penafsiran zaghlul al-najjar terhadap ayat 19 qs. …repository.uinjambi.ac.id/3460/1/ut160094,...
TRANSCRIPT
i
PENAFSIRAN ZAGHLUL AL-NAJJAR TERHADAP AYAT 19
QS. LUQMAN DI DALAM KITAB TAFSIR AL-ĀYAT AL-KAUNIYAH FĪ
AL-QUR’ĀN AL-KARĪM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Al-Qur‟ān dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh:
NURMIAH
NIM: UT 160094
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020
ii
Pembimbing I : Dr. H. Hasbullah, S.Th. I, MA Jambi, 10 April 2020
Pembimbing II : Ermawati, S.Ag, M.Ag
Alamat : Fak. Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi Kepada Yth.
Jl. Raya Jambi-Ma. Bulian Bapak Dekan
Simp. Sungai Duren Fak. Ushuluddin
Muaro Jambi dan Studi Agama
UIN STS Jambi
di-
JAMBI
NOTA DINAS
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan persyaratan yang
berlaku di FakultasUshuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi, maka kami
berpendapat bahwa Skripsi saudari Nurmiah dengan judul “Penafsiran Zaghlul Al-
Najjar Terhadap Ayat 19 QS. Luqman di Dalam Kitab Tafsir Al-Ayat Al-Kauniyah Fi
Al-Qur’an Al-Karim” telah dapat dimunaqashahkan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
(IAT) di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Saifuddin Jambi.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan kepada Bapak/ibu, semoga
bermanfaat bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Hasbullah, S.Th. I, MA Ermawati, S.Ag, M.Ag
NIP. 197912122009011015 NIP. 197612162005012004
iii
iv
KEMENTERIAN AGAMA RI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA Jl. Lintas Jambi-Muaro Bulian KM. 16 Smp. Sungai Duren Kab. Muaro Jambi 36363, (0741) 583183 link: www.iainjambi.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi yang ditulis oleh NURMIAH Nim Ut 160094 dengan judul
“Penafsiran Zaghlul Al-Najjar Terhadap Ayat 19 QS. Luqman di Dalam Kitab Tafsir
Al-Ayat Al-Kauniyah Fi Al-Qur‟an Al-Karim” yang dimunaqashahkan oleh Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 12 Mei 2020
Jam : 10.00 s/d 11.00 WIB
Tempat : Kediaman Masing-Masing Via Online
Telah diperbaiki sebagaimana sidang Munaqashah dan telah diterima sebagai
bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program
Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN
STS Jambi.
Jambi, 05 Juni 2020
TIM PENGUJI
Ketua Sidang Dr. Edi Kusnadi, M.Fil.I
NIP. 197509182009011009
Sekretaris Sidang Widyawati, M.Pd.I
NIP. 197408111994012001
Penguji I Drs. H. Lahmuddin, M.Ag
NIP. 19630201191021001
Penguji II Mohd. Kailani, M.Ud
NIP. 198910062019031012
Pembimbing I Dr. H. Hasbullah, S.Th. I, MA
NIP. 197912122009011015
Pembimbing II Ermawati, S.Ag, M.Ag
NIP. 197612162005012004
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Dr. Abdul Halim, M.Ag
NIP. 197208091998031003
v
MOTTO
وبهم للج قل ذين امجحن الله
ك ال ى ول
ا صواتهم عند رسول الله
ون ا ذين يغض
غرة ان ال م م
قوو ل ه
جة عظي ا و
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah,
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa.
Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Hujurat: 03)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ayahanda
Ibunda
Dan segenap Teman dan Sahabat yang selalu memberikan motivasi dan semangat
bagi penulis.
vii
ABSTRAK
Penelitian ini mendiskusikan tentang Penafsiran Zaghlul al-Najjar
Terhadap Ayat 19 Dari QS. Luqman Di Dalam Kitab Tafsir Al-Ayat Al-Kauniyah
Fi Al-Qur‟an Al-Karim. Suara adalah bunyi yang dapat di dengar, yang memiliki
gelombang tertentu. Suara juga dapat berdampak pada pendengaran dan alam
sekitar jika suara yang dikeluarkan terlalu keras. Di dalam tafsir-tafsir lain
mengungkapkan secara globalnya saja bahwa suara yang melebihi batas itu di
samakan dengan seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Berbeda dengan
penafsiran Zaghlul, beliau menafsirkan secara ilmu pengetahuan bahwa suara
yang nyaring dapat merusak lingkungan sekitardan dapat merusak indra
pendengaran.
Pendekatan yang penulis gunakan adalah (library research) dengan
menekankan pada sumber tertulis terutama karya Zaghlul al-Najjar “Tafsir Al-
Ayat Al-Kauniyah Fi Al-Qur‟an Al-Karim”. Penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif. Metode ini berfungsi memberi penjelasan dan memaparkan
secara mendalam mengenai sebuah data, kemudian dibahas secara rinci dan
kemungkinan proses analitik di dalamnya.
Hasil dari penelitian ini adalah penafsiran Zaghlul al-Najjar Terhadap Ayat
19 dari QS. Luqman adalah bahwa kebisingan akan berdampak negatif pada fisik
salah satunya adalah gangguan pada pendengaran karena pada umumnya Frekunsi
yang dapat di terima manusia yakni 20 Hz, merupakan gerakan besar pada
gendang telinga, tetapi jika tekanan suaranya meningkat hingga lebih dari 160 dB,
maka ia dapat memecahkan gendang telinga secara keseluruhan.
Kata Kunci: Zaghlul al-Najjār, Suara, Keledai, QS. Luqman: 19.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillāh al-Rabbil „ālamin, segala puji bagi Allah SWT. yang telah
melimpahkan limpahan rahmat, hidayah, taufiq dan inayah-Nya kepada seluruh
hamba-Nya. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah yang mana
penyusunan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, peneliti menyadari bahwa
skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dapat
menghasilkan karya yang lebih baik lagi dikemudian hari. Proses penulisan
skripsi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Untuk itu peneliti haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT. atas semua limpahan rahmat yang telah dianugerahkan dan
kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah menunjukkan jalan kebenaran
kepada umatnya.
2. Ayahanda Sayyid beserta ibunda Ernisah yang telah mendidik penulis tanpa
mengharapkan imbalan sedikitpun yang telah mereka lakukan dengan
keridhoan serta keikhlasan.
3. Prof. Dr. H. Su‟aidi Asy‟ari, MA, Ph.D selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Dr. Abdul Halim, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Dr. Bambang Husni Nugroho, S.Th.I., M.H.I. selaku ketua jurusan Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi.
6. Drs. H. Ishak ABD Aziz, M.Fil. selaku Pembimbing Akademik dari semester
awal hingga penulis menyelesaikan proses belajar di jurusan ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir. Terimakasih telah membimbing dan memberikan arahan selama
menuntut ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir hingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ini.
ix
7. Dr. H. Hasbullah, MA dan Ermawati, S.Ag, M.Ag selaku Pembimbing Skripsi
penulis yang telah meluangkan waktu untuk membaca, mengoreksi dan
membimbing penulis. Terimakasih atas bimbingan serta motivasi dari bapak
dan ibu. Banyak pelajaran dan pengetahuan yang penulis dapatkan selama
bimbingan dengan bapak dan ibu.
8. Seluruh Dosen Ushuluddin yang telah menginspirasi serta memberikan
sumbangsih ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis. Kepada segenap
staf-staf Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, terimakasih atas bantuannya
selama penulis menepuh Studi di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sampai
selesai di jenjang Strata satu.
9. Teman-teman Jurusan IAT angkatan 2016, yang telah menemani penulis
berdiskusi, belajar bersamadan berbagi bercanda gurau bersama, yang tidak
bisa penulis sebutkan secara rinci, terimakasih penulis haturkan.
Jambi, 05 Mei 2020
Penulis,
Nurmiah
Ut 160094
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
NOTA DINAS ................................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .................................. iii
PENGESAHAN ................................................................................................. iv
MOTTO ............................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ............................................................................................. vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 11
BAB II TAFSIR ILMI
A. Kedudukan Al-Qur‟ān di Tengah-Tengah Kemajuan Ilmu
Pengetahuan .................................................................................... 13
B. Pengertian Tafsir Ilmi ..................................................................... 16
C. Sejarah Perkembangan Tafsir Ilmi .................................................. 19
D. Sistematika Metode Tafsir Ilmi ....................................................... 24
E. Pro Kontra Tafsir Ilmi ..................................................................... 30
F. Tokoh-Tokoh Tafsir Ilmi dan Nama-Nama Kitabnya ..................... 34
xi
BAB III BIOGRAFI ZAGLŪL AL-NAJJĀR DAN PENAFSIRAN PARA
ULAMA PADA QS. LUQMAN AYAT 19
A. Biografi Zaghlul al-Najjar ... ........................................................ 36
1. Riwayat Hidup Zaghlul al-Najjar ............................................. 36
2. Karya-Karya Zaghlul al-Najjar ................................................. 37
3. Deskripsi Kitab Tafsīr al-Āyātul Kauniyyah fīl Qur‟ānil
Karīm ........................................................................................ 38
B. Penafsiran Para Ulama Tentang QS.Luqman Ayat 19 ................... 41
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN ZAGHLŪL AL-NAJJĀR TERHADAP
QS. LUQMAN AYAT 19
A. Aspek Kebahasaan ......................................................................... 47
B. Korelasi dengan Hadits Mengenai Ringkikan Keledai .................. 49
C. Kebisingan dalam Sudut Pandang Sains ........................................ 51
D. Korelasi dengan Corak Tafsir al-Adabi Ijtima‟i ............................ 54
E. Buruknya Suara Keledai dan Hewan-Hewan Lain ........................ 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 61
B. Saran-Saran ................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
A. Konsonan
Arab Indonesia Arab Indonesia
اtidak
dilambangkan ṭ غ
ẓ ظ b ب
„ ع t ت
g غ ṡ ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m و ż ذ
r n ر
z w ز
s h ش
‟__ ء sy ظ
ṣ y ص
ḍ ض
B. Vokal, Harakat, Maddah dan
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
ā ـ ā ـ ا a ا
ī ـ i ا ai ى
u ا ū ـ au ى
Contoh:
ف ل Kaifa ك Haula
ات ي Māta ي Ramā ر
1Disederhanakan dari Pedoman Tranliterasi Arab-Latin yang merupakan hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, tertanggal 22 Januari 1988 Nomor:
158/1987 dan Nomor: 05436/U/1987.
xiii
م ت Qīla ل Yamūtu
C. Tā’ Marbūṭah (ة)
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: tā‟ marbūṭah yang hidup
atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dhammah, transliterasinya adalah (t).
Sedangkan ta marbuthah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah (h).
Jika pada kata yang berakhir dengan tā‟ marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua itu terpisah, maka tā‟ marbūṭah
itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
ف ال ال غ ة ظ Rauḍah al-Aṭfāl ر
ه ة ان ف اظ ة د Al-Madīnah al-Fāḍilah ان
ة ك Al-Ḥikmah ان ح
D. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau Tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd (ـــ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:
ب ا ا Rabbanā ر Najjainā ج
ك ج Al-Ḥaqq ان ح ح Al-Ḥajj ان
ى Nu„„ima ع Aduww„ ع د
Jika huruf ya‟ () ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah ( :maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (ī). Contoh ,(ـ
ه Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)„ ع
ب Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby)„ ع ر
E. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf alif
lam ma‟rifah (ال). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyyah maupun huruf
qamariyyah. Kata sandang tidang mengikuti bunyi huruf langsung yang
xiv
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:
ص انشAl-Syams (bukan
Asy-Syams) Al-Falsafah ان ف ه ط ف ة
ن ة ن س انس
Al-Zalzalah
(bukan Az-
Zalzalah)
د Al-Bilād ان ب ل
F. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‟) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah daan akhir kata. Bila hamzah terletak di awal kata,
ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contohnya:
ء ت ‟Syai ش ر Umirtu أ ي
ء ‟Al-Nau ان ر Ta‟murūna ت أ ي
G. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dala bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasikan adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau
kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa
Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia tidak lagi
ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata al-Qur‟an (dari al-Qur‟ān),
Sunnah, khusus dan umum. Namaun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari
satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasikan secara utuh.
Contoh: Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, al-Sunnah qabla al-Tadwīn, al-„Ibārāt bi „Umūm al-
Lafẓ lā bi Khuṣūṣ al-Sabab.
H. Lafẓ al-Jalālah (الله)
Kata Allah yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasikan tanpa huruf
hamzah. Contoh:
Billāh ب الل
الل Dīnullāh د
xv
Adapun ta‟ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-jalālah
ditransliterasikan dengan huruf (t). Contoh:
الل ة ح ر ف ى Hum fī Raḥmatillāh
I. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat.
Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang
tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku
untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik
ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK dan
DR). Contoh:
1. Inna awwala baitin wudi‟a li al-nās lallaẓī bi Bakkah mubārakan
2. Syahr Ramaḍān al-laẓī unzila fīh al-Qur‟ān
3. Wa mā Muḥammad illā rasūl
4. Al-Munqiz min al-Ḍalāl
5. Naṣīr al-Dīn al-Tusī
6. Abū Naṣr al-Farābī
7. Al-Gazā
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟ān al-Karīm merupakan otoritas pertama dan utama dalam Agama
Islam, al-Qur‟ān memandang bahwa alam semesta beserta isinya bukanlah
merupakan keberadaan Tuhan.2 Al-Qur‟ān juga memperkenalkan dengan berbagai
ciri dan sifat, salah satu diantaranya adalah bahwa al-Qur‟ān merupakan kitab
yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan al-Qur‟ān adalah kitab yang selalu
dipelihara.
Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang memiliki mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril ditulis dalam
berbagai mushaf, dinukilkan kepada kita dengan cara mutawatir, yang dianggap
ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan
surat al-Nās.3 Allah menurunkan al-Qur‟ān kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai mukjizat yang luar biasa, sebagaimana Allah mengutus setiap Nabi
terdahulu dengan berbagai mukjizat yang berkaitan dengan kemahiran kaum yang
dihadapinya pada waktu itu. Sebagaimana mukjizat Nabi Musa a.s., yakni
beralihnya tongkat menjadi ular yang dihadapkan kepada masyarakat yang amat
mengandalkan sihir. Tukang sihir mampu mengubah tali-tali yang ada dihadapan
mereka menjadi ular, tetapi Nabi Musa a.s. mampu lebih dari itu dengan
mengubah tongkat nya menjadi seekor ular yang begitu besar dan memakan
semua ular hasil sihiran tukang sihir. Kejadian ini membungkam para tukang sihir
yang ditantang oleh Nabi Musa a.s. sehingga mereka tak kuasa kecuali mengakui
kekalahan mereka, walaupun Fir‟aun mengancam dengan aneka ancaman.4
Demikian pula Nabi Shaleh a.s. yang menghadapi kaum Tsamud yang
amat gandrung melukis dan memahat, sampai-sampai relief-relief indah bagaikan
sesuatu yang hidup menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka.5 Kemudian
2 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial (Jakarta; Amzah, 2012), hal. 1 3 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hal.23 4 QS. Tha Ha: 63-76 5 QS. Al-A‟rof: 74 dan Al-Fajr: 9
2
mereka ditunjukkan mukjizat yang sesuai dengan keahlian itu, yakni keluarnya
seekor unta yang benar-benar hidup dari batu karang dan mereka pun meminum
susu unta tersebut.6 Ketika itu relief-relif yang telah mereka lukis tidak lagi berarti
sama sekali dibandingkan dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Tetapi, mereka
begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak dapat jalan lain kecuali
menyembelih unta itu, sehingga Allah pun menjatuhkan palu godam terhadap
mereka.7
Secara garis besar, mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu
mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat imaterial
logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi terdahulu
merupakan jenis mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal.
Mukjizat mereka bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut
dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat
Nabi tersebut menyampaikan risalahnya.8 Berbeda dengan mukjizat Nabi
Muhammad SAW yang sifatnya bukan indriawi atau meterial, namun dapat
dipahami oleh akal dan tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para Nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW, ditugaskan untuk masyarakat pada masa itu dan tidak untuk
sesudah mereka. Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW Yang diutus untuk
seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Kedua, manusia mengalami
perkembangan dalam pemikirannya. Auguste Comte (1798-1857) berpendapat
bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase yakni fase
keagamaan, fase metafisika, dan fase ilmiah.9
Bangsa Arab yang dikenal sebagai bangsa yang mahir dalam bidang
syair dan sastra, fasih dan lugas dalam berbahasa. Derajat satu kabilah akan
naik bila mereka memiliki seseorang penyair atau orator ulung. Jika mereka
tidak memilikinya, maka mereka akan dianggap tidak ada, bahkan hilang.
Dengan syair dan sastra itulah mereka mengangkat reputasi suatu kabilah
6 QS. Al-A‟rof: 73 dan Asy-Syu‟ara: 155-156 7 QS. Asy-Syams: 13-15 8 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Ghaib (Bandung,Mizan,2007), hal. 38 9 Ibid., Mukjizat Al-Qur‟an..., hal. 40
3
atau dapat pula menjatuhkannya. Karena itu, Allah mengukuhkan kenabian
Muhammad dengan sebuah mukjizat yang menakjubkan, yakni al-Qur‟ān.10
Al-Qur‟ān memiliki keindahan susunan dan gaya bahasanya, serta isinya yang
tiada tara bandingannya, begitupula manusia yang tidak dapat membuat serupa
dengan al-Qur‟ān. Ia adalah kitab suci yang tinggi dari segi bahasa, sastra, serta
kandungannya tidak mengandung kebatilan, dan kitab yang membawa kabar
gembira dan peringatan.11
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pengkajian ayat-ayat al-
Qur‟ān tidak berhenti pada pembahasan tafsir tematik semata, tema kemukjizatan
al-Qur‟ān yang dikorelasikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
corak tersendiri dalam ilmu tafsir, yang dinamakan tafsir ilmi.
Sebelum masuk kepembahasan, terlebih dahulu memahami definisi tafsir
ilmi dan bagaimana pandangan ulama terhadap tafsir ilmi. Tafsir ilmi adalah
penafsiran al-Qur‟ān yang pembahasannya lebih menggunakan pendekatan ilmiah
dalam mengungkapkan al-Qur‟ān, dan seberapa dapat berusaha melahirkan
berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-
pemikiran filsafat.12
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan mengantar para ulama Islam
berbeda pandangan terhadap tafsir ilmi. Tiga pandangan tentang tafsir ilmi:
Pertama, kelompok yang setuju dan antusias; Kedua, kelompok yang tidak setuju
dan menolak; Ketiga, kelompok yang setuju dengan syarat.13
Mereka yang setuju
mengatakan bahwa banyak ayat al-Qur‟ān yang membicarakan alam semesta. Ini
harus menjadi bagian para mufassir untuk memberikan penafsiran terhadap ayat-
ayat tersebut. Bahkan, mereka menganggap bahwa setiap ilmu ada isyaratnya
dalam al-Qur‟ān. Diantara mereka yang setuju adalah Imam al-Ghazali dalam al-
Ihya‟. Imam al-Ghazali menukil satu pendapat bahwa al-Qur‟ān mengandung
77.200 ilmu pengetahuan. Karena setiap kata dalam al-Qur‟ān mengandung ilmu.
10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 318 11 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan,1994), hal.23 12 Ibid., Ulumul Qur‟an..., hal. 396 13 Ibid., Ulumul Qur‟an..., hal. 195
4
Dan hal tersebut akan terus bertambah karna setiap kata ada makna lahir dan ada
makna batin.
Diantara mereka yang mendukung adalah Imam Suyuthi dalam al-Itqan
dan al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil. Begitu juga dengan Abu al-Fadhl al-Mursi.
