pembentukan tingkah laku murid di sekolah...
TRANSCRIPT
PEMBENTUKAN TINGKAH LAKU MURID DI SEKOLAH DASAR DAN
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA JEPANG MODERN
Oleh :
Amaliatun Saleha
NIP: 19760609 200312 2 001
JURUSAN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2008
ABSTRAK
Pendidikan moral di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama Jepang
modern, tidak terlepas dari konsep pendidikan moral Mori Arinori. Konsep
pendidikan moral Mori ditekankan pada etika (rinri). Menurut Mori, etika (rinri)
dipusatkan pada kesejajaran hubungan antara diri sendiri dengan orang lain.
Kemudian konsep ini dituangkan dalam Rinrisho, sebagai buku pedoman untuk
pendidikan moral di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama Jepang.
Kata kunci : Pendidikan moral, konsep rinri, kegiatan sekolah
ABSTRACT
Moral education in primary and secondary schools in modern Japan, is
inseparable from the concept of moral education Arinori Mori. The concept of
moral education Mori stressed on ethics (rinri). According to Mori, ethics (rinri)
focused on parallels the relationship between oneself with others. Later this
concept was written in Rinrisho, as a guidebook for moral education in primary
and junior high school in Japan.
Keywords: moral education, the concept rinri, school activities
1
PEMBENTUKAN TINGKAH LAKU MURID DI SEKOLAH DASAR DAN
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA JEPANG MODERN
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem dan praktek pendidikan yang diwariskan sejak abad ke-19
menjadi dasar dalam tujuan pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi, termasuk dalam menanamkan nilai-nilai moral yang
melatarbelakangi nasionalisme Jepang, sehingga pendidikan moral sangat
ditekankan dalam pendidikan wajib.
Setelah Perang Dunia II, pendidikan wajib di Jepang diubah menjadi 9
tahun (sekolah dasar 6 tahun dan sekolah menengah pertama 3 tahun), karena
pada saat itu diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan siap kerja.
Sumber daya manusia yang berkualitas dan siap kerja, dapat dihasilkan
apabila ia minimal telah menempuh pendidikan menengah pertama, yang telah
dilandasi oleh pendidikan moral yang kuat.
Agar dapat membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan
bertingkah laku baik, Departemen Pendidikan dan Teknologi Jepang (MEXT),
mengeluarkan kebijakan mengenai tujuan kegiatan belajar mengajar dan
2
pendidikan moral di Jepang. Kegiatan belajar-mengajar bertujuan untuk
mengembangkan ikiruchikara (zest for living). Pelajaran dasar dalam
pendidikan wajib 9 tahun terdiri atas membaca, menulis, dan aritmatika, serta
siswa diharapkan dapat mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah sendiri (problem-solving learning), dan aktif dalam kegiatan sekolah,
sehingga MEXT membuat standar bahwa pelajaran harus dapat dipahami
siswa, kegiatan sekolah harus menyenangkan bagi siswa dan pendidikan moral
harus dikembangkan.
MEXT menganggap bahwa siswa harus memahami bahwa nilai-nilai
moral seperti kesadaran untuk tetap hidup dan berinteraksi serta berempati
terhadap orang lain, sama pentingnya dengan kemampuan menilai baik-buruk
dalam masyarakat. Menurut MEXT, untuk meningkatkan pendidikan moral,
diperlukan peran serta aktif dari sekolah, serta kerjasama dengan keluarga dan
komunitas lokal.
Pendidikan moral di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama
Jepang masa modern, tidak terlepas dari konsep pendidikan moral Mori
Arinori. Konsep pendidikan moral Mori ditekankan pada etika (rinri).
Menurut Mori, etika (rinri) dipusatkan pada kesejajaran hubungan antara diri
3
sendiri dengan orang lain. Kemudian konsep ini dituangkan dalam Rinrisho,
sebagai buku pedoman untuk pendidikan moral di sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama Jepang.
Oleh karena itu, saya merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh
mengenai pembentukan tingkah laku murid dalam aktivitas di sekolah dasar
dan sekolah menengah pertama Jepang masa modern.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, sekolah harus berperan aktif dalam
pendidikan moral siswa, sehingga kurikulum di sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama harus mendukung hal tersebut. Kurikulum di sekolah dasar
dan sekolah menengah pertama terdiri atas mata pelajaran sekolah (Bahasa
Jepang, studi sosial, aritmatika/matematika, sains, Musik, Seni, teknologi dan
ekonomi rumah tangga, homemaking, pendidikan kesehatan dan jasmani,
bahasa Inggris, di SMP terdapat pelajaran pilihan); pendidikan moral; dan
aktivitas khusus.
Dalam tulisan singkat ini, saya membatasi permasalahan hanya pada
pembentukan tingkah laku dalam aktivitas di kelas dan aktivitas khusus di
4
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama Jepang.
