pemikiran ekonomi as syatibi

25
PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI ABSTRACT .................................................................. A. PENDAHULUAN Sejarah ekonomi Islam tidak muncul dan berkembang begitu saja. Melainkan melalui bertahap-tahap. Sepanjang sejarah ekonomi Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonomnya sedemikian rupa, sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai pencetus ekonomi Islam sesungguhnya. Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah cendekiawan muslim terkemuka, sepaerti Abu Yusuf (w. 182 H), al-Syabani (w. 189 H), Abu Ubaid (w. 224 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syatibi (w. 790 H) dan lain sebagainya. Dalam makalah ini akan menjelaskan riwayat Al-Syatibi beserta pemikiran ekonomi Islamnya. B. RIWAYAT HIDUP Al-Syatibi adalah seorang cendikiawan muslim yang belum terkenal di masanya. Beliau bernama lengkap Ibrahim bin Musa, bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Ghamathi Abu Ishak, yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Syatibi yang dijuluki dengan Al-Imam Al- Alaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), Al-Muhaqqiq (yang 1

Upload: zaka-farm

Post on 23-Oct-2015

294 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

SYATIBI, PEMIKIRAN, EKONOMI

TRANSCRIPT

Page 1: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI

ABSTRACT

..................................................................

A. PENDAHULUAN

Sejarah ekonomi Islam tidak muncul dan berkembang begitu saja. Melainkan melalui 

bertahap-tahap. Sepanjang sejarah ekonomi Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah

mengembangkan berbagai gagasan ekonomnya sedemikian rupa, sehingga mengharuskan kita

untuk menganggap mereka sebagai pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.

Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin

yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah

cendekiawan muslim terkemuka, sepaerti Abu Yusuf (w. 182 H), al-Syabani (w. 189 H), Abu

Ubaid (w. 224 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syatibi (w. 790 H) dan lain sebagainya. Dalam

makalah ini akan menjelaskan riwayat Al-Syatibi beserta pemikiran ekonomi Islamnya.

B. RIWAYAT HIDUP

Al-Syatibi adalah seorang cendikiawan muslim yang belum terkenal di masanya. Beliau

bernama lengkap Ibrahim bin Musa, bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Ghamathi Abu Ishak, yang

lebih dikenal dengan sebutan Al-Syatibi yang dijuluki dengan Al-Imam Al-Alaamah (yang sangat

dalam ilmu pengetahuannya), Al-Muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu

guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi solusi), Al-Qudwah (yang pantas diikuti),

Al-Hafizh (yang telah menghafal dan menjaga ribuan hadits) dan Al-Mujtahid (yang mampu

mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum)1. Kata “Al-Syatibi” yang merupakan

‘alam laqab2  yang dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatibah atau Jativa), yang

terletak di kawasan Spanyol bagian timur3. Dan beliau berasal dari Suku Arab Lakhmi.

Meskipun Al-Syatibi dinisbatkan kepada negeri itu, diduga keras ia tidak lahir di sana. Karena

kota tersebut sebelumya telah dikuasai oleh orang-orang Kristen atau jatuh ke tangan Kristen,

1 Imam Al-Syatibi, 2006. Al-I’tisham, Diterjemahkan oleh : Shalahuddin Sabki dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, hal. xvii

2 Nama julukan yang sering dipanggil tiap harinya3 H. Adiwarman Azwar Karim, 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Ed, 3 Cet, 5hal. 3781

Page 2: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

dan orang-orang Islam telah diusir dari sana sejak tahun 1247 (645 H) atau hampir satu abad

sebelum Al-Syatibi dilahirkan4.

Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr,

Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan

dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa

keemasan umat Islam setempat. Karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan

berdirinya Universitas Granada5.

Dalam bermadzhab, Al-Syatibi menganut madzhab Maliki dan mendalami berbagai ilmu,

baik berupa ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi

memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami:

1. Bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad

ibn Ahmad Al-Syatibi dan Abu Ja’far al-Syaqwari.

2. Hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani.

3. Ilmu kalam dal falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi.

4. Ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu

Abdillah bin Ah,ad al-Syarif al-Tilimsani.

5. Ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi

Di samping ia bertemu langsung atau belajar langsung kepada gurunya di atas, ia juga

melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti

mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nasfi al-Rundi.

Walaupun Al-Syatibi banyak mempelajari ilmu, namun ia lebih berminat terhadap bahasa

Arab, khususnya ushul fiqih. Karena metode dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor penentu

terhadap kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.

