pemodelan remaja putus sekolah usia sma di … · dengan nilai r2= 42,38%. kata kunci : putus...
TRANSCRIPT
1
PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI PROVINSI JAWA
TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI SPASIAL
Liska Septiana(1)
, Sri Pingit Wulandari (2)
, (1)
Mahasiswa Statistika FMIPA [email protected], (2)
Dosen Statistika ITS [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan dikatakan sebagai katalisator faktor utama pengem-bangan SDM, namun disisi lain
banyak remaja yang putus sekolah pada saat SMA. Berdasarkan data Susenas tahun 2009
diketahui bahwa remaja putus sekolah usia SMA sebesar 40,89% dari total usia SMA sekitar
16-18 tahun. Pada penelitian ini menganalisis mengenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap remaja putus sekolah usia SMA. Diduga ada efek dependensi spasial dalam kasus ini,
penyelesaian efek dependensi spasial adalah mengunakan regresi dengan pendekatan area.
Regresi spasial dengan pendekatan area meliputi Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial
Error Model (SEM), Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA). Hasil statistik
deskriptif, diketahui rata-rata siswa putus sekolah sebesar 19,19% dengan rasio berjenis kelamin
perempuan terhadap laki-laki, dan persentase keluarga miskin sebesar 1,427 dan 15,96%.
Berdasarkan model spasial Spatial Autoregressive Model (SAR) didapatkan variabel prediktor
yang signifikan pada α=10% adalah variabel keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan
dengan nilai R2=44,15%. Sedangkan dengan model spasial Spatial Error Model (SEM)
didapatkan variabel predictor yang signifikan pada α=5% adalah letak rumah dipedesaan
dengan nilai R2= 42,38%.
Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM
1. PENDAHULUAN
Salah satu parameter keberhasilan pendidikan
adalah menuntaskan Angka Partisipasi Kasar
(APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) mutu
pendidikan untuk mencapai 95% (Rasiyo, 2008).
Pendidikan di Jawa Timur belum maksimal
berdasarkan jenjang pendidikan formal khususnya
pada jenjang pendidikan SMA. Hal ini dapat dilihat
dari APK dan APM hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas, 2008). APK Jawa Timur untuk
usia SMA sebesar 71,18% dan APM sebesar
57,05%, dapat dikatakan persentase APK dan APM
usia SMA di Jawa Timur masih rendah karena
belum mencapai 95%. Besar kecilnya persentase
nilai APK dan APM sangat erat hubungannya
dengan putus sekolah. Berdasarkan data Susenas
tahun 2009 diketahui bahwa remaja putus sekolah
usia SMA sekitar 40,89% dari total usia SMA
yakni usia 16-18 tahun.
Berdasarkan penelitian tentang anak putus sekolah
di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi
Aceh utara secara umum masalah utamanya adalah
kondisi ekonomi keluarga (Grahacendikia,2009).
Hasil penelitian di Kecamatan Selangit, kabupaten
Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan menyim-
pulkan dari beberapa faktor, permasalahan
geografis sangat dominan menjadi penyebab anak
putus sekolah (Alifianto,2008). Melihat hasil
penelitian (Choiriyah,2009) di Surabaya Utara,
salah satu faktor tejadinya putus sekolah adalah
jenis kelamin. Sedangkan penelitian angka putus
sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor
terpenting yang mempengaruhi angka putus
sekolah dijumpai pada rumah tangga yang jauh dari
fasilitas publik, rumah tangga yang tidak memiliki
fasilitas lampu listrik (Elfindri,2001).
Dari beberapa penelitian sebelumnya, maka
penelitian ini diambil beberapa faktor remaja putus
sekolah usia SMA berdasarkan data Susenas ada
lima yaitu jenis kelamin, jumlah saudara di dalam
anggota rumah tangga, letak rumah di pedesaan,
persentase keluarga miskin di tiap kabupaten serta
pendidikan kepala rumah tangga.
Perlu dipertimbangkan juga bahwa putus sekolah di
suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan jarak
antara wilayah yang satu dengan yang lain,
kemungkinan letak sekolah yang lebih dekat
dengan tempat tinggal berada di luar wilayah
kabupaten/kota. Transportasi saat ini memung-
kinkan seseorang untuk mencari sekolah yang lebih
baik mutunya di luar wilayah tempat tinggalnya.
2
2
ˆ~
ˆk
hit n k
k
t tSE
Kemudahan transportasi dan fasilitas lainnya
memungkinkan seseorang untuk berpindah
ketempat wilayah yang satu dengan wilayah yang
lain, khususnya wilayah Jawa Timur yang memiliki
kedekatan wilayah antara kabupaten/kota yang satu
dengan yang lain. Dengan alasan tersebut adanya
dependensi spasial karena letak wilayah antara
yang satu dengan yang lain berdekatan dan
memiliki karakteristik yang sama.
Merujuk informasi yang telah didapat,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi remaja putus sekolah
usia SMA di Jawa Timur dan pemetaan remaja
putus sekolah SMA di kabupaten/kota di Jawa
Timur. Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh adalah dengan menggunakan metode
regresi tanpa melihat efek spasial di tiap
kabupaten/kota di jawa timur. Pemetaan yang
dilakukan untuk melihat bentuk efek spasial yang
dilihat secara visual. Pengujian efek spasial
dilakukan dengan uji heterogenitas dan dependensi
spasial.
Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini
dilakukan menggunakan penyelesaian regresi
spasial area dengan metode Spatial Autoregressive
Model (SAR) untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi remaja purtus sekolah usia SMA di
provinsi Jawa Timur.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi merupakan analisis untuk
mendapatkan hubungan dan model matematis
antara variabel dependen (Y) dan satu atau lebih
variabel independen (X). Menurut (Draper dan
Smith,1992) Hubungan antara satu variabel
dependen dengan satu atau lebih variabel
independen dapat dinyatakan dalam model regresi
linier. Secara umum hubungan tersebut dapat
dinyatakan sebagai berikut
Y 0 1X1 ...pX p , dimana Y variabel dependen, sedangkan
p adalah parameter yang tidak diketahui,
dan adalah error regresi. Jika dilakukan
pengamatan sebanyak n, maka model pengamatan
ke-i adalah
Yi Xi1pXip
1,2,...n Kalau disederhanakan menjadi Y Xβ ε ,
dimana Y adalah vector berukuran nx1, X matriks
berukuran n x k , vektor berukuran kx1, dan ε
vektor berukuran nx1. Matriks X mempunyai rank
kolom penuh yaitu k, dimana k = p+1. Dalam
model regresi berganda ada asumsi normalitas
yaitu ε∼IIDN(0,I).
