang saya ikuti bernama
“The May 18 Academy 2017”.
Kegiatan yang diinisiasi The May
18 Foundation yang berkantor di
Gwangju Korea Selatan ini
bertujuan menyebarkan nilai-nilai
hak asasi manusia atas kejadian di
11 Annyeong Haseyyo berarti halo, selamat
pagi, siang atau malam, tergantung situasi
saat itu. 12 Direktur LBH Pekanbaru.
Gwangju pada 18 Mei 1980. Kami
menghabiskan empat hari di Seoul
dan 14 hari di Gwangju untuk
seluruh kegiatan. Penulis
mendapatkan banyak cerita untuk
dapat mendalami kejadian yang
terjadi di Gwangju yang sering
disebut “Gwangju Uprising ini.
Menariknya, kegiatan ini tak hanya
membahas sejarah kelam serta
kejahatan yang terjadi pada 18
Mei 1980 saja, namun juga
diselingi wisata budaya tradisional
dan modern dari Korea Selatan.
Akademi dimulai dari Seoul. Kami
menginap di Hostel Katolik yang
biasa disebut “Junjinsang” dan
44
bersebelahan dengan Gereja
Katolik yang terletak di tepi
Sungai Han yang legendaris dan
memesona. Hari berikutnya, kami
sudah diberikan ilmu dan
pengalaman dari Dukjin Kim, ia
adalah Sekretaris Jenderal Gereja
Katolik di Korea Selatan yang juga
merupakan tokoh sentral dalam
Gerakan Aksi Lilin yang terjadi di
seluruh kota di Korea Selatan
pada 2016-2017. Candlelight Vigil
2017 merupakan aksi damai
mendesak Presiden Park Geun-
hye untuk mundur dari posisinya
karena diindikasikan
menggunakan posisinya untuk
mengambil keuntungan pribadi
dan kelompok.
Dukjin Kim menjelaskan bahwa
orang Korea Selatan sudah
mempunyai jiwa sosial dan
kepedulian yang tinggi, sehingga
gerakan untuk menurunkan
Presiden tersebut dapat
terlaksana. Ada sekitar satu juta
orang yang berkumpul di pusat
kota Seoul hanya untuk
menghidupkan lilin dan mendesak
Presiden Park untuk turun. Aksi
tersebut dilakukan 23 kali dengan
total demonstran kurang lebih 30
juta orang. Aksi itu berbuah manis;
parlemen Korea Selatan
memberhentikan Presiden Park
setelah adanya putusan
pengadilan terhadapnya. Ini
memeperlihatkan bahwa pimpinan
yang salah dapat dikalahkan
dengan kekuatan masyarakat yang
benar. Seberapa pun kuat
pemimpin Korea Selatan sekarang,
kekuatan rakyat lebih kuat. Di
sinilah letak nilai penting
demokrasi yang sebenarnya. Fase
yang seharusnya dipahami
masyarakat Indonesia, bahwa
demokrasi tak hanya persoalan
memilih dan dipilih oleh rakyat.
Sesi Anselmo Lee membicarakan
mengenai kondisi HAM terkini di
Korea Selatan dan negara lainnya.
Korea Selatan saat ini mempunya
perekonomian yang lebih kuat dan
stabil jika dibandingkan dengan
negara lain. Hal ini bukan karena
demokrasinya semata, namun
lebih pada pemenuhan hak asasi
manusianya yang tak dapat
dikesampingkan. Komisioner HAM
45
Korea Selatan ini turut pula
membandingkan kondisi kekinian
Korea Selatan dengan negara lain
salah satunya Indonesia.
Menurutnya, dalam demokrasi dan
gerakan masyarakat sipil Indonesia
lebih unggul dan terdepan, namun
masalah pemenuhan hak ekonomi
tidaklah sebaik negara maju
lainnya.
Di Seoul, kami juga melihat dari
dekat batas antara Korea Selatan
dengan Korea Utara dalam
Demilitarization Zone Tour (DMZ
Tour). Daerah yang disebut
sebagai Demilitarization Zone ini
merupakan zona “damai” antara
Korea Selatan dan Utara karena
tak ada militer yang berkuasa di
zona ini. Selain mengunjungi DMZ,
kami juga melihat lebih dekat tepi
Sungai Hans yang memang punya
cerita sendiri. Sungai Hans
menjadi pusat perekonomian
Korea zaman dahulu hingga
sekarang. Kami melihat keindahan
lampu kota Seoul dari atas pesiar
yang melaju pelan di atas Sungai
Hans. Kapal Pesiar disulap menjadi
ruangan dengan deretan kursi
berkapasitas 100 orang dan
menampilkan pertunjukkan musik
jazz dari penyanyi asal Korea.
