pemberdayaan keterampilan beripikir tingkat...

10
PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT TINGGI DITINJAU DARI ASPEK EPIGENETIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN Sajidan 1 dan Afandi 2 Kepala Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Korespondensi e-mail: [email protected] Abstrak Berpikir tingkat tinggi ( Higher Order Thinking Skills/HOTs) merupakan keterampilan yang terbentuk sebagai interaksi antara faktor genetik (nature) berupa intelegensi dan faktor lingkungan belajar (nurture), sehingga HOTs cenderung bersifat dinamis dan berkembang secara eksponensial sejalan dengan pengalaman dan kematangan usia. Interaksi antara nature dan nurture ini sering dikenal dengan istilah epigenetik. Studi terbaru di bidang neuropsikologi menunjukkan bahwa pengaturan dinamis struktur kromatin terjadi sebagai respons terhadap stimulasi neural yang terkait dengan pembelajaran dan memori. Modifikasi kromatin yang diinduksi pembelajaran meliputi metilasi DNA, asetilasi histone, histone fosforilasi dan metilasi histone. Secara umum, epigenetik menunjukkan bahwa regulasi struktur kromatin sangat penting untuk konsolidasi memori jangka panjang (LTM), yang diketahui membutuhkan transkripsi gen baru. Formasi dan konsolidasi memori tergantung kondisi yang diberikan selama perlakuan dan pengkodisian belajar. Pengkondisian rasa takut misalnya menghasilkan peningkatan kadar asetilasi pada H3 lysine 14, fosforilasi pada H3 serin 10, trimethylation pada H3K4me3 di hippocampus dan peningkatan kadar dimetilasi heterokromatin pada H3 lysine 9, H4 lysine 12 serta pan-asetilasi H2B yang akan mendorong kecemasan dan mengurangi terbentuknya LTM. Hasil-hasil riset dibidang epigenetik inilah yang jika ditelaah lebih lanjut dapat berimplikasi terhadap pendidikan terutama terkait dengan proses pembelajaran yang dapat melatihkan keterampilan berpikir. Kata kunci: HOTs, Epigenetik, Memori, Kecerdasan A. Pendahuluan Topik yang membahas tentang memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir selalu menarik dan menjadi bahan diskusi yang panjang oleh para pakar dibidang psikologi dan biologi, baik dari sisi definisi, jenis, maupun standar pengukurannya. Umumnya, terdapat perbedaan sudut pandang antara apakah memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir merupakan nature (genetik) yang sifatnya menetap ataukah epigenetik yang sifatnya dinamis dapat berubah sesuai stimulus lingkungan (nurture) (Pinel, 2000 dan Dryden dan Vos, 2016). Perbedaan fundamental antara nature versus nurture inilah yang seringkali mengilhami munculnya riset-riset dibidang neuropsikologi dengan menggunakan sample kembar identik yang diuji melalui kesamaan fenotipe pada monozigotik dan dizigotik (Clark, Boutroz, & Mendez, 2010; dan Weaver, 2011). Jika dikaitkan dengan terminologi konseptualnya, perbedaan sudut pandang antara nature versus nurture dapat diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Dalam pandangan sebagai nature”, kecerdasan seseorang ditentukan dari gen yang diwariskan orang tua, sedangkan dalam pandangan sebagai “nurture”, tingkat kecerdasan dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan pada tingkat genetik, yang diaktivasi oleh keterampilan berpikir, latihan, tantangan, pola hidup, dan stessor lainnya (Pinel, 2000; dan Weaver, 2011). Kecerdasan umumnya merujuk kepada potensi yang dimiliki setiap individu sesuai dengan gen yang diwarisi yang mengaktivasi keterampilan berpikir seseorang, sedangkan keterampilan berpikir merupakan proses pendayagunaan kecerdasan secara optimal melalui pengayaan pengalaman (Santrock, 2011). Penghubung antara kecerdasan dan keterampilan berpikir ini terletak pada seberapa resisten memory dari pengalaman-pengalaman dapat disimpan dalam LTM.

Upload: hatruc

Post on 08-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT TINGGI DITINJAU DARI ASPEK EPIGENETIK DAN IMPLIKASINYA DALAM

PENDIDIKAN

Sajidan1 dan Afandi2

Kepala Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Korespondensi e-mail: [email protected]

Abstrak

Berpikir tingkat tinggi ( Higher Order Thinking Skills/HOTs) merupakan keterampilan yang terbentuk sebagai interaksi antara faktor genetik (nature) berupa intelegensi dan faktor lingkungan belajar (nurture), sehingga HOTs cenderung bersifat dinamis dan berkembang secara eksponensial sejalan dengan pengalaman dan kematangan usia. Interaksi antara nature dan nurture ini sering dikenal dengan istilah epigenetik. Studi terbaru di bidang neuropsikologi menunjukkan bahwa pengaturan dinamis struktur kromatin terjadi sebagai respons terhadap stimulasi neural yang terkait dengan pembelajaran dan memori. Modifikasi kromatin yang diinduksi pembelajaran meliputi metilasi DNA, asetilasi histone, histone fosforilasi dan metilasi histone. Secara umum, epigenetik menunjukkan bahwa regulasi struktur kromatin sangat penting untuk konsolidasi memori jangka panjang (LTM), yang diketahui membutuhkan transkripsi gen baru. Formasi dan konsolidasi memori tergantung kondisi yang diberikan selama perlakuan dan pengkodisian belajar. Pengkondisian rasa takut misalnya menghasilkan peningkatan kadar asetilasi pada H3 lysine 14, fosforilasi pada H3 serin 10, trimethylation pada H3K4me3 di hippocampus dan peningkatan kadar dimetilasi heterokromatin pada H3 lysine 9, H4 lysine 12 serta pan-asetilasi H2B yang akan mendorong kecemasan dan mengurangi terbentuknya LTM. Hasil-hasil riset dibidang epigenetik inilah yang jika ditelaah lebih lanjut dapat berimplikasi terhadap pendidikan terutama terkait dengan proses pembelajaran yang dapat melatihkan keterampilan berpikir.

