pemodelan remaja putus sekolah usia sma di … · dengan nilai r2= 42,38%. kata kunci : putus...

13
1 PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI SPASIAL Liska Septiana (1) , Sri Pingit Wulandari (2) , (1) Mahasiswa Statistika FMIPA ITS[email protected], (2) Dosen Statistika ITS [email protected] ABSTRAK Pendidikan dikatakan sebagai katalisator faktor utama pengem-bangan SDM, namun disisi lain banyak remaja yang putus sekolah pada saat SMA. Berdasarkan data Susenas tahun 2009 diketahui bahwa remaja putus sekolah usia SMA sebesar 40,89% dari total usia SMA sekitar 16-18 tahun. Pada penelitian ini menganalisis mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap remaja putus sekolah usia SMA. Diduga ada efek dependensi spasial dalam kasus ini, penyelesaian efek dependensi spasial adalah mengunakan regresi dengan pendekatan area. Regresi spasial dengan pendekatan area meliputi Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA). Hasil statistik deskriptif, diketahui rata-rata siswa putus sekolah sebesar 19,19% dengan rasio berjenis kelamin perempuan terhadap laki-laki, dan persentase keluarga miskin sebesar 1,427 dan 15,96%. Berdasarkan model spasial Spatial Autoregressive Model (SAR) didapatkan variabel prediktor yang signifikan pada α=10% adalah variabel keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan dengan nilai R2=44,15%. Sedangkan dengan model spasial Spatial Error Model (SEM) didapatkan variabel predictor yang signifikan pada α=5% adalah letak rumah dipedesaan dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM 1. PENDAHULUAN Salah satu parameter keberhasilan pendidikan adalah menuntaskan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) mutu pendidikan untuk mencapai 95% (Rasiyo, 2008). Pendidikan di Jawa Timur belum maksimal berdasarkan jenjang pendidikan formal khususnya pada jenjang pendidikan SMA. Hal ini dapat dilihat dari APK dan APM hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 2008). APK Jawa Timur untuk usia SMA sebesar 71,18% dan APM sebesar 57,05%, dapat dikatakan persentase APK dan APM usia SMA di Jawa Timur masih rendah karena belum mencapai 95%. Besar kecilnya persentase nilai APK dan APM sangat erat hubungannya dengan putus sekolah. Berdasarkan data Susenas tahun 2009 diketahui bahwa remaja putus sekolah usia SMA sekitar 40,89% dari total usia SMA yakni usia 16-18 tahun. Berdasarkan penelitian tentang anak putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh utara secara umum masalah utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga (Grahacendikia,2009). Hasil penelitian di Kecamatan Selangit, kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan menyim- pulkan dari beberapa faktor, permasalahan geografis sangat dominan menjadi penyebab anak putus sekolah (Alifianto,2008). Melihat hasil penelitian (Choiriyah,2009) di Surabaya Utara, salah satu faktor tejadinya putus sekolah adalah jenis kelamin. Sedangkan penelitian angka putus sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi angka putus sekolah dijumpai pada rumah tangga yang jauh dari fasilitas publik, rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas lampu listrik (Elfindri,2001). Dari beberapa penelitian sebelumnya, maka penelitian ini diambil beberapa faktor remaja putus sekolah usia SMA berdasarkan data Susenas ada lima yaitu jenis kelamin, jumlah saudara di dalam anggota rumah tangga, letak rumah di pedesaan, persentase keluarga miskin di tiap kabupaten serta pendidikan kepala rumah tangga. Perlu dipertimbangkan juga bahwa putus sekolah di suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan jarak antara wilayah yang satu dengan yang lain, kemungkinan letak sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggal berada di luar wilayah kabupaten/kota. Transportasi saat ini memung- kinkan seseorang untuk mencari sekolah yang lebih baik mutunya di luar wilayah tempat tinggalnya.

Upload: duongdat

Post on 29-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

1

PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI PROVINSI JAWA

TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI SPASIAL

Liska Septiana(1)

, Sri Pingit Wulandari (2)

, (1)

Mahasiswa Statistika FMIPA [email protected], (2)

Dosen Statistika ITS [email protected]

ABSTRAK

Pendidikan dikatakan sebagai katalisator faktor utama pengem-bangan SDM, namun disisi lain

banyak remaja yang putus sekolah pada saat SMA. Berdasarkan data Susenas tahun 2009

diketahui bahwa remaja putus sekolah usia SMA sebesar 40,89% dari total usia SMA sekitar

16-18 tahun. Pada penelitian ini menganalisis mengenai faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap remaja putus sekolah usia SMA. Diduga ada efek dependensi spasial dalam kasus ini,

penyelesaian efek dependensi spasial adalah mengunakan regresi dengan pendekatan area.

Regresi spasial dengan pendekatan area meliputi Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial

Error Model (SEM), Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA). Hasil statistik

deskriptif, diketahui rata-rata siswa putus sekolah sebesar 19,19% dengan rasio berjenis kelamin

perempuan terhadap laki-laki, dan persentase keluarga miskin sebesar 1,427 dan 15,96%.

Berdasarkan model spasial Spatial Autoregressive Model (SAR) didapatkan variabel prediktor

yang signifikan pada α=10% adalah variabel keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan

dengan nilai R2=44,15%. Sedangkan dengan model spasial Spatial Error Model (SEM)

didapatkan variabel predictor yang signifikan pada α=5% adalah letak rumah dipedesaan

dengan nilai R2= 42,38%.

Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM

1. PENDAHULUAN

Salah satu parameter keberhasilan pendidikan

adalah menuntaskan Angka Partisipasi Kasar

(APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) mutu

pendidikan untuk mencapai 95% (Rasiyo, 2008).

Pendidikan di Jawa Timur belum maksimal

berdasarkan jenjang pendidikan formal khususnya

pada jenjang pendidikan SMA. Hal ini dapat dilihat

dari APK dan APM hasil Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas, 2008). APK Jawa Timur untuk

usia SMA sebesar 71,18% dan APM sebesar

57,05%, dapat dikatakan persentase APK dan APM

usia SMA di Jawa Timur masih rendah karena

belum mencapai 95%. Besar kecilnya persentase

nilai APK dan APM sangat erat hubungannya

dengan putus sekolah. Berdasarkan data Susenas

tahun 2009 diketahui bahwa remaja putus sekolah

usia SMA sekitar 40,89% dari total usia SMA

yakni usia 16-18 tahun.

Berdasarkan penelitian tentang anak putus sekolah

di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi

Aceh utara secara umum masalah utamanya adalah

kondisi ekonomi keluarga (Grahacendikia,2009).

Hasil penelitian di Kecamatan Selangit, kabupaten

Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan menyim-

pulkan dari beberapa faktor, permasalahan

geografis sangat dominan menjadi penyebab anak

putus sekolah (Alifianto,2008). Melihat hasil

penelitian (Choiriyah,2009) di Surabaya Utara,

salah satu faktor tejadinya putus sekolah adalah

jenis kelamin. Sedangkan penelitian angka putus

sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

terpenting yang mempengaruhi angka putus

sekolah dijumpai pada rumah tangga yang jauh dari

fasilitas publik, rumah tangga yang tidak memiliki

fasilitas lampu listrik (Elfindri,2001).