Tepat di atas jembatan, kami
disuguhi tarian air mancur yang
berwarna-warni. Air disemprotkan
ke arah sungai dari atas jembatan
yang disorot lampu sehingga
menghasilkan gradasi warna yang
menarik. Lebih kurang 10 menit
pertunjukkan “waterfall rainbow”
kami saksikan. Perjalanan pulang
menjadi lebih banyak mengobrol
dengan teman se-akademi.
Esok harinya, kami berkunjung ke
Gyeongbook Palace yang terletak
di seberang “Blue House” atau
rumah Presiden Korea. Wisata ke
Istana Gyeongbook ini
dilaksanakan sebelum menuju
sungai Hans. Istana bekas ini
menjadi museum sekaligus objek
wisata, terutama bagi wisatawan
asing. Dengan dikelilingi pohon
maple dan pohon cemara, terdapat
belasan ruangan yang ke
semuanya dahulu adalah kamar
bagi penghuni kerajaan. Tak cukup
waktu bagi kami mengunjungi
seluruh ruangan yang bentuknya
46
mirip-mirip tersebut karena
esoknya kami akan ke Gwangju.
Kota Cahaya, dalam bahasa
Indonesia, Gwangju dapat
diartikan seperti itu. Selama 14
hari di Gwangju, kami
mendapatkan akomodasi di May
18 Education Center. Gedung ini
hanya berjarak lima menit berjalan
kaki ke Gedung Pertemuan Kim
Dae Jung. Tempat yang akan
menjadi perhelatan World Human
Right Cities Forum 2017. Tak
langsung diajak “belajar berat”,
keesokan harinya, kami diajak
melihat “National Cemetary”.
May 18 Education Center tidak
hanya terdiri dari gedung tempat
kami menginap, juga terdapat
bioskop untuk menonton film
dokumentasi dari tragedi 18 Mei.
Kami menonton bagaimana tank-
tank berjejer di jalanan dekat
pusat kota, air mancur/ fountain –
yang kini telah menjadi bangunan
Asian Culture Center – menembaki
para demonstran. Kaca-kaca bus
dan taksi yang dideretkan
demonstran agar tentara tak bisa
mendekat lebih dalam ke
pemukiman telah pecah
berkeping-keping ditembaki oleh
peluru dari tank dan senapan
tentara. Mayat dan darah
berceceran di sekitar lokasi pada
saat itu. Pada akhir film, ada
cuplikan putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa Presiden Chun
Kredit foto: Shahed Kayes
47
Doo-Hwan dinyatakan bersalah
dan dihukum seumur hidup. Ini
adalah momen klimaks yang
ditunggu oleh keluarga korban. Ini
pula yang menjadikan Korea
Selatan lebih maju dibandingkan
Indonesia. Mereka berani dengan
lantang menyatakan kesalahannya
dan tidak menyalahkan pihak lain.
Mereka juga berani menghukum
mantan pimpinan mereka sendiri.
Sejarah dan fakta mengenai
kejadian 18 Mei terungkap luas
dan jelas sehingga tahu siapa yang
salah dan siapa yang benar.
Sehingga tidak ada korban atas
tindakan salah informasi yang
sengaja dikaburkan. Sedangkan
Indonesia, sudah jelas ada jutaan
orang dibunuh, namun orang lain
yang dituduh bersalah dan
membenarkan tindakan tersebut.
Fakta dan sejarah masih gelap,
kabur dan sengaja dibelokkan.
Maka selamanya hal ini tidak akan
pernah selesai dan akan terus
dijadikan bola panas guna
kepentingan politik praktis.
The National Cemantery terdiri atas
pemakaman lama dan baru.
Pemakanan lama berisi pejuang
yang meninggal setelah kejadian
18 Mei hingga 27 Mei namun
mempunyai peranan penting
dalam memperjuangkan
demokrasi dan HAM di Gwangju
dan Korea Selatan. Di sini terdapat
kolam batu yang merupakan
susunan batu yang ditulis oleh
para pengunjung. “Keep share this
spirit around the World” adalah
kalimat yang saya tulis di atas batu
sebesar batako itu. Di sini kami
dijelaskan mengenai sejarah para
penghuni pemakaman ini. Kadang,
tak semua penjelasan dari
pemandu wisata dapat dimengerti
karena logat Korea ke Inggris
menjadi masalah rata-rata orang
Korea.
