pemberian suara, peran media, dan toleransi

25
BAB II PEMBAHASAN Pertayaan penting yang dimunculkan oleh para psikolog politik tentang keyakinan politik orang Amerika menyangkut tentang isu beberapa toleran orang Amerika terhadap pandangan- pandangan yang bertentangan dengan yang dimilikinya. Tidak perlu dikatakan, dalam suatu demokrasi, hal ini merupakan sebuah masalah yang sangat penting, karena cita-cita demokrasi tergantung pada suatu pemikiran bahwa bahkan pandangan- pandangan yang sangat tidak populer dapat diekspresikan tanpa ketakutan akan pembalasan dendam atau represi. A. Keyakinan, Nilai, Ideologi, Sikap, dan Skema Istilah keyakinan didefinisikan sebagai asosiasi yang diciptakan oleh orang-orang antara sebuah objek dan atribut-atributnya (Eagly & Chaiken, 1998). Definisi keyakinan lain yang berguna adalah “komponen kognitif yang ,menyusun pemahaman kita tentang keadaan hal-hal” (Glynn, Herbst, O’Keefe, & Shapiro, 1999: 104). Ketika keyakinan dikelompokkan bersama-sama, kami menyebutnya suatu sistem keyakinan. Kebanyakan orang di Amerika, misalnya, memiliki suatu sistem keyakinan tentang demokrasi yang mencakup keyakinan-keyakinan seperti “kebebasan berbicara merupakan suatu keharusan”, “orang- orang memiliki suatu hak untuk memutuskan siapa yang memegang kekuasaan politik”, dan “seleruh warga negara harus memiliki hak untuk memberikan suara”.

Upload: ezha-cyanq-gafar

Post on 28-Jan-2016

51 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

psikologi politik

TRANSCRIPT

Page 1: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

BAB II

PEMBAHASAN

Pertayaan penting yang dimunculkan oleh para psikolog politik tentang keyakinan

politik orang Amerika menyangkut tentang isu beberapa toleran orang Amerika terhadap

pandangan-pandangan yang bertentangan dengan yang dimilikinya. Tidak perlu dikatakan,

dalam suatu demokrasi, hal ini merupakan sebuah masalah yang sangat penting, karena cita-

cita demokrasi tergantung pada suatu pemikiran bahwa bahkan pandangan-pandangan yang

sangat tidak populer dapat diekspresikan tanpa ketakutan akan pembalasan dendam atau

represi.

A. Keyakinan, Nilai, Ideologi, Sikap, dan Skema

Istilah keyakinan didefinisikan sebagai asosiasi yang diciptakan oleh orang-

orang antara sebuah objek dan atribut-atributnya (Eagly & Chaiken, 1998). Definisi

keyakinan lain yang berguna adalah “komponen kognitif yang ,menyusun pemahaman

kita tentang keadaan hal-hal” (Glynn, Herbst, O’Keefe, & Shapiro, 1999: 104). Ketika

keyakinan dikelompokkan bersama-sama, kami menyebutnya suatu sistem

keyakinan. Kebanyakan orang di Amerika, misalnya, memiliki suatu sistem

keyakinan tentang demokrasi yang mencakup keyakinan-keyakinan seperti

“kebebasan berbicara merupakan suatu keharusan”, “orang-orang memiliki suatu hak

untuk memutuskan siapa yang memegang kekuasaan politik”, dan “seleruh warga

negara harus memiliki hak untuk memberikan suara”.

Nilai erat berkaitan, namun memiliki suatu komponen ideal. Keyakinan

mencerminkan apa yang kita pikirkan sebagai benar; nilai mencerminkan apa yang

kita harapkan terjadi, bahkan ketika saat ini tidak benar. Rokeach (1973) berpendapat

bahwa ada dua jenis nilai, yaitu:

1. Nilai akhir (terminal values), yaitu tujuan-tujuan

2. Nilai instrumental, yang menyetujui cara-cara untuk mencapai tujuan-tujusn

tersebut.

Sebagai contoh, orang Amerika menginginkan sebuah masyarakat yang aman dan

menginginkan polisi memelihara hukum dan ketertiban. Ini merupakan suatu nilai

akhir, suatu perhatian terhadap kesejateraan orang-orang.

Page 2: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

Nilai dan keyakinan erat berkaitan, dan ketika kita merujuk pada nilai dan

sistem keyakinan politik, kami menyebutnya suatu ideologi, yaitu merupakan “suatu

struktur yang sangat rumit, tersusun rapat, dan berkecakupan luas” dari sikap-sikap

dan keyakinan-keyakinan (Campbell, Converse, Miller & Stokes, 1964: 11). Nilai dan

ideologi politik orang Amerika berakar dari liberalisme Lockean (yakni ide-ide

filosofis John Locke) dan, meskipun sikap tentang banyak isu telah berubah dari

waktu ke waktu, nilai ini sebagian besar tetap sama, bahkan setelah lebih dari 200

tahun (McClosky & Zaller, 1984).

Sebuah konsep pokok dalam studi psikologi yang digunakan disini adalah

sikap, yaitu suatu sistem yang berlangsung lama, yang terdiri dari keyakinan positif

atau negatif, perasaan dan emosi afektif, serta kecenderungan tindakan yang menyusul

perihal suatu objek sikap, yaitu entitas yang sedang dievaluasi.