Dari beberapa penelitian sebelumnya, maka

penelitian ini diambil beberapa faktor remaja putus

sekolah usia SMA berdasarkan data Susenas ada

lima yaitu jenis kelamin, jumlah saudara di dalam

anggota rumah tangga, letak rumah di pedesaan,

persentase keluarga miskin di tiap kabupaten serta

pendidikan kepala rumah tangga.

Perlu dipertimbangkan juga bahwa putus sekolah di

suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan jarak

antara wilayah yang satu dengan yang lain,

kemungkinan letak sekolah yang lebih dekat

dengan tempat tinggal berada di luar wilayah

kabupaten/kota. Transportasi saat ini memung-

kinkan seseorang untuk mencari sekolah yang lebih

baik mutunya di luar wilayah tempat tinggalnya.

Page 2: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

2

2

ˆ~

ˆk

hit n k

k

t tSE

Kemudahan transportasi dan fasilitas lainnya

memungkinkan seseorang untuk berpindah

ketempat wilayah yang satu dengan wilayah yang

lain, khususnya wilayah Jawa Timur yang memiliki

kedekatan wilayah antara kabupaten/kota yang satu

dengan yang lain. Dengan alasan tersebut adanya

dependensi spasial karena letak wilayah antara

yang satu dengan yang lain berdekatan dan

memiliki karakteristik yang sama.

Merujuk informasi yang telah didapat,

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-

faktor yang mempengaruhi remaja putus sekolah

usia SMA di Jawa Timur dan pemetaan remaja

putus sekolah SMA di kabupaten/kota di Jawa

Timur. Untuk mengetahui faktor-faktor yang

berpengaruh adalah dengan menggunakan metode

regresi tanpa melihat efek spasial di tiap

kabupaten/kota di jawa timur. Pemetaan yang

dilakukan untuk melihat bentuk efek spasial yang

dilihat secara visual. Pengujian efek spasial

dilakukan dengan uji heterogenitas dan dependensi

spasial.

Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini

dilakukan menggunakan penyelesaian regresi

spasial area dengan metode Spatial Autoregressive

Model (SAR) untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi remaja purtus sekolah usia SMA di

provinsi Jawa Timur.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi merupakan analisis untuk

mendapatkan hubungan dan model matematis

antara variabel dependen (Y) dan satu atau lebih

variabel independen (X). Menurut (Draper dan

Smith,1992) Hubungan antara satu variabel

dependen dengan satu atau lebih variabel

independen dapat dinyatakan dalam model regresi

linier. Secara umum hubungan tersebut dapat

dinyatakan sebagai berikut

Y 0 1X1 ...pX p , dimana Y variabel dependen, sedangkan

p adalah parameter yang tidak diketahui,

dan adalah error regresi. Jika dilakukan

pengamatan sebanyak n, maka model pengamatan

ke-i adalah

Yi Xi1pXip

1,2,...n Kalau disederhanakan menjadi Y Xβ ε ,

dimana Y adalah vector berukuran nx1, X matriks

berukuran n x k , vektor berukuran kx1, dan ε

vektor berukuran nx1. Matriks X mempunyai rank

kolom penuh yaitu k, dimana k = p+1. Dalam

model regresi berganda ada asumsi normalitas

yaitu ε∼IIDN(0,I).

Metode penaksiran parameter model pada

persamaan 1 adalah dengan metode least square

(Drapper and Smith, 1992). Bentuk penaksir least

square dari parameter tersebut adalah :

yXXXTT 1ˆ

(2.2)

dengan

: vektor dari parameter yang ditaksir (p+1) x 1

X : matriks variabel bebas berukuran n x (p+1)

Y : vektor observasi dari variabel respon berukuran

(n x 1)

k : banyaknya variabel bebas (k = 1, 2, …., p)

Pengujian kesesuaian model secara serentak

dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :

0.....: 210 pH

:1H Paling sedikit ada satu 0k Statistik uji dalam pengujian tersebut adalah

Fhit=MSE

MSR (2.3)

dengan keputusan model regresi sesuai untuk data

yang digunakan jika Fhit > 21 ,; vvF dimana v1 = p

dan v2 = (n-p-1).

Setelah dilakukan pengujian secara

serentak, maka langkah selanjutnya adalah

melakukan uji signifikansi secara parsial, untuk

mengetahui variabel mana saja yang secara statistik

signifikan mempengaruhi variabel respon. Bentuk

rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :

0:0 kH

:1H 0k dengan k = 1, 2, …., p

Dengan taraf signifikansi 05,0

Statistik uji yang digunakan dalam pengujian

secara parsial adalah

, (2.4)

dengan keputusan tolak 0H jika 2/1;. dfhit tt

dimana df = n-2-k (n adalah jumlah pengamatan

dan k adalah jumlah variabel bebas).

2.2 Regresi Spasial

Hukum pertama tentang geografi

dikemukakan oleh Tobler (1979), menyatakan

bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu

dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat

lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang

jauh (Anselin, 1988). Hukum tersebut merupakan

dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek

lokasi atau metode spasial. Dalam permodelan,

apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat

analisis pada data spasial, maka dapat

menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat

Page 3: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

3

T

N1

1

21

1

1

1 ,~

WIIWIXβWIy

karena asumsi error saling bebas dan asumsi

homogenitas tidak terpenuhi.

Pengujian efek spasial dilakukan dengan uji

heterogenitas dan dependensi spasial. Penyelesaian

jika ada efek heterogenitas adalah dengan

mengunakan pendekatan titik. Regresi spasial titik

antara lain Geographically Weighted Regression

(GWR),Geographically Weighted Poisson

Regression (GWPR), Geographically Weighted

Logistic Regression (GWLR). Penyelesaian jika

ada efek dependensi spasial adalah dengan

mengunakan pendekatan area. Regresi spasial

dengan pendekatan area meliputi Spatial

Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model

(SEM), Spatial Autoregressive Moving Average

(SARMA) Spatial Durbin Model (SDM),

Conditional Autoregressive Models (CAR).

2.3 Pemodelan Spasial

Model umum regresi spasial dinyatakan

pada persamaan (2.5) dan (2.6) (LeSage, 1999; dan

Anselin 1988).

uXβyWy 1 (2.5)

εuWu 2 (2.6)

),0(~ 2Iε N

dengan

y : Vektor variabel dependen, ukuran n x1 1

X : Matrik variabel independen, berukuran n x

(k+1)

β : Vektor parameter koefisien regresi,

berukuran (k+1) x 1

: Parameter koefisien spasial lag variabel

dependen

: Parameter koefisien spasial lag pada error

u : vektor error pada persamaan (2,5), berukuran

n x 1

ε : vektor error pada persamaan (2.6), berukuran

n x 1, yang berdistribusi normal dengan mean

nol dan varians I2

1W , 2W : matrik pembobot, berukuran n x n

I : matrik identitas, berukuran n x n

n : banyaknya amatan/lokasi (i = 1, 2,.., n)

k : banyaknya variabel independen (k = 1, 2, 3,

…, l)

Error regresi (u) yang diasumsikan

memiliki efek lokasi random dan mempunyai

autokorelasi secara spasial. W1 dan W2 merupakan

pembobot yang menunjukkan hubungan

continguity atau fungsi jarak antar lokasi dan

diagonalnya bernilai nol.

Pada persamaan (2.5), ketika X = 0 dan

02 W akan menjadi spasial autoregressive order

pertama seperti pada persamaan(2.8).