Metode penaksiran parameter model pada
persamaan 1 adalah dengan metode least square
(Drapper and Smith, 1992). Bentuk penaksir least
square dari parameter tersebut adalah :
yXXXTT 1ˆ
(2.2)
dengan
: vektor dari parameter yang ditaksir (p+1) x 1
X : matriks variabel bebas berukuran n x (p+1)
Y : vektor observasi dari variabel respon berukuran
(n x 1)
k : banyaknya variabel bebas (k = 1, 2, …., p)
Pengujian kesesuaian model secara serentak
dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :
0.....: 210 pH
:1H Paling sedikit ada satu 0k Statistik uji dalam pengujian tersebut adalah
Fhit=MSE
MSR (2.3)
dengan keputusan model regresi sesuai untuk data
yang digunakan jika Fhit > 21 ,; vvF dimana v1 = p
dan v2 = (n-p-1).
Setelah dilakukan pengujian secara
serentak, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan uji signifikansi secara parsial, untuk
mengetahui variabel mana saja yang secara statistik
signifikan mempengaruhi variabel respon. Bentuk
rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :
0:0 kH
:1H 0k dengan k = 1, 2, …., p
Dengan taraf signifikansi 05,0
Statistik uji yang digunakan dalam pengujian
secara parsial adalah
, (2.4)
dengan keputusan tolak 0H jika 2/1;. dfhit tt
dimana df = n-2-k (n adalah jumlah pengamatan
dan k adalah jumlah variabel bebas).
2.2 Regresi Spasial
Hukum pertama tentang geografi
dikemukakan oleh Tobler (1979), menyatakan
bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu
dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat
lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang
jauh (Anselin, 1988). Hukum tersebut merupakan
dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek
lokasi atau metode spasial. Dalam permodelan,
apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat
analisis pada data spasial, maka dapat
menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat
3
T
N1
1
21
1
1
1 ,~
WIIWIXβWIy
karena asumsi error saling bebas dan asumsi
homogenitas tidak terpenuhi.
Pengujian efek spasial dilakukan dengan uji
heterogenitas dan dependensi spasial. Penyelesaian
jika ada efek heterogenitas adalah dengan
mengunakan pendekatan titik. Regresi spasial titik
antara lain Geographically Weighted Regression
(GWR),Geographically Weighted Poisson
Regression (GWPR), Geographically Weighted
Logistic Regression (GWLR). Penyelesaian jika
ada efek dependensi spasial adalah dengan
mengunakan pendekatan area. Regresi spasial
dengan pendekatan area meliputi Spatial
Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model
(SEM), Spatial Autoregressive Moving Average
(SARMA) Spatial Durbin Model (SDM),
Conditional Autoregressive Models (CAR).
2.3 Pemodelan Spasial
Model umum regresi spasial dinyatakan
pada persamaan (2.5) dan (2.6) (LeSage, 1999; dan
Anselin 1988).
uXβyWy 1 (2.5)
εuWu 2 (2.6)
),0(~ 2Iε N
dengan
y : Vektor variabel dependen, ukuran n x1 1
X : Matrik variabel independen, berukuran n x
(k+1)
β : Vektor parameter koefisien regresi,
berukuran (k+1) x 1
: Parameter koefisien spasial lag variabel
dependen
: Parameter koefisien spasial lag pada error
u : vektor error pada persamaan (2,5), berukuran
n x 1
ε : vektor error pada persamaan (2.6), berukuran
n x 1, yang berdistribusi normal dengan mean
nol dan varians I2
1W , 2W : matrik pembobot, berukuran n x n
I : matrik identitas, berukuran n x n
n : banyaknya amatan/lokasi (i = 1, 2,.., n)
k : banyaknya variabel independen (k = 1, 2, 3,
…, l)
Error regresi (u) yang diasumsikan
memiliki efek lokasi random dan mempunyai
autokorelasi secara spasial. W1 dan W2 merupakan
pembobot yang menunjukkan hubungan
continguity atau fungsi jarak antar lokasi dan
diagonalnya bernilai nol.
Pada persamaan (2.5), ketika X = 0 dan
02 W akan menjadi spasial autoregressive order
pertama seperti pada persamaan(2.8).
εyWy 1 (2.7)
),0(~ 2Iε N
Persamaan (2.8) tersebut menunjukkan variansi
pada y sebagai kombinasi linear variansi antar
lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel
independen.
1) Pada persamaan (2.5) jika nilai 02 W atau
0
maka akan manjadi model regresi
spasial Mixed Regressive-Autoregressive atau
Spatial Autoregressive Model (SAR) seperti
pada persamaan (2.8).
εXβyWy 1 (2.8)
),0(~ 2
Iε N
Model persamaan (2.8) mengasumsikan
bahwa proses autoregressive hanya pada
variabel dependen.
2) Jika persamaan (2.5) nilai 01 W atau 0
maka akan manjadi model Spatial Error
Model (SEM) seperti pada persamaan (2.9).
εuWXβy 2 (2.9)
),0(~ 2Iε N
uW2 menunjukkan spasial struktur
2W pada spatially dependent error (ε ).
3) Jika persamaan (2.6) nilai 0, 21 WW ,
0 , atau 0 maka disebut Spatial
Autoregressive Moving Average (SARMA)
dengan persamaan sama seperti pada
persamaan (2.5).
2.3 Spatial Autoregressive Model (SAR)
Spatial Autoregressive Model (SAR) disebut juga
Spatial Lag Model (SLM) adalah salah satu model
spasial dengan pendekatan area dengan
memperhitungkan pengaruh spasial lag pada
variabel dependen saja. Model ini dinamakan
Mixed Regressive - Autoregressive karena meng-
kombinasikan regresi biasa dengan model regresi
spasial lag pada variabel dependen (Anselin,1988).
Persamaan (2.8) tersebut menjelaskan variasi
dalam y sebagai kombinasi linier dari unit yang
berdekatan tanpa variabel independen.
(2.10)
2.4 Spatial Error Model (SEM)
Uji Residual Spatial error model berbasis
Maximum Likelihood estimation dilakukan untuk
mengetahui SEM. Anselin (1988) memaparkan
bahwa tes untuk menguji Residual spatial
autocorrelation ada 3 metode yaitu: Wald,
Likelihood Ratio Test (LRT), dan Lagrange
Multiplier (LM). LRT merupakan metode yang
sering dipakai untuk inferensi dari SEM. Hipotesis
yang dikemukakan ialah
4
0 1 0 0 0
1 0 1 0 0
0 1 0 1 1
0 0 1 0 1
0 0 1 1 0
QueenW
2 1 T
2
n 1 1LRT 2 lnσ ln (I B) (I B) (y
2 2 2σ
1
T 1 T 2Xβ) (I B) (I B) ( ) ln2
ny
Xβ
p 0, , .... 0T
k β β
pˆvar( )
I-E(I)
var(I)hitungZ
1n
1IE
o
n n
ij i j
i 1 j 1
n2
i
i 1
( )( )
I
( )o
w x x x x
S x x
n
H0: (tidak ada dependensi error spasial)
H1 : 0 (ada dependensi error spasial)
Arbia (2006) mengemukakan inferensi dari LRT
sebagai berikut.