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui etika bertingkah laku yang baik dalam masyarakat.
b. Mengetahui target dari pendidikan moral di sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama Jepang.
c. Mengetahui aktivitas di kelas dan aktivitas khusus di sekolah dasar dan
sekolah mennegah pertama Jepang masa kini.
d. Mengetahui pembentukan tingkah laku murid dalam aktivitas di kelas dan
aktivitas khusus yang dilakukan di sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama Jepang.
2. Pembentukan Tingkah Laku Murid SD dan SMP di Jepang
2.1 “Rinrisho” dan Etika dalam Bertingkah Laku
Buku “Rinrisho” merupakan pengembangan dari konsep pendidikan
moral Mori Arinori, yang menekankan pada etika (rinri). Menurut Mori, etika
(rinri) dipusatkan pada kesejajaran hubungan antara diri sendiri dengan orang
5
lain. Dalam buku ini tidak digambarkan secara kongkrit bagaimana bertingkah
laku dengan baik, tetapi dimuat prinsip-prinsip yang baik dalam bertingkah
laku di masyarakat.
Menurut Mori, ketika berinteraksi dengan sesamanya, tingkah laku
manusia didasari oleh 5 unsur, yaitu : kegiatan fisik (karadayoku), minat
(yokubo), kasih sayang (jocho), penyerapan materi (renso), dan kebiasaan
(shuukan). Selain itu, tujuan setiap individu dalam bertingkah laku adalah
untuk membentuk masyarakat yang baik. Menurut Mori, manusia akan
menjadi sempurna apabila ia bertingkah laku sesuai tujuannya. Berarti,
manusia yang sempurna adalah manusia yang dapat menempatkan dirinya
secara tepat atau menjaga harmoni (keseimbangan) dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dijelaskan dalam “Rinrisho”, bahwa manusia perlu
saling membantu satu sama lain untuk dapat menempatkan dirinya secara
tepat dalam masyarakat. Setiap individu harus menghormati orang lain. Setiap
individu harus memikirkan orang lain ketika bertindak untuk kepentingan
dirinya sendiri. Apabila setiap individu dapat mensejajarkan orang lain sama
dengan dirinya, maka masyarakat ideal dapat terwujud. Sehingga, dalam
“Rinrisho”, kata ‘kerjasama’ dan ‘pembagian peran’ banyak digunakan
6
(www.liberalarts.cc)
Selain itu, etika dalam bertingkah laku untuk membentuk individu yang
ideal adalah memiliki sunaona kokoro (hati yang lembut / sensitif). Individu
yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, sensitif terhadap keadaan
masyarakat, melaksanakan kewajiban, dan menghargai hak orang lain serta
menikmati kehidupan dalam masyarakat, sehingga setiap individu harus dapat
menyeimbangkan hati dan berdisiplin pada sistem. Etika orang Jepang di
sekolah, di rumah, di tempat kerja pun, mengandung unsur nintai, doryoku dan
gaman, dan gambaru (Kondo, 1990: 109)
Dengan demikian, diharapkan setiap individu, dalam hal ini murid di
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama Jepang, dapat melaksanakannya.
2.2 Target Pendidikan Moral dalam Pembentukan Tingkah Laku Murid SD
dan SMP
Salah satu cara untuk membentuk individu yang memiliki tingkah laku
baik dalam berinteraksi dengan masyarakat, adalah dengan diberikan
pendidikan moral. Adapun target dari pendidikan moral di SD dan SMP adalah
sebagai berikut :
7
* Target dari Pendidikan Moral di SD
- Membentuk siswa yang menghargai nilai kemanusiaan dan kehidupan dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat.
- Menciptakan budaya yang dapat mengembangkan kemandirian dan demokrasi.
- Melatih siswa untuk menjaga perdamaian internasional.
- Mengembangkan moral siswa sebagai fondasi dalam bertingkah laku secara
objektif.
* Target dari pendidikan moral di SMP lebih mendalam daripada pendidikan
moral di SD, ia lebih menekankan pada unsur-unsur yang mendasari tingkah
laku manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat, seperti berikut ini :
- Memperhatikan 5 unsur utama dalam pembentukan pribadinya, misalnya
memiliki kebiasaan sehari-hari yang sesuai dengan keinginanya, memiliki
kontrol diri, dan memiliki rasa kasih sayang.
- Memperhatikan 5 unsur utama dalam berinteraksi dengan orang lain, misalnya
sopan atau menghargai orang lain, menjaga pertemanan, dan menghargai
lawan jenis.
- Memperhatikan 9 unsur ketika berinteraksi dalam kelompok atau masyarakat,
misalnya, menyadari peranan dan tanggung jawab, menyadari etika yang ada
8
dalam masyarakat, menghargai pekerja, menghormati orang-tua, mencintai
kampung halaman, dan memiliki patriotisme.