Konsep sikap memiliki tradisi yang panjang dalam studi mengenai opini

publik, namun diperkenalkan suatu konsep skema yang lebih akhir. Skema

didefinisikan sebagai suatu “struktur kohnitif yang mewakili pengetahuan tentang

suatu konsep atau jenis stimulus, termasuk atribut-atributnya dan hubungan-hubungan

diantara atrubut-atribut tersebut” (Fiske & Taylor, 1991: 8).

B. Kecanggihan Politik dan Pemberian Suara Di Amerika

Diawali pada akhir 1940-an, para peniliti yang bersenjatakan survei-survei

berangkat untuk menyelidiki karakteristik sikap politik orang Amerika. Mereka

tertarik tidak hanya pada seberapa canggih orang Amerika, namun juga pada

konsisten internal sikap-sikap mereka. Suatu demokrasi yang berfungsi menuntut

warga negara untuk membuat keputusan yang terinformasikan ketika mereka

memberikan suara.

a. Aliran Michigan

Studi pelopor tentang kecanggihan politik orang Amerika, The American Voter

(Campbell, Converse, Miller & Stokes, 1960, 1964), mengecilkan hati orang-orang

yang meyakini demokrasi seharusnya ditemukan pada warga negara yang berminat

pada, yang terinformasikan dan berfikir secara seksama tentang prinsip-prinsip

demokrasi dan isu-isu politik hari ini. Karena The American Voter didasarkan pada

hasil-hasil survei dari survei Research Center di University of Michigan, modelnya

tentang para pemberi suara Amerika dikenal sebagai aliran Michigan, atau model

Page 3: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

Michigan. Secara spesifik, para peneliti tersebut berminat untuk mengetahui apakah

orang-orang memiliki nilai-nilai yang secara konsisten liberal atau konservatif,

apakah nilai-nilai tersebut berkaitan dengan identifikasi dan loyalitas partai mereka,

dan dengan preferensi kebijakan mereka, serta bagaimana cara mereka menentukan

kepada siapa suara mereka akan diberikan.

Idealnya, oarang-orang harus mengetahui apa itu nilai liberal dan nilai

konservatif, posisi-posisi apa pada isu-isu politik penting yang merupakan posiisi

liberal dan posisi konservatif, partai mana yang mewakili prinsip liberal dan partai

mana yang mewaliki prinsip konservatif, dan kandidat-kandidat mana yang

mempertahankan isu-isu mana. Sebagai contoh, seseorang yang menentang

pemerintahan besar (suatu sikap ideologi konservatif) seharusnya juga memiliki suatu

kelekatan dengan partai Republik (suatu partai konserbatif di AS), memberikan suara

untuk kandidat-kandidat yang mendukung pandangan yang sama, dan menjadi

anggota dari kelompok-kelompok yang mendapatkan manfaat dari pemerintah

minimal. Selain itu, orang terebut seharusnya menyukai posisi konservatif lainnya

pada isu-isu yang lain, seperti perpajakan, hak-hak buruh, kekuasaan federal versus

negara, dan seterusnya. Jenis orang ini dapat dibenarkan untuk disebut ideologue.

Seorang ideologue liberal akan sama konsisten dengan sikap-sikap liberal sehubungan

dengan partai (Partai Demokrat), isu-isu, dan preferensi-preferensi kandidat. Seorang

ideologue dianggap sebagai seorang yang canggih secara polotis, dalam arti bahwa

orang yang demikian agaknya mengetahui hal-hal politik, dapat memahami dan

memproses informasi politik secara konsisten, dan akan membuat pilihan politik yang

sesuai dengan kepentingan pribadi, kelompok, dan berbasis nilai yang dimiliki.

Akan tetapi, yang dilaporkan oleh penulis The American Voter (Campbell et

al,. 1964) adalah bahwa sangat sedikit orang Amerika yang cocok dengan profil

sorang ideologue, yaitu seorang yang memahami perbedaan antara prinsip liberal dan

prinsip konservatif, dan yang akan menempatkan setiap partai dan isu disepanjang

dimensi-dimensi liberal dan konservatif. Mereka melakukan survei yang didalamnya

menanyakan kepada orang-orang yang mereka sukai dan tidak sukai mengenai partai-

partai dan kandidat-kandidat, serta mengodean survei tersebut perihal karakteristik

responsnya. Jika responden mengekspresikan kesukaan dan ketidaksukaan perihal

prinsip-prinsip ideologi,maka orang tersebut dianggap sebagai ideologue. Mereka

mengklisifikasikan orang-orang kedalam salah satu dari beberapa kemungkinan level

