pemicu 1

9
Ny S, 38 tahun, dibawa oleh kakaknya ke praktik klinik keluarga dengan keluhan mendadak tidak bisa melihat. Saat diperiksa pasien sadar dan dalam pemeriksaan status generalis tidak didapatkan adanya kelainan. Pasien sangat kooperatif dan memberikan kontak yang adekuat selamapemeriksaan dan dapat berbicara dengan lancar. Ia nampak tenang saat menceritakan kedua matanya tidak bisa melihat lagi. Ia menceritakan bahwa ia baru saja pergi berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan dan tiba-tiba saja ia kehilangan penglihatannya. Tidak ada riwayat trauma kepala atau cedera didaerah mata serta ia tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Ia mengatakan segala sesuatu baik-baik saja dalam hidupnya baik kesehatan fisik maupun kehidupan rumah tangganya. Pemeriksaan neurologis pada hari kedua, tidak dijumpai adanya tanda rangsang meningeal, pupil bulat diameter 3 mm, isokor, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+), tidak ada kelumpuhan saraf kranialis, fungsi motorik dengan kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak dijumpai adanya refleks patologis, sistem sensorik dalam batas normal, serta fungsi otonom dalam batas normal. Dalam riwayat penyakitnya didapatkan informasi dari kakaknya bahwatiga bulan terakhir ini suami pasien tidak pulang ke rumah. Pasien selalu mengatakan bahwa suaminya sedang sibuk dikantor dan ia tidak sempat pulang karena banyak tugas yang harus diselesaikan. Menurut kakak pasien, ia sering mendengar berita dari tetangga bahwa suami pasien sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. Sehari sebelum pasien kehilangan penglihatannya, pasien dan kakaknya sempat melihat suami pasien sedang makan bersama seorang wanita di sebuah restoran di pusat perbelanjaan. Saat itu, menurut kakak pasien, pasien terlihat tenang dan seakan tidak ada yang salah dengan situasi tersebut. Pasien tetap makan di restoran tersebut di meja lain serta langsung pulang kerumah tanpa terlihat sedih atau kesal. Kakak pasien enggan menanyakan

Upload: wendy-wongso

Post on 08-Feb-2016

37 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

A trigger for medical student who wish to study more about neurology and psychiatric.

TRANSCRIPT

Page 1: Pemicu 1

Ny S, 38 tahun, dibawa oleh kakaknya ke praktik klinik keluarga dengan keluhan mendadak tidak bisa melihat. Saat diperiksa pasien sadar dan dalam pemeriksaan status generalis tidak didapatkan adanya kelainan.

Pasien sangat kooperatif dan memberikan kontak yang adekuat selamapemeriksaan dan dapat berbicara dengan lancar. Ia nampak tenang saat menceritakan kedua matanya tidak bisa melihat lagi. Ia menceritakan bahwa ia baru saja pergi berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan dan tiba-tiba saja ia kehilangan penglihatannya. Tidak ada riwayat trauma kepala atau cedera didaerah mata serta ia tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Ia mengatakan segala sesuatu baik-baik saja dalam hidupnya baik kesehatan fisik maupun kehidupan rumah tangganya.

Pemeriksaan neurologis pada hari kedua, tidak dijumpai adanya tanda rangsang meningeal, pupil bulat diameter 3 mm, isokor, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+), tidak ada kelumpuhan saraf kranialis, fungsi motorik dengan kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak dijumpai adanya refleks patologis, sistem sensorik dalam batas normal, serta fungsi otonom dalam batas normal.

Dalam riwayat penyakitnya didapatkan informasi dari kakaknya bahwatiga bulan terakhir ini suami pasien tidak pulang ke rumah. Pasien selalu mengatakan bahwa suaminya sedang sibuk dikantor dan ia tidak sempat pulang karena banyak tugas yang harus diselesaikan. Menurut kakak pasien, ia sering mendengar berita dari tetangga bahwa suami pasien sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. Sehari sebelum pasien kehilangan penglihatannya, pasien dan kakaknya sempat melihat suami pasien sedang makan bersama seorang wanita di sebuah restoran di pusat perbelanjaan. Saat itu, menurut kakak pasien, pasien terlihat tenang dan seakan tidak ada yang salah dengan situasi tersebut. Pasien tetap makan di restoran tersebut di meja lain serta langsung pulang kerumah tanpa terlihat sedih atau kesal. Kakak pasien enggan menanyakan apa yang dirasakan pasien karena berpikir pasien tidak ingin membicarakannya.

