pemetaan dan analisis daerah rawan...

86
PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) FAUZIAH ALHASANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Upload: truongbao

Post on 19-Aug-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,

Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

FAUZIAH ALHASANAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemetaan dan Analisis Daerah

Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi

Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,

Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2006

Fauziah Alhasanah

ABSTRAK

FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS.

Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu 8.460 Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan lahan, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.

ABSTRACT

FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS.

Landslide is the natural disaster that most frequently occurred in the study

area of North Sumedang and South Sumedang subdistric. The existing of landslide hazard and risk maps are not yet adequate to be use in policy making. The aim of the research is to provide potential hazard and risk maps to mitigate landslide hazard using geographic information system technology. The result showed that most area in the North Sumedang and South Sumedang subdistrict is moderate landslide hazard covered 8.460 Ha (65,51%), high landslide hazard covered 2.798 Ha (21,67%), low landslide hazard covered 1.570 Ha (12,16%) and very low landslide hazard covered 85 Ha (0,66%). Combining landslide hazard with property value has produced map of landslide risk. Neverthe less most areas are low risk class (7.962 Ha/61,67%) and the high risk areas are only occurred in small places (568 Ha/4,4 %). This phenomena showed that area with high potential class of landslide hazard is not always having a high value of risk. The risk is determined by properties value such as: infrastructure, road network and land use, while the landslide hazardous class is determined by natural factors such as: slope, soil type, geology and land use.

© Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,

Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

FAUZIAH ALHASANAH

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2006

Judul Tesis : Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Fauziah Alhasanah NRP : P052030141 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua

Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 11 April 2006 Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam

semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya

ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang

dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul

“Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya

Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang

Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan

Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam

sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan

terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H.

Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih

juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekan-

rekan di P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta.

Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.Sc. dan Laju Gandharum, S.Si.

penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya telah banyak

membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis

ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do’a dan kesabarannya dalam

mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak

tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal,

M.Si., atas kesabarannya dalam mendampingi dan membantu dalam

penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga.

Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini

penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding

dalam pelaksanaan penelitian lanjutan.

Bogor, Juni 2006

Fauziah Alhasanah

RIWAYAT HIDUP

Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari

tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998,

penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1

Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan

Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun

2003. Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten

peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta . Pada Agustus 2003 , penulis

melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Untuk dia yang mampu memberi sepercik asa

A friend in need is a friend indeed

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah...................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian............................................................................ 5 1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................... 5 1.5. Kerangka Pemikiran....................................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 8

2.1. Proses Terjadinya Longsor ........................................................... 8 2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa...................................... 10 2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor.................................................. 14 2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor .................................................. 16 2.5. Mitigasi Bencana Tanah Longsor.................................................. 16 2.6. Sistem Informasi Geografis............................................................ 19

III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 22

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian.......................................................... 22 3.2. Bahan dan Alat Penelitian.............................................................. 22 3.3. Metodologi...................................................................................... 22

3.3.1. Persiapan ........................................................................... 22 3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik ...................... 23 3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis Pembuatan Peta Bahaya Longsor .............................................................................. 23 3.3.4. Validasi Lapangan.............................................................. 26 3.3.5. Analisis Ulang..................................................................... 26 3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan

Peta Risiko ......................................................................... 26 3.3.6.1. Peta Properti ....................................................... 27 3.3.6.2. Peta Risiko Longsor............................................ 27

3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor...................................... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 31 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian.......................................................... 31

4.1.1. Administrasi dan Kependudukan....................................... 31 4.1.2. Curah Hujan ....................................................................... 35 4.1.3. Suhu ................................................................................... 36 4.1.4. Topografi ............................................................................ 36 4.1.5. Hidrologi ............................................................................ 40 4.1.6. Penggunaan Lahan............................................................ 40 4.1.7. Geologi............................................................................... 43 4.1.8. Jenis Tanah........................................................................ 44

4.2. Bencana Longsor........................................................................... 47 4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor.......................... 49 4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor................................... 51

Halaman

4.4.1. Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor................... 51 4.4.2. Kelerengan ......................................................................... 54 4.4.3. Jenis Tanah........................................................................ 54 4.4.4. Geologi............................................................................... 55 4.4.5. Tutupan Lahan................................................................... 56

4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor ........................................ 57 4.5.1. Peta Infrastruktur................................................................ 58 4.5.2. Peta Jaringan Jalan ........................................................... 59 4.5.3. Peta Penggunaan Lahan ................................................... 60 4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor................................................ 63

4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor.......................... 68 V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 74

5.1. Kesimpulan..................................................................................... 74 5.2. Saran.............................................................................................. 75

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 76 LAMPIRAN....................................................................................................... 78

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor .............................. 16

2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor................................................... 24

3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor............................. 26

4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ................................................................................................ 32

5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan ................................................................. 33

6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang…………………………….......................................................... 35

7. Kelas Lereng dan Luasannya ................................................................... 37

8. Jenis Penggunaan Lahan Luasannya ....................................................... 40

9. Satuan Batuan Beserta Luasannya........................................................... 44

10. Jenis Tanah Beserta Luasannya .............................................................. 46

11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor. 48

12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang Telah Dilakukan .................................................................. 49

13. Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor ..................................................... 50

14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor.......... 50

15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng .................................. 54

16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor ............................................... 55

17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor .......................................... 56

18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor .......................................... 57

19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur......................... 58

20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan.................................... 60

21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan.............................................. 61

22. Matriks Penentuan Nilai Risiko .................................................................. 63

23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya ...................... 65

24. Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Desa di Kecamatan Sumedang Utara dan Selatan.................................................................... 66

25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ............................. 68

26. Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan...... 72

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................... 7

2. Diagram Tipe Gerakan Massa................................................................... 14

3. ProsesTerjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya ............................................................................................. 15

4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana ............................................................ 17

5. Manajemen Resiko Bencana Tanah Longsor........................................... 17

6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor........................... 28

7. Diagram Alir Tahap Penelitian................................................................... 30

8. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 31

9. Peta Wilayah Administrasi Kec. Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ....................................................................................................... 34

10. Peta Kontur................................................................................................. 38

11. Peta Kelas Lereng...................................................................................... 39

12. Peta Penggunaan Lahan ........................................................................... 41

13. Citra ASTER tahun 2003............................................................................ 42

14. Peta Geologi............................................................................................... 45

15. Peta Tanah Tinjau ..................................................................................... 46

16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor ............... 52

17. Peta Bahaya Tanah Longsor..................................................................... 53

18. Peta Properti ............................................................................................. 62

19. Peta Risiko Tanah Longsor........................................................................ 64

20. Tahapan Mitigasi Tanah Longsor ............................................................. 69

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Wilayah Rawan Longsor di Provinsi Jawa Barat..................................... 78

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan

yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih

tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya

faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan

lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng

tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut

dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno

1997).

Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi

permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan

kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas

manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian,

pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan.

Tanah longsor dikategorikan sebaga i salah satu penyebab bencana alam,

di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana

tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia

dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya

tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan

jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam.

Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga

pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di

Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan banjir dan longsor

(Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan

bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah

banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup

signifikan.

Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan

struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat

dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang

merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan

merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan

lingkungan.

2

Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan

menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Bahorok (Sumatera

Utara) pada 3 November 2003. Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut

menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat

usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka -luka yang mencapai

ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang

sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur).

Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling

tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam

peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di

Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah.1

Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial

terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar

wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan

tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga

menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan

cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah

kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang

yang kurang baik.

Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan

rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota,

antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis,

Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor

di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1.

Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan

kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak

pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang

lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut,

diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat

yang akan ditimbulkan . Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat

kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material

dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.

Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau

membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992)

1 . http://www.penulislepas .com/print.php?id=1713_0_1_0

3

menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai

mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi

dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap

suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas

di tempatnya.

Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana

alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah

tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem

peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta

minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi

penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor.

Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen,

antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor

hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum

(2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang

memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum

terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat

dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial

menelan korban jiwa dalam jumlah besar.

Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi

titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini

dibuat dalam skala 1 : 1.000.0000 . Padahal, idealnya skala yang harus dibuat

adalah 1 : 50.000 supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui

secara detail (Asriningrum 2003).

Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat

dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu

cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan

teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan

identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak

tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak

akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model

penyusunan SIG, yakni dengan menggabungkan beberapa peta sebagai variabel

untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan risiko tanah

longsor.

4

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan

bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan

potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah , struktur

geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya,

Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk

menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya.

1.2. Perumusan Masalah

Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat

sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah

yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya

Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa

daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan

dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.

Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada

umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng

terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa

tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan rata-

rata 40 cm per hari pada musim hujan.

Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui

bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki

potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka,

Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang

Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah

penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya

yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan

demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya

dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya

kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng

perbukitan di dua kecamatan tersebut. Dengan demikian , beban lereng menjadi

bartambah sehingga kawasan pemukiman di daerah ini sangat rentan terhadap

ancaman tanah longsor. Hal ini mengacu pada pendapat Sutikno (2000) yang

5

menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang

memungkinkan terjadinya gerakan tanah.

Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan permasalahan-

permasalahan sebagai berikut, yaitu :

a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor

aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan

Kecamatan Sumedang Selatan?

b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor?

c. Bagaimanakah mitigasi terhadap daerah rawan longsor dengan

menggunakan teknologi SIG?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan.

c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah longsor di wilayah

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

1.4. Kegunaan Penelitian

a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat

sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat

bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun

instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang.

b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk

mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya

mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian

bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial

atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya

merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami

6

kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan

pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar

dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya , jatuhnya korban

manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada

kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak

luar.

Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang

luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi,

batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi.

Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu

seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh

tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti

yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.

Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya

(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui

faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah

tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau

hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu

periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut.

Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa,

kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan.

Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari

banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya

informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date.

Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh

karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu

dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor.

Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan

melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi

bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan

memutuskan tingkat risiko dengan mempertimbangkan penghindaran,

pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan

datang.

Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses

mitigasi bencana-bencana alam lainnya seperti banjir, letusan gunung api, dan

7

gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan

secara umum.

Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam

diagram alir berikut.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Terjadinya Longsor

Cruden (1991) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan

suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng

(yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya

longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak

pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan

berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi

sebagai bidang luncur.

Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno

(1994) membedakan gerakan massa tanah/batuan menjadi tiga tipe, yaitu (i) tipe

gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan,

gletser, dan solifluction); (ii) tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran

tanah, debris avalance, longsoran (landslide ), nendatan (slump), longsoran

hancuran, batu longsor, dan batu jatuh (rock fall); dan (iii) terban, yakni turunnya

material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal.

Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi

yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini,

besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh

besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin

besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu

juga sebaliknya.

Secara matematis, Pidwirny (1996) dalam Purnomo (2003) merumuskan

persamaan pengaruh gravitasi, sebagai berikut :

αsinWF =

dimana : F : Gaya gravitasi (Kg.m/dt²) W : Berat massa batuan di suatu titik α : Sudut lereng

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan

atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan. Kondisi

tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari

keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya

9

dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan

tegangan geser tanah (Suryolelono 2005).

Dalam buku Gerakan Tanah di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat

Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) dinyatakan bahwa kemantapan suatu

lereng untuk dapat mengalami gerakan tanah dievaluasi dengan menghitung

faktor keamanan (Factor of safety, disimbolkan dengan Fs). Fs diperoleh dengan

cara membandingkan antara gaya yang menahan dengan gaya yang

meluncurkan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Gaya yang menahan Fs = Gaya yang meluncurkan

Apabila gaya yang menahan lebih besar daripada gaya yang meluncurkan

(Fs > 1) maka lereng akan mantap. Sebaliknya, apabila gaya yang menahan

lebih kecil dari gaya yang meluncurkan (Fs < 1) maka lereng tersebut akan

bergerak (tidak mantap). Setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan

berkurangnya gaya yang menahan atau memperbesar gaya yang meluncurkan,

akan menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah.

Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga

sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi

oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan

kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut:

a. Komposisi dan tekstur material.

b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan

seragam.

c. Reaksi kimia.

d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung.

e. Pengaruh tekanan air pori.

f. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan.

g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.

Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan

tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain :

a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan

kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.

10

b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan

diatas lereng, dan genangan air di atas lereng.

c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.

d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air,

penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah

berlebihan.

e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan

pengembangan tanah.

f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah

kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan,

patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring.

g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan

vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak.

Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau

kurang kompak.

h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air

yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong

munculnya pergerakan tanah atau longsor.

i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat

kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu

menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan

sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi lain meskipun

tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah

yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng.

Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan

tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong

terjadinya longsor.

2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa

Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan

mass wasting. Mass Wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass

movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith dan tanah dari

tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan

lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih

rendah.

11

Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada

beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut

antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air,

gaya kohesi antarmaterial akan semakin lemah, sehingga memungkinkan

partikel-partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan

menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk

menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.

Selanjutnya, pengertian dan batasan masing-masing tipe gerakan massa,

menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara

rinci dijelaskan sebagai berikut :

a. Jatuhan (Falls)

Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini

sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak

dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membentur-

bentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini

banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses

pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan.

Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang

batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan.

Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls,

yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau

muka teras. Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil.

Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan

retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh.

b. Robohan (Topples)

Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada

batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan

setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut

bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide).

c. Longsoran (Slides)

Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah

melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan

kekar, sesar, atau bidang perlapisan yang searah dengan kemiringan lereng.

12

d. Nendatan (Slump)

Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material

lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur

yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu

besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen

kohesif yang tebal seperti lempung.

Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan

cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang

lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang.

Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi

karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan

terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material

yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras

atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan

melemahkan lempung yang berada di bawahnya.

e. Aliran (Flow)

Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan

massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis

flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material

berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran

material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung.

Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak

menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya

partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang

curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia.

Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman

lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur,

tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang

besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah

gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas,

yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik

sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng.

Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut,

adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan

yang mengalami kerusakan akibat flow ini. Apabila bentukan akhir lahannya

13

cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air

pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya.

Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada,

mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow lebih

sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain

sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi

dengan slump .

Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan

lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan

earthflow dan mudflow jauh berbeda. Karena eartflow agak kental, maka

alirannya tidak secepat mudflow.

f. Kompleks/Campuran (Complex)

Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi

dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi

adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls

dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya

mudflows).

g. Avalanches

Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan

yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang

lain, karena dalam media yang ada ikut berperan.

h. Solifluction

Gerakan massa tipe ini te rmasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi

tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas

es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari

pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan

tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan.

Keseluruhan tipe gerakan massa sebagaimana telah dijelaskan di atas

secara visual disajikan dalam Gambar 2.

14

2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor

Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya

faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang

terlihat dalam skema dalam Gambar 3.

Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa (menurut Varnes 1978 dalam Cooke dan Doornkamp 1990)

Translational

TOPPLES

SLIDES

Rotational

FLOWS

COMPLEX

Rock Fall

Rock topple

Rotational slump

Rock slide

Rock Avalanche

Rock fragmen flow (flow slide)

Soil fall

Debris topple

Slides

Earth block slide

Debris flow Sand or silt flow

Earth flow

Debris avalanche Sand run

ROCK SOILS coarse fine-grained

Joint opened

Original support removed

FALLS

source area main track

depositional area

rock fall

flow tongue of rock debris

mixed sediments

undercut by river

clay-gravel

clean sand

main scarp

head

graben

slip surface

toe

pressure ridge

failure along faults

dip slope control by bedding planes

scarp face control by

joints

moderate

15

Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya (Karnawati 2004)

Dari gambar di atas, terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah

meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna

lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu

kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng

yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada

lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu

gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat

merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak.

Menurut Goenadi et al. (2003), faktor pemicu terjadinya longsor

dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat tetap (statis), dan faktor

yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini

mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering

dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang

bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu dinamis ini

adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang

bersifat dinamis, sebenarnya ada faktor kegempaan. Namun karena daerah

penelitian tidak terlalu luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap

mempunyai tingkat faktor kegempaan yang sama.

Selanjutnya, faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis

dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun

dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci, faktor-faktor

tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.

16

Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor

No. Faktor Penyebab Parameter

1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 1. Faktor Pemicu Dinamis 3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 2. Faktor Pemicu Statis

7. Tekstur Tanah

Sumber: Goenadi et al. (2003)

2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor

Mikrozoning (risk mapping ) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian

risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan -kegiatan

pengumpulan data (sekunder maupun survai di lapangan), analisis, dan

penyajian dalam bentuk peta risiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning

dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar

pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang

aman (Naryanto 2001).

Pembuatan peta risiko tanah longsor dapat dilakukan berdasarkan metode

Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode ini, penentuan

tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih

kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan

pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran (Rengers

dan Soeters 1993 dalam Barus 1999).

2.5. Mitigasi Bencana Tanah longsor

Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang

dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan ke rentanan (vulnerability) terhadap

manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab

dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang

secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor

umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan

balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkah-

langkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab

terjadinya bencana.

17

Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana (Kotter 2004)

Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik

sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun

manusia , diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam

mengindetifikasi langkah-langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan

melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut.

Gambar 5. Manajemen Risiko Bencana Tanah longsor (Kotter 2004)

18

Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena

sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa

fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability)

komunitas di pihak lain serta (risk ) risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi

bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari

tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut.

Risiko merupakan gabungan da ri unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya

serta kerentanan (UNDRO 1991). Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya,

bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut :

))(())(( HxVERsERt ==

dimana : Rt : Risiko E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya V : Kerentanan

Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan

properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu

yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun

unsur-unsur dari risiko (E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas

ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang

memiliki risiko pada suatu area.

Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu

pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam.

Selanjutnya, kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur

risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada

kerusakan) sampai 1 (kerusakan total).

Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas

dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko

perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko

tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan

disebut dengan rencana mitigasi.

Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam

19

pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama-

sama dan saling memperkuat.

Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan

definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang

berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak.

Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan,

pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.

2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi

data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih

komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai

bahan dalam pengambilan keputusan.

SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk

pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan

data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu (Burrough

1996). Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan

pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan.

Aronoff (1989) menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG

dalam pemetaan, antara lain :

a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar,

khususnya dalam peta tematik.

b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer.

c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan

remote sensing.

d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai

media (peta, foto udara, dan citra satelit).

e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi

informasi dari berbagai peta.

Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan.

Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

a. Klasifikasi/Reklasifikasi

Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data

atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.

20

b. Overlay

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari

beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang

menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa

peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta

yang saling beririsan.

Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara

dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa

adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi

kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarnya, teknologi berbasis satelit

ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah

dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat.2 Teknik penginderaan

jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang

tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter

faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah.

Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah

penggambaran kondisi daerah yang bersangkutan dan pada domain inilah peran

data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan

dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang

karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh

mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat 'memilah' pantulan gelombang

elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek

yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra

satelit.

Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja

maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta

turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor,

dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Proses penggabungan informasi dalam

berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan

informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi

(SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan

spasial.

2 http://www.kompas.com/kompas -cetak/0110/28/iptek/pote22.htm

21

Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data

utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk

menurunkan informasi (berupa peta) baru, sedangkan inderaja langsung

membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran

proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi

lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai

SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai

informasi terbaru yang akurat.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 . Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2004 sampai dengan Desember

2005. Lokasi penelitiannya terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan

Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat,

sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pusat Pengkajian dan

Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (P3TISDA BPPT), Jakarta.

3.2 . Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Landsat TM

Kabupaten Sumedang path-row 121-065 akuisisi 18 September tahun 1996,

Landsat ETM7+ path-row 121-065 akuisisi 12 Agustus tahun 2002, dan ASTER

akuisisi 30 Agustus tahun 2003, peta topografi, serta beberapa peta tematik

seperti Peta Geologi, Peta Tutupan Lahan, Peta Kontur, Peta Infrastruktur, Peta

Dasar, dan Peta Tanah. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.7,

Multispec, Global Mapper 6.05, Arc View 3.3 dan Global Positioning System

(GPS).

3.3 . Metodologi

Secara sistematis, kegiatan penelitian dilaksanakan melalui tahapan-

tahapan berikut, yaitu :

a. Persiapan.

b. Penyusunan peta dasar dan peta tematik.

c. Interpretasi, analisis, dan pembuatan peta bahaya longsor.

d. Validasi lapangan.

e. Analisis ulang.

f. Pengolahan data, penyusunan peta properti, dan peta risiko longsor.

g. Penyajian hasil penelitian.

3.3.1. Persiapan

Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung,

studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan

“historical event” tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke

instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang tanah longsor.

23

3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik

Peta dasar (format digital) disiapkan untuk penyajian peta-peta tematik

parameter pemicu tanah longso r (peta permeabilitas tanah, kontur, penggunaan

lahan, jaringan jalan, infrastruktur dan geologi).

a. Peta Permeabilitas Tanah (drainase dan tekstur tanah)

Permeabilitas tanah diidentifikasi berdasarkan Peta Tanah Tingkat Tinjau

skala 1:50.000 Provinsi Jawa Barat (Puslittanak), dengan memperhatikan

faktor drainase, tekstur tanah, dan posisinya. Peta ini berguna dalam

penyusunan peta bahaya tanah longsor.

b. Peta Kontur

Kelerengan (tingkat kecuraman) dan geomorfologi dianalisis menggunakan

Peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal) dengan pendekatan garis

kontur. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor.

c. Peta Penggunaan Lahan

Peta Penggunaan Lahan/Land Use , skala 1:25.000 (Bakosurtanal) direvisi

dengan citra Landsat, citra ASTER dan hasil pengamatan lapangan.

d. Peta Geologi

Peta Geologi, skala 1:100.000 (Direktorat Geologi, Bandung, 1994) dijadikan

dasar untuk pengelompokkan kondisi geologi/litologi sebagai faktor

kerawanan terhadap kestabilan tanah dalam kedudukannya dalam suatu

lereng.

e. Peta In frastruktur

Peta Infrastruktur diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000

(Bakosurtanal).

f. Peta Jaringan Jalan

Peta Jaringan Jalan diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000

(Bakosurtanal).

Peta Permeabilitas Tanah, Lereng, Geologi berguna dalam penyusunan

peta bahaya tanah longsor. Adapun Peta Tutupan Lahan berguna untuk

penyusunan bahaya tanah longsor dan risiko longsor. Adapun Peta Infrastruktur

dan Peta Jaringan Jalan berguna untuk pembuatan peta risiko tanah longsor.

3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis, dan Pembuatan Peta Bahaya Longsor

Tahap pertama adalah interpretasi citra Landsat dan citra ASTER (FCC

321) tahun 2003 pada lokasi longsoran. Interpretasi citra adalah penafsiran suatu

24

objek pada citra atau foto udara dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Citra

Landsat dan ASTER digunakan untuk mengupdate peta tutupan lahan, sehingga

akan dihasilkan tutupan lahan terkini.

Adapun cara memperbaharui (up-dating ) Peta Tutupan Lahan dilakukan

dengan menafsirkan objek pada citra ASTER tahun 2003. Hal ini diperlukan

karena Peta Tutupan Lahan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi

terkini sehingga dengan proses up-dating akan dihasilkan peta yang lebih baru.

Analisis dan pengolahan data selanjutnya dimulai setelah peta-peta tematik

parameter fisik wilayah (permeabilitas tanah, penggunaan lahan, dsb) tersedia.

Peta-peta tematik ditumpangtindihkan dengan mempertimbangkan skor untuk

mendapatkan kelas sebaran wilayah rawan tanah longsor. Sifat fisik wilayah

yang dijadikan parameter pemicu tanah longsor disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor

No. Parameter Nilai Harkat (Skor )

I Curah hujan (mm/tahun) a. sangat basah (>3000 mm) 5 b. basah (2501 – 3000 mm) 4 c. sedang/lembab (2001 – 2500 mm) 3 d. kering (1501 – 2000 mm) 2 e. sangat kering (> 1500 mm) 1 II Kelerengan (%) a. > 45 5 b. 30 – 45 4 c. 15 – 30 3 d. 8 – 15 2 e. < 8 1 III Permeabilitas tanah a. sangat lambat 5 b. lambat 4 c. agak cepat/sedang 3 d. cepat 2 e. sangat cepat 1

IV Tutupan lahan a. tegalan, sawah 5 b. semak -belukar 4 c. hutan dan perkebunan 3 d. kota/permukiman, bandara, dan lapangan golf 2 e. tambak, waduk, dan perairan 1 V Geologi a. batuan volkanik (tuf, pasir) 3 b. batuan sedimen (liat, napal) 2 c. batuan berbahan resent (aluvial) 1

Keterangan : 1, 2, 3, 4, dan 5 adalah nilai dari parameter. Diacu dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004

25

Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat parameter sungai dan jalan yang

dijadikan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena pada

penelitian-penelitian terdahulu, bahwa tanah longsor yang terjadi di Kabupaten

Sumedang pada umumnya disebabkan oleh faktor lereng dan curah hujan .

Dasar penggunaan skor da lam pembuatan peta bahaya tanah longsor

mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Puslittanak

Bogor mengenai Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di

Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung Berbasis Sistem Informasi

Geografi. Dalam penelitian tersebut, setiap parameter pemicu terjadinya tanah

longsor ditentukan dengan bobot dan skor.

Dalam penelitian ini, telah dilakukan simulasi penggunaan skor dan bobot

serta dengan dan tanpa bobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peta bahaya

tanah longsor yang diperoleh dengan dan tanpa bobot relatif sama. Oleh karena

itu penggunaan bobot dalam penelitian ini ditiadakan, sehingga yang digunakan

hanya skor.

Diantara kelima parameter pemicu tanah longsor sebagaimana diuraikan

dalam Tabel 2, terdapat satu parameter yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu

permeabilitas tanah. Untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat lambat,

diberikan skor tertinggi, yaitu 5. Adapun untuk tingkat permeabilitas tanah yang

sangat cepat, diberikan skor terendah, yaitu 1.

Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan

bahaya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya

tanah longsor. Hal ini dipengaruhi oleh sifat tanah dan kemiringan lereng. Apabila

di bawa h lapisan tanah terdapat lapisan kedap air, maka air yang masuk akan

tertahan dan tanah (pada kemiringan tertentu) akan berpotensi tergelincir

menjadi longsor.

Skor dengan overlay dikerjakan mempergunakan perangkat lunak Sistem

Informasi Geografi ArcView versi 3.3. Pada proses tumpang tindih ini, skor

masing-masing data parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir

analisis diperoleh sejumlah zona (pada perangkat lunak berupa poligon-poligon).

