pemberdayaan masyarakat pesisir kabupaten pasuruan bab ii - dasar pemikiran

Upload: anjasisme

Post on 09-Oct-2015

32 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kajian Literatur yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat pesisir secara umum

TRANSCRIPT

  • 8

    II. DASAR PEMIKIRAN

    2.1. Kemiskinan 2.1.1. Pengertian dan Bentuk Kemiskinan

    Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang sering terjadi pada negara-negara dunia ketiga. Kemiskinan ditandai dengan keterbelakangan dan ketertinggalan, rendahnya produktivitas, selanjutnya meningkat menjadi rendahnya pendapatan yang diterima. Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di pedesaan atau di daerah-daerah yang kekurangan sumber daya.

    Friedmann merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi itu dirumuskan sebagai berikut:

    1) Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya).

    2) Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum seh at, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).

    3) Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.

    4) Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia.

    5) Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.

    Senada dengan itu Kuncoro (2006: 119) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Selanjutnya Situmorang (2008: 3), mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan .

    Di samping itu kemiskinan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yang terdiri dari: 1) Kemiskinan natural, 2) Kemiskinan kultural, dan 3) Kemiskinan struktural.

  • 9

    1) Kemiskinan natural Kemiskinan natural disebabkan oleh karena tidak memiliki sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Senada dengan itu Nasikun (2001: 20) menyebutkan kemiskinan natural lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam. Pada kondisi sumber daya manusia dan sumber daya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah.

    2) Kemiskinan kultural Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh gaya hidup seseorang atau kelompok masyarakat, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan serta budaya yang berlaku pada suatu tempat. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Selanjutnya Baswir (1997) dalam Bahri (2008: 14) mengatakan bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.

    3) Kemiskinan struktural Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor struktur sosial masyarakat pada suatu wilayah tertentu. Kemiskinan struktural biasanya terjadi dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya-raya. Mereka itu walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realitanya tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan minoritas kecil masyarakat yang kaya raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik (Mubyarto, 1995: 59). Munculnya kemiskinan struktural disebabkan kerena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakannya bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata,

  • 10

    kesempatan yang tidak sama, menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.

    2.1.2. Ciri-ciri Masyarakat Miskin Badan Pusat Statistik (2009) menyebutkan ciri-ciri masyarakat miskin kedalam 14 (empat belas) kriteria, yaitu:

    1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m per orang; 2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu

    murahan; 3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

    rendah/tembok tanpa diplaster; 4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah

    tangga lain; 5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air

    hujan minyak tanah; 7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu

    bakar/arang/minyak tanah; 8) Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam satu tahun; 10) Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam satu hari; 11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas; 12) Lapangan pekerjaan utama Kepala Rumah Tangga Petani dengan luas

    lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000.- (enam ratus ribu rupiah);

    13) Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; dan

    14) Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,-.

    Ciri-ciri kemiskinan berbeda antar wilayah, di mana perbedaan ini terkait pada kemiskinan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan setempat. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka dalam upaya penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah perlu terlebih dahulu digali penyebab

  • 11

    dan ciri-ciri dari kemiskinan masing-masing daerah. Sehingga program yang diluncurkan tepat sasaran.

    2.1.3. Indikator Kemiskinan Menurut Suryawati (2005: 124) menyatakan ada beberapa metode

    pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu: a. Biro Pusat Statistik (BPS). Tingkat kemiskinan didasarkan kepada jumlah

    rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi non makanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan).

    b. Sajogyo. Tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.

    Daerah pedesaan : a) Miskin : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 320 kg nilai tukar

    beras per orang per tahun. b) Miskin sekali : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 240 kg nilai

    tukar beras per orang per tahun. c) Paling miskin : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 180 kg nilai

    tukar beras per orang per tahun. Daerah perkotaan :

    a) Miskin : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

    b) Miskin sekali : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

    c) Paling miskin : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

    2.1.4. Faktor-faktor Kemiskinan Kemiskinan bukanlah suatu hal yang dikehendaki, akan tetapi lebih

    diakibatkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan orang terjebak ke dalam jurang kemiskinan, baik itu berupa faktor alamiah maupun faktor buatan manusia itu sendiri.

    Tidak semua orang sependapat dalam memberi jawaban atas sebab dari

  • 12

    kemiskinan. Secara umum banyak orang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah karena kemalasan, gaya hidup boros tidak memikirkan masa depan, pasrah pada keadaan, tidak punya keinginan untuk hidup lebih baik dan berbagai sikap yang tidak bertanggung jawab lainnya. Kemiskinan merupakan konsekuensi dari hidup yang penuh dengan persaingan, sehingga hanya yang kuatlah yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan. Artinya mereka-mereka yang mempunyai akses terhadap modal, pengetahuan, penguasaan teknologi dan informasilah yang berhasil dalam persaingan tersebut.

