pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang

170
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak adalah merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, Negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh karena kondisinya sebagai anak, maka diperlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik mental dan rohaninya. 1 Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B angka 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai hak tumbuh kembang anak serta mendapatkan perlindungan. Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang 1 Darwan Prinst 1997, Hukum Anak Indonesia (Selanjutnya disebut dengan Darwan Prinst I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 98

Upload: nguyendat

Post on 31-Dec-2016

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1. Latar Belakang

Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat

adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat

dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan

penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak adalah merupakan

tumpuan harapan masa depan bangsa, Negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh

karena kondisinya sebagai anak, maka diperlukan perlakuan khusus agar dapat

tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik mental dan rohaninya.1 Bertolak dari

hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas

dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia

yang diatur dalam Pasal 28B angka 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur

mengenai hak tumbuh kembang anak serta mendapatkan perlindungan.

Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia

untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No.4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

1 Darwan Prinst 1997, Hukum Anak Indonesia (Selanjutnya disebut dengan Darwan Prinst I),

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 98

2

Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana secara

substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup,

hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut

agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak

jaminan sosial.

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa

yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat

khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.2 Masa

kanak-kanak merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang,

pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak,

kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan

dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan3.

Tindak pidana yang dilakukan anak selalu menuai kritikan terhadap para

penegak hukum yang oleh banyak kalangan dinilai tidak mengindahkan tata cara

penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada kesan kerap kali

2 Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang

Berhadapan Dengan Hukum, Serial Online September 16, 2009, availaible from : URL: http:

Keadilan-Restoratif-Dan-Pemenuhan-Hak-Asasi-Bagi-Anak-Yang-Berhadapan-Dengan-Hukum.com,

hal. 1

3 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 1.

3

mereka diperlakukan sebagai orang dewasa dalam “bentuk kecil” yang melakukan

tindak pidana.

Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan

ekstrinsik dari kenakalan anak :

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :

a. Faktor intelegentia

b. Faktor usia

c. Faktor kelamin

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :

a. Faktor rumah tangga

b. Faktor pendidikan dan sekolah

c. Faktor pergaulan anak

d. Faktor mass media.4

Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan

kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan

dengan hukum dan sistem peradilan pidana.

Pertengahan Juni 2009, secara serentak beberapa stasiun televisi swasta

nasional menayangkan dua kasus kriminalitas dengan pelaku anak-anak. Usia mereka

12 tahun–15 tahun dari latar belakang keluarga sederhana. Satu kasus pencurian

terjadi di wilayah Depok dan yang lain adalah kasus perjudian di wilayah Tangerang.

Anak-anak tersebut sangat tertekan di dalam tahanan, mereka menangis minta segera

pulang dan ada pula yang hanya menundukkan kepala dengan lesu. Beberapa diantara

mereka ada yang mengalami kekerasan selama penyidikan.

4 Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 17

4

Kasus Tangerang dan Depok merupakan gambaran kondisi anak-anak yang

berhadapan dengan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil beberapa kali pengamatan

di Pengadilan Negeri Solo terdapat beberapa anak yang dihadapkan ke persidangan.

Salah satunya anak berinisial BT berumur 15 tahun karena mencuri sandal atau juga

DSW yang berumur 14 tahun yang disidang karena melakukan pemerasan terhadap

teman sekolahnya. Kasus-kasus tersebut keduanya harus mengenyam udara di Rumah

Tahanan (Rutan) Solo beberapa bulan.5

Salah satu daerah yang berkembang di Indonesia adalah daerah Bali, dimana

Bali sebagai salah satu wilayah Indonesia yang merupakan salah satu daerah

pariwisata dan memiliki jumlah penduduk yang cukup padat serta keadaan sosialnya

yang berkembang pesat baik dari keadaan penduduknya baik secara kuantitas ataupun

kualitas sumber daya manusianya, dimana dalam hal ini daerah Bali saat ini terdapat

beberapa kasus yang terkait dengan anak seperti dari data yang diperoleh dari

Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali Tahun 2010 yaitu :

1) Kabupaten Buleleng : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan

oleh anak sejumlah 30 orang, dimana diantaranya melakukan tindak

pidana pelecehan seksual sebanyak 15 orang, tindak pidana pencurian

sebanyak 8 orang dan tindak pidana lainnya sebanyak 7 orang.

2) Kota Denpasar : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh

anak sejumlah 13 orang, dimana diantaranya melakukan tindak pidana

5 Dian Sasmita, Anak-anak Dibalik Terali Besi, Serial Online Maret 22, 2011, availaible from

: URL: http: Anak-anak-Dibalik-Terali.com, hal. 1

5

pelecehan seksual sebanyak 4 orang, tindak pidana pencurian

sebanyak 9 orang.

3) Kabupaten karangasem : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan

oleh anak sejumlah 1 orang, dimana diantaranya adalah melakukan

tindak pidana pencurian.

4) Kabupaten Jembrana : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan

oleh anak sejumlah 6 orang, dimana diantaranya melakukan tindak

pidana pelecehan seksual sebanyak 1 orang, tindak pidana pencurian

sebanyak 5 orang.

5) Kabupaten klungkung : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan

oleh anak sejumlah 2 orang, dimana diantaranya melakukan tindak

pidana pelecehan seksual sebanyak 2 orang.

6) Kabupaten : terdapat pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak

sejumlah 1 orang, dimana anak tersebut melakukan tindak pidana

pencurian.6

Berdasarkan dengan data penunjang diatas diketahui bahwa banyak kuantitas

anak yang bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses peradilan pidana.

Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami proses hukum atas

perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan, mulai dari tahap penyidikan

oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh hakim dan pelaksanaan putusan

6 Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Prov.Bali

6

hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi kewenangan oleh UU

untuk melakukan penahanan. Situasi dalam tahanan memberikan beban mental

berlipat bagi si anak, ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka

yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Proses penghukuman yang

diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan

anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi

pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru

seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.7

Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan

hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia

saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional (Konvensi Internasional)

yaitu terkait dengan pemenuhan hak-hak anak sendiri.Konvensi Hak-hak Anak yang

disahkan pada tanggal 20 November 1989 dan tercantum dalam Resolusi PBB

No.44/25 (Convention On The Rights Of The Child) yang oleh Pemerintah Republik

Indonesia disahkan dengan Surat Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tersebut

memiliki makna yang sangat besar dalam konteks perlindungan anak termasuk pula

terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Setelah dilakukannya ratifikasi atas

Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres

Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada

Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut

7 M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1995, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam

Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF,

Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta, hal. 1.

7

dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam

Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang

No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan

secara umum bahwa suatu upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini

mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan

belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh,

dan komprehensif termasuk pula terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum

sebagai akibat anak yang bermasalah dengan hukum, undang-undang ini meletakkan

kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai

berikut :

a. nondiskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan

merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak

mengnai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum (children

in conflict with law).8 Konvensi Hak Anak, ada 3 instrumen internasional yang

8 M. Joni & Zulchaina, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi

Hak Anak, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.74

8

dianggap penting tentang perlindungan anak yang bermasalah dalam hukum yaitu :

1. The United Nation Guidelines For The Prevention of Juvinile Deliquency

(The Riyadh Guidelines)

2. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of

Juvinile Justice (The Beijing Rules)

3. The United Nation Rules For The Protection Of Juvinile Dep Rived For

Liberty

Keseluruhan instrumen internasional tersebut tidak lepas dari tujuan utama dan

pemikiran dari peradilan anak untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.9

Menurut yuridis perhatian pemerintah terhadap anak juga sudah terwujud

sejak lama dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak sampai dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997

tentan Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Undang-undang ini diatur tentang hukum pidana anak yang

secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-

undang ini mengatur pula tentang perlindungan hak-hak anak yang menjadi tersangka

dalam tindak pidana karena peradilan pidana untuk anak bukanlah semata sebagai

penghukum tetapi untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak

serta mencegah pengulangan tindakan dengan menggunakan pengadilan yang

konstruktif. Negara-negara di dunia mencari alternatif tentang penyelesaian terbaik

9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni

Bandung, hal.111

9

mengenai cara penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu

sebagai pelaku tindak pidana, selain itu diupayakan pula adanya suatu pengaturan

Internasional yang mengatur pelaksanaan peradilan anak serta menjadi standar

perlakukan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana seperti

diantaranya adalah The Beijing Rules yang biasa digunakan sebagai standar minimum

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengenai administrasi peradilan anak.

Hak-hak anak didalam penyidikan wajar mendapat perhatian khusus demi

peningkatan pembinaan dan mengembangkannya serta kesejahteran anak. Di dalam

Undang-Undang No.3 Tahun 1997 dengan jelas telah mengatur tentang penyidikan

terhadap anak yang belum secara khusus diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana namun ada dugaan bahwa di lapangan jalanya proses penyidikan

terhadap tersangka anak masih jauh dari harapan, dimana penyidik seringkali

mengabaikan aturan yang ada dalam undang-undang atau dengan kata lain dalam

penyidikan tersangka anak masih jauh dari yang diharapkan dalam aturan Undang-

Undang No. 3 Tahun 1997, misalnya di dalam pelaksanaan Pasal 42 ayat 2 yang

bunyinya :

”Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta

pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu

juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli

kesehatan jiwa, ahli agama atau pertugas kemasyarakatan lainnya”.

Beberapa tanggapan yang mengatakan banyak penyidik yang tidak

memberikan perhatian secara khusus terhadap tersangka anak dalam peristiwa-

peristiwa itu menunjukkan hukum masih belum berpihak pada anak-anak padahal

10

sebagai subyek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlakuan dan perlindungan

yang sama dengan orang dewasa bahkan seharusnya anak-anak juga berhak

mendapatkan bantuan penasehat hukum/pengacara. Sejak jaman dulu dalam praktik

penyidikan terhadap anak-anak juga sering menjadi korban penekanan dan perlakuan

kekerasan agar anak memberikan pengakuan sesuai yang dikehendaki para penyidik,

anak-anak seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum karena terampas oleh

praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh penyidik.

Proses penanganan dimana dalam hal ini terkait dengan menangani

permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum terdapat permasalahan penegak

hukum tidak sertamerta menyalahkan dan memberi cap atau stigma negatif pada anak

yang melakukan pelaku pidana. Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan

mengenai prosedur penuntutan dalam peradilan anak.

Polisi dalam suatu sistem peradilan pidana adalah awal dari proses tersebut di

banyak Negara. Polisi mempunyai suatu otoritas legal yang disebut sebagai diskresi,

dimana dengan otoritas tersebut polisi berhak meneruskan atau tidak meneruskan

suatu perkara. Kemungkinan polisi melakukan atau menggunakan otoritas diskresi ini

sangat besar. Beberapa negara melalui otoritas diskresi, setelah melalui pemeriksaan

awal Polisi dapat menentukan bentuk pengalihan (diversi) terhadap suatu perkara

anak. Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan

penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan

pengalihan (diversi) dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih

lanjut. Diversi dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak

11

(yang diduga melakukan tindak pidana) dari proses formal. Program ini bertujuan

menghindari anak mengikuti proses peradilan yang dapat menimbulkan label/cap/

stigma sebagai penjahat, namun hal ini belum diatur secara tegas dalam suatu aturan

atau norma terkait dengan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum

sehingga hal ini akan terkait kental dengan kapasitas dan kompetensi dari penyidik

dan penuntut umum dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum.

Bertitik tolak dari pemaparan diatas, maka diperlukan adanya suatu

pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah delinkuensi anak

Indonesia, dimana seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami

dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan

perundang-undangan (KUHP) serta aturan yang khusus mengkaji mengenai kejahatan

yang dilakukan oleh anak bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak sesuai

dengan instrumen internasional yang tetap harus dipegang untuk implementasinya

disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.

Keadaan yang terjadi saat ini telah berkembang seiring dengan konsep berpikir

manusia yang berkembang sehingga apabila seorang anak melakukan tindak pidana

dalam hal proses yang diberlakukan terhadap seorang anak hendaknya lebih

menekankan sarana non-penal yang dapat diambil namun haruslah tetap berorientasi

dengan koridor hukum yang berlaku sehingga sarana non-penal dapat diterapkan pada

kasus-kasus tertentu dengan syarat tertentu pula serta adanya peningkatan sumber

daya manusia dari aparatur penegak hukum sehingga proses penangan anak yang

bermasalah dengan hukum sesuai dengan instrumen internasional dan hukum positif

12

di Indonesia demi masa depan anak yang lebih baik. Bertolak dari pemaparan tersebut

diperlukan adanya suatu perumusan kebijakan khususnya dalam hukum pidana anak

untuk menangani anak yang bermasalah dengan hukum di Indonesia.

Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah Undang-Undang No 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mengatur tata cara penanganan anak

yang berhadapan dengan hukum yang notebene didalam penegakan hukumnya

(proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum) masih terdapat norma

yang kabur (multitafsir) dalam penanganan kejahatan anak belum jelas diatur

mengenai dasar legalitas yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain

seperti mengembalikan anak kepada orang tua atau wali ataupun menyerahkan anak

kepada Departemen sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu dalam

Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak seperti :

Pasal 5

(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau

orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua,

wali, atau orang tua asuhnya.

(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali,

atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen

Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal diatas diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 khususnya

tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain seperti

mengembalikan anak kepada orang tua atau wali ataupun menyerahkan anak kepada

Departemen sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang dalam

13

normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan

suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen) . Penelitian tesis ini juga

mengedepankan mengenai belum terdapat pengaturan yang kongkrit dan jelas

(Norma Kosong) terkait dengan belum diaturnya norma khusus atau dituangkannya

dalam satu Pasal khusus tentang diversi secara kongkrit dan jelas didalam aturan

posistif di Indonesia khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan anak sehingga sesuai dengan Instrumen Internasional sehingga sangat

diperlukan pembentukan hukum pada masa mendatang, oleh sebab itu pemerintah

perlu menciptakan peraturan–peraturan yang akurat untuk mengantisipasi masalah

tersebut melalui pembaruan dari hukum pidana yang telah ada saat ini.

Bertitik tolak bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya berorientasi

pada kebijakan (”policy-oriented”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada

nilai (”value-oriented approach”). Pembaruan hukum pidana harus dilakukan

dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan

bagian dari suatu langkah kebijakan atau ”policy” yaitu bagian dari politik

hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berdasarkan pemaparan diatas

memili keinginan untuk menulis tesis dengan judul ” PEMBARUAN HUKUM

PIDANA DALAM PROSES PENANGANAN ANAK YANG BERMASALAH

DENGAN HUKUM (DIKAJI DARI PERSPEKTIF PERADILAN PIDANA)”

14

1.2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka masalah

yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam

peradilan pidana ?

2. Bagaimanakah pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang

bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius

Constituendum ?

1.3. Ruang lingkup masalah

Bertitik tolak dari rumusan masalah diatas maka dalam rangka untuk

mendapatkan hasil pembahasan sedemikian sistematis, metodelogis serta tidak keluar

dari permasalahan yang dikemukakan maka perlu adanya pembahasan-pembahasan

yang dibatasi dengan ruang lingkup tertentu yang terurai dalam bab per bab yaitu:

pembahasan permasalahan pertama dan pembahasan permasalahan kedua.

Ruang lingkup dalam pembahasan pertama akan dibahas tentang proses

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana, kemudian

akan dibahas mengenai pembahasan selanjutnya yaitu berkaitan dengan pembaruan

hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di

Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.

15

1.4. Tujuan Penulisan

Suatu penulisan yang bersifat ilmiah biasanya mempunyai suatu tujuan

tertentu, demikian pula dalam penulisan tesis ini juga mempunyai tujuan, yaitu :

1.4.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan

paradigma science as a prosses ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu

tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran.10

Adapun

tujuan umum penulisan tesis ini adalah pengembangan konsep, asas, doktrin, dan

teori hukum pidana khususnya dalam pembaruan hukum pidana dalam proses

penanganan bermasalah dengan hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius

Constituendum.

1.4.2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam mengenai proses

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana

2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam mengenai pembaruan

hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan

hukum di Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.

10

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2008, Pedoman Penulisan

Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca

Sarjana UNUD , hal. 25

16

1.5. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penulisan tesis ini dapat

dibagi menjadi dua, yaitu :

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

teoritik dalam pengembangan teori, konsep, asas hukum pidana khususnya bidang

hukum anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan

hukum positif yang berlaku di Indonesia.

1.5.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu untuk menambah pengetahuan

mengenai sitem peradilan pidana khususnya proses penanganan anak yang

bermasalah dengan hukum dalam peradilan pidana serta merumuskan pembaruan

hukum pidana dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum di

Indonesia dikaji dari perspektif Ius Constituendum.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Kebijakan pembaruan hukum pidana dalam proses penanganan anak yang

bermasalah dengan hukum memang kajian yang menarik untuk dibahas dalam dunia

akademis, dimana dalam kajian ini bukan hanya membahas mengenai proses pidana

anak yang ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi

17

membahas pula kebijakan apa yang patut untuk diterapkan dalam proses penanganan

anak yang bermasalah dengan hukum.

Kebanyakan dalam dunia akademis apabila anak melakukan tindak pidana

maka sarana penallah yang mutlak diberlakukan seperti yang telah diterangkan dalam

beberapa tulisan antara lain :

Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana

atas nama Gusti Ayu Kade Komalasari dengan judul ”Sistem Pemidanaan Terhadap

Anak Menurut Hukum Positif Indonesia” dimana rumusan masalahnya meliputi : 1.

bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia

(Ius Constitutum)? , 2. apakah sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum positif

di Indonesia telah sesuai dengan Konvensi Internasional? , 3. bagaimanakah

sebaiknya sistem pemidanaan terhadap anak dalam hukum Indonesia dimasa

mendatang (ius constituendum)?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi pada

”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan

semata terhadap anak sehingga dari rumusan masalahnya adalah mengkaji mengenai

aturan positif di Indonesia serta Konvensi Internasional, dengan hal tersebut

penelitian ini mencoba untuk menentukan bagaimana sebaiknya sistem pemidanaan

terhadap anak dimasa akan datang sesuai dengan hukum yang dicita-citakan, dimana

pemidanaan adalah muara terakhir dari suatu adanya pertanggungjawaban pidana dan

pemidanaan adalah suatu proses penjatuhan pidana terhadap seseorang (terhadap

tindak pidana anak, pemidaaan dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan).

