pemilu indonesia 1971

Upload: maslah-siti-sholihah

Post on 30-Oct-2015

494 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Salah satu wujud dari penyelenggaraan demokrasi adalah dengan pemilihan umum. Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, disebut sistem distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).Sejak Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun 1950an - 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk menciptakan pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai politik. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, terdapat 10 partai politik, termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan kekuasaan.Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemilihan umum yang pertama kali pada masa Orde Baru, masa dimana Soeharto sebagai pemimpin rezim otoriter. Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua setelah Indonesia merdeka. Sebelumnya telah dilaksanakan pemilu tahun 1955 pada masa Soekarno sebagai presiden. Pembahasan dimulai dari mengetahui dasar hukum pelaksanaan pemilu 1971 kemudian asas-asas dan tujuan penyelenggaraan pemilu pada tahun itu. Sistem kepartaian dan pemilu yang digunakan dalam pemilu 1971 juga menarik untuk dibahas sampai hasil pemilu. Ada berbagai problematika dalam proses penyelenggaraan pemilu 1971 sehingga melatar belakangi penyusunan makalah ini agar dapat menambah wawasan mengenai pemilu pada masa ini.

BAB IITINJAUAN TEORI

2.1 Sistem Pemilihan UmumBeberapa pakar memberikan definisi tentang sistem sebagai berikut : Menurut Pamudji, sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Menurut Prajudi, sistem adalah suatu jaringan daripada prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan. Menurut Porwadarminta, sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Menurut Sumantri, sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat gangguan. Jadi, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait mengkait satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Begitu lah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri secara keseluruhan.Pemilihan umum adalah proses substansial dalam penyegaran suatu pemerintahan. Andrew Reynolds menyatakan bahwa Pemilihan Umum adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara.Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik.Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology. Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum adalah menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.

2.2 Partai PolitikPengertian Partai Politik menurut beberapa ahli : Menurut Carl J. Friedrich Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil. Menurut R.H. Soltou Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka. Menurut Sigmund Neumann Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham. Menurut Miriam Budiardjo Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.Fungsi partai politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini dikaitkan dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka bawakan: Partai politik menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam kebijakan pemerintah.Aneka penulis telah mengkaji fungsi partai politik. Salah satunya adalah David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik memiliki fungsi:1. Agregasi kepentingan fungsi ini adalah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada. 2. Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat fungsi ini adalah posisi partai politik untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama. 3. Staffing government fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orang-orang yang akan menjadi pejabat publik, baik baru maupun menggantikan yang lama. 4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah fungsi ini adalah posisi partai politik mengkoordinasi aneka lembaga pemerintah yang saling berbeda untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik. 5. Mempromosikan stabilitas politik fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk mempromosikan stabilitas politik, misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya. 2.3 Sistem KepartaianDefinisi Sistem Kepartaian menurut beberapa ahli : Menurut Ramlan Surbakti sistem kepartaian merupakan pola perilaku & interaksi di antara sejumlah partai politik dlm suatu sistem politik Menurut Austin Ranney istilah sistem kepartaian mengacu pada pemahaman thd karakteristik umum konflik partai (interaksi) dlm lingkungan di mana dia berkiprah yg bisa diklasifikasikan menurut beberapa kriteria. Menurut Riswandha Imawan sistem kepartaian adalah Pola interaksi antar partai politik dlm satu sistem politik yg menentukan format & mekanisme kerja satu sistem pemerintahan Menurut Hague & Harrop sistem kepartaian adalah Interaksi antar partai politik-partai politik yang signifikan (perolehan suaranya). Dalam negara demokrasi, partai politik-partai politik saling merespon satu sama lain dalam persaingan yang kompetitif. Sistem kepartaian juga merefleksikan regulasi legal yang berlaku bagi semua partai.