Sebagaimana persamaan
)()(2
12
XβyXβyT
(2.11)
dengan B = λW dimana λ = koefisien eror spasial
yang bernilai < 1 dan W merupakan matriks
pembobot spasial
H0 ditolak jika statistik uji LRT > 2
1,
2.5 Estimasi Parameter
Estimasi parameterβ diperoleh dengan
memaksimumkan fungsi ln likelihood persamaan
(2.17), yaitu dengan mendifferensialkan persamaan
tersebut terhadap β Sehingga didapatkan estimasi
parameternya adalah
yWIXXXβ )(ˆ1
1
TT
(2.12)
Pengujian hipotesis untuk signifikansi
parameter pada permodelan spasial (Anselin, 1988)
diantaranya Lagrange Multiplier, Wald test, dan
Likelihood Ratio Test. Penelitian ini digunakan
Wald test adalah sebagai berikut
Hipotesis :
H0 :
H1 : 0p
Statistik uji :
Dengan 2ˆp : estimasi parameter ke-p
: varians estimasi parameter ke-p
H0 ditolak jika statistik uji Wald > 2
1,
2.6 Matriks Pembobot
Pembobot yang dipakai adalah dengan
menggunakan persinggungan sisi sudut (Queen
Contiguity) adalah lokasi yang bersisian atau titik
sudutnya bertemu dengan lokasi yang menjadi
perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan
untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.
Berikut ini merupakan gambar peta
Sumber: LeSage (1999)
Gambar 2.1 Persinggungan wilayah
Apabiladpada Gambar 2.1 digunakan metode
Queen contiguity maka diperoleh susunan
matriksberukuran 5×5, sebagai berikut:
dimana baris dan kolom menyatakan region yang
ada pada peta. Karena matriks
pembobot/penimbang spasial merupakan matriks
simetris, dan dengan kaidah bahwa diagonal utama
selalu nol. Matriks dilakukan standarisasi untuk
mendapatkan jumlah baris yang unit, yaitu jumlah
baris sama dengan satu, sehingga matriks menjadi
sebagai berikut:
2.7 Uji Efek Spasial
Efek spasial yaitu spatial dependence dan
spatial heterogeneity pada data, digunakan
beberapa metode pengujian. Pengujian adanya
spatial dependence memakai metode Moran’s I
dan Lagrange Multiplier (LM). Untuk pengujian
adanya spatial heterogeneity menggunakan metode
Breusch-Pagan Test.
2.7.1 Spatial Dependence
Spatial dependence muncul berdasarkan
hukum Tobler I (1979) yaitu segala sesuatu saling
berhubungan dengan hal yang lain tetapi sesuatu
yang lebih dekat mempunyai pengaruh yang besar.
Anselin (1988) menyatakan bahawa uji untuk
mengetahui spatial dependence di dalam error
suatu model adalah dengan menggunakan statistik
Moran’s I.
Hipotesis yang digunakan adalah :
H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)
H0 : I ≠ 0 (ada autokorelasi antar lokasi)
Statistik uji disajikan pada persamaan :
(2.13)
dimana
)ˆvar(
ˆ
p
2
p
Wald
0 1 0 0 0
0,5 0 0,5 0 0
0 0,3 0 0,3 0,3
0 0 0,5 0 0,5
0 0 0,5 0,5 0
QueenW
2
2
21
2
)3)(2n)(1n(
]2n)3n3n[(n)Ivar(
o
o
Sn
SSS
n
1j
ijio ww
n
1j
jioi ww
n
1i
2
oiio2 )( wwS
n
ji
2
jiij1 )(2
1wwS
n
1i
n
1j
ijwSo
5
2XLM
11
2
1222
21 (2 TDRTRRTRELM eeyy
2
2 /yWeR T
y TT XXXXM 1)(1
jiT
jiij WWWWtrT
)()(2 XWMXWE TTT2
222211 )()( TTTDE
2
1 /yWeR T
y
Keterangan:
xi : data ke i (i = 1, 2, …, n)
xj : data ke j (j = 1, 2, …, n)
: rata-rata data
var (I) : varians Moran’s I
E(I) : expected value Moran’s I
Pengambilan keputusan adalah H0 ditolak jika
Zhitung > Zα/2.
Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1.
Apabila I > Io maka data memiliki autokorelasi
positif, jika I < Io maka data memiliki autokorelasi
negatif. Pola pengelompokan dan penyebaran antar
lokasi dapat juga disajikan dengan Moran’s
Scatterplot. Moran’s Scatterplot menunjukkan
hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi
(distandarisasi) dengan rata-rata nilai amatan dari
lokasi-lokasi yang bertetanggaan dengan lokasi
yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001).
Gambar 2.2 Moran’s Scatterplot
Scatterplot tersebut terdiri atas empat
kuadran, yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Lokasi-
lokasi yang banyak berada di kuadran I dan III
cenderung memiliki autokorelasi positif, sedangkan
lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran II dan
IV cenderung memiliki autokorelasi negatif.
Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan
dari masing-masing kuadran (Perobelli dan
Haddad, 2003).
- Kuadran I (High-High), menunjukkan lokasi
yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi
oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan
tinggi.
- Kuadran II (Low-High), menunjukkan lokasi
yang mempunyai nilai amatan rendah
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai
amatan tinggi.
- Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi
yang mempunyai nilai amatan rendah
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai
amatan rendah.
- Kuadran IV (High-Low), menunjukkan lokasi
yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi
oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan
rendah.
Pada LM test diperoleh berdasar pada asumsi
model di bawah H0. Terdapat tiga hipotesis yang
akan digunakan, yaitu:
(i) H0 : ρ = 0 dengan H1 : ρ ≠ 0 (untuk model
SAR)
(ii) H0 : λ = 0 dengan H1 : λ ≠ 0 (untuk model
SEM)
(iii) H0 : ρ, λ = 0 dengan H1 : ρ, λ ≠ 0 (untuk model
SARMA)
Statistik uji yang digunakan adalah:
dengan
m = jumlah parameter spasial (SAR = 1, SEM =
1, SARMA = 2)
e adalah least square residual untuk observasi. Jika matriks penimbang spasial W1 = W2 = W
maka
T11 = T12 = T22 = T = tr{(W + W) W}.
Keputusan tolak H0 jika nilai LM > X2(k).