εyWy 1 (2.7)

),0(~ 2Iε N

Persamaan (2.8) tersebut menunjukkan variansi

pada y sebagai kombinasi linear variansi antar

lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel

independen.

1) Pada persamaan (2.5) jika nilai 02 W atau

0

maka akan manjadi model regresi

spasial Mixed Regressive-Autoregressive atau

Spatial Autoregressive Model (SAR) seperti

pada persamaan (2.8).

εXβyWy 1 (2.8)

),0(~ 2

Iε N

Model persamaan (2.8) mengasumsikan

bahwa proses autoregressive hanya pada

variabel dependen.

2) Jika persamaan (2.5) nilai 01 W atau 0

maka akan manjadi model Spatial Error

Model (SEM) seperti pada persamaan (2.9).

εuWXβy 2 (2.9)

),0(~ 2Iε N

uW2 menunjukkan spasial struktur

2W pada spatially dependent error (ε ).

3) Jika persamaan (2.6) nilai 0, 21 WW ,

0 , atau 0 maka disebut Spatial

Autoregressive Moving Average (SARMA)

dengan persamaan sama seperti pada

persamaan (2.5).

2.3 Spatial Autoregressive Model (SAR)

Spatial Autoregressive Model (SAR) disebut juga

Spatial Lag Model (SLM) adalah salah satu model

spasial dengan pendekatan area dengan

memperhitungkan pengaruh spasial lag pada

variabel dependen saja. Model ini dinamakan

Mixed Regressive - Autoregressive karena meng-

kombinasikan regresi biasa dengan model regresi

spasial lag pada variabel dependen (Anselin,1988).

Persamaan (2.8) tersebut menjelaskan variasi

dalam y sebagai kombinasi linier dari unit yang

berdekatan tanpa variabel independen.

(2.10)

2.4 Spatial Error Model (SEM)

Uji Residual Spatial error model berbasis

Maximum Likelihood estimation dilakukan untuk

mengetahui SEM. Anselin (1988) memaparkan

bahwa tes untuk menguji Residual spatial

autocorrelation ada 3 metode yaitu: Wald,

Likelihood Ratio Test (LRT), dan Lagrange

Multiplier (LM). LRT merupakan metode yang

sering dipakai untuk inferensi dari SEM. Hipotesis

yang dikemukakan ialah

Page 4: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

4

0 1 0 0 0

1 0 1 0 0

0 1 0 1 1

0 0 1 0 1

0 0 1 1 0

QueenW

2 1 T

2

n 1 1LRT 2 lnσ ln (I B) (I B) (y

2 2 2σ

1

T 1 T 2Xβ) (I B) (I B) ( ) ln2

ny

p 0, , .... 0T

k β β

pˆvar( )

I-E(I)

var(I)hitungZ

1n

1IE

o

n n

ij i j

i 1 j 1

n2

i

i 1

( )( )

I

( )o

w x x x x

S x x

n

H0: (tidak ada dependensi error spasial)

H1 : 0 (ada dependensi error spasial)

Arbia (2006) mengemukakan inferensi dari LRT

sebagai berikut.

Sebagaimana persamaan

)()(2

12

XβyXβyT

(2.11)

dengan B = λW dimana λ = koefisien eror spasial

yang bernilai < 1 dan W merupakan matriks

pembobot spasial

H0 ditolak jika statistik uji LRT > 2

1,

2.5 Estimasi Parameter

Estimasi parameterβ diperoleh dengan

memaksimumkan fungsi ln likelihood persamaan

(2.17), yaitu dengan mendifferensialkan persamaan

tersebut terhadap β Sehingga didapatkan estimasi

parameternya adalah

yWIXXXβ )(ˆ1

1

TT

(2.12)

Pengujian hipotesis untuk signifikansi

parameter pada permodelan spasial (Anselin, 1988)

diantaranya Lagrange Multiplier, Wald test, dan

Likelihood Ratio Test. Penelitian ini digunakan

Wald test adalah sebagai berikut

Hipotesis :

H0 :

H1 : 0p

Statistik uji :

Dengan 2ˆp : estimasi parameter ke-p

: varians estimasi parameter ke-p

H0 ditolak jika statistik uji Wald > 2

1,

2.6 Matriks Pembobot

Pembobot yang dipakai adalah dengan

menggunakan persinggungan sisi sudut (Queen

Contiguity) adalah lokasi yang bersisian atau titik

sudutnya bertemu dengan lokasi yang menjadi

perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan

untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.

Berikut ini merupakan gambar peta

Sumber: LeSage (1999)

Gambar 2.1 Persinggungan wilayah

Apabiladpada Gambar 2.1 digunakan metode

Queen contiguity maka diperoleh susunan

matriksberukuran 5×5, sebagai berikut:

dimana baris dan kolom menyatakan region yang

ada pada peta. Karena matriks

pembobot/penimbang spasial merupakan matriks

simetris, dan dengan kaidah bahwa diagonal utama

selalu nol. Matriks dilakukan standarisasi untuk

mendapatkan jumlah baris yang unit, yaitu jumlah

baris sama dengan satu, sehingga matriks menjadi

sebagai berikut:

2.7 Uji Efek Spasial

Efek spasial yaitu spatial dependence dan

spatial heterogeneity pada data, digunakan

beberapa metode pengujian. Pengujian adanya

spatial dependence memakai metode Moran’s I

dan Lagrange Multiplier (LM). Untuk pengujian

adanya spatial heterogeneity menggunakan metode

Breusch-Pagan Test.

2.7.1 Spatial Dependence

Spatial dependence muncul berdasarkan

hukum Tobler I (1979) yaitu segala sesuatu saling

berhubungan dengan hal yang lain tetapi sesuatu

yang lebih dekat mempunyai pengaruh yang besar.

Anselin (1988) menyatakan bahawa uji untuk

mengetahui spatial dependence di dalam error

suatu model adalah dengan menggunakan statistik

Moran’s I.

Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)

H0 : I ≠ 0 (ada autokorelasi antar lokasi)

Statistik uji disajikan pada persamaan :

(2.13)

dimana

)ˆvar(

ˆ

p

2

p

Wald

0 1 0 0 0

0,5 0 0,5 0 0

0 0,3 0 0,3 0,3

0 0 0,5 0 0,5

0 0 0,5 0,5 0

QueenW

2

2

21

2

)3)(2n)(1n(

]2n)3n3n[(n)Ivar(

o

o

Sn

SSS

n

1j

ijio ww

n

1j

jioi ww

n

1i

2

oiio2 )( wwS

n

ji

2

jiij1 )(2

1wwS

n

1i

n

1j

ijwSo

Page 5: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

5

2XLM

11

2

1222

21 (2 TDRTRRTRELM eeyy

2

2 /yWeR T

y TT XXXXM 1)(1

jiT

jiij WWWWtrT

)()(2 XWMXWE TTT2

222211 )()( TTTDE

2

1 /yWeR T

y

Keterangan:

xi : data ke i (i = 1, 2, …, n)

xj : data ke j (j = 1, 2, …, n)

: rata-rata data

var (I) : varians Moran’s I

E(I) : expected value Moran’s I

Pengambilan keputusan adalah H0 ditolak jika

Zhitung > Zα/2.

Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1.