Kemudian, wilayah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke

dalam empat kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; (iii) kurang rawan; dan

(iv) tidak rawan. Klasifikasi wilayah rawan tanah longsor ini mengacu pada

klasifikasi gerakan tanah yang digunakan pada Direktorat Vulkanologi dan

Mitigasi Bencana Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)

26

Bandung, yaitu (i) Rawan Longsor Tinggi; (ii) Rawan Longsor Menengah; (iii)

Rawan Longsor Rendah; (iv) dan Rawan Longsor Sangat Rendah. Di samping

itu, juga mengacu kepada hasil-hasil penelitian tentang tanah longsor yang telah

dipublikasikan oleh Puslittanak dan BPPT. Secara terperinci, parameter-

parameter yang membentuk klasifikasi wilayah rawan bahaya tanah longsor

disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor

Kelas Parameter

Sangat Rawan - Kelerengan di atas 30% - Permeabilitas tanah agak cepat s.d. sangat lambat - Curah hujan >2.000 mm/tahun

- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan

perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik

Rawan - Kelerengan di atas 15% - Permeabilitas tanah agak cepat/sedang

- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan

perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik

Kurang Rawan - Kelerengan di atas 8% - Permeabilitas tanah cepat - Tutupan lahannya perkebunan dan pemukiman

Tidak Rawan - Kelerengan kurang dari 8% - Permeabilitas cepat - Satuan batuan pada umumnya berbahan resent - Penggunaan lahan berupa pemukiman

Sumber : Puslittanak dan BPPT 2004, 2004 (Diolah)

3.3.4. Validasi Lapangan

Validasi lapangan dilakukan untuk mencocokkan hasil analisis peta bahaya

tanah longsor dengan keadaan sebenarnya di lapangan (baik secara langsung

maupun melalui informasi dari instansi-intansi terkait). Hasil dari validasi

lapangan dan data informasi yang terkumpul dijadikan bahan dalam analisis

ulang.

3.3.5. Analisis Ulang

Analisis ulang dilakukan untuk memperbaiki peta bahaya longsor

berdasarkan dari hasil validasi lapangan. Peta bahaya longsor yang telah

dihasilkan pada tahapan awal penelitian, disempurnakan berdasarkan hasil

survai lapangan.

27

3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko

Pada tahap ini dilakukan penyelarasan semua data (baik data sekunder

maupun survai lapangan) dengan peta rawan longsor. Selanjutnya akan

dibangun peta properti dan peta risiko tanah longsor.

3.3.6.1. Peta Properti

Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang

dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan

terlantar (lahan tidur) maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi yang

berlangsung diatasnya (pemukiman, industri, sawah, tegalan, kolam/tambak dan

infrastruktur lainnya).

Peta properti diperoleh dengan “menggabungkan” peta penggunaan lahan

dan peta infrastruktur serta peta jaringan jalan. Nilai properti suatu wilayah dapat

ditentukan apabila di wilayah yang terkena bencana tanah longsor tersebut

menyebabkan kerugian dan kemungkinan hilangnya korban jiwa, kerusakan

lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.

3.3.6.2. Peta Risiko Longsor

Peta ini dihasilkan dari penggabungan antara peta bahaya/rawan longsor

dengan peta properti. Peta risiko tanah longsor ini akhirnya akan menghasilkan

informasi wilayah-wilayah yang memerlukan mitigasi bencana. Wilayah yang

memiliki nilai risiko tinggi bukan saja dikarenakan wilayah tersebut memiliki

bahaya longsor tinggi tetapi lebih ditekankan pada wilayah yang memiliki nilai

properti yang tinggi. Langkah kerja pembuatan peta risiko tanah longsor secara

skematis disajikan dalam Gambar 6.

28

Gambar 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor

Dari Gambar 6 terlihat bahwa dua jenis peta , yaitu peta infrastruktur dan

peta jalan dilakukan proses buffering. Buffering merupakan upaya yang bertujuan

untuk membentuk suatu area, poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang

berfungsi untuk menutupi objek spasial. Buffering tidak dilakukan pada peta

penggunaan lahan dan peta bahaya , karena batasannya sudah diketahui.

Buffering dilakukan pada data titik dan ga ris untuk mendapatkan suatu poligon,

dengan atribut skor yang telah ditentukan.

Proses selanjutnya adalah melakukan griding, yaitu melakukan perubahan

terhadap format data keempat peta tersebut dari bentuk vektor menjadi raster.

Kemudian, data hasil griding dianalisis dengan menggunakan software Global

Mapper untuk mempercepat dan mempermudah dalam pemrosesan data pada

tahapan berikutnya.

Dari gambar di atas juga terlihat bahwa proses ini menggunakan software

SPSS yang berguna untuk membaca titik koordinat (x dan y) dan skor (z) di

setiap pixel pada masing-masing peta. Setelah melalui proses dengan

menggunakan beberapa software, diperoleh hasil penggabungan berupa skor

29

pada masing-masing peta. Nilai skor yang diperoleh tersebut, selanjutnya

dilakukan reklasifikasi (pengelompokan kembali) dengan menggunakan software

ArcView, sehingga menghasilkan nilai risiko sebagai dasar dalam pembuatan

peta risiko tanah longsor.

3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor

Dalam melakukan upaya mitigasi bencana diperlukan tahapan kegiatan

yang dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai upaya yang harus

dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi pengkajian potensi bencana,

analisis kerawanan, dan analisis risiko bencana. Setelah dihasilkan Peta Risiko

Tanah Longsor, perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi berbagai

alternatif tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk

mencegah dan mananggulangi bencana tanah longsor.

Tahapan penelitian secara sistematik sebagaimana diuraikan di atas

secara skematik digambarkan dalam diagram alir berikut.

30

Gambar 7 . Diagram Alir Tahap Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian

4.1.1. Administrasi dan Kependudukan

Kabupaten Sumedang terletak pada 06º48 ′25″-06º56 ′50″ Lintang Selatan

dan 107º51′10″-107º58′30″ Bujur Timur serta berada pada ketinggian

25-1.001 m dpl. Bata s-batas administrasi Kabupaten Sumedang sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, sebelah

selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut, sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Bandung, serta sebelah timur barbatasan dengan Kabupaten

Majalengka. Gambaran spasial lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 .

KAB. S UBANG

#

SUMEDANG UTARA

#

SUMEDANG SELATAN

KAB. I NDRAMAYU

KAB. BANDUNGKAB. GARUT

KAB. MAJALENGKA

7°00

' 7°00'

6°5

0' 6°50'

6°4

0'

6°40'

107°40'

107°40'

107°50'

107°50'

108°00'

108°00'

108°10'

108°10'108

108

-7

-7

PETA KABUPATEN SUMEDANG DAN SEKITARNYA

LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PRO VINSI JAWA BARAT

N

Keterangan :

Batas Kabupaten

Kecamatan-kecamatan di Kab. Sumedang

Sumedang Selatan

Sumedang Utara

4 0 4 8 Km

Gambar 8. Lokasi Penelitian

32

Penyebaran penduduk di Kabupaten Sumedang terkonsentrasi di

Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari, Sumedang Selatan,

Sumedang Utara, dan Cimalaka . Penyebaran yang tidak merata tersebut karena

pusat kegiatan pendidikan , ekonomi, hiburan , pemukiman, dan industri lebih

banyak berada di kecamatan-kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, jumlah

penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Surian 11.330 2 Cisarua 18.500

3 Cibugel 19.910 4 Ganeas 21.870 5 Tomo 22.238

6 Tanjungmedar 23.318 7 Jatigede 23.955 8 Cisitu 25.441 9 Ujungjaya 28.303 10 Sukasari 28.420 11 Conggeang 29.266

12 Buahdua 31.272 13 Tanjungkerta 32.127 14 Situraja 33.426

15 Paseh 35.564 16 Rancakalong 36.227 17 Darmaraja 36.238

18 Jatinunggal 40.330 19 Wado 42.664 20 Pamulihan 48.263

21 Cimalaka 51.725 22 Tanjungsari 63.962 23 Cimanggung 64.421

24 Sumedang Selatan 65.190 25 Sumedang Utara 75.754

26 Jatinangor 87.238

Sumber : BPS Kabupaten Sumedang (2003)

Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jumlah penduduk Kabupaten

Sumedang per kecamatan pada tahun 2003 sebanyak 996.952 jiwa . Selain itu,

dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa Kecamatan Sumedang Utara dan

Kecamatan Sumedang Selatan termasuk wilayah yang memiliki jumlah penduduk

di atas 60.000 jiwa.

33

Secara geografis, letak kedua kecamatan tersebut berada pada posisi

06º81 -́06º96´ Lintang Selatan dan 107º85 -́107º97´ Bujur Timur. Adapun secara

administrasi pemerintahan, Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan

Sumedang Selatan terdiri dari 24 desa dengan luas wilayah mencapai

±12.914,80 Ha. Peta orientasi lokasi Kecamatan Sumedang Utara dan

Kecamatan Sumedang Selatan disajikan dalam Gambar 9. Adapun pembagian

wilayah (desa) dan luasan dari desa di dua kecamatan tersebut dapat dilihat

pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan

Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 1999

No. Nama Kecamatan/Desa Jumlah (Ha)

Sumedang Selatan 1 Baginda 383,16 2 Ciherang 654,56 3 Cipameungpeuk 610,96 4 Cipancar 1.487,17 5 Citengah 1.511,48 6 Gunasari 804,10 7 Pasanggrahan 1.211,16 8 Regol Wetan 642,79 9 Kota Kulon 318,53 10 Meruya Mekar 601,14 11 Sukagalih 117,78 12 Sukajaya 1.404,19

Sumedang Utara 13 Jatihurip 125,20 14 Jatimulya 478,68 15 Kebonjati 43,02 16 Kota Kaler 381,95 17 Girimukti 147,29 18 Margamukti 449,05 19 Mekarjaya 199,32 20 Mulyasari 516,59 21 Padasuka 149,31 22 Sirnamulya 277,04 23 Situ 228,44 24 Talun 171,88

Total 12.914,80

�������������� ������������������� ���������������������������������

���� ������� �

��������������������������������� ������������� ��

�������� ��������

��������

��������

������������

��������

����

���������

���������

�����������

�������

������������

�������������

����������

����������

���������������

����������

���������

���������

��������

���������

���������

���������

����� ��������

������������

������������

��������� ��

�����������

�������������������

������� ��

���������������������

��� !�"�#�$�� ��%&%'���( ��%��)'�*�#�+,�---��).��!�'$������� ����� "�&�+--+�$�+-*+

�!./ )�%�#�� .&!0%�

�� !�1��� ��%'/2��"�%�%�!�%

34,35--

6 34,35--6

34,75--

6 34,75--6

34,+5--

6 34,+5--6

34,-5--

6 34,-5--6

34785--

6 34785--6

*-94,+5--6

*-94,+5--6

*-94,75--6

*-94,75--6

*-94,35--6

*-94,35--6

*-94,85--6

*-94,85--6

+ - + ��

35

4.1.2. Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air

hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng,

sehingga memicu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas, dan

lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng .

Berdasarkan data Badan Perencanaan Daerah Sumedang, Kabupaten

Sumedang mempunyai curah hujan tahunan rata-rata yang berkisar antara

2000-2500 mm/tahun, yang meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten

Sumedang terutama wilayah Kabupaten Sumedang bagian tengah. Wilayah yang

ada di Kabupaten Sumedang bagian tenggara merupakan daerah dengan curah

hujan yang tinggi, berkisar antara 2500-3000 mm/tahun. Pada beberapa tempat

tertentu , curah hujan ada yang mencapai 3500-4000 mm/tahun. Wilayah

Kabupaten Sumedang bagian utara mempunyai curah hujan tahunan rata -rata

yang berkisar antara 2500 -3500 mm/tahun. Bahkan, di sekitar Gunung

Tampomas curah hujannya sangat tinggi yaitu 4500-5000 mm/tahun.

Pengaruh curah hujan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor ditunjukkan

dari jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang selama periode

1987-2002. Rincian lengkap mengenai jumlah kejadian longsor di Kabupaten

Sumedang pada tingkat curah hujan yang berbeda disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang

Periode 1987-2002 No. Kecamatan Curah Hujan Rata-rata (mm/th) ∑ Kejadian 1 Buahdua 2221 - 2 Cadasngampar/Jatigede 2643 7 3 Cibugel 1289 - 4 Cikeruh/ Jatinangor 1370 - 5 Cimalaka 2419 2 6 Cimanggung 1724 1 7 Congeang 1968 - 8 Darmaraja 2946 2 9 Paseh 2304 - 10 Rancakalong 2648 6 11 Situraja 2257 1 12 Sumedang Selatan 3100 9 13 Sumedang Utara 2386 6 14 Tanjungkerta 2900 4 15 Tanjungsari 1967 2 16 Tomo 2038 2 17 Ujungjaya 2080 - 18 Wado 1678 3

Jumlah 45

Sumber : Hasil Pengolahan Data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002)

36

Berdasarkan data pada Tabel 6, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu

15 tahun, telah terjadi 45 kejadian longsor pada tingkat curah hujan yang

berbeda. Adapun jumlah kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan sebanyak 15 kejadian atau sebesar 33,33% dari total

jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu

tersebut.

Pada penelitian ini, yang berlokasi di Kecamatan Sumedang Utara dan

Sumedang Selatan, nilai parameter curah hujan dianggap sama untuk seluruh

daerah di dua kecamatan tersebut. Hal ini karena perbedaan jumlah curah hujan

rata-rata pada dua kecamatan tersebut tidak terlalu signifikan atau ekstrem.

4.1.3. Suhu

Suhu udara di Kabupaten Sumedang rata -rata berkisar antara 22,5-23,3ºC.

Suhu maksimum mencapai 23,3ºC terjadi pada bulan Mei, September, dan

Oktober. Adapun suhu minimum sebesar 22 ,5ºC terjadi pada bulan Juli.