18

Kedua, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Udayana atas nama

I Wayan Yasa Abadhi dengan judul ”Kebijakan Legislatif Tentang Pidana Dan

Pemindanaan Dalam Undang –Undang No. 3 Tahun 1997” dimana rumusan masalah

meliputi : 1. bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak anak dalam proses

peradilan pidana? , 2. bagaimanakah kebijakan tentang pidana dan pemidanaan dalam

Undang-undang No. 3 Tahun 1997?. Penelitian Tesis ini pada dasarnya berorientasi

pada ”pemidanaan terhadap anak” dengan rumusan masalah yang mengkaji

pemidanaan semata terhadap anak serta memaparkan kebijakan tentang pidana dan

pemidanaan yang tertuang dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak sehingga dalam penelitian ini memaparkan bahwa anak yang

bermasalah dengan hukum adalah objek dari hukum yang wajib untuk dipidana

apabila telah secara hukum memenuhi unsur-unsur dari kejahatan yang disangkakan

kepada anak tersebut.

Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis di Universitas Diponegoro atas

nama Novie Amalia Nugraheni dengan judul ”Sistem Pemindanaan Edukatif

Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana” dimana rumusan masalah meliputi :

1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana di Indonesia saat ini ?, 2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke

depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?. Penelitian Tesis ini pada

dasarnya berorientasi pada pemidanaan terhadap anak yang bersifat lebih edukatif

dengan rumusan masalah yang mengkaji pemidanaan semata terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum, namun dalam penelitian ini lebih mengkai bagaimanakah

19

pemidanaan yang seharusnya diterapkan kepada anak sehingga pemidanaan tersebut

lebih bersifat edukatif terhadap perkembangan anak tersebut.

Bertolak dari beberapa penelitian tesis diatas apabila dibandingkan dengan

penelitian penulis disini tidak mengkaji mengenai pidana dan pemidanaan terhadap

anak melainkan bagimana agar seorang anak sedapat mungkin untuk tidak dipidana

dan meskipun dipidana maka merupakan sebuah Ultimum Remidium terhadap

seorang anak sehingga penggunaan pemidanaan hendaknya seminimal mungkin dan

sehati-hati mungkin untuk diberlakukan sehingga dalam hal ini sarana non-penal

diharapkan dapat diterapkan dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan

hukum khususnya dalam proses penyidikan di kepolisian, dimana dalam hal ini

penulis juga mengkaji mengenai ketidaksesuain antara hukum positif Indonesia

dengan Instrumen Internasional tentang Anak (The Beijing Rules) khususnya

mengenai hal tidak diserap dan diadopsi masalah tentang norma yang mengatur

diversi bagi anak yang bermasalah dengan hukum.

Penelitian terdahulu, penekanan terhadap penelitian ini belum pernah

mendapat kajian oleh karena itu penelitian penulis lakukan dapat dikemukakan

karena masih bersifat orisinil dan layak untuk dijadikan sebagai objek penulisan

dalam bentuk tesis.

2. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir

2.1. Landasan Teoritis

20

Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori

sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai

wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati, sedangkan

Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :

“A theory is a set of interrelated connstructs (concepts), definitions, and propositions

that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables,

with the purpose of explaining and predicting the phenomena (Sebuah teori adalah

satu set saling terikat (konsep), definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan

sistematis dari fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan tujuan

menjelaskan dan memprediksi fenomena)”.11

Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek

Empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan

study law in action. 12

Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara

lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi

dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan

cara merumuskan hubungan antar konsep .13

11

Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung ,

hal. 140

12

Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.196

13

Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19

21

Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto

atau sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada

usaha menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka

harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah

berlaku. 14

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih,

atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu

yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu

dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua

variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.15

Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang

anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status

offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak

termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak.

Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal

offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa

termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.16

14 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada ,

Jakarta, hal. 81

15

Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal.30

16

Ibid, hal.2

22

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia

12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah yaitu :

1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan

tindak pidana;

2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar

sendiri terjadinya suatu tindak pidana17

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang

terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:

1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;

atau

2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan

orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau

3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa

pelanggaran hukum.18

Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi

menjadi :

17 Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia,

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik

Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial

Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3

18

Apong Herlina, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum,

Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, hal. 17

23

1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;

2) Korban tindak pidana;

3) Saksi suatu tindak pidana.19

Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang relevan dengan

permasalahan yang akan dibahas disini terutama hal-hal yang terkait dengan tindak

pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dengan melihat hal tersebut untuk

menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan dimasa yang akan datang.

Berdasarkan konsep umum tersebut untuk mengkajinya penulis menggunakan

beberapa teori yang dapat digunakan untuk mengkajinya yaitu :

1. Politik kriminal (Criminal Politiek )

Politik kriminal dalam hal ini merupakan kebijakan-kebijakan atau usaha yang

rasional untuk menanggulangi kejahatan, dimana dalam hal ini merupakan bagian

dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy),

Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yaitu usaha dari

masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu :

a) Dalam arti sempit yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana

19 Ibid

24

b) Dalam arti luas yaitu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

c) Dalam arti paling luas, yaitu merupakan keseluruhan kebijakan, yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang

bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.20

2. Kebijakan hukum pidana (Penal Policy).

Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.

Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat

dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada

para penguasa. Menurut Peters, pernah menyatakan pembatasan dan pengawasan/

pengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang sesungguhnya

dari hukum pidana; tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah ’’mengatur

masyarakat’’ , tetapi "mengatur penguasa" yaitu :"the limitation of, and control

over, the powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal

law :The Juridical task of criminal law is not policing society but policing the

police"( pembatasan, dan kontrol atas, kekuasaan Negara merupakan dimensi

20

Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II),

hal. 114

25

yuridical nyata dari hukum pidana: Tugas Yuridis hukum pidana tidak kebijakan

masyarakat tetapi kepolisian polisi).21

Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang

terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :

a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau

merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang

dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.

b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh

aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum

pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.22

Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum

pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan

hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan

ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu

merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak

hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti

luas/ material.

21

G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland, Hal.

139.

22

Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Penqembanqan

Hukum Pidana (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I)PL Citra Aditya Bakti Bandung, , hal.30

26

Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal,

penjatuhan pidana ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh

pejabat yang berwenang, sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan

pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang

berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan

pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana,

jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan pidana itu

sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang

integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud

dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal

yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus

Latihan ke -34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai

berikut:

Most of group members agreed some dicussion that "protection of the

society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although

not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms

like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living", "social

welfare" or equality (Sebagian besar anggota kelompok setuju beberapa

27

dicussion bahwa "perlindungan masyarakat" dapat diterima sebagai tujuan

akhir dari kebijakan kriminal, Meskipun bukan tujuan utama masyarakat,

yang mungkin bisa digambarkan dengan istilah seperti "kebahagiaan

warga", "sebuah sehat dan hidup budaya "," kesejahteraan sosial "atau

kesetaraan)".23

Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada

hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan

dalam konteks upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Pelaksanaan dalam orientasi politik hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,

dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Politik hukum menurut Sudarto adalah:

1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung di dalam

masyarakat dan apa yang dicita-citakan.

2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik, sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu.24

Bertolak dari hal tersebut sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum

pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan

23

Summary report, 1974, Resource Material Series No.7, UNAFEI, Hal. 95

24

M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 19

28

merumuskan suatu perundang-undangan yang baik dalam arti memenuhi syarat

kepastian hukum, keadilan dan daya guna yang akan mencapai tujuan dari aturan

tersebut.

Menurut A. Mulder, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis

untuk menentukan :

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu

diubah atau diperbaharui.

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

pidana.

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan

pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.25

Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi

kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dari praktek

perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di

Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan

normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Persoalan sekarang adalah

garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya

ditempuh dalam menggunakan hukum pidana.

25

Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana Pasca Sariana

Universitas Indonesia (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II). Jakarta, hal. 7.

29

Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana

terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau

bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer

menyatakan bahwa :

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup,

sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana (The

criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the

foreseeable future get along, without it).

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia,

yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya

besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari

bahaya (The criminal sanction is the best available device we have

for dealing with gross & immediate harms and threats from

harms).

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari

kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan

secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan

pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara

paksa ( The criminal sanction is at once prime guarantor and

prime threatener of human freedom. Used provedently and

humanely, it i s Guarantor; used indiscriminately and, it is

coercively threatene r).26

Packer berpendapat bahwa dalam konteks frasa sembarangan dan secara paksa

yang dikatakan oleh Packer dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu

tentang norma hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan

bagaimana cara menegakkan hukum terhadap tindakan tersebut (hukum pidana

formil) sehingga dalam menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi

kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati, karena bukan tidak mungkin

26

Herbert L. Packer, 1967,The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California

University Press, hal. 344

30

penggunaan sanksi pidana itu akan menjadi semacam "bumerang" bagi tujuan

pemidanaan itu sendiri.

3. Teori Pemidanaan

Terkait dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini penulis juga menekankan

sarana penal yang telah diberlakukan di Indonesia saat ini yaitu pada penerapan

sanksi yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi di dalam penegakan

hukum. Penerapan sanksi pidana dari Undang-undang RI NO. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. Dimana apabila kita lihat maka terdapat beberapa teori

yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni

terdapat 3 ( tiga ) teori :

1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie)

2. Teori Maksud atau Tujuan (relative/doeltheorie)

3. Teori Gabungan (verenigingstheorie)

Bertolak dari hal tersebut maka masing-masing teori ini memberi alasan atau dasar

penjatuhan pidana yang berbeda-beda.

1. Teori Imbalan (absolute/vergeldingstheorie)

Menurut teori ini dasar dari pemberian hukuman harus dicari dari

kejahatan itu sendiri. Dimana karena kejahatan itu telah member dan

menimbulkan penderitaan dari orang lain maka sebagai imbalannya

(vergelding) maka si pelaku juga harus diberi penderitaan.

Para pakar penganut teori ini, antara lain:

a. Immanuel kant

Immanuel kant berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus

dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan bagi

31

orang lain, sedangkan hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak

(absolute) dari hukum kesusilaan.

b. Hegel

Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan

kemerdekaan. Maka dari pada itu kejahatan merupakan tantangan terhadap

hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman

merupakan vergelding.

c. Herbart

Menurut pakar ini, kejahatan menimbulkan perasaan tidak enak pada

orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku kejahatan

harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas.

d. Stahl

Hukuman adalah sesuatu yang diciptakan oleh tuhan. Karena

kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan tuhan, untuk

menindaknya Negara diberi kekuasaan sehingga dapat melenyapkan atau

memberi penderitaan bagi pelaku kejahatan.

2. Teori Maksud atau Tujuan (relative/doeltheorie)

Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud

atau tujuan dari hukuman itu. Dimana dalam teori ini tujuan hukuman adalah

untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dimana terdapat perbedaan dalam

prevensi yakni:

a. Prevensi umum (algemene preventive) hal ini dapat dilakukan dengan

ancaman hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.

b. Spesial prevensi, yakni yang ditujukan kepada orang yang melakukan

kejahatan itu.

3. Teori Gabungan

Pada dasarnya teori gabungan ini adalah gabungan antara teori imbalan

dan teori maksud dan tujuan. Dimana apabila digabungkan maka pengertian

teori gabungan ini adalah mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah

untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan untuk

memperbaiki pribadi si penjahat.27

27

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

, hal. 105

32

Bertolak dari hal tersebut diatas, dalam hal ini akan terkait pula dengan

aliran utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini

terutama menentukan suatu pemikiran yang memiliki tujuan berdasarkan manfaat

tertentu ( teori manfaat atau teori tujuan ) dan bukan hanya sekedar membalas

perbuatan pembuat.28

Jeremy Bentham pula yang menyatakan bahwa tujuan

hukum adalah untuk mencapai “the greatest happiness for the greatest number of

people (kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar orang)”. Hal ini berarti bahwa

manfaat yang yang menjadi orientasi dari penanganan tindak pidana yang

dilakukan oleh seorang anak dibawah umur.

Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima

oleh seorang anak yang melakukan perbuatan itu tidak hanya berupa pidana, akan

tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-

perbuatan yang merugikannya yang sering disebut dengan double track system,

namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan bahwa ide dasar

sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.29

Hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu usaha yang rasional

dalam menanggulangi kejahatan, sebab disamping penanggulangan dengan

28 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta hal 128

29

Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal 24

33

menggunakan pidana, masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari

kejahatan.30

4. Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah “sistem dalam

suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”.31

Berkenaan dengan

istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah

sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an

impression of a complec to end”artinya bahwa kata system menunjukkan adanya

suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir,

oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang

terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.32

Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal

Justice Administration). Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem

ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku

penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum

melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik.

30

Sudarto, 1977, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat

Sudarto I) hal.101

31

Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan

dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, hal. 84

32

Ibid, hal.14

34

Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang

pengadilan.

Pendapat W.La Patra menyatakan bahwa “I do believe that a criminal justice

system does exist, but that it function very poorly. The criminal justice system is a

loosely connected, nonharmonious, group of social entities”.33

Menurut La patra

disini menyatakan bahwa ketika para sub sistem ( komponen Sistem Peradilan

Pidana) tidak menjalankan fungsi secara individu maka sistem peradilan pidana

adalah merupakan sistem, hal ini berbeda dengan kenyataannya yaitu komponen-

komponen sistem peradilan pidana berfungsi secara individu yang menyebabkan

sistem peradilan pidana bukanlah sistem. Ketika fungsi akan sistem peradilan pidana

yang sepatutnya di simpangi dengan fungsi individu maka dalam hal ini sistem

peradilan pidana akan kehilangan koneksi, sehingga menimbulkan ketidakharmonian

dalam masyarakat.

5. Teori Hukum Progresif

Teori ini merupakan teori yang dicanangkan oleh Satjipto Rahardjo.

Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, terdapat 2 macam tipe penegakan

hukum progresif :

1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif.

Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki

visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif;

33

W.La Patra, 1978, Analyzing of Criminal Justice System,Lexington Books, hal.99

35

2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan

ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.34

Menurut Satjipto penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali

memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku, cara itu berguna agar hukum

mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu

kebahagian. Hukum berfungsi mencapat harapan-harapan tersebut, menurut

Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan

bangsanya.35

Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum

adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan

peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade

terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum

adalah membahagiakan manusia”. Mengingatkan bahwa letak persoalan hukum

adalah di manusianya. Menurut beliau bahwa pemikiran hukum perlu kembali

pada filosofi dasarnya, yaitu : hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut,

maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas untuk

melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum itu bukan

34

Subur Tjahjono, Identifikasi Hukum Progresif Di Indonesia, Serial Online Juli 30, 2011,

availaible from : URL: http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-

Indonesia

35

Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif,, Penerbit Kompas, Jakarta, hal. 10.

36

merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.36

Kepentingan rakyat (

kesejahteraan dan kebahagiaanya) harus menjadi orientasi dan tujuan akhir

penyelenggaraan hukum. Melihat pemaparan teori yang disampaikan oleh Satjipto

Rahardjo tersebut, apabila dikaitkan dengan pembahsan tesis yang akan dibahas

disini terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak maka dalam

orientasi tersebut yaitu apabila suatu tatanan hukum khususnya menganai

pengadilan anak apabila dikaji dalam kosep fakta yang ada serta dianggap kurang

atau tidak memiliki tujuan baik secara universal (internasional) dan nasional maka

pada hakekatnya diperlukan suatu pemikiran atau konsep bersifat progresif

sehingga penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum khususnya

terkait dengan proses peradilan pidana yang dilaluiny sehingga diharapkan sesuai

dengan instrumen Internasional dan nasional mengenai konsep perlindungan anak

sehingga tidak akan menimbulkan kerugian fisik ataupun mental bagi pelaku anak

yang bermasalah dengan hukum.

6. Teori Harmonisasi

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan

peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,

persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,

pengundangan dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses

yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting

36

Benard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum,Cetakan Kedua,

C.V. Kita, Surabaya, hal.246

37

yaitu proses pengharmonisasian. Bertolak dari hal tersebut maka

pengharmonisasian merupakan salah satu rangkaian proses pembentukan

peraturan perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar

tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan perumusan suatu norma atau peraturan perundang-undangan

maka dalam hal ini norma hukum ditetapkan oleh badan hukum yang berwenang.

Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stamler yang mengemukakan

bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi”

antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan

kepentingan masyarakat umum.37

Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik

apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa

(pemerintah) dengan masyarakat. Di sisi lain, Badan Pembina Hukum Nasional

Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham), memberikan pengertian

harmonisasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses

pengharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang

mengacu pada nilai-nilai filosofos, sosiologis, ekonomis dan yuridis.

37

Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://www.legalitas.org

38

2.2 Kerangka Berpikir

Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis, maka peneliti dapat

menyusun suatu kerangka berpikir sebagai pegangan guna untuk menelaah secara

akademis permasalahan yang diangkat dalan penelitian tesis ini sebagai berikut :

3. Metode Penulisan

3. Metode Penelitian

3.1. Jenis Penelitian

Dalam membuat suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode mutlak

diperlukan. Penggunaan suatu metode bukan hanya mutlak untuk digunakan dalam

suatu penelitian maupun penulisan ilmiah, metodelogi juga sebagai pembimbing

KEBIJAKAN

KRIMINAL JALUR

PENAL

JALUR

NON PENAL

IUS

CONSTITUTUM

IUS

OPERATUM

MELALUI

DIVERSI

IUS

CONSTITUTUM

DELIKUENSI ANAK

39

untuk mengkaji aturan menemukan hasil penelitian atau penulisan ilmiah, dimana

dalam penelitian ini terdapatnya norma yang kabur (multitafsir) dalam proses

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum belum jelas diatur mengenai

syarat aparat penegak hukum yang berwenang dalam menangani kejahatan anak

seperti Kepolisian (Penyidik) dalam Pasal 41 UU No.3 Tahun 1997, Kejaksaan

(Penuntut Umum) dalam Pasal 53 UU No.3 Tahun 1997, Hakim dalam Pasal 10 UU

No.3 Tahun 1997 tentang syarat yang dianggap berpengalaman dalam menangani

kejahatan yang dilakukan anak sehingga dalam hal ini sejauh mana ukuran yang

dipakai sebagai syarat pengalaman untuk menangani tentang kejahatan yang

dilakukan oleh anak, apakah ukuran waktu ataupun kuantitas kasus yang pernah

ditangani oleh para aparat penegak hukum tersebut.