Apabila I > Io maka data memiliki autokorelasi

positif, jika I < Io maka data memiliki autokorelasi

negatif. Pola pengelompokan dan penyebaran antar

lokasi dapat juga disajikan dengan Moran’s

Scatterplot. Moran’s Scatterplot menunjukkan

hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi

(distandarisasi) dengan rata-rata nilai amatan dari

lokasi-lokasi yang bertetanggaan dengan lokasi

yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001).

Gambar 2.2 Moran’s Scatterplot

Scatterplot tersebut terdiri atas empat

kuadran, yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Lokasi-

lokasi yang banyak berada di kuadran I dan III

cenderung memiliki autokorelasi positif, sedangkan

lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran II dan

IV cenderung memiliki autokorelasi negatif.

Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan

dari masing-masing kuadran (Perobelli dan

Haddad, 2003).

- Kuadran I (High-High), menunjukkan lokasi

yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi

oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan

tinggi.

- Kuadran II (Low-High), menunjukkan lokasi

yang mempunyai nilai amatan rendah

dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai

amatan tinggi.

- Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi

yang mempunyai nilai amatan rendah

dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai

amatan rendah.

- Kuadran IV (High-Low), menunjukkan lokasi

yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi

oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan

rendah.

Pada LM test diperoleh berdasar pada asumsi

model di bawah H0. Terdapat tiga hipotesis yang

akan digunakan, yaitu:

(i) H0 : ρ = 0 dengan H1 : ρ ≠ 0 (untuk model

SAR)

(ii) H0 : λ = 0 dengan H1 : λ ≠ 0 (untuk model

SEM)

(iii) H0 : ρ, λ = 0 dengan H1 : ρ, λ ≠ 0 (untuk model

SARMA)

Statistik uji yang digunakan adalah:

dengan

m = jumlah parameter spasial (SAR = 1, SEM =

1, SARMA = 2)

e adalah least square residual untuk observasi. Jika matriks penimbang spasial W1 = W2 = W

maka

T11 = T12 = T22 = T = tr{(W + W) W}.

Keputusan tolak H0 jika nilai LM > X2(k).

2.7.1 Spatial Heterogenity

Spatial heterogenity menunjukkan adanya

keragaman antar lokasi. Jadi setiap lokasi

mempunyai struktur dan parameter hubungan yang

berbeda. Heterogenitas data secara spasial dapat

diuji dengan menggunakan statistik uji Breusch-

Pagan test (BP test) yang mempunyai hipotesis:

H0 : σ12

= σ22

=... = σn2 = σ

2 (kesamaan

varians/homokedastisitas)

H1 : minimal ada satu σi2 ≠ σ

2 (heterokedastisitas)

Nilai BP test adalah

BP = (1/2)fT

Z (ZTZ)

-1Z

Tf ~ χ

2(k)

dengan elemen vektor f adalah

fi =

dimana

ei : merupakan least square residual untuk

observasi ke-i

Z : merupakan matrik berukuran n x (k+1) yang

berisi vektor yang sudah dinormal-standarkan

(z) untuk setiap observasi.

Tolak H0 bila BP > χ2(k).

2.8 Parameter Pendidikan

Pendidikan dapat dikatakan sebagai

katalisator faktor utama dalam pengembangan

0.500.250.00-0.25-0.50

0.50

0.25

0.00

-0.25

-0.50

x

Wx

0

0

Kuadran I Kuadran II

Kuadran III Kuadran IV

Page 6: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

6

SDM, dengan anggapan semakin tinggi pendidikan

seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran

dalam berbagai aspek. Salah satu parameter

keberhasilan pendidikan adalah menuntaskan APK

(Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka

Partisipasi Murni) mutu pendidikan untuk

mencapai 95%.

APK adalah rasio jumlah siswa, berapapun

usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan

tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia

yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.

APK dapat di hitung dengan membagi jumlah

penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah

siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang

pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk

kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang

pendidikan tersebut. APM adalah persentase siswa

dengan usia yang berkaitan dengan jenjang

pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang

sama. APM di suatu jenjang pendidikan didapat

dengan membagi jumlah siswa atau penduduk usia

sekolah yang sedang bersekolah dengan jumlah

penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan

jenjang sekolah.

APK dan APM erat kaitannya dengan

remaja putus sekolah di setiap jenjang pendidikan,

karena didalam perhitungan APK dan APM

dihitung dari jumlah siswa yang sekolah di jejang

pendidikan. Jika jumlah siswa yang bersekolah

lebih rendah daripada jumlah usia sekolah di setiap

jenjang pendidikan, maka nilai APK dan APM

menjadi rendah. Semakin banyak siswa di jenjang

pendidikan yang putus sekolah maka semakin

sedikit nilai persentase APK dan APM.

2.9 Pengertian Putus Sekolah

Putus sekolah adalah mereka yang pernah

duduk pada salah satu tingkat pendidikan akan

tetapi pada saat survei berlangsung mereka tidak

terdaftar pada salah satu pendidikan formal yang

disebabkan oleh berbagai faktor. Berdasarkan

penelitian sebelumnya masing-masing wilayah

terdapat perbedaan mengenai faktor mana yang

paling dominan. Hal ini tergantung dari kondisi

wilayah dan penduduk di wilayah tersebut.

Berdasarkan penelitian tentang anak putus

sekolah di Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen,

Aceh Utara (Grahacendikia, 2009) ditemukan

penyebab anak putus sekolah adalah dari faktor

demografi, geografis, sosial budaya, dan ekonomi.

Secara umum masalah utamanya adalah kondisi

ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan

sebagian lagi adalah faktor keluarga.

Hasil penelitian di Kecamatan Selangit,

Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan

ditemukan penyebab anak putus sekolah dari faktor

sosial budaya antara lain malas, nakal, takut

dengan guru, tidak naik kelas, masalah keluarga.

Dari faktor geografis antara lain jalan rusak dan

jarak sekolah yang jauh dari rumah. Faktor

ekonomi indikatornya antara lain tidak ada biaya

dan bekerja. Dari ketiga faktor tersebut

permasalahan geografis sangat dominan menjadi

penyebab anak putus sekolah (Alifianto, 2008).

Berdasarkan penelitian angka putus

sekolah di Sumatra Barat (Elfindri,2001) diketahui

bahwa faktor terpenting terpenting yang

mempengaruhi angka putus sekolah dijumpai pada

rumah tangga yang jauh dari fasilitas publik, rumah

tangga yang tidak memiliki fasilitas lampu listrik,

orang tua mereka juga tidak sekolah atau

maksimum hanya tamat sekolah dasar. Faktor-aktor

lain yang menyebabkan anak putus sekolah yaitu

jenis kelamin, jumlah saudara dan rata-rata

pengeluaran perbulan. Jenis kelamin erat kaitannya

dengan putus sekolah, diduga angka putus sekolah

anak perempuan jauh lebih besar dibandingkan

dengan anak laki-laki.

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah

data sekunder yang didapatkan dari Badan Pusat

Statistik (BPS) berupa data (Survei Sosial Ekonomi

Nasional) Susenas dan data Dinas Pendidikan

Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009. Data ini

mencakup persentase remaja putus sekolah usia

SMA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di

provinsi Jawa Timur yang mencakup 38

kabupaten/kota.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah 6 variabe yang terdiri dari 1 variabel

respon dan 5 variabel prediktor dengan rincian

sebagai berikut :

a. Variabel respon (Y) yaitu presentase remaja

putus sekolah usia SMA tiap kabupaten/kota di

Jawa timur. Dimaksud usia SMA adalah usia

16-18 tahun, oleh karena itu pengambilan data

hanya dibatasi remaja putus sekolah usia 16-

18 tahun.

b. Variabel prediktor (X) yaitu faktor-faktor yang

menyebabkan remaja putus sekolah usia SMA

di Provinsi Jawa Timur pada Tabel 3.2.

