pemberantasan korupsi di jepang

15
PEMBERANTASAN KORUPSI DI JEPANG Ade Rintaka, Limpat Luhung Pangarso, Langgeng Pamungkas, Rosaria Endah Meitasari, Safitriani, Usyuluddin Kelas VII-C Program DIV Akuntansi Kurikulum Khusus, STAN, Tangerang Selatan Abstrak- Pemberantasan korupsi di jepang sangat dipengarui kultur budaya yang berkembang di masyarakatnya disamping sistem dan juga penegakan hukum berperan tak kalah penting. Kesadaran masyarakatnya untuk mawas diri dan budaya malu masih tetap dipertahankan dan dijaga hingga saat ini oleh masyarakat Jepang. Tidak adanya Undang-Undang dan badan khusus pemberantasan korupsi senantiasa tidak menjadi hambatan yang berarti dalam proses pemberantasan korupsi di Jepang. Kata kunci: antikorupsi jepang, korupsi jepang, pemberantasan korupsi di jepang. 1. PENDAHULUAN Sebelum mengenal praktek dan pencegahan korupsi di Jepang, perlu diketahui mengenai profil, sistem politik dan sistem hukum dari Negara Jepang. 1. Profil Negara Jepang Profil singkat negara Jepang adalah sebagai berikut : Nama Resmi : Japan Bentuk Pemerintahan : Constitutional Monarchy with Bentuk Pemerintahan : Parliamentary Government Ibu Kota : Tokyo Populasi : 127,103,388 Bahasa Resmi : Japanese Mata Uang : Japanese yen Luas Area : 145,883 square miles (377,835 Luas Area : square kilometers) 2. Sistem Politik Negara Jepang Jepang merupakan sebuah negara yang dipimpin oleh seorang kaisar namun tanpa memiliki kekuatan untuk memerintah. Kekaisaran hanya sebagai sebuah simbol akan adat istiadat dan simbol pemersatu bangsa. Perang Dunia II menghancurkan kegiatan perekonomian Jepang. Akan tetapi, masyarakat Jepang bekerja keras dan pintar untuk melakukan inovasi sehingga mampu membalikkan keadaan yang pada akhirnya membuat Jepang menjadi salah satu kekuatan 1

Upload: usyuluddin

Post on 26-Dec-2015

82 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

PEMBERANTASAN KORUPSI DI JEPANG

Ade Rintaka, Limpat Luhung Pangarso, Langgeng Pamungkas, Rosaria Endah

Meitasari, Safitriani, Usyuluddin

Kelas VII-C Program DIV Akuntansi Kurikulum Khusus,

STAN, Tangerang Selatan

Abstrak- Pemberantasan korupsi di jepang sangat dipengarui kultur budaya yang berkembang di

masyarakatnya disamping sistem dan juga penegakan hukum berperan tak kalah penting. Kesadaran

masyarakatnya untuk mawas diri dan budaya malu masih tetap dipertahankan dan dijaga hingga saat ini oleh

masyarakat Jepang. Tidak adanya Undang-Undang dan badan khusus pemberantasan korupsi senantiasa tidak

menjadi hambatan yang berarti dalam proses pemberantasan korupsi di Jepang.

Kata kunci: antikorupsi jepang, korupsi jepang, pemberantasan korupsi di jepang.

1. PENDAHULUAN

Sebelum mengenal praktek dan pencegahan

korupsi di Jepang, perlu diketahui mengenai profil,

sistem politik dan sistem hukum dari Negara Jepang.

1. Profil Negara Jepang

Profil singkat negara Jepang adalah sebagai

berikut :

Nama Resmi : Japan

Bentuk Pemerintahan : Constitutional Monarchy with

Bentuk Pemerintahan : Parliamentary Government

Ibu Kota : Tokyo

Populasi : 127,103,388

Bahasa Resmi : Japanese

Mata Uang : Japanese yen

Luas Area : 145,883 square miles (377,835

Luas Area : square kilometers)

2. Sistem Politik Negara Jepang

Jepang merupakan sebuah negara yang dipimpin

oleh seorang kaisar namun tanpa memiliki kekuatan

untuk memerintah. Kekaisaran hanya sebagai sebuah

simbol akan adat istiadat dan simbol pemersatu

bangsa.

Perang Dunia II menghancurkan kegiatan

perekonomian Jepang. Akan tetapi, masyarakat

Jepang bekerja keras dan pintar untuk melakukan

inovasi sehingga mampu membalikkan keadaan yang

pada akhirnya membuat Jepang menjadi salah satu

kekuatan ekonomi terbesar dunia. Industri teknologi di

Jepang membuat beberapa produk elektronik yang

terkenal di seluruh dunia.