4.1.4. Topografi

Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup (SLH) yang dikeluarkan oleh

Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, dijelaskan bahwa

bentang alam Kabupaten Sumedang cukup bervariasi, dari dataran sampai

perbukitan. Secara garis besar, ketinggian wilayah di Kabupaten Sumedang

dapat diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu:

a. 25-50 m dpl

Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tomo dan sebagian Kecamatan

Ujungjaya dengan luas ± 5.858,05 Ha.

b. 51-75 m dpl

Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo

dan Ujungjaya dengan luas ± 5 .673,54 Ha.

c. 76-100 m dpl

Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo

dan Ujungjaya dengan luas ± 7 .294,82 Ha.

d. 101-500 m dpl

Meliputi sebagian Kecamatan Sumedang Selatan , Sumedang Utara,

Cimalaka , Tanjungkerta, Conggeang, Buahdua, Tomo, Darmaraja, Situraja,

Wado, Cadasngampar, Paseh, Ujungjaya dan Cibugel dengan luas ±

66.564,55 Ha.

37

e. 501-1001 m dpl

Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang

Utara, Cimalaka, Tanjungkerta, Tanjungsari, Cikeruh, Rancakalong,

Conggeang, Buahdua, Tomo, Darmaraja, Situraja , Wado, Paseh,

Cimanggung, dan Cibugel dengan luas ± 49.339,71 Ha.

f. Di atas 1001 m dpl

Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, Cimalaka,

Situraja, Tanjungsari, Rancakalong , Conggeang, Buahdua, Cibugel,

Darmaraja, Wado, dan Cimanggung dengan luas ± 17.464,78 Ha .

Berdasarkan kelas ketinggian dan sebarannya tersebut, dapat diketahui

bahwa wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terletak

pada ketinggian 100 s.d. di atas 1.001 m dpl. Berdasarkan garis kontur dan titik

tinggi Rupa Bumi Indonesia skala 1:25 .000 yang bersumber dari Bakosurtanal,

dibuatkan kelas lereng dengan menggunakan software Arc View 3.3 ext 3D.

Pada tabel di bawah ini disajikan kelas lereng dan luas wilayahnya pada kedua

kecamatan tersebut. Selanjutnya, peta kontur dan peta kelas lereng wilayah

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada

Gambar 10 dan Gambar 11 .

Tabel 7 . Kelas Lereng dan Luasannya

No. Kelas Lereng (%) Jumlah (Ha)

1 0 – 8 2.514 ,27 2 8 – 15 466 ,97 3 15 – 30 2.734 ,44 4 30 – 45 2.118 ,45 5 >45 5.080 ,67

Total 12.914,80

Sumber : Bakosurtanal (Diolah) , 2005

����

���� ��������

����

���� ��������

����

���� ��������

����

���� ��������

���

���� �������

���������

���������

���������

���������

���������

���������

��������

��������

� ��������������

� ������� ����

������������ �!�"�����#$#��%���&����#��'�%��� ���(����)�'*+����,�%"�*-�'+#� ���*$��.#+

)���+�/�0�����,

1���!��������!��(��(��!��(��(��!��1�(��1�(��!��1�(�

�������������

2,���3�%�/*,����4�����5

������������� �������� ��������� ����������

��������(�"����/*,���

����������������������������� ���������������������

� � � /�

����

���� ��������

����

���� ��������

����

���� ��������

����

���� ��������

���

���� �������

���������

���������

���������

���������

���������

���������

��������

��������

� ������������� ����

����� �������� ������!�����"�#�$���������"�������%����&����� ��'�"

���������

��� ���

���� ����

����������� ���

������ ���

���������

������

������������� ������

&�����!���&�����(�)�����'

(*+*#,-�,-

�.� �..� ��.��.� �/�./�.� ���.0��.

�� ��� ������������������������������������������� ���

����� �%������(�"���1� �'�

���������� �����������������������������������������

� � � (�

40

4.1.5. Hidrologi

Pola aliran sungai yang terdapat di Kabupaten Sumedang terbentuk oleh

sungai besar dengan anak-anak sungainya . Secara umum aliran sungai yang

terdapat di wilayah ini dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu aliran

golongan Sungai Cimanuk dan Cipeles. Sebenarnya, aliran Cipeles merupakan

anak sungai Cimanuk. Seluruh aliran sungai di Kabupaten Sumedang

membentuk pola Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbagi menjadi enam Sub-

DAS, yakni Citarik, Cipeles, Cipunegara , Cipelang, Cimanuk, dan Cilutung .

4.1.6. Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil up-dating peta penggunaan lahan skala 1:25 .000 dari

Bakosurtanal tahun 1999 dengan citra Landsat dan Aster, diketahui bahwa jenis

dan persentase penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan

Sumedang Selatan sebagian besar didominasi oleh hutan dan belukar/semak.

Rincian jenis dan persentase penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang

disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Jenis Penggunaan Lahan dan Luasannya

No Keterangan Jumlah (ha) Persentase

1 Air 65,70 1% 2 Belukar/Semak 2.511,65 19% 3 Gedung 0,51 0% 4 Hutan 4.222,35 33% 5 Kebun/Perkebunan 584,54 5% 6 Pemukiman 1.326,58 10% 7 Rumput/Tanah kosong 36,43 0% 8 Sawah Irigasi 981,96 8% 9 Sawah Tadah Hujan 1.679,36 13%

10 Tegalan/Ladang 1.498,73 12% Total 12.914,80 100%

Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 2005

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa penggunaan lahan terluas

adalah hutan (33%) yang sebagian besar terletak di wilayah Kecamatan

Sumedang Selatan. Selanjutnya , berturut-turut adalah belukar/semak (19%).

sawah tadah hujan (13%) , tegalan (12%), pemukiman (10%). Sisanya digunakan

untuk sawah irigasi, kebun, gedung, rumput/tanah kosong, dan air. Gambaran

sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang

Selatan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12 (Peta Penggunaan Lahan)

dan Gambar 13 (Citra Aster tahun 2003).

43

4.1.7. Geologi

Informasi geologi atau satuan batuan diperoleh dari peta Geologi Lembar

Bandung skala 1 : 100 .000 (PH. Silitonga 1973) dan peta Geologi Lembar

Arjowinangun skala 1 : 100 .000 (Djuri 1995). Kedua peta tersebut diperoleh dari

Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Berdasarkan stratigrafi

hasil penelitian yang dilakukan Silitonga (1973) dan Djuri (1995), di daerah

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdapat enam satuan batuan, yaitu :

a. Ql (Endapan Danau)

Lempung tufaan , batupasir tufaan, kerikil tufaan . Membentuk bidang-bidang

perlapisan mendatar di beberapa tempat. Mengandung kongkresi-kongkresi

gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar dan tulang-tulang binatang

bertulang belakang. Setempat mengandung sisipan breksi. Luas endapan

danau ini mencapai 265.24 Ha atau 2% dari luas wilayah Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan.

b. Qvb (Hasil Gunungapi Tua -Breksi)

Breksi gunungapi, endapan lahar. Komponen-komponennya terdiri atas

batuan beku bersifat andesit dan basal. Luas hasil gunungapi tua-breksi ini

mencapai 973.70 Ha atau 8% dari luas wilayah Sumedang Utara dan

Sumedang Selatan .

c. Qvl (Hasil Gunungapi Tua-Lava)

Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan

sebagian telah terpropilitisasikan. Luas satuan batuan ini mencapai 536.36

Ha atau 4% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

d. Qvu (Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan)

Breksi gunung api, lahar dan lava berselang-seling. Luas 10.084.47 Ha atau

78% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

e. Qyb (Breksi dan Aglomerat)

Breksi dan aglomerat tufaan terdapat di sebelah tenggara G.Tampomas.

Keratan-keratannya terdiri dari batuan beku bersusunan antara andesit dan

basal, Luas 8.87 Ha.

f. Qyu (Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan)

Pasir tufaan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G.

Tangkubanparahu dan sebagian dari G. Tanpomas. Antara Sumedang dan

Bandung batuan ini membentuk dataran-dataran kecil atau bagian-bagian

rata dan bukit-bukit rendah yang tertutup oleh tanah yang berwarna abu -abu

44

kuning dan kemerah-merahan. Luas satuan batuan ini 1046 ,16 Ha atau 8%

dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

Di wilayah Kabupaten Sumedang bagian utara , dijumpai adanya sesar dan

lipatan. Sesar naik dijumpai di sekitar Pasir Bengkung yang memanjang ke arah

barat sampai di sekitar Pasir Cengkudu . Sesar ini memisahkan satuan batu pasir

dari satuan batuan lempung serta memotong satuan batuan vulkanik muda.

Sesar turun (sesar normal) dapat dijumpai di Gunung Bongkok yang memanjang

ke arah selatan dan di daerah Gunung Sembul memanjang ke arah timur sampai

Gunung Bangkok pada satuan batu vulkanik.

Secara ringkas jenis satuan batuan di wilayah Kecamatan Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, gambaran sebaran

geologi wilayah penelitian di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang

Selatan dapat dilihat pada Gambar 14 .

Tabel 9. Satuan Batuan Beserta Luasannya

No Satuan batuan Jumlah (ha) Persentase 1 Ql 265 ,24 2% 2 Qvb 973 ,70 8% 3 Qvl 536 ,36 4% 4 Qvu 10.084,47 78% 5 Qyb 8,87 0% 6 Qyu 1.046 ,15 8%

Total 12.914.80 100%

Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Diolah), 2005

4.1.8 Jenis Tanah

Tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang

menantukan terjadinya longsor. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir

merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan

tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut

berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka tanah tersebut

akan berpotensi mengelincir menjadi longsor.

Jenis tanah di Kabupaten Sumedang terdiri dari beberapa macam,

diantaranya meliputi jenis tanah Aluvial, Regosol, Andosol, Grumosol, Padsolik

merah kuning, Latosol, dan Mediteran Coklat Kemerahan . Gambaran sebaran

jenis tanah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat

pada Gambar 15.

47

Luasan dengan persentase dari jenis tanah yang terdapat di Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 10. Pada

Tabel 10, terlihat bahwa jenis tanah latosol coklat tua kemerahan mempunyai

luasan terbesar yaitu 4.344,67 Ha, diikuti jenis tanah kompleks litosol dan latosol

coklat kemerahan dan aluvial kelabu.

Tabel 10. Jenis Tanah Beserta Luasannya

No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase 1 Aluvial Kelabu 2.293 ,55 18% 2 Aluvial Kelabu Tua 877 ,32 7% 3 Asosiasi Latosol Merah dan Regosol 488 ,80 4% 4 Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan 2.577 ,54 20% 5 Latosol Coklat 511 ,69 4% 6 Latosol Coklat Kemerahan 363 ,19 3% 7 Latosol Coklat Tua Kemerahan 4.344 ,67 34% 8 Latosol Merah 566 ,44 4% 9 Latosol Merah Kekuningan 261 ,12 2%

10 Regosol Coklat 630 ,48 5% Total 1.2914,80 100%

Sumber : Puslittanak (Diolah), 2005

4.2. Bencana Longsor

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Bandung

telah melakukan penelitian tentang kejadian bencana longsor dalam kurun waktu

tahun 2002-2005 di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.

Kejadian bencana longsor berdasarkan faktor bahaya longsor dan faktor risiko

longsor masing-masing disajikan pada Tabel 11 dan 12 .

Bencana tanah longsor berdasarkan data penelitian tersebut dipicu

beberapa faktor yaitu curah hujan dan tanah. Selain itu , kemiringan yang terjal

dan banyaknya pembukaan lahan pada lereng menjadi kebun campuran turut

memicu terjadinya bencana tanah longsor.

Sebagian besar penyebab terjadinya bencana tanah longsor dapat

diuraikan sebagai berikut yaitu , pada kejadian hujan lebat yang berlangsung

lama, maka kondisi keairan di daerah ini melimpah yang mengakibatkan air

merembes ke dalam tanah melalui pori-pori tanah. Karena air hujan tertahan di

atas bidang luncuran , hal ini menyebabkan bobot massa tanah bertambah,

tekanan air pori meningkat sehingga daya tahan tanah (shear streght) mengecil.

Dalam kondisi ini, lapisan tanah pada lereng yang terjal cenderung bergerak,

sehingga menimbulkan adanya nendatan dan beberapa retakan.

48

Tabel 11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor

Sumber : Direktorat VMBG, 2005

NO. KAMPUNG/DESA LERENG ( º )

BATUAN TATA LAHAN KONDISI KEAIRAN

1.

Cihuni Hilir/Sukajaya

28º

Breksi lahar , lava (Qvu)

Kebun campuran, Pemukiman

Lahan kering

2. Ciloa/Sukajaya 29º Breksi lahar , lava lapuk (Qvu)

Kebun campuran, pemukiman, sawah di bawah

Lahan kering

3.. Cigobang/Gunasari 30º Breksi gunungapi, lava (Qvu)

Kebun bambu dan pemukiman

Lahan kering

4. Babakan Cibungur/ Cikondang

23º Breksi gunungapi, lava (Qvb)

Sawah di lereng bawah, pemukiman dan kebun campuran di lereng atas

Genangan air sawah

5. Batugara/ Tanjungwangi

30º Breksi gunungapi (Qvb)

Kebun campuran, Pemukiman

Lahan kering

6. Citengah/Citengah 30º Breksi gunungapi (Qvb)

Kebun campuran, Pemukiman

Lahan kering

7. Ciawi/Gunasari 25º Breksi gunungapi (Qvb)

Kebun campuran, Pemukiman

Lahan kering

8. Cibungur/Margamekar 20º Breksi lahar . tuva (Qvu)

Kebun campuran, Pemukiman

Genangan air sawah

9. Kebonsereh/ Margamekar

22º Breksi lahar . lava lapuk (Qvu)

Kebun campuran, pemukiman

Lahan kering

10. Kandangsari/ Pasanggrahan

31º Breksi lahar . lava (Qvu + Qvl)

Kebun campuran, pemukiman

Lahan kering

11. Banceuy/ Pasanggrahan

30º Breksi lahar (Qvu) Kebun campuran, pemukiman

Lahan kering

12. Kareumbi/ Pasanggrahan

20º Breksi gunungapi (Qvu)

Kebun campuran, pemukiman

Lahan kering

13. Ciseureuh/ Margamekar X = 1089234 BT Y = 689673 LS

25º Breksi lahar . tuva (Qvu)

Kebun campuran, pemukiman

Lahan kering

14. Pasanggrahan. 8-1-2005. 20-2-2005. dan 27-3-2005

- - - -

15. Jatimulya, 15-2-2005 - - - - 16. Sukajaya, 20-2-2005 - - - - 17. Ciherang, 20-2-2005.

7-3-2005 - - -

18.