3.3 Langkah Analisis

Adapun langkah analisis yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah :

a. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk

mengetahui pola penyebaran dan dependensi

pada masing- masing variabel serta scatterplot

untuk mengetahui pola hubungan variabel X

dan Y

b. Melakukan pemodelan regresi dengan

metode Ordinary Least Square (OLS) yang

meliputi estimasi parameter, estimasi sig-

Page 7: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

7

nifikansi model, uji asumsi residual (identik,

independen, dan berdistribusi normal).

c. Uji dependensi dan heterogenitas spasial atau

korelasi.

d. Identifikasi tentangkeberadaan efek spasial

dengan menggunakan uji Lagrange

Multiplier (LM). Pengujian LM dilakukan

untuk mengetahui model apa yang sesuai

dengan prosedur.

e. Melakukan pemodelan Spatial

Autoregressive Model (SAR)

f. Melakukan pemodelan Spatial Error Model

(SEM). Tabel 3.2 Variabel Prediktor

Variabel Keterangan

variabel

Definisi perhitungan

X1 Jenis kelamin Dihitung dari rasio antara

perempuan di banding laki-laki

di setiap kabupaten/kota

X2 Persentase

banyaknya

anggota

rumah tangga

yang >4

Dihitung dari jumlah rumah

tangga ART > 4 di jumlah

rumah tangga di setiap

kabupaten/kota di Jawa Timur

X3 Persentase

keluarga

kemiskinan

Persentase keluarga kemiskinan

tiap kabupaten/kota di Jawa

Timur

X4 Persentase

letak rumah di

pedesaan

Persentase banyaknya letak

rumah yang ada di pedesaan di

setiap kabupaten/kota di Jawa

Timur

X5 Rasio

pendidikan

kepala rumah

tangga

Dihitung dari banyaknyakepala

rumahtangga yang

berpendidikan maksimal SD

(Sekolah dasar) dibandingkan

dengan yang jumlah kepala

rumah tangga berpendidikan

minimal SMP (Sekolah

Menengah Pertama)

4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dilakukan pembahasan

dengan menggunakan analisis Spatial

Autoregressive Model (SAR) untuk mengetahui

angka remaja putus sekolah usia SMA di Jawa

Timur. Sebelum membahas pemodelan terhadap

remaja putus sekolah usia SMA di Jawa Timur

dengan menggunakan GWR, terlebih dahulu

diuraikan mengenai statistik deskriptif.

4.1 Statistik Deskriptif Remaja Putus Sekolah

Usia SMA di Jawa Timur

Statisti deskripti berupa pemetaan remaja

putus sekolah usia SMA di Jawa Timur dapat

dilihat pada gambar 4.1 adalah peta prosentase

banyaknya putus sekolah usia SMA yang putus

sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar).

Gambar 4.1 Peta Remaja Putus Sekolah Usia SMA

Gambar 4.1 merupakan peta tematik tersebut

menjelaskan tentang angka putus sekolah remaja

usia SMA untuk setiap kabupaten di Provinsi Jawa

Timur. Terlihat dari gambar, ada beberapa daerah

yang memiliki angka putus sekolah remaja usia

SMA dengan kelompok persentase tinggi (ditandai

dengan warna biru tua) dengan persentase antara

27,64% sampai 38,89%, yaitu Kabupaten Malang,

Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Kediri,

Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan

dengan kode 07, 16, 06, 03 dan 01. Berdasarkan

letak geografis kelima kabupaten tersebut yang

memiliki angka putus sekolah dengan persentase

tinggi, letak kelima kabupaten tersebut cenderung

berdekatan.

Semakin muda yang ditandai dengan warna

kuning warna dari peta tematik Gambar 4.3,

menunjukkan bahwa kelompok persentase angka

putus sekolah di daerah rendah yaitu antara 5,49%

sampai 9,92%. Untuk daerah yang memiliki nilai

kelompok presentase rendah adalah kabupaten

Pamekasan, kabupaten Sampang, kabupaten

Bangkalan, kabupaten Situbondo, kabupaten

Probolinggo, kabupaten Sidoarjo dan kota Kediri

dengan kode 28, 27, 26, 12, 13, 15 dan71.

Selain menggunakan peta tematik, untuk melihat

gambaran secara umum tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi siswa putus sekolah remaja usia

SMA di Provinsi Jawa Timur dapat ditunjukkan

pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Statistik Deskritif

Variabel Jumlah Mean Min Median Maks

Y 38 19,19 5,49 19,51 38,89

X1 38 1,427 0,235 1,146 5

X2 38 41,88 5,26 44,44 66,67

X3 38 15,96 4,81 15,71 31,94

X4 38 55,30 0 65,46 92,35

X5 38 2,258 0,362 2,296 7,103

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa

rata-rata siswa putus sekolah usia SMA di Provinsi

Jawa Timur adalah sebesar 19,19%. Rata-rata

remaja yang putus sekolah usia SMA di Provinsi

Jawa Timur untuk rasio perempuan terhadap laki-

laki yang putus sekolah adalah sebesar 1,427.

Kemudian untuk persentase remaja putus sekolah

usia SMA yang memiliki anggota rumah tangga

Page 8: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

8

lebih dari empat orang adalah sebesar 41,88%,

yang berarti bahwa rata-tara remaja putus sekolah

memiliki saudara yang cukup banyak. Semakin

banyaknya anggota keluarga maka beban yang

akan ditanggung oleh kepala rumah tangga juga

akan semakin besar. Jika dilihat dari status

keluarga untuk remaja yang putus sekolah usia

SMA, rata-rata persentase status keluarga miskin

untuk remaja tersebut adalah sebesar 15,96%. Rata-

rata remaja yang putus sekolah usia SMA adalah

yang tinggal di pedesaan, yaitu dengan presentase

sebesar 55,3%. Sedangkan faktor lain yang juga

mempengaruhi remaja putus sekolah usia SMA

adalah karena faktor dari pendidikan kepala rumah

tangga. Bagi remaja yang memiliki kepala rumah

tangga yang maksimal lulusan SD sebesar 2,258

kalinya kepala rumah tangga yang lulusan minimal

sekolah SMP. Hal ini berarti bahwa semakin

rendah lulusan kepala rumah tangga maka

kesadaran untuk menyekolahkan anggota

keluarganya juga semakin rendah.

4.2 Model Regresi Sederhana

Khasus kolinieritas pada model regresi

menyebabkan parameter regresi yang dihasilkan

akan memiliki error yang sangat besar. Beberapa

kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui

adanya kolinearitas antara variabel prediktor adalah

dengan menggunakan koefisien korelasi (pearson

correlation) dan nilai variance inflation factors

(VIF). Pada penulisan ini hanya akan

menggunakan kriteria kedua yaitu nilai VIF.

Berikut ini adalah nilai variance inflation factors

(VIF) untuk masing-masing variabel prediktor

yang mempengaruhi angka putus sekolah remaja

usia SMA di Provinsi Jawa Timur.

