pemeriksaan protein

11
Pemeriksaan Protein & Proteinuria 1) Pemeriksaan Kualitatif a. Metode Sulfosalisilat Metode pemeriksaan urin ini menggunakan prinsip yaitu dengan penambahan sulfosalisilat pada urin (tanpa pemanasan) akan menimbulkan kekeruhan yang sifatnya menetap. Bahan yang digunakan adalah urin jernih, dan reagen yang digunakan adalah sulfosalisilat 20%. (PK, 2010) Positif palsu terjadi bila kekeruhan yang timbul hilang dengan pemanasan, urin mungkin mengandung urat atau karbonat. Negatif palsu terjadi bila urin terlalu encer. (PK, 2010) Penentuan protein urin metode sulfosalisilat ini memiliki berbagai kelebihan diantaranya adalah harga lebih murah, pembuatan reagen dapat disesuaikan dengan jumlah pasien sehingga lebih ekonomis, serta reagen yang mudah diperbarui. Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lebih lama. b. Metode Rebus atau Asam Asetat Metode ini menggunakan reagen asam asetat 6%. Terjadi positif palsu jika kekeruhan timbul oleh obat yang dikeluarkan lewat urin dan negatif palsu jika urin terlalu encer. Urin yang terlalu encer memiliki berat jenis rendah sehingga tidak baik digunakan dalam tes ini. Prinsip metode ini adalah dengan pemanasan akan menyebabkan denaturasi

Upload: rio-kurnia-gultom

Post on 02-Feb-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fdsfdsfdsfds

TRANSCRIPT

Page 1: Pemeriksaan Protein

Pemeriksaan Protein & Proteinuria

1) Pemeriksaan Kualitatif

a. Metode Sulfosalisilat

Metode pemeriksaan urin ini menggunakan prinsip yaitu dengan

penambahan sulfosalisilat pada urin (tanpa pemanasan) akan

menimbulkan kekeruhan yang sifatnya menetap. Bahan yang digunakan

adalah urin jernih, dan reagen yang digunakan adalah sulfosalisilat 20%.

(PK, 2010)

Positif palsu terjadi bila kekeruhan yang timbul hilang dengan

pemanasan, urin mungkin mengandung urat atau karbonat. Negatif palsu

terjadi bila urin terlalu encer. (PK, 2010)

Penentuan protein urin metode sulfosalisilat ini memiliki berbagai

kelebihan diantaranya adalah harga lebih murah, pembuatan reagen dapat

disesuaikan dengan jumlah pasien sehingga lebih ekonomis, serta reagen

yang mudah diperbarui. Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan

waktu yang lebih lama.

b. Metode Rebus atau Asam Asetat

Metode ini menggunakan reagen asam asetat 6%. Terjadi positif palsu

jika kekeruhan timbul oleh obat yang dikeluarkan lewat urin dan negatif

palsu jika urin terlalu encer. Urin yang terlalu encer memiliki berat jenis

rendah sehingga tidak baik digunakan dalam tes ini. Prinsip metode ini

adalah dengan pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein dan

terjadi presipitasi. Proses presipitasi dibantu oleh garam-garam yang ada

dalam urin atau sengaja ditambahkan. (PK, 2010)

c. Metode Tes Strip Urin

Tes strip urin digunakan untuk menentukan proteinuria berdasarkan

fenomena “kesalahan penetapan PH karena adanya protein”. Derajat

perubahan warna ditentukan oleh kadar protein dalam cairan, sehingga

perubahan warna menjadi ukuran semi kuantitatif pada proteinuri.

Indikator yang biasanya ada adalah tetabrom phenol blue, yanh

berwarna kuning saat berada pada PH 3 dan akan berubah warna menjadi

hijau sampai biru tergantung dengan kandungan protein urin didalamnya.

2) Pemeriksaan Kuantitatif

Page 2: Pemeriksaan Protein

Pemeriksaan kuantitatif menggunakan urin 24 jam dan harus asam.