Sementara itu, sebagian kalangan yang tidak begitu setuju beralasan bahwa apa
yang dikemukakan para saintis itu masih bersifat teori bukan kepastian ilmiah.
Jika demikian, bisa saja apa yang dikemukakan para saintis masa kini akan
dikoreksi lagi oleh saintis akan datang, mereka beranggapan al-Qur‟ān yang
berkaitan dengan sains diungkapkan dalam rangka menyadarkan manusia akan
kekuasaan Allah bukan untuk mengajarkan sains dan teknologi. Diantara mereka
yang tidak setuju adalah Imam Syatibi. Alasan Syatibi adalah para sahabat dan
tabi‟in tidak melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah generasi paling
memahami kandungan kitab suci al-Qur‟ān. Jika hal ini penting, bisa dipastikan
pandangan mereka akan sampai kepada kita , namun tidak ada. Al-Qur‟ān tidak
bermaksud menegaskan penemuan ilmiah, al-Qur‟ān hanyalah berbicara tentang
hukum-hukum yang wajib dilakukan dan larangan dan persoalan akhirat.
Kalangan yang setuju model tafsir Ilmi tetapi dengan syarat mengatakan
bahwa sekarang tafsir Ilmi dibutuhkan sejalan dengan risalah al-Qur‟ān yang
diturunkan untuk sepanjang masa, apa yang dikemukakan al-Qur‟ān pasti benar.
Baik terkait hukum, fenomena alam semesta, janji dan ancaman. Apa yang
dilakukan para mufassir Ilmi adalah meneropong lebih dekat lagi ayat-ayat yang
masih global. Jika pada masa lalu ulama tidak melakukannya, itu karna tingkat
ilmu pengetahuan mereka masih meluas masa kini. Namun, siapa yang akan terjun
dalam tafsir ilmi harus hati-hati dalam mengemukakan gagasannya, tidak boleh
asal-asalan.14
Meskipun mendapat banyak penolakan, tafsir ini tetap mengalami
perkembangan hingga saat ini. Salah satu ulama yang menggunakan corak tafsir
ilmi adalah Zaghlūl al-Najjār, beliau adalah seorang pakar geologi asal Mesir.
Meskipun beliau tidak memiliki latar belakang apapun dalam bidang tafsir, beliau
bertekat untuk menafsirkan al-Qur‟ān dan telah membuat delapan kitab tafsir.
14 Ibid., Ulumul Qur‟an..., hal.197
5
Sebagaimana dikutip Sujait Zuabidi Saleh, Zaghlūl al-Najjār berkeyakinan bahwa
al-Qur‟ān adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, hukum-hukum
tasyri‟nya, informasi kesejarahannya dan juga dari aspek isyarat ilmiahnya.15
Empat belas abad yang lalu, Allah menurunkan al-Qur‟ān kepada manusia
sebagai penuntun. Allah menyeru umat manusia agar dapat menemukan
kebenaran. Seseorang yang mempelajari secara khusus ilmu-ilmu al-Qur‟ān tidak
akan ragu dalam menyatakan bahwa al-Qur‟ān terkandung syarat-syarat Ilmiah,
bahkan fakta-fakta ilmiah dalam bentuk i‟jaz.
Pada QS. Luqman ayat 19
حمير واقصد في صوت ال
صوات ه
اة ال
نك
مشيك واغضض من صوثكل ان ا
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”16
Pada ayat ini menurut Sayyid Quthb pada kata al-Qosdu dalam ayat ini
bisa berasal dari kesederhanaan yang di maksud dengan berjalan dengan biasa dan
tidak berlebih-lebihan dan tidak menghabiskan tenaga untuk mendapatkan pujian,
siulan, dan kekaguman.
Disamping itu kata al-Qosdu dalam ayat ini bisa juga berasal dari makna
maksud dan tujuan yang ditargetkan pencapaiannya. Sehingga gaya berjalan itu
tidak menyimpang, sombong, dan mengada-ada. Namun, harus ditujukan guna
meraih maksudnya dengan sederhana dan bebas.
Kemudian di dalam sikap menahan suara terdapat adab dan keyakinan
terhadap diri sendiri. Serta ketenangan terhadap diri sendiri, kebenaran
pembicaraan dan kekuatannya. Seseorang tidak akan berteriak atau mengeraskan
dalam pembicaraan, melainkan dia adalah orang yang buruk adabnya, ragu
terhadap nilai perkataan atau nilai kepribadiannya, dan dia berusaha menutupi
keraguan itu dengan bahasa yang pedas, keras, dan berteriak yang mengejutkan.17
15
Sujiat Zubaidi Saleh, “Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur‟an”. Jurnal Tsaqafah, VII, No.1
(2011), hal. 116-117. 16 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 412. 17 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an, (Kairo; Darus Syauq, 1968), Jilid 5, hal. 2782
6
Menurut M. Quraish Shihab kata ughdud terambil dari kata ghodhdh
dalam arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Seseorang
diminta untuk tidak berteriak sesuai kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan
namun tidak harus berbisik.
Dan bersikap sederhanalah dalam berjalanmu, yakni jangan
membusungkan dada dan jangan menunduk bagaikan orang sakit. Jangan berlari
tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan menghabiskan waktu dan
lunakkanlah suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai karena awalnya siulan
yang tidak menarik akhirnya tarikan nafas yang buruk.18
Menurut Hasbi Ash-Shidieqy rendahkanlah (pelankanlah) suaramu.
Janganlah kamu mengeraskan suaramu jika tidak perlu, karena bersuara lemah
(agak pelan, tidak berisik) lebih menyenangkan orang yang mendengar. Dan
sekeji-keji dan seburuk-buruk suara adalah meninggikannya atau mengeraskannya
melebihi kadar yang diperlukan. Demikian prilaku keledai, Allah menyerupakan
suara yang keras tanpa diperlukan dengan suara keledai.19
Sedangkan dalam Tafsir Jalalain menyatakan “dan sederhanakanlah ketika
engkau berjalan kaki”, maksudnya berjalanlah dengan cara yang sedang, antara
lambat dan cepat, dan engkau harus bersikap tenang dan sopan, “dan
lunakkanlah” yakni rendahkanlah suaramu. “Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai” awalnya Zafir (hembusan nafas) dan akhirnya syafiq (tarikan
nafas).20
Dari beberapa pendapat mufassir tentang QS. Luqman:19 sedikit berbeda
dengan pendapat Zaghlūl. Zaghlūl menafsirkan secara ilmiah, didalam ayat ini
Zaghlūl berpendapat bahwa suara yang nyaring dapat merusak lingkungan sekitar
dan dapat merusak indra pendengaran. Kebisingan yang kuat dapat
mengakibatkan gangguan yang nyata pada kinerja dan fungsi bermacam-macam
18 M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Jilid II, (Jakarta;
Lentera Hati,2002), hal. 139-140 19 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, (Semarang; Pustaka Rizki
Putra, 2000), hal. 3211 20 Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Jilid 3, (Surabaya; Fitrah
Mandiri).
7
sistem pada tubuh manusia, seperti meningkatnya produksi zat adrenalin yang
menyebabkan: menegangnya saraf tubuh; kesadaran tubuh yang melampaui batas,
serta menguatnya atensi tubuh di luar kemampuan yang meningkat karena
pembebanan dan sensitivitas tubuh dengan kelelahan yang melebihi batas.21
Suara
adalah salah satu hal yang terpenting dalam berkomunikasi, namun jika melebihi
kadarnya akan berakibat negatif.
Oleh karena itu, penulis akan membahas penafsiran Zaghlūl al-Najjār
terhadap QS. Luqman: 19 beserta penjelasan Ilmiahnya dalam bentuk skripsi
dengan judul “Penafsiran Zaghlūl Al-Najjār Terhadap Ayat 19 dari QS. Luqman
di Dalam Kitab Tafsīr al-Āyat al-Kauniyah Fī al-Qur‟ān al-Karīm”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, penulis
membatasi permasalahan yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk
memfokuskan bahasan supaya tidak jauh dari tema yang akan dibahas.
Dengan demikian penulis memfokuskan kepada QS. Luqman: 19 penafsiran
Zaghlūl Al-Najjār. Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas di dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran Zaghlūl Al-Najjār tentang QS. Luqman ayat 19?
2. Bagaimana analisis terhadap penafsiran ilmiah Zaghlūl tentang QS. Luqman
ayat 19?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian yang
diajukan adalah, untuk mengetahui bagaimana penafsiran Zaghlūl al-Najjār
tentang seburuk-buruk adalah suara keledai dalam QS. Luqman ayat 19. Dan
menganalisis penafsiran ilmiah Zaghlūl al-Najjār terhadap QS. Luqman ayat 19.
Manfaat dari penulisan penelitian ini adalah: dibidang sains, adalah untuk
dapat digunakan sebagai wahana menambah kajian mengenai penjelasan
21 Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, (Beirut: Dār al-Ma‟rifah,
2006) II, hal. 497.
8
ilmiah. Dalam bidang pendidikan, manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk
dijadikan sebagai salah satu sarana dan informasi bagi lembaga pendidikan
dan sebagai kontribusi dalam pengembangan suatu lembaga. Selain itu,
skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan di UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi, khususnya yang menitik beratkan pada analisis proses
ilmiah dan fenomena alam raya dalam pembuktikan secara ilmiah.
Sedangkan bagi penulis dan pembaca, manfaat penulisan skripsi ini
adalah agar dapat dijadikan sebagai bahan kajian yang terkait dengan bentuk
dan kandungan al-Qur‟ān. Sehingga dapat meningkatkan pemahaman, bahwa
dibalik alam semesta ada tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat dibuktikan
secara ilmiah.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh pencarian dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis,
baik dari buku maupun skripsi belum ada objek penelitian seperti yang akan
Penulis teliti. Ada beberapa judul skripsi yang membahas tentang fenomena
alam, yaitu:
Erik Widi Riyanto Makna Kata al-Bahrain dalam Al-Qur‟an dari Sudut
Ilmu Pengetahuan (Studi kemukjizatan lmiah al-Qur‟an) Skripsi Thesis:
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru 2011. Dalam penelitian tersebut bertolak pada suatu permasalah,
yaitu apa yang dimaksud dengan kata al-bahrain dari sudut ilmu
pengetahuan. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode tematik yang
bercorak tasir ilmi, yaitu sebuah pendekatan yang mengarah pada
perkembangan ilmu pengetahuan yang meyangkut I‟jaz Al-Qur‟an. Dari hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa kata al-Bahrain dalam al-Qur‟ān dari sudut
ilmu pengetahuan mempunyai dua makna yaitu: pertama, dua lautan, yang
tidak bercampurnya karena ada pemisahnya yang disebut Mixced Water Area.
9
Kedua, “air tawar (sungai) dan air asin (laut) yang tidak dapat bercampur karena
ada pemisahnya yang disebut Zona Pycnocline.22
Nury Qomariyah Maritta, Konsep Geologi Laut Dalam Al-Qur‟an Dan
Sains (Analisa Surat Al-Rahman [55]: 19-20, Surat An-Naml [27]: 61, dan surat
al-Furqān [25]:53. Skripsi, Jurusan Tasir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2010. Dalam penelitian tersebut bertolak seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang oseanografi dengan
ditemukannya peristiwa yang awalnya dianggap tabu. Adapun metode yang
digunakan adalah maudhu‟i, dan metode deskriptif-komparatif sebagai analisis.
Penulis berkesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut sebagai salah satu mukjizat
ilmiah al-Qur‟ān, dalam ilmu sains menyatakan karena gaya fisika yang
dinamakan “tegangan pemukaan”, air dari laut yang saling bersebelahan dan tidak
menyatu. Akibat adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan mencegah
lautan dari bercampur satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang
memisahkan. Pada dasarnya semua para ahli menyatakan adanya pengaruh
dari kadar sifat fisika yang berbeda dengan rasa air dan warna yang berbeda.23
Lutfi, Epistimologi Tafsir Sains Zaghlul al-Najjar, Tesis, Jurusan
Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013. Tesis ini menunjukkan bahwa
kontruksi epistimologi penafsiran Zaghul al-Najjar dibangun atas paradigma
tafsir tematik dan paradigma sains. Korelasi dua hal tersebut, menuntut
mufassir menguasai dua disiplin ilmu sekaligus, yaitu disiplin ilmu
pengetahuan yang akan ditelitinya dan disiplin penafsiran al-Qur‟ān.
Epistemologi tafsir sains lebih cendrung ke cara berfikir realistis yang berakibat
pada nalar objektif. Dengan demikian sumber penafsirannya akan mengacu
pada tiga hal yang saling terkait yaitu wahyu, akal dan realitas berbeda dengan
epistemologi tafsir bayani yang bercorak idealis sehingga berimplikasi pada
nalar subjektif. Nalar ini akan menyandarkan kebenaran penafsirannya pada
22
Erik Widi Riyanto, “Makna Kata al-Bahrain dalam Al-Qur‟an dari Sudut Ilmu Pengetahuan
(Studi kemukjizatan lmiah al-Qur‟an”, (Skripsi Thesis: Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, UIN
Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru, 2011). 23 Nury Qomariyah Maritta, “Konsep Geologi Laut Dalam Al-Qur‟an Dan Sains (Analisa Surat
Al-Rahman [55]: 19-20, Surat An-Naml [27]: 61, dan surat al-Furqān [25]:53”. (Skripsi; Jurusan Tasir
Hadits Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
10
kedekatan lafal dan makna, semakin dekat antara keduanya maka semakin
tinggi tingkat kebenaran tafsir.24
Berdasarkan beberapa literatur sebagaimana penulis paparkan di atas,
maka dapat dilihat perbedaan antara karya-karya terdahulu dengan skripsi yang
akan Penulis teliti. Yang membedakan skripsi ini dengan karya-karya lainnya
adalah obyek penelitian ini adalah seburuk-buruk suara adalah suara keledai yang
dikaitkan dengan ayat al-Qur‟ān. Selain itu, dalam skripsi ini Penulis
memfokuskan pembahasan terhadap penafsiran Zaghlul al-Najjar terhadap QS.
Luqman ayat 19 dalam kitab Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm, serta
menganalisis penafsirannya.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Sebagai bagian dari penelitian tafsir, penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan (Library research) yang bersifat kualitatif. Penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang mengacu kepada
norma, aturan, kaidah atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini
norma yang dimaksud adalah kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan para ulama terhadap tafsir ilmi. Dan penelitian ini menitik beratkan
kepada penelitian tokoh yaitu kitab Tafsīr Al-āyatul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm
oleh Zaghlūl al-Najjār.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, mengambil dari literatur kepustakaan yang
terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
menjadi rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data primer dalam
penelitian ini adalah kitab tafsir karya Zaghlul Al-Najjar yang berjudul Tafsir
Al-āyatul Kauniyah Fīl Qur‟ānil Karīm.25
24 Lutfi, “Epistimologi Tafsir Sains Zaghlul al-Najjar”, (Tesis; Jurusan Tafsir, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta , 2013. 25 Zaghlul an-Najjar, Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah Fil Qur‟ānil Karīm, (al-Qāhirah: Maktabah as-
Syarqiyyah ad-Dauliyyah, 2007).
11
Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang materinya, baik
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan masalah yang
diungkapkan. Sumber data sekunder atau pendukung adalah keterangan yang
diperoleh dari pihak ke dua, baik berupa tafsir, buku, majalah, laporan, jurnal, dan
sumber-sumber lain yang memiliki kesesuaian pembahasan dengan skripsi.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini bersifat studi dokumen. Jadi, penelitian ini brangkat dari
sebuah dokumen yang diselidiki dan dianalisis, baik dokumen yang dibuat
sendiri maupun orang lain.
4. Teknik Analisis
Setelah data-data terkumpul, baik data primer maupun sekunder, maka
penulis melakukan analisa data dengan metode analisis deskriptif. Analisis
deskriptif merupakan teknik penelitian untuk memberikan data secara
komprehensif. Metode ini berfungsi memberi penjelasan dan memaparkan
secara mendalam mengenai sebuah data.26
Berikut teknik yang dilakukan dalam
menganalisis data:
a. Penghimpunan data tentang pokok persoalan yang akan diteliti.
b. Data yang telah terkumpul kemudian ditelaah secara literal dan dipilah serta di
klasifikasikan berdasarkan isinya menjadi data primer dan data sekunder.
c. Data di deskripsikan untuk seterusnya dianalisis tanpa menutup adanya
kemungkinan proses analitik di dalamnya.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, menyeluruh, dan
terpadu, disusunlah sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang akan mengantarkan
pada bab-bab berikutnya. Dalam ini, diuraikan beberapa hal yang menjadi
kerangka dasar dalam penelitian yang akan dikembangkan pada bab-bab
26 Anton Bakker dan Ahmad Haris Zubair, Metologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), hal. 70
12
berikutnya, adapun urutan pembahasannya adalah, Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Sistematika Pembahasan.
Bab kedua, bab ini merupakan informasi tentang landasan teori dan
pandangan secara umum bagi objek penelitian. Dalam bab ini penulis akan
memaparkan teori tentang Tafsir Ilmi baik dalam pengertian, sejrah, dan
penolakan atau penerima tafsir ilmi.
Bab ketiga, bab ini merupakan paparan data-data hasil penelitian
secara lengkap atas objek tertentu yang menjadi fokus kajian bab berikutnya.
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan pembahasan mengenai biografi
Zaghlul al-Najjar, karya dan jabatan Zaghlul al-Najjar, deskripsi kitab Tafsir al-
Āyatul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm. Dan pandangan umum mufassir tentang
QS. Luqman ayat 19.
Bab keempat, bab ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan
mengenai analisis penulis mengenai data-data yang telah dipaparkan
berdasarkan teori (isi bab II) dan data-data yang diperoleh dari hasil penyelidikan
(isi bab III). Bab ini diuraikan tentang tafsiran Zaghlūl tentang QS. Luqman
ayat 19 dan analisis penulis terhadap penafsiran Zaghlūl al-Najjār terhadap
QS. Luqman ayat 19, yang disertai pembahasan beberapa pendapat ulama
tafsir lainnya.
Bab kelima, bab ini merupakan pembahasan akhir penulis yang akan
memberikan beberapa kesimpulan terkait hasil penelitian penulis yang sudah
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dan juga menyantumkan kritik dan saran
agar hasil buah tangan penulis dapat disempurnakan oleh pembaca.
13
BAB II
TAFSIR ILMI
A. Kedudukan Al-Qur’ān di Tengah-Tengah Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Sejak empat belas abad silam dan berlaku sampai akhir zaman nanti al-
Qur‟ān akan selalu menjadi mukjizat terbesar sepanjang masa yang telah
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mukjizatnya itu tidak hanya terletak
pada segi bahasa atau sastranya saja melainkan juga pada segi filsafat, hukum
islam, sejarah, ilmu pengetahuan yang mana itu semua lebih menekankan pada
akal pikiran manusia untuk dapat memahaminya. Oleh karnanya al-Qur‟ān disebut
juga sebagai mukjizat „aqliyah berbeda dengan mukjizat yang di berikan kepada
Allah kepada Nabi-Nabi sebelumnya. Mukjizat yang diberikan kepada Nabi-Nabi
sebelumnya dapat di saksikan dengan nyata dan berlaku ketika para Nabi yang
bersangkutan masih hidup. Mukjizat ini disebut mukjizat hissiyah, yaitu yang
dapat disaksikan secara langsung tanpa menggunakan akal pikiran.27
Pada zaman modern ini dunia ilmu pengetahuan semangkin maju dan
pesat. Bahkan dengan adanya penemuan-penemuan ilmiah sangat membantu
mufassir dalam memahami dan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān mengenai
penciptaan alam raya dan kejadian ilmiah lainnya yang ada dalam al-Qur‟ān, yang
mana awalnya masih samar-samar sekarang menjadi jelas.