Pemikiran Al-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiyahnya yang dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok6:

1. karya-karya yang tidak diterbitkan yaitu, (a) Syarh jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw, (b)

Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari shahih Al-Bukhari), (c) Syarh Rajz Ibn Malik fi

An-Nahw, (d) Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan (e) Ushul An-Nahw.

4 H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ibid, hal 3795 H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Loc.Cit6H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ibid, hal , 385

2

Page 3: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

2. kelompok kitab yang diterbitkan yaitu, (a) Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, (b) Al-

Itisham , dan (c) Al-Ifadat wa Al-Irsyadat.

C. Kehidupan Politik

Al-Syatibi hidup pada masa di mana Granada pada saat itu banyak terjadi perubahan baik

dari segi sosio-religius, politik, ekonomi dan hukum yang berpengaruh terhadap pola pikir Al-

Syatibi.

Dari segi politiknya, Al-Syatibi hidup pada masa perubahan sosial pada abad ke-14 yang

disebabkan berakhirnya masa chaos pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah

Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian

Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas

politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar

negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika

Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana,

friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali

kekuatan militer di internal kerajaan.

Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam

dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi

dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para

intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun (784 H/ 1382 M) menulis filsafat sejarah, di

Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328 M) mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji

(754 H/ 1355 M) meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, al-Syatibi memproduksi filsafat

hukum Islam7.

Beberapa tahun sebelumnya, jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos

politik di Spanyol. Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke panggung politik, Ibn

Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona. Ibn Hud adalah rival politik Ibn Ahmar setelah

runtuhnya dinasti Muwahhidun. Setelah sempat menguasai sejumlah kota seperti Almeria,

Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar Spanyol, Ibn Hud dilantik oleh penguasa dinasti

Abasiyyah yaitu al-Muntasir Billah. Namun selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut

tampuk kepemimpinan Ibn Hud kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H

dan menyatakan diri sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib Billah. Al-

7H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ibid, hal , 390

3

Page 4: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

Galib Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani Ahmar, menjadikan Granada sebagai pusat

pemerintahan8.

Bani Nasr membangun pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai

dua abad. Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III penguasa

Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau genjatan senjata pada

tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan jihad kepada suku-suku Afrika dan

meminta back up kekuatan Bani Marin di Maroko, sebagai dinasti terkuat pasca dinasti

Muwahidun. Kondisi strategis ini bertahan hingga kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-

Gani Billah atau Sultan Muhammad V.

Di masa Gani Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini

merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah satu sebab

mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun demikian, kehidupan

masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit ulamanya di strukutur politik. Masyarakat

cukup inklusif dan fleksibel dalam relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang

Kristen cukup intens baik dalam relasi sosial maupun bisnis.

Status quo para fuqaha dengan otoritas syari’ahnya ini mendapat perlawanan dengan

bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari gerakan tasawuf,

Abu Bakar Muhammad dari Cordova, Ibn al-Arif dari Almeria dan Ibn Barrajan dari Seville

berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha Maliki yang sangat mengabaikan hadis.

Gerakan-gerakan ini juga kelak mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. Terlihat ketika

al-Syatibi, meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16

cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi

yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia

sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah sendiri

disusun oleh al-Syatibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara

Madzhab Maliki dan Hanafi.9

Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan

mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran.

Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan.

8 H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ibid, hal , 3919 H. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ibid, hal , 394

4

Page 5: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu

kepada nas. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama.

Ia mengkritik gerakan tasawuf para ulama yang menyimpang saat itu. Fatwa al-Syatibi

tentang praktek tasawuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh seorang ulama ahli tasawuf

saat itu Abu al-Hasan al-Nawawi.

Al-Syatibi juga menyoroti ta‘ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan

masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan

madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus

memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman al-

Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab

negara10.

D. Pemikiran Hukum Al-Syatibi

Teori hukum Islam yang muncul pada abad ke delapan dan kemudian mendominasi

pamikiran para ahli hukum Muslim memandang naskah/teks sebagai normatif. Teori ini

menekankan metode panalaran hukum deduktif dan analogis. Al-Syatibi  mengkritik metode ini

karena sewenang-wenang, sebab seorang ahli hukum dapat memilih suatu teks yang sesuai

dengannya. Oleh sebab itu, beliau menganjurkan metode penalaran induktif dalam naskah serta

dalam praktek. Beliau mendeduksi bahwa hukum syariah didasarkan pada prinsip kemaslahatan

bagi manusia11.

