pemilu di amerika dan keterwakilan politik
DESCRIPTION
Esai lepas tentang pemilu 2012 di Amerika SerikatTRANSCRIPT
December 2012 ESSAI
1
Pemilu di Amerika dan Keterwakilan Politik
OLEH Ashari Cahyo Edi
Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta
HARI itu Kamis (11/10/2012) jam 8 malam. Jadwalnya kelas metode analisis kuantitatif untuk
manajemen lembaga publik dan nonprofit. Yang beda dari biasanya, banyak mahasiswa yang tidak
nyaman duduk lama-lama. Hari itu Senator Joe Biden asal Negara Bagian Delaware, alumnus
University of Delaware yang juga incumbent Wakil Presiden Amerika Serikat, akan berdebat dengan
Paul Ryan, Anggota Konggres asal Wisconsin. Ryan kandidat wapres Partai Republik, mendampingi
Gubernur Massachusetts Mitt Romney. Profesor kami pun sepertinya juga ingin menonton. Dan
benar saja, kelas selesai lebih cepat dari yang sudah-sudah.
Selama 90 menit, Biden dan Ryan terlibat adu klaim, argumen, dan data dari isu penanganan krisis
di Syiria, medicare (asuransi kesehatan), social security (jaminan sosial), reformasi perpajakan,
hingga cara terbaik mengatasi pengangguran. Baik dalam menanggapi pertanyaan moderator
maupun ketika saling menyanggah, jawaban keduanya jauh dari "wejangan" normatif. Sangat
spesifik, jelas warna ideologi partainya masing-masing, dan disertai dengan bukti-bukti baik
dengan merujuk penelitian maupun pengalaman implementasi kebijakan di bawah presiden
sebelum-sebelumnya. Esok harinya, status Facebook teman-teman kuliah dipenuhi dengan candaan
tentang "pemoncloan" Biden terhadap Ryan. Biden, politisi senior, menggunguli Ryan dalam debat
malam itu. Sesuatu yang dipandang banyak analis "menyeimbangkan" hasil debat pertama antara
Obama-Romney dimana Obama kalah superior dalam debat tersebut.
December 2012 ESSAI
2
Mengapa dua wakil rakyat tersebut tampak sangat mumpuni? Baik senator maupun anggota
konggres, agar efektif dalam bertugas, didukung oleh sumber daya yang memadai. Misalnya,
dukungan dari APBN memungkinkan seorang senator memiliki kurang lebih 20 orang staf
termasuk didalamnya para staf ahil (policy specialists). Senator juga didanai untuk memiliki kantor
perwakilan di county (kabupaten/kota) di mana di situ juga terdapat policy specialist yang bertugas
merespon dan menggodok aspirasi warga. Kantor-kantor perwakilan tersebut dikepalai seorang
direktur yang berkedudukan di ibukota negara bagian, yang bertugas memonitor dan mensupervisi
kinerja "rumah-rumah" aspirasi di tiap county tersebut.
Tugas para staf ahli senator di Ibukota Washington DC maupun di tiap kabupaten adalah
mendukung kerja senator: proaktif menyerap, mendrafting, dan mengusulkan draf legislasi, hingga
membantu konstituen ketika mereka puna masalah dengan asuransi kesehatan mereka. Karena
semua didanai anggaran Federal untuk menunjang kinerja, senator tidak boleh menggunakan
fasilitas ini untuk keperluan politik seperti pencalonan kembali maupun kampanye. "Bahkan
telepon untuk keperluan kampanye, ia tidak boleh menggunakan fasilitasnya sebagai senator," ujar
salah seorang policy specialist Senator Tom Carper, yang saya temui di Capitol Hill, gedung wakil
rakyat AS. Dengan dukungan ini, senator bisa membuat judgement atau pilihan-pilihan politiknya
didukung oleh bukti yang kredibel, sebagaimana dipertunjukkan oleh Joe Biden dan Paul Ryan
tersebut. Dengan berbagai dukungan tersebut, termasuk pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi melalui dunia maya, komunikasi politik antara konstituen dengan wakilnya terjalin.