Page 4: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

konseptualisasi, atas dasar sikap utama yang digunakan untuk mengekspresikan

kesukaan dan ketidaksukaan tentang partai-partai dan kandidat-kandidat. Level

konseptualisasi responden yang kedua disebut “hampir-ideologue”. Orang-orang ini

mengklaim mengetahui perbedaan antara prinsip liberal dan prinsip konservatif,

namun kurang percaya diri, dan kurang mampu mengartikulasikan, prinsip-prinsip

tersebut. Level konseptualisasi berikutnya, level “kelompok manfaat”, yang ditempati

oleh orang-orang yang memandang isu-isu politik dalam konteks manfaat-manfaat

konkret bagi kelompok mereka, dibandingkan dengan manfaat-manfaat bagi

kelompok lainnya dalam masyarakat. Pada level ini “ada sedikit pemahaman tentang

rencana-rencana jangka panjang bagi perbaikan sosial, atau tentang filosofi dasar

yang berakat dalam sikap-sikap terhadap perubahan atau konsepsi-konsepsi abstrak

tentang struktur atau hubungan sebab akibat sosial dan ekonomi”. Level keempat

ditempati oleh orang-orang “karakteristik masa” (nature of times), yang tidak

memiliki konsepsi tentang ideologi, tidak ada pengenalan terhadap kelompok

kepentingan, dan yang ketika meraka memang berfikir tentang polotik, hanya

memikirkan perihal apakah masa baik atau buruk bagi diri mereka sendiri dan

keluarga mereka. Masa baik berarti bahwa partai presiden tersebut adalah baik; masa

buruk berarti bahwa partai politik presiden tersebut seharusnya diihukum.

Level terakhir adalah “ketiadaan konten isu”-level hadiah boobie (hadiah gurauan

untuk mereka yang kalah atau memilki skor terendah). Orang-orang ini, 22,5% tidak

mengetahui apapun tentang isu-isu politik dan melaukan pendekatan politik hanya

dalam konteks keanggotaan partai (tanpa ada pemahaman tentang posisi partai

tersebut pada isu-isu) atau daya tarik kandidat (rupa, religi, atau ketulusan, ketimbang

posisi-posisi isu) ketika mereka memiliki apaupun menyerupai sebuah pendapat

politik. Sedikit diantara orang-orang yang berada pada level konseptualisasi ini yang

merasakan pentingnya memberikan suara.

Secara khusus, The Changing American Voter (Nie, Verba & Petrocik, 1976),

meliputi pemilihan umum dari 1952 hingga 1976, dan menemukan bahwa sejalan

dengan politik menjadi lebih menarik pada tahun 1960-an, level konseptualisasi

meningkat perihal jumlah pada level tertinggi (mereka mengidentifikasikan 31%

ideologue), serta level konsistensi isu (yakni, orang-orang cebderung secara konsisten

mengambil posisi liberal atau posisi konservatif pada sejumlah isu). Sikap politik

Page 5: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

orang Amerika tidak memiliki suatu komponen negatif yang cukup canggih untuk

memahami abstraksi (pemisahan) sepeerti liiberalisme dan konservatisme.

Sikap-sikap yang memang dimiliki oleh orang Amerika tidak dibatasi

(constrained) atau konsisten, juga tidak stabil (stable), yaitu sama dari waktu ke

waktu (Converse, 1964). Perihal batas, hal ini berarti bahwa orang-orang tidak secara

konsisten tidak memiliki sikap liberal atau sikap konservatif: mereka mungkin

konservatif pada satu isu dan liberallisme pada isu lainnya. Tanpa suatu pedoman

ideologi pokok, kurangnya batas yang demikian tidaklah mengejutkan, namun

implikasinya dalam konteks kecanggihan politik orang Amerika adalah kontroversial.

Perihal stabilitas, Converse (1964) memperhatikan bahwa respon-respon terhadap

pertanyaan-pertanyaan tentang sikap untuk orang-orang tertentu tetap sangat stabil,

namun untuk orang lainnya, respon-respon tersebut berubah dengan suatu pola yang

tampaknya acak, Ia menyebut hal ini perubahan sikap model hitam dan putih.

Para penulis The American Voter, dan yang lainnya termasuk aliran Michigan,

menyajikan suatu model sikap-sikap politik, dan hubungan sikap-sikap satu sama lain,

yang menggambarkan sebab-sebab pemberian suara tersebut. Model ini disebut

corong kausalitas, dan model ini membedakan antara faktor-faktor atau sikap-sikap

jangka panjang yang mempengaruhui bagaimana orang Amerika memberikan suara

meraka (antara lain kelekatan dengan sebuah partai, atau identifikasi partai, dan

kelompok kepentingan) dan faktor-faktor jangka pendek (isu-isu dak karakteristik

pribadi kandidat-kandidat yang penting saat ini).

Identifikasi partai memiliki suatu pengaruh kuat terhadap bagaimana cara

orang-orang memberikan suara mereka, khususnya pada orang-orang yang secara

intens mengidentifikasikan diri dengan partai mereka. Identifikasi partai diigunakan

untuk menyaring informasi dan mewarnai interpretasi pemilih tentang isu-isu dan

kandidat-kandidat.

Aliran Michigan mengembangkan sebuah rumus untuk menganalisis dampak

keanggotaan partisan, isu-isu, dan karakteristik kandidat pada setiap pemilihan unum.