3. Praktik Korupsi di Jepang

Dilihat dari sudut ekonomi, Jepang merupakan

salah satu negara yang paling maju di dunia. GDP

(produk domestik bruto, yaitu nilai semua barang dan

jasa yang dihasilkan di Jepang dalam setahun) adalah

kedua tertinggi di dunia, dan merk-merk Jepang

seperti Toyota, Sony, Fujifilm, dan Panasonic terkenal

di seluruh dunia. Namun, hasil yang dinikmati oleh

Jepang saat ini sesunggunhya melalui proses

perjuangan dan perubahan yang sangat panjang.

Sempat berada pada era pemerintahan yang korup,

negara yang luluh lantak pasca perang dunia II, Jepang

mampu bangkit menjadi negara yang disegani di dunia

baik dari sudut pandang ekonomi maupun kekuatan

militernya.

Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia,

praktik korupsi di Jepang pun tetap tidak dapat

terhindarkan. Paling tidak, korupsi di Jepang mulai

1

Page 2: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

dilakukan di zaman feodal yaitu pada abad 12 hingga

sekarang dan mungkin akan terus berlanjut.

Pembahasan mengenai praktik korupsi di Jepang akan

sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang

Semangat Bushido, Filosofi Samurai dan Restorasi

Meiji, dimana ketiganya merupakan sejarah, budaya

serta adat-istiadat yang sesungguhnya akan sangat

berpengaruh pada pola sikap perilaku masyarakat

Jepang, sistem pemerintahan yang dijalankan serta

pencegahan dan penanganan dari korupsi yang terjadi.

A. Semangat Bushido dan Filosofi Samurai

Bushido terdiri dari kata bushi (ksatria atau

prajurit) dan do (jalan). Bushido atau ’jalan ksatria’

merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral

keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai

khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19).

Makna bushido secara umum adalah sikap rela mati

negara/kerajaan dan kaisar. Pada zaman feodal itu,

pengelompokan dalam masyarakat amat ketat

dijalankan, dimana bushi/samurai menempati posisi

tertinggi. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh

masyarakat, terlebih pada zaman Tokugawa, saat

diterapkannya politik sakoku (penutupan diri) dari

dunia luar. Saat itulah secara resmi Bushido disusun

dalam bentuk etika, diterapkan dengan ketat, dan

diajarkan pada masyarakat.

Kode etik Bushido mengendalikan setiap aspek

kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai

dalam hukum tersebut adalah mereka harus

mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai

senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus,

dan mempersiapkan kematian yang bisa terjadi

sewaktu-waktu ketika melayani tuannya. Mereka

mengabdikan kesetiaan itu sebagai standar moral

tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan.

Bushido tercermin pada saat perang dunia II, yaitu

menjadi prajurit berani mati. Semangat bushido terus

menyertai perjalanan bangsa Jepang dari masa ke

masa sehingga akhirnya Jepang berhasil bangkit dari

keterpurukan Perang Dunia II dan kemudian muncul

sebagai raksasa ekonomi. Meski perubahan besar-

besaran terjadi pada masa Meiji ketika begitu banyak

generasi Jepang dikirim ke Amerika dan Eropa, nilai-

nilai ini tetap dianut sebagian besar orang Jepang

karena sudah terinternalisasi dalam masyarakat secara

kuat melalui proses selama ratusan tahun.

Dalam Bushido Shoshinsu atau ’Bushido bagi

Pemula (buku berusia 300 tahun yang ditulis oleh

Taira Shigesuke), nilai-nilai Semangat Bushido adalah

:

mengingat kematian;

jika seseorang bisa selalu ingat kematian di

sepanjang waktu, maka akan siap mengemban

tugas dan juga akan menghindari setan dan

kejahatan;

mengingat kematian juga membuat karakter

kepribadian akan lebih meningkat dan kebaikan

diri akan tumbuh;

kode samurai mengatakan bahwa semua

permasalahan bersumber dari kelalaian saat kita

tidak lagi mengingat kematian;

tidak mengingat kematian akan menyebabkan

berbagai nafsu dan keinginan akan bermunculan

sehingga kita menjadi tamak dan rakus;

cara mengingat kematian adalah melakukan

kewajiban publik maupun pribadi siang dan

malam;

mengingat kematian senantiasa menjadi tema

sentral para samurai spiritual;

kaum samurai menjadi tidak takut mati demi

menjalankan tugas dan perjuangan;

kaum samurai menjadi orang-orang yang

mencintai tugas dan kewajibannya melebihi

kecintaaan mereka pada diri mereka sendiri;

kaum samurai yang tidak berhasil menunaikan

tugas, atau demi menanggung rasa malu karena

kekalahan mereka rela melakukan bunuh diri

atau lebih dikenal dengan seppuku (pengeluaran

isi perut) atau harakiri (penyobekan perut);

2

Page 3: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

seiring perjalanan waktu di zaman modern tradisi

bunuh diri berubah menjadi sikap lebih baik

mengakhiri atau mundur dari jabatan secara

terhormat daripada menanggung malu karena tak

mampu menunaikan tugas

Adapun yang menjadi kode etik samurai adalah :

menjaga kejujuran;

berani dalam menghadapi kesulitan;

memiliki sifat kasih sayang;

hormat kepada orang lain;

bersikap tulus dan ikhlas;

menjaga kehormatan diri;

menjaga kesetiaan pada satu kepemimpinan dan

guru;

menghormati orang tua dan rendah hati.