Praktik politik di AS tentu bukan tanpa cacat. Pada pemilu 2012 ini, misalnya, berkembang isu
tentang kekuatan uang, baik individu maupun perusahaan, yang membajak politik. Tentang hal ini,
saya jelaskan sebagai berikut.
December 2012 ESSAI
3
Konstitusi memberi legitimasi praktik tersebut. Asal tujuannya adalah "advokasi" dan
bantuan dana diberikan melalui pihak independen (lembaga nirlaba/non pemerintah yang
tidak menjalin kontak langsung dengan kandidat. Dengan kondisi tersebut, pemberi dana
tidak wajib membuka identitasnya kepada publik dan melaporkan ke "Bawaslu". Namun
prakteknya: ada orang kaya/perusahaan, yang mempunyai kepentingan terhadap kebijakan,
dan karena paradigma partai jelas, umumnya pengusaha ini--yang konservatif (pro pasar
dan 'militan agama')--memihak kandidat yang ideologinya sama dengan kepentingan
mereka. Para orang kaya ini lantas membuat "LSM". Dalam UU di AS, LSM yang bergerak di
advokasi isu publik tidak wajib men-disclosure siapa penyumbangnya. Jadilah, 'tanpa kontak
langsung' dengan kandidat, muncul banyak LSM dengan nama seperti 'koalisi rakyat anti
inefisiensi APBD' yang memborbardir televisi dengan iklan politik, memenuhi kotak pos
dengan aneka leaflet, dan jalan-jalan dengan baliho. Di sini rumitnya: susah membedakan
antara pesan advokasi dengan pesan kampanye. Sesusah mendefinisikan ada tidaknya
kontak langsung atau batasan soal independen. Baik atau buruk bagi demokrasi? Yang PRO:
ini sesuai dengan amandemen pertama konstitusi, bahwa warga negara harus dilindungi
dari rasa takut untuk menyampaikan pendapat atau mendukung pendapat, yang dalam hal
ini mendukung ide perubahan yang diusung kandidat wakil rakyat melalui pembiayaan iklan
politik. Jika harus terbuka, wajib lapor, bisa diaudit dan seterusnya lalu takut "Bawaslu"
akan begini-begitu maka esensi perlindungan atas hak tersebut hilang. Lagian, pemilih tidak
peduli dari mana uangnya, asal isunya sama, OK! Pihak yang KONTRA: uang itu dari mana,
dari siapa, apa agenda tersembunyinya, dan jika kandidat terpilih, akankah dia tetap
akuntabel pada pemilih? Jika dibilang pemilih tidak peduli, kan bukan berarti menghapus
jaminan akses informasi tentang siapa dan darimana uang itu berasal? Tapi apa benar,
pemilih tidak peduli?
Di negara bagian "sepi" seperti Montana, uang "liar" yang dibelanjakan untuk iklan politik luar
biasa besar, meningkat sekian ratus persen dari pemilu sebelumnya. Warga Montana merasa risau,
karena takut kandidat akan lebih terikat dengan "kontrak duit" ketimbang kontrak politik.
PADA akhirnya Obama menang. Suasana di Kota Chicago (7/11) malam itu sedemikian semarak.
Masyarakat Amerika Serikat rela begadang hingga jam 2 dini hari untuk menyaksikan pidato
kemenangan Obama. Ia meraih 332 dari total 536 suara Electoral College dan 50,8 persen suara
pemilih (popular votes). Sementara, pasangan kandidat Mitt Romney-Paul Ryan hanya meraih 206
electoral votes 47,5 persen suara pemilih.
NPR Review mencatat, seiring dengan perubahan demografi, kemenangan Obama juga merupakan
pertanda baik bagi kemenangan Demokrat selanjutnya. Pemilih Obama adalah hispanik dan kaum
muda professional yang kebanyakan kulit putih. Obama berhasil meraih dukungan "koalisi" pemilih
December 2012 ESSAI
4
yang tahun 2008 memenangkannya: African-Americans, Hispanics, Asians, single women, and
young and highly educated whites.