Penelitian ini juga mengkaji adanya norma kosong mengenai diversi dalam

Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak sehingga dalam hal ini

aturan positif Indonesia tidak menuangkan Instrumen Internasional yang telah

diratifikasi dalam aturan Positif di Indonesia.

Sesuai dengan sifat keilmuan ilmu hukum yang bersifat sui generis sehingga

penelitian hukum mempunyai karakter yang khusus. Atas dasar kekhususan sifat

tersebut maka penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu penelitian hukum

normatif dan penelitian hukum empiris.

Terkait dengan penelitian tesis yang akan dibahas disini penulis

mempergunakan penelitian hukum normatif yang mencakup :

40

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang mana

dalam penyusunan tesis ini yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-

undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang

No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kepres No.36 Tahun

1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, dan konvensi

internasional khususnya The United Nation Standard Minimum Rules

For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), serta

perjanjian international terkait anak.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjeiasan mengenai bahan

hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,

hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.38

3.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum Normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan

yakni :

1. Pendekatan kasus (The Case Approach) ;

2. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach);

3. Pendekatan fakta ( The Fact Approach) ;

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach);

38

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, Hal. 13

41

5. Pendekatan Frasa (Word & Prhase Approach) ;

6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) ;

7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach).39

Penelitian mengenai kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam proses

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum ini dilakukan dengan:

a. Statute Approach (Pendekatan perundang-undangan), maksudnya pendekatan

yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan-peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan penelitian ini

b. Analitical & Conseptual approach (Pendekatan analisis konsep hukum),

maksudnya bahwa dengan pendekatan tersebut dapat dicari pembenaran atas

suatu teori atau asas yang yang digunakan dalam penelitian ini.

c. Comparative Approach (Pendekatan Perbandingan), maksudnya pendekatan

yang dilakukan dengan cara perbandingan.

d. Policy-oriented Approach (Pendekatan Kebijakan), maksudnya pendekatan

yang dilakukan dengan cara berorientasi pada kebijakan.

e. Value-oriented Approach (Pendekatan Nilai), maksudnya pendekatan yang

dilakukan dengan cara berorientasi pada nilai.

39

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2006, Pedoman Penulisan

Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca

Sarjana UNUD, hlm.8

42

3.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder diperoleh

dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamus-

kamus dalam hal ini kamus hukum.40

Penelitian hukum dengan premis normatif, datanya diawali dengan data

skunder yang disebut dengan bahan hukum yang meliputi :

1. Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :

a. Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara

Republik Indonesia

b. Peraturan Dasar

c. Peraturan perundang-undangan

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat

e. Yurisprudensi

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti rancangan Undang – undang, hasil-hasil

penelitian atau pendapat pakar hukum

40

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) hal. 52

43

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus (hukum), ensiklopedi dan lain-lain .41

Pentingnya penelian hukum berdasarkan kaidah perundang-undangan

sebagai inti dari penerapan hukum secara praktek hal tersebut sebagaimana

tercantum dalam Buku “Legal Research“ yaitu :

“ legal research is an essential component of legal practice. it is the process of

finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze

that law”42

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan:

a. Bahan hukum primer yang meliputi : Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang

No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No.23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kepres No.36 Tahun 1990

tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, dan konvensi

internasional khususnya The United Nation Standard Minimum Rules

For The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), serta

perjanjian international terkait anak.

41

Amiruddin dan Zaenal Asikin, Op.cit, hal.31

42

Morris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, legal Research ,West Group, ST.Paul Minn,

Printed in the United States of America, Hal.1

44

b. Bahan bahan hukum sekunder yang berupa pendapat para pakar hukum

tentang kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam proses

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum.

c. Bahan hukum tersier yaitu kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum.

3.4. Teknik pengumpulan bahan

Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan menggunakan catatan-

catatan kecil dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap beberapa norma

(aturan positif), buku atau literatur yang ada dengan masalah yang dibahas.

Kemudian bahan hukum tersebut ditelaah dengan konsep, pemikiran, ataupun

pendapat-pendapat beberapa ahli hukum serta menelaahnya dengan teori yang

berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, khususnya mengenai kebijakan

pembaharuan hukum pidana bagi anak yang bermasalah dengan hukum.

3.5. Teknik Analisis

Bahan-bahan hukum terkait dengan penelitian ini yang telah terkumpul

tersebut dapat digunakan berbagai tehnis analisis sebagai berikut :

1. Deskripsi adalah tehnik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu

kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum

seperti penafsiran gramatika, historis sistimatis, teleologis, kontekstual

dan lain-lain.

45

3. Konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan

analogi dan pembalikan proposisi (acontrario).

4. Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang

tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum skunder.

5. Sistimatisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep

hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

6. Argumentasi, tidak bisa dilepaskan dari tehnik evaluasi karena penilaian

harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

7. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen, makin

menunjukkan kedalaman penalaran hukum.43

Dalam tesis ini bahan hukum akan diteliti dengan menggunakan tehnik

deskripsi, interpretasi, evaluasi dan argumentasi.

43

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD,Op.Cit, hal.1

46

BAB II

TINJAUAN UMUM

PEMBARUAN HUKUM PIDANA,

ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM,

DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

2.1 Pembaruan Hukum Pidana

2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana

Sejarah pembangunan hukum di Indonesia sudah dirintis sejak setelah

proklamasi kemerdekaan dan pada waktu itu telah dilakukan penyesuaian atau

screening terhadap Wetboek Van Strafrech atau KUHP.44

Pembaruan hukum yang

dilakukan oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan

yang ingin dicapai sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD 1945 secara singkat

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum berdasarkan Pancasila, hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi

landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia serta hal ini pula yang

menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum termasuk pula

pembaruan hukum dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan

di Indonesia.45

44

Subekti , 1980, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal.6

45

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dan Penanggulangan Kejahatan

(selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), Universitas Diponogoro, Semarang, hal.1

47

Pembaruan (reform) yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan

reformasi terhadap sesuatu hal yang akan ditempuh melalui kebijakan46

, artinya harus

dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan

hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu:

Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai

sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di

Indonesia.47

Pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform).

Maka pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya

mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum

pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-

kultural masyarakat yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan

kebijakan penegakkan hukum.48

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,49

yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan”

dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda

46

Op.cit, hal. 27

47

Ibid, hal.48

48

Ibid, hal. 27

49

Ibid

48

Nawawi Arief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa yang akan datang. 50

Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan

dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat

diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana

berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana.

Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).

Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat

pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah

“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal

policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.51

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian

tentang politik hukum maupun dari politik kriminal.

Pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:

50Ibid, hal.25

51

Ibid, hal.24

49

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.52

Mengkaji hal ini maka lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik

hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-

undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya

guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana

berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Menurut A. Mulder sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief:

Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan:

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui ;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.53

52Ibid, hal 24

53

Ibid, hal 25

50

Pendapat yang dikemukakan oleh Mulder ini sebenarnya lebih bertolak pada

pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikemukakan

oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem

hukum pidana yang terdiri dari :

1. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;

2. suatu prosedur hukum pidana, dan

3. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).54

Menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa setiap usaha dan kebijakan untuk

membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan

dari tujuan penanggulangan kejahatan. Maka kebijakan atau politik hukum pidana

juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut

politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan

lewat bantuan pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga

merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) dan

usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, wajar

pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral

dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy)

dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam

54Ibid, hal.26

51

pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy”,

dan “social defence policy”.55

Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik

kriminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk

membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan

dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Maka kebijakan

atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik

kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational

organization of the control of crime by society.56

Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal

merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan

melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.

Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu

ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari

kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun

ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi

berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan

masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial, malahan menurut Benedict

55 Ibid, hal.27

56

Op.cit. hal. 162

52

S. Alper merupakan “the oldest sosial problem (masalah Sosial tertua)”. 57

Hal ini

diperkuat oleh pendapat dari Daniel Galser yang menyatakan bahwa “crime like most

topics in social psychology , refers to a class of behavior the separate instances of

which have many and diverse subjective and objective aspects (kejahatan seperti

topik yang paling dalam dari psikologi sosial, mengacu pada kelas contoh perilaku

yang terpisah dari aspek-aspek subyektif dan obyektif yang bersifat banyak dan

beragam)”.58

Sebagai suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya

untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha

pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana

dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering

dipersoalkan.

Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda

Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana

dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang

hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai

tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada

hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu

dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali

bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas

57 Op.cit, hal. 148.

58

Stuard H.Traub and Craig B.Little, 1968, Theories Of Devience (Third Edition), State

University Of New York at Cortland, hal.183

53

pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah

dapat dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si

penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaituwarga

masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.59

Bertolak dari hal tersebut maka nampak bahwa prevensi khusus dan prevensi umum

menjadi pertimbangan utama. Di sisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan

antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang

dikeluarkan.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya

untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan

hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum itupun termasuk

dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan,

maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.60

H.L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana

dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief:

a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the

oreseeable future, get along without it) Sanksi pidana sangatlah

diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang

akan datang, tanpa pidana.

59 Ibid, hal.152

60

Ibid, hal.149

54

b. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing

with gross and immediate harms and threats of harm).Sanksi pidana

merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki

untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera

serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya

c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime

threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is

guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener)

Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik

dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan

manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat

cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila

digunakan secara sembarangan dan secara paksa.61

Bertolak dari hal tersebut, maka tidak ada absolutisme dalam bidang

kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada

masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian

masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum

pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas,

tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy).

Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief

menyimpulkan, bahwa: Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum

pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan

suatu perundang-udangan pidana yang baik….Dengan demikian, yang dimaksud

“peraturan hukum positif” (the positive rules) adalah peraturan perundang-udangan

61 Ibid. Hal, 155.

55

hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah

“kebijakan atau politik hukum pidana”.62

2.1.2 Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana

Mengkaji hal-hal tersebut diatas maka untuk merespon amanat pembukaan

UUD1945 maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak

sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut

diprioritaskan. Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk

melakukan pembaruan di bidang hukum. Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang

sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan

dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan

UUD 1945, namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan

masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak

dapat dilakukan dalam sekejap.

Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang telah dikemukakan pada

sub-1 di atas, dalam hal ini, ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi:

1. Pembaruan substansi hukum pidana;

2. Pembaruan struktur hukum pidana; dan

3. Pembaruan budaya hukum pidana.

Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang

Bermasalah Dengan Hukum adalah melakukan pembaruan pada aspek pembaruan

62 Ibid. Hal.25.

56

substansi hukum pidana, dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi

Arief berpendapat:

1. Suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai

sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum

pidana pada dasarnya adalah:

- Pembaruan konsep nilai

- Pembaruan ide-ide dasar

- Pembaruan pokok-pokok pemikiran

- Pembaruan paradigma/wawasan

2. Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pemnaharuan hukum pidana hakekatnya

merupakan bagian dari upaya mengatasi masalah sosial untuk mencapai

kesejahteraan/perlindungan masyarakat.

3. Sebagai dari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya

merupakan bagian dari upaya penaggulangan kejahatan.

4. Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy” pembaruan hukum pidana

pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya menunjang

kelancaran/efektivitas penegakkan hukum.

5. Pembaruan substansi hukum pidana meliputi:

a. pembaruan hukum pidana materiel,

b. pembaruan hukum pidana formal,

57

c. pembaruan hukum pelaksanaan pidana.63

Pembaruan hukum pidana terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik,

maka ruang lingkup pembaruan hukum pidana bertolak dari pembaruan substansi

yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel. Pembaruan hukum pidana/ KUHP

Nasional juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana substansi, patut

dikemukakan bahwa dalam rangka pembaruan hukum pidana nilai-nilai tersebut telah

diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa

prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang antara

lain menyebutkan:

a. bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan

kembali nilai-nilai sosial dasar (basic sosial value) prilaku hidup masyarakat,

dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan

idiologi negara Pancasila;

b. bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan

dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (sicial control) tidak mau

atau belum dapat diharapkan keefektifitasannya; dan bahwa dalam

menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pambatasan (a) dan (b) di

atas, harus diusahakan dengan sungguhsungguh bahwa cara seminimal

mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi

63

Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL:

http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf

58

perlindungan yang perlu diberikan terhadap kepentingan kolektifitas dalam

masyarakat demokratik yang modern.

Pernyataan di atas, maka tendensi untuk tetap mempertahankan unsur-unsur asli

dalam pembaruan hukum di Indonesia patut dikedepankan, apalagi terhadap hukum

pidana. Mengingat hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek-aspek sifat

melawan hukum, kesalahan, dan pidana) mempunyai sifat dan fungsi yang istimewa,

serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan

kejahatan yang rasional (sebagai bagian dari politik kirminal) dan yang sekunder,

ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan

secara sepontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Fungsi

yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi

warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana

sebagai sarana secara tidak benar.

Upaya untuk melakukan reorientasi terhadap persiapan melakukan tindak pidana

sebagai delik, maka kode etik penggunaan hukum pidana tersebut dapat digunakan

sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan tentang persiapan melakuan tindak

pidana sebagai delik agar lebih berorientasi baik pada perlindungan individu maupun

masyarakat. Dengan demikian akan tercipta hukum pidana yang lebih fungsional

yang tetap berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat. Sebagaimana Barda Nawawi

Arief menyatakan:

Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu

upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang

sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik san sosio-

59

kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dan

memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana

yang dicita-citakan.64

Penjelasan di atas, bahwa secara konstitusional pembaruan hukum nasional termasuk

hukum pidana harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Keharusan konstitusioal tersebut patut untuk dikedepankan agar hukum yang akan

terbentuk benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang hidup alam

masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada

hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan

(“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai

(“value- oriented approach”).65

Bertolak dari uraian tersebut di atas, perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal

yang digunakan untuk mencegah kejahatan sedini mungkin, sehingga perbuatan dapat

dilihat dari dua sudut pendekatan yaitu sudut pendekatan kebijakan dan sudut

pendekatan nilai, sehubungan dengan masalah ini, Barda Nawawi Arief menyatakan

pendapat sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:

a. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana

pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi

64

Ibid

65

Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Perbandingan

(Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief IV), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.4

60

hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan

hukum

b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada

hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan)

c. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana hakekatnya

merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial

(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan

nasional (yaitu : “Social defence” dan “Social Welfare”).66

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai:

Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan

peninjauan kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio politik, sosio-

filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan

normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan

(“reformasi”) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-

citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana

lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS), hal ini dipandang bahwa hukum

(hukum pidana) merupakan perwujudan suatu unsur sosial masyarakat yang

mempengaruhi ada tidaknya penjaTuhan sanksi (dipidananya) terhadap persiapan

melakukan tindak pidana tersebut, sehingga perlu adanya pembaruan kebijakan

kriminal sejalan beriringan waktu yang didasarkan pada nilai-nilai sosio politik, sosio

66

Ibid, hal.3

61

filosofik, sosio kultural dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat.Bertolak dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai,

pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian

hukum pidana ini yang mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatan-

perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana, bagaimana mengenai

pertanggungjawaban pidananya, serta bagaimana mengenai pidana dan

pemidanaannya.

Bertolak dari hal tersebut maka tahap formulasi menempati posisi strategis jika

dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang

merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakkan hukum pidana.

Mengenai posisi strategis dari tahap formulasi ini juga dikemukakan oleh Muladi dan

Barda Nawawi Arief : Tahap penetapan pidana hemat kami justru harus merupakan

tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang

seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum,

dengan perkataan lain tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis

dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap

berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang masih

tetap menggunakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai

diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 dan merupakan produk hukum

pemerintahan jaman kolonial Hindia Belanda, dengan berbagai perubahan dan

penambahannya.

62

KUHP yang berasal dari Belanda tentu memiliki jiwa, pola pikir dan norma-

norma yang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam

masyarakat bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa WvS kita

ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara

penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Secara politis, sosiologis, maupun praktis

KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang perlu segera diganti dengan KUHP yang

berasal dan bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam

masyarakat Indonesia.

Beberapa karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum

pidana masa datang secara ringkas di dinyatakan oleh Muladi sebagai berikut :

1. Hukum pidana nasional mendatang, dibentuk tidak hanya sekadar alasan

sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus

disusun dalam kerangka Idiologi Nasional Pancasila. Hal ini akan memberi

kesadaran bahwa sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum pidana

pada khususnya tidak hanya merupakan suatu sistem yang bersifat phisik

semata-mata melainkan juga merupakan sistem abstrak yang merupakan

jalinan nilai-nilai yang konsisten dalam rangka pencapaian tujuan tertentu.

2. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspek-

aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.

3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan

kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh didalam pergaulan

63

masyarakat beradab, dalam arti beradaptasi yang kadang-kadang berupa

pengambilan hikmah dari perkembangan tersebut.

4. Sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum

merupakan bagian dari politik sosial. Dengan demikian hukum pidana

mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif.

5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya di dalam

masyarakat.67

Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera

mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum,

keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia

serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika dibandingkan

dengan undang-undang warisan kolonial.

Bertolak dari hal tersebut maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat

mencakup kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu

sendiri. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya

menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi juga

mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem peradilan

yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya.

67 Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL:

http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf

64

2.2. Pengertian Anak dan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum

2.2.1. Pengertian Anak

Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum

positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring

atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur

(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di

bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).68

Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam

perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai

anak anatara satu negara dengan negara laun cukup beraneka ragam yaitu :

Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur

antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara 8-

16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan

negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda mentukan

bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas

umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur

antara 14-18 tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean

antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.69

Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia ( ius

constitutum ) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku

universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi soeorang anak, hal tersebut

dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :

68

Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, hal.

69 Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya,

PT.Aditya Bakti, Bandung, hal.8

65

1. Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pada Pasal 1 (1) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak

nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun dan si anak belum pernah kawin. Jadi anak

dibatasi syarat dengan umur antara 8 tahun sampai 18 tahun. Sedangkan

syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat

dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si

anak sedang terikat dalam perkawinannya atau perkawinanya putus kaena

perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum

genap 18 (delapan belas) tahun.

2. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak ( Undang-undang No.23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak )

Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak adalah seseorang yang belum

mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.70

Batasan umur ini juga

digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata, tetapi dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang

digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur

21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa

70

Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, hal.5

66

adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau

belum pernah kawin.71

4. Dalam Hukum Perburuhan

Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan ( Undang-undang

No.12 Tahun 1948 ) memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki

atau perempuan berumur 14 tahun kebawah.

5. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila

belum berumur 16 ( enam belas ) tahun. Oleh karena itu, apabila ia

tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya

si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun

pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya

supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu

hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan

lahirnya Undang-undang No.3 Tahun 1997.72

6. Anak menurut Undang-undang Perkawinan ( Undang-undang No.1 Tahun

1974 )

71

Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta

hal.84

72

Op.cit, hal. 3

67

Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang Pokok

Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )

Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum

dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh

satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

8. Menurut Hukum Adat Indonesia

Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat

pluralistic. Dalam artian kreteria untuk menyebut seseorang tidak lagi

disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “

kuat gawe “, “ akil baliq ”, “ menek bajang ”, dan lain sebagainya.73

Menurt Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap manusia

yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku

bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.74

Berbagai criteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah

pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak

dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa

atau menjadiseorang subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri

73

Op.Cit, hal.6

74 Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers

Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, hal.21

68

terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak

itu.75

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan

bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan

perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.76

Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas,

maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut

dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak

tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari

pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang

yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan

bimbingan untuk kedepannya.

2.2.2 Pengertian Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum

Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau

dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan

hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan

75Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,

Jakarta, hal.24

76

Djuhaendah Hasan, 1999/2000, Pengkajian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan

Putusan Pengadilan Yang Mengandung Alimentasi Terhadap Anak Yang Belum Dewasa, Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM, hal.12

69

hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui

pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi (kelembagaan).77

Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict

with the law), dimaknai sebagai :

Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem

peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh

melakukan tindak pidana.78

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua

belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah

yaitu :

1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan

tindak pidana;

2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar

sendiri terjadinya suatu tindak pidana79

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang

terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:

77

Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in

Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF

ROSA, hal.2

78

UNICEF, 2006, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION

Sheet

79

Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia,

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik

Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial

Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3

70

1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;

atau

2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan

orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau

3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa

pelanggaran hukum.80

Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi

menjadi :

1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;

2) Korban tindak pidana;

3) Saksi suatu tindak pidana.81

Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang

anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status

offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak

termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak.

Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal

offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa

termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.82

80

Op.Cit, hal. 17

81

Ibid

71

Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan

ekstrinsik dari kenakalan anak :

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :

e. Faktor intelegentia

f. Faktor usia

g. Faktor kelamin

h. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :

e. Faktor rumah tangga

f. Faktor pendidikan dan sekolah

g. Faktor pergaulan anak

h. Faktor mass media.83

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang

(dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda,

sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas

menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan

norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.84

Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut

bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu

perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.85

82

Op.Cit, hal.2

83

Op.Cit, hal. 17

84

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, hal. 219

85

Sudarsono, 1991, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10.

72

Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai

berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan

anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan

remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.86

Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan

atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang

merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat

membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.87

Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency,

sebagai :

1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi

anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh

hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;

2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat;

3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk

gelandangan, pengemis dan lain-lain.88

86

Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial( 2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, hal.7

87

Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja(Selanjutnya disebut dengan

Romli I), Armico, Bandung, hal.40

88

Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.9

73

Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan

yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan

tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum

bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan

(crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang

berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).

2.3. Sistem Peradilan Pidana

Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui

sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi penanggulangan kejahatan melalui

sarana penal lazimnya secara operasional dilakukan melalui langkah-langkah:

Perumusan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terkandung adanya unsur

substantif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem hukum pidana itu

diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara

operasional bekerja lewat suatu sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana.89

Istilah sistem menurut Anatol Rapport sebagaimana yang dikemukakan oleh

Abdussalam dan DPM Sitompul memberikan pengertian sistem adalah whole which

function as a whole by virtue of the interdependence of its parts (Keseluruhan yang

berfungsi sebagai satu kebulatan yang saling ketergantungan diantara bagian

tersebut). RL Ackoff menyatakan sistem sebagai entity conceptual or physical, which

89

Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, hal.7

74

concists of interdependent parts (kesatuan konseptual atau fisik yang terdiri dari

bagian-bagian yang tidak terpisahkan).90

Istilah sistem dari bahasa Yunani "systema" yang mempunyai pengertian

suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of

several parts (Seluruh diperparah dari beberapa bagian).91

Secara sederhana sistem

ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan

bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah

sampai yang tinggi.

Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem yaitu :

a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi

(proses)

b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu

sama lain saling bergantung (interdependence of its parts)

c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih

besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is

more than the sum of its parts)

d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the

whole determines the nature of its parts)

e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau

dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be

understood if considered in isolation from the whole)

f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara

keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.92

90

Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta,

hal. 5.

91 Tatang M. Amirin, 1986, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Cet.1, Jakarta, hal. 5.

92

Lili Rasjidi, I.B. Wiyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,: PT. Remaja

Rosdakarya, Bandung, hal 43

75

Pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System menurut

para ahli hukum antara lain :

a. Menurut Remington dan Ohlin, sebagaimana yang dikutip oleh Romli

Atmasasmita, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pendekatan

sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu

sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,

praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

b. Menurut Hagan membedakan pengertian “Criminal justice system” dan

“Criminal Justice Process”. “Criminal Justice System” adalah interkoneksi

antara keputusan tiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana

sedangkan “Criminal Justice Process” adalah setiap tahap dari suatu putusan

yang menghadapkan tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada

penentuan pidana baginya.

c. Menurut Marjono Reksodiputro sistem peradilan Pidana adalah sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.

d. Menurut Muladi Sistem Peradilan Pidana, harus dilihat sebagai “The network

of Courts and tribunal which deal with criminal law and it’s enforcement”.

Sistem peradilan Pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari

subsistem pendukungnya ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

koreksi atau pemasyarakatan yang secara keseluruhan merupakan satu

kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi

keluaran (output) yang menjadi tujuan dari sistem peradilan Pidana yang

terdiri dari :

1. Tujuan Jangka Pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana.

2. Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan dan

3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial93

Menurut Black’s law Dictionary, rumusan dari sistem peradilan Pidana

Terpadu atau Integrated Criminal Justice System adalah “… the collective institutions

through which an accused offender passes until the accusations have been disposed

of or the assessed punishment conclued (kolektif lembaga-lembaga melalui mana

93

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),

Universitas Diponegoro. Semarang, hal. 3.

76

pelaku menuduh melewati sampai tuduhan telah dibuang atau hukuman dinilai

menyimpulkan)…”.94

Menurut Chamelin/Fox/Whisenand, yang dikutip oleh Abdussalam dan DPM

Sitompul, Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem

dalam proses menentukan konsep sistem yaitu berupa aparatur peradilan pidana yang

diikat bersama dalam hubungan antara sub system kepolisian, pengadilan, dan

lembaga penjara.95

Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut

pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan

perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata,

pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur

penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme

kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai

dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.96

Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya

menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,

94

Henry Campbel Black, 1999, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Group, hal. 381

95

Op.Cit, hal. 5

96

Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme(Selanjutnya disebut dengan Romli II), Bina Cipta, Bandung, hal. 16

77

masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban

kejahatan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangat penting,

dimana peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila bagian

sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian

lainnya, dengan kata lain sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antara

polisi dengan pengadilan, penuntut umum dan lembaga permasyarakatan, lembaga

pemasyarakatan dengan pengadilan dan seterusnya tidak harmonis. Semua komponen

yang berada dalam subsistem peradilan pidana dalam harus bekerjasama secara

"terpadu" dan terintegrasi. Dirangkainya kata "terpadu" dalam istilah "sistem

peradilan pidana" nampaknya sangat menarik sebab dalam pengertian "sistem" itu

sendiri semestinya sudah mencakup makna terpadu, meskipun hal itu hanya

dilakukan untuk memberikan penekanan akan perlunya "integrasi" dan "koordinasi"

dalam sistem peradilan pidana.97

Menurut Bagir Manan bahwa terpadu dalam sistem peradilan adalah

keterpaduan antara penegak hukum. Keterpaduan dimaksudkan agar proses peradilan

dapat dijalankan secara efektif, efisien, saling menunjang dalam menemukan hukum

yang tepat untuk menjamin keputusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan

maupun menurut pandangan kesadaran, atau kenyataan hukum yang hidup dalam

masyarakat pada umumnya.98

97

Op.Cit, hal. 1

98

Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 93.

78

Menurut O.C. Kaligis bahwa Sistem Peradilan pidana terpadu adalah teori

yang berkenan dengan upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan

koordinasi diantara lembaga-lembaga yang oleh undang-undang diberi tugas untuk

itu. Kejahatan sendiri sulit dihilangkan sama sekali dimuka bumi ini, tetapi melalui

sistem peradilan pidana terpadu kejahatan tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak

bertambah banyak bahkan jika mungkin, berkurang. Pengendalian kejahatan sama

maknanya dengan ketertiban di mana setiap orang mematuhi hukum yang berlaku

dalam masyarakat.99

Bertolak dari pemaparan yang tertuang dalam sistem peradilan pidana diatas

apabila kita kaji dengan pembahasan tesis disini maka kita akan berbicara mengenai

sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system). Sistem Peradilan Pidana Anak

(juvenile justice system) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di

dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Unsur tersebut meliputi

beberapa unsur yaitu :

1. Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali

bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan

apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.

2. Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan

apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.

99

O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, PT. Alumni, Bandung, hal 171.

79

3. Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam

pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam

institusi penghukuman.

4. Institusi penghukuman.100

Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum

dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum

pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur

dalam KUHAP.

2.4. Lembaga Dalam Peradilan Anak

Istilah peradilan menunjuk kepada lingkungan badan peradilan.101

Menurut

Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10

ayat (2) menyatakan bahwa adanya empat lingkungan badan peradilan yaitu :

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha

Negara. Badan-badan peradilan tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang

masing-masing dalam tugas menyelesaikan perkara sedangkan istilan pengadilan

mengacu kepada fungsi badan peradilan itu sendiri.

100

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and

Marry Morash, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,

UNICEF, Indonesia, hal 5

101 Loc.Cit, hal.16

80

Didalam suatu peradilan tidak menutup adanya suatu pengadilan khusus

sehingga dalam hal ini memungkinkan adanaya pengkhususan didalam suatu

peradilan itu sendiri. Pengadilan Anak adalah salah satu contoh pengadilan khusus

yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Anak tugas dan

wewenangnya pada prinsipnya sama dengan pengadilan lain meskipun sama tetap

harus ada diperhatikan bahwa perlindungan anak merupakan tujuan utama.102

Lembaga-lembaga yang menangani perkara anak sesuai dengan Undang-

undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu :

1. Kepolisian

Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap

pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib

melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan

mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di

muka pengadilan.

Kepolisian memiliki beberapa kewenangan diantarananya yaitu :

Kepolisian berwenang melakukan penyelidikan, dimana penyelidikan diartikan

sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau

peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan

bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan

atau tidak sesuai Pasal 1 (5) KUHAP, dalam hal ini Pejabat yang berwenang

melakukan penyelidikan adalah polisi (pasal 1 butir 4 KUHAP). Bukti permulaan

102

Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Graha, Jakarta, hal.103

81

diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam

tindak pidana. Menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) No Pol.

SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang

terkandung dalam dua diantara :

a. Laporan polisi

b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi

c. Laporan hasil penyelidikan

d. Keterangan saksi/saksi ahli

e. Barang bukti103

Barang bukti menurut pasal 184 UU No 8/1981 adalah keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Kepolisian juga memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan,

dimana penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk

mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan

menemukan tersangka atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan

penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang, khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi

peejabat yang berwenang adalah kejaksaan.104

Adapun wewenang yang dimiliki

penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai

dengan huruf j KUHAP, yaitu :

103 Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Selanjutnya disebut dengan

Darwan Prinst II), Djambatan, Jakarta, hal. 30

104 Tadjuddin Malik, Integrated Criminal Justice System di Indonesia, Serial Online

September 30, 2010, availaible from : URL: http: http://tadjuddin.blogspot.com/2010/07/kemandirian-

yudisial.html

82

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

suatu tindak pidana

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian

3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara

9. Mengadakan penghentian penyidikan

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab

Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI terdapat

beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan disidang pengadilan yang tidak diatur di dalam KUHAP dan hal ini

merupakan relevansi dari azas hukum pidana (Lex Specialist Derogat Lex Generalis).

Secara sosiologis, kewenangan polisi dalam proses pemeriksaan pendahuluan ini

dapat dilihat sebagai kedudukan (status) dan peranan (role). Berdasarkan perumusan

kedua peraturan perundang-undangan ini, Barda Nawawi Arief memerinci tugas

pokok Polri sebagai penegak hukum yang memelihara keamanan dalam negeri, yang

lebih luas mencakup berbagai aspek yang sangat luhur dan mulia, yaitu:

a. Aspek ketertiban dan keamanan umum;

b. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat / dari gangguan /

perbuatan melanggar hukum / kejahatan; dari penyakit-penyakit masyarakat

83

dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan; termasuk aspek

pelayanan masyarakat dengan memberi perlindungan dan pertolongan.

c. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum warga

masyarakat;

d. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang

penyelidikan dan penyidikan.105

Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia, Polisi memiliki tugas pokok yaitu :memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat, dalam melaksanakan tugas pokok ini, maka Polisi

Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,

dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran

hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan

peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian;

105

Loc.Cit, hal.3

84

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan

hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan

bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani

oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya

dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan..

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa dengan memperhatikan perincian tugas

yuridis Polri seperti telah dikemukakan di atas, terlihat pada intinya ada dua tugas

Polri dibidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana

(dengan sarana "penal") dan penegakan hukum dengan sarana ("non penal"). Dengan

demikian dalam menjalankan tugasnya Polri sebenarnya "berperan ganda" baik

sebagai "penegak hukum” maupun sebagai "pekerja sosial" ("social worker"). Untuk

kedua tugas ganda ini, dalam Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of Crime and

The Treatment of Offenders) pernah digunakan istilah "law enforcement duties", dan

"service-oriented task".106

Peranan ganda dari tugas polisi sebagaimana disebutkan diatas sering disebut pula

dengan "ambivalensi peranan polisi", sehingga untuk menghindari kerancuan

pembahasan dalam penelitian ini, maka fungsi / peranan Polisi yang hendak dibahas

adalah fungsi / peranan Polisi sebagai aparatur penegak hukum di bidang peradilan

pidana sebagai bagian "criminal justice system” khususnya di bidang penyidikan

perkara tindak pidana.

106

Ibid, hal.4

85

Fungsi ini dalam organisasi kepolisian diemban oleh "fungsi reserse" yang

khusus melaksanakan hukum dalam bidang represif yaitu melakukan segala tindakan

sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana, sehingga fungsi reserse atau penyidikan

ini baru dilaksanakan setelah diketahuinya tindak pidana, baik melalui laporan,

pengaduan, tertangkap tangan maupun diketahui langsung oleh penyidik. Adapun

pengertian fungsi reserse atau peyidikan adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi

penyidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan perkara

kepada penuntut umum (Kejaksaan) dalam rangka sistem acara pidana.107

Perkara pidana yang dilakukan oleh anak – anak pada umumnya ketentuan

yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka

penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan

dengan diberlakukannya undang – undang pengadilan anak, telah dipertegas bahwa

penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar

hukum Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yang

pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh

penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan

tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak

nakal. Undang – Undang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, yang

berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat

107

Departemen Pertahanan Keamanan AKABRI, 1980, Fungsi Reserse POLRI, Jakarta, hal.5

86

Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Pengadilan Anak

melalui Pasal 41 Ayat (2) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh

seorang anggota Polri adalah :

1. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa;

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.

2. Kejaksaan

Tugas pokok jaksa dibidang pidana menurut Pasal 27 Undang-undang No.5

Tahun 1991 tentang Kejaksaan adalah mempunyai tugas dan wewenang :

a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan,

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat;

d. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Jaksa penuntut umum secara organic termasuk dalam lembaga kejaksaan merupakan

lembaga yang berdiri sendiri dibawah pimpinan Jaksa Agung. Kejaksaan menganut

asas “satu dan tidak terpisahkan”, artinya dalam melaksanakan tugasnya pejabat-

pejabat kejaksaan diharuskan mengindahkan hubungan hirarki dilingkungan

pekerjaannya.108

108

Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem Dan

Prosedur, Alumni Bandung, hal.44

87

Jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam

Pasal 14 KUHAP yaitu :

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan

oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan

waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada

terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah

ditentukan;

g. melakukan penuntutan;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. melaksanakan penetapan hakim.

Penyidikan perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik anak sehingga pada tahap

penuntutan juga dilakukan oleh penuntut umum anak dengan syarat-syarat sebagai

mana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak yang berbunyi :

(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak

Undang-undang Pengadilan Anak menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri

memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal, apabila pada

88

suatu kejaksaan negeri tidak mempunyai penuntut umum anak maka tugas penuntut

perkara anak nakal dibebankan kepada penuntut umum yang melakukan tugas

penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sesuai dengan pasal

53 ayat (3) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

3. Pengadilan

Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili,

dan memutus suatu perkara termasuk perkara anak nakal berdasarkan asas bebas,

jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkaramaka haki mempunyai

kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam peradilan oleh

pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh Undang-undang.

Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka

harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.109

Pemerikasaan siding anak dilakukan oleh hakim khusus yaitu : Hakim

Anak.Pengangkatan hakim anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia dengan surat keputusan dengan mempertimbangkan usulan Ketua

Pengadilan Tinggi tempat hakim bersangkutan bertugas sebagaimana diatur dalam

PAsal 9 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

109

Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Vol. 6, Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat

Ketertiban Hukum Progresif, Juli, 2009

89

Pengangkatan hakim anak oleh Ketua Mahkamah Agung karena hal tersebut

menyangkut teknis yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus

(Spesialis). Syarat-syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan anak di atur dalam

Pasal 10 yang berbunyi :

Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 adalah :

a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum; dan

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

Terkait dengan perkara anak nakal maka dalam hal ini hakim yang memeriksa dan

memutus perkara anak ini adalah hakim tunggal kecuali dipandang perlu untuk

diperiksa oleh majelis hakim.

4. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan sering disingkat dengan istilah ”LAPAS”, dimana

hal ini merupakan tempat terpidana untuk menjalani hukuman pidananya baik yang

menjalani hukuman penjara maupun kurungan. Menurut Satjipto Rahardjo,

narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat dan kesempatan untuk

bertobat, tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui

bimbingan.110

Operasional di lapangan banyak kalangan yang tidak mengetahui atau tidak

mau mengakui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk dalam jajaran

110

Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan

Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.38

90

penegak hukum, akan tetapi di kalangan akademisi pengakuan tersebut tidak perlu

diragukan lagi. Terlebih hal ini apabila dibandingkan dengan negara negara maju

seperti Amerika Serikat, instansi pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan

disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan, serta Pengadilan dalam suatu

sistem penegakan hukum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated

criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).111

Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8

disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak

hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan

pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, sebagai pejabat fungsional penegak

hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam

pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan

tersebut menempatkan posisi petugas Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara

merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan pidana yang terpadu.

Pasal 60 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak mengatur

bahwa :

(1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang

harus terpisah dari orang dewasa.

(2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak

memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta

hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

111

Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi (Selanjutnya

disebut dengan Romli III), Mandar Maju, Jakarta, hal.140

91

Lembaga Pemasyarakatan anak adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi

anak pidana, anak negara dan anak sipil, apabila disuatu tempat belum ada LAPAS

anak maka anak didik pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS namun

penempatannya dipisahkan dengan narapidana dewasa. Salah satu hal ini merupkan

suatu bentuk kekhususan yang terdapat dalam proses penanganan anak yang

bermasalah dengan hukum sehingga prinsip ini diharakan dalam pelaksanaannya atau

secara formil dilakukan oleh para aparat penegak hukum yang yang terkait dengan

anak yang bermasalah dengan hukum.

5. BAPAS (Balai Pemasyarakatan)

Balai Pemasyarakatan adalah suatu lembaga mutlak yang harus ada salam

sebuah system eradilan pidana anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan

hukum, dimana dalam hal ini BAPAS merupakan sebuah lembaga pelaksana

peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. Pengertian mengena Pembimbing Kemasyarakatan diatur

dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas

pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan.

Berbicara mengenai tahap persidangan sebelum dibuka, Hakim

memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian

kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan yang berisi data individu anak,

92

keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial anak serta kesimpulan atau pendapat dari

Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56), pada waktu pemeriksaan saksi hakim dapat

memerintahkan terdakwa keluar sidang., sedangkan orang tua, wali,orang tua asuh,

penasihat huklum dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir (Pasal 57).

Tugas Balai Pemasyarakatan adalah sebagai perantara untuk melaksanakan

bimbingan Pemasyarakatan, dalam perkara anak BAPAS bertugas mempersiapkan

LITMAS (Penelitian Kemasyarakatan) yang dilaksanakan oleh Petugas

Pemasyarakatan, selaku pejabat fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan

tugas Pembinaan, Pengamanan dan Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan.

LITMAS hendaknya dibuat berdasarkan fakta-fakta yang jelas, bagaimana keadaan

anak disekolah, dilingkungan tempat tinggalnya, keterangan RT, RW, Lurah

setempat, bagaimana kehidupan sehari-hari anak tersangka tersebut. Selain hal

tersebut suatu keluhan dan keberatan masyarakat setempat, data-data yang perlu

dipelajari Hakim dalam mempertimbangkan Pemidanaan yang akan dijatuhkan, dan

apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dapat diancam dengan ancaman batal demi

hukum bilamana LITMAS tidak dipertimbangkan Hakim (Pasal 59 ayat 2).

6. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)

BAB XI pada pasal 74 Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak maka dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan

perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak

Indonesia yang bersifat independen. Pasal 75 mengatur tentang keanggotaan Komisi

93

Perlindungan Anak Indonesia yang terdiri dari beberapa unsur yakni ; unsur

pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi

kemasyaraktan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan

kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

Pasal 76 mengatu tentang tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia yaitu :

(1) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima

pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantaun, evaluasi, dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;

(2) Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden

dalam rangka perlindungan anak.

VISI & MISI KPAI :

VISI : Terjamin, Terpenuhi, dan terlindunginya hak – hak anak di

Indonesia.

Misi :

a) Menyadarkan semua orang terutama orang tua, keluarga,

masyarakat dan negara akan pentingnya perlindungan hak anak;

b) Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak - haknya;

94

c) Menerima Pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan

terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak.112

112 Magdalena Sitorus, 2006, Makalah Perlindungan Anak Di Indonesia Dan

Implementasinya, Disampaikan dalam Seminar Kejahatan Terhadap Anak, Meridien 11 Juli 2006,

Jakarta.

95

BAB III

PROSES PENANGANAN ANAK

YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM

DALAM PERADILAN PIDANA

3.1 Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Di Indonesia

Berbicara mengenai proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum

maka sebelum membahas menganai hal bagaimana proses peradilan anak di

Indonesia dan dalam instrumen internasional maka hendaknya kita membahas

mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan proses penanganangan anak itu

sendiri. Proses peradilan adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan

orang berdiskusi dan dapat memperjuangkan pendirian tertentu yaitu mengemukakan

kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya dan dimana

keputusan yang diambil tersebut mempunyai motivasi tertentu.113

Seperti halnya

orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum

yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti kata identik

disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara

penanganannya.

Menghadapi dan menangani proses peradilan anak nakal, maka hal yang

pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak

113

Shanty Dellyana, 1988, Wanita Dan Anak Dimata Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal.57.

96

dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah

bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga

hal ini akan akan berpijak ada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak

tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan,

pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam

upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan

hukum.

Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang

Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan

membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan

masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan

nasional.114

Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai

permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,

keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak

harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang

memuaskan.

Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya

dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

(juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana

114

Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,

(selanjutnya disingkat Romli IV) hal. 166

97

pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang

diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu:

1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik)

2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum)

3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan

Pengadilan)

4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat

Pelaksana/Eksekusi).115

Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum

dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum

pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur

dalam KUHAP. Perkembangan terakhir dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun

2003 tentang Advokat pada Pasal 5 ayat (1), maka advokat telah mempunyai

legitimasi sebagai aparat penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu

komponen sistem peradilan pidana.116

Teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ada

yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan trikotomi.117

Pendekatan dikotomi berdasarkan pendapat Herbert L. Packer membedakan

115

Barda Nawawi Arief, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan

Pidana Terpadu (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief V), Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, hal. 20.

116

Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.23

117

Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,

Banding , (selanjutnya disingkat Romli I), hal. 137.

98

pendekatan normatif ke dalam dua model yaitu Due Process Model dan Crime

Control Model.118

Pembedaaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi sosial,

budaya, dan stuktur masyarakat di Amerika.

Kedua model sistem peradilan di atas terdapat persamaan dan perbedaan.

Persamaannya dilandasi pada asumsi tentang:

1. Penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus terlebih dahulu

ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang

tersangka pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan asas ex post facto law,

artinya undang-undang tidak berlaku surut.

2. Hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap

seorang tersangka pelaku kejahatan.

3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan

berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.119

Sedangkan perbedaan sistem Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control Model.

Crime Control Model (C.C.M) dapat dilihat pada tabel di bawah ini120

:

118 Op.cit, hal.152

119

Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya

disingkat Romli V) hal. 18

120 Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Bina Cipta, Bandung,

(selanjutnya disingkat Romli VI) hal. 12

99

Perbedaan Model Crime Control Model dan Due Process Model

Pendekatan trikotomi yang dapat dipaparkan dalam pembahasan ini meliputi

tiga model yaitu :

1. Medical model

pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso yang menyatakan penjahat

merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan

disebut sebagai orang yang sakit, oleh karena itu sistem peradilan pidana

Crime Control Model Versus Due Process Model

5 Karakteristik Nilai (Value) 6 Karakteristik

1. Represif

2. Presumption of Guilt

3. Informal Fact Finding

4. Factual Guilt

5. Efisiensi

Affirmative Model

Mekanisme

(Mechanism)

Tipologi

1. Preventif

2. Presumption of Innocence

3. Formal - Adjudicative

4. Legal Guilt

5. Efektifitas

Negative Model

100

harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang

normal.121

2. Justice Model

model ini melakukan pendekatan pada masalah-masalah kesusilaan,

kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengaruh-pengaruh sistem

peradilan pidana. Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil dari

administrasi peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi

pidana, moral, dan social cost.122

3. Model Gabungan

Model ini adalah model gabungan antara Medical model dan Justice Model,

dimana dalam hal ini menitikberatkan pada kompensasi atas korban-korban

kejahatan.123

Menurut Muladi, selain Due Process Model (D.P.M) dan Crime Control

Model. Crime Control Model (C.C.M) ada model lain yang dikemukakan oleh Muladi

yaitu Model Keseimbangan Kepentingan. Menurut Muladi model sistem peradilan

pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu pada “daad-dader

srafrecht” yang disebut dengan Model Keseimbangan Kepentiangan. Model ini

121

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dalam Penanggulangan Kejahatan

Dengan Pidana Penjara (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief VI), Badan Penerbit

UNDIP, Semarang , hal.19

122

Loc.Cit

123

Ibid

101

adalah model yang realistik yaitu memerhatikan berbagai kepentingan yang harus

dilindungi oleh hukum pidana yaitu : kepentingan negara, kepentingan umum,

kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban

kejahatan.124

Menurut pendapat lainnya terkait dengan model dalam sistem peradilan

pidana juga dikemukakan oleh Griffiths yaitu Family Model, setelah kita mempelajari

secara mendalam maka kita juga tidak dapat menerima sepenuhnya Family Model

dari Griffiths yang saat ini digunakan di negeri Belanda dimana model itu kurang

memadai karena terlalu offender oriented padahal disisi lain terdapat korban (the

victimof crime) yang memerlukan perhatian serius.125

Bertolak timbulnya konsep pemikiran tersebut dalam tesis ini adalah tidak

terlepas dari adanya peraturan yang memuat hukum materiil dan formil terkait dengan

perkara yang pelakunya anak yaitu tidak terlepas dari Undang-Undang No.3 Tahun

1997 tentang Pengadilan anak., dimana dalam aturan norma ini dalam kenyataan yang

terjadi di Indonseia belumlah dapat memenuhi tujuan dari Undang-undang itu sendiri

dimana dalam orientasi ini adalah berorientasi pada ”kepentingan terbaik bagi anak”.

Undang-undang No.3 Tahun 1997 yang merupakan ius constitutum mengenai

Pengadilan Anak saat ini tidak efektif sebaimana yang digariskan pada konsiderans

dan penjelasan Undang-undang itu sendiri, disebabkan pada undang-undang itu tidak

memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan diskresi dan diversi kepada

124

Op.Cit, hal.13

125

Op.Cit, hal.5

102

hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal diskresi dan diversi merupakan

klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen tertentu, untuk terhindar dari proses

konvensional sistem peradilan pidana anak yang lazimnya memiliki dampak negatif

terhadap terjadinya stigmatisasi anak. Undang-undang No.3 Tahun 1997 tersebut

pada tataran ius operatum ketentuan UU No.3 tahun 1997, penegakan hukumnya

belum mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi

anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri. Dalam kajian kriminologi,

stigmatisasi yang dialami anak menjadi factor pemicu kriminogen dalam mengulangi

kenakalan berikutnya.

Bertolak dari hal tersebut diatas apabila kita lihat dalam ius constitutum maka

di Indonesia terkait dengan proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum

adalah berdasarkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP))

dan Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana sesuai

dengan asas “Lex Spesialis derogat Lex Generalis” yaitu aturan khusus

mengesampingkan aturan umum sehingga dalam hal proses penanganan anak yang

berhadapan dengan hukum adalah berlandaskan Undang-undang No.3 Tahun 1997

tentang Pengadilan anak, namun sepanjang tidak diatur oleh undang-undang ini maka

KUHAP tetap diberlakukan.

Dalam konteks ini kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai

suatu “proses”, dimana hal ini dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan,

penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan serta diakhiri dengan

103

pelaksanaan pidana di tempat pemasyarakatan.126

Proses (pelaksanaan penegakan

hukum) pidana merupakan suatu bentuk pemeriksaan yang dilakukan menurut

tatacara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 3 KUHAP), Undang-undang ini

menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka yang ada dalam proses

dimana pelaksanaan dan hak dan kewajiban mereka itu menjadi intinya proses.127

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai

semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang

pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses

peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku

dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan

penyelesaian masalah anak nakal tersebut. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan

dalam proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah :

1. Dalam Proses Penyidikan

”Kekuasaan Penyidikan” adalah tahap yang paling menentukan dalam

operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka

tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap

penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan

atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak

pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dan

126 Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana,, Bina Cipta, Bandung,

(selanjutnya disingkat Romli VII) hal. 16

127

Soedirdjo, 1985, Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Pidana, Akademika Presindo, Jakarta,

hal 2

104

diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan

perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara

otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu

tahapan penuntutan,pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan

putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.

Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari

dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya128

, sedangkan

”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah

dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan

ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar

hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang

berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga

diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.

Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan,

penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan

penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara

Pemeriksaan ((BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan

128

Andi Hamzah, 2006, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika,

Jakarta, hal.118

105

perkara.129

Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-undang No.3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status

dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP.

Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan

oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala

Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya, dimana berdasarkan Pasal 41

ayat (2) yang berbunyi :

Pasal 41 ayat (2) :

Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) adalah :

a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh

orang dewasa;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

Sedangkan terkait dengan penyidikan anak tersebut haruslah dalam

suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Ayat ( 1 ), ( 2 ) dan (

3 ) UU RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa :

a. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan;

b. Dalam melakukan penyelidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib

meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan

apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli

pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan

lainnya;

c. Proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan.

129

Pramita dan Tamba B.I.T, 2003, Perlindungan Hak Anak Dalam Proses Peradilan Pidana

Pada Tahap Penyidikan, Jurnal Hukum, hal.29

106

Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam

atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.

Berbicara mengenai penyidikan anak maka kita akan berbicara

mengenai kewenangan yang diatur menurut Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-

undang No.3 Tahun 1997 yang berbunyi :

Pasal 5

(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua,

wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut

kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.

(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua,

wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada

Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing

Kemasyarakatan.

Bertolak dari bunyi Pasal tersebut terlihat jelas adanya suatu keadaan yang

bersifat kabur, dimana dalam hal ini apakah yang menjadi dasar legalitas atas

tindakan lain yang berupa pengembalian anak yang bermasalah dengan

hukum kepada orang tua atau wali ataupun tindakan pengembalian kepada

pihak Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum.

Terkait dengan hal tersebut akan sangat bersinggungan dengan adanya

diskresi yang dimiliki oleh pihak penyidik, sehingga dalam hal ini

menimbulkan adanya multitafsir terhadap perumusan Pasal tersebut.

107

Secara khusus tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang

menetapkan standar tindakan lain atau pengalihan (diversi) untuk pelaksanaan

penanganan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana oleh aparat

kepolisian, namun demikian berdasarkan kewenangan diskresi yang diatur

dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang berbunyi: “Dalam rangka

menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di

bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”

serta ayat (2) yang berbunyi: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan

jika memenuhi syarat:

1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

tindakan tersebutdilakukan;

3) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang

memaksa; dan

5) Menghormati hak asasi manusia.

Rumusan kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan

yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids

108

beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian

untuk ber-tindak ataupun tidak melakukan tindakan apapun berdasarkan

penilaian pribadi sendiri dalam rangka kewajibannya menjaga, memelihara

ketertiban dan men-jaga keamanan umum. Keabsahan kewenangan diskresi

kepolisian, didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk menjalankan

tugas kewajibannya dan ini tergantung pada kemampuan subjektifnya.130

Berpijak dari hal tersebut maka akan sangat terkait pula dengan TR

Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi

Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun

2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan

Tugas POLRI, dimana TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam

pelaksanaan diversi Dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat

dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian

dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian

dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat

dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun disertai peringatan

informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku dan keluarga korban, atau

bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya

masyarakat setempat.131

130 Momo Kelana, 2002, Memahami Undang-undang Kepolisian (Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002), Latar Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, PTIK Press, Jakarta, hal. 111

131

TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir DDD. Dua

109

Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas

menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut

Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak , terdapat tugas-

tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :

a) Penangkapan

Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat

cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau

peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini”.

Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses

penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan

dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan

hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan

keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga

polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat

menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan berdimensi

rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Wewenang penangkapan dan penahanan terhadap anak meurut Pasal

43 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak menentukan

bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan dan penahanan

mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana ((KUHAP). Penangkapan dan

110

penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak nakal diatur dalam

Pasal 43, 44, 45 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti

penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan

ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu

pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan

pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.

Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan

dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu :

Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Kedudukan anak

dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan

hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa

dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal anatara anak dan

polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis

sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :

1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih

dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan

dilakukan

2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan

alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa

3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib

dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus

mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi

penasehat hukum anak tersebut)

4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan

proses pemeriksaan

111

5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari

kesalahan.132

b) Penahanan

Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP :

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu

oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”

Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum

memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.133

Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut

pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial

anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan

ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.134

Terkait dengan penahanan sama halnya seperti penangkapan, penahanan

tahap pertama terhadap anak juga sama dengan penahanan terhadap orang

dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari dan

apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh

penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.

132

Kadja, Thelma Selly M, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal

Hukum Yurisprudensia, No.2 Mei 2000, hal.184

133

Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan

Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.164

134

Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.40

112

Dalam waktu 30 (tiga puluh hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana

sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada

Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas

perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan

demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan

penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu perpanjangan

penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Jika anak-anak

diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari tapi jika orang dewasa dapat

diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan

terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan

Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat

tertentu.

Pasal 45 Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa

penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh

mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat.

Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah

penahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan

orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani serta

sosial anak harus dipenuhi.

2. Dalam Proses Penuntutan

Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, “Penuntutan adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

113

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan”.