Di sekitar pemakaman lama, ada
sebuah batu yang di atasnya
ditulis nama Presiden Chun Doo-
hwan. Batu itu diletakkan di jalan
menuju pemakaman, seolah-olah
yang berjalan di atasnya sedang
menginjak-injak presiden yang
menurut putusan pengadilan di
Korea Selatan bertanggung jawab
atas tragedi 18 Mei di Gwangju.
48
Untuk pemakaman baru,
kondisinya lebih bagus dan
tertata. Kuburan dengan rapi
berdiri untuk mengenang jasa-jasa
para pendahulu mereka. Di balik
nisan mereka, terdapat cerita
mengenai diri mereka dan ada
pula foto mereka di bagian
depannya. Terdapat tugu yang
begitu ikonik yang
menggambarkan kedua belah
tangan memegang sebuah telur.
Maknanya telur adalah sebuah
benih kehidupan, maka tangan
yang memegang menjadi
penggambaran untuk terus
menjaga benih kehidupan tersebut
agar tumbuh baik.
Menjadi pengungsi saat umurnya
belum cukup dewasa menjadi
pengalaman hidup tersendiri bagi
Yiombi Thona. Thona, salah satu
pengajar di May 18 Academy 2017
adalah Profesor di Universitas
Gwangju. Ia adalah bekas
pengungsi dari Kongo yang saat
itu sedang berkonflik. Menjadi
pengungsi di daerah yang tak
mengenal bahasa Perancis – b
ahasa Republik Kongo –
menjadikan Yiombi muda menjadi
terkatung-katung di Korea
Selatan. Namun pada akhirnya, ia
menjadi profesor di negara yang
bukanlah negara aslinya.
Pengalaman ini menggambarkan
bahwa kepedulian dan
penghargaan orang Korea Selatan
terhadap pengungsi dan orang
asing tinggi. Tak memandang
secara egosentris, namun
memandang dari kemampuan
yang dimiliki seseorang, ini
membuat Yiombi menjadi
profesor. Hal ini tak akan mungkin
terjadi, jika masyarakat Korea
menolak kepada pengungsi untuk
belajar dan menempuh
pendidikan. Patut diambil contoh
bagi Indonesia, banyaknya
pengungsi di Indonesia dibiarkan
begitu saja. Hal ini karena
Indonesia hingga kini masih
enggan meratifikasi Konvensi
mengenai pengungsi. Padahal
sudah sepatutnya Indonesia
melepaskan egonya dan segera
meratifikasi konvensi tersebut
karena jumlah pengungsi di
Indonesia akan terus bertambah
49
dan mereka tentu butuh
kehidupan dan penghidupan yang
layak sebagai manusia.
Setelah sesi Yiombi, giliran
Yangrae Kim dari The May 18
Foundation memaparkan Yayasan
18 Mei yang didirikan di Gwangju.
Yayasan ini pada awalnya didirikan
untuk terus mengenang jasa-jasa
para pahlawan yang mati di tangan
tentara. Tak ingin kejadian
tersebut terulang, rakyat Gwangju
secara sukarela dan gotong
royong dalam pendanaan
mendirikan lembaga ini. Yayasan
akan melaporkan seluruh
kegiatannya secara rutin kepada
rakyat Korea Selatan dan
Gwangju, karena sebagian dana
yang dimiliki Yayasan didapat dari
anggaran pusat dan daerah.
Tujuan besar yayasan ini adalah
menyebar luaskan benih-benih
kebaikan yang berisikan
demokrasi dan HAM yang dapat
ditiru dari masyarakat Gwangju.
Shariful Islam, asisten profesor
dari Bangladesh, salah satu
pengajar memaparkan mengenai
kondisi hukum dan HAM dalam
perspektif hukum internasional.
Pengisi materi yang lain adalah
adalah Jin Ahn, seorang musikus
yang membuat dan
mengaransemen lagu yang
menjadi mars bagi Peringatan May
18 yakni Marching for Our Beloved.
Lagu tersebut merupakan lagu
penyemangat bagi peserta aksi.
Dalam lirik lagunya, “we are
marching on, keep faith and follow
us”, Jin Ahn menjelaskan bahwa
mereka adalah terus berbaris,
tetap pada nasib dan ikut kami.