Al-Syatibi menyimpulkan bahwa hukum syariah dimaksudkan untuk melindungi lima

kepentingan manusia yang pokok: agama, jiwa, repreduksi, harta dan akal budi. Dia pun

mengemukakan bahwa kelima kepentingan pokok ini diakui secara universal oleh segenap

bangsa-bangsa lain.  Beliau mengembangkan sebuah model hukum Islam yang terdiri atas tiga

lingkaran konsentris12.

Lingkaran paling dalam memuat hukum-hukum esensial yang berkenaan dengan kelima

kepentingan pokok. Lingkaran kedua meliputi hukum-hukum dan praktek-praktek yang tidak

secara lansung berhubungan dengan hukum-hukum tersebut di atas melainkan diasimilasikan ke

10 H. Adiwarman Azwar Karim,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ibid, hal. 39511 Dick Van der Meij, 2013. Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam. editor Dick Van der Meij,--

Jakarta: Inis, hal.812 Muhammad Khalid Masud, 1996. Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran al-

Syatibi, Bandung: Penerbit Pustaka, cet.ke-1, hal. 1115

Page 6: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

dalam syariah dengan mempertimbangkan kemaslahatan umum. Beliau memberikan contoh

tentang peraktek qirad, atau kemitraan diam-diam, yang dikenal juga sebagai mudharabah.

Lembaga qirad berasal dari praktek perdagangan pra-Islam di Mekah. Orang-orang Mekah

mendepositokan uang tunai dan barang kepada para pedagang yang melancong ke utara dan

selatan Arab. Pada kepulangannya, para pedagang tersebut akan membagi keuntunagn dengan

para penabung. Aturan-aturan syariah yang tegas tidak akan membolehkan transaksi-transaksi

semacam itudisebabkan oleh resiko,ketidakpastikan, dan spekulasi yang terkandung di

dalamnya. Hukum dari para ahli hukum mengasimilasikan praktek ini ke dalam sistemnya

dengan sangat berhasil sehingga kaum Islamis saat ini menggambarkannya sebagai corak

keuangan Islam dan sebagai alternatif yang mungkin bagi model-model kapitalis dan sosialis.

Yang ketiga, lingkaran paling luar terdiri atas hukum-hukum yang diisi denagn unsur-

unsur praktek sosial yang lebih halus seperti kesopanan, kebersihan, dan norma-norma budaya

lainnya. Syariah mengadopsi unsur-unsur ini, sebab semua ini mencerminkan kepatutan dan

pilihan-pilihan budaya di dalam suatu masyarakat. Al-Syatibi, misalnya, menjelaskan bahwa

pergi keluar rumah tanpa menutup kepala dipandang sebagai sebuah pelanggaran di Timur,

sementara menutup kepala juga tidak dipandang sebagai suatu kebajikan di Barat. Jika Al-

Syatibi menulis ini di Perancis, boleh jadi beliau akan menambahkan bahwa pada sejumlah

Negara Eropa, seorang wanita yang menutup kepalanya dipandang sebagai pelanggaran

kesopanan13.

Al-Syatibi membagi hukum syariah ke dalam ibadat dan adat. Ibadat, atau kewajiban-

kewajiban ritual, melindungi kepentingan-kepentingan agama. Hukum-hukum ibadat berada di

luar penalaran manusia sebab kebaikan yang dikandung olehnya tidak dapat ditentukan oleh

pengalaman manusia. Adat, atas hukum-hukum syariah lainnya, tentu saja ada di dalam lingkup

penalaran manusia.

Al-Syatibi menguraikan lebih lanjut tentang bagaimana adat menentukan hal yang baik dan

yang buruk dan syariah mengesahkan hasil-hasilnya. Ia menjelaskan bahwa maslahah, atau

kebaikan, tidak berada dalam bentuk yang murni dan mutlak. Ia selalu bercampur dengan

ketidaksenangan, kesulitan, atau aspek-aspek perasaan sakit lainnya, sebab dunia maya ini

tercipta dari perpaduan hal-hal yang berlawanan. Pengalaman manusia menentukan apa yang

baik dan yang buruk dengan melihat apa yang menonjol dalam suatu masalah tertentu. Jika unsur