Klasifikasi Sistem Kepartaian Menurut Maurice Duverder :1. Sistem partai tunggal.Beberapa pengamat beranggapan bahwa istilah ini kurang relevan, sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari suatu bagian. Jadi, dianggap tidak relevan. Meski begitu, sistem ini telah luas dikenal dan di aplikasikan di banyak negara. Seperti di beberapa negara di afrika, di cina, kuba, dan uni soviet. Di sistem ini, suasananya non-kompetitif, sebab semua golongan harus menerima pimpinan partai tersebut dan tidak di benarkan untuk bersaing dengannya dan dianggap pengkhianatan. Ada kecenderungan sistem ini di anut oleh negara yang baru terlepas dari kolonialisme, sebab pemimpin yang baru naik ingin mengintegrasikan berbagai golongan agar dapat tercapainya pembangunan yang future-oriented.Contoh yang dianggap paling berhasil ialah Partai Komunis Uni Soviet. Saat pemerintahannya, partai ini benar-benar dalam keadaan non-kompetitif. Sebab partai oposisi akan dianggap sebagai pengkhianatan. Partai tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan antara kepentingan partai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.2. Sistem Dwi-PartaiDalam kepustakaan ilmu politik, sistem ini bisa diartikan adanya dua partai yang selalu dominan dalam penggapaian hak suara. Dewasa ini hanya beberapa negara yang bersifat dwi-partai. Yakni Inggris, AS, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini pihak yang kalah akan menjadi pengecam utama jika terdapat kesalahan (setidaknya menurut mereka) dalam kebijakan partai yang menduduki kepemerintahan, dengan pengertian sewaktu-waktu peran ini dapat tertukar. Ada tiga syarat agar sistem ini dapat berjalan baik. Yakni masyarakat bersifat homogen, masyarakat memiliki konsensus yang kuat mengenai asas dan tujuan sosial politik, dan adanya kontinuitas sejarah.Inggris dapat dikatakan yang paling ideal. Partai buruh dan partai konservatif bisa dikatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal asas dan tujuan politik, sehingga perubahan kepemimpinan tidak terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Hanya saja partai buruh lebih condong membuat pemerintah melakukan pengendalian dan pengawasan di bidang ekonomi. Sedang patai konservatif lebih memilih kebebasan berusaha.Selain partai ini ada partai-partai kecil lain. Pengaruhnya memang terbatas, namun pada saat perbedaan suara antara dua partai dominan tipis. Posisi mereka menjadi krusial, hingga partai dominan biasanya akan mengadakan koalisi dengan partai-partai ini.Sistem ini umumnya dianggap lebih kondusif, sebab terlihat jelas perbedaan partai oposisi dan pemerintah. Akan tetapi hal ini juga memungkinkan tingginya ketajaman perbedaan kedua belah pihak, karna tidak memiliki pihak ketiga sebagai penengah. Sistem ini juga biasanya memberlakukan sistem distrik, dimana setiap daerah pemilihan hanya ada satu wakil saja.3. Sistem multi-partai Umumnya sistem ini dianggap cara paling efektif dalam merepresentasikan keinginan rakyat yang beranekaragam ras, agama, atau suku. Dan lebih cocok dengan plurartas budaya dan politik di banding dwi partai. Sistem ini di gunakan di Indonesia, Malaysia, Belanda, Australia, Prancis, dan Sweadia. Sistem ini dalam kepemerintahan parlementer cenderung menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, hingga badan eksekutif sering berperan lemah dan ragu-ragu. Sebab tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk menduduki kepemerintahan sendiri hingga memakasa untuk berkoalisi. Sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih rumit karna harus bermusyawarah dengan partai-partai koalisi. Sebab bukan tidak mungkin partai koalisi ditarik hingga berkurangnya mayoritas dalam parlemen.Dilain pihak, peran partai oposisi menjadi kurang jelas. Karna sewaktu-waktu setiap partai dapat diajak bergabung dalam koalisi. Sehingga mengakibatkan ketidak stabilan dalam strategi yang tergantung pada kegentingan masing-masing partai. Dan seringkali partai oposisi kurang dapat menyusun program alternatif bagi pemerintah. Walaupun tidak selalu, karna di Belanda, Norwegia, dan Swedia dapat menjadi contoh yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Dasar Hukum Penyelenggaraan Pemilu 1971Dasar hukum pelaksanaan pemilu tahun 1971 berdasarkan ketetapan MPRS Nomor XI Tahun 1966.Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966. DPR-GR masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru.Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

3.2 Asas-asas Penyelenggaraan Pemilu 1971Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).1. Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan. Pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.2. Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih. Pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.3. Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nuraninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun. Pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun4. Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya. Suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

3.3 Sistem Pemilu Pemilihan Umum tahun 1971 menggunakan Sistem Proporsional dengan Stesel Daftar Tertutup, pemilih memberikan suara hanya kepada partai dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah memiliki suara cukup untuk kuota 1 kursi. Untuk pemilihan umum anggota DPR Daerah, pemilihannya adalah wilayah provinsi, sedangkan untuk DPRD I, daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan, dan untuk DPRD II daerah pemilihannya wilayah Dati II yang bersangkutan. Namun ada sedikit warna Sistem Distrik didalamnya, karena setiap kabupaten dibero satu jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut. Sistem pemerintahan pada masa ini diputuskan melalui hasil kompromi antara pemerintah yang didominasi oleh Angkatan Darat dan partai-partai, yaitu sistem pemilihan umum proporsional dengan beberapa modifikasi antara lain tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehingga perwakilan dari daerah di luar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya terjadi pertentangan antara pemerintah dan partai, pemrintah sempat menuang sistem distrik dalam undang-undang pemilihan umum yang kemudian mendapat kecaman dari partai politik yang menilai bahwa sistem distrik dianggap merugikan dikarnakan adanya beberapa ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi.Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.Terdapat pula suatu ketentuan bahwa 100 anggota parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongan ABRI (75) dan non ABRI (25) dengan ketentuan bahwa golongan militer tidak akan menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih.