Karena keanggotaan partisan merupakan suatu faktor jangkan panjang yang

memengaruhui pemberian suara, mereka berfikir bahwa suatu pemilihan umum yang

di dalamnya orang-orang memberikan suara menurut identifikasi partainya, dan yang

didalamnya para independen terbagi rata antara kedua partai, bisa dianggap sebagai

Page 6: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

suatu dasar, atau suatu pemilihan umum tipikal yang ideal. Mereka melebel pemilihan

umum yang demikian sebagai pemberiian suara normal (normal vote)

(Converse. 1966). Para analisis pilihan rasional, yang bukan para Psikolog politik,

berpendapat bahwa orang-rang memberikan suara atas dasar isu-isu dalam konteks

perhitungan kepentingan pribadi, dan bahwa keanggotaan partisan itu sendiri

merupakan sebuah kolase dari kekuatan-kekuatan jangka pendek dan jangka panjang.

b. Aliran Maksimalis

Model Michigan bukan merupak akhir kata tentang kecanggihan pemilih amerika.

Lane (1996; juga Lane & Sears, 1964) dan peneliti lainnya memiliki suatu evaluasi

yang lebih optimis tentang kualitas dan kuantitas pengetahuan politik yang dimiliki

dan dicari oleh orang Amerika. Mungkin tantangan psikologi politik terbesar bagi

aliran Michigan adalah aliran Maksimalis. Aliran Maksimalis mempertahankan

bahwa model Michigan tersebut merupakan suatu gambaran minimalis tentang

pandangan dunia politik Amerika. Mereka berpendapat bahwa, mmembahas dalam

cara yang berbeda, orang Amerika jauh lebih canggih secara politis ketimbang apa

yang dipertahankan oleh model Michigan.

Stimson, dan kemudian Neuman (1986), berpendapat bahwa msalah pada

model Michigan adalah bahwa model ini mencoba memperlakukan politik sebagai

satu kelompok, namun dalam realitas terdapat banyak variasi pada publik. Neuman

(1986) mempertahankan bahwa ada tiga publik yaitu:

1. Orang-orang yang memiliki kecanggihan politik (sekitar 5%), yang mengetahui

banyak hal tentang politik dan yang sangat aktif;

2. Mayoritas (sekitar 75% publik), yang memiliki pendidikan tinggi dan, sebenarnya

memilki kemaampuan kognitif, namun sering kali tidak secara kuat termotivasi

untuk menggunakannya dalam dunia politik;

3. Orang-orang yang sesungguhnya apolitis (sekitar 20% populasi), yang tidak akan

pernah berminat untuk melibatkan diri dari kekurangan kapabilitas untuk menjadi

demikian, bahkan jika mereka menginginkannya.

Aliran Maksimalis meragukan premis-premis dasar model Michigan tentang

bagaimana cara orang-orang berfikir tentang politik (komponen kognitif), dan mereka

menambahkan pentingknya afek kedalam proses pemikiran tentang politik

Page 7: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

(Sniderman et al., 1991). Argumen mereka mempertahankan bahwa asumsi aliran

Michigan, bahwa orang-orang mengorganisasikan pemikiran politik mereka dalam

suatu cara linier (liberal hingga konservatif), mengalihkan atensi dari bagaimana cara

orang-orang sesungguhnya berfikir tentang politik.

Sniderman dan Tetlock (1986) berpendapat bahwa pandangan minimalis ini

tentang struktur sistem keyakinan mengasumsikan bahwa struktur sistem keyakinan

memang dan seharusnya diorgansasikan pada sebuah garis lurus disepanjang

kontinum liberal-konservatif. Sniderman dan Tetlock (1986) berpendapat bahwa bisa

terdapat banyak ataupun hanya beberapa daerah keyakinan seperti itu, bergantung

secara kognitif, pada gilirannya, bergantung pada seberapa terampil seseorang pada

pemikiran abstrak. Dari perspektif ini, mereka menentukan bahwa sepertiga lainnya

adalah terorganisasikan dengan baik (teratur), sedikitnya dalam konteks nilai-nilai

dasar orang Amerika berkenaan dengan demokrasi dan kapitalisme.

c. Struktur Pengetahuan

Sebuah pendekatan yang berkaitan terhadap konseptualisasi kembali kompleksitas

sikap membahas struktur pengetahuan. Dalam tinjauan teeakhir tentang literatur ini,

McGraw (2000) membagi kedalam tiga katagori, yaitu:

1. Bagaimana cara orang-orang secara mental mengorganisasikan informasi tentang

aktor-aktor politik;

2. Bagaimana struktur-struktur pengetahuan tersebut (misalnya, stereotip tentang

partai-partai politik) mempengaruhi pembelajaran dan keputusa tentang para

kandidat politik, dan;

3. Bagaimana cara sikap-sikap tentang isu-isu direpresentasikan didalam pikiran.

Lavine (2000) membagi literatur ini dengan agak berbeda, Ia berpendapat bahwa satu

kumpulan literatur mempertahankan bahwa sikap-sikap dipengaruhi oleh ingatan

orang-orang, apa yang mereka ingat kembali tentang seorang kandidat ketika mereka

memutuskan kepada siapa suara mereka diberikan dan apa yang mereka pikirkan

tentang isu-isu. Kumpulan literatur lain adalah yang mengulas pemrosesan informasi

online, yang didalamnya orang-orang memelihara sejumlah informasi yang terus

bergerak sejalan dengan mereka mambentuk sikap-sikap tentang isu-isu politik.