B. Restorasi Meiji (Meiji Ishin)

Restorasi Meiji adalah serangkaian kejadian

“reformasi” di Jepang yang praktis terjadi hanya

dalam 3 tahun (1866-1868), tumbangnya

pemerintahan feodal-korup keshogunan Tokugawa

sebagai akhir zaman Edo dan berpuncak pada

pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar

pada tahun 1868, sebagai awal zaman Meiji. Kata

Meiji sendiri berarti kekuasaan pencerahan dan

pemerintah waktu itu bertujuan menggabungkan

“kemajuan Barat” dengan nilai-nilai “Timur”

tradisional.

Dalam sejarah Jepang, babak pertama

pemerintahan diktator militer feodalisme korup

dimulai dengan kudeta Tokugawa Ieyasu atas

kekuasaan kaisar sebagai pemerintahan yang sah

setelah melewati pertempuran Sekihara tahun 1600.

Karena terhalang garis keturunan untuk menjadi

jenderal, Tokugawa Ieyasu memalsukan silsilah

keturunan. Inilah babak pertama pemerintahan

diktator militer feodalisme di Jepang. Keshogunan

Tokugawa berkuasa turun-temurun 15 generasi selama

265 tahun sejak 24 Maret 1603 dengan pengangkatan

Tokugawa Ieyasu sebagai Sei-i Taishōgun dan

berakhir pada 9 November 1867 ketika Tokugawa

Yoshinobu (Keiki), Shogun generasi terakhir

mengembalikan kekuasaan ke tangan kaisar (Taisei

Hōkan).

Di masa ini, oleh Toyotomi Hideyoshi rakyat

Jepang dibagi-bagi menurut sistem kelas. Kelas

samurai berada di hirarki paling atas, diikuti petani,

pengrajin dan pedagang. Tak ayal, pemberontakan

sering terjadi akibat kekuasaan yang korup, kakunya

pembagian sistem kelas dan tidak memungkinkan

orang untuk berpindah kelas. Pajak semena-mena

yang dikenakan terhadap petani selalu berjumlah tetap

tanpa memperhitungkan inflasi.

Seiring waktu berjalan, kelompok anti

keshogunan Tokugawa justru semakin bertambah

kuat. Gelombang pembaharuan menggelora. Spirit

perlawanan terhadap penguasa korup dan sentimen

anti barat menjadi dua kekuatan yang mengobarkan

perlawanan terhadap feodalisme keshogunan.

Dengan slogan politik “Sonnō jōi!” (Dukung

kaisar, usir barbar!), perjuangan aliansi pro-kaisar

membuahkan hasil. Pada 9 November 1867 Tokugawa

Yoshinibu menyerahkan kekuasaan ke tangan kaisar

(Taisei Hōkan), kaisar Komei. Pada 3 Februari 1867,

Kaisar Meiji naik tahta menggantikan ayahnya, Kaisar

Kōmei yang wafat pada 30 Januari 1867. Peristiwa ini

merupakan titik awal “restorasi” kaisar Meiji,

meskipun Yoshinobu masih tetap memiliki kekuasaan

yang signifikan.

Semasa Restorasi Meiji, feodalisme Jepang secara

perlahan-lahan digantikan oleh ekonomi pasar dan

menjadikan Jepang sebagai negara yang dipengaruhi

negara-negara Barat hingga kini. Restorasi Meiji

menekankan pendidikan sebagai mata tombak

reformasi dan modernisasi. Pendidikan menjadi hak

dan kewajiban semua warga. Inilah salah satu kunci

keberhasilan restorasi Jepang, yang menjadikan

negara ini cepat beradaptasi dengan perkembangan

sains dan teknologi Barat di masa selanjutnya,

3

Page 4: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

disamping administrasi pemerintahan yang sangat rapi

warisan dari rezim Tokugawa.

Restorasi Meiji, dengan semangat bushido

samurai khas ksatria Jepang, negara ini mampu

merevolusi feodalisme korup yang telah berlangsung

265 tahun dan kini menjadi negara maju dalam

industri dan perkasa dalam ekonomi di arena dunia.

Jika dihitung dari awal tercetusnya tahun 1853 berarti

kini telah memasuki tahun ke-161. Lebih dari satu

setengah abad dalam sejarah perjuangan bangsa

Jepang untuk bisa berjaya.