Dalam peradaban islam yang telah mencapai tingkat kemajuan yang
tinggi, al-Qur‟ān tetap paling depan dan slalu di prioritaskan karena dapat
memberikan jawaban sejak abad yang lalu dengan tepat dan akurat, semua itu
terjadi sebelum manusia menemukan fakta-fakta yang membuktikan al-Qur‟ān.
Hal demikian karena al-Qur‟ān merupakan wahyu yang datangnya dari Allah
Sang Pencipta sehingga terjalin hubungan yang dekat antara al-Qur‟ān dan sains,
bukannya terjadi perselisihan diantara keduanya.28
Kemukjizatan ilmiah al-Qur‟ān itu bukan terletak di pencakupannya
terhadap munculnya teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah serta
27 Djamaluddin Dimjati, “Menyingkap Kebenaran al-Qur‟an” (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 10 28 Ibid., “Menyingkap Kebenaran al-Qur‟an”... hal 11
14
merupakan hasil dari usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi
kemukjizatan al-Qur‟ān itu terletak pada semangatnya untuk berfikir dan
menggunakan akal. Al-Qur‟ān membangkitkan pada diri setiap muslim kesadaran
ilmiah untuk memikirkan, memahami, dan menggunakan akal.29
Pada wahyu yang pertama tersirat dengan jelas bahwa dikemudian hari
akan terjadinya perkembangan dan kemajuan dunia ilmu pengetahuan , dan hal
demikian ternyata benar terjadi, sebagaimana yang tercantum dalam surat al-„alaq
ayat 1-5:
ب ذي عل
ةم ال
كا وربك ال
اقةأ ق
سان من عل
انق ال
ق خل
ذي خل
ك ال
باس رب سان اقةأ
ان ال
عل
قولاه
ل يعل
ما ه
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.”30
Dalam ayat diatas dikemukakan peranan penting dari qalam (pena), tulis
menulis untuk proses selanjutnya dibidang pengembangan ilmu pengetahuan yang
sebelumnya belum diketahui sama diri sendiri. Ini salah satu isyarat al-Qur‟ān
yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan manusia itu dari waktu ke waktu akan
terjadi kemajuan dan perkembangan seperti yang terjadi pada sekarang ini.31
Konsep Ilmu dalam Islam
Islam lahir kedunia pada awal abad ke-7 M, yaitu tahun pertamanya
Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah. Pada tahun 622 M Islam menyebar
keseluruh Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol pada akhir abad itu juga.
Dikawasan bumi kelahiran banyak peradaban tua inilah Islam bersentuhan dengan
sejumlah sains yang digunakannya, selama sains ini masih bersesuaian dengan
29 Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Litera Antar Nusantara, 1994), hal.
386. 30
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 597. 31 Ibid., “Menyingkap Kebenaran al-Qur‟an”.., hal. 12.
15
semangat Islam dan dapat memberi penyubur bagi kehidupan kebudayaan yang
bercorak Islam.32
Islam menganjurkan mencari ilmu yang dapat mengangkat posisi manusia
di akhirat, yang dapat menuntun dan mengantarkan pada pengetahuan tentang
dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan-utusan Allah, pemimpin-pemimpin
Islam, sifat-sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang dapat mendekatkan kepada
Allah.33
Selain itu mencari ilmu tidak hanya sebatas yang berkaitan dengan
hukum-hukum Islam (ilmu fiqh), isi kandungan al-Qur‟ān (Ilmu Tafsir), sunah-
sunah nabi (Ilmu Hadits), ketuhanan dan keimanan (Ilmu Tauhid), tetapi juga
mencangkup seluruh ilmu pengatahuan lain yang disebut ilmu sains. Di dalam
Islam antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum tidak ada pembagian.
Adanya pembagian atau pemisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum
pada dasarnya dilakukan oleh para sarjana Barat yang mayoritas beragama Kristen
atau Yahudi sesuai dengan kitab perjanjian lama dan baru.
Ilmu (sciences) merupakan jantung serta ciri khas kebudayaan dan
peradaban Islam yang telah mengarahkan jalan kepada umat Islam dari masa
silam kepuncak peradabannya. Peradaban Islam telah mencapai kemajuan.
Kemajuan ini berjaya sewaktu Eropa masih berada dalam zaman kegelapan. Para
ilmuan muslim telah memberi kontribusi yang penting dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuan. Selain itu ilmuan muslim telah berhasil melakukan sintesis dan
integrasi ilmu pengetahuan sesuai dengan pandangan dunia Islam yang
berlandaskan pada al-Qur‟ān. Namun kejayaan umat Islam mengalami kemuduran
disebabkan beberapa faktor. Akan tetapai faktor yang paling membawa petaka
terhadap kehancuran adalah penyerangan atas Baghdad yang pada waktu itu
merupakan pusat ilmu pengetahuan umat Islam, oleh tentara Mongol yang
dipimpin oleh Halagu Khan pada tahun 1258 M. Akibat dari penyerangan itu
perpustakaan muslim paling orisinal atau asli. Selain itu mengakibatkan
32 Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hal. 10 33 Mahdi Ghulsyani, Filsafat, Sains Menurut Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 44.
16
kepemimpinan intelektual muslim mulai melemah dan peradabannya mengalami
kemunduran.34
Melemahnya peradaban Islam merupakan kesempatan yang bagus bagi
Eropa. Mereka mulai bersungguh-sungguh dalam pendidikan dan aktifitas
keilmiahan. Oleh karnanya peradaban Barat mengalami kejayaan yang sangat
pesat di bidang intelektual dan material, serta mengambil kursi intelektual dunia
muslim setelah revolusi industri pada abad ke-8. Akan tetapi ilmu yang diadopsi
dari umat islam itu mengalami konflik dengan keilmuan gereja yang di adopsi dari
Yunani menyebabkan terjadinya sekularisasi (hidup tanpa adanya ajaran agama)
dalam ilmu pengetahuan Eropa. Tidak tanggung-tanggung bangsa Barat
melakukan penaklukan dari menjajah.
Mengingat kitab tafsir adalah karya manusia yang bersifat relatif, berbagai
faktor yang dapat menimbulkan keragaman corak, diantaranya: perbedaan
kecenderungan, interest dan motivasi mufassir, perbedaan misi, perbedaan masa
dan lingkungan, perbedaan kedalaman dan kedalaman ilmu yang dikuasai,
perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan sebagainya. Semua itu
menimbulkan munculnya berbagai macam corak penafsiran. Seperti: corak Tafsir
Falsafi, Tafsir Ilmi, Tafsir Tarbawi, Tafsir Akhlaqi, dan Tafsir Fiqhi.35
B. Pengertian Tafsir Ilmi
Pada dasarnya al-Qur‟ān adalah kitab suci yang menetapkan masalah
akidah dan hidayah, hukum syari‟at dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, di
dalamnya di dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat
(kenyataan) ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk
mempelajari, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum
muslimin telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur‟ān
dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu
pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur‟ān, dan di kemudian hari usaha ini semakin
34 Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al-Qur‟an Melacak Kerangka Dasar
Integrasi Ilmu dan Agama, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hal. 29. 35 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) , hal. 395.
17
meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak
faedahnya.36
Ungkapan tafsir ayat-ayat ilmiah atau sains diistilahkan ke dalam
bahasa Arab dengan tafsir Ilmi. Sebuah ungkapan dalam tafsir al-Qur‟ān
yang mengkhususkan objek kajiannya pada ayat-ayat ilmu pengetahuan, baik
yang terkait dengan ilmu alam (sains) atau ilmu sosial.37
Secara etimologi, kata tafsir bisa berarti: al-iḍah wal bayān yang berarti
(penjelasan), al-kasyaf (pengungkapan), dan kasyful Muradi „anil-Lafẓil Musykil
(menjabarkan kata yang samar). Adapun secara terminologi, tafsir adalah
penjelasan terhadap Kalāmullāh atau menjadikan lafadz-lafadz al-Qur‟ān dalam
pemahamannya.38
Kata tafsir terdapat dalam al-Qur‟ān yang disebutkan dalam Surah al-
Furqan: 33 yang bermakna: penjelasan atau perincian. Kata tafsir di dalam al-
Qur‟ān ini disandingkan dengan kata al-haq yang berarti kebenaran eksak
dan absolut. Menurut konteks ayat tersebut, kata tafsir merupakan penjelasan
atau konfirmasi terhadap segala sesuatu yang ganjil lagi aneh yang disodorkan
oleh orang ingkar kepada Muhammad sebagai pembawa al-Qur‟ān.
Sedangkan kata al-„Ilm dan berbagai turunannya, kerap kali digunakan
dalam al-Qur‟ān yang secara umum memiliki arti pengetahuan (knowledge),
termasuk arti makna sains-sains alam dan kemanusiaan (science of nature and
humanity). Juga mencakup pengetahuan yang di wahyukan (reveled) maupun
yang diperoleh (acquired). Dengan demikian, dari pandangan al-Qur‟ān,
terminologi ilmu adalah tidak terbatas pada istilah-istilah ilmu agama saja,
tetapi segala macam bentuk ilmu baik ilmu alam, ilmu sosial, humaniora, dan
ilmu lainnya yang dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia.39
Sehingga makna etimologis tafsir ilmi ialah penjelasan atau perincian-perincian
36 Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur‟an (Semarang: Lubuk Raya, 2001), hal.
253. 37 Ahmad Asy-Syirbashi, (Terj. Pustaka Fidaus), Sejarah Tafsir Qur‟an, (Jakarta: Pustaka
Firdaus,1985), hal. 127. 38 Mokh. Sya‟roni, Metode Kontemporer Tafsir al-Qur‟an, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012),
hal. 21. 39 Andi Rosadisastra, “Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial”, (Jakarta: Amzah, 2007) , hal.
46-47.
18
tentang ayat-ayat al-Qur‟ān yang terkait dengan ilmu pengetahuan, terkhusus
mengenai ayat-ayat alam semesta.
Tafsir ilmi dalam terminologi J.J.G Jansen seorang orientalis asal Laiden,
tafsir ilmi juga disebut sebagai sejarah alam (natural history) secara sederhana
dapat di definisikan sebagai usaha dalam memahami al-Qur‟ān dengan
menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat al-
Qur‟ān disini lebih di orientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan
fenomena alam atau yang biasa dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah. Jadi, yang
dimaksud dengan tafsir ilmi ialah suatu ijtihad atau kerja keras seorang mufassir
dalam menghubungkan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur‟ān dengan penemuan-
penemuan sains modern yang bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-
Qur‟ān dan kekuasaan Allah.40
Beberapa pendapat mengenai tafsir ilmi sebagai berikut: Menurut Al-
Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang dibutuhkan dalam memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan menjelaskan makna-maknanya,
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya dan itu semua merujuk
kepada ilmu bahasa, nahwu dan shorof, ilmu bayan, ushul fiqh, dan qira‟at.
Seorang ahli tafsir juga membutuhkan pengetahuan terhadap asbabunnuzul,
nasikh dan mansukh.41
Menurut Fahd al-Rumi "tafsir ilmi" yaitu: Ijtihad seorang mufassir
dalam menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah al-Qur‟ān dengan
penemuan ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan
kemukjizatan al-Qur‟ān sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap
waktu dan tempat.42
Menurut Muhammad Husayn al-Dzahabbi tafsir ilmi ialah penafsiran al-
Qur‟ān yang pembahasannya lebih menggunakan pendekatan istilah-istilah ilmiah
dalam mengungkapkan al-Qur‟ān dan seberapa dapat berusaha melahirkan
40 Mochammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmi; Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains
Modern, (Yogyakartra: Menara Kudus Jogja, 2004), hal. 127. 41 Muhammad ibn „abd Allah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur‟an, juz 1 (Bairut: Dar al-
Ma‟rifah, 1391 H), hal. 13. 42 Udi Yuliarto, “Al-Tafsir Al-„Ilmi Antara Pengakuan dan Penolakan”, Jurnal Khatulistiwa. Vol.1,
No.1 (2011), hal. 36.
19
berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran
filsafat.43
Dari beberapa perbedaan pendapat dari para mufassir dapat disimpulkan
bahwa pengertian tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang
dikorelasikan dengan ilmu-ilmu pengetahuan atau dapat dibuktikan dengan
bereksperimen guna membuktikan kemukjizatan al-Qur‟ān.
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula
pada masa dinasti Abbasyiah, khususnya pada masa pemerintahan khalifah
al-Ma‟mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun,
kemungkinan tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah al-Ghazali
(w. 1059-1111 M) yang secara panjang lebar dalam kitabnya Ihya „Ulumud
Din dan Jawahirul Qur‟an. Sehingga al-Ghazali dianggap sebagai perintis tafsir
ilmi. Selanjutnya Fakhruddin ar-Razi sebagai pelopor aliran corak tafsir ilmi
karena sering menggunakan pengetahuan ilmiah pada zamannya dalam karya
tafsirnya Mafatihul Ghaib.44
C. Sejarah Perkembangan Tafsir Ilmi
Perkembangan kehidupan manusia mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan akal pikirannya dan ini juga berpengaruh dalam pengertian ayat-
ayat al-Qur‟ān. Pada abad pertama Islam para ulama sangat berhati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān, bahkan diantara mereka tidak memberikan
jawaban apapun atas pertanyaan mengenai pengertian satu ayat. Pada abad-
abad berikutnya, berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat al-
Qur‟ān selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti pengetahuan bahasa
yang cukup dan lain sebagainya.45
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma‟mun
(w.853 M), pada masa pemerintahan al-Ma‟mun ini muncul gerakan
43 Muhammad Amin Suma, “Ulumul Qur‟an”, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hal. 396. 44 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hal.101. 45 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung,Penerbit Mizan, 1999), hal. 46
20
penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama
dan science serta klasifikasi, pembagian dan bab-bab dan sistematikanya.46
Terlebih lagi pada masa Khalifah al-Ma‟mun dengan adanya kegiatan
penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya para ilmuan dan filosof Yunani
kedalam bahasa Arab. Maka, sejak itulah umat Islam mulai banyak bersentuhan
dengan teori-teori ilmiah para ilmuan dan filosof Yunani. Mereka mulai
melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟ān dengan pendekatan teori-teori ilmiah
dan pemikiran-pemikiran filsafat sehingga tafsiran mereka lebih terkesan banyak
berbicara mengenai ilmu dan filsafat dari pada tafsir itu sendiri.
Penafsiran ilmiah ini menjadi marak dan mengalami puncaknya pada akhir
abad ke-19 M sampai sekarang. Akan tetapi, hal yang kurang menggembirakan
tentunya adalah dari faktor penyebab maraknya penafsiran ilmiah pada saat itu,
yaitu adanya inferiority complex (rasa kurang percaya diri) sebagai umat Islam
ketika berhadapan dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai Barat dan di saat
umat Islam sendiri mengalami kemunduran. Sehingga, setiap kali ada teori-teori
atau penemuan-penemuan baru didunia keilmu pengetahuan, mereka mengatakan
bahwa al-Qur‟ān pun telah berbicara mengenai hal tersebut. Mereka kemudian
berusaha mencari ayat-ayat al-Qur‟ān yang sesuai dengan penemuan-penemuan
ilmiah tersebut.47
Al-Qur‟ān menurut pandangan para pendukung corak penafsiran ilmiah
mengandung seluruh ilmu pengetahuan baik yang sudah ada maupun yang belum
dan akan ada. Al-Qur‟ān menurut mereka disamping mencakup urusan aqidah,
ibadah, norma-norma perilaku dan akhlak, tasyri‟ (hukum) muamalah juga
mengandung ilmu-ilmu keduniaan (ilmu-ilmu pengetahuan).
Orang yang pertama kali mendorong dan mempunyai andil besar dalam
meletakkan dasar-dasar yang memunculkan model penafsiran ilmiah al-Qur‟ān ini
adalah al-Imam al-Ghazali (w. 505 H/ 1109 M). Didalam kitabnya Ihya „Ulum al-
Din al-Ghazali telah mengutip pendapat Ibnu Mas‟ud yang mengatakan, “barang
46
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung,Penerbit Mizan, 1999), hal. 154. 47 Ibid., Membumikan al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyaraka... hal.
52-53.
21
siapa yang menghendaki ilmunya orang-orang dulu dan nanti hendaknya
mendalami al-Qur‟ān.”48
Bahkan di dalam kitab Jawahir al-Qur‟an ia
menerangkan pada bab tersendiri bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan baik
yang terdahulu maupun yang kemudian, yang telah diketahui ataupun belum,
semua bersumber dari al-Qur‟ān.49
Alasan penting lainnya yang mendorong mereka untuk menafsirkan al-
Qur‟ān dengan corak ilmiah ini adalah bahwa perintah untuk menggali
pengetahuan berkenaan dengan tanda-tanda (ayat-ayat) Allah pada alam semesta
ini memang banyak ditemui di dalam al-Qur‟ān. Tanda-tanda kebesaran Allah ada
yang berupa ayat-ayat Qur‟aniyah ada yang berupa ayat-ayat kauniyyah.50
Jika
upaya al-Ghazali ini kita anggap sebagai langkah pertama bagi kemunculan
penafsiran ilmiah, tidak diragukan lagi al-Ghazali sendiri belum berhasil
merealisasikan metode tersebut, setelah satu abad berlalu barulah Fakhrurrazi
didalam Mafatih al-Ghaibnya berhasil merealisasikan metode penafsiran yang
penah menjadi percikan pemikiran al-Ghazali itu.
Pasca masa Fakhrurrazi, terdensi penafsiran ilmiah ini diteruskan dan
menghasilkan buku-buku tafsir yang sedikit banyak terpengaruh oleh teori
penafsiran Fakhrurrazi dalam ruang lingkup yang terbatas. Diantaranya adalah:
Ghara‟ib Al-Qur‟ān wa Ragha‟ib al-Furqan karya An-Nasyaburi (W. 728 H),
Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta‟wil karya Al-Baidhawi (W. 791 H), dan Ruh al-
Ma‟ani fa Tafsir Al-Qur‟ān al-Adzim wa sab‟al-Matsani karya Al-Alusi (W. 1217
H).51
Melalui buku-buku tafsir itu, para pengarangnya telah melakukan
penafsiran saintis atas ayat-ayat al-Qur‟ān. Selain mereka, terdapat beberapa
mufassir lagi, seperti Ibn Abul fadhl al-Marasi (W.655 H), Badruddin az-Zarkasyi
(W.784 H), dan Jalaluddin as-Suyuthi (W. 911 H). Yang termasuk kedalam
golongan mufassir yang memiliki tendensi penafsiran saintis. Meskipun demikian,
48 Muhammad Husayn Al-Dzahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassir un, Cet. VI (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1995), hal. 511. 49 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., hal.101. 50 Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains al-Qur‟an, terj. Muhammad Arifin, Cet. I (Solo: Tiga
Serangkai, 2004), hal. 23 51 Rubini, “Tafsir Ilmi”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Volume 5, Nomor 2, Desember
2016, hal. 96
22
sebenarnya para mufassir ini tidak dapat dimasukkan kedalam kategori mufassirin
yang memiliki aliran saintis dalam menafsirkan al-Qur‟ān, karena mereka hanya
mengklaim bahwa al-Qur‟ān memuat semua jenis dan disiplin ilmu pengetahuan,
dan hanya klaim ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka memiliki tendensi
penafsiran saintis. Sebelum merekapun, sebagian sahabat telah memiliki klaim
yang serupa dan hingga kini tak seorangpun yang berani memasukkan para
pengarang tersebut ke dalam kategori mufassirin yang memiliki tendensi
penafsiran saintis.