Maksud dari “ikuti kami ini”
menurut Ahn adalah merujuk pada
kematian. Jadi peserta aksi
demonstrasi sudah bakal yakin
kematian akan mengikuti mereka,
sehingga mereka merasa tidak ada
yang perlu mereka takutkan lagi.
Lirik dan lagu ini cukup membuat
merinding. Jika didengarkan dalam
versi dinyanyikan dalam secara
beramai-ramai, akan membuat
semacam kekuatan yang hebat.
Sewaktu di Gwangju, lagu ini
sering diputar di tempat-tempat
umum, bahkan di suatu acara
50
busking, lagu ini dibawakan dan
diaransemen oleh band lokal di
sana.
May 18 Archieves, merupakan
satu kesatuan dengan kantor The
May 18 Foundation. Di sana telah
menunggu Daeyon Cho yang
menceritakan bagaimana beliau
mengumpulkan segala macam
bentuk artikel, foto, video dan
segala macam berkas yang terkait
dengan kejadian 18 Mei di
Gwangju. Cho pula yang diberikan
tanggung jawab menjaga dan
membuat eksibisi di seluruh
penjuru Korea Selatan agar
informasi mengenai kejadian 18
Mei 1980 di Gwangju tidak
terputus dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Pengarsipan
dan pendokumentasian adalah
suatu nilai dan pengetahuan yang
harus dimiliki oleh para public
defender di mana pun berada.
Dokumentasi dan pengarsipan
Kredit foto: Shahed Kayes
51
yang baik akan menghasilkan data
dan menjadikan senjata dalam
melakukan advokasi. Oleh
karenanya Cho turut pula
mengkritisi kalau pejuang HAM
tidak sadar bahwa pengarsipan
dan pendokumentasian adalah
penting dan merupakan bagian
penting dalam advokasi itu sendiri.
Kami juga turut berpartisipasi
dalam World Human Right Cities
Forum 2017. World Human Right
Cities Forum 2017 merupakan
agenda tahunan yang berisi para
aktor perubah kebijakan dari
seluruh kota di seluruh dunia.
Mereka terpilih karena
dedikasinya. Mereka didengar
pendapatnya, termasuk pendapat
untuk menjadikan suatu kota
sebagai kota yang ramah HAM.
Acara pmemberikan penghargaan
bagi istri mendiang Presiden Kim
Dae Jung yang telah membuat
perubahan besar dalam demokrasi
dan HAM di Korea Selatan. Selain
itu forum ini memberikan
penghargaan kepada beberapa
pihak yang berhasil membuat
perubahan. Forum ini turut
menghasilkan suatu rekomendasi
dan desakan bagi Myanmar dan
negara lainnya. Misalnya, tragegi
pengungsi Rohingya di Myanmar
yang dibiarkan dan tidak ada
tindakan tegas dari Myanmar.
Rekomendasi atau lebih tepat
disebut petisi ini ditandatangani
oleh seluruh peserta termasuk
peserta dari akademi. YLBHI
menjadi salah satu pihak yang
menandatangani petisi yang
mendesak negara yang terkait
agar lebih berkomitmen dalam
penyelesaian masalah pengungsi
Rohingya tersebut.
Malamnya kami diajak makan
bersama di kantor Walikota
Gwangju. Gedung yang didesain
berbentuk seperti kapal ini berisi
pula sejarah mengenai Tragedi
May 18, kota Gwangju sendiri,
beberapa tokoh animasi yang lahir
dari animator Gwangju, industri di
Gwangju, hingga penghargaan
dan kostum tim sepakbola
kebanggaan masyarakat Gwangju,
yakni Gwangju FC. Kami pun
diajak makan bersama di halaman
berumput depan kantor Walikota.
52
Setelah kata sambutan Walikota
Gwangju, Yoon Jang-hyeon, kami
segera menyantap makanan yang
telah disediakan, karena memang
kondisi saat itu cukup lapar dan
letih. Makanan ringan seperti
riceball yang merupakan nasi
dibentuk bola-bola seukuran
klepon dan di lumuri rumput laut,
makanan berat beef bulgogi yang
merupakan daging dibumbui dan
dibakar, hingga penutup seperti
kue manis mini muffin serta
berbagai macam mie yang
semuanya sangat memanjakan
lidah.
Selesai agenda World Human Right
Cities, kami bertandang ke
Universitas Nasional Chonnam,
yang merupakan kampus saksi
bisu terjadinya tragedi 18 Mei.