3.4 Sistem KepartaianSistem kepartaian yang berlaku pada pemilu 1971, yaitu sistem banyak partai (sistem multi partai). Pemilu 1971 adalah pemilihan umum dengan 10 partai, yang pada kenyataanya didominasi oleh satu partai karna didukung dengan kuatnya kekuasaan pemerintah (rezim yang berkuasa).Sistem multi partai menunjukkan bahwa suatu negara terdapat lebih dari dua partai politik yang dominan. Sistem dianggap sebagi sitem yang paling tepat diterapkan di Indonesia dilatarbelakangi oleh keanekaragaman budaya politk suatu masyarkat. Perbedaan tajam antara ras, agama atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan promirdial dalam suatu wadah yang sempit.Sistem multi partai tak lain diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Propotional Representation) yang digunaka oleh Indonesia, yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru. Melalui sistem Perwakilan Berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara guna memenangkan satu kursi. Pada masa ini terdapat beberapa permasalahan yang berimbas pada sistem kepartaian yang digunakan. Salah satunya terdapat beberapa kaum cendikiawan dan beberapa kalangan militer di Jawa Barat, yang merasa terusik melihat partai yang bertindak atas dasar memenangkan ideologinya tanpa mengajukan suatu program konkret yang dapat dilaksanakan. Dari permasalahan inilah mendorong tercetusnya eksperimen dwi partai dan dwi group yang kemudian dinyatakan gagal.Di sisi lain peranan golongan militer bertambah kuat dan menimbulkan rezim otoriter. Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang sedikit banyak radikal. Dimuka sepuluh partai Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar partai mengelompokan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. Pengelompokan ini mencakup tiga kelompok, yaitu Golongan Nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya. Dan berdasarkan konsensus pada tanggal 8 Desember 1967 RUU diterima baik oleh parlemen dan pemilhan umum Orde Baru diikuti oleh sepuluh partai politik

3.5 Keterwakilan Politik Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah Partisipasi politik merupakan keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikirandeliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 60%). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsepdeliberative democracy.Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing. Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum: Rezim otoriter warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik Rezim patrimonial warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya. Rezim partisipatif warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya. Rezimdemokratis warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik. Perkembangan Partisipasi Politik di IndonesiaPartisipasi politik dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat di suatu negara. Masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik, seperti pendidikan rendah, ekonomi kurang baik dan kurang memiliki akses informasi membuat pola partisipasinya cenderung dimobilisasi. Karakteristik tersebut belum mendorong masyarakat untuk membangun suatu pola partisipasi yang mandiri. Sejak merdeka, elite-elite partai cenderung menggunakan cara-cara mobilisasi ataupun penetrasi ke masyarakat untuk mendukung partai politik tertentu. Demokrasi parlementer yang dinilai memiliki ruang publik dan kebebasan politik yang memadai juga ditandai dengan intervensi elite lokal maupun pusat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.Pemilu yang merupakan ujung tombak demokrasi membutuhkan institusi yang menjadi pelaku pemilu. Institusi yang formal sebagai peserta pemilu adalah partai politik sebagai suatu pilar demokrasi merupakan tempat penyaluran aspirasi rakyat dan elit-elit partai politik sebagai representasi wakil rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat di lembaga legislatif.Isu penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu adalah bagaimana menghasilkan calon anggota legislatif berkualitas yang