Pasca periode tafsir Ruh al-Ma‟an pada permulaan abad ke-4 Hijriah,
metode penafsiran saintis mengalami kemajuan yang pesat. Tercatat, para
mufassir seperti: Muhammad bin ahmad al-Iskandarani (W. 1306 H), dalam
Kasyf al-Asrar an-Nuraniyah al-Qur‟aniyah-nya, Al-Kawakibi (W. 1320 H),
dalam Thaba‟i al-Istibdad wa Mashari al-Isti‟bad-nya, Muhammad Abduh
(W.1325 H) dalam Tafsir Juz‟Amma-nya, dan Ath-Thanthawi (W.1358 H) dalam
Jawahir al-Qur‟ān-nya, masing-masing menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟ān secara
saintis. Contoh penafsiran saintis al-Qur‟ān yang paling tampak jelas adalah buku
tafsir al-Iskandarani dan ath-Thantawi dimana dengan sedikit perbedaan, mereka
telah berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟ān melalui ilmu pengetahuan
empiris (tajribi) dan penemuan-penemuan manusia.
Pemikiran penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang lebih
pesat sampai sekarang ini, sehingga memberi dorongan yang cukup besar bagi
para ilmuan untuk menulis buku tafsir yang didasarkan atas pemikiran ilmiah
secara tematik.52
Menurut Dr. Abdul Mustaqim munculnya tafsir ilmi ini karena dua faktor
yaitu : Pertama, faktor internal yang terdapat dalam teks al-Qur‟ān , dimana
sebagian ayat-ayatnya sangat menganjurkan manusia untuk selalu melakukan
penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniyah atau ayat-ayat kosmoslogi
yang terdapat pada QS. al-Ghasyiah: 17-20 yang berbunyi:
52 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989),
hal. 136-140
23
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”53
Ayat 17-20 perintah Allah kepada manusia untuk bertafakur tentang alam
semesta baik secara material maupun secara spiritual. Bukankan Allah SWT
menciptakan semua kejadian itu tidak sia-sia, melainkan ada rahasia yang ada di
baliknya sebagai bukti atas kekuasaan Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu
dan sebagai dalil rububiah ilahiyah Allah azza wajalla.
Tak dapat diragukan lagi, bahwa kebangkitan kembali ilmu pengetahuan
yang timbul di dunia barat adalah berkat pengamatan yang cermat serta
eksperimen terhadap gejala-gejala yang terdapat pada alam semesta. Sekalipun
kita tidak dapat mengakui orientasi mutlak dari hukum-hukum demikian itu,
namun kita membenarkan bahwa hukum-hukum tersebut memberikan otentisitas
dan ketetapan maksimum yang mungkin diperoleh. Hukum-hukum ini secara
berangsur-angsur bergerak menuju kesempurnaan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Kedua, faktor eksternal yakni adanya perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu
pengetahuan, para ilmuan muslim berusaha untuk melakukan kompromi antara al-
Qur‟ān dan sains dan mencari Justifikasi teologis terhadap sebuah teori ilmiah.
Mereka juga ingin membuktikan kebenaran al-Qur‟ān secara ilmiah-empiris, tidak
hanya secara teologis-normatif.54
53
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 592. 54 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur‟an dan Tafsir,
hal. 5-6
24
D. Sistematika Metode Tafsir Ilmi
Sistematika metode tafsir ayat-ayat sains pada teks al-Qur‟ān (al-
Manhaj fit tafsiril „Ilmi) sebagai berikut: pertama, konsepsi metode tafsir
Ilmi, kedua, metode-metode tafsir Ilmi, dan ketiga, prinsip-prinsip analisis
tafsir Ilmi. Adapun hubungan ketiga begian dari sistematika metode tafsir Ilmi
ini adalah: pertama: konsepsi dan prinsip: konsepsi adalah syarat, sedang
prinsip merupakan rukunnya. Kedua, konsepsi dan metode: konsepsi
merupakan teori dan kriteria, sedang metode adalah praktik dari teori dan
kriteria tersebut. Ketiga, prinsip dan metode, prinsip adalah rambu-rambu,
sedang metode merupakan jalur yang tidak boleh menyalahi dari rambu-rambu
yang telah ditetapkan.55
Adapun konsepsi metode tafsir Ilmi yang perlu diperhatikan di dalam
tafsir (al-Manhaj fit tafsiril „Ilmi) untuk mengungkap penjelasan, perincian,
kemukjizatan, atau isyarat penemuan ilmiah tentang segala macam bentuk ilmu
pengetahuan terkait dengan ilmu pengetahuan dan maslahat untuk kehidupan umat
manusia dengan tetap berpegang dengan mengacu kepada nilai-nilai kebenaran
eksak dan absolut al-Qur‟ān sebagai teks universal. Untuk mengaplikasikan
metode tafsir Ilmi atau ayat-ayat sains, mufasir dituntut untuk berpegang
pada dua paradigma sekaligus yaitu paradigma tafsir al-Qur‟ān (dalam ilmu ini
tafsir al-Qur‟ān), dan paradigma ilmu pengetahuan.
Paradigma Tafsir al-Qur‟ān (Paradigm of Qur‟anic Exegesis) Untuk
melakukan penafsiran ayat-ayat sains, bagi setiap mufassir dituntut berpegang
pada adab dalam menafsirkan al-Qur‟ān seperti: Memiliki niat dan perilaku yang
baik, berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, bersikap Independen,
mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara sistematis,
baik dan benar. Selain itu, mufassir juga dituntut memenuhi kualifikasi
persyaratan dalam menafsirkan al-Qur‟ān, seperti halnya: meyakini kebenaran
teks al-Qur‟ān, mendahulukan penafsiran tafsir bil ma‟tsur dan seterusnya,
memiliki kapabilitas ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir yang memadai.
55 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, (Jakarta: Amzah, 2007), hal.
46.
25
Sedangkan Paradigma Ilmu Pengetahuan (Paradigm of Scientific
Knowledge), seorang mufassir yang hendak melakukan penafsiran ilmu
pengetahuan melalui teks al-Qur‟ān terlebih dahulu harus mengetahui
pengetahuan yang didasarkan pada tiga komponen pokok hakikat ilmu
pengetahuan, yakni: Pertama, ontology ilmu pengetahuan adalah dasar untuk
mempelajari objek-objek empiris yang bertujuan untuk memeras hakekat
objek empiris tertentu, untuk mendapatkan sari yang berupa pengetahuan
mengenai objek itu.56
Kedua, epistemologi ilmu pengetahuan atau teori ilmu
pengetahuan, secara garis besar terbagi atas: teori mengenai metode atau dasar-
dasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan.57
Ketiga, aksiologi ilmu
pengetahuan adalah nilai ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, netralitas
seorang ilmuwan dalam sudut pandang aksiologis terletak pada dasar
epistemologinya saja: jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih tanpa
berpihak kepada siapapun selain kepada kebenaran yang nyata.58
Ketiga
komponen tersebut merupakan kategori dari hakikat ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, dalam metode-metode analisis tafsir ilmi diperlukan beberapa
metode atau aturan-aturan yang menjadi dasar bagi penafsiran ilmiah al-Qur‟ān.
Sehingga, dalam proses penafsiran yang bercorak tersebut tidak mengalami
kesalahan yang signifikan, sebagaimana yang terjadi pada Bangsa Eropa
terhadap penafsiran kitab sucinya yang ternyata bertentangan dengan
penemuan ilmiah.
Pertama, Kaidah kebahasaan. Kaidah kebahasaan ini merupakan syarat
mutlak untuk memahami al-Qur‟ān. Oleh karena al-Qur‟ān di wahyukan
dengan menggunakan bahasa Arab, maka secara inheren seorang mufasir
harus memahami ilmu bahasa al-Qur‟ān, baik yang terkait dengan ilmu
I‟rab, nahwu, tashrif, ilmu etimologi, dan tiga cabang ilmu balaghah yang
terdiri dari ilmu bayan, ma‟ani, dan ilmu badi‟. Sehubungan dengan tafsir
ilmiah ini, hendaknya seorang mufasir tidak menyalahi atau menyimpang
56 Ibid., Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial...hal. 97. 57 Ibid., Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial...hal. 99. 58 Ibid., Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial...hal. 111.
26
dari kaidah-kaidah kebahasaan dan ilmu pengetahuan yang sudah jelas
ditetapkan dalam kitab-kitab tafsir dan kamus-kamus bahasa.
Di samping itu, perlunya untuk memperhatikan dan mempertimbangkan
tentang perkembangan arti dari suatu kata sesuai dengan pandangan
perkembangan masyarakat. Kaidah kebahasaan ini menjadi penting, karena ada
sebagian orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat al-Qur‟ān
terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan ini. Oleh
karena itu, kaidah kebahasaan ini tetap menjadi prioritas utama ketika seseorang
hendak menafsirkan al-Qur‟ān dengan cara dan pendekatan apapun yang
digunakannya.59
Kedua, Memperhatikan korelasi ayat (Munasabah Ayat) Dalam kaidah
tafsir ilmi, di samping harus memperhatikan kaidah kebahasaan, ia juga dituntut
untuk memperhatikan korelasi ayat, baik sebelum maupun sesudahnya. Mufassir
yang tidak mengindahkan aspek ini tidak menutup kemungkinan akan tersesat
dalam memberikan pemaknaan terhadap al-Qur‟ān. Sebab, penyusunan ayat-
ayat al-Qur‟ān tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, melainkan
didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat
terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat sesudahnya.60
Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan. al-Qur‟ān
memiliki kebenaran mutlak, maka ia tidak dapat disejajarkan dengan teori-
teori ilmu pengetahuan yang bersifat relative. Ciri khas dari ilmu
pengetahuan sendiri adalah tidak pernah mengenal kata kekal. Artinya, apa
yang dianggap salah pada masa silam dapat dibuktikan dengan kebenarannya pada
masa datang. Demikian juga sebaliknya, yang dianggap benar pada masa
silam dapat disalahkan untuk masa yang akan datang. Sehingga, tidak
mengherankan jika kemudian banyak ulama yang mengecam dan menolak
paradigma ilmiah dalam penafsiran al-Qur‟ān. Sebab teori-teori ilmiah
sekalipun dianggap suatu kebenaran, pada hakikatnya adalah relative dan
59 Mochammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy; Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains
Modern, (Yogyakartra: Menara Kudus Jogja, 2004), hal. 161. 60 Ibid., Tafsir „Ilmiy; Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern...hal. 163.
27
nisbi. Tentang relativitas kebenaran ilmiah itu sebagaimana diungkapkan oleh
Quraish Shihab sebagai berikut:
“Dari sinilah jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan
menilik, bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek
dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seseorang ilmuwan
yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan atau pun tidak mengetahui.
Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai
suatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan suatu
hal yang relative dan mengandung arti yang sangat terbatas. Kalau
demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya,
maka dapatkah kita menguatkan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut,
abadi, dan pasti benar. Relakah kita mengubah arti ayat-ayat al-Qur‟ān
sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan
itu?”
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab dalam karyanya yang sama
juga tidak diperbolehkan menggunakan teori ilmiah yang belum mapan
sebagai penafsiran atas ayat-ayat al-Qur‟ān. Mengenai hal ini, Beliau menulis
sebagai berkut:
“Pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-
ayat al-Qur‟ān, harus dibatasi. karena hal ini akan mengakibatkan
bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh
bangsa Eropa terhadap penafsiran kitab Suci yang kemudian terbukti
bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah sejati”
Oleh Karena itu, seorang mufassir hendaknya tidak memberikan
pemaknaan terhadap teks-teks al-Qur‟ān kecuali dengan hakikat-hakikat atau
kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai pada standar tidak
ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah.61
Keempat, Pendekatan Tematik (Manhaj Mauḍu‟i) Corak tafsir ilmi ini
pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili. Konsekuensinya adalah
kajian tafsir ilmi ini pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu
memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu. Akibatnya,
pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan mampu memberikan pemahaman
yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru sebaliknya. Oleh
61 Ibid., Tafsir „Ilmiy; Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern...hal. 169.
28
Karena itu, paradigma tafsir ilmiah ini harus menjadi bagian dan dalam
pembahasannya harus menggunakan metode tafsir tematik. Yang
pembahasannya sama dengan kaidah-kaidah pembahasan tafsir tematik.62
Adapun langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menyusun satu
karya berdasarkan metode tersebut:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas
2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah
tersebut.
3. Menyusun ayat sesuai dengan masa turunnya, atau perincian masalahnya,
dengan memisahkan antara periode Mekkah dan Madinah.
4. Memahami korelasi ayat-ayat dalam surah-surahnya.
5. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang menyangkut masalah
yang dibahas.
6. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.
7. Mempelajari semua ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau
mengkompromikan antara „am (umum) dan Khas (khusus), mutlaq dan
muqayyad atau yang kelihatannya bertentangan sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam
penafsiran.
8. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-
Qur‟an terhadap masalah yang dibahas.63
Setelah dijelaskan sebelumnya, konsepsi dan metode tafsir ilmi atau
ayat-ayat sains, selanjutnya perlu adanya batasan-batasan atau rambu-rambu yang
kemudian disebut juga dengan prinsip-prinsip tafsir Ilmi. Karena menganalisis
teks wahyu tentu saja akan berbeda dengan teks lainnya. wahyu dipandang
sebagai teks yang syarat dengan makna dan penafsirannya dipandang relevan
dengan sesuai dengan segala kondisi, baik objek, zaman, atau tempat di mana
mufassir itu berada.
62 Ibid., Tafsir „Ilmiy; Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern...hal. 171. 63 Abd Al-Hayy Al-Farmawi, (Terj. Suryan A. Jamrah), Metode Tafsir Maudhu‟i, (Jakarta:PT
Raja Grafindo, 1996), hal. 46.
29
Adapun beberapa prinsip dimaksud yang harus diterapkan oleh para
aktivis tafsir ilmi dalam melakukan analisis terhadap ayat al-Qur‟ān adalah
sebagai berikut:
1. Prinsip keesaan Allah dalam alam: menyadari bahwa Tuhan tak terbatas dalam
segala hal dan ia melingkupi semua realitas alam. Sehingga, alam adalah
sebuah keteraturan, kesatuan, dan koordinasi yang padu dan sistematis.64
2. Keyakinan terhadap dunia eksternal: memahami adanya realitas-realitas
lain yang berbeda dan tak bergantung dari pikiran kita.
3. Keyakinan terhadap realitas sufrafisik dan keterbatasan pengetahuan
manusia.
4. Memahami filsafat ilmu terkait atas pembahasan yang sedang diteliti.
5. Isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat pada ayat al-Qur‟ān tidak termasuk
untuk ayat yang berbicara secara langsung tentang akidah/teologi.
6. Ayat-ayat ilmu pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur‟ān bertujuan
supaya umat manusia dapat mempercayai adanya Allah dan hendaknya
para mufassir menentukan tema-tema tertentu yang dihubungkan dengan
fenomena atau tema lain yang masih bersifat kauniyyah. Sehingga
diperoleh pembahasan yang komprehensif, sesuai dengan bidang yang
terkait.
7. Isyarat ilmiah dalam al-Qur‟ān bersifat umum dan universal.
8. Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori
ilmiah, maka teori ini harus ditolak, Karena nash adalah wahyu dari Tuhan
yang ilmunya mencakup segala sesuatu.
9. Mufassir tafsir ilmi tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakannya
sebagai ajaran Aqidah Quraniyah (teologi) dan tidak bertentangan dengan
prinsip atau ketentuan kaidah kebahasaan.
10. Mengaktifkan rasio dan kemampuan dibidang spesialisasi ilmu yang
dimilikinya atau yang akan ditafsirkannya guna mengetahui watak
(thabiat) hubungan yang seimbang antara ayat al-Qur‟ān dengan premis-
64
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, (Jakarta: Amzah, 2007), hal.
146.
30
premis ilmiah demi mencari faedah atau manfaat dari corak atau
orientasi baru dalam dunia tafsir al-Qur‟ān.65
11. Menyeimbangkan antara bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya
dengan kemampuan dirinya dalam menafsirkan atau menjelaskan makna
ayat yang memungkinkannya untuk menyingkap petunjuk yang dimaksud
oleh ayat al-Qur‟ān dengan berpegang teguh pada esensi, substansi, dan
eksistansi al-Qur‟ān.
12. Landasan penafsiran tafsir ayat-ayat sains dan sosial secara berurut
adalah al-Qur‟ān sebagai sumber pokok dan utama, kemudian hadits-
hadits nabi Muhammad SAW.
13. Memanfaatkan hakikat ilmiah yang fleksibel dengan indikasi adanya
universalisme dan kontinuitas tanpa henti. Jadi, jika berubah hakikat ilmiah
serta berganti tali peradabannya, maka ajakan al-Qur‟ān adalah melanjutkan
peradaban itu supaya setiap generasi mampu berbicara sesuai dengan
perubahan fenomena baru melalui perubahan tali peradabannya.66
E. Pro Kontra Tafsir Ilmi
Melihat perkembangan penafsiran dengan corak Ilmi yang berkembang
pesat di dunia keilmuan, tentu tidak luput dari berbagai polemik yang
mewarnainya, seperti halnya pro dan kontra didalamnya. Adapun ulama yang
mendukung tafsir ilmi sebagai berikut:
Imam al-Ghazali (w. 505 H) yang mendorong penulisan tafsir ilmi,
yaitu tafsir yang berupaya memahami kitab suci al-Qur‟ān secara ilmiah dan
rasional. Hal itu diutarakannya dalam kitab Jawahirul Qur‟ān yang
menyebutkan bahwa penafsiran beberapa ayat al-Qur‟ān perlu menggunakan
beberapa disiplin ilmu, seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran dan lain
sebagainya. Dalam kitab Ihya „Ulumud Din, Beliau mengutip Ibnu Mas‟ud
yang mengatakan: “Jika kita ingin mengetahui ilmu para ilmuwan zaman dahulu
dan zaman kini, kita harus merenungi isi Al-Qur‟an”.
65
Ibid, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial,... hal. 146-157. 66 Ibid, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial,... hal. 146-157.
31
Meskipun demikian, Imam al-Ghazali tidak berhasil merealisasikan
pokok-pokok pemikirannya tentang tafsir ilmi. Cita-cita itu baru terealisasi satu
abad kemudian oleh Imam Fakhrudin al-Razi (w. 606. H) dalam bukunya
Mafatihul Ghaib.67
Fakhrudin al-Razi telah menerapkan ilmu pengetahuan yang
bercorak saintis dan pemikiran, untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟ān.
Sehingga ada sebagian ulama yang berkomentar “ Fakhruddin ar-Razi telah
memaparkan segala hal dalam kitab tafsirnya, kecuali kitab tafsir itu sendiri”.68
Selanjutnya, Ahmad Syirbasi mengutip pernyataan Ar-Rifa‟i mengenai
tafsir ilmi bahwa sekalipun al-Qur‟ān gayanya berupa isyarat ilmiah yang
sepintas, namun kebenarannya selalu dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan
modern. Ayat-ayat al-Qur‟ān senantiasa membuka diri bagi akal pikiran dan
memberikan pengertian yang benar mengenai apa saja. Kenyataan
membuktikan bahwa semakin maju akal pikiran manusia maka semakin banyak
bidang ilmu pengetahuan yang dikuasai serta tambahan pula dengan
mendesaknya kebutuhan untuk menemukan berbagai hal yang baru serta semakin
sempurnanya peralatan yang diperlukan untuk mengadakan penelitian semua
isyarat al-Qur‟ān semakin muncul kebenarannya.69
Masih banyak rujukan tokoh lainnya yang diklaim mereka sebagai
pendukung jenis tafsir ini. Pokok pemikiran itu dapat dilacak pada kitab-kitab
yang ditulis oleh para ulama seperti: kitab Wa Rāghāibul Furqān, karya
Nidham ad-Din al-Qummi an-Naisaburi (w. 728. H) al-Burhān fī „Ulūmil Qur‟ān,
karya Az-Zarkasyi (w. 794. H) Anwārut Tanzīl wa Asrārut Ta‟wīl, karya al-
Baidhawi (w. 791. H) dan Rūhul Ma‟ani fī Tafsīril Qur‟ānil Aẓīm wa Sab‟ul
Matsāni karya Mahmud Syukri al-Alusi ( w. 1217. H). Jawāhir fi Tafsīr
Qur‟anil Karim, karya Thantawi Jauhari, dan lain-lain.70
67 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, (Bandung: Penerbit Mizan Pustaka 2014), hal.