Page 2: Pemicu 1

Gangguan psikiatri pada seorang pasien bisa memiliki berbagai penyebab. Hal ini dapat diklasifikasikan secara kronologis menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi/ pencetus, dan faktor perpetuasi/ yang memperlama (Gambar 1).1

Faktor predisposisi merupakan faktor yang mem-predisposisi-kan seseorang sehingga menjadi rentan terhadap suatu gangguan jiwa. Contohnya meliputi susunan genetic, komplikasi obstetric, serta kepribadian seseorang.

Faktor presipitasi merupakan faktor yang terjadi sesaat sebelum gangguan psikiatri timbul dan yang kemungkinan memicunya. Contohnya meliputi peristiwa hidup, seperti kematian salah satu orangtua.

Faktor perpetuasi merupakan faktor yang menyebabkan gangguan psikiatri yang sudah ada menjadi berlanjut. Contohnya penarikan diri dari lingkungan sosial yang sebenarnya sering disebabkan gangguan psikiatri itu sendiri (seperti depresi dan skizofrenia).

Gambar 1. Klasifikasi kronologis penyebab gangguan psikiatri.

Gangguan Psikiatri

FaktorPredisposisi

FaktorPresipitasi

FaktorPerpetuasi

Page 3: Pemicu 1

Gangguan Konversi

Gangguan ini ditandai dengan hilang atau berubahnya fungsi tubuh akibat konflik atau kebutuhan psikologis, dan tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan medis. Gejala biasanya bersifat neurologis, yang mengenai sistem saraf volunteer. Namun, gejala-gejala tersebut bukan di bawah kendali volunteer, sehingga orang tersebut tidak sadar akan dasar psikologisnya, yaitu, seseorang tidak berpura-pura. Secara teoritis, pada gangguan konversi motivasi pasien tidak disadari, sedangkan pada berupura-pura (malingering) motivasi disadari. Namun, dalam praktik klinis, diferensiasi seperti ini mungkin kurang jelas dan penilaian tingkat ketidaksadaran motivasi, yang dapat berbeda-beda sepanjang waktu, seringkali lebih baik.1

Secara klasik, gejala-gejala pada gangguan konversi bermakna simbolik dan mempunyai suatu motivasi atau tujuan utama bawah sadar, seperti untuk lepas dari konflik intrapsikis yang tidak dapat ditanggung atau mereduksi atau menghilangkan kecemasan; mungkin muncul dalam bentuk calm acceptance (la belle indifference) pada disabilitas berat. Pasien juga bisa mendapat-kan manfaat sekunder akibat gejala-gejalanya seperti perhatian dari orang lain, dengan memanipulasi hubungan dan menghindari tugas atau situasi sehari-hari yang tidak diinginkan, yaitu mengadopsi manfaat dari peran sakit.1

Gambaran klinis meliputi gejala-gejala monosimptomatik yang tidak terbatas pada rasa sakit atau disfungsi seksual. Gejala-gejala konversi dapat dibedakan dari penyebab organic berdasarkan variabilitas, sifatnya, dan inkonsistensinya dengan anatomi dan fisiologi yang diketahui. Gejala-gejala meliputi1,2:

Gejala-gejala sensorik. Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan gangguan sistem saraf pusat atau perifer dan dapat meliputi anesthesia dan parestesia, khususnya pada ekstrimitas.

Gejala-gejala organ indera khusus. Gejala-gejala ini dapat mencakup tuli dan buta unilateral atau bilateral atau tunnel vision.

Gejala-gejala motorik. Gejala-gejala ini dapat mencakup pseudoseizure atau tremor atau paralisis bahkan gait.

Gejala-gejala visceral. Gejala-gejala ini meliputi vomitus psikogenik dan globus histerikus atau diare bahkan retensi urin

Pendekatan kronologis dari perjalanan gangguan konversi berasumsi bahwa gangguan ini memiliki etiologi multifactor, baik faktor predisposisi, faktor presipitasi, dan faktor perpetuasi. Ada sedikit bukti yang berhubungan antara predisposisi genetic terhadap gangguan konversi, pasein dengan gangguan kepribadian histeris pramorbid dapat terjadi pada seperlima kasus dan peningkatan insidensi gangguan konversi pada orang muda dan imatur dapat menggambarkan kenyataan bahwa keadaan tersebut berkembang bergantung pada pengalaman masa kanak-kanak. Faktor presipitasi meliputi stress berat, seperti kematian kerabat dekat dan masa perang. Riwayat cedera kepala dan epilepsy juga telah dianggap sebagai faktor presipitasi. Sedangkan, faktor perpetuasi oleh manfaat sekunder dan manfaat peran sakit yang didapatkan pasien.1