13 Muhammad Khalid Masud, 1996. Filsafat Hukum Islam: Op.Cit, hal. 135

6

Page 7: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

kebaikan lebih banyak, maka ia disebut baik. Syariah mengesahkan kriteria ini dengan

menguatkan temuan-temuan penalaran manusia.14

Al-Syatibi mengkaji hukum-hukum Quran dengan menempatkannya dalam sejarah. Dia

menemukannya sangat erat dengan praktek-praktek lokal. Beliau membedakan antara hukum-

hukum yang diwahyukan di Madinah dan hukum-hukum yang diwahyukan di Madinah dan

hukum-hukum yang diwahyukan di Mekah. Ayat-ayat Makkiyah menunjuk kepada norma-

norma dasar dan merupakan tujuan dari hukum Islam. Ayat-ayat Madaniyah menunjuk kepada

hukum-hukum yang nyata. Hukum-hukum ini merupakan penerapan lokal secara rinci dari

norma-norma universal ayat-ayat makkiyyah.

Al-Syatibi melakukan pengamatan yang sangat berarti mengenai sejarah hukum Islam. Ia

menjelaskan bahwa hukum Islam menghadapi masalah-masalah serius jika para ahli hukum

mengabaikan prinsip-prinsip universal ayat-ayat Makkiyyah dan mengabaikan metode induktif

dalam menghadapi kebudayaan-kebudayaan baru.

Metode penalaran hukum dari Al-Syatibi tentang premis-premis tujuan syariah dapat

diterapkan secara universal. Menurut beliau, seorang ahli hukum non-Muslim pun dapat

melakukan ijtihad atas dasar metode ini. Pendek kata, Al-Syatibi menemukan landasan normatif

syariah yang berakar secara mendalamdalam penalaran manusia, dan praktek-praktek serta

ukuran-ukuran sosial15.

E. Konsep Muqashid al-Syari’ah

Sebagai sumber utama agama Islam, Alquran mengundang berbagai ajaran. Ulama

membagi kandungan alquran dalam tiga bagian besar yaitu, aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah

berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan

dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan).

Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dua hal, yakni ibadah (habl

min Allah) dan muamalah(habl min al-nas)16.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Adiwarman Karim yang juga beliau kutip dari buku karangan

Fazlurrahman bahwa Alquran tidak membuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan

muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam

14 Muhammad Khalid Masud, 1996. Filsafat Hukum Islam: Ibid, hal. 14915 Dick Van der Meij, 2013. Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam. Op.Cit., hal. 2016 Abdul Wahab Khallaf, 1968 ‘Ilm Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, hal. 32.

7

Page 8: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, nabi Muhammad saw.menjelaskan melalui

berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Alquran dan hadis Nabi) yang kemudian dijadikan

pijakan ulama dalam mengambangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah. Dalam

kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep muqashid al-syariah.

Secara bahasa, muqashid al-syariah tediri dari dua kata, yakni muqashid dan al-

syariah. Muqashid berarti kesengajaan atau tujuan , sedangkan al-syariah berarti jalan meuju

sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan17

Dalam bukunya al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah,Al-Syatibi menyebutkan pengertian

muqashid al-Syariah, yaitu,

“Sesungguhnya Syariah bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”18

Jika dilihat dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Al-Syatibi

tujuan Syariah adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun

di akhirat kelak. Kemaslahatan, dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut

rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh

kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.

Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah mengangkut perlindungan 

muqashid al-syariah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-

Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindunganmushalih, baik dengan cara

yang positif , seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan

untuk menunjang landasan-landasan mashalih; maupun dengan cara preventif, seperti syariah

mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara actual atau potensial

merusak mashalih.

1. Pembagian maqasid al-syari’ah

Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok

kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan

harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat,

hajiyat, dan tahsiniyat.

a. Dharuriyat

17 H. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op.Cit, hal.31818 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), jilid 2, hal. 374.

8

Page 9: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan

manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam

kehidupan manusia19, yang mencakup;

1) Agama (din),

2) Kehidupan (nafs),

3) Pendidikan (‘aql),

4) Keturunan (nasl), dan

5) Harta (mal)20.

Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka

bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa,

akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima

unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal

yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian hukum islam, pelaksanaan kehidupan

manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan salah satu bentuk

pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta21.

b. Hajiyat

Jenjang ini merupakan pelangkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi

jenjang dharuriyat22. Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk mempermudah kehidupan,

menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima

unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup

kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara’ah dan bai

salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan

kehidupan atau menghilangkan kesulitan mausia di dunia23.

c. Tahsiniyat

Jenjang ini merupakan penambah bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyatdan

hajiyat24. Tujuan jenis maqashid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan

yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan

19 H. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op. Cit, hal 31920 Muhammad Muflih, M.A. 2006. Perilaku Konsumen Dalam Perspektof Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada., hal.6621 H. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op. Cit, hal 32022 Muhammad Muflih, M.A. Perilaku Konsumen Dalam Perspektof Ilmu Ekonomi Islam, Op.Cit, hal. 6623 H. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Op. Cit, hal 32124 Muhammad Muflih, M.A. Perilaku Konsumen Dalam Perspektof Ilmu Ekonomi Islam, Loc. Cit, hal.66

9

Page 10: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan arau mengurangi berbagai

kesulitan, tetap hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan

manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan

bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan25.

Lima kebutuhan dhaririyat (esensial) yang mencakup din, nafs, aql nasl, dan mal

merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Manusia hanya dapat

melangsungkan hidupnya dengan baik jika kelima macam kebutuhan itu terpenuhi

dengan baik pula. Maka orientasi yang dibangun dalam melakukan produksi adalah

tindakan yang seharusnya dilakukan oleh setiap pelaku ekonomi muslimdalam

mengarahkan kegiatan produksinyauntuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima

tersebut26.

2. Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat

Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan korelasi

antara dharuriyah, hajiyat, dantahsiniyat sebagai berikut:

a. Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.

b. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid

hajiyat dan maqashid tahsiniyat.

c. Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat

merusak maqashid dharuriyat.

d. Keusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut

terkadang dapat merusakmaqashid dharuriyat.

e. Pemeliharaan  maqashid hajiyat  dan  maqashid tahsiniyat  diperlukan demi

pemeliharaan  maqashid dharuriyat secara tepat.

Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima

unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat muqashid tersebut tidak dapat dipisahkan.

Tampaknya bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan tingkat dharuriyat,

tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan tingkat hajiyat, sedangkan tingkat dharuriyat

menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat27.

25 H. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Loc. Cit, hal 32126 Eko Suprayitno, M.Si, 2008. Ekonomi Mikro Perspektif Islam.Malang: UIN Malang Press., hal.18527 H. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Loc. Cit, hal 321

10

Page 11: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

Pengklasifikasian yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya

pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Disamping itu, pengklasifikasian

tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan

Allah Swt. dalam rangka mewujudkn kemaslahatan manusia28.

F. Pandangan Al-Syatibi dalam Bidang ekonomi

1. Objek kepemilikan

Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ketika kepemilikan

tersebut dapat menghilangkan atau menghalangi kepemilikan orang lain terhadap setiap

sumberdaya yang pada dasarnya itu adalah milik umum, artinya ketika benda tersebut itu yang

semula adalah milik bersama “pemberian Allah terhadap orang banyak”, al-Syatibi memangkas

kepemilikan individu itu terhadap benda yang ditujukan oleh Allah kepada semua mahluk.

Dalam hal ini contohnya air, baik itu air yang ada di sungai maupun di laut itu adalah anugerah

Ilahi kepada semua mahluk. Jadi setiap individu tidak boleh mengklaim bahwa air tersebut

adalah milik individu. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat

dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang dapat dijadikan

sebagi objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah

meilik individu29.

2. Pajak

Dikutip dari tulisan Muhammad Khalid Masud dalam bukunya yang berjudul Shatibi’s

Philosophy of Islamic law, dikatakan bahwa dalam tiga fatawa Al-Syatibi yang menyangkut

tentang pajak, Syatibi berangkat dari sudut pandang tradisoinal. Lopez Ortiz menerjemahkan hal

ini sebagai kemampuan dari seorang ahli ekonomi. Dua dari fatwa tersebut menyangkut tentang

kharaj dan zakat.

Pada saat keadaan keuangan memburuk, Sultan memungut pajak tambahan. Salah satu

dari pengutipan ini adalah pajak pada pembangunan dinding di sekitar Granada. Mufti dari

28 Asafri Jaya Bakri, 1996. Konsep Muqashid Syariah Menurut Al-Syatibi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1 hal. 73.