Dengan kata lain, untuk meningkatkan kemampuan akademik di SD dan
SMP, mereka menekankan pada 4 C (community, connectedness, commitment
dan caring). Keempat unsur ini adalah dasar dari pembentukan ningen dan
kokoro (Rohlen, 1998: 135)
Target tersebut mendasari setiap aktivitas yang dilakukan di sekolah, baik
aktivitas baik dalam aktivitas di dalam kelas maupun aktivitas khusus.
Berikut ini saya akan menguraikan mengenai aktivitas di kelas dan aktivitas
khusus di SD dan SMP.
2.3 Aktivitas Belajar di Dalam Kelas (Kelas Aritmatika Kelas 5)
Berpedoman pada target pendidikan moral di SD dan SMP Jepang, setiap
siswa diajarkan mengenai harmoni dan kerjasama dalam kegiatan belajarnya
sehari-hari, seperti berikut ini :
- Menghargai hal yg kecil dan menghargai proses
9
Pada hari-hari pertama masuk SD, siswa tidak langsung diberikan materi
pelajaran, tetapi mereka diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman-
temannya dan mengenal sekolahnya. Hal ini dilakukan untuk melatih mereka
bersosialisasi dalam kelompok. Selain itu, mereka diajarkan untuk tampil atau
mengeluarkan pendapatnya di depan umum secara bergiliran. Kemudian yang
lainnya mendengarkan dengan baik. Hal ini bertujuan untuk membentuk
kepercayaan diri mereka berbicara di depan umum, dan mereka menghargai
pendapat orang lain. Selain itu mereka juga diajarkan untuk mandiri atau tidak
bergantung kepada orang lain dalam mengerjakan tugasnya. Para guru di SD
Jepang sangat sabar. Mereka menjelaskan tugas untuk muridnya secara
perlahan dan serinci mungkin, agar mereka teliti dan berhati-hati. Karena yang
terpenting adalah proses pengerjaannnya, maka guru memberikan waktu yang
cukup lama dalam penyelesaiannya.
- Menciptakan suasana kelas yang penuh energi dan saling bekerja sama
Sebagai contoh adalah suasana pelajaran aritmatika di kelas 5. Suasana di
kelas sangat ribut. Mereka bebas berteriak-teriak, berjalan-jalan di dalam kelas
dan mengobrol dengan temannya. Tetapi ternyata, mereka bukan sekedar
berteriak dan mengobrol, tapi mereka diberi kesempatan untuk mengeluarkan
10
pendapat, berdiskusi dengan temannya, memberikan jawaban atau mengusulkan
metode penyelesaian dari soal yang diberikan oleh guru.
Selain itu, mereka biasanya dibagi menjadi kelompok (han) yang
beranggotakan 4-5 orang, kemudian mereka diberikan materi untuk dikerjakan
bersama-sama dalam kelompok Pembagian dan anggota kelompok diatur oleh
guru. Setiap kelompok memiliki ketua kelompok. Ketua kelompok bertugas
untuk mengatur, memberi tugas anggotanya dan menjadi juru bicara dari
kelompoknya. Guru memberi pengarahan kepada ketua kelompok untuk
membagi tugas, mengatur, dan memotivasi kelompoknya. Mereka bersaing
antar kelompok, dan kesuksesan kelompok adalah kesuksesan individu juga.
Kerja kelompok atau han, juga digunakan baik dalam kegiatan akademik
juga non-akademik. Misalnya untuk membersihkan kelas, dan untuk
mempersiapkan makan siang.
- Manajemen kelas di SD
- Salah satu model kelas yang dinilai efektif dalam pembentukan kerja sama
adalah model kelas yang menempatkan guru di tengah, dan dikelilingi oleh
muridnya (vertical equality model) .
Dengan model kelas seperti itu guru dapat mengatur hubungan antar
11
individu, mengetahui kekurangan, kelebihan dan perkembangan setiap individu.
Serta yang terpenting adalah, guru dapat menyelaraskan harmoni, dan
mengurangi rasa berkompetisi atau rasa terasing.
Berdasarkan hal-hal tersebut, pendidikan di SD lebih ditekankan pada
proses, keterikatan dan komitmen. Murid dibiarkan untuk merasakan,
bertindak sesuai kehendaknya, dan diberikan kesempatan untuk menemukan
solusi sendiri, daripada mendapatkan fakta dan mencari jawaban dalam waktu
singkat.