berasal dari kader-kader partai politik dengan tingkat keterwakilan rakyat yang tinggi, itulah esensi pemilu sekaligus alasan mengapa kualitas pemilu perlu terus diperjuangkan. Pemilu dikatakan berkualitas, salah satunya ditandai dengan tercerminkannya keterwakilan masyarakat di dalam lembaga legislatif yang benar-benar mengerti kondisi rakyatnya namun semua itu dapat terealisasikan dengan sistem pemilu yang digunakan dalam pelaksanaannya.Prinsip keterwakilan masyarakat dalam pemilu dipengaruhi oleh sistem pemilihan yang digunakan. Sistem pemilihan bisa diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara masyarakat untuk memilih wakil rakyat. Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu. Keempat hal tersebut adalah :1. Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan/ perwakilan2. Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan3. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia4. Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.Menurut Miriam Budiardjo (2008 :462) memberikan pengertian untuk sistem Proposional dalam Pemilu ialah satu wilayah besar ( yaitu daerah pemilihan ) memilih beberapa wakil (multi member constituency) . Satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu, jumlah kursi dibagi sesuai jumlah yang diperoleh oleh konstestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.Dan menurut Syamsudin Haris ( 1998:123) dalam penentuan calon serta anggota DPR dilakukan oleh OPP (Organisasi Partai Politik ) yang terkontrol oleh pemerintah, bukan oleh pemilih melalui partisipasi pencalonan dan pemilihan nama calon. OPP ( organisasi partai Politik ) hanya sebagai pelaksana yang dikendalikan secara penuh oleh pemerintah. Sehingga OPP tidak bisa mengontrol sendiri Pemilu pada saat ini karena semua yang dilakukan OPP dikendalikan oleh Pemerintah.Menurut Mahfud MD (1998 : 220-221) selain menggarap UU Pemilu dan melakukan emaskulasi terhadap partai-partai besar, pemerintah juga membangun partai sendiri yaitu Golongan Karya ( Golkar ). Sejak awal orde baru Golkar sudah didesain untuk menjadi partai pemerintah diproyeksikan menjadi tangan sipil, Angkatan Darat dalam Pemilu. Sekretariat Bersama Golkar adalah tangan sipil Angkatan Darat yang dulu berhasil secara efektif mengimbangi ( kemudian menghancurkan ) PKI.Pada pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai yaitu Golkar, NU, Parmusi ,PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti , IPKI dan Murba. Kemudian hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai mayoritas tunggal dengan perolehan suara 62,82%. PNI mendapat suara 6,93%, Parmusi mendapat 5,36%, Partai NU mendapat 18,68%, Parkindo 1,34 %, katolik 1,10 % dan Perti 0,69%. Sementara perolehan IPKI 0,69% dan Murba 0,08% sehingga tidak berhasil memenuhi angka untuk mendapatkan kursi DPR. ( Sigit P,2009 : 81).Dilihat dari proses Pemilu dari tahun 1971-1997 ini memberikan suatu fenomena yang didominasi politisasi di Pemerintahan era Orde Baru. Sartori ( Sigit P,2009:84 ) menyebutkan sistem Kepartaian pada era Orde Baru adalah Hegemonik. Hegemonik ini adalah sebuah partai atau koalisis partai yang mendominasi kemenangan di suatu negara sampai kurun waktu tertentu. Sehingga konsistensi Golkar memenangkan Pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua Partai lawan yaitu PDI dan PPP tidak lebih hanya sebagai penyerta. Pemilu ada era Orde Baru hanya tidak ada kompetisi karena 6 kali Pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar. Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota Legislatif yang terpilih dari pemilu lebih merespon kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat. Karena pada saat itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah Eksekutif. Maka Legislatif lebih dikenal sebagai lembaga yang hanya mengesahkan saja. Hal ini karena anggota Legislatif berasal dari Golkar. Dan Golkar sendiri adalah meilih Pemerintah. Pengendali utama para anggota Golkar dari Eksekutif Pemerintahan. Pada era orde Baru ini lebih sering dikenal sebagai Pemerintahan yang otoriter.