24. 68 Hayyan al-Andalusi, Bahr al-Muhīth, (Beirut Libanon: Dārul Haya), juz. 1 hal. 341. 69 Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 284. 70 Abdul Majid Abdussalam Al-Mutasib (Terj. Moh. Maghfur Wachid), Visi dan Paradigma
Tafsir al-Qur‟an Kontemporer ,(Bangil: Al Izzah, 1997) hal. 246-278.
32
a. Ulama yang Menolak Tafsir Ilmi
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi tafsir ilmu. Diantara mereka
ada yang sepakat, namun beberapa ada yang menolak. Diantara ulama yang
menolak tafsir ilmi yakni Abu Hayyan al-Andalusi. Dalam banyak
penafsirannya, beliau menyerang Fakhruddin ar-Razi terhadap tendensi ilmiah
dalam tafsirnya, serta menyuarakan bahwa visi dan paradigma yang disebutnya
berlebihan, terkontaminir, dan serampangan. Lebih jauh, Abu Hayyan
Andalusi mengatakan bahwa ar-Razi telah mengumpulkan banyak hal,
panjang lebar, yang sesungguhnya tidak dibutuhkan dalam tafsir dalam
bukunya. Karenanya, ada rumor dari beberapa ulama ekstrim bahwa ar-Razi
telah mengatakan segala hal dalam tafsirnya selain tafsir itu sendiri.
Asy-Syatibi berpendapat bahwa penafsiran yang telah dilakukan oleh
ulama salaf lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya.71
Dengan
demikian, ulama yang menolak tafsir Ilmi menyandarkan alasan bahwa ulama
terdahulu lebih mengetahui hakikat dan majaz al-Qur‟ān. Sementara itu, pada
zaman sekarang menafsirkan al-Qur‟ān dengan pendekatan apapun yang dasarnya
dapat diterima, selama alasannya dapat dibenarkan dan tidak menyimpang
dari nilai utama al-Qur‟ān sebagai hidayah dan rahmat bagi umat manusia dan
alam semesta.
Bantahan terhadap tafsir Ilmi juga pernah ditulis oleh Rasyid Ridha
dalam pengantar Tafsir al-Manar. Lebih lanjut dikemukakan oleh Dr.
Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam karyanya Al-Ittijihadul Munharifah fit
Tafsīril Qur‟ānil Karīm dengan mencoba melakukan penelitian terhadap
berbagai penyimpangan dalam kitab-kitab tafsir. Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa dari sejumlah tafsir yang ada, sebagiannya telah
melakukan penyimpangan. Kitab tafsir yang dimaksudkannya adalah sebagian
kitab menggunakan orientasi historis, teologis, sufistik, linguistik, ilmiah, dan
modern.
71 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),
hal. 113.
33
Dijelaskan lebih lanjut mengenai berbagai hal yang dianggap sebagai
penyimpangan tafsir Ilmi yaitu para mufassir terlalu jauh memberikan
makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan
menghadapkan al-Qur‟ān kepada teori-teori ilmiah yang jelas–jelas terbukti
tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun. Oleh karena itu, teori-teori tersebut
bersifat relative. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu masuk jauh dalam
memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur‟ān, oleh karena ia tidak
tunduk kepada teori-teori itu, tidak perlu pula mengaitkan ayat-ayat al-Qur‟ān
dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori alam. Bahkan mereka keliru
ketika memperlakukan al-Qur‟ān pada buku ilmu pengetahuan. Sehingga setiap
penemuan ilmu pengetahuan mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah al-
Qur‟ān. Kendatipun demikian, harus melakukan penyimpangan-penyimpangan
makna.72
Tokoh lain yang menolak tafsir ilmi diantaranya adalah: Syeh
Mahmud Syaltut, Muhammad izzad Darwazat, Dr. Syaqi Dharif.73
b. Ulama yang Bersikap Moderat
Selain dua sikap yaitu pro dan kontra mengenai penafsiran dengan
corak Ilmi, ada diantaranya yang bersikap moderat. Mereka mengatakan:
“kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang
mengungkapkan kepada kita hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang
dikandung oleh ayat-ayat kauniyyah dan yang demikian itu tidak ada
salahnya, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti
pemahaman bahasa Arab, oleh karena al-Qur‟ān diturunkan untuk
seluruh manusia. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari
al-Qur‟ān sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan tujuan pokok al-Qur‟ān yaitu sebagai petunjuk.
Banyak hikmah di dalamnya yang jika digali oleh orang yang ahli
akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahaya dan mampu
menjelaskan rahasia kemukjizatannya.74
72 Ali Hasan Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal.
65. 73 Abdul Majid Abdussalam Al-Mutasib, (Terj Moh. Maghfur Wachid), Visi dan Paradigma
Tafsir al-Qur‟an Kontemporer, (Bangil: Al Izzah, 1997), hal. 329. 74 Ali Hasan Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal.
66.
34
Dalam hal ini, menurut penulis, pandangan yang menyatakan moderat
lebih menitik beratkan pada pentingnya al-Qur‟ān yang berisi ilmu
pengetahuan di segala bidang, yang memang harus banyak dikaji dan diambil
hikmahnya bagi para pembacanya. Tetapi perlu diingat juga bagaimana
penafsiran ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.
F. Tokoh-Tokoh Tafsir Ilmi dan Nama-Nama Kitabnya
Telah diungkapkan didalam sejarah munculnya tafsir „ilmi bahwa tokoh
yang paling gigih mendukung tafsir „ilmi adalah Al-Ghazali (1059-1111 M) yang
secara panjang lebar dalam kitabnya Ihya „Ulum al-Din dan Jawahir Al-Qur‟an
mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali
mengatakan bahwa “segala macamilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun
yang kemudian baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, semua
bersumber dari Al-Qur‟an Al-Karim.75
Tokoh-tokoh kitab tafsir yang bercorak tafsir „ilmi diantaranya:
1. Fakhrudin Al-Razi dengan karyanya Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghayib.
2. Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-
Karim.
3. Hanafi Ahmad dengan karyanya Al-Tafsir al-„Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-
Qur‟an
4. Abdullah Syahatah dengan karyanya Tafsir al-Ayat al-Kauniyah
5. Muhammad Syawqi dengan karyanya Al-Fajri Al-Isyarat Al-„Ilmiyah fi al-
Quran al-Karim.
6. Ahmad Bayquni dengan karyanya al-Qur‟ān Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dan tokoh-tokoh pengarang kitab-kitab tafsir yang berusaha menafsirkan
ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur‟ān misalnya:
1. Al-Allamah Wahid al-Din Khan dengan karya kitab tafsirnya al-Islam
Yatahadda
75 M.Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. (Bandung: PT Mizan Pustaka,1992), hal. 154
35
2. Muhammad Ahmad Al-Ghamrawy dengan karya kitab tafsirnya Al-Islam fi
„Ashr al-„ilm
3. Jamal al-Din Al-Fandy dengan karya kitab tafsirnya al-Ghida‟ wa al-Dawa‟
4. Ustadz „Abd al-Razzaq Nawfal dengan kitab tafsirnya Al-Qur‟an wa al-„ilm
Hadits.76
Sedangkan menurut Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, tokoh-tokoh
penafsir ilmi kontemporer lainnya yaitu:
1. As-Syekh Muhammad Abduh.
2. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasinu at-Ta‟wil.
3. Mahmud Syukri al-Aluusi dalam buku Maa Dalli „Alaihi al-Qur‟anu Mimmaa
ya‟dhidu al-Hai‟ata al-Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan (Dalil-dalil al-
Qur‟ān yang meneguhkan ilmu astronomi modern, dengan argumentasi kuat).
4. Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-Tadzkiiri
min Kalaami al-Hakimi al-Khabiir (Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat
Yang Maha Bijak dan Maha Tahu dalam forum-forum kajian).
5. Musthafa Shadiq ar-Rafi‟i dalam bukunya I‟jaazu al-Qur‟ani wa Balaghtu an-
Nabawiyah (Mukjizat al-Qur‟an dan Balaghah Kenabian).77
76 Hassan Ibrahim Hassan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989),
hal. 68 77 Ali Hasan Al-„Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 62-63.
36
BAB III
BIOGRAFI ZAGHLUL AL-NAJJAR DAN PENAFSIRAN PARA ULAMA
PADA QS. LUQMAN AYAT 19
A. Biografi Zaghlul al-Najjar
1. Riwayat Hidup Zaghlul al-Najjar
Prof. Dr. Zaghlūl al-Najjār memiliki nama lengkap Zaghlūl Raghib
Muhammad al-Najjār adalah pakar Geologi kelahiran Thanta, Mesir 17
November 1933. Beliau berasal dari keluarga muslim yang taat, kakeknya
menjadi imam tetap dimasjid kampungnya. Ayahnya adalah penghafal al-Qur‟ān.
Beliau sendiri telah menghatamkan hafalan al-Qur‟ānnya sebelum genap usia 10
tahun. Pada usia itulah Zaghlūl ikut ayahnya hijrah ke Cairo, dan masuk sekolah
dasar di ibukota Negara para Nabi itu.
Setelah dewasa, ia belajar di Fakultas Sains Jurusan Geologi, Cairo
University dan lulus pada 1955 dengan yudisium Summa Cum Laude, sebagai
lulusan terbaik ia meraih “Baraka Award” untuk kategori bidang Geologi. Ia
kemudian meraih gelar Ph.D bidang Geologi dari walles University of England
pada 1963. Pada 1972, ia dikukuhkan sebagai guru besar Geologi. Pada 2000-
2001 Zaghlūl terpilih sebagai Rektor Markfield Institute of Higher Education
England dan sejak tahun 2001 menjadi ketua Komisi Kemukjizatan Sains al-
Qur‟ān dan Sunnah di Supreme Cauncil of Islamic Affairs Mesir.
Dengan kepiawaiannya dibidang tafsir al-Qur‟ān berbasis sains, ia rutin
menulis artikel tetap rubric “Min Asrar al-Qur‟ān” (Rahasia al-Qur‟ān) setiap
Senin di harian Al-Ahram Mesir yang bertiras 3 juta eksemplar setiap harinya.
Hingga kini, telah dimuat lebih dari 250 artikelnya tentang kemukjizatan sains dan
Al-Qur‟an.78
78 Zaghlūl an-Najjār, (Terj, Yodi Indrayadi dkk,) Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadits Nabi (Jakarta:
Zaman, 2013), hal. 9-10.
37
2. Karya-karya Zaghlūl al-Najjār
Zaghūl al-Najjār telah memiliki karya lebih dari 150 artikel dan lebih dari
50 buah buku yang meliputi berbagai kajian ilmu diantaranya ilmu saintifik Islam,
al-Qur‟ān sains, sains dalam sunah, i‟jaz „ilmi dan banyak lagi. Namun kajian
yang telah meningkatkan autoritas Zaghlūl sebagai pakar sains Islam pada abad
modern ini ialah kajian yang meliputi penemuan ilmiah dalam
menginterprestasikan ayat al-Qur‟ān. Kebanyakan karya yang telah berhasil
melalui kajian ini bukan saja ditulis dalam bahasa arab, bahkan juga diterbitkan
dalam bahasa Inggris dan Perancis. Diantara beberapa karya Zaghlūl al-Najjār:
a. Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fīl Qur‟ānil Karīm.
b. I‟jazul „Ilmy fīs Sunnah Nabawiyyah
c. Nazhārat fī „Azmati at-Ta‟līm al-Muashir wa Hululihal Islāmiyah.
d. Haqā'iq `Ilmiyah fil Qur'ānil Karim: Namāzij min Ishāratil Qur'āniyah
ilā` Ulumil Ard.
e. Qadiyyatul I‟jaz „Ilmi li al-Qur‟īnil Karīm wa Dawībitut Ta‟amul Ma‟aha.
f. Min Ayātil-`Ijaz `Ilmi al-Hayawan fīl Qur'ānil Karīm.
g. Min Ayātil-`Ijaz `Ilmi al-Sama' fīl Qur'ānil Karīm.79
Selain beberapa karya diatas, Zaghlūl juga pernah mendapatkan beberapa
anugrah dan jabatan yang disandangkan kepada dirinya. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Penasihat Pusat Kajian Robertson Britain (1963) dan Muzium Pembangunan
Islam Switzerland (2001).
b. Ahli dalam Journal of Foramimifeeral Research New York (1966) dan Journal
of African Earth Science (1981).
c. Penasehat bagi Majalah Muslim di Washington (1970), Penasehat Majalah
Islamic Sciences di India (1978), Penasehat Majalah al-Rayyan Qatar (1978).
d. Antara pengasas Jabatan Geologi University Malik Sa‟ud (1959) dan
University Kuwait (1967).
79
Ishak Sulaiman et.all, Metodologi Penulisan Zaghlul Al-Najjar Dalam Menganalisis Teks
Hadith Nabawi Melalui Data-Data Saintifik, (Malaysia: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya
Kuala Lumpur, 2001), hal. 280.
38
e. Di antara penggasas al-Haiah al-„Alamiyyah lil I‟jaz al-Ilmi fil Qur‟anil Karim
dan as-Sunnatul Mutahharah di Makkah al-Mukarramah (1981).
f. Pengarah Komunitas Pengajian Tinggi Markfield Britain (2001). m. Pengurus
Badan „Ijaz Ilmi Qur‟an, Majlis Tertinggi Hal Ihwal Islam Mesir.
g. Profesor Geologi, King Fahd University of Petroleumm dan Minerals,
Dhahan, Saudi Arabia (1979-1996).
h. Profesor Geologi dan Chairman, Departemen of Geology, Qatar University,
Doha, Qatar (1978-1979).
Hasil usaha gigih Zaghlūl dalam menterjemahkan al-Qur‟ān dan hadits
melalui pendekatan saintifik membuahkan hasil sehingga Zaghlūl menerima
anugrah tertinggi dari kerajaan Sudan pada tahun 2005 dan anugerah sebagai ikon
islam di Dubai pada tahun 2006. Usaha dakwah beliau bukan hanya melalui
penulisan, Zaghlūl juga aktif menjadi pembicara seminar berkenaan dengan
kemukjizatan al-Qur‟ān dipenjuru dunia. Sebab ceramahnya itulah yang akhirnya
mendorong kalangan masyarakat yang menghadiri acara seminar Zaghlūl tersebut
memilih Islam sebagai panduan hidup.80
3. Deskripsi Kitab Tafsir Al-Āyātul Kauniyyah fil Qur’ānil Karim
Sejarah penulisan kitab Tafsir Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm
tidak terlepas dari latar belakang pendidikan ditekuni mufassirnya sendiri.
Sebagaimana Zaghlūl al-Najjār, seorang yang ahli dalam bidang ilmu alam
terutama dalam bidang Geologi. Sehingga Zaghlūl memahami bahwa, di dalam
al-Qur‟ān terdapat ayat-ayat yang berisi tentang ajakan ilmiah yang berdiri di atas
prinsip pembebasan akal dari tahayul dan kemerdekaan berpikir. Al-Qur‟ān
menyuruh manusia untuk memperhatikan segala wilayah yang ada di bumi
dan pada diri mereka sendiri.
Menurut Zaghlūl al-Najjār, tidak kurang ada 1000 ayat yang secara tegas
(sharih) dan ratusan lainnya yang tidak langsung terkait dengan fenomena
alam semesta Selanjutnya, Zaghlūl berpendapat bahwa ayat–ayat kauniyyah
80 Ibid, Metodologi Penulisan Zaghlul Al-Najjar Dalam Menganalisis Teks Hadith Nabawi
Melalui Data-Data Saintifik,... hal. 280.
39
itu tidak akan mungkin dapat kita pahami secara sempurna jika hanya
dipahami dari sudut pandang bahasa arab saja. Untuk mengetahui secara
sempurna, maka perlu mengetahui hakikatnya secara ilmiah.81
Sebagaimana yang telah Zaghlūl sampaikan pula dalam mukaddimahnya,
Zaghlūl berkeyakinan penuh bahwa al-Qur‟ān adalah kitab yang memiliki
mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-akhlaknya (tasyri‟),
informasi kesejarahannya, dan tak kalah pentingnya adalah dari sudut aspek
isyarat ilmiahnya. Dimensi kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya
adalah keunggulan kitab ini yang memberikan informasi menakjubkan dan
akurat tentang hakikat alam semesta dan fenomenanya, di mana tidak
seorangpun manusia pada saat diturunkannya al-Qur‟ān dapat mengetahuinya
dan ilmu terapan belum sampai hakikat itu kecuali setelah berabad-abad turunnya
al-Qur‟ān.82
Dengan kepiawaiannya di bidang tafsir al-Qur'ān berbasis sains, ia rutin
menulis artikel tetap di rubrik "Min Asrari Qur'ān", (Rahasia Kemukjizatan al-
Qur'ān) setiap hari senin di Harian Al-Ahram Mesir yang berjumlah 3 juta
eksemplar setiap harinya. Hingga kini telah dimuat lebih dari 250 artikel
tentang kemukjizatan sains dalam al-Qur'ān, yang semua itu terangkum dalam
kitab Tafsir Al-āyātul Kauniyyah Fil Qur‟ānil Karīm.83
Dari hasil penyelidikan Penulis, Kitab Tafsir ini telah diperkenalkan
oleh Zaghlūl dengan kitab Tafsir Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm
terbitan Maktabah al-Syuruq al-Dawliyyah yang telah diterbitkan pada tahun
2007, terdiri atas 4 jilid. Dari segi penyusunan, Zaghlūl menyusunnya
berdasarkan pada metode penulisan klasikal dan modern. Metode dari segi
penyusunan klasikal yang digunakan oleh beliau ialah menyusun ayat atau
surat mengikut susunan seperti yang terdapat di dalam al-Qur‟ān, yaitu
dimulai dari Surat al-Baqarah (juz 1) hingga Surat al-Qāriah (juz 30). Namun
81 Zaghlul an-Najjar, Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm, (al-Qāhirah: Maktabah as-
Syarqiyyah ad-Dauliyyah, 2007), Jil. 1. hal. 6. 82 Ibid., Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm..., hal. 26. 83 Ibid., Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm ...,hal. 34.
40
kitab ini memfokuskan kepada ayat-ayat kauniyyah yang terdapat dalam al-
Qur‟ān.
Hal ini berdasarkan bidang kepakaran utama Zaghlūl yang meliputi
penemuan saintifik melalui dimensi alam semesta, penciptaan makhluk dan
kesehatan. Adapun yang menarik dalam metode penulisan tafsir ini ialah Zaghlūl
hanya mentafsirkan ayat-ayat tertentu saja. Tidak membahas topik yang tidak
berkaitan sama sekali dengan sains natural. Maka tidak mengherankan jika tafsir
ini merangkum sebuah ensiklopedia tafsir penemuan saintifik qurāni terkini.