2.4 Aktivitas Khusus (SD dan SMP)
Tujuan dari aktivitas khusus di SD dan SMP adalah, untuk meningkatkan
harmoni dari pikiran dan tubuh, untuk meningkatkan individualitas, untuk
meningkatkan kesadaran sebagai anggota dari kelompok, dan kemampuan
pribadi, kemandirian, dan memperkaya kegiatan sekolah dengan saling
bekerjasama. (Leestma, 1992 : 82)
Aktivitas khusus di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama Jepang,
12
terdiri atas:
1. Aktivitas murid : classroom assembly, persatuan murid, klub.
2. Kegiatan sekolah : perayaan, kegiatan yang berhubungan dengan
kemampuan akademik, pendidikan jasmani, perjalanan wisata, kegiatan
yang berhubungan dengan pendidikan kesehatan dan keselamatan,
kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan.
3. Classroom Guidance : Kesehatan dan keselamatan, mengerjakan tugas
akademik, memilih studi selanjutnya, beradaptasi dengan kelas dan
sekolah.
Contoh dari classroom assembly adalah pertemuan pagi (morning
meeting) Pertemuan pagi di SD, biasanya mereka menyanyikan lagu kelas,
mengumumkan jadwal kegiatan hari ini, dan pidato dari murid mengenai
pendapat mereka atau mmbacakan buku harian mereka, serta komentar dari
homeroom teacher. Pertemuan pagi di SMP misalnya mendiskusikan aktivitas
kelas dan pelajaran hari itu, dan program spesial hari itu, misalnya diskusi
mengenai masalah kelas atau permainan yang menarik.
Contoh dari kegiatan sekolah adalah upacara penerimaaan siswa baru
pada bulan April, pertandingan atletik pada bulan Juni, upacara dimulainya
13
semester baru pada bulan September, pertunjukan budaya pada bulan
November, maraton sekolah di bulan Desember, upacara berakhirnya tahun
ajaran pada bulan Maret. Hal ini dilakukan untuk meperdalam interaksi antar
kelas dan antar angkatan, untuk memupuk solidaritas murid, untuk membuat
sekolah lebih menyenangkan, dan untuk meningkatkan kerjasama murid
dengan pihak sekolah, saling kerjasama dan bersosialisasi yang berhubungan
dengan pendidikan moral.
Classroom guidance dilakukan dapat 1 jam pelajaran, atau setengah jam
pelajaran Contoh dari classroom guidance yang menggunakan satu jam
pelajaran adalah membersihkan sekolah. Tujuannya adalah agar mereka
memperhatikan kerjasama dan tanggung jawab, dan mengembangkan
motivasi mereka untuk mempraktekan teori yang sudah didapat.
4. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa :
Etika dalam bertingkah laku yang didasarkan pada rinrisho adalah
bekerjasama, berinteraksi dengan masyarakat, membantu orang lain, serta
menempatkan orang lain sama dengan diri sendiri. Selain itu etika dalam
14
bertingkah laku bagi individu yang ideal adalah memiliki sunaona kokoro
(hati yang lembut), nintai (pantang mundur), doryoku dan gaman (sabar), dan
gambaru. Adanya keseimbangan hati dan tindakan (harmoni)
1. Target pendidikan moral dari SD dan SMP, secara garis besar adalah disiplin,
mandiri, memperhatikan hubungan manusia, kerjasama, bertanggung jawab,
mencintai orang-tua, menghormati kewajiban dan hak orang-lain, serta
membentuk murid yang penuh semangat (energi).
2. Aktivitas di SD dan SMP Jepang terdiri dari aktivitas di kelas dan aktivitas
khusus. Aktivitas di kelas misalnya aktivitas belajar dalam kelas, dan aktivitas
khusus terdiri dari kegiatan sekolah, kegiatan kelas dan classroom guidance.
3. Semua aktivitas tersebut didasari oleh pendidikan moral, dan memiliki tujuan
untuk meningkatkan harmoni dari pikiran dan tubuh, untuk meningkatkan
individualitas, untuk meningkatkan kesadaran sebagai anggota dari kelompok,
dan kemampuan pribadi, kemandirian, dan memperkaya kegiatan sekolah
dengan saling bekerjasama.
Daftar Rujukan
15
Jichi Sogo Center, March 1991, Education System in Japan
Kondo, Dorinne K., 1990, Crafting Selves, power, Gender, and Discourses of
Identity in Japanese Workplace, The University of Chicago , Amerika
Leestma, Robert dan Walberg, Herbert, 1992, Japanese Educational Productivity,
(Kataoka Tokuo, Class Management and Student Guidance in Japanese
Elementary and Lower Secondary Schools), Michigan Papers in Japanese
Studies, Amerika
Rohlen, Thomas dan LeTendre Gerald, 1998, Teaching and Learning in Japan,
Cambridge University Press : Amerika
White, Merry, 1990, The Japanese Educational Challenge, A Commitment to
Children, Kodansha, Tokyo
www.liberalarts.cc/history-moriarinori,html
www.mext.go.jp/english/org/eshishaku/eshotou.htm