Cipameungpeuk, 31-3-2005 dan 22-3-2005 Cihanja dan Cibogol

- - - -

19. Sukaluyu

18º - 32º

Breksi lahar . tuva (Qvu)

Kebun campuran, pesawahan , ladang, Pemukiman

Terdapat saluran irigasi

20.

Nanggerang/ Mekarjaya

15º - 30º Breksi lahar . tuva (Qvu)

Pemukiman

21. Jatimulya, 15-2-2005

49

Tabel 12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang telah Dilakukan

NO. KAMPUNG/DESA STATUS PENANGGULANGAN

1 Cihuni Hilir/ Sukajaya

Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

2 Ciloa/Sukajaya Rawan longsor, mengancam sekitar 120 jiwa

Lereng dis engked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

3 Cigobang/ Gunasari

Rawan longsor, mengancam sekitar 400 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

4 Babakan Cibungur/ Cikondang

Rawan longsor, mengancam sekitar 135 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

5 Batugara/ Tanjungwangi

Rawan longsor, mengancam sekitar 100 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

6 Citengah/Citengah Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

7 Ciawi/Gunasari Rawan longsor, mengancam sekitar 175 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

8 Cibungur/ Margamekar

Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa

Menutup retakan dan memperbaiki drainase, bila retakan berkembang, pemukiman pindah

9 Kebonsereh/ Margamekar

Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

10 Kandangsari/ Pasanggrahan

Rawan longsor, mengancam sekitar 140 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

11 Banceuy/ Pasanggrahan

Rawan longsor, mengancam sekitar 50 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

12 Kareumbi/ Pasanggrahan

Rawan longsor , mengancam sekitar 100 jiwa

Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air

Sumber : Direktorat VMBG, 2005

4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor

Pembuatan peta rawan bahaya longsor dilakukan dengan cara

menggabungkan atau menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari hasil tumpang

tindih peta penyebab longsor yang disusun, terdiri dari peta penggunaan lahan,

kemiringan lereng, geologi, dan peta jenis tanah. Peta curah hujan tidak

dimasukkan dalam proses tumpang tindih, karena nilai parameter curah hujan

dianggap sama untuk kedua wilayah kecamatan ini.

Analisis tumpang tindih yang telah dilakukan pada keempat peta tersebut

tersebut menghasilkan wilayah-wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya

longsor. Nilai tingkat potensi (rawan) tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 13

dan hasil analisis wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya tanah longsor

berdasarkan nilai tingkat potensi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 14.

50

Tabel 13 . Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor

No. Tingkat Potensial (Rawan) Jumlah Nilai Semua Parameter

1. Tidak Rawan 6 – 9 2. Kurang Rawan 10 – 12 3. Rawan 13 – 15 4. Sangat Rawan 16 – 18

Sumber : Data Primer (Diolah), 2005

Pada Tabel 13 terlihat jumlah nilai semua parameter yang dibagi ke dalam

empat tingkat potensial bahaya tanah longsor. Wilayah yang memiliki tingkat

potensi sangat rawan tanah longso r memiliki nilai parameter 16-18. Adapun

untuk tingkat potensi tidak rawan bahaya longsor memiliki nilai parameter 6-9.

Tabel 14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor

No. Desa Tidak Rawan (Ha)

Kurang Rawan (Ha)

Rawan (Ha)

Sangat Rawan (Ha)

1 Baginda 0,36 27,89 162 ,71 192 ,19 2 Ciherang - 6,62 167 ,45 480 ,50 3 Cipameungpeuk - 69,20 346 ,50 195 ,26 4 Cipancar 1,86 20,69 1.358 ,16 106,46 5 Citengah - 7,38 1.232 ,21 271 ,89 6 Girimukti 0,81 46,58 99,90 - 7 Gunasari 13,77 74,11 633 ,53 82,69 8 Jatihurip 0,31 38,58 72,02 14,30 9 Jatimulya 13,25 212 ,82 247 ,22 5,39 10 Kebonjati 5,88 22,85 14,29 - 11 Kota Kaler 2,43 166 ,23 166 ,02 47,28 12 Kota Kulon 8,91 79,58 194 ,20 35,84 13 Margamukti 6,57 99,71 341 ,10 1,67 14 Mekarjaya 4,11 85,05 104 ,69 5,47 15 Meruya Mekar - 7,00 503 ,80 90,34 16 Mulyasari 3,21 121 ,25 266 ,63 125 ,50 17 Padasuka 13,52 40,14 95,51 0,14 18 Pasanggrahan 8,44 159 ,51 683 ,11 360 ,10 19 Regol Wetan 0,90 120 ,39 374 ,59 146 ,91 20 Sirnamulya - 12,38 124 ,21 140 ,44 21 Situ 0,17 75,55 152 ,72 - 22 Sukagalih - 3,55 68,24 46,00 23 Sukajaya - 19,55 967 ,81 416 ,84 24 Talun 1,18 53,64 83,80 33,25

Total (Ha) 85,69 1.570 ,25 8.460 ,41 2.798 ,44 Persentase (%) 0,66 12,16 65,51 21,67

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

51

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa wilayah Kecamatan Sumedang

Utara dan Sumedang Selatan memiliki potensi daerah rawan longsor yang tinggi.

Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi rawan

bahaya sekitar 8.460,41 Ha atau 65 ,51% dari luas wilayah kedua kecamatan

tersebut. Artinya, lebih dari separuh wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan

Sumedang Selatan rawan bahaya longsor. Selanjutnya , luas wilayah yang

berpotensi sangat rawan bahaya longsor sekitar 2.798,44 Ha (21,67%), kurang

rawan 1 .570,25 Ha (12 ,16%), dan tidak rawan sekitar 85,69 Ha (0,66%).

Analisis wilayah rawan bahaya longsor juga menghasilkan informasi

mengenai desa -desa yang dinyatakan berpotensi sangat rawan , rawan, kurang

rawan, dan tidak rawan bahaya longsor. Dari Tabel 14 , terlihat bahwa desa-desa

yang memiliki potensi bahaya longsor meliputi Desa Ciherang , Sukajaya,

Pasanggrahan, dan Citengah . Desa Ciherang merupakan daerah terluas yang

tergolong kategori sangat rawan longsor (480,50 Ha), diikuti Sukajaya (416,84

Ha), Pasanggrahan (360,10 Ha), dan Citengah (271 ,89 Ha).

Apabila analisis tersebut dihubungkan dengan beberapa kejadian bencana

longsor di Kabupaten Su medang berdasarkan faktor bahaya dan risiko longsor

sebagaimana disajikan dalam Tabel 11 dan 12 , terlihat ada kesesuaian dari

wilayah-wilayah yang berpotensi terjadinya bahaya longsor. Sebagai contoh,

daerah-daerah yang telah mengalami bencana longsor (pada Tabel 11) adalah

Desa Ciherang , Sukajaya, Citengah, dan Pasanggarahan. Berdasarkan hasil

analisis yang dilakukan, daerah-daerah tersebut juga termasuk dalam wilayah

yang berpotensi rawan bahaya longsor.

4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor

4.4.1. Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor

Secara umum, faktor penyebab bahaya tanah longsor di Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu

penggunaan lahan, kelerengan, geologi, dan jenis tanah. Namun, berdasarkan

analisis visual terhadap variabel-variabel penyebab bahaya tanah longsor

tersebut, di wilayah penelitian bagian utara, faktor kelerengan dan penggunaan

lahan merupakan dua variabel dominan yang membentuk sebaran potensi

bahaya tanah longsor. Adapun untuk wilayah penelitian bagian selatan, sebaran

potensi bahaya tanah longsor secara dominan dibentuk oleh faktor jenis tanah

dan penggunaan lahan .

52

Hal ini karena pola sebaran kedua jenis variabel tersebut paling

menyerupai pola sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor di Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan (Gambar 16). Adapun peta sebaran

potensi rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Gambar 17 .

Gambar 16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor

54

4.4.2. Kelerengan

Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

analisis gerakan tanah . Pada umumnya, semakin tinggi kemiringan suatu lereng

maka semakin rentan terhadap gerakan tanah. Pada peta potensi rawan bahaya

tanah longsor, dihasilkan potensi bahaya longsor yang terjadi pada beberapa

tingkat kemiringan lereng . Secara rinci, tingkat potensi bahaya longsor

berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Lereng(%) Tidak

Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan

Jumlah (Ha)

1. 0 – 8 67,52 937,84 1.508,91 - 2.514 ,27

2. 8 – 15 9,48 186,60 270,90 - 466 ,97 3. 15 – 30 8,25 416,64 1.865,86 443,69 2.734 ,44

4. 30 – 45 0,46 18,26 1.285,64 814,10 2.118 ,45 5. > 45 - 10,93 3.529,10 1.540,64 5.080 ,67

Total 85,70 1.570,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pada kelas lereng >45%, luasan

wilayah yang berpotensi rawan dan sangat rawan bahaya longsor masing-

masing seluas 3.529,10 Ha dan 1.540,64 Ha. Wilayah yang berpotensi rawan

dan sangat rawan bahaya longsor pada kelas lereng >45% ini merupakan luasan

terbesar (5.069,74 Ha) dibandingkan dengan kelas lereng lainnya. Kemudian

diikuti oleh kelas lereng 15-30% dan 30-45%, masing-masing seluas 2.309,55 Ha

dan 2 .099,74 Ha.

Meskipun demikian pada kelas lereng <8%, luas wilayah rawan longsor

juga cukup besar,yaitu 1 .508,91 Ha. Hal ini disebabkan daerah yang be rlereng

datar tersebut merupakan batas peralihan litologi. Wilayah ini terdapat pada

sebagian besar Kecamatan Sumedang Utara terutama di daerah perkotaan.

4.4.3. Jenis Tanah

Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya bahaya tanah longsor erat

kaitannya dengan kondisi geologi, antara lain jenis tanah dan struktur geologi.

Berdasarkan hasil analisis, pengaruh jenis-jenis tanah terhadap potensi bahaya

longsor yang dapa t terjadi di wilayah penelitian. Jenis tanah di Kecamatan

55

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri dari sepuluh macam. Di kedua

kecamatan tersebut, jenis tanah latosol coklat tua kemerahan memiliki luasan

terbesar yaitu 4 .344,68 Ha, kemudian diikuti oleh jenis tanah kompleks litosol dan

latosol coklat kemerahan, dan aluvial kelabu, masing-masing seluas

2.577 ,54 Ha dan 2.293,53 Ha. Secara rinci jenis tanah dan potensi bahaya

longsor disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Jenis Tanah Tidak

Rawan Kurang Rawan

Rawan Sangat Rawan

Jumlah (Ha)

1. Aluvial Kelabu 236,05 863,01 1.194,47 2.293,53 2. Aluvial Kelabu Tua 15,37 278,12 583,83 877,32 3. Asosiasi Latosol Merah dan

Regosol 0,70 14,93 458,75 14,42 488,81

4. Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan

7,27 57,35 2,327,52 185,41 2.577,54

5. Latosol Coklat 14,32 145,47 343,72 8,18 511,69 6. Latosol Coklat Kemerahan 6,18 142,91 197,49 16,62 363,19 7. Latosol Coklat Tua

Kemerahan 22,57 638,46 3.022,20 661,45 4.344,68

8. Latosol Merah 10,45 79,14 342,80 134,05 566,44 9. Latosol Merah Kekuningan - - 261,12 - 261,12

10. Regosol Coklat 24,21 240,57 365,70 - 630,48

Total 85,70 1.570,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Berdasarkan data pada Tabel 16 , dapat dijelaskan bahwa tingkat potensi

bahaya tanah longsor tertinggi (sangat rawan) terdapat pada jenis tanah aluvial

kelabu seluas 1.194,47 Ha. Besarnya luasan jenis tanah ini yang termasuk dalam

kategori sangat rawan karena hasil tersebut diperoleh dari agregasi ketiga faktor

penyebab tanah longsor lainnya yang dianalisis secara bersamaan .

4.4.4. Geologi

Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat bahaya

longsor yang berbeda satu sama lain . Berdasarkan besar butirnya , batuan yang

berbutir halus pada umumnya mempunyai potensi yang lebih tinggi terhadap

tejadinya bahaya longsor. Apabila dilihat dari kekompakannya, maka batuan

yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan terjadinya potensi tanah

longsor.

56

Berdasarkan peta geologi yang digunakan, geologi daerah penelitian

tersusun oleh enam satuan batuan . Hasil analisis yang memiliki potensi bahaya

longsor pada berbagai satuan batuan dapat dilihat pada Tabel 17 .

Tabel 17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Dari Tabel 17, terlihat bahwa batuan produk dari gunung api mudah lapuk,

sehingga batuan jenis ini memiliki potensi sangat rawan terhadap bahaya tanah

longsor. Dari tabel di atas, juga terlihat bahwa jenis satuan batuan hasil gunung

api tua tak teruraikan memiliki luasan wilayah terbesar dan potensi bahaya

longsor tertinggi pada wilayah penelitian .

4.4.5. Tutupan Lahan

Tutupan lahan di wilayah penelitian terdiri dari beberapa jenis penggunaan

lahan. Pada lereng bagian atas sebagian besar wilayah berupa hutan; lereng

bagian tengah; pemukiman , jalur jalan, perkebunan, tegalan , dan persawahan;

serta pada lereng bagian bawah berupa persawahan dan pemukiman.