C. Korupsi di Jepang

Berikut ini beberapa praktik korupsi yang terjadi

di Jepang :

Skandal Lockheed yang terbongkar pada tahun

1976, melibatkan seorang mantan perdana

menteri, Kakeui Tanaka, dimana perusahaan

pesawat jet Amerika mengaku di depan Kongres

AS soal suap kepada sejumlah pejabat tinggi di

berbagai negara termasuk salah satunya Jepang

untuk dapat menjual produknya.

Takeshita Noboru, perdana menteri dari

partai demokratik liberal mengundurkan diri

pada 1989, sebagai tanda bahwa ia menarik

tanggung jawab semua pejabat partainya kepada

dirinya. Sebelas anggota parlemen dari partainya

diusut, seorang staf Takeshita bunuh diri.

Skandal korupsi pada masa Perdana Menteri Abe

Shinzo (2006-2007). Sejumlah pejabat terlibat.

Seorang Direktur Japan Green Resources,

Shinichi Yamazaki, terjun dari lantai 10

apartemen. Japan Green diduga menyogok para

politisi untuk melicinkan nasionalisasi

perusahaan itu.

Pada tanggal 28 Mei 2007, beberapa jam

sebelum memberikan keterangan di panitia

parlemen atas skandal dana poltik dan

manipulasi kontrak bisnis, Menteri Pertanian

Jepang Toshikatsu Mastuoka (62 tahun) bunuh

diri di apartemennya. Ia dituduh menerima suap

lebih dari 28 juta yen atas skandal dana poltik

dan manipulasi kontrak bisnis;

Pada bulan Juli tahun 2013, pimpinan federasi

judo Jepang, Haruki Uemura, akan

mengumumkan pengunduran dirinya sebagai

bentuk pertanggungjawaban terhadap terjadinya

serangkaian skandal korupsi keuangan yaitu

beberapa pengurus dituduh menerima secara

ilegal subsidi kepelatihan dari Pemerintah

Jepang.

Pada bulan Juli tahun 2014, Pejabat prefektur

Hyogo, Jepang, Ryutaro Nonomura menangis

saat menjelaskan penggunaan uang negara untuk

sejumlah kunjungan ke pemandian air panas

sebanyak 106 kali di tahun 2013. Tidak kuat

menahan tekanan publik, Nonomura lalu

mengundurkan diri.

Menteri Perindustrian Jepang, Yuko Obuchi,

mengundurkan diri dari jabatannya setelah

muncul tudingan bahwa ia menggunakan dana

sumbangan politik untuk membeli kosmetik

sebesar lebih dari 10 Juta yen.

Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara,

mengundurkan diri dari jabatannya karena

terbukti menerima donasi dari warga Korea

Selatan yang bermukim di Tokyo. Total nilai

donasinya hanya 250.000 Yen.

2. PEMBERANTASAN KORUPSI DI

JEPANG

A. Langkah Pemberantasan Korupsi

B. Pencegahan Korupsi di Jepang

C. Penegakan Hukum di Jepang

Di Jepang tidak ada Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti di

Indonesia. Yang kita namakan sebagai “korupsi” di

4

Page 5: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

Indonesia, mereka hanya golongkan sebagai salah satu

di antara tindak pidana umum: Penyuapan,

Penggelapan Uang Negara, dan Penipuan. Hukuman

maksimalnya pun hanya tujuh tahun, bukan hukuman

mati seperti dalam undang-undang korupsi kita di

Indonesia.

Undang-undang dan peraturan di negara Jepang

yang didalamnya mengatur delik tindakan kriminal

terkait korupsi antara lain:

1. The Unfair Competition Prevention Act (Act

no 47 of 1993) mengatur mengenai tindakan kriminal

penyuapan pegawai negeri asing.

2. The Penal Code (Act no 45 of 1907)

mengatur mengenai tindakan kriminal penyuapan

pegawai negeri daerah.

3. National Public Service Ethics Act (Act No

129 of 1999) (Ethics Act) merupakan peraturan dasar

pelayanan pegawai negeri Jepang. Salah satu isinya

adalah kewajiban pegawai negeri untuk melaporkan

setiap hadiah atau kompensasi yang diterimanya, salah

satu larangannya adalah pegawai pemerintah dilarang

menerima suap dari petugas yang berada di

wilayahnya.

4. National Public Service Ethics Code (Gov.

Ordinance No 101 of 2000) merupakan peraturan

turunan dari Ethics Act, peraturan ini mengatur

pelarangan menerima hadiah atau hiburan dari partai

yang berkaitan dengan tugas dari pegawai negeri.

5. The Act Prohibiting Acceptance of Profits for

Intermediation by those Engaged in Public Service

(Act No 130 of 2000) (Profits for Intermediation Act),

mengatur mengenai penawaran yang dilakukan oleh

Diet atau Kokkai atau Parlemen Jepang.

