penanganan fisioterapi pada kasus gbs.docx

56
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. John Lettsom 1787, merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS (Fredericks et all 1996). Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total. Gullain Barre Syndrome (GBS) dalam proses penyembuhan sangat membutuhkan fisioterapi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Guillain-Barre Syndrome. 1

Upload: cut-rahil

Post on 29-Nov-2015

637 views

Category:

Documents


72 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari

kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan

bukan oleh penyakit sistemis.

John Lettsom 1787, merupakan orang pertama yang mengangkat masalah

neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi

alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang

adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.

Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan

total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang

dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS

(Fredericks et all 1996). Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut,

tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala

sisa atau sembuh total. Gullain Barre Syndrome (GBS) dalam proses

penyembuhan sangat membutuhkan fisioterapi.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian

tentang Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Guillain-Barre Syndrome.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat

peneliti adalah ”Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Guillain Barre

Syndrome“.

Adapun rumusan masalah yang akan diangkat adalah:

a. Apakah yang dimaksud Guillain Barre Syndrome?

b. Apakah etiologi Guillain Barre Syndrome?

c. Bagaimana patofisiologi dari Gillain Barre Sydrome?

d. Bagaimana epidemologi dari Guillain Barre Sydrome?

e. Apa sajakah problem fisioterapi?

f. Bagaimana Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome?

1

Page 2: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

g. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Guillain Barre

Syndrome?

h. Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penulisan makalah ini secara umum yakni untuk memenuhi

tugas Mata Kuliah Patologi Khusus dan pembaca dapat memahami

lebih jauh tentang penyakit Guillain Barre Syndrome.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengertian dari Guillain Barre Syndrome.

b. Untuk mengetahui etiologi dari Guillain Barre Syndrome.

c. Untuk mengetahui patofisiologi dari Guillain Barre Syndrome.

d. Untuk mengetahui epidemologi dari Guillain Barre Syndrome.

e. Untuk mengetahui problem fisioterapi.

f. Untuk memngetahui tanda dan gejala Guillain Barre Syndrome.

g. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus

Guillain Barre Syndrome.

h. Untuk mengetahui pencegahan Guillain Barre Syndrome.

1.4 Manfaat

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik

bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre

Syndrome.

   

2

Page 3: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome

Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat.

Penderita Penyakit Guillain Barre Syndrome

2.2 Pengertian Akson dan Selaput Myelin

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan

tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh

suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang

terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel

saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf

yang ditransmisikan. 

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak

diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan

daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada

3

Page 4: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan

semakin lambat.

Sel Saraf

.

2.3 Etiologi

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena

hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut

demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf

tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi

dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS

disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).

Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun

lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan

perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan

kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu

menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal.

Penyebab terjadinya GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang

menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Namun

karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi

karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese

hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya

biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya

4

Page 5: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada

gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996)..

Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk

mencapai fungsi tubuh yang telah hilang. Rehabilitasi ditujukan terutama untuk

memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci

dan berpakaian.

Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui

berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan

lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan program

latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang

benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan.

Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu

pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal.  Dalam terapi,

digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan,

cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase

penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas

yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat

pasien mandiri dengan aktifitasnya.

Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan

kemampuan bicara dan menelan pasien. Terapis wicara akan memperbaiki

kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim

dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya

masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi

berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi

secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing.

2.4 Patofisiologi

.Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama

adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel-sel saraf sehingga sistem imun

tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa

infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya

5

Page 6: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi

myelin bahkan kadang-kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-sel saraf tidak dapat

mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya

untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls

sensoris dari seluruh bagian tubuh.

Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain Barre

Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada

saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih

ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian

depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan

akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput

myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf

tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).

Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh

karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf,

bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS

mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot

bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput

myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk

diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik.

Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf

otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain

mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian

bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi

lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’,

hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi,

seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut

kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan

dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu,

akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

6

Page 7: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik,

sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak

adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat

di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial

nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau

kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya

anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan

kanan.