3.6 Badan Penyelenggara PemiluKarena belum dibentuk suatu lembaga yang khusus melaksanakan tugas pengawasan. Pengawasan penyelenggaraan Pemilu 1971 dilakukan secara langsung oleh partai politik peserta pemilihan umum dan masyarakat. Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketahui oleh Mentri Dalam Negeri yang keanggotaanya terdidri atas Dewan Pemimpin, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan. Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (adhoc).

3.7 PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 1971 :1. Partai Golongan Karya (Golkar)2. Partai Nahdatul Ulama (NU)3. Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)4. Partai Nasional Indonesia (PNI)5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)7. Partai Katolik Indonesia8. Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)9. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)10. Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba)3.8 HASIL PEMILU 1971 :No UrutNama PartaiJumlah Suara%Jumlah Kursi

1.Partai Golongan Karya (Golkar)34.348.67362,82236

2.Partai Nahdatul Ulama (NU)10.213.65018,6858

3.Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)2.930.7465,3624

4.Partai Nasional Indonesia (PNI)3.793.2666,9320

5.Partai Syarikat Islma Indonesia (PSII)1.308.2372,3910

6.Partai Kristen Indonesia (Parkindo)733.3591,347

7.Partai Katolik Indonesia603.7401,103

8.Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)381.3090,692

9.Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)338.4030,610

10.Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba)48.1260,080

Jumlah54.669.509100,0360

3.9 Tujuan Penyelenggaraan Pemilu 1971Soeharto berpandangan bahwa pemilu adalah sesuatu yang penting bagi legitimasi politik Orde Baru. Bagi sang jenderal, masalahnya adalah bagaimana agar hasil pemilu itu menunjukkan bahwa rakyat memilih dan merasa diwakili oleh komponen-komponen Orde Baru? Jadi, selain Pemilu ditujukan untuk memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden, ternyata Soeharto memiliki tujuan utama untuk kekuasaannya yaitu Pemilu 1971 dilaksanakan hanya bertujuan untuk kemenangan Orde Baru (rezim Soeharto).Untuk itu pada akhir 1969 rezim Orde Baru membuat dua keputusan penting: pertama, menjadwalkan Pemilu 1971; kedua, mengorganisasikan dan melaksanakan pemilu dengan cara-cara yang dapat menjamin mayoritas formasi DPR/MPR dikontrol langsung oleh Soeharto dan kolega-kolega kepercayaan militer. Selanjutnya Soeharto yang sudah diangkat menjadi Pejabat Semantera Presiden menerapkan tiga strategi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, diantaranya: 1. Pemerintah menciptakan organisasi peserta pemilu sendiri dengan memperbesar peran dan fungsi Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Organ ini sesungguhnya merupakan kumpulan longgar perhimpunan kelompok fungsional yang tidak berafiliasi ke partai politik tapi dikendalikan Angkatan Darat. Departeman Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan serta kelompok intelektual lantas mengambil alih Golkar dan mengkampanyekannya sebagai kekuatan prograsif, modernis dan nonideologis. Departemen Pertahanan dan Keamanan memerintahkan komandan-komandan militer di daerah untuk memimpin Golkar, Departemen Dalam Negeri menerapkan kebijakan 'monoloyalitas' di mana PNS dan aparat sipil tidak diperkenankan bergabung dengan partai politik dan hanya boleh menyalurkan aspiranya ke Golkar, sementara kelompok intelektual mengkampanyekan gerakan antipartai dengan jargon 'pembangunan yes, politik no'2. Guna menjamin penguasaan terhadap kursi di DPR/MPR, pemerintah menawarkan pemilu sistem distrik. Dengan sistem ini pemerintah tak hanya bermaksud menyederhankan partai secara alami, tetapi juga meyakini bahwa Golkar akan memenangi sebagian besar daerah pemilihan yang berarti mengambil semua kursi di daerah pemilihan tersebut. Namun partai-partai politik menolak sistem itu, dan tetap ngotot untuk menggunakan sistem proporsional. Sebagai solusinya disepakatilah apa yang disebut dengan 'konsensus nasional', di mana pemerintah setuju dengan sistem proporsional, sebaliknya partai politik harus merelakan pemerintah untuk mengangkat anggota DPR/MPR dari unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tidak mengikuti pemilu dan kelompok-kelompok lain yang oleh presiden dianggap tidak terwakili di DPR.3. Guna menjamin kepastian kemenangan peserta pemilu bikinan pemerintah (Golkar), pemerintah tidak mau berbagi dengan partai politik dalam kepanitiaan pemilu sebagaimana terjadi pada Pemilu 1955. Dengan dalih bahwa di beberapa negara yang sudah maju demokrasinya, penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh pemerintah, maka sudah semestinya partai-partai politik tidak mendesak untuk ikut terlibat dalam kepanitiaan. Kenyataannya, keterlibatan aparat pemerintah dalam kepanitiaan pemilu justru digunakan pemerintah untuk 'mengatur' dan 'mengendalikan' agar Golkar keluar sebagai pemenang pemilu.Adapun posisi, fungsi, struktur dan organisasi penyelenggara pemilu Orde Baru yang cukup efektif untuk membantu pemenangan Golkar dalam pemilu-pemilu Orde Baru dapat diketahui dengan menelusuri ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang disahkan pada 17 Desember 1969. Undang-undang ini diajukan oleh Pejabat Presiden Jenderal Soeharto ke DPR-GR yang anggota-anggota dari kelompok fungsional sudah diganti oleh para pendukung Orde Baru. UU Nomor 15 Tahun 1969 ini merupakan salah satu bentuk dari konsensus nasional antara partai-partai politik dengan kekuatan-kekuatan Orde Baru, yang kemudian terus dipertahankan untuk menjamin eksistensi rezim Orde Baru meskipun elit partai sudah berganti dan lingkungan politik sudah berubah. Salah satu konsideran UU Nomor 15 Tahun 1969 berbunyi, Bahwa pemilihan umum bukan hanja sekedar bertudjuan untuk memilih wakil-wakil rakjat jang akan duduk dalam lembaga permusjawaratan/perwakilan sadja, melainkan merupakan suatu sarana untuk mentjapai kemenangan Orde Baru dalam mewudjudkan penjusunan tata kehidupan jang didjiwai semangat Pantja Sila/Undang-undang Dasar 1945. Rumusan tersebut menyiratkan keingingan pemerintah untuk menata dan mengatur bagaimana pemilu diselenggarakan agar 'mencapai kemenangan Orde Baru' karena pemerintahlah yang mengetahui apa itu 'kemenangan Orde Baru' sebab pemerintah adalah rezim Orde Baru itu sendiri. Oleh karena itu pemerintah pun menolak kehendak partai untuk terlibat dalam kepanitiaan pemilu. Pasal 8 UU Nomor 15 Tahun 1969 menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan pemerintah di bawah pimpinan presiden.