Sebagaimana rilis CBS NEws bahwa masyarakat hispanik yang mencapai 10 persen dari pemilih, 70
persen diantaranya mendukung Obama. Sementara, golongan AfroAmerika yang mencapai 13
persen dari pemilih, 93 persen mencoblos Obama. Sekira 67 persen perempuan unmarried dan 60
persen kaum muda juga mendkung Obama. Pendukung Obama kiranya bisa dilihat saat pidato
tersebut. Mereka umumnya: younger, urban, more diverse, more socially liberal; dibanding para
pendukung Romney: older, whiter, more rural and traditional! The New York Times menulis, pemilu
kali ini pun tetap menunjukkan perbedaan tipikal dalam masyarakat Amerika. Orang kaya,
golongan kulit putih, kaum konservatif (menolak pernikahan gay dan aborsi) mendukung Romney;
dan yang sebaliknya adalah basis Obama.
Dukungan dari pemilih perempuan terhadap Obama bukan tanpa sebab. Sejak setahun lalu,
demikian dikupas Huffington Post, kampanye Obama fokus ke berbagai isu perempuan. Obama juga
yang menandatangi Lilly Ledbetter Wage Bill, undang-undang baru yang menjamin kesetaraan gaji
antara perempuan dan laki-laki. Dukungan yang kuat terhadap Obama dari perempuan di Negara
bagian kategori swing states memberi keuntungan Obama secara signifikan.
Kemenangan Obama, tulisThe New York Times, sangat ditentukan oleh negara-negara bagian di
Midwestern Rust Belt seperti Ohio, di mana keputusan Obama untuk bailing out industri-industri
berlokasi di sana "bekerja" mendulang dukungan; dan sebaliknya, Romney kalah karena menentang
kebijakan tersebut. Untuk konteks politik dan demokrasi yang maju--setidaknya dibandingkan
negara berkembang atau transisi--panggung politik di AS didominasi oleh pertarungan ide dan
integritas figur. Pilihan Obama untuk mem-bail out bisa dibilang wujud dari peran pemerintah
December 2012 ESSAI
5
dalam ekonomi, vis a vis standing position Republikan Mitt Rimney yang memilih agar Washington
seharusnya menjaga jarak dan membiarkan asar bebas bekerja sesuai nature-nya. Karena itu,
ketika Romney ingin mencuri kemenangan di Pennsylvanisa dengan mengklaim bahwa kebijakan
Obama untuk mengatasi pengangguran gagal, banyak pemilih yang menganggur justru memilih
pendekatan Obama yang menghendaki lebih banyak investasi publik.
Selain soal pengangguran dan pembukaan lapangan kerja, "taruhan" dalam pemilu kemarin juga
menyangkut isu imigrasi, aborsi, pernikahan sejenis, medicare, serta kebijakan perpajakan. Lagi-
lagi pilihan Romney yang bersikap keras terhadap imigran dengan memaksa “self-deportation” dan
memuji kebijakan Negara Bagian Arizona yang keras terhadap imigran, tidak disukai pemilih,
platform kebijakan yang membuatnya susah menang di negara-negara bagian penting bagi
pemenangannya.
Pemilu kali juga menghasilkan sejumlah statistik menarik. Businessweek merilis, untuk pertama
kalinya, 1 dari 5 anggota senat adalah perempuan. Lima orang diantaranya terpilih untuk pertama
kali menjadi senator dari Wisconsin, Massachusetts, Hawaii, Nebraska and North Dakota. Total ada
20 dari 100 adalah perempuan. Saat ini ada 17 orang. Dua diantaranya pensiun. Satu dari lima yang
baru adalah Demokrat.