Pengadilan anak wewenang penuntutan terhadap anak-anak yang diduga

melaukan tindak pidana ada pada Jaksa Penuntut umum, yang ditetapkan

berdasarkan surat Keputusan Jaksa Agung. Apabila Penuntut umum

berpendapat bahwa dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepilisian

ternyata terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak maka jaksa

selaku penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan

sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No.8 Tahun 1981 tentang

KUHAP), kemudian melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak bahwa Kejaksaan (Penuntut Umum) diatur dalam Pasal 53

ayat (2) yang berbunyi :

Pasal 53 :

(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak

Bertolak dari hal tersebut maka dalam penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum khususnya dalam proses penuntutan dipandang sangat

114

diperlukan untuk mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan hak-hak

anak dalam proses penuntutan yang meliputi :

a) Menetapkan masa tahanan terhadap anak cuma pada sudut urgensi

pemeriksaan

b) Membuat dakwaan yang dimengerti oleh anak

c) Secepatnya melimpahkan pada Pengadilan Negeri

d) Melaksanakan penetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan

atau mengadakan rehabilitasi.135

3. Dalam Proses Persidangan

Anak yang berhadapan dengan hukum ketika anak tersebut

dihadapkan dalam proses persidangan maka dalam hal ini perlindungan

terhadap anak telah dilakukan ketika penentuan hakim yang menangani

perkara anak tersebut dilakukan. Hakim anak diangkat berdasarkan Surat

Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang

bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan Pasal 9

Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak yang berbunyi :

Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 adalah :

a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum; dan

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

135

Kadja, Thelma Selly M, Op.Cit, hal.189

115

Penjelasan Atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak tidak ada menjelaskan maksud dan batasan “telah

berpengalaman”, oleh karena itu perlu ditetapkan berapa lamanya pengalaman

seorang hakim di pengadilan negeri dianggap memenuhi syarat untuk

diangkat sebagai Hakim Anak. Menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat

bahwa lima tahun telah cukup kiranya bagi seorang hakim untuk menguasai

hukum acara dan hukum materiil serta mengenal variasi jenis perkara yang

ditangani.136

Beberapa hak-hak anak dalam proses persidangan dalam proses

peradilan pidana anak meliputi :

a) Hak untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan

persidangan pada kasusnya

b) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat hukum selama

persidangan

c) Mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai

dirinya

d) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang

merugikan dan menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial

e) Hak untuk menyatakan pendapat

f) Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakukan yang menimbulkan

penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili dengan

alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan

mengenai orang-orang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang

diatur dalam KUHAP.

g) Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan atau penghukuman

yang positif dalam artian masih mengembangkan dirinya sebagai

manusia seutuhnya

136 Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia (Selanjutnya Disebut dengan

Romli VIII), Mandar Maju, Bandung, hal.53

116

h) Melakukan persidangan yang tertutup demi kepentingannya.137

Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan

secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata

ruang sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP,

sebagai berikut:

a) tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut

Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung;

b) tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua

sidang;

c) tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim;

d) tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari

tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat

hukum;

e) tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat

hakim;

f) tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi

pemeriksaan;

g) tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah

didengar;

h) bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji

pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan

lambang negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang

meja hakim;

i) tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;

j) tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi

tanda pengenal;

k) tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang

sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.138

137

Op.Cit, hal 52

138 Op.Cit, hal.65

117

3.2. Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Berdasarkan

Instrumen Internasional

Bertolak bahwa suatu penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan

pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi

anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum. Perlindungan hukum anak yang berhadapan dengan hukum

kedudukannya sangat penting mengingat dalam mekanisme prosesnya hal terkait

dengan perlindungan anak tidak boleh diabaikan . Menurut Arif Gosita, usaha-usaha

perlindungan anak ini sebenarnya merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai

akibat hukum oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi bagi kegiatan

perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi

kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang

membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan

perlindungan anak.139

Berbagai dokumen atau instrumen Internasional dalam upaya memberikan

perlindungan terhadap anak sudah sepantasnya mendapat perhatian semua negara

termasuk Indonesia dan diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk kebijakan

perundang-undangan dan kebijakan sosial lainnya. Mengabaikan masalah

perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Maka ini

139 Arief Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Presindo, hal.18

118

berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai cara apabila kita

ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.

Instumen internasional terkait dengan anak dalam persepektif internasional

sangat banyak jumlahnya, dimana dalam hal ini terlihat semakin adanya perhatian

khusus dari negara-negara didunia menangani masalah Anak. Proses penanganan

anak yang berhadapan hukum menurut instrumen internasional terdapat beberapa

instrumen yang penting untuk dikaji terkait dengan permasalahan tesis disini antara

lain Konvensi Hak-hak Anak dan The United Nation Standard Minimum Rules For

The Administration Of Juvinile Justice (The Beijing Rules), dimana terkait dengan

masalah mekanisme atau proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum

adalah berdasarkan instrumen tersebut. Adapun pemaparan dari instrument

internasional tersebut yaitu :

1. Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child),

yaitu Resolusi No. 109 Tahun 1990, terdapat 2 pasal yang sangat perlu

diperhatikan terkait dengan perlindungan hukum dalam proses anak yang

berhadapam dengan hukum khususnya dinyatakan pada :

Artikel 37 memuat prinsip-prinsip bahwa Negara-negara peserta menjamin :

(a) Tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan

atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan

martabat. Hukuman mati atau seumur hidup tanpa kemungkinan

pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang

dilakukan oleh seorang yang berusia di bawah 18 tahun.

(b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah

atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan

seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai

upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

119

(c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara

manusiawi dan dihormati martabat manusianya dan dengan memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya. Khususnya, setiap anak yang

dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa,

kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan

menuntut agar hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk

mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat

atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus.

(d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk secepatnya

memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak dan juga

menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannnya di depan pengadilan

atau pejabat lain yang berwenang, independen dan tidak memihak dan

berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan

perampasan kemerdekaan tersebut.140

Artikel 40 :

1. Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh,

atau dinyatakan melanggar hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara

yang sesuai dengan peningkatan perasaan anak akan martabat dan harga

dirinya, yang memperkuat penghargaan anak pada Hak Asasi Manusia

dan kebebasan dasar orang lain dan yang mempertimbangkan usia anak

dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak dan menciptakan

anak yang berperan konstruktif dalam masyarakat.

2. Untuk tujuan ini dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari

instrumen-instrumen internasional yang relevan, negara-negara peserta

khususnya menjamin bahwa:

(a) Tidak seorang anak pun dapat disangka, dituduh atau dinyatakan

melanggar hukum pidana karena melakukan atau tidak melakukan

tindakan-tindakan yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau

internasional pada saat tindakan itu dilakukan.

(b) Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum

pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan-jaminan sebagai

berikut:

(i) Untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya

menurut hukum.

(ii) Untuk secepatnya dan secara langsung diberitahukan mengenai

tuduhan-tuduhan terhadapnya dan jika dipandang layak,

melalui orang tua atau wali anak yang sah, dan untuk

memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain dalam

mempersiapkan dan mengajukan pembelaannya.

140

Purnianti ;Mamik Sri Supatmi ;Ni Made Martini Tinduk, 2002, Analisa Situasi Anak-Anak

yang Berada dalam Sistem Peradilan di Indonesia, UNICEF Indonesia, hal.20

120

(iii) Untuk memperoleh keputusan atas masalah tersebut tanpa

ditunda-tunda oleh pejabat atau lembaga pengadilan yang

berwenang, independen, dan tidak memihak dalam suatu

pemeriksaan yang adil sesuai dengan hukum, dengan

kehadiran penasehat hukum atau bantuan lain yang layak,

kecuali jika dianggap hal itu bukan untuk kepentingan terbaik

si anak, khususnya dengan memperhatikan usia atau situasi

anak, orang tua dan wali hukumnya yang sah.

(iv) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau

mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh

memeriksa saksi saksi yang memberatkan dan untuk

memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang

meringankan anak dalam kondisi kesetaraan.

(v) Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, anak berhak

agar keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan sebagai

akibatnya ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi yang

berwenang, independen dan tidak memihak atau oleh badan

peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku.

(vi) Untuk memperoleh bantuan cuma-cuma dari seorang

penerjemah apabila anak tidak dapat memahami atau tidak

dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan.

(vii) Untuk dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinya dalam

semua tahap proses pengadilan.

3. Negara-negara peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan

hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus

berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan

melanggar hukum pidana dan khususnya :

(a) Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di

bawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar

hukum pidana.

(b) Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah-langkah untuk

menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur

hukum, dengan syarat bahwa Hak Asasi Manusia dan perangkat

pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.

4. Berbagai penyelesaian perkara seperti pemeliharaan, perintah pemberian

bimbingan dan pengawasan, pemberian nasehat, masa percobaan,

pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan

dan alternatif-alternatif lain di luar memasukan anak ke dalam lembaga

perawatan harus disediakan guna menjamin anak-anak ditangani dengan

cara yang layak bagi kesejahteraan mereka dan sebanding baik dengan

keadaan mereka, maupun dengan pelanggaran yang dilakukan.

121

Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak telah diratifikasi dan

berlaku mengikat menjadi hukum Inodnesia. Konsekuensi dari suatu negara

melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak yaitu :

(1) Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan hukum

internasional yang sudah ada;

(2) Mengubah/menyempurnakan ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum

internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang;

(3) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali

yang belum ada sebelumnya.141

Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah

Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum

menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk

mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum

nasional, dalam hal Undang-Undang Pengadilan Anak, dapat dikemukakan

merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak

mengnai peradilan khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan hukum (children

in conflict with law).142

2. The United Nation Standard Minimum Rules For The Administration Of

Juvinile Justice (The Beijing Rules)

141 Syahmin Ak, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hal 66

142

M. Joni & Zulchaina, Op.Cit, hal.74.

122

Instrumen internasional ini menjadi resolusi PBB pada tanggal 29 Nopember

1985 dalam Resolusi 40/33, dimana dalam ketentuan ini menggambarkan bahwa

dalam proses peradilan pidana anak harus menggambarkan adanya jaminan-jaminan

khusus bagi anak dibidang anak yang berhadapan dengan hukum. The Beijing Rules

merupakan peraturan-peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak yang mengatur tentang sistem peradilan

pidana yang 'sensitif' terhadap anak, aturan ini merupakan aturan standar yang

digunakan apabila seorang anak berhadapan dengan hukum serta harus menjalani

proses peradilan pidana anak itu sendiri.

The Beijing Rules mengatur beberapa prinsip umum dalam penanganan anak

yang berhadapan dengan hukum, antara lain sebagai mana yang diatur dalam rule 7.1

menjelaskan beberapa hal penting yang merupakan esensial bagi suatu fair and just

trial yang bersifat umum yang artinya jaminan-jaminan hukum yang berlaku bagi

setiap orang pada umumnya juga harus berlaku bagi anak sehingga dalam The Beijing

Rules menegaskan jaminan-jamina procedural yang harus dijamin pada setiap proses

peradilan anak yaitu :

a) hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya (the right to be notified of

the charges)

b) hak untuk tetap diam (the right to remain silent)

c) hak untuk memperoleh pengacara (the right to counsel)

d) hak akan kehadiran orang tua atau wali (the right to the presence of a parent

or guardian)

e) hak untuk menghadapkan dan memeriksa silang saksi-saksi (the right

confront and cross examine witnesses)

123

f) hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin

pada seluruh tahap proses peradilan (the right to appeal to higher authority)143

Rule 7.1 diatas merupakan suatu jaminan-jaminan procedural yang mendasar yang

bersifat umum. The Beijing Rules secara keseluruhan terdiri dari 6 bagian yaitu :

1) General Prinsiples

2) Investigasi dan penuntutan

3) Adjudication and disposition

4) Pembinaan luar lembaga

5) Pembinaan dalam lembaga

6) Penelitian, perencanaan dan evaluasi.144

Pembahasan mengenai General Prinsiples telah dipaparkan diatas selanjutnya dalam

pembahasan selanjutnya adalah terkaiat tentang :

1) Bidang Penyidikan dan Penuntutan

The Beijing Rules dalam Rule 10 meminta perhatian khusus dalam

masalah kontak awal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dimana

disebutkan pula bahwa dalam hal penangkapan atau penahan terhadap anak

maka orang tua atau walinya harus segera diberiahukan dalam waktu yang

sesingkat mungkin setelah penangkapan atau penahanan dilakukan (Rule

10.1). Hakim atau pejabat yang berwenang tanpa menunda-nunda waktu

harus pula mempertimbangkan masalah pengeluaran anak tersebut dari

penangkapan atau penahanan (Rule 10.2). Selanjtnya dalam Rule 10.3

disebutkan bahwa kontak antara aparat-aparat penegak hukum dengan

pelangga anak (Junivile offender) harus dilakukan dengan cara diatur

143 Op.Cit, hal.115

144

Ibid, hal.116

124

sedemikian rupa sehingga dapat menghormati status hukum anak itu,

memajukan kesejahteraan anak itu, dengan memperhatikan keadaan-keadaan

mengenai perkara itu.

Masalah proses penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan

hukum dalam hal ini perlu untuk sangat diperhatikan terkait dengan masalah

Sumber Daya Manusia (SDM) dari aparat penegak hukum khususnya dari

sub-sistem Kepolisian, dimana dalam The Beijing Rules dalam Rule 12.1

menekankan adanya suatu pendidikan khusus dan latihan khusus bagi aparat

penegak hukum khususnya Kepolisisan sehingga dalam hal ini unit polisi

khusus yang terdidik dan terlatih menangani proses penanganan anak yang

bermasalah dengan hukum.

The Beijing Rules mengatur pula hal yang sangat signifikan dan perlu

mendapat porsi utama bagi penanganan anak yang bermasalah dengan

hukum yaitu : terkat dengan adananya pengaturan Diversi (Rule 11.1).

Sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing

Rule) Rule 11 :

“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and

frequently redirection to community support services, is commonly practiced

on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to

hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice

administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many

cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out

set and without referral to alternative (social) services may be the optimal

response. This is especially the case where the offence is of a non-serious

nature and where the family, the school r other informal social control

125

institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and

constructive manner (Diversi, melibatkan penghapusan dari pengolahan

peradilan pidana, dan sering redirection ke layanan dukungan masyarakat,

umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum banyak.

Praktek ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses berikutnya

dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma keyakinan dan kalimat).

Dalam banyak kasus, intervensi non-akan menjadi jawaban terbaik. Ini

pengalihan di set keluar dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) jasa dapat

respon yang optimal. Hal ini terutama kasus di mana pelanggaran bersifat

tidak serius dan di mana keluarga, sekolah r informal lainnya lembaga kontrol

sosial sudah bereaksi, atau mungkin bereaksi, dalam cara yang tepat dan

konstruktif)”145

Secara umum diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang

diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa

syarat.146

Bertolak dari hal tersebut maka diversi (pengalihan) dalam The Beijing Rules

Butir 11 Ayat (1), (2), (3), (4), juga diatur bahwa:

a) Apabila perlu, pertimbangan harus diberikan kepada pejabat yang berwenang

dalam menangani anak pelaku tindak pidana tanpa mengikuti proses

peradilan.

b) Polisi, jaksa, atau Lembaga lain yang menangani kasus anak-anak nakal harus

diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut dengan kebijakan mereka

tanpa melalui peradilan formal, sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam

145 Hadisuprapto, Paulus. 2006, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model

Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.16

146

Unicef, 2004, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual

Pelatihan untuk POLISI, Jakarta

126

tujuan sistem hukum yang berlaku dan sesuai dengan asas-asas dalam

ketentuan lain.

c) Setiap diversi yang melibatkan penyerahan kepada masyarakat atau pelayanan

lain yang dipandang perlu, membutuhkan persetujuan anak, atau orang tua,

atau walinya. Keputusan untuk mengalihkan kasus harus tunduk pada

peninjauan kembali pejabat yang berwenang pada prakteknya.

d) Untuk mempermudah disposisi kebijakan kasus-kasus anak, upaya-upaya

harus dilakukan untuk mengadakan program masyarakat seperti pengawasan

dan panduan secara temporer, restitusi, dan kompensasi kepada korban.

Pertimbangan harus diberikan apabila perlu untuk mengadili pelaku

anak tanpa melalui peradilan formal dari pejabat yang berwenang, untuk

mengalihkan atau tidak mengalihkan kasus, selain itu Diversi harus digunakan

apabila dimungkinkan. Polisi, jaksa atau lembaga lain harus diberikan

wewenang untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam itu dengan kebijakan

mereka tanpa melalui persidangan formal, sesuai dengan kriteria yang

tercantum sebagai tujuan dari sistem hukum dan sesuai dengan pinsip-prinsip

dalam ketentuan-ketentuan sebaiknya mempunyai wewenang untuk

melakukan diversi.

Pada penahanan sementara menunggu proses pemeriksaan pengadilan,

The Beijing Rules menegaskan hal-hal sebagai berikut :

a) Penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan

langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin. (Rule

13.1)

127

b) sedapat mungkin penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan

langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat,

perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada

suatu tempat atau rumah pendidikan. (Rule 13.2)

c) Anak-anak yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan

berhak akan semua hak dan jaminan menurut Peraturan-Peraturan

Minimum Stanadar bagi Perlakuan terhadap Narapidana yang telah

disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Rule 13.3)

d) Penahanan sebelum pengadilan akan ditempatkan terpisah dari orang-

orang dewasa dan akan ditahan pada suatu lembaga terpisah dari suatu

lembaga yang juga menahan orang dewasa. (Rule 13.4)

e) Sementara dalam penahanan, remaja-remaja akan menerima

perawatan, perlindungan dan semua bantuan individual sesuai dengan

usia, jenis kelamin dan kepribadian. (Rule 13.5)

2) Pemeriksaan Pengadilan

The Beijing Rules menegaskan bahwa dalam kasus anak apabila tidak

dilakukan tindakan diversi berdasarkan ketentuan Rule 11 maka anak harus

ditangani oleh pejabat yang berwenang (competent authority) sesuai dengan

prinsip –prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (Rule 14.1), dalam

hal ini ditegaskan pula bahwa proses pemeriksaan harus bersifat kondusif bagi

kepentingan anak yang terpenting dan dilakukan dalam suasana saling

pengertian sehingga anak dapat berpartisipasi dan memberikan pernyataan

secara bebas (Rule 14.2).