3.10 Problematika Pemilu 1971Pemilu 1971 merupakan hasil penjadwalan ulang yang seharusnya dilaksanakan selambat-lambatnya 6 juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XI Tahun 1966. Hal ini dikarnakan Presiden Suharto yang menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Tak ayal dari proses penjadwalan pun sebetulnya dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya terkait dengan waktu penyelenggaraan pemilu 1971, diantaranya: Sigit Pamungkas (2009 : 76) menyatakan bahwa penundaan yang di lakukan Presiden Suharto ini disebut politik Pemilu pertama pada masa Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar kekuasaannya langgeng (bertahan lama). Mahfud MD ( 1999:232 ) dalam bukunya Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi dibalik penundaan pemilu dari tahun 1968 menjadi 1971 ini telah dicapai kesepakatan kompromis antara partai-partai dan pemerintah meliputi dua hal, Pertama, partai-partai setuju memberi hak kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR dan mengangkat 100 orang dari 460 orang anggota DPR; kedua, pemerintah menyetujui usul partai-partai untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem Proposional. Dengan hal ini maka pemerintah sudah memiliki kemenangan dalam struktur politik dan Ketatanegaraan.

Dinyatakan pula menurut Mahfud MD (1998 : 220-221) bahwa selain menggarap UU Pemilu dan melakukan emaskulasi terhadap partai-partai besar, pemerintah juga membangun partai sendiri yaitu Golongan Karya ( Golkar ). Sejak awal orde baru Golkar sudah didesain untuk menjadi partai pemerintah diproyeksikan menjadi tangan sipil, Angkatan Darat dalam Pemilu. Sekretariat Bersama Golkar adalah tangan sipil Angkatan Darat yang dulu berhasil secara efektif mengimbangi ( kemudian menghancurkan ) PKI. Pemilu 1971 dilaksanakan pada bulan Juli dan masa kampanye dimulai pada bulan Apri. Pada saat iyu, Golkar memobilisasi para pesohor dalam kampanye-kampanye mereka.Dalam masa ini yang menjadi masalah krusial tidak lain adalah kekuasaan pemerintah yang begitu kuat dalam berbagai aspek kehidupan negara. Salah satunya pemerintah melakukan mobilisasi masa untuk memilih partai yang pro pemerintah atau dibangun dengan dasar-dasar yang memperkuat posisi pememrintah. Begitu pula dengan pengaturan partai-partai mana saja yang dapat terus berkiprah di Indonesia, pemerintah mengatur dengan sedemikian rupa salah satunya dengan cara penyederhanaan partai, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi saingan untuk Golkar. Jika melihat hasil dari pemilu maka didapat suatu data yaitu pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai yaitu Golkar, NU, Parmusi ,PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti , IPKI dan Murba. Kemudian hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai mayoritas tunggal dengan perolehan suara 62,82%. PNI mendapat suara 6,93%, Parmusi mendapat 5,36%, Partai NU mendapat 18,68%, Parkindo 1,34 %, katolik 1,10 % dan Perti 0,69%. Sementara perolehan IPKI 0,69% dan Murba 0,08% sehingga tidak berhasil memenuhi angka untuk mendapatkan kursi DPR. Problematika lainya yaitu karakter pemilu yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru tersebut. Jika lumrahnya di negara demokrasi karakter pemilu dibangun diatas prinsip free and fair baik dalam struktur dan proses pemilu, sebaliknya, Orde Baru justru menghindari penerapan prinsip tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ketidak seimbangan kontestasi antar peserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Pelaksanaan Pemilu diataur melalui cara-cara tertentu untuk kelanggengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri.Monopoli pemerintah dalam salah satu proses pemilu yang terpenting, yakni penghitungan suara. Pada tahap ini, hampir tidak ada peluang bagi OPP di luar Golkar mengikuti dan terlibat secara penuh dalam penghitungan suara, kecuali ditingkat tempat pemungutan suara.Adapun cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat.

3.11 Demokrasi Arend Lijphart (1995) berpendapat, sistem pemilihan merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan karena membawa konsekuensi sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilu.Partai politik merupakan salah satu institusi inti pelaksana demokrasi modern dimana mengandaikan sebuah sistem keterwakilan, baik itu keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti Parlemen/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian.[footnoteRef:2] Perwakilan/representation adalah konsep bahwa seseorang atau sesuatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama rakyat atau suatu kelompok yang lebih besar sehingga anggota DPR/DPRD pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. [2: Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi : Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 1. ]