Hasil pemeriksaan ini dibaca gram per liter urin. Metode yang digunakan bisa

dengan cara esbach yaitu dengan diencerkan 2-3 kali terlebih dahulu baru

dimasukkan dalam perhitungan. Namun cara ini memiliki ketelitian dan

ketepatan yang rendah, sehingga untuk mendapatkan hasil yang lebih baik

digunakan cara pengendapan protein secara sempurna.

3) Aplikasi Klinis

a. Sindrom Nefrotik

Sindrom Nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinis

glomerulonefritis ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥3,5

g/hari, hipoalbuminemia ˂3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.

(Prodjosudjadi, 2006)

Penyebab atau etiologi dari sindrom nefrotik terbagi menjadi dua, yaitu

:

a. Glomerulonefritis Primer

1. Glomerulonefritis lesi minimal

2. Glomerulosklerosis fokal

3. Glomerulonefritis membranosa

4. Glomerulonefritis membranoproliferatif

5. Glomerulonefritis proliferatif lain (Prodjosudjadi, 2006).

Page 3: Pemeriksaan Protein

b. Glomerulonefritis Sekunder

1. Infeksi : HIV, HBC, sifilis, malaria, skistosoma, TB, lepra

2. Keganasan : adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma

Hodgkin, mieloma multipel, dan karsinoma ginjal.

3. Penyakit jaringan penghubung : SLE, artritis reumatoid,

MCTD

4. Efek obat dan toksin : NSAID, preparat emas, penisilinamin,

probenesid, air raksa, kaptopril, heroin

5. Lain-lain : DM, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf

kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.

Pada anak, sindrom nefrotik diawali dengan pembengkakan wajah

yang kemudian diikuti pembengkakan seluruh tubuh. Sedangkan pada

dewasa, ditandai dengan edema anasarka, urin yang berbusa, dan

komplikasi trombosis, seperti trombosis vena dalam dari betis atau bahkan

embolus paru. Sindrom Nefrotik juga dikaitkan dengan pemakaian

NSAID dan menderita DM selama 10 tahun terakhir. (Cohen & Batuman,

2011)

Sindrom Nefrotik ini, dapat mengakibatkan berbagai komplikasi

diantaranya adalah : (Prodjosudjadi, 2006)

1. Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen

menjadi negatif, sehingga terjadi penurunan massa otot.

2. Hiperlipidemia dan lipiduria

3. Hiperkoagulasi yaitu sering ditemukannya komplikasi

tromboemboli.

4. Kadar vitamin D dan hormon tiroid yang terikat protein

menurun.

5. Infeksi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan

sistem

6. Gangguan fungsi ginjal

Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang

ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk

mengurangi proteinuria,mengontrol edema, dan mengobati komplikasi.

Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu

mengontrol edema. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg BB/hari dapat

Page 4: Pemeriksaan Protein

mengurangi proteinuria. Obat penurun lemak golongan statin seperti

simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,

trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL. (Prodjosudjadi, 2006)

Pengobatan spesifik pada sindrom nefrotik diberikan berdasarkan

penyakit dasar. Pada nefropati yang mengalami sedikit perubahan dan

glukokortikosteroid diberikan prednison.(Waldman, 2007) Namun jika

kambuh kembali dapat diganti dengan rituximab. Pada lupus nefritis,

digunakan prednison dan cyclophospamide.(Fervenza, 2010)

b. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktek

klinik sehari-hari dan merupakan penyebab pwnting penyakit ginjal tahao

akhir. Berdasarkan terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan

primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer jika penyakit dasarnya

berasal dari ginjal sendiri, sedangkan sekunder jika kelainan ginjal terjadi

akibat sistemik lain seperti DM, SLE, dll. (Prodjosudjadi, 2006)

Gejala klinis glomerulonefritis merupakan konsekuensi langsung

akibat kelainan struktur dan fungsi glomerolus, yaitu ditandai dengan

proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi

garam dengan akibat edema,kongesti aliran darah, dan hipertensi.