Tabel 4.2. Nilai VIF Variabel Prediktor

Variabel Prediktor Nilai VIF

X1 1,3

X2 1,4

X3 2,8

X4 5,4

X5 4,3

Pada tabel tersebut nilai setiap variabel

prediktornya memiliki nilai kurang dari 10, hal ini

menunjukkan bahwa tidak terjadi kasus

multikolinearitas

Apakah kelima variabel prediktor secara

statistik berpengaruh terhadap angka putus sekolah

remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur, maka

akan dilakukan pemodelan dengan menggunakan

regresi terhadap variabel-variabel tersebut.

Berikut ini adalah model regresi linear yang

dapat dilihat pada tabel 4.3 dengan nilai R square

sebesar 20,8% yang artinya model tersebut mampu

menerangkan 20,8% dari keragaman total.

Berdasarkan nilai R square model tersebut mampu

menerangkan 20,8% dari keragaman total maka

dapat dikatakan kurang mewakili data dan dapat

dicoba dengan menggunakan model Regresi

Spasial, agar dapat dilihat kemungkinan model

yang lebih baik dengan nilai SSE lebih rendah dan

nilai R square lebih tinggi.

Tabel 4.3. Estimasi Parameter Model Regresi Parsial

Predictor Coef SE

Coef

T P

Constant 18,01 6,118 2,94 0,006

X1 0,11 1,644 0,07 0,947

X2 0,0482 0,09661 0,48 0,631

X3 0,6019 0,3011 -2** 0,054

X4 21,038 9,329 2,26* 0,031

X5 -1,312 1,821 -0,72 0,476

Nilai R square 20,8%

**T(31;0,950) = 2.03951

* T(31;0,975) = 1.69552

Berdasarkan tabel 4.3 dapat ditunjukkan hasil

pengujian parsia signifikansi menggunakan α

(0,05) bahwa terdapat dua variabel bebas yaituX3

dan X4 yang secara sigifikan berpengaruh terhadap

remaja putus sekolah usia SMA karena memiliki

nilai Thitung>T(31;0,975) (2,03951) atau nilai P_Vaue <

α (0,05). NIlai R square sebesar 20,8% yang

artinya model hanya mewakili data sebesar 20,8%. Tabel 4.4. Estimasi Parameter Model Regresi Serentak

Source DF SS MS F P

Regression 5 480,51 96,10 1,68* 0,168

Residual Error 32 1830,84 57,21

Total 37 2311,35

Durbin-Watson statistic = 1,68161

*F(0,95,32)= 2.51225

**dU= 1,792 dan dl=1,024

Pengujian kesesuaian model secara serentak

dilakukan dengan melihat nilai Fhit dengan nilai

F(0,95,32), keputusan model regresi sesuai untuk data

yang digunakan jika Fhit >F(0,95,32) dan hasilnya

dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Pada Tabel 4.4 didapatkan bahwa hasil

pengujian serentak didapatkan nilai Fhit =1,68 yang

artinya gagal tolak H0 karena nilai Fhit < F(0,95,32)

maka keputusannya adalah variabel prediktor

secara serentak tidak signifikan terhadap variabel

respon.

Selanjutnya dilakukan pengujian asumsi

residual. Beberapa pengujian untuk pengujian

asumsi residual yaitu dengan menguji homogenitas

residual atau melihat varians dari residual dengan

menggunakan uji Glejser, uji autokolerasi residual

dengan melihat plot ACF atau nilai Durbin

Wasthon, dan Uji Normal residualnya. Asumsi-

asumsi tersebut yang harus dipenuhi dalam

pemodelan regresi.

Uji Glejer dilakukann dengan meregresikan

variabel prediktor dengan absolut residual. Hasil

regresi tersebut diuji dengan menggunakan nilai

Page 9: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

9

α=0,05 menghasilkan nilai yang signifikan artinya

residual variansnya sama atau dapat dikatakan

tidak ada kasus heterogenitas, hasil pengujian uji

Glejer dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil pengujian autokolerasi pada residual

dapat dilihat pada plot Autocorrelation

Function (ACF) tidak ada lag yang keluar yang

dapat dilihat pada Lampiran 5 . Berdasarkan plot

ACF dapat diputuskan tidak terjadi autokolerasi.

Untuk meyakinkan apakah benar tidak terjadi

autokolerasi maka dilakukan pengujian Durbin

Wasthon. Berdasarkan hasil pengujian tersebut

didapatkan nilai Durbin Wasthon berada antara

dL<d<dU dengan nilai sebesar 1,68161 maka

dapat dikatakan pengujian tidak meyakinkan

terdapat autokolerasi atau tidak.

Pengujian normal residual dilakukan untuk

melihat apakah residual memenuhi asumsi normal.

Berdasarkan hasil pengujian normal residual yang

dapat dilihat di Lampiran 5 didapatkan nilai P-

value> 0,150. Berdasarkan hasil tersebut maka

dapat diputuskan residual berdistribusi normal.

4.3 Pengujian Efek Spasial

Pengujian efek spasial dilakukan untuk

melihat apakah ada pengaruh spasial. Pengujian

Spatial dependence menggunakan statistik Moran’s

I. Nilai Moran’s I dapat dilihat pada Lampiran 9.

Berdasarkan hasil pengujian spatial dependence di

dapatkan nilai Moran’s I > I0, hal ini menunjukkan

autokolerasi positif atau pola data yang

mengelompok dan memiliki kesamaan karakteristik

pada wilayah yang berdekatan, maka dikatakan ada

efek spatial dependence pada variabel respon(Y).

Jika digambarkan maka bentuk penyebaran

Moran’s Scatterplot dapat dilihat pada

Gambar 4.2 Moran’s Scatterplot

Gambar 4.2, pada gambar terrsebut menunjukkan

pola mengelompok pada kuadran I dan III yang

berarti kabupaten/kota yang memiliki angka putus

sekolah SMA tinggi mengelompok dengan

kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah

SMA tinggi pula yaitu Kab.Malang,

Kab.Mojokerto dan Kab.Trenggalek. Begitu juga

kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah

putus sekolah SMA rendah mengelompok dengan

kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah

SMA rendah pula yaitu Kab.Sampang,

Kab.bangkalan, Kab. Pamekasan.

4.4 Lagrange Multiplier (LM) test

Pemilihan model spasial dilakukan dengan

LM test sebagai identivikasi awal. Lagrange

Multiplier digunakan untuk mendeteksi dependensi

spasial dengan lebih spesifik yaitu dependensi

dalam lag, error, atau keduanya (lag dan error).

Hasil pengujian LM test pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Diaknostik Dependensi Spasial

Uji Dependensi Spasial Nilai P-value

Moran’s I (error) 3,0266 0,0025*

Lagrange Multiplier (lag) 9,3692 0,0022*

Lagrange Multiplier (error) 5,9245 0,0149*

Lagrange Multiplier (SARMA) 11,942 0,0025*

Ket: * Signifikan α=0.05

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat nilai p-

value dari Moran’s I sebesar 0,0025 (tolak H0)

Artinya ada dependensi spasial dalam error regresi.