Kata kunci: HOTs, Epigenetik, Memori, Kecerdasan

A. PendahuluanTopik yang membahas tentang memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir selalu

menarik dan menjadi bahan diskusi yang panjang oleh para pakar dibidang psikologi dan biologi, baik dari sisi definisi, jenis, maupun standar pengukurannya. Umumnya, terdapat perbedaan sudut pandang antara apakah memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir merupakan nature (genetik) yang sifatnya menetap ataukah epigenetik yang sifatnya dinamis dapat berubah sesuai stimulus lingkungan (nurture) (Pinel, 2000 dan Dryden dan Vos, 2016). Perbedaan fundamental antara nature versus nurture inilah yang seringkali mengilhami munculnya riset-riset dibidang neuropsikologi dengan menggunakan sample kembar identik yang diuji melalui kesamaan fenotipe pada monozigotik dan dizigotik (Clark, Boutroz, & Mendez, 2010; dan Weaver, 2011).

Jika dikaitkan dengan terminologi konseptualnya, perbedaan sudut pandang antara nature versus nurture dapat diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Dalam pandangan sebagai “nature”, kecerdasan seseorang ditentukan dari gen yang diwariskan orang tua, sedangkan dalam pandangan sebagai “nurture”, tingkat kecerdasan dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan pada tingkat genetik, yang diaktivasi oleh keterampilan berpikir, latihan, tantangan, pola hidup, dan stessor lainnya (Pinel, 2000; dan Weaver, 2011). Kecerdasan umumnya merujuk kepada potensi yang dimiliki setiap individu sesuai dengan gen yang diwarisi yang mengaktivasi keterampilan berpikir seseorang, sedangkan keterampilan berpikir merupakan proses pendayagunaan kecerdasan secara optimal melalui pengayaan pengalaman (Santrock, 2011). Penghubung antara kecerdasan dan keterampilan berpikir ini terletak pada seberapa resisten memory dari pengalaman-pengalaman dapat disimpan dalam LTM.

Page 2: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

Untuk menjembatani perbedaan paradigma nature versus nurture, para ahli kemudian melakukan kajian yang lebih mendalam dibidang neuropsikologi terutama bagaimana lingkungan mempengaruhi ekspresi gen pada tingkat molekular. Epigenetik muncul sebagai jembatan yang menghubungkan bagaimana gen terpengaruh oleh faktor lingkungan seperti gaya hidup, kebiasaan, pengalaman belajar, pola konsumsi, dsb. Epigenetik dalam hal ini juga bertindak sebagai penguhubung antara teori psikologi klasik dengan biologi modern yang membahas tentang kerja memori, kecerdasan, dan keterampilan berpikir. Artikel ini akan membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya dengan memori, kecerdasan dan keterampilan berpikir serta implikasinya dalam dunia pendidikan.

B. Pembahasan1. Tinjauan Mengenai Epigenetik

Penelitian neuropsikologi pada beberapa dekade terakhir ditandai dengan pesatnya perkembangan dalam kajian epigenetik. Beberapa pertanyaan terkait kompleksitas sel dan fungsi genetis saat ini telah dikaji dan ditemukan oleh para ilmuan. Bagaimana sebuah zigot tunggal berkembang menjadi organisme multiseluler yang kompleks yang terdiri dari puluhan jaringan yang berbeda dan ratusan jenis sel, yang secara genetis identik tetapi melakukan fungsi yang sangat berbeda? Bagaimana lingkungan mempengaruhi mekanisme selular dan mengubah fenotipe individu?. Untuk menjawab pertanyaan ini, seorang ahli perkembangan Biologis Inggris, Conrad Waddington (1957), mengembangkan kerangka teoritis untuk menjelaskan bagaimana genotipe yang identik dapat menghasilkan koleksi fenotip yang luas selama proses perkembangan, mendefinisikan epigenetika sebagai proses perkembangan yang menghubungkan sebuah genotip sel kepada genotipnya. Menurut Waddington, jawaban atas semua pertanyaan ini terletak pada ekspresi gen yang terdapat pada DNA – rantai materi genetik yang membawa informasi dari parental.