2.7.1 Spatial Heterogenity
Spatial heterogenity menunjukkan adanya
keragaman antar lokasi. Jadi setiap lokasi
mempunyai struktur dan parameter hubungan yang
berbeda. Heterogenitas data secara spasial dapat
diuji dengan menggunakan statistik uji Breusch-
Pagan test (BP test) yang mempunyai hipotesis:
H0 : σ12
= σ22
=... = σn2 = σ
2 (kesamaan
varians/homokedastisitas)
H1 : minimal ada satu σi2 ≠ σ
2 (heterokedastisitas)
Nilai BP test adalah
BP = (1/2)fT
Z (ZTZ)
-1Z
Tf ~ χ
2(k)
dengan elemen vektor f adalah
fi =
dimana
ei : merupakan least square residual untuk
observasi ke-i
Z : merupakan matrik berukuran n x (k+1) yang
berisi vektor yang sudah dinormal-standarkan
(z) untuk setiap observasi.
Tolak H0 bila BP > χ2(k).
2.8 Parameter Pendidikan
Pendidikan dapat dikatakan sebagai
katalisator faktor utama dalam pengembangan
0.500.250.00-0.25-0.50
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
x
Wx
0
0
Kuadran I Kuadran II
Kuadran III Kuadran IV
6
SDM, dengan anggapan semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran
dalam berbagai aspek. Salah satu parameter
keberhasilan pendidikan adalah menuntaskan APK
(Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka
Partisipasi Murni) mutu pendidikan untuk
mencapai 95%.
APK adalah rasio jumlah siswa, berapapun
usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan
tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia
yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.
APK dapat di hitung dengan membagi jumlah
penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah
siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang
pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk
kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang
pendidikan tersebut. APM adalah persentase siswa
dengan usia yang berkaitan dengan jenjang
pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang
sama. APM di suatu jenjang pendidikan didapat
dengan membagi jumlah siswa atau penduduk usia
sekolah yang sedang bersekolah dengan jumlah
penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan
jenjang sekolah.
APK dan APM erat kaitannya dengan
remaja putus sekolah di setiap jenjang pendidikan,
karena didalam perhitungan APK dan APM
dihitung dari jumlah siswa yang sekolah di jejang
pendidikan. Jika jumlah siswa yang bersekolah
lebih rendah daripada jumlah usia sekolah di setiap
jenjang pendidikan, maka nilai APK dan APM
menjadi rendah. Semakin banyak siswa di jenjang
pendidikan yang putus sekolah maka semakin
sedikit nilai persentase APK dan APM.
2.9 Pengertian Putus Sekolah
Putus sekolah adalah mereka yang pernah
duduk pada salah satu tingkat pendidikan akan
tetapi pada saat survei berlangsung mereka tidak
terdaftar pada salah satu pendidikan formal yang
disebabkan oleh berbagai faktor. Berdasarkan
penelitian sebelumnya masing-masing wilayah
terdapat perbedaan mengenai faktor mana yang
paling dominan. Hal ini tergantung dari kondisi
wilayah dan penduduk di wilayah tersebut.
Berdasarkan penelitian tentang anak putus
sekolah di Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen,
Aceh Utara (Grahacendikia, 2009) ditemukan
penyebab anak putus sekolah adalah dari faktor
demografi, geografis, sosial budaya, dan ekonomi.
Secara umum masalah utamanya adalah kondisi
ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan
sebagian lagi adalah faktor keluarga.
Hasil penelitian di Kecamatan Selangit,
Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan
ditemukan penyebab anak putus sekolah dari faktor
sosial budaya antara lain malas, nakal, takut
dengan guru, tidak naik kelas, masalah keluarga.
Dari faktor geografis antara lain jalan rusak dan
jarak sekolah yang jauh dari rumah. Faktor
ekonomi indikatornya antara lain tidak ada biaya
dan bekerja. Dari ketiga faktor tersebut
permasalahan geografis sangat dominan menjadi
penyebab anak putus sekolah (Alifianto, 2008).
Berdasarkan penelitian angka putus
sekolah di Sumatra Barat (Elfindri,2001) diketahui
bahwa faktor terpenting terpenting yang
mempengaruhi angka putus sekolah dijumpai pada
rumah tangga yang jauh dari fasilitas publik, rumah
tangga yang tidak memiliki fasilitas lampu listrik,
orang tua mereka juga tidak sekolah atau
maksimum hanya tamat sekolah dasar. Faktor-aktor
lain yang menyebabkan anak putus sekolah yaitu
jenis kelamin, jumlah saudara dan rata-rata
pengeluaran perbulan. Jenis kelamin erat kaitannya
dengan putus sekolah, diduga angka putus sekolah
anak perempuan jauh lebih besar dibandingkan
dengan anak laki-laki.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah
data sekunder yang didapatkan dari Badan Pusat
Statistik (BPS) berupa data (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) Susenas dan data Dinas Pendidikan
Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009. Data ini
mencakup persentase remaja putus sekolah usia
SMA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di
provinsi Jawa Timur yang mencakup 38
kabupaten/kota.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 6 variabe yang terdiri dari 1 variabel
respon dan 5 variabel prediktor dengan rincian
sebagai berikut :
a. Variabel respon (Y) yaitu presentase remaja
putus sekolah usia SMA tiap kabupaten/kota di
Jawa timur. Dimaksud usia SMA adalah usia
16-18 tahun, oleh karena itu pengambilan data
hanya dibatasi remaja putus sekolah usia 16-
18 tahun.
b. Variabel prediktor (X) yaitu faktor-faktor yang
menyebabkan remaja putus sekolah usia SMA
di Provinsi Jawa Timur pada Tabel 3.2.
3.3 Langkah Analisis
Adapun langkah analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah :
a. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk
mengetahui pola penyebaran dan dependensi
pada masing- masing variabel serta scatterplot
untuk mengetahui pola hubungan variabel X
dan Y
b. Melakukan pemodelan regresi dengan
metode Ordinary Least Square (OLS) yang
meliputi estimasi parameter, estimasi sig-
7
nifikansi model, uji asumsi residual (identik,
independen, dan berdistribusi normal).
c. Uji dependensi dan heterogenitas spasial atau
korelasi.
d. Identifikasi tentangkeberadaan efek spasial
dengan menggunakan uji Lagrange
Multiplier (LM). Pengujian LM dilakukan
untuk mengetahui model apa yang sesuai
dengan prosedur.
e. Melakukan pemodelan Spatial
Autoregressive Model (SAR)
f. Melakukan pemodelan Spatial Error Model
(SEM). Tabel 3.2 Variabel Prediktor
Variabel Keterangan
variabel
Definisi perhitungan
X1 Jenis kelamin Dihitung dari rasio antara
perempuan di banding laki-laki
di setiap kabupaten/kota
X2 Persentase
banyaknya
anggota
rumah tangga
yang >4
Dihitung dari jumlah rumah
tangga ART > 4 di jumlah
rumah tangga di setiap
kabupaten/kota di Jawa Timur
X3 Persentase
keluarga
kemiskinan
Persentase keluarga kemiskinan
tiap kabupaten/kota di Jawa
Timur
X4 Persentase
letak rumah di
pedesaan
Persentase banyaknya letak
rumah yang ada di pedesaan di
setiap kabupaten/kota di Jawa
Timur
X5 Rasio
pendidikan
kepala rumah
tangga
Dihitung dari banyaknyakepala
rumahtangga yang
berpendidikan maksimal SD
(Sekolah dasar) dibandingkan
dengan yang jumlah kepala
rumah tangga berpendidikan
minimal SMP (Sekolah
Menengah Pertama)
4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dilakukan pembahasan
dengan menggunakan analisis Spatial
Autoregressive Model (SAR) untuk mengetahui
angka remaja putus sekolah usia SMA di Jawa
Timur. Sebelum membahas pemodelan terhadap
remaja putus sekolah usia SMA di Jawa Timur
dengan menggunakan GWR, terlebih dahulu
diuraikan mengenai statistik deskriptif.