Gerakan yang sering disebut
Gwangju Democratic Uprissing ini
dimulai dari gerakan aksi yang
melibatkan mahasiswa serta dosen
di Chonnam. Tak heran, para
pemimpin gerakan berasal dari
Chonnam dan korban paling
banyak berasal dari kampus
Choonam ini. Desain gedung
utama yang berkiblat ke Eropa
menjadi tempat kami melanjutkan
pembelajaran kami. Sebelumnya,
kami diajak berputar dalam
ruangan untuk melihat sejarah dan
bukti peninggalan dari tragedi 18
Mei ini. Di sini kami belajar
mengenai HAM dan gerakan sosial
di negara Asia dan bagaimana
perkembangannya oleh Park
Haegwang. Lagi-lagi Korea maju
pesat menurut penelitian yang
dilakukan oleh Park, yang
merupakan salah satu dosen di
Universitas Chonnam. Park
menjelaskan beberapa tahun
terakhir seiring dengan
sejahteranya masyarakat Korea
Selatan, gerakan masyarakat sipil
turut terdongkrak naik. Sehingga
gerakan lilin atau candlelight vigil
yang terjadi di 2016-2017 bukan
sesuatu yang mustahil
dilaksanakan oleh masyarakat
Korea. Mahasiswa tak lagi menjadi
tumpuan dalam gerakan sipil.
Menurut saya, ini adalah salah
satu indikator kuatnya gerakan
sipil di masyarakat. Dibandingkan
dengan iklim gerakan masyarakat
53
sipil di Indonesia, Korea Selatan
lebih maju. Di Indonesia,
mahasiswa masih menjadi ujung
tombak dan masyarakat lainnya
seolah-olah apatis dan tidak mau
tahu. Menurut saya, perlu adanya
perubahan kesejahteraan terlebih
dahulu seperti yang dilakukan oleh
pemimpin Korea Selatan, barulah
gerakan masyarakat sipil akan
terlaksana dengan baik.
Pengetahuan yang kami peroleh
dari universitas itu menjadi
pelajaran kami terakhir di akademi
ini.
Dalam agenda The May 18
Academy 2017 Closing Ceremony,
kami diberikan sertifikat atas
“kelulusan” kami. Kami berfoto
bersama di dalam Aula May 18
Office. Saya adalah satu-satunya
peserta yang memberikan kenang-
kenangan, ini adalah momen yang
membahagiakan. Sebuah t-shirt
kampanye bertuliskan Bring Back
Justice menjadi kenang-kenangan
dalam May 18 Academy 2017 dari
Indonesia, khususnya dari YLBHI.
Semoga kelak keadilan dan HAM
bisa terus tumbuh dan
berkembang di Indonesia layaknya
Korea Selatan. Kamsahamnida
May 18 Foundation!
54
Wajah Baru Diponegoro 74
April Pattiselanno13
Gedung LBH Jakarta – YLBHI yang
terletak di Jalan Diponegoro 74 sekarang
memiliki wajah baru. Gedung ini
sekarang dihiasi mural dari Studio
Hanafi yang sedang bekerja sama
dengan Kemendikbud untuk workshop
3D mural di Ruang Publik. Bersama
sekitar 30 peserta yang berasal dari
13 Staf Program YLBHI.
Padang, Bandung, Jabodetabek, dan
Lombok, mereka menghiasi Kantor
Lembaga Bantuan Hukum dengan mural
dari lantai 1 sampai 3. Waktu
pembuatan mural dilaksanakan dari
tanggal 28 November 2017 hingga 2
Desember 2017.
Pembuatan mural ini berawal dari
permintaan Studio Hanafi yang
menghubungi Muhammad Isnur, Ketua
Bidang Advokasi YLBHI. Studio Hanafi
menyampaikan permintaan untuk
membuat mural di gedung YLBHI.
Permintaan ini disambut dengan senang
hati. Setelah dilakukan brainstorming
tentang ide gambar-gambar yang akan
dibuat, pembuatan mural pun dimulai.