Uji Lagrange Multiplier (lag) bertujuan untuk

mengidentifikasi adanya keterkaitan antar

kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel 4.5 dapat

diketahui bahwa nilai P-value LM lag sebesar

0,0022 (kurang dari α = 5% ). Kesimimpulkan

bahwa tolak Ho. Hal ini berarti bahwa terdapat

dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan

ke pembuatan Spatial Autoregressive Model, serta

dapat diketahui bahwa nilai P-value LM error

adalah 0,014 (kurang dario α = 5% ).

Kesimimpulkan bahwa gagal tolak Ho, artinya

terdapat dependensi spasial error sehingga dapat

dilanjutkan dalam pembuatan Spatial Error Model.

Lagrange Multiplier SARMA dapat

digunakan untuk mengidentifikasi adanya

fenomena gabungan, yaitu mengidentifikasi adanya

dependensi lag dan dependensi error, antar

kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel 4.5 dapat

diketahui bahwa nilai P-value LM error adalah

0,025 (kurang dario α = 5% ). Kesimimpulkan

bahwa gagal tolak Ho, artinya terdapat dependensi

spasial lag dan error sehingga dapat dilakuakn

pembentukan model campuran.

4.5 Model Spasial Berdasarkan Lagrange Multiplier terdapat

dependensi spasial lag dsan error sehingga perlu

dilanjutkan ke pembuatan Model Spatial

Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error

Model (SEM).

Page 10: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

10

3 4

1,

0,482 0,408 0,186n

i ij j i i i

j i j

y w y X X

1 2 3 31 41 10,241 0,241 0,408 0,186y y y X X

413,576 0,148i i iy X u

1,

0,514n

i ij j i

j i j

u w u

1 41 113,576 0,148y X u

1 2 3 10,257 0,257u u u

4.5.1 Spatial Autoregressive Model (SAR) Berdasarkan uji dependensi terdapat depen-

densi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan ke

model Spatial Autoregressive Model. Berdasarkan

Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai R2=44,15%

berarti bahwa model tersebut mampu menjelaskan

variasi dari remaja putus sekolah sebesar 44,15%

dan sisanya 55,85% dijelaskan oleh variabel lain di

luar model. P_value signifikan pada α=10%

adalah variabel X3 ( persentase keluarga miskin)

dan X4 ( persentase letak rumah di pedesaan Tabel 4.6 Estimasi Parameter SAR

Variabel Coeff Z P-value

ρ 0,4820 3,3766 0,0007*

Intercept 4,5013 0,8248 0,4094

X1 -0,0189 -0,0150 0,9879

X2 0,0687 0,8961 0,3701

X3 0,4083 -1,6603 0,0968**

X4 0,1864 2,5553 0,0106*

X5 -0,8865 -0,6229 0,5332

Ket: R2= 44,15%

*Signifikan α=5%

**, Signifikan α=10%

Model SAR adalah sebagai berikut

Model SAR di interpretasikan, bahwa

apabila faktor lain dianggap konstan, jika

persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota

naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah remaja

putus sekolah usia SMA sebesar 0,408 dan letak

rumah berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas

umum bertambah satu satuan maka akan

menambah nilai persentase remaja putus sekolah

usia SMA sebesar 0.186.

Berikut ini merupakan contoh model SAR

yang diamati adalah Kab.Pacitan:

Model pada Kab.Pacitan , dapat di interpretasikan,

bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika

persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota

naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah

persentase remaja putus sekolah usia SMA di

Kab.Pacitan sebesar 0,408 serta letak rumah

berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas umum

bertambah satu satuan maka akan menambah nilai

persentase remaja putus sekolah usia SMA di

Kab.Pacitan sebesar 0.186, untuk y2 dan y3

merupakan kabupaten yang dekat dengan pacitan

yaitu y2 adalah Kab.Ponorogo yang merupakan

kabupaten dengan kode 02, sedangkan y3 adalah

Kab.Trenggalek yang merupakan kabupaten

dengan kode 03 dengan masing-masing pengaruh

kedekatan daerah tersebut sebesar 0,241.

4.5.1 Spatial Error Model (SEM)

Berdasarkan uji dependensi terdapat

dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan

ke model Spatial Error Model. Berikut ini

merupakan hasil output dari pemodelan SEM

dengan masing-masing nilai parameter

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa

nilainilai R2=42,38% berarti bahwa model tersebut

mampu menjelaskan variasi dari remaja putus

sekolah sebesar 42,38% dan sisanya 57,62%

dijelaskan oleh variabel lain di luar model. P_value

yang signifikan pada α=10% dan variabel yang

signifikan adalah variabel X4 ( persentase letak

rumah di pedesaan. Tabel 4.7 Estimasi Parameter SEM

Variabel Coeff Z P-value

λ 0,5144 3,5964 0,0003*

Intercept 13,576 2,4612 0,0138*

X1 0,1430 0,1205 0,9040

X2 0,0480 0,6426 0,5204

X3 0,3254 -1,0982 0,2720

X4 0,1481 2,0811 0,0374*

X5 9,9e-005 7,1e-005 0,9999

R2= 42,38%

*Signifikan α=5%

Model SEM adalah sebagai berikut

Model SEM dapat di interpretasikan, bahwa

apabila faktor lain dianggap konstan, jika

persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota

naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah remaja

putus sekolah usia SMA sebesar 0,148 dan error

spasial berkolerasi antar daerah.

Berikut ini merupakan contoh model SEM

dengan kabupaten yang di amati adalah

Kab.Pacitan:

Model SEM pada kabupaten pacitan, dapat di interpretasikan, bahwa apabila faktor lain

dianggap konstan, jika letak rumah berada di

pedesaan yang jauh dari fasilitas umum bertambah

satu satuan maka akan menambah nilai persentase

remaja putus sekolah usia SMA di Kab.Pacitan

sebesar 0,148 untuk u2 dan u3 merupakan

kabupaten yang dekat dengan pacitan yaitu u2

adalah Kab.Ponorogo yang merupakan kabupaten

dengan kode 02, sedangkan u3 adalah

Kab.Trenggalek yang merupakan kabupaten

dengan kode 03 dengan kedua nilai error dari

kedua kabupaten tersebut berpengaruh terhadap

model di Kab.Pacitan adalah sebesar 0,257.

Page 11: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

11

Gambar 4.9 Putus sekolah SMA, Keluarga Miskin, Letak Rumah di Pedesa

4.6 Faktor- faktor yang Mempengaruhi

Putus Sekolah SMA Setelah melihat parameter yang signifikan

pada model SAR maka didapatkandua variabel

signifikan yang berpengaruh terhadap variabel

remaja putus sekolah usia SMA di Provinsi Jawa

Timur. Variabel predictor yang signifikan adalah

keluarga miskin (X3) dan persentase letak rumah

dipedesaan (X4) yang digambarkan pada Gambar

4.7. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat

persebaran wilayah antara kedua variabel respon

yaitu X3 dan X4 degan variabel respon yaitu

remaja putus sekolah Usia SMA.

Persebaran yang di gambarkan pada peta

memuat informasi bahwa variabel keluarga miskin,

persentase letak rumah di pedesaan, putus sekolah

SMA serta lokasi kabupaten/kotanya dalam satu

kuadran yang mempunyai rentang nilai yang sama.