Page 4: Pemicu 1

Pendekatan psikoanalitik menunjukkan bahwa gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik intrapsikis alam bawah sadar dan konversi dari kecemasan dalam bentuk gejala jasmaniah*. Ini merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan ego, mekanisme pertahanan ego adalah strategi psikologis yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa untuk berhadapan dengan kenyataan dan mempertahankan citra-diri. Orang yang sehat biasa menggunakan berbagai mekanisme pertahanan selama hidupnya. Mekanisme tersebut menjadi patologis bila penggunaannya secara terus menerus membuat seseorang berperilaku maladaptif sehingga kesehatan fisik dan/atau mental orang itu turut terpengaruhi. Kegunaan mekanisme pertahan ego adalah untuk melindungi pikiran/diri/ego dari kecemasan, sanksi sosial atau untuk menjadi tempat "mengungsi" dari situasi yang tidak sanggup untuk dihadapi2,3.

Pendekatan biologis menunjukkan bahwa pada pasien dengan gangguan konversi ditemukan hipometabolisme pada hemisfer dominan dan hipermatabolisme pada hemisfer non-dominan dari studi pencitraan otak. Gejala yang muncul diduga karena set off lengkung feedback negatif antara korteks serebri dengan formasio retikularis1.

Kriteria diagnosis gangguan konversi menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 4 (DSM-IV) adalah sebagai berikut1:

A. One or motor symptoms or deficits affecting voluntary motor or sensory function that suggest a neurological or other general medical condition.

B. Psychological factors are judged to be associated with the symptom or deficit because the initiation or exacerbation of the symptom or deficit is preceded by conflicts or other stressors.

C. The symptom or deficit is not intentionally produced or feigned (as in factitious disorder or malingering).

D. The symptom or deficit cannot after appropriate investigation, or by the direct effects of a substance, or as a culturally sanctioned behavior or experience.

E. The symptom or deficit causes clinically significant distress or impairment in social, occupational, or other important areas of functioning or warrants medical evaluation.

F. The symptom or deficit is not limited to pain or sexual dysfunction, does not occur exclusively during the course of somatization disorder, and is not better accounted for by another mental disorder.

Diagnosis banding meliputi setiap gangguan fisik yang tidak terdiagnosis, terutama yang timbul dengan gejala-gejala somatic multiple yang samar, seperti lupus eritematosus sistemik atau sklerosis multiple. Gangguan fisik yang tak-terdiagnosis memang sulit didiagnosis (misalnya hemangioma serebelum atau tumor-tumor pada foramen magnum) atau tidak biasa dipikirkan (misalnya myasthenia gravis atau porfiria intermiten akut). Gejala-gejala konversi dapat terjadi pada gangguan somatisasi dan, terkadang, pada skizofrenia. Diagnosis lain yang harus dipikirkan meliputi gangguan hipokondrial dan malingering yang gejala-gejalanya ditimbulkan secara sadar1.

Page 5: Pemicu 1

Penatalaksanaan2,3

Sebagian besar kasus sembuh dengan tindakan penunjang non-spesifik, terutama jika menggunakan sugesti. Untuk mencegah adanya tujuan sekunder, kronisitas atau relaps, penyembuhan dini gejala-gejala penting. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan hanya bila diindikasikan, tidak hanya sebagai penentraman hati. Jika tidak ditemukan kelainan, pasien harus benar-benar diyakinkan bahwa tidak ada penyakit serius, dan bahwa gejala-gejala sudah sangat dikenal oleh dokter dan akan sembuh. Setiap gangguan psikiatri terkait, tentu saja, harus diobati. Latihan relaksasi, hypnosis, dan anxiolitik juga mungkin berguna.

Jika gejala tidak sembuh, atau faktor presipitasi atau perpetuasi berlanjut, pasien perlu dibantu untuk mengenali hal tersebut dan mengambil tindakan untuk melawan keadaannya sehingga mencegah kronisistas. Terapi perilaku-kognitif merupakan terapi spesifik paling efektif. Faktor perilaku-kognitif dan faktor fisiologis saling terkait. Oleh karena itu, pengobatan kognitif-perilaku dapat menyebabkan perubahan fisiologis. Psikoterapi dapat diindikasikan untuk mendapatkan tilikan terhadap gejala. Namun, stress berat dapat membuat seseorang tidak mau membahas masalahnya. Pengunaan amobarbital atau lorazepam secara parenteral dapat meringankan gejala.

Page 6: Pemicu 1

Daftar Pustaka

1 Puri BK, Paul JL, Ian HT: Gangguan disosiasi (konversi) dan somatoform. Buku ajar psikiatri, ed 2. Jakarta: EGC. 2008

2 Sadock BJ, Virgina AS: Somatoform disorder. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry, 10 th

ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007

3 Toy EC, Debra K: Case files psychiatry, 3rd ed. New York: McGraw-Hill. 2010.