Page 8: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

Sama halnya, Judd dan Krosnick (1989), bersamaan dengan McGraw dan

Steenbergen (1995), berpendapat bahwa orang-orang memilki jaringan asosiatif,

yaitu struktur pengetahuan yang tertanam didalam ingatan jangka panjang, yang

terdiri dari simpul-simpul yang terhubung satu sama lain, yang membentuk suatu

jaringan asosiasi.

C. Pemrosesan Informasi dan Pemberian Suara

Sebuah pertanyaan pokok yang ditangani oleh penyelidikan struktur

pengetahuan menyangkut tentang bagaimana struktur tersebut digunakan untuk

memproses informasi dan membuat pilihan-pilihan politik, seperti bagaimana cara

mengevaluasi seorang kandidat dan kepada siapa suara diberikan.

Model jaringan asosistif berpendapat bahwa simpul-simpul dan hubungan-

hubungan dengan kekuatan yang lebih besar mudah dipanggil untuk pemikira dan

pemrosesan informasi ketimbang simpul-simpul dengan hubungan-hubungan yang

lemah (Judd & Krosnick, 1989; McGraw & Steenbergen, 1995). Aksebilitas skema

politik akan mempengaruhi bagaimana cara orang-orang berpikir apa yang mereka

waspadai. Skema yang lebih sering dan yang paling akhir digunakan akan segera

tersedia untuk digunakan kembali (Ottati & Wyer, 1993; Popkin, 1994). Skema

digunakan untuk menyaring informasi, yang menyediakan orang-orang suatu cara

untuk memutuskan informasi mana yang benar,tidak relevan, atau tidak benar. Skema

dan pengetahuan berbasis katagori, yaitu keyakinan-keyakinan yang sudah ada, yang

telah hadir didalam pikiran politik seseorang, juga digunakan sebagai suatu sumber

informasi pengganti ketika informasi saat ini, tentang suatu isu politik atau kandidat,

hilang.

Cara orang-orang memproses informasi politik dengan langkah-langkkah yang

agaknya dijalani oleh orang-orang yang penerimaan informasi, adalah sebagai berikut:

1. Informasi diterima, dan simpul atau skema yang sesuai disiapkan (primed)

2. Informasi dicocokkan dengan struktur pengetahuan dan simpul-simpul yang

sesuai

3. Informasi tersebut dinilai dan disimpan didalam ingatan

4. Evaluasi tersebut ditarik dari ingatan ketika individu diminta untuk membuat

keputusantentang tindakan politik (bagaimana cara memberikan suara, apa yang

Page 9: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

dipikirkan tentang suatu kebujakan, dll ) (Anderson, 1983; Brewer, 1988; Fiske &

Pavelchak, 1986; Graber, 1984; Lodge & Stroh, 1995; Ottati & Wyer, 1990).

Delli Carpini dan Keeter (1993, 1996) menemukan bahwa para elite politik

memilki jumlah informasi yang sungguh besar tentang politik dan sistem politik.

Lodge dan Stroh (1995) berpendapat bahwa dengan diperolehnya informasi

digunakan untuk meningkatkan, atau memperbarui, keyakinan-keyakinan tentang

seseorang kandidat atau sebuah partai, dan detail-detail informasi yang spesifik

dilupakan. Kesukaan dan ketidaksukaan dipengaruhi oleh informasi, dan diingat,

namun seseorang mungkin sangat kesulitan untuk menjelaskan apa yang mendasari

kesukaan atau ketiksukaan tersebut. Model pemrosesan informasi berbasis impresi

ini, ingatan, dan evaluasi tentang para kandidat politik berlawanan dengan model-

model yang lebih tradisional, yang mempertahankan bahwa orang-orang menyimpan

bukti yang mendukung evaluasi-evaluasi mereka didalam ingatan.

Sejumlah heuristis, struktur pengetahuan, dan skema yang berbeda-beda

penting dalam pemprosesan informasi politik (Lau, 1986; Ottati & Wyer, 1990; Rahn

et al., 1990). Ada banyak heuristis berbeda yang berfungsi sebagai jalan pintas dalam

pemprosesan informasi dan penilaian-penilaian politik. Fiorina (1981) menyajikan

bukti tentang heuristik pemberian suara yang retrospektif, yang didalamnya para

pemilih membuat keputusan-keputusan tentang para kandidat saat ini untuk perolehan

jabatan berdasarkan kinerja masa lalu para kandidat tersebut.

Heuristik merupakan salah satu bentuk jalan pintas mental, dan skema adalah yang

lainnya. Diantara skema-skema terpenting orang Amerika adalah skema-skema

keanggotaan partisan, isu, dan kandidat. Peran dari masing-masing jenis skema ini

sulit dipisahkan, karena skema-skema ini berinteraksi satu sama lain.

Skema dan sikap tentang isu-isu menyusun tiga elemen penting pandangan

tentang politik orang Amerika. Suatu isu adalah suatu perselisihan tentang kebijakan

publik. Popkin (1994) berpendapat bahwa isu-isu efektif dalam melancarkan suatu

kampanye untuk perolehan jabatan hanya ketika para pemilih melihat hubungan-

hubungan:

Antara isu tersebut dan jabatan tersebut

Antara isu tersebut dan kandidat tersebut

Page 10: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

Antara isu tersebut dan manfaat-manfaat yang penting bagi mereka.