Mural di Kantor Lembaga Bantuan
Hukum terpapar indah dari lantai 1
sampai lantai 3 tanpa putus. Gambar
yang terlihat dominan adalah gambar
police line, kawat berduri, dan kobaran
asap yang dihadirkan dengan jalinan
panjang sehingga seakan-akan kita
berada dalam area demonstrasi yang
besar dan penuh perjuangan. Di
sepanjang mural ini juga ditampilkan
serangkaian advokasi yang dilakukan
YLBHI-LBH di Indonesia sejak tahun
1970. Selain itu para pemural juga
melukis wajah tokoh-tokoh dan korban
55
pelanggaran HAM yang perjuangannya
sudah tidak asing bagi kita. Para tokoh
itu di antaranya: Gus Dur (gambar 3),
Wiji Thukul, Marsinah, Suyat (Gambar 6)
dan Prof. Dr. Iur. Adan Buyung Nasution
selaku founding father (Gambar 9). Tak
hanya itu, terdapat juga symbol-simbol
yang melambangkan penegakan hukum
di Indonesia, seperti terdapat pada
Gambar 10. Pada tembok ruang dikusi
YLBHI kita dapat melihat mural
timbangan yang digenggam secara
paksa seolah berpesan bahwa hukum
yang seharusnya diberlakukan secara
adil setiap orang justru dipraktekkan
sebaliknya karena paksaan dari pihak
yang berkuasa dan memiliki
kepentingan. Sepanjang mural police-
line terdapat lilin yang melambangkan
bahwa setiap perjuangan seberat
apapun pasti ada titik terang yang dapat
menuntun kita untuk memperoleh
keadilan. Hal ini sesuai dengan Pancasila
sila ke-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”, maka keadilan
seharusnya dapat dirasakan oleh
seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu
perjuangan untuk keadilan tak dapat
disingkirkan.
Akhirnya, segenap keluarga besar YLBHI-
LBH mengucapkan terima kasih kepada
Studio Hanafi dan seluruh peserta yang
ikut andil dalam pembuatan mural ini.
Panjang umur perjuangan!
56
Wajah Baru Diponegoro 74
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 1 dan 2. Mural ini terletak pada lantai satu gedung
LBH Jakarta-YLBHI. Pada mural ini, simbol police-line,
kawat berduri, dan kobaran asap dihadirkan dalam bentuk
gulungan mirip kawat panjang seakan-akan kita berada
dalam area demonstrasi yang besar dan penuh perjuangan.
57
Gambar 3
Gambar 3. Di depan ruang konsultasi LBH Jakarta terdapat
mural Gus Dur dengan pose santai memegang buku. Dalam
mural ini kita diingatkan bahwa perjuangan tak hanya
sekedar suara yang lantang, tetapi juga soal
intelektualisme. Di sebelah mural Gus Dur terdapat
penjelasan tentang arti mural di gedung Kantor Lembaga
Bantuan Hukum serta nama-nama orang yang membantu
menyukseskan pembuatan mural ini.
58
Gambar 4 dan 5. Tak jauh dari mural
Gus Dur, tepatnya di depan lift lantai
1 terdapat mural yang “instagram-
able” dengan komponen warna dan
gambar yang menarik. Hal ini
menunjukkan bahwa di setiap
perjuangan pasti terdapat keceriaan.
59
Gambar 6
Gambar 6. Sedikit turun menuju Mushola di bawah lantai 1, kita
bisa melihat ada tiga tokoh penting dalam perjuangan hak asasi
manusia. Ketiganya ada yang mati atau dihilangkan. Mereka
adalah Marsinah, Wiji Thukul, dan Suyat.
Gambar 7. Tak jauh dari mural Marsinah, Wiji Thukul, dan Suyat
terdapat mural toa yang dipegang lalu mengeluarkan 3 ekor
burung. Mural ini melambangkan bahwa perjuangan dapat
terbang dan dibawa kemana saja.
60
Gambar 8
Gambar 8. Naik ke lantai 2, kita masih akan bertemu dengan
mural police line dan kawat berduri dan lilin yang melambangkan
pengharapan. Para pemural juga masih melukiskan advokasi-
advokasi yang telah dilakukan LBH.
61
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 9. Di depan pintu masuk
YLBHI terdapat mural salah satu
pendiri LBH-YLBHI yaitu Prof. Dr.
(lur) H. Adnan Buyung Nasution,
S.H.
Gambar 10. Masuk ke dalam ruang
diskusi YLBHI, kita akan melihat
mural timbangan yang digenggam
secara paksa.
62
Gambar 11 Gambar 12
Gambar 11. Dalam mural ini
terkandung pesan bahwa
kepentingan segelintir orang akan
mengorbankan nasib orang banyak.
Gambar 12. Mural ini terdapat di
depan pintu ruang YLBHI menuju ke
lantai 4. Pemural menunjukkan
perjuangan masyarakat Kendeng
yang melakukan dua kali aksi semen
kaki untuk menolak pembangunan
pabrik semen di Rembang.
63
Design : Studio Hanafi