Kata “epigenetik” sendiri secara harfiah berarti perubahan dalam urutan genetik yang dipengaruhi oleh faktor dari luar gen (Waddington, 1957; Kang, 2013). Konsep mengenai epigenetic kemudian mengalami metamorphosis yang sangat cepat dari teori perkembangan yang bersifat abstrak menuju teori perkembangan selular dalam kerangka biologi molekular (Petronis & Mill, 2011). Konsep Waddington tentang “cakupan epigenetik” yang terkait dengan fenotipe, telah terwujud dalam studi kombinasi yang kompleks antara DNA dan modifikasi histone, yang secara bersama-sama bertindak untuk mengoordinasikan berbagai fungsi genetik dalam sel. Modifikasi ini dapat diwariskan, baik secara mitosis dan miosis, tetapi tidak melibatkan perubahan dalam urutan sekuen DNA (Petronis & Mill, 2011). Proses epigenetik ini terutama bertujuan untuk mengatur pola ekspresi gen, mengendalikan kerja gen, enzim dan hormon yang pada akhirnya secara bersama-sama terekspresikan dalam fenotipe individu (Waddington, 1957; Vinci, 2012). Epigenetik kontemporer ditujukan pada kajian metilasi DNA dan hidroksimetilasi, di samping sejumlah modifikasi histone yang bersama-sama memainkan peran penting dalam berbagai proses pengaturan di dalam inti sel (nukleus). Meskipun demikian, banyak jenis proses epigenetik telah diidentifikasi termasuk metilasi, asetilasi, fosforilasi, ubiquitylation, dan sumolyation.

Diantara banyaknya mekanisme epigentik tersebut, metilasi DNA-lah yang paling banyak dan mudah untuk dipelajari. Metilasi DNA merupakan penambahan atau penghilangan gugus metil (CH3) di mana basa sitosin terjadi secara berurutan dan dikatalisis oleh enzim yang dikenal sebagai methyltransferases DNA (Nakao, 2001; Mazzio & Soliman, 2012). Proses ini terjadi pada posisi 5-nukleotida-sitosin (C5) yang ditemukan di sebelah nukleotida guanin dalam urutan DNA yang dihubungkan oleh gugus fosfat untuk membentuk dinukleotida CpG dan membentuk 5-metil-sitosin (Haggartie, et al, 2010; Labrie, 2011; Kang, 2013). Modifikasi ini bertindak sebagai situs pengikatan untuk protein lain yang bertugas dalam menerjemahkan informasi dari protein lain untuk memodifikasi histon. Proses

Page 3: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

epigenetik penting lainnya adalah modifikasi kromatin dan kompleks protein (histone H3 dan H4) serta DNA yang terikat erat di dalam nukleus (Mazzio & Soliman, 2012; Kang, 2013). Kompleks ini dapat dimodifikasi dengan penambahan zat seperti gugus acetyl yang dilakukan oleh histone acetyltransferases (HATs) ke asam amino lisin pada ekor histone (proses yang disebut sebagai asetilasi), enzim, dan beberapa bentuk RNA seperti microRNAs dan RNAs. Modifikasi ini dapat mengubah struktur kromatin untuk mempengaruhi ekspresi gen (Kang, 2013).

Pola ekspresi gen yang menunjuk jenis sel spesifik disebut “epigenotype”, yang mampu mengubah ekspresi gen terlepas dari kode genetik yang mendasarinya. Cetak biru genomik, di mana gen diekspresikan hanya dari salah satu alel induk yang diwariskan, menunjukkan contoh khas dari regulasi gen selama fase epigenetik berlangsung. Meskipun genotipe sebagian besar sel organisme identik (dengan pengecualian gamet dan sel-sel sistem kekebalan), fenotip seluler dan fungsi genotipe antar organisme sangat berbeda, dan ini dapat diatur oleh regulasi epigenetik yang ditetapkan selama diferensiasi sel dan morfogenesis embrional. Regulasi ekspresi epigenotipe ini hanya dapat bekerja secara normal hanya jika urutan DNA dan komponen epigenetik dari genom berfungsi dengan baik. Dengan kata lain, sel membutuhkan baik DNA sebagai hardware dan epigenetik sebagai software untuk diwujudkan dalam bentuk fenotipe. Perlu diingat pula bahwa beberapa varian dari rantai DNA dapat mempengaruhi profil epigenetik secara lokal, misalnya, melalui proses seperti metilasi DNA alel spesifik. Demikian juga, modifikasi epigenetik dapat mempengaruhi nukleotida tertentu untuk menjadi lebih mutagenik daripada yang lain; misalnya, Cytosin (C) rentan termetilasi terhadap perubahan Tymin (T) dan deaminasi spontan.

2. Regulasi Mekanisme Epigenetik Pada Pembentukan MemoriOtak merupakan pusat dimana memori dibentuk dari setiap kejadian dan pengalaman

sepanjang kehidupan (Pinel, 2000). Memori memungkinkan kita memperoleh informasi baru dan menyimpannya di otak kita. Memori memungkinkan hewan berperilaku adaptif terhadap lingkungan yang berubah. Memori ini ada yang bersifat resisten dan ada pula yang bersifat sementara, tergantung pada formasi memori yang terlibat. Jika memori tersimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory/LTM) maka ingatan akan berlangsung lama dan bahkan menetap, sedangkan jika memori tersimpan dalam ingatan jangka pendek (short term memory, STM) maka ingatan akan mudah lenyap. Perbedaan keduanya terletak pada apakah pengalaman yang diperoleh diproses pada tingkat sellular di “engram memory” (sebuah istilah yang diciptakan oleh Richard Semon untuk melambangkan jejak biologis LTM) sampai kemudian di retrieval (dipanggil kembali) berdasarkan isyarat yang tepat (Tonegawa, Pignatelli, Roy, & Ryan, 2015; Kim & Kang, 2017).