Pengolahan lahan terutama pada daerah -daerah yang mempunyai kemiringan

lereng terjal dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur, sehingga

mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil.

Pengaruh tataguna lahan terhadap kestabilan lereng sangat kompleks

karena tergantung pada ketebalan tanah setempat, jenis tanaman, dan

kemiringan lereng . Secara rinci, tutupan lahan wilayah penelitian dan potensi

bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 18.

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Satuan Batuan Tidak

Rawan Kurang Rawan

Rawan Sangat Rawan

Jumlah (Ha)

1. Endapan Danau (Ql) 43,80 160 ,73 60,71 265 ,24 2. Hasil Gunungapi Tua Breksi (Qvb) 8,48 140 ,79 706 ,17 118 ,27 973 ,70 3. Hasil Gunungapi Tua Lava (Qvl) 13,92 492 ,62 29,82 536 ,36 4. Hasil Gunungapi Tua Tak

Teruraikan (Qvu) 28,90 1.104 ,09 6.636 ,45 2.315 ,03 10.084,47

5. Breksi dan Aglomerat (Qyb) 0,44 2,85 5,58 8,87 6. Hasil Gunungapi Muda Tak

Teruraikan (Qyu) 4,52 150 ,29 561 ,62 329 ,72 1.046 ,16

Total 85,70 1.570 ,26 8.460 ,42 2.798 ,43 12.914,80

57

Tabel 18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor

Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Tutupan Lahan Tidak

Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat

Rawan

Jumlah (Ha)

1 Air 36,37 27,55 1,77 65,70 2 Belukar/Semak 1,80 257 ,32 1.229,89 1.022,64 2.511,64 3 Gedung 0,40 0,11 0,51 4 Hutan 40,48 3.929,91 258,97 4.229,35 5 Kebun/Perkebunan 3,58 99,64 469,52 11,80 584,54 6 Pemukiman 38,23 1.020 ,75 267,60 - 1.326,58 7 Rumput/Tanah kosong 13,60 22,83 - 36,43 8 Sawah Irigasi 5,33 28,87 899,76 47,99 981,95 9 Sawah Tadah Hujan 0,39 62,05 1.054,03 562,89 1.679,36 10 Tegalan/Ladang 19,59 585,01 894,15 1.498,74 Total 85,70 1.570 ,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tutupan lahan berupa semak belukar

memiliki potensi wilayah sangat rawan bahaya longsor tertinggi yaitu sekitar

1.022 ,64 Ha. Selanjutnya , luasan lahan yang memiliki potensi tingkat rawan

longsor adalah pada tutupan lahan berupa hutan, yaitu seluas 3.929,91 Ha.

4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor

Dalam membuat peta risiko tanah longsor, harus diawali dengan membuat

peta properti. Peta properti merupakan gambaran umum dari keadaan suatu

wilayah. Peta properti dibangun dari penggabungan beberapa peta , antara lain

peta infrastruktur (point), peta jaringan jalan (line), dan peta penggunaan lahan

(poligon ).

Dalam peta properti, harus memuat nilai properti dari suatu wilayah yang

menggambarkan nilai ekonominya , baik yang tidak digunakan (seperti lahan

tidur) maupun berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung di atasnya, seperti

pemukiman, industri, sawah, tegalan , kolam/tambak, dan infrastruktur lainnya.

Nilai properti tersebut dapat ditentukan dengan memberikan skor untuk masing-

masing unsur dari setiap peta.

Selain memberikan skor, unsur-unsur dari peta -peta tersebut juga

dilakukan buffering. Dengan buffering akan membentuk suatu area , poligon,

atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi atau

melindungi objek spasial. Buffering hanya dilakukan pada dua peta , yaitu peta

infrastruktur dan jaringan jalan, sedangkan peta penggunaan lahan tidak

dilakukan buffering karena batasan dari masing -masing penggunaan lahan

58

sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan garis untuk mendapatkan

suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan, yang akan digunakan

untuk melakukan analisis keruangan selanjutnya.

4.5.1. Peta Infrastruktur

Peta Infrastruktur diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala

1:25.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal pada tahun 1999. Berdasarkan peta

Peta RBI tersebut, infrastruktur yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan terdiri atas 17 jenis.

Untuk mengetahui nilai dari masing-masing jenis infrastruktur tersebut guna

menentukan nilai propertinya, diberikan skor berdasarkan kriteria penilaian

tertentu . Dalam penelitian ini, kriteria penilaian yang dipakai adalah fisik,

manusia , dan manfaat (utilitas). Skor dinyatakan dalam angka tertentu

berdasarkan nilai kegunaan yang dimilikinya. Skor dari masing-masing jenis

infrastruktur secara terperinci disajikan dalam Tabel 19 .

Tabel 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur

No Jenis Infrastruktur Fisik Manusia Manfaat Total Buffering (m)

1 Bangunan Terpencar 3 2 2 7 50 2 Gereja 2 2 2 6 20 3 Kantor Camat 2 2 2 6 20 4 Kantor Desa 2 2 2 6 20 5 Kantor Lurah 2 2 2 6 20 6 Kantor Polisi 2 2 2 6 20 7 Masjid 2 2 2 6 20 8 PLTD 3 1 2 6 50 9 Pasar 3 3 3 9 100 10 Pelayanan Pos 2 2 2 6 20 11 Pelayanan Telepon 2 2 2 6 20 12 Rumah Sakit/Puskesmas 3 3 3 9 50 13 Sekolah 3 3 3 9 50

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Terdapat empat jenis infrastruktur yang tidak dimasukkan dalam penilaian,

sehingga jumlah infrastruktur dalam Tabel 19 hanya berjumlah 13 jenis.

Keempat jenis insfratruktur tersebut adalah Kuburan Islam, Kuburan Kristen,

Talang, dan Tonggak Kilometer. Hal ini karena diasumsikan keempat jenis

59

infrastruktur tersebut memiliki agregasi nilai fisik, manusia, dan manfaat yang

sangat kecil.

Kriteria penilaian yang meliputi fisik, manusia, dan manfaat (utilitas)

ditentukan berdasarkan nilai atau atribut yang dimiliki. Semakin tinggi nilai atau

atribut yang dimiliki, semakin tinggi nilai yang diberikan , begitu pula sebaliknya.

Untuk kriteria fisik, atribut yang dipertimbangkan adalah nilai keberadaan

dan moneternya. Kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan jumlah

manusia yang terlibat/beraktivitas atau berada dalam dan atau di berbagai jenis

infrastruktur yang ada. Adapun kriteria penilaian untuk manfaat dipertimbangkan

berdasarkan utilitas yang dapat diperoleh dari jenis infrastruktur tersebut.

Pemberian jarak buffering dari masing-masing infrastruktur sebagaimana

disajikan dalam Tabel 19 berbeda-beda meskipun beberapa diantaranya

ditentukan pada jarak yang sama . Jarak buffering diperoleh dari pengamatan

langsung di lapangan selama survai. Dasar penentuan jarak buffering adalah

luasan dari suatu jen is infrastruktur. Semakin luas area suatu infrastruktur, maka

jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh. Sebagai contoh, pasar

diberikan jarak buffering yang lebih jauh dibandingkan sekolah karena luasan

area pasar yang lebih luas.

4.5.2. Peta Jaringan Jalan

Jaringan jalan yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan

Sumedang Selatan diperoleh dari Peta RBI skala 1:25 .000 tahun 1999

(Bakosurtanal) dan infomasi yang dikumpulkan dari Bappeda Kabupaten

Sumedang. Berdasarkan dua sumber informasi tersebut, jenis jalan yang

teridentifikasi meliputi arteri primer, kolektor primer, lokal primer, kolektor, lokal,

dan setapak. Skor jenis jalan ditentukan berdasarkan fungsi dan peranannya.

Semakin berarti dan besar peranan dari suatu jenis jalan , nilai yang diberikan

akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.

Kriteria penilaian dalam memberikan skor dari masing -masing jenis jalan

meliputi fisik dan manfaat, minus manusia. Manusia tidak dimasukkan sebagai

kriteria penilaian karena jalan hanya berfungsi sebagai prasarana bagi manusia

dalam melakukan berbagai aktivitasnya , sehingga keberadaan manusia di jalan

(untuk semua jenis) bersifat dinamis. Artinya , tidak berada di jalan dalam jangka

waktu yang lama atau tidak menetap.

Sebagaimana dalam penilaian risiko terhadap jenis-jenis infrastruktur,

buffering juga dilakukan untuk jenis jalan, yang ditentukan berdasarkan lebar dan

60

fungsinya. Skor dan jarak buffering dari masing-masing jenis jalan secara

lengkap dan terperinci disajikan dalam Tabel 20 .

Tabel 20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan

No. Jenis Jalan Fisik Manfaat Total Buffering (m)

1 Arteri Primer 3 3 6 100 2 Kolektor Primer 3 2 5 80 3 Lokal Primer 3 2 5 80 4 Kolektor 3 2 5 80 5 Lokal 2 2 4 50 6 Setapak 1 1 2 20

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Berdasarkan data dalam Tabel 20 , terlihat bahwa nilai dan jarak buffering

tertinggi terdapat pada jenis jalan arteri primer, masing-masing diberikan Skor 6

dan jarak 100 meter. Hal ini mengingat fungsi dan peranan jenis jalan ini yang

lebih penting diantara jenis-jenis jalan lainnya .

Jalan setapak diberikan skor terendah 2 dengan jarak buffering 20 meter

karena secara fisik dan manfaat, jenis jalan ini kurang menentukan risiko dari

bahaya longsor. Keberadaan jenis jalan ini pada dasarnya adalah tidak termasuk

dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah serta muncul dengan

sendirinya akibat perlintasan masyarakat. Frekuensi lintasan di jalan ini pun

sangat rendah dan relatif hampir tidak ada kerugian apa -apa secara material

kalau jalan jenis ini rusak karena longsor.

4.5.3. Peta Penggunaan Lahan

Berbeda dengan dua peta sebelumnya dimana masing -masing jenis

infrastruktur dan jalan diberikan skor yang dilanjutkan dengan pemberian

buffering, dalam penilaian jenis penggunaan lahan tidak dilakukan. Hal ini

karena dalam Peta Penggunaan Lahan, jenis penggunaan lahan sudah

tergambar berupa poligon-poligon dan batas-batas tertentu , sehingga tidak perlu

dilakukan buffering. Penetapan skor berdasarkan kriteria fisik, manusia, dan

manfaat untuk setiap jenis penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 21.

61

Tabel 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan

No. Penggunaan Lahan Fisik Manusia Manfaat Total

1 Air 1 1 3 5 2 Belukar/Semak 1 1 1 3 3 Gedung 3 2 2 7 4 Hutan 1 1 1 3 5 Kebun/Perkebunan 2 1 2 5 6 Pemukiman 3 3 3 9 7 Rumput/Tanah kosong 1 1 1 3 8 Sawah Irigasi 3 1 3 7 9 Sawah Tadah Hujan 2 1 2 5

10 Tegalan/Ladang 1 1 1 3

Sumber : Data Primer (Diolah), 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi

Berdasarkan data dalam Tabel 21 , tiga jenis penggunaan lahan yang

diberikan total skor tertinggi adalah pemukiman, gedung, dan sawah irigasi

masing-masing sebesar 9, 7, dan 7. Hal ini sangat beralasan mengingat dari

ketiga kriteria yang digunakan, yaitu fisik, manusia , dan manfaat. Ketiga jenis

penggunaan lahan ini memiliki risiko kerugian materil dan non-materil yang paling

tinggi apabila terjadi tanah longsor.

Berdasarkan kriteria fisik, nilai ekonomi yang dimiliki oleh pemukiman,

gedung, dan sawah irigasi lebih besar dari tujuh jenis penggunaan lahan lainnya,

sehingga diberikan skor 3 karena nilai propertinya tinggi. Adapun untuk kriteria

manusia , ketiga jenis penggunaan lahan diberikan skor yang berbeda, yaitu skor

3 untuk pemukiman, skor 2 untuk gedung, dan skor 1 untuk sawah irigasi.

Penentuan skor untuk kriteria manusia didasarkan pada frekuensi aktivitas

manusia di ketiga jenis penggunaan lahan tersebut.

Selanjutnya untuk kriteria manfaat, seluruh jenis penggunaan lahan memiliki

manfaat yang cukup penting kecuali untuk tiga jenis hutan, rumput/tanah kosong,

dan tegalan/ladang. Jenis penggunaan lahan untuk pemukiman, gedung, dan

sawah irigasi bersasarkan kriteria manfaat masing-masing diberikan 3, 2, dan 3.

Penentuan skor untuk kriteria manfaat didasarkan aspek kegunaan atau utilitas

dari masing-masing jenis penggunaan lahan.

Selanjutnya, berdasarkan uraian di atas, diperoleh peta properti yang

dihasilkan dari penggabungan peta infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan

lahan. Peta properti dapat dilihat pada Gambar 18.

63

4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor

Penyusunan Peta Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara

dan Sumedang Selatan didasarkan pada Peta Properti dan Peta Bahaya Tanah

Longsor. Adapun Peta Properti merupakan penggabungan dari tiga peta, yaitu

infrastruktur, jaringan jalan, dan peta penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan

analisis keruangan terhadap keempat peta tersebut. Analisis ini dilakukan untuk

menentukan wilayah-wilayah yang memiliki risiko tanah longsor melalui buffer

(kecuali untuk peta bahaya dan penggunaan lahan). Setelah dilakukan buffer,

keempat peta tersebut diubah ke dalam format raster atau grid .