Jika platform kebijakan menentukan, bagaimana dengan faktor figur Obama sendiri? Pemilu
legislatif 2010 menunjukkan, golongan AfroAmerika dan kaum muda tidak memilih, faktor yang
menyebabkan Republikan menikmati kemenangan besar di pemilu congressional level negara
bagian tahun itu. Obama adalah presiden pertama kulit hitam.Sebagian analis lain mengatakan,
kemenangan Obama juga ditentukan oleh perangai politiknya yang dewasa. Hal berbeda yang
December 2012 ESSAI
6
ditunjukkan banyak politisi Republikan yang kerap membuat statemen sarkastik di media terkait
isu-isu kebijakan. Semua ini menunjukkan bahwa figur Obama punya andil sangat menentukan.
DARI cerita pemilu AS saya ingin menariknya ke isu representasi politik. Dalam demokrasi
perwakilan, partai politik adalah mesin vital. Secara sederhana, rute demokrasi perwakilan adalah
sebagai berikut: masyarakat memilih kader parpol untuk duduk di kursi dewan untuk menjalankan
mandat rakyat. Setelah menjadi anggota dewan, legislator dari Parpol ini menjadi saluran aspirasi
politik masyarakat agar kebijakan publik benar-benar menjawab persoalan yang dihadapi
masyarakat.
Namun faktanya, praktik demokrasi perwakilan tidak berjalan semudah membalik telapan tangan.
Jika lawan dari representasi adalah eksklusi, maka gejala eksklusi dalam relasi Parpol dan anggota
legislatif dengan masyarakat belakangan ini justru semakin menguat. Parpol dan anggota dewan
lebih banyak berjalan sendiri dalam merespon berbagai isu dan persoalan yang dihadapi
masyarakat. Sebaliknya, aspirasi yang kerap dibawa masyarakat melalui hearing, dialog publik
bahkan demonstrasi sekalipun ke dewan kerap tak jelas juntrungnya. Alhasil, keterwakilan
masyarakat oleh Parpol maupun lembaga legislatif sangat rendah. Para analisis menilai, bahwa
gejala eksklusi ini bahkan sudah dimulai segera setelah masyarakat mencoblos: ”one chosen, the
representative acts and citizens are passive”.
Problem ini masih ditambah lagi dengan ekspektasi masyarakat tinggi, yang sayangnya justru di
bidang yang tidak berkaitan dengan kebijakan. Dalam konteks sosio-kultural di mana gejala neo-
patrimonialisme masih kuat, posisi anggota dewan ibarat berada di tengah dilema. Gejala neo-
patrimonialisme ditandai adanya orang kuat yang melindungi dan mencukupi kebutuhan
kebutuhan konstituennya melalui penggunaan otoritas untuk memberikan akses sumber daya
December 2012 ESSAI
7
(Hudson & Wren, 2007). Sehingga tak mengherankan jika substansi representasi dalam relasi
antara anggota dewan dengan konstituen, oleh anggota dewan maupun konstituen, dipahami
sebagai proses pemberian tidak saja akses ke program pembangunan melalui pengajuan proposal,
melainkan juga pemberian uang maupun barang dari anggota dewan kepada para konstituennya.
Hal ini berdampak setidaknya dua hal. Pertama, dengan bertindak sebagai “the big man”, anggota
dewan mereduksi substansi pembahasan kebijakan (terutama perencanaan dan penganggaran)
dari sebagai proses politik kelembagaan menjadi sekadar “pelayanan privat”. Konsekuensinya,
selain akan merepotkan si anggota dewan dalam jangka panjang, hal tersebut juga tidak akan
mendidik dan mendewasakan kesadaran tentang bagaimana seharusnya peran warga negara dalam
proses-proses kebijakan. Kedua, dengan dominasi eksekutif yang kuat sebagai pelaksana anggaran,
maka porsi anggota dewan dalam perannya memberikan “pelayanan privat” akan semakin kecil.