6. The Act on Prevention of Transfer of

Criminal Proceeds (Act no 22 of 2007) mengatur

mengenai tindak kriminal pencucian uang.

Peraturan ini memberi kewajiban kepada lembaga

kuangan untuk mematuhi prosedur yang benar untuk

mengidentifikasi pelanggan (seperti meminta kartu

identitas yang valid) dan bertugas melaporkan

transaksi yang mencurigakan. Kewajiban tersebut juga

berlaku bagi lembaga non finansial.

7. The Whistleblowing Legislation Act (Act no

122 of 2004) mengatur mengenai perlindungan kepada

seseorang yang menjadi whistleblower. Perlindungan

yang diberikan mencakup:

• Perlindungan atas pemecatan

• Perlindungan atas pembatalan kontrak kerja

• Perlindungan dari perlakuan tidak

menyenangkan, misalnya penurunan jabatan,

pemotongan gaji, dan sebagainya.

Kewenangan untuk melakukan penangkapan,

penggeledahan, penyitaan, dan penuntutan dalam

menangani kasus korupsi di Jepang, disamakan

dengan tindakan kriminal lainnya, yaitu ditangani oleh

Kepolisian Jepang (National Police Agency) atau

Kejaksaan Jepang (the Public Prosecutor’s Office).

1) Kepolisian

Kepolisian berperan dalam melakukan

penyelidikan awal atas semua kasus pidana, kemudian

berkas hasil penyelidikan kepolisian tersebut

diserahkan kepada kejaksaan untuk dilakukan

investigasi/penyidikan sebagai bahan pertimbangan

apakah kasus tersebut layak untuk dilakukan

penuntutan atau tidak. Kepolisian dan Kejaksaan

merupakan lembaga dengan independensi yang kuat

dan saling bekerja sama. Kepolisian dan Kejaksaan

sering mengadakan rapat untuk membahas kasus

tertentu secara rinci sebelum dilakukan penuntutan.

2) Kejaksaan

Lembaga Kejaksaan/Prosekutor Jepang

berwenang melakukan penyidikan kriminal baik atas

dasar penyelidikan kepolisian maupun hasil

identifikasi kejaksaan sendiri. Jika penyelidikan awal

kasus oleh Kepolisian sebagian besar merupakan

kriminal umum, maka penyelidikan yang dilakukan

oleh Jaksa sebagian besar terkait kasus penyuapan.

Kantor Kejaksaan berisikan jaksa-jaksa dengan latar

belakang pendidikan yang beragam, sehingga dengan

wawasannya yang lebih luas dari aparat kepolisian

5

Page 6: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

menjadikan aparat kejaksaan lebih terampil dalam

menafsirkan hukum dan melakukan teknik investigasi.

Berdasarkan peraturan yang berlaku, bahwa jaksa

tidak dapat sembarangan dimutasi tanpa alasan yang

jelas bahkan oleh Menteri Kehakiman.

3) Departemen Pidana Khusus Kejaksaan

Dalam struktur organisasinya, Kejaksaan

memiliki Departemen Pidana Khusus yang bertugas

menyelidiki kasus suap dan kejahatan ekonomi yang

dilakukan oleh pejabat pemerintah. Departemen

Pidana Khusus ini didirikan di Kantor Kejaksaan

Tokyo, Osaka, dan Nagoya serta pada 10 Kota lain di

Jepang. Tidak semua kantor kejaksaan memiliki

departemen pidana khusus ini.

Cara kerja dari departemen ini antara lain:

a) Melakukan identifikasi dari liputan berita,

hak angket legislatif, dan sebagainya;

b) Melakukan kajian atas keluhan dan aduan

masyarakat;

c) Mencari tanda-tanda aktivitas yang

mencurigakan selama penyelidikan kejahatan tersebut,

sehingga menambah bobot pada kecurigaan bahwa

beberapa kejahatan lain telah dilakukan. Dalam kasus

penggelapan pajak, menyita buku rekening diperiksa

untuk mengidentifikasi aliran dana, sehingga

mengungkapkan apakah suap yang ditawarkan kepada

pejabat pemerintah yang kemudian bisa dituduh suap.

Ketika seorang tersangka yang diidentifikasi atau

saksi dipertanyakan sehubungan dengan kasus

penggelapan atau pelanggaran kepercayaan oleh

direksi eksekutif korporasi, laporan yang diperoleh

secara tak terduga untuk mendeteksi praktik korupsi,

sehingga mengarah ke penuntutan.