    Hardiman dan Midgley (1982) dalam Kuncoro (2006: 119) mengatakan Kemiskinan massal yang terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia ke II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar permasalahannya. Selanjutnya Sharp, et,al (1996) dalam Kuncoro (2006: 120) mengatakan penyebab kemiskinan bila diidentifikasikan berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah: Pertama ; secara mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua; kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung adanya diskrimanasi. Ketiga ; kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

    Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurske dalam Kuncoro (2006: 120) ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas, mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi kapada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat kepada keterbelakangan, dan seterusnya.

    Logika berfikir Nurkse tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut :

  • 13

    Produktivitas Rendah

    Ketidaksempurnaan Pasar,

    Keterbelakangan, Ketertinggalan

    Kekurangan

    Modal

    PendapatanRendah Tabungan

    Rendah

    Investasi

    Rendah

    Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse (Kuncoro, 2006: 120)

    Asnawi (1994) dalam Yenny (2006: 17) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: 1) faktor sumber daya manusia; 2) faktor sumber daya alam; dan faktor teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan, dependensi ratio, nilai sikap, partisipasi, ketrampilan pekerjaan, dan kesemuanya itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri.

    Selanjutnya Sigit (1993: 11) menjelaskan kesehatan yang baik, pendidikan dan ketrampilan yang tinggi akan dapat meningkatkan produktivitas dan selanjutnya akan dapat pula meningkatkan pendapatan. Selain itu tingkat pendapatan juga ditentukan oleh penguasaan aset produksi.

    Sejalan dengan itu, dalam hal tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan di laut latar pendidikan seseorang nelayan memang tidak penting. Artinya karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seorang nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan (Kusnadi 2002: 30).

  • 14

    Selanjutnya Kusnadi (2002: 19) pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan yang membelenggu nelayan tradisional di berbagai segi kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional disebabkan oleh sejumlah faktor kelemahan, yaitu: Pertama , sebab-sebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal yang mencakup; 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan; 2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diverifikasi usaha penangkapan; 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan.

    Kedua , sebab-sebab kemiskinan yang bersifat eksternal , mencakup: 1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pancemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; 4) penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen; 7) terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.

    2.2. Nelayan 2.2.1. Pelapisan Sosial Nelayan

    Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002: 17) pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni:

    Pertama , dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak- hak yang sangat terbatas.

  • 15

    Kedua , ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya.

    Ketiga , dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

    Susunan masyarakat nelayan baik secara horizontal maupun vertikal sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang dicapai. Posisi semakin strategis dalam organisasi kerja nelayan dan semakin besar pendapatan, semakin besar pula kemungkinan menempati posisi yang tinggi dalam stratifikasi sosial. Pendapatan semakin kecil dan semakin tidak strategis peranan dalam organisasi penangkapan ikan, maka semakin rendah pula posisi dalam masyarakat. Juragan laut dalam konteks seperti ini, akan senantiasa mempunyai posisi yang lebih tinggi dari pada nelayan pandega, demikian juga juragan darat akan menempati posisi yang lebih tinggi dari pada juragan laut (Masyhuri, 1996: 47).

    Menurut Wahyuningsih dkk (1997: 33) masyarakat nelayan dapat dibagi tiga jika dilihat dari sudut pemilikan modal, yaitu:

    1) Nelayan juragan . Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai tanah yang digarap pada waktu musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke (toke) atau cakong;

    2) Nelayan pekerja , yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap atau sawi (awak perahu nelayan). Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk

  • 16

    keperluan operasi penangkapan ikan, dan bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi;

    3) Nelayan pemilik merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana, karena itu disebut juga nelayan perorangan atau nelayan miskin. Nelayan ini tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik (angin barat).

    Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi Satria (2002: 28-29) menggolongkan nelayan ke dalam empat kelompok yaitu:

    Pertama; peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional seperti dayung, sampan yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota keluarganya sendiri sebagai tenaga kerja utama;

    Kedua ; post-peason fisher dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayanpun berubah dari peasant-fisher menjadi post-peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modern. Meski mereka masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lebih luas dan memiliki surplus untuk diperdagangkan di pasar;

    Ketiga; commersial-fisher , yakni nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya telah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya;

    Keempat; industrial fisher yang memiliki ciri-ciri: 1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara maju; 2) lebih padat modal; 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana; dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada keuntungan.