Beberapa daerah, memiliki skema bantuan sosial yang langsung dilegalisasi oleh eksekutif. Citra
populis anggota dewan lambat laun akan kalah dengan eksekutif, yang pada gilirannya akan
menyurutkan citra anggota dewan. Dan citra populis ini bisa jadi semakin luntur ketika dewasa ini
begitu banyak kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan. Sulit dipungkiri, terdapat persepsi
yang kurang baik di masyarakat terkait kinerja anggota dewan. Maraknya pemberitaan di media
massa tentang anggota dewan yang tidur saat sidang, malas turun ke bawah saat reses, maupun
keenggan mereka untuk aktif membuka hearing didalam merespon isu-isu yang tengah hangat di
masyarakat kian menguatkan persepsi bahwa anggotadewan bekerja tidak mewakili rakyat.
Representasi sejatinya adalah proses pertukaran (exchange) yang aktif antara parpol, anggota
legislatif, dan konstituen secara terus menerus. Karenanya, jembatan antara representasi (parpol,
anggota legislatif, DPR/DPRD) dan partisipasi (warga negara) penting dirumuskan bersama-sama
oleh kedua pihak tersebut. Salah satu cara mengurangi eksklusi adalah meningkatkan efektivitas
December 2012 ESSAI
8
dan kualitas kinerja institusi parpol dan lembaga perwakilan termasuk anggota dewan. Dalam
relasi Parpol, anggota dewan, dan masyarakat tampak bahwa partisipasi masyarakat telah
sedemikian semarak namun kapasitas intitusi dalam parpol dan parlemen lemah dalam merespon
dan mengelola sehingga partisipasi berdampak terhadap kebijakan.
Salah satu aspek penting dalam relasi anggota dewan-parpol-konstituen adalah kontrol konstituen
terhadap kinerja anggota dewan, yang nampaknya tidak bisa diserahkan begitu saja kepada Parpol.
Salah satu hasil refleksi satu dekade reformasi, menyangkut peran parpol adalah merosotnya
derajat dan kualitas representasi parpol (Demos, 2008). Karena itu dibutuhkan terobosan baru
dengan maksud memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol kinerja anggota dewan
melalui institusionalisasi politik representasi, misalnya adanya jaminan bagi masyarakat untuk bisa
melakukan hearing dengan dewan, akses data yang dimiliki dewan, pelibatan masyarakat dalam
perencanaan pembangunan yang dilakukan dewan (Jaring Asmara), dsb. Karena Parpol
bermasalah, pendekatan aktor bisa dipakai sebagai alternatif institusionalisasi politik representasi
kewargaan. Aktor-aktor demokrasi inilah yang diharapkan menjadi agen perubahan pelembagaan
politik representasi di ranah pemerintahan, dalam hal ini lembaga legislatif.
Saya sependapat dengan Stoker (2006) mengenai sejumlah asumsi dasar dalam demokrasi
perwakilan, yang selanjutnya kian menjadikan upaya terobosan dan inovasi dalam pendekatan,
strategi, dan mekanisme komunikasi politik menjadi sedemikian krusial. Pertama, keterbatasan
Parpol dan anggota legislatif dalam menjalankan peran perwakilan terkait dengan nature dari
politik demokrasi. Bahwa sifat dasariah dari politik demokrasi adalah bahwa berbagai persoalan
publik dibahas, ”dikompromikan”, melibatkan proses pertukaran nilai dan kepentingan, sehingga
acap berujung pada hasil yang tidak bisa memuaskan banyak pihak. Karena itulah, komunikasi
dengan konstituen bernilai strategis agar ada proses resiprokal yang kontinyu baik menyangkut ide
December 2012 ESSAI
9
maupun untuk senantiasa menumbuhkan kepercayaan publik terhadap parlemen. Tanpa
komunikasi efektif, publik tidak mengetahui betapa kompleksnya proses politik di parlemen dan
mudah menuduh anggota legislatif tidak aspiratif.
Kedua, nature dari warga negara yang memiliki keterbatasan keahlian, pengetahuan, dan
pengalaman dalam sistem politik yang tidak hanya berdimensi politik namun juga teknokratik.