Selain Kepolisian dan Kejaksaan, terdapat

lembaga-lembaga lain yang terkait dengan pencegahan

dan pemberantasan korupsi di Jepang, yaitu:

a. The Japan Financial Intelligence Center

(“JAFIC”);

JAFIC adalah lembaga yang bertanggung jawab

untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan

teroris di Jepang. Semua badan atau lembaga baik

publik maupun swasta, diminta untuk mengirimkan

laporan pada JAFIC. Jika JAFIC menemukan adanya

kegiatan yang mencurigakan, maka JAFIC harus

melaporkannya kepada aparat penegak hukum terkait,

seperti Kepolisian, Kantor Kejaksaan Umum atau

Securities and Exchange Surveillance Commission,

yang kemudian dapat menjatuhkan sanksi administrasi

atau bahkan investigasi kriminal.

b. The Japan Fair Trade Commission

(“JFTC”);

JFTC memberlakukan Japan’s Act on Prohibition

of Private Monopolisation and Maintenance of Fair

Trade (Undang-Undang Anti Monopoli) dengan

maksud untuk menjaga persaingan yang adil dan

bebas di pasar. Amandemen terakhir dengan Undang-

Undang Antimonopoli memberikan kekuasaan

investigasi kriminal ke JFTC. Jika penyelidikan

dimulai, JFTC dimungkinkan mengajukan proses

pidana

dengan Kejaksaan di bawah ketentuan UU

Antimonopoli. Hukuman untuk mengganggu

penyelidikan yaitu sanksi administrasi termasuk

penjara maksimal satu tahun atau denda paling banyak

JPY 3 juta.

c. The National Public Service Ethics Board

(“Ethics Board”);

Dewan ini bertugas memastikan agar National

Public Service Ethics Act ("Etika Act") dilaksanakan

dengan baik oleh pemerintah. Dewan ini dapat

melakukan investigasi bersama-sama dengan orang

yang ditunjuk pejabat publik atau bertindak sendiri

jika merasa temuannya materiil berkaitan dengan

tugas-tugas pejabat, melakukan on-site investigasi

untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran. Selain itu,

dewan ini dapat memanggil saksi dan saksi diminta

menyampaikan laporan yang diperlukan atau bahan

yang relevan dan dianggap perlu untuk menjaga

kepercayaan publik. Ketidakpatuhan dengan

investigasi (seperti laporan palsu atau penyembunyian

6

Page 7: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

fakta) akan mengakibatkan sanksi disipliner seperti

suspensi dari kantor, pengurangan gaji atau teguran.

Wewenang dan tanggung jawab National Public

Service Ethics Board antara lain:

(1) penyampaian pendapat kepada Kabinet

mengenai berlakunya, perubahan dan pencabutan

National Public Service Ethics Act;

(2) persiapan dan revisi dari standar tindakan

disiplin diterapkan untuk pelanggaran atas National

Public Service Ethics Law;

(3) penelitian, studi dan perencanaan mengenai

isu-isu etika pejabat publik;

(4) perencanaan yang komprehensif dan

koordinasi program pelatihan tentang etika bagi

pejabat publik;

(5) bimbingan dan nasihat kepada kementerian

dan lembaga untuk menjalankan National Public

Service Ethics Act;

(6) pemeriksaan laporan hadiah, transaksi saham

dan pendapatan;

(7) Mengajukan pertanyaan pada setiap pejabat

publik yang diduga melanggar National Public Service

Ethics Act; melakukan investigasi di tempat untuk

mengklarifikasi dugaan pelanggaran tersebut,

memanggil saksi-saksi, dan meminta saksi untuk

menyampaikan laporan yang diperlukan atau bahan

yang relevan;

(8) melakukan penyelidikan, jika perlu, meminta

setiap kepala kementerian atau lembaga untuk

mengambil tindakan yang diperlukan untuk

mengawasinya/pejabatnya, dan

(9) melakukan penyelidikan, jika perlu,

mengambil tindakan disipliner terhadap setiap pejabat

publik yang telah melanggar National Public Service

Ethics Law.

d. The Board of Audit of Japan (Dewan Audit).

The Board of Audit memiliki tugas untuk

melakukan audit atas rekening negara dan rekening

sebuah perusahaan jika pemerintah Jepang memiliki

50% atau lebih dari saham perusahaan tersebut. Jika

ditemukan adanya indikasi korupsi apapun selama

audit ini, maka The Board of Audit diharuskan untuk

melaporkan pada Kejaksaan untuk selanjutnya

dilakukan investigasi atau penyelidikan.

D. Faktor Budaya dalam Pemberantasan

Korupsi di Jepang

Masyarakat Jepang merasa telah kehilangan

kehormatan jika melakukan kejahatan, aib, dan/atau

mengalami kegagalan dalam menjalankan kewajiban.

Bagi mereka, tidak ada gunanya lagi melanjutkan

hidup bila sudah kehilangan kehormatan. Mereka

lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya, dari pada

hidup menanggung malu. Budaya ini sering disebut

dengan seppuku atau lebih dikenal dengan harakiri.

