pemimpi baliho

4
”Pemimpi(n) Baliho” Oleh : Feri Amsari Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FakultasHukum Unand Padang Ekspres • Kamis, 19/07/2012 11:26 WIB • 283 klik Promosi politik melalui baliho sepertinya menjadi ”penyakit baru” gaya kepemimpinan. Tak perlu memiliki visi dan misi yang bernas dan logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa, maka seseorang sudah bisa mendaku diri sebagai pemimpin nan patut. Kadang kala dari baliho, para pemimpin dengan sesumbar berani berkata lebih baik dari pemimpin lainnya. Pernyataan itu tanpa berisi bukti, cukup dengan menempelkan baliho di mana-mana. Rupanya, selama seseorang memiliki modal dan relasi, urusan memimpin tak ubahnya seperti bermimpi. Kita mahfum bahwa modal memimpin tak cukup hanya mimpi. Apalagi cuma dari baliho. Padahal, diperlukan kecerdasan luar biasa dalam mengurai benang kusut visi dan misi yang hendak dicapai agar mimpi bisa wujud. Bahasa nan membumi. Sikap dan tindakan satu alur dengan ucapan. Puas mengecap asam-garam kehidupan (tak ber- arti harus pemimpin tua). Sabar dan banyak mendengar seluruh keluh kesah rakyat. Bekerja keras tanpa pernah menyerah kalah. Pemimpin itu lengkap! Tak mungkin ada pemimpin dilahirkan dari baliho. Spanduk iklan besar itu hanya untuk tempat orang bermimpi dan menjual produk saja. Tempat banyak orang menipu publik agargalehnyo laku. Belajar dari Jakarta Pemilu Jakarta nan lalu, walau belum sepenuhnya usai, merupakan pelajaran berarti bagi para pemimpin. Kemenangan sementara Jokowi atas petahana (incumbent) menunjukan rakyat lebih suka pemimpin yang membumi dan terbukti bekerja. Saya bukan pendukung Jokowi, tetapi tahu pasti bahwa calon ini lebih memiliki visi dan misi serta bukti dalam memimpin perubahan bagi Jakarta ke depannya. Hal yang sama bisa saja terjadi di Kota Padang. Pemilu Kota

Upload: fifil-rizki-swetry-ii

Post on 09-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemimpi Baliho

”Pemimpi(n) Baliho”

Oleh : Feri AmsariDosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FakultasHukum Unand

 Padang Ekspres • Kamis, 19/07/2012 11:26 WIB • 283 klik

Promosi politik melalui baliho sepertinya menjadi ”penyakit baru” gaya kepemimpinan. Tak perlu memiliki visi dan misi yang bernas dan logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa, maka seseorang sudah bisa mendaku diri sebagai pemimpin nan patut. Kadang kala dari baliho, para pemimpin dengan sesumbar berani berkata lebih baik dari pe-mimpin lainnya. Pernyataan itu tanpa berisi bukti, cukup dengan menempelkan baliho di mana-mana. Rupanya, selama seseorang memiliki modal dan relasi, urusan memimpin tak ubahnya seperti bermimpi. Kita mahfum bahwa modal memimpin tak cukup hanya mimpi. Apalagi cuma dari baliho. Padahal, diperlukan kecerdasan luar biasa dalam mengurai benang kusut visi dan misi yang hendak dicapai agar mimpi bisa wujud. Bahasa nan membumi. Sikap dan tindakan satu alur dengan ucapan. Puas mengecap asam-garam kehidupan (tak berarti harus pemimpin tua). Sabar dan banyak mendengar seluruh keluh kesah rakyat. Bekerja keras tanpa pernah menyerah kalah. Pemimpin itu lengkap! Tak mungkin ada pemimpin dilahirkan dari baliho. Spanduk iklan besar itu hanya untuk tempat orang bermimpi dan menjual produk saja. Tempat banyak orang menipu publik agargalehnyo laku. Belajar dari Jakarta Pemilu Jakarta nan lalu, walau belum sepenuhnya usai, merupakan pelajaran berarti bagi para pemimpin. Kemenangan sementara Jokowi atas petahana (incumbent) menunjukan rakyat lebih suka pemimpin yang membumi dan terbukti bekerja. Saya bukan pendukung Jokowi, tetapi tahu pasti bahwa calon ini lebih memiliki visi dan misi serta bukti dalam memimpin perubahan bagi Jakarta ke depannya. Hal yang sama bisa saja terjadi di Kota Padang. Pemilu Kota Padang mungkin berlangsung tahun depan, namun suhu ”panasnya” sudah bisa dirasakan merambat ke ubun-ubun dari sekarang. Sayangnya, tak satu pun para calon yang sudah mulai jual muka me-nyatakan visi-misinya dengan mantap. Bahkan, bukan untuk ditertawakan, ada calon yang mengajak orang untuk berwirausaha, tetapi dia sendiri malah ingin menjadi wali kota. Konsistensi yang patut dipertanyakan. Meskinya, yang mau maju memimpin Padang harus menyimak pelbagai perkembangan politik tanah air yang terjadi. Pemilu Jakarta adalah contoh berarti, bagaimana kecenderungan rakyat pemilih perkotaan mengalami perubahan yang amat pesat. Mereka butuh bukti bukan janji, apalagi manipulasi iklan baliho yang terbukti tidak substansial menyentuh perasaan publik. Bahkan tak jarang menimbulkan antipati. Pilihan hari ini akan menentukan nasib kami puluhan tahun kemudian. Sentuhlah hati kami dengan bukti kematangan berpikir dan tepat dalam memenuhi janji. 