Karena itu, tak mengherankan jika warga umumnya lebih memilih aktif secara ”part time”, sporadis
(isu tertentu), maupun reguler (pada fase kebijakan tertentu semisal perancanaan dan
penganggaran) ketimbang mencurahkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk urusan
politik. Warga memandang bahwa kader Parpol, anggota legislatif adalah para profesional dan
praktisi di bidang politik yang bertindak atas nama mereka. Sehingga yang dibutuhkan adalah
institusi dan saluran yang efektif, kredibel, dan bertanggung gugat agar mereka bisa berkomunikasi
dengan pihak-pihak yang mewakilinya untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Kunci sebuah representasi yang efektif adalah adanya suatu sistem di mana para wakil rakyat
mencurahkan perhatiannya untuk senantiasa mencari, merespon kepentingan konstituen (Plotke,
1997). Kiranya, hanya dalam dunia yang ideal di mana setiap inidividu warga negara akan
memberdayakan dan melengkapi dirinya dengan pengetahuan, ketrampilan untuk mencurahkan
waktu, perhatian, tenaga untuk terlibat secara aktif pada isu-isu kebijakan yang
berdampak pada mereka. Dengan kata lain, adalah lebih tepat untuk membenahi kinerja
representasi ketimbang mengasumsikan bahwa warga negara akan memiliki ”stamina super” untuk
selalu melibatkan diri dalam proses kebijakan dan aktivitas politik yang lain.
MEMBANDINGKAN AS dan Indonesia tidaklah tepat, sesembrono menyamakan buah apel dan
jeruk. Tapi tidak ada kelirunya jika kita memotret debat itu sebagai alternatif inspirasi, bahwa
December 2012 ESSAI
10
ketika anggaran terbatas, maka prioritas alokasi adalah pada pos-pos yang menunjang kapasitas
anggota dewan. Bimbingan teknis yang kerap penting tapi orintasinya jangka pendek dan tidak
institusional.
Meski masih berupa rekomendasi awal, model yang mengemuka adalah perpaduan antara saluran
komunikasi formal dengan saluran komunikasi informal. Forum-forum informal seperti forum
warga di kampung, ritual keagamaan, kegiatan gotong-royong selama ini disepakati untuk dijadikan
saluran membangun kedekatan dengan konstituen, wahana menyerap aspirasi dan memotret
problem riil di masyarakat, serta sebagai ajang kampanye sepanjang masa. Untuk yang terakhir,
kampanye sepanjang masa dipandang penting, selain untuk mencari dukungan, juga sebagai alat
pendidikan politik warga negara. Melalui forum yang ada di level paling lokal, masyarakat yang
selama 30 tahun lebih menjadi floating mass bisa lebih dekat dengan partai, sehingga persepsi
negatif terhadap politik praktis semakin berkurang. Bahkan dengan teknologi informasi dan
komunikasi yang jauh lebih advance, diskusi tatap muka memainkan peran penting dalam
komunikasi politik di AS. Dalam website-nya, Anggota Konggres John Carney, misalnya,
memberikan berbagai informasi perihal bagaimana konstituen bisa mencapainya: undangan untuk
pertemuan warga, berkunjung ke "rumah aspirasi" yang tersebar di sejumlah distrik/kota, dan
seterusnya. Artinya, hulu soalnya bukanlah hal-hal yang berkaitan dengan gap peralatan atau
material lainnya. Mindset dan budaya adalah kuncinya.
Kemudian, media juga perlu dilibatkan untuk lebih memberi penilaian kinerja anggota dewan,
Parpol, untuk membantu publik mengontrol kinerja kedua lembaga tersebut. Media juga harus
mulai membantu mengorbitkan aktor baru, politisi baru yang bersih, dan mendukung agenda
kebijakannya. Untuk itu, partai butuh membenahi manajemen kampanye jangka panjang-nya yang
tak terbatas musim pemilu.