Kitab Tafsir Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm yang terdiri
dari 4 jilid ini terdiri dari: Jilid pertama, yang dimulai dari surat al-Baqarah
hingga surat al-Isra‟ yang terdiri dari 56 pembahasan ayat. Jilid kedua, dimulai
dari surat al-Kahfi hingga Surat Luqman yang terdiri dari 42 pembahasan,
Jilid ketiga, dimulai dari Surat al-Sajadah hingga Surat al-Qamar yang terdiri
38 pembahasan, dan pada jilid keempat dimulai dari Surat ar-Rahman hingga
Surat al-Qari‟ah yang terdiri 40 pembahasan. Sehingga jumlah seluruh
pembahasan yang terdapat dalam kitab ini adalah 176 dalam 66 surat.
Pada awal penulisan, Penulis mendapati biografi Zaghlūl al-Najjār dan
mukadimah setebal 31 halaman pada setiap jilidnya. Adapun mukadimah
tersebut berisi 4 pokok pembahasan, yaitu: (1) Definisi literal I‟jaz serta
pembagiannya,84
(2) Sejarah perkembangan I‟jaz dan metode dalam menafsirkan
ayat yang berdimensi saintifik,85
(3) Ajakan Zaghlūl kepada para ilmuan Islam
khususnya para ahli tafsir untuk menafsirkan al-Qur‟ān sesuai dengan
perkembangan masa,86
(4) Penjelasan penolakan sebagian golongan yang
menolak al-Qur‟ān ditafsirkan berdasarkan penemuan saintifik.87
Adapun cara Zaghlūl dalam menerangkan tafsirnya, di setiap awal
surat, beliau terlebih dahulu menjelaskan poin-poin kandungan isyarat ilmiah
yang terdapat dalam surat dan yang berkaitan dengan ayat yang akan dibahas.
Selanjutnya, Zaghlūl menafsirkan ayat tertentu dengan memaparkan pandangan
84 Ibid., Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm,...hal. 24-26. 85 Ibid., Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm ,...hal. 26-30. 86 Ibid,. Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm,...hal. 31-33. 87 Ibid., Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm ,...hal. 33-46.
41
secara umum yang berdasarkan tafsir lafdzi atau yang berkaitan dengan
kebahasaan. Setelah itu, Zaghlūl menafsirkan berdasarkan pandangan ilmiah
sebagaimana dengan latar belakang Zaghlūl. Dalam beberapa pembahasan
Zaghlūl juga mencantumkan hadits-hadits yang mendukung, dan dalam akhir
pembahasan beliau juga menyuguhkan dan memberi keterangannya dengan
menggunakan gambar-gambar yang sesuai dengan ayat yang dibahas.
Diantaranya berupa gambar tumbuhan, binatang, fenomena alami, dan sebagainya
yang bertujuan agar pembaca lebih mudah memahaminya.
Adapun bentuk penafsiran Zaghlūl sudah sangat jelas bahwa
penafsirannya menggunakan penalaran atau pemikiran (bir ra‟y).88
Kita ketahui
bahwa cara Zaghlūl dalam menafsirkan al-Qur‟ān adalah dengan memberikan
keterangan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Selain itu, Zaghlūl juga
menyuguhkan keterangan berupa gambar-gambar dengan penelitian-penelitian
ilmiah sains modern.
Metode penulisan tafsir ini adalah maudhui, yang menafsirkan ayat-
ayat tertentu berdasarkan tema dalam setiap surat. Tafsir ini disusun sesuai
dengan susunan seperti yang terdapat di dalam al-Qur‟ān yang di awali dari surat
al-Baqarah (juz 1) hingga surat al-Qariah (juz 30). Pemilihan ayat dalam tafsir
ini lebih menjurus kepada ayat-ayat al-Qur‟ān yang berkaitan dengan
penemuan ilmiah. Hal ini karena, berdasarkan latar belakang Zaghlūl dalam
bidang saintifik melalui dimensi alam semesta.
Adapun corak tafsir ini tergolong sebagai tafsir ilmi, sebab di dalam
tafsir ini membahas tantang ayat-ayat dengan menggunakan teori-teori ilmu
pengetahuan modern dan hasil penelitian ilmiah untuk menjelaskan sebuah
ayat.
88 Tafsir bi al-ra‟yi adalah jenis penafsiran al-Qur‟ān melalui pemikiran atau ijtihad. Bentuk
tafsir ini banyak berkembang pesat dan muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhkhirin, sehingga abad
modern ini lahir tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains, di antaranya adalah tafsir al-Manār dan al-
Jawāhir. Berbeda dengan penafsiran al-Qur‟an dengan bentuk al-ma‟tsur, karena bentuk penafsiran al-
ma‟tsur sangat bergantung dengan riwayat. Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 376
42
B. Penafsiran Para Ulama Tentang QS. Luqman Ayat 19
Pada sub-bab ini penulis akan memaparkan pendapat ulama tentang QS.
luqman ayat 19. Berbagai kitab tafsir yang telah ditulis oleh para ulama, baik
tafsir klasik maupun kontemporer telah berusaha menjelaskan maksud dari QS.
Luqman ayat 19. Dalam tafsir Ibn Katsir menjelaskan “Berjalanlah kamu dengan
langkah yang biasa dan wajar, tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat,
melainkan pertengahan diantara keduanya. Dan janganlah kamu berlebihan dalam
bicaramu, jangan pula kamu keraskan suaramu terhadap hal yang tidak ada
faedahnya. Karena itulah mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang
mengtakan, sesungguhnya suara yang paling buruk ialah suara keledai, yakni
suara yang keras berlebihan itu diserupakan dengan suara keledai dalam hal keras
dan nada tingginya, selain itu suara tersebut tidak disukai oleh Allah SWT.
Adanya penyerupaan dengan suara keledai ini menunjukkan bahwa hal tersebut
diharamkan dan sangat dicela”.89
Menurut Sayyid Qutb kata al-qasdu dalam ayat ini bisa berasal dari
kesederhanaan yang dimaksudkan dengan berjalan biasa dan tidak berlebih-
lebihan, dan tidak menghabiskan tenaga untuk mendapatkan pujian, siulan, dan
kekaguman. Disamping itu, al-qasdu bisa juga berasal dari makna maksud dan
tujuan. Jadi, berjalan itu harus selalu tertuju kepada maksud dan tujuan yang
ditargetkan pencapaianny. Sehingga, gaya berjalan itu tidak menyimpang,
sombong, dan mengada-ada. Namun, ia harus ditujukan guna meraih maksudnya
dengan sederhana dan bebas.
Kemudian didalam sikap menahan suara terdapat adab dan keyakinan
terhadap diri sendiri, serta ketenangan terhadap kebenaran pembicaraan dan
kekuatannya. Seseorang tidak akan berteriak atau mengeraskan suara dalam
pembicaraannya, melainkan dia adalah orang yang buruk adabnya, ragu terhadap
nilai perkataannya atau nilai kepribadiannya, dan dia berusaha menutupi
keraguannya itu dengan bahasa yang pedas, keras, dan berteriak yang
mengejutkan. Dan al-Qur‟ān mengomentari perilaku tersebut dengan komentar
89 Ismail bin „Umar bin Kasir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Azam, VI, (Riyadh: Dar
Tayyibah li al-Tauji, 1999), hal. 2790
43
“dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai” sehingga terbentuklah pemandangan yang menggelikan, yang
merangsang orang untuk menghinanya, mempermainkannya, dan mengolok-
oloknya disertai dengan perasaan jijik dan kotor. Dan tidak ada seorangpun yang
memiliki perasaan yang sehat, dapat membayangkan pemandangan yang
menggelikan ini dibalik ungkapan yang di ciptakan al-Qur‟ān. Kemudian dia
berusaha menyerupai sedikit dari suara keledai itu!.90
Begitupun pendapat Hasbi ash-Shiddieqy berpendapat pada kata waqshid
fii masyyika “Berlakulah sederhana dalam perjalananmu janganlah terlalu tergesa-
gesa, sebagaimana halnya janganlah kamu terlalu lambat”. Diriwayatkan dari
Aisyah bahwa beliau melihat seorang lelaki yang berjalan seperti orang yang
sangat lemah dan tidak mempunyai tenaga lagi, maka Aisyah pun bertanya
“mengapa orang ini terlalu lambat dalam berjalan?” seorang menjawab: “Dialah
penghulu fuqaha yang sangat alim.” Mendengar itu Aisyah berkomentar “Umar
adalah penghulu fuqaha, tetapi ia berjalan dengan sikap yang gagah. Apabila ia
berkata, dia berusaha sedikit keras dan apabila ia memukul maka pukulannya
adalah keras”.91
Kemudian pada kata waghdhudh min shatika bermakna rendahkanlah
(pelankanlah) suaramu, janganlah mengeraskan suaramu jika tidak perlu, karena
bersuara lemah (agak pelan tidak berisik) lebih enyenangkan orang yang
mendengar. Dan pada kata inna ankaral ashwaati la shautul hamir bermakna
sekeji-keji dan seburuk-buruk suara adalah meninggikannya atau mengeraskannya
melebihi kadar yang diperlukan. Demikianlah perilaku keledai, Allah
menyerupakan suara yang keras tanpa diperlukan dengan suara keledai.92
Berjalanlah dengan langkah yang sederhana, yakni tidak terlalu lambat dan
juga tidak terlalu cepat, akan tetapi berjalanlah dengan wajar tanpa dibuat-buat
dan juga tanpa pamer menonjolkan sikap rendah diri atau sikap tawadhu‟. Dan
90 Sayyid Qutb, Fii Zilal al-Qur‟an, V, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2003), hal. 339-341 91 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2000), hal. 3211 92 Ibid., Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nuur...hal. 3211
44
mengurangi tingkat ekerasan suara93
sehingga tidak terdengar kasar bagaikan
teriakan keledai sebab tidak baik dan tidak layak bagi manusia yang berakal karna
seburuk-buruk suara adalah suara keledai94
yang permulaannya adalah ringkikan
kemudian disusul oleh lengkingan-lengkingan yang sangat tidak enak di dengar.95
Berbicara sedikit, jangan mengangkat suara bila tidak diperlukan sekali karena
sikap yang demikian itu lebih berwibawa bagi yang melakukannya dan lebih
mudah diterima oleh jiwa pendengarnya serta lebih gampang untuk dimengerti.96
Barangsiapa yang mengeraskan suaranya maka menyerupai keledai dan
melakukan kemungkaran yang buruk. Al-Hasan berkata: orang-orang kafir dulu
saling membanggakan diri dengan kerasnya suara. Maka Allah menyanggah
orang-orang kafir bahwa seandainya hal itu baik, tentu keledai lebih baik daipada
orang-orang kafir.97
Dahulu orang-orang Arab membanggakan suara yang keras, jadi yang
memiliki suara paling keras, ia adalah orang paling terhormat dikalangannya dan
siapa yang memiliki suara paling nadanya, ia adalah orang yang paling hina.
Penyebab dari larangan itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Di dalam ungkapan
ini jelas menunjukkan nada celaka dan kecaman terhadap orang yang
mengeraskan suaranya serta anjuran untuk membenci perbuatan tersebut.
Didalam ungkapan ini, yaitu menjadikan orang yang mengeraskan
suaranya diserupakan dengan suara keledai, terkandung pengertian mubalaghah
untuk menanamkan rasa antipati dari perbuatan tersebut. Hal ini merupakan
pelajaran dari Allah untuk hamba-Nya agar mereka tidak mengeraskan suaranya
di hadapan orang-orang karena meremehkan suara atau yang dimaksud ialah agar
mereka meninggalkan perbuatan ini secara menyeluruh dlam kondisi apapun.
Sederhana dalam berjalan yakni tidak membusungkan dada dan jangan
juga sangat perlahan menghabiskan waktu. Dan melunakkan suara sehingga tidak
93 Ahmad Mustafa al-Maragi, TafsĪr al-Maragi, terj. Anshori Umar Sitanggal, dkk., (Semarang:
Karya Toha Putra, cet. Ke-2, 1993,Juz xix, hal. 162. 94 M.Quraish Shihab, TafsĪr al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2006), vol 11, hal. 139. 95 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, TafsĪr Jalalain, Jilid 2, (Bandung: Sinar
Baru Argensindo, 2003), hal. 478. 96 Ahmad Mustafa Al-Maragi, TafsĪr al-Maragi, Juz xix, hal. 162. 97 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut TafasĪr, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011),
hal. 172.
45
terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
adalah suara keledai karna awalnya siulan yang tidak menarik dan akhirnya
tarikan nafas yang buruk.98
Kata ughdhudh terambil dari kata ghadhdha dalam arti pengguanaan
sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Mata dapat memandang ke kiri
dan ke kanan secara bebas. Perintah ghadhdha jika ditujukan kepada mata,
kemampuan itu hendaklah dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal.
Demikian juga suara, seseorang diminta untuk tidak berteriak sekuat
kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun tidak harus berbisik.99
Mujahid berkata: “memang suara keledai itu jelek sekali, jadi orang yang
bersuara keras, menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya.
Suaranya jadi terbalik menyerupai keledai tidak enak didengar dan Allah SWT
tidak menyukainya. Sebab itu tidak ada salahnya jika orang bercakap dengan
lemah-lembut, dikeraskan hanyalah ketika hendak mengarahkan orang banyak
kepada suatu pekerjaan besar atau seumpamaan seorang komandan peperangan
ketika mengarahkan prajuritnya tampil ke medan perang.”
Dari beberapa pendapat mengenai QS. luqman ayat 19 sepakat dalam
mengajarkan manusia dalam berjalan tidak membusungkan dada dan tidak
merunduk bagaikan orang sakit tetapi berjalanlah dengan sikap yang gagah.
Jangan berlari tergesa-gesa dan juga tidak terlalu pelan, ambil jalan tengahnya.
Dan ayat ini juga mengajarkan manusia untuk tidak mengeraskan suara dalam
berbicara karena bersuara lembut lebih menyenagkan orang. Sekeji-keji suara
ialah suara keledai yang permulaannya ringkikan, kemudian disusul oleh
lengkingan-lengkingan yang sangat tidak enak di dengar. Barangsiapa
mengeraskan suaranya, maka ia menyerupai keledai dan melakukan kemungkaran
yang buruk suara yang seperti itu sangat di benci oleh Allah SWT.
98 Ahmad Mustafa al-Maragi, TafsĪr al-Maragi, Juz xix, hal. 162-163 99 M.Quraish Shihab, TafsĪr al-Misbah,vol 11, hal. 139-140.
46
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN ZAGLUL AL-NAJJAR TERHADAP
QS. LUQMAN AYAT 19
Umat Islam meyakini bahwa al-Qur‟ān merupakan kitab suci yang relevan
bagi kehidupan manusia sepanjang masa (shalihul likulli zaman wa makan).100
Relevansi al-Qur‟ān terlihat dari petunjuk-petunjuk yang disampaikannya dalam
seluruh aspek kehidupan. Asumsi inilah yang menjadi motivasi bagi munculnya
upaya-upaya untuk memahami dan menafsirkan al-Qur‟ān dikalangan umat Islam,
selaras dengan kebutuhan, tuntutan, dan tantangan zaman.
Al-Qur‟ān diturunkan sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan
yang berkembang pada saat itu, agar al-Qur‟ān dapat diterima dan mampu
difahami. Pada prinsipnya, dalam memahami al-Qur‟ān antara manusia satu
dengan manusia lainnya , meskipun hidup pada satu masa tidak akan terlepas dari
perbedaan. Karena pemahaman seseorang tergantung pada latar belakang
pendidikan, disiplin ilmu yang digeluti, kondisi sosial lingkungan sekitar, hasil-
hasil penemuan sains modern dan teknologi yang paling mutaakhir, dan lain
sebagainya yang berpengaruh besar pada cara berfikir seseorang terhadap isi al-
Qur‟ān.101
Dalam salah satu kandungan ayat al-Qur‟ān, Allah senantiasa
memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari dan memikirkan tanda-tanda
kekuasaan Allah atas segala yang ada di Bumi dan apa saja yang ada pada diri
mereka sendiri, sehingga jelas bahwa al-Qur‟ān itu adalah kebenaran.102
berdasarkan kandungan ayat tersebut Zaghlūl berkeyakinan penuh bahwa al-
Qur‟ān adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-
akhlaknya (tasyri‟), informasi kesejarahannya dan tak kalah penting dari sudut
aspek isyarat ilmiahnya.
Di dalam mukaddimah kitab tafsir karya Zaghlūl menyatakan bahwa tidak
kurang ada 1000 ayat yang tegas (sharih) dan ratusan lainnya yang tidak langsung
100 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 5 101 Wisnu Arya Wardhana, Al-Qur‟ān dan Nuklir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 54 102 QS. Fushilat ayat 53
47
terkait dengan fenomena alam semesta. Selanjutnya, Zaghlūl berpendapat bahwa
ayat-ayat kauniyah itu tidak akan mungkin dapat kita pahami secara sempurna jika
difahami dari sudut pandang bahasa saja. Untuk mengetahui secara sempurna,
perlu mengetahui hakikatnya secara ilmiah. Kemudian, pemahaman yang
menyingkap pemberitaan al-Qur‟ān tentang hakikat yang di benarkan oleh ilmu
eksperimen inilah yang kemudian lebih di kenal dengan nama mukjizat ilmiah
dalam al-Qur‟ān.103
Berdasarkan ayat yang peneliti bahas ini memberitahukan akan nasihat
yang diucapkan Luqmān al-Ḥakīm kepada anaknya, yakni:
ر ان ح ت ن ص ات ال ص ك ر ا ا ت ك ص ي اغ ع ط ك ش ي د ف ال ص ١٩
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqmān [31]:
19).104
Untuk menganalisis lebih jauh tentang penafsiran Zaghlūl al-Najjār
terhadap QS. luqmān ayat 19, maka diperlukan adanya metode analisis agar dapat
di ambil kesimpulan yang lebih sistematis. Adapun metode yang di maksud
adalah metode analisis yang menjadi dasar bagi penafsiran ilmiah al-Qur‟ān
sebagai berikut:
A. Aspek Kebahasaan
Dari aspek kebahasaan menurut Hasbi ash-Shiddieqy mengenai kata al-
Qasd bermakna menyederhanakan perjalananmu dan tidak tergesa-gesa dan
jangan terlalu lambat.105
Menurut Musthafa al-Maraghi kata Aqsid berarti bersikap
pertengahlah atau bersikap sederhanalah.106
Kata al-qashdu dalam ayat ini bisa berasal dari kesederhanaan yang
dimaksud dengan berjalan biasa dan tidak berlebih-lebih, dan tidak menghabiskan
103 Zaghlul an-Najjar, Tafsīr Al-āyātul Kauniyyah fīl Qur‟ānil Karīm, (al-Qahirah: Maktabah as-
Syarqiyyah ad-Dauliyyah, 2007), jil. 1, hal. 6. 104Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 582. 105 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2000), hal. 3211. 106 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 19, (Tanpa Penerbit,1974), hal. 81
48
tenaga untuk mendapatkan pujian, siulan dan kekaguman. Di samping itu kata al-
qashdu bisa juga berasal dari makna maksud dan tujuan yang di targetkan
pencapaiannya. Sehingga gaya berjalan itu tidak menyimpang, sombong, dan
mengada-ada. Namun, ia harus di tujukan guna meraih maksudnya dengan
sederhana dan bebas.