4.1 Statistik Deskriptif Remaja Putus Sekolah
Usia SMA di Jawa Timur
Statisti deskripti berupa pemetaan remaja
putus sekolah usia SMA di Jawa Timur dapat
dilihat pada gambar 4.1 adalah peta prosentase
banyaknya putus sekolah usia SMA yang putus
sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar).
Gambar 4.1 Peta Remaja Putus Sekolah Usia SMA
Gambar 4.1 merupakan peta tematik tersebut
menjelaskan tentang angka putus sekolah remaja
usia SMA untuk setiap kabupaten di Provinsi Jawa
Timur. Terlihat dari gambar, ada beberapa daerah
yang memiliki angka putus sekolah remaja usia
SMA dengan kelompok persentase tinggi (ditandai
dengan warna biru tua) dengan persentase antara
27,64% sampai 38,89%, yaitu Kabupaten Malang,
Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Kediri,
Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan
dengan kode 07, 16, 06, 03 dan 01. Berdasarkan
letak geografis kelima kabupaten tersebut yang
memiliki angka putus sekolah dengan persentase
tinggi, letak kelima kabupaten tersebut cenderung
berdekatan.
Semakin muda yang ditandai dengan warna
kuning warna dari peta tematik Gambar 4.3,
menunjukkan bahwa kelompok persentase angka
putus sekolah di daerah rendah yaitu antara 5,49%
sampai 9,92%. Untuk daerah yang memiliki nilai
kelompok presentase rendah adalah kabupaten
Pamekasan, kabupaten Sampang, kabupaten
Bangkalan, kabupaten Situbondo, kabupaten
Probolinggo, kabupaten Sidoarjo dan kota Kediri
dengan kode 28, 27, 26, 12, 13, 15 dan71.
Selain menggunakan peta tematik, untuk melihat
gambaran secara umum tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi siswa putus sekolah remaja usia
SMA di Provinsi Jawa Timur dapat ditunjukkan
pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Statistik Deskritif
Variabel Jumlah Mean Min Median Maks
Y 38 19,19 5,49 19,51 38,89
X1 38 1,427 0,235 1,146 5
X2 38 41,88 5,26 44,44 66,67
X3 38 15,96 4,81 15,71 31,94
X4 38 55,30 0 65,46 92,35
X5 38 2,258 0,362 2,296 7,103
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa
rata-rata siswa putus sekolah usia SMA di Provinsi
Jawa Timur adalah sebesar 19,19%. Rata-rata
remaja yang putus sekolah usia SMA di Provinsi
Jawa Timur untuk rasio perempuan terhadap laki-
laki yang putus sekolah adalah sebesar 1,427.
Kemudian untuk persentase remaja putus sekolah
usia SMA yang memiliki anggota rumah tangga
8
lebih dari empat orang adalah sebesar 41,88%,
yang berarti bahwa rata-tara remaja putus sekolah
memiliki saudara yang cukup banyak. Semakin
banyaknya anggota keluarga maka beban yang
akan ditanggung oleh kepala rumah tangga juga
akan semakin besar. Jika dilihat dari status
keluarga untuk remaja yang putus sekolah usia
SMA, rata-rata persentase status keluarga miskin
untuk remaja tersebut adalah sebesar 15,96%. Rata-
rata remaja yang putus sekolah usia SMA adalah
yang tinggal di pedesaan, yaitu dengan presentase
sebesar 55,3%. Sedangkan faktor lain yang juga
mempengaruhi remaja putus sekolah usia SMA
adalah karena faktor dari pendidikan kepala rumah
tangga. Bagi remaja yang memiliki kepala rumah
tangga yang maksimal lulusan SD sebesar 2,258
kalinya kepala rumah tangga yang lulusan minimal
sekolah SMP. Hal ini berarti bahwa semakin
rendah lulusan kepala rumah tangga maka
kesadaran untuk menyekolahkan anggota
keluarganya juga semakin rendah.
4.2 Model Regresi Sederhana
Khasus kolinieritas pada model regresi
menyebabkan parameter regresi yang dihasilkan
akan memiliki error yang sangat besar. Beberapa
kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui
adanya kolinearitas antara variabel prediktor adalah
dengan menggunakan koefisien korelasi (pearson
correlation) dan nilai variance inflation factors
(VIF). Pada penulisan ini hanya akan
menggunakan kriteria kedua yaitu nilai VIF.
Berikut ini adalah nilai variance inflation factors
(VIF) untuk masing-masing variabel prediktor
yang mempengaruhi angka putus sekolah remaja
usia SMA di Provinsi Jawa Timur.
Tabel 4.2. Nilai VIF Variabel Prediktor
Variabel Prediktor Nilai VIF
X1 1,3
X2 1,4
X3 2,8
X4 5,4
X5 4,3
Pada tabel tersebut nilai setiap variabel
prediktornya memiliki nilai kurang dari 10, hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadi kasus
multikolinearitas
Apakah kelima variabel prediktor secara
statistik berpengaruh terhadap angka putus sekolah
remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur, maka
akan dilakukan pemodelan dengan menggunakan
regresi terhadap variabel-variabel tersebut.
Berikut ini adalah model regresi linear yang
dapat dilihat pada tabel 4.3 dengan nilai R square
sebesar 20,8% yang artinya model tersebut mampu
menerangkan 20,8% dari keragaman total.
Berdasarkan nilai R square model tersebut mampu
menerangkan 20,8% dari keragaman total maka
dapat dikatakan kurang mewakili data dan dapat
dicoba dengan menggunakan model Regresi
Spasial, agar dapat dilihat kemungkinan model
yang lebih baik dengan nilai SSE lebih rendah dan
nilai R square lebih tinggi.