Akibatnya, bagaimana cara isu-su dirumuskan oleh para kandidat untuk perolehan

jabatan membuat suatu perbedaan besar perihal apakah iya atau tidak, dan bagaimana

cara publik akan meninjau isu-isu tersebut (Gamson, 1992; Nelson & Oxley, 1999;

Popkin, 1994; Zaller, 1992). Kerangka isu merupakan “definisi, penyusunan, atau

penggambaran alternatif tentang sebuah masalah kebijakan”(Nelson & Oxley, 1999:

1041).

Banyak diantara pola pemprosesan informasi ini yang digabungkan bersama-

sama dalam How Voters Decide (2006) oleh Lau dan Redlawsk. Mereka mencatat

empat model pengambilan keputusan yang biasanya ditemukan dalaml literatur ilmu

politik, yaitu:

a. Model Pilihan Rasional (Rational Choice), yang didalamnya diasumsikan bahwa

orang-orang secara seksama mengevaluasi seluruh informasi dan membuat pilihan

pemilih berdasarkan kepentingan diri

b. Model Pengambilan Keputusan yang Menegaskan (Confirmatory Decision

Making), suatu model sosialisasi awal dan konsistensi kognitif yang pada

dasarnya disampaikan dalam American Voter, yang didalamnya orang-orang

memulai dengan identifikasi partai seorang kandidat dan kemudian secara pasif

mendapatkan informasi jangka pendek

c. Model Pengambilan Keputusan Cepat dan Sederhana (Fast and Frugal Decision

Making), yang didalamnya orang-orang mencari sedikit informasi spesifik tentang

hal-hal yang penting bagi mereka, dan mengabaikan segala hal lainnya

d. Model Pengambilan Keputusan Semiotomatis Intuitif (Semiautomatic Intuitive

Decision Making), suatu model rasionalitas yang dibatasi, yang didalamnya

orang-orang hanya mendapatkan sebanyak mungkin informasi yang mereka

perlukan untuk membuat keputusan pemberian suara dan tidak lebih dari itu.

Dimulai dengan pemikiran bahwa memproses seluruh informasi adalah melebihi apa

yang mampu dilakukan oleh orang-orang, Lau dan Redlawsk (2006) berpendapat

bahwa ada lima heuristik yang mungkin digunakan oleh para pemilih, yaitu:

Page 11: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

a. Heuristis rujukan afek (affect referral) adalah ketika orang-orang memberikan

suara mereka kepada seorang kandidat yang akrab bagi meraka dan sangat mereka

hormati

b. Heuristis persetujan (endorsement) mengacu pada suatu jalan pintas yang

didalamnya orang-orang memilih seorang kandidat yang telah disetujui oleh

orang-orang yang dipercaya oleh pemilih tersebut

c. Heuristis keakraban (familiarity) berperan ketika orang-orang akrab dengan satu

kandidat, namun tidak akrab dengan kandidat lainnya, dan sedikitnya mereka

netral terhadap kandidat tersebut

d. Heurisris kebiasaan (habit) adalah hanya memberikan suara dalam cara yang

sama seperti terakhir kali

e. Heuristis kemungkinan berhasil (viability) adalah pemilihan seorang kandidat

berdasarkan pada kemungkinan bahwa ia akan menang.

Ketika pemilih mengalami konflik antara preferensinya pada satu isu dan

preferensinya pada isu yang lain, mereka dapat menggunakan salah satu dari dua

strategi pengambilan keputusan, yaitu

a. Strategi kompensasi, yang melibatkan penempatan nilai-nilai positif atau negatif

secara sekasama pada masing-masing posisi.

b. Strategi nonkompensasi, yang pada dasarnya menghindari konflik tersebut

dengan cara tidak mendapatkan informasi menyeluruh.

D. Emosi dan Pemberian Suara

Pada 1993, Marcus dan MacKuen memublikasikan sebuah studi yang

menunjukkan pentingnya kecemasan dan antusiasme dalam pembelajaran dan

keterlibatan politik. Mereka berpendapat bahwa orang-orang tidak hanya merespon

para kandidat secara positif atau secara negatif (yakni, valensi), melainkan dengan

emosi-emosi yang spesifik. Dua emosi pokok dalam menanggapi peristiwa politik dan

para kandidat: ketakutan (kecemasan) dan antuasiasme. Antuasiasme mempengaruhi

keputusan kepada siapa suara diberikan, kecemasan meningkatkan pencarian

informasi tentang para kandidat. Ketika orang-orang tidak mengalami kecemasa,

mereka cenderung mengandalkan kebiasaan dalam menentukan bagaimana cara

mereka akan memberikan suara (misalnya, identifikasi partai). Dengan demikian,

Page 12: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

kecemasan memiliki suatu peran penting dalam pemprosesan informasi, dan

kecemasan menstimulasi pembelajaran.