Mengenai bantuan hukum dan kedudukan orang tua atau wali, The

Beijing Rules menegaskan bahwa :

a) Selama jalannya proses peradilan anak itu akan memiliki hak untuk

diwakili oleh seorang penasehat hukum atau untuk memohon bantuan

128

hukum bebas biaya di mana terdapat ketentuan untuk bantuan

demikian di negara itu.(Rule 15.1)

b) Orang tua atau wali akan berhak ikut serta dalam proses peradilan dan

dapat diharuskan oleh pihak yang berwenang untuk menghadirinya

demi kepentingan anak itu. Namun demikian, mereka dapat ditolak

untuk ikut serta oleh pihak yang berwenang jika terdapat alasan-alasan

untuk menduga bahwa pengecualian itu diperlukan demi kepentingan

anak itu.(Rule 15.2)

Masalah proses anak yang berhadapan dengan hukum dalam hal ini

sangat diperlukan untuk diperhatikan yaitu penegasan terhadapan anak harus

dilakukan secara cepat, sebagaimana diatur dalam Rule 20.1 The Beijing

Rules bahwa setiap perkara anak harus ditangani sejak awal secara cepat tanpa

penundaan yang tidak perlu (Eac case shall from the outset be handel

expeditiously without any unnecessary delay).147

Bertolak dari hal tersebut

maka penting halnya kita mengkaji masalah diversi sebagai salah satu cara

untuk untuk mengalihkan tindakan dari tindakan formal ke tindakan informal

dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya pada

tahap penyidikan oleh kepolisian, oleh sebab itu maka dalam kajian ini akan

membahas mengenai dasar legalitas apa yang dipakai dalam pelaksanaan

pengambilan tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali

147 Op.Cit, hal 130

129

ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum.

Melihat beberapa pemaparan diatas terkait dengan proses peradilan

anak di Indonesia dan dalam instrumen internasional maka dalam hal ini kita

dapat mengkajinya yaitu didalam beberapa Pasal-pasal dalam hukum positif

indonesia ataupun Rule-rule dalam instrumen internasional terkait dengan

permasalahan anak terdapat beberapa pengaplikasian dari aturan internasional

pada hakekatnya telah diadopsi dalam aturan hukum positif kita, namun

adopsi tersebut belum sepenuhnya dilkukan sehingga dalam hal proses

penanganan anak di Indonesia tersebut masih terdapat kendala-kendala dalam

pelaksanaannya antara lain yaitu :

1. Masalah tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan

tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali

ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak

yang bermasalah dengan hukum yang dalam normanya belum

dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan

suatu norma yang bersifat kabur (Leemten van Normen) serta

menimbulkan suatu keadaan yang multitafsir, dimana setelah dikaji

secara akademis maka masalah dasar legitemasi terkait dengan proses

penangan anak yang bermasalah dengan hukum maka ada beberapa

landasan legitemasi dalam penggunaan diversi ataupun tindakan lain

yang dapat diambil oleh penyidik adalah Pasal 5 Undang-unadng No.3

130

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 16 Undang-undang No.2

Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya mengenai diskresi, TR

Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi

Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM

Penyelenggaraan Tugas POLRI sebagaimana dalam hal ini lebih

menekankan pada tindakan (non penal) dan bukan pada tindakan

(penal) sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi penegakan hukum

khususnya proses anak yang berhadapan dengan hukum.

2. Masalah Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan

anak pelaku delinkuen oleh sebab itu maka pengaturan secara khusus

mengenai diversi sangatlah diperlukan untuk pembangunan hukum

kedepannya, olek karena diversi dapat menghindarkan anak dari

proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses penanganan

anak lewat sistem peradilan pidana anak sehingga dalam hal

penanganan proses anak yang berhadapan dengan hukum diharapkan

kedepannya dapat ditangani dengan kebijakan-kebijakan yang

berpihak kepada kedudukan anak.

Bertolak dari pemaparan diatas tersebut, maka berdasarkan penelitian

normatif yang dilakukan oleh penulis dalam tesis ini terkait dengan adanya kekaburan

norma tersebut adalah menemukan solusi yang tepat guna untuk penanganan anak

yang berhadapan dengan hukum. Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap

131

kekaburan norma adalah dengan melakukan suatu penfsiran (interpretasi) terhadap

hukum tersebut. Menurut Bruggink mengelompokan berbagai macam interpretasi

yaitu :

1) Interpretasi Bahasa (detaalkundige interpretatie)

2) Historis Undang-undang (de wetshistorische interpretatie)

3) Sistematis (de systematische interpretatie)

4) Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie)148

Kekaburan norma dari legalitas dari penyidik untuk menentukan tindakan lain

berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada

Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang tertuang

dalam Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak dapat dipergunakan

interpretasi bahasa yaitu dalam konteks tata bahasa yang dimaksud tersebut

menekankan pada penyidik sebagai aparat penegak hukum yang memiliki suatu

kewenangan atau diskresi dalam penanganan proses sistem peradilan pidana anak

yang berhadapan dengan hukum dapat menggunakan tindakan lain dalam proses

penangan anak. Bertolak dari hal dapat dipergunakan interpretasi hitoris dari

perundang-undangan tentang Pengadilan Anak tersebut dimana Undang-undang No.3

Tahun 1997 adalah penjelmaan salah satu konvensi internasional tentang anak

khususnya The Beijing Rules sehingga dalam hal ini legalitas dalam melakukan

148 Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

hal.71

132

tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun

pengembalian anak kepada Departemen Sosial oleh aparat penegak hukum tersebut

dapat kita kaji dari The Beijing Rules khususnya Rule 20.1 The Beijing Rules.

133

BAB IV

PEMBARUAN HUKUM PIDANA

DALAM PROSES PENANGANAN

ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM DI INDONESIA DIKAJI

DARI PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM

4.1. Fungsi Dan Tujuan Pengadilan Anak

Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun

1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook Country,

yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri sudah terdapat

Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana mengenai anak-anak

ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi

mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.149

Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya Undang-

Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang-

undang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun

penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang

jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan

negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak

dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.150

149 Lamintang, 1988, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, hal.171

134

Menurut Soedarto, sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya

pengadilan anak telah timbul di mana-mana.151

Di samping itu beberapa hakim telah

dikirim ke luar negeri untuk mempelajari penyelanggaraan pengadilan anak. Di

beberapa Pengadilan Negeri telah ditunjuk hakim-hakim tertentu mengadili perkara-

perkara yang terdakwanya adalah anak-anak, dengan tidak terlalu menyimpang dari

acara yang berlaku bagi orang-orang dewasa.152

Menurut Soedarto, Pengadilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan

pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. 153

Menurut analisa sejarah

(Eropa dan Amerika) ternyata, bahwa ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan

anak dan keluarga senantiasa ditujukan kepada menanggulangi keadaan yang buruk

seperti kriminalitas anak, terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak.154

Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan dan

anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu mengenai

pengadilan. Bertolak dari hal tersebut maka peradilan merupakan peristiwa atau

kejadian atau hal-hal yang terjadi mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit,

peradilan adalah hal-hal yang menyangkut hukum acara yang hendak

mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian atau

150 Gatot Supramono, Op.Cit, hal.19

151 Sudarto, 1981, Pengertian dan ruang lingkup Peradilan Anak (Selanjutnya disebut dengan

Sudarto III), Bina Cipta, Bandung, hal. 79.

152

Notoprojo Sri Widojati, 1974, Peradilan Anak-anak, Bina Cipta, Bandung, hal. 57

153

Op.Cit, hal 80.

154

Op.Cit, hal. 80.

135

hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara

dalam mempertahankan materiilnya.155

Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk

Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, Kejaksaan,

Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi

setiap warga Indonesia.156

Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum

dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan

yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau

siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan

mencegah “eigenrichting”.157

Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan

lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang

diajukan kepadanya, namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus

menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dalam rangka menjamin

pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus

diperhatikan masa depannya, dimana dalam hal ini untuk memberikan suatu keadilan,

hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam mengadili berusaha

155 Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, 1993, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.14

156

Ibid, hal.16

157

Op.Cit, hal.51

136

menegakkan kembali hukum yang dilanggar oleh karena itu biasa dikatakan bahwa

hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus

berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak

tertulis. Bertolak dari hal tersebut maka dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut

dijalankan oleh pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak, dengan kata lain, fungsi

tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat

peradilan. Bertolak dari hal tersebut maka tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-

mata mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan

bagi masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.158

Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa

konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara.

Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat

dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau masalah baru, dimana

mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu

mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam Peradilan Anak ini

janganlah hendaknya ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau

pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus lebih diperhatikan dan

dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau

perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi

si anak demi masa depan si anak.159

Bertolak dari hal tersebut maka, melalui

158 Op. Cit., hal.39

137

Peradilan Anak diharapkan adanya suatu perbaikan kondisi, pemeliharaan dan

perlindungan anak serta pencegahan terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui

tindakan pengadilan yang konstruktif.

Penanganan anak yang berhadaan dengan hukum pada prinsipnya terkait

dengan tujuan dan dasar pemikirannya adalah untuk mengutamakan kesejahteraan

anak ditegaskan dengan jelas dalam The Beijing Rules khususnya dalam rule 5.1

mengenai Aims of juvenile justice ditegaskan ”The juvenile justice shall emphasize

the well being of the juvenile and shall ensure that any reactin to juvenile offenders

shall always be in proportion to the circum of the both the offender and offence

(Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan

memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak

akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar

hukumnya maupun pelanggaran hukumnya)”.

Rule 5.1 ini menunjukkan pada dua tujuan atau sasaran yang sangat penting

yaitu :

1) Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the

juvenile)

Sasaran utama dalam tujuan ini merupakan fokus utama dalam sisitem hukum

yang menangani pelanggaran ana khususnya dalam system hukum yang

mengikuti model peradilan pidana harus lebih menekankan atau mengutamakan

kesejahteraan anak

159 Loc. Cit.

138

2) Prinsip Proporsionalitas (the principle of proportionality)

Bahwa disebutkan sasaran kedua adalah menyangkut prinsip proporsionalitas

dimana dalam hal ini merupakan alat untuk mengekang sanksi yang lebih

menghukum dalam arti hanya membalas semata-mata

Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar pemikiran dan tujuan peradilan anak

difokuskan pada kesejahteraan anak maka berpijak kepada Undang-undang No.4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, proses peradilan anak juga haruslah dapat

menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar baik secara rohani,

jasmani maupun sosial sehingga dari pendekatan yang berorientasi pada

kesejahteraan atau kepentingan anak diperlukan pula pendekatan secara khusus dalam

proses penanganana anak yang bermasalah dengan hukum. Hal ini berarti bahwa

diperlukan adaanya perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan khusus, dan

perlakuan khusus dalama penanganan anak yang bermasalah dengan hukum tersebut.

4.2. Konsep Diversi Dan Restorative Justice

Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara

pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan

melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan

anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki

tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak.

Para pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi

yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian lebih untuk

139

melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian

masalah, berbeda dengan cara penanganan orang dewasa. Hal ini dikarenakan

peningkatan kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Masa anak-anak

adalah periode yang rentan dalam kondisi kejiwaaan dimana anak belum mandiri,

belum memiliki kesadaran penuh, kepribadian belum stabil atau belum terbentuk

secara utuh, dengan kata lain keadaan psikologinya masih labil, tidak independen,

dan gampang terpengaruh.

Kondisi demikian menyebabkan adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh

anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri, karena

anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban.

Anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika ada yang lebih baik

demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menangani perbuatan anak yang melanggar

hukum. Kesadaran untuk menjadikan peradilan pidana sebagai langkah terakhir untuk

menangani Anak Berhadapan dengan Hukum tercermin dari konvensi yang disepakati

oleh negara-negara di dunia.

Bertolak dari pemaparan yang dijelaskan diatas, maka kita akan berbicara dan

menelaah kebijakan yang bersifat alternatif, yaitu :

1. Konsep Diversi

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan

kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk

melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem

peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan

140

kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)

seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak

pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang

dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah

konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau

pengalihan.

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata ” diversion”

pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan

peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Anak ( President ’s

Crime Commissions) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1990.160

Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang

berbentuk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan

berdirinya peradilan anak ( Children’s Courts) sebelum abad ke- 19 yaitu

Diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk

melakukan peringatan (policy cautioning). Prakteknya telah berjalan dinegara

bagian Victoria Australia pada tahun 1959 , di ikuti oleh negara bagian

Queensland pada tahun 1963.161

Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological

Approach menyatakan ”Diversion is an attempt to divert, or channel out,

160

Marlina , 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak , Jurnal Equality, hal.1

161

Ibid

141

youthful offender from the juvenile justice system (Diversi adalah sebuah

tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak

pidana anak keluar dari system peradilan pidana).162

Penjelasan terkait dengan diversi sebagai mana telah diatur dalam The

Beijing Rules , dimana dalam hal ini hal ini sesuai dengan yang tercantum

dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11 :

“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and

frequently redirection to community support services, is commonly practiced

on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to

hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice

administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many

cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out

set and without referral to alternative (social) services may be the optimal

response. This is especially the case where the offence is of a non-serious

nature and where the family, the school r other informal social control

institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and

constructive manner (Diversi, melibatkan penghapusan dari pengolahan

peradilan pidana, dan sering redirection ke layanan dukungan masyarakat,

umumnya dilakukan secara formal dan informal dalam sistem hukum banyak.

Praktek ini berfungsi untuk menghambat efek negatif dari proses berikutnya

dalam administrasi peradilan anak (misalnya stigma keyakinan dan kalimat).

Dalam banyak kasus, intervensi non-akan menjadi jawaban terbaik. Ini

pengalihan di set keluar dan tanpa rujukan ke alternatif (sosial) jasa dapat

respon yang optimal. Hal ini terutama kasus di mana pelanggaran bersifat

tidak serius dan di mana keluarga, sekolah r informal lainnya lembaga kontrol

sosial sudah bereaksi, atau mungkin bereaksi, dalam cara yang tepat dan

konstruktif)”163

162 Marlina, 2007, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap

Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, hal. 83

163

Op.Cit, hal.16

142

Secara umum diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak

yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau

tanpa syarat.164

Dari ketentuan substantive UU No.3 tahun 1997 yang

mengatur tentang peradilan anak nakal tidak ada mengatur tentang diversi,

yaitu membuat pengaturan dari bentuk penyimpangan penanganan anak

pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional sebagaimana

dikehendaki dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard

Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice.165

Diversi sangat

penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen, diversi

dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi

dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak.

Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan

program diversi yang dapat dilaksanakan yaitu :17

a) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation),

yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung

jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan

pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima

tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya

kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,

mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada

pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga

pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

164

Ibid

165

M.Musa, 2008, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak

Indonesia, Serial Online Februari 14, 2009, availaible from : URL: Hukum Online.com/2009/02/14/

Peradilan-Restoratif-Suatu-Pemikiran-Alternatif-System-Peradilan-Anak

143

c) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or

restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat,

memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada

korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara

korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang

terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan

tindakan pada pelaku.166

Salah satu pedoman yang dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam

menerapkan konsep diversi dalam menangani anak yang berhadapan dengan

hukum adalah TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 yang

memberi petunjuk dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang

berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas masalah Diskresi

Kepolisian. TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan

diversi, dimana dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat

dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk

penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke

alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut

kepentingan anak. Diversi dapat dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa

maupun disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga

166

Loc.Cit

144

pelaku dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya

yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.167

Kepada Kepolisian diarahkan agar sedapat mungkin mengembangkan

prinsip diversi dalam model restorative justice guna memproses perkara

pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman

dalam komunitas setempat bahwa perbuatan anak dalam tindak pidana harus

dipahami sebagai kenakalan anak akibat kegagalan/kesalahan orang dewasa

dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa. Tindak pidana anak

juga harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar

manusia sehingga memunculkan kewajiban dari semua pihak atau seluruh

komponen masyarakat untuk terus berusaha dan membuat segala sesuatunya

menjadi lebih baik melalui kelibatan semua pihak untuk mengambil peran

guna mancari solusi terbaik, baik bagi kepentingan pihak-pihak yang menjadi

korban dan juga bagi kepentingan anak sebagai pelaku di masa sekarang dan

dimasa datang.

Setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan

pendekatan restorative justice sehingga menjauhkan anak dari proses hukum

formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan stigmasasi

serta dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum.168

Penahanan

terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan

167

TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir Dua

168

Ibid Butir Empat

145

merupakan langkah terakhir (ultimum remidium), dan pelaksanaanya harus

dipisahkan dari tahanan dewasa.169

Pengaturan lain mengenai pemberlakuan diversi dapat pula dilakukan

dengan merujuk pada Pasal 28 Peraturan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM

Penyelenggaraan Tugas POLRI, dimana dalam melaksanakan tindakan

pemeriksaan terhadap anak, petugas wajib

mempertimbangkan:

a. hak untuk mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak;

b. hak untuk didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas);

c. hak untuk didampingi oleh orang tua atau wali; dan

d. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan dan peradilan anak

Hal ini memberi pedoman dan wewenang bagi penyidik Polri untuk

mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak

dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.

Dasar hukum penerapan diversi ini adalah Pasal 18 ayat 1 huruf L

yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:

“Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan

hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/ profesi yang

mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut

harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya,

169 Ibid Butir Lima

146

didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang

memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.

Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk

dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih

terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena

tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat

ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Adapun tujuan dari diversi yaitu

;

1) Untuk menghindari penahanan

2) Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat

3) Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku

4) Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya

5) Untuk mencegah pengulangan tindak pidana

6) Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban

dan pelaku tanpa harus melalui proses formal

7) Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses system

peradilan

8) Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-

pengaruh dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut.170

Bertolak dari hal tersebut diatas terdapat beberapa bentuk – bentuk Diversi

yaitu sebagai berikut :

1) Non intervensi

2) Peringatan informal

3) Peringatan formal

4) Mengganti kesalahan dengan kebaikan / Restitusi

5) Pelayanan Masyarakat

170 Lushiana Primasari, Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi

Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Serial Online September 16, 2009, availaible from :

URL:http:Keadilan-Restoratif-Dan-Pemenuhan-Hak-Asasi-Bagi-Anak-Yang-Berhadapan-Dengan-

Hukum.com, hal.3

147

6) Pelibatan dalam program keterampilan

7) Rencana individual antara polisi, anak, dan keluarga

8) Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional

9) Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok

keluarga171

Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan–

pelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan

remaja itu, atau orang tua walinya dengan syarat keputusan merujuk perkara

tersebut tergantung pada kajian dari pihak berwenang yang berkompeten atas

permohonan tersebut.