Tabel 4.3. Estimasi Parameter Model Regresi Parsial
Predictor Coef SE
Coef
T P
Constant 18,01 6,118 2,94 0,006
X1 0,11 1,644 0,07 0,947
X2 0,0482 0,09661 0,48 0,631
X3 0,6019 0,3011 -2** 0,054
X4 21,038 9,329 2,26* 0,031
X5 -1,312 1,821 -0,72 0,476
Nilai R square 20,8%
**T(31;0,950) = 2.03951
* T(31;0,975) = 1.69552
Berdasarkan tabel 4.3 dapat ditunjukkan hasil
pengujian parsia signifikansi menggunakan α
(0,05) bahwa terdapat dua variabel bebas yaituX3
dan X4 yang secara sigifikan berpengaruh terhadap
remaja putus sekolah usia SMA karena memiliki
nilai Thitung>T(31;0,975) (2,03951) atau nilai P_Vaue <
α (0,05). NIlai R square sebesar 20,8% yang
artinya model hanya mewakili data sebesar 20,8%. Tabel 4.4. Estimasi Parameter Model Regresi Serentak
Source DF SS MS F P
Regression 5 480,51 96,10 1,68* 0,168
Residual Error 32 1830,84 57,21
Total 37 2311,35
Durbin-Watson statistic = 1,68161
*F(0,95,32)= 2.51225
**dU= 1,792 dan dl=1,024
Pengujian kesesuaian model secara serentak
dilakukan dengan melihat nilai Fhit dengan nilai
F(0,95,32), keputusan model regresi sesuai untuk data
yang digunakan jika Fhit >F(0,95,32) dan hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Pada Tabel 4.4 didapatkan bahwa hasil
pengujian serentak didapatkan nilai Fhit =1,68 yang
artinya gagal tolak H0 karena nilai Fhit < F(0,95,32)
maka keputusannya adalah variabel prediktor
secara serentak tidak signifikan terhadap variabel
respon.
Selanjutnya dilakukan pengujian asumsi
residual. Beberapa pengujian untuk pengujian
asumsi residual yaitu dengan menguji homogenitas
residual atau melihat varians dari residual dengan
menggunakan uji Glejser, uji autokolerasi residual
dengan melihat plot ACF atau nilai Durbin
Wasthon, dan Uji Normal residualnya. Asumsi-
asumsi tersebut yang harus dipenuhi dalam
pemodelan regresi.
Uji Glejer dilakukann dengan meregresikan
variabel prediktor dengan absolut residual. Hasil
regresi tersebut diuji dengan menggunakan nilai
9
α=0,05 menghasilkan nilai yang signifikan artinya
residual variansnya sama atau dapat dikatakan
tidak ada kasus heterogenitas, hasil pengujian uji
Glejer dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil pengujian autokolerasi pada residual
dapat dilihat pada plot Autocorrelation
Function (ACF) tidak ada lag yang keluar yang
dapat dilihat pada Lampiran 5 . Berdasarkan plot
ACF dapat diputuskan tidak terjadi autokolerasi.
Untuk meyakinkan apakah benar tidak terjadi
autokolerasi maka dilakukan pengujian Durbin
Wasthon. Berdasarkan hasil pengujian tersebut
didapatkan nilai Durbin Wasthon berada antara
dL<d<dU dengan nilai sebesar 1,68161 maka
dapat dikatakan pengujian tidak meyakinkan
terdapat autokolerasi atau tidak.
Pengujian normal residual dilakukan untuk
melihat apakah residual memenuhi asumsi normal.
Berdasarkan hasil pengujian normal residual yang
dapat dilihat di Lampiran 5 didapatkan nilai P-
value> 0,150. Berdasarkan hasil tersebut maka
dapat diputuskan residual berdistribusi normal.
4.3 Pengujian Efek Spasial
Pengujian efek spasial dilakukan untuk
melihat apakah ada pengaruh spasial. Pengujian
Spatial dependence menggunakan statistik Moran’s
I. Nilai Moran’s I dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan hasil pengujian spatial dependence di
dapatkan nilai Moran’s I > I0, hal ini menunjukkan
autokolerasi positif atau pola data yang
mengelompok dan memiliki kesamaan karakteristik
pada wilayah yang berdekatan, maka dikatakan ada
efek spatial dependence pada variabel respon(Y).
Jika digambarkan maka bentuk penyebaran
Moran’s Scatterplot dapat dilihat pada
Gambar 4.2 Moran’s Scatterplot
Gambar 4.2, pada gambar terrsebut menunjukkan
pola mengelompok pada kuadran I dan III yang
berarti kabupaten/kota yang memiliki angka putus
sekolah SMA tinggi mengelompok dengan
kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah
SMA tinggi pula yaitu Kab.Malang,
Kab.Mojokerto dan Kab.Trenggalek. Begitu juga
kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah
putus sekolah SMA rendah mengelompok dengan
kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah
SMA rendah pula yaitu Kab.Sampang,
Kab.bangkalan, Kab. Pamekasan.
4.4 Lagrange Multiplier (LM) test
Pemilihan model spasial dilakukan dengan
LM test sebagai identivikasi awal. Lagrange
Multiplier digunakan untuk mendeteksi dependensi
spasial dengan lebih spesifik yaitu dependensi
dalam lag, error, atau keduanya (lag dan error).
Hasil pengujian LM test pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Diaknostik Dependensi Spasial
Uji Dependensi Spasial Nilai P-value
Moran’s I (error) 3,0266 0,0025*
Lagrange Multiplier (lag) 9,3692 0,0022*
Lagrange Multiplier (error) 5,9245 0,0149*
Lagrange Multiplier (SARMA) 11,942 0,0025*
Ket: * Signifikan α=0.05
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat nilai p-
value dari Moran’s I sebesar 0,0025 (tolak H0)
Artinya ada dependensi spasial dalam error regresi.
Uji Lagrange Multiplier (lag) bertujuan untuk
mengidentifikasi adanya keterkaitan antar
kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel 4.5 dapat
diketahui bahwa nilai P-value LM lag sebesar
0,0022 (kurang dari α = 5% ). Kesimimpulkan
bahwa tolak Ho. Hal ini berarti bahwa terdapat
dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan
ke pembuatan Spatial Autoregressive Model, serta
dapat diketahui bahwa nilai P-value LM error
adalah 0,014 (kurang dario α = 5% ).
Kesimimpulkan bahwa gagal tolak Ho, artinya
terdapat dependensi spasial error sehingga dapat
dilanjutkan dalam pembuatan Spatial Error Model.
Lagrange Multiplier SARMA dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya
fenomena gabungan, yaitu mengidentifikasi adanya
dependensi lag dan dependensi error, antar
kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel 4.5 dapat
diketahui bahwa nilai P-value LM error adalah
0,025 (kurang dario α = 5% ). Kesimimpulkan
bahwa gagal tolak Ho, artinya terdapat dependensi
spasial lag dan error sehingga dapat dilakuakn
pembentukan model campuran.