Ada hal mendasar yang menjadikan pemilu-pemilu pada Orde Baru dikategorikan Pemilu yang tidak demokratis. Syamsudin Haris dalam buku Perihal Pemilu ( Sigit P,2009 : 75) menyebutkan yaitu pertama, terlalu dominan peranan pemerintah, dan sebaliknya, amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu. Kedua, proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta Pemilu yaitu Golkar.Orde Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekaligus anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin karena dilakukan dengan cara sekaligus semacam itu maka pemilu diberi predikat sebagai Pesta Demokrasi. Dikarenakan diadakan serentak demikian, tentu diperlukan biaya yang besar pula.Perbedaan yang mencolok antara Pemilu 1955 dengan Pemilu 1971. Misalnya, asas jujur dan kebersamaan, seperti Pemilu 1955, ditiadakan. Sebagi gantinya, hanya dikenal asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).Selain itu, panitia berada pada tangan pemerintah, sedangkan partai-partai hanya dilibatkan sebagai saksi dalam penghitungan suara. Alhasil dalam peraturan baru itu, DPR yang dihasilkan pemilu berjumlah 460 orang. Tapi, seratus orang di antaranya diangkat mewakili angkatan bersenjata (75 orang dari ABRI dan 25 orang dari non-ABRI), sebagai perwujudan "konsensus nasional". Begitu pula halnya di MPR. Dari 920 anggota MPR, sebanyak 207 orang (sepertiga dari keseluruhan) ditunjuk oleh presiden; 253 anggota tambahan mewakili daerah (dipilih oleh DPRD), serta; kelompok-kelompok "utusan golongan" yang ditunjuk presiden. Di mata pengamat politik William R. Lidle, proses pemilihan semacam itu telah mengurangi nilai pemilu sebagai praktek demokrasi.

3.12 Analisis Penyelenggaraan Pemilu 1971 Pelaksanaan pemilu dibawah Orde Baru memiliki karakter yang berbeda dengan pemilu yang dikenal negara-negara demokrasi pada umumnya. Jika di negara demokrasi karakter pemilu dibangun diatas prinsip free and fair baik dalam struktur dan proses pemilu, sebaliknya, Orde Baru justru menghindari penerapan prinsip tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ketidak seimbangan kontestasi antar peserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Pelaksanaan Pemilu diatur melalui cara-cara tertentu untuk kelanggengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Ada beberapa hal mendasar yang menjadikan pemilu-pemilu selama Orde Baru berkuasa tidak dikatagorikan sebagai pemilu yang demokratis. Pertama, terlalu dominannya peranan pemerintah, dan sebaliknya, amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu. Dominasi pemerintah yang terlalu besar terlihat dalam postur kelembagaan penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga struktur kepanitiaan terendah yang didominasi pemerintah. Kalupun melibatkan unsur diluar pemerintah tidak lebih pada aksesoris belaka. Proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta pemilu, yaitu Golkar. Birokrasi dengan monoloyalitasnya dan militer mendukung Golkar untuk mencapai kemenangan.Monopoli pemerintah dalam salah satu proses pemilu yang terpenting, yakni penghitungan suara. Pada tahap ini, hampir tidak ada peluang bagi OPP di luar Golkar mengikuti dan terlibat secara penuh dalam penghitungan suara, kecuali ditingkat tempat pemungutan suara. Ketika Presiden Suharto mulai memegang tampuk kekuasaan, pemilu pertama kali berdasarkan ketetapan MPRS Nomor XI Tahun 1966 seharusnya diselenggarakan selambat-lambatnya 6 Juli 1968. Namun Pejabat Presiden Suharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. MPRS akhirnya menjadwal ulang pemilu dengan menetapkan pemilu paling lambat 5 Juli 1971. Penundaan pemilu tersebut sebenarnya tersembunyi sebuah kepentingan. Bahkan, penundaan ini dapat disebut sebagai politik pemilu pertama Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar kekuasaan langgeng. Agar Orde Baru survive adalah mempersiapkan mesin politik yang akan mendukung kekuasaannya untuk berlaga dalam pemilu. Langkah yang diambil adalah mengkonsolidasikan Sekber Golkar untuk menjadi pendukung Pemerintahan Baru. Proses konsolidasi Sekber Golkar tidak berjalan sederhana sebab meskipun tokoh-tokohnya berafiliasi dengan militer, sebagian besar perwira itu adalah Sukarnois. Selain itu, keanggotaannya banyak berasal dari politisi dan intelektual yang terkadang menunjukkan sikap independen. Langkah yang diambil kemudian adalah restrukturisasi Sekber Golkar ke dalam tujuh kelompok organisasi induk (Kino) yaitu Kosgoro, MKGR, Soksi, Ormas Hankam, Gakari, Karya Profesi, dan Karya Pembangunan. Yang terakhir adalah organisasi baru yang menampung kaum intelektual dan politisi Orde Baru yang modernis dan berpikiran reformis. Dibantu oleh sekutu sipil ini kemudian di Sekber Golkar dibentuk Electoral Machine yang disebut Badan Pengendalian Pemilihan Umum. Tugas badan ini adalah memperluas pengaruh organisasi keseluruh negeri. Berkat bantuan fasilitas jaringan intelejen operasi khusus (Opsus) politik monoloyalitas yang diatur Mendagri kesemua pegawai negeri, dan penugasan perwira militer sebagai pengelola cabang-cabang lokal sekber Golkar di seluruh negeri menjadikan pengaruh organisasi tersebar secara efektif ke dalam masyarakat di seluruh Indonesia. Pada Pemilihan Umum Tahun 1971, hasil dan proses ini terlihat sangat jelas. Golkar, yang saat itu tidak mau disebut sebagai partai politik, memperoleh kemenangan besar, yaitu 63,8 % suara pemilih. Politik pemilu selanjutnya adalah mengeluarkan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui fusi. Penyederhanaan partai pada dasarnya adalah kontinuitas dari yang pernah dirintis oleh Sukarno. pada tahun 1960 Presiden Sukarno telah mengurangi jumlah partai politik dari kira-kira 25 menjadi 10 yaitu PNI, Partindo, IPKI, NU, PSII, Perti, Parkindo dan Partai Katolik, PKI serta Murba yang sesungguhnya representasi dari ideologi Nasionalis, Islam, Kristen dan marxisme. Sebelumnya, Masyumi dibubarkan oleh Sukarno karena dituduh terlibat dalam pembrontakan PRRI Sumatera Barat yang kemudian tidak terbukti. Setelah peralihan kekuasaan tahun 1966, PKI dibubarkan dan Partindo ditindas. dan sebuah partai Islam (Parmusi) pada tahun 1968 dibentuk. Kesembilan partai tersebut yang kemudian menjadi kontestan dalam Pemilu 1971. Dasar-dasar bagi politik penyederhanaan partai dilakukan satu tahun sebelum pemilu pertama era Orde Baru digelar, Februari 1970. Kala itu, Suharto bertemu dengan pimpinan partai untuk membahasa rencana pemerintah mengurangi jumlah partai. Pertemuan ini menghasilkan pembentukan dua kelompok koalisi di dalam DPR, Maret 1970 yaitu Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik; dan Kelompok Persatuan Pembangunan, yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