    Sejalan dengan itu Aldwin (2009: 194) menyatakan secara umum perahu penangkapan ikan nelayan tradisional dicirikan oleh sebagai berikut: Berbahan

  • 17

    kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga yang menggunakan layar sebagai pengganti motor tempel, panjang antara 5-8 meter, lebar 1-2 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah terbatas, ada yang menggunakan lampu badai (petromak) sebagai pengganti listrik, serta hanya mampu beroperasi di perairan sekitarnya. Ukuran modernisasi nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Selain itu wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai ( of shore ), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pentai ( in-shore ), (Sudarso, 2008: 6).

    2.2.2. Hubungan Kerja Nelayan Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk saling berhubungan antar

    sesamanya di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Karena manusia tidak dapat berdiri sendiri tanpa harus melakukan interaksi antara satu sama lainnya. Di mana dasar hubungan tersebut adalah dilakukan atas adanya kesadaran untuk saling mengenal, saling mengakui, dan saling berbuat. Sehingga terjalinlah suatu hubungan baik berbentuk vertikal maupun horizontal atau yang dikenal dengan jalinan sosial.

    Sejalan dengan itu Kusnadi (2002: 23) menyatakan jalinan sosial antar nelayan membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Pola Horizontal adalah hubungan sesama kerabat, saudara sedarah, dan bentuk-bentuk afinitas. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Sedangkan pola vertikal tergambar dalam interaksi nelayan yang membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya (juragan) dan tengkulak dengan nelayan miskin (buruh). Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak.

    Hubungan patron-klien banyak ditemukan di kehidupan petani proletar. Patron-klien melibatkan hubungan antara seorang individu dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan keuntungan bagi seseorang dengan status

  • 18

    lebih rendah (klien). Khusus untuk nelayan tradisional Aldwin (2009: 187) menjelaskan patron adalah toke ikan atau toke perahu yang lazim disebut dengan nelayan kaya. klien adalah nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya kepada toke ikan atau toke-toke perahu terutama saat laut pasang, sehingga mereka tidak boleh melaut.

    Selama masa menganggur itulah toke ikan atau toke perahu tetap menjamin kehidupan sehari-hari para nelayan tradisional dan keluarganya. Pola hubungan kerja di antara unit alat tangkap akan menentukan pola bagi hasil. Hasil penerimaan bersih dalam sistem bagi hasil, dibagi menjadi dua yaitu 50% untuk pemilik perahu dan 50% bagian pandega. Bagi hasil ini diperoleh dari penerimaan kotor yang telah dikurangi dengan retribusi, biaya operasi dan perawatan mesin. Bagian pandega 50% dibagi lagi sesuai dengan jumlah anak buah kapal yang turut melaut, sehingga penerimaan pandega tergantung dari jumlah tenaga kerja yang digunakan. Penerimaan yang diperoleh pandega pada satu unit alat tangkap akan semakin kecil jika tenaga kerja yang bekerja semakin banyak.

    Bagian pandega ini tetap 50%, berapapun jumlah pandega yang bekerja (Purwanti, 1994: 67). Dalam hal ini nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Bagi hasil ini berlaku pada setiap tingkat skala usaha penangkapan, bahkan dalam unit penangkapan modern, tingkat kesenjangan perolehan pendapatan antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh sangat besar. Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan buruh semakin kecil karena biaya operasi dan pemeliharaan peralatan tangkap cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung bersama antara nelayan pemilik dan nelayan buruh.

    Nelayan, khususnya yang tradisional, mempunyai perilaku yang khas dalam menjalankan usahanya, yakni perilaku yang mengutamakan pemerataan resiko usaha. Perilaku tersebut terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap usaha penangkapan ikan yang beresiko tinggi dan pola pendapatan yang tidak teratur. Perilaku adaptif tersebut, setelah melalui proses waktu, melembaga dalam bentuk institusi, dan merupakan bagian dari kebudayaan nelayan. Institusi-institusi yang dimaksud, yang merupakan aspek penting dalam pemberdayaan, adalah pola pemilikan kelompok atas sarana produksi dan sistem bagi hasil. Pola pendapatan nelayan tidak teratur menyebabkan perilaku mengutamakan pemerataan resiko tetap bertahan (Masyhuri, 2000: 29).