4.5 Model Spasial Berdasarkan Lagrange Multiplier terdapat
dependensi spasial lag dsan error sehingga perlu
dilanjutkan ke pembuatan Model Spatial
Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error
Model (SEM).
10
3 4
1,
0,482 0,408 0,186n
i ij j i i i
j i j
y w y X X
1 2 3 31 41 10,241 0,241 0,408 0,186y y y X X
413,576 0,148i i iy X u
1,
0,514n
i ij j i
j i j
u w u
1 41 113,576 0,148y X u
1 2 3 10,257 0,257u u u
4.5.1 Spatial Autoregressive Model (SAR) Berdasarkan uji dependensi terdapat depen-
densi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan ke
model Spatial Autoregressive Model. Berdasarkan
Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai R2=44,15%
berarti bahwa model tersebut mampu menjelaskan
variasi dari remaja putus sekolah sebesar 44,15%
dan sisanya 55,85% dijelaskan oleh variabel lain di
luar model. P_value signifikan pada α=10%
adalah variabel X3 ( persentase keluarga miskin)
dan X4 ( persentase letak rumah di pedesaan Tabel 4.6 Estimasi Parameter SAR
Variabel Coeff Z P-value
ρ 0,4820 3,3766 0,0007*
Intercept 4,5013 0,8248 0,4094
X1 -0,0189 -0,0150 0,9879
X2 0,0687 0,8961 0,3701
X3 0,4083 -1,6603 0,0968**
X4 0,1864 2,5553 0,0106*
X5 -0,8865 -0,6229 0,5332
Ket: R2= 44,15%
*Signifikan α=5%
**, Signifikan α=10%
Model SAR adalah sebagai berikut
Model SAR di interpretasikan, bahwa
apabila faktor lain dianggap konstan, jika
persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota
naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah remaja
putus sekolah usia SMA sebesar 0,408 dan letak
rumah berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas
umum bertambah satu satuan maka akan
menambah nilai persentase remaja putus sekolah
usia SMA sebesar 0.186.
Berikut ini merupakan contoh model SAR
yang diamati adalah Kab.Pacitan:
Model pada Kab.Pacitan , dapat di interpretasikan,
bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika
persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota
naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah
persentase remaja putus sekolah usia SMA di
Kab.Pacitan sebesar 0,408 serta letak rumah
berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas umum
bertambah satu satuan maka akan menambah nilai
persentase remaja putus sekolah usia SMA di
Kab.Pacitan sebesar 0.186, untuk y2 dan y3
merupakan kabupaten yang dekat dengan pacitan
yaitu y2 adalah Kab.Ponorogo yang merupakan
kabupaten dengan kode 02, sedangkan y3 adalah
Kab.Trenggalek yang merupakan kabupaten
dengan kode 03 dengan masing-masing pengaruh
kedekatan daerah tersebut sebesar 0,241.
4.5.1 Spatial Error Model (SEM)
Berdasarkan uji dependensi terdapat
dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan
ke model Spatial Error Model. Berikut ini
merupakan hasil output dari pemodelan SEM
dengan masing-masing nilai parameter
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa
nilainilai R2=42,38% berarti bahwa model tersebut
mampu menjelaskan variasi dari remaja putus
sekolah sebesar 42,38% dan sisanya 57,62%
dijelaskan oleh variabel lain di luar model. P_value
yang signifikan pada α=10% dan variabel yang
signifikan adalah variabel X4 ( persentase letak
rumah di pedesaan. Tabel 4.7 Estimasi Parameter SEM
Variabel Coeff Z P-value
λ 0,5144 3,5964 0,0003*
Intercept 13,576 2,4612 0,0138*
X1 0,1430 0,1205 0,9040
X2 0,0480 0,6426 0,5204
X3 0,3254 -1,0982 0,2720
X4 0,1481 2,0811 0,0374*
X5 9,9e-005 7,1e-005 0,9999
R2= 42,38%
*Signifikan α=5%
Model SEM adalah sebagai berikut
Model SEM dapat di interpretasikan, bahwa
apabila faktor lain dianggap konstan, jika
persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota
naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah remaja
putus sekolah usia SMA sebesar 0,148 dan error
spasial berkolerasi antar daerah.
Berikut ini merupakan contoh model SEM
dengan kabupaten yang di amati adalah
Kab.Pacitan:
Model SEM pada kabupaten pacitan, dapat di interpretasikan, bahwa apabila faktor lain
dianggap konstan, jika letak rumah berada di
pedesaan yang jauh dari fasilitas umum bertambah
satu satuan maka akan menambah nilai persentase
remaja putus sekolah usia SMA di Kab.Pacitan
sebesar 0,148 untuk u2 dan u3 merupakan
kabupaten yang dekat dengan pacitan yaitu u2
adalah Kab.Ponorogo yang merupakan kabupaten
dengan kode 02, sedangkan u3 adalah
Kab.Trenggalek yang merupakan kabupaten
dengan kode 03 dengan kedua nilai error dari
kedua kabupaten tersebut berpengaruh terhadap
model di Kab.Pacitan adalah sebesar 0,257.
11
Gambar 4.9 Putus sekolah SMA, Keluarga Miskin, Letak Rumah di Pedesa
4.6 Faktor- faktor yang Mempengaruhi
Putus Sekolah SMA Setelah melihat parameter yang signifikan
pada model SAR maka didapatkandua variabel
signifikan yang berpengaruh terhadap variabel
remaja putus sekolah usia SMA di Provinsi Jawa
Timur. Variabel predictor yang signifikan adalah
keluarga miskin (X3) dan persentase letak rumah
dipedesaan (X4) yang digambarkan pada Gambar
4.7. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat
persebaran wilayah antara kedua variabel respon
yaitu X3 dan X4 degan variabel respon yaitu
remaja putus sekolah Usia SMA.
Persebaran yang di gambarkan pada peta
memuat informasi bahwa variabel keluarga miskin,
persentase letak rumah di pedesaan, putus sekolah
SMA serta lokasi kabupaten/kotanya dalam satu
kuadran yang mempunyai rentang nilai yang sama.
Degradasi warna daerah menunjukkan besaran
angka putus sekolah SMA. Warna biru menun-
jukkan angka putus sekolah SMA sangat rendah,
warna biru kehijauan berarti angka putus sekolah
SMA rendah yaitu sebesar 5,49%, warna hijau
berarti angka putus sekolah SMA termasuk
kategori sedang, sedangkan warna semakin merah
menunjukkan angka putus sekolah SMA semakin
tinggi dengan persentase sebesar 38,89%, angka
persentase tersebut dapat dilihat dibawah warna
yang terletak di atas peta.