Degradasi warna daerah menunjukkan besaran

angka putus sekolah SMA. Warna biru menun-

jukkan angka putus sekolah SMA sangat rendah,

warna biru kehijauan berarti angka putus sekolah

SMA rendah yaitu sebesar 5,49%, warna hijau

berarti angka putus sekolah SMA termasuk

kategori sedang, sedangkan warna semakin merah

menunjukkan angka putus sekolah SMA semakin

tinggi dengan persentase sebesar 38,89%, angka

persentase tersebut dapat dilihat dibawah warna

yang terletak di atas peta.

Gambar 4.9 terdiri dari sembilan 9 kuadran,

dimana tiga kuadran diantaranya tidak memiliki

warna di daerah kabupaten/kota kuadran tersebut

yaitu kuadran 6,8 dan 9. Ketiga daerah tersebut

dapat diartikan dengan kondisi daerah yang

persentase keluarga miskin minimal 13,86 % dan

persentase letak keluarga yang memiliki rumah di

pedesaan minimal 30,78% tidak memiliki

keterkaitan tehadap remaja putus sekolah usia

SMA.

Kuadran 7 berisi dua kabupaten/kota yaitu

Kota Surabaya dan Kab.Sidoarjo. Kedua

kabupaten/kota tersebut memiliki persentase

keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan yang

termasuk dalam kategori rendah. Kedua

kabupaten/kota tersebut memiliki rentang

persentase putus sekolah yang relatif rendah.

Kuadran 2 memiliki kabupaten/kota yang

paling banyak dibandingkan dengan kuadran yang

lain. Kab.Pacitan dan Kab.Trenggalek memiliki

angka putus sekolah yang paling tinggi dalam

kuadran ini dikarenakan mamiliki warna merah.

Dalam kuadran ini dapat dikatakan memiliki

rentang persentase letak rumah dipedesaan tinggi

yaitu sekitar 61,56% sampai 92,34% dan rentang

persentase keluarga miskin yang sedang yaitu

sekitar 13,85% sampai 22,89%.

5 . KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan

pembahasan diambil beberapa kesimpulan

tentang angka putus sekolah remaja usia SMA

di Provinsi Jawa Timur, yaitu :

1. Berdasarkan peta tematik tentang angka

putus sekolah remaja usia SMA untuk

setiap kabupaten di Provinsi Jawa Timur,

yang memiliki angka putus sekolah

dengan persentase tinggi, yaitu untuk

kabupaten Malang, kabupaten Mojokerto,

Page 12: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

12

413,576 0,148i i iy X u

1,

0,514n

i ij j i

j i j

u w u

3 4

1,

0,482 0,408 0,186n

i ij j i i i

j i j

y w y X X

kabupaten Kediri, kabupaten Trenggalek,

dan kabupaten Pacitan. Sedangkan yang

memiliki presentase rendah adalah daerah

kabupaten Pamekasan, kabupaten

Sampang, kabupaten Bangkalan, kabupaten

Situbondo, kabupaten Probolinggo,

kabupaten Sidoarjo dan kota Kediri. Serta

untuk hasil statistik deskriptif, terlihat

bahwa rata-rata siswa putus sekolah

sebesar 19,19%. Dengan rata-rata siswa

yang putus sekolah yang berjenis kelamin

perempuan, dan status ekonomi miskin

sebesar 1,427 dan 15,96% .

2. Berdasarkan hasil analisis didapatkan

dependensi dalam lag dan error, maka

dilakukan pemodelan Spatial

Autoregressive Model (SAR) dan Spatial

Error Model (SEM). Model SAR

didapatkan variabel predictor yang

signifikan pada α=10% adalah variabel

keluarga miskin (X3) dan letak rumah

dipedesaan (X4) dengan nilai R2=44,15%.

Model SAR yang didapatkan adalah

sebagai berikut.

Sedangkan dengan model spasial SEM

didapatkan variabel predictor yang

signifikan pada α=5% adalah letak rumah

dipedesaan (X4) dengan nilai R2= 42,38%,

dengan model SEM yang didapat adalah

sebagai berikut

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor sebagai variabel prediktor

yang mempengaruhi angka putus

sekolah remaja usia SMA di Provinsi

Jawa Timur sebaiknya ditambah meng-

ingat nilai R2-nya rendah, ke-

mungkinan beberapa variabel yang di

tambahkan untuk penelitian selanjutnya

adalah anggaran pendidikan per APBD,

tenaga SMA per jumlah siswa SMA,

fasilitas fisik pendidikan SMA per

jumlah siswa SMA.

2. Menggunakan selain jenis persing-

gungan sisi sudut (Queen Contiguity).

Dalam memilih persinggungan jenis

sudut perlu diperhatikan untuk melihat

kondisi daerah, kususnya daerah Jawa

Timur yang memiliki kemudahan akses

transportasi untuk berpindah dari

daerah yang satu dengan daerah lain,

selain itu Jawa Timur memiliki

kedekatan wilayah yang dapat

dijangkau dengan mudah tanpa melihat

kedekatan sudut antar wilayah, seperti

Kota.Surabaya dan Kab.Bangkalan

yang memiliki jembatan sebagai kemu-

dahan penduduknya untuk berindah

dari Kota.Surabaya ke Kab.

3. Sebaiknya dalam penelitian selanjutnya

dapat menggunakan pemodelan spasial

Spatial Autoregressive Moving Average

(SARMA), karena dalam penelitian ini

diketahui bahwa dalam LM didapatkan

dependensi dalam ( lag, error)

6. DAFTAR PUSTAKA

Alifianto, A. 2008. Kuliah Kerja Nyata Wajib

Belajar 9 Tahun.

<URL:http://www.pewartakabarindonesia.blog

spot.com/>

Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics :

Methods and Models, Kluwer Academic

Publishers, Netherlands.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2008.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun

2008 di Provinsi Jawa Timur. BPS Jawa

Timur. Surabaya.

Bitter, C., G. Mullian and S. Dall’erba. 2007.

Incorporating Spatial Variation in Housing

Atribute Prices. A Comparition Of

Geographically Weighted Regression And The

Spatial Expantion Method.

mpra.ub.unimuechen.de/1379/01/MPRA paper

1379.pdf. Diakses pada 3Maret 2011.

Choriyah, N .I. 2009. Karakteristik Siswa Putus

Sekolah Tingkat SD dan SMP di Kawasan

Surabaya Utara. [Tugas Akhir]. Surabaya:

Program Sarjana Jurusan Statistika ITS.

Draper, Norman dan Harry, Smith.1992. Analisis

Regresi Terapan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Umum.

Elfindri. 2001. Strategi Sukses Membangun

Daerah. Gorga Media. Jakarta.

Grahacendikia. 2009. Anak Putus Sekolah dan

Cara Pembinaan-nya.

<URL: http://www.google.co.id/putus sekolah/Re-

ferensi Penelitian Skripsi-Tesis>.

LeSage, J.P. (1999), The Theory and Practice of

Spatial Econometrics,

Page 13: PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI … · dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM . 1. PENDAHULUAN ... sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor

13

Mughal, Waris Hameed. 2007. Human Capital

Investment and Poverty Reduction Strategy in

Pakistan. Asia Pacific Press.

Rasiyo. 2008. Pemerataan Pendidikan Belum

Tercapai. Diunduh dari alamat

http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/Pemer

ataan%20Pendidikan%20blm.pdf pada pada

Selasa, 15 Februari 2011, 09.00 am.

Sulistiyanti. 2009. Pendidikan, Kemiskinan, dan

Pertumbuhan Ekonomi. Malang.

Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika.

Edisi ketiga. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.