(Prodjosudjadi, 2006)

Untuk membantu diagnosis glomerulonefritis, diperlukan pemeriksaan

urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal. Selain itu,

pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA, dan anti-dsDNA,

antibodi anti-GBM, ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis

glomerulonefritis serta membedakan primer dan sekunder. Pemeriksaan

USG ginjal dan biopsi ginjal juga bisa dilakukan. (Prodjosudjadi, 2006)

Pengobatan spesifik pada glomerulonefritis ditujukan terhadap

penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas

penyakit. Obat-obat yang bermanfaat diantaranya adalah kortikosteroid,

siklofosfamid, klorambusil, azatioprin, prednison, prednisolon, dll.

(Prodjosudjadi, 2006)

a) Aplikasi Klinis Bilirubin Urin

a. Dubin Johnson-Syndrome

Page 5: Pemeriksaan Protein

Dubin-johnson syndrome pertama kali dikenal pada tahun 1954,

Penyakit ini merupakan penyakit dengan gangguan metabolisme bilirubin

yang diatur oleh kromosom autosom, penampakan pada hati terlihat gelap,

dengan ditandai hiperbilirubinia terkonjugasi dan dengan transaminase hati

yang normal (Habashi, 2006).

Cacat utama dalam Dubin-Johnson syndrome adalah mutasi pada

protein membran apikal canalicular bertanggung jawab untuk ekskresi

bilirubin, dan anion garam organik non empedu lainnya. Awalnya disebut

anion transporter beberapa canalicular organik (cMOAT), juga dikenal sebagai

multidrug resistensi protein 2 (MRP2) dan merupakan anggota dari

superfamili transporter ABC. gen yang mengkodekan transporter yang

ABCC2 dan ditemukan pada kromosom 10 (Kruh,2001).

Defek resesif autosomal protein pengangkut yang berperan dalam

ekskresi hepatoseluler bilirubin glukoronidamelewati membran kanalikulus

mengakibatkan para pasien memperlihatkan hiperbilirubinemia terkojugasi.

Selain memiliki hati yang berwarna gelap(akibat metabolit epinefrin polimer,

bukan bilirubin) dan hepatomegali, pasien tidak mengalami gangguan

fungsi(Crawford,2007).

Hiperbilirubinemia terkonjugasi yang diamati pada Sindrom Dubin-

Johnson merupakan hasil dari cacat transportasi bilirubin glukuronida

melintasi membran yang memisahkan hepatosit dari canaliculi empedu.

Pigmen yang tidak dikeluarkan dari hepatosit disimpan dalam lisosom dan

menyebabkan hati berwatna hitam,yang merupakan tanda dari sindrom Dubin-

Johnson, mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami, adalah kebalikan dari

rasio yang biasa antara produk sampingan biosintesis heme: kemih

coproporphyrin I, tingkat yang lebih tinggi dari tingkat coproporphyrin III.

Pada individu terpengaruh, rasio coproporphyrin III untuk coproporphyrin I

adalah sekitar 3-4:1 (Frank,1990).

Protein cMOAT/MRP2 dikodekan oleh gen tunggal-salinan kromosom

terletak pada 10q24, MRP2 memainkan peran penting dalam detoksifikasi dari

banyak obat yang dengan mengangkut berbagai senyawa, terutama konjugat

glutathione, glucuronate, dan sulfat., yang secara kolektif dikenal sebagai

produk tahap II biotransformasi. Tidak seperti anggota lain dari keluarga MRP

/ ABCC, MRP2 hanya diekspresikan pada domain membran apikal sel

Page 6: Pemeriksaan Protein

terpolarisasi. Selain hepatosit, MRP2 terletak di sel-sel tubulus proksimal

ginjal, enterosit, dan syncytiotrophoblasts plasenta. Energi yang berasal dari

ATP Sangat penting untuk fungsi sekresi dari MRP2. Mutasi di wilayah ATP-

mengikat mewakili proporsi yang signifikan dari cacat genetik yang diakui di

Dubin-Johnson syndrome (Jedlitschky,2006)