29 Karnaen A. Perwataatmadja dan Anis Byarwati, 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam :Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan, Jakarta: Cicero  Publishing, hal. 162

11

Page 12: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

Granada yakni Ibnu Lubb, mengumumkan pajak-pajak yang tidak sah, karena pajak-pajak

tersebut tidak ada dalam Syariah. Syatibi tidak setuju dengan Ibnu Lubb30.

Menurut Syahtibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang  maslahah31. Yang

ia maksud sebagai maslahah di sini yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan

manusia, terpenuhinya kebutuhan manusia dan diperolehnya apa yang diperlukan oleh sifat

emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak32.

Sebagaimana pendapat pendahulunya, al-Ghazali dan Ibnul Farra’, ia menyatakan bahwa

pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Jika

ditinjau dari defenisi maslahah ini, tanggung jawab Bait al-Mal (baca: Negara) menjadi luas dan

fleksibel. Konsekuensinya, pembelanjaan publik memiliki ruang lingkup luas yang dibatasi oleh

maslahah33. Ini menunjukkan, Negara wajib menggunakan dana publik untuk jenis aktivitas yang

dapat memajukan maslahah. Yang termasuk wajib berarti pelaksanaannya bukan menjadi

kewajiban individu tertentu, tapi pelaksanaannya berpindah ke seluruh individu, sehingga

kepentingan umum terpelihara, yang tanpanya kepentingan individu tidak akan

aman. Yang   Dalam kondisi tidak mampu melaksanakannya, masyarakat bisa mengalihkannya

kepada baitul mal dan menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.

Oleh karena itu, menurut Syahtibi, pemerintah dapat memungut pajak-pajak baru terhadap

rakyatnya meski pajak-pajak tersebut belum dikenal sebelumnya dalam sejarah Islam34.

G. Wawasan Syahtibi tentang Ekonomi Modern

Dari pemaparan konsep Maqashid Al-Syariah di atas, terlihat jelas bahwa syariah

menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al-Syatibi menggunakan

istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa

dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran

yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban

30 Muhammad Khalid Masud, 1784. Shatibi’s Phylosophy of Islamic Law, (India (New Delhi): Nusrat Ali Nasri for KITAB BHAHAN, hal.94.

31 Abu Abas Ahmad al-Wansharisi, 1314/1941. Al-Mi’yar al Mu’rib wa’l-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawan’ahl Ifriqiya wal-Maghrib., hal.187

32 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah, Op. Cit, hal..2533 Dr. Sabahuddin Azmi, 2005. Menimbang Ekonomi Islam: Keuangan Publik, Konsep Perpajakan dan

Peran Bait al-Mal, Bandung: Penerbit Nusantara, hal.18734 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah, Op. Cit, hal. 177

12

Page 13: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas

ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).

Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep Maqashid al-

Syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang telah kita

kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya permasalahan “mengapa” seorang

berperilaku. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul

dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan

sebagainya35. Bila dikaitkan dengan konsep maqashid al-Syariah, jelas bahwa dalam pandangan

Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi

kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.

Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi.

Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam

dirinya, baik secara psikis maupun psikologi. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan, dan

tujuan36.

Dalam pandangan al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang

maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat dari para pendahulunya, ia

mengatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab

masyarakat. Dalam keadaan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini masyarakat bisa

mengalihkan kepada baitul mal serta menyubangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk

tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakaan pajak baru terhadap rakyatnya,

sekalipun pajak tersebut belum dikenal dalam sejarah Islam.

Dari pemaparan konsep Maqashid al-Syatibi di atas, terlihat jelas bahwa syari’ah

menginginkan setiap individu memerhatikan kesejahteraan mereka. Manusia senantiasa dituntut

untuk mencari kemaslahatan.  Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi dan pertukaran yang

menyertakan kemaslahatan serta didefinisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama

untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian seluruh aktivitas ekonomi

yang mengandung kemaslahatan  bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).

Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan

pencarian terhadap tujuan ini merupakan kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia

35 James H. Donnely, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, 1998. Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill, hal. 267.

36 James H. Donnely, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, 1998. Fundamentals of Management, Ibid, hal. 268

13

Page 14: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

berkewajiban mengatasi berbagai persoalan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi

dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan dengan sumber daya alam yang tersedia.

Konsep yang dikemukakan asy-Syahtibi ini mempunyai keunggulan komparatif yang

signifikan dibandingkan dengan konsep kebutuhan Abraham Maslow yang dikenal dengan

konsep hierarchy of needs. Dalam konsep tersebut Maslow berpendapat bahwa garis hirarkis

kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritas terdiri dari:

1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs ), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti

makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas

manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.