BAB IVPENUTUP

4.1 KesimpulanPemilihan Umum Tahun 1971, pemilu pertama era Orde Baru yang dilaksanakan dibawah payung hukum Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu. Yang menjadi Pemilih adalah warganegara yang telah burusia 17 tahun dan atau sudah menikah. Prosedur pendaftarannya adalah sistem stelsel pasif, yaitu pemerintah mempunyai kewajiban mendaftar semua warga negara yang memiliki hak pilih. Penduduk Pemilih pada Pemilihan Umum tahun 1971 adalah berjumlah 58.558.776 dari jumlah penduduk Republik Indonesia yang pada waktu itu berjumlah 77.654.492.Ketika Orde Baru berkuasa, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu yang pertama kali yaitu pada 5 Juli 1971. Meskipun demikian, pelaksanaan pemilu dibawah Orde Baru memiliki karakter yang berbeda dengan pemilu yang dikenal negara-negara demokrasi pada umumnya. Jika di negara demokrasi karakter pemilu dibangun diatas prinsip free and fair baik dalam struktur dan proses pemilu, sebaliknya, Orde Baru justru menghindari penerapan prinsip tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ketidak seimbangan kontestasi antar peserta pemilu dan hasil pemilu tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Pelaksanaan Pemilu diataur melalui cara-cara tertentu untuk kelanggengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri.Ada beberapa hal mendasar yang menjadikan pemilu-pemilu selama Orde Baru berkuasa tidak dikatagorikan sebagai pemilu yang demokratis. pertama, terlalu dominannya peranan pemerintah, dan sebaliknya, amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu. Dominasi pemerintah yang terlalu besar terlihat dalam postur kelembagaan penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga struktur kepanitiaan terendah yang didominasi pemerintah. Kalaupun melibatkan unsur diluar pemerintah tidak lebih pada aksesoris belaka.Proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta pemilu, yaitu Golkar. Birokrasi dengan monoloyalitasnya dan militer mendukung Golkar untuk mencapai kemenangan. Monopoli pemerintah dalam salah satu proses pemilu yang terpenting, yakni penghitungan suara. Pada tahap ini, hampir tidak ada peluang bagi OPP di luar Golkar mengikuti dan terlibat secara penuh dalam penghitungan suara, kecuali ditingkat tempat pemungutan suara.Pada pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai yaitu Golkar, NU, Parmusi ,PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti , IPKI dan Murba. Kemudian hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai mayoritas tunggal dengan perolehan suara 62,82%. PNI mendapat suara 6,93%, Parmusi mendapat 5,36%, Partai NU mendapat 18,68%, Parkindo 1,34 %, katolik 1,10 % dan Perti 0,69%. Sementara perolehan IPKI 0,69% dan Murba 0,08% sehingga tidak berhasil memenuhi angka untuk mendapatkan kursi DPR.

4.2 Saran Seharusnya pemilihan umum 1971 menggunakan prinsip free and fair baik dalam struktur dan proses pemilu. Keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan pemilu harus dibuat seminimal mungkin dan lebih besar kepada keterlibatan masyarakat agar hasil dari pemilu tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat,

20