Pemahaman yang disempurnakan tentang biologi molekul sindrom

Dubin-Johnson berasal dari investigasi dari mutasi missense Delta (R, M). Hal

ini menyebabkan hilangnya 2 asam amino dari domain ATP-mengikat kedua

MRP2. Para MRP2 bermutasi Delta (R, M) dikaitkan dengan tidak adanya

glikoprotein MRP2 dari membran apikal hepatosit. Dalam mutasi ini,

glikosilasi protein hanya terjadi di inti, yang nantinya mengganggu

transportasi dari retikulum endoplasma ke membran hepatosit canalicular.

Protein bermutasi sensitif terhadap pencernaan endoglycosidase H di

retikulum endoplasma. selain itu proteasomes juga terlibat dalam degradasi

protein bermutasi (Keitel,2000).

Mekanisme diatas mengakibatkan defisiensi pengangkutan bilirubin

dihati, sehingga bilirubin terkonjugasi beredar dalam tubuh dan

mengakibatkan ikterus berkepanjangan, bilirubin terkonjugasi ini bersifat larut

air, nonoksik, dan hanya berikatan secara lemah dengan albumin, kelebihan

bilirubin terkonjugasi dalam plasma akan dikeluarkan melalui sistem ginjal

dan mengakibatkan bilirubinuria (Crawford,2007).

Page 7: Pemeriksaan Protein

Kruh GD, Zeng H, Rea PA, Liu G, Chen ZS, Lee K, et al. MRP subfamily transporters and

resistance to anticancer agents. J Bioenerg Biomembr. Dec 2001;33(6):493-501.

PK, Tim. (2010). Buku Petunjuk Praktikum Patologi Klinik Blok Nefro-Urinarius.

Purwokerto: FKIK UNSOED.

Prodjosudjadi, W. (2006). Sindrom Nefrotik. Dalam A. W. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I Edisi IV (hal. 547-549). Jakarta: FK UI.

Crawford, J. M. (2007). Hati dan Saluran Empedu. In S. L. Robbins, Buku Ajar Patologi

Edisi 7 (pp. 666-669). Jakarta: EGC.

Frank M, Doss M, de Carvalho DG. Diagnostic and pathogenetic implications of urinary

coproporphyrin excretion in the Dubin-Johnson syndrome. Hepatogastroenterology.

Feb 1990;37(1):147-51.

Fervenza FC, Abraham RS, Erickson SB, et al. Rituximab therapy in idiopathic membranous

nephropathy: a two year study. Clin J Am Soc Nephrol. 2010;5:2188-2198.

Habashi SL, Lambiase L R. Dubin-Johnson Syndrome. eMedicine from WebMD [serial

online]. October 2006;Available access at

http://emedicine.medscape.com/article/173517-overview. Recently access : 10.54.20

September 2011.

Crawford, J. M. (2007). Hati dan Saluran Empedu. In S. L. Robbins, Buku Ajar Patologi

Edisi 7 (pp. 666-669). Jakarta: EGC.

Jedlitschky G, Hoffmann U, Kroemer HK. Structure and function of the MRP2 (ABCC2)

protein and its role in drug disposition. Expert Opin Drug Metab Toxicol. Jun

2006;2(3):351-66.

Keitel V, Kartenbeck J, Nies AT, Spring H, Brom M, Keppler D. Impaired protein maturation

of the conjugate export pump multidrug resistance protein 2 as a consequence of a

deletion mutation in Dubin-Johnson syndrome. Hepatology. Dec 2000;32(6):1317-28.