Pemilihan Presiden Tahun 2008

Pemilihan umum pada 2008 di AS , yang menghasilkan suatu pemilihan orang

Amerika-Afrika pertama untuk kepresidenan Amerika, memberikan kita suatu

kesempatan untuk membahas elemen kognitif dan elemen emosi dalam pemberian

suara. Demokrat Barack Obama menang dengan 52% suara dari Republikan John

McCain 46% suara. Ribuan orang berlomba melintasi Grant Park di Chicago untuk

menonton Obama pada saat pidato kemenangannya, dan air mata kegembiraan begitu

banyak wajah menunjukkan emosi-emosi kuat yang dirasakan oleh para pendukung

Obama. Tentu saja, faktor-faktor jangka pendek sangat penting dalam menentukan

kebehasilan Obama. Ekonomi yang sedang berada dalam krisis pada Oktober 2008,

dan perang-perang di Afganistan dan Irak, yang terakhir ini ditentang oleh Obama,

semakin tidak populer. Presiden yang sedanng menjabat saat itu, George W. Bush,

adalah presiden yang paling tidak populer sepanjang sejarah, dan meskipun adanya

usaha-usaha John McCain, kampanye McCain tidak mampu memecah asosiasi publik

tentang McCain dengan pemerintahan Bush.

E. Perumusan Media Dan Opini Publik

Orang-orang terbatas perihal waktu dan atensi yang bisa atau ingin diabdikan

untuk politik. Mereka mengandalkan media untuk memberitahukan kepada mereka

isu-isu mana yang memerlukan atensi dan dalam bentuk apa. Hal ini dirujuk sebagai

pengaturan agenda. Studi telah menyelidiki jumlah penerimaan isu yang dilaporkan

dan menemukan korelasi kuat antara kuantitas liputan dan kepentingan yang dikaitkan

oleh publik dengan isu-isu (McCombs & Shaw, 1972).

Penjelasan atas pola ini didasarkan pada konsep psikologi penyiapan

(priming). Karena isu-isu politik jumlahnya banyak dan luar biasa kompleks, orang-

orang memerlukan bantuan dalam memutuskan isu-isu mana yang penting dan aspek-

aspek mana dari isu-isu tersebut yang perlu diperhatikan. Media berita menyediakan

panduan tersebut melalui penyiapan, yaitu menunjukkan kepada publik elemen-

elemen mana yang penting dari isu-isu (Glynn et al., 1999; Iyengar & Kinder, 1987).

Ketika membuat keputusan sehari-hari, orang-orang cenderung satisfice (hanya

memenuhi tuntutan minimum yang diperlukan), yaitu mereka membuat keputusan

Page 13: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

yang adekuat ketimbang secara optimal berdasarkan pada pertimbangan penuh atas

seluruh informasi yang relevan. Mereka juga melakukan hal ini ketika membuat

penilaian-penilaian politik. Sekali lagi media mamainkan suatu peran penting dalam

proses penyiapan, karena media menentukan isu-isu mana yang hadir pada bagian

terdepan. Liputan media dapat mempengaruhi kompleksitas kognitif evaluasi publik

tentang isu-isu. Milburn dan McGrail (1992) menemukan bahwa efek dari citra-citra

yang jelas dalam liputan berita adalah penurunan informasi yang diingat kembali oleh

penonton, serta penurunan kompleksitas kognitif pembahasan mereka tentang isu-isu

terkait.

Dalam sebuah argumen yang berkaitan, Patterson (1993) memerhatikan bahwa

para jurnalis beroperasi dengan skema yang berbeda dari skema yang digunakan oleh

para pemilih, yang pada gilirannya menghasilkan suatu pola tertentu dalam

perumusan isu-isu dan kandidat-kandidat pada saat berlangsungnya kampanye;

khususnya ia berpendapat, skema dominan para jurnalis “terstruktur disekitar

pemikiran bahwa politik merupakan sebuah permainan strategi, ketimbang ide-ide

yang berlawanan tentang isu-isu, kebijakan yang tepat, dan masalah prinsip. Di sisi

lain, publik berfungsi dengan skema yang memandang politik sebagai suatu arena

yang didalamnya kebijakan dibahas dan didalmnya para pemimpin dipilih yang akan

mencoba mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tertentu. Namun, Patterson

(1993) berpendapat bahwa karena skema permainan yang dimiliki oleh pers, fokus-

fokus berita mengubur dan mendistorsi substansi informasi yang disalurkan kepada

publik pada saat berlangsungnya kampanye.

Dalam sebuah demokrasi, seperti AS, salah satu masa terpenting yang

didalamnya media mungkin memengaruhi opini publik pada saat berlangsungnya

kampanye. Para kandidat menggunakan media sebagai bagian dari strategi kampanye

mereka untuk menyampaikan pesan kampanye, dan media juga melaporkan tentang

para kandidat, isu-isu, dan kampanye selaku pengamat independen. Dalam sebuah

studi terakhir tentang pemilihan umum 1992, Beck, Dalton, Greene, dan Huckfeldt

(2002) menemukan bahwa tidak ada pola bias yang jelas. Bahkan, mereka

berpendapat bahwa “kapanpun ada favoritesme keanggotaan partisan dalam laporan

atau editorial berita, tampaknya kecil pada kebanyakan kasus. Mayoritas orang yang

terespos acara televisi menerima pesan-pesan yang mendekati keseimbangan merata;

sama halnya, bias-bias dalam liputan surat kabar sering kali sedikit”. Mereka juga

Page 14: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

menemukan bahwa orang-orang yang sangat partisipan memersepsikan suatu bias

yang menentang kandidat-kandidat yang mereka sukai, bahkan ketika tidk ada bias

yang demikian.