Nilai risiko tanah longsor dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor

dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan). Secara matematis,

nilai risiko tanah longsor dihitung dengan persamaan berikut :

PHR +=

dimana : R = risiko H = hazard (bahaya) P = properti

Perhitungan berdasarkan persamaan matematis di atas, menghasilkan nilai

risiko untuk menentukan kelas risikonya. Matrik perhitungannya secara lengkap

disajikan dalam Tabel 22 berikut.

Tabel 22. Matrik Penentuan Nilai Risiko Tanah Longsor

Nilai Properti Ting kat Potensi Bahaya

1 2 3 4 Kurang Rawan 1 2 3 4 5 Tidak Rawan 2 3 4 5 6 Rawan 3 4 5 6 7 Sangat Rawan 4 5 6 7 8

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh luasan wilayah

risiko tanah longsor yang terdiri atas empat kelas, yaitu tidak berisiko, kurang

berisiko , berisiko, dan sangat berisiko. Sebaran wilayah yang memiliki tingkat

risiko tanah longsor dapat dilihat dalam Gambar 19. Adapun kelas risiko dan

luasan tanah longsor yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan

Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 23.

�������� ��������

�������� ��������

�������� ��������

�������� ��������

������� �������

���������

���������

���������

���������

���������

���������

��������

��������

���������������� ������

�� ���

���� ��� �

�� ������ �

��������� �������

��������

��������

� �������

���������

���������

��������

���������

� �������

����������

���������������

�������� �

����������

���� ���� ��

� ������ ���

�������

� ����! ���

���������

���������

����

�� ����

������������

��������

��������

���� �� �� ����

��������

������������ ���� ������������� �������� ��������� ������� � � ������

�"#$%&'(�)��%#*"+,('

�+-*+.��%"('(&#�%"('(&#�/"+-*��%"('(&#�(0+&��%"('(&#

�+.+'��%1+2+.+-�+.+'��%'+ �

�+23+"�45��%.+��('(&#��+-+6��#-*'#"

�� ��� ������

�������� ������ �������� ������ ������� �����������

� � � �2

65

Tabel 23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya

Kelas Risiko Nilai Risiko Jumlah (Ha) Persentase (%)

Tidak Berisiko 2 – 3 883,62 6.84 Kurang Berisiko 4 7.962,27 61.67 Berisiko 5 3.496,85 27.08 Sangat Berisiko 6 – 8 568,2 9 4.40

Sumber : Data Primer (Diolah), 2006

Berdasarkan data dalam Tabel 23 dan Gambar 19, diketahui bahwa luasan

wilayah yang kurang berisiko terhadap tanah longsor seluas 7.962,27 Ha atau

61,67% dari total luas wilayah. Luasan wilayah yang termasuk dalam kategori

berisiko seluas 3.495,85 Ha atau 27,08% dari total luas wilayah Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Selanjutnya, seluas 883,62 Ha

(6,84%) termasuk wilayah yang tidak berisiko tanah longsor, serta sisanya seluas

568,29 Ha (4,40%) adalah wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor.

Berdasarkan administrasi wilayah, jumlah desa /kelurahan di Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan yang termasuk dalam kategori sangat

berisiko terhadap tanah longsor sebanyak 24 desa/kelurahan. Informasi ini

menunjukkan bahwa seluruh wilayah di kedua kecamatan memiliki daerah yang

termasuk dalam kategori sangat berisiko terhadap tanah longsor. Rincian wilayah

dan luasannya berdasarkan kelas risiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang

Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 24 .

Berdasarkan data dalam Tabel 24, terlihat bahwa Kecamatan Sumedang

Selatan (401,17 Ha) memiliki luas wilayah sangat berisiko terhadap tanah

longsor yang lebih luas dibandingkan dengan Kecamatan Sumedang Utara

(167,12 Ha). Wilayah yang sangat berisiko tanah longsor di Kecamatan

Sumedang Selatan secara dominan tersebar di enam desa/kelurahan, yaitu

Ciherang, Pasanggrahan, Kota Kulon , Regol Wetan, dan Cipameungpeuk,

masing-masing seluas 94,70 Ha, 94,49 Ha, 40,04 Ha, 36,07 Ha, dan 30,69 Ha.

Selebihnya, enam desa/kelurahan lainnya hanya memiliki luasan wilayah yang

sangat berisiko tanah longsor rata-rata sekitar 12 Ha.

Selanjutnya, wilayah di Kecamatan Sumedang Utara yang sangat berisiko

tanah longsor seluas 167,12 Ha, yang sebagian besarnya tersebar di enam

desa/kelurahan, yaitu Sirnamulya, Mulyasari, Situ, Kota Keler, Girimukti, dan

Margamukti, masing -masing seluas 36,36 Ha, 35,87 Ha, 18,28 Ha, 16,83 Ha,

66

15,66 Ha, dan 12,97 Ha. Adapun enam desa/kelurahan lainnya, hanya memiliki

wilayah yang sangat berisiko tanah longsor rata-rata sekitar 5 Ha.

Tabel 24. Tingkat Risiko Tanah Longsor dan Luasannya serta Jumlah Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan

No Kecamatan/Desa Tidak

Berisiko (ha) Kurang

Berisiko (ha) Berisiko

(ha) Sangat

Berisiko (ha) S Kejadian Longsor

Sumedang Selatan 1 Baginda 17.43 134.68 217.53 13.53 - 2 Ciherang 1.68 105.64 451.63 94.70 1 3 Cipameungpeuk 32.05 329.48 218.75 30.69 1 4 Cipancar 19.96 1,314.00 142.93 10.06 - 5 Citengah 10.78 1,226.60 271.79 4.97 1 6 Gunasari 53.01 594.82 122.57 33.18 2 7 Pasanggrahan 76.91 603.89 435.39 94.49 5 8 Regol Wetan 50.98 374.80 180.96 36.07 - 9 Kota Kulon 37.54 160.94 80.01 40.04 -

10 Meruya Mekar 6.74 502.51 90.39 1.10 - 11 Sukagalih 2.39 44.18 49.94 21.27 - 12 Sukajaya 9.05 916.41 456.94 21.09 -

Sumedang Utara 1 Jatihurip 24.00 65.29 25.22 10.61 - 2 Jatimulya 144.42 254.10 74.30 5.26 2 3 Kebonjati 19.13 16.05 7.29 0.08 - 4 Kota Kaler 59.89 191.05 113.60 16.83 - 5 Girimukti 8.36 93.67 29.59 15.66 - 6 Margamukti 62.82 317.67 55.36 12.97 - 7 Mekarjaya 76.54 90.58 26.75 4.86 1 8 Mulyasari 81.14 241.29 158.08 35.87 - 9 Padasuka 27.33 85.48 33.37 3.09 -

10 Sirnamulya 10.51 89.31 140.49 36.36 - 11 Situ 30.89 116.12 63.14 18.28 - 12 Talun 20.09 93.71 50.81 7.26 - Jumlah 883.62 7,962.27 3,496.85 568.29 Persentase (%) 6.84 61.67 27.08 4.40

Sumber : Data Primer (Diolah) , 2006

Secara umum, berdasarkan pengamatan lapangan dan hasil analisis risiko

tanah longsor sebagaimana tercantum dalam Tabel 24, menunjukkan bahwa

sebagian besar wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan

termasuk dalam kelas kurang berisiko terhadap tanah longsor, yaitu seluas

7.962,27 Ha . Luasan ini merupakan 61,67% dari luas wilayah total kedua

kecamatan tersebut.

Selain menyajikan data kelas risiko dan luasan wilayah risiko tanah

longsor, Tabel 24 juga memuat data mengenai jumlah kejadian longsor

67

berdasarkan desa/kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang

Selatan. Jumlah kejadian tanah longsor tersebut terjadi dalam periode 2002-

2005. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa dari 24 desa/kelurahan di

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, hanya tujuh desa/

kelurahan yang memiliki riwayat kejadian tanah longsor, yaitu Pasanggrahan

(5 kali), Gunasari dan Jatimulya (2 kali), serta Ciherang, Cipameungpeuk,

Citengah, dan Mekarjaya (masing-masing 1 kali).

Luas wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor dan jumlah

kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan

berguna untuk upaya mitigasi. Hal ini dimaksudkan agar wilayah yang memiliki

jumlah kejadian tanah longsor tertinggi dengan luas wilayah terbesar, perlu

prioritas dalam penanganannya, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat

diminimalisir apabila di wilayah tersebut terjadi tanah longsor.

Tingkat risiko longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang

Selatan ditentukan oleh tingkat rawan bahaya dan sebaran properti yang ada di

wilayah tersebut. Analisis terhadap daerah yang rawan tanah longsor dan yang

berisiko tanah longsor, diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan diantara

keduanya. Artinya, daerah yang rawan tanah longsor akan memiliki risiko apabila

daerah tersebut terjadinya tanah longsor. Hal ini terlihat untuk wilayah yang

sangat rawan tanah longsor, juga merupakan daerah yang sangat berisiko tanah

longsor. Fenomena ini berlaku untuk beberapa desa/kelurahan sebagaimana

disajikan dalam Tabel 25.

68

Tabel 25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan

No Desa/Kelurahan Sangat Rawan (Ha) Sangat Berisiko (Ha) 1 Baginda 192.19 13.53 2 Ciherang 480.50 94.70 3 Cipameungpeuk 195.26 30.69 4 Cipancar 106.46 10.06 6 Gunasari 82.69 33.18 7 Pasanggrahan 360.10 94.49 8 Regol Wetan 146.91 36.07 9 Kota Kulon 35.84 40.04

11 Sukagalih 46.00 21.27 12 Sukajaya 416.84 21.09 13 Jatihurip 14.30 10.61 14 Jatimulya 5.39 5.26 16 Kota Kaler 47.28 16.83 18 Margamukti 1.67 12.97 19 Mekarjaya 5.47 4.86 20 Mulyasari 125.50 35.87 22 Sirnamulya 140.44 36.36 24 Talun 33.25 7.26

Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)

4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kejadian tanah longsor di

Indonesia telah menimbulkan kerugian yang tak terhitung nilainya , mulai dari

hilangnya harta benda, rumah, dan tempat usaha, sampai dengan korban

meninggal yang mencapai angka puluhan bahkan ratusan jiwa. Kelemahan

utama dalam menghadapi kejadian tanah longsor pada umumnya adalah

ketidaksiapan dan tidak adanya data mengenai wilayah-wilayah yang rawan

terhadap bahaya tanah longsor. Tindakan baru dilakukan ketika kejadian tanah

longsor telah terjadi tanpa ada upaya pencegahan sama sekali.

Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu kiranya melakukan upaya mitigasi

sebagai bagian dari rangkaian sistematis penanggulangan kejadian tanah

longsor. Anwar (2003) menyatakan bahwa mitigasi merupakan suatu siklus

kegiatan yang secara umum dimulai dari tahap pencegahan terjadinya longsor,

kemudian tahap waspada, evakuasi jika longsor terjadi dan rehabilitasi,

kemudian kembali lagi ke tahap yang pertama. Pencegahan dan waspada adalah

merupakan bagian yang sangat penting dalam siklus mitigasi ini. Secara

skematis, mitigasi penanggulangan tanah longsor sebagaimana konsep di atas

dapat dilihat dalam Gambar 20.

69

Gambar 20. Tahapan Mitigasi Tanah Longsor

Dalam konteks tahapan mitigasi di atas, penelitian yang dilakukan di

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ini termasuk tahap

pencegahan dan waspada. Hal ini karena penelitian ini menganalisis wilayah

yang rawan terhadap bahaya tanah longsor untuk selanjutnya menetapkan

sebaran wilayah yang memiliki tingkat risiko apabila terjadi tanah longsor. Oleh

karena itu, mitigasi akan dilakukan terhadap kedua hasil analisis di atas, yaitu

untuk wilayah yang memiliki bahaya dan risiko tanah longsor. Dengan adanya

mitigasi ini, diharapkan dapat menjadi dasar untuk mengurangi bahaya dan risiko

tanah longsor.

Berdasarkan hasil analisis terhadap wilayah yang rawan terhadap bahaya

tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, diketahui

bahwa kedua kecamatan tersebut memiliki potensi daerah rawan longsor yang

tinggi. Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi

rawan bahaya sekitar 8.460,41 Ha (65,51%) dan kategori sangat rawan seluas

2.7 98,44 Ha (21,67%). Artinya, lebih dari dua pertiga wilayah Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan rawan terhadap bahaya tanah longsor.

Secara administrasi wilayah, daerah yang memiliki rawan bahaya terhadap tanah

70

longsor terdapat di Kelurahan Ciherang, Cipancar, Citengah, Pasanggrahan, dan

Sukajaya.

Dalam melakukan upaya mitigasi di kedua kecamatan tersebut terutama

untuk empat kelurahan di atas, harus lebih mendapatkan prioritas dalam

pengawasan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya tanah longsor. Mitigasi

harus mempertimbangkan faktor yang menyebabkan kerawanan tanah longsor,

yaitu kelerengan, jenis tanah, geologi, dan penggunaan lahan. Dari keempat

faktor penyebab tersebut, penggunaan lahan dan ke lerengan merupakan dua

variabel dominan yang membentuk sebaran potensi bahaya tanah longsor di

kedua kecamatan tersebut. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang dilakukan

sebaiknya mengacu kepada kedua faktor tersebut. Pada Tabel 26 dapat dilihat

rincian wilayah dengan faktor penyebab bahaya, potensi bahaya, tingkat risiko,

dan upaya penanggulannya secara umum.

Untuk faktor penggunaan lahan, upaya mitigasi yang dapat dilakukan

adalah penataan tata ruang wilayah dengan memperhatikan wilayah-wilayah

yang berpotensi terhadap bahaya tanah longsor. Selain itu, hal lain yang perlu

mendapat perhatian adalah perubahan penggunaan lahan, terutama lahan

pertanian menjadi pemukiman, dan industri.