2. Kebutuhan Keamanan (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap

gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.

3. Kebutuhan Sosial (Social Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih saying, dan

persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan memengaruhi kesehatan jiwa

seseorang.

4. Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan

pengakuan diri. Pemenuhan kebutuan ini akan memengaruhi rasa percaya diri dan prestise

seseorang

5. Kebutuhan Aktualisasi (Self  Actualization Needs), mencakup kebutuhan memberdayakan

seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang

paling tinggi.

Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan di atas sepenuhnya telah

terakomodasi dalam konsepMaqashidus Syari’ah . bahkan lebih komprehensif karena

menempatkan agama sebagai kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian

Maslow.

Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin agama yang menyatakan bahwa kebutuhan

manusia dalam rangka memperoleh maslahah di dunia dan akhirat merupakan kewajiban agama,

manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini pada akhirnya tentu

akan meningkatkan produktifitas kerja dan memacu pertumbuhan ekonomi keseluruhan.37

37 Karnaen A. Perwataatmadja dan Anis Byarwati, Jejak Rekam Ekonomi Islam :Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan, Op.Cit, hal. 162

14

Page 15: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

H. Kesimpulan

Al-Syatibi menyimpulkan bahwa hukum syariah dimaksudkan untuk melindungi lima

kepentingan manusia yang pokok: agama, jiwa, repreduksi, harta dan akal budi.

Al-Syatibi membagi hukum syariah ke dalam ibadat dan adat. Ibadat, atau kewajiban-

kewajiban ritual, melindungi kepentingan-kepentingan agama, Adat, atas hukum-hukum syariah

lainnya, berada di dalam lingkup penalaran manusia.

Yang dimaksud dengan muqashid al-Syariah, yaitu bahwa sesungguhnya Syariah bertujuan

untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Konsep Maqashid Al-

Syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka dan Al-Syatibi

menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini.

Al-Syatibi membagi maqashid al-syariah menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Dharuriyat, mencakup Agama (din), Kehidupan (nafs), Pendidikan (‘aql), Keturunan (nasl),

dan Harta (mal).

2. Hajiyat

3. Tahsiniyat

Beberapa Pemikiran Ekonomi Syathibi yakni di bidang obyek kepemilikan dan pajak;

1. Obyek Kepemilikan

Pada dasarnya, Syahtibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan

individu terhadap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.

2. Pajak

Menurut Syahtibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah. Yang ia

maksud sebagai maslahah di sini yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan

manusia, terpenuhinya kebutuhan manusia dan diperolehnya apa yang diperlukan oleh sifat

emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak.

15

Page 16: Pemikiran Ekonomi as Syatibi

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, 1968 ‘Ilm Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Kuwaitiyah

Abu Abas Ahmad al-Wansharisi, 1314/1941. Al-Mi’yar al Mu’rib wa’l-Jami’ al-Mughrib ‘an

Fatawan’ahl Ifriqiya wal-Maghrib

Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), jilid

Asafri Jaya Bakri, 1996. Konsep Muqashid Syariah Menurut Al-Syatibi, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, cet. Ke-1

Dick Van der Meij, 2013. Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam. editor Dick Van

der Meij,-- Jakarta: Inis

Dr. Sabahuddin Azmi, 2005. Menimbang Ekonomi Islam: Keuangan Publik, Konsep Perpajakan

dan Peran Bait al-Mal, Bandung: Penerbit Nusantara

Eko Suprayitno, M.Si, 2008. Ekonomi Mikro Perspektif Islam.Malang: UIN Malang Press

H. Adiwarman Azwar Karim, 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, Ed, 3 Cet, 5

Imam Al-Syatibi, 2006. Al-I’tisham, Diterjemahkan oleh : Shalahuddin Sabki dkk. Jakarta:

Pustaka Azzam

James H. Donnely, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, 1998. Fundamentals of

Management, (New York: Irwin McGraw-Hill

Karnaen A. Perwataatmadja dan Anis Byarwati, 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam :Refleksi

Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan, Jakarta:

Cicero  Publishing

Muhammad Khalid Masud, 1996. Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran al-

Syatibi, Bandung: Penerbit Pustaka, cet.ke-1

Muhammad Muflih, M.A. 2006. Perilaku Konsumen Dalam Perspektof Ilmu Ekonomi Islam,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

16