December 2012 ESSAI
11
Ssebagaimana kesimpulan kajian Institute for Research and Empowerment (IRE) dan International
Republican Institute (2009), partai politik tidak boleh lagi lepas tangan dan menyerahkan segala
beban penyerapan aspirasi di area kebijakan publik kepada kadernya di lembaga legislatif. Proaktif
bukan saja saat kampanye. Kantor parpol di kecamatan dan kabupaten, misalnya, bisa memfasilitasi
dialog rutin anggota dewan-konstituen tentang isu kebijakan baik yang berkembang di eksekutif
maupun legislatif. Untuk mendukung aktivitas tersebut, parpol bisa memberdayakan kader parpol
di bawah untuk menyerap dan mengawal usulan masyarakat dalam musrenbang desa maupun
kecamatan. Komunikasi intensif yang tidak sebatas dalam masa reses ini sesungguhnya juga
potensial menjadi wahana pendidikan politik, agar orientasi konstituen secara bertahap bergeser
dari mengharap bantuan (charity) ke arah advokasi kebijakan.
Kedua, perlu adanya dukungan kelembagaan dan sistemik dari regulasi yang memungkinkan
anggota dewan bekerja secara optimal. Misalnya, sebagaimana kajian Institute for Research and
Empowerment (IRE) dan Prorep USAID (2012), harus segera ditemukan solusi agar jadwal
penjaringan aspirasi/turun ke bawah (masa reses) anggota dewan bisa sinergis dengan tahapan
dan siklus perencanaan pembangunan daerah. Idealnya, anggota dewan bisa hadir dan bersama-
sama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait untuk menyerap usulan masyarakat di
musrenbang kecamatan di daerah pemilihannya. Hal ini sejalan dengan pesan Wakil DPRD Provinsi
Jawa Tengah Bambang Sadono (Suara Merdeka, 23/10/2012), bahwa penyerapan aspirasi “akan
lebih efektif bila anggota DPRD tersebut didampingi satuan kerja perangkat daerah terkait…” Di
samping itu, kedudukan yuridis mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat juga perlu
diperkokoh. Sebabnya, meski relatif efektif, secara sistemik mekanisme ini tidak dikenal dalam
Undang-undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun
2005 (Pembangunan Desa), Permendagri No. 66 Tahun 2007 (Perencanaan Pembangunan Desa),
December 2012 ESSAI
12
maupun regulasi lainnya (IRE, 2012: 61). Perubahan di level sistemik ini akan mensinergirkan
penjaringan aspirasi oleh anggota legislatif di masa reses dari pejaringan aspirasi reguler oleh
pemerintah melalui musrenbang. Advokasi terhadap aspek-aspek sistemik bukan beban
masyarakat politik semata. Elemen civil society, yang selama ini juga bekerja, perlu digandeng agar
menghasilkan sinergi yang efektif mendorong perubahan.
Selain dua solusi diatas, kolaborasi dengan perguruan tinggi juga perlu lebih dimaksimalkan.
Misalnya, melalui fasilitasi sekretariat DPRD dapat diinisiasi program magang bagi mahasiswa S2
sebagai analis kebijakan untuk mendukung kerja-kerja analisis anggaran dan legislasi daerah.
Program Legislative Fellow di University of Delaware, AS, bias jadi rujukan. Setiap tahun, kampus
ini menyeleksi dan mengirim mahasiswanya untuk menimba ilmu dan pengalaman dengan menjadi
staf analis kebijakan bagi para legislator. Kolaborasi semacam ini memberikan manfaat bagi semua
pihak: pengalaman praktis bagi mahasiswa, update data empiris bagi riset perguruan tinggi, dan
tenaga ahli bagi anggota legislatif.
Bagi penulis, cerita dari AS di atas menjadi pengingat bahwa beban untuk menampilkan kinerja
yang baik tidak sepenuhnya berada di pundak para wakil rakyat. Karena itu, dibutuhkan inisiasi
perubahan di level sistemik dan dukungan berbagai pihak terkait agar para wakil rakyat kita baik di
nasional maupun daerah bisa bekerja lebih optimal.
___________________________________
Bahan refleksi berasal dari studi IRE (2009 & 2012) serta beragam pemberitaan di koran-koran di AS.