    Lebih lanjut Masyuri menjelaskan pola pemilikan kelompok dan pola pemilikan individu terhadap sarana penangkapan ikan mempunyai pengaruh besar

  • 19

    pada pendapatan nelayan. Pola pemilikan individu terhadap sarana produksi tersebut secara singkat dapat dikatakan dapat mendorong terjadinya ketimpangan pendapatan di antara nelayan. Pemilikan kelompok lebih mendorong terjadinya pemerataan pendapatan. Ketimpangan pembagian pendapatan ataupun pemerataan pendapatan pada prinsipnya berpangkal pada sistem bagi hasil yang mentradisi di kalangan nelayan.

    2.3 Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbagai program, proyek dan kegiatan telah dilakukan untuk mengentaskan

    nelayan dari kemiskinan. Namun ternyata jumlah nelayan kecil tetap bertambah. Karena itu meskipun banyak upaya yang dilakukan, umunya upaya-upaya tersebut bisa dikatakan belum memperoleh hasil yang memuaskan.

    Bengen (2001: 38) mengatakan ada lima pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat dilakukan dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Adapun kelima pendekatan tersebut adalah :

    (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga,

    (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri ( self financing mechanism ),

    (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna,

    (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Selanjutnya Bengen menjelaskan masing-masing pendekatan tersebut

    adalah sebagai berikut: Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi nelayan dilaksanakan untuk mengalihkan profesi nelayan atau sebagai tambahan pendapatan. Dengan kata lain, program diversifikasi pendapatan nelayan tidak hanya diarahkan untuk nelayan, tetapi juga bagi keluarga nelayan seperti istri atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya. Pengembangan pekerjaan alternatif bukan hanya dalam bidang perikanan, seperti pengolahan, pemasaran, atau budidaya ikan, akan tetapi juga diarahkan ke kegiatan non-perikanan. Pengembangan akses modal sangat penting karena pada dasarnya saat ini nelayan sangat sulit untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian serta risiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank

  • 20

    menyediakan modal bagi bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang disertai dengan status nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat mereka sulit untuk memahami syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti adanya jaminan. Dengan memperhatikan kesulitan yang dihadapi oleh nelayan akan modal, maka salah satu alternatif adalah mengembangkan mekanisme pendanaan diri sendiri ( self-financing mechenism ).

    Teknologi yang digunakan oleh nelayan pada umumnya masih bersifat tradisional. Karena itu maka produktivitas rendah dan akhirnya pendapatan rendah. Upaya peningkatan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan oleh nelayan, maka upaya yang dilakukan adalah pendekatan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar seperti eksportir komoditas perikanan. Keuntungan dari hubungan ini adalah nelayan mendapatkan jaminan pasar dan harga, pembinaan terhadap kualitas barang serta sering nelayan mendapat bantuan modal untuk pengembangan usaha. Pengembangan aksi kolektif sama artinya dengan pengembangan koperasi atau kelompok usaha bersama. Aksi kolektif dilakukan untuk membuka kesempatan kepada nelayan membentuk kelompok-kelompok yang diinginkan tidak semata-mata koperasi atau kelompok bersama. Aksi kolektif merupakan aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu.

    2.4 Analisis Faktor-faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional Dari berbagai penjelasan tersebut diatas, maka faktor-faktor kemiskinan

    dapat disimpulkan dan sekaligus dijadikan sebagai faktor-faktor kemiskinan nelayan tradisional yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

  • 21

    KEMISKINAN

    Faktor Kualitas Sumber Daya Manusia : Tingkat pendidikan Ketrampilan alternatif Pekerjaan Alternatif

    Faktor Ekonomi: Kepemilikan Modal Kepemilikan Tanah Tekonologi yang digunakan

    Faktor Hubungan Kerja Nelayan : Ketergantungan pada pemilik modal Sistem bagi hasil dengan pemilik

    modal Sistem bagi hasil dengan nelayan

    penumpang

    Faktor Kelembagaan: Peranan lembaga pemasaran Peranan lembaga penyuluhan Peranan lembaga perkreditan

    Gambar 2. Skema Faktor-faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional (Dirangkum dari Berbagai Sumber)

  • 22

    Nelayan Miskin

    Faktor Kemiskinan

    Faktor Kualitas

    SDM

    Faktor Ekonomi Faktor

    Hubungan

    Kerja Nelayan

    Faktor

    Kelembagaan

    Faktor Ekonomi

    2.5 Kerangka Pemikiran Kajian

    Gambar 3. Kerangka Pemikiran