Harakiri biasa digunakan sebagai metafora seseorang

melakukan self punishment sebagai tanggung jawab

bila melakukan kesalahan. Ritual ini telah membudaya

di Jepang, sehingga apabila seseorang melakukan

kesalahan dan melakukan bunuh diri, maka hal itu

sah-sah saja dan dianggap sabagai upaya menebus

kesalahan. Harakiri sebagai hukuman telah resmi

dihapuskan pada tahun 1873, segera setelah restorasi

Meiji, tetapi harakiri secara sukarela belum

sepenuhnya dihapuskan. Ratusan orang diketahui

masih melakukan harakiri walaupun telah dihapuskan.

Walaupun Jepang tidak memiliki Undang-Undang

khusus yang mengatur tentang pemberantasan korupsi

serta hukuman bagi koruptor maksimal hanya 7

(tujuh) tahun penjara, hukuman menanggung malu

sudah dirasa sebagai hukuman yang paling berat. Hal

tersebut didukung oleh media yang aktif dalam

memberitakan suatu tindakan korupsi. Sehingga

menimbulkan rasa malu yang sangat besar bagi para

koruptor. Bahkan terdapat beberapa pejabat yang

melakukan bunuh diri setelah diketahui melakukan

korupsi, antara lain Toshikatsi Matsuoka (Agriculture,

Forestry and Fisheries Minister) melakukan bunuh diri

ketika ia tidak dapat menjelaskan penggunaan dana

7

Page 8: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

sebesar $240,000 yang dikatakan untuk “sejenis air

yang dioksidasi” padahal air disediakan gratis

sehingga diindikasikan terjadi korupsi, Yoichi Otsuki

dan Shokei Arai serta beberapa politisi lainnya. Selain

bunuh diri, pejabat yang masih diindikasikan

melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung

mengundurkan diri dari jabatannya, sekalipun tidak

diminta oleh masyarakat (apalagi jika sudah dituntut

mundur oleh masyarakatnya). Contohnya adalah kasus

Gubernur Tokushima yang didakwa mendapat suap

dari seorang konglomerat Jepang, dan dalam kasus

lain juga menahan Wali Kota Shimozuma, Ibaraki.

Kedua pejabat itu secara sukarela langsung

mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur

dan wali kota.

Namun, budaya malu juga memiliki dampak

negatif, karena membuat sistem whistleblower tidak

efektif. Karena melaporkan rekan kerja atau atasan

dapat mempermalukan institusi. Bahkan, sang pelapor

dapat dikucilkan. Oleh karena itu dibentuklah The

Whistleblowing Legislation Act(Act no 122 of 2004)

yang memberikan kerahasiaan dan perlindungan

kepada seseorang yang menjadi whistleblower.

Selain budaya malu, juga terdapat nilai kejujuran

yang masih melekat pada budaya masyarakat Jepang.

Pengacara di Jepang jarang ditemukan yang

memutarbalikkan fakta dan merubah yang salah

menjadi benar, bahkan jika diketahui kliennya

memang bersalah, mereka akan mendorong kliennya

untuk mengakui kejahatannya dan mengembalikan

hasil korupsinya. Di dalam praktik hukum di Jepang,

seorang tersangka yang tidak mengaku, pasti akan

ditahan. Sebaliknya seorang tersangka yang mengakui

kesalahannya, tidak ditahan, kecuali jika kasusnya

tergolong kasus "kelas kakap" yang nilai kejahatannya

300 juta Yen atau lebih.

E. Hal-Hal yang dapat Diadopsi oleh Lembaga Penegak Hukum di Indonesia

Meskipun di Indonesia telah memiliki Undang-

Undang dan lembaga khusus memberantas korupsi

(KPK), tingkat korupsi di Indonesai jauh lebih buruk

dengan menduduki peringkat Indeks persepsi korupsi

(IPK) tahun 2014 berdasarkan hasil survey Lembaga

Transparansi Internasional ada pada peringkat ke-107

dunia. Sebaliknya, Jepang tergolong negara yang

cukup bersih dari tindak pidana yang di Indonesia kita

namakan "korupsi" itu dengan berada di peringkat ke-

15.

Fenomena itulah yang membuktikan bahwa

penegakan hukum yang baik tidak sekadar ditentukan

oleh "substansi perundang-undangan"-nya, melainkan

lebih banyak ditentukan oleh "kultur hukum" warga

masyarakat maupun para penegak hukum dan

penguasanya. Kultur hukum mencakup opini-opini,

kebiasaan-kebiasaan, cara bertindak dan cara berpikir

dari seseorang yang bertalian dengan segala hal yang

berbau hukum. Adanya kultur hukum baik dari warga

masyarakat Jepang maupun dari para penegak hukum

Jepang yang lebih efektif dari pada ancaman hukuman

mati dalam undang-undang pemberantasan korupsi

kita di Indonesia. Kultur hukum "malu" yang masih

besar dari masyarakat Jepang sangat efektif sebagai

alat preventif maupun penindak terhadap perilaku

tercela, termasuk korupsi. Kultur hukum yang masih

sangat bermoral di kalangan pengacara Jepang,

menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan pengacara

Jepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi

benar, dan yang benar menjadi salah.