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi

gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot

pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh

karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru

tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun. Bila

kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan

memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di

atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru

(Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem

otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran

pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.

Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu.

Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau flushing, yaitu

muka memerah secara mendadak.

Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2

minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2

sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

2.5 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4-2,0 per

100.000 penduduk.

GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah

sama di seluruh dunia pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina , dimana

7

Page 8: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni (cenderung terjadi

pada musim panas)

GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.

Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk.

Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan

penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.

Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering

adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada  penderita

GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.

2.6 Problem Fisioterapi

Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar

dari sisi pandang fisioterapi, yaitu:

a. Muskuloskeletal

Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya

kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan

oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke

neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor

unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu

8

Page 9: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor

neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa

menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin

disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar

saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf

mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan

inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar

saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.

Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau

semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut

tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat

hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi

saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut.

Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja

untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.

Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan

tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama,

yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi

juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi

(LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi

jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali,

sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi

pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.

b. Kardiopulmonari

9

Page 10: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin

terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan

otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang

tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998).

Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal,

mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada

berkurang.

Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga

fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun,

kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk

membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.

Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang

mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi

berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi

terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang

sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru.

Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis,

sehingga fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).

Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat

terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan

menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang

akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru

akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga

menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan

kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar,

yang akan memperburuk kondisi pasien.

c. Sistem Saraf Otonomik

Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin

mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga

gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin

mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan

parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar

10

Page 11: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus

(Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya

tekanan darah, dan keringat yang berlebihan.

Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba,

dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak

mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan

pengobatan fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda

tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi yang

berarti atau mobilisasi.

d. Sensasi

Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa

(sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa

terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya

tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun

gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut

menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi

akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi

kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi

kadangkala juga disebabkan oleh kombinasi gangguan sensasi dan sendi

yang sudah lama tidak digerakkan.

Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan

sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa

tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh

karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.

2.7 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome

Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan

yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk

kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif.

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal

sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan

11

Page 12: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat

keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada

penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu

yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan

mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi

resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada

pengurangan nyeri serta gejala.

2. Fase plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana

tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah

berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase

penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi

yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu

dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai

di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan

istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya

didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan

sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.

Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung

mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain

mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum

dimulainya fase penyembuhan.

3. Fase penyembuhan.

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan

perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti

memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala

berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi

pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk

otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang

normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya

secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel

12

Page 13: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat

muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-

6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai

waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan

tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan

otonomik biasanya bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa

menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf otonom

termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas gastrointestinal.

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi

lebih dulu dari anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu

terjadi dari otot distal, kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot

pernafasan juga terjadi. Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa

ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas.

Fase Perjalan Klinis

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan

timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon

dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai

disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,

parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat

13

Page 14: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.

Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar

secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas,

tubuh dan saraf pusat.

2.8 Penatalaksanaan Fisioterapi

Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,

yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang

unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang

pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum

kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah

mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.

Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi

pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan

dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua

problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem

muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan

penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.

14

Page 15: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi,

penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya

sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha

memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan

penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya,

pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal

Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah

penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya

motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal

sebagai akibat dari gangguan motorik.

Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan

kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan

bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu

maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama,

fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot,

dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali

bekerja.

b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot

Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah

latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu

15

Page 16: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan

(aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol,

latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan

angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita

akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis

kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam

menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang

terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati

perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis.

Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan

diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga

akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian

tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat

secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis

mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai

pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota

tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada

pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan

dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan

seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah

kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.

Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan

lebih banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase

sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan

otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak

boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas.

Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah

mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa

16

Page 17: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya

menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual,

artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan

dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan

program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program

fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam

meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang

diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan

pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja

pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan,

sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir

pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik,

bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya

pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3

hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat

perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi

keduanya.

c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita,

bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat

bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu

menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu

membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas

gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi

sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang

tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya

ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS

maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk

17

Page 18: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama

dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi

adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah

goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam

satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi

penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran.

Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar

pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional

yang maksimal.

d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot

Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian

besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang

panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan

khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti

quadriceps, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati

dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,

misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya

tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila

sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang

otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan

keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal,

secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita

GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu

cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas

penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan

kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang

bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya.

Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri

18

Page 19: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang

sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.

e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari

Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada

kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal

disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi.

Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga

kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas,

menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk

membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan

semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga.

Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital

penderita.

f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif

tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan

dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan

terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran

gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan

ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak

disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk

terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali

membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot

intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan

harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan

lewat ventilator atau manual hyperinflation bisa memberikan efek

samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.

Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi

dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan

kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk

menghindari kelelahan.

19

Page 20: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml

sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai

bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian

tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada

kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk

mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk

yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot

pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat

untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka

diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara

yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi

menjadi berkurang.

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot

pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa

dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation.

Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek,

sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa

meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa

dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual

hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu

memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih

proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,

penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-

tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi

permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal.

Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk

meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini

biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot pernafasan

mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot

20

Page 21: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk

berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada

semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke

saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan

menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam

sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan

akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila

kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu

mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan

sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan

otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima

makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga

tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase

pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase

ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera

memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah

kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko

masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.

i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik

Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul,

bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih

tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf

otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan

tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya

tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural

hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya

pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring

ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi

perbedaan pengaruh terhadap tubuh.

21

Page 22: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring

lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah.

Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah

mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh

saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi

tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu

dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur

adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan

darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus

bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati

kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator

tekanan darah.

j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi

Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa

terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa

dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa

terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan

pemberian modalitas TENS (transcutaneous electrical nerve

stimulation). Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan

sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh

kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah

peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya,

rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh

kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka

gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa

nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak

hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan

sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut,

atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada

22

Page 23: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa

menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan

kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan

terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi

harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan

posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu

mendapat perhatian.

Nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh imobilisasi lama di

tempat tidur. Nyeri ini dapat dikurangi dengan melakukan peregangan pada sendi-

sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, pergerakan pasif anggota

gerak, masase, perubahan posisi yang cukup sering, serta dengan medikasi.

Penggunaan narkotika sebagai pengurang nyeri harus dilakukan secara bijaksana,

karena adanya resiko ileus pada penderita GBS.2 Bila rasa nyeri tidak berkurang,

hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang

timbul karena kombinasi keduanya.

Rasa tebal atau baal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan

tekanan pada bagian tubuhnya, misalnya akibat penekanan tonjolan tulang pada

kasur. Bila berlanjut, hal ini dapat menyebabkan luka lecet dan akhirnya

dekubitus. Sebagai usaha pencegahan ulkus ini, perubahan posisi penderita harus

selalu dilakukan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap

penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

Saat pasien dirawat dengan ventilator, ia tidak mampu bicara ataupun

berkomunikasi dengan cara lain; karenanya mungkin timbul rasa terasing, frustasi,

kemarahan, syok, depresi, ansietas, ataupun rasa takut hidup tergantung

selamanya dengan kerusakan permanen. Karenanya penting adanya dukungan

penuh dari keluarga sehingga pasien dapat mengekspresikan perasaannya dan

mendapatkan ketenangan batin. Pada waktu penderita GBS tidak lagi memerlukan

ventilator, selang akan dicabut, sehingga pasien dapat berbicara kembali,

meskipun otot-otot yang umumnya digunakan untuk berbicara (bibir, mulut, lidah,

dan pita suara) masih sangat lemah sehingga bicara menjadi kurang jelas,

23

Page 24: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

sehingga pasien membutuhkan bantuan terapis wicara untuk mengajarinya supaya

dapat berbicara dengan lancar kembali.