Proses pembentukan memori diawali oleh adanya stimulus yang kemudian ditangkap oleh indra peraba untuk diteruskan di otak (korteks prefrontal). Ingatan jangka pendek akan diterjemahkan ke dalam ingatan jangka panjang di hippocampus, daerah otak yang lebih dalam. Setelah ingatan terbentuk, rantai reaksi biologis terjadi untuk menyimpannya dalam jangka panjang. Roberson & Sweatt (1999) menggambarkan reaksi ini sebagai “mnemogenik” - istilah yang didasarkan pada kata Yunani untuk pembentukan memori. Reaksi mnemogenik, seperti sintesis protein de novo dan modifikasi DNA-histone, secara kimia mengubah sistem biologis sehingga informasi yang diperoleh secara stabil terlindung dari perombakan protein (Day & Sweatt, 2010).

Aspek penting lainnya dari memori adalah perubahan kekuatan koneksi sinaptik. Fenomena ini disebut potensiasi jangka panjang (LTP), di mana koneksi sinaptik diperkuat dan sinapsis meningkat (Estevez & Abel, 2011; Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011). Penguatan sinaptik ini efektif selama beberapa jam dan membutuhkan sejumlah perubahan biologis. Pada sisi postsinaptik, pensinyalan glutamat melalui asam α-amino-3-hidroksi-5-

Page 4: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

metil-4-isoksazolepropionat dan reseptor N-metil-D-aspartat memicu aktivasi calmodulin-dependent protein (CaMKII) (Estevez & Abel, 2011; Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011; Kim & Kang, 2017). CaMKII adalah protein terkenal yang memicu proses pensinyalan sekunder yang memainkan peran sentral dalam mempromosikan plastisitas sinaptik.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bloker LTP, seperti inhibitor CaMKII dan inhibitor kinase yang diatur sinyal ekstraseluler ke dalam gangguan hippocampus menyebabkan gangguan tugas hippocampus (Kim & Kang, 2017). Ada dua jenis utama ingatan: ingatan jangka pendek, yang berlangsung selama beberapa jam, dan kenangan jangka panjang, yang bertahan selama beberapa hari atau lebih lama. Pembentukan memori jangka panjang membutuhkan proses yang diperlukan untuk menghasilkan RNAm baru dan protein yang berhubungan dengan plastisitas sinaptik. Fakta bahwa plastisitas neuron dapat diubah untuk waktu yang lama dapat dijelaskan oleh sintesis protein baru dalam sel somatik dimana transkripsi aktif membantu menjaga LTP dan konsolidasi memori (Gambar 1).

Agar dapat disimpan secara permanen, memori harus dapat mengatasi rentannya transimisi sinaptik pada tingkat selular terhadap gangguan eksternal. Untuk itu, memori akan berubah dari keadaan transien menjadi stabil selama memori di proses. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana memori bisa resisten oleh mekanisme regulasi epigenetik. Saat ini, riset-riset dibidang neuropsikologi semakin berkembang untuk menemukan bagaimana mekanisme regulasi yang menggarisbawahi pembelajaran dan memori terjadi di otak dan bagaimana pengalaman ditransformasikan ke dalam engram memori dan disimpan untuk waktu yang lama (Kim & Kang, 2017). Sejak tahun 1960-an, penelitian mengenai memori telah menemukan bukti akan pentingnya transkripsi gen dan sintesis protein dalam pembentukan memori jangka panjang. Dalam hal ini, mekanisme epigenetik khususnya metilasi DNA, bertanggung jawab dalam mengatur proses terjadinya LTM. Ini menunjukan bahwa mekanisme epigenetik dapat memberikan dasar molekuler yang sesuai untuk formasi dan regulasi memori, termasuk pemerolehan memori, konsolidasi memori dan retrieval memory (Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011). Dengan menggunakan tikus dan mencit sebagai sampel, para ahli neuropsikologi melakukan sejumlah test perilaku dibawah kondisi aversive dan axiogenic untuk mempelajari pengaruh hormon penyebab stress dan rasa senang (glucocorticoid, adrenalin dan noradrenalin) yang dihasilkan selama sesi pembelajaran (Kang, 2013).

Gambar 1. Mekanisme Selular LTP dalam Pembentukan Memori (Kim & Kang, 2017)

Mayoritas bukti yang menjadi dasar epigenetik dari hasil percobaan tersebut menemukan fakta bahwa proses formasi dan konsolidasi memori bergantung pada hippocampus yang terkait dengan peningkatan eurochromatin pasca modifikasi translasi histon dari ekspresi gen. Dalam hal ini, formasi dan konsolidasi memori melibatkan pembentukan modifikasi epigenetik yang berbeda tergantung kondisi yang diberikan selama

Page 5: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

perlakuan. Misalnya, pengkondisian rasa takut menghasilkan peningkatan kadar asetilasi pada H3 lysine 14 (H3K14), fosforilasi pada H3 serin 10 (H3S10), trimethylation pada (H3K4me3) di hippocampus (Levenson et al. 2004), dan peningkatan kadar dimetilasi heterokromatin pada H3 lysine 9 (H3K9me2), H4 lysine 12 (H4K12) serta pan-asetilasi H2B (Federman, Fustiana, & Romano, 2009). Adanya rasa takut berlebihan tersebut menginduksi H3 lysine 4 yang berbeda di hippocampus dibandingkan dengan korteks entorhinal, dan menghambat H3 lysine 9 di korteks entorhinal, tetapi tidak di hippocampus, dan pada akhirnya mendorong terjadinya formasi memori (Gupta, et al. 2010). Demikian pula, pengkondisian rasa takut dapat menghasilkan pola yang berbeda dari (Pos-Tranlational Modification (PTM) histone pada neuron hippokampus dan amigdala (Gupta, et al. 2010), menunjukkan bahwa gen yang sama dapat diatur secara diferensial oleh rangsangan di berbagai wilayah otak (gambar 2).

Studi lainnya menggunakan berbagai paradigma perilaku otak di luar hippocampus, terutama di amigdala, korteks prefrontal, korteks insular, dan striatum, terkait mekanisme epigenetik dalam pembelajaran dan memori menemukan kondisi dimana pengkodisian rasa takut dan penghargaan dapat meningkatkan terjadinya ekspresi modifikasi histopatologi histones di amygdala (Monsey, et al. 2011). Rasa takut dapat menekan terjadinya respon positif, sementara penghargaan dapat mendorong munculnya respon positif. Adanya keterlibatan epigenetik dalam berbagai tugas pembelajaran dan memori tersebut mengindikasikan perubahan yang resisten dalam fungsi dan perilaku saraf sebagai respon terhadap berbagai rangsangan lingkungan sementara. Jika ditarik benang merah, maka mekanisme epigenetik ini menjadi bukti kuat bahwa penghargaan dan perasaan yang menyenangkan dapat menginisiasi terbentuknya memori jangka panjang yang positif dalam pembelajaran.

Gambar 2. Mekanisme Epigenetik dalam Formasi MemoriSumber: Raul, Collins, & Guiterez-Metinaz, 2011

Apa yang terlibat dalam mekanisme epigenetik ini, pada dasarnya sejalan dengan teori Lamarckism tentang epigenetik. Menger (2017) dalam artikelnya Molecular Lamarckism: On the Evolution of Human Intelligence mengungkapkan bahwa epigenetik tidak terlibat langsung dengan seleksi alam, tetapi diturunkan dari generasi ke generasi melalui mekanisme adaptasi terhadap lingkungan. Dalam paparannya, Menger (2017) juga menerangkan bahwa mekanisme epigenetik terkait kecerdasan manusia tidak selalu terkait dengan mutasi DNA, melainkan sangat dipengaruhi oleh efek cranial feedback yang memiliki relasi dengan aktivitas otak dan dipengaruhi oleh pendidikan dan genome. Pendidikan yang dapat merangsang proses sinyal kimiawi diotak secara terus dapat bersifat menetap. Ini berarti melatih keterampilan berpikir secara kontinyu dapat memunculkan mekanisme cranial feedback yang pada akhirnya berdampak pada kecerdasan individu.

Page 6: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

3. Dapatkah Kita Mengatur Kecerdasan? Dalam Perspective Epigenetik Kecerdasan adalah kemampuan mental yang meliputi kemampuan untuk berpikir,

merencanakan, memecahkan masalah, berpikir secara abstrak, belajar dengan cepat dan memahami lingkungan. Meskipun demikian, definisi sesugguhnya mengenai apa itu kecerdasan sampai saat ini masih menjadi perdebatan pada rawa konseptual. Sebagai contoh, Thorndike menyatakan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memberikan tanggapan yang baik terhadap pertanyaan, sedangkan Terman menyatakan bahwa kecerdasan sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak. Meskipun demikian, para ahli umumnya sepakat bahwa adaptasi terhadap lingkungan adalah kunci untuk memahami baik apa itu kecerdasan dan apa yang dilakukannya. Untuk sebagian besar, adaptasi melibatkan membuat perubahan dalam diri sendiri untuk mengatasi lebih efektif dengan lingkungan, tetapi juga dapat berarti mengubah lingkungan atau menemukan yang benar-benar baru. Saat ini, terdapat empat paradigma yang paling berpengaruh dalam teori kecerdasan, diantaranya psikometri; psikologi kognitif, kognitivisme dan kontekstualisme, serta neuropsikologi yang mendasarkan kecerdasan pada aspek saraf.

Teori psikometrik umumnya didasarkan pada model yang menggambarkan kecerdasan sebagai gabungan kemampuan yang diukur dengan tes mental dan dapat dikuantifikasi. Spearman merupakan salah seorang tokoh pencetus teori psikometrik yang melabelkan kecerdasan dengan faktor “g” yang berarti general intelligence. Pendapat ini kemudian dibantah oleh Thurstone yang menyatakan bahwa terdapat 7 kemampuan mental utama, yakni: pemahaman verbal (pengetahuan kosakata dalam membaca), kelancaran verbal (menulis dan menghasilkan kata-kata), kecerdasan angka (penyelesaian komputasi numerik sederhana dan penalaran aritmatika), visualisasi spasial (memanipulasi objek), penalaran induktif menyelesaikan nomor seri atau dalam memprediksi), memori (ingatan), dan kecepatan perseptual (proofreading cepat). Untuk menjembatani debat tersebut, Cattel mengemukakan bahwa kecerdasan general (g) dapat dibagi menjadi 2 yakni: kecerdasan mengkristal (g) dan kecerdasan mengalir (g’). Kecerdasan mengalir merupakan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah yang dapat terus berkembang seiring pengalaman dan latihan, sedangkan kecerdasan mengkristal merupakan kemampuan yang relatif stagnan selama perkembagan kehidupan seperti kosakata, informasi umum, dan pengetahuan tentang bidang tertentu (McGregor, 2007). Tokoh lainnya yakni Guilford (1967) memandang bahwa kecerdasan sebagai sebuah hierarki dibandingkan subdivisi. Guilford dalam hal ini mengajukan 120 faktor yang mempengaruhi kecerdasan.

Teori kognitif yang dimotori oleh Cronbach, memandang bahwa kecerdasan sebagai representasi mental dari informasi yang dapat dioperasikan, seperti kemampuan representasi. Psikologis lainnya seperti Simon dan Newell mengajukan teori umum pemecahan masalah. Menurut keduanya, kecerdasan dapat diukur dari sejauh mana kemampuan seseorang dalam menangani dan memecahkan masalah secara terstruktur (McGreggor, 2007). Adapun teori konstektualisme kognitif yang dimotori oleh Gardner (1993), memandang bahwa kecerdasan sifatnya berganda, mencakup linguistic, logical-mathematical, spatial, musik, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal intelligence. Namun, baru-baru ini Gardner menambahkan 2 kecerdasan lainnya yakni emotional dan spiritual.

Meskipun terdapat perbedaaan antara para ahli tersebut, namun pada tataran aspek yang mempengaruhi kecerdasan, mereka umumnya sepakat bahwa faktor genetik dan lingkungan memainkan peran yang besar dalam pembentukan kecerdasan seseorang. Pertannyaanya kemudian adalah, sejauh mana faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi kecerdasan? Ataukah kedua faktor itu berinteraksi satu dengan lainnya dalam membentuk kecerdasan. Salah satu jawabannya terletak pada mekanisme ekspresi gen sebagai akibat dari faktor lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Olieviera dkk (2012) menemukan bukti

Page 7: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

bahwa faktor usia mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang, dimana penambahan usia sejalan dengan reduksi ekspresi gen DNA methyltransferase DNMT3a2 di hipocampus. Hasil penelitian serupa yang dilakukan Sniekers et al (2017) yang diterbitkan pada jurnal terkemuka Nature, menemukan bahwa setidaknya terdapat 3 gen yang signifikan genome terlibat dalam fungsi neuronal: SHANK3 terlibat dalam pembentukan sinaps, DCC mengkodekan reseptor netrin yang terlibat dalam memandu akson dan berhubungan dengan volume putamen, dan ZFHX3 dikenal untuk mengatur diferensiasi miogenik dan neuronal. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat gen yang paling kuat mempengaruhi kecerdasan terkait dengan epigenetik seperti sosial-ekonomi dan kesehatan adalah dengan rs2490272 (6q21) di wilayah intronik FOXO3 dan SNPs dalam promotor gen yang sama. Gen ini adalah bagian dari yang menyinyalkan jalur faktor 1 pertumbuhan insulin dan diyakini memicu apoptosis, termasuk kematian sel saraf sebagai akibat dari stres oksidatif.

Besarnya pengaruh lingkungan seperti sosio-ekonomi status, pola asuh, gaya hidup, dan kesehatan terhadap kecerdasan memunculkan paradigma baru bahwa gen kecerdasan yang secara spesifik diturunkan dari parental dapat dimodifikasi oleh setiap individu. Haier (2017) lewat bukunya yang berjudul The Neuroscience of Intelligence, menunjukan bahwa praktek pendidikan yang baik didukung oleh peran keluarga dan lingkungan mempengaruhi perkembangan genetik dan anatomi korteks pada otak yang pada akhirnya mendorong pencapaian akademik yang lebih baik. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson (dalam Haier, 2017) mengungkapkan peran lingkungan dalam perubahan ekspresi genetik KNCMA1, NRXN1, POU2F3, SCRT (gen-gen yang bertanggung jawab pada jalur neurotransmitter glutamate dan terkait dengan plastisitas otak, belajar, dan memori). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Hill (dalam Haier, 2017) yang mengungkapkan peran dari protein guanylate kinase dalam mengubah potensi neural di otak menjadi signal pemrosesan informasi.

4. Memberdayakan Keterampilan Berpikir: Implikasi Epigenetik dalam PendidikanSekolah pada dasarnya mengambil peran penting dalam perkembangkan hidup peserta

didik. Lebih dari 6 jam setiap harinya, aktivitas siswa dihabiskan di sekolah, dan ini tentu saja berpengaruh terhadap psikologi siswa. Lingkungan sekolah yang kondusif dan menyenangkan serta kompetitif mendorong siswa menjadi aktif dan kreatif dan yang terpenting penting adalah bagaimana membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang tepat yang dapat digunakan dalam memecahkan berbagai permasalahan dan tantangan yang akan mereka hadapi di masyarakat sosial (Afandi dan Sajidan, 2017), sehingga penting bagi sekolah untuk mampu memberdayakan berbagai keterampilan berpikir dalam pembelajaran sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan (gambar 3).

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana gen dipengaruhi oleh faktor lingkungan (termasuk lingkungan sekolah). Secara genetik, anak-anak yang dilatih dengan keterampilan berpikir akan mengalami perkembangan pada tingkat neuralnya. Melatih keterampilan berpikir secara simultan dapat memperkuat sinapsis antar neuron dalam sistem saraf siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Song et al (2008) misalnya terhadap 59 anak yang diberikan WAIS IQ test dengan tugas-tugas kognitif yang simultan dan berbeda tingkatan menggunakan MRI menunjukan pola-pola aktivitas otak yang berbeda-beda. Anak yang diberikan tugas kognitif yang stabil hanya mengaktivasi bagian spesifik otak, berbeda halnya dengan anak yang diberikan tugas kognitif yang rumit yang mampu mengaktivasi secara bersamaan kerja bagian-bagian otak. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Glasher (2010) menunjukan bagian-bagian spesifik otak yang berkerja pada organisasi percerptual, pemahaman verbal, kerja memori, dan kecepatan pemrosesan informasi (gambar 4).

Page 8: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

PT Self-learning

SMA/SMK

Pembelajaran yang menekankan pada aspek faktual, konseptual dan abstraksi serta melatih konsep, berpikir kritis,.kreativitas dan pemecahan masalah

SMP Pembelajaran yang menekankan pada aspek faktual dan konseptual, serta melatih konsep, berpikir kritis dan kreativitas

SD Pembelajaran yang menekankan pada aspek Faktual, Menyenangkan, dan melatih konsep serta kreativitas

TK Pembelajaran yang bersifat Sederhana, menyenangkan dan melatih kreativitas

Gambar 3. Hubungan antar Lingkungan, Peran Keluarga dan Jenjang Pendidikan dengan Keterampilan Berpikir

Gambar 4. Bagian-bagian otak yang terlibat dalam organisasi perceptual (A), Pemahaman verbal (B), Kerja memori (C), dan kecepatan pemrosesan informasi ( D)

Beranjak dari temuan hasil-hasil penelitian diatas, maka pembelajaran yang dapat menstimulasi keterampilan berpikir, khususnya keterampilan dalam berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah menjadi sangat penting dalam pendidikan dewasa ini. Dryden dan Vos (2016) mengungkapkan terdapat sembilan (9) kerangka baru pembelajaran dalam kaitannya dengan bagaimana nature dan nurture bekerja, yakni: (1) pembelajaran harus memperhatikan talenta siswa; (2) menekankan bagaimana neuroscience bekerja; (2) guru bertindak sebagai stimulator; (4) menekankan pada pengetahuan science terintegrasi; (5) mendorong kreativitas (6) memberdayakan penguasaan keterampilan; (7) memperkaya pembelajaran dengan keterampilan hidup (lifeskills); (8) menekankan pada learning by doing; (9) menjembatani pembelajaran dengan mendemonstrasikan hasil pengalaman belajar. Apa yang disampaikan oleh Dryden dan Vos tersebut kiranya tidak berlebihan jika menilik bahwa keterampilan berpikir harus senantiasa dilatihkan dan guru wajib mempertimbangkan bahwa efek dari nature dan nurture sangat kuat dalam keberhasilan pencapaian hasil belajar siswa. Hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Budsankorm et al (2015) menemukan keterkaitan antara HOTs dengan karakteristik psikologi, lingkungan kelas dan kecerdasan. Menurut Budsankorm (2015) intelektualitas dalam berpikir tingkat tinggi terkait erat dengan lingkungan kelas dan lingkungan keluarga yang dijembatani oleh kualitas psikologi siswa Hasil penelitian riset group IPA dan Pendidikan FKIP UNS, bahwa model-model pembelajaran berimplikasi kuat dalam pemberdayaan keterampilan berpikir tingkat tinggi

Page 9: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

siswa dengan Effect Size (ES) sebesar 0,78 (medium) sampai 1,096 (large) (Sajidan et al, 2017). Kesimpulan

Jika mekanisme seluler dan molekuler pembelajaran dan memori telah lama menjadi fokus utama neurologi dan biologi molekular, perhatian mengenai mekanisme epigenetik di balik perubahan dinamis dalam transkripsi gen yang bertanggung jawab untuk pembentukan dan pemeliharaan memori menjadi kajian menarik dalam beberapa dekade ini. Perlu diketahui bahwa mekanisme epigenetik seperti metilasi DNA dan modifikasi histone (metilasi, asetilasi, dan deasetilasi) telah terbukti memainkan peran penting dalam pembelajaran dan memori. Kajian lebih lanjut bagaimana pembelajaran terutama terkait keterampilan berpikir tampaknya masih menjadi topik menarik bagi para ilmuan karena kompleksitas kerja otak. Pembelajaran perlu memperhatikan bagaimana nature dan nurture sangat mempengaruhi penguasaaan keterampilan berpikir dan menjembatani kedua hal tersebut dalam pembelajaran menjadi tantangan para guru sains ke depan. HOTs peserta didik tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, tetapi perlu pemberdayaan berkelanjutan seiring dengan perkembangam peserta didik dan jenjang pendidikan ( TK sampai dengan PT).

Daftar PustakaAfandi & Sajidan. (2017). Stimulasi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi: Konsep dan

Implementasinya dalam Pembelajaran Abad 21. Surakarta: UNS PressBudsankom, P., Sawangboon, T., Damrongpanit, S., & Chuensirimongkol, J. (2015). Factors

affecting higher order thinking skills of students: a meta-analytic structural equation modeling study. Educational Research and Reviews: 2639-2652

Clark, D., Boutroz, N., & Mendez, M. (2010). The Brain and Behaviour: An Introduction to Behavioural Anatomy (Third Edition). New York: Cambridge University Press

Day, J. J., & Sweatt, J. D. (2010). DNA Methylation and Memory Formation. Neurosci, 13: 1319–1323

Dryden, G dan Vos, J. (2016). The New Learning Revolution: How Brain Can Lead The World in Learning, Education, and Schooling. New Zealand: The Learning Web

Estevez, A. M., & Abel, T. (2011). Epigenetic Mechanisms of Memory Consolidation. In A. Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer Science+Bussiness Media

Federman, N, Fustinana, M. S., & Romano, A. (2009). Histone Acetylation is Recruited in Consolidation as A Molecular Feature of Stronger Memories. Learn Mem, 16: 600–606

Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic BooksGuilford, J. P. (1967). The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw Hill CompanyGupta, S., Kim, S. Y., Artis, S., Molfese, D. L., Schumacher, A., Sweatt, J. D., Paylor, R.E, &

Lubin, F. D. (2010). Histone Methylation Regulates Memory Formation. J Neurosci 30:3589–3599

Haggartie, et al. (2010). Human Intelligence and Polymorphisms in the DNA Methyltransferase Genes Involved in Epigenetic Marking. PloS One, 5(6): e11329

Haiers, J. R. (2017). The Neuroscience of Intelligence. New York: Cambridge University Press

Kang, W. S. (2013). Epigenetics, Environment, and Genes. New Jersey: Apple Academic Press

Kim, S., & Kang, K. B. (2017). Epigenetic Regulation and Chromatin Remodeling in Learning and Memory. Experimental & Molecular Medicine, 49: e281

Labrie, V. (2011). Histone Deacetylase Inhibitors: A Novel Therapeutic Approach for Cognitive Disorders. In A. Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer Science+Bussiness Media

Page 10: PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN BERIPIKIR TINGKAT …ipa.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2018/04/Artikel-Prof.-Sajidan... · membahas secara ringkas bagaimana epigenetik dalam hubungannya

Levenson, J. M, O’Riordan, K. J, Brown, K. D, Trinh, M. A, Molfese, D. L, & Sweatt, J. D (2004). Regulation of Histone Acetylation During Memory Formation in The Hippocampus. J Biol Chem, 279: 40545–40559

Mahan, A. L., Mou, L., Shah, N., Hu, J. H., Worley, P. F, & Ressler, K. J. (2012). Epigenetic Modulation of Homer La Regulation in Amygdala and Hippocampus with Pavlonian Fear Condinioning. J Neurosci, 32: 4651–4659

Mazzio, A. E., & Soliman, F. K. (2012). Basic Concept of Epigenetics: Impact of Environmental Signals on Gene Expression. Epigenetics, 7(2): 119-130

McGregor, D. (2007). Developing Thinking: Developing Learning. New York: Open University Press

Menger, M. F. (2017). Molecular Lamarckism: On the Evolution of Human Intelligence. World Futures, 73:2, 89-103

Nakao, M. (2001). Epigenetics: Interaction of DNA Methylation and Chromatin. Gene, 278: 25–31

Oliveira, A. M. M., Hemstedt, T. J., & Bading, H. (2012). Rescue of aging Associated decline in Dnmt3a2 Expression Restores Cognitive Abilities. Nat Neurosci, 15: 1111–1113.

Pinel, J. (2000). Biopsychology (Fourth Edition). USA: Pearson Education CompanyPetronis, A., & Mill, J. (2011). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer

Science+Bussiness MediaReul, J., Collins, A., & Guiterez-Metinaz, M. (2011). Epigenetic Mechanisms of Memory

Formation. In A. Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer Science+Bussiness Media

Roberson, E. D., & Sweatt, J. D. (1999). A Biochemical Blueprint for Long Term Memory. Learn Mem, 6: 381–388

Santrock, W. J. (2011). Educational Psychology (Fifth Edition). New York: McGraw-Hill Company

Sajidan, Handoko, Nikmah, Syafruddin, Annisa, dan Wahyuni. (2017). Keefektifan Modul Bioteknologi Berbasis Spektrun of Inkuiri. Laporan riset (unpublished)

Sniekers, S et al (2017). Genome-Wide Association Meta-Analysis 78.308 Individuals Identifies New Loci and Genes Influencing Human Intelligences. Nature Genetics, 49(7): 1107-1112

Song, M., Liu, Y., Zhou, Y., Wang, K., Yu, C. & Jiang, T. (2009). Default network and intelligence difference. Conference Proceedings of the IEEE Engineering in Medicine and Biology Society, 2009, 2212–2215.

Tonegawa, S., Pignatelli, M., Roy, D., & Ryan, T. J. (2015). Memory Engram Storage and Retrieval. Curr Opin Neurobiol, 35: 101–109.

Vinci, M. C. (2012). Sensing the Environment: Epigenetic Regulation of Gene Expression. J Physic Chem Biophysic, S3:001Waddington, C. (1957). The Strategy of the Genes. New York: Macmillan

Weaver, C. G. I. (2011). Toward an Understanding of the Dynamic Interdependence of Genes and Environment in the Regulation of Phenotype Nurturing our Epigenetic Nature. In A. Petronis & J. Mill. (Ed). Brain, Behaviour, and Epigenetics. New York: Springer Science+Bussiness Media