Menurut standard Internasional Diversi dapat dilakukan pada setiap

tahapan proses peradilan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan hakim, namun dalam

ketentuan hukum di Indonesia, pelaksanaan Diversi hanya dimungkinkan

ditingkat penyidikan artinya hanya merupakan kewenangan dari kepolisian,

sementara di lembaga lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, atau Lembaga

pemasyarakatan belum ada aturan yang mengaturnya. Hal ini yang harusnya

mulai dipikirkan oleh pemerintah agar penerapan diversi ini dapat berjalan

dalam semua tahap proses peradilan. Keberadaan Diversi ini sangat

diperlukan, sebab melalui Diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan

171 Makalah APH Training-Diversi-RJ, FH UNDIP, 2007

148

criminal track – record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi.172

Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan, karena

lembaga penuntut tidak memiliki kewenangan diskresioner, sedangkan pada

tingkat pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak

menjatuhkan pidana penjara atau kurungan.

Diversi dalam hal ini akan sangat terkait dengan diskresi, dimana

diskresi adalah kewenangan yang dimiliki Polisi untuk mengehentikan

penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, atau pun

melakukan pengalihan dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum

lebih lanjut.

Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk

pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum

menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada

saat itu dapat kita lihat pada tabel berikut :

Tabel Restrukturisasi Peradilan Pidana Setelah Reformasi Hukum

Proses Kebijakan

Penyebab Kejahatan Tindakan pencegahan Delikuensi

Tindak Pidana Oleh Anak Dekriminalisasi

Ditangkap Polisi Diversi

Pengadilan Proses Peradilan Anak

Penjara Deinstitutionalisation/Diskresi

172 Loc.cit

149

Tabel 1 di atas mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan

peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang bermasalah

dengan hukum. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal

yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikanperlindungan

bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan

anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan

mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan

pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka

tidak perlu diproses ke polisi. Selanjutnya jika anak yang melakukan

pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi, polisi dapat melakukan

diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak

sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai

dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana

penjara. Terakhir bila anak sudah terlanjur berada di dalam penjara, maka

petugas penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga

anak dapat di limpahkan ke lembaga sosial, atau sanksi alternatif yang

berguna bagi perkembangan dan masa depan anak.173

Bertolak dari hal tersebut sebagaimana yang ditekankan dalam

literatur berjudul ”Crime and Criminal Justice Policy” menyatakan bahwa

”One of the keys to diversion has been the increased use of cautioning by the

173 Marlina, 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak

Pidana JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, hal.98

150

police”, the police clearly have discreation in dealing with offender (Salah

satu kunci untuk pengalihan telah memperingatkan peningkatan penggunaan

oleh polisi ", jelas polisi telah discreation dalam berurusan dengan pelaku).174

Lembaga kepolisian merupakan salah satu kunci untuk melakukan

diversi, dimana lembaga kepolisisan menggunakan kewenangan diskresioner

yang dimilikinya, antara lain tidak menahan anak akan tetapi menetapkan

suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau

menyerahkannya kepada negara.

2. Restorative Justice

Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru

untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan

restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum

Keadilan restoratif (restoratif justice) merupakan hal yang relatif baru

di Indonesia, meskipun demikian dalam hal ini restorative justice memiliki

cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah delinkuensi anak.

Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana

merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat

Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada

174

Tim Newburn, 1995, Crime and Criminal Justice Policy (1 Edition), LONGMAN, Sosial

Policy in Britain Series, hal.139

151

perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan Anak

yang berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan anak yang sekarang

berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada

pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian

ganti rugi) hanya memberikan wewenang kepada Negara yang

didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim).

Pelaku dalam hal ini anak yang berhadapan dengan hukum dan

korbannya sedikit sekali diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi

keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan

bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku, karena itu

tak heran tindak kriminal yang dilakukan anak yang berhadapan dengan

hukum semakin meningkat karena di penjara mereka justru mendapat

tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak

lain untuk mengikutinya.

Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep

pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan

materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan

sistem pemasyarakatan.175

Kenyataan yang ada saat ini, sistem pemidanaan

yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated

justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi

175

Bagir Manan, 2008, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika

Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hal. 4.

152

masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative

justice”.

Menurut Bagir Manan, menguraikan tentang substansi ”restorative

justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama

antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu

peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat

sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha

menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win

solutions)”.176

Bertolak dari hal tersebut maka dalam hal menyelesaikan

suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan

personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal

(kaku) dan impersonal.

Menurut Fruin J.A. dalam Paulus Hadisuprapto, ”peradilan anak

restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap

pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama san

keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat”. Prinsip yang menjadi

dasar adalah bahwa keadilan paling bak terlayani, apabila setiap pihak

menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses

176

Ibid, hal.7

153

peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi

mereka dengan sistem peradilan anak.177

Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya

dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin

menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang

berhadapan dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya

yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara

umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah :

1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian

yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan

kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya

secara konstruktif;

3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan

teman sebaya;

4. Menciptakan fórum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan

masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan

dengan reaksi sosial yang formal.178

177 Paulus Hadisuprapto, 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya

(Selanjutnya disebut dengan Paulus II), Bayumedia Publishing, Malang, hal 225

178

Op.Cit, hal.357

154

Dalam restorative justice metode yang dipakai adalah musyawarah

pemulihan dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-

masing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili

lingkungan dimana tindak pidana dengan pelaku anak tersebut terjadi.

Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat untuk menyelesaikan

masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat menghasilkan

putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan

kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan

masyarakat.

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini

adalah anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem

peradilan anak yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.179

Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan

dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang

pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan

permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat.

Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi kondisi (fakta)

yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah anak yang

bermasalah dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan restoratif

179

Kusumaningrum, Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka

Protective Environment, Serial Online September 16, 2009, availaible from URL: http:

//www.unicef.org/ Indonesia /uni-jjs1_2final.pdf

155

(restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi

penyelesaian kasus-kasus anak yang bermasalah dengan hukum.

Bertolak dari hal tersebut diatas maka untuk mengefektifkan

restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan

dengan hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu

aparat penegak hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa

sosialisasi tersebut maka penerapan restorative justice menjadi sulit

diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan

dengan hukum.

4.2. Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang

Bermasalah Dengan Hukum di Indonesia Dikaji Perspektif Ius

Constituendum

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan

latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri,

dimana dalam hal ini dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik,

sosio- kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial,

kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Bertolak dari hal tersebut

maka makna dan hakikat pembahaman hukum pidana juga berkaitan erat

dengan berbagai aspek artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada

hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan

terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar belakangi hal tersebut.

156

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna

suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang

sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural

masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan

kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana pada

kakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan

("policy-oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai

("value-oriented approach")180

.

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan

kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari

suatu langkah kebijakan atau "policy" yaitu bagian dari politik hukum atau

penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal,dan politik sosial.

Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Bertolak dari

hal tersebut maka pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada

pendekatan nilai.

Bertolak dari hal tersebut diatas maka makna dan hakikat pembaharuan

hukum pidana, sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan :

a. Sebagai bagian dari kebijakan-sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

180

Barda Nawawi, 1994, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Selanjutnya disebut

dengan Barda Nawawi Arief VII), Universitas Diponegoro, Semarang, hal.31

157

masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasionat (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya);

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan);

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan dan penilaian kembali ("re-orientasi dan re-

evaluasi") nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, sosio- kultural yang

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif

hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan "reformasi"

hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-

citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama

warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).181

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

181 Ibid

158

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat

dilepaskan dari konsepsi intergral antara kebijakan kriminal dengan

kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berati

pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosio-politik yang telah ditetapkan.

Dengan demikian kebijakan hukum pidana,. termasuk pula kebijakan

dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan

pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya

dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada

umumnya.

Penanggulangan delinkuensi anak erat kaitannya dengan kebijakan

kriminal (criminal policy), hal ini melihat suatu delikuen anak baik itu

merupkan pelanggaran ataupun perbuatan pidana maka kita harus

melihatnya secara logis bahwa suatu kebijakan sangatlah diperlukan

menimbang anak adalah aset suatu bangsa yang perlu mendapat perhatian

khusus. Kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan, di dalam gerak operasionalnya terarah pada dua

159

jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal.182

Menurut Paulus

Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau jalur hukum pidana

cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan stigma pada

anak.183

Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan

dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh

kepolisian, proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan

oleh hakim, dan mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan.

Kondisi tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental

bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya berjudul : "Pembangunan

Hukum yang diarahkan kepada tujuan Nasional", mengemukakan bahwa

tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah

kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil

dalam kedua masa tersebut dan pengimplimentasiannya kedalam system

hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah

kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran

rakyat yang sebesar-besamya, maka keputusan demikian harus

182 Op.Cit, hal.16

183

Op.cit, hal.5

160

dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan sruktur hukumnya pun harus

menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.184

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Soedarto berpendapat

bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang

seeing disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada

intinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata

material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan mi maka

(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi

kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan

penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman

masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan

hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki

yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian, (material dan atau

spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau

kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum yaitu

jangan sampai ada kelampuan beban tugas (overlasting).185

184

Masalah-masalah Hukum , No.5-6 Thn. XII/1982, FH. UNDIP, hal. 2

161

Masalah dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah

kecendrungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak

memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif,

misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Dikemukakan

pula bahwa perkembangan dari "a policy oriented approach" ini lamban

datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang

demikian.

Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang

seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Ha lini merupakan

konsekwensi logis, karena seperti dikatakan oleh Soedarto, dalam

melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan

melakukan pemilihan dari sekian banyak altematif yang dihadapi.186

Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum

pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat

dengan sengaja dan sadar.

Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan

semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum

pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang

185 Op.Cit, hal 44

186

Ibid, hal. 161.

162

fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent)

pada setiap kebijakan yang rasional, dengan demikian dalam melakukan

kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan

rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment

approach). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal

dengan istilah politik kriminil dapat meliputi ruang lingkup yang cukup

luas, dimana upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penetapan hukum pidana (criminal law application).

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society

on crime and punishment through mass media).187

Bertolak dari hal tesebut diatas maka dengan demikian upaya

penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu jalur,

yakni sarana penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal

(bukan/diluar hukum pidana) sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam

butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non-penal.

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari

masalah nilai, karena seperti dikatakan oleh Christiansen, "the conception

187 Dwi H. Retnaningrum & Manunggal K. Wardaya, 2008, Perlindungan Terhadap Anak

Yang Melakukan Tindak Pidana, Jurnal PENEGAKAN HUKUM, Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran, Bandung, hal.6

163

of problem crime and punishment is an essential part of the culture of any

society (konsepsi masalah kejahatan dan hukuman merupakan bagian

penting dari budaya setiap masyarakat)".188

Menurut W. Clifford, "the very foundation of any criminal justice

system consist of the phylosophy behind a given country (sangat dasar dari

setiap sistem peradilan pidana terdiri dari filosofi di balik pemberian

Negara)".189

Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis

kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk

manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai

sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula

diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada

hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada

hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat

menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan

manusia.

Bertolak dari hal bahwa kebijakan kriminal sebagai usaha rasional

masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak

operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan

non penal maka dalam hal proses penanganan anak yang berhadapan

dengan hukum dapat pula diambil kebijakan dalam dua hal tersebut.

188

Op.Cit, hal. 15.

189

Karl O. Christiansen, dalam Resource Material Series No.7, 1974,UNAFEI, hal.75.

164

Sebagaimana telah dipaparkan secara jelas dan kongkrit bahwa jalur penal

telah diatur secara tegas dan jelas dalam aturan positif di Indonesia untuk

masalah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu

sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak namun proses penanganan dalam sarana penal tersebut

lebih menekankan kepada suatu proses peradilan anak yang dapat

menimbulkan suatu stigmatisasi dan labeling kepada anak yang

berhadapan dengan hukum.

Dalam konteks di Indonesia, dengan degradasi moral anak,

mekanisme tersebut dapat diterapkan guna menghilangkan stigmatisasi

dan labeling yang diproduksi oleh sistem peradilan anak. Anak yang

tersesat dalam dunia hitam harus dikembalikan atau direhabilitasi melalui

kebijakan Non Penal (tindak mempidana) khususnya melalui diversi yang

bermuara pada restorative justice. Kebijakan ini sesuai dengan pemikiran-

pemikiran Marc Ancel sendiri yang pernah mengungkapkan bahwa

apabila terjadi suatu kejahatan dalam suatu wilayah, maka yang sakit

bukan hanya pelaku tetapi juga masyarakat, Ancel yang berpandangan

reformis dan moderat lebih sempurna menganalisis bahwa kegagalan

hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan termasuk kenakalan

remaja, karena hukum pidana seharusnya bertitik tolak “perlindungan

sosial dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai

hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian

165

hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap

dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-

teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.190

Bertolak dari kebijakan penegakan hukum pidana termasuk pula

penanganan pidana anak maka dalam hal ini akan berorientasi kepada :

1) kebijakan legislatif (formulatif)

2) kebijakan yudikatif/ aplikatif

3) kebijakan eksekutif/administratif

Maka dalam proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya sarana

non-penal (aturan diversi) haruslah terlebih dahulu dirumuskan secara limitatif dalam

hukum positif Indonesia dimana dalam hal ini yaitu Undang-undang Pengadilan

Anak, hal ini tidak terlepas dari asas legalitas yang dianut hukum pidana khususnya

Indonesia yang bersistem hukum Civil Law. Menurut Max Weber definisi hukum

yaitu :”an order will be called law if it is externally guaranteed by the probality that

coercion (physical or psycological) to bring about conformity or avenge violation

will be apllied by staff of people holding themselves spesially ready for purpose

(suatu pendekatan akan disebut hukum jika dijamin oleh probality eksternal bahwa

190 SR. SIanturi dan Mompang Panggabean, 1996, Hukum Penitensia di Indonesia, AHM dan

PTHM, Jakarta, hal. 20

166

paksaan (fisik atau psycological) untuk membawa kesesuaian atau membalas

pelanggaran akan ditetapkan oleh badan khusus guna untuk mencapai tujuan)”.191

Berkaitan dengan perumusan suatu norma maka dalam hal ini norma hukum

ditetapkan oleh badan hukum yang berwenang. Bertolak dari hal tersebut maka

sangatlah penting adanya suatu aturan yang telah disahkan oleh badan yang

berwenang atau dilakukannya penormaan dari konvensi internasional tentang anak

yang telah ada sebelumnya sehingga para aparat penegak hukum yang menangani

proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum memiliki pegangan didalam

praktek sistem peradilan anak tersebut. Patut dicatat pula bahwa penormaan tersebut

haruslah selaras dengan nilai filosofi dan sosial dari masyarakat Indonesia, dimana

Pemikiran harmonisasi bermula dari Rudolf Stamler yang mengemukakan bahwa

konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud,

tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat

umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan

antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat.192

Bercermin pada ketidakmampuan sarana penal dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak selama ini maka pola proses penanganan anak yang bermasalah dengan

hukum yang bertujuan pada restorative justice melalui diversi dapat segera mulai

dilaksanakan di Indonesia. Implementasi pola penanggulangan dan penyelesaian

191 Alan Hunt, 1978, The Sosiological Movement in Law, British Library Cataloging in

Publication Data, hal.103

192

Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL:

http://www.legalitas.org

167

kasus kriminal oleh anak tidak akan hilang dari makna status anak yang memerlukan

perhatian dan kasih sayang serta bimbingan dan pendidikan, kemudian anak nakal

yang kembali ke masyarakat melalui pendekatan ini lolos dari stigmatisasi dan

labeling narapidana serta akhirnya antara proses penanganan dan penyelesaian anak

yang bermasalah dengan hukum dengan pemulihan keseimbangan ketertiban terjadi

tanpa terasa dipaksakan oleh para pihak termasuk penegak hukum. Efek penjeraan

(deterrence) serta pencegahan (prevency) khusus dan umum, dapat memiliki korelasi

erat dan saling mempengaruhi, sehingga prevalensi dan tingkat kejahatan dapat

terukur terutama apabila pelakunya anak-anak.

168

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah

diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:

1. Kesimpulan :

1. Bahwa dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No.3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak yang mengatur mengenai tindakan lain berupa

pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada

Departemen Sosial yang dapat dilakukan penyidik adalah belum dijelaskan

secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang

bersifat kabur (Leemten van Normen), dimana setelah dikaji secara akademis

maka masalah dasar legitemasi terkait dengan proses penangan anak yang

bermasalah dengan hukum maka ada beberapa landasan legitemasi dalam

penggunaan diversi ataupun tindakan lain yang dapat diambil oleh penyidik

adalah Pasal 5 Undang-unadng No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

Pasal 16 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya

mengenai diskresi, TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian

Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan

Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI sebagaimana dalam hal ini

169

lebih menekankan pada tindakan (non penal) dan bukan pada tindakan (penal)

sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi penegakan hukum khususnya

proses anak yang berhadapan dengan hukum.

2. Bahwa dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

belum adanya pengaturan yang jelas dan kongkrit (norma kosong) mengenai

diversi, dimana diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan

anak pelaku delinkuen serta dapat menghindarkan anak dari proses

stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat

sistem peradilan pidana anak. Bertolak dari hal tersebut diperlukan adanya

penemuan hukum (Rechtvinding), dimana dalam hal ini memungkinkan untuk

adanya suatu penormaan dari konvensi internasional yang telah ada yang telah

mengatur konsep diversi tersebut. Dengan demikian, pembaruan hukum

pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan

reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosio politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan

hukum di Indonesia serta pembaruan hukum pidana pada kakikatnya harus

ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-

oriented") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ("value-

oriented approach")

170

2. Saran

1. Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang

dapat dilakukan oleh penyidik dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap

proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sembaring

menunggu disahkannya RUU Pengadilan anak itu sendiri agar proses

penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip

peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

2. Hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan

penal saat ini dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum

haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi

bagi anak, oleh karena itu dari perspektif ius constituendum diperlukan pula

penggunaan kebijakan non-penal. Kebijakan non penal melalui diversi dalam

dalam proses anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan dukungan

adanya pengaturan hukum positif secara jelas sehingga aparat penegak hukum

dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas dalam penanganan

proses anak yang bermasalah dengan hukum dapat dilaksanakan dengan benar

dan adil guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Kebijakan tersebut

sangat perlu diupayakan untuk mencegah stigmatisasi dan proses labeling yang

kerap terjadi apabila anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak.