pembelajaran berbasis alam

Upload: erlinda-nur-azzahra

Post on 07-Jul-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    1/16

    PEMBELAJARAN BERBASIS ALAM

    Peni SusaptiSekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

    Abstract

    The natural-based learning appreciated well in societies is indicated by the apearance of outbond project everywhere

    whether this is conducted by schools, education institutions, government offices or private institutions. In Indonesia,

    outbond which is identical with natural-based learning approach is supported by the availibility of a great deal of

    natural resources and the appropriate geographical circumstances. However, education holders need to be serious to

    conduct the natural-based learning.

     Natural-based learning is a kind of learning processes integrating learning materials and environment. This makes

    students explore freely and interact immdiately with environment, so this is able to develop students’ knowledge.

    Using the approach, students will posses a strong attitude to affect other creatures and environment. They become

    accostomed to and are skillful to interact well with their environment, and are able to survive in any conditions. In

    addition, together with their teachers, they are able to construct new knowledge that continuosly develops based on

    their previous experience.

    The implementation of natural-based learning is not always out of classrooms, but learning resources availableoutside can be transmitted into the rooms with any models of learning approaches. The process of natural-based

    learning is a process by which students are the actors and not only the receivers. The range of the process is endless

    from farming through conflict resolution, from assessment (psychology) through adulthoodness, from skill training

    through theoretical models. The implementation of natural-based learning should be designed appropriately, even

    though to achieve the ideal learning model is not exactly easy. Therefore, there must be anticipative, adaptive, and

    aplicative curriculum model approprite with students’ needs and with the development of science and technology. 

    Keywords:natural-based learning, outbond, learning approach

    Pendahuluan

    Akhir-akhir ini kegiatan outbond   semakin marak dilakukan oleh sekolah-sekolah,lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor swasta maupun pemerintah. Bak jamur di musim

     penghujan, kegiatan ini bermunculan di mana-mana dan mendapat respon yang cukup bagus di

    masyarakat. Lalu timbul pertanyaan, sesungguhnya ada apakah dengan fenomena ini? Apakah

    mereka yang ikut program outbond   tersebut memang bersungguh-sungguh atau sekedar

    mengikuti trend saja, agar dianggap tidak ketinggalan jaman.

    Kegiatan belajar mengajar di sekolah selama ini ebih banyak dilakukan di dalam kelas.

    Para guru lebih senang menerapkan pembelajaran di dalam kelas, maka ketika ditawarkan

     program outbond  langsung mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak. Respon masyarakat

    yang begitu hangat, hendaknya menjadikan para penyelenggara pendidikan melirik danmenerapkan model pembelajaran ini.

    Outbond  dipahami sebagai pembelajaran yang dilakukan di luar ruang atau lebih tepatnya

     belajar di alam bebas, walaupun sesungguhnya bisa diterapkan di dalam kelas. Artinya model

     pembelajaran di alam bebas bisa di bawa masuk ke dalam kelas, tergantung bagaimana mengatur

    dan mengolah metode yang akan digunakan, sehingga suasana kelas menjadi lebih semarak.

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    2/16

    Pembelajaran di luar ruang akan membawa peserta didik dapat berintegrasi dengan alam.

    Alam akan membuka cakrawala pandang siswa lebih luas. Metode ini juga diharapkan dapat

    menjalin keselarasan antara materi pembelajaran dengan lingkungan sekitar. Tidak semua materi

    dapat menerapkan metode ini, namun alangkah baiknya apabila sesekali siswa/mahasiswa diajak

    langsung untuk terjun ke lapangan melihat dunia nyata/aktual. Para siswa diharapkan dapatmenimba ilmu secara langsung dari pengalaman nyata yang ada, sehingga materi pembelajaran

    lebih mudah dipahami dan diingat untuk jangka panjang. Pepatah mengatakan bahwa apa yang

    dilihat apa yang diingat.

    Kebanyakan materi pembelajaran dapat didekati dengan model pembelajaran berbasis

    alam. bergantung bagaimana guru mengemasnya. Di sini dibutuhkan kejelian, ketajaman dan

    keuletan guru dalam mencari relasi antara materi ajar dengan kondisi konkrit yang terjadi di

    sekitar. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk dapat menerapkan model belajar berbasis alam dengan

     baik di awal kegaiatan ini dilaksanakan, tetapi apabila sudah terbiasa maka hal yang dirasa berat

    akan terasa ringan.

    Kebanyakan guru masih menyukai pembelajaran di dalam kelas, yang mana ruangan

    merupakan primadona bagi guru untuk melakukan proses pembelajaran. Tanpa ruangan kelas

    sepertinya guru kehilangan gairah ataupun sesuatu yang sangat berharga. Seolah ruangan

    merupakan sarana pembelajaran yang mutlak harus ada. Guru seperti mati langkah apabila tidak

    kebagian jatah ruangan/kelas. Padahal sesungguhnya proses pembelajaran dapat dilakukan di

    mana saja termasuk di luar ruangan/alam bebas. Lingkungan sekitar dapat dijadikan sebagai

    alternatif lain untuk menyiasati keterbatasan ruang kelas.

    Ruangan kelas selama ini memang merupakan salah satu unsur sarana pendidikan yang

    harus dipenuhi. Apalagi jika model pembelajaran menggunakan multimedia, ketergantungan

    akan ruang kelas sangat besar. Kalau sudah begini kita akan terjebak dengan keharusan adanya

    ruang/kelas untuk proses belajar mengajar dan bisa jadi dapat mundur selangkah ke belakang

    seperti periode sebelum diterapkannya KBK. Para guru merasa tidak afdhol   apabila belajar di

    luar kelas, rasanya kurang “ sreg ”. Guru merasa kikuk ataupun canggung serta ribet untuk

    melakukannya. Penulis ingin mengupas penerapan belajar berbasis alam dalam makalah ini.

    Penulis berharap dapat membuka khasanah model pembelajaran berintegrasi dengan alam, yang

    dapat membuat suasana pembelajaran yang lebih segar, nyaman bagi pebelajar.

    Pembahasan

    Belajar berbasis alam

    Secara substansi sekolah berbasis alam merupakan sistem sekolah yang menawarkan

     bagaimana mengajak siswa untuk lebih akrab dengan alam, sekaligus menjadikannya spirit untuk

    melakukan kegiatan belajar mengajar (Anshori, 2008:2).

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    3/16

    Pembelajaran berbasis alam sebetulnya dapat secara fleksibel dilakukan, tidak harus

    dengan bentuk outbond , tetapi dapat dilakukan di lingkungan sekitar sekolah yang terdekat.

    Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan model belajar berbasis alam.

    Santyasa (2009:2) menyebutkan salah satu contoh model belajar berbasis alam antara lain

     pendekatan belajar berbasis masalah. Melalui model pendekatan belajar berbasis masalah, akanmembawa peserta didik pada alam nyata, yang dapat langsung diindera secara visual oleh peserta

    didik. Peserta didik akan memperoleh pengalaman nyata serta dapat memadukan antara teori dan

    kondisi nyata yang ada di lapangan, sehingga mudah diingat dan akan melekat kuat dan tahan

    lama dalam diri peserta didik. Di samping itu suasana akan lebih cair, segar, yang tentunya akan

    menarik peserta didik untuk terus mencari dan menemukan sesuatu. Model pembelajaran ini

    dapat juga dipadukan dengan pendekatan inkuiri, di mana peserta didik diajak untuk menemukan

    sesuatu dan menyimpulkan konsep sendiri. Diharapkan dengan model ini peserta didik akan

    menghargai proses pencarian dan penemuan, sehingga pembelajaran akan lebih berkualitas dan

     bermakna (Santyasa, 2009:2).Bay (2008:1) melaporkan bahwa kita wajib bersyukur apabila termasuk salah satu orang

    yang punya hobi bercengkerama dengan alam. Pengalaman yang dapat diambil dari alam terbuka

    ternyata dapat diterapkan sebagai konsep belajar dan membuka diri. Konsep inilah yang

    dianggap mumpuni untuk menstimulasi kegiatan sehari-hari. Kini kegiatan belajar di alam

    terbuka dalam bentuk outbound training   kian marak ditawarkan. Meskipun istilah ini tidak

    dikenal dalam dunia pendidikan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor education),

    tampaknya masyarakat terlanjur mengenalnya. Akibat salah kaprah tadi, masyarakat awam

    terlanjur rancu dengan istilah outbound training . Padahal pengertian outbound training   sendiri

    masih tidak jelas. Banyak penyedia jasa berbasis aktivitas tali- temali (ropes course) menyebutkegiatannya sebagai outbound training . Sementara itu banyak pula yang menyebut kegiatan

    rekreasi (outing) dengan outbound , hanya karena beberapa jenis permainan yang biasa digunakan

    dalam pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor-based) dimainkan pada acara itu. Di

    lain pihak, ada yang menyebut pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka sebagai outbond

    training . Apa yang disebut sebagai outbond training   oleh mereka yang menggunakan alam

    terbuka sebagai media belajar, sebenarnya lebih tepat jika disebut pelatihan berbasis kegiatan di

    alam terbuka (outdoor-based training)  dengan mengedepankan pendekatan belajar dari

     pengalaman (experiential learning). Selanjutnya Waseso mengatakan bahwa sesungguhnya tidak

     pernah dikenal outbond training , yang ada itu outdoor based training . Mungkin salah kaprah inikarena operator yang memasarkan pertama kali pelatihan model ini di Indonesia adalah Outward

     Bound Indonesia  (OBI). Karena keseringan disebut akhirnya keluar istilah outbound training

    (http://gerbangtiga.blogspot.com).

    Definisi secara singkat menurut Claxton(1987)seperti yang dilansir oleh Bay (2008:3),

    yang disebut EL adalah proses belajar di mana subjek melakukan sesuatu-bukan hanya

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    4/16

    memikirkan sesuatu. Ditinjau dari pengertian ini, maka apa yang dilakukan peserta belajar baik

    di dalam maupun di luar kelas dapat disebut sebagai EL. Confucius beberapa abad lalu

    mengatakan bahwa “aku melakukan, maka aku memahami”. Kegiatan EL itu tak terbatas belajar

    di alam terbuka. Cakupannya luas dari bercocok tanam sampai ke conflict resolution. Dari

    assessment   (psikologis) sampai ke perkembangan remaja. Dari  skill training  sampai ke model-model teori. Malahan sebagian besar orang menyebut bahwa semua jenis pendidikan adalah EL.

    Ada empat pandangan tentang EL. Yang pertama, memandang pengalaman hidup dan kerja

    sebagai basis untuk mencapai tangga keberhasilan dalam mencapai pendidikan tinggi, pekerjaan,

    kesempatan mengikuti pelatihan dan menjadi anggota badan ias am onal . Kedua berfokus bahwa

    EL merupakan basis untuk berkembang dalam berbagai perubahan struktur (organisasi). Ketiga

    menekankan EL sebagai basis dalam meningkatkan kesadaran akan grup, perubahan ias a dan

    kegiatan kemasyarakatan. Terakhir menekankan perkembangan personal dan perkembangan

    efektifitas tim. (http://gerbangtiga.blogspot.com).

    Handriatno dalam Bay (2008:3) mengatakan bahwa EL lebih dari sekedar model belajarlearning by doing . EL itu learning by doing reflection. Peran fasilitator dalam pelatihan akan

    membawa peserta kepada refleksi. Refleksi diri harus ditemukan pada saat berjalan-jalan di alam

    terbuka. Namun EL itu bukan kegaitan di luar ruang menurutnya, sebab bisa dilakukan di dalam

    ruang, tergantung media yang akan dipakai dan juga tak selalu melibatkan aktivitas fisik yang

    terlalu banyak. Berlatih di alam terbuka dengan pertimbangan orang akan lebih banyak

     berekspresi dan eksplorasi. Media yang lebih luas menyebabkan beban di pundak berkurang,

    yang akan membantu membuka pikiran diri sendiri. Di alam terbuka orang memasuki tahapan

     pengalaman emosional yang lebih kuat. Waktu kegiatan mereka banyak mengeluarkan aktivitas

    fisik. Rasa capek membaluti sisa tenaga yang masih tersisa. Biasanya orang-orang yang masih punya sisa tenaga selalu menyemangati teman-teman yang sudah capek

    (http://gerbangtiga.blogspot.com).

    Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di sini fasilitator dituntut untuk bisa memainkan

     perannya dalam membantu peserta mengenali diri sendiri. Fasilitator harus mampu menggali dari

     pengalaman peserta, agar lebih deskriptif. Selain itu, fasilitator juga harus sanggup menstimulasi

     peserta dalam meyakini sesuatu. Fasilitator betul-betul harus mampu menjadi motivator bagi

     peserta didik.

    Sesungguhnya model pembelajaran out bond  dalam Islam sudah dikenal dengan tafakur

    alam. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjadikan alam sebagai laboratorium, yang mana akan

     bermanfaat mengajak siswa untuk selalu mensyukuri nikmat serta mengagungkan kebesaranNya

    (Susapti, 2009: 5). Pada tafakur alam siswa dibawa untuk mengenal alam lebih dekat, belajar

    mengenai makhluk-makhluk ciptaan Allah, mengenal dan mengerti tentang hakekat sesuatu dari

    alam langsung. Model ini akan lebih mengajak siswa kepada belajar yang penuh makna, siswa

    tidak sekedar menerima materi ajar dari guru, tetapi dapat mengamati secara langsung untuk

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    5/16

    kemudian diterjemahkan dalam alam pikirnya, serta diolah dengan rasa. Di sinilah letak

    kebermaknaan itu. Siswa akan dapat mengkolaborasikan antara fakta, akal dan rasa kekaguman

    akan ke Maha Agungan Sang Khalik.

    Menilik paparan tersebut di atas, maka sesungguhnya kebanyakan materi ajar dapat

    didekati dengan model belajar berbasis alam. Karena selama ini yang terbersit di benakkebanyakan orang apabila menyebut belajar berbasis alam pasti langsung menghubungkannya

    dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Implementasi pembelajaran berbasis alam antara lain

    telah dilakukan oleh Sekolah Alam di Bogor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh

    Yusnar pada tahun 2009 menunjukkan hasil bahwa: 1) Pelaksanaan proses pembelajaran

    Pendidikan Agama Islam di Sekolah Alam Bogor menggunakan model tema  spider web  yang

    menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain. 2) Pendekatan

     pembelajaran yang digunakan di Sekolah Alam Bogor adalah Pendekatan Lingkungan,

    Pengalaman, Pembiasaan dan Keteladanan. 3) Sekolah Alam Bogor menggunakan beberapa

    metode, diantaranya adalah metode Demonstrasi, Tanya Jawab, Diskusi, Ceramah, Sosio Drama,Bermain peranan dan Kerja Kelompok. 4) Hasil pembelajaran di Sekolah Alam Bogor yang

    dapat diungkap dalam skripsi ini meliputi: Pengetahuan (cognitive), Afektif dan Psikomotorik.

    Dengan suasana pembelajaran yang tidak ada dikotomi ilmu, menjadikan pengetahuan dan

     pengalaman yang diperoleh siswa bersifat integral. Sikap (Affective), Siswa memiliki sikap

    mental yang kuat. Ia menjadi penyayang terhadap tumbuhan, binatang dan juga alam sekitar.

    Siswa memiliki sikap yang baik terhadap alam. Keterampilan (psikomotorik). Mereka menjadi

    terbiasa dan terampil berinteraksi dengan alam disekitarnya dengan baik. Disamping itu

    keterampilan untuk bertahan hidup ketika dalam kondisi sempit dan keterampilan dalam hal tali-

    temali ketika kemahpun mereka miliki.

    Pendekatan dalam Belajar Berbasis Alam (BBA)

    Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk diterapkan pada pembelajaran berbasis alam.

    Pendekatan tersebut antara lain dengan model inkuiri, pendekatan berbasis masalah, eksperimen,

    demonstrasi, menggambar, diskusi, tanya jawab, bermain peran, sosiodrama, ceramah, dan lain-

    lain. Esensi sesungguhnya adalah untuk lebih mendekatkan siswa pada alam nyata, agar terdapat

    integrasi antara teori dan kenyataan. Dengan mendekatkan siswa pada alam bebas, maka kemam-

     puannya akan lebih tereksplorasi secara bebas. Menurut Santyasa (2009:2) belajar paling efektif

    terjadi dalam suasana bebas. Inovasi adalah upaya untuk memperoleh percepatan proses dan

    keindahan hasil belajar berbasis pada kebebasan dan keberagaman. Mengajar adalah melayani

    agar percepatan dan keindahan itu diperoleh dalam suasana menggembirakan.  Learning can be

     fun, but learners can make it so.

    Santyasa (2009:3) menambahkan bahwa pembelajaran berbasis masalah yang dalam

     bahasa Inggrisnya diistilahkan  Problem-based learning   (PBL) adalah suatu pendekatan

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    6/16

     pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar dengan masalah-masalah praktis,

     berbentuk ill-structured , atau open-ended   melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki

    karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

    1. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan

    2. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar

    3. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan seputar disiplin ilmu

    4. Memberikan tanggung jawab sepenuhnya pada pebelajar dalam mengalami secara langsung

     proses belajar mereka sendiri

    5. Menggunakan kelompok kecil, dan

    6. Menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk

     produk atau kinerja ( performance).

    Jonassen (1999) dalam Santyasa (2009: 3) mendesain model lingkungan belajar

    konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning . Model tersebut memuat komponen-kompenen esensial yang meliputi:

    a. pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, b. kasus-kasus yang saling terkait satu

    sama lain, c. sumber-sumber informasi, d. cognitive tools, e. pemodelan yang dinamis, f.

     percakapan dan kolaborasi, g. dukungan kontekstual/sosial.

    Lebih lanjut Santyasa menjelaskan masalah dalam model tersebut mengintegrasikan

    komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi

    ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined .

    Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada

     permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-

    objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Manipulasi ruang

     permasalahan dapat memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas dapat

    menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat

    yang menjadi mediasi dalam interaksi.

    Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk memahami

     pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik,

    kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan

     scaffolding   untuk membantu memori pebelajar dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi

     pebelajar.

    Fleksibilitas kognisi mereprentasi isi dalam upaya memahami kompleksitas yang

     berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan memberikan

    kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya yang menggambarkan pemahamannya

    terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berfikir divergen dalam

     proses representasi masalah.

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    7/16

    Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan.

    Informasi dikontruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak

    dalam memanipulasi ruang permasalahan.

    Cognitiv tools  merupakan  scaffolding   bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan

    menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitiv tools  membantu pembelajar untuk merepresentasikanapa yang diketahuinya dan apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui

     pemberian tugas-tugas.

    Scaffolding  merupakan suatu pendekatan yang sistematis yang difokuskan pada tugas dan

    lingkungan belajar, guru dan pebelajar. Sacaffolding   memberikan dukungan temporal yang

    mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar, yang mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas,

    restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian alternatif

    Ansori (2008:2) mengatakan sejauh ini, sebagian besar sekolah hanya mengedepankan

    system belajar in-door   saja yang cenderung statis dan membosankan. Akibatnya, tidak sedikit

    dari siswa yang patah semangat atau malas-malasan untuk belajar. Menyikapi fenomena tersebut

    muncul sebuah gagasan bagaimana menciptakan sebuah system belajar yang enjoy  dan

    mengasyikkan tanpa mengurangi substansi materi pembelajaran. Oleh sebab itulah sekolah

     berbasis alam itu muncul di Jepang dengan menawarkan format yang seimbang antara kegiatan

     belajar in-door  dan. out-door

    Kendala belajar di luar kelas

    Belajar di luar ruangan sering terkendala oleh banyak faktor yang menyebabkan

    keengganan para guru untuk melakukannya. Banyak kendala yang harus dihadapi ketika pembelajaran dilakukan di luar ruangan. Kendala-kendala tersebut antara lain:

    1. Volume dan kekuatan suara harus lebih besar, agar dapat ditangkap oleh audiens.

    Di luar ruangan guru tentunya mau tidak mau harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk dapat

    lebih membesarkan volume suaranya. Hal ini karena gelombang bunyi akan terus menyebar,

    di mana tidak ada batas ruang. Selain itu banyak terdapat gangguan bunyi-bunyi lain yang

    ikut mengacaukan suara guru. Kondisi ini juga ikut mempengaruhi besaran volume suara

    yang dapat diterima audiens.

    2. Guru/dosen harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memusatkan perhatian audiens.

    Di luar kelas banyak pemecah konsentrasi yang tidak terduga, sehingga guru harus pandai

    menerapkan strategi pembelajaran. Sejak awal sebaiknya perencanaan sudah harus dibuat

    secara matang. Rencana pembelajaran sebaiknya dibuat secermat mungkin, sehingga siswa

     betul-betul terkonsentrasi pada materi yang hendak dipelajarinya. Oleh karena itu dengan

     pendekatan inkuiri serta strategi permainan kiranya lebih tepat diterapkan untuk hal ini.

    3. Model pembelajaran harus dibuat menarik, variatif

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    8/16

      Model pembelajaran yang konvensional dengan metode ceramah dirasa kurang tepat untuk

    diterapkan apabila belajar berbasis alam. Apabila guru memaksakan diri dengan metode

    tersebut, maka konsentrasi siswa akan terpecah oleh berbagai faktor penggangu yang lain.

    Ceramah masih perlu dilakukan, hanya diterapkan di awal saja, yaitu guru memberikan

    arahan-arahan berupa point-point pokok yang harus dikerjakan siswa, untuk langkahselanjutnya diserahkan mereka. Di samping itu guru dapat menerapkan berbagai metode yang

    menarik lain, sehingga siswa dapat memperoleh sesuatu yang baru sambil berekspresi secara

     bebas. Peran guru sebagai fasilitator akan nampak nyata di sini, misalnya sambil berkeliling

    guru harus tetap memantau hal-hal yang menjadi kesulitan dan dibutuhkan siswa.

    4. Sangat tergantung cuaca

    Cuaca memegang kendali yang cukup besar dalam pembelajaran berbasis alam. Ada hal-hal

    yang sebaiknya menjadi perhatian guru. Apabila pembelajaran dilakukan di sekitar sekolah

    tentunya tidak banyak yang harus dipersiapkan, tetapi kalau pembelajaran dilakukan di luar

    lingkungan sekolah tentu lebih banyak yang harus dipersiapkan. Di samping itu guru juga

    harus mengantisipasi kondisi cuaca, apakah cerah atau hujan, karena tentunya kita tidak dapat

    membiarkan anak-anak basah kuyup terkena air hujan. Demikian pula ketika panas terik,

    anak-anak biasanya tidak mau berpanas-panas di bawah terik matahari.

    5. Konsentrasi audiens kurang

    Seperti kita ketahui bersama bahwa di luar kelas banyak faktor pemecah konsentrasi, antara

    lain dari segi pendengaran maupun pandangan. Dari segi suara misalnya, deru kendaraan

     bermotor apabila pembelajaran dilakukan di tengah hiruk pikuk padatnya kota. Apabila

     pembelajaran dilakukan di kebun atau di sawah hal ini mungkin tidak terlalu berpengaruh.

    Dari segi pandangan konsentrasi akan terpecah apabila pembelajaran dilakukan di sekitar

    sekolah atau kampus sementara banyak lalu-lalang siswa atau mahasiswa lain. Namun

    demikian semua itu dapat diatasi, asalkan pembelajaran dilakukan dengan perencanaan yang

    matang dan tepat.

    Menemukan kembali arti belajar

    Ada banyak pengertian tentang belajar yang disusun oleh para ahli. Menurut Garnida

    (2002:72) secara umum belajar dapat diartikan sebagai suatu kegiatan individu atau kelompok

    individu dalam upaya mencapai perubahan yang positif dan bermanfaat bagi dirinya. Untukmencapai perubahan itu kebanyakan orang langsung berpikir harus sekolah. Hal ini senada yang

    dikatakan Anshori (2008:2) bahwa banyak orang beranggapan belajar itu identik dengan sekolah.

    Jadi ketika berbicara wajib belajar mereka memaknainya dengan wajib sekolah. Dengan demi-

    kian belajar adalah urusan anak sekolahan, bukan urusan orang tua, orang dewasa, bukan pula

    urusan orang yang sudah bekerja, atau masyarakat pada umumnya. Maka belajar itu merupakan

    urusan anak-anak dan dunia persekolahan pada umumnya.

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    9/16

    Tentu saja hal ini tidak benar, sebab apabila kita melihat lebih jauh tentang makna belajar

    yang dikemukakan beberapa tokoh pendidikan, kita mampu menyimpulkan bahwa belajar adalah

     proses pertumbuhan dan atau perubahan agar tahu (knowledge),  agar mau (attitude),  agar bisa

    (skills)  dan agar berhasil (performance).  Oleh karena manusia menempati posisi sentral dari

     proses pembelajaran, maka pengertian belajar juga bisa dipahami sebagai proses perubahandan/atau pertumbuhan manusia dari keadaannya yang semula potensial (human being) menjadi

    actual (being human). Jadi kegiatan belajar merupakan proses berkesinambungan sejak manusia

    lahir hingga mati (…minal mahdi ilal lahdi (al-hadits). Oleh sebab itu sebagai seorang muslim

    kita dituntut untuk dapat lebih dalam menghayati makna belajar secara utuh, sehingga mampu

    mewujudkan cita-cita terbesar diutusnya manusia ke bumi, yaitu sebagai khalifah yang bertugas

    untuk menjaga dan memakmurkan bumi(Anshori, 2008:20).

    Sarana dan prasarana belajar berbasis alam

    1. Kondisi Geografis Indonesia

    Secara geografis Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra dengan

    sumber daya alam yang sangat luar biasa untuk mendukung proses pembelajaran berbasis alam.

    Apabila ditinjau dari khasanah budaya, Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan

     berbagai macam budaya. Alam negeri seribu pulau dengan berbagai panorama pemandangan

    yang indah dapat membantu peserta didik untuk lebih memaknai proses pembelajaran, apabila

     pendekatan yang digunakan para guru teritegrasi dengan alam. Akan lebih bermakna lagi apabila

     proses pembelajaran dapat mengintegrasikan antara teknologi, alam, serta budaya, sehingga apa

    yang dicita-citakan oleh pendidikan dalam menciptakan manusia seutuhnya dapat terwujud.

    Dalam penerapan pembelajaran sesungguhnya kita diharapkan untuk selalu menekankan

    hubungan yang baik secara lateral maupun horizontal, sehingga dapat tercipta keseimbangan

    antara jasmani dan rohani. Relasi yang seimbang ini sangat penting untuk dipupuk sejak dini,

    sehingga manusia yang sutuhnya (insan kamil)  seperti yang dicita-citakan pendidikan Islam

    dapat terwujud. Menurut Arifin (2009: 120-121) ada tiga relasi fundamental manusia baik

    terhadap Tuhan maupun sesamanya. Pertama, relasi kooperatif, yaitu relasi manusia dengan

    sesamanya. Dalam konteks ini, manusia satu dengan manusia yang lain berstatus sama dalam

    memanfaatkan potensi alam yang ada. Kedua, ralasi konsumtif, yaitu relasi manusia dengan alam

    lingkungannya. Ketiga relasi tanggung jawab (mustakhlif), yaitu relasi antara manusia danTuhan sebagai pertanggungjawaban dalam memanfaatkan alam. Relasi ini dibangun untuk

    menciptakan kemakmuran agar alam dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kehendak

     penguasa tunggalnya (Allah).

    Dari ketiga tipe di atas, maka makna belajar akan nyambung dengan hakekat manusia

    sebagai khalifah Allah harus lebih mengedepankan etika kesalehan terhadap lingkungan. Atas

    dasar etika ini, maka manusia semestinya tidak akan bertindak eksploitatif terhadap lingkungan,

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    10/16

    namun justru mengedepankan nilai-nilai kebajikan terhadap lingkungan. Dengan demikian

     penerapan belajar berbasis lingkungan akan menjadi lebih bermakna, sehingga diharapkan

    kondisi kerusakan lingkungan yang kian parah dapat diminimalisir. Hal ini karena sesungguhnya

    manusialah pemegang kunci dari kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Seperti

    termaktub dalam firman Allah berikut ini:

    Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak

    menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendakmenjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan

    menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan

    mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak

    kamu ketahui (Q.S Al Baqarah: 30).

    Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar

    mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. Ar-Rum: 41)

     Nukilan ayat di atas menunjukkan bahwa apabila manusia mampu memaknai perannya

    sebagai kholifah dengan benar dan tidak main-main, maka cita-cita untuk menciptakan manusia

    seutuhnya akan terwujud. Sebagai seorang kholifah di muka bumi manusia akan dapat

    memakmurkan dan mensejahterakan bumi. Kondisi bumi yang makmur dan sejahtera sudah

     barang tentu akan memiliki daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi pula, yang

     berdampak pada eksistensi manusia di muka bumi ini.

    Produk pendidikan yang dengan pendekatan belajar berbasis alam diharapkan akan

    menghasilkan manusia-manusia yang sholeh, arif terhadap lingkungan. Manusia-manusia yang

    tidak tamak, sabar, penyayang, menjadi pemulia lingkungan, sehingga akan terjadi hubungan

    mutualisme antara manusia dan lingkungan.

    Selanjutnya Arifin mengatakan bahwa terma homo Islamicus  merujuk pada perilaku

    individu yang dituntun oleh nilai-nilai Islam. Idealnya seorang muslim adalah homo islamicus

    yang sejati, atau potret dari nilai-nilai Islam yang terpraktekkan secara aktual yang selalu

    memandang alam sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, ramah dengannya, bukan

    sebaliknya. Dalam relasi ini manusia berstatus penguasa dalam memanfaatkan alam, sementara

    alam sebagai obyek kekuasaan manusia. Hubungan rasional ini tetap harus mencerminkan

    hubungan homo islamicus yang selalu menjunjung nilai-nilai keseimbangan.

    Sebagai bangsa yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa sudah semestinya untuk

    selalu mensyukuri nikmat-Nya dan menjaga nilai-nilai keseimbangan relasi antara makhluk yang

    ada di bumi tercinta ini. Sudah semestinya dalam proses pembelajaran siswa dibimbing oleh

    seorang guru yang mampu mengarahkan siswanya untuk menjalin hubungan yang bermakna ini.

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    11/16

    2. Guru

    Apabila kita mengacu pada pembelajaran dengan model Belajar Berbasis Alam (BBA)

     peran guru tidak lagi sebagai nara sumber, yang menjadikannya sebagai pusat pebelajar, namun

    lebih sebagai fasilitator. Pada paradigma pembelajaran absolutisme terjadi proses alih

     pengetahuan yang dilaksanakan oleh guru. Djumhana (2009: 40) mengatakan bahwa guru

     berfungsi sebagai pelaksana alih pengetahuan. Guru menjadi agen alih pengetahuan. Para ahli

    menyimpan ilmu pengetahuan yang disusunnya berupa buku teks, makalah, artikel, laporan

     penelitian dan sebagainya. Oleh guru ditulis sebagai buku ajar. Para guru mengolahnya dan

    menyampaikan kepada siswa. Guru mengatur seberapa luas dan dalam pengetahuan yang harus

    diteruskan kepada siswa. Sebagai agen alih pengetahuan, guru berfungsi sebagai pemutar keran

    yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan, sehingga ia tidak punya hak untuk

    menetapkan ciri-ciri pengetahuan yang disampaikan.

    Pada pembelajaran BBA paradigma yang tepat diberlakukan adalah konstruktivisme. Di

    sini peran guru adalah sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai doktriner. Guru berperan membantu

    dalam membangun aktifitas siswa mengkonstruksi pengetahuan. Djumhana (2009: 42)

    mengatakan bahwa pada paradigma konstruktivisme pembelajaran dipahami sebagai proses

    membangun aktifitas siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan cara membuat hubungan/

    keterkaitan antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan yang sedang

    dipelajari melalui interaksi dengan yang lain (kontekstual).

    Peran Guru pada pembelajaran berbasis alam tidak boleh terlalu dominan, bertindak

    diktator, atau semena-mena, sebaiknya lebih menghargai aktivitas, kreativitas, sikap, maupun

    motivasi siswa. Penilaian yang dapat dilakukan tidak hanya hanya kognitif, tetapi juga afektif

    maupun psikomotorik, sehingga nilai akhir merupakan perpaduan antara ketiganya bahkan lebih.

    Djumhana (2009: 37) menambahkan bahwa sosok seorang guru madrasah perlu juga memahami

     berbagai hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam penyebab terjadinya suatu perubahan yang

    disebut kegiatan belajar. Masalah belajar pada siswa madrasah dapat terjadi dan bersumber dari

    siswanya sendiri, lingkungan keluarga dan lingkungan madrasah.

    3. Siswa

    Siswa pada pembelajaran berbasis alam tidak di tempatkan hanya sekedar sebagai objek

     pebelajar, namun sebaliknya dapat menjadi subjek. Model pembelajaran ini menjadikan siswa

    untuk aktif membangun pengetahuan dengan cara mengkaitkan antara pengetahuan yang telah

    dimilikinya dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya melalui interaksi dengan alam.

    Model pembelajaran ini sesuai dengan paradigma konstruktivisme, terutama yang berhubungan

    dengan pembelajaran IPA dan mata pelajaran lain yang terkait. Menurut Djumhana (2009: 43)

    dalam paradigma konstruktivisme, materi tidak disusun dari atas tetapi ditetapkan bersama-sama

    antara siswa dan guru dengan fokus sesuai dengan kebutuha siswa. Pedagoginya berupa proses

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    12/16

    fasilitasi agar konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa berlangsung. Guru berfungsi sebagai

    fasilitator yang membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara mereduksi

    konflik-konflik konseptual sesedikit mungkin. Evaluasi hasil belajar berupa assesmen unjuk

    kerja. Dengan demikian hasil belajar tidak sekedar pemberian tes tetapi kumpulan hasil kerja

    yang telah siswa lakukan yang disusun dalam suatu portofolio. Pembelajaran dengan paradigmakonstruktivisme adalah “pemberdayaan”. 

    4. Model Kurikulum BBA

    Penerapan kurikulum berbasis kompetensi sesungguhnya sudah berlangsung beberapa

    tahun. Pada kurikulum ini para guru/dosen/pendidik dituntut untuk menerapkan berbagai model

     pembelajaran. Model pembelajaran yang diharapkan dapat lebih menyenangkan dan mempunyai

    dampak untuk jangka panjang yang lebih baik. Agar proses pembelajaran menyenangkan, tidak

    membosankan, serta bervariasi, sebaiknya para guru sudah harus mulai menerapkan

     pengembangan kurikulum yang inovatif. Untuk mengembangkan model kurikulum yang inovatif para guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menerapkan model pembelajaran.

    Menurut Dakir (2004: 11) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

    mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara

    kegiatan belajar-mengajar. Adapun fungsi kurikulum adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan

     pendidikan. Hal senada diungkapkan oleh os2kangkung (2009:1) yang mengatakan bahwa

    kurikulum merupakan seperangkat konsep yang mengatur tentang isi, tujuan, dan proses

     pendidikan yang akan dilaksanakan. Konsep yang diatur dalam kurikulum bersifat tidak kaku

    dan stagnan melainkan suatu gagasan yang dinamis dan progresif, terutama dalam memenuhi

    kebutuhan perkembangan anak pada berbagai aspek, kondisi perubahan sosio-antropologis danilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya dalam bidang ilmu pendidikan dan/atau

     pembelajaran. Atas dasar itu, perlu diupayakan pemahaman dan sosialisasi perlunya

     pengembangan model kurikulum inovatif yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dan

     pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan pada berbagai lingkungan pendidikan keluarga

    (informal), masyarakat (nonformal) dan sekolah (formal).

    Pengembangan model kurikulum inovatif diarahkan untuk membantu pendidik dalam

    merancang model kurikulum, khususnya pada proses pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang

    memenuhi kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Melalui upaya ini diharapkan akan

    memberikan pencerahan pada pendidik untuk mengembangkan variasi proses pembelajaran yangdapat memberikan kesempatan anak memperoleh sejumlah pengalaman belajar secara langsung

    (real learning ), bermakna (meaningfull ) dan konstruktif.

    Model pengembangan kurikulum inovatif, diharapkan dapat mengembangkan kreativitas

    anak. Kurikulum ini hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, misalanya pada

    anak usia dini belum dapat diajak untuk berfikir yang abstrak, karena mereka masih berada

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    13/16

    dalam tahap perkembangan praoperasional. Pada tahap ini anak berada pada tahap menerima

    sesuatu yang konkret saja, untuk membayangkan sesuatu masih sulit. Oleh karena itu diperlukan

    kurikulum yang sesuai, sehingga dapat menunjang perkembangan jiwa dan berfikir anak dengan

     praktis dan tepat sasaran.

    Tujuan pengembangan model kurikulum inovatif dengan model pembelajaran berbasisalam disusun sebagai panduan praksis pembelajaran pada anak sesuai dengan karakteristik dan

    tahapan perkembangannya. Secara spesifik, tujuan tersebut diarahkan untuk:

    1. Memberikan  guideline  bagi pendidik dan  stakeholder   lainnya dalam melaksanakan

     pendidikan pada anak khususnya dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis alam .

    2. Memberikan panduan kepada guru dalam memahami konsep falsafah pendidikan yang

    menjadi dasar kerangka berpikir dan bertindak secara praksis dan professional.

    3. Membantu pendidik dalam merancang dan mengembangkan proses pembelajaran pada anak

    yang memungkinkan tejadinya moving  melalui sumber belajar yang berbasis alam.

    4. Membantu guru menyesuaikan pratik pembelajaran pada anak sesuai dengan falsafah

     pendidikan yang mendasarinya (http://os2kangkung.blogspot.com).

    Sesungguhnya kurikulum inovatif dengan basis pembelajaran alam dirancang tidak hanya

    untuk anak usia dini saja, namun juga dapat diterapkan pada usia yang lebih tinggi yang

    disesuaikan dengan tahapan perkembangan jiwanya. Di sini diperlukan guru yang kreatif,

    inovatif, dan cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik, karena waktu terus berjalan.

    Seiring dengan berjalannya waktu berkembang pula kebutuhan anak, akan pendidikan yang

    menjawab tantangan zaman. Peserta didik adalah manusia masa depan yang berkembang

    mengikuti perubahan arus kemajuan, sementara apabila guru stagnan tidak mengikuti arus per-kembangan, maka akan terlindas zaman. Apabila guru tetap memaksakan kehendak untuk tetap

    tidak berubah, maka guru akan membawa siswa sebagai penonton saja di kancah kekinian yang

    semakin modern. Siswa akan menjadi kurang bisa berkembang, bukan sebagai manusia

     pembaharu yang siap menghadapi tantangan.

    Dakir (2004: 84) mengatakan bahwa pada dasarnya pengembangan kurikulum ialah

    mengarahkan kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai

     pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri, dengan harapan

    agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik. Oleh karena itu

     pengembangan kurikulum hendaknya bersifat antisipatif, adaptif, dan aplikatif. Antisipatif dalam

     pengembangan kurikulum dapat diarahkan ke hal-hal jangka pendek dan jangka panjang, seperti

     pada pengarahan pelita I, II, III dan seterusnya.

    Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa situasi masyarakat sekarang dan yang akan datang

    dapat diantisipasi diantaranya sebagai berikut: perubahan dari masyarakat agraris ke industri,

     pengembangan IPTEKS, pengangguran intelek dan terbatasnya lapangan kerja, masyarakat yang

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    14/16

    komplek tetapi bersifat individualistis, pengaruh globalisasi dan adanya revolusi arus informasi

    dan sebagainya. Pada era pembangunan seperti sekarang ini, pengembangan kurikulum

    hendaknya memperhatikan link   and match  antara out put   dan lapangan kerja yang diperlukan.

    Untuk mencapai harapan terlaksananya tidaklah mudah. Kita harus mengetahui gap antara das

    Sein dan das Sollen, antara kenyataan dan harapan, antara saya dapat dan saya ingin. Kita ingin biasanya bersifat sangat ideal dan sangat sulit dicapai. Untuk dapat mencapai harapan yang

    mampu dicapai itupun perlu adanya berbagai faktor yang mendukung dan program yang

    aplikabel.

    Pada dasarnya kurikulum BBA sebaiknya dirancang dengan cermat. Dimulai dengan

     perencanaan yang ditunjukkan RPP yang jelas, model pembelajaran yang digunakan, alokasi

    waktu, tempat, biaya yang cermat. Dilanjutkan pelaksanaan yang sungguh-sungguh disertai

    sistem penilaian yang objektif, terkontrol. Diakhiri dengan pencapaian batas ketuntasan minimal

    yang ingin diwujudkan dan dilaksanakan, maka proses BBA akan berjalan sesuai dengan yang

    diharapkan.

    Perlu diperhatikan pula bahwa sesuatu yang ideal itu sulit tercapai, oleh karena itu

    ditekankan hendaknya kurikulum dibuat yang antisipatif, adaptif, dan aplikabel. Hal ini terkait

    dengan proses pada BBA di mana terjadi interaksi dan eksplorasi siswa dengan lingkungan. Pada

    kondisi ini siswa dapat merefleksikan pengalaman belajar siswa, yang membentuk pengetahuan

    terus berkembang pada diri siswa.

    Hal selajutnya yang perlu diingat bahwa tujuan belajar adalah menjadikan siswa senang,

     bergembira, dan riang belajar, kreatif, mempunyai motivasi, serta mengembangkan etika moral

    yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar. Penerapan BBA akan

    menjadikan belajar terasa ringan, nyaman, menyenangkan serta penuh makna.

    Kesimpulan

    Belajar berbasis alam adalah proses belajar yang mengintegrasikan antara materi ajar dan

    lingkungan sekitar. Proses belajar ini akan membuat siswa bereksplorasi secara bebas dan

     berinteraksi langsung dengan alam, sehingga akan mengembangkan pengetahuan siswa. Siswa

     bersama guru bersama-sama mengkonstruksi pengetahuan yang baru yang terus berkembang.

    Di Indonesia, pendekatan belajar berbasis alam sesungguhnya tidak perlu disingkiri lagi,

    karena sangat didukung oleh kekayaan sumber daya alam yang luar biasa dan kondisi geografisyang cocok. Dibutuhkan keseriusan para penyelenggara pendidikan untuk segera melakukan

     proses belajar berbasis alam.

    Implementasi belajar berbasis alam tidak harus berada di luar ruang, namun demikian apa

    yang ada di luar ruang dapat dialihkan di dalam ruangan/kelas, dengan berbagai macam model

     pendekatan pembelajaran. Proses belajar berbasis alam adalah proses belajar di mana subjek

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    15/16

    melakukan sesuatu-bukan hanya memikirkan sesuatu. Cakupannya luas dari bercocok tanam

    sampai ke conflict resolution, dari assessment  (psikologis) sampai ke perkembangan remaja, dari

     skill training  sampai ke model-model teori.

    BBA menjadikan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh siswa bersifat integral.

    Siswa memiliki sikap mental yang kuat, ia menjadi penyayang terhadap tumbuhan, binatang dan juga alam sekitar, siswa memiliki sikap yang baik dan ramah terhadap alam. Mereka menjadi

    terbiasa dan terampil berinteraksi dengan alam di sekitarnya dengan baik, serta mempunyai

    keterampilan untuk bertahan hidup ketika dalam kondisi sempit.

    Di akhir tulisan ini penulis ingin menekankan bahwa penerapan BBA sebaiknya

    dirancang dengan cermat. Untuk mencapai pembelajaran yang ideal memang tidak mudah, oleh

    karena itu ditekankan hendaknya kurikulum dibuat yang antisipatif, adaptif, dan aplikabel sesuai

    dengan kebutuhan siswa serta tuntutan perkembangan zaman.

    Daftar Pustaka

    Arifin, S.  Kesalehan homo islamicus menjawab krisis lingkungan hidup. Jurnal Ijtihad Vol. 9,

     No. 2, Desember 2009. Salatiga. STAIN Salatiga Press.

    Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Rineka Cipta.

    Djumhana, N. 2009.  Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.  Jakarta. Direktorat Jendral

    Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia.

    Garnida, D. 2002.  Belajar dan Proses Berpikir dalam Buku Pedoman Guru Mata Pelajaran

     Pendidikan IPA Madrasah Ibtidaiyah.  Jakarta. Departemen Agama RI. Direktorat

    Jenderal Kelembagaan Agama Islam.

    http://gerbangtiga.blogspot.com/2008/08/belajar-berbasis-alam/html, diakses tanggal 28 Pebruari

    2010.

    http://os2kangkung.blogspot.com/2009/08/kurikulum-inovatif-pendidikan-anak-usia.html,

    diakses tanggal 7 Maret 2010.

    Santyasa, I.W.  Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Kooperatif . Departemen

    Pendidikan Nasional. Universitas Pendidikan Ganesha. Disajikan dalam Pelatihan

    tentang Pembelajaran dan Asesmen Inovatif bagi Guru-guru Sekolah Menengah

    Kecamatan Nusa Penida tanggal 22-24 Agustus 2008 di Nusa Penida.

    Susapti, P. 2009.  Pembelajaran Biologi Berbasis Lingkungan di MI . Workshop Internasional

    Pendidikan Sains Berbasis Lingkungan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi

    Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 6-8 Agustus 2009.

    Yusnar, M. 2009. Pendidikan Agama Islam Berbasis Alam Pada Sekolah Alam Bogor Kelurahan

    Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor Jawa Barat . Skripsi. Yogyakarta. Universitas

    Islam Negeri Yogyakarta. 

  • 8/19/2019 Pembelajaran Berbasis Alam

    16/16