F. Sosialisasi Politik

Studi-studi awal sosialisasi berfokus pada anak-anak. Studi-studi dilakukan

menyangkut pandangan mereka tentang figur-figur otoritas politik dan menyangkut

perolehan sikap-sikap politik mereka. Figur-figur otoritas pertama yang dikenali oleh

anak-anak, sejalan dengan mereka menyadari politik, adalah presiden dan polisi

(Easton & Dennis, 1973). Seiring anak-anak menjadi dewasa, kemampuan kognitif

mereka meningkat, dan pemikiran mereka tentang pemerintah dapat meningkat dari

istilah-istilah yang kongkret secara pribadi (misalnya, George Washington dan

bendera) ke gagasan-gagasan yang lebih abstrak, seperti institusi dan legislatif. Easton

& Dennis, (1973) berpendapat bahwa anak-anak melalui tahap-tahap sosialisasi

politik, yaitu:

a. Politisasi, yaitu belajar bahwa ada otoritas diluar keluarga dan sekolah;

b. Personalisasi, yaitu menjadi dasar akan otoritas, melalui individu-individu seperti

polisi dan presiden;

c. Idealisasi, yaitu keyakinan bahwa otoritas politik dapat dipercaya dan penuh

kebaikan;

d. Institusionalisasi, yaitu asosiasi dengan objek-objek yang mengalami

depersonalisasi, seperti pemerintahan.

Jennings dan Niemi (1974), misalnya menemukan bahwa para orang tua

menstransmisikan keanggotaan partisan kepada anak-anak mereka, meskipun

kelekatannya cenderung lebih lemah pada anak-anak mereka. Studi-studi sosialisasi

awal menyelidiki anak-anak justru karena mereka berfikir bahwa sosialisasi selesai

pada usia kira-kira 18 tahun, dan iulah sikap-sikap yang dipertahankan sepanjang

siklus kehidupan.

Para penulis juga menawarkan beberapa cara untuk “menciptakan kembali

sosialisasi sebagai suatu area studi yang dapat terus hidup dan bersemangat”, yaitu

dengan cara:

Page 15: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

1. Untuk banyak tujuan, lenyapnya apa yang merupakan perbedaan asrtifisial antara

mereka yang berusia dibawah 18 tahun dan mereka yang berusia 18 tahun dan

selanjutnya

2. Jalankan studi sosialisasi baru yang besar, yang dicurahkan sacara khusus bagi

studi tentang perubahan dan perkembangan antargenerasi dan masa muda.

3. Lakukan lebih banyak studi besar tentang masa muda dan lebi banyak melibatkan

diri dalam studi-studi baru pada tahap desain.

4. Lebih menaruh perhatian pada kelas-kelas sekolah menengah (high school) dan

perguruan tinggi (college) dan efek-efek yang dimungkinkan terhadap orang-

orang muda.

5. Berfikir lebih teorotis dan menulis tentang semua aspek sosialisasi.

6. Lakukan lebih banyak penelitian sosialisasi komparatif, terutama jika penelitian

ini berkontribusi bagi pemahaman kita tentang signifikan pembelajaran pada masa

awal kanak-kanak.

Dalam penelitian lain, Sigel (1995) menunjukkan bahw ada empat masalah pada

penelitian sosialisasi yaitu, kurangnya jelelasan konseptual, buruknya pemilihan

subjek, kurangnya atensi terhadap faktor-faktor historis dan budaya, serta metodologi

yang tidak tepat.

G. Toleransi Politik

Studi-studi menunjukkan suatu peningkatan toleransi antara 1954 dan 1973,

ketika studi besar lain (Nunn, Crockett, & Williams, 1978), sebagai usaha replika

terhadap studi Stouffer, dilakukan. Kini, 52% akan mengizinkan seseorang yang

mengaku komunis untuk berbicara di depan umum, dan 65% akan membiarkan

seorang ateis untuk berbicara. Akan tetapi, Sullivan, Piereson, dan Marcus

(1979,1982) berpendapat bahwa, meskipun toleransi terhadap komunis, ateis, dan

sosialis meningkat, hal ini mungkin hanya merupakan hasil dari berkurangnya

persepsi ancaman dari kelompk-kelompok ini.

Sullivan et al. (1982) pada dasarnya membuat suatu argumen bahwa toleransi,

atau kekurangannya, merupakan suatu posisi politik yang terdorong terutama oleh

emosi, ketimbang kognisi. Seseorang hanya dapat menguji tingkat toleransi dengan

mengamati sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok yang tidak disukai oleh

seseorang. Dengan demikian, seseorang yang berada diujung kiri spektrum politik,

Page 16: Pemberian Suara, Peran Media, Dan Toleransi

yang mengekspresikan suatu keinginan untuk memberikan kebebasan perseorangan

kepada seorang komunis, mungkin tidak mengekspresikan toleransi, karena orang

tersebut sejak awal tidak menyukai para komunis.