Kemudian di dalam menahan suara terdapat adab dan keyakinan terhadap
diri sendiri, serta ketenangan terhadap diri sendiri kebenaran pembicaraan dan
kekuatannya. Seseorang tidak akan berteriak atau mengeraskan dalam
pembicaraannya, melainkan dia adalah orang yang buruk adabnya, ragu terhadap
nilai perkataan atau nilai kepribadiannya, dan dia berusaha untuk menutupi
keraguan itu dengan bahasa yang pedas, keras, dan berteriak yang mengejutkan.107
Sebagaimana dalam kitab Tafsir Al-āyātul Kauniyyah fil Qur‟ānil Karīm,
ketika Zaghlūl menafsirkan sebuah ayat, pertama kali yang di jelaskan adalah dari
segi kebahasaan. Dari segi bahasa kata al-Qasd pada ayat ini berasal dari al-
Iqtisad (kesederhanaan), yaitu tidak berlebihan/melampaui batas atau seimbang
antara melebihkan dan mengurangi. Maksudnya adalah sedang-sedang atau
sewajarnya dalam berjalan, antara pelan dan cepat dalam hal ketenangan dan
kewibawaan yang tidak tercampur sikap angkuh, lela dan ujub pada diri sendiri.108
Adapun kata al-Ghadd berarti merendahkan suara sesuai tingkat
kebutuhan dan mencegahnya dari menyakiti pendengaran orang lain , hal tersebut
merupakan bagian dari adab, sikap percaya diri dan kepercayaan akan benarnya
ucapan sehingga menjadikannya rendahnya suara sebagai salah satu dari akhlak-
akhlak mulia.109
Kata ughdhudh pada ayat ini terambil dari kata ghadhdh dalam arti
penggunaan susuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Seseorang diminta
untuk tidak berteriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun
107 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟ān, (Kairo: Darus Syauq, 1968), Jilid 5, hal. 2782 108 Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-
Syurūq al-Dauliyyah, 2007), II, hal. 307. 109 Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-
Syurūq al-Dauliyyah, 2007), II, hal. 307.
49
tidak harus berbisik.110
Kurangi tingkat kekerasan suaramu, dan berpendeklah cara
bicaramu, janganlah kamu mengangkat suaramu bilamana tidak diperlukan.
Karena sesungguhnya sikap yang demikian itu lebih berwibawa bagi yang
melakukannya, dan lebih mudah di terima oleh jiwa pendengarnya serta lebih
gampang untuk di mengerti.111
B. Korelasi dengan Hadits mengenai Ringkikan Keledai
Sementara itu meninggikan suara adalah sejelek-jelek suara seperti suara
keledai yaitu ringkikannya, sebab pada suara keledai terdapat penyaringan yang
ekstrim antara ekshalasi dan inhalasi, karna rasa takut yang menimpanya ketika
melihat setan.112
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah, yakni:
ك ع ت ى إ ذ اض ه كا، ي أ ت ار ف إ ه ف ع االل ي أ ن ف اض ك ة اند اح ص ع ت ى ان إ ذ اض اب الل ي ذ ف ت ع ار ح
ط اا ش أ ر ف إ ى ج انر ا ط .انش
“Jika kalian mendengar kokokan ayam, maka mintalah kebaikan kepada
Allah, karena sesungguhnya ia telah melihat malaikat. Dan jika kalian
mendengar ringkikan keledai, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari
setan yang dirajam (terkutuk), karena sesungguhnya ia telah melihat setan”.
(HR. Al-Bukhārī no. 3303, Muslim no. 2729 dan al-Tirmiżī no. 3459, dan
lafal hadis ini darinya).113
Dengan adanya hadits di atas menunjukkan salah satu mu‟jizat Rasulullah
SAW adalah mengetahui maksud dari tingkah laku hewan. Jika Rasulullah SAW
tidak menyampaikan hadits ini kepada siapapun, tentu manusia di dunia ini tidak
akan mengerti bahwa kokok ayam jantan dan ringkikan keledai itu mempunyai
maksud tertentu. Al-Hafidz ibn Hajar berkomentar bahwa ayam jantan atau juga
110 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah psan dan keserasian Al-Qur‟ān, (Jakarta: Lentera hati,
2007)hal. 139-140 111 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXI, hal. 160-162 112 Zaghlūl al-Najjār, Min Āyāt al-I‟jāz al-„Ilmī: Al-Ḥayawān fī al-Qur‟ān al-Karīm (Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, 2006), hal. 308. 113Muḥammad bin Ismā„īl al-Bukhārī, Al-Jāmi„ al-Ṣaḥīḥ: Al-Musnad min Ḥadīṡ Rasūlillāh saw. wa
Sunanih wa Ayyāmihi (Kairo: Al-Maṭba„ah al-Salafiyyah wa Maktabatuhā, 1982), II, 445. Lihat juga Muslim
bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, 1991), IV, 2092. Dan Muḥammad
bin „Īsā bin Saurah al-Tirmiżī, Al-Jāmi„ al-Ṣaḥīḥ: Sunan al-Tirmiżī (Mesir: Maktabah wa Maṭba„ah Muṣṭafā
al-Bābī al-Ḥalabī wa Aulādihi, 1975), V, 508.
50
ayam jago mempunyai keistimewaan dari pada binatang lain pada umumnya. Ia
bisa mengetahui perubahan waktu di malam hari. Ayam berkokok di waktu yang
tepat dan hampir tidak pernah tertinggal dari waktunya. Oleh karena itulah
sebagian ulama syafiiyah berfatwa bahwa suara kokok ayam bisa di jadikan
pijakan untuk menentukan waktu.
Rasulullah SAW menganjurkan kita berdo‟a ketika mendengar kokok
ayam jantan karna malaikat sedang hadir. Ibnu Hajar mengutip komentar al-
Qadhi‟Iyadh bahwa salah satu sebab di anjurkan berdo‟a saat itu agar do‟a di
Aminkan malaikat. Selain mengaminkan, para malaikat beristighfar dan
menyaksikan ke ikhlasan berdo‟a. Dengan demikian, dianggap baik juga jika
berdo‟a karena kehadiran orang-orang shalih sebaik tabarruk (mengambil berkah)
melalui mereka.
Isyarat suara kokok ayam jantan sebelum masuk fajar (sebelum waktu
sahur atau sepertiga malam) adalah agar kita melaksanakan sholat tahajjud karna
disaat itulah para malaikat hadir untuk mengaminkan do‟a kita dan beristighfar
untuk kita. Isyarat kokok ayam jantan menjelang subuh adalah untuk bangun
melaksanakan sholat subuh berjama‟ah di masjid. Kokok ayam menjelang
matahari terbit bisa jadi juga sebuah isyarat bahwa ayam jantan melihat para
malaikat sedang menebarkan keberkahan dan rezeki kepada seluruh makhluk di
dunia.114
Suara ringikikan keledai adalah isyarat hadirnya syaithan. Disaat itulah
Rasulullah menganjurkan kita untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan
syaithan. Melalui hadits ini, Abi Daud berpendapat bahwa dianjurkan pula kita
membaca ta‟awudz ketika melihat ahli maksiat.
Hadits ini dapat dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian yang di
lakukan oleh salah seorang ilmuan barat. Hasil penelitian Joseph Corbo yang
dilaporkan dalam sebuah publikasi ilmiah di Jurnal Public Library of science ONE
pada tahun 2010 menjelaskan bahwa ayam memiliki kerucut retina tambahan
dibandingkan dengan manusia. Hal tersebut memungkinkan hewan unggas ini
114 Ridwan Shaleh, “Ayam Jantan bisa Melihat Malaikat dan Keledai dapat Melihat Syaithan”, di
akses melalui alamat : http://pkh.or.id/ayam-jantan-dan-keledai-bisa-melihat-malaikat/ , pada tanggal 18
maret 2020
51
untuk membedakan warna tambahan dan sebuah fenomena yang tak kasat mata.
Corbo mengatakan bahwa kemampuan untuk melihat warna tersebut berasal dari
sel cahaya khusus yang ditemukan di retina mata ayam. Sel-sel ini dapat
mendeteksi panjang gelombang cahaya yang berbeda.115
C. Kebisingan dalam Sudut Pandang Sains
Di antara isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam ayat ini adalah
larangan yang terang akan meninggikan suara tanpa suatu keperluan, dan riset-
riset modern menyatakan bahwa kebisingan merupakan salah satu bentuk
pencemaran lingkungan, serta bahwa pada hal tersebut terdapat hubungan yang
kuat antara stabilitas fisik dan psikis pada makhluk hidup (bahkan juga benda-
benda mati) pada suatu lingkungan, dan antara tingkat kebisingan yang
mendominasi di lingkungan tersebut. Kebisingan yang kuat dapat mengakibatkan
gangguan yang nyata pada kinerja dan fungsi bermacam-macam sistem pada
tubuh manusia, seperti meningkatnya produksi zat adrenalin yang menyebabkan:
menegangnya saraf tubuh; kesadaran tubuh yang melampaui batas, serta
menguatnya atensi tubuh di luar kemampuan yang meningkat karena pembebanan
dan sensitivitas tubuh dengan kelelahan yang melebihi batas.116
Tubuh manusia, seperti makhluk lainnya, dapat menerima gelombang
suara seperti halnya menerima bentuk-bentuk energi lainnya dengan tingkatan
yang bermacam-macam, hal itu terjadi karena adanya kadar reaksi-reaksi yang
kontras pada macam-macam sistem tubuh, terutama pada sistem saraf pusat tubuh,
sistem peredaran darah, sistem pendengaran, serta sistem-sistem kelenjar internal
dan produksinya.117
Hal tersebut karena suara menyebabkan perubahan-perubahan pada
tekanan udara dengan peningkatan (tekanan) dan penyusutan (pengenduran).
Perubahan tersebut memantul dalam bentuk gelombang-gelombang getaran yang
115 Panji, “Ilmuan AS Buktikan Ayam Bisa Lihat Malaikat”, di akses pada alamat :
http://www.panjimas.com/miracle/2015/04/25/ilmuan-as-buktikan-ayam-bisa-lihat-malaikat/, pada tanggal 18
maret 2020. 116Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 497. 117Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 497
52
tersebar di segala arah dari sumber suara dengan kecepatan yang diperkirakan
sekitar 330 m/detik pada suatu medium.118
1. Uraian mengenai Suara
Dalam sudut pandang ilmu fisika bunyi berarti sebuah gelombang
longitudinal yang merambat melalui medium tertentu, bunyi terjadi karena adanya
getaran sehingga tercipta sebuah sistem suara yang pada akhirnya bunyi tersebut
dapat terdengar oleh indra pendengaran manusia. Pada dasarnya medium
penghantar bunyi bisa bermacam-macam sifat dan bentuknya, bisa berupa zat
padat, cair dan gas tergantung sejauh mana sifat kebendaan tersebut dapat
menghantarkan bunyi melalui udara. Sifat-sifat bunyi dapat di ukur melalui
hukum fisika, misalnya hukum fisika
Kualitas suara bergantung pada jumlah getaran per detiknya yang
dipengaruhi kualitas udara, tanpa dipengaruhi kecepatan suara, sementara
intensitas suara pada dasarnya bergantung pada volume getaran yang berkurang
secara berangsur-angsur dengan jarak dari sumber suara. Frekuensi minimal
gelombang udara yang dapat didengar telinga manusia adalah 20 Hertz (yaitu 20
getaran/detik) dan maksimalnya adalah 15.000 sampai 20.000 Hz (yaitu 15.000
sampai 20.000 getaran/detik), gelombang suara tersebut membawa energi dari
sumbernya ke telinga pendengar atau ke sistem-sistem penerimanya. Di antara hal
yang telah dipastikan (penelitian modern) adalah bahwa sebagian hewan seperti
kelelawar, paus biru, lumba-lumba dan sebagian serangga mempunyai
kemampuan pendengaran ultrasonik yang bervariasi antara 30 dan 100 kHz.119
Gelombang suara tidak dapat bergerak dalam ruang hampa, sehingga ia
membutuhkan perantaraan udara, atau medium-medium seperti air atau benda-
benda padat agar dapat bergerak melaluinya. Gelombang suara bergerak di udara
dengan kecepatan kira-kira sekitar 1.200 km/jam di permukaan laut, dengan
peningkatan kepadatan medium yang mana gelombang suara bergerak di
dalamnya, sehingga kecepatannya bertambah secara berkelanjutan hingga
118Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 497-498. 119Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 498.
53
mencapai 4.800 km/jam pada medium air dan dua kali lipat kecepatan tersebut
pada benda-benda padat. Ketika gelombang suara mengenai suatu bidang
permukaan yang padat, rata dan besar, maka sebagian gelombang suara tersebut
akan memantul dan menyebabkan gema/gaung, sementara bagiannya yang tersisa
menembus keluar dari bidang permukaan tersebut. Sementara di dalam bangunan
yang tertutup, gelombang suara dapat memantul berulang-ulang kali melalui
bidang permukaan bagian dalam bangunan tersebut, sehingga gemanya
bertambah.120
Untuk membandingkan intensitas antara dua gelombang suara, digunakan
satuan khusus yang disebut Bel, yang disandarkan kepada Alexander Graham Bell
sebagai penemu telepon, satuan ini juga digunakan untuk satuan ukuran intensitas
suara dan kemampuan pendengaran. Namun karena satuan ini relatif besar,
sehingga pembagiannya dibuat menjadi kelipatan sepuluh, dan satuan desimal
yang dikenal dengan 10 Bel (desibel) ini digunakan untuk membandingkan
intensitas antara dua suara, sementara frekuensi suara diukur dengan satuan lain
yang disebut Hertz (Hz) dan dinyatakan dengan satu putaran/detik.121
Frekuensi
minimal yang dapat didengar oleh telinga manusia, yakni 20 Hz, merupakan
gerakan besar pada gendang telinga, tetapi jika tekanan suaranya meningkat
hingga lebih dari 160 dB, maka ia dapat memecahkan gendang telinga secara
keseluruhan.122
2. Bahaya Kebisingan terhadap Makhluk
Pendengaran merupakan salah satu dari sistem indera manusia, jika
mengalami gangguan pendengaran maka proses komukasi akan sulit di lakukan.
Gangguan itu bisa di akibatkan dengan kebisingan-kebisingan di sekitar.
Kebisingan adalah suara yang tidak di kehendaki oleh manusia dan merupakan
faktor lingkungan yang dapat berpengaruh negatif pada kesehatan. Kebisingan
120Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 498. 121Zaghlūl al-Najjār, Min Āyāt al-I‟jāz al-„Ilmī: Al-Ḥayawān fī al-Qur‟ān al-Karīm, hal. 310. 122Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 499.
54
dapat mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi komunikasi yang sedang
berlangsung.123
Di antara bahaya yang ditimbulkan oleh kebisingan yang kuat adalah: (1)
Terjadinya gangguan pada fungsi telinga, hidung dan laring (pangkal
tenggorokan); (2) Peluang hilangnya indra pendengaran dan penciuman, baik
sebagian atau pun seluruhnya; (3) Kecederaan dengan sejumlah penyakit jantung
dan pembuluh darah seperti meningkatnya kadar kolesterol dalam darah,
terjadinya penyumbatan pembuluh darah, pengerasan pembuluh nadi
(arteriosklerosis), naiknya tekanan darah, gangguan produksi kelenjar-kelenjar
endokrin, gangguan kinerja sebagian fungsi-fungsi otak, terutama dalam keadaan-
keadaan sangat tegang karena kebisingan yang kuat, yang mana dapat
menyebabkan tidak terkendalinya keseimbangan produksi sebagian hormon. Lalu
segala gangguan fungsi bermacam-macam organ tubuh yang mengirinya, sert
gangguan-gangguan saraf dan psikis lainnya yang disertai rasa sakit kepala yang
berlangsung lama, sesak serta rasa lelah. Hal tersebut dapat memantul pada sistem
saraf pusat dan sistem pencernaan sehingga menyebabkan gangguan pencernaan
dan timbulnya luka yang bermacam-macam.124
D. Korelasi dengan Corak Tafsir al-Adabi Ijtima’i
Di telaah dari segi bahasa kata al-adaby berasal dari bentuk masdar
(infinitif), sedang dari kata kerjanya (madi) adalah aduba, yang berarti sopan
santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-
norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannnya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karna itu, istilah
al-Adaby bisa di terjemahkan sastra budaya. Adapun kata al-ijtima‟ī bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi
secara etimologis tafsir al-adaby al-ijtima‟ī adalah tafsir yang berorientasi pada
123 Rindy Astike Dewanty dan sudarmaji, “Analisis Dampak Intensitas Kebisingan Terhadap
Gangguan Pendengaran Petugas Laundry”, Jurnal Kesehatan, Vol. 8, No.2 Juli 2015, hal. 229-230 124Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 499.
55
sastra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa disebut dengan tafsir sosio-
kultural.125
Dalam kajian tafsir seperti yang dijelaskan oleh al-Farmawi adalah suatu
penafsiran al-Qurān dari aspek keindahan redaksinya, kemudian menyusun
penjelasan itu dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan aspek hidayah
al-Qur‟ān bagi kehidupan masyarakat, serta menghubungkan makna-makna ayat
tersebut dengan hukum-hukum kemasyarakatan dan pembangunan dunia tanpa
menggunakan istilah-istilah keilmuan yang rumit.126
Yusuf al-Qardāwi sebagai ulama yang moderat terhadap tafsir ini
mengemukakan pengertian yang lebih luas, yakni penafsiran yang dilakukan
dengan perangkat ilmu-ilmu kontemporer dengan unsur fakta-fakta dan teorinya
yang bertujuan untuk menjelaskan sasaran dan makna-maknanya. Adapun yang di
maksud dengan keilmuan kontemporer adalah ilmu-ilmu eksakta dan termasuk
pula ilmu-ilmu humanisme dan sosial seperti psikologi, ekonomi, geografi dan
semacamnya.127
Dari pengertian ini, tafsir ilmi tampak kaitannya dengan tafsir
adabī ijtimaī.
Tafsir al-adab al-ijtimaī adalah salah satu corak penafsiran al-Qur‟ān yang
cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan
gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada
kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung. Tafsir al-
manār karya Muhammad „Abduh dan Rasyīd Ridhā dapat digolongkan mengikuti
corak al-adab al-ijtimaī ini.128
Bisa dikatakan bahwa corak tafsir al-Adab al-Ijtima‟ī adalah penafsiran
yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran
yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur‟ān pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian
125 M.Karman Supiana, Ulumul Qur‟an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hal. 316-317. 126 Abd al-Hay al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu‟I, (Kairo: Al-Hadharah al-
Arabiyah, 1977), hal. 23 127 Yusuf al-Qardāwī, “Kaifa Nata‟amalu ma‟a al-Qur‟an al-„Azim” (kairo:Dar al-syurūq, 2000),
hal. 369. 128 M. Al-Fatih Suryadilaga et.al., Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 45
56
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Menurut Quraish Shihab ada tiga poin karakteristik corak tafsir adabi
ijtima‟i, yakni: (1) segi ketelitian redaksinya, (2) kemudian menyusun kandungan
ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-
tujuan al-Qur‟ān, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan al-
Qur‟ān, dan (3) penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam
masyarakat.129
Muhammad Abduh menata kehidupan sosial kemasyarakatan melalui
petunjuk al-Qur‟ān, berikut pernyataannya:
1. Al-Qur‟ān adalah petunjuk umat manusia dalam setiap masa dan tempat yang
mencakup keseluruhan dasar pembangunan, roda kemasyarakatan, serta
kemaslahatan umat manusia.
2. Ada hak individu dan hak kemasyarakatan. Setiap orang harus merasakan
adanya hak orang lain dan kemaslahatan seseorang tergantung kepada orang
lain.
3. Hikmah disyariatkannya ibadah adalah untuk mendidik, membangun jiwa dan
hati, serta meluruskan prilaku.
4. Menguatkan dan meluruskan kepribadian muslim, yaitu setiap muslim
merupakan elemen dalam pembangunan kehidupan sosial menuju masyarakat
madani.