Komunikasi yang efektif perlu dibangun diantara pasien dan dokter,

pelaku rawat medis, keluarga, dsb. Bila bicara tidak mungkin dilakukan, metode

komunikasi lainnya dapat digunakan, misalnya dengan penggunaan alat tulis

ataupun bahasa isyarat melalui isyarat mata, jari, isyarat tunjuk atau gerakan

tangan sebagai respon terhadap orang lain.

Selain mengalami periode sulit secara fisik, penderita GBS juga

mengalami periode sulit secara psikologik; dimana ia terbaring tanpa daya, dan

harus menggantungkan hidupnya pada orang-orang di sekitarnya. Karena itu,

perlu diberikan informasi yang jelas sejak awal mengenai perjalanan penyakit,

bahwa sebagian besar penderita akan sembuh, sehingga muncul optimism baik

dari penderita maupun pihak keluarga. Meski begitu, harus dihindari

kemungkinan optimisme yang berlebihan sehingga keluarga dan penderita

menjadi kurang sensitive.

Konseling dan medikasi akan membantu mengatasi perasaan penderita

serta keluarganya. Kerabat yang berkunjung hendaknya terus menyemangati dan

membuat pasien tetap dapat mengikuti perkembangan aktivitas keluarga dan

teman-temannya, untuk menghindari perasaan terisolasi dari kehidupan normal

serta mempersiapkannya untuk fase penyembuhan dan pengenalan ke dalam

lingkungannya kembali. Sejumlah penderita merasa nyaman bila mendapatkan

kunjungan dari kerabat ataupun orang lain yang pernah sembuh dari penyakit

serupa. Manajemen nyeri, pengertian mengenai penyakit serta terapi gejala sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita GBS.

Saat pasien GBS mulai sembuh, penggunaan otot-otot mulai kembali,

sehingga perlu latihan otot-otot tersebut. Pasien akan terkejut betapa sedikit hal

yang dapat ia kerjakan setelah berbaring beberapa minggu di tempat tidur saja.

Fisioterapis dan terapis okupasi akan mengajarkan latihan untuk memperkuat

otot-otot, serta menggunakan otot-otot tersebut secara benar dan meningkatkan

stamina. Hari dimana seorang pasien dengan paralisis mampu duduk kembali

merupakan suatu hari besar yang sangat berarti, sementara hari-hari besar lainnya

adalah hari dimana penderita dapat duduk tanpa bantuan, duduk di kursi roda, dan

24

Page 25: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

berjalan dengan atau tanpa alat bantu, seiring dengan terlatihnya otot mereka.

Interval antara fase-fase ini dapat sangat panjang dan melelahkan, berkisar dari

satu setengah bulan hingga satu setengah tahun, tergantung dari kondisi pasien.

Rehabilitasi juga berkaitan erat dengan kondisi psikologis penderita, serta adanya

periode ‘mati’ dimana tidak dijumpai adanya perbaikan apapun. Untuk

meningkatkan motivasi pasien, fisioterapis perlu mengukur peningkatan stamina

otot yang lambat, karena sesungguhnya rehabilitasi membutuhkan waktu yang

panjang dan kesabaran baik dari pasein ataupun personil kesehatan.

Endurans hanya dapat dibangun dengan ketekunan; hal ini merupakan

sesuatu yang sulit mengingat fakta bahwa penderita GBS memerlukan periode

penyembuhan yang panjang antara tahapan-tahapan latihan. Pada pasien yang

sulit menjumpai adanya perbaikan, mungkin perlu dibuat tujuan-tujuan jangka

pendek bagi mereka sendiri; misalnya dimulai dari berjalan, kemudian jogging,

lalu mengendarai sepeda, dsb. Mulailah dari tahap yang mudah; saat tubuh mulai

belajar dan mengetahui kemampuannya sendiri, tujuan yang ingin dicapai dapat

lebih ditingkatkan secara gradual. Jangan lupa perlu adanya waktu istirahat

diantara tahapan latihan, atau mungkin interval 1 atau 2 hari diantaranya.