Selain tidak terdapatnya lembaga anti korupsi di

jepang, kewenangan untuk melakukan

penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan

penuntutan dalam menangani kasus korupsi di jepang

ada pada kepolisian atau kejaksaan jepang. Semua itu

di Indonesia dilakukan oleh lembaga yang biasa kita

sebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

3. KESIMPULAN

8

Page 9: Pemberantasan Korupsi Di Jepang

Kesuksesan pemberantasan korupsi di Jepang

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain,

Dibentuknya jigyoushiwake pada saat perdana menteri

hatoyama memerintah, jigyoushiwake merupakan tim

yang ditunjuk untuk memeriksa semua lembaga

pemerintah yang memanfaatkan uang pajak

masyarakat Jepang, dan memastikan apakah uang

tersebut sudah digunakan sebagaimana mestinya.

Selain itu di Jepang terdapat faktor budaya yang

sangat berpengaruh pada pemberantasan korupsi

antara lain etos kerja yang tinggi, budaya malu yang

begitu kental yang menyebabkan adanya budaya

bunuh diri atau lebih dikenal sebagai harakiri.Banyak

pejabat yang mundur secara sukarela akibat budaya

malu karena melakukan praktek korupsi, hampir tak

pernah terdengar adanya pengacara jepang yang

menuntut “asas praduga tak bersalah”.Bahkan

pengacara Jepang pun senantiasa berusaha membujuk

klien-nya untuk mengakui kesalahannya, mundur dari

jabatan kemudian mengembalikan hasil kejahatannya.

Terlebih lagi pengacara di Jepang hampir tidak

terbiasa untuk memutarbalikkan fakta sehingga yang

salah menjadi benar.

Laporan kerja, Laporan tahunan yang memuat

setiap pemasukan dan pengeluaran dibuat secara rinci

dan transparan tiap yen nya, dan dipublikasikan

melalui internet, sehingga masyarakat dengan mudah

mengakses oleh siapa saja masyarakat Jepang. Hal ini

membuat adanya pengawasan langsung dari

masyarakat melalui media-media yang transparan.

Jika terjadi kasus korupsi akan menyebabkan

kemarahan massa, sehingga pelaku korupsi akan

menjadi bulan-bulanan media dan publik.

Berdasarkan data dari cpi.transparency.org

menyebutkan bahwa Jepang pada tahun 2014

memperoleh posisi ke posisi ke-15 dari 175 negara

dengan perolehan nilai 76 dimana merupakan nilai

yang lebih tinggi jika dibandingkan pada tahun

sebelumnya (74). Jepang merupakan negara asia

kedua tertinggi dibawah Singapura (di posisi 7). Hal

ini menunjukkan bahwa Jepang dapat dikatakan

berhasil dalam memberantas korupsi dinegaranya.

Keberhasilan jepang memberantas korupsi di

negaranya dapat dilihat dengan Jepang merupakan

salah satu negara maju jika dilihat dari Indeks

Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan

Manusia merupakan pengukuran perbandingan dari

harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar

hidup untuk semua negara di seluruh dunia. Indeks

Pembangunan Manusia digunakan untuk

megklasifikasikan apakah suatu negara adalah negara

maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan

juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan

ekonomi terhadap kualitas hidup. Tahun 2013 Jepang

menduduki peringkat 10 di seluruh dunia dan jepang

dikategorikan sebagai negara maju. Sangat jauh jika

dibandingkan Indonesia yang berada di peringkat 111

dan dikategorikan sebagai negara berkembang.

4. DAFTAR REFERENSI

[1] Budaya Malu Orang Jepanghttp://summysmile.wordpress.com/2012/02/08/budaya-malu-orang-jepang/

[2] Corruption Perception Index http://www.transparency.org/cpi2014

[3] Memberantas Korupsi ala Jepang : Jigyou shiwakehttp://murniramli.wordpress.com/2010/05/23/memberantas-korupsi-ala-jepang-jigyou-shiwake/

[4] http://bansai-dojo.com/bushido/ (International Battodo Federation)

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_Indeks_Pembangunan_Manusia

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia

[7] http://sihiteezra.wordpress.com/2010/11/29/jepang-dari-korupsi-ke-korupsi/

[8] http://sejarah.kompasiana.com/2012/07/09/reformasi-ala-restorasi-meiji-476356.html

9