5. Menyerukan bahwa pendidikan merupakan pokok terpenting bagi
pembangunan masyarakat madani. Dengan pendidikan, ruh masyarakat
menjadi nyata.
6. Menyerukan pentingnya hidup sederhana sebagai bekal untuk melakukan
pembangunan. Dengan kesederhanaan, suatu negri dapat membangun. Oleh
sebab itu, keberhasilan pembangunan sangat bergantung kepada ulama,
pemerintah, serta masyarakat.
129 Quraish Shihab, “Metode Penyusunan Tafsir yang berorientasi pada Sastra, Budaya dan
Masyarakat”, Makalah, 1984, hal. 1
57
7. Menikah dengan satu istri lebih mendatangkan ketenangan dan keamanan
sehingga ikatan pernikahan akan menjadi kuat dan terwujud hubungan timbal
balik.130
Beberapa negara di dunia membuat perundang-undangan yang tegas untuk
melawan kebisingan yang disebabkan oleh: (1) Deruan mesin pesawat, terutama
pesawat yang melebihi batas kecepatan suara; (2) Kebisingan yang disebabkan
oleh kepadatan macam-macam sarana transportasi; (3) Aktifitas mesin-mesin
pabrik, mesin-mesin penggali dan yang lainnya; (4) Musik yang keras; (5)
Keributan manusia di daerah-daerah yang ramai; (6) Suara hewan-hewan
domestik dan liar, serta; (7) Suara roket/rudal, bahan peledak, bom dan alat-alat
perang lainnya. Itu semua berdampak pada selubung gas (atmosfer) bumi dan
dampaknya akan berbalik pada manusia, hewan, tumbuh dan benda-benda mati.131
Karenanya dibuatlah grafik taraf/ambang maksimum durasi intentitas
bawah kebisingan tertentu yang dapat didengar manusia, yakni: (1) Intentitas
bawah pada taraf 45 dB, orang normal tidak akan dapat tidur dengan tenang dan
rileks; (2) Pada taraf 85 dB, telinga akan mulai merasa sakit; (3) Apabila
intensitas suara telah mencapai 90 dB, maka seseorang tidak boleh tetap
mendengarkannya lebih dari delapan jam; (4) Jika kebisingannya meningkat
sampai 100 dB, maka seseorang tidak boleh berdiam diri lebih dari dua jam; (5)
Apabila intensitas bawah suara mencapai 110 dB, maka seseorang tidak akan
mungkin mendengarnya dengan aman dalam waktu lebih dari setengah jam; (6)
Jika intensitas suara telah mencapai 120 dB, maka hal tersebut akan menyebabkan
rasa sakit yang sangat pada kedua telinga manusia, dan; (7) Jika intensitas tersebut
mencapai 160 dB, maka seseorang akan mengalami ketulian total, hal tersebut
karena intensitas suara pesawat jet tidak melampaui 140 dB.132
Di tengah-tengah penggunaan peralatan ultrasonik seperti sonar, yang
mana intensitasnya mencapai 200 dB pada medium-medium air, sebenarnya sonar
130 Samsurrahman, Pengantar ilmu tafsir (Jakarta: Amzah,2014), hal. 196-197 131Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 499. 132Zaghlūl al-Najjār, Min Āyāt al-I‟jāz al-„Ilmī: Al-Ḥayawān fī al-Qur‟ān al-Karīm, hal. 312.
58
dapat mengakibatkan masalah serius pada banyak hewan-hewan laut dengan
koyaknya jaringan-jaringan tubuhnya.133
E. Buruknya Suara Keledai dan Hewan-hewan Lain
Keledai (himār) disebutkan dalam al-Qur‟ān sebanyak lima kali, umumnya
digunakan sebagai metafora. Umumnya yang terbesit di pikiran manusia ketika
mendengar kata “keledai” adalah gambaran hewan yang dungu, bebal, kurang
sopan, dan tidak berperasaan. Kesan inilah pula yang Allah sampaikan dalam
Surah al-Jumu‟ah:5.
قو اه
سرارال بئس مثل
ا
مل مار يح ح
مثل ال
وها ك
مل يح
ورىة ث ه وا اهج
ل ذين حم
ال
بوا مثل
ذين ك
وم ال
قووم ا يمد اه
ل لوالله يت الله
لمين با اهظه
“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian
mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai
yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum
yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”134
Dalam ayat ini Allah menyamakan orang-orang Yahudi yang enggan
mengamalkan ajaran Taurat dengan keledai yang tidak tahu pentingnya buku-
buku yang sedang dipikulnya. Alangkah dungunya manusia yang hanya memiliki
kecerdasan setingkat dengan keledai. Ada beberapa ayat al-Qur‟ān yang
menyebutkan keledai diantaranya:
مون ا ثعل
ق ما ل
ل بوها وزينةل ويخ
حمير لترك
وال
بغال
واه
يل خ
ال و
“dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu
ketahui.”135
(an-Nahl:8)
133Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 450. 134
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 553. 135
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 268.
59
ستنرة هم حمة م نا ك
“seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut,”136
(al-Mudassir:50)
Keledai (Equus africanus asinus) adalah salah satu jenis dalam kelompok kuda
(Equidae) yang telah dipelihara manusia sejak lama. Nenek moyang keledai
adalah keledai liar (Equus africanus) yang hidup di beberapa bagian Afrika.137
Walau keledai banyak digunakan oleh manusia seperti mengangkut barang, akan
tetapi perumpamaan atas keledai masih tetap berupa ungkapan konotatif negatif.
Namun demikian, keledai telah menjadi aspek penting yang di abadikan oleh
Allah dalam firman-Nya melalui al-Qur‟ān yang sarat kelebihan dan
kemukjizatan. Perumpamaan atas keledai pastinya bukanlah sekedar ungkapan
konotasi belaka tanpa makna dan tujuan.
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa suara atau frekuensi keledailah
yang lebih nyaring yakni 350 Hz dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya.
Pengukuran telah memastikan bahwa intensitas suara ringkikan keledai dapat
melebihi 100 dB dan dipastikan pula bahwa terlalu banyak mendengar suaranya
136
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 2002), hal. 577. 137 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān,et.al., Hewan dalam Perspektif Al-Qur‟ān dan Sains
(Tafsir Ilmi), (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān,2012), hal. 103-106.
60
dapat membuat manusia terkena sejumlah penyakit.138
Di antara hewan-hewan
domestik yang juga memiliki tekanan suara yang tinggi adalah anjing dan
kambing, karena itu keduanya harus diberikan tempat khusus yang jauh dari
rumah manusia dan tempat tinggal hewan-hewan domestik lainnya. Adapun
intensitas suara makhluk hidup yang paling tinggi adalah suara paus biru, yang
mana intensitas suaranya mencapai 188 dB, namun karena hidupnya di dalam air,
maka sebagian besar intensitas suara tersebut diserap oleh air, sehingga manusia
hampir tidak dapat merasakannya meskipun ia mendengarnya dalam jarak ratusan
mil.139
Di dalam isyarat Qur‟āni yang menyebutkan bahwa seburuk-buruk suara
adalah suara keledai terdapat keilmiahan istimewa yang tidak diketahui pada
waktu pewahyuan al-Qur‟ān, dan tidak pula untuk masa yang sangat panjang
setelahnya. Penyebutannya di dalam kitab yang diturunkan kepada seorang Nabi
yang ummī, di tengah-tengah umat yang saat itu mayoritasnya jauh dari orang-
orang yang buta aksara, yakni 14 abad lalu, dan pengisyaratannya akan bahaya
pencemaran lingkungan dengan kebisingan merupakan hakikat-hakikat yang tidak
diketahui kecuali pada penghujung abad 20.140
138Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 450. 139Zaghlūl al-Najjār, Min Āyāt al-I‟jāz al-„Ilmī: Al-Ḥayawān fī al-Qur‟ān al-Karīm, hal. 312. 140Zaghlūl al-Najjār, Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm, II, hal. 450.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengikuti uraian panjang terkait penafsiran Zaghlūl al-Najjār
terhadap QS. Luqman ayat 19, analisis terhadap tafsirannya maka dapat di tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penafsiran Zaghlūl al-Najjār terkait dengan Surat Luqman ayat 19, bahwa kata
al-Qasd berarti tidak berlebihan atau melampaui batas antara melebihkan dan
mengurangi. Sedaangkan kata al-Ghaddh berarti merendahkan suara sesuai
tingkat yang di butuhkan, hal tersebut merupakan bagian dari adab, sikap
percaya diri dan kepercayaan akan benarnya ucapan sehingga menjadikan
rendahnya suara sebagai salah satu dari akhlak-akhlak mulia. Sementara itu
meninggikan suara adalah sejelek-jeleknya suara. Meninggikan suara akan
mengakibatkan kebisingan dan kebisingan merupakan salah satu pencemaran
lingkungan, serta pada hal tersebut terdapat hubungan yang kuat antara
stabilitas fisik dan psikis pada makhluk hidup bahkan pada benda mati pada
suatu lingkungan. Kebisingan yang kuat dapat mengakibatkan gangguan yang
nyata pada kinerja dan fungsi bermacam-macam sistem pada tubuh manusia,
seperti meningkatnya produksi zat adrenalin yang menyebabkan:
menegangnya saraf tubuh; kesadaran tubuh yang melampaui batas, serta
menguatnya atensi tubuh di luar kemampuan yang meningkat karena
pembebanan dan sensitivitas tubuh dengan kelelahan yang melebihi batas. Di
antara bahaya yang ditimbulkan oleh kebisingan yang kuat adalah: (1)
Terjadinya gangguan pada fungsi telinga, hidung dan laring (pangkal
tenggorokan); (2) Peluang hilangnya indra pendengaran dan penciuman, baik
sebagian atau pun seluruhnya; (3) Kecederaan dengan sejumlah penyakit
jantung dan pembuluh darah seperti meningkatnya kadar kolesterol dalam
darah, terjadinya penyumbatan pembuluh darah, pengerasan pembuluh nadi
(arteriosklerosis), naiknya tekanan darah, gangguan produksi kelenjar-kelenjar
endokrin, gangguan kinerja sebagian fungsi-fungsi otak, terutama dalam
keadaan-keadaan sangat tegang karena kebisingan yang kuat, yang mana dapat
62
menyebabkan tidak terkendalinya keseimbangan produksi sebagian hormon.
Lalu segala gangguan fungsi bermacam-macam organ tubuh yang mengirinya,
sert gangguan-gangguan saraf dan psikis lainnya yang disertai rasa sakit
kepala yang berlangsung lama, sesak serta rasa lelah.
2. Analisis terhadap tafsiran Zaghlūl al-Najjār tentang QS. Luqman ayat 19,
bahwa kebisingan akan berdampak negatif pada fisik salah satunya adalah
gangguan pada pendengaran, karna pada umumnya Frekuensi yang dapat di
terima manusia yakni 20 Hz, merupakan gerakan besar pada gendang telinga,
tetapi jika tekanan suaranya meningkat hingga lebih dari 160 dB, maka ia
dapat memecahkan gendang telinga secara keseluruhan. Hal tersebut dapat
memantul pada sistem saraf pusat dan sistem pencernaan sehingga
menyebabkan gangguan pencernaan dan timbulnya luka yang bermacam-
macam. Di antara hewan-hewan domestik yang juga memiliki tekanan suara
yang tinggi adalah anjing dan kambing, karena itu keduanya harus diberikan
tempat khusus yang jauh dari rumah manusia dan tempat tinggal hewan-
hewan domestik lainnya. Adapun intensitas suara makhluk hidup yang paling
tinggi adalah suara paus biru, yang mana intensitas suaranya mencapai 188
dB, namun karena hidupnya di dalam air, maka sebagian besar intensitas suara
tersebut diserap oleh air, sehingga manusia hampir tidak dapat merasakannya
meskipun ia mendengarnya dalam jarak ratusan mil. Keledai adalah hewan
darat yang memiliki intensitas suara paling tinggi, yang intensitas suaranya
mencapai 350 Hz dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya seperti
kalilawar yang intensitas suaranya mencapai 316 Hz dan anjing mencapai 108
Hz dan sebagainya.
63
B. Saran-Saran
Melalui penelitian ini, penulis akan memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi pembaca yang berkeinginan menafsirkan al-Qur‟ān, hendaknya harus
memiliki seperangkat ilmu-ilmu yang menjadi syarat untuk menafsirkan al-
Qur‟ān. Selain itu, diperlukan pula ilmu-ilmu yang berkembang pada zaman
modern saat ini. Sehingga mampu menghasilkan pemahaman secara
komprehensif.
2. Penulis akui tulisan ini belum mencapai kesempurnaan. Karna itu, penulis
berharap ada peneliti-peneliti yang secara serius „membawa‟ dirinya untuk
memperdalam karya skripsi ini, dengan analisis dan sudut pandang yang
berbeda. Sehingga diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih luas.
64
DAFTAR PUSTAKA
Al-„Aridl, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1994.
Al-Farmawi, Abd Al-Hayy. (Terj. Suryan A. Jamrah), Metode Tafsir Maudhu‟i.
Jakarta:PT Raja Grafindo, 1996.
Al-Najjār, Zaghlūl. Min Āyāt al-I‟jāz al-„Ilmī: Al-Ḥayawān fī al-Qur‟ān al-Karīm.
______. Tafsīr al-Āyāt al-Kauniyyah fī al-Qur‟ān al-Karīm. Beirut: Dār al-
Ma‟rifah. 2006. II.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. TafsĪr al-Maragi, terj. Anshori Umar Sitanggal, dkk.
Semarang: Karya Toha Putra, cet. Ke-2, 1993.Juz xix.
Al-Mutasib, Abdul Majid Abdussalam (Terj. Moh. Maghfur Wachid). Visi
dan Paradigma Tafsir al-Qur‟an Kontemporer. Bangil: Al Izzah, 1997.
Al-Qardāwī , Yusuf. “Kaifa Nata‟amalu ma‟a al-Qur‟an al-„Azim”. Kairo:Dar al-
syurūq, 2000.
Al-Qaṭṭān, Mannā Khalīl, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an. Jakarta: Litera Antar
Nusantara. 1994.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Shafwatut TafasĪr, Jilid 4. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar. 2011.
Anwar, Rosihan. Pengantar Ulumul Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur. Semarang;
Pustaka Rizki Putra, 2000.
As-Suyuti, Jalaluddin dan Jalaluddin al-Mahalli. Tafsir Jalalain. Jilid 3. Surabaya;
Fitrah Mandiri.
Asy-Syirbashi, Ahmad. (Terj. Pustaka Fidaus). Sejarah Tafsir Qur‟an. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1985.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Bakker, Anton dan Ahmad Haris Zubair. Metologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
65
Dewanty, Rindy Astike dan sudarmaji, “Analisis Dampak Intensitas Kebisingan
Terhadap Gangguan Pendengaran Petugas Laundry”, Jurnal Kesehatan,
Vol. 8, No.2 Juli 2015.
Dimjati, Djamaluddin. “Menyingkap Kebenaran al-Qur‟an”. Solo: Tiga
Serangkai. 2008.
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat, Sains Menurut Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 1998.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Kota
Kembang. 1989.
Ichwan, Muhammad Nor. Memasuki Dunia Al-Qur‟an. Semarang: Lubuk Raya.
2001.
Ichwan, Mochammad Nor. Tafsir „Ilmi; Memahami Al-Qur‟an Melalui
Pendekatan Sains Modern. Yogyakartra: Menara Kudus Jogja. 2004.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an. Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān,et.al., Hewan dalam Perspektif Al-Qur‟ān
dan Sains (Tafsir Ilmi), (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān, 2012).
Lutfi. “Epistimologi Tafsir Sains Zaghlul al-Najjar”. Tesis; Jurusan Tafsir,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013.
Maritta, Nury Qomariyah. “Konsep Geologi Laut Dalam Al-Qur‟an Dan Sains
(Analisa Surat Al-Rahman [55]: 19-20, Surat An-Naml [27]: 61, dan surat
al-Furqān [25]:53”. Skripsi; Jurusan Tasir Hadits Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Masruri, Hadi dan Imron Rossidy. Filsafat Sains dalam Al-Qur‟an Melacak
Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama. Malang: UIN Malang Press,
2007.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yoyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Mustaqim, Abdul. “Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir.
Nasr, Seyyed Hossein. Sains dan Peradaban di dalam Islam. Bandung: Pustaka.
1986.
66
Pasya, Ahmad Fuad. Dimensi Sains al-Qur‟an, terj. Muhammad Arifin, Cet. I.
Solo: Tiga Serangkai. 2004.
Riyanto, Erik Widi. “Makna Kata al-Bahrain dalam Al-Qur‟an dari Sudut Ilmu
Pengetahuan (Studi kemukjizatan lmiah al-Qur‟an”. Skripsi Thesis:
Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim
Riau Pekanbaru, 2011.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta; Amzah,
2012.
Rubini, “Tafsir Ilmi”, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Volume 5,
Nomor 2, Desember 2016.
Saleh, Sujiat Zubaidi. “Epistemologi Penafsiran Ilmiah al-Qur‟an.” Jurnal
Tsaqafah, VII, No.1 (2011).
Samsurrahman. Pengantar ilmu tafsir. Jakarta: Amzah. 2014.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Bandung,Mizan,2007.
_____. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan,1994.
_____. “Metode Penyusunan Tafsir yang berorientasi pada Sastra, Budaya dan
Masyarakat”. Makalah, 1984.
_____. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Sulaiman, Ishak et.all, Metodologi Penulisan Zaghlul Al-Najjar Dalam
Menganalisis Teks Hadith Nabawi Melalui Data-Data Saintifik.
Malaysia: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala
Lumpur. 2001.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta; Rajawali Pers, 2014.Quthb,
Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟an. Kairo; Darus Syauq, 1968. Jilid 5.
Supiana, M. Karman. Ulumul Qur‟an. Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002.
Suryadilaga, M. Al-Fatih. et.al. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2010.
Sya‟roni, Mokh. Metode Kontemporer Tafsir al-Qur‟an. Semarang: IAIN
Walisongo. 2012.
67
Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman, (Bandung: Penerbit Mizan
Pustaka 2014.
Wardhana, Wisnu Arya. Al-Qur‟ān dan Nuklir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Yuliarto, Udi. “Al-Tafsir Al-„Ilmi Antara Pengakuan dan Penolakan”, Jurnal
Khatulistiwa. Vol.1, No.1 (2011).
Ridwan Shaleh, “Ayam Jantan bisa Melihat Malaikat dan Keledai dapat Melihat
Syaithan”, di akses melalui alamat : http://pkh.or.id/ayam-jantan-dan-
keledai-bisa-melihat-malaikat/ , pada tanggal 18 maret 2020.
Panji, “Ilmuan AS Buktikan Ayam Bisa Lihat Malaikat”, di akses pada alamat :
http://www.panjimas.com/miracle/2015/04/25/ilmuan-as-buktikan-ayam-
bisa-lihat-malaikat/, pada tanggal 18 maret 2020.
68
CURRICULUM VITAE
Nurmiah dilahirkan di Pulau Burung pada tanggal 07 Februari 1999. Putri
ke tiga dari bapak Sayyid dan ibu Ernisah. Nurmiah memperoleh Sarjana Agama
dari Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada 2020, ijazah
Sekolah Menengah Atas (SMA) diperoleh pada 2016, Sekolah Menengah Pertama
(SMP) pada 2013 dan memperoleh ijazah Sekolah Dasar (SD) pada 2010.
Nurmiah juga pernah mempunyai pengalaman Organisasi Pramuka di UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, dan mempunyai pengalaman kerja yaitu sebagai
pengajar di Jambi Qur‟an School pada tahun 2016.