Untuk faktor kelerengan, terutama di daerah Kecamatan Sumedang

Selatan yang sebagian wilayahnya memiliki kelerengan cukup terjal, upaya

mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembalikan fungsi hutan dan

hutan lindung di lereng-lereng bukit yang telah digunakan sebagai daerah

tegalan atau pertanian. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten

Sumedang dengan menanami kembali hutan di sekitar Gunung Palasari yang

telah mengalami kerusakan dalam rangka pengembalian fungsi hutan. Selain itu,

perlu membatasi pembangunan pemukiman di daerah yang rawan tanah longsor.

Berdasarkan hasil analisis terhadap wilayah yang memiliki risiko tanah

longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, diketahui bahwa

luas wilayah yang memiliki risiko (berisiko dan sangat berisiko) sekitar

4.065,14 Ha atau 31.48% dari luas wilayah kedua kecamatan tersebut. Dari

seluruh desa/kelurahan di kedua kecamatan tersebut, delapan desa/kelurahan

memiliki luas wilayah yang sangat berisiko, yaitu Ciherang, Pasanggrahan, Kota

Kulon, Regol Wetan, Gunasari, Sirnamulya, Mulyasari, dan Cipeumengpeuk.

Kedelapan desa/kelurahan tersebut memiliki rata-rata luasan wilayah yang

sangat berisiko tanah longsor sekitar 50 Ha.

71

Luasan dan sebaran wilayah yang memilki risiko tanah longsor ditentukan

oleh faktor adanya properti yang terkonsentrasi pada suatu area. Dalam

penelitian ini, sebagian besar wilayah yang termasuk dalam kelas berisiko dan

sangat berisiko terhadap tanah longsor merupakan wilayah perkotaan yang

memiliki kelengkapan properti dibandingkan dengan wilayah bukan perkotaan.

Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki risiko dilakukan dengan

mengurangi tingkat kerawanan tanah longsor pada wilayah yang berbatasan/

berdekatan dengan wilayah yang memiliki risiko tanah longsor. Artinya, upaya

mitigasi yang dilakukan adalah mitigasi terhadap daerah rawan terhadap bahaya

tanah longsor, karena pada dasarnya risiko tanah longsor ditimbulkan akibat

adanya bahaya tanah longsor.

Selain itu, mitigasi risiko tanah longsor pada wilayah -wilayah yang sangat

berisiko dilakukan dengan mengendalikan pembangunan (properti) sesuai

dengan daya dukung lingkungan. Pengendalian pembagunan (properti) pada

dasarnya bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko yang lebih besar apabila

terjadi tanah longsor. Hal ini karena properti yang sudah ada tidak mungkin

dikurang i atau dihilangkan untuk mengurangi risiko.

Pemanfaatan lahan juga merupakan salah satu parameter dalam

perhitungan risiko tanah longsor. Perubahan tata guna lahan yang tidak

terkontrol merupakan bentuk campur tangan manusia yang dapat meningkatkan

risiko terjadinya longsor. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman,

kegiatan ekonomi, atau infrastruktur akibat bertambahnya jumlah penduduk

dapat pula meningkatkan risiko apabila terjadi tanah longsor.

72

Tabel 26 . Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan

No. Kecamatan/Desa Lereng (%) Penggunaan Lahan Potensi Bahaya Tingkat Risiko Mitigasi

Sumedang Selatan 1 Baginda > 15 Semak/belukar,

sawah, tegalan, pemukiman

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian (persawahan). Sosialisakan daerah yang memiliki tingkat kerawan tanah longsor kepada masyarakat

2 Ciherang > 15 Sawah,tegalan, pemukiman

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Idem

3 Cipameungpeuk > 15 Semak, sawah, tegalan,pemukiman

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Idem

4 Cipancar > 30 Hutan Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Mengembalikan fungsi hutan yang telah digunakan sebagai daerah pertanian, karena daerah ini memiliki kemiringan cukup terjal sehingga rentan terhadap tanah longsor

5 Citengah > 30 Hutan, semak/belukar

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Mengembalikan fungsi hutan dan hutan lindung

6 Gunasari > 8 Hutan,semak/belukar, sawah, pemukiman

Rawan Kurang berisiko dan berisiko

Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian (persawahan).

7 Pasanggrahan 0 > 45 Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Idem. Pembangunan properti disesuakan dengan tata ruang wilayah dengan memperhatikan wilayah yang memiliki tingkat kerawan terrhadap tanah longsor.

8 Regol Wetan 0 > 45 Semak, sawah, tegalan,pemukiman

Kurang rawan -sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Idem

9 Kota Kulon 0 > 45 Sawah, pemukiman Kurang rawan -sangat rawan

Kurang berisiko Idem

10 Meruya Mekar > 30 Hutan, semak/ Belukar, tegalan

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko Mempertahankan fungsi hutan dan membatasi aktivitas penggunaan lahan un tuk tegalan/ladang.

11 Sukagalih > 15 Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian.

12 Sukajaya > 15 Hutan, semak/ Belukar

Rawan dan sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Mempertahankan fungsi hutan dan membatasi aktivitas penggunaan lahan untuk tegalan/ladang.

73

No. Kecamatan/Desa

Lereng (°) Penggunaan lahan Potensi Bahaya Tingkat Risiko Mitigasi

Sumedang Utara 1 Jatihurip > 15 Kebun, sawah,

pemukiman Kurang rawan -sangat rawan

Kurang berisiko Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas pe nggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian.

2 Jatimulya 0 – 15 Kebun, sawah, pemukiman

Kurang rawan dan rawan

Tidak berisiko dan kurang berisiko

Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah.

3 Kebonjati 0 – 8 Semak/belukar, sawah, pemukiman

Tidak rawan - rawan

Tidak berisiko Idem

4 Kota Kaler 0 – 8 Sawah dan pemukiman

Kurang rawan dan rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Idem. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.

5 Girimukti 0 – 8 Sawah dan pemukiman

Kurang rawan dan rawan

Kurang berisiko Idem

6 Margamukti 0 – 15 Sawah,pemukiman,semak/belukar

Kurang rawan dan rawan

Kurang berisiko Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah.

7 Mekarjaya > 15 Semak/belukar, sawah, pemukiman

Kurang rawan dan rawan

Kurang berisiko Idem

8 Mulyasari > 15 Sawah,pemukiman,semak/belukar

Kurang rawan -sangat rawan

Kurang berisiko dan berisiko

Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas penggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.

9 Padasuka 0 - 30 Sawah,pemukiman,semak/belukar

Rawan Kurang berisiko Idem

10 Sirnamulya > 15 Tegalan/ladang, semak/belukar

Rawan dan sangat rawan

Berisiko Idem

11 Situ 0 - 8 Sawah dan pemukiman

Rawan Kurang berisiko Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah.

12 Talun 0 - 45 Pemukiman, sawah, tegalan

Kurang rawan dan rawan

Kurang berisiko Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas penggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Penyebab utama pemicu terjadinya tanah longsor di Kecamatan Sumedang

Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas tiga faktor, yaitu kelerengan, jenis

tanah, dan penggunaan lahan. Selain itu, faktor pemicu utama lainnya adalah

curah hujan, namun dalam penelitian ini tidak dimasukkan dalam analisis

bahaya tanah longsor karena keterbatasan data dan cakupan wilayah

penelitian yang tidak terlalu luas.

2. Perhitungan risiko tanah longsor ditentukan dengan menggabungkan nilai

properti yang ada (infrastruktur, jaringan jalan, dan jenis penggunaan lahan)

dan tingkat bahaya tanah longsor.

3. Lebih dari separuh wilayah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang

Selatan merupakan daerah yang rawan terhadap tanah longsor, yaitu seluas

8.460 Ha atau sekitar 65,51% dari luas wilayah. Adapun luas wilayah yang

berpotensi sangat rawan terhadap bahaya tanah longsor sekitar 2.789 Ha

(21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%), dan tidak rawan sekitar 85 Ha

(0,66%).

4. Wilayah desa/kelurahan yang memiliki potensi bahaya longsor pada tingkat

sangat rawan paling luas adalah Desa Ciherang (480 Ha), Sukajaya

(416 Ha), Pasanggrahan (360 Ha), dan Citengah (271 Ha).

5. Sekitar 7.962 Ha atau 61,67% dari total luas wilayah Kecamatan Sumedang

Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah yang kurang berisiko

terhadap tanah longsor. Selanjutnya, luas wilayah yang berisiko adalah

3.496 Ha (27,08%), tidak berisiko seluas 883 Ha (6,84%), dan sangat

berisiko seluas 568 Ha (4,40%). Tingkat risiko tanah longsor ditentukan

berdasarkan nilai risikonya yang dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya

dan skor dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan).

6. Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki risiko tanah longsor dapat

dilakukan dengan mengurangi tingkat kerawaan tanah lngsor dengan

memperhatikan faktor utama pemicu bahaya tanah longsor.

75

5.2. Saran

1. Selain faktor bahaya dan nilai properti, perlu me masukkan faktor curah hujan

dalam penentuan tingkat risiko tanah longsor.

2. Untuk meminimalkan risiko yang diakibatkan oleh tanah longsor,

pembangunan sarana dan prasarana serta penggunaan lahan di Kecamatan

Sumedang Utara dan Sumedang Selatan tidak dilakukan pada daerah-

daerah yang memiliki bahaya tanah longsor. Hal ini dapat dilakukan melalui

penetapan tata ruang wilayah yang didasarkan pada peta rawan bahaya

longsor.

3. Untuk menghindari dan mengurangi tingkat risiko tanah longsor pada

wilayah-wilayah yang sangat berisiko, harus dilakukan pengendalian

pembangunan (properti) sesuai dengan daya dukung lingkungan.

4. Perlu kearifan dari manusia untuk meminimalkan bahaya tanah longsor

karena selain faktor alam, penyebab terjadinya bahaya tanah longsor juga

dapat dipicu oleh campur tangan manusia seperti pengundulan hutan, dan

pembangunan di lereng -lereng.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Laporan Singkat Hasil Pemeriksaan Bencana Gerakan Tanah di Kabupaten Sumedang,1985-2002. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Lingkungan, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Anwar, H.Z. 2003. Mengurangi Dampak Bencana Longsor.

http://www.unisosdem.org/ekopol detail.php?aid=5426&coid=2&caid=40 [03 Mei 2006]

Asriningrum, W. 2003. Indonesia Tidak Punya Peta Rawan Longsor.

http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=5426. [14 Agustus 2005]

Aronoff. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective . Ottawa, Canada: WDL Publications.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Kabupaten Sumedang Dalam Angka 2003. Sumedang : BPS.

Barus, B. 1999. Pemetaan bahaya longsoran berdasarkan klasifikasi statistik peubah tunggal menggunakan SIG. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2:7-16.

Burrough , P.A. 1986. Principle of Geographical Information Syistem for Land Resources Assessment. Clarendon Press. Oxford.

Carter, W.N. 1992. Disaster Management: A disaster manager’s handbook. Asian Development Bank. Manila.

Cooke and Doornkamp. 1990. Geomorphology in Environmental Management: A New Introduction. Clarendon Press. United Kingdom.

Cruden. 1991. A simple definition of landslide. Bulettin Int. Assoc. for Engineering Geology. 43:27 -29.

Danoedoro, P. 2001. Potensi Satelit untuk Kajian Banjir. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/28/iptek/pote22.html. [23 Januari 2006]

Goenadi, S.J., Sartohadi, H.C. Hardiyatmo ., D.S. Hadmoko ., dan S.R Giyarsih. 2003. Konservasi Lahan Terpadu Daerah Rawan Bencana Longsoran di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Pusat Studi Bencana Alam (PSBA)-Lembaga Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Karnawati, D. 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3 -TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.

Kotter, T. 2004. Disaster management and e-land management. GIM Int. 18:12-15.

77

Marwanta, B. 2003. Fenomena Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia pada tahun 2003. Bagaimana Penanggulangannya?. Year Book Mitigasi bencana 2003 P3TPSLK BPP-Teknologi. Jakarta.

Naryanto, H.S. 2001. Prinsip Dasar Bencana, Mitigasi dan Penanggulangan Bencana, Dalam Penanganan Bencana. Forum LPPS 43. LPPS-KWI Caritas Indonesia-CORDAID. Jakarta.

Nurhadi. 2005. Urgensi Sistem Mitigasi Bencana. http://www.penulislepas.com/print.php?id=1713_0_1_0 [23 Januari 2006].

Paripurno, E.T. 2004. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Longsor, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta

Purnomo, Y.D.W. 2003. Pola Sebaran Wilayah Rawan Longsor di Kabupaten Sumedang [Tesis]. Universitas Indonesia. Depok.

[Puslittanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Laporan akhir Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung, Jawa Barat Bagian Barat Berbasis Sistem Informasi Geografi. Bogor.

[UNDRO] Office of The United Nations Disaster Relief Co-Ordinator. 1991. Mitigating Natural Disasters Phenomena, Effect, and Options : A Manual for Policy Makers and Planners. United Nations. New York.

Smith, K. 2001. Environmental Hazards : Assessing Risk and Reducing Disaster. Routledge. London.

Suhendar, R. 1994. Terrain Maping Approach for Slope Instability Hazard and Risk Assessment Using Remote Sensing Techniques and GIS; A Case Study of North East Bandung and Lembang, West Java, Indonesia [Thesis]. ITC, Enscede, The Netherlands.

Suryolelono, K.B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc. [01 Maret 2005]

Sutikno. 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan Massa Tanah/Batuan. Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-17 September 1994. Kerjasama Fakultas Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta.

Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. [tidak dipublikasikan]

Sutikno. 2000. Penyuluhan Bencana Alam Gerakan TanahDirektorat Geologi Tata Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.