2.9 Berdasarkan Fase Penyembuhan

a. Fase progresif

Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan

kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan

bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu

maksimal 2 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan otot, dapat

dilakukan latihan penguatan secara aktif, bila kondisi pasien

memungkinkan. Namun apabila penderita tidak mampu menggerakkan

sendiri anggota badannya, sebaiknya dilakukan latihan penguatan

dengan bantuan (aktif asistif).

Pada penderita GBS yang sangat lemah, perlu diberikan latihan

pasif, dimana terapis yang akan menggerakkan angota badan

penderita.Karena umumnya kondisi penderita akan terus menurun,

25

Page 26: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

maka biasanya bantuan yang diberikan akan semakin meningkat dari

waktu ke waktu.

Latihan menggerakkan anggota tubuh dianjurkan dimulai dari

bagian bawah, dan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Hal ini

sekaligus juga dapat meningkatkan motivasi pasien secara psikis.

Latihan pergerakan setiap sendi dilakukan secara sistematis, sehingga

tidak ada gerakan otot maupun sendi yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, perlu diperhatikan tingkat

toleransi pasien terhadap latihan. Pasien tidak boleh dibiarkan terlalu

lelah atau melakukan gerak paksa dalam menggerakkan anggota tubuh,

karena hal ini dapat merusak motor unit. Berikan pengertian dan

kesadaran kepada pasien bahwa gerakan yang dilakukan secara rutin

lebih penting dalam mengembalikan gerakan otot, bila dibandingkan

dengan gerakan yang terlalu dipaksakan. Bagi pasien GBS, frekuensi

latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah

kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.

Intensitas latihan dalam sehari dapat ditingkatkan secara bertahap.

Perlu diingat pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak

mampu menggerakkan LGS secara penuh; sehingga fisioterapis perlu

membantu penderita dalam menggerakkan sendi sesuai dengan luas

gerak sendi yang normal, atau paling sedikit sampai lingkup sendi yang

fungsional.

Seperti halnya latihan untuk otot, latihan pergerakan sendi

sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang

tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya

ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS

maksimal untuk mempertahankan LGS.

Dalam melakukan evaluasi luas gerak sendi, dilakukan pengukuran

sudut setiap sendi dengan goniometer, dalam satuan derajat. LGS

seharusnya tetap terjaga dari waktu ke waktu, agar supaya penderita

mampu berfungsi secara maksimal.

26

Page 27: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

b. Fase penyembuhan

Fase penyembuhan merupakan fase lanjutan dari fase progresif,

dimana rehabilitasi ditekankan pada pemeliharaan panjang otot dan

lingkup gerak sendi, sehingga diharapkan panjang otot dan LGS akan

tetap terjaga. Rehabilitasi pada fase lanjutan ini lebih menekankan pada

upaya peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan

jumlah motor unit yang ada serta dalam masa pemulihan. Dalam

menangani masalah kekuatan otot, fase ini masih berfokus pada

peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian, beban latihan yang

diberikan belum boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang

aktif masih terbatas.

Program latihan aktif dapat ditingkatkan apabila penderita sudah

mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa

kesulitan. Jenis latihan penguatan yang diberikan kemudian dapat

ditingkatkan menjadi bentuk latihan aktif resisted, dimana dalam upaya

peningkatan kekuatan otot, diberikan beban. Beban yang diberikan

dapat bervariasi, baik secara manual ataupun dengan alat. Beban

manual diberikan oleh fisioterapis, sedangkan alat yang digunakan

dapat macam-macam, misalnya dengan quadricep bench. Karena tujuan

akhir rehabilitasi adalah untuk memaksimalkan kemampuan fungsional,

perlu diperhatikan pada otot mana saja akan diberikan latihan tersebut;

yakni terutama pada otot-otot yang diperlukan dalam beraktivitas.

Untuk mengevaluasi perbaikan kondisi pasien, dapat dilakukan

evaluasi perbaikan kekuatan otot dengan menggunakan metode manual

muscles testing (MMT). Pengukuran kekuatan otot dilakukan secara

berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan melihat adanya

perbaikan dalam evaluasi, baik terapis maupun penderita dapat melihat

perkembangan yang terjadi, sehingga akan meningkatkan motivasi bagi

keduanya.

Latihan pergerakan sendi pada fase penyembuhan tidak berbeda

dengan latihan gerak sendi pada fase progresif; yakni berupa latihan

gerak pada setiap sendi secara sistematis, dan di akhir gerakan aktif,

27

Page 28: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi maksimal untuk

mempertahankan LGS.

Pemeliharaan panjang otot dapat dilakukan sekaligus pada saat

melakukan latihan untuk mempertahankan LGS; terkecuali untuk

beberapa otot yang melewati dua sendi, misalnya otot quadriceps,

iliotibial band, dan sartorius. Otot-otot ini penting dalam kegiatan

penderita sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh; sehingga

bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada

aktivitas penderita bila sembuh nanti. Pada otot-otot ini, perlu gerakan

khusus untuk mempertahankan panjangnya.

Evaluasi panjang otot sulit dilakukan, karena bersifat individual

dan dipengaruhi aktivitas dan keturunan. Salah satu cara untuk

mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita,

apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau

bersimpuh; atau dengan jalan membandingkan otot sebelah kanan

dengan sebelah kiri, atau sebaliknya; sehingga dapat dinilai apakah

panjang otot yang bersangkutan cukup baik untuk penderita dapat

melakukan aktivitasnya kembali.

c. Fase Rehabilitasi

Selama fase rehabilitasi, pasien diajarkan untuk menggunakan

energinya yang terbatas secara bijak, antara lain dengan menggerakan

badannya secara tepat, menghindari rutinitas yang tidak perlu, dan

mengkompensasikan aktivitas yang sulit dengan gerakan ataupun

aktivitas lainnya.

Kekuatan otot umumnya kembali pertama-tama pada lengan,

kemudian tangan, sehingga terapi fisik dimulai dengan latihan pada

lengan dan bahu. Hal-hal mendasar seperti halnya memegang pensil dan

menggunakannya harus kembali dipelajari. Kekuatan otot perlu

diperiksa secara rutin; otot yang lemah perlu dicari untuk kemudian

dilatih dan diperkuat melalui latihan-latihan penguatan spesifik. Dengan

bertambahnya kekuatan otot, rasa lelah akan semakin berkurang.

28

Page 29: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

Pasien akan belajar untuk memacu dirinya sendiri, meski masih

dalam observasi; dengan melakukan bermacam latihan sampai

mencapai keterbatasan endurans, namun tidak melebihi batasnya.

Seorang terapis harus mampu mengenali tanda dan peringatan dari

tubuh apabila batasan itu terlampaui, antara lain adanya kesemutan,

baal ataupun abnormalitas sensorik lainnya pada kelompok otot

tertentu. Terlalu memaksakan diri akan berakibat timbulnya nyeri,

spasme, kelelahan dan kelemahan pada otot yang sementara, sehingga

rehabilitasi haruslah dihentikan sementara sampai ototnya kembali

pulih.

Di sinilah pasien akan belajar mengetahui keterbatasannya,

bagaiman menilai tanda dan gejala dari tubuhnya sendiri, serta

kebutuhannya akan istirahat.  Dalam aktivitas sehari-hari, kadang

dibutuhkan usaha dan konsentrasi lebih, sehingga hal ini perlu

dimengerti dan dihargai oleh orang-orang di sekeliling penderita.

Kelelahan atau berkurangnya endurans otot merupakan masalah

baik selama proses rehabilitasi dan masa penyembuhan. Hampir 80%

penderita yang nampaknya sembuh dan hidup normal kembali, kadang

masih dijumpai kelelahan ataupun fatigue; dan pada beberapa kasus, hal

ini tidak kunjung berkurang. Seperti halnya rasa kesemutan dan nyeri,

nampaknya penderita harus belajar untuk hidup dengan hal itu sebagai

bagian hidupnya.

Sekitar 50-75% pasien yang sembuh mengeluh adanya nyeri

tertusuk jarum serta sensasi sensorik yang aneh pada tungkai dan kaki.

Gejala tersebut bertambah pada sore dan malam hari, serta setelah

berjalan jauh. Hal ini dapat bertahaan sampai beberapa tahun setelah

serangan GBS pertama, sedangkan gejala persisten mungkin

dipengaruhi oleh derajat kerusakan aksonal yang terjadi. Analgetika

niasa mungkin tidak dapat mengurangi gejala, sehingga perlu ditambah

dengan medikasi lainnya.

Selama penderita menjalani rehabilitasi, terkadang perlu

diperhatikan adanya suatu kebutuhan khusus, seperti halnya keinginan

29

Page 30: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

pasien untuk memikirkan kembali hidupnya, rumah, mobil, hobi,

pekerjaan, dsb. Hal ini diharapkan dapat menambah kualitas hidup

penderita dan membuatnya dapat hidup senormal mungkin. Bila

diperlukan, konseling profesional dapat diadakan untuk meningkatkan

rasa percaya diri serta harga dirinya sebagai manusia.

2.10 Pencegahan Guillain Barre Syndrome

30

Page 31: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit

demyelinating yang menyerang susunan saraf tepi, pada umumnya saraf

motorik tetapi mungkin juga saraf sensorik dan otonomik. Serangan GBS

biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan, sehingga diduga akibat

dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS tergantung

dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang terserang,

maka gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang

terserang, maka gejalanya semakin ringan.

Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4

problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni

problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem

saraf otonomi.

Disamping itu, berdasarkan tahap penyembuhan pasien dengan GBS, ada 2

tahap penatalaksanaan fisioterapi pada GBS, yakni fisioterapi pada tahap awal dan

lanjut. Pada tahap awal, ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti,

fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan kondisi. Pada tahap ini

problem kardiopulmonari dan muskuloskeletal menjadi perhatian utama.

Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat

optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap

dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal

bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem

sensorik selain mencegah terjadinya dekubitus.

Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem

bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan

mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.

Sedangkan pada tahap akhir, ketika kondisi pasien sudah membaik,

fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi. Yang menjadi perhatian

utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan kekuatan otot.

31

Page 32: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

3.2 Saran

Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara

maksimal. Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk

mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisme. Bila ada gangguan

sensorik, harus juga dilakukan tindakan untuk meningkatkan fungsi

sensori.

Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan

toleransi pasien terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama

berbaring, gangguan sistem saraf otonomi akan lebih menghambat

program mobilisasi.Dengan tidak mengurangi pentingnya pengobatan

pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada kasus Guillain Barre

Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada perawatan

tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita

GBS adalah baik.

Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini

akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya

penatalaksanaan fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan

penderita pada fungsi sosial seperti semula.

32

Page 33: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

DAFTAR PUSTAKA

Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.

Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16.

Burns TM. Guillain-Barré syndrome. Semin Neurol. 2008;28(2):152-167.

Kuwabara S. Guillain-Barré syndrome: epidemiology, pathophysiology and management. Drugs. 2004;64:597-610.

Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH.

Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.

Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.657-676.

Penatalaksanaan fisioterapi pada Guillain-Barre syndrome. Available from: http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7.

Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7 th

edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.

Miller Andrew. Guillain-Barre Syndrome. [updated Dec 19, 2007]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview.

Guillain-barre syndrome. [Update: May 31, 2007]. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre-syndrome/DS00413.

Guillain-Barre Syndrome. [Update: 2009]. Available from: http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.

Guillain-Barre Syndrome (GBS) Support Group. Available from: http://www.dailystrength.org/news/Guillain-Barre-Syndrome-GBS

33

Page 34: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

Guillain-Barré Syndrome. [update  2009]. Available from: http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp?channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info.

Anonim. 2008: Guillain-Barré Syndrome; Diakses pada 22/10/12 dari http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.html.

Anonim. 2009. Guillain-Barré Syndrome; Diakses pada 22/10/12 dari http://forum.um.ac.id

http://alatterapi.wordpress.com/2012/01/10/fisioterapi-pada-guillain-barre syndrome-gbs/

http://www.artikel.indonesianrehabequipment.com/2012/06/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-kasus.html#ixzz2ge6CCYX

34

Page 35: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

35

Page 36: PENANGANAN FISIOTERAPI PADA KASUS GBS.docx

36