Gambar 4.9 terdiri dari sembilan 9 kuadran,
dimana tiga kuadran diantaranya tidak memiliki
warna di daerah kabupaten/kota kuadran tersebut
yaitu kuadran 6,8 dan 9. Ketiga daerah tersebut
dapat diartikan dengan kondisi daerah yang
persentase keluarga miskin minimal 13,86 % dan
persentase letak keluarga yang memiliki rumah di
pedesaan minimal 30,78% tidak memiliki
keterkaitan tehadap remaja putus sekolah usia
SMA.
Kuadran 7 berisi dua kabupaten/kota yaitu
Kota Surabaya dan Kab.Sidoarjo. Kedua
kabupaten/kota tersebut memiliki persentase
keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan yang
termasuk dalam kategori rendah. Kedua
kabupaten/kota tersebut memiliki rentang
persentase putus sekolah yang relatif rendah.
Kuadran 2 memiliki kabupaten/kota yang
paling banyak dibandingkan dengan kuadran yang
lain. Kab.Pacitan dan Kab.Trenggalek memiliki
angka putus sekolah yang paling tinggi dalam
kuadran ini dikarenakan mamiliki warna merah.
Dalam kuadran ini dapat dikatakan memiliki
rentang persentase letak rumah dipedesaan tinggi
yaitu sekitar 61,56% sampai 92,34% dan rentang
persentase keluarga miskin yang sedang yaitu
sekitar 13,85% sampai 22,89%.
5 . KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan
pembahasan diambil beberapa kesimpulan
tentang angka putus sekolah remaja usia SMA
di Provinsi Jawa Timur, yaitu :
1. Berdasarkan peta tematik tentang angka
putus sekolah remaja usia SMA untuk
setiap kabupaten di Provinsi Jawa Timur,
yang memiliki angka putus sekolah
dengan persentase tinggi, yaitu untuk
kabupaten Malang, kabupaten Mojokerto,
12
413,576 0,148i i iy X u
1,
0,514n
i ij j i
j i j
u w u
3 4
1,
0,482 0,408 0,186n
i ij j i i i
j i j
y w y X X
kabupaten Kediri, kabupaten Trenggalek,
dan kabupaten Pacitan. Sedangkan yang
memiliki presentase rendah adalah daerah
kabupaten Pamekasan, kabupaten
Sampang, kabupaten Bangkalan, kabupaten
Situbondo, kabupaten Probolinggo,
kabupaten Sidoarjo dan kota Kediri. Serta
untuk hasil statistik deskriptif, terlihat
bahwa rata-rata siswa putus sekolah
sebesar 19,19%. Dengan rata-rata siswa
yang putus sekolah yang berjenis kelamin
perempuan, dan status ekonomi miskin
sebesar 1,427 dan 15,96% .
2. Berdasarkan hasil analisis didapatkan
dependensi dalam lag dan error, maka
dilakukan pemodelan Spatial
Autoregressive Model (SAR) dan Spatial
Error Model (SEM). Model SAR
didapatkan variabel predictor yang
signifikan pada α=10% adalah variabel
keluarga miskin (X3) dan letak rumah
dipedesaan (X4) dengan nilai R2=44,15%.
Model SAR yang didapatkan adalah
sebagai berikut.
Sedangkan dengan model spasial SEM
didapatkan variabel predictor yang
signifikan pada α=5% adalah letak rumah
dipedesaan (X4) dengan nilai R2= 42,38%,
dengan model SEM yang didapat adalah
sebagai berikut
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor sebagai variabel prediktor
yang mempengaruhi angka putus
sekolah remaja usia SMA di Provinsi
Jawa Timur sebaiknya ditambah meng-
ingat nilai R2-nya rendah, ke-
mungkinan beberapa variabel yang di
tambahkan untuk penelitian selanjutnya
adalah anggaran pendidikan per APBD,
tenaga SMA per jumlah siswa SMA,
fasilitas fisik pendidikan SMA per
jumlah siswa SMA.
2. Menggunakan selain jenis persing-
gungan sisi sudut (Queen Contiguity).
Dalam memilih persinggungan jenis
sudut perlu diperhatikan untuk melihat
kondisi daerah, kususnya daerah Jawa
Timur yang memiliki kemudahan akses
transportasi untuk berpindah dari
daerah yang satu dengan daerah lain,
selain itu Jawa Timur memiliki
kedekatan wilayah yang dapat
dijangkau dengan mudah tanpa melihat
kedekatan sudut antar wilayah, seperti
Kota.Surabaya dan Kab.Bangkalan
yang memiliki jembatan sebagai kemu-
dahan penduduknya untuk berindah
dari Kota.Surabaya ke Kab.
3. Sebaiknya dalam penelitian selanjutnya
dapat menggunakan pemodelan spasial
Spatial Autoregressive Moving Average
(SARMA), karena dalam penelitian ini
diketahui bahwa dalam LM didapatkan
dependensi dalam ( lag, error)
6. DAFTAR PUSTAKA
Alifianto, A. 2008. Kuliah Kerja Nyata Wajib
Belajar 9 Tahun.
<URL:http://www.pewartakabarindonesia.blog
spot.com/>
Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics :
Methods and Models, Kluwer Academic
Publishers, Netherlands.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2008.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun
2008 di Provinsi Jawa Timur. BPS Jawa
Timur. Surabaya.
Bitter, C., G. Mullian and S. Dall’erba. 2007.
Incorporating Spatial Variation in Housing
Atribute Prices. A Comparition Of
Geographically Weighted Regression And The
Spatial Expantion Method.
mpra.ub.unimuechen.de/1379/01/MPRA paper
1379.pdf. Diakses pada 3Maret 2011.
Choriyah, N .I. 2009. Karakteristik Siswa Putus
Sekolah Tingkat SD dan SMP di Kawasan
Surabaya Utara. [Tugas Akhir]. Surabaya:
Program Sarjana Jurusan Statistika ITS.
Draper, Norman dan Harry, Smith.1992. Analisis
Regresi Terapan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Umum.
Elfindri. 2001. Strategi Sukses Membangun
Daerah. Gorga Media. Jakarta.
Grahacendikia. 2009. Anak Putus Sekolah dan
Cara Pembinaan-nya.
<URL: http://www.google.co.id/putus sekolah/Re-
ferensi Penelitian Skripsi-Tesis>.
LeSage, J.P. (1999), The Theory and Practice of
Spatial Econometrics,
13
Mughal, Waris Hameed. 2007. Human Capital
Investment and Poverty Reduction Strategy in
Pakistan. Asia Pacific Press.
Rasiyo. 2008. Pemerataan Pendidikan Belum
Tercapai. Diunduh dari alamat
http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/Pemer
ataan%20Pendidikan%20blm.pdf pada pada
Selasa, 15 Februari 2011, 09.00 am.
Sulistiyanti. 2009. Pendidikan, Kemiskinan, dan
Pertumbuhan Ekonomi. Malang.
Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika.
Edisi ketiga. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.