Page 2: Pemimpi Baliho

Pemimpin yang ”matang” itulah yang jarang. Langka! Mereka digerus pengalaman dan mau belajar dari dasar. Bukan yang terburu-buru meloncat ingin berkuasa (sekali lagi ini tak ada urusannya dengan jumlah usia). Itu nafsu serakah namanya.  Itu sebabnya Jean Blondel dalam bukunya, Political Leadership, Towards a General Analysis (1987) menyatakan bahwa antara pemimpin (leader) dan ketua (chief) tak bisa disamakan. Bak langit dan bumi.  Menjadi pemimpin tak bisa disamakan dengan manajer di sebuah perusahaan. Meskipun pernah memim-pin sebuah perusahaan adalah aspek penunjang namun bukan berarti segala-galanya. Alangkah nekatnya seseorang yang merasa mampu memimpin negeri ini dengan alasan bahwa ia me-rupakan pemimpin sebuah/lebih perusahaan. Dalam tulisan yang dangkal ini, saya berharap mampu mengingatkan para pemimpin dan/atau para calon pemimpin negeri ini untuk  bercermin diri. Bahwa sudah tak zamannya lagi mendekati rakyat dengan kampanye “menjual diri” melalui umbar janji dan pajang foto sana-sini. Untuk para calon pemimpin muda hendaklah bekerja dan bekerja. Suatu waktu nanti kerja itu akan berbuah manis. Rakyat dengan sendirinya yang akan meminta anda untuk memimpin. Tak perlu lagi memajang diri dalam baliho yang alahkah besarnya. Yang jika uang baliho itu di-jadikan program untuk mengentaskan perut rakyat lapar mungkin akan lebih tepat ke akar masalah. Turun ke Akar Masalah Dalam politik pemilu, kampanye memang menjadi alat utama menyentuh perasaan publik. Tujuannya adalah agar kecenderungan tabiat para pemilih dapat dibaca. Sehingga pendekatan kepada mereka dapat dilakukan. Akhirnya, para pemilih akan menunjuk kandidat yang berkampanye sebagai pilihannya. Lalu bagaimana seharusnya seorang kandidat berkampanye? Romain Lachat dan Pascal Sciarini (2002) berpendapat dalam buku, Do Political Campaigns Matter? bahwa kampanye yang dilakukan dalam tenggat waktu singkat cenderung tak akan me-nyentuh para pemilih.  Hal itu sepertinya tidak dipahami oleh para politisi di republik ini. Kecenderungan yang terjadi adalah mereka memilih berkampanye ala kadarnya. Apalagi mereka percaya bahwa bobot “uang kampanye” sangat menentukan keterpilihan. Itu sebabnya program yang dijalankan pun lebih kepada pencitraan. Baliho dan spanduk berserakan dimana-mana. Se-kedar agar orang ”tau awak ka mancalonan”. Setelah itu, menurut mereka, biarkan ”uang” yang berbicara. Padahal kampanye dengan mengandalkan uang tak memberikan jaminan keterpilihan. Para pemilih memiliki logikanya sendiri. Hanya dengan program yang terrencana dan bertahaplah membuat seseorang mampu dicintai oleh para pemilih. Poin itu dapat ditemui dalam kampanye Barrack Obama. Presiden kulit hitam pertama Amerika itu telah jauh-jauh hari mengabdikan di-rinya kepada publik. Obama telah melakukan pelbagai misi kerja sosial agar publik mengenalnya dan bersimpati untuk memilihnya ke depan. Hasilnya, bukan hanya publik Amerika yang jatuh hati, tetapi juga dunia. Obama terlalu luar biasa untuk dicontoh. Jawabannya adalah kerja sosial yang sungguh-sungguh menyentuh publik pemilih. Jika dikembalikan ke kondisi negeri ini, maka pertanyaan yang timbul adalah: adakah calon pe-mimpin negeri ini yang bekerja secara sosial tanpa menggunakan anggaran negara untuk

Page 3: Pemimpi Baliho

rakyatnya. Jawabnya: ”muka lu jauh!” Kampanye baliho untuk menjual diri masih terlalu do-minan. Calon pemimpin yang demikian sulit diharapkan menghasilkan perubahan yang mampu membalikkan keadaan. Apabila baliho telah membuat seseorang bermimpi untuk menjadi pemimpin, sungguh negeri ini akan porak-poranda dalam gempa peradaban yang tak terkira. Hanya dengan ”tonjokan” kritik pedas sajalah para pemimpin baliho terbangun dari mimpinya. Saya tonjok Anda melalui tulisan ini. Mari bangun dan bekerjalah dulu wahai